WACANA ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH PEMAHAMAN...
Transcript of WACANA ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH PEMAHAMAN...
WACANA ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH
PEMAHAMAN HUSEIN MUHAMMAD ATAS PENAFSIRAN Q.S
AN-NISA 4:34 DAN AT-THALAQ 64:6-7
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh
Tantri Setyo Ningrum
11140340000245
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019 M
WACANA ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH
PEMAHAMAN HUSEIN MUHAMMAD ATAS PENAFSIRAN Q.S
AN-NISA 4:34 DAN AT-THALAQ 64:6-7
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh
Tantri Setyo Ningrum
NIM. 11140340000245
Pembimbing,
Kusmana, Ph.D, MA
NIP. 196504241995031001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019 M
i
ABSTRAK
Tantri Setyo Ningrum
Wacana Istri Sebagai Pencari Nafkah Di Indonesia: Studi Pemahaman
Husein Muhammad
Penelitian ini membahas mengenai wacana istri sebagai pencari nafkah di
Indonesia. Wacana tersebut didiskusikan dengan pemahaman-pemahaman tafsir
klasik dan modern serta kajian ini terfokus kepada pemahaman Husein
Muhammad yang menjadi tokoh utama dalam penelitian dalam membahas sistem
nafkah keluarga di dalam al-Qur‟an dengan melihat konteks yang ada dalam
masyarakat Indonesia sekarang ini.
Makalah ilmiah ini adalah refleksi relasi suami istri dalam ekonomi
keluarga dan upaya untuk pemberdayaan kemandirian perempuan, dinarasikan
secara deskriptif analitik, berdasarkan sumber primer dengan wawancara tokoh
yang dilakukan pada tanggal 18 oktober 2018 dan penelitian ini juga melalui
sumber sekunder dari buku-buku yang berkaitan dengan tema penelitian penulis..
Skripsi ini menegaskan bahwa kemandirian perempuan di sektor ekonomi
merupakan salah-satu hak dan bentuk kebebasan terhadap perempuan sebagai
manusia. Husein Muhammad melihat wacana istri sebagai pencari nafkah
merupakan hal yang sudah maklum dan biasa adanya. Ia menegaskan argumennya
dengan memberikan alasan secara teologi dan non teologi. Dimana menurutnya
mencari nafkah hanya dilakukan jika orang tersebut mampu, maka ketika terdapat
istri yang mencari nafkah itu hal yang biasa dan diperbolehkan. Muhammad juga
mengacu kepada dasar teologis dengan pemaparan terhadap Q.S an-Nisȃ 4:34
yang menurutnya ayat tersebut bukan penentuan secara normatif terhadap peran-
peran laki-laki dan perempuan. ayat tersebut menurut muhammad sebagai ayat
normatif saja.
Kata Kunci : Nafkah, perempuan, gender, Husein Muhammad, feminisme,
independensi
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah penulis panjatkan rasa syukur yang teramat besar kepada
keagungan Allah SWTyang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah serta
karunia kepada penulis sehingga dengan kuasa-Mu penulis bisa menyelesaikan
tugas akhir Kuliah (skripsi) penulis.
Shalawat beiring salam penulis lantunkan kepada utusan yang paling agung
Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh kaumnya yang
menaati, mengikuti dan memegah teguh petuah-petuahnya. Semoga kita semua
sebagai kamnya kelak di akherat mendapat syafaatnya.
Selanjutnya perkenankan penulis untuk dapat mencurahkan banyak beribu
trima kasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini. karena
penulis menyadari tanpa dukungan dari mereka apalah daya penulis. Mereka
menjadi motivator yang sangat membantu penulis dalam melewati berbagai
rintangan yang dialami dalam mencapai gelar Sarjana Agama Islam Program
Strata satu (S1) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara
khusus penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof . Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA selaku rektor UIN
Syarif Hidayarullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Sarif
Hidayatullah Jakarta.
iii
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA, dan Ibu Banun Binaningrum, MA, selaku
ketua jurusan dan Sekertaris jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam proses
perkuliahan dan administrasi;
4. Bapak Kusmana, Ph,D, MA yang telah banyak meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis;
6. Pimpinan dan staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
perpustakaan fakultas Ushuluddin, perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an,
perpustakaan RAHIMA di depok, perpustakaan Institut Studi Islam Fahmina
(ISIF) Cirebon, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an Ciputat dan Perpustakaan
Universitas Sadra yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk
mengumpulkan dan melengkapi data-data pada skripsi penulis;
7. Kedua orang tua penulis, Ibunda tercinta Ropi‟ah dan Bapak Sumarto serta
keluarga besar Bani Warkeh lainnya yang telah banyak memberikan semangat
dan do‟a kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi.
8. Kedua orang tua asuh penulis selama di jakarta Ibu Nazirah Hasan S,Ag dan
Bapak Bahron Fatin, MA yang telah banyak memberikan bimbingan dan
nasehat kepada penulis.
9. Sahabat-sahabatku Siti Maimunah, Dwi Nurul Aini, Faizah Mahda, Mulqi
Yaqiasa Ulfa yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.
iv
Teman seperjuangan IQTAF 2014 khususnya TH G semoga kalian selalu
menebarkan kebaikan dan semangat satu sama lainnya. Ka Salman dan ka
lutfaefi yang selalu memberikan waktunya untuk penulis bisa berdiskusi
mengenai skripsi penulis.
10. Teman-teman Asrama Ar-Ridha Yaqut, Mar‟ah, Lely, Muji, Ziah, Yuli, Ipeh,
Ummi, Atiq, Ohim, Romen, Ijank, Obi, Nahid, Juki. Teman-teman KKN
“Bakti Nyata” yang selalu memotivasi. Sedulur-sedulur ngapak keluarga
Pelajar Mahasiswa Daerah Brebes (KPMDB).
11. Dan semua orang yang telah berjasa dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Atas semua itu penulis hanya dapat memanjatkan doa kepada Allah Swt,
semoga amal baiknya di terima oleh Allah Swt dan mendapatkan balasan yang
lebih banyak serta menjadi amal shaleh.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khusunya bagi mereka yang sedang mencari ilmu dan lainnya.
Jakarta, 10 April 2019
Penulis
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Pedoman Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan - ا
B Be ب
T Te ث
Ts Te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis di bawah ح
Kh Ka dan ha ر
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D De dengan garis di bawah ض
T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
vi
Koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan lokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
--- -- A Fathah
--- -- I Kasrah
--- -- U Dammah
vii
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي -- Ai a dan i
و -- Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ȃ a dengan topi di atas ا
ȋ i dengan topi di atas ی
Ȗ u dengan topi di atas ىى
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambankan dengan huruf
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf kamariyah. Contoh: al-Rijȃl bukan ar-rijȃl, al-dȋwȃn bukan ad-dȋwȃn.
5. Syaddah/ Tasydȋ
Syaddah atau Tasydid yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda ( -- -- ) dalam alihaksara ini dilabangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda Syaddah itu. Akan tetapi hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menrima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
viii
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya kata ( ة ر و رالض ) tidak ditulis
ad-darūrah melainkan al-darūrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbūtah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf Ta Marbūtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ . hal
yang sama juga berlaku jika Ta Marbūtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟at).
Namun jika huruf Ta Marbūtah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
No Kata Arab Alih Asara
ه ق ي ر ط 1 Tarȋqah
ت ي م ل س ال ه ع ام الج 2 Al-jȃmi‟ah al-Islȃmiyyah
دو جالى ةد د و 3 Wahdat al wujȗd
7. Huruf Kapital
Huruf kapital ini mengikuti ketentuan yang berlaku di dalam Ejaan Bahasa
Indonesia (EBI). Huruf kapital ini digunakan pada permulaan kalimat, huruf awal
nama tempat, nama bulan, nama orang, dan lain-lain. Contohnya Abȗ Hȃmid al-
Ghazȃlȋ bukan Abȗ Hȃmid Al-Ghazȃlȋ.
Bebrapa ketentuan lain dalam FBI juga diterapkan dalam alihaksara.
Misalnya, judul buku ditulis dengan cetak miring dan alih aksara juga demikian.
Contoh Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan
Gender, 2011, Depok: Rahima.
ix
Ketentuan lainnya jika yang ditulis adalah nama tokoh nusantara, tidak
disarankan untuk dialihaksarakan meskipun terdapat akar kata yang berasal dari
bahasa arab seperti Nuruddin al-Raniri bukan Nȗr al-Dȋn al-Rȃnȋrȋ.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf (harf) di
tulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara
ادت س ال ب ه ذ Dzahaba al-ustâdzu
رج ال ج ب ث Tsabata al-ajru
تي رص الع تم ر الذ al-hakarah al-„asriyyah
هللاإل إله ل ن أ ده أ ش Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
خال الص ل ل ا م ن ل ى م Maulânâ Malik al-Sâlih
هللا مكرث ؤ ي Yu‟atstsirukum Allâh
تي ل ق الع ر ه ظ الم Al-mazâhir al-„aqliyyah
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGATAR ............................................................................................. ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Permasalahan Penelitian .............................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 10
D. Studi Kepustakaan ..................................................................... 11
E. Metode Penelitian ...................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 19
BAB II Nafkah dalam al-Qur’ān: Pengertian Umum dan Tafsir
A. Pengertian Nafkah
1. Etimologi ............................................................................... 21
2. terminologi ............................................................................ 22
B. Nafkah dalam al-Qur‟ān
1. Pandangan Umum ................................................................. 22
2. Istri Sebagai Pencari Nafkah ................................................. 26
C. Penafsiran Istri sebagai Pencari Nafkah
xi
1. Tafsir Klasik .......................................................................... 33
1.1. Tafsir At-Thabȃri .......................................................... 34
1.2. Tafsir Qurtubi ................................................................ 35
2. Tafsir Modern ....................................................................... 37
2.1. Tafsir al-Maraghi .......................................................... 37
2.2. Tafsir al Misbah ............................................................ 39
BAB III. Husein Muhammad : Biografi dan pemikiran
A. Latar Belakang : Keluarga, Pendidikan dan pelatihan ............ 41
B. Karya-karya ............................................................................. 44
C. Pemikiran tentang islam dan Gender ....................................... 46
BAB IV. Husein Muhammad dan Wacana Istri Sebagai Pencari Nafkah .
A. Hakekat Istri ............................................................................ 61
B. Istri sebagai Pencari Nafkah ................................................... 76
C. Relevansi Istri Pencari Nafkah di Indonesia: Prospek dan
Tantangan ............................................................................... 90
BABV. Penutup
A. Kesimpulan .............................................................................. 96
B. Saran-saran .............................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan hidup masyarakat sekarang termasuk kebutuhan hidup keluarga
dianggap lebih tinggi dari kebutuhan di zaman sebelumnya. Kebutuhan hidup keluarga
sekarang sudah banyak peningkatan. Secara alamiah istri sebagai bagian keluarga
dituntut untuk ikut andil meningkatkan beban pemenuhan kebutuhan keluarga dengan
bekerja. Walaupun al-Qur‟an telah mengatur kadar dan ketentuan nafkah yang harus
diberikan suami kepada istri, hal itu belum menjadi titik akhir menyelesaikan problem-
problem ekonomi rumah tangga selanjutnya. Fenomena istri sebagai pencari nafkah
tidak hanya disebabkan kurangnya nafkah yang diberikan suami saja, tetapi bisa juga
karena terdapat faktor lain seperti para istri memiliki kemampuan selain mereproduksi,
istri ditinggal suaminya karena bercerai atau meninggal dunia, terdapat juga suami yang
sakit-sakitan yang akhirnya tidak bisa memberikan nafkah karena keterbatasan
kemampuannya dan lainnya.
Respon terhadap fenomena istri bekerja di ruang publik terdapat pro dan kontra,
sebagian menanggapi negatif karena peran tersebut akan mengganggu peran publik laki-
laki. Sebagian menanggapi positif karena peran istri tersebut memang dibutuhkan. Jika
dilihat dalam berbagai aspek, perempuan selalu digambarkan sebagai makhluk yang
lemah. Kelemahan tersebut diperparah dengan sterotype bahwa perempuan adalah
makhluk yang inferior sedangkan laki-laki makhluk yang kuat dan superior. Karena
perbedaan karakteristik tersebutlah maka laki-laki dianggap memiliki keutamaan yang
2
lebih unggul dari perempuan.1 Laki-laki merupakan agensi yang pantas untuk menjadi
pemimpin keluarga, yang bertugas mencari nafkah. Hal ini bahkan menjadi mitos
bahwa laki-laki yang bekerja di dapur akan mendapatkan rezeki yang susah.2
Perbedaan pendapat terhadap pemahaman laki-laki mahluk paling utama
disampaikan oleh Ibnu „Arabī.3 Seorang pemikir sufistik ini menganggap dalam
kehidupan, perempuan memiliki keutamaan yang lebih banyak dari laki-laki.4 Salah
satunya gagasan „Arabi mengenai tajalli Tuhan. Gagasan tersebut menyatakan
perempuan memiliki kesempurnaan dalam tajalli Tuhan dari pada laki-laki.5
Pada awal sejarah perkembangan Islam, perempuan diinformasikan memiliki
ketangguhan. Seperti Siti Khādijah, salah satu istri nabi yang merupakan pembisnis
besar dan „Aisyah bin Abā Bakar seorang perempuan yang cerdas.6 Namun ketika
melihat perkembangan perempuan selanjutnya atau yang dirasakan sekarang ini banyak
sekali pelabelan negatif seperti perempuan harus di domestik. Dari situlah kita seakan-
akan diperlihatkan pada kemunduran eksistensi perempuan seperti kembali kepada
1 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian al-Qur’an, h. 402-412, v.2.,
Abū Abdullah Ibn Ahmad Ibn Abū Bakr Ibn Farh al Ansārī al Khazrajī al Andalusiy al Qurtubī al
Mufassir, Al Jāmi’ al Ahkam al Qur’ān, Beirut: Dār al Fikr, h. 118-121, v.2, Abū Ja‟far Muhammad bin
Jarir bin Yazid bin Katsīr bin Khālid at-Thabari, Jami’ al-Bayān an Ta’wil ayi al-Qur’ān, 1426 H/ 2005
M, h. 59-62, v. 4. Ahmad Mustafa al-Marāghī, Tafsir al Marāghī, Beirut: Dār al-Kotob al Ilmiyah, V.3,
h.205-206, 2 Husein Muhammad, Islam Agama ramah Perempuan, Yogyakarta: PT LkiS Printing
Cermelang, 2014, h. 311 3 Ibnu „Arabī bernama asli Abu Bakar Muḥammad bin „Ali bin Muhammad bin Ahmad bin
„Abdullah al-Hatimi al-Tha‟i. lahir di Murcia Andalusia, senin 17 Ramadhan 560 H. (lihat: Umdatul
Baroroh, Tarjuman al-Asywāq dan Apresiasi Ibnu „Arabī pada Perempuan, Jurnal Islamic Riview,h.160). 4 Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern: Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri kepada Allah Swt,
Jakarta: Republika, 2014, h.145. 5 Umdatul Baroroh, Tarjuman al-Asywâq dan Apresiasi Ibnu Arabi pada Perempuan, Jurnal
Islamic Review, JIE Volme II No. 3 Desember 2013 M 6 Hasan M. Noer, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: PENAMADANI, 2014, h.33.
3
zaman jahiliyah7. Banyak sekali peran yang seharusnya bisa dilakukan oleh perempuan,
tetapi yang terjadi sebaliknya. Perempuan seakan diisolir dari publik dengan
menciptakan aturan atau norma yang berusaha membatasi perempuan dan hal ini
menjadi pemahaman normatif masyarakat.8
Dalam sejarahnya, al-Qur‟ān lahir di dalam sebuah realitas masyarakat yang telah
menganut sistem kebudayaan patriarki dengan berbagai kompleksitasnya. Asma Barlas
memahami patriaki sebagai sistem sosial dalam masyarakat, laki-laki ditempatkan
sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan
politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.9 Tidak jauh berbeda dengan
Barlas, Nasaruddin Umar dalam bukunya menjelaskan bahwa patriarki merupakan
kebudayaan dimana eksistensi laki-laki lebih banyak mendominasi disetiap lini
kehidupan.10
Sama halnya di Arab yang menganut sistem patriarki, Indonesia juga telah lama
melanggengkan tradisi patriarki. Salah satunya bisa kita lihat dalam undang-undang
mengenai keluarga. Tradisi patriarki ini yang kemudian memunculkan pelabelan laki-
laki dan perempuan dalam peran tetentu. Bahkan menganggap entitas perempuan lebih
rendah dari laki-laki. Padahal perspektif Islam sendiri, manusia merupakan khalifah di
bumi yang mempunyai unsur penciptaan yang sama.11
sehingga tidak ada tingkatan
dalam pelabelan tersebut.
7 Zaman jahiliyah disini dapat diartikan sebagai zaman dimana tidak ada apresiasi baik dari
manusia terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain mengenai hak-haknya, kebebasan,
kesetaraan dan hak otonom lainnya. Lihat: Ijtihad Kyai Husein, h. 205. 8 https://fahmina.or.id/potensi-perempuan/ diakses pada tanggal 25 September 2018.
9Asma Barlas. 2003. The Qur‟an and Hermeneutics: Reading the Qur‟an‟s Opposition to
Patriarchy dalam Journal of Qur’anic Studies, Vol. 3, No. 2 (2001), 10
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,
2001, h. 94. 11
Zaitunah subhan, Tafsir Kebencian, Yogyakarta: LkiS, 1999, h.10
4
Peran-peran gender yang telah lama tersistem dalam kebudayaan manusia antara
laki-laki dan perempuan mengakibatkan keyakinan atau cara pandang masyarakat
terhadap peran tersebut menjadi mapan atau normatif. Padahal, peran dan karakter yang
ada itu memiliki bentuk kerelatifan yang seharusnya masyarakat tidak menghukumi atau
menetapkannya secara mutlak.12
Penguatan atas peran gender yang timpang sedikit banyaknya telah mendapatkan
penguatan atas nama agama. Sebagian ulama menafsirkan ayat tentang peran laki-laki
dan perempuan melalui pemahaman patriarki. Tidak heran jika penafsiran tersebut
menghasilkan sistem norma yang berpihak kepada laki-laki. Kemudian kekeliruan besar
masyarakat terjadi jika penafsiran tersebut diyakini sebagai kebenaran mutlak dan
semua manusia dituntut tunduk pada hasilnya.
Meskipun al-Qur‟ān kitab suci abadi, penafsiran yang ada tidak bisa memutlakan
kebenaran satu tafsir saja. Oleh karena itu banyak sekali kemungkinan kebenaran
penafsiran yang tidak bisa dihindari sebagai suatu yang relatif.13
Dengan demikian, al-
Qur‟ān juga harus diinterpretasi ulang sesuai tuntutan zaman yang dihadapi manusia
dan ditafsirkan dengan nilai struktur sosial yang ada dalam masyarakat agar al-Qur‟ȃn
selalu Shalih li kulli zaman wa makan14
.
Quraish Shihab menyatakan jika memaksakan hasil penafsiran satu generasi untuk
mengikuti semua hasil pemikiran generasi terdahulu, maka hal tersebut akan
12
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, h. 66 13
Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-laki dalam Penafsiran, Yogyakarta:
LkiS, 2013, h.2. 14
Abdul Mustakim, Epistemlogi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta : LkiS Printing Cemerlang,
2010, h.54.
5
mengakibatkan masyarakat dalam kesulitan.15
Dengan banyaknya tuntutan atau problem
hukum yang berbeda pada masanya, maka diperlukan sistem penerapan hukum baru dan
lebih menjangkau penyelesaian masalah yang dihadapi. Karena demikian ini
menunjukan bahwa pandangan kebenaran teks akan sejalan dengan kebudayaan
masyarakat yang dinamis dengan basis keadilan dan kemaslahatan.16
Mengenai peran antara laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri di
Indonesia tersistem dalam Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 34 ayat 1
dan 2 bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan istri juga berkewajiban
untuk mengurus rumah tangga dalam kehidupan sosial, politik dan kemasyarakatan.
Kemudian kepala keluarga disematkan kepada laki-laki sebagai suami.17
Baik dalam
undang-undang tersebut maupun pendapat jumhur ulama mengatakan bahwa kewajiban
nafkah mulai ada ketika adanya ikatan perkawinan.18
Secara tidak sadar hal ini
membatasi ruang gerak antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan pekerjaan
apapun.
Salah satu contoh fenomena terhadap wacana istri sebagai pencari nafkah
masyarakat Indonesia dinarasikan oleh beberapa kelompok masyarakat seperti
masyarakat Surakarta dikalangan pengusaha batik. Peran perempuan sebagai tulang
punggung keluarga mulai dari memproduksi sampai pemasaran. Sedangkan suami
pembantu utama yang tugasnya mengantarkan anak ke sekolah.19
Beberapa acara juga
15
Quraish Shihāb, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Jakarta: MIZAN, 1992, h.93. 16
Musdah mulia, Indahnya Islam Menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender, Yogyakarta:
Nauvan Pustaka2014, ,h.9 17
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm. Di akses pada tanggal 01-07-2018 18
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS, 2001, h.177. 19
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 8.
6
memotret wacana alternatif lain dalam memperlihatkan keaktifan istri sebagai
kontributor utama pencari nafkah keluarga dalam serial TV yang berjudul “Dunia
Terbalik” dan juga serial yang berjudul “The Power of Emak-emak” yang
memperlihatkan bagaimana istri menunjukan keaktifan lebih tinggi dari suami. Dari
narasi-narasi tersebut maka kemutlakan istri berperan hanya dilingkup domestik seakan
bergeser dengan memperlihatkan bahwa aktifitas publik memberikan ruang untuk
perempuan melakukan action sesuai keinginan dan kemampuan mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh organisasi sosial Perempuan Kepala Keluarga
(PEKKA) juga mendokumentasikan bahwa sekitar 6 juta perempuan mendudukan
dirinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan
keluarganya. Sementara berdasarkan indikator dari sosial gender Biro Pusat Statistik
2000 menunjuk bahwa rumah tangga di Indonesia yang dipimpin oleh perempuan
mencapai sekitar 13,4 %.20
Fenomena dan penelitian-penelitian yang ada ini, membuktikan bahwa
perempuan memiliki fungsi dan peran yang sama dengan laki-laki. Bahkan dalam
realitas sekarang di Indonesia sudah banyak dijumpai laki-laki yang menggantungkan
hidupnya kepada istri dalam sektor ekonomi. Namun kebanyakan realitas tersebut
dianggap sebagai peran tambahan saja, walaupun secara kongkrit pencarian nafkah yang
dilakukan istri merupakan income pokok bagi keluarganya.
Oleh karena itu melihat realitas di atas menimbulkan banyak problem yang
menjalar tanpa berujung karena menyangkut soal moral, ekonomi dan pekerjaan.21
Serta
20
https://www.swararahima.com/24/08/2018/waris-laki-laki-dan-perempuan/ di akses pada
tanggal 25 September 2018. 21
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, nila-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institut, 2007, h.380
7
pemahaman istri pencari nafkah dianggap sebagai bentuk ketidaktaatan istri kepada
suami dan tidak sesuai dengan anjuran al-Qur‟ān yang menyatakan bahwa kewajiban
mencari nafkah adalah tugas suami bukan istri.22
Wacana istri sebagai pencari nafkah utama keluarga juga menyebabkan
beberapa persoalan lain muncul seperti bagaimana dasar teologis istri pencari nafkah?
Bagaimana hubungan nilai istri pencari nafkah dengan nilai patriarki yang
mendudukkan suami sebagai pencari nafkah? Sistem kepemimpinan dan menejemen
keluarga istri pencari nafkah, apakah perempuan bisa menjadi pemimpin keluarga?
Apakah tugas mencari nafkah keluarga bisa dijalankan oleh dua peran? Permasalahan
inilah yang menuntut penulis untuk lebih mendalami kajiannya mengenai konsep nafkah
dalam Islam.
Walaupun telah banyak diteliti, penelitian mengenai perempuan tidak stagnan
pada perdebatan di sini saja. Hampir di segala lini kehidupan isu perempuan terus
bergulir sehingga telah ramai dibahas dan diperdebatkan di dunia intenasional.23
Bahkan
konferensi penghapusan segala bentuk pendiskriminasian terhadap perempuan telah
dibentuk pada tahun 1976 dan mulai diberlakukan pada tahun 1979.24
Dari keputusan
tersebut kemudian muncullah gerakan emansipasi kemajuan perempuan dalam
perkembangan sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
Indonesia sendiri memiliki banyak tokoh yang memperjuangkan emansipasi
perempuan salah satunya yaitu Husein Muhammad. Ia menjadi salah satu tokoh feminis
22
Muhammad Nawawi, Tafsir Marah Labid, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, 2000, jus 1, h. 148-149. 23
Murad W. Hofman, tej. Menengok Kembali Islam Kita. Bandung: Pustaka Hidayat, 2002,
h.215. 24
Irfan Abu Bakar dan Chaider S. Bamualim (ed), Tanya Jawab Relasi Islam dan Hak Asasi
Manusia, Ciputat: Center For Study Of Religion and Culture Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014, h.17.
8
yang menjadi tolok ukur dalam perkembangan gender25
di Indonesia. Ia memiliki
kemampuan yang baik dan luas mengenai khazanah literatur keislaman klasik dan
modern dalam argumentasinya mengena gender. Hal tersebut yang bisa
membedakannya dengan tokoh feminis lain. Dengan keahliannya itu, ia berusaha
mendongkrak kemapanan pemahaman mengenai relasi gender yang keliru dan timpang
dalam masyarkat.26
Gagasan dan idenya telah menarik muslim lain untuk merespon,
sehingga melahirkan diskusi yang dinamis baik yang pro maupun kontra.
Berdasarkan pertimbangan di atas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana
Islam mengatur ekonomi keluarga dengan melakukan kajian langsung terhadap wacana
istri sebagai pencari nafkah dalam penafsiran Q.S an-Nisa 4:34 dan Q.S at-Thalaaq
64:6-7 menurut pemahaman Husain Muhammad.
B. Permasalahan Penelitian
1. Identifikasi Permasalahan
Dari uraian yang sudah disebutkan pada latar belakang masalah, ada beberapa
permasalahan yang menarik untuk diteliti diantaranya:
a. Bagaimana dasar teologis istri sebagai pencari nafkah?;
b. Bagaimana hubungan nilai istri pencari nafkah dengan nilai patriarki yang
mendudukan suami sebagai pencari nafkah?;
c. Sistem kepemimpinan dan menejemen keluarga istri pencari nafkah, apakah
perempuan bisa menjadi pemimpin keluarga atau tidak?;
25
Gender adalah suatu kosep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan dilihat dai segi sosial dan budaya. Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan dan Gender
perspektif al-Qur’ān, Jakarta: PARAMADINA, 2001, h.35. 26
https://www.kompasiana.com/moch_aly_taufiq/550bab97813311472bb1e171/husein-
muhammad-satu-satunya-kyai-feminis-indonesia Diakses pada tanggal 25 September 2018.
9
d. Apakah tugas mencari nafkah bisa dilakukan oleh dua orang?.
2. Perumusan Masalah
Penelitian ini menggunakan analisis kontekstual untuk mengetahui bagaimana
ayat-
ayat tentang nafkah dipahami dalam konteks masyarakat yang dinamis dan secara
khusus mengkaitkan pemahaman tersebut terhadap wacana istri sebagai pencari nafkah.
al-Qur‟an sebagai pedoman hidup utama masyarakat diharapkan bisa menyelesaikan
setiap problem yang ada. Untuk itu sebagai pedoman hidup manusia dimana waktu terus
berjalan di dalamnya, maka kajian-kajian terhadap pembaharuan penafsiran harus
dilakukan untuk mendapatkan pesan al-Qur‟an yang sesungguhnya tentang keadilan dan
kemaslahatan bagi semua.
Kajian terhadap bentuk emansipasi perempuan banya merespon kalangan para
feminis untuk mengutarakan pandangannya seperti Aminah Wadud, Asma Barlas, Nasr
Hamid Abu Zaid, Zaitunah Subhan, Husein Muhammad dan lainnya. Dari beberapa
tokoh yang sudah disebutkan, penulis memilih Husein Muhammad sebagai tokoh dalam
penelitian ini karena:
Pertama, memiliki korelasi yang sama terhadap metode kajian penulis dengan
pemahaman Husein Muhammad yaitu metode kontektual. Kedua, Muhammad
merupakan salah satu tokoh feminis di Indonesia yang banyak menjadi tolok ukur
perkembangan gender di Indonesia sehingga penulis merasa perlu untuk menghadirkan
pemahamannya dalam penelitian ini. Ketiga, Muhammad memiliki penawaran yang
perlu diapresiasi terhadap pemahaman ayat yang diduga bias gender, untuk itu perlu
melihat tawaran tersebut dalam penelitian penulis. Keempat, penulis merasa terdapat
10
perbedaan pemikiran Muhammad dengan tokoh gender lainnya salah satunya karena
muhammad tidak saja berargumentasin melalui pemahaman kontemporer tetapi juga
dari pemahaman klasik.
Argumen yang sudah disebutkan tadi, membawa penulis untuk merumuskan
masalah penelitiannya ini yaitu “Bagaimana pemahaman Husein Muhammad terhadap
ayat-ayat nafkah dengan melihat wacana istri sebagai pencari nafkah”.
3. Pembatasan Masalah
Dalam kajian pemahaman terhadap ayat nafkah penulis membatasi analisinya
pada tiga ayat al-Qur‟an dalam dua surat yaitu Q.S an-Nisa 4:34 dan Q.S at-Thalaq 64:
6-7. Ayat yang dipilih penulis ini karena merupakan hasil dari analisis awal terhadap
pencarian kata dasar nafkah keluarga dalam al-Qur‟an dan ketiga ayat tersebut
mengindikasi atau memberikan penekanan yang lebih terhadap konsep nafkah keluarga.
Kemudian kajian ini menghadirkan reinterpretasi ayat nafkah dengan mengaitkannya
terhadap wacana istri sebagai pencari nafkah dalam masyarakat sekarang melalui
pemahaman Husein Muhammad. Oleh karenanya letak persoalan utama penelitian ini
yaitu adakah dasar teologis istri sebagai pencari nafkah dan bagaimana relevansinya
terhadap sistem yang sudah ada dalam al-Qur‟an yang mewajibkan nafkah hanya ada
kepada suami.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Melihat dari berbagai masalah yang sudah disebutkan di atas, maka dapat
dijelaskan tujuan penulis skripsi ini diantaranya yaitu:
11
a) Mendikripsikan bagaimana pandangan Husein Muhammad melihat relasi laki-laki
dan perempuan dalam memenuhi kebutuhan keluarga;
b) Untuk melihat bagaimana Muhammad memandang wacana istri sebagai pencari
nafkah;
c) Untuk mengetahui bagaimana konsep subjek nafkah dalam al-Qur‟an;
d) Untuk memenuhi tugas akhir dalam menyelesaikan strata satu.
2. Manfaat
Sebagai peneliti, penulis mengharapkan tujuan atas tulisannya untuk bisa
bermanfaat semua orang. Adapun manfaat yang diharapkan diantaranya:
a) Dilihat secara akademis
Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk mendalami pemahaman tentang
kemitraan suami dan istri dalam sistem keluarga yang ideal dari segi penghidupan
ekonomi dan agar pembaca lebih mengenal sosok Husein Muhammad baik mengenai
tema khusus yang diangkat peneliti maupun lainnya.
b) Dilihat secara praktis
Secara Praktis skripsi ini bermanfaat bagi pembaca untuk menjadi masukan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan serta dapat menjadi sumber rujukan untuk
penelitian selanjutnya. Juga sebagai sarana aktualisasi untuk mewujudkan keluarga yang
sakinah mawadah dan rahmah.
D. Studi Kepustakaan
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu penulis mengkaji penelitian-
penelitian lain yang telah dilakukan berkaitan objek yang sejenis maupun tema terkait
untuk mendudukan posisi penulis dalam kajian ini.
12
1. “Konsep Nafkah Menurut Hukum Perkawinan Islam” Subaidi, LP. Maarif NU
Kabupaten Jepara terbit di ISTI‟DAL; Jurnal Studi Hukum Islam, Vol, 1, No. 2, Juli-
Desember 2014. Tulisan ini membahas mengenai konsep nafkah dalam hukum
Islam. Penelitian ini berhasil menjelaskan arti nafkah secara lebih umum merupakan
suatu kewajiban tanggung jawab yang muncul karena adanya pernikahan. Dan
kewajiban nafkah dikaitkan sebagai paham asketisme atau suatu bentuk ibadah.
Penelitian ini membantu penulis dalam memahami konsep nafkah secara umum.
Perbedaan penelitian penulis yaitu penulis lebih rinci memahami konsep nafkah
dengan menguraikan pemahaman Muhammad.27
2. “Peran Istri Sebagai Pencari Nafkah Utama Perspektif Tafsir Marah Labid”
Muhammad Bukhari, Fakultas Ushuluddin UIN Raden Intan Lampung, 2017. Skripsi
ini menjelaskan bagaimana peran istri dalam melakukan kegiatan mencari nafkah
menurut pandangan Imam Nawawi dalam kitabnya Marah Labid. Bukhari dalam bab
akhir menyimpulkan bahwa hukum dari istri bekerja untuk vitalitas ekonomi itu
diperbolehkan. Namun dijelaskan bahwa ketika istri bekerja maka banyak
kemadharatannya seperti anak tidak terurus, tanggung jawab di domestik terabaikan
dan lainnya. Maka dari itu pekerjaan istri lebih utama adalah di rumah. Perbedaan
penelitian penulis ada pada kajian tokohnya yaitu Husein Muhammad. Skripsi
Bukhari ini sangat membantu penulis dalam mendiskusikan pemahaman Imam
Nawawi dengan Husein Muhammad.
3. “Kyai Husein Membela Perempuan” Nuruzzaman: Yogyakarta, LkiS, 2005. Buku
ini mengupas bagaimana Muhammad mengembangkan faham feminisme dalam
27
Lihat juga “Nafkah dalam Al-Qur’ān” Skripsi Aji Gema Permana, UIN Sunan Kalijaga
2010,
13
gagasannya mengenai emansipasi perempuan secara global. Kajian ini dalam
kesimpulannya menyatakan bahwa Muhammad bisa dikatakan sebagai tokoh feminis
laki-laki terlihat dari kesadarannya terhadap gender equality. tetapi penelitian penulis
disini melakukan kajian lebih spesifik mengenai konsep nafkah dalam pandangan
Muhammad. Buku ini membantu penulis dalam melakukan kajian atau pemahaman
terhadap gagasan Muhammad dalam gender.
4. “Bagaimana Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Keluarga: Kajian atas Surat
An-Nisā 4:34” Skripsi Masfufah, 2010, UIN Jakarta. Penelitian ini memaparkan
konsep kepemimpinan rumah tangga dengan merujuk kepada penafsir klasik dan
modern serta beberapa tokoh feminis. Sedangkan dalam penelitian penulis
menjelaskan konsep nafkah keluarga melalui pemahaman Muhammad. Skripsi ini
membantu penulis mendalami peran publik perempuan.
5. “Kekerasan terhadap Perempuan Perspektif Hukum Islam (Studi Analitik Pemikiran
K.H Husein Muhammad”. Munib Abadi, UIN Jakarata, 2009. Dalam tulisannya,
Abadi membahas bagaimana kekerasan perempuan dalam pandangan Muhammad.
Tulisan ini menghasilkan pandangan bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak
dibenarkan Islam dan pelegalan terhadap kekerasan sering terjadi akibat adanya
penafsiran yang masih bias. Oleh karena itu pada penelitian ini menganjurkan adanya
reinterpretasi teks. Dalam penelitiannya penulis akan melakukan kajian pemahaman
Muhammad terhadap sistem pencarian nafkah keluarga. Skripsi ini membantu
penulis mengenai peranan Muhammad dan memahami pemaknaan serta bentuk
kekerasan gender tersebut.
14
6. “Hak-hak Perempuan dalam Perkawinan (Studi Komparatif Pemikiran Misbah
Mustofa dan Husein Muhammad” Tesis Ahmad Mun‟im, Fakultas Syari‟ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017. Tesis ini mengunakan metode
komparatif pemahaman Misbah Mustofa dan Husein Muhammad mengenai hak-hak
perempuan dalam perkawinan yang menghasilkan bahwa hak perempuan terbagi ke
dalam dua bagian yaitu hak materi dan non materi. Karena memiliki latar belakang
pemikiran dan internalisasi yang berbeda Mustofa lebih mengarah pada kajian
tradisionalis, sedangkan Muhammad lebih moderat. Penelitian ini membantu penulis
melakukan kajian hak dan peran istri dalam rumah tangga.
7. “Kemandirian dan kekerasan terhadap Perempuan” Puji Astuti terbit di Buletin
Psikologi, tahun x, No. 2, Desember 2002. Tulisan Astuti menjelaskan korelasi
kemandirian dengan kekerasan dalam keluarga dilihat dalam ilmu psikologi.
Tulisannya Memuat hasil bahwa salah satu faktor terciptanya keluarga harmonis
adanya peran aktif dari suami istri dalam menentukan kehidupan makro khususnya
mengenai kemandirian istri disegi ekonomi. Perbedaan penelitian penulis yaitu
kajian kemandirian istri dengan melihat wacana istri sebagai pencari nafkah dengan
pemahaman Husein Muhammad. Tulisan Astuti akan membantu penulis melakukan
diskusi atau penguatan argumen pada bab empat.
8. “Hak nafkah istri” ( perspektif hadis dan komplikasi hukum islam) ditulis oleh
Hairul Hudaya terbit di Jurnal Studi Gender dan Anak vol 1 no 1 Januari-Juni 2013.
Penelitian ini membahas mengenai nafkah seperti penelitian penulis. Namun jurnal
ini hanya memfokuskan nafkah perspektif hadis sedangkan penulis akan
memfokuskan nafkah perspektif al-Qur‟ān pemahaman Husein Muhammad dalam
15
wacana istri sebagai pencari nafkah. Jurnal ini membantu penulis dalam memahami
hak nafkah istri.
9. “Kedudukan Istri sebagai Penopang Nafkah Keluarga dalam Budaya Lokal Suku
Makassae dan Hukum Islam (Studi Kasus Kehidupan Berkeluarga di Desa
Gantarang Kec. Kelara Kab. Jenepontho)”, Taufik Hidayat (Skripsi) UIN Alaudin
Makassar, 2017. Skripsi ini mengunakan penelitian kualitatif dengan metode
lapangan mengenai kedudukan istri sebagai pencari nafkah suku disulawesi.
Penelitian ini menghasilkan bahwa istri memiliki hak untuk berperan sebagai pencari
nafkah dan pekerjaan tersebut diperbolehkan karena memiliki sisi positif bagi
keberlangsungan hidup keluarganya. Perbedaan penelitian ini dengan penulis yaitu
penulis merujuk pemahaman Husein Muhammad. Penelitian ini berguna untuk
memperkaya argumen penulis dalam melakukan diskusi-diskusi pada bab empat.28
10. “Pengaruh Istri Sebagai Pencari Nafkah Utama terhadap Kehidupan Rumah
Tangga dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Dusun Jelopo, Desa
Banjarsari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung), Skprisi, Sri Rahayu,
UIN Sunan Kalijaga, 2014. Skripsi ini menjelaskan mengenai beberapa pengaruh
yang akan ditimbulkan oleh istri yang bekerja sebagai pencari nafkah melihat kasus
di desa Banjarsari. Dalam hasilnya, rahayu mengemukakan bahwa banyak pengaruh
negatif yang akan ditimbulkan istri tersebut dan hal demikian tidak sesuai dengan
hukum Islam yang ada. Perbedaan dengan penulis yaitu penulis menggunakan studi
28
Penelitian yang sama bsa dilihat dala beberapa skripsi lannya seperti: “Peran Istri dala
Memenuhi Nafkah Keluarga (Studi Kasus di Desa Gunung Sugih, dikecamatan Kedondong, Kabupaten
Pesawaran, Provinsi Lampung” (Skripsi) Desi Amalia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. “Nafkah
Keluarga dari Harta Istri (Studi Perbandingan antara Ibn Hazm, Yusuf Qardawi dan Realitas dalam
Masyarakat Gayo), (skripsi) Syaqinah, UIN ar-Raniry, 2017. “Peran Perempuan Sebagai Pencari
Nafkah Utama di Kota Subulussalam (Studi Fenomenologi), (skripsi), Jeroh mIko, UIN Sumatera Utara,
2016.
16
tokoh untuk membangun paradigma istri sebagai pencari nafkah. Manfaat skripsi ini
untuk memperkaya diskusi pada bab IV.29
Sejauh penulis mencari berbagai skripsi maupun jurnal dan sebagainya,
penelitian mengenai peran Muhammad dalam wacana istri bekerja dan wanita karir
sudah banyak di teliti. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lainnya terletak pada
tema yang belum dikaji yaitu istri sebagai pencari nafkah menurut Husein Muhammad
yang dilakukan dengan metode wawancara.
E. Metode Penelitian
Metodologi dalam penelitian sangatlah penting dimana di dalamnya akan
memuat bagaimana penulis sampai kepada tujuan dengan benar serta bagaimana penulis
menjawab semua permasalahan dalam penelitiannya. Sebagai panduan kepenulisan
skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan karya ilmiah yang sesuai
dengan keputusan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta nomor 507 tahun 2018.
Metode penelitian yang digunakan yaitu:
a) Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu: penelitian dengan
mengumpulkan kata atau kalimat dari individu, buku atau sumber lain.30
Penulis
mengutamakan penelitiannya pada pemahaman Husein Muhammad terhadap wacana
istri sebagai pencari nafkah pada. Dengan kata lain penelitian ini menggunakan metode
29
Penelitian mengenai peran istri sebagai pencari nafkah dengan hasil yang sama juga
ditunjukan oleh penelitian dengan judul “Pertukaran Peran Pencari Nafkah Utama dalam Keluarga (Stdi
Kasus di desa Lengkong, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo), Farichatul Machruroh, 2018 dan “
Peran Istri yang Bekerja sebagai Pencari Nafkah Utama di dalam Keluarga (Studi Desa Jabung Lapung
Timur), Agus Supriyadi, Universitas Lampunga, 2016. 30
Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, Jaarta: Raja Granfindo Persada, 2010, h.19.
17
Maudu‟i pada kata Nafkah dalam al-Qur‟an dengan mencari derivasinya, kemudian
secara spesifik mengambil dari derivasi tersebut yang sesuai dengan nafkah keluarga
dan kemudian dilakukan kajian yang lebih mendalam lagi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan tafsir sosial dalam mengkaji ayat tentang
nafkah. Jadi penulis akan meneliti perempuan sebagai pencari nafkah dalam keluarga
yang terpusat pada satu tokoh utama yaitu Husein Muhammad dengan mencari latar
belakang dan strukur fundamentalis dari pemikirannya pengenai penelitian penulis.31
b) Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini didapat dari opini, pendapat, pemikiran dan persepsi
Husein Muhammad tentang wacana istri sebagai pencari nafkah. Untuk mendapatkan
informasi tentang itu sumber utamanya adalah tulisan-tulisan Muhammad yang
berkaitan dengan tema kajian dan pemahamannya yang digali dengan wawancara. Inilah
yang disebut data primer. Sedangkan data skunder didapat melalui tulisan orang lain
selain Muhammad yang membicarakan atau mendiskusikan pemikiran Muhammad
mengenai wacana istri pencari nafkah melalui buku, artikel, jurnal dan lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini.
c) Teknik Pengumpulan Data
1. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan salah satu proses kajian penelitian untuk melihat dan
menganalisis pernyataan atau data seseorang atau kelompok. Studi dokumen ini
31
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, 2015, Yogyakarta: CV. Idea
Sejahtera, h. 53.
18
dilakukkan dengan melihat hasil data dari para peneliti yang sudah ada untuk melihat
gejala perubahan sosial di masyarkat mengenai penelitian penulis.32
2. Wawancara
Wawancara adalah sebuah proses interaksi atau komunikasi yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih atas dasar ketersediaan. Dimana arah pembicaraan mengacu pada
tujuan yang ditetapkan dengan mengedepankan kebenaran.33
Jenis wawancara yang
digunakan adalah wawancara semi terstruktur dan mengandalkan guideline wawancara
sebagai penggalian data. Peralatan yang digunakan dalam wawancara diantaranya
pensil, buku catatan, surat ijin penelitian dan alat perekam. Wawancara dilakukan di
Intitut Studi Islam fahmina (ISIF) Cirebon Jawa Barat.
d) Metode Deskriptif Analitik
Beberapa data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode deskriptif
analitik yaitu mendeskripsikan keseluruhan data yang sudah ada.34
Langkahnya:
Pertama, mereduksi yaitu kegiatan merangkum atau memilih data-data penting
sehingga dapat memberikan gambaran secara spesifik dalam menentukan permasalahan
penelitian. Penulis memilih tema umum tentang istri pencari nafkah.
Kedua, Penyajian data. Kegiatan ini dilakukan setelah mereduksi data.
Selanjutnya data yang sudah direduksi disajikan dengan uraian deskripsi panjang dan
pada akhir penjelasannya beberapa akan disajikan dengan diagram yang akan
mempermudah dalam memahami penjelasan deskriptif di atasnya.
32
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Posdakarya, h.216-217. 33
Wawancara, Observasi dan Focus Groups sebagain Intrumen Penggalian data Kualitatif,
h.31. 34
Sugiyono, Metode Penelitian Kauntitatif, Kualitatif dan R&D, bandung: Alfabeta, 2017, 245
19
Ketiga, penarikan kesimpulan, kegiatan ini merupakan kegiatan terakhir yang
dilakukan dalam penelitian. Setelah melakukan dua kegiatan di atas maka harus
dilakukan kesimpulan sebagai gambaran umum atas hasil penelitian tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Susunan penulisan ini akan dibagi dalam beberapa bab yang akan memudahkan
dalam memahami isi tulisan dengan lebih spesifik dan signifikansi diantaanya:
Bab 1, pada bab ini penulis menguraikan bagaimana latar belakang masalah
yang akan di teliti. Kemudian melakukan konsep penelitian mulai dari metodelogi,
analisis data, rumusan masalah, tujuan dan manfaat serta kajian keputakaan untuk
melihat apa saja perbedaan yang penulis tulis dengan karya-karya tulis sebelumnya.
Bab II, berisikan gambaran umum tentang nafkah. Pada bab ini penulis
memaparkan pengertian, bentuk, subjek nafkah dan menyebutkan beberapa ayat yang
berkenaan dengan nafkah serta menyebutkan berbagai persoalan yang ada di dalamnya.
Penulis juga menguraikan beberapa penjelasan ayat nafkah tersebut dengan
memaparkan beberapa pandangan mufasir klasik dan modern.
Bab III, bab ini secara khusus menuliskan berbagai latar belakang kehidupan
Husein Muhammad mulai dari keluarga, pendidikan, pelatihan, penghargaan sampai
kepada karya-karya yang sudah ia diterbitkan. Selain itu, penulis juga menguraikan
beberapa gagasan Muhammad yang secara khusus juga ditulis pada bab ini di point
terakhir yaitu mengenai pandangannya terhadap pemikiran Islam dan gender.
Bab IV, pada bab ini penulis akan menguraikan berbagai hasil temuan dari
penelitian yang sudah penulis lakukan. Dalam penguatan penelitian ini, penulis juga
20
mendiskusikan temuan-temuan yang ada dengan agumen-argumen dari pandangan lain
baik pemikiran seseorang ataupun hasil kajian riset dan lainnya baik yang pro maupun
yang kontra dengan hasil penelitian penulis.
Bab V, pada bab akhir ini penulis akan merumuskan jawaban atas rumusan
masalah yang sudah ditulis pada bab pertama. Penulis juga memberikan beberapa
rekomendasi dan pesan kepada peneliti selanjutnya jika akan melakuakan penelitian
dengan tema yang sama.
21
BAB II
Nafkah dan al-Qur’ȃn: Pengertian Umum dan Tafsir
Pada bab ini penulis akan menjabarkan beberapa pokok penjelasan mengenai
konsep nafkah secara umum baik dalam bentuk, macam dan aturan-aturan. penulis juga
menghadirkan penafsiran-penafsiran baik penafsir klasik maupun modern terhadap
term nafkah dalam al-Qur‟an.
A. Pengertian Nafkah
1. Etimologi
Secara bahasa nafkah berasal dari bahasa arab نفق tersusun dari tiga huruf ف,ن
dan ق . Nafaqa disini secara literal berarti keluar.1 Kamus Munawwir, kata nafaqa
diartikan biaya, belanja, pengeluaran uang.2 Kamus al-Maurid Nafaqa berati
mengeluarkan,3 Kamus Kontemporer al „Ashri nafaqa berarti sesuatu yang habis.
4
Habis disini karena adanya perpindahan dari satu tempat ketempat lain, yang tadinya
ada menjadi tiada. Syaikh Muhammad al Ghozali mengjelaskan bahwa habis disini
yaitu pemberian harta yang dikonsumsi dan akan habis.5 Dan juga bisa diartikan
terowongan yang dimaksudkan bahwa ada sesuatu yang keluar dan masuk.6
Nafkah dalam pengertian KBBI diartikan belanja hidup, (uang) pendapatan
suami yang wajib untuk istri.7 Kamus Umum, nafkah diartikan biaya hidup sehari-hari
yang diberikan suami kepada istri untuk keperluan rumah tangga.8 dan kamus kata-kata
1 Abī Huseīn Ahmad fāris ibn Zakariyyā, Mu’jam Maqāyis al Lughah, 1399 M/ 1979H, h.454-
455 2 Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir, 1984, Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, h.
1549. 3 Rohi Ba‟albaqī, Al Maurid, Beirut: Dar el-Ilm Lilmalāyin, h.1185.
4 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Al-‘Ashri, Jakarta: Multi Karya Grafika , 2003, h. 1939.
5 Syekh Muhammad Al Ghozali, terj Qhadāyā al Mar’ah bayna al Taqālīd al Rakīdah wa al
wāfidah, 2001, Bandung: Mizan, h.148. 66
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kaus Kontempore Arab-Indonesia, 1996, Yogyakarta: yayasan
Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, h. 1934 7 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, h.
947.
22
Asing Serapan, nafkah diartikan sebagai rezeki, untuk belanja keperluan hidup.9 Jadi
dapat disimpulkan kata nafkah memiliki makna dasar yaitu keluar.
2. Terminologi
Para ahli fiqih memberikan pengertian nafkah sebagai biaya wajib yang
dikeluarkan laki-laki untuk tanggungannya meliputi biaya kebutuhan sandang, pangan,
papan dan lainnya.10
Sedangkan Jumhur Ulama sepakat bahwa nafkah adalah belanjaan
yang mencangkup sembilan kebutuhan bahan pokok sandang, papan, dan pangan.
Menurut Syaikh Hasan Ayyub makna nafkah diartikan sebagai kebutuhan dan
keperluan yang disesuaikan kepada tempat dan keadaan.11
Wahbah al Zuhaili12
menjelasan nafkah yaitu mencukupi kebutuhan seseorang yang menjadi tanggunganya
berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.13
Adanya nafkah muncul ketika terdapat
hubungan akad pernikahan.14
Ada juga yang mendefinisikan nafkah sebagai kewajiban
seseorang yang timbul dari perbuatannya sendiri yang mengandung beban
tanggungjawab berupa pengeluaran biaya kebutuhan hidup.15
Abdul Muchit Musadi
menjelaskan nafkah adalah konsekuensi atas adanya pernikahan yang menjadikan
suami mendapatkan beban tanggungjawab nafkah selama masih ada ikatan
pernikahan.16
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberian nafkah secara filosofis diakibatkan
karena adanya hubungan kemudian ada penanggung dan yang ditanggung serta
dikaitkan dengan adanya suatu akad atau hubungan pernikahan dan konsekuensi disini
timbulah kewajiban suami kepada istri dan keluarganya untuk menafkahi.
8 Zainul Bahri, Kamus Umum (Khusus Bidang Hukum dan Politik), Bandung: Penerbit Angkasa,
1996, h.183. 9 J.S. Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2003, h.238. 10
Al-Jazirī, al Fiqh ‘Ala’ al Madzhāhib al Arba’ah, Beirut: Dār al Fikr, 1996, h.260 11
Hasbi Indra, Potret Wanita Sholehah, Jakarta: PENAMADANI, 2005, h. 184 12
Nama lengkapnya Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili. Ia seorang tokoh dalam bidang tafsir dan
bidang fiqh. 13
Wahbah Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adilatuhu, Suriah: Dār al Fikr, 2002, v. 10, h. 7348. 14
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2007,
h.166. 15
Ahmad Rajafi, Reinterpretasi Makna Nafkah dalam Bingkai Islam Nusantara, Jurnal Al-
Ihkam v. 13 no.1 Juni 2018, h.104 16
Abdul Muchith Muzadi, Fikih Perempuan Praktis, 2005, Surabaya: Khalista, h.78
23
B. Nafkah dalam al-Qur’ān
1. Pandangan Umum
Kata نفق dan derivasinya dalam al-Qur‟ān diulang sebanyak 121 kali.17
Salah
satu penelitian mengenai makna nafkah dalam al-Qur‟ān menyebutkan nafkah yaitu
pengeluaran sebagian harta yang dimiliki sebagai ibadah sosial yang tidak terlepas
dengan perinsip keimanan.18
Beberapa pengertian umum nafkah:
a) Bentuk
Menurut pengertian yang familiar di masyarakat, nafkah terbagi ke dalam dua
bentuk yaitu nafkah lahir (materi) dan nafkah batin (non materi).19
Nafkah batin
meliputi sikap dan sifat yang ditunjukan oleh suami kepada istri,20
seperti
suami memperlakukan istri dengan baik, menjaga kesucian istri dan lainnya.21
Mengenai nafkah lahir, banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama ahli fiqh.
Al-Qur‟an dan sunnah menyebutkan beberapa bentuk nafkah yang harus diberika yaitu
berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal. Selain ketiga bentuk tadi, pemberian
nafkah menggunakan uang juga sah sebagai nafkah22
dengan tujuan agar istri bisa
membelanjakannya sesuai keperluannya sendiri dan keluarga.
Yusuf Qardawi23
menyatakan nafkah bisa berupa pembiayaan pendidikan anak.24
Mengenai obat-obatan, sebagian ulama menyatakan bahwa obat-obatan bukan dari
bentuk nafkah. ada juga yang menyatakan nafkah, mereka berargumen bahwa obat
17
Muhammad Fuād „Abdul al bāqiy, al Mu’jam al Mufahras, Bandung: Diponegoro, h. 886-887. 18
Aji Gema Permana, Nafkah dalam Al-Qur’ān (skripsi), Yogyakarta: UINSUKA, 2016. 19
Mohammad Taufik Hulaimi (edt), Fiqh Sunnah, Jakarta: Al-I‟tshom Cahaya Umat, 2010, v.2,
h.340-362. 20
Ahmad Saikhu (edt), Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z (terj), Bogor: Pustaka Ibnu
Katsȋr, h.341-342. 21
Slamet Abidin, Fiqh Munakahat I, Bandung: Pustaka Setia, 1999, h.171. 22
Dari Abu Hurairah R.A, Rasulallah bersabda:
ا ه م ع ظ , أ ك ل ى ى أ ل ع و ت ق ف ن أ ار ن ي د , و ي ك س ى م ل ع و ب ت ق د ص ت ار ن ي د , و ة ب ق ر ف و ت ق ف ن أ ار ين د , و للا ل ي ب س ف و ت ق ف ن أ ار ن ي د ك ل ى ى أ ل ع و ت ق ف ن أ ي ذ ا, ال ر ج أ
“Dinar yang engkau nafkahkan dijalan Allah, dinar yang engkau nafkahkan untuk
membebaskan budak, dinar yang engka shadaqahkan untuk orang-orang miskin,
dinar yang engka nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalannya
adalah yang engka nafkahkan untuk keluargamu” kitab Shahih Muslim, bab zakāh,
no 995. 23
Yusuf Al Qardawi adalah Ulama mesir yang lahir pada tanggal 9 September 1926 di desa
Shaft Thurab.(lihat Yusuf Qardawi, Fatwa Al-Qardawi (tej), Surabaya: Risalah Gusti, 1996, h.399) 24
Yusuf Qardawi, Panduan Fiqih Perempuan, Jogjakarta: Salma Pustaka, 2004, h.154
24
berfungsi menjaga keberlangsungan hidup istri sehingga masuk dalam bentuk
nafkah.25
Menurut Sayyid Sabiq, Q.S al Baqarah 233 menunjukan pemberian nafkah
dalam bentuk umum. Sehingga obat-obatan dan lainnya yang menyangkut kebutuhan
hidup termasuk keumuman tersebut.26
b) Subjek
Al-Qur‟an sebagai dalil utama dalam aturan kehidupan muslim, menjelaskan
bahwa kewajiban memberikan nafkah ada di pundak suami tertulis dalam beberapa
ayat al-qur‟ān salah satunya yaitu Q.S al-Baqarah 2:233 yang berbunyi:
تكلف ن فس إل وسعهاوعلى المولود لوۥ رزق هن وكسوت هن بلمعروف ل
“dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf,
seseorang tidak dbebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”
Dalil sunah juga menunjukan demikian. Salah satunya khutbah yang
disampaikan rosul ketika haji Wada‟. Nabi bersabda:
“Takutklah kepada Allah dalam memperlakukan wanita, sesungguhnya kalian
mempersunting mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan kemaluan mereka
dengan kalimat Allah. Hak kalian yang harus mereka tunaikan adalah tidak mengizinkan
masuk kerumah kalian seseorang yang kalian tidak sukai. Jika itu mereka lakukan maka
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Sedangkan hak mereka yang harus
kalian tunaikan adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan ma‟ruf.” (HR
Muslim).27
kewajiban pemberian nafkah suami juga disebabkan oleh beberapa pemahaman
umum masyarakat seperti suami adalah pemimpin rumah tangga.28
Serta didukung juga
dengan perbedaan fisik laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki dianggap sebagai
entitas yang lebih kuat dari pada perempuan sehingga beban pencari nafkah ini
25
Mohammad Taufik Hulaimi (edt), Fiqh Sunnah, v.2, h.348. 26
Mohammad Taufik Hulaimi (edt) Fiqh Sunnah, v.2, h.348. 27
Syaikh Mahmud al Mashri, Perkawinan Idaman (terj), Jakarta: Qisti Press, 2010,h.122. 28
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian al-Qur’an, Abū Abdullah Ibn
Ahmad Ibn Abū Bakr Ibn Farh al Ansārī al Khazrajī al Andalusiy al Qurtubī al Mufassir, Al Jāmi’ al
Ahkam al Qur’ān, Beirut: Dār al Fikr, h. 118-121, v.2, Abū Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsīr bin Khālid al-Thabari, Jami’ al-Bayān an Ta’wil ayi al-Qur’ān, 1426 H/ 2005 M, h. 59-62, v. 4.
Ahmad Mustafa al-Marāghī, Tafsir al Marāghī, Beirut: Dār al-Kotob al Ilmiyah, V.3, h.205-206,
25
diwajibkan kepada suami.29
c) Aturan
Pembahasan mengenai aturan nafkah dan permasalahannya telah dibahas para
ulama dalam kajiannya baik dalam al-Qur‟ān, sunnah, ijma‟ dan lainnya. Diantaranya:
Terdapat beberapa permasalahan mengenai nafkah istri yang kaya. Apakah kadar
nafkah ditentukan oleh keduanya apa hanya salah satu dari keduanya?. Di Mesir
Undang undang no 25 tahun 1929 menyatakan bahwa kadar nafkah diukur oleh
kemampuan suami30
bukan keadaan kemampuan sang istri.31
Menurut syara‟ nafkah tidak dapat ditentukan oleh batasan-batasan tetapi nafkah
adalah kewajiban suami kepada istri, kemudian dalam pemberiannya disesuaikan
dengan kesanggupan suami bukan istri. Pemberian nafkah juga ditentukan menurut
adat yang berlaku di tempat dan waktu tertentu.32
Jika dalam al-Qur‟ān sudah disebutkan kadar pemberian nafkah yaitu
semampunya. Namun, terdapat ikhtilaf kadar nafkah dikalangan para fuqaha. Imam
Syafii33
menyatakan Jika orang kaya maka dua mud34
, jika orang biasa maka satu
setengah mud dan jika miskin maka satu mud. Sedangkan Abu Hanifah35
menyatakan
tujuh sampai delapan dirham bagi yang kaya dan empat sampai lima dirham bagi yang
miskin. Kedua fuqaha menjelaskan besaran nafkah hanya nafkah berupa makanan.
29
Al-Alūsi al-Bagdadi, Rūh al-Ma’ānī fi Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm Wa al-Sab’i al Matsānī,
Beirut: Dār al-Ihya wa al Mirās al-„Arabi,h.23, Ar-Razi, Tafsir al-Kabir, Teheran:Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, v.10, h.88. 30
Q.S Al-Baqarah 2:236 “Ambillah yang bisa mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik” (lihat: M Hamidy,
Nailul Athor (terj), Himpunan Hadis-hadis Hukum, Surabaya: T. Bina Ilmu, h. 2466) 31
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab (terj), Jakarta: Lentera, h.423. 32
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, cet-27, h. 421. 33
Imam Syafii Lahir di Gaza, Palestina pada Tahun 150 H/ 767 M. Syafii salah satu ulama
Mujtahid dibidang fiqih yang menghantarkannya sebagai salah satu dari empat Madzhab yang terkenal
dalam Islam. Ia wafat di Mesir pada tahun 204 H/ 819 M. 34
1 Mud sama dengan o,6 Kg atau ¾ Liter. (lihat: http://www.nu.or.id/post/read/ 14065/fidyah-
tebusan-bagi-yang-tak-dapat-berpuasa, diakses tanggal 22 sepetember 2018. Lihat juga Muhammad
Thalib, Menejemen keluarga Sakinah, Jogjakarta: Pro-U, 2007, h.160. 35
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu Hanifah al-Nu‟mam bin Tsabit ibn Zutha al Taimy.
Berasal dari Persia lahir d Kuffah pada tahun 80 H/ 699 M dan wafat di Bagdad 150 M/ 767 M (lihat: M
Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996, h.184). karya-karya belia
diantaranya: Al Faraid, Asy Yurut, al Fiqh al Akbar.
26
Jika selain itu, maka kadar disesuaikan kebutuhan.36
Mengenai waktu pemberian
nafkah, tidak ada perdebatan. Karena disesuaikan dengan kesepatan dan kebutuhan.
Penyebab gugurnya nafkah diantaranya: Istri Murtad, Istri nusyuz (permanen),
istri belum menyerahkan dirinya secara penuh kepada suaminya contohnya istri yang
menikah dalam waktu masih belum baligh dan belum bisa berhubungan badan.
Adapun syarat istri yang berhak menerima nafkah yaitu adanya akad nikah yang sah,
istri menyerahkan diri kepada suami, Suami dan istri sama-sama dapat menikmati
berhubungan.37
Jika permasalahan gugurnya nafkah ada pada suami maka istri masih
berhak untuk menerima nafkah. tetapi jika permasalahan tersebut ada pada istri, maka
kewajiban nafkah padanya telah gugur.
Jika suami mempunyai sifat bakhil dan istri merasa nafkah yang diberikan itu
kurang, maka perempuan diperbolehkan mengamil haknya secara diam-diam.
Demikian ini dinyatakan dalam sebuah hadis yang berbunyi:
و ي ل ع ى للا ل ص للا ل و س ر ىل ع ان ي ف س ب أ ة ا ر م ا -و ب ت ع نت ب د ن ى ت ل خ : د و ن ع للا ى ض ر ة ش ي ا ئ ع ن ع
ل , ا ن ب ي ف ك ي و ن ي ف ك ا ي م ة ق ف الن ن م ن ي ط ع ي ل ح ي ح ش ل رج ان ي ف س ب ا ن ا للا ل و س ر ي ت ال ق م:ف ل س و
ف و ر ع م ل ب و ال م ن م ي ذ : خ ال ق ؟ ف اح ن ج ن م ك ل ذ ف ى ل ع ل ه , ف و م ل ع ي غ ب و ال م ن م ئذ ح ا ا م
)متفق عليو( ك ي ن ب ب ك ن ي ف ك اي م
Dari „Aisyah ra, ia berkata: Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan menemui
Rasulallah. Seraya berkata, wahai Rasulallah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah
lak-laki yang pelit, tidak memberikan nafkah kepadaku dengan nafkha yang
mencukupi untukku dan anakku kecuali dari apa yang aku ambil dari hartanya
tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena hal itu: Rasulallah saw
menjawab: ambillah dari hartanya dengan cara yang ma‟ruf apa yang cukup
buatmu dan anakmu, (muttafak alaih).38
36
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita (terj), Jakarta: Pustaka Kautsar, 2007,
h.452 37
Fiqh Sunnah, v.2, h.342-343 38
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram dan dalil-dalil hukum (terj), Jakarta: Gema Insani,
2013, h.504.
27
2. Istri Sebagai Pencari Nafkah
Ayat-ayat al-Qur‟ān mengenai nafkah sebagai tugas laki-laki atau perempuan
selalu menjadi dogma/pengukuhan baik dalam ranah domestik maupun publik. Hal
tersebut sering kali menjadi acuan bagi para feminis maupun kalangan tradisionalis
dalam mengukuhkan pandangan-pandangan mereka, dan terkadang menjadi
perdebatan dalam kajian intelektual antara sesama cendikiawan muslim.
Secara filosofi mengenai pembagian peran khususnya pencari nafkah keluarga
telah dibebankan hanya kepada laki-laki seperti yang sudah disebutkan pada sub-bab
sebelumnya. Bahkan sebelum al-Qur‟an turunpun, pembagian peran antara laki-laki
dan perempuan dalam rumah tangga telah ada dan sudah lama mengikuti paham
patriarki. Sehingga tradisi peran tersebut menjadi kebenaran mutlak bagi masyarakat
pada umumnya.
Beberapa ayat al-Qur‟ān yang berkaitan dengan nafkah keluarga diantaranya
ayat-ayat yang tersurat peneliti temukan ditiga ayat al-Qur‟ān39
. Kemudian secara
tersirat penulis menemukan dua ayat yang secara tidak langsung penulis kaitkan
dengan kandungan arti dari nafkah40
ayat tersebut yaitu:
2.1.Q.S al-Baqarah 2:233
ت ي رضعن أول دىن حولي كاملي لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود لد لوۥ رزق هن وكسوت هن بلمعروف والو
لك فإن أرال تكلف ن فس إل وسع بولدىا ول مولود لوۥ بولدهۦ وعلى الوارث مثل ذ لدة دا فصال ها ل تضآر و
هما وتشاور فل جناح عليهما وإن أردتم أن تست رضعوا أول دكم فل جناح عليكم إذا سلمتم مآ عن ت راض من
تم بلمعروف وات قوا للا واعلموا أن للا با ت عملون بصي : ٣٢٢البقره ءات ي
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan,
maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
39
Q.S an-Nisā 4:34, Q.S at-Thalāq 64: 6 dan 7. 40
Q.S an-Nisā 4:3 dan Q.S al-Baqarah 2:233.
28
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.”41
Munasabah Ayat
Ayat sebelumnya menjelaskan hukum talak. Pada ayat ini menerangkan
bagaimana hukum persusuan anak dan bagaimana cara seorang ayah dan ibu merawat
dan memelihara bayi mereka setelah tidak lagi menjadi suami istri. Ayat ini
menyebutkan bentuk nafkah yaitu pemberian sandang, pangan dan papan.42
Menurut hemat penulis, ayat ini walaupun secara leterlak tidak disebutkan
dengan lafad نفق dan derivasinya, namun secara artinya disebutkan “kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf” dari sinilah
terlihat munasabah dari ayat ini dengan nafkah.
Penafsiran umum
Orang tua diwajibkan memelihara anak mereka, ibu diharuskan menyusui
sampai umur dua tahun, dan bapak berkewajiban memberi nafkah. Namun, jika istri
tidak bersedia menyusui anaknya maka boleh mengambil perempuan lain untuk
menyusui anaknya dengan syarat harus memberikan imbalan yang pantas.43
Kata kunci : الرضاعة
2.2. Q.S an-Nisā 4:3
فإن خفتم أل ت عدلوا وإن خفتم أل ت قسطوا ف الي ت مى فانكحوا ما طاب لكم من النسآء مث ن وث ل ث ورب ع
لك أدن أل ت عولوا :ف و حدة أو ٢النساء ما ملكت أي نكم ذ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.44
41
Diambil dari terjemahan Depag RI, Al-Qur‟an Qordoba, 2016, Bandung: Cordoba, h.37 42
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2008, h.344, v.1 43
Al-Qur’an dan Tafsirnya, h.345, v.1 44
Diambil dari terjemahan Depag RI, h. 77
29
Munasabah Ayat
Ayat sebelumnya menjelaskan mengenai menjaga amanat seseorang untuk
menjaga anak yatim dan hartanya. Dalam ayat ini Allah menerangkan seandainya
seseorang yang dititipi amanah tersebut ingin menikahi anak yatim itu, sedangkan ia
tidak bisa menahan diri untuk menguasai harta anak yatim tersebut dan tidak bisa
adil.45
Dalam ayat ini menurut hemat penulis secara tidak langsung berkaitan dengan
nafkah yang di tandai dengan kalimat “ jika kalian takut tidak bisa berbuat adil”,
ketidakadilan disini bisa dikatakan sebagai pemenuhan nafkah untuk.
Penafsiran umum
Allah memperbolehkan laki-laki beristri empat perempuan dengan syarat harus
adil terhadapnya. Disini keadilan suami ditunjukan dengan kewajiban dalam
memberikan mahar dan nafkah terhadap istrinya menurut yang sudah disepakati.46
Asbabun Nuzul
Imam al Bukhori dan dari Abu Humad dari Ibnu Mubarak dari Ma‟mar dari az
Zuhri dari Urwah dari Aisyah ia berkata bahwa “wahai sepupuku wanita itu adalah
perempuan yatim yang diasuh oleh walinya yang kemudian dinikahkan tapi tidak atas
dasar keridawaannya untuk menikahinya tetapi atas dasar ingin suka terhadap harta dan
kecantikannya. Kemudian dalam kehidupannya perempuan yatim tersebut tidak di
perlakukan dengan baik sebagaimana mestinya”.47
Kata kunci : أل ت قسطوا
2.3. Q.S An-Nisā 4:34
ات قانتات حافات الرجال ق وامون على النساء با فضل الل ب عضهم على ب عض وبا أن فقوا من أموالم فالصا
وىن واىجر ت تافون نشوزىن فع والل أطعنكم فل ت ب غوا وىن ف المضاجع واضربوىن فإن للغيب با حفظ الل
الل كان عليا كبي عليهن سبيل إن
45
Al-Qur’ān dan Tafsirnya, h. 115, v.2 46
Al-Qur’ān dan Tafsirnya, h. 124, v.2 47
Abū Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsīr bin Khālid al-Thabari, Jami’ al-Bayān
an Ta’wil ayi al-Qur’ān, 1426 H/ 2005 M, h. 573-581, v.3.
30
“Kaum laki-laki adalah pemimpin baik kaum perempuan, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
perempuan yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-
perempuan yang kau khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menantimu,
maka janganlah kau mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar”.48
Asbabun Nuzul:
Di riwayatkan oleh Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan al Basri bahwa
seorang perempuan mengadukan apa yang terjadi kepada Nabi SAW karena telah
ditampar oleh suaminya. Rasulallah SAW bersabda “Dia mesti diqishas (dibalas)”.
Maka turunlah ayat tersebut sebagai bentuk tuntutan suami mendidik istrinya.49
Ibnu
jarir juga meriwayatkan dari Hasan al Basri melalui jalur lain bahwa bahwa lelaki
Ansar telah menampar istinya dan kemudian istrinya mengadukannya kepada
Rasulallah untuk meminta qishash.50
Munasabah Ayat
Ayat ini menerangkan beberapa alasan terhadap kelebihan laki laki atas
perempuan dimana satunya adalah telah memberikan nafkah kepada istri dan juga
menjelaskan bagaimana cara untuk menyelesaikan problem dalam rumah tangga.51
Penafsiran Umum
Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah dan
bertanggung jawab penuh kepada kaum perempuan yang telah menjadi istri dan
keluarganya.52
48
Diambil dari terjemahan Depag RI. 49
H.A.a. Dahlan dan M. Zaka Al-Farizi (ed), Asbābun Nuzūl, Bandung : CV penerbit
Diponegoro, 2000, h.137. 50
Jalaluddin As-Suyuthi, Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat al-Qur’ān (terj), Abdul Hayyie
(ed), Depok: Gema Insani, h. 162 51
Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h.162, v.2 52
Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h.164, v.2
31
Kata kunci : ق وامون
2.4. Q.S at-Thalāq 65:6-7
أسكنوىن من حيث سكنتم من وجدكم ول تضآرموىن لتضيقوا عليهن وإن كن أول ت ح ل فننفقوا عليهن ح
نكم بعروف وإن ت عاسرت فست رضع لوۥ أخرى لينفق يضعن حلهن فإن أرضعن لكم ف اتوىن أجورىن وأتروا ب ي
ها سيجعل الل و ذو سعة من سعتوۦ ومن قدر عليو رزقوۥ ف لينفق مآ ءاتى و الل و ل يكلف الل و ن فسا إل مآ ءاتى
ب عد عسر يسرا
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Hendaklah orang yang mempunyai keluasaan untuk memberi nafkah menurut
kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan
(sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan setelah kesempitan.53
Munasabah ayat
Pada ayat sebelumnya Allah telah menjelaskan mengenai ketentuan beriddah.
Kemudian pada ayat ini Allah menjelaskan kewajiban pemberian nafkah dan tempat
tinggal yang layak bagi perempuan yang berada dalam masa iddah.54
Penafsiran umum
Laki-laki harus memberikan nafkah kepada istrinya yang ditalak dalam keadaan
hamil sampai ia melahirkan dan jika ia menyusui anaknya maka harus diberi upah.
Kadar memberikan nafkah yatu sesuai dengan kemampuan suami.55
53
Diambil dari terjemahan Depag RI, h.559 54
Al-Qur’ān dan Tafsirnya, h, 189, v.10
32
Asbabun nuzul
Hadis yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dari Fatimah bin Qais
mengatakan: Aku menemui Rasulallah bersama saudara suamiku, lalu aku berkata:
“Sesungguhnya suamiku telah menceraikanku dan orang ini mengaku bahwa aku tidak
berhak menerima tempat tinggal dan tidak pula nafkah. Nabi bersabda, yang benar
engkau berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah. hal ini jika sang suami dapat
merujuk istrinya kembali. Redaksi mengenai Fatimah bin Qais yang lain menunjukan
bahwa ia bercerita kepada Rasulallah mengenai suaminya yang meceraikannya pada
masa Rasulallah. Fatimah juga menceritakan keadaannya yang merasa kurang atas
nafkah dari suaminya. Kemudian Nabi mengatakan bahwa “engkau tidak berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.56
Kata kunci : وجدكم
C. Penafsiran Istri sebagai Pencari Nafkah
Perkembangan penafsiran dalam rentang waktu yang panjang banyak
mengalami kemajuan, baik dalam metode maupun corak penafsiran. Dengan demikian
para mufassir dapat menghadirkan al-Qur‟ān yang bisa menjawab problem masyarakat
sekarang, sebagaimana yang dikatakan Syahrur57
bahwa al-Qur‟ān harus ditafsirkan
sesuai tuntutan kontemporer yang dihadapi manusia.58
Kemudian dari perkembangan
ini terlahir manhaj tafsir yang bermacam-macam.
Quraish Shihāb menyebutkan manhaj tafsir dengan 2 Periode59
yaitu periode
tradisional dan periode modern. Muhammad Husain al-Dzahābi60
membagi tafsir
kedalam tiga periode yaitu fase nabi Muhammad SAW dan sahabatn, fase Tabi‟in dan
55
Al-Qur’ān dan Tafsirnya, h.190, v.10 56
Al Jami’ al Ahkam fī Al-Qur’ān. V. 10, h.673. 57
Muhammad Syahrūr bin Deib lahir di Damaskus, Syiria pada tanggal 11 April 1938 M.
Syahrur memiliki beberapa karya yang menjadi rujukan para akademisi muslim seperti: Al-Kitȃb wa Al-
Qur’ȃn: Qirȃ’ah Mu ‘aşirah, Nahwa Uṣūl Jadȋdah li al-Fiqh al-figh al-Islâmȋ: Fiqh al-Mar’ah. 58
Muhammad Syahrȗr, Al-Kitȃb wa Al-Qur’ȃn: Qirȃ’ah Mu ‘aşirah,1992, Damaskus: Ahali li
al-Nasyr wa al-Tauzi‟, h.33. 59
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’ān: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 2003, h. 71-72. 60
Muhammad Husain al-Dzahabi lahir di desa Mutubis di kabupaten Kifir tanggal 19 Oktober
1915 atau 9 Dzulhijah 1333 H. Meninggal tahun 1977 M. (Lihat: digilib.uinsby.ac.id
/17631/11/Bab%202.pdf di akses pada tanggal 20 juli 2018 )
33
fase pembukuan tafsir.61
Sedangkan Syekh Ahmad Mustafā Al-Marāghī62
membagi
periode penafsiran al-Qur‟ān dengan tujuh pembagian yaitu: tafsir masa sahabat, tafsir
masa Tabi‟in, tafsir masa penghimpunan pendapat para sahabat dan tabi‟in, tafsir
generasi at-Thabarī, tafsir generasi yang tidak menyertakan sanad, tafsir masa
kemajuan Islam, dan tafsir masa penulisan al-Qur‟ān dalam berbagai bahasa asing.63
Perkembangan penafsiran selanjutnya akan terus berlanjut dengan zaman yang terus
berjalan dan rekontruksi metodologi akan terus berkembang dan bergerak setiap
masa.64
1. Tafsir Klasik
Pada masa tafsir klasik, tidak banyak perdebatan yang timbul karena para
mufasir menafsirkan ayat al-Qur‟an yang dibangun atas dasar penafsiran yang bersifat
retrospektif, tektual dan al-‘ ibrah bi umum al lafdzh la bi khusus al-sabab.65
Sehingga
dalam perkembangan tafsir klasik tersebut menggunakan metode bi-Matsūr66
Seperti
penafsiran Al-Thabari67
yang memasukan pendapat ulama baik dalam gramatika
bahasa, hukum maupun aliran ilmu kalam.68
Para sarjana keilmuan pada saat itu menganggap kitab tafsir al-Thabari sebagai
kitab agung yang tiada tandingannya karena semuanya sudah ditafsirkan oleh al-
Thabari.69
Selain tafsir al-Thabari, ada juga tafsir lain yang juga tergolong kedalam
61
Muhammad Husain ad-Dzahabi,al-Tafsir wa Mufasirun, al-Qahirah: Dār al-Hadits, Juz 1,
1426 H/ 2005 M, h.50. 62
Nama lengkap al-Marāghī adalah Aḥmad Musṯafā ibn Musṯafa ibn Muḥammad „ābd al-
Mun‟im al-Qadi al-Marāghi. Lahir tahun 1300 H/ 1883M di Marāghi,Suhaj. Pada tahun 1314 H/ 1897 M.
Meninggal pada tanggal 9 Juli 1952M/1371 H.(lihat: Hazan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir
al-Marāghī, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, h.15-31) 63
Ahmad Mustafa al-Marāghī, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al Fikr, Juz 1 1421 H. 64
Muhammad ali Mustafa Kamal, Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik, Jurnal Maghza
(pdf) Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 20 ke 1, h. 83 65
Hadi Mutamam, Analisis Kritik atas Kontribusi Tafsir Kontemporer, Jurnal: Al-Fikr, Vol 7
nomor 1 tahun 2013, h. 154. 66
Tafsir bi Matsūr yaitu penafsiran yang dilakukan ayat dengan ayat, ayat dengan keterangan
Rosul, ayat dengan keterangan sahabat nabi atau juga penafsiran ayat dengan penafsiran para tabiin.
(lihat: Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Ciputat: Lentera Hati, 2013, h. 349-351) 67
Nama lengkap al-Thabari yaitu Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin
Khalid al-Thabari.(lihat: tafsir jami al-bayan an Ta’wil ayi al-Qur’ān, Kairo: Dar as-Salam, 2007)
Dilahirkan di Amil, Tabaristan pada tahun 224 Hijriyah (lihat, M. Husein ad-Dzahabi al-Tafsir Wa al-
Mufassirun). Ia wafat pada usia 86 tahun yaitu pada tahun 310 Hijriyah.(lihat: M. Hasbi Ash-Shiddiqy,
Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang 1972, h. 222). 68
Jalāl al-Dīn al-Suyūtī, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, Beirut: Dār al-Fikr, vol. II, h. 190-191. 69
Ignaz Goldziher, terj. Madzhāb al Tafsīr al-Islāmi, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006, h.113
34
tafsir klasik yaitu Tafsir al-Qurtubī70
. Penulis memilih at-Tabari karena tafsir ini
merupakan tafsir klasik yang banyak menjadi rujukan untuk mengetahui situasi dan
kondisi keadaan masyarakat terdahulu dan penulis menggunakan Tafsir al Qurtubi
untuk
melihat sisi hukum sosial zaman dulu dalam bentuk tafsir klasik.
1.1 Tafsir al-Tabari
1.1.1. Q.S al-Baqarah 2:233
Pada ayat ini al-Tabari menjelaskan perintah bagi ibu untuk memberikan ASI
kepada anaknya, baik ibu ini telah diceraikan atau belum oleh ayahnya. Perintah ini
menurutnya bukan sebuah kewajiban yang harus dilakukan ibu jika masih ada bapak
yang masih hidup. Kemudian al-Thabari menyebutkan lamanya ibu menyusui anaknya yaitu dua tahun. Namun, beberapa ahli tafsir masih berselisih mengenai batas waktu
menyusui tersebut. Al-Tabari juga menjelaskan bahwa ayat ini mewajibkan ayah untuk
memberikan nafkah berupa makanan dan pakaian kepada istri dengan cara yang baik
dan disesuaikan dengan kemampuannya. Ayat ini secara khusus membahas rada‟ah
yaitu perempuan yang menyusui anak orang lain. Menurutnya. jika ibu kandung tidak
bisa menyusui anaknya karena hal tertentu, maka suami harus mencarikan perempuan
yang mau menyusui anaknya dan kemudian diberi upah dengan sepantasnya.71
1.1.2. Q.S an-Nisā 4:3
Menurut at-Tabari pemaknaan tepat ayat ini adalah pelarangan terhadap setiap
laki-laki yang ingin menguasai harta anak yatim dengan cara menikahinya tanpa
dilandasi keadilan. Adil ini tidak hanya ditunjukan kepada anak yatim saja namun juga
kepada istri-istri mereka. Jika keadilan tidak bisa dilakukan suami maka dianjurkan
untuk menikahi satu perempuan saja atau memelihara budak.72
1.1.3. Q.S an-Nisā 4:34
70
Al-Qurtubī bernama lengkap ābū Abdullah Ibn Aḫmad Ibn Abū Bakr Ibn Farḫ al-Anşārī al-
Khazrajī al-Andalusiy al-Qurtubī al-Mufassir. Lahir di Andalusia/Spanyol pada tahun 486 H dan
meninggal di Mausul tahun 567 H.(lihat: Hasbi al-Shiddieqi, sejarah dan Penghantar Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, h. 291). Meninggal pada tahun 671 H di kota Maniyyah Ubn Hasin
Andalusia.(lihat: Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks tang Bisu, diterbitkan:
Teras Press, h.62). 71
Abū Ja‟far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsīr bin Khālid al-Thabari, Jami’ al-Bayān
an Ta’wil ayi al-Qur’ān, 1426 H/ 2005 M, h, 503-524, v. 2 72
Jami’ al-Bayān an Ta’wil ayi al-Qur’ān, h. 573-581, v.3
35
At-Tabari dalam ayat ini menjelaskan bahwa kaum laki-laki memiliki tugas
untuk mendidik dan membimbing perempuan karena kelebihan yang Allah berikan
kepada laki-laki. Seperti kecerdasan akalnya, kekuatannya dan kesempurnaan dalam
penciptaannya, Sehingga tugas pemimpin rumah tangga pantas untuk laki-laki.
sehingga menjadikan suami wajib untuk mencukupi semua kebutuhan keluarganya.73
1.1.4. Q.S al-Thalāq 64:6-7
Pada ayat ini at-Tabari menerangkan bahwa laki-laki yang telah menceraikan
istrinya diharuskan untuk memberikan tempat tinggal yang layak dan sesuai dengan
kemapuan karena pada penggalan ayat ول تضآرموىن لتضيقوا عليهن laki-laki dilarang
untuk menyengsarakan istri yang telah diceraikan. Mengenai istri yang hamil saat
diceraikan, dan statusnya sudah ba‟in, at-Tabari menyatakan laki-laki tersebut harus
memberi nafkah selama masa iddah sampai ia melahirkan. Jika istri yang diceraikan
tadi menyusui anaknya, maka laki-laki harus memberi upah kepada ibunya. Jika ibunya
sendiri tidak mau menyusui anaknya, maka ayah bertugas untuk mencari perempuan
lain yang mau menyusui anaknya dan harus diberikan upah sebagai balasannya.
Kemudian dalam menjelaskan Q.S 64:7 al-Thabari menjelaskan bahwa laki-laki harus
memberikan nafkah kepada istrinya yang berstatus ba‟in sesuai dengan
kemampuannya.74
1.2 Tafsir Al-Qurtubi
1.2.1 Q.S al-Baqarah 2:233
Al-Qurtubi menjelaskan Q.S al-Baqarah 2:233 bahwa istri berhak menerima
nafkah baik mereka sudah menyusui anaknya ataupun belum pernah menyusui.
Kemudian Kewajiban ayah adalah memberikan nafkah.75
Al-Qurtubi juga menjelaskan
bahwa ayat ini memberi berita yang bersifat mewajibkan dan menyunahkan bagi para
ibu untuk memberi ASI kepada anaknya.
Lebih detail dijelaskan al-Qurtubi bahwa menyusui merupakan kewajiban istri
karena menyusui merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh istri. Kecuali jika istri
73
, Jami’ al-Bayān an Ta’wil ayi al-Qur’ān, h. 59-62, v. 4. 74
Jami’ al-Bayān an Ta’wil ayi al-Qur’ān, h. 138-140, v. 12 75
Abū Abdullah Ibn Ahmad Ibn Abū Bakr Ibn Farh al Ansārī al Khazrajī al Andalusiy al
Qurtubī al Mufassir, Al Jāmi’ al Ahkam al Qur’ān, Beirut: Dār al Fikr, 2005, h. 118-121, v.2
36
dari kalangan bangsawan yang tradisinya tidak menyusui. Namun, istri wajib menyusui
jika tidak ada seorangpun yang mau menyusui anaknya karena hanya dia yang bisa
menyusuinya. Berarti dari pengertian tadi, hukum menyusui dapat dilihat dari situasi
dan kondisi. Sedangkan istri yang telah diceraikan dengan talak ba‟in, al-Qurtubī
menjelaskannya sama dengan penafsiran at-Tabari diatas. Mengenai waktu persusuan
al-Qurtubi menjelaskan bahwa menyusui selama dua tahun itu tidak wajib, sebab boleh
menyapihnya sebelum dua tahun.76
1.2.2 Q.S an-Nisā 4:3
Ayat ini dijelaskan oleh Al-Qurtubi tidak jauh berbeda dengan penjelasan at-
Tabari. Namun, al-Qurtubi lebih detail dengan menjelaskan bahwa keadilan yang
ditunjukan ayat ini yaitu adil dalam nafkah dan mahar kepada istri-istri yang dinikahi.
Penjelasan lain dikemukakan oleh Abu Hanifah bahwa ayat ini hanya menunjukan
bolehnya menikahi perempuan yatim sebelum baligh, karena seseorang dikatakan
yatim apabila ia belum mencapai usia baligh. Setelah baligh maka diperbolehkan
walinya untuk menikahinya dengan syarat adil tersebut.77
1.2.3 Q.S an-Nisā 4:34
Al-Qurtubi dalam ayat ini menguatkan kembali terhadap penafsiran
sebelumnya. Ia berpendapat bahwa keutamaan yang ada pada laki-laki karena
kebanyakan dari mereka adalah pemimpin, hakim, orang yang berperang sedangkan
perempuan tidak. Karena keutaman tersebut, maka kewajiban memimpin ada pada
laki-laki dan kewajiban ini memberikan tugas laki-laki untuk memberikan nafkah dan
istri hanya dituntut untuk taat kepada suaminya.78
76
Q.S al Ahqāf 46:15
لد ن بو نس إذ ووصي نا ال لوۥ ث ل ثون شهرا ح نا حلتو أمموۥ كرىا ووضعتو كرىا وحلوۥ وفص هۥ وب لغ أربعي يو إحس ا ب لغ أشدلحا ت رضى و وأصلح ل ف ذري إن سنة قال رب أوزعن أن أشكر نعمتك ال أن عمت على وع لدى وأن أعمل ص لى و
ت بت إليك وإن من المسلمي Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat
berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri”. 77
Al Jāmi’ al Ahkam al Qur’ān, h. 10-17, v. 3. 78
Al-Jāmi’ al Ahkām al Qur’ān, h. 118-121, v.2.
37
1.2.4 Q.S al-Thalāq 64:6-7
Pada ayat ini al-Qurtubi memberikan beberapa penjelasan mengenai
kandungannya. Pertama, terdapat ikhtilaf mengenai wanita yang di talak tiga. Madzhab
malik dan Syafi‟i berpendapat dia berhak mendapat tempat tinggal, tetapi tidak dengan
nafkah. madzhab Hanafi menyatakan dia berhak mendapatkan tempat tinggal dan
nafkah. Sedangkan madzhab Imam Ahmad, Ishak dan Abu Tsau menyatakan dia tidak
berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. 79
Mengenai kewajiban menyusui terdapat tiga perbedaan pendapat. pertama,
menyusui adalah kewajiban seorang istri selama perkawinan masih ada, kecuali karena
kemuliaan dan posisinya. Kedua menyusui itu tidak wajib sama sekali kepada ibu dan
ketiga menyusui kewajiban ibu dalam keadaan apapun.
2. Tafsir Modern
Kemunculan tafsir modern sedikit banyaknya bisa disebakan karena adanya
ketidakpuasan para mufassir modern terhadap karya mufassir sebelumnya. Dimana
para mufasir modern telah beranggapan bahwa dalam karya tafsir yang ditulis pada
masa periode awal dianggap belum menyentuh pada permasalahan umat secara
keseluruhan. Jadi bisa disimpulkan bahwa perkembangan tafsir berikutnya adalah
kritik atas tafsir atau penyempurna‟an penafsiran sebelumnya.80
Salah satu perkembangan corak penafsiran modern adalah corak adab „Ijtimai
dengan metode bi ra‟yi81
seperti tafsir al-Marāghī dan tafsir al-Misbah. Sebagai ulama
al-Azhar, al-Marāghī beberapa kali mendapatkan respon baik dari para ahli tafsir lain
mengenai karya tafsirnya. Salah satunya dari dosen tafsir Universitas Ummul Qurā
Mekah yaitu Abdurrahman Hasan Habannaka mengatakan “al-Marāghī merupakan
ulama al-Azhar modern yang menyajikan pemahaman al-qur‟ān yang sesuai dengan
kondisi zaman sekarang.82
Seperti yang sudah disebutkan bahwa kedua tafsir diatas
bercorak adabi ijtimai, demikian ini sangat cocok untuk digunakan penulis dalam
79
Al Jāmi’ al Ahkam al Qur’ān, h. 125-130, v.9 80
Analisis Kritik atas Kontribusi Tafsir Kontemporer, 163. 81
Tafsir bi ra‟yi yaitu tafsir yang di dalamnya menjelaskan maknanya atau maksudnya, mufassir
hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan juga di dasarkan kepada
logikanya sendiri. (Lihat: Manna Khalil Qahthan, fi ‘ulūm al-Qur’ān, Kairo: Maktabah Wahbah, h.440) 82
Abdul Jalal, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur sebuah studi perbandingan (skripsi),
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1985, h. 128-130.
38
penelitiannya yang meggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan.
2.1. Tafsir Al-Marāghī
2.1.1. Q.S Al-Baqarah 2:233
Ayat ini menjelaskan mengenai talak, tentang masalah memberikan ASI dan
cara menjaga dan merawat anak serta relasi suami istri dalam kehidupan berumah
tangga. Al-Maraghi menjelaskan bahwa ibu wajib menyusui anaknya selama dua tahun
atau kurang. Hal ini disesuaikan dengan kesepakatan antara suami dan istri baik istri
dalam keadaan tertalak maupun tidak.
Kemudian ayah diwajibkan memenuhi kebutuhan keluarganya berupa sandang
dan pangan yang bertujuan agar istri bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik
dalam menjaga dan memelihara bayinya. Kemudian nafkah yang diberikan disesuai
dengan keadaan sang istri dan kebutuhan hidup dimana ia hidup. Al-Maraghi juga
menjelaskan bahwa ayat ini memberikan kemudahan istri yang tidak bisa menyusui
karena beberapa hal dengan memberikan anaknya untuk disusui oleh orang lain dan
diberi upah sesuai kesepakatan.83
2.1.2. Q.S An-Nisā 4:3
Dalam penafsiran Q.S an-Nisā 4:3 al Marāghī menjelaskan jika seseorang tidak
bisa untuk berbuat adil diantara istri-istrinya, maka dianjurkan untuk menikahi seorang
saja. Kemudian laki-laki yang diperbolehkan menikahi lebih dari satu istri dia harus
meyakini dirinya akan bisa berlaku adil dalam memberikan nafkah sesuai dengan
standar yang diberlakukan di kalangan mereka.84
2.1.3. Q.S An-Nisā 4:34
Al-Marāghī menjelaskan bahwa salah satu tugas laki-laki adalah sebagai
pemimpin kaum perempuan yang tugasnya seperti melindungi dan memelihara
mereka. Kemudian disebutkan pula kelebihan laki-laki atas perempuan yang terbagi
menjadi dua yaitu pertama kelebihan ybersifat fitri yaitu laki-laki memiliki kekuatan
fisik dan kesempurnaan di dalam kejadian. Kedua kelebihan yang bersifat kasby yaitu
kemampuan untuk berusaha mencari rizki dan melakukan pekerjaan. Oleh karenannya
83
Ahmad Mustafa al-Maraghȋ, Tafsir al-Maraghȋ, Beirut: Dār al Kotob al Ilmiyah, h.240-244,
v.3 84
Tafsir al-Maraghȋ, h. 148-153, v.3
39
nafkah dibebankan kepada laki-laki atas perempuan sebagai tanggungannya.85
2.1.4. Q.S Al-Thalāq 64: 6-7
Al Marāghī dalam Q.S at-Thalāq ayat 65:6-7 menjelaskan bahwa suami di
perintahkan untuk menempatkan istri yang ditalak itu tempat tinggal. nafkah disini
diberikan kepada istri yang di talak ba‟in dan hamil. Adapun istri yang ditalak Raj‟i
maka ia berhak atas pemberian nafkah meskipun tidak hamil. Al Maraghi dalam
tafsirannya menjelaskan bahwa nafkah anak-anak menjadi tanggungan suami dan hak
mengasuh dan memelihara anak berada di istri.86 Mengenai kadar pemberian nafkah
al-marāghī memberikan pemahaman pada Q.S at-Thalāq ayat 65:7 bahwa kadar
pemberian nafkah disesuaikan dengan kemampuan suami.87
2.2.Tafsir AL-MISBAH
2.2.1. Q.S Al-Baqarah 2:233
Menurut Quraish Shihab ayat ini menjelaskan perintah kepada ibu untuk
meyusui anaknya selama dua tahun penuh yang merupakan batas minimal dari
kesempurnaan menyusui. Tetapi perintah ini tidak wajib bagi para ibu. Atas dasar
pemeliharaan kesehatan ibu agar bisa mengasuh anaknya, maka ayah diwajibkan untuk
memberikan makan dan pakaian kepada para ibu. Kenapa menjadi kewajiban ayah,
karena menurutnya anak itu membawa nama ayahnya. Jadi, seakan-akan anak lahir
untuknya karena nama ayah akan disandang oleh anaknya. kewajiban itu dilaksanakan
dengan cara ma‟ruf dan sesuai kemampuan ayah.88
2.2.2. Q.S An-Nisā 4:3
Pada ayat ini Shihab memperbolehkan adanya poligami dengan menunjukan
persyaratan-persyaratan yang tidak mudah yaitu adil. jika keadilan tidak dapat
terpenuhi oleh laki-laki dan menjadi kekhawatirannya sendiri maka menurut Shihab
lebih baik ia menikah dengan satu perampuan saja. Dalam hal ini dia memberikan
kedalaman kandungan dengan pemahaman bahwa ayat ini menggunakan lafadz تقسطوا
dan تعدلوا yang sama sama berarti adil. ada pesamaan ulama yang mengartikan
demikian ada juga ikhtilaf bahwa tuqsitū adalah berlaku adil antara dua orang atau
85
Tafsir al-Maraghȋ, , h.205-206, v.3 86
Tafsir al-Maraghȋ, h. 124, v.10 87
Tafsir al-Maraghȋ, h. 125, v.10 88
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003, h. 470-473, v.2.
40
lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedangkan ta‟dilū adalah berlaku
adil terhadap orang lain atau dirinya sendiri tetapi keadilan itu bisa saja tidak
menyenangkan salah satu pihak.
Fenomena poligami menurutnya adalah kelaziman yang ada pada masyarakat
saat ayat ini turun. Namun adanya pembatasan ini dapat dipastikan bahwa Allah dan
rasul-Nya tidak merestui adanya poligami sebagai sebuah bentuk perbudakan
walaupun dalam al-Qur‟an tidak secara tegas menghapus adanya perbudakan tersebut.
Dalam penyebutan dua, tiga atau empat, menurut Shihab hakekatnya dalam rangka
tuntutan berlaku adil kepada anak yatim.89
2.2.3. Q.S An-Nisā 4:34
Penafsiran ayat ini menjelaskan bahwa Allah menetapkan lelaki sebagai
pemimpin dengan dua pertimbangan pokok. Pertama laki-laki memiliki keistimewaan.
Kedua karena telah menafkahkan sebagian harta mereka. Ayat ini menggunakan kata
kerja lampau yang menunjukan bahwa memberi nafkah kepada istri telah menjadi
suatu tradisi atau adat yang lazim dilakukan oleh masyarakat dahulu hingga sekarang.90
2.2.4. Q.S Al-Thalāq 64: 6-7
Ayat ini menjelaskan bahwa suami harus memberikan tempat tinggal yang
sesuai dengan kemampuannya jika istri yang telah diceraikan (baik talak ruj‟i atau
ba‟in) dalam keadaan hamil, maka suami harus memberikan nafkah kepada mereka
sampai bersalin dan jika istri menyusukan anaknya, maka ayah bayi tersebut harus
memberikan upah kepada ibunya sebagai imbalan meyusui sesuai kesepakatan. Jika
ibu tidak bersedia menyusui anaknya maka seorang ayah bisa menyusukan anaknya ke
perempuan lain dengan berikanlah upah menyusui.91
Ayat ke 7 ini mencoba untuk menengahi terhadap permasalah mengenai
persusuan. Shihab menjelaskan bahwa suami dalam memberi nafkah harus disesuaikan
dengan kemampuannya. Tidak ada jumlah tertentu untuk kadar nafkah hal ini kembali
kepada kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada satu
masyarakat.92
89
, Tafsir al-Misbah, h. 321-328, v.2. 90
Tafsir al-Misbah, h. 402-412, v.2. 91
Tafsir al-Misbah, h. 300-302, v.14 92
Tafsir al-Misbah, h. 302-304, v. 14.
41
BAB III
KH HUSEIN MUHAMMAD: BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
A. Latara Belakang
Husein Muhammad merupakan salah satu ulama Indonesia yang memiliki ciri
khas dalam mengembangkan gagasan keilmuannya. bab ini akan menjelaskan
pemikirannya dengan memaparkan riwayat hidup dari keluarga, pendidikan sampai
pengalamannya dalam menggeluti berbagai kegiatan organisasi dan pelatihan serta
memaparkan gagasan dan kiprahnya dibidang pendidikan.
1. Keluarga
Husein Muhammad merupakan kyai yang lahir pada tanggal 9 Mei 1953 di
Pondok Pesantren Dār al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon Jawa Barat.1 Ayahnya
bernama Muhammad Asyrofuddin dan ibunya bernama Ummu Salamah putri dari
pendiri pesantren Dar at-Tauhid.2 Buya merupakan panggilan akrab dari santri dan
orang yang mengenalnya. Muhammad memiliki istri yang bernama Nihayah Fuad
Amin dan telah memberikannya lima anak yaitu Hilya Auliya, Layali Hilwa,
Muhammad Fayyaz Mumtaz, Najla Hammadah dan Fazla Muhammad.3
Muhammad merupakan anak kedua dari delapan saudara yang semuanya bisa
tergolong sebagai kyai dan mengasuh pesantren. Hal ini mungkin terjadi karena
adanya usaha dari kakenya yaitu Ahmad Syatori (pendiri pesantren Dar at-Tauhid)
1 https://www.huseinmuhammad.net/profil diakses pada tanggal 20 Oktober 2018.
2 https://daraltauhid.com/sejarah-pondok-pesantren-dar-al-tauhid/ diakses pada tanggal 25
September 2018. 3 Munib Abadi, Kekerasan Terhadap Perempuan Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis
Pemikiran K.H. Husein Muhammad, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2009.
42
yang sangat giat dalam memperjuangkan pendidikan. Sehingga semangat kakeknya
tertanam atau menurun kepada pemikiran anak dan cucunya. Kedelapan saudara
tersebut yaitu: Hasan Thuba Muhammad (Pesantren Raudlah at-Thalibin, Bojonegoro,
Jawa Timur); Husein Muhammad (Pesantrena Dār al-Tauhid, Arjawinangun-Cirebon,
Jawa Barat), Ahsin Sakho Muhammad (Pesantrena Dār al-Tauhid); Ubaidah
Muhammad (Pesantren Lasem, Jawa Tengah); Mahsum Muhammad, (Pondok
Pesantrena Dār al-Tauhid, Arjawinangun-Cirebon, Jawa Barat); Azza Nur Laila
(Pesantren HMQ Lirboyo-Kediri, Jawa Timur); Salman Muhammad ( Pesantren
Tambak Beras Jombang, Jawa Timur) dan Faiqoh, (Pesantren Langitan Tuban, Jawa
Timur).4
2. Pendidikan
Sejak lahir, Husein Muhammad telah dibekali dengan berbagai keilmuan agama
Islam yang dia dapat dari kakek dan kedua orang tuanya. Sejak di bangku sekolah dasar,
Muhammad menimba ilmu di Diniyah (agama) sekaligus dipesantren yang selesai
ditempuh pada tahun 1966. Kemoderatan keluarganya ditunjukan ketika ia melanjutkan
di sekolah umum bukan di sekolah Islam. Hal demikian ini dianggap sebagai pandangan
pembaharu dikalangan anak kyai. Muhammad masuk sekolah menengah di SMPN 1
Arjawinangun selesai pada tahun 1969. Setelah tamat dibangku menengah pertama,
kemudian ia memperdalam agama Islam di salah satu pesantren tradisional besar di
jawa yaitu di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur selama tiga tahun.5
4 Noviati Widiyani, Peran Kyai Husein Muhammad Dalam Gerakan Kesetaraan Gender di
Indonesia (Skripsi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, 5 Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h.
237.
43
Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur‟ān (PTIQ) Jakarta merupakan pilihan Muhammad
dalam melanjutkan pendidikannya. Disini dia mulai aktif dalam berbagai kajian dan
organisasi (1980).6 Kemudian Muhammad melanjutkan ke strata dua dibidang yang
sama di Universitas al-Azhar Kairo Mesir (1983). Setelah itu ia memutuskan kembali ke
tanah air di tahun kelulusannya untuk membantu mengasuh pondok pesantren yang
didirikan kakeknya. Sejak kecil hingga umur 65 tahun sekarang ini, Muhammad masih
terus menggeluti keilmuan Islam di segala bidang baik tasawuf, fiqh, teolog dan
lainnya.
3. Organisasi
Muhammad merupakan orang yang aktif dan kritis. Semenjak di bangku
perkuliahan, ia aktif mengikuti beberapa lembaga keorganisasian kampus. Dari sinilah
awal mengembangkan potensi kritisnya. Kemudian keaktifan Muhammad dalam
berorganisasi berkembang sampai kepada hari ini dimana ia menyertakan dirinya di
dalam keanggotaan organisasi baik dari organisasi yang kecil sampai besar, baik dari
skala nasional sampai internasional.
Kurang lebih terdapat 30 organisasi yang pernah Muhammad ikuti selama
berkarirnya. Hingga saat ini terdapat beberapa organisasi yang masih di ikuti secara
aktif maupun pasif di antaranya yaitu menjadi salah satu pengasuh Pondok Pesantren
Dar at-Tauhid, anggota Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan, anggota Pengurus Associate The Wahid Institute Jakarta dan lainnya yang
bisa pembaca lihat dalam lampiran yang dipaparkan oleh penulis.7
4. Pelatihan
6 Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018.
7 Peran Kyai Husein Muhammad Dalam Gerakan Kesetaraan Gender di Indonesia, h. 43.
44
Sebagai seorang Ulama, Cendikiawan Muslim dan pengajar, dalam memberikan
variasi dan kedalaman wawasan pengetahuan, selain dengan mengikuti pendidikan
formal dari tahun 1966-1983, Muhammad juga mengikuti beberapa pelatihan dalam
mengembangkan wawasan keilmuan. Muhammad tidak hanya mengikuti pelatihan di
dalam negeri tetapi juga luar negeri seperti Malaysia, Bangladesh, Mesir, turki, belanda,
srilanka dan lainnya.
Pelatihan tersebut seperti: Konferensi Iternasional “Al-Qur‟ān dan IPTEK”,
diselenggarakan oleh Rabitat Alam Islami Makah di Bandung (1996), Konferensi
Internasional “Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi” di Kairo-Mesir (1998),
Mengikuti studi banding di Turki dalam kajian mengenai “Aborsi Aman” (2002),
Followship pada Institute Studi Islam Modern (ISIM) Universitas Leiden Belanda
(2002), Narasumber seminar dan lokakarya Internasional “Islam dan Gender” di
Colombo-Srilanka (2003).8 dan lain-lainnya. Menurut Muhammad, terdapat kurang
lebih 200 piagam penghargaan yang ia miliki baik menjadi peserta maupun narasumber
di seminar, workshop, konggres, konfrensi dan lainnya.9
B. Karya-karya
Muhammad merupakan ulama produktif dalam memberikan berbagai keilmuan.
Hal tersebut dapat terlihat diberbagai karyanya yang bisa kita baca mulai dari buku,
jurnal, essay, buletin, Majalah, koran dan lainnya, bahkan di media sosial pribadinya
seperti Instagram dan Facebook. Keaktifan kepenulisan muhammad ini
menghantarkannya sebagai tokoh muslim berpengaruh di dunia. Sampai saat ini,
8 Kyai Husein Membela Perempuan, h. 125.
9 Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
45
Muhammad telah memiliki karya tulis berupa buku kurang lebih sebanyak 40 buku dari
bernuansa Teologi, Fiqh, Filsafat, Tafsir, Sastra dan lainnya, baik karyanya sendiri atau
karya orang lain yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Karya yang Muhammad tulis dan baru-baru ini telah beredar di toko-toko buku
yaitu “pendar-pendar kebijaksanaan (2018)”. Kemudian yang baru di Launching dalam
event Festival Hak Asasi Manusia 2018 di Wonosobo berjudul Gus Dur On Religion
Democracy and Peace dan Islam Againts Hatespeech.10
Serta buku yang akan
diterbitkan berjudul Islam Tradisionalis yang Terus Bergerak, Dinamika NU,
Pesantren, Tradisi, dan Realitas Zamannya.
Terdapat juga beberapa buku yang menggambarkan kekaguman Muhammad
terhadap cara berfikir Abdurahman Wahid dalam bukunya yang berjudul “Sang Zahid :
Mengaruhi Sufisme Gus Dur (2012) dan Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015).11
Kemudian karya Muhammad yang sampai hari ini masih banyak dicari dan dirujuk
dalam melihat arus utama pemikirannya yaitu “Islam Agama Ramah Perempuan (2014),
Fiqh Perempuan (2001), dan Ijtihad kyai Husein (2011)” serta banyak lagi karya-karya
Muhammad yang juga dapat dibaca dalam bentuk buku.12
Muhammad mengeksplorasi pengetahuannya banyak mendapatkan beberapa
penghargaan baik dari tingkat nasional maupun internasional diantaranya “Hero Acting
to End Modern-Day Slavery” oleh United States Departement of State US pada tahun
200613
. Kemudian ia menjadi salah satu tokoh Indonesia yang namanya tercatat dalam
“The 500 Most Influential Muslims” oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center
10
https://www.instagram.com/p/BqHNp-AlCOO/ diakses pada tanggal 13 November 2018 11
http://www.madinaonline.id/sosok/2618/ diakses pada tanggal 05 November 2018 12
Lampiran 13
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
46
Jordania.14
penghargaan dari US ini ia dapati selama 7 tahun berturut-turut (2010-
2017)15
. Salah satu kelembagaan yang ia dirikan yaitu Institut Studi Islam Fahmina
(ISIF) di Cirebon mendapatkan penghargaan Opus Prize (2013).16
Penghargaan sebagai
tokoh berpengaruh dalam Pembangunan dan Pemberdayaan Perempuan oleh Bupati
Cirebon17
. Gelar kehormatan (HC) di bidang tafsir gender oleh UIN Walisongo
Semarang.
Muhammad juga sempat mendapatkan kehormatan oleh beberapa tokoh seperti
Nasr Hamid Abou Zaid yang memberikan kelas yang diampunya untuk diisi oleh
Muhammad walaupun Nasr tidak dalam keadaan berhalangan.18
Bahkan ada yang
menganggapnya sebagai tokoh feminis internasional yang sejajar dengan Qasim Amin,
Amina Wadud, Asghar Ali Angineer dan Nasr Hamid Abu Zayd.19
Penulis menganggap bahwa Muhammad sangat pantas untuk dihadiahi
penghargaan tersebut. Melihat bagaimana dedikasinya dalam mengembangkan gagasan
yang berkeadilan untuk perempuan perlu diapresiasikan. Upaya yang dilakukannya,
bagi perempuan merupakan sebuah perlindungan yang sangat besar. Dimana entitas
perempuan tidak lagi diremehkan dan dilemahkan.
C. Pemikiran Husein Muhammad tentang Islam dan Gender
C.1. Sejarah Pemikiran Husein Muhammad terhadap Gender
Husein Muhammad lahir dalam keluarga yang memiliki pemikiran tradisionalis.
14
Menelusuri Jalan Cahaya, h. 273 15
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018 16
https://fahmina.or.id/buya-husein-dihormati-karena-akhlaknya-dan-disegani-karena-ilmunya/
di akses pada tanggal 07 Oktober 2018 dan bisa dilihat di http://www.tipheroes.org/kyai-husein-
muhammad/ diakses pada tanggal 05 November 2018. 17
Peran Kyai Husein Muhammad Dalam Gerakan Kesetaraan Gender di Indonesia, h. 45. 18
https://www.kompasiana.com/moch_aly_taufiq/550bab97813311472bb1e171/husein-
muhammad-satu-satunya-kyai-feminis-indonesia diakses pada tanggal 25 September 2018 19
http://pwansorjabar.org/kang-husein-muhammad-kyai-feminis-internasional/ diakses pada
tanggal 10 November 2018.
47
hidupnya, ia telah akrab di dunia pesantren dengan segala tradisi keilmuannya. Dalam
tulisan Yusuf Rahman20
, Ia mengutip pandangan Eka Srimulyani yang mengatakan
bahwa penelitian yang ia lakukan pada perempuan pesantren menyimpulkan bahwa
perempuan dalam pesantren telah dirancang untuk menjadi seseorang istri yang taat
kepada suami dan menjadi seorang ibu yang baik dalam nuansa kitab kuning seperti istri
tidak keluar rumah tanpa izin suami, istri harus memberikan tubuhnya kapanpun suami
membutuhkan dan lainnya.21
Muhammad melihat kejanggalan yang ada pada tradisi keilmuan pesantren
seperti yang disebutkan mulyani. Dimana pembentukan peran tersebut secara tidak
sengaja memunculkan diskriminasi perempuan. Dari sini, kemudian Muhammad
mendialogkan kejanggalan tersebut dengan dunia pemikirannya (feminis).22
Hal inilah
yang kemudian memperkenalkannya pada wacana gender dan membawanya sebagai
tokoh Feminis. Sub bab ini akan diterangkan proses perjalanan pemikiran Muhammad
sebagai tokoh feminis dalam menangani isu-isu perempuan.
Pemahaman gender Muhammad tidak didapatkan secara sengaja semenjak awal
mencari keilmuannya. Tetapi pemikiran gender mulai ada setelah pertengahan
perjalanan keilmuannya. Muhammad menuturkan bahwa pemikiran konservatisme fiqh
pesantren dan segala tradisinya telah melekat pada dirinya semenjak kecil sampai ia
menamatkan studinya di Kairo.23
20
Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 21
Yusuf Rahman, Feminist Kyai, K.H Husein Muhammad, The Feminist Interpretation on
Gender Verses and The Qur‟an-Based Activism, Al-Jamiah: Journal of Islamic studies, 2017, makalah ini
pernah dipresentasikan di international Qur‟anic Studies Association (IQSA) di San Antonio, Texas,
USA, pada tanggal 18-21 November 2016. 22
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018 23
Waancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
48
Kepulanggan Muhammad dari Kairo (1983) kemudian ia diberikan tugas
menjadi pengajar di pesantren kakeknya. Demi mewujudkan pendidikan berkualitas,
Muhammad kemudian mengikuti beberapa pengkaderan ulama bersama kyai yang ada
di indonesia. Pengkaderan ini (halaqah) beriisi kajian keilmuan yang belum pernah
diajarkan di pesantren seperti antropologi, sosiologi, kesehatan, sejarah bahkan filsafat.
Hal ini menjadi ketertarikan Muhammad dan kemudian menjadi kajian yang rutin
dihadirinya.
Kaderisasi ulama yang diikuti Muhammad selanjutnya P3M (Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) yang didirikan oleh tokoh pembaharuan
seperti Gusdur. Disini ia diperkenalkan dengan metode kontektualis sebagai
pemahaman dasar dalam memahami hukum baik dalam al-Qur‟an maupun Hadits.
Menurutnya, Gusdur merupakan tokoh yang sangat brilian dalam menghubungkan
tradisi dengan konteks. Dengan caranya, Gusdur mencoba melakukan berbagai proses
dinamika perubahan melalui cara pandang kyai dengan tidak merubah tradisi, tetapi
memahami subtansial tradisi tersebut. Demikian dilakukan agar kitab kuning dapat
memberikan keputusan yang adil pada masanya. Seperti pemahaman Gusdur bahwa
keadilan hukum pada saat ayat ini turun jika ditarik dengan masa sekarang sangat jauh
berbeda. Untuk itu di dalam sebuah hukum harus dilakukan kajian yang memiliki
keadilan secara utuh pada masanya.24
Gus Dur dalam bukunya mengatakan Islam memberikan hak kepada semua
manusia untuk menjadi pengganti (khalifah) Allah di muka bumi, sebuah fungsi yang
diberikan dan mengharuskan mereka untuk senantiasa bersama-sama baik laki-laki atau
24
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
49
perempuan untuk memperjuangkan dan melestarikan cita hidup kemasyarakatan yang
mampu mensejahterakan manusia. Dengan demikian kaum muslimin diharuskan untuk
menentang berbagai pola kehidupan masyarakat yang akan meruntuhkan kebersamaan
yang baik seperti eksploitatif, pendiskriminasian yang tidak manusiawi serta tidak
berasaskan keadilan serta kemanusiaan.25
Pada tahun 1993, P3M mengadakan seminar dan diskusi mengenai perempuan
dalam pandangan agama. Kegiatan ini adalah salah satu kegiatan yang diikuti
Muhammad. Dari kegiatan ini ia dikenalkan dengan tokoh feminis yang terlebih dahulu
masuk pada pemikirannya yaitu Masdar F. Mas‟udi walaupun dalam perjalananya ia
terkenal dengan tokoh feminisme yang berbalik arah.26
Kemudian Salah satu program yang lakukan oleh P3M yaitu tentang pendidikan
kesehatan produksi. Dari sini secara tidak langsung Muhammad pertama kali
melakukan aktualisasi gagasan feminisme yang dituang dalam bentuk makalah yang
berjudul “Hak Reproduksi Perempuan Menurut Islam” yang dipersentasikan pada bulan
Agustus 1995 di Yogyakarta.27
Selanjutnya pemikiran mengenai gendernya banyak
ditulis dan konsistensi pemikiran feminisme ini masih terus digalangkan sebagai basis
pemikirannya.
C.2. Pemahaman Husein Muhammad mengenai Islam dan Gender
Mengenai istilah gender, masyarkat sering menyamakannya dengan istilah sex.
Dimana anggapan demikian adalah kekeliruan. Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa
istilah gender secara umum berarti perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-
25
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan, nila-nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan, 2007, Jakarta: The Wahid Institut, h.30 26
Kyai Husein Membela Perempuan, 98. 27
Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kyai Pesantren, h.XXXII-XXXIII.
50
budaya sedangkan sex berarti perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi
tubuh atau biologis yang bersifat kodrati dan inilah yang merupakan given mutlak yang
diberikan Allah kepada setiap manusia.28
Mengenai hal ini, Muhammad memberikan argumen terhadap term kodrat.
Menurutnya, jika kodrat bisa ditukar, misal kodrat laki-laki ditukar dengan kodrat
perempuan dan sebaliknya, maka ini bukan dinamakan kodrat tetapi gender. Karena
kodrat tidak bisa ditukar dan yang bisa ditukar itu merupakan kontruksi sosial yang
dihasilkan oleh masyarakat.29
Dimana hasilnya akan memiliki perbedaan karena
memiliki kebudayaan dan pandangan yang berbeda.
Bagi Muhammad, Islam merupakan agama yang sempurna dalam mengatur
bagaimana menjadi manusia ideal. Al-Qur‟an memuat beberapa dimensi kehidupan
manusia yang tergambar dalam sistem ketauhidan. Pokok teologi tersebut menurut
Muhammad merupakan bentuk hak otonom setiap manusia dan ketundukannya
diserahkan hanya kepada kalam-kalam Allah bukan pada kalam-kalam manusia.30
Keluhuran sikap dan sifat manusia juga timbul dalam ketahuhidan seperti
penghormatan, persatuan, keadilan dan lainnya terhadap sesama manusia. Dimana hal
ini menjadi prinsip umum untuk menentukan hukum .31
Jadi kehidupan ini tidak hanya
memuat hubungan manusia dengan tuhannya (vertikal) tetapi juga termuat bagaimana
hubungan manusia dengan manusia (horizontal).
28
Argumen Kesetaraan Gender, 16 29
http://fatayatdiy.com/penjelasan-feminisme-oleh-kh-husein-muhammad/ diakses pada tanggal
10 November 2018. 30
Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Kesetaraan Gender, Jakarta:
Rahima, 2011, h. 201. 31
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li Dirasatisy Syariatil Islamiyah (terj), Jakarta: Rabbani
Press, 2008, h.233-234.
51
Kemudian dari prinsip ketauhidan membentuk trilogi Islam dalam beberapa
dimensi yaitu dimensi keyakinan: dimensi dalam mengaktualisasi keyakinan dan
dimensi sistem Islam32
. Menurut Ahmad Siddiq sebagai ulama NU yang dikutip
Muhammad, dimensi tersebut sebagai ukhuwwah yang terdiri dari 3 bagian yang sama
yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyyah dan ukhuwwah insaniyah.33
Dimana
kedua pandangan tersebut sama-sama dalam subtansi ketauhidan.
Prinsip katauhidan tersebut juga memperlihatkan visi misi dan cita-cita al-
Qur‟ān yaitu menegakkan kehidupan manusia yang mempunyai ahlak yang baik yang
menghargai nilai-nilai universal kemanusiaan seperti kesetaraan, persatuan, dan lainnya.
Hal ini merupakan bentuk ukhuwah insaniyah yaitu kesadaran untuk kembali
menegakkan dasar agama dalam membangun keadilan, kesetaraan, persatuan,
kebebasan, dan penghargaan tanpa adanya intimidasi dan subordinasi.34
Jadi, Muhammad dalam melakukan gender equality menggunakan konsep
ketauhidan sebagai metode reintepretasi terhadap bias gender. Rahman dalam
penelitiannya juga mengatakan bahwa dalam melakukan rekontruksi dan reinterpretasi
terhadap ayat yang diduga bias gender, muhammad mendiskusikan dan aplikasi prinsip
ketauhidan sebagai basis argumennya.35
32
https://www.huseinmuhammad.net/islam-rahmat-lil-alamin-problem-sosial-indonesia-
kontemporer/ diakses pada tanggal 10 November 2018. Tulisan ini juga pernah dipersentasikan Husein
Muhammad dengan judul Islam sebagai Agama Rahmatan li al-„Alamin dan Problem Indonesia
Kontemporer”. Diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI di Pondok Pesantren Darunnahdlatain,
Pancor, Lombok Timur, NTB 22 Juli 2011. 33
Husein Muhammad dalam prolog buku Abdul Moqsith Ghozali, Argumen Pluralisme Agama,
Membangun Toleransi Berbasis al-Qur‟an, Depok: KataKita, 2009. H.xiv 34
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS,2001,17-19. Lihat juga “Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Kesetaraan Gender”,
jakarta: Rahima, h.183. 35
Feminist Kyai, K.H Husein Muhammad, The Feminist Interpretation on Gender Verses and
The Qur‟an-Based Activism,
52
Pandangan di atas senada dengan tiga tokoh yang dikaji dalam penelitian
kusmana36
. bahwa Amina Wadud, Asma Barlas dan Siti Musdah Mulia memahami
gender dengan pembacaan terhadap prinsip ketauhidan. Walaupun penyebutan
metodenya berbeda. Mulia dan Muhammad menyebutnya metode kontektualis, barlas
menyebutnya metode interpretasi patriakal dan wadud menyebutnya metode
hermeneutika tauhid.37
Sebagai kyai yang lahir dan besar dalam tradisi Islam tradisionalis, tidak
menjadikan pemikiran konservatif dan eklusif melekat pada diri muhammad. Namun
yang terjadi sebaliknya. Dengan keluasan ilmunya, ia melihat berbagai ketimpangan
yang dibuat atas nama agama muncul baik dalam nuansa kitab kuning atau dari peran
para ahli agama dalam menciptakan bias gender di berbagai penafsiran. Kemudian hal
ini menguggah adanya reinterpretasi penafsiran yang bias tersebut. Sehingga hasil
penafsirannya memuat kesetaraan dan keadilan.
Pembaharuan atas adanya reinterpretasi tidak hanya dikumandangkan oleh
muhammad sebagai salah satu konsep untuk merubah pemahaman tak berkeadilan
kepada keadilan secara utuh. Tetapi juga oleh para tokoh pembaharu lain seperti Abou
Fadl, Nasr Hamid Abou Zaid, Fatimah Mernisi, musdah Mulia dan lainnya.
Muhammad menjelaskan bahwa keadilan merupakan konsep sentral dalam
agama dan menjadi akhir tujuan pencapaiannya. Keadilan juga berarti menempatkan
sesuatu secara proposional dan memberikan hak kepada pemiliknya.38
Indikasi dari ini
36
Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 37
Kusmana, Modern Theogical Reading of The Qur‟an, and Gender Issues: Three Cases Of
Female Muslim Scholars, Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR),
Atlantis Press. 38
https://www.huseinmuhammad.net/keadilan-bag-dua-keadilan-bagi-perempuan-masih-retoris/
diakses pada tanggal 10 November 2019
53
semua bahwa keadilan merupakan hak semua orang dan aspek dasar yang melekat pada
manusia ketika diciptakan. Pemberian keadilan juga tidak melihat kepada siapa ia
diberikan baik mengenai ras, budaya, kekayaan bahkan jenis kelamin. Untuk itu
keadilan merupakan salah satu perintah tuhan yang harus ditegakan di segala hal, baik
individu, kelompok, berbangsa atau bernegara.39
Keadilan juga merupakan bentuk sentral mewujudkan ahlakul karimah yang
menjadi ciri ideal diutusnya Nabi Muhammad kepada seluruh umatnya dan keadilan
adalah salah satu bentuk pengupayaan menegakkan sebuah kebenaran.40
Pandangan
tersebut senada dengan pandangan Muqsith Ghozali41
. Ia mengatakan bahwa seluruh
agama mempunyai misi dasar sama yaitu keadilan dan menolak adanya bentuk
hegemoni, tiranik, dominasi diberbagai aspek kehidupan manusia.42
Muhammad juga mengutip pendapat Sahal Mahfud salah satu tokoh NU senior
bahwa “jika dalam suatu produk baik kebudayaan, keluarga, sosial dan yang lainnya
tidak ada keadilan atau kemaslahatan di dalamnya, maka demikian itu harus
ditingalkan”.43
Mustafa Sya‟labi juga menjelaskan keadilan dan kemaslahatan
dalam membangun hukum. Ia mengungkapkan :
“Apabila kemaslahatan bertentangan dengan “nash”(teks), dalam bidang mu‟amalat dan
adat-kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah, maka kemaslahatanlah
yang harus dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang
“nash” melalui semata-mata pendapat nalar. Sebaliknya ia justeru mengaplikasikan
39
https://www.huseinmuhammad.net/keadilan/ diakses pada tangal 10 November 2018. 40
https://www.youtube.com/watch?v=6NIcIRqPW74 diakses pada tanggal 10 November 2018 41
Dosen fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 42
Abd Moqsith Ghozali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-
Qur‟an, Depok: KataKIta, 2009, h. 58. 43
https://www.huseinmuhammad.net/eksistensi-negara-menegakkan-keadilan-menolak-
kezaliman/ diakses pada tanggal 10 November 2018
54
“nash-nash” yang sangat banyak yang menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan
tersebut. Akan tetapi apabila kemaslahatan dalam “nash” tidak berubah, maka nash
sama sekali tidak boleh diabaikan”. “Siapapun yang merenungkan secara mendalam
tentang adanya kontradiksi tersebut, hal itu sebenarnya hanyalah dalam bentuk
lahiriyahnya saja. Hal ini karena nash sesungguhnya diturunkan (dibuat) dalam rangka
menegakkan kemaslahatan tertentu. Manakala kemasalahatan tersebut telah hilang,
maka ia tidak relevan lagi untuk diimplementasikan. Demikian pula apabila nash
disertai dengan “illat” (logika kausalitas) nya. Manakala illat tersebut hilang, maka
hukum tersebut juga selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan generasi
sesudahnya”.44
Melalui visi dan misi al-Qur‟ān tersebut, Muhammad mengutamakan arus
pemikirannya tehadap basis nilai-nilai demokrasi dan penghargaan pada hak asasi
manusia berbasis keadilan dan secara khusus berkonsentrasi terhadap keadilan
perempuan. Karena perempuan dalam pandangan masyarakat selalu disorot dalam
lingkaran buruk dan selalu menjadi korban ketidakadilan. Hak-hak perempuan selalu
terenggut sebagai manusia otonom oleh sistem patriarki yang ada. 45
Muhammad dalam bukunya menamakan pembelaan terhadap perempuan
sebagai Ukhuwah Nisaiyyah. Ukhuwwah tersebut sebagai salah satu bentuk
pengupayaan dalam penegakan kembalinya hak-hak perempuan dalam lingkup
masyarakat. Sekaligus sebagai bentuk solidaritas kita secara bersama-sama baik itu laki-
44
https://www.huseinmuhammad.net/syariat-dan-kemaslahatan/. Diakses pada tanggal 10
November 2018 45
Kyai Husein Membela Perempuan, h.117.
55
laki atau perempuan kepada hak-hak perempuan yang terenggut dari adanya sistem
patriarki yang telah mapan hingga
sampai saat ini46
.
Senada dengan Muhammad di atas, Fatimah Mernisi salah satu feminis
perempuan menamakan dirinya dan karya-karyanya tersebut sebagai Nasa‟i. seperti
yang dikutip oleh Abdullah Saeed, bahwa Mernisi menyatakan dirinya sebagai Nasa‟i
dengan pendefinisian sebagai berikut:
“Nasa‟i menurut saya adalah kata sifat yang menunjukan kepada setiap gagasan,
program, usaha atau harapan yang mendukung hak perempuan untuk bisa
berpartisipasi secara penuh dan berkontribusi dalam membangun kembali, mengubah,
dan mentransformasikan masyarakatnya serta mewujudkan bakat, kebutuhan, potensi,
mimpi dan keyakinannya”.47
Cara pandang tersebut menurut Muhammad sangat diharapkan. Ia mengatakan
pembelaan terhadap perempuan merupakan strategi paling ampuh, tepat dan sesuai
dengan membangun keberadaban luhur kemanusiaan yang sejahtera dan berkeadilan.48
Ia juga menjelaskan bagaimana buruknya masyarakat yang menjadikan perempuan
sebagai entitas lemah atau dilemahkan karena terdapat perempuan yang memiliki
intelektual tinggi yang bisa membangun peradaban agar lebih baik di berbagai bidang
seperti bidang ekonomi, sosial dan lainnya.49
46
Ijtihad Kyai Husein Upaya membangun Kesetaraan Gender, h. 184. 47
Abdullah Saeed, terj Alqur‟an Abad 21 Tafsir Kontekstual, yogyakarta: Mizan, 2016, h.77 48
Kyai Husein Membela Perempuan, h.153. 49
Wawancara dengan Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
56
Ketidaksetujuan atas pemahaman perempuan sebagai entitas yang lemah
ditunjukan oleh Mustofa Bisri. Dalam sebuah Mauidzah Khasanahnya menyatakan
bahwa “orang yang mengatakan bahwa perempuan itu lemah dan laki-laki itu kuat ini
tidak sepenuhnya benar”.50
Ucapan Gus Mus ini menunjukan bahwa tidak semua laki-
laki selalu dilabelkan dengan kekuatan dan perempuan dilabelkan dengan kelemahan.
Kekuatan atau kelemahan bisa saja terdapat dalam diri keduanya.
Salah satu upaya melakukan penggalian dan pembaharuan baru dalam
pembentukan hukum agar adil yaitu Pertama, dikotomis keilmuan harus diahiri. Kedua,
pandangan mengenai ijtihad yang sudah ditutup harus ditinjau kembali bahwa al-Qur‟ān
adalah kalam allah yang sangat terbuka untuk semua orang. Sehingga pintu ijtihad tidak
akan pernah tetutup.51
Ketiga, sikap eksklusif harus dihilangkan karena tidak sesuai
dengan norma keilmuan yang berlaku.52
Kemudian dalam memahami teks al-Qur‟ān, metodologi kontekstualis adalah
salah satu metodologi yang Muhammad pilih dalam melakukan reinterpretasi teks yang
diduga bias gender. Terdapat berapa hal yang harus dipahami dan dikaji terlebih dahulu
yaitu dalam metode ini:
1. Mengkaji subtansi atau kausalitas yang ada didalam teks;
2. Mengkaji sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi teks-teks klasik;
3. Realitas sosial dijadikan bahan kajian sebagai analisi terhadap kemungkinan adanya
perubahan hukum atau adanya hukum baru;
4. Perubahan hukum yang baru harus disesuakan dengan empat hal dasar yaitu
50
https://www.huseinmuhammad.net/mendengarkan-gus-mus-perempuan-itu-kuat-isterimu-
adalah-temanmu/ diakses pada tanggal 10 November 2018. 51
Menelsuri Jalan Cahaya, h. 169. 52
https://www.huseinmuhammad.net/rekonstruksi-pemikiran-islam-membangun-kemanusiaan/
diakses pada tanggal 10 November 2018
57
keadilan, kemaslahatan, kerahmatan dan kebijaksanaan, dimana hal tersebut
merupakan bagian dari konsep ketauhidan.53
Penjelasan muhammad di atas tidak jauh berbeda dengan penjelasan Asma
Lamrabet yang dikutip Rahman dalam tulisannya. Lamrabet menjelaskan untuk menuju
kepada konsep egaliter dalam al-Qur‟an, tahapan awal kita harus membagi ayat-ayat al-
Qur‟an dengan tiga jenis, pertama ayat dengan tujuan universal, kedua ayat yang
terbatas kepada konteks pewahyuan dan ketiga ayat yang perlu untuk di reinterpretasi
untuk menghasilkan hukum yang baru di konteks yang baru pula.54
Kemudian hasil penafsiran atau ijtihad para ulama bukanlah kebenaran yang
mapan, sakral dan normatif. Demikian ini bisa berubah dengan ruang dan waktu yang
dinamis karena memiliki konteks dan keadilan berbeda.55
Seperti yang dikatakan Ibnu
al-Qayyim yang dikutip Muhammad, Ia mengatakan: “Taghayyur al-Fatwa wa
Ikhtilafuha bi Hasab Taghayyur al-Azminah wa al-Amkinah wa al-Ahwal wa al-Niyyat
wa al-Awaid”. (Perubahan fatwa dan perbedaannya berdasarkan perubahan zaman,
tempat, kondisi social, motivasi dan adat-istiadat.56
Jika dilihat dari konsep pemikiran dan gagasan Muhammad, peneliti
menyimpulkan bahwa ia termasuk tokoh pemikir Islam yang beraliran moderat.
Pandangan lain terhadap Muhammad juga ditunjukan oleh Rahman dan Kusmana.
53
https://www.huseinmuhammad.net/islam-rahmat-lil-alamin-problem-sosial-indonesia-
kontemporer/ diakses pada tanggal 10 November 2018. Tulisan ini juga pernah dipersentasikan Husein
Muhammad dengan judul Islam sebagai Agama Rahmatan li al-„Alamin dan Problem Indonesia
Kontemporer”. Diselenggarakan oleh Kementrian Agama RI di Pondok Pesantren Darunnahdlatain,
Pancor, Lombok Timur, NTB 22 Juli 2011. 54
Feminist Kyai, K.H Husein Muhammad, The Feminist Interpretation on Gender Verses and
The Qur‟an-Based Activism, 55
Kiai Hysein Membela Perempuan, h.225. 56
https://www.huseinmuhammad.net/hukum-islam-yang-tetap-dan-yang-berubah/
Dipresentasikan dalam Seminar “Rethinking the Muslim Marriage Contract” at the Nasional University
of Singapore, on the 14th of April, 2012. Diases pada tanggal 10 November 2018
58
Dimana dalam penelitiannya mereka berdua mengatakan Muhammad sebagai tokoh
tradisionalis berpemikiran progresif.
Yusuf Qardawi memberikan pengertian bahwa Islam moderat merupakan
karakteristik yang hanya dimiliki oleh Islam dalam berideologi. Tambahanya, bahwa
moderat atau biasa disebut Wasathiyah oleh masyarakat Indonesia merupakan bentuk
dari salah satu sikap penolakan atas tindakan-tindakan tehadap
pola pikir islam yang ekstim yang akan menghasilkan kedzaliman dan kebatilan.57
Sedangkan Azyumardi Azra58
menjelaskan bahwa Islam Wasathiyah yang
berkembang di Indonesia telah lama ada dan melalui perkembangan yang panjang di
mulai dari masa islamisasi sampai kepada tahap islam washatan yang inklusif,
akomodatif dan toleran terhadap agama lain. Proses pembaharuan Islam moderat di
Indonesia juga dilakukan dengan cara damai dalam akulturasi perbedaan yang bisa
teratasi dan sesuai dengan ortodoksi Islam yang sesungguhnya dan merupakan
karakteristik dan jati diri yang ada pada Islam Indonesia yang sesungguhnya.59
Muhammad juga dalam salah satu seminar internasional Alumni Al-Azhar
menyatakan beberapa poin yang menjelaskan Islam moderat. Diantaranya yaitu:
1. Nalar atau akal yang memberikan ruang kepada keilmuan lain untuk berpendapat;
2. Nalar atau akal moderat menghargai pilihan dan pandangan hidup seseorang;
3. Nalar atau akal moderat tidak mengabsolutkan kebenarannya sendiri dan
mengklaim kebenaran orang lain sebagai kesalahan;
4. Nalar moderat tidak membenarkan atas tindakan kekerasan atas nama apapun;
57
http://Fathurrahman-suda.blogspot.com/2011/04/mengenai-konsep-islam-moderat.html.
Diakses pada tanggak 24 Oktober 2018 58
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 59
https://profazra.wordpress.com/tag/islam-moderat/ diakses pada tanggal 24 Oktoer 2018
59
5. Nalar moderat menolak adanya pemaknaan tunggal teks. Karena teks dalam
kalimat memiliki banyak tafsiran;
6. Nalar moderat terbuka untuk kontruksi yang membangun;
7. Nalar moderat selalu mencari pandangan yang adil dan maslahat bagi kehidupan
bersama.60
Melihat berbagai pendefinisian Islam Moderat diatas, maka menurut penulis
sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana pemikiran Muhammad terhadap segala
pengupayaannya dalam membentuk berbagai elemen ukuwah nisaiyyah yang ia
lakukan. Karena Muhammad lebih memfokuskan gagasannya kepada subtansi dari
agama itu sendiri agar sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat yang dinamis.
Sehingga kontektualitas adalah cara muhammad dalam memahami islam yang
berkeadilan dan islam yang moderat bukan islam yang ektrim.
Penulis juga berbendapat bahwa pemikiran feminis Muhammad perlu
diapresiasi. Dimana pemikiran tersebut telah mendobrak gagasan tradisonal tradisi
pesantren yang eksklusif. Muhammad juga selalu mencoba memberikan pemahaman
dan gagasan baru yang sesuai dengan keislaman pada zaman ini. Gagasannya tersebut
bukan untuk mengurangi atau menyalahkan pandangan ulama klasik atau upaya atas
perusakan moral dan kebenaran atau pemahaman kitab suci yang sering dituduhkan oleh
tokoh-tokoh yang
kontra terhadap feminisme.
Namun, yang terjadi sebaliknya. Gagasan tersebut dilakukan Muhammad untuk
menghadirkan relasi yang baik agar ketimpangan terhadap entintas lain tidak muncul.
60
https://www.youtube.com/watch?v=v7sBd5bOM7k Penjelasan KH Husein Muhammad
tentang Keluasan Makna al Qur'an. diakses pada tanggal 10 November 2018.
60
Sehingga misi dan visi al-Qur‟an yang tertuang dalam ideologi ketauhidan termuat dan
selalu ada dalam kehidupan umat manusia. Bahkan dalam hal menentukan ijtihadnya,
Muhammad banyak mengutip berbagai argumen dari kitab-kitab tradisional atau
pandangan ulama klasik sebagai pengupayaannya dalam memberikan sebuah kebenaran
yang belum bisa dilihat. Diagra di bawah ini akan menjelaskan secara ringkan
penjelasan-penjelasan di atas.
POLA PRMIKIRAN HUSEIN MUHAMMAD
ISLAM
Upaya yang dilakukan
Demokrasi dan HAM
Visi dan Misi al-Qur’an
Trilogi Islam
Ketauhidan
Keyakinan Norma/ aturan Ahlak
Perempuan
Kesetaraan, Kesatuan, Keadilan. Kebebasan,
penghargaan
Pembaharuan/ peninjauan
ulang terhadap metode
yang sudah ada
Menciptakan metode baru yang lebih relavan
dengan problem kontemporer
Mengakhiri dikotomis keilmuan
Reinterpretasi teks
menggunakan metode
kontektualis yang berkeadilan
gender
Pintu ijtihad tidak tertutup
Tidak ada eklusifitas metode
keilmuan
UKUWAH NISAIYYAH
Entitas perempuan selalu menjadi korban
tidak keadilan dalam hidup bermasyarakat,
adanya penafsiran bias gender oleh para
agamawan yang hasinya dalam
maenstream masyarakat menjadi
kebenaran mutlak dan normatif, adanya
stagnansi pemikiran mengenai superioritas
laki-laki dan inforioritas perempuan, dan
penyebab bias gender lainnya.
UKUWAH INSANIYYAH
Hasil dari reinterpretiasi tidak menjadikan hukumnya normatif, sakral dan mapan. Hasil ini
akan berubah sesuai dengan konteks dalam penelitian.
61
BAB IV
HUSEIN MUHAMMAD dan WACANA ISTRI SEBAGAI PENCARI
NAFKAH
Pada bab IV penulis mendiskusikan pandangan Husein Muhammad tentang istri
sebagai pencari nafkah dengan pandangan para mufasir yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya. Dalam diskusi ini, penulis fokus pada pencarian persamaan dan perbedaan
pandangan antara Muhammad dan para penafsir tersebut serta pandangan lainnya yang
relevan. Di bagian akhir, penulis mendiskusikan relevansi pemikiran Muhammad dalam
wacana istri sebagai pencari nafkah di Indonesia.
A. HAKEKAT ISTRI
Istri merupakan salah satu agen keluarga yang memiliki peran tertentu yang
menjadi kepastian untuk dijalankan oleh perempuan yang telah menikah.1 Pendapat ini
sama dengan pendapatan Duvall dan Miller yang di kutip Novi Qonitatin2, mereka
menyatakan bahwa perkawinan merupakan suatu transisi peran laki-laki dan perempuan
setelah menikah.3 peran istri diantaranya:
1. Peran Istri Terhadap Pasangan
Peran pertama ini peran istri sebagai pasangan. Kesepakatan merupakan satu
1 Pernikahan menurut UU nomor 1 tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara pria dan
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang esa. 2 Dosen Fakultas Psikolog Universitas Diponegoro Semarang.
3 Novi Qanitatin, Penyesuaian Perkawinan dengan Kecenderunga Kesenjangan Konsep Peran
Suami dan Istri, makalah ini dipersentasikan dalam Nasional Conference Promoting Harmony in Urban
Community: a Multi-Perspective Approach, Surabaya 4 Oktober 2012, di terbitkan oleh Fakultas
Psikologi Universitas Surabaya.
62
hal yang wajib ada di dalam pembentukan peran istri terhadap relasinya dengan
pasangan. Jika kesepakatan menghasilkan istri harus melakukan peran untuk
menyediakan segala kebutuhan suaminya seperti menyiapkan makanan, mencuci baju
dan lainnya itu sebagai sebuah kewajiban seperti dalam pandangan umum masyarakat,
maka istri dituntut mengerjakan itu semua. Pandangan umum tersebut diperkuat dengan
argumen bahwa mahar yang menjadi salah satu syarat wajib pernikahan dalam beberapa
pandangan masyarakat dianggap seperti sistem kepemilikan. Konsekuensi dari logika
narasi kepemilikan istri atas suami menjadikan adanya kekuasaan suami secara penuh
terhadap istrinya.4
Pandangan di atas juga disampaikan Ainul Mardhiyah. Penelitiannya
menjelaskan bahwa istri dalam keluarga bersifat fungsional, yang mana perempuan
memfungsikan perannya dimanapun sebagai objek dan laki-laki sebagai subjek.5 Ia juga
mengutip pandangan Munti yang mengatakan bahwa perempuan diberbagai bidang
selalu dihadapkan pada peran sebagai oposisi biner6 dengan tubuh laki-laki.
7
Husein Muhammad mengkritik pemahaman di atas sebagai rumusan relasi
gender yang sepihak dan menempatkan istri sebagai pihak yang pasif. Rumusan relasi
suami istri ini dalam pandangannya belum memperhatikan hak dan kehormatan istri
secara memadai.8 Jadi dalam pandangan muhammad relasi suami istri harus dilandasi
keadilan dan kesetaraan.
4 Ulfa Abdullah, Hak Perempuan dala Keluarga Menurut Pandangan Asma Barlas, Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016, h. 61 5 Fungsi disini bisa diartikan sebagai pekerjaan yang memberikan manfaat dalam sesuatu hal
atau memfungsikan pekerjaannya sesuai dengan waktu. 6 Oposisi biner dapat diartikan sebagai dua hal yang saling bertentangan.
7 Ainul Mardhiyyah, Kontruksi Seksualitas Perempuan dalam Literatur Pesantren Klasik: (Studi
Terhadap Kitab Uqudulujayn Karya Nawawi al-Bantani), PALESTREN, Vol. 6, No. 1, Juni 2013. 8 Husein Muhammad, Ijtihad kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, h. 13-14
63
2. Istri sebagai ibu.
Salah satu tujuan pernikahan yaitu untuk melanjutkan keturunan sebagai salah
satu bentuk keberlangsungan hidup manusia.9 Hal tersebut menjadi cita-cita dari setiap
pasangan suami istri. Ketika istri telah melahirkan anak, maka peran istri bertambah
dengan menjadi seorang ibu yang umumnya bertugas merawat, mendidik dan
melindungi anak-anaknya.
Peran dalam pengasuhan anak semata-mata bukan tugas istri saja sebagai ibu.
Namun juga tugas suami sebagai ayah. Dimana dalam melakukan pemenuhan hak anak
seperti pendidikan, penjagaan dan lainnya harus ada kesadaran dari orang tua dan hak
anak harus dipenuhi dengan kerjasama yang baik dari orang tuanya.10
Pandangan tersebut sama dengan pandangan Huzaemah T Yanggo. Ia
menjelaskan bahwa pemenuhan hak anak seperti pendidikan dan lainnya adalah
tanggung jawab kedua orang tua. Pemahaman tersebut diperkuat oleh nash11
dan
hadis12
. Sehingga pandangan ini menurutnya tidak bertentangan dengan syariat Islam
yang telah ada.13
Salah satu penelitian mengenai peran ayah dalam mengasuh anak
menunjukan hasil yang positif. Dalam aspek-aspek tertentu peran seorang ayah sangat
kritis (penting) untuk menciptakan karakteristik anak yang baik. Penelitian tersebut
penting karena mengandung informasi tentang pemenuhan hak anak tidak hanya
9 Huzaemah T. Yanggo, Hukum keluarga dalam Islam, 2013, Palu: YAMBA, h. 166
10 Dyah Purbasari Kusumaning Putri dan Sri Lestari, Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada
Pasangan Suami Istri Jawa, Surakata: Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 16, no 1, Februari 2015, h. 83. 11
Q.S al-Isra 17: 24 dan hadis “Wahai tuhanku kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka
berdua telah menduduk aku watu kecil” 12
“setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan anak itu menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah) 13
Huzaemah Y. Tanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, h.79
64
dilakukan oleh seorang ibu saja ayah juga.14
Penelitian di atas juga didukung oleh tulisan Mauric J. Elias dalam bukunya. Ia
menyatakan bahwa keterbukaan, pendidikan, kebijaksanaan dan kasih sayang ayah akan
menciptakan karakter anak yang baik.15
Al-Qur‟an juga memuat pemahaman di atas
dalam ayat yang mengisahkan Yusuf dan ayahnya.16
Dimana keterbukaan dan
komunikasi yang baik diperlihatkan nabi Ayub kepada yusuf.17
Mengenai peran istri sebagai ibu, pandangan Muhammad sendiri tidak jauh
berbeda dengan pandangan di atas. Muhammad mengaitkan peran istri sebagai ibu
dengan pekerjaan-pekerjaan yang secara kodrat hanya dimiliki oleh perempuan seperti
melahirkan menyusui mengandung. Sedangkan tugas-tugas selain yang sudah
disebutkan tadi merupakan tugas bersama antara suami dan istri.18
3. Istri sebagai ibu rumah tangga.
Perubahan yang akan dialami perempuan setelah menikah selain sebagai istri juga
sebagai ibu rumah tangga. Dalam pandangan umum masyarakat, seorang ibu bertugas
untuk merawat dan membersihkan seluruh rumah seperti menyapu, memasak dan
lainnya. Walaupun sekarang kenyataannya peran ini bisa digantikan dengan
memperkerjakan pembantu rumah tangga. Namun, yang harus dipahami bahwa peran-
peran yang ada merupakan hasil diskusi yang baik dari suami dan istri.
Lily Zakiyah Munir19
berpandangan bahwa peran istri tidak harus indentik
14
Farida Hisayati, Dian Veronika dan Karyono, Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak, Fakultas
Psikolog Universitas Diponegoro Semarang, Jurnal Psikolog Undip Vol. 9, No. 1, April 2011 15
Mauic J. Elias, Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, Bandung: Kaifa, 2000, h. 54 16
Q.S Yusuf 12:4-5 17
A.M Ismatullah, Nilai-nilai Pendidikan dalam Kisah Yusuf (Penafsiran H.M. Quraish Syihab
atas Surah Yusuf), Jurnal STAIN Samarinda. H. 1-15 18
Wawancara dengan Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018 19
Aktivis Perempuan NU dan Direktur Center For Pesantren and Democracy
65
dengan pekerjaan rumah, namun juga memilik peran lain di luar itu seperti di publik,
pendidikan dan lainnya.20
Pandangan tersebut juga diperkuat dengan pandangan
Muhammad bahwa perempuan mempunyai hak melakukan aktifitas di luar rumah baik
kepentingannya sendiri atau sosial. Argumentasi tersebut diperkuat dengan sejarah para
perempuan Islam dahulu yang melakukan pekerjaan publik seperti berdagang,
berwirausaha, berkebun, bertani dan lainnya.21
4. Istri sebagai makhluk sosial/ bermasyarakat
Manusia merupakan salah satu makhluk sosial, dimana dalam kehidupannya
selalu butuh berinteraksi dengan manusia lainnya dan pada setiap individu memiliki
tangung jawab sosial22
. Peran istri sebagai makhluk sosial dapat diartikan sebagai peran
istri untuk bermasyarakat dengan melakukan interaksi-interaksi dengan orang lain yang
ada disekitarnya di luar rumah tangga.23
Peran kemasyarakatan ini bertujuan
mencipatakan keakraban, persaudaraan, persatuan dan lainnya demi mewujudkan
kemaslahatan manusia secara keseluruhan.24
Muhammad menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki merupakan makhluk
yang membutuhkan satu sama lain dan memiliki peran dan hak yang sama baik bersifat
individu maupun kelompok (bermasyarakat). Argumen tersebut di perkuat dengan Q.S
an Nisa 4:1.
Lebih jauh lagi muhammad menjelaskan bahwa pengorganisasian atau interaksi
20
Lily Zakiyah Munir, memposisikan Kodrat, Bandung: Mizan, 1999, h. 136 21
Fiqh Perempuan, Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, h.170 22
Tanggung Jawab sosial merupakan sebuah konsep bahwa setiap individu atau kelompok
memilliki suatu tanggung jawab terhadap komunitas atau lingkungan sosialnya dalam segala aspek. Lihat:
Wikipedia 23
Abdul Muchith Muzadi, Fiqih Perempuan Praktis, 2005, Jember: Khalista, h. 61 24
Perpustakaan Nasional RI, Tanggung Jawab Sosial (Tafsir al-Qur‟an Tematik), Jakarta: Lajnah
Pentasihan Mushaf al-Qur‟an, 2011, h.55
66
yang baik pada masyarakat sedikit banyaknya akan mengaktualisasikan setiap diri
manusia untuk menemukan jati dirinya sebagai kumpulan orang-orang yang merdeka,
potensial, dan mendapatkan penghargaan. Sehingga potensi pada setiap individu dapat
berdaya untuk kemanfaatan baik dirinya sendiri atau lainnya.25
5. Istri sebagai pekerja/perempuan karir.
Peran ini merupakan salah satu peran yang masih menjadi perdebatan dalam
kajian keislaman. Walaupun peran ini sudah ada ketika perempuan sudah menjadi istri
yaitu bekerja di ruang domestik seperti membersihkan rumah dan lainnya yang
dianggap sebagai peran normatif dalam pandangan masyarakat. Pekerjaan tersebut tidak
mendapatkan upah dan dilakukan dengan terus menerus tanpa henti.
Namun peran istri sebagai pekerja disini adalah istri yang bisa bekerja dan
mendapat upah. Penelitian Erni Pujiastuti dan Sofia Retnowati, mengutip pendapat
Abbort yang menjelaskan bahwa tingkat kepuasan pernikahan istri yang bekerja lebih
tinggi dari pada yang tidak bekerja karena dapat menjadi perempuan mandiri dan dapat
melepas ketergantungan terhadap suami dan merasa memiliki harga diri.26
Salah satu
contohnya perempuan karir yang bekerja sebagai pencari nafkah. Pembahasan mengenai
hal tersebut akan dijelaskan pada sub-bab terpisah.
Problem perempuan pekerja yang pernah menjadi salah satu kajian gender di
Mukhtamar NU yaitu tentang perempuan yang bekerja di malam hari. Pihak NU
memperbolehkan perempuan bekerja di malam hari dengan syarat aman dari fitnah dan
25
Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, h. 189-200 26
Erni Puji Astuti dan Sofia Retnowati, Kepuasan Pernikahan dengan Depresi pada Kelompok
Wanita Menikah yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja, terbit di Humanitas: Indonesian Psychologycal
Journal Vol. 1 No. 2 Agustus 2004, Universitas Gajah Mada, h.3
67
mendapat ijin suaminya.27
Pendapat tersebut juga disampaikan Muhammad bahwa
perempuan bebas melakukan kegiatan di luar rumah selama itu aman.28
Lebih jauh, Muhammad menyebutkan relasi suami dan istri sebagai sebuah
Mu‟āsyarah bi al-Ma‟ruf yaitu hubungan atau pergaulan seperti pertemanan dan
kekeluargaan antara laki-laki dan perempuan yang didasari atas aspek kebersamaan dan
kesatuan serta dilakukan dengan cara yang baik. Relasi ini menurutnya harus
disesuaikan dengan tradisi yang ada dan tidak bertentangan dengan norma dasar
keagamaan.29
Muhammad juga meyakini bahwa kebersamaan, keseimbangan dan
keadilan antara suami dan istri akan menjadi pondasi kuat keluarga. Ketiga pondasi ini
yang menurutnya harus ada pada relasi suami istri agar tercipta sebuah keharmonisan
yang menghantarkan pada tujuan perkawinan.30
Sebagai relasi suami dan istri, keduanya akan diberikan hak dan kewajiban:
suami memiliki hak atas istri, istripun demikian. Mengenai hak istri, Muhammad
membagi ke dalam dua bagian yaitu hak materi (kebendaan) dan hak non materi (bukan
kebendaan)31
.
Pemahaman tersebut juga diutarakan oleh Yusuf al-Qardhawi dengan mengutip
Q.S ar-Rum :21 yang berbunyi:
ىدة وسحوت إى فى ي أفسكن أصوجب لتسكىا إليهب وجعل بيكن ه يج لقىم يتفكشوى أى خلق لكن ه رلك ل
27
Jamal Ma‟mur, Disertasi “Dinamika Pemikiran Gender Dalam Nahdhlatul Ulama (Studi
Keputusan Mukhtamar Nahdlatul Ulama ke 28 (1989) sampai Mukhtamar Nahdlatul Ulama ke 32 (2010),
2014, IAIN Walisongo Semarang, h, 44. Lihat juga : Umdah al-Qâri SyarḥṢhahih Bukhari Karya
Badruddin al „Aini, Mesir: al-Muniriyah, juz 20, h.218, Is‟âd ar-Rafîq Syarḥ Sullam at-Taufiq karya
Muhammad Salim Bafadal, Surabaya: al-Hidayah, juz 6, h.125, Fathul Wahhâb dan Futûhat al-Wahhâb
bi Taudîh Fatḥ al-Wahhâb karya Zakaria al-AnṢâri dan Sulaiman bin ManṢur al Jamal, Beirut: Dâr al-
Fikr, jilid 1 h. 416-417, 28
Wawancara Husein Muhammad 18 Oktober 2018 29
Husein Muhammad, Fiqh Keluarga Refleksi kiai atas wacana Agama dan Gender,h. 146. 30
Husein Muhammad, Ijtihad kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, h.8 31
Ahmad Mun‟im, Hak-hak Perempuan Dalam Perkawinan (Studi Kpmparatif Pemikiran Misbah
Mustofa dan Husein Muhammad), Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
68
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kami yang berfikir.
Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan hak-hak yang
suami berikan kepada istri tidak hanya besifat material tetapi juga non materi. Karena
sebagai relasi yang bertujuan untuk mencapai cinta dan kasih sayang yang sempurna
baik secara jasmani dan rohani, maka hal ini tentu saja berkaitan dengan emosi
kejiwaan. Oleh karena itu menurutnya, kewajiban atas ruh atau yang bersifat emosional
harus dipenuhi suami kepada istrinya seperti kasih sayang, kelembutan dan hal-hal yang
menyenangkan perasaan istri lainnya.32
Adapun pembagian hak-hak istri menurut Muhammad dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Mahar33
Mengenai mahar, Muhammad menyatakan bahwa ketentuan atas pemberian
mahar dalam perkawinan adalah sebuah „urf atau adat kebiasaan yang telah dibentuk
oleh setiap kelompok masyarakat tersendiri.34
Maka akan ditemukan kadar nafkah pada
setiap masyarakat akan berbeda karena memiliki adat kebiasaan yang tidak sama.
Pendapat Muhammad tersebut juga merupakan pandangan umum yang terjadi dalam
32
Yusuf Qarhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, Jakarta: Gema Insani, 1995, h. 604. 33
Mahar bisa diartikan dengan maskawin. Dalam hukum islam mahar didefinisikan sebagai
pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita, baik berupa bentuk barang, uang atau jasa yang
tidak pertentangan dengan hukum islam. mahar disini juga merupakan simbol ikatan yang diberikan
suami kepada istri sebelum terjadinya hubungan suami istri. Lihat: Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia
Hukum Islam, Jakrta: PT. Intemasa, 2003,h. 1042. 34
Fiqh Perempuan Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, h. 148
69
masyarakat. Bahkan di dalam keputusan counter legal draf kompilasi hukum islam
menyatakan bahwa mahar dapat diberikan laki-laki kepada calon istrinya atau
sebaliknya. Hal tersebut tercatat pada pasal 16.35
2. Nafkah
Muhammad mendefinisikan nafkah adalah sebagian pengeluaran atau sesuatu
yang dikeluarkan oleh seseorang baik berupa makanan, pakaian, minuman, baju dan
kebutuhan lainnya kepada tanggungannya.36
Sebagian besar ulama menyatakan bahwa
kewajiban memberikan nafkah ditunjukan hanya kepada laki-laki sebagai suami. Hal ini
disesuaikan dengan perintah dari al-Qur‟an secara tekstual.37
Namun, dalam pendefinisian Muhammad di atas, ia tidak menyebutkan indentitas
kelamin mana yang diberikan tugas untuk memberikan nafkah. apakah itu laki-laki
seperti pemahaman kebanyakan ulama, ataukah perempuan. Pemahaman mengenai
nafkah dalam pemikiran Muhammad lebih lanjut akan dibahas dan dipaparkan dengan
rinci pada sub bab yang terpisah.
3. Kebutuhan seksual
Kebutuhan seksual merupakan salah satu kodrat yang diberikan Allah Swt
bahwa setiap dari lawan jenis memiliki hasrat kebutuhan seksual.38
Tetapi pada faktanya
kebutuhan tersebut satu dengan yang lain sering dihadapkan pada kesulitan untuk
memenuhinya, baik disebabkan karena komunikasi yang tidak lancar, karena kesibukan
ataupun keangkuhan dari salah satu pihak.
35
Abdul Khair, Telaah Kritis “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam” (Reorientasi Fikih
Huku Keluarga Indonesia), Sekolah Tinggi Aama Islam Negeri Wantampone, h. 29. 36
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender, h.150 37
Q.S al-Baqarah 2:233, Q.S an-Nisā 4:34 dan Q.S al-Falāq 64:6 38
Musdah Mulia, Mengupas Seksualitas, Mengerti Arti, Fungsi dan Problematika Seksualitas
Manusia Era Kita, 2015, Jakarta: Serambi Ilmu Kita, h. 19
70
Mengenai kebutuhan seksual, Musdah Mulia menjelaskan bahwa kebutuhan
seksual antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk mengekspresikan
seksualitas tanpa adanya pendiskriminasian dalam kebutuhan seksual ini. Sedangkan
Asma Barlas menyatakan bahwa kebutuhan seksual dalam pandangan Psikoanalisis39
merupakan hak otonom setiap individu dalam menikmati kepuasan seksual.40
Argumen
Mulia dan Barlas ini juga sejalan dengan argumen Muhammad bahwa sebuah
perkawinan salah satu tujuannya untuk menyalurkan hasrat sesksual dengan sah. Hak-
hak atas pemenuhan kebutuhan seksual seperti memiliki keaktifan yang sama dalam
pemenuhan kebutuhan seksual tersebut. 41
Namun, argumen kedua tokoh tersebut berlawanan dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Nawawi al-Bantani yang menjelaskan bahwa hak seksual hanya
dimiliki oleh laki-laki untuk menikmati tubuh perempuan tetapi tidak berlaku
sebaliknya.42
Hal tersebut di karenakan laki-laki telah memberikan mahar sebagai akad
untuk memiliki perempuan. Maka kuasa laki-laki terhadap perempuan tercipta dan
inilah yang akan menjadikan perempuan selalu tersubordinatkan.43
Menanggapi pemikiran klasik di atas, Muhammad menjelaskan bahwa
pemenuhan kebutuhan seksual harus dilakukan dengan cara yang ma‟ruf yaitu dengan
cara yang wajar tanpa menyakiti istri dan harus disesuaikan dengan anjuran al-qur‟an
dan hadis. Salah satunya tidak boleh menyetubuhi istrinya lewat dubur.44
Beberapa bentuk hak-hak istri dalam pemenuhan seksual, diantaranya:
39
Psikoanalisis yaitu motode ilmu kejiwaan untuk mengetahui kejiwaan seseorang. Lihat: J.S
Badudu, Kamus Kata Serapan, Jakarta: Kompas, 2009, h.291. 40
Asma Barlas, Cara al-Qur‟an Membebaskan Wanita (terj), Jakarta: Serambi, 2005, h. 264. 41
Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kyai Pesantren, h.164. 42
Fiqh Perempuan Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender, h.236 43
Elya Munfarida, Seksualitas Perempuan dalam Islam, Jurnal Yin Yang, 2010, vol 4, no. 2 44
Husein Muhammad, Fiqh Islam Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender, h.154.
71
3.1. Hak istri menolak berhubungan badan. Mengenai asas keadilan dan kesetaraan,
penolakan dalam hubungan seksual tidak hanya dimiliki oleh laki-laki tetapi juga
oleh perempuan. Contohnya ketika perempuan sedang dalam keadaan uzur seperti
sakit atau belum siap berhubungan seksual, maka istri boleh menolak itu dan hal
tersebut tidak bisa dinyatakan sebagai nusyuz karena kerelaan atas keduanya
harus ada bukan hanya satu pihak saja.45
3.2. Hak menolak kehamilan. Sebagai seseorang yang akan mengalami sendiri
bagaimana mengandung dan melahirkan, istri seharusnya sudah siap dalam
menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam proses-proses
tersebut. Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau istri dianggap berhak untuk
menolak kehamilan apabila dirasa belum atau tidak sanggup. Seyogyanya sebuah
relasi suami dan istri dilakukan dengan baik agar satu sama lain tidak ada yang
tersakiti dan terbebani.46
3.3. Hak aborsi. Kasus aborsi dalam al-Qur‟an di anggap sebagai salah satu bentuk
pelanggaran atas hak hidup manusia. Namun dalam fiqh masih terdapat beberapa
perdebatan baik membolehkan atau tidak. Menurut Muhammad mengenai hukum
aborsi ini harus dilihat dalam beberapa aspek, khusunya mengenai kesehatan
perempuan. Ia juga menyatakan bahwa kepentingan keselamatan seorang ibu
dalam melakukan aborsi harus diutamakan. Penelitian tentang Biotika Islam
dalam menangani tindakan aborsi menjelaskan hukum dari aborsi dapat dilihat
dari konteks yang mendasarinya. Jadi dalam kasusnya, aborsi bisa saja dihukumi
haram, makruh, mubah bahkan wajib tergantung situasi dan kondisi dari janin itu
45
Husein Muhammad, Ijtihad Kya Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, h. 80. 46
Husein Muhammad, Ijtihad Kya Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, h. 84.
72
sendiri dan ibunya.47
Contohnya jika aborsi mengancam nyawa ibunya karena
akan mengakibatkan pendarahan maka aborsi tidak diperbolehkan dan begitupun
sebaliknya.
Pemenuhan kebutuhan seksual yang paling utama dilakukan dan ditekankan yaitu
keadilan dan kesetaraan. Hak-hak yang ada di dalamnya berlaku sama bagi suami dan
istri. Dalam sebuah penelitian, pemahaman Muhammad mengenai pemenuhan
kebutuhan seksual ini dinyatakan sebagai pemahaman baru di dunia feminisme jika
dilihat dari kajian Islam klasik baik bidang fiqh, tafsir dan lainnya.48
Pemenuhan kebutuhan seksual ini merupakan salah satu perkara yang masih
dibahas dalam dunia feminisme. Hal ini dipicu oleh banyaknya kekerasan seksual yang
tejadi. Setidaknya terdapat 15 bentuk kekerasan seksual salah satunya yang sudah
disebutkan di atas. Hampir dalam setiap masyarakat perempuan selalu menjadi korban
akibat ketimpangan seksual ini.49
Contoh ketika suami ingin memiliki anak banyak
sedangkan perempuan hanya ingin memiliki anak dua saja, maka penderitaan hanya
akan dialami oleh istri yang akan mengandung dan melahirkan anak. Bahkan tidak
hanya penderitaan tersebut tetapi juga ancaman kematian juga akan menghampiri
perempuan.50
Beberapa hasil penelitian, menunjukan Indonesia menempati peringkat dua dalam
problem kematian ibu dan anak. Laporan World Bank tahun 2017 menyatakan setiap 6
47
A. Zaenurrosyid, Biotika Islam (Tindakan Aborsi dalam Konteks Keindonesiaan) 48
Muhammad Tabroni, Makna Seksualitas dalam al-Qur‟an Menurut Husein Muhammad, Jurnal
al-„Araf IAIN Surakarta, 2017, h.222. 49
Ninik Rahayu, Penghapusan kekarasan Seksual di KUPI dalam buku diskursus Keulamaan
Perempuan Indonesia, Jakarta: Rahima 2017, h. 205 dan lihat, koran Sindo, Selasa 25 April 20017. 50
Husein Muhammad, Fiqh Keluarga, Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, h. 144.
73
jam sekali terdapat ibu yang meninggal setelah melahirkan.51
Dunia medis juga
menyebutkan penyebab dari kematian ibu setelah melahirkan yaitu: terlalu muda, terlalu
tua, terlalu sering melahirkan, terlambat penangananya dan lainnya.52
4. Relasi kemanusiaan
Kemanusiaan53
merupakan bagian dasar yang harus ada kepada setiap manusia.
Mengenai kemanusiaan perempuan, menurut Nur Rofiah54
menyebutkan bahwa terdapat
tiga point untuk menunjukan kemanusiaan perempuan. Pertama, perempuan merupakan
hamba Allah bukan hamba laki-laki karena laki-laki dan perempuan setara sebagai
hamba Allah55
, kedua tidak adanya kedudukan perempuan sebagai second class karena
laki-laki dan perempuan berasal dari bahan ciptaan yang sama56
, ketiga ketinggian
derajat tidak ditunjukan atas jenis kelamin tetapi atas dasar ketakwaan kepada Allah Swt
semata.57
Berbeda dari Nur Rofi‟ah yang membagi nilai kemanusiaan dengan tiga bagian,
Namun Muhammad memandang kemanusiaan dengan mengategorikan menjadi dua
asas yaitu kesetaraan (al Musawah) dan kebebasan (al huriyyah). Kedua asas ini
membentuk prinsip lain di kehidupan manusia seperti penghormatan, perlindungan,
51
https://kumparan.com/@kumparansains/angka-kematian-ibu-dan-bayi-indonesia-tertinggi -
kedua-di-asia-tenggara diakses pada tanggal 31 Oktober 208. 52
https://katadata.co.id/analisisdata/2018/05/30/rapor-merah-angka-kematian-ibu-indonesia
diakases pada tangga 31 Oktober 2018. 53
Kemanusiaan diartikan sebagai sifat yang mutlak ada dalam manusia baik laki-laki maupun
perempuan yang berkonotasi positif seperti sifat tolong-menolong. Kemanusian juga bisa diartikan
sebagai hakekat manusia yang telah diberikan kodrat oleh Allah swt seperti tidak adanya sifat/tindakan
ketuhanan dimana manusia satu dengan manusia lain memiliki kesamaan. 54
Dosen Pasca-Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta 55
Q.S adz-Dzāriyāt 51: 56 56
Q.S al-Mu‟minun 23: 12-14 57
Disampaikan dalam seminar Nasional “Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai
Keislaman, Kabangsaan dan Kemanusiaan” dalam acara Konggres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)
26 April 2017 di Cirebon.
74
persatuan dan lainnya.58
Jadi antara laki-laki dan perempuan baik itu sebagai suami dan
istri ataupun bukan, maka kedua asas ini harus ada dalam relasi kemanusiaan agar
hubungan suami dan istri dapat terjalin dengan baik dan tidak ada yang
mensubordinatkan satu sama lain atau terciptanya ketimpangan lainnya.59
Muhammad menjelaskan bahwa relasi kemanusiaan dalam kesetaraan
merupakan penegasan Islam pada ajaran dasarnya mengenai tauhid. Bahwa setiap
manusia memiliki kedudukan yang sama dihadapan-Nya dan didalamnya disebutkan
bahwa perbedaan yang ada pada laki-laki dan perempuan hanya ada pada ketaatannya
terhadap Allah semata.60
Lebih lanjut Muhammad menguraikan bahwa prinsip kesetaraan tidak hanya ada
di hadapan Allah saja (vertikal) tetapi juga dihadapan manusia (horizontal). Sehingga
diharuskan semua manusia tidak saling merendahkan, diskriminasi dan lainnya terhadap
sesama manusia. kemudian dalam kesetaraan manusia dituntut untuk bersama
menciptakan kebaikan dalam kehidupannya.61
Oleh karena itu, bentuk diskriminasi
apapun baik berupa kekerasan, penghinaan, dan lainnya yang dilakukan manusia kepada
entitas manusia lain dalam jenis berbeda seperti kelamin, warna kulit, suku, ras dan
lainnya merupakan tindakan-tindakan yang tidak akan dibenarkan oleh agama. Bahkan
sudah termasuk kedalam bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.62
Asas kedua dalam relasi kemanusiaan adalah kebebasan. Muhammad
menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya telah diberikan potensi (al-
58
https://www.swararahima.com/07/10/2018/islam-dan-hak-asasi-perempuan/ diakses pada
tanggal 20 Oktober 2018. 59
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, h.156 60
https://www.swararahima.com/?p=3599&preview=true diakses pada tanggal 20 Oktober 2018. 61
Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender, h.144. 62
Husein Muhammad, Fiqh Seksualitas Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-hak Seksualitas,
Jakarta: Pkbi, 2011, h. 167.
75
quwwa) dan kemampuan (al-ahliyyah) yang sama dalam mengemban tugas-tugas di
dunia sebagai hamba oleh Allah swt.63
Maka dengan potensi dan kemampuan inilah
keduanya bisa menjalankan apapun yang diinginkan baik dalam bersosial, bekerja dan
lainnya tanpa harus mendapatkkan intimidasi dari siapapun.64
Kedua asas kemanusiaan (kesetaraan dan kebebasan) ini harus dipahami oleh laki-
laki agar kesenjangan dalam problem relasinya baik dalam keluarga maupun masyarakat
baik dibidang sosial, ekonomi, politik dan lainnya bisa teratasi. Peran sebuah negara
dalam mengayomi masyarakatnya juga harus ada untuk memenuhi hak laki-laki dan
perempuan sebagai warga negara dalam ketentuan yang berbasis kesetaraan dan
keadilan dan dapat diaplikasikan pada hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat
bernegara seperti Indonesia ini.65
Walaupun dalam kenyataannya masih ada penetapan
hukum yang masih bias gender. Khususnya hukum yang mengenai masalah seksual.66
Pandangan Husein Muhammad tentang hak istri dapat diringkas sebagai berikut:
Hak Istri dalam Pandangan Husein Muhammad
63
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kyai Pesantren, h.165. 64
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018 65
Husein Muhammad, perempuan, Islam dan Negara: Pergulatan Identitas dan Entitas,
Yogyakarta: Qalam Nusantara, h.104. 66
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
ISTRI
Non materi
Kebutuhan seksual
Hak istri atas suami Materi
Mahar Nafkah Relasi kemanusiaan
Hak aborsi Menolak berhubungan Menolak kehamilan
kesetaraan kebebasan
penegasan Islam pada ajaran dasarnya
mengenai tauhid. Dimana setiap manusia
memiliki kedudukan yang sama dihadapan
Allah swt
Manusia baik itu perempuan maupun laki-laki pada dasarnya telah diberikan potensi-potensi
(al-kuwwa) dan kemampuan-kemampuan (al-ahliyyah) yang sama dalam mengemban tugas-
tugas di dunia, Sehingga pada diri keduanya memiliki hak otonom atas dirinya sendiri
76
Bagan 4.1
Diagram 4.1
PERAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
Diagram 4.2
B. ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH
Perempuan dalam pandangan umum masyarakat mempunyai beberapa norma
yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Seperti perempuan diharuskan di rumah dan
bekerja didomestik karena perempuan merupakan makhluk yang lemah sehingga
kegiatan reproduktif67
tersebut sesuai dengan kodratnya dan laki-laki sebaliknya yaitu
bekeja pada kegiatan produktif .68
Dari sini Secara tidak langsung membentuk sekat
67
Kegiatan reproduktif yaitu kegiatan yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pengembangan
dan keberlangsungan sumberdaya manusia dan biasanya dilakukan dalam keluarga. Kegiatan ini tida
menghhasilkan uang.lihat: 67
Herien Puspitawati, Fungsi keluarga, Pembagian Peran dan Kemitraan
Gender dalam Keluarga, Bogor: IPB Press, 2012, h.3.
68
Herien Puspitawati, Fungsi keluarga, Pembagian Peran dan Kemitraan Gender dalam
Keluarga, Bogor: IPB Press, 2012, h.3.
PERAN ISTRI
Adanya istri yang bekerja merupakan hal yang sudah biasa dan
dianggap normal. Terdapat 2 argumen yang ditunukan dalam
membela gagasan istri yang bekerja khususnya pencari nafkah.
pertama, secara non theologis bekerja mencari nafkah harus
didasari atas kemapuan. Kedua, secara theologis, muhammad
mendasari argumennya pada 3 surat. Q.S 4:34. Muhammad
menyatakan bahwa ayat ini bersifat narasi informatif yang
menggambarkan bagaimana budaya pada saat ayat ini turun yaitu
budaya patriarki. Q.S at-Thalāq 64:6-7 dan al-Baqarah 288.
merupakan sebuah konsekuensi yang dihadapi oleh laki-laki
akibat adanya pembentukan hukum dalam masyarakat yang
menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga.
Untuk itulah dalam segala bentuk relasinya dengan istri maka
suami adalah seseorang yang menafkahi dan istri adalah seseorang
yang dinafkahi.
Muhammad mengaitkan peran istri sebagai ibu
dengan pekerjaan-pekerjaan yang secara kodrati
hanya dimiliki oleh perempuan seperti
melahirkan menyusui mengandung. Sedangkan
tugas-tugas selain yang sudah disebutkan tadi
merupakan tugas bersama antara suami dan istri.
Istri terhadap Pasangan
sebagai Ibu Rumah Tangga
Setiap entitas memiliki hak untuk
saling beinteraksi baik dalam
organisasi mikro maupun makro
dalam masyarakat. Bahkan tidak
sedikit ayat menganjurkan saling
berinteraksi dengan orang lain
dalam berbuat kebaikan seperti
tolong menolong. Dari interaksi
inilah muhammad mengharapkan
manusia menemukan jati dirinya
sebagai manusia merdeka dan
berptensi. Sehingga dapat
berdaya untuk orang lain.
Peran istri Sebagai Pekerja
Peran Terhadap Masyarakat
Istri Sebagai Ibu
Istri sebagai perempuan mempunyai hak
melakukan aktifitas di luar rumah baik untuk
kepentingannya sendiri atau kepentingan
sosial. Argumentasi tersebut diperkuat dengan
sejarah para perempuan Islam dahulu yang
tidak sedikit melakukan pekerjaan publik
seperti berdagang, berwirausaha, berkebun,
bertani dan lainnya.
Istri merupakan
entitas yang yang
mempunyai peran
dan hak sama dengan
suami. Peran ini
menghadirkan
keduanya hak-hak
saling mengasihi,
menyayangi, tolong
menolong dan
menghadirkan peran
yang adil dan setara.
77
antara perempuan dan laki-laki yang dapat menyebabkan munculnya pendiskriminasian,
sterotip, marjinalisasi pada perempuan.
Pemahaman ini juga tidak terlepas dari peranan para agamawan dalam
menentukan tugas-tugas perempuan dalam rumah tangga. Salah satunya dalam
menjelaskan sebuah hadis yaitu:
“Dan seorang istri adalah penanggung jawab (pemimpin) didalam rumah
suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas tugas dan kewajibannya
itu” H.R Al Bukhari dan Muslim”.
Hadits di atas disimpulkan oleh para pemegang otoritas bahwa tugas domestifikasi
yang telah diserahkan kepada istri merupakan tugas yang paling dasar dan personal
yang harus dilakukannya seperti membersihkan rumah, melayani suami, mendidik anak,
dan tugas domestik lainnya.69
Sehingga ketika terdapat perempuan mengerjakan tugas
di luar itu, tidak jarang akan mendapatkan pelabelan buruk dari masyarakat dan
dianggap telah menyalahi kodratnya sebagai perempuan.
Pandangan umum tersebut ditolak oleh Muhammad dengan menjelaskan bahwa
tugas atau peran yang akan dikerjakan perempuan sebagai istri di rumah tangga harus
sesuai dengan prinsip dasar islam yaitu kesetaraan dan keadilan. Ia menjelaskan bahwa
pembagian peran dalam mengurus rumah tangga ataupun di luar itu adalah tugas
bersama yang bisa dilakukan keduanya. Karena Islam sendiri tidak membatasi ruang
gerak laki-laki maupun perempuan dalam dunia kerja.70
Islam hanya memperhatikan
bagaimana pekerjaan tersebut harus menjamin keamanan bagi keduanya.71
69
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 169. 70
Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein Membangun Keadilan Gender, h. 244. 71
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
78
Pernyataan Muhammad ini di perkuat oleh teks-teks keagamaan yaitu Q.S Al-
Ahzab 33:35 yaitu:
ذق ذقيي والص تيي والقتج والص ج والق بشيي إى الوسلويي والوسلوج والوؤهيي والوؤه ج والص
بشث والخشعيي والخشعج ئوج والحفظيي فشوجهن والص ئويي والص والوتصذقيي والوتصذقج والص
غفشة وأجشا عظيوب والحفظج والزكشيي هللا كثيشا والزكشث أعذ هللا لهن ه
Sesungguhnya laki-laki dan perempua muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki
dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-lai dan perempuan yag jujur, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki dan permpuan yang khusyu, laki-lai dan perempuan
yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memlihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
maka allah telah menyiapkan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Argumentasi atas kesamaan peran antara suami dan istri juga ditunjukan oleh Sri
Lestari. Dia menyatakan bahwa peran suami istri dalam rumah tangga adalah sebuah
keluwesan, dimana hal tersebut diartikan bahwa peran yang ada tidak menunjukan
adanya pembagian pada tiap jenis kelamin. Peran-peran yang ada bisa dilakukan oleh
keduanya dengan cara bergantian sesuai dengan kondisi dan kemampuan keduannya.72
Dalam counter legal draft Kompilasi hukum Islam (CLD-KHI) pada bab perkawinan
pasal 49 dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga memiliki
Stance, hak dan kewajiban yang sama.73
Mengenai definisi manusia, Muhammad menggambarkan manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah yang diberi anugerah berupa potensi dan kemampuan yang sama
72
Lestari S, Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga,
Jakarta: Kencana Prenada media Group, h. 75 73
Asriati, Pembaharuan Hukum Islam dalam Terapan dan Perundang-Undangan Di Indonesia,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1 Januari 2012, h. 30
79
antara laki-laki dan perempuan untuk keberlangsungan hidupnya. Diantara potensi atau
kemampuan tersebut bisa berkaitan dengan akal, spritual, tenaga dan lainnya. Kemudian
hal tersebut dapat dimiliki oleh laki-laki dan perempuan karena bersifat relatif.74
Relatif disini yaitu keunggulan potensi yang ada dalam diri laki-laki juga bisa
ada di dalam diri perempuan. Dewasa ini juga telah memperlihatkan bentuk-bentuk
kerelatifan tersebut diantaranya terdapat laki-laki pintar perempuan juga ada yang
pintar, laki-laki bisa menjadi presiden sekarang juga terdapat perempuan yang bisa
menjadi presiden, laki-laki bisa bekerja di sektor publik perempuan juga bisa dan
lainnya. Demikian ini yang secara tidak langsung menggugurkan pemahaman mengenai
domestifikasi perempuan yang telah mapan dalam masyarakat.
Muhammad juga menjelaskan bahwa potensi dan kemampuan yang dimiliki laki-
laki dan perempuan telah menyiapkannya untuk bisa terjun dalam ruang-ruang kerja
dimanapun sesuai dengan potensi yang dimilikinya.75
Jadi dalam dunia kerja perempuan
tidak dibatasi hanya di sektor domestik saja tetapi juga diperbolehkan bekerja di dunia
publik seperti laki-laki. Kusmana dalam bukunya menjelaskan bahwa ungkapan al-
Qur‟an mengenai peran laki-laki dan perempuan menunjukan pembagian yang ideal dan
setara. Namun yang perlu dipahami bahwa peran tersebut tidak mutlak dan harus
disesuaikan dengan kondisi dan tempat yang menyertai posisi laki-laki dan
perempuan.76
74
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018. 75
Husein Muhammad, Menelusuri Jalan Cahaya, h.189. 76
Kusmana, Al-Qur‟an dan Kodrat Perempuan, Sebuah Tawaran Pembacaan Metodologis atas
Realitas Masyarakat, 2018, Depok: PT RajaGrafindo Persada, h.20
80
Mengenai nafkah, Muhammad menjelaskan nafkah yaitu pengeluaran yang
dilakukan oleh seseorang kepada tanggungannya.77
Disini ia tidak menyebutkan siapa
yang harus memberikan nafkah. Dari penjelasannya bisa terlihat bagaimana konsep
nafkah menurut Muhammad bisa dilakukan oleh siapa saja dalam keluarga baik itu oleh
istri atau suami. Penjelasan tersebut juga ditemukan di dalam CLD-KHI yang di buat
oleh kelompok kerja pengurus utama gender DEPAG RI bahwa dalam pasal 51
menjelaskan kebutuhan dasar keluarga (nafkah) merupakam kewajiban suami dan
istri.78
Karena dengan melihat feomena yang ada seperti hadirnya para istri yang bekerja
sebagai pencari nafkah, maka hal tersebut adalah sebuah keniscayaan yang ada. Hal
demikian ini tidak seperti penjelasan banyak ulama yang menekankan pemberian nafkah
hanya diwajibkan oleh laki-laki saja.
Muhammad menjelaskan lagi bahwa nafkah ini merupakan salah satu bentuk
konsekuensi logis yang dihasilkan oleh masyarakat yang telah menganggap,
menghukumi dan membentuk aturan dalam sistem keluarga yang menyatakan bahwa
kepemimpinan keluarga berada ditangan suami. Maka konsep nafkah yang diwajibkan
kepada suami muncul. Hal ini juga menjadi suatu hukum yang sudah ada dalam
dinamika kehidupan masyarakat dahulu hingga sekarang.79
Pernyataan di atas juga dipaparkan oleh Quraish Shihab dalam Tafsirnya. Ia
mengatakan bahwa kewajiban pemberian nafkah laki-laki merupakan sebuah kelaziman
yang sudah ada pada zaman dahulu hingga sekarang.80
Sedangkan lebih dalam lagi
kusmana menjelaskan bahwa Q.S 4:34 menggambarkan implikasi praktis perempuan
77
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, h.150 78
Asriati, Pembaharuan Hukum Islam dalam Terapan dan Perundang-Undangan Di Indonesia,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Hukum Diktum, Volume 10, Nomor 1 Januari 2012, h. 30 79
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018. 80
Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003, h. 407.
81
dalam kehidupan sehari-hari dengan melihat kodrat perempuan secara esensial/kodrati,
maka gambaran kodrat secara praktis telihat dalam ayat tersebut yaitu suami mencari
nafkah dan istri mengurusi rumah.81
Kemapanan sistem nafkah yang terjadi dalam masyarakat dari dahulu sampai
sekarang seakan terus melemahkan perempuan dalam sektor ekonomi. Hal ini
menjadikan ketergantungan yang terus menerus dialami perempuan sebagai istri dan hal
ini menggambarkan perempuan sebagai entitas yang mandiri dalam sektor ekonomi
terhalang dengan sistem nafkah tersebut. Dampak berlanjut dari adanya ketergantungan
ini perempuan akan terus mengalami pelemahan lainnya seperti hak-haknya sebagai
manusia terampas. Apalagi ketika tafsir agama menjadi dogma kepercayaan yang abadi,
masyarakat seakan-akan selalu dituntut untuk melangkah kepada pemahaman tafsir
tersebut. Bagi mereka yang berperilaku di luar apa yang dihasilkan dari tafsiran tersebut
maka ia akan menjadi orang yang tersesat di dalam hidupnya.
Penelitian yang dilakukan penulis pada kitab tafsir baik klasik maupun modern
pada bab 2, dapat disimpulkan bahwa Q.S an-Nisa 4: 34 menunjukan sebagai ayat
hukum oleh masyarakat dimana terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga yang dianggap normatif. Tetapi berbeda
dari pemahaman tafsir tersebut, Muhammad menjelaskan bahwa dalam ayat ini yang
harus dipahami dengan baik adalah Q.S an-Nisa 4:34 bukanlah sebuah ayat hukum
yang telah Allah gariskan kepada setiap makhluk baik itu laki-laki atau perempuan
secara individu maupun kelompok. Tetapi ayat ini menurut Muhammad adalah ayat
narasi informatif.82
81
Kusmana, Al-Qur‟an dan Kodrat Perempuan, Sebuah Tawaran Pembacaan Metodologis atas
Realitas Masyarakat, h. 37.
82
Ayat narasi informatif yaitu ayat yang memberikan gambaran bagaimana tadisi-
tradisi antara laki-laki dan perempuan pada saat ayat ini diturunkan. Dimana Q.S an-
Nisa 4:34 turun dalam kebudayaan patriarki83
yang dalam tradisinya menyatakan bahwa
laki-lakilah yang menjadi kepala keluarga yang bertugas memimpin, mendidik, dan
menjaga perempuan. Kemudian konsekuensi dari laki-laki sebagai pemimpin tersebut
adalah laki-laki diharuskan untuk memberikan nafkah kepada perempuan sebagai
istrinya dan juga kepada keluarganya.84
Muhammad juga menjelaskan bahwa dalam berbagai penafsiran oleh para
agamawan baik klasik maupun modern, dipertegas dalam penelitian yang ia lakukan
terhadap 20 kitab tafsir salah satunya tafsir at-Thabari dan tafsir al-Qurtubi. Menurut
Muhammad semua hasil penelitiannya menyatakan bahwa kepemimpinan laki-laki
disebabkan oleh kelebihan yang ia miliki seperti kekuatan akal, seksual, energi dan
lainnya yang menjadikan laki-laki pantas menjadi pemimpin keluarga.85
Namun, Muhammad memberikan pemahaman sendiri dengan keilmuan yang
dimilikinya. Ia menjelaskan bahwa al-Qur‟an tidak secara jelas memberikan
pendefinisian lebih rinci mengenai bentuk kelebihan yang disebutkan dalam Q.S 4:34
antara laki-laki dan perempuan. Seperti yang dikatakan penafsir klasik dan modern yang
sudah dijelaskan di bab 2. Lanjutnya, Muhammad memberikan pemahaman bahwa
kelebihan laki-laki dan perempuan yang sekarang menjadi pemahaman mainstream atas
Q.S an-Nisa 4:34 dalam kalangan masyarakat adalah sebuah produk yang dihasilkan
82
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018 83
Kebudayaan patriarki adalah sebuah budaya yang mengunggulkan atau superioritas karakter
laki-laki (maskulinitas) dengan memberi ha superioritas untuk mengendalikan dan mendefinisikan apa
saja, di ruang mana saja, domestik mapun publik. Lihat: Husein Muhammad, Ijtihad Kya Husein Upaya
Membangun Keadilan Gender, Jakarta: Rahima, 2011, h. 134. 84
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, h.51 85
Wawancara dengan Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018.
83
oleh ijtihad dari para agamawan khususnya oleh para mufassir.
Jadi hal demikian bukan merupakan kebenaran dan penjelasan yang absolut
mengenai Q.S an-Nisā 4:34. Menurut Muhammad kelebihan-kelebihan yang sudah
menjadi dogma ini sebenarnya bisa saja ada dalam diri seorang perempuan. Apalagi
ketika kita melihat perempuan sekarang ini, tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman
mengenai kelebihan yang ada pada laki-laki tersebut bisa terbantahkan bukan dengan
hukum yang tektualis, tetapi dengan hukum yang kontektualis.86
Alasan Muhammad
juga diperkuat kembali dengan adanya pemahamannya mengenai frase “sebagian” pada
Q.S 4:34 yang dipahami oleh Muhammad sebagai alasan bahwa kemampuan dan
kelebihan yang ada pada laki-laki di atas bisa juga ada pada diri perempuan karena
dalam ayat tersebut hanya disebutkan dengan kalimat “sebagian laki-laki” bukan
“semua laki-laki”.87
Oleh karena itu ketika terdapat perempuan sebagai pencari nafkah untuk
keluarganya itu sah-sah saja. Namun, jika yang terjadi sebaliknya yaitu perempuan
dibatasi untuk tidak mencari nafkah dan hanya bekerja disektor domestik saja. Maka
kita akan melihat banyak keluarga yang akan mengalami kemiskinan dan hidup
kekurangan. Inilah yang menurut Muhammad merupakan bentuk pemiskinan terhadap
perempuan, tidak hanya perempuan saja yang mendapatkan dampak pemiskinan ini
namun juga keluarga, negara dan bangsa akan mengalaminya juga.88
Kebolehan tersebut juga diperkuat dengan sabda rosul ketika ada orang yang
melarang perempuan bekerja di ladang kurmanya. Nabi memberla perempuan tersebut
86
Wawancara dengan Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018 87
Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender, h 53 88
http:// mampu.or.id/ cerita-perubahan/ kh-husein-muhammad-lawan-kemiskinan-dankeke rasan-
terhadap-perempuan-lewat-jaringan-keagamaan/ diakses pada tanggal 05 Oktober2018.
84
dengan mengatakan “ petiklah buah kurmamu itu, agar kau bisa bersedekah dan berbuat
baik kepada orang lain.89
Pandangan Muhammad tentang kebolehan perempuan mencari
nafkah ini juga dikutip dari penjelasan Ibnu Hajar Haitami90
yang menyatakan bahwa
perempuan boleh saja keluar rumah tanpa izin dari suami jika dalam kondisi-kondisi
darurat seperti ketika rumah akan kebakaran, roboh atau untuk mencari nafkah karena
nafkah yang diberikan suami tidak cukup atau keluar karena ada urusan agama dan lain-
lainnya. Apalagi jika perempuan itu adalah janda maka ia diwajibkan bekerja keluar
rumah untuk mencari nafkah keluarganya karena hanya dialah yang diberi tanggungan
untuk mencari nafkah.91
pendapat yang senada juga dikemukakan oleh ulama fiqh
kontemporer yaitu Yusuf Qardawi yang menyatakan bahwa tidak ada pelarangan bagi
perempuan untuk bekerja baik sebagai pencari nafkah maupun tidak oleh syariat
Islam.92
Muhamad menguatkan argumennya dalam tafsir klasik dengan mengutip
pendapat Muqatil bin Sulaiman.93
Ia mengatakan bahwa salah satu dari ketiga bentuk
jihad adalah jihad bi al Amal yaitu jihad yang digambarkan dalam bentuk usaha atau
bekerja. Pendapat ini bisa dikaitkan kepada seseorang yang bekerja sebagai pencari
nafkah untuk keluarganya dinyatakan sebuah jihad dan tidak ada pelarangan atas entitas
89
Husein Muhammad, Ijtihad kyai Husein h. 242 90
Ibnu Hajar Haitami memiliki nama aslinya Al Imam al- Faqih Mujtahid Syihabuddin Ahmad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar as-Salmuti al Haitami al Azhari al Wa‟ili as-Sa‟di al
Makki al-Anshari Asy-Syafi‟i. lahir di Mahallah Abi al Haitam, Mesir bagian Barat pada tahun 909 H dan
wafat di Makkah 973 H. Ia seorang ulama yang ahli fiqih, kalam dan tasawuf. 91
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender, h.173. 92
Yusuf Qardhawi, Fiqh Wanita, tej. Aceng Misbah dkk, Bandung: Jabal, 2009, h. 89 93
Munqati; bin Sulaman memiliki nama lengkap Munqatil bin Sulaiman bin Basyir al-Balkhi al-
Adzi. Belaiau dikenal denan nama Kunyahnya yaitu Abu Hasan al Bakhi. Lahir pada tahun 109 H dan
wafat pada tahun 150 H. Belia hidup pada zaman Dinasti Abasiyyah. Munqatil salah satu ulama pada saat
itu yang produktif dalam menulis. Salah satu karyanya yaitu Tafsir Munqatil al-Sullaiman dan Tafsir al-
Khomsumi‟ah Ayat Al-Qur‟an. lihat https://iatbajigur. wordpress. com/2017/03/26/kajian-kritis-atas-
tafsir-muqatil-karya-muqatil-bin-sulaiman-w-105-h-767-m/ diakses pada tanggal 1 November 2018.
85
apapun. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh ungkapan nabi kepada para sahabatnya
ketika melihat orang yang kekar sedang bekerja tapi tidak ikut berperang bersama nabi.
Kemudian nabi mengatakan kepada sahabatnya bahwa “orang yang bekerja untuk
menghidupi keluarganya sama dengan jihad fisabilillah”.94
Jadi, pencari nafkah bisa dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan. Menurut
Muhammad pekerjaan pencari nafkah ini didasari oleh siapapun mereka yang memiliki
kredibilitas yang cocok sebagai pencari nafkah.95
Kemudian pemahaman terhadap laki-
laki sebagai pemberi nafkah dapat dikatakan sebagai produk atau hasil dari kontruksi
sosial masyarakat dari dahulu bahkan sampai sekarang dan bukan atas aturan agama
dalam arti tidak bisa berubah, mapan dan normatif.
Seperti pandangan dari hasil penelitian Rahman dalam tulisannya. Ia
menyimpulkan bahwa penafsiran dengan pendekatan tradisionalis dan neo-tradisionalis
di Indonesia seperti Hamka, Departemen Agama dan Muhammad menyatakan bahwa
cara pandang patriakal dan hirarkis dalam padangan dunia Islam telah membentuk dan
mematenkan superioritas laki-laki atas perempuan dengan menunjukan kemampuan dan
kelebihannya.96
Seperti laki-laki adalah pemimpin perempuan yang mempunyai
kewajiban memberikan nafkah kepada istrinya karena kelebihan fisiknya yang kuat.
Argumen-argumen yang dikemukakan Muhammad di atas, membawa pada
kesimpulan bahwa Muhammad tidak memutlakan laki-laki sebagai pencari nafkah
seperti halnya ketika Muhammad juga tidak memutlakan laki-laki sebagai pemimpin
94
Husein Muhammad, Jihad dan Respon Islam Terhada Radikalisme yang dibukukan dalam buku
Diskursus Keulamaan Perempuan Indonesia, Jakarta: Rahima, 2017. 95
Wawancara dengan Husein Muhammad pada tanggal 198 Oktober 2018 96
Yusuf Rahman, Q.S 4:34 and Discipling a Wife: Modern Indonesia Muslim Scholars
Interpretations of The Qur‟an, International Conference on Qur‟an and Hadits Studies (ICQHS 2017)
and Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), Atlantis Press.
86
atas perempuan. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Mulia yang ditulis kusmana
dalam penelitiannya. Mulia menjelaskan bahwa dalam pemahaman umum, laki-laki
diposisikan sebagai pemimpin keluarga karena kemampuannya memenuhi segala
kebutuhan keluarganya. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka kepemimpinan
keluarga berhak diduduki oleh perempuan.97
karena, pada dasarnya laki-laki dan
perempuan memiliki potensi dan kemampuan serta hak otonom atas dirinya sendiri
dalam melakukan apa saja baik mencari nafkah ataupun yang lainnya.
Herien Puspitawati98
seorang ahli ekologi manusia menyebutkan bahwa kesadaran
masyarakat sekarang ini terhadap kesetaraan gender sangat terlihat pada setiap bidang
kehidupan seperti kesetaraan untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Nilai individu
tersebut kemudian menimbulkan pergeseran norma dalam masyarakat. Puspitawati
dalam tulisannya memberikan pandangan bahwa tanggung jawab terhadap ekonomi
keluarga adalah tanggung jawab bersama. Hal tersebut didasari oleh pergeseran-
pergeseran nilai
dan norma yang telah ada.99
Kebolehan istri sebagai pencari nafkah juga dinyatakan oleh Quraish shihab
dalam bukunya. Ia berpendapat bahwa memang kewajiban mencari nafkah adalah
kewajiban laki-laki sebagai suami dan ayah. Namun, tidak dipungkiri bahwa perempuan
sebagai seorang ibu dan istri mempunyai hak dalam pemenuhan kebutuhan tersebut jika
keadaan yang mengharuskannya untuk bekerja mencari nafkah. maka menurut Syihab
97
Kusmana, Modern Theogical Reading of The Qur‟an, and Gender Issues: Three Cases Of
Female Muslim Scholars, Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR),
Atlantis Press. 98
Dosen di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut
Pertanian Bogor. 99
Herien Puspitawati, Fungsi keluarga, Pembagian Peran dan Kemitraan Gender dalam
Keluarga, Bogor: IPB Press, 2012, h.5
87
hal ini tidak menjadikan suami berdosa karena tidak memenuhi nafkah dan istripun
demikian, tidak berdosa karena keluar rumah tanpa didampingi oleh mahramnya.100
Huzaemah Y Tanggo juga berpendapat bahwa istri boleh memberikan nafkah
kepada suami, anak-anak dan keluarganya ketika sang suami dalam keadaan susah
untuk memenuhi nafkah tersebut. Menurutnya adanya istri sebagai tenaga baru dalam
ekonomi keluarga telah mendapat pelegalan dari syariat Islam. Dimana sikap istri dalam
hal ini dikaitkan dengan sikap saling tolong menolong dalam kebaikan yaitu menjaga
kesejahteraan keluarga.101
Al-Maraghi dalam tafsirannya juga menjelaskan bahwa kemampuan dalam
mencari rezeki dan bekerja merupakan kemampuan yang bisa dipelajari oleh semua
orang baik laki-laki dan perempuan. Namun, memang kewajiban memberi nafkah tetap
ditugaskan kepada laki-laki sebagai suami. Pemahaman ini mengindikasikan bahwa al-
Maraghi secara tidak langsung memperbolehkan jika terdapat perempuan sebagai istri
yang bekerja menjadi pencari nafkah.
Tafsir al-Qur‟an yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama RI juga menunjukan
bahwa seseorang memiliki kesempatan untuk memberikan nafkah kepada keluarganya
baik itu suami atau istri. Namun istri harus melaksanakan peran domestiknya yang
sudah disepakati. Dinamika peran tersebut dalam hal ini Kemenag menyebutnya sebagai
tanggung jawab sosial keluarga terhadap keluarga.102
Berbeda dari penafsiran di atas, penafsiran at-Tabari dan Al-Qurtubi secara jelas
100
Quraish Shihab, Quraish Shihab Menjawab 101 soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui,
Jakarta: Lentera Hati, 2010, h.2003-2004. 101
Huzaemah Y. Tanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, h.139-
135 102
Perpustakaan Nasional RI, Tanggung Jawab Sosial (Tafsir al-Qur‟an Tematik), Jakarta:
Lajnah Pentasihan Mushaf al-Qur‟an, 2011, h.81
88
menyatakan bahwa perempuan harus menjaga dirinya dari pandangan orang lain.
Bahkan al-Qurtubi menyebutkan bahwa suami harus menahan istrinya di rumah. Hal
demikian bisa dikatakan bahwa perempuan hanya boleh melakukan pekerjaan domestik
yang dipahami bahwa pekerjaan ini sesuai dengan fitrahnya.
Perbedaan pemahaman demikian ini menggambarkan bagaimana perjalanan dan
perkembangan penafsiran dari zaman klasik sampai modern menciptakan penafsiran
baru yang lebih menjawab pertanyaan atas problem yang dihadapi sekarang ini.
Abdullah Saeed memahami dinamika atau keberagaman penafsiran ini sebagai bentuk
dari pengetahuan atau keilmuan-keilmuan yang ada pada setiap masanya dan paling
utama adalah karena para mufasir ini hidup di dalam konteks, budaya, politik yang
mempengaruhi pandangan mereka terhadap perempuan.103
Memahami Q.S at-Thalāq ayat 6 dan Q.S 2:233 bahwa laki-laki harus
memberikan nafkah kepada perempuan yang telah diceraikan seperti penelitian yang
sudah disebutkan di bab 2 baik dalam tafsir klasik maupun modern. Sependapat dengan
pemahaman tafsir tersebut, Muhammad mengiyakan jika penafsiran pada Q.S at-
Thalaaq 64: 6 dan Q.S al Baqarah 2:233 adalah laki-laki yang telah menceraikan
istrinya harus memberikan nafkah selama masa iddah dan nafkah selama mantan
istrinya tersebut merawat anaknya.104
Muhammad menjelaskan lagi bahwa ayat ini sebagai bentuk syarat atau
konsekuensi logis yang akan diterima laki-laki yang menceraikan istrinya. Karena saat
ayat ini turun, masyarakat telah memposisikan laki-laki sebagai kaum superior,
produktif dan sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai kaum inferioritas dan
103
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21 Tafsir Kontektual, h.210 104
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
89
reprodktif. Dimana tradisi-tradisi tersebut membentuk penetapan hukum terhadap
perempuan baik dalam lingkup domestik maupun publik, seperti dalam ketentuan talaq,
nusyuz dan lain sebagainya. Maka hal demikian juga terjadi terhadap relasi laki-laki dan
perempuan disektor ekonomi keluarga dimana pemberian nafkah menjadi sebuah
kewajiban bagi laki-laki sebagai kepala keluarga.
Kemudian mengenai ketentuan pemberian nafkah, dalam Q.S at-Thalāq ayat 7
disebutkan bahwa ketentuan nafkah disesuaikan dengan kemampuan suami. Hal
tersebut sepadan dengan pandangan Abdul Azim bin Badawi al Khalafi. Dalam
bukunya ia menjelaskan bahwa istri harus menerima nafkah yang telah diberikan suami
serta tidak ada unsur pemaksaan terhadap pemberian nafkah.105
Pemahaman Muhammad dalam ayat ini sama dengan para mufasir lain seperti
yang sudah ada di bab dua bahwa mengenai ketentuan atau ukuran pemberian nafkah
yaitu disesuaikan dengan kemampuan. Ia menambahkan penjelasannya bahwa kadar
nafkah adalah sebuah urf atau adat kebiasaan dan tidak ada ketentuan mengenai kadar
pemberian nafkah. Dalam dunia pemikiran islam khususnya dalam bidang fiqh,
ketentuan pemberian kadar nafkah masih menjadi perdebatan yang belum final dalam
kalangan ulama.106
Jadi dapat disimpulkan dari semua pembahasan di atas bahwa pemahaman
Muhammad mengenai istri sebagai pencari nafkah boleh-boleh saja bahkan bisa wajib
dilakukan oleh istri jika kondisi dan keadaan mengharuskannya mencari nafkah. Maka
peran istri disini harus dilakukan dengan menggantikan peran suaminya sebagai pencari
nafkah. Karena semua pekerjaan apapun yang dituntut hanyalah kemampuan sesorang
105
Abdul Adzim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz (terj) Ensiklopedia Fiqh Islam dalam al-
Qur‟an dan as-Sunnah Shahih, Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006, h.602. 106
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018.
90
itu sendiri bukan karena jenis kelamin. Inilah yang menurut Muhammad adalah
kerjasama yang baik dalam relasi suami istri yang ia sebut sebagai mu‟asyarah bi al
ma‟ruf.
Konsep Nafkah Menurut Husein Muhammad
Diagram 4.3
C. ISTRI SEBAGAI PENCARI NAFKAH DI INDONESIA: HARAPAN DAN
TANTANGAN.
Gerakan kesetaraan gender merupakan gerakan kontemporer yang lahir pada
Abad 18 di negara barat, dirkursus mengenai feminisme baru muncul di Indonesia
sekitaran awal abad 20-an.107
Oleh karena itu, wacana ini masih sangat menarik untuk
didiskusikan. Dalam pandangan gerakan gender equality, pada pemahamannya akan
107
Jajat Burhanudi dan Oman Fathurahman (Edt) Tentang Perempuan Islam, Wacana dan
Gerakan, 2004, Jakarta: PT Gramedia Utama, h.115.
Konsep Nafkah
Hukum Nafkah Syarat Subjek Nafkah
istri suami
Non Teologis Teologis
Kemampuan
Sistem nafkah keluarga merupakan salah satu bentuk relasi suami istri yang di dalamnya termuat
muatsyarah bil-ma‟ruf, sehingga setiap keputusannya dilakukan dengan bersama-sama,
musyawaroh dan melihat setiap hak-hak yang ada pada diri suami dan istri.
Suami tidak bisa
memberikan nafkah karena
sakit atau yang lainnya, sehingga istri menggantikan
perannya sebagai pencari
nafkah, Istri di tinggal suami, untuk mencukupi kebutuhan
keluaganya istri berperan sebagai ibu sekaligus ayah
dengan peran-perannya
seperti pencari nafkah.
Q.S an-Nisâ 4:34 merupakan ayat narasi informatif yaitu yang
memberikan gambaran sistem patriarki dalam masyarakat pada
saat ayat ini turun. Contohnya diwajibkannya nafkah kepada laki-laki karena ingin memperlihatkan realitas sosial. Tidak ada
ayat al-Qur‟an yang secara spesifik membatasi pekerjaan yang
harus dilakukan laki-laki dan perempuan karena keduanya memiliki kesempatan yang sama dalam berperan dan bekerja.
Pemahaman tersebut diperkuat dengan pemahaman Muhammad
mengenai frase “sebagian” pada Q.S 4:34 yang dipahaminya sebagai alasan bahwa kemampuan-kemampuan atas kelebihan
yang ada pada laki-laki bisa juga ada kepada diri perempuan
karena dalam ayat tersebut hanya disebutkan dengan kalimat “sebagian laki-laki” bukan “semua laki-laki”
Wajib sunnah
istri
istri
memiliki
kemampuan
untuk
mencari
nafkah
(Sunnah)
91
bisa memberikan petunjuk yang baik dalam memandang cara hidup yang akan lebih
bermanfaat dan lebih sesuai dengan cita-cita Islam melalui basisnya yaitu kesetaraan
dan keadilan.108
Namun dalam memberikan aksi pengarusutamaan gender yang setara dan
berkeadilan, tanggapan atau respon masyarakat terhadap hal tersebut masih kurang baik
bahkan ada yang memberikan aksi penolakan yang cukup kuat. Apalagi untuk mereka
yang sangat berpangku terhadap islam fundamentalis. Penolakan ini disebabkan bukan
lain karena eksklusif terhadap kemapanan cara berfikir dari sebagian masyarakat dalam
dunia keilmuan keislamannya khusunya mengenai kesetaran gender.109
Muhammad menambahkan bahwa penolakan ini karena adanya kendala terhadap
sistem kebudayaan manusia yang masih belum memberikan keadilan terhadap
perempuan salah satunya berupa pandangan tafsir keagamaan yang dirasa masih
timpang dan belum termuatnya konsep kesetaraan serta keadilan yang utuh.110
Kemudian kemapanan pandangan tafsir keagaman yang bias gender ini telah lama ada
dalam pemahaman masyarakat kurang lebih hampir 1400 tahun yang lalu. Jadi, tidak
jarang ketika terjadi reinterpretasi atau rekontruksi yang hasilnya jauh dari pemahaman
yang mapan tersebut banyak terjadi penolakan.111
Pandangan muhammad tadi diperkuat dalam penelitian kusmana. Dia menjelaskan
bahwa di Indonesia wacana gender tidak memberikan perubahan besar terhadap
penafsiran teks-teks yang diduga bias gender. Hal ini dapat ditemukan dalam al-Qur‟an
108
Sukanti Suryachondro, Potret Pergerakan Wanita Indonesia, 1984, Jakarta: CV. Rajawali
Press, h.76 109
https://www.wri.or.id/media-wri/liputan-media/2007/177-tafsir-harus kontektual .html#
.W7sCk 2OyTIU diakses pada tanggal 25 Oktober 2018. 110
https://www.wri.or.id/media-wri/liputan-media/2007/176-perjuangan-pembaruan-pemikiran-
islam-kerap-ditentang.html#.W7sClmOyTIU diakses pada tanggal 25 Oktober 2018. 111
Wawancara Husein Muhammad pada tanggal 18 Oktober 2018
92
dan Tafsirnya karya Kementrian Agama RI. Contohnya negara melalui kitab tafsir
tersebut menafsirkan Q.S 4:34 dengan merujuk kepada tafsir klasik.112
Seperti al-
Qurtubi, Al Thabari dan lainnya.
Muhammad juga menjelaskan bahwa sampai detik ini pergolakan penolakan
terhadap kesetaraan gender masih berlangsung. Salah satu bentuk pemahamannya yang
belum bisa diterima terjadi ketika acara launching salah satu bukunya di IAIN Sunan
Apel Surabaya-Jawa Timur. Pada sesi pertanyaan terdapat salah satu kyai bernama
Abdurrahman Navis yang tidak setuju terhadap apa yang ditulis Muhammad dalam
bukunya sebagai sebuah Ijtihad. Karena menurutnya pintu ijtihad telah tertutup.113
Mengenai prospek kedepan pengarusutamaan gender yang berkeadilan khususnya
menangani konsep pemberian nafkah, para tokoh feminis harus melakukan beberapa
pengupayaan sebagai bentuk terwujudnya gerakan gender equality. Menurut
Muhammad yang masih dan harus dilakukan oleh para tokoh feminis tersebut yaitu:
Para ulama perempuan bersama ulama laki-laki harus lebih mengembangkan
pemahaman atas sumber-sumber Islam atau teks-teks keagamaan melalui pendekatan
yang lebih terbuka (inklusif), kritis, rasional, substantif dan kontekstual. Kemudian
bergerak melangkah bersamaan dalam melakukan rekonstruksi pemikiran dari
pendekatan model tafsir ke model takwil, dari konservatisme ke progresifisme, dan dari
seputar memaknai teks kepada menemukan cita-cita teks itu sendiri atau subtansi teks
itu atau dalam konteks hari ini populer disebut "Maqashid al-Syari'ah" dan ulama
112
Kusmana, The Qur‟an and Woman‟s Leadership Discourse in Indonesia: Modern
Interpretation of QS. 4: 34, Journal Of Qur‟an and Hadits Studies, 2016. 113
http://www.nu.or.id/post/read/27605/sentil-039kitab-kuning039-kiai-husein-muhammad-
dikritisi diakses pada tanggal 10 November 2018.
93
perempuan harus berperan aktif dalam menyebarkan gagasan islam moderat.114
Jadi perempuan ulama harus ikut aktif dalam berbagai bidang keagamaan yang
nantinya akan dimintai fatwa-fatwa dalam menangani berbagai permasalahan sehingga
dalam keputusannya sedikit banyaknya akan memperhatikan ekspresi perempuan itu
sendiri. Dari sinilah kemudian Muhammad mengharapkan adanya kerjasama antara
perempuan ulama dan laki-laki ulama dalam membangun peradaban Islam dalam basis
kesetaraan dan keadilan.115
Adapun beberapa pencapaian yang sekarang sudah banyak dirasakan bagi kaum
perempuan khususnya para perempuan penggiat gender diantaranya telah terlaksananya
Konggres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tanggal 25-27 April 2017
bertempat di pondok pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon
Jawa Barat. Konggres ini merupakan pencapaian agung dimana sebelumnya juga telah
sekian lama dalam beberapa sesi telah terlaksananya Pengkaderan Ulama Perempuan
(PUP).116
Dari Kupi inilah kemudian harapan besar terhadap kesetaraan dan keadilan gender
diharapkan. Seperti perempuan mendapatkan akses yang memadai dalam melakukan
aktifitas apapun baik dibidang ekonomi dan lainnya. Harapan ini menurut Muhammad
akan lebih membangun peradaban kemanusian yang baik khususnya perempuan.
Sehingga problem yang belum terselesaikan oleh tangan laki-laki bisa diselesaikan
114
https://www.instagram.com/p/Boyc58Rny0d/?taken-by=husein553 diakses tanggal 17
oktober 2018. 115
Husein Muhamad, Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah, makalah yang disampaikan
pada Seminar Nasional dalam Konggres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Cirebon 25 April 2017. 116
Eva Nur Arofah, Mengurai Keresahan Sesama Konggres Perempuan Indonesia dan Konggres
Ulama Perempuan Indonesia yang diterbikan oleh Radar Cirebon pada tanggal 26 April 2017,
http://www.radarcirebon.com/mengfurai-keresahan-sesama.html dan dalam buku Diskursus Keulamaan
Perempuan Indonesia, h.21.
94
dengan baik oleh perempuan, contohnya di dalam perekonomian keluarga. Dengan
kemunculan perempuan yang aktif dalam urusan ekonomi keluarga maka perekonomian
keluarga akan berkembang lebih baik karena dilakukan oleh dua orang yang saling
bekerjasama memikul tanggungjawab.117
Dan yang lebih diharapkan bahwa tidak ada
entitas perempuan yang termiskinkan dengan adanya konsep-konsep nafkah yang ada.
Pergerakan mengenai kesetaraan gender sekarang ini tidak hanya dilakukan oleh
perempuan saja, bahkan dalam hal ini peran laki-laki dalam pengarusutamaan kesetaran
dan keadilan gender sedikit banyaknya juga dibutuhkan karena permaslahan gender ini
juga menyangkut permasalahan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam menegakan
kesetaraan dan mengurangi problem-problem perempuan.
Beberapa tokoh Feminisme118
laki-laki Indonesia yang gagasannya sudah banyak
menjadi rujukan diantaranya, Husein Muhammad, Nasaruddin Umar, Faqih Abdul
Qadir, Masdar Farid Mas‟udi dan tokoh lainnya. Dan salah satu organisasi yang
berbasis kepada kesetaraan dan keadilan gender diantaranya, Institut Studi Islam
Fahmina (ISIF) di cirebon, RAHIMA di Jakarta, Alimat, Aliansi Laki-laki Baru (ILB)
di Jogjakarta, dari pemerintah juga telah membentuk Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (KPPA) dan organisasi lainnya. Pemaparan ini secara tidak
langsung memberikan pengetahuan bagaimana prospek dan tantangan yang telah ada
dalam masyarkat.
117
Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Kesetaraan Gender, h.247. 118
Menurut salah satu staf Rahima (Lembaga yang concer terhadap isu Islam dan Hak
Perempuan) menyatakan bahwa terdapat 3 ciri utama dalam mendefinisikan feminisme yaitu pertama
menyadari bahwa di dalam masyarakat terdapat ketimpangan gender baik bidang kelarga, ekonomi, sosial
dan lainnya, kedua memaknai bahwa gender bukanlah given yang sesungguhnya dari Allah sebagai
bentuk alamiah/kodrat melainkan sebagai hasil dari proses sosialisasi kebudayaan. Ketiga,
memperjuangkan dalam melaksanakan keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat guna merealisasikan
hak-hak yang semestinya ada pada diri manusia baik itu laki-laki maupun perempuan. lihat,
http://www.freakmagz.com/blog/2017/3/30/dinamika-diskursus-feminisme-dan-kehadiran-ulama-
perempuan,
95
Mengenai penjelasan wacana istri sebagai pencari nafkah dalam pandangan
Husein Muhammad, penulis beranggapan bahwa gagasan yang dikemukakannya dapat
menjadi sebuah pandangan yang dapat diterima dan bisa menjadi sesuatu kemustahilan
terjadi. kebutuhan ekonomi dalam keluarga adalah kebutuhan bersama. Sehingga dalam
pemenuhannya sendiri dilakukan secara bersama-sama dan dengan cara yang baik.
Penulis merasa wacana isti sebagai pencari nafkah utama keluaga adalah hal
yang biasa. Karena demikian itu bisa saja dilakukan oleh semua manusia dan
merupakan sebuah bentuk kebebasan pada setiap manusia. Kita tidak bisa menekankan
seseorang untuk menjadi sesuatu yang kita harapkan tanpa adanya keinginan dari
seseorang tersebut.
Untuk itu, menurut saya siapapun yang menginginkan bekerja untuk menambah
pemasukan ekonomi keluarga maka boleh saja baik itu laki-laki ataupun perempuan.
Kemudian yang harus ditekankan disini bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak
memberatkan satu sama lain dan keduanya melakukan itu atas dasar kerelaannya
sendiri. Dimana dari hubungan kerjasama yang baik ini dapat membentuk keluarga yang
harmonis tanpa adanya penyalahan sepihak atas hak dan kewajiban yang kurang
terpenuhi.
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Husein Muhammad menanggapi wacana istri
pencari nafkah sebagai fenomena yang dapat diterima dan normal serta lumrah di
masyarakat. Penulis menemukan bahwa pandangan tersebut didasarkan pada
argumentasi non teolog dan teolog.
Secara non teologi, Muhammad menyatakan perempuan bisa menjadi pencari
nafkah utama dengan syarat bahwa ia mampu. Kemampuan tersebut tidak bisa dikaitkan
oleh jenis kelamin. Argumentasi ini diperkuat dengan penjelasan Muhammad ketika
mengartikan nafkah sebagai pengeluaran sesuatu yang dilakukan seseorang kepada
tanggungannya. Tanpa kita ketahui apakah seseorang disini menunjukan perempuan
atau laki-laki.
Kemudian secara teolog. Menurutnya, tidak ada ayat al-Qur’an yang
menyebutkan kewajiban mencari nafkah hanya diberikan kepada laki-laki seperti Q.S
4:34. Ia menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan narasi informatif yang
menggambarkan budaya dan tradisi yang ada pada saat ayat ini turun (budaya patriarki).
Sehingga apa yang terkandung dalam ayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hukum
atau sesuatu yang secara leterlek bersifat absolut. Disini Muhamad sangat mengkritik
budaya patriarki karena beberapa argumentasi dan pemikirannya terhadap keadilan dan
kesetaraan, HAM dan Humanisme.
Muhammad juga menguatkan argumennya dengan Q.S at-Thalāq 64:6-7 dan al-
Baqarah 288. Menurutnya ayat tersebut adalah konsekuensi yang dihadapi laki-laki
akibat adanya hukum dalam masyarakat yang menyatakan laki-laki adalah pemimpin
keluarga yang bertugas memberi nafkah. Kemudian sistem manajemen mencari nafkah,
menurut Muhammad bisa dilakukan oleh dua orang (suami dan istri) karena relasi
antara suami dan istri merupakan relasi Mu’asyarah bi al Ma’ruf.
97
B. Saran
Berdasarkan pembahasan yang penulis teliti, ada beberapa rekomendasi dari
penulis untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Diantaranya:
1. Perlu adanya penelitian lebih banyak mengenai relasi laki-laki dan perempuan dalam
rumah tangga, khusunya pembahasan mengenai penafsiran ayat al-Qur’an yang
dianggap bias gender dan mendiskusikan pada problematika konteksual. Seperti
penelitian dengan tema: konsep ketahanan keluarga alam al-Qur’an menurut Husein
Muhammad, Transgender dalam al-Qur’an menurut Husein Muhammad, dan
lainnya.
2. Hasil penelitian secara praktis sangat bermanfaat untuk para akademisi yang ingin
melakukan kajian sama dengan tema yang penulis kaji baik sebagai bahan kajian
tambahan atau sebagai studi kepustakaan maupun lainnya.
3. Skripsi ini juga bisa menjadi aktualisasi bagi para suami istri yang menginginkan
terwujudnya keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah.
4. Pemikiran Husein Muhammad, sebaiknya lebih banyak dipublikasikan dan
disosialisasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet, 1999, Fiqh Munakahat I, Bandung: Pustaka Setia.
Al-Alūsi, Rūh al-Ma’ānī fi Tafsir al-Qur’ān al-‘Azīm Wa al-Sab’i al Matsānī, Beirut:
Dār al-Ihya wa al Mirās al-„Arabi.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, 2013, Bulughul Maram dan dalil-dalil hukum (terj), Jakarta:
Gema Insani.
Al-Bāqiy, Muhammad Fuād „Abdul, al Mu’jam al Mufahras, Bandung: Diponegoro.
Al-Dzahabiy, 2005, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassirūn, Kairo: Dar al-
Hadis.
Al-Ghozali, Syekh Muhammad, 2001, terj Qhadāyā al Mar‟ah bayna al Taqālīd al
Rakīdah wa al wāfidah, Bandung: Mizan.
Ali, Atabik dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi, 1939, Al-‘Ashri, Jakarta: Multi Karya Grafika.
Al-Jazirī,1996, al Fiqh ‘Ala’ al Madzhāhib al Arba’ah, Beirut: Dār al Fikr.
Al-Marāghī, Ahmad Mustafa , Tafsir al Marāghī, 1970, Beirut: Dār al-Kotob al
Ilmiyah.
Al-Mashri, Syaikh Mahmud, 2010, Perkawinan Idaman (terj), Jakarta: Qisti Press.
Al-Qurtubī, Al Jāmi’ al Ahkam al Qur’ān, 1988, Beirut: Dār al Fikr.
Al-Rȃzi, Tafsir al-Kabir, Teheran:Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Shiddiqy, M. Hasbi, 1972, Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang.
_______, 1980, Sejarah dan Penghantar ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Jakarta: Bulan
Bintang.
Al-Suyuthi, Jalaluddin, Asbabun Nuzul Sebab Turunnya Ayat al-Qur’ān (terj), Abdul
Hayyie (ed), Depok: Gema Insani.
Al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, Beirut: Dār al-Fikr.
Al-Thabari, Jami’ al-Bayān an Ta’wil ayi al-Qur’ān, 1426 H/ 2005 M, Dār al Fikr.
Ba‟albaqī, Rohi, Al Maurid, Beirut: Dar el-Ilm Lilmalāyin.
Badudu, J.S, 2003, Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia, Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara.
Barlas, Asma, 2005, Cara al-Qur‟an Membebaskan Wanita (Terj), Jakarta: Serambi.
Bahasa, Pusat, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Bahri, Zainul, 1996, Kamus Umum (Khusus Bidang Hukum dan Politik), Bandung:
Penerbit Angkasa.
Burhanudi, Jajat dan Fathurahman, Oman (Edt), 2004, Tentang Perempuan Islam,
Wacana dan Gerakan, Jakarta: PT Gramedia Utama, h.115.
Barlas, Asma, 2005, Cara al-Qur’an Membebaskan Wanita (terj), Jakarta: Serambi.
Dahlan, Abdul Aziz (ed), 1997, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: PT Ictiar Baru Van
Hoeve.
Dahlan, H.A dan Al-Farizi, M. Zaka (ed), 2000, Asbābun Nuzūl, Bandung : CV penerbit
Diponegoro.
Agama RI, Departemen, 2008, Al-qur‟an dan Tafsirnya, Jakarta: Letera Abadi.
Elias, Mauic J, 2000, Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, Bandung: Kaifa.
Fāris Ibn Zakariyah, Abī Huseīn Ahmad, 1979, Mu’jam Maqāyis al Lughah. Dar Fikr,
Ghozali, Abdul Moqsith, 2009, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi
Berbasis al-Qur’an, Depok: KataKita.
Goldziher, Ignaz, 2006, terj. Madzhāb al Tafsīr al-Islāmi, Yogyakarta: eLSAQ Press.
Gusmian, Islah, 2007, Mengapa nabi muhammad berpoligami?,Yogyakarta: Pustaka
Marwa.
Hasan, M Ali , 1996, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hofman, Murad W, 2002, tej. Menengok Kembali Islam Kita. Bandung: Pustaka
Hidayat.
Hulaimi, Mohammad Taufik (edt), 2010, Fiqh Sunnah, Jakarta: Al-I‟tshom Cahaya
Umat.
Indra, Hasbi, 2005, Potret Wanita Sholehah, Jakarta: PENAMADANI.
Ismail, Nurjanah, 2003, Perempuan dalam Pasungan, Bias Laki-laki dalam Penafsiran,
Yogyakarta: LkiS.
Kusmana, Al-Qur‟an dan Kodrat Perempuan Sebuah Tawaran Pembacaan Metodologis
atas Realitas Masyarakat, 2018, Depok: PT RajaGrafindo Persada.
Lestari S, Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mahmud, Mani Abd Halim, Metodelogi tafsir: kajian Komperehensif Metode Para Ahli
Tafsir, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Manna Khalil Qahthan, fi ‘ulūm al-Qur’ān, Kairo: Maktabah Wahbah, h.440.
Martono, Nanang, 2010, Metode Penelit`ian Kuantitatif, Jaarta: Raja Granfindo
Persada.
Mughits, Abdul, 2008, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab (terj), 2011, Jakarta: Lentera.
Muhammad, Husein, 2011, Ijtihad Kyai Husein Upaya Membangun Keadilan Gender,
Jakarta: Rahima.
_______, 2001, Fiqih Perempuan, Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS.
_______, 2014, Islam Agama Rahmah Perempuan, Jogjakarta: PT LkiS Printing
Cermelang.
_______, 2013, Menyelusuri Jalan Cahaya, Yogyakarta: Bunyan.
_______, 2006, perempuan, Islam dan Negara: Pergulatan Identitas dan Entitas,
Yogyakarta: Qalam Nusantara.
_______, 2006, Spiritualitas Kemanusiaan: Perspektif Islam Pesantren, Yogyakarta:
Pustaka Rihlah.
Muleong, Lexy J, 2014, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Posdakarya.
Mulia, Musdah, 2014, Indahnya Islam Menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender,
Yogyakarta: Nauvan Pustaka.
_______, 2015, Mengupas Seksualitas, Mengerti Arti, Fungsi dan Problematika
Seksualitas Manusia Era Kita, Jakarta: Serambi Ilmu Kita.
Munawir, Ahmad Warson, 1984, Kamus Munawir, Yogyakarta: Pondok Pesantren
Krapyak.
Munir, Lily Zakiyah, 1999, Memposisikan Kodrat, Bandung: Mizan.
Mustakim, Abdul, 2010, Epistemlogi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta : LkiS Printing
Cemerlang.
Muzadi, Abd. Muchith, 2005, Fiqh Perempuan Praktis, Jember: Khalista.
Nawawi, Muhammad, 2000, Tafsir Marah Labid, Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Jus 1.
Noer, Hasan M, 2014, Potret Wanita Shalehah, Jakarta: PENAMADANI.
Nuruzzaman, 2005, Kiai Husein Membela Perempuan, Pustaka Pesantren: Yogyakarta.
Perpustakaan Nasional RI, 2011, Tanggung Jawab Sosial (Tafsir al-Qur’an Tematik).
Jakarta: Lajnah Pentasihan Mushaf al-Qur‟an.
Puspitawati, Herien, 2012, Fungsi keluarga, Pembagian Peran dan Kemitraan Gender
dalam Keluarga, Bogor: IPB Press.
Qardawi, Yusuf , 1996, Fatwa Al-Qardawi (tej), Surabaya: Risalah Gusti.
_______, 1995, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, Jakarta: Gema Insani.
_______, 2009, Fiqh Wanita, tej. Aceng Misbah dkk, Bandung: Jabal.
_______, 2004, Panduan fiqih Perempuan, Jogjakarta: Salma Pustaka.
Rasyid, Sulaiman, 1994, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Saeed, Abdullah, 2016, terj. Alqur’an Abad 21 Tafsir Kontekstual, yogyakarta: Mizan.
Saikhu, Ahmad (edt), Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z (terj), 2007, Bogor:
Pustaka Ibnu Katsȋr.
Sjadzali, Munawir, 1997, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina.
_______, 1999, Tafsir Kebencian, Yogyakarta: LkiS.
Sugiono, 2017, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Bandung: Alfabet.
Syahrȗr, Muhammad, 1992, Al-Kitȃb wa Al-Qur’ȃn: Qirȃ’ah Mu‘aşirah, Damaskus:
Ahali li al-Nasyr wa al-Tauzi‟.
Syarifudin, Amir, 2007, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada
Media.
Syihab, M. Quraish, 2013, Kaidah Tafsir, Jakarta: Lentera Hati.
_______, 1992, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat,Jakarta: MIZAN.
_______, 2010, Quraish Syihab Menjawab 101 soal Perempuan yang Patut Anda
Ketahui, Jakarta: Lentera Hati.
_______, 2003, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati.
Thalib, Muhammad, 2007, Menejemen keluarga Sakinah, Jogjakarta: Pro-U.
Umar, Nasarudin, 2001, Argumen Kesetaraan gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina.
_______, 2014, Tasawuf Modern: Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri kepad Allah,
Jakarta: Republika.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, 2007, Fiqh Wanita (terj), Jakarta: Pustaka
Kautsar.
Wahid, Abdurrahman, 2007, Islam Kosmopolitan, nila-nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan, Jakarta: The Wahid Institut.
Yanggo, Huzaemah T, 2010, Fiqh Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia.
_______, 2013, Hukum Keluarga dalam Islam, Palu: YAMBA, 2013.
Zaidan, Abdul Karim, 2008, Al-Madkhal li Dirasatiy Islamiyah (terj), Jakarta: Rabanni
Press.
Zuhaili, Wahbah, 2002, Al Fiqh al Islami wa Adilatuhu, Suriah: Dār al Fikr.
Referensi online:
Fathurrahman (2011), Mengenai konsep Islam Moderat, diunduh pada tanggal 24
Oktober 2018, http://Fathurrahman-suda.blogspot.com/2011/04/mengenai-
konsep-islam-moderat.html.
Admin Mampu.or.id (2018), Kh Husein Muhammad Lawan Kemiskinan dan Kekerasan
trehadap Perempuan Lewat Jaringan Keagamaan, dinduh pada tanggal 5 Oktober
2018http://mampu.or.id/cerita-perubahan/kh-husein-muhammad-
lawankemiskinan-dankekerasan-terhadap-perempuan-lewat-jaringankeagamaan/
Sentil Kitab Kuning, Kiai Husein Muhammad dikritisi, terbit di NU Online 7 April
2011, diakses pada tanggal 10 November 2018, http://www.nu.or.id/post/read
/27605/sentil-039kitab-kuning039-kiai-husein-muhammad-dikritisi
Eva Nur Arofah (2017), Mengurai Keresahan Sesama Konggres Perempuan Indonesia
dan Konggres Ulama Perempuan Indonesia, terbit di Radar Cirebon 26 April
2017, http://www.radarcirebon.com/mengfurai-keresahan-sesama. html
Husein Muhammad (2017), Potensi Perempuan, terbit di jurnal Fahmina diunduh 25
September 2018, https://fahmina.or.id/potensi-perempuan/
Tika Widyaningtyas, Rapor Merah Angka Kematian Ibu Indonesia, terbit di
Katadata.co.id 30 Mei 2018, Diunduh pada tanggal 31 Oktober 2018, https://
katadata.co.id/analisisdata/2018/05/30/rapor-merah-angka-kematian-ibu-indonesia
Husein Muhammad (2014), Eksistensi Negara Menegakan Keadilan-Menolak
Kezaliman, diunduh Pada tanggal 10 November 2018 https://www.husein
muhammad.net/eksistensi-negara-menegakkan-keadilan-menolak-kezaliman/
Husein Muhamad (2013), Hukum Islam yang Tetap dan yang Berubah, diunduh pada
tanggal 10 November 2018, https://www.huseinmuhammad.net/hukum-islam-
yang-tetap-dan-yang-berubah/
Husein Muhammad (2014) Islam Rahmatan lil „alamin: Problem Sosial Indonesia
Kontemporer, diunduh pada tanggal 10 November 2018, https://www. Husein
muhammad.net/islam-rahmat-lil-alamin-problem-sosial-indonesia kontemporer/
Husein Muhammad (2015), keadilan, diunduh pada tanggal 10 November 2018
https://www.huseinmuhammad.net/keadilan/
Husein Muhammad (2015), Keadilan Perempuan Masih Retoris, diunduh pada tangga
10 November 2018 https://www.huseinmuhammad.net/keadilan-bag-dua-
keadilan-bagi-perempuan-masih-retoris/
Husein Muhammad (2014), Mendengarkan Gus Mus: Perempuan itu Kuat. Isterimu
adalah Temanmu, diunduh pada tanggal 10 November 2018
https://www.huseinmuhammad.net/mendengarkan-gus-mus-perempuan-itu-kuat-
isterimu-adalah-temanmu/
https://www.huseinmuhammad.net/profil
Husein Muhammad (2014), Rekontruksi Pemikiran Islam Membangun Kemanusiaan,
diunduh pada tanggal 1 November 2018. https://www.huseinmuhammad
.net/rekonstruksi-pemikiran-islam-membangun-kemanusiaan/
Husein Muhammad (2016), Syari‟at dan Kemaslahatan, diunduh pada tanggal 10
November 2018 https://www.huseinmuhammad.net/syariat-dan- kemaslahatan/.
Moch Aly Thaufiq (2011), Husein Muhammad satu-satunya Kyai Feminis Indonesia,
terbit di Kompasiana 22 September 2011, diunduh pada tanggal 25 September
2018,https://www.kompasiana.com/moch_aly_taufiq/550bab97813311472bb1e17
1/husein-muhammad-satu-satunya-kyai feminis-indonesia
Husein Muhammad (2018), Kesetaraan Manusia, terbit di Swara Rahima, diunduh pada
tanggal 20 Oktober 2018, https://www.swararahima.com/?p=3599 &preview=true
Husein Muhammad (2018) , Islam dan Hak Asasi Manusia, terbit di Swara Rahima
diunduh pada tangga 20 Oktober 2018, https://www.swararahima.com
/07/10/2018/islam-dan-hak-asasi-perempuan/
Husein Muhammad (2018), Waris laki-laki dan Perempuan, terbit di Swara Rahima,
diunduh pada tanggal 25 September 2018, https://www .swararahima.
com/24/08/2018/waris-laki-laki-dan-perempuan/
Suara Pembaharuan (2007) Perjuangan Pembaharuan Pemikiran Islam Kerap ditentang,
diakses pada tanggal 25 Oktober 2018, https://www.wri.or.id /media-wri/liputan-
media/2007/176-perjuangan-pembaruan-pemikiran-islam-kerapditentang.html#
.W7sClmOyTIU
Kompas, (2007), Tafsir Harus Kontektual, diunduh pada tanggal 25 Oktober 2018,
https://www.wri.or.id/media-wri/liputanmedia/2007/177tafsirharukontektual
.html#. W7sCk 2OyTIU
https://www.youtube.com/watch?v=6NIcIRqPW74
https://www.youtube.com/watch?v=v7sBd5bOM7k
Azyumardi Azra (2015), Moderasi Islam, terbit di REPUBLIKA 17 November 2018,
diunduh pada tanggal 24 Oktober 2018, https://profazra.wordpress. com/tag/isla-
moderat/
Referensi Jurnal dan Makalah:
Abadi, Munib (2009), Kekerasan Terhadap Perempuan Perspektif Hukum Islam (Studi
Analisis Pemikiran K.H. Husein Muhammad, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta: 2009.
Abdullah Ulfa (2016), Hak Perempuan dalam Keluarga Menurut Pandangan Asma
Barlas, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Asriati, Pembaharuan Hukum Islam dalam Terapan dan Perundang-Undangan Di
Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurnal Hukum Diktum, Volume 10,
Nomor 1 Januari 2012, h. 30
Astuti, Puji (2002), kemandirian dan kekerasan terhadap istri, Buletin Psikologi.
Astuti, Erni Puji dan Retnowati, Sofia (2004), Kepuasan Pernikahan dengan Depresi
pada Kelompok Wanita Menikah yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja, terbit di
Humanitas: Indonesian Psychologycal Journal Vol. 1 No. 2 Agustus 2004,
Universitas Gajah Mada.
Barlas, Asma (2003), The Qur‟an and Hermeneutics: Reading The Qur‟an‟s Oposition
to Patriarchy, Jurnal of Qur’anic Studie, vol. 3, No. 2;
Baroroh, Umdah (2003), Tarjuman al-Asywaq dan Apresiasi Ibnu Arabi pada
Perempuan, Jurnal Islamic Review, JIE Volume II No. 3.
Hisayati, Farida, Verinika, dian dan Karyono (2011), Peran Ayah dalam Pengasuhan
Anak, Jurnal Fakultas Psikologi Universitas di Ponegoro Semarang, Vol. 9, No. 1
Ismatullah, A.M, Nila-nilai Pendidikan dalam Kisah Yusuf (Penafsiran H.M Quraish
Sihab atas Surah Yusuf), Jurnal STAIN Samarinda;
Kamal, Muhammad ali Mustafa, Pembacaan Epistemologi Ilmu Tafsir Klasik, Jurnal
Maghza (pdf) Vol. 1, No. 1, Januari-Jini 20 ke 1;
Kusmana, Modern Theogical Reading of The Qur’an, and Gender Issues: Three Cases
Of Female Muslim Scholars, Advances in Social Science, Education and
Humanities Research (ASSEHR), Atlantis Press;
Kusmana (2016), The Qur‟an and Woman‟s Leadership Discourse in Indonesia:
Modern Interpretation of QS. 4: 34, Journal Of Qur‟an and Hadits Studies.
Lestari, Sri dan Kusumaning Putri D.P (2015), Pembaian Peran dalam Rumah Tangga
pada Pasangan Suami Istri Jawa, Surakarta: Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 16,
No. 1
Ma‟mur, Jamal (2014), Disertasi “Dinamika Pemikiran Gender Dalam Nahdhlatul
Ulama (Studi Keputusan Mukhtamar Nahdlatul Ulama ke 28 (1989) sampai
Mukhtamar Nahdlatul Ulama ke 32 (2010), IAIN Walisongo Semarang;
Mardhiyyah, Ainul (2013), Kontruksi Seksualitas Perempuan dalam Literatur
Pesantren Klasik: (Studi Terhadap Kitab Uqudulujayn Karya Nawawi al-
Bantani), PALESTREN, Vol. 6, No. 1,
Muhammad, Husein (2017), Jihad dan Respon Islam Terhada Radikalisme yang
dibukukan dalam buku Diskursus Keulamaan Perempuan Indonesia, Jakarta:
Rahima.
Muhammad, Husein, Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah, makalah yang
disampaikan pada Seminar Nasional dalam Konggres Ulama Perempuan
Indonesia (KUPI), Cirebon 25 April 2017;
Mun‟im, Ahmad, Hak-hak Perempuan Dalam Perkawinan (Studi Kpmparatif
Pemikiran Misbah Mustofa dan Husein Muhammad), Tesis UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta;
Munfarida, Elya (2010) Seksualitas Perempuan dalam Islam, Jurnal Yin Yang, vol 4,
no. 2;
Mutamam, Hadi (2013), Analisis Kritik atas Kontribusi Tafsir Kontemporer, Jurnal: Al-
Fikr, Vol 7 nomor 1, h. 154;
Permana, Aji Gema (2016), Nafkah dalam Al-Qur’ān (skripsi), Yogyakarta:
UINSUKA.
Qanitatin Novi (2012), Penyesuaian Perkawinan dengan Kecenderungan Kesenjangan
Konsep Peran suami dan Istri, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
Rahayu, Ninik Penghapusan kekarasan Seksual dan Konggres Perempuan Ulama
Indonesia dalam bukun diskursus Keulamaan Perempuan Indonesia, Jakarta:
Rahima 2017, dan lihat, koran Sindo, Selasa 25 April 2017;
Rahman, Yusuf (2016), Feminist Kyai, K.H Husein Muhammad, The Feminist
Interpretation on Gender Verses and The Qur’an-Based Activism, Al-Jamiah:
Journal of Islamic studies, 2017, makalah ini pernah dipresentasikan di
international Qur‟anic Studies Association (IQSA) di San Antonio, Texas, USA,
pada tanggal 18-21 November;
Rahman, Yusuf, Q.S 4:34 and Discipling a Wife: Modern Indonesia Muslim Scholars
Interpretations of The Qur’an, International Conference on Qur‟an and Hadits
Studies (ICQHS 2017) and Advances in Social Science, Education and
Humanities Research (ASSEHR), Atlantis Press;
Rajafi, Ahmad, Reinterpretasi Makna Nafkah dalam Bingkai Islam Nusantara, Jurnal
Al-Ihkam;
Saefudin, Ace Metodologi dan Corak Tafsir Modern: Telaah Terhadap Pemikiran
J.J.G. Jansen, Jurnal al-Qalam, vol. 20, No. 96 (Januari- Msret 2003);
Tabroni, Muhammad (2017), Makna Seksualitas dalam al-Qur’an Menurut Husein
Muhammad, Jurnal al-„Araf IAIN Surakarta.
Widiyani, Noviati (2010), Peran Kyai Husein Muhammad Dalam Gerakan Kesetaraan
Gender di Indonesia (Skripsi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Zaenurrosyid, Ahmad Biotika Islam (Tindakan Aborsi dalam Konteks Keindonesiaan);
Jalal, Abdul, 1985, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur sebuah studi perbandingan
(skripsi), Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BUKU-BUKU KARYA HUSEIN MUHAMMAD
1. Refleksi theologis tentang kekerasan terhadap perempuan, dalam syafiq Hasyim
(ed), menakar harga perempuan: eksplorasi lanjut atas hak-hak reproduksi dalam
islam, Bandung: Mizan 1999;
2. Metodelogi Kajian Kitab Kuning, dalam Marzuki Wahid (ed), Pesantren Masa
Depan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999;
3. Kotekstualisasi Kiab Kuning; Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran, dala
Marzuki Wahid, Dkk (Ed). Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999;
4. Fiqh Peremuan: Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta:
LkiS, 2001;
5. Taqliq wa Takhrīj Syarh „Uqus al Lujain, Yogyakarta: Forum Kajian Kitab
Kuning-LkiS, 2001;
6. Gender di pesantren: pesantrean and the issue of jender relation, dalam majalah
clture, the indonesia jurnal of muslim cultures, center of languages and cultures,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002;
7. Tradisi Istinbath Hukm NU: sebuah kritik, dalam M Imaduddin Rahmat (ed),
Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa‟il, LAKPESDAM,
Jakarta, 2002;
8. “Kelemahan dan Fitnah Perempuan” dalam buku “Tubuh, Seksualitas dan
Kedaulatan Perempuan: Bunga rampai Pemikiran Ulama Muda” Mogsith
Ghozali (ed), Yogyakarta: Rahima-FF-LKIS, 2002;
9. Kebudayaan yang Timpang” K.M Ikhsanuddin, dkk, Bantuan Pengaharan Fiqh
Perempuan di Pesantren, Yogyakarta: YKF_FF, 2002;
10. “Pemikiran Fiqh yang Arif” dalam KH. MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh
Pesantren,Jakarta: Citra Pustaka, 2004;
11. Islam Agama Ramah Perempuan: pembelaan kyai Pesantren, Yogyakarta: LkiS,
2004;
12. “Potret Penindasan atas Nama Hasrat” dalam Soffa Ihsan, in the name of sex:
Santri, Dua Kelamin dan Kitab Kuning, Surabaya: JP Books, 2004;
13. Fiqh Wanita: Pandangan Ulama Terhadap Wacana Agama dan Gender, Malaysia:
Sisters in Islam, 2004,
14. “ Counter Legal Draft: Merespon Realitas Sosial Baru” Dalam Ridwan M.Ag
Kontroversi Counter Legal Draft: Ikhtiar Pembaharuan Hukm Keluarga Islam.
Yogyakarta: PSW Purwekorto dan Unggun Religi, 2005;
15. Kembang Setaman Perkawinan: Analisi Kritis Kitab „Uqud al Lujjayn, Fk-3,
Jakarta: KOMPAS, 2005;
16. Sebaiknya Memang Tidak Poligami, dalam Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih
Monogami: Pembaca Atas al-Qur‟ān dan Hadits Nabi, Yogyakarta: LkiS-Fahmina
Institut, 2005;
17. Dawrah Fiqh Perempuan; Modul kursus Islam dan Gender, Cirebon: Fahmina
Institut 2006;
18. Spiritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Pesantren, Yogyakarta: LkiS, 2006;
19. Cintailah Tuhan, Niscaya Segalanya Jadi Indah, dalam Masriyah Amva, Cara
Mudah Menggapapi Impian, Bandung: Nuansa, 2008;
20. Ijtihad Kyai Husein: Upaya membangun keadilan gender, Rahima, 2011;
21. Mengaji Pluralisme Kepada Maha Guru Pencerahan, Bandung: Mizan, 2011;
22. Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, Yogyakarta: LkiS, 2012;
23. Menyelusuri Jalan Cahaya” Jogjakarta: Bunyan, 2013;
24. Kidung Cinta dan Kearifan” Zawiyah, Cirebon, 2014;
25. Memilih Jomblo” kosah intelektual muslim yang berkaya sapai akhir hayat,
penerbit: Zorabool, 2015;
26. Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus” Jakarta: Nourabooks, 2015;
27. “Toleransi Islam”, Cirebon: Fahmina Institut, 2016;
28. Menangkal Siaran Kebencian, Perspektif Islam”, Cirebon: Fahmina Institut, 2017;
29. “Merayakan Hari-Hari Indah Bersama Nabi” Jakarta: QAF, 2017;
30. “Pendar-pendar Kebijaksanaan” Cirebon: Fahmina Institut, 2018;
31. “Perempuan, Islam dan Negara”;
32. “Keluarga Sakinah, kesetaraan Relasi Suami dan Istri”, Jakarta: Rahima;
33. “Mencintai Tuhan Mencintai Kesetaraan” penerbit Quanta;
34. Fiqh Seksualitas: Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-Hak Seksualitas, PKBI,
Jakarta;
35. Fiqh HIV dan AIDS: Pedulikah Kita? .
36. Pendar-pendar Kebijaksanaan (2018)
37. Gusdur On Relegion Democracy and Peace (2018)
38. Islam Againts Hatespeech (2018)
39. Islam Tradisionalis yang Terus Bergerak, Dinamika Nu, Pesantren, Tradisi dan
Realitas Zamannya (2019).
KARYA TERJEMAHAN:
1. Kutbah al Jimu‟ah wa al „Idain, lajnah min Kibar lama al Azhar (Wasiat Takwa
,Ulama-ulama besar al-Azhar) Kairo: Bulan Bintang, 1985;
2. Al-Asyari‟ah al Islamiyah bain al Mujaddidin wa al Muhadditsin (Hukum Islam
antara Modernis dan Tradisionalis), Dr Fauq Abu Zaid, Jakarta: P3M, 1986;
3. Thabaqat al Ushuliyyin (Pakar-pakar Fiqh Sepajang Sejarah) Syekh Mushthafa al
Maraghi, Yogyakarta: LKPSM, 2001;
4. Kasyifa al Sajā, Bandung, 1992;
5. Mawathin al Jihad fi al Syari‟ah al Islamiyah (Syeikh Muhammad al-Madani), Al
Taqlis wa al Talfiq fi al Fiqh al Islamy (Sayyid Mu‟in al Din), Al Ijtihad wa al
Taqlid Baina al Dhawabith al Syari‟iyah wa al hayah al Mu‟ashirah (Dr. Yusuf al
Qardawi) (Dasar-dasar Pemikiran Hukum Islam), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Organisasi yang diikuti Husein Muhammad
1. Ketua 1 Dewan Mahasiswa PTIQ Jakarta (1978-1979)
2. Ketua 1 Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo-Mesir (1982-1983)
3. Sekertaris Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Kairo-Mesir (1982-1983)
4. Pendiri Yayasan Pendidikan Fahmina Institute Cirebon (2008)
5. Pengasuh Pondok Pesantren Dār al-Tauhid di daerah Arjawinangun-Cirebon-Jawa
Barat.
6. Anggota Dewan Syuro DPP Kabupaten Cirebon (2001-2005)
7. Ketua Dewan Tahfidz PKB kabupaten Cirebon (1999-2002)
8. Wakil keua DPRD kabupaten Cirebon (1999)
9. Ketua Umum Yayasan Wali Sanga (1996-sekarang)
10. Ketua 1 Yayasan Pesantren Dār al-Tauhid (1989- sekarang)
11. Wakil Rais Syuriyah NU cabang Kabupaten Cirebon (1989-2001)
12. Sekjen RMI (Asosiasi Pondok Pesantren) Jawa Barat (1994-1999)
13. Pengurus PP RMI (1998-1999)
14. Wakil Ketua Pengurus Yayasan Puan Amal Hayati, Jakarta (1999-sekarang)
15. Direktur Pengembangan Wacana LSM RAHIMA Jakarta (2000- sekarang)
16. Ketua Umum DKM Masjid Jami‟ Fadhlullah, Arjawinangun, (1989- sekarang)
17. Kepala Madrasah Aliyah Nusantara Arjawinangun (1989)
18. Kepala SMU Ma‟arif, Arjawinangun (2001)
19. Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Arjawinangun (1996-sekarang)
20. Ketua Kopontren Dār al-Tauhid (1994- sekarang)
21. Ketua Departemen kajian Filsafat dan Pemikiran ICMI Orsat Kabupaten Cirebon
(1994-2000)
22. Ketua Badan Koordinasi TKA-TPA Wilayah III Cirebon (1994-2000)
23. Pemimpin Umum/Penanggung Jawab “Swara Rahima”, Jakarta (2001)
24. Dewan Redaksi Jurnal Dwi Bulanan “Puan Amal Hayati” Jakarta (2001)
25. Kinsultan Yayasan Balqis untuk Hak-Hak Perempuan, Cirebon (2002)
26. Pendiri LSM Puan Amal Hayati Cirebon (2001)
27. Konsultan/ Staff Ahli Kajian Fiqh Siyasah dan Perempuan
28. Anggota National Broad of International Center for Islamic and Pluralism, Jakarta
(2003)
29. Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development
(2003)
30. Dewan Penasehat dan Pendiri KPPPI (Koalisi Perempuan Partai Politik Indonesia)
di Kabupaten Cirebon (2004).
31. Anggota Komisioner Komini Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
sebuah lembaga negara non-kementrian (2007- sekarang)
32. Komisioner pada Komnas perempuan (2007-2009)
33. Anggota Pengurus Associate Yayasan Desantara Jakarta (2002-sekarang)
34. Konsultan The Asia Foundation (TAF) untuk Islam dan Civil Society.
35. Anggota Pengurus Associate The Wahid Institute Jakarta (2004- sekarang)
Pertanyaan Wawancara
A. Gender Secara Umum
1. Apa yang melatarbelakangi Husein Muhammad untuk fokus terhadap
permasalahan perempuan?
Ketika saya diperkenalkan dengan kajian kontektualisasi kitab kuning pada
kegiatan P3M. mengenai hukum yang diterapkan kepada perempuan Semuanya
terlihat konservatif. Apalagi ketika saya diperkenalkan dengan kajian reproduksi
perempuan.
2. Siapa yang pertama kali memperkenalkan feminisme kepada Husein
Muhammad?
Sesungguhnya saya masuk kedala isu feminisme tidak menjadi satu proses
pendidikan yang sejak awal sengaja dilakukan tetapi ditengah jalan. Saya memang
pesantren kemudian sejak lahir sampe hari ini di pesantren. Sampai di mesir saya
masih fikiran-fikiran yang saya bawa dari pesantren dengan seluruh tradisi
pemikirannya. Kemudian pulang tahun 1984. Kemudian saya ikut serta dalam
proses kaderisasi ulama yang dilaksanakan oleh P3M. Salah satu programnya
adalah kesehatan reproduksi. Maka dari sini awal saya tertarik untuk mengenal
feminisme.
3. Dimana pertama kali Husein Muhammad mengemukakan Argumen
feminisme kepada publik?
Menurut saya tidak dapat dikategorisasikan kapan saya mengemukakan gagasan
pertama tentang feminisme yang penting saya menulis saja tentang posisi
perempuan dan laki-laki pada kajian kitab kuning.
4. Bagaimana gagasan Husein Muhammad dalam memahami gender?
Gender bukan suatu perbedaan yang given dari Allah yang tidak bisa dirubah.
Sesungguhnya gender adalah fungsi laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan
oleh masyarakat
5. Bagaimana pemahaman Husein Muhammad mengenai kedudukan laki-laki
dan perempuan dalam al-Qur’an?
Laki-laki dan perempuan berkedudukan setara dalam al-Qur‟an.
B. Nafkah
1. Mengenai nafkah dalam keluarga, bagaimana tanggapan Husein
Muhammad terhadap istri sebagai pencari nafkah dalam keluarga?
Tidak ada kewajiban laki-laki memberikan nafkah dan tidak ada halangan untuk
perempuan yang akan mencari nafkah untuk keluarganya.
2. Bagaimana tanggapan Husein Muhammad mengenai tafsiran ayat-ayat
mengenai nafkah keluarga dalam al-Qur’ān (Q.S an-Nisā 4:3 dan 34, Q.S At-
Thalāq 64: 6-7, Q.S al-Baqarah 2:233)?
Q.S an-Nisā 4:3 ayat ini bukan ayat hukum. Ayat ini hanya menjelaskan bahwa
pada umumnya pada saat itu diarabiyah laki-laki adalah pemimpin karena Allah
melebihkan sebagian atas sebagian bukan semua. Maka dapat diartikan bahwa ada
sebagian perempuan yang diberikan keunggulan dari sebagian laki-laki. Al-
Qur‟an tidak menyebutkan kelebihan laki-laki atas perempuan. kelebihan-
kelebihan tersebut hanya dikemukakan oleh para penafsir agama. Q.S At-Thalāq
64: 6-7 ayat ini memang istri yang ditalak harus diberikan nafkah. karena
masyarakat telah memberikan hukum kepada lai-laki untuk memberikan nafkah
dan perempuan sebaga penjaga rumah.
3. Bagaimana syarat istri sebagai pencari nafkah / apakah pencari nafkah bisa
di mainkan oleh satu/dua orang (suami istri)?
Pada dasarnya siapapun yang mampu mencari nafkah untuk keluarganya maka dia
berhak mencari nafkah itu.
4. Bagaimana dampak terhadap istri sebgai pencari nafkah dalam
keluarga?Apakah sistem yang sudah ada dalam keluarga akan berubah atau
tetap dengan adanya istri sebagai pencari nafkah?
Iyaa dapat berubah itu pilihan saja di dalam keluarga. Jadi tidak bisa memutlakan
perempuan harus dirumah saja atau laki-laki di luar saja.
5. Bagaimana prospek kedepan yang akan dialami oleh istri sebagai pencari
nafkah?
Perubahan tradisi akan menimbulkan reaksi besar. Perjuangan menegakan keadilan
gender harus diperjuangkan oleh perempuan secara bersama-sama.
Kita harus merumuskan kebijakan publik yang memberi ruang kepada perempuan
untuk bisa memberikan nafkah kepada keluarganya. Metodenya harus membongkar
atau mengkritisi patriakisme.