MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN
(STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB
DAN IBN KATSÎR ATAS SURAT AL-HADÎD
AYAT 22 DAN 23)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
MUTMAINAH NIM: 206034004220
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H./2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 10 Juni 2010
ii
iii
MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN
(STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB
DAN IBN KATSÎR ATAS SURAT AL-HADÎD
AYAT 22 DAN 23)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh MUTMAINAH
NIM: 206034004220
Pembimbing
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. NIP: 19690822 199703 1 002
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul MUSIBAH DALAM AL-QUR’AN (STUDI
KOMPARATIF PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR ATAS
SURAT AL-HADÎD AYAT 22 DAN 23) telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Juni 2010. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi
Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis.
Jakarta, 10 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M. Fils. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A.
NIP: 19610827 199303 1 002 NIP: 19690822 199703 1 002
Anggota,
Dr. M. Suryadinata, M. Ag Dr. Lilik Ummi Kultsum, M. Ag
NIP: 19600908 198903 1 005 NIP: 19711003 199903 2 001
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A. NIP: 19690822 199703 1 002
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangkan ا b be ب t te ت ts te dan es ث j je جh ح h dengan garis bawah
kh ka dan ha خ d de د dz de dan zet ذ r er ر z zet ز s es س sy es dan ye شs ص es dengan garis di bawah
d ض de dengan garis di bawah
t te dengan garis di bawah طz ظ zet dengan garis di bawah
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع gh ge dan ha غ f ef ف q ki ق k ka ك l el ل m em م n en ن w we و h ha ه apostrof ′ ء y ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
v
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan a fathah i kasrah u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ai a dan i au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan â a dengan topi di atas î i dengan topi di atas
û u dengan topi di atas
Kata sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (-) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
vi
ABSTRAK
MUTMAINAH Musibah dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr atas Surat al-Hadîd Ayat 22 dan 23) Skripsi ini membahas tentang musibah dalam al-Qur’an dengan pendekatan studi komparatif terhadap penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr atas surat al-Hadîd Ayat 22 dan 23. Karya Sayyid Qutb dipilih untuk mewakili tafsir modern yang menggabungkan metode bi al-ra’yi dan metode bi al-ma’tsur sementara karya Ibn Katsîr yang masyhur dan telah diakui kualitasnya dipilih untuk mewakili tafsir periode klasik dengan metode bi al-ma’tsur. Tema tentang musibah relevan untuk diangkat karena banyaknya bencana yang terjadi di tanah air yang mengakibatkan kerugian materi dan immateri yang tidak sedikit termasuk dampak psikologis berupa rasa putus asa dan patah semangat untuk melanjutkan kehidupan yang menunjukkan bahwa sebagian manusia kurang memahami atau lupa tentang hakikat musibah. Kedua mufassir menyatakan bahwa musibah terjadi atas kehendak Allah SWT dan sudah ditetapkan kejadiannya bahkan sebelum penciptaan alam semesta. Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang menimpa baik itu berupa kebaikan maupun keburukan. Keduanya berasal dari Allah SWT dan merupakan bagian dari perencanaan Allah SWT dalam penciptaan alam semesta di mana manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang lemah dan membutuhkan kasih sayang dan pentunjuk dari Allah SWT untuk mencapai kebahagiaan hidup. Sementara itu Ibn Katsîr menafsirkan musibah sebagai bencana yang menimpa alam semesta maupun diri manusia yang dapat berupa kemarau panjang, rasa lapar maupun rasa sakit. Definisi musibah oleh Sayyid Qutb lebih mewakili makna musibah dalam al-Qur’an karena mencakup makna musibah dalam ayat-ayat lain di dalam al-Qur’an. Pemahaman yang benar tentang makna musibah dapat memudahkan manusia untuk bersikap sabar ketika tertimpa bencana sebagaimana anjuran kedua penafsir dan dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan yang efektif dalam memperkuat ketahanan mental untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat dan tegar dalam menghadapi musibah.
vii
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menurunkan al-Quran kepada nabi
Muhammad SAW melalui malaikat-Nya sebagai petunjuk bagi manusia dalam
mengarungi kehidupan, sebagai penjelas dari petunjuk dan sebagai pembeda
antara kebenaran dan kebatilan. Salawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan
kepada imam orang-orang yang bertaqwa, teladan umat Islam, dan penutup para
nabi, rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan pengikutnya
yang setia hingga akhir jaman.
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah
menghendaki penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Selanjutnya, skripsi ini penulis dedikasikan kepada suami dan ananda tercinta
yang telah banyak memberikan pengorbanan dan bantuan selama penulis belajar
dan berusaha menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah.
Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi
ini. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Prof. Dr.
Zainun Kamal, M.A., beserta para Pembantu Dekan.
2. Ketua Program Ekstensi Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Drs. Ahmad Rifqi
Muchtar, M.A.
3. Ketua dan sekretaris Jurusan Program Studi Tafsir-Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, bapak Dr. Bustamin, MBA.
viii
dan bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A.
4. Bapak Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A., selaku pembimbing yang
senantiasa memotivasi, mengarahkan dan meluangkan waktunya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
5. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah terutama Jurusan Tafsir-Hadis.
6. Kepala perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Kepala Perpustakaan
Ushuluddin yang telah membantu penulis melalui referensi yang
menjadi rujukan penulis.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta, kakak tercinta, Tholhah Nuhin, Lc.
dan kakak-kakak yang lain yang telah memberikan kasih sayangnya
kepada penulis, yang tidak akan pernah penulis lupakan. (Semoga
Allah memberikan kasih sayang di dalam hidupnya).
8. Kepala Sekolah SDIT Nur Fatahilah Serpong, bapak H. Hasan
Anwar, S.Pd serta rekan-rekan staf dan guru SDIT Nur Fatahillah.
9. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi Program Ekstensi dan Reguler
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah. Kalian adalah sahabat
terbaik yang pernah Allah berikan kepada penulis.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu dalam
kata pengantar yang terbatas ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang tidak terhingga.
Terakhir, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada siapa saja
yang membacanya.
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK............................................................................................................vii
KATA PENGANTAR..........................................................................................viii
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................6
C. Kajian Pustaka.................................................................................7
D. Tujuan Penelitian.............................................................................8
E. Metode penelitian............................................................................8
F. Sistematika Penelitian.....................................................................9
BAB II DESKRIPSI UMUM TENTANG SAYYID QUTB DAN IBN
KATSÎR
A. Deskripsi Tentang Sayyid Qutb................................................... 11
1. Biografi Sayyid Qutb.................................................................11
2. Pemikiran dan Karya-karya Sayyid Qutb..................................13
3. Metode dan Corak Tafsir Sayyid Qutb......................................18
B. Deskripsi Tentang Ibn Katsîr.........................................................20
1. Biografi Ibn Katsîr.....................................................................20
2. Pemikiran dan Karya-karya Ibn Katsîr......................................21
3. Metode dan Corak Tafsir Ibn Katsîr..........................................24
C. Perbandingan antara Tafsir Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr..............25
BAB III MUSIBAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
A. Pengertian Musibah.......................................................................28
B. Pendapat Ulama Tentang Musibah................................................33
C. Macam-Macam Musibah...............................................................34
D. Musibah dan Gejala Alam..............................................................40
x
xi
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTB
DAN IBN KATSÎR ATAS TERHADAP SURAT AL-HADÎD AYAT
22 DAN 23
A. Pandangan Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr Tentang Musibah.............44
B. Kehendak Allah dalam Kehidupan Manusia..................................49
C. Pengaruh Keimanan dalam Menghadapi Musibah........................54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................63
B. Saran..............................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................66
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Hal ini
dinyatakan Allah SWT di dalam al-Qur’an Surat Âli ‘Imrân/3:3-4.
☺
⌧ ⌧ ⌧ ⌧ ⌦
“Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (al-Qur’an), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Mahaperkasa lagi mempunyai balasan (siksa).”1
Menurut Yûsuf al-Qardawî, berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan
sebelumnya al-Qur’an mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya: Pertama,
ia adalah kitab yang dipelihara langsung oleh Allah SWT, sementara kitab-kitab
sebelumnya dijaga oleh orang-orang yang menerimanya. Kedua, ia merupakan
mukjizat terbesar bagi Muhammad SAW. Ketiga, ia mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia. Keempat, ia adalah kitab yang berlaku sepanjang jaman.
1 Lihat juga sûrah al-Baqarah/2:2, al-Baqarah/2:185
11
Kelima, ia merupakan kitab yang berlaku untuk seluruh umat manusia.2
Sebagai kitab petunjuk yang diturunkan Pencipta manusia, al-Qur’an berisi
petunjuk yang paling sesuai bagi kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh
kesuksesan hidup apabila mengikuti petunjuk al-Qur’an. Sebaliknya, manusia
akan terjerumus dalam kesesatan apabila mengabaikannya. Rasulullah SAW
mewasiatkan hal ini dalam khutbah Haji Wada’.
اهللا صلى اهللا عليه و سلم خطب أن رسول : عن بن عباس رضي اهللا عنهما
الناس في حجة الوداع فقال يا أيها الناس أني قد ترآت فيكم ما إن اعتصمتم به
فلن تضلوا أبدا آتاب اهللا وسنة نبيه “Dari Ibn ‘Abbâs r.a Sesungguhnya Rasulullah SAW. berkhutbah di hadapan manusia pada haji Wada’,“Sesungguhnya telah saya tinggalkan kepada kamu, jika kamu berpegang teguh maka kalian tidak akan tersesat selamanya. Yaitu kitabullah dan sunah Rasulullah.”3
Kesuksesan hidup tidak mudah untuk diraih. Tidak setiap orang dapat
meraih kesuksesan hidup. Upaya manusia untuk meraih kesuksesan dengan
mengikuti petunjuk akan diuji oleh Allah SWT dengan cobaan. Manusia tidak
dibiarkan mengklaim dirinya sebagai orang beriman tanpa diuji sebelumnya.
Allah SWT berfirman tentang hal ini dalam Surat al-‘Ankabût/29 ayat 2:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”
Bahkan para nabi dan rasul pun menerima ujian dari Allah SWT. Ibn al-
Jauzî mengatakan,” Seandainya dunia bukan medan musibah, di dalamnya tidak
2 Yûsuf al-Qardawî, Bagaimana Berinteraksi Dengan al-Quran. Penerjemah Kathur Suhardi
(Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000), h. 14. 3 Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 10, No. 114
22
akan tersebar penyakit dan nestapa, takkan pernah ada kepedihan yang menimpa
para nabi dan orang-orang pilihan.”4 Nabi Adam A.S. diuji oleh Allah SWT
hingga dikeluarkan dari surga, nabi Nuh A.S. diuji kesabarannya dengan
berdakwah selama tiga ratus tahun, dan nabi Ibrahim A.S. diuji dengan bara api
dan penyembelihan putranya sendiri. Allah SWT berfirman tentang beratnya
cobaan bagi para nabi di dalam Surat al-Baqarah/2:214 sebagai berikut:
☺
☺
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
Bangsa Indonesia pun mengalami ujian yang datang silih berganti. Salah
satu kejadian yang meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi bangsa ini
adalah peristiwa tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Kejadian
tersebut telah meluluhlantakkan provinsi Aceh dan sekitarnya dengan kerugian
yang mencapai 4.5 Milyar Dolar Amerika dan ratusan ribu nyawa melayang.5
Peristiwa besar lain yang belum lama terjadi adalah bobolnya tanggul Situ
4 Muhammad al-Manjibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah Kematian. Penerjemah
Muhammad Suhadi (Jakarta: Mizan Publika, 2007), h. 4. 5 Biro Humas & Luar Negeri BPK, “Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pascatsunami”, artikel diakses pada 10 Januari 2010 dari http://www.bpk.go.id/web/?p=3958
33
Gintung di kecamatan Ciputat menjelang Subuh hari Jumat tanggal 27 Maret
2009.6
Setiap manusia merasakan kepedihan atas terjadinya musibah yang
merenggut kesenangan hidup tersebut. Tetapi manusia menghadapi musibah yang
menimpanya dengan sikap yang berbeda-beda. Sikap manusia terhadap musibah
dapat dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, kelompok yang menganggap
musibah sebagai bagian dari warna kehidupan yang harus diterima. Mereka
meyakini setiap orang akan mengalami musibah dan mereka tidak larut dalam
kesedihan dan melanjutkan hidupnya seperti biasa. Kedua, kelompok yang
menganggap musibah sebagai akibat dari perbuatan orang lain terhadap dirinya.
Sikap ini dapat menciptakan pribadi yang pendendam, cenderung menyalahkan
orang lain dan akan membawa kerugian bagi yang bersangkutan. Ketiga,
kelompok yang menyalahkan dan mempertanyakan keadilan Tuhan Sang
Pencipta. Kelompok ini mengakui bahwa musibah adalah kehendak Sang
Pencipta. Tetapi, pada saat yang sama, mereka merasa tidak layak untuk ditimpa
musibah tersebut. Sikap semacam ini dapat membawa manusia kepada kekufuran.
Pada umumnya, semakin besar kehilangan yang dirasakan semakin sulit bagi
manusia untuk dapat menerimanya.
Berdasarkan uraian di atas, alasan penulis memilih topik musibah dalam
penelitian ini adalah pertama, karena musibah sebagai sebuah ujian dari Allah
SWT selalu menghiasi kehidupan manusia. Terlebih, sejak beberapa tahun
terakhir banyak musibah yang terjadi di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di
atas. Kedua, kebanyakan manusia tidak mengetahui atau lupa tentang hakikat
6 Kompas, “Bencana Situ Gintung, Kerugian UMJ Rp 10 Miliar.” 10 Maret 2009.
44
musibah. Hal ini tampak dari sikap negatif kebanyakan manusia ketika ditimpa
musibah yang menjadikan hidup mereka menjadi terasa semakin sempit. Oleh
karena itu penulis ingin mengetahui hakikat yang sebenarnya tentang musibah
menurut al-Qur’an. Pemahaman yang benar tentang hakikat musibah diharapkan
dapat membantu melahirkan sikap dan perilaku yang benar ketika musibah
menimpa.
Allah Mahakuasa atas hidup manusia. Tidak ada yang berlaku di muka bumi
ini kecuali atas kehendak-Nya, termasuk di dalamnya musibah yang menimpa
seseorang di belahan manapun di dunia ini. Allah SWT sebagai pencipta manusia
mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Rahmat dan kasih sayang Allah SWT
jauh lebih banyak dari ujian yang diberikan. Semua peristiwa yang terjadi adalah
atas kehendak Allah SWT dan sudah ditulis di dalam kitab di al-Lauh al-mahfuz.
Hal ini telah dinyatakan Allah SWT dalam Surat al-Hadîd ayat 22-23 sebagai
berikut:
⌧
☺
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (al-Lauh al-Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Kedua ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa pada hakikatnya musibah
55
yang menimpa manusia telah ditetapkan oleh Allah SWT dan ditulis di dalam
kitab di al-Lauh al-Mahfuz. Selanjutnya ayat tersebut menyatakan bahwa
semestinya manusia tidak putus asa apabila ditimpa musibah dan sebaliknya
semestinya manusia tidak terlalu bergembira dan menjadi lupa diri ketika meraih
prestasi dalam hidupnya. Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat lain yang
berbicara tentang musibah, tetapi Surat al-Hadîd ayat 22-23 di atas secara tegas
menerangkan tentang hakikat musibah. Sedangkan ayat-ayat lain menjelaskan
aspek-aspek lain dari musibah, di antaranya Surat al-Hajj ayat 11 menjelaskan
tentang sikap manusia ketika ditimpa musibah.
☺
☺ “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”
Dengan alasan di atas penulis memilih Surat al-Hadîd ayat 22-23 untuk
memahami lebih jauh hakikat musibah. Penelitian terhadap kedua ayat tersebut
akan mengacu kepada kitab tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dan kitab
Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm karya Ibn Katsîr.
Kedua kitab tafsir tersebut dipilih dengan alasan keduanya mewakili periode
dan metode penafsiran yang berbeda. Karya Sayyid Qutb dipilih dan didahulukan
dalam pembahasan karena karya ini termasuk dalam kategori tafsir periode
modern yang menggabungkan metode bi al-ra’yi dan metode bi al-ma’tsur yang
66
penafsirannya lebih sesuai dengan kehidupan masa kini. Tafsir Sayyid Qutb kaya
dengan pemikiran sosial kemasyarakatan dan mengkaji masalah-masalah sosial
serta memberikan solusi yang dibutuhkan masyarakat. Sementara karya Ibn Katsîr
dipilih untuk mewakili tafsir periode klasik dengan metode bi al-ma’tsur. Tafsir
ini menyajikan penafsiran berdasarkan sumber-sumber lain yang dapat dipercaya.
Tafsir Ibn Katsîr lebih dipilih daripada kitab klasik yang lain karena kitab ini
adalah salah satu kitab tafsir klasik bi al-ma’tsur yang masyhur dan telah diakui
kualitasnya. Dengan menggunakan dua kitab tersebut diharapkan dapat diperoleh
pemahaman yang lebih komprehensif tentang hakikat musibah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penelitian tentang hakikat musibah dalam al-Qur’an ini akan dibatasi
dengan meneliti ayat al-Qur’an Surat al-Hadîd ayat 22-23. Penelitian tentang
makna ayat-ayat tersebut akan dibatasi dengan memilih dua buah kitab tafsir.
Kitab Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dipilih untuk mewakili karya tafsir
modern, sementara kitab Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm karya Imâm al-Dîn abî al-
Fida’ Ismâ’îl bin Katsîr yang lebih dikenal dengan nama Ibn Katsîr dipilih
mewakili karya tafsir klasik. Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan,
permasalahan yang akan dibahas dirumuskan dengan pertanyaan berikut:
Bagaimana Penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr tentang musibah yang
ada dalam Surat al-Hadîd ayat 22-23 ?
C. Kajian Pustaka
Penelitian ini membandingkan penafsiran Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr atas
Surat al-Hadîd ayat 22-23. Sebatas penelitian penulis, tidak banyak karya tulis
77
yang membahas tentang musibah dalam al-Qur’an. Penulis menemukan sebuah
skripsi yang berjudul “Musibah Menurut Kajian Surat Al-Baqarah Ayat 155-157”
karya Layli, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah tahun 2003. Skripsi tersebut lebih banyak membahas tentang
bentuk-bentuk musibah sebagaimana yang disebutkan oleh ayat-ayat al-Qur’an
yang menjadi topik utama penelitian, dan janji Allah SWT bagi mereka yang sabar
menghadapi musibah. Demikian juga karya-karya lain seperti karya Muhammad
al-Manjibi al-Hanbali yang berjudul “Menghadapi Musibah Kematian”, lebih
banyak membahas tentang musibah kematian secara khusus.
Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
penelitian ini menfokuskan penelitian pada Surat al-Hadîd ayat 22-23 dan
membahas tentang hakikat musibah dengan membandingkan penafsiran tokoh
pergerakan Ikhwanul Muslimin, Sayyid Qutb, dan seorang ulama tafsir klasik, Ibn
Katsîr. Sementara penelitian sebelumnya mengangkat Surat al-Baqarah ayat 155-
157 yang membahas tentang macam-macam musibah dan tidak menfokuskan
penelitian pada tafsir tertentu.
D. Tujuan Penelitian
Diharapkan, dengan penelitian ini dapat dicapai tujuan-tujuan sebagai
berikut:
• Memahami makna musibah.
• Mengetahui sikap yang benar dalam menghadapi musibah
• Mengetahui pengaruh positif penyikapan yang benar terhadap musibah
dalam kehidupan seorang muslim.
• Mengubah pola pikir dan sikap yang salah dalam menghadapi musibah
88
Selain itu, secara akademik, penelitian ini juga bertujuan untuk memenuhi
sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata I.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data dengan metode
kajian pustaka menggunakan kitab tafsir, buku, majalah, jurnal dan artikel yang
relevan dengan tema pembahasan. Adapun sumber data primer untuk penelitian
ini adalah al-Qur’an, baik berupa mushaf maupun perangkat lunak (software)
komputer, kitab tafsir Fî Zilâl al-Qur’ân karya Sayyid Qutb dan Tafsîr Al-Qur’ân
al-‘Azîm karya Ibn Katsîr, dan hadis nabi SAW, baik berupa kitab maupun
perangkat lunak (software) komputer. Sedangkan sumber data sekunder yang
digunakan antara lain adalah buku-buku yang berisikan pengetahuan tentang al-
Qur’an, buku-buku Islam yang membahas tentang musibah, dan sumber-sumber
lain yang relevan dengan topik pembahasan.
Pengolahan data akan dilakukan dengan metode deskriptif analitis. Metode
deskriptif digunakan untuk menggambarkan data terpilih yang relevan secara
obyektif dan apa adanya. Selanjutnya metode analitis dipakai untuk menganalisis
secara kritis data yang diperoleh dan menghubungkannya dengan realita yang ada
untuk dapat memberikan jawaban kepada permasalahan yang dibahas.
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya
Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang disusun oleh Hamid Nasuhi dkk. dan
diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tahun 2008.
99
F. Sistematika Penulisan
Supaya penelitian lebih terarah dan hasilnya dapat dengan mudah dipahami
oleh para pembaca, penulisan skripsi ini dilakukan dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II menerangkan tentang dua orang mufassir, yaitu Sayyid Qutb dan Ibn
Katsîr, yang karyanya dijadikan acuan dalam penelitian ini dan meliputi biografi,
pemikiran dan karya-karya yang dihasilkan, metode serta corak tafsir yang
digunakan, dan perbandingan antara tafsir Sayyid Qutb dan tafsir Ibn Katsîr.
Bab III membahas tentang pengertian musibah, macam-macam musibah dan
pendapat para ulama tentang musibah.
Bab IV secara rinci membahas surat al-Hadîd ayat 22-23 dengan
membandingkan pendapat Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr tentang definisi musibah,
kehendak Allah dalam kehidupan manusia dan pengaruh keimanan dalam
menghadapi musibah.
Bab V merupakan Penutup yang berisi kesimpulan yang didapat dari
pembahasan dan merupakan jawaban dari pertanyaan pada perumusan masalah
dan juga berisi saran-saran penulis.
1010
1111
BAB II
DESKRIPSI UMUM TENTANG SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR
A. Deskripsi Tentang Sayyid Qutb
1. Biografi Sayyid Qutb
Sayyid Qutb mempunyai nama lengkap Sayyid Qutb Ibrâhîm Husain
Syadzili. Beliau lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 di Mausyah, sebuah
wilayah di Provinsi Asyut, di dataran tinggi Mesir.1
Kakek keenam beliau, Abdullah, berasal dari India. Abdullah menetap di
Mausyah setelah selesai melaksanakan ibadah haji di Mekah dan merasa
takjub dengan pemandangan dan kesuburannya. Ayah Sayyid Qutb adalah
orang terpandang dengan status sosial yang tinggi di lingkungannya.
Sayyid Qutb menempuh pendidikan dasar di desanya. Sayyid
menamatkan hafalan al-Qur’an pada usia 10 tahun.2 Setelah Revolusi
Rakyat Mesir pada tahun 1919 Sayyid pindah ke Kairo dan tinggal di rumah
pamannya, Ahmad Husain ‘Utsmân. Melalui pamannya inilah Sayyid
berkenalan dengan seorang sastrawan besar, ‘Abbas Mahmûd al-‘Aqqâd.
Sayyid banyak mempelajari berbagai hal melalui perpustakaan yang dimiliki
al-‘Aqqâd disamping berdiskusi dengannya. Selain itu, Sayyid dikenalkan
1 Shalah Abdul Fatah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân.
Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Intermedia, 2001), Cet. Ke-1, h. 23. 2 Republika, “Sayed Qutb, Sang Syahid Kontroversial”, Republika Online, artikel diakses
pada 17 Januari 2010 dari http://www.republika.co.id/node/72910
11
pula dengan Partai Wafd.3 Di kemudian hari Sayyid keluar dari Partai Wafd
karena menganggap partai tersebut memihak kepada pemerintah Inggris dan
bergabung dengan Partai Sa’diyyin selama dua tahun sebelum
mengundurkan diri dari politik praktis secara total.
Pada tahun 1930, Sayyid menjadi mahasiswa di Institut Darul Ulum dan
meraih gelar Lc. dalam bidang sastra dan Diploma dalam bidang pendidikan
pada tahun 1933. Selama menjadi mahasiswa Sayyid terlibat dalam kegiatan
sastra, politik dan pemikiran melalui sejumlah penerbitan dan forum-forum
diskusi.4
Setelah lulus, Sayyid bekerja di Departemen Pendidikan sebagai
pengajar selama enam tahun kemudian sebagai pengawas selama delapan
tahun. Pada tahun 1948 Departemen Pendidikan mengirimkan Sayyid ke
Amerika Serikat untuk melanjutkan pendidikannya. Sayyid tinggal di
Amerika selama dua setengah tahun untuk belajar di Wilson’s Teacher
College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di
bidang pendidikan. Sayyid kemudian mengundurkan diri dari pekerjaannya
sebagai pengawas pendidikan karena tidak cocok dengan kebijakan
pemerintah Mesir yang dianggapnya terlalu menuruti kemauan pemerintah
Inggris.
Pengalaman hidupnya di Amerika Serikat telah membuka mata Sayyid
akan kekurangan peradaban barat yang maju di bidang teknologi. Pada saat
yang sama Sayyid mulai tertarik dengan pemikiran Hasan Al-Bana dan Abul
3 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 27. 4 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 27-28.
12
A’la Maududi dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Sejak itu Sayyid
mulai memasukkan nilai-nilai Islam dalam karyanya.
Ketika Ikhwanul Muslimin menentang kebijakan pemerintah pada awal
tahun 1954, Sayyid termasuk yang ditangkap dan kemudian dijatuhi
hukuman penjara selama lima belas tahun. Atas desakan pemimpin Irak, Abd
al-Salam Arif, Sayyid dibebaskan setelah sepuluh tahun mendekam di
penjara. Namun pada tahun 1965, Sayyid kembali ditangkap atas tuduhan
makar terhadap pemerintah dan dijatuhi hukuman mati. Sayyid menolak
mengakui kesalahan-kesalahan yang dituduhkan kepadanya untuk kemudian
mendapatkan ampunan dari penguasa. Beliau mengatakan:”Sesungguhnya
jari telunjuk yang tunduk kepada Allah SWT dengan menunjukkan keesaan-
Nya dalam shalat sudah pasti menolak untuk menuliskan satu huruf pun
untuk mengakui kekuasaan tiran.”5 Pada tanggal 29 Agustus 1966, Sayyid
Qutb menjalani eksekusi hukuman gantung bersama al-‘Abd al-Fattâh
Ismaîl dan Muhammad Yûsuf Hawwâsy.
2. Pemikiran dan karya-karya Sayyid Qutb
Merujuk kepada pendapat Abu al-Hasan al-Nadawi dan Al-Khalidi, fase
pemikiran dan kehidupan Sayyid dapat dibagi dalam beberapa tahapan
sebagai berikut:
1. Fase tradisi keislaman di rumah dan di desa.
2. Fase kebimbangan hakikat agama yang terjadi setelah Sayyid pindah
ke Kairo dan terlepas dari tradisi-tradisi keislaman di kampung
halaman.
5 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 35.
13
3. Fase keislaman bernuansa seni.
4. Fase keislaman umum. Pada fase ini Sayyid tertarik kepada konsep
keadilan dan reformasi sosial dalam Islam dan relevan dengan situasi
Mesir pada saat itu.
5. Fase keislaman terorganisasi dan haraki. Pada fase ini Sayyid
bergabung dengan Ikhwanul Muslimin sekembalinya dari Amerika
Serikat hingga pertentangannya dengan pemerintah Mesir yang
berakhir dengan hukuman mati bagi Sayyid.6
Sayyid merupakan seorang pemikir yang produktif menuangkan
pemikirannya dalam bentuk tulisan. Diantara karyanya adalah sebagai
berikut.7
1. Bidang Sastra
a. Muhimmat al-Sya‘îr fî al-Hayah wa Syi‘r al-Jil al-Hadhir (Peran
Penyair dalam Kehidupan dan Syair Generasi Kontemporer,
diterbitkan tahun 1933)
b. Al-Syathi’ al-Majhul (Pantai yang Tak Dikenal, sebuah kumpulan
sajak, diterbitkan tahun 1935)
c. Naqd Kitab “Mustaqbâl al-Tsaqafah fî Mishr” li al-Duktur Taha
Husain (Kritik Buku: Masa Depan Budaya di Mesir karya Dr.
Taha Husain, diterbitkan tahun 1939)
6 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 39-40. 7 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 41-43.
14
d. Al-Atyâf al-Arba‘ah (Empat Jiwa, sebuah karya bersama dengan
saudara-saudaranya; Aminah, Muhammad dan Hamidah,
diterbitkan tahun 1945)
e. Tifl min al-Qaryah (Anak dari Desa, berisi gambaran tentang
desanya dan catatan masa kecilnya di desa, diterbitkan tahun
1946)
f. Al-Madînah al-Mansurat (Kota yang Indah, sebuah buku cerita
fiksi seperti cerita Seribu Satu Malam, diterbitkan tahun 1946)
g. Raudat al-Tifl (Taman Anak)
h. Asywak (Duri-Duri, diterbitkan tahun 1947)
i. Al-Jadîd fî al-Lughah al-‘Arabiyah (Yang Baru dalam Bahasa
Arab)
j. Al-Jadîd fî al-Mahfûzhât (Yang Baru dalam Mahfudzat)
k. Kutub wa al-Syakhsyiyah (Buku dan Pengarangnya, sebuah studi
Sayyid terhadap karya-karya pengarang lain, diterbitkan tahun
1946)
2. Bidang Keislaman Umum
a. Al-Qasas al-Dînî (Kisah-Kisah Agama, disusun bersama Aminah
al-Sa’id dan Yusuf Murad, diterbitkan dalam dua edisi)
b. Al-Taswîr al-Fanni fî al-Qur’ân (Ilustrasi Artistik dalam Al-
Qur’an, merupakan buku keislaman yang pertama, diterbitkan
tahun 1945)
c. Masyâhid al-Qiyâmah fî al-Qur’ân (Bukti-Bukti Kiamat dalam
Al-Qur’an, diterbitkan tahun 1947)
15
d. Al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah fî al-Islâm (Keadilan Sosial dalam
Islam, buku pertama dalam pemikiran Islam, diterbitkan tahun
1949)
e. Ma’rakat al-Islâm wa al-Ra’s al-Maliyah (Perang antara Islam
dan Kapitalisme, diterbitkan tahun 1951)
f. Al-Salâm al-‘alami wa al-Islâm (Perdamaian Dunia dan Islam,
diterbitkan tahun 1951)
3. Bidang Pergerakan Islam
a. Fî Zilâl al-Qur'ân (Di Bawah Naungan Al-Qur’an, cetakan
pertama juz pertama, 1952)
b. Dirâsat Islâmiyah (Studi Islam, berisi kumpulan berbagai artikel,
dihimpun oleh Muhib al-Din al-Khatib, diterbitkan tahun 1953)
c. Al-Mustaqbâl lî Hâdzâ al-Dîn (Masa Depan di Tangan Islam,
penyempurnaan dari Hâdzâ al-Dîn, diterbitkan setelah tahun
1954)
d. Al-Islâm wa Musykilât al-Hadhârah (Islam dan Problematika
Peradaban, diterbitkan setelah tahun 1954)
e. Khasâis al-Tasawwûr al-Islâm wa Muqawwimâtuhu
(Karakteristik Islam dan Pilar-Pilarnya, diterbitkan tahun 1960)
f. Ma‘âlim fî al-Tarîq (Petunjuk Jalan, berisi ringkasan pemikiran
Sayyid yang menyebabkan penulisnya dijatuhi hukuman
gantung, diterbitkan tahun 1964)
16
Penulisan tafsir Fî Zilâl al-Qur'ân dilatarbelakangi oleh kondisi sosial
dan politik Mesir setelah Perang Dunia ke-2 dan terjadinya kudeta militer
tahun 1952 serta perubahan fase pemikiran Sayyid Qutb. Penulisan tafsir ini
dapat dibagi menjadi beberapa tahap sesuai dengan perkembangan kondisi
sosial politik saat itu yang mempengaruhi pemikiran Sayyid Qutb.8
Pertama, Penulisan Zilâl dalam Majalah Al-Muslimun. Penulisan ini adalah
atas permintaan pemilik majalah, yaitu Sa’id Ramadhan kepada Sayyid Qutb
untuk menulis artikel bulanan dalam sebuah rubrik pada majalah tersebut.
Sayyid menamakan rubrik tersebut Fî Zilâl al-Qur'ân dan menulis tafsir al-
Qur’an selama tujuh episode dari Surat al-Fâtihah/1 hingga Surat al-
Baqarah/2:103. Kedua, Penulisan Zilâl sebelum Sayyid masuk penjara.
Setelah penerbitan dalam majalah sejumlah tujuh episode, Sayyid
memutuskan untuk menerbitkan Zilâl secara utuh dalam bentuk kitab tafsir
dan diluncurkan secara berkesinambungan juz demi juz. Kitab ini diterbitkan
oleh Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah hingga juz ke-16. Ketiga, Penulisan
Zilâl ketika Sayyid dalam penjara. Selama di dalam penjara, Sayyid
menyelesaikan penulisan tafsir sampai dengan juz 27, yaitu juz tujuh belas
dan delapan belas pada masa penahanan pertama selama empat bulan dan
juz-juz berikutnya pada masa penahanan kedua selama sepuluh tahun.
Kesempatan merenung yang cukup lama dan siksaan yang berat selama
masa penahanan kedua mempengaruhi pemikiran Sayyid Qutb, termasuk
pendekatan beliau dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini mempengaruhi
penafsiran beliau pada tahap berikutnya yang dimulai pada juz 28 sampai
8 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 54-57.
17
dengan 30 dan penafsiran ulang juz satu hingga tigabelas. Sayyid Qutb tidak
dapat melakukan penulisan ulang juz empat belas hingga 27 karena
menjalani eksekusi hukuman mati.
Bagi Sayyid Qutb, menulis tafsir bukan bertujuan untuk berkhidmat
kepada ilmu tafsir itu sendiri, seperti yang dinyatakan al-Syaukani, penulis
tafsir Fath al-Qadîr, ataupun Sayikh al-Maraghi.9 Tetapi beliau bermaksud
menjadikan tafsir beliau sebagai sarana untuk mendekatkan ummat Islam
kepada al-Qur’an dan mengaplikasikan kandungannya dalam kehidupan
ummat. Tentang hal ini beliau mengatakan sebagai berikut.
”Sesungguhnya saya serukan kepada para pembaca Zilâl jangan sampai Zilâl ini yang menjadi tujuan mereka, akan tetapi hendaklah mereka membaca Zilâl agar bisa dekat kepada al-Qur’an. Selanjutnya agar mereka mengambil al-Qur’an secara hakiki dan membuang Zilâl ini. Mereka tidak akan bisa mengambilnya secara hakiki kecuali jika mereka menjadikan seluruh kehidupan mereka untuk mewujudkan kandungan-kandungannya dan juga untuk berperang melawan kejahiliyahan dengan nama al-Qur’an dan di bawah benderanya.”10
3. Metode dan Corak Tafsir Sayyid Qutb
Sayyid Qutb menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahliliy11, yaitu
sebuah metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
9 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 122. 10 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 128. 11 Dr. Abd al-Hayy membagi metode penafsiran menjadi empat: 1. al-Ijmali (global) yaitu
metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. 2. Tahliliy (Analisis) yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menyampaikan semua aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsirkan dan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir. 3. Muqarin (komparatif) yaitu membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; atau membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan; atau membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. 4. Mawdhu’iy (Tematik) yaitu menafsirkan al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut dihimpun, kemudian diteliti secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait seperti asbâb al-nuzûl, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta
18
meliputi seluruh aspeknya, yaitu aspek bahasa, kosakata, makna global,
munasabah (korelasi) ayat, asbab al-nuzûl dilengkapi dengan sunnah Nabi
SAW, pendapat sahabat, tabi’in dan pendapat mufasir sendiri.
Keunikan tafsir Sayyid Qutb terletak pada corak tafsirnya yang
dipengaruhi oleh latar belakang beliau sebagai sastrawan, keadaan
masyarakat Mesir pada waktu itu dan keterlibatan beliau dalam Ikhwanul
Muslimin. Kepakaran Sayyid di bidang sastra membuat bahasa yang
digunakan dalam tafsirnya menjadi indah dilengkapi dengan penggambaran
yang terasa hidup dan nyata. Keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat
saat itu mendorongnya untuk menulis tafsir ijtima’i sebagai solusi bagi
permasalahan masyarakat. Sedangkan keterlibatannya dalam Ikhwanul
Muslimin dan pertentangannya dengan kebijakan pemerintah Mesir pada
saat itu membuatnya menuliskan tafsir bernafaskan haraky atau pergerakan.
Dengan demikian, tafsir Sayyid Qutb dapat disebut sebagai tafsir tahlily
yang bercorak adabi ijtima’i haraky.
Dalam menuliskan tafsirnya Sayyid Qutb menggunakan pemahamannya
terhadap ayat-ayat al-Quran sebagai rujukan utama. Adapun sumber-sumber
rujukan lain yang bersifat sekunder meliputi kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur
(tafsir Ibn Katsir, tafsir al-Thabari, tafsir al-Tsa’labi, tafsir al-Baghawi, tafsir
al-Qurtubi, dll.), kitab-kitab sirah karya Ibn Hisyam, al-Maqrizi, Ibn Hazm,
dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, kitab-kitab hadis, kitab-kitab sejarah umat
Islam dan dunia Islam masa kini, buku-buku ilmiah, kelimuan Islam,
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadis, maupun pemikiran rasional. Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidâyah fî Al-Tafsîr Al-Maudhu’iy (Kairo:Al-Hadharah Al-Arabiyah, 1977), Cet.II, h. 23.
19
pengetahuan dan pengalaman pribadi serta pemikiran yang bersumber dari
jamaah Ikhwanul Muslimin.12
B. Deskripsi Tentang Ibn Katsîr
1. Biografi Ibn Katsîr
Ibn Katsîr dilahirkan di Bashra pada tahun 700 H (1300 M) dengan
nama lengkap Imâduddîn Abu al-Fida’ Ismâîl bin ‘amir bin Katsîr. Beliau
wafat di Damaskus pada tahun 774 H. Beliau dikenal sebagai ahli tafsir,
hadis, sejarah dan fiqh.13 Keluarga Ibn Katsîr merupakan keluarga terhormat
di masanya. Ayahnya, Syihab al-Din Abu Hafsh ‘Amr Ibn Katsîr Ibn Dhaw’
Ibn Zara’ al-Quraisy adalah seorang ulama terkemuka.
Setelah orang tuanya wafat, dalam usia tujuh tahun Ibn Katsîr pergi ke
Damaskus bersama sudaranya untuk menimba ilmu.14 Pesatnya kemajuan
pusat-pusat studi Islam di bawah pemerintah dinasti Mamaluk pada masa
tersebut menguntungkan Ibn Katsîr yang sedang menuntut ilmu. Banyak
ulama ternama yang menjadi tempat beliau berguru.15 Guru utama Ibn
Katsîr adalah Bahrudin al-Farazi (660-729 H) dan Kamal al-Din Ibn Qadi
Syuhbah. Dari keduanya beliau mempelajari ilmu fiqih dengan menelaah
kitab al-Tanbih karya al-Syirazi dan Mukhtashar Ibn Hajib hingga menjadi
ahli fiqih yang menjadi rujukan para penguasa dalam persoalan hukum.16
12 al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 182. 13 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Mesir: Maktabah Wahbah,
1985), h. 242. 14 Mani’ Abd al-Halim Mahmûd, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehesif Metode Para Ahli
Tafsir. Penerjemah Syahdianor dan Faisal Saleh (Jakarta: Rajagrafindo, 2003), h. 64. 15 Nur Maizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsîr (Yogyakarta: Menara Kudus,
2002), h. 35-36. 16 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Van Horve, 1993), Jilid III, h. 157-
158.
20
Kemudian beliau berada dalam bimbingan Ibn Taimiyah (wafat 728 H). Ibn
Katsîr menyelesaikan hafalan al-Qur’an pada usia sebelas tahun dan
memperdalam qira’at dan studi tafsir dari Ibn Taimiyyah.
Ibn Katsîr berguru hadis kepada para ulama Hijaz dan mendapatkan
ijazah dari al-Wani. Beliau menghafal 100.000 hadits dan mendapat gelar al-
Hafîz.17
Ibn Katsîr juga mendapat sebutan al-Mu’arrikh karena kepakarannya
dalam bidang sejarah. Guru beliau dalam bidang ini adalah Al-Hafîz al-
Birzali (w.739 H), seorang sejarawan dari kota Syam. Kitab sejarah al-
Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibn Katsîr banyak merujuk kepada karya
gurunya tersebut.18
Imam al-Dzahabi menilai Ibn Katsîr sebagai “Imam, mufti, dan pakar
hadis. Spesialis fiqih, ahli hadis yang cermat dan mufassir yang kritis.”
Setelah al-Dzahabi wafat, Ibn Katsîr menggantikannya sebagai syaikh di Um
al-Shaleh. Beliau juga memimpin Dar al-Hadits al-Syarafiyyah setelah al-
Subki meninggal dunia.19
2. Pemikiran dan karya-karya Ibn Katsîr
Ibn Katsîr memandang perbedaan para ulama dalam penafsiran al
Qur’an bukanlah perbedaan prinsipil dan masih menyisakan banyak
persamaan sehingga dapat dikompromikan. Kitab tafsir yang disusun oleh
belaiu merangkum dan mengkompromikan banyak pendapat ahli tafsir.
Tentang sikap kompromi ini beliau menyatakan sebagai berikut.
17 Muhammad Ajjaj al-Khatib, UUsul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H), h. 448. 18 Ibn Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid XIV, h.148. 19 Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 65-66.
21
”Memang sering dijumpai perbedaan pengungkapan dalam banyak pernyataan mereka. Namun pada kenyataannya perbedaan tersebut bukan merupakan perbedaan yang prinsipil. Mereka yang tidak memahami berkesimpulan tentang adanya perbedaan. Kemudian menyatakan perbedaan-perbedaan tersebut dan mengesankannya sebagai pendapat-pendapat yang berbeda. Padahal kesemua pendapat tersebut memiliki kesamaan dalam banyak hal. Namun kesamaan yang hanya dapat dimengerti oleh mereka yang mampu memahami.”20
Beliau juga berpendapat bahwa penafsiran bi al-ra’yi dapat dilakukan
oleh mereka yang mempunyai disiplin ilmu bahasa dan syariat dan melarang
mereka yang tidak memiliki dasar pengetahuan tentang tafsir.21
Pemikiran beliau di bidang tafsir telah menempatkan karya tafsirnya
sebagai salah satu tafsir terbaik yang menjadi rujukan banyak ulama
sesudahnya.
Ibn Katsîr dikenal tidak hanya sebagai ahli tafsir, tetapi juga sebagai ahli
hadis, fiqh dan sejarah. Karena itu, karya-karya beliau pun cukup beragam.
Diantaranya adalah:
1. Bidang Al-Qur’an.
a. Fadhâ’il al-Qur’ân (Keutamaan al-Qur’an, berisi ringkasan
sejarah al-Qur’an, banyak dipengaruhi kitab al-Siyasah al-
Syari’ah karya Ibn Taimiyah)
b. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm (lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibn
Katsîr, diterbitkan pertama kali di Kairo pada tahun 1342 H atau
1923 M).
2. Bidang Sejarah
20 Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 62. 21 Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 62.
22
a. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah (merupakan rujukan terpenting bagi
sejarawan22 yang memaparkan berbagai peristiwa sejak awal
penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun
768 H, sejarah dalam kitab ini dibagi menjadi dua bagian besar:
Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat
penciptaan sampai kenabian Muhammad SAW. dan kedua,
sejarah Islam mulai dari periode Nabi SAW. di Makkah sampai
pertengahan abad 8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun
berdasarkan tahun kejadian. Kitab ini terdiri dari 14 jilid)
b. Al-Fusulât fî Sirât al-Rasul (Sirah Nabi)
c. Tabaqât al-Syafî ‘iyah
d. Manâqib al-Imâm al-Syafî‘i.
3. Bidang Fiqih
a. Al-Ijtihâd bi Talab al-Jihâd (ditulis untuk menggelorakan
semangat jihad mempertahankan pantai Libanon dari serbuan
Raja Franks dari Ciprus, ditulis tahun 1368-1369 M)
b. Kitab Ahkâm (Kitab Hukum, berisi hukum-hukum fikih)
c. Al-Ahkâm ‘ala Abwab al-Tanbîh.
4. Bidang Hadis
a. Al-Takmîl fî Ma‘rifat al-Tsiqah wa al-Du‘afa’ wa al-Majâhil
(Pelengkap Mengenal Perawi Tsiqah, Lemah dan Kurang
Dipercaya, berisi riwayat perawi hadis, terdiri dari lima jilid)
22 Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Penerjemah Mudzakir AS (Jakarta:
Lentera Antar Nusa, 2006), cet. Ke-5, h. 528.
23
b. Jami‘ al-Masânid wa al-Sunan (Kumpulan Musnad dan Sunan,
berisi nama para sahabat yang meriwayatkan hadis dalam
musnad Imam Hanbali, terdiri dari delapan jilid)
c. Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîts
d. Takhrij ahâdîts adillah al-Tanbîh li ‘ulûm al-Hadîts
e. Syarah Shahih Bukhari (dilanjutkan oleh Ibn Hajar al-Asqalani).
Karakteristik tafsir Ibn Katsîr adalah adanya rangkuman pendapat yang
luas dari para mufassir terdahulu dan usaha beliau untuk mengkompromikan
pendapat-pendapat yang kelihatan berbeda. Apabila tidak mungkin untuk
digabung, maka beliau akan melakukan tarjih diantara pendapat-pendapat
tersebut. Oleh karena itu tafsir ini diletakkan sebagai tafsir terbaik kedua
setelah tafsir al-Thabari.23 Kelebihan lain dari tafsir Ibn Katsîr adalah sikap
kritis beliau terhadap riwayat dan cerita israiliyat sehingga disebut sebagai
pengguna cerita israiliyat terbaik.24
3. Metode dan Corak Tafsir Ibn Katsîr
Seperti halnya Sayyid Qutb, Ibn Katsîr menggunakan metode tahliliy25
dalam menafsirkan al-Qur’an. Tafsir Ibn Katsîr termasuk jenis tafsir bi al-
ma’tsur, dengan urutan prioritas rujukan penafsiran sebagai berikut:26
1. Penafsiran sebuah ayat dengan ayat yang lain, sebab banyak ayat al-
Qur’an yang bersifat umum dijelaskan secara lebih rinci dalam ayat
23 Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, h. 202. 24 Muhammad Husain al-Dzahabi, Israiliyat dalam Tafsir dan Hadits (Jakarta: Lentera antar
Nusa, 1993), h. 132. 25 Lihat catatan kaki nomor 9, h. 18. 26 Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 60.
24
yang lain.
2. Apabila tidak dijumpai penjelasan dari ayat lain, maka dilakukan
penafsiran dengan hadits nabi SAW. Dalam hal ini beliau mengutip
pendapat imam syafi‘i yang mengatakan: “Setiap hukum yang
ditetapkan rasulullah SAW merupakan hasil pemahamannya terhadap
al-Qur’an.”27
3. Apabila tidak ditemukan penjelasan dari kedua sumber di atas, maka
penafsiran merujuk kepada pendapat para sahabat nabi SAW. Hal ini
karena para sahabat menyaksikan secara langsung kondisi dan latar
belakang penurunan ayat serta kualitas mereka dari sisi pemahaman,
keilmuan dan amal shaleh. Diantara mereka yang terkenal adalah
empat khalifah pertama, ‘Abd Allâh ibn Mas‘ûd, dan ‘Abd Allâh Ibn
‘Abbâs.
4. Rujukan selanjutnya adalah pendapat para tabi’in yang mendapatkan
informasi langsung dari para sahabat nabi SAW, seperti Mujâhid bin
Jabr, Sa’id bin Jabir, ‘Ikrimah, Atha’ bin Rabbah, Hasan al-Basri,
Sa’id bin al-Musayyab, Rabi’ bin Anas dan Dahhak bin Muzahim.
C. Perbandingan antara Tafsir Sayyid Qutb dan Tafsir Ibn Katsîr
Setelah melakukan kajian terhadap kedua tafsir di atas, yaitu tafsir Fî Zilâl
al-Qur'ân dan Ibn Katsîr akan terlihat perbedaan antara keduanya. Masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang,
lingkungan dan kondisi saat itu. Tafsir Sayyid Qutb merupakan tafsir kontemporer
yang aktual dengan pendekatan sosial kemasyarakatan sehingga membahas dan
27 Mahmûd, Metodologi Tafsir, h. 60.
25
memberikan solusi secara langsung atas problematika umat. Kitab tafsir ini
mewakili pemikiran Jamaah Ikhwanul Muslimin dalam memahami al-Qur’an
sebagai petunjuk yang harus diimplementasikan dalam kehidupan. Dalam tafsir
Sayyid Qutb ini tidak banyak terdapat pengulangan pendapat ulama tafsir
sebelumnya. Hal ini membuatnya menjadi tidak selengkap tafsir Ibn Katsîr.
Tafsir Ibn Katsîr merupakan yang terbaik di antara tafsir yang ada pada
zaman ini karena mengandung beberapa keistimewaan yang nyaris tidak dimiliki
oleh tafsir lainnya. Di antara keistimewaan itu adalah ia merupakan penafsiran al-
Qur’an dengan al-Qur’an, kemudian dengan sunnah, kemudian dengan pendapat
ulama salaf , dan berpegang teguh pada semantik bahasa Arab. Tafsir Ibn Katsîr
tidak mengandung permusuhan diskusi, golongan, dan mazhab. Ibn Katsîr
memilih kebenaran dan membelanya pada siapa saja kebenaran itu berada. Dia
mengajak kepada persatuan dan menjauhkan perpecahan. Tafsir ini banyak
memuat pendapat ulama tafsir terdahulu dan mencoba menyatukan perbedaannya.
Walaupun demikian tafsir ini tidak terlepas dari hal-hal yang mengeruhkan dalam
mengkaji kejernihannya. Di antara yang mengeruhkan itu ialah adanya hadis da‘if,
pengulangan hadis sahih dan adanya cerita israiliyat.
Kedua mufassir mempunyai kelebihan masing-masing dalam menafsirkan
al-Qur’an. Gaya bahasa dan pendekatan yang dipilih oleh Sayyid Qutb
mempunyai kekuatan lebih untuk menyentuh hati pembaca. Sementara
pendekatan Ibn Katsîr memberikan informasi yang lebih lengkap karena
merangkum pendapat para ulama sebelumnya. Tetapi keluasan pendapat tersebut
tidak dapat ditemukan di setiap kitab tafsir versi ringkas atau mukhtasarnya.
Oleh karena itu, dalam melakukan penelitian, untuk mendapatkan gambaran
26
27
yang akurat tentang karya seseorang perlu diambil data-data primer dari sumber-
sumber rujukan yang asli, bukan versi mukhtasar atau ringkasan, baik dalam
bahasa asli (dalam hal ini bahasa Arab) maupun bahasa terjemahan. Untuk
mengetahui lebih lanjut lingkup pengurangan yang dilakukan oleh versi ringkasan
terhadap versi lengkap pada penafsiran sebuah ayat, perlu dilakukan perbandingan
secara langsung penafsiran yang terdapat pada naskah lengkap dan naskah
ringkasannya. Namun demikian, versi ringkasan layak dibaca bagi pembaca yang
tidak ingin melakukan penelitian, tetapi ingin mendapatkan pemahaman dengan
mudah. Keberadaan versi ringkasan edisi terjemahan telah membantu
memudahkan masyarakat untuk memahami al-Qur’an dengan lebih mudah.
BAB III
MUSIBAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
A. Pengertian Musibah
Dalam bahasa Indonesia kata “musibah” diartikan sebagai malapetaka atau
bencana, yaitu segala kejadian atau peristiwa menyedihkan yang menimpa
manusia, seperti gempa, banjir, kebakaran dan lain-lainnya. Peristiwa-peristiwa
tersebut pada umumnya menimbulkan kerugian berupa harta benda maupun jiwa
manusia.1 Sedangkan dalam bahasa Arab kata musîbah ( مصيبة ) berasal dari kata
dasar yang terdiri dari huruf sad, wau dan ba’; صوب (sawaba) yang mempunyai
makna الرمية atau lemparan.2 Salah satu derivasi bentuk dan makna dari kata
tersebut adalah kata يصيب -اصاب (asâba – yusîbu) yang berarti sesuatu yang
kedatangannya tidak disukai oleh manusia. Makna ini dapat dijumpai dalam hadis
berikut:
حدثنا عبد اهللا بن يوسف أخبرنا مالك عن محمد بن عبد اهللا بن عبد الرحمن بن
أبي صعصعة أنه قال سمعت سعيد بن يسار أبا الحباب يقول سمعت أبا هريرة
به خيرا يصب منهمن يرد اهللا:يه و سلم قال رسول اهللا صلى اهللا عل: يقول
“Mengabarkan kepada kami ‘Abd Allâh bin Yûsuf mengabarkan kepada kami Mâlik dan Muhammad bin ‘Abd Allâh bin ‘Abd al-Rahman bin Abiy Sa‘sa‘ah sesungguhnya dia berkata aku mendengar Sa‘id bin Yasâr Abu al-Hubâb berkata aku mendengar Abu Hurairah berkata,”Berkata Rasulullah SAW,”Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk mendapat
1 Pusat Bahasa Depdiknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses tanggal 22 Mei 2009
dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php 2 Al-Râghib al-Asfahâni, Mu’jam Mufradât fî alfâdz al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘ilmiyah, 2004), h. 322.
28
Kata يصب منه dalam hadis tersebut diartikan Ibn Manzur sebagai sesuatu
yang turunnya atau kedatangannya tidak disukai oleh manusia.4 Imam Bukhâriy
dalam Sahihnya menjelaskan lebih lanjut bahwa sesuatu yang akan ditimpakan
kepada manusia (musibah) bertujuan mensucikannya dari dosa agar kelak
berjumpa kepada Allah dalam keadaan suci.
Menurut Ahsin W. Al-Hafidz, kata musibah di dalam al-Qur’an disebut
sebanyak sepuluh kali5, yaitu:
1. Surat al-Baqarah/2:155-156. Allah SWT menyebutkan berbagai macam
musibah yang akan ditimpakan kepada manusia sebagai ujian dalam
kehidupan di dunia,yaitu: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan.
2. Surat Âli ‘Imrân/3:165. Allah SWT menggunakan kata musibah untuk
menggambarkan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud dan
kekalahan orang kafir Quraisy dalam perang Badar.
3. Surat al-Nisâ’/4:62. Allah SWT menyebut balasan bagi orang-orang
munafik sebagai sebuah musibah bagi mereka.
4. Surat al-Nisâ’/4:72 Allah SWT menyebut balasan bagi orang-orang yang
enggan untuk ikut berperang sebagai musibah bagi mereka.
5. Surat al-Mâ’idah/5:49. Allah SWT menyebutkan tentang musibah yang
akan menimpa orang-orang yang berpaling dari hukum yang telah
ditetapkan Allah SWT.
6. Surat al-Taubah/9:50. Allah SWT menerangkan sikap orang-orang
3 Imam al-Bukhâriy, Sahîh al-Bukhâriy (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hadis no. 5321. 4 Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dar Sâdir, tt), fashl ص, Juz 1, h. 536. 5 Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006), cet. ke-2, h. 204.
29
munafik yang bergembira apabila Rasulullah SAW tertimpa musibah.
7. Surat al-Qasas/28:47. Allah SWT menerangkan musibah yang menimpa
orang-orang kafir Quraisy yang membuat mereka menyesali
perbuatannya di dunia.
8. Surat al-Syûrâ /42:30. Allah SWT menerangkan bahwa musibah adalah
akibat dari perbuatan manusia sendiri.
9. Surat al-Hadîd/57:22. Allah SWT menyebutkan tentang hakekat
musibah.
10. Surat al-Taghabûn/64:11. Allah SWT menjelaskan bahwa musibah tidak
akan terjadi kecuali atas ijin Allah SWT.
Selain kata musibah, al-Qu’ran menggunakan kata بالء (balâ’), عداب
(‘adzâb) dan فتنة (fitnah) untuk menyatakan bencana yang menimpa manusia.
Dalam hal ini kata فتنة ditulis dengan huruf miring dan bertransliterasi untuk
membedakannya dengan kata “fitnah” yang ada dalam bahasa Indonesia dan
mempunyai makna berbeda. Kata “fitnah” dalam bahasa Indonesia berarti
menuduh dengan tidak benar.
Secara literal, al-balâ’ bermakna al-ikhtibâr (ujian). Di dalam al-Qur’an,
istilah balâ’ digunakan untuk menggambarkan ujian berupa kebaikan maupun
keburukan. Dalam kitab al-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân dinyatakan, bahwa
balâ’ itu memiliki tiga makna, yaitu sebagai ni’mah (kenikmatan), sebagai
ikhtibâr (cobaan atau ujian), dan sebagai makrûh (sesuatu yang tidak disenangi).6
6 Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân Fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 1,
h. 85.
30
Di dalam al-Qur’an, kata balâ’ disebutkan di enam tempat dengan makna yang
berbeda-beda, yaitu: Surat al-Baqarah/2:49, al-A‘râf/7:141, al-Anfâl/8:17,
Ibrâhîm/14: 6, al-Shaffât/37:106, dan al-Dukhân/44:33.
Balâ’ dengan makna ujian berupa keburukan terdapat di dalam Surat al-
Baqarah/2:49 sebagai berikut ini:
⌧ ⌧
⌦ ⌧
“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kalian dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.”
Balâ’ dalam ayat di atas adalah ujian terhadap Bani Israil yang berupa
penindasan Fir’aun dan pengikutnya yang membunuh setiap bayi laki-laki Bani
Israil dan membiarkan hidup bayi perempuan. Surat al-A‘râf/7:141 dan
Ibrâhîm/14: 6 menerangkan hal yang sama dengan redaksi yang mirip. Pada
ketiga ayat di atas, ujian terhadap Bani Israil disebut juga sebagai ‘adzâb.
Menurut Quraish Shihab, balâ’ dalam ketiga ayat tersebut juga dapat diartikan
sebagai ujian kebaikan, yaitu diselamatkannya nabi Musa A.S. dan pengikutnya
dari pengejaran Fir‘aun.7 Adapun balâ’ dalam konteks ujian berupa kebaikan
terdapat dalam Surat al-Anfâl/8:17.
☺
7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet.ke-8, , vol. 1, h. 233.
31
⌧ ☺ .
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (balâ’an hasanâ). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dalam ayat di atas, kemenangan umat Islam pada peperangan Badar disebut
sebagai balâ’an hasanâ atau ujian berupa kebaikan atau anugerah. Kemenangan
umat Islam atas orang-orang kafir Quraisy dalam perang Badar menjadi ujian bagi
umat Islam. Keikhlasan para sahabat Rasulullah SAW dalam berjihad di jalan
Allah SWT diuji dengan harta dunia. Perselisihan terjadi diantara para sahabat
Rasulullah SAW tentang pembagian rampasan perang. Sebagian sahabat merasa
lebih berhak untuk mendapatkan rampasan perang daripada sahabat yang lain.
Para sahabat Rasulullah SAW akhirnya tunduk kepada ketentuan Allah SWT dan
Rasul-Nya yang disebutkan dalam Surat al-Anfâl/8. Surat al-Shâffât/37:106
menyebut ujian bagi nabi Ibrahim A.S. untuk menyembelih nabi Ismail A.S.
sebagai balâ’. Sedangkan Surat al-Dukhân/44:33 menyebut ni’mat yang diberikan
kepda bani Israil sebagai balâ’, yaitu ketika mereka diselamatkan Allah SWT dari
pengejaran Firaun.
Kata ‘adzâb secara literal berarti al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan dan
hukuman).8 Kata al-’adzâb biasanya digunakan dalam konteks hukuman atau
siksaan kelak di hari akhir.9 Hal ini dapat dilihat pada pada ayat-ayat di dalam al-
Qur’an yang berisi ancaman kepada orang-orang kafir, di antaranya adalah seperti
8 A.W Munawwir, Kamus Arab –Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), cet. Ke-25, h.
1463. 9 Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz 1, h. 585.
32
yang terdapat pada Surat al-Baqarah/2:7.10 Sedangkan kata fitnah di antaranya
seperti yang terdapat pada surat al-Anfal/8:25.11
Dengan demikian, musibah dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang
menimpa manusia dengan bentuk yang bermacam-macam baik berupa bencana
atau malapetaka yang sifatnya tidak menyenangkan dengan tujuan sebagai ujian
atau adzab bagi manusia.
B. Pendapat Ulama tentang Musibah
al-Qurtubi menyatakan bahwa musibah adalah segala sesuatu yang
mengganggu orang mukmin dan menjadi bencana baginya.12 Demikian juga
Hamka menyatakan bahwa musibah adalah bencana, baik bencana besar yang
terjadi pada alam, seperti gunung meletus, banjir, gempa bumi dll., maupun
bencana kecil yang terjadi pada manusia seperti sakit dan tenggelam.13 Menurut
Quraish Shihab kata musibah tidak selalu berarti bencana, tetapi “...mencakup
segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun
bencana...”.14 Menurut Imam al-Baidhâwiy, musibah adalah semua kemalangan
10 Sûrah al-Baqarah/2:7
☺
⌧ Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT menutup hati, pendengaran dan
penglihatan orang-orang kafir karena mereka enggan menerima iman. Allah membiarkan mereka larut dalam kesesatan sesuai dengan keinginan hati mereka sendiri. Mereka tidak mau mendengarkan peringatan dari Rasulullah SAW dan tidak mau menggunakan potensi yang diberikan oleh Allah SWT untuk memahami dan mengikuti petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mereka dijanjikan ‘adzâb yang berat di akhirat kelak. (Lihat Tafsir al-Mishbah, Juz 1, h. 116)
11 Surat al-Anfal/8/25
☺ ☺ ⌧
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
12 al-Hambali, Hiburan, h. 10. 13 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas, tt), h. 299. 14 Shihab, al-Mishbah, vol. 14, h. 43.
33
yang dibenci dan menimpa umat manusia.15 Manusia akan mengalami keburukan
dalam hidupnya manakala menjauh dari manhaj atau aturan Allah SWT.
Kehidupan ini telah diciptakan Allah SWT dengan manhaj tertentu agar terjadi
keharmonisan dalam berbagai hal, baik dalam meniti karir, kerja, menata
kehidupan keluarga dan rumah tangga, mendidik anak-anak, mencari rizqi dan
dalam semua dinamika kehidupan lainnya.16 Menurut al-Hanbali, Imam Nawawi
berpendapat bahwa musibah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia,
berupa kesedihan, kepayahan, kesusahan dan lain-lain. Allah sedang
mengangkatnya dan menghapus kesalahannya. Di dalamnya terdapat pesan
tentang turunnya kebahagiaan agung bagi umat Islam yang ditimpa musibah.
Tidak ada kabar terindah yang mampu membahagiakan seorang muslim, kecuali
terhapusnya dosa dan kekeliruan.17
Dapat disimpulkan bahwa para ulama sepakat untuk mengartikan musibah
sebagai bencana yang menimpa manusia, kecuali Quraish Shihab yang
mengartikan musibah dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Pendapat beliau
ini lebih dekat kepada pengertian balâ’ sebagaimana telah dibahas pada sub-bab
Pengertian Musibah.
C. Macam-Macam Musibah
Dilihat dari akibat yang ditimbulkan, musibah dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu musibah agama dan musibah dunia.18 Musibah agama adalah
musibah yang mempengaruhi keimanan ahl al-musîbah (orang yang terkena
15 Imam al-Baidâwiy, Tafsir al-Baidâwiy (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz 1, h. 431. 16 Mutawalli al-Sya’rawi, Baik danBuruk, Penerjemah Tajuddin (Jakarta: Pustaka Kautsar,
1994), cet. Ke-1, h. 33 17 16 Muhammad al-Manjibi al-Hanbali, Menghadapi Musibah Kematian, Penerjamah Muhammad Suhadi (Jakarta: Hikmah, 2007), cet. Ke-1, h. 12
18 al-Hambali, Hiburan, h. 34.
34
⌧
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Allah SWT menciptakan manusia dalam berbagai suku dan bangsa untuk
saling mengenal dan saling membantu dalam kehidupan ini. Setiap manusia diberi
potensi yang sama untuk kehidupannya, baik kehidupan dunia maupun
akhiratnya. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan prioritas hidupnya
dalam menggunakan potensinya. Tetapi, Allah SWT menggunakan parameter
35
keimanan dan ketaqwaan dalam menilai manusia.
Musibah agama terbesar yang menimpa umat Islam adalah wafatnya
Rasulullah SAW. Wafatnya Rasulullah SAW dirasakan berat oleh umat Islam pada
waktu itu. Umar bin Khattab yang dikenal sebagai orang yang tegar dan keras
pada awalnya tidak dapat menerima kematian Rasulullah SAW hingga diingatkan
oleh Abu Bakar dengan Surat Âli ‘Imrân/3:144.
☺
⌧
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”19 Wafatnya Rasulullah SAW berarti terputusnya wahyu dari langit dan
dimulainya kerusakan. Hal ini ditandai dengan murtadnya sebagian orang Islam
19 Hal ini dikutip oleh al-Buthy dari riwayat Ibnu Ishaq sebagai berikut: “Abu Bakar keluar
dari rumah Rasulullah SAW sementara Umar r.a. tengah berbicara kepada orang-orang bahwa Rasulullah SAW tidak mati tetapi sedang pergi menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa bin Imran dan beliau tidak akan mati sampai orang-orang munafiqin punah. Kemudian Abu Bakar mendatanginya seraya berkata: Tunggu sebentar wahai Umar, diamlah! Tetapi Umar tidak menggubrisnya dan terus berbicara emosional. Melihat Umar tidak mau berhenti maka Abu bakar pergi menemui orang-orang dan merekapun mendatangi Abu Bakar serta meninggalkan Umar. Abu Bakar lalu berkata: Amma ba’du, wahai manusia! Barang siapa di antara kalian menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal dan barang siapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak mati. Allah berfirman: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (al-Imran:144). Sebelum Abu Bakar membaca ayat ini seolah-olah mereka tidak tahu kalau Allah telah menurunkan ayat tersebut, sehingga semua yang mendengarkan bacaan Abu Bakar tersebut dengan serentak ikut membacanya. Umar ra. Berkata: “Demi Allah, setelah kudengar Abu Bakar membaca ayat tersebut aku merasa tidak berdaya, kedua kakiku lemas sehingga aku terduduk ke tanah karena aku mnedengar dia membacakan bahwa Nabi SAW telah meninggal dunia.”“ M Sai’d Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Penerjemah Aunur Rafiq Sahleh Tamhid (Jakarta: Robbani Press, 2000), cet. Ke-2, h. 451.
36
حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا أبو جمرة قال سمعت زهدم بن مضرب قال سمعت
خيرآم :قال النبي صلى اهللا عليه و سلم: عمران بن حصين رضي اهللا عنهما قال
قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم “Menceritakan kepada kami Adam menceritakan kepada kami Syu’bah menceritakan kepada kami Abu Jamrah dia bekata aku mendengar Dzahdam bin Mudrab dia berkata saya mendengar Imran bin Husain RA. berkata telah bersabda Rasulullah SAW,”Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi yang mengikutinya, kemudian generasi yang mengikutinya.”20 Seperti dijelaskan di atas musibah agama akan terus terjadi menimpa
kalangan kaum muslimin selama iblis masih ada. Karena musuh kaum muslimin
dan orang-orang yang beriman, yakni iblis dan sekutu-sekutunya akan terus
mengajak mereka sampai tercatat menjadi orang-orang yang mendustakan agama
dan ayat-ayat Allah SWT. Iblis telah bersumpah akan menyesatkan dan
melalaikan orang-orang yang mentauhidkan Allah SWT dari agama tauhid.
20 Imam Bukhari, Sahîh al-Bukhariy, Juz 2, h. 938, hadis no. 2508. Rasulullah mengajarkan sebuah do’a bagi umatnya untuk memohon kepada Allah SWT agar dijauhkan dari musibah agama dan tidak menjadikan dunia sebagai cita-cita tertinggi dalam hidup. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:
ن أبي عمران أن ابن بن أيوب عن عبيد اهللا بن زحر عن خالد بحدثنا علي بن حجر أخبرنا ابن المبارك أخبرنا يحيى
آان رسول اهللا صلى اهللا عليه و سلم يقوم من مجلس حتى يدعو بهؤالء الدعوات ألصحابه اللهم اقسم لنا من ما: عمران قال
ك ما تبلغنا به جنتك ومن اليقين ما تهون به علينا مصيبات الدنيا ومتعنا خشيتك ما يحول بيننا وبين معاصيك ومن طاعت
تجعل وال بأسماعنا وأبصارنا وقوتنا ما أحييتنا واجعله الوارث منا واجعل ثأرنا على من ظلمنا وانصرنا على من عادانا
يرحمنا في ديننا وال تجعل الدنيا أآبر همنا وال مبلغ علمنا وال تسلط علينا من المصيبتنا
Menceritakan kepada kami ‘Ali bin Hajr mengabarkan kepada kami Ibn al-Mubârak menceritakan kepada kami Yahyâ bin Ayûb dari ‘Abd Allah bin Zahr dari Khâlid bin Abi ‘Imrân sesungguhnya Ibn ‘Imrân berkata tidaklah Rasulullah SAW berdiri dari majlis hingga berdo’a untuk pada sahabatnya” Ya Allah anugrahkanlah bagi kami rasa takut yang menjauhkan kami dari bermaksiat kepada-Mu, ketaatan yang menyampaikan kami ke surga-Mu, keyakinan yang meringankan janganlah Engkau jadikan musibah kami pada agama kami dan jangan Engkau jadikan dunia sebagai cita-cita tertinggi kami dan bukan pula tujuan ilmu kami”). Sunan al-Tirmidziy, Juz 5 h. 528, hadis no. 3502.
37
Musibah dunia adalah musibah yang menimpa diri manusia berupa
kematian, ketakutan, dan kekurangan harta dan makanan. Allah SWT berfirman
dalam Surat al-Baqarah/2:155.
☺
“dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Musibah jiwa atau kematian merupakan musibah dunia yang terbesar,
karena jiwa tidak dapat tergantikan. Sedangkan harta yang hilang karena
terjadinya musibah, dapat diganti oleh Allah SWT. Dengan kematian, Allah SWT
menarik kembali kesempatan yang diberikan kepada manusia untuk beramal di
dunia dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat. Kematian
adalah pintu masuk kepada kehidupan abadi di mana setiap manusia akan
mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing. Musibah kematian adalah
musibah yang akan menimpa setiap manusia sebagaimana firman Allah SWT
dalam sûrat Âli ‘Imrân/3:185.
☺
☺ ☺
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Ayat di atas sekaligus mengingatkan manusia bahwa kehidupan dunia adalah
38
kesenangan yang melalaikan, yaitu melalaikan manusia dari hakekat
kehidupannya di dunia. Manusia diciptakan Allah SWT dengan tujuan untuk
beribadah kepada-Nya. Namun demikian manusia dapat menjadi lalai dengan
tugasnya ketika keimanan sedang lemah dan menghadapi kesulitan yang berat
ataupun menikmati kesenangan secara yang berlebihan.
Adapun musibah dunia lainnya tidak dirasakan oleh setiap manusia secara
sama dan merata. Sebagai contoh, sebagian orang mengalami musibah banjir
setiap tahun sementara sebagian orang yang lain tidak pernah tertimpa musibah
banjir tetapi mereka tertimpa musibah dalam bentuk lain yang tidak menimpa
orang yang tertimpa musibah banjir. Sebagian manusia diuji dengan kekurangan
harta atau kemiskinan sehingga beban hidupnya terasa berat; kebutuhan primer
berupa pangan, sandang, dan papan pun tidak dapat dicukupi meskipun hanya
dalam batas minimal. Musibah dunia yang demikian berat dapat berubah menjadi
musibah agama ketika orang yang tertimpa musibah tidak bersabar dalam
menghadapinya. Kemiskinan atau kefakiran dapat membuat seseorang menjadi
kufur. Itu terjadi ketika ia dihadapkan kepada kebutuhan yang penting dan
mendesak sementara keimanan sedang lemah. Terkait hal ini Rasulullah SAW
mengingatkan umat Islam dengan sabdanya yaitu “Kâda al-faqru an yakûna
kufran” (“hampir-hampir kefakiran itu menjadikan kekufuran”).21 Kekufuran
dalam hadis tersebut tidak selalu identik dengan kemurtadan, tetapi dapat
diartikan sebagai kufur atau mengingkari ni’mat-ni’mat Allah SWT yang telah
dilimpahkan tanpa dapat dihitung oleh manusia. Kriminalitas juga merupakan
bagian dari kekufuran. Allah menyatakan hal ini dalam Surat Ibrâhîm/14:34 yaitu:
21 Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Juz 1, h. 235.
39
“wa in ta‘uddû ni‘mata Allah lâ tuhsûhâ” (“dan jika kalian menghitung ni’mat
Allah kalian tidak akan dapat menghitungnya”).
Ketakutan adalah sebuah ujian atau musibah dunia yang bersifat immateri
tetapi terasa berat bagi manusia. Rasa aman dan takut tidak mempunyai ukuran
yang pasti sehingga sulit untuk dikendalikan. Kebahagiaan hidup dapat diperoleh
ketika seseorang merasa aman dalam hidupnya. Seorang yang mempunyai harta
yang banyak tidak akan dapat hidup bahagia ketika dia selalu merasa was-was
dengan keamanan harta dan jiwanya. Rasa takut tersebut tidak dapat dengan
mudah dihilangkan dengan adanya penjagaan yang ketat di luar rumah hingga dia
merasa tentram dengan keadaan diri dan hartanya. Seorang yang beriman kepada
Allah SWT dapat merasakan ketentraman dan keamanan dalam hidupnya apabila
dia bertawakal kepada Allah SWT. Seorang mukmin yang bertawakal kepada
Allah SWT adalah seseorang yang memahami bahwa kewajiban manusia adalah
berusaha sebaik-baiknya untuk meraih yang dinginkan dan berdoa kepada Allah
SWT untuk mengabulkan keinginannya. Selanjutnya, dia menunggu takdir Allah
SWT atas perkara tersebut dan menerima dengan hati yang ikhlas. Sikap tawakal
seperti ini akan mendatangkan rasa aman dan tentram dalam hati manusia dan
menjauhkan dirinya dari rasa ketakutan dalam hidup.
D. Musibah dan Gejala Alam
Allah SWT menciptakan alam semesta dalam sebuah harmoni dan
keseimbangan tanpa ada cacat dan kekurangan. Alam semesta bekerja sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.22
22 Allah SWT berfirman tentang hal ini di dalam al-Qur’an, diantaranya pada sûrat al-
Mulk/67:3 dan Yâsîn /36:38-40. ☺
40
Keseimbangan dan keteraturan ini dapat ditemukan pada alam makrokosmos
maupun mikrokosmos. Bumi berputar pada porosnya dengan kecepatan tertentu,
demikian juga bulan mengelilingi bumi dengan kecepatan tertentu, dan keduanya
berputar mengelilingi matahari pada kecepatan dan garis edar yang telah
ditentukan oleh Allah SWT sehingga tercipta keseimbangan antara siang dan
malam, serta musim panas dan dingin sesuai dengan kebutuhan hidup manusia.
Jarak antara bumi, matahari dan bulan telah ditentukan oleh Allah SWT sehingga
temperatur bumi tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas bagi manusia dan
makhluk lain yang berada di muka bumi. Demikian juga lapisan atmosfer telah
didesain sedemikian rupa bagi manusia untuk dapat bernafas, untuk melindungi
manusia dari sengatan sinar matahari yang terlalu panas yang merusak kulit
manusia dan makhluk lainnya serta melindungi bumi dari benda-benda angkasa
yang meluncur menabrak bumi. Allah SWT juga telah meciptakan tubuh manusia
dengan keseimbangan antar seluruh bagian tubuh yang memungkinkan manusia
untuk hidup sehat dan menjalankan aktifitas-aktifitasnya. Bahkan, Allah SWT
telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk.23
Ketentuan Allah SWT pada alam semesta ini dikenal dengan nama
⌧
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Al-Mulk/67:3)
☺ ☺
☺ ⌧ ☺
⌧ ☺
“dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa
lagi Maha mengetahui. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (Yâsîn/36:38-40)
23 lihat sûrah al-Tîn/95:4
41
sunnatullah. Ia adalah ketentuan yang sudah baku untuk memastikan
berlangsungnya kehidupan di dalam alam semesta ini dalam harmoni dan
seimbang. Allah SWT menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan-Nya tidak akan
pernah berubah.24
Ketika manusia berikhtiar untuk mengolah alam semesta tanpa memahami
sunnatullah yang telah ditetapkan, maka terjadilah ketidakseimbangan yang
mengakibatkan gejala alam yang dapat merugikan kehidupan manusia. Sebagai
contoh, penebangan pohon tanpa disertai dengan upaya reboisasi yang terencana
dengan baik dapat membuat hutan menjadi gundul yang berakibat pada tanah
longsor, banjir, menipisnya sumber air tanah dan kekeringan.
Pada hakikatnya bertambahnya ilmu pengetahuan manusia tentang alam
semesta ini, dalam upayanya untuk memanfaatkan sumber daya alam, akan
membuat manusia lebih memahami sunnatullah di alam ini. Bagi orang-orang
yang tidak melihat Allah SWT sebagai Pencipta, maka sunnatullah tersebut
disebut hanya sebagai hukum alam. Dari pemahaman tentang sunnatullah inilah
manusia dapat meningkatkan taraf kehidupannya sesuai dengan ilmunya. Dengan
demikian, musibah yang terjadi akibat adanya gejala alam dapat diketahui sebab-
sebabnya apabila sunnatullah dipahami. Bagi orang-orang yang beriman
pemahaman tentang sunnatullah di alam ini dapat meningkatkan keimanan kepada
Allah SWT. Sunnatullah menjadi bukti nyata akan keberadaan dan kekuasaan
Allah SWT. Dengan pemahaman tersebut, orang-orang beriman diharapkan dapat
menerima musibah yang diakibatkan oleh gejala alam sebagai ketentuan dari
Allah SWT dan mensikapinya dengan benar sehingga memberikan efek yang
24 lihat sûrah al-Fâtir/35:43
42
☺
☯
☺
⌧
⌧ ⌧ ⌧
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”
Terkait dengan peristiwa-peristiwa yang menimpa manusia di alam semesta
ini, al-Sya’rawi mengelompokkannya dalam tiga kelompok peristiwa. Pertama,
peristiwa yang terjadi pada seseorang tanpa ada ikhtiar dari yang bersangkutan.
Ini adalah takdir Allah SWT yang tidak dapat ditolak oleh yang bersangkutan.
Kedua, peristiwa yang menimpa seseorang yang datang dari pihak lain. Ketiga,
peristiwa yang terjadi dengan ikhtiar manusia. Ia dapat memilih untuk
mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya.25 Dalam kaitannya dengan perintah
dan larangan Allah SWT, ikhtiar manusia kelak akan dihisab untuk diberikan
imbalan pahala maupun siksa. Tiga kelompok peristiwa ini terjadi tetap tidak
terlepas dari kehendak Allah SWT.
Musibah dalam bentuk bencana alam seringkali bersifat massal. Dalam hal
ini Allah tidak membedakan siapa yang akan tertimpa musibah. Apabila seseorang
25 al-Sya’rawi, Baik danBuruk, h. 84.
43
44
berada dalam daerah yang terkena musibah, dia akan tertimpa musibah, kecuali
mendapatkan perlindungan dari Allah SWT secara khusus. Kemudian manusia
akan dibangkitkan sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Hal ini disebutkan
dalam Surat al-Anfâl/8:25.26 Ayat tersebut merupakan peringatan bagi manusia
bahwa Allah SWT dapat menimpakan musibah kepada semua orang, orang-orang
shalih maupun orang-orang zalim. Untuk mencegah musibah seperti ini,
kerusakan yang diakibatkan oleh orang-orang zalim harus dihentikan. Dengan
demikian, peran amar ma’ruf nahi mungkar dalam sebuah masyarakat atau
komunitas menjadi penting. Salah satu sebab ditimpakannya bencana bagi Bani
Israil adalah keengganan sebagian dari mereka untuk beramar ma’ruf nahi
mungkar kepada sesama.
26 Surâh al-Anfâl
☺ ☺
⌧ “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
BAB IV
ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTB DAN IBN KATSÎR TERHADAP SURAT AL-HADÎD AYAT 22-23
A. Pandangan Sayyid Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr Tentang Musibah
Surat al-Hadîd ayat 22 dan 23 berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya. Quraish Shihab membagi surat al-Hadîd menjadi empat kelompok
ayat dan memasukkan ayat 22 dan 23 ke dalam kelompok ketiga yang dimulai
dari ayat 16 dan diakhiri pada ayat 24. Menurut Quraish Shihab, ayat 22
merupakan sebuah peringatan kepada manusia supaya tidak risau dengan dampak
dari berinfaq yang dianjurkan pada ayat 18.1 Menurut penulis, ayat 22 tersebut
juga merupakan penegas bagi ayat 20 yang menyatakan bahwa kehidupan dunia
adalah permainan belaka, dimana perhiasan dan anak keturunan yang saling
dibangga-banggakan akan dengan mudah dimusnahkan oleh Allah SWT
sebagaimana tanaman kebanggaan para petani yang tumbuh di musim hujan akan
dihancurkan oleh Allah SWT. Hal ini adalah karena setiap kejadian yang
menimpa manusia telah ditentukan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, pada ayat 21
Allah SWT menyuruh manusia untuk berlomba-lomba mendapatkan ampunan
dari-Nya karena telah dilalaikan dengan kehidupan dunia. Sedangkan ayat 23
diterangkan lebih lanjut oleh ayat sesudahnya, yaitu ayat 24.
1 M.Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet ke-8 vol. 13, h. 443-
447
44
“(Yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan Barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Ayat di atas menerangkan bahwa salah satu sifat orang yang sombong dan
membanggakan diri seperti yang disebut dalam ayat 23 adalah bersifat kikir dan
menyuruh orang lain bersifat kikir sehingga dirinya mempunyai teman ketika
mendapatkan kecaman atas kekikirannya.2 Dengan demikian, dapat dipahami
dengan mudah adanya kesinambungan antara ayat 22 dan 23 dengan ayat
sebelumnya maupun sesudahnya.
Sayyid Qutb dalam pengantar tafsirnya atas surat al-Hadîd menyatakan
bahwa secara keseluruhan Surat al-Hadîd menyeru umat Islam untuk
mengaktualisasikan hakikat keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Keimanan
bukan sebatas olah rohani. Sayyid Qutb membagi surat al-Hadîd menjadi dua
bagian utama. Bagian pertama mengingatkan manusia tentang hakikat ketuhanan
yang Mahaberkehendak dan Mahaberkuasa (ayat 1 sampai dengan 6) dan seruan
untuk beriman dan berkorban di jalan Allah (ayat 7 hingga 15). Bagian kedua
berisi penegasan kembali seruan-seruan keimanan untuk berkorban (ayat 16
sampai dengan 24) dan sejarah singkat akidah dan tujuannya (ayat 25 hingga 29).
Sayyid Qutb memilah bagian penegasan kembali seruan keimanan dan
pengorbanan (ayat 16 sampai dengan 24) menjadi empat sub-bagian yang disebut
sebagai sentuhan, yaitu sentuhan kepada hati orang-orang yang beriman. Sentuhan
pertama adalah seruan kepada orang-orang beriman untuk menundukkan hatinya
dengan mengingat Allah SWT, memahami hakekat ketuhanan, dan tidak meniru
2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet.ke-8 vol. 13, h. 443-447.
45
ahli kitab hingga hatinya menjadi keras karena lalai mengingat Allah SWT.
Sentuhan kedua merupakan dorongan kepada orang-orang beriman untuk
memberikan pinjaman kepada Allah Yang Mahakaya dengan pinjaman yang baik
yang akan mendapatkan pahala yang mulia. Sentuhan berikutnya adalah sebuah
peringatan dari Allah SWT bahwa sesungguhnya kehidupan dunia adalah
permainan apabila diukur dengan timbangan akhirat. Sentuhan keempat
menerangkan dengan mendalam bahwa segala sesuatu telah tertulis dalam al-Lauh
al-Mahfuz3, termasuk di dalamnya adalah musibah yang menimpa manusia yang
merupakan pokok bahasan skripsi ini.
Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang menimpa
manusia baik berupa kebaikan maupun keburukan. Menurut Sayyid Qutb, kata
musibah dalam surat Al-Hadid ayat 22 tidak difokuskan pada salah satu diantara
kedua makna tersebut, sehingga makna musibah dalam ayat tersebut mencakup
kedua-keduanya, yaitu kebaikan maupun keburukan yang menimpa manusia.
Sementara itu Ibn Katsîr menafsirkan musibah sebagai bencana. Ibn Katsîr
menafsirkan firman Allah SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard wa lâ fî
anfusikum...dst.” (“tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada
dirimu...dst.”) sebagai bencana yang menimpa di cakrawala atau alam semesta
dan pada diri manusia. Ibn Katsîr memperkuat pendapatnya dengan menyebutkan
pendapat Qatadah yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah
SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard” (“tidak ada suatu bencana pun yang
menimpa di bumi”) adalah kemarau yang panjang. Sedangkan yang dimaksud
dengan firman Allah SWT “fî anfusikum” (”pada dirimu”) berarti rasa lapar dan
3 Sayyid Qutb, Fî Zilâll al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Syuruq, 1978), jilid 6, h. 3475.
46
rasa sakit.4 Dengan demikian kata ”musibah” didefinisikan oleh Sayyid Qutb
secara lebih luas dari pada definisi Ibn Katsîr. Pendapat Sayyid Qutb di atas
kemudian disepakati oleh mufassir Indonesia masa kini, Dr. Quraish Shihab dalam
tafsir al-Misbah yang menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa musibah dapat
berupa anugrah maupun keburukan seperti disebutkan pada Bab II.
Menurut penulis, pendapat Sayyid Qutb tersebut lebih tepat karena
mencakup seluruh makna kata ”musibah” yang ada di dalam al-Quran. Apa yang
menimpa manusia dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Dari 10 ayat al-
Quran yang menggunakan kata ”musibah”, tujuh ayat diantaranya secara spesifik
menyebutkan musibah sebagai suatu bencana, keburukan atau pun kemalangan
dalam hidup. Surat al-Baqarah/2:155 menyebutkan bentuk-bentuk bencana atau
keburukan dalam kehidupan sebagai sebuah ujian bagi manusia yang hidup di
dunia. Surat Âli ‘Imrân/3:165 menyebut kekalahan ummat Islam pada perang
Uhud sebagai musibah sebagaimana kaum kafir Quraisy ditimpa musibah
kekalahan pada perang Badar. Sayyid Qutb menyebutkan dalam tafsirnya bahwa
ummat Islam berhasil membunuh 70 oarng pemuka Quraisy pada perang Badar.
Sebaliknya, ummat Islam mengalami kekalahan pada perang Uhud karena
sebagian tentara Islam tergoda dengan harta rampasan perang dan tidak menyadari
kesalahan yang dilakukan sehingga mereka bertanya-tanya, “Dari mana
datangnya kekalahan ini?”. Maka Allah SWT mengingatkan bahwa, “itu dari
kesalahan dirimu sendiri” yaitu tidak taat kepada perintah Rasulullah SAW
khususnya dalam strategi perang.
4 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985), juz 4, h. 313.
47
Surat al-Nisâ’/4:62 memakai kata musibah untuk siksa yang ditimpakan bagi
orang munafik di akhirat kelak karena ketidaktaatan mereka terhadap perintah
Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikian juga surat al-Mâ’idah/5:49 menggunakan
kata musibah untuk siksa yang ditimpakan kepada orang-orang yang berpaling
dari hukum Allah SWT. Sedangkan pada surat al-Nisâ’/4:72 kata musibah
digunakan untuk kekalahan yang dapat terjadi pada peperangan yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW.
Pada surat al-Taubah/9:50 yang dimaksud dengan musibah adalah cobaan
berupa keburukan yang diterima oleh orang-orang beriman dan Rasul SAW yang
membuat orang-orang munafik merasa senang. Sebaliknya, mereka bersedih hati
ketika Rasul SAW mendapatkan kebaikan. Menurut Sayyid Qutb, hal ini terjadi
karena penilaian baik dan buruk bagi orang-orang munafik hanya berdasarkan
fenomena yang kasat mata saja. Sedangkan orang-orang beriman meyakini apa
yang menimpanya, baik berupa kebaikan maupun keburukan (musibah) tidak akan
terlepas dari takdir Allah SWT.5 Pada surat al-Qasas/28:47, musibah diartikan
sebagai adzab atau siksa bagi kafir Quraisy yang membuat mereka menyesali
kehidupannya dan berharap diutusnya nabi kepada mereka.
Sedangkan pada surat al-Syûrâ /42:30 musibah diartikan sebagai sesuatu
yang menimpa manusia dan merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Secara
tidak langsung ayat tersebut berbicara tentang musibah berupa keburukan karena
ayat tersebut diakhiri dengan pernyataan Allah SWT yang memberikan maaf atas
sebagian besar kesalahan manusia.
5 Qutb, Fî Zilâl, jilid 3, h. 23
48
Sementara itu terdapat dua ayat yang lain, yang tidak menerangkan secara
tegas musibah sebagai bencana atau keburukan, melainkan hanya sebagai sesuatu
yang menimpa manusia. Ayat pertama adalah surat al-Hadid/57:22 yang menjadi
pokok bahasan skripsi ini. Ayat kedua adalah surat al-Taghabûn/64:11 yang
menyatakan bahwa apa saja musibah yang menimpa manusia tidak akan terjadi
tanpa ijin Allah SWT. Dalam hal ini musibah tidak secara spesifik dimaksudkan
sebagai bencana atau keburukan, karena segala seusuatu, baik anugrah maupun
keburukan tidak akan terjadi tanpa ijin Allah SWT.
يء ما أصاب من مصيبة إلا بإذن الله ومن يؤمن بالله يهد قلبه والله بكل ش عليم
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. 64:11)
Sayyid Qutb menyatakan bahwa ayat tersebut di atas merupakan hakikat
iman, yang mengharuskan seorang mukmin mengembalikan segala sesuatu yang
terjadi pada dirinya kepada Allah SWT. Dia berkeyakinan bahwa apa yang
menimpa dirinya, baik berupa kebaikan maupun keburukan adalah atas kehendak
Allah SWT.6
Dengan demikian, definisi Sayyid Qutb tentang musibah lebih mewakili
makna musibah di dalam ayat-ayat al-Quran secara keseluruhan, yaitu bahwa
musibah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia baik berupa kebaikan
maupun keburukan.
6 Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 2323
49
B. Kehendak Allah Dalam Kehidupan Manusia
Kehidupan manusia adalah sebuah kehidupan yang bertujuan, bukan sebuah
kesia-siaan. Allah SWT yang Mahakuasa telah menetapkan segala sesuatu yang
akan menimpa manusia di dunia ini. Sayyid Qutb dalam menafsirkan surat al-
Hadid ayat 22 dan 23 tentang musibah menjelaskan bahwa musibah merupakan
bagian integral dari penciptaan alam semesta yang telah dirancang dan
diperhitungkan oleh Allah SWT dengan cermat dan menyeluruh. Tidak ada suatu
peristiwa yang terjadi secara kebetulan ataupun serampangan. Segala sesuatu telah
ditetapkan oleh Allah SWT dan akan terlihat oleh makhluk pada waktu yang telah
ditetapkan.7 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Âli
‘Imrân/3:191 yang menyatakan “Rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâtilâ” (“Ya Allah
tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”). Hal ini diperkuat dengan surat
al-Mu’minûn/23:115 dan surat Sâd/38:27 sebagai berikut.
☺ ☺
⌧ ⌧ ⌧ ⌧ ⌧
“dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”
☺
☺
⌧ “Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?”
7 Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 3493.
50
Selanjutnya Sayyid Qutb menyatakan bahwa pemahaman manusia terhadap
segala sesuatu dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang sementara Allah SWT dapat
melihat segala sesuatu tanpa batasan dan ikatan. Allah mengetahui setiap peristiwa
sejak permulaan hingga akhir kejadian.
Senada dengan pendapat Sayyid Qutb, Ibn Katsîr menyebutkan bahwa
dengan kedua ayat di atas Allah SWT memberitahukan kepada manusia bahwa
Dia telah menetapkan taqdir atas ciptaan-Nya sebelum penciptaannya selesai.
Menurut Ibn Katsîr, ada tiga pendapat terkait firman Allah SWT “min qabl an
nabra’ahâ (“sebelum kami menciptakannya”), yaitu pertama, sebelum Kami
menciptakan manusia dan memulai penciptaan makhluk lain, kedua, sebelum
Kami menciptakan manusia, ketiga, sebelum Kami menciptakan musibah. Ibn
Katsîr memilih salah satu pendapat yang dianggap kuat, yaitu pendapat pertama,
dan mengemukakan dalil untuk mendukung pendapatnya berupa sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Ibn Jarîr sebagai berikut.
حدثني يعقوب حدثنا ابن علية عن منصور بن عيد الرحمن قال آنت جالسا
ماأصاب من مصيبة في األرض ( مع الحسن فقال رجل يسئله عن قوله تعالي
فسألته عنها فقال سبحان اهللا ومن ) وال في أنفسكم إال في آتاب من قبل أن نبرأها
في هدا؟ آل مصيبة بين السماء واألرض ففي آتاب اهللا من قبل أن نبرأ يشك
النسمة
“Telah menceritakan kepadaku Ya‘qûb telah menceritakan kepada kami Ibn ‘Ulyah dari Masûr bin ‘Abd al-Rahman berkata aku sedang duduk bersama al-Hasan maka berkata seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang firman Allah SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard wa lâ fî anfusikum illâ fî kitâb min qabl an nabra’ahâ” (“tidaklah menimpa seuatu musibah di bumi dan pada dirimu kecuali telah tertulis di dalam Kitab sebelum penciptaannya”) maka aku bertanya kepadanya tentang hal tersebut maka dia berkata,”Subhanallah, dan apa yang
51
meragukanmu tentang hal ini? Setiap musibah (yang terjadi) di antara langit dan bumi telah tertulis dalam kitab Allah sebelum Allah mencptakaan makhluk.”8
Kemudian firman Allah SWT “Inna dzâlika ‘ala Allâh yasîr”
(“Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah”) diartikan oleh Ibn Katsîr
bahwa dengan ilmu-Nya, mudah bagi Allah yang Mahapencipta mengetahui
segala sesuatu sebelum tercipta, yang akan terjadi, yang telah terjadi yang pasti
sesuai dengan catatan-Nya.9
Pengakuan akan kehendak Allah terhadap apa yang akan terjadi atas diri
manusia tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa manusia
mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya dan memilih jalan hidupnya
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Insân/76: 2-3 sebagai berikut.10
⌧
☺ ☺
☯ ⌧ ⌧
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat. Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”
8 Ini adalah salah satu contoh keluasan penafsiran Ibn Katsîr yang tidak dapat dijumpai secara
utuh dalam kitab tafsir versi ringkas atau mukhtasar. Al-Sâbûniy dalam mukhtasarnya menyebutkan ketiga pendapat tersebut tetapi tidak menuliskan sanad hadis secara lengkap. Sementara al-Rifa’i hanya menuliskan pendapat yang dianggap kuat oleh Ibnu Katsir tanpa menyebutkan pendapat lain dan tidak pula menuliskan hadis di atas. Muhammad ‘Aliy al-Sâbûniy, Mukhtasar Ibn Katsîr (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 234, Muhammad Nasib al-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet. Ke-1, jilid IV, h. 606.
9 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. 10 Lihat juga Surat al-Ra’d/13:11, al-Syams/:7-10, dll
52
Hal ini apabila qadha dan qadar Allah SWT dipahami sebagaimana
pemahaman ahlussunah wal-jamaah.11 Ibn Katsîr menyatakan bahwa surat al-
Hadîd ayat 22 merupakan dalil yang paling nyata untuk membantah paham
Qadariyah yang menafikan campur tangan Allah dalam perbuatan manusia.12 Ibn
Katsîr memperkuat pendapatnya dengan menuliskan sebuah hadis Rasulullah
SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad sebagai berikut.
حدثنا أبو عبد الرحمن ثنا حيوة وبن لهيعة قاال أنا أبو هانئ الخوالني قال االمام احمد
أنه سمع أبا عبد الرحمن الحبلي يقول سمعت عبد اهللا بن عمرو يقول سمعت رسول اهللا
المقادير قبل أن يخلق السماوات واألرض قدر اهللا: صلى اهللا عليه و سلم يقول
بخمسين ألف سنة
“Berkata Imam Ahmad telah menceritakan kepada kami Abû ‘Abd al-Rahman menceritakan kepada kami Haiwah dan Ibn Luhai‘ah berkata keduanya menceritakan kepada kami Hâni’ al-Khaulâniy sesungguhnya dia mendengar Abu ‘Abd al-Rahman al-Habliy berkata aku mendengar ‘Abd Allah bin ‘Umar berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,“Allah telah menetapkan beberapa ketetapan 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi”).”13
11 Terkait dengan persoalan qadla dan qadar ini dikenal adanya empat golongan. Pertama,
golongan Qadariyah berpendapat bahwa semua tindakan manusia adalah atas kemauan dan perbuatan manusia sendiri. Golongan ini bermaksud membersihkan Allah SWT dari perbuatan yang tidak sepantasnya datang dari Allah SWT yang Mahasuci. Allah SWT terbebas dari perbuatan keji dan tidak baik yang dikerjakan manusia. Dengan demikian golongan ini menolak adanya Qadla dan Qadar Allah SWT terhadap makhluk. Manusia bebas melakukan apa saja dan pasti akan terjadi karena tidak ada campur tangan dalam hidupnya. Kedua, golongan Jabariyah yang merupakan kebalikan dari Qadariyah. Golongan ini berpendapat bahwa semua tindakan manusia, kebaikan maupun keburukan, merupakan qadla dan qadar Allah SWT. Manusia tidak mempunyai kehendak atas apa yang terjadi pada dirinya. Pendapat ini membuat seseorang menjadi pasrah atas nasib yang menimpanya di dunia. Ia merasa tidak perlu untuk berusaha mengubah nasibnya karena semua telah ditentukan oleh Allah SWT. Ketiga, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan buruk dan jahat yang dilakukan oleh manusia adalah atas kemauan manusia. Sedangkan setiap perbuatan baik manusia adalah atas Qadla dan Qadar Allah SWT. Keempat, golongan ahlu sunnah wal jamaah mempunyai pendapat yang menggabungkan pemahaman Qadariyah dan Jabariyah. Golongan ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak atau qudrah yang biasa disebut kasab atau ikhtiar. Keberhasilan dan kegagalan usaha manusia bergantung kepada Qadla dan Qadar Allah SWT. Bey Arifin, Mengenal Allah (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006), cet. ke-11, h. 55
12 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. 13 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313.
53
Adapun Qadla dan Qadar Allah SWT merupakan sesuatu yang ghaib bagi
manusia. Oleh karena itu Qadla dan Qadar Allah SWT tidak seharusnya membuat
manusia enggan untuk berusaha ataupun pasrah menerima kehidupan yang sulit.
Sebaliknya manusia mesti berusaha keras untuk mencapai keinginannya dan
mendapatkan qadar Allah SWT atas dirinya. Tidak ada seorang pun yang
mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya sampai sesuatu itu benar-benar
terjadi. Pendapat ini diperkuat oleh banyak firman Allah SWT yang mendorong
manusia untuk berbuat kebaikan bagi dirinya dan orang lain dan menjanjikan
balasan kebaikan di akhirat. Sebaliknya, Allah SWT menjanjikan keburukan bagi
orang-orang yang berbuat keji dan mungkar di dunia.
Menurut Imam Gazali, Qadla dan Qadar Tuhan yang berhubungan dengan
manusia selalu berhubungan dengan salah satu dari empat hal sebagai berikut.
1. Qadla yang berupa Ketaatan. Apabila manusia berada dalam ketaatan,
hendaklah ia mengikhlaskan dirinya di dalamnya sehingga dapat tetap
dalam ketaatan tersebut.
2. Qadla yang berupa Maksiat. Apabila manusia melakukan maksiat,
hendaklah segera dia iringi dengan perbuatan baik untuk menghapuskan
dosa-dosanya.
3. Qadla yang berupa Nikmat. Apabila manusia mendapatkan kebahagiaan
hidup atau keberuntungan hendaklah ia iringi dengan rasa syukur kepada
Allah SWT.
4. Qadla yang berupa Balaa (kesusahan). Apabila manusia mendapatkan
cobaan hendaklah ia iringi dengan kesabaran dan sikap tawakal kepada
Allah SWT.14
14 Bey Arifin, Mengenal Allah, h. 55.
54
C. Pengaruh Keimanan dalam Menghadapi Musibah
Keimanan bagi kehidupan manusia ibarat fondasi bagi sebuah bangunan.
Keberhasilan penyebaran Islam dan kemajuan peradaban yang dicapai pada masa
lalu merupakan hasil dari kokohnya keimanan umat Islam terdahulu. Telah
tercatat dalam sejarah bahwa modal terbesar umat Islam generasi awal dalam
menegakkan Islam dan mengalahkan kafir Quraisy adalah keimanan kepada Allah
SWT. Demikian juga ketabahan para nabi sebelum Rasulullah SAW menghadapi
kaumnya yang membangkang adalah karena keimanannya yang kokoh akan janji
Allah SWT. Keimanan dan keyakinan terhadap janji Allah SWT menjadi energi
internal dan daya dorong yang kuat dalam diri orang-orang yang beriman.
Sebaliknya, ummat Islam ditimpa kekalahan ketika takjub dan bangga dengan
kekuatannya yang banyak dan mengurangi keyakinannya bahwa kemenangan
yang didapatkan adalah karena keimanannya kepada Allah SWT.15
Keimanan dan keyakinan seperti ini muncul dari ma’rifah atau
pengenalannya tentang hakikat ketuhanan; bahwa Allah SWT adalah Pencipta
alam semesta dan Mahamengetahui segala sesuatu yang terbaik untuk ciptaannya.
Seorang mukmin meyakini bahwa qadla dan qadar Allah SWT yang ditetapkan
untuknya merupakan hal yang terbaik baginya. Demikian juga seorang mukmin
meyakini bahwa pada hakekatnya segala sesuatu telah ditetapkan Allah SWT bagi
dirinya. Keberhasilan yg diperoleh dalam hidup tidak membuat seorang mukmin
menjadi sombong dan membanggakan diri. Sikap yang bertolak belakang antara
seorang mukmin dan seorang yang ingkar terhadap nikmat Allah SWT dapat
dijumpai dalam al-Quran pada kisah Qarun dan Nabi Sulaiman A.S. ketika Allah
15 Surat al-Qasas/28:85 menggambarkan keadaan umat Islam yang membanggakan jumlah
tentara yang banyak dan akhirnya mengalami kekalahan.
55
SWT memberikan karunia berupa kekayaan. Qarun menganggap bahwa kekayaan
yang diterimanya adalah semata karena ilmu yang dimilikinya.16 Sedangkan nabi
Sulaiman A.S. menyatakan bahwa kerajaan dan kekayaan yang diterima adalah
karena karunia Allah SWT.17
Demikan juga keburukan yang menimpa tidak membuat seorang mukmin
menjadi putus asa. Ia meyakini ada kebaikan dari Allah SWT dalam keburukan
yang menimpa dirinya meskipun ia tidak mengetahuinya.18 Hal ini tampak dalam
kisah perjalanan nabi Musa A.S. bersama Khidzir A.S. Perbuatan yang terlihat
buruk oleh nabi Musa A.S. sesungguhnya menyimpan kebaikan di masa yang
akan datang yang hanya diketahui oleh Allah SWT dan nabi Khidzir A.S. atas
petunjuk Allah SWT.19
Sayyid Qutb dalam tafsir surat al-Hadid ayat 22-23 ini menyatakan bahwa
manusia yang memahami hakikat penciptaan dan kejadian seperti tesebut di atas
akan mendapatkan ketenangan dan ketentraman dalam dirinya ketika menghadapi
bermacam peristiwa dalam hidupnya, baik peristiwa yang membawa kebaikan
maupun keburukan. Hati manusia tidak akan gundah, sedih maupun menyesal
ketika mendapatkan kesulitan. Sebaliknya, kegembiraan tidak akan membuat
manusia lupa diri. Setiap kejadian dipahami sebagai sesuatu yang berjalan seirama
dengan gerakan alam semesta. Kejadian yang menimpa manusia bagaikan sebuah
atom di alam semesta yang luas yang telah dirancang dan diketahui dalam ilmu
Allah SWT. Hakikat musibah tidak dapat dipahami dengan baik apabila
16 Lihat sûrah al-Qasas/28:78 17 Lihat sûrah al-Naml/27:40 18 Lihat sûrah al-Baqarah/2:216 19 Lihat sûrah al-Kahf/18: 66-82
56
dilepaskan dari hakikat taqdir Allah SWT dalam penciptaan makhluk dan
perencanaan global yang telah dirancang oleh Allah SWT.20
Menurut Sayyid Qutb, ini adalah derajat yang hanya dapat dicapai oleh
sedikit orang, sedangkan orang-orang beriman lainnya dituntut untuk dapat
menjaga keseimbangan dan sikap proporsional dalam menghadapi suka dan duka.
Beliau mengutip perkataan Akramah RA. yang berkata,”Tiada seorang pun
melainkan dia mengalami kegembiraan dan kesedihan. Namun jadikanlah
kegembiraan sebagai syukur dan kesedihan sebagai kesabaran. Inilah jalan tengah
Islam yang dimudahkan bagi orang-orang yang stabil.”21
Terkait hal ini, dalam menafsirkan penggalan surat al-Hadîd ayat 23, yaitu
“Supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu” Ibn
Katsîr menyatakan bahwa Allah SWT telah memberitahukan tentang Ilmu-Nya
dan catatan-Nya tentang segala sesuatu sebelum berwujud dan terjadi agar
manusia mengetahui bahwa apa yang menimpanya bukan untuk menyalahkan
dirinya dan segala sesuatu yang tidak ditujukan kepada dirinya tidak akan
menimpanya sehingga manusia tidak berputus asa atas sesuatu yang luput dari
dirinya. Karena jika Allah SWT mentaqdirkan suatu perkara pastilah terjadi.
Sebaliknya, manusia dilarang oleh Allah SWT menyombongkan diri ketika
mendapatkan ni’mat karena ni’mat itu datang bukan karena usaha dan jerih
payahnya tetapi karena Allah SWT telah menetapkannya atas dirinya. Allah SWT
melarang manusia berbuat keburukan dan kesewenang-wenangan di muka bumi
20 Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 2493. 21 Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 3493.
57
karena ni’mat yang diterimanya serta membuat dirinya menjadi orang yang
sombong karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong.22
Ibnu Katsir menyatakan bahwa ni’mat hendaknya disambut dengan rasa
syukur, sedangkan kesedihan disambut dengan rasa sabar. Beliau mengutip
perkataan Akramah RA. yang berkata,”Tiada seorang pun melainkan dia
mengalami kegembiraan dan kesedihan. Namun jadikanlah kegembiraan sebagai
syukur dan kesedihan sebagai kesabaran. Inilah jalan tengah Islam yang
dimudahkan bagi orang-orang yang stabil.”23
Menurut penulis, kedua mufasir telah mendorong umat Islam untuk bersikap
sabar ketika menghadapi musibah dan bersyukur ketika mendapatkan ni’mat dari
Allah SWT. Ini adalah sikap terbaik yang dapat dilakukan oleh seorang mukmin
dalam kedua keadaan tersebut. Kedua sikap tersebut akan mendatangkan kebaikan
dalam diri orang mukmin tersebut. Sikap tersebut adalah sikap yang terpuji dan
dikagumi oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana terekam dalam salah
satu hadis beliau sebagai berikut.
حدثنا هداب بن خالد األزدى وشيبان بن فروخ جميعا عن سليمان بن المغيرة
حدثنا سليمان حدثنا ثابت عن عبد الرحمن بن أبى ليلى عن - واللفظ لشيبان -
مؤمن إن أمره عجبا ألمر ال« -صلى اهللا عليه وسلم-سول الله صهيب قال قال ر
آله خير وليس ذاك ألحد إال للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن
.»أصابته ضراء صبر فكان خيرا له
“Telah menceritakan kepada kami Haddâb bin Kh âlid al-Azdiy dan Syaibân bin Farrûkh dari Sulaimân bin al-Mughîrah – dengan lafal syaibân – telah menceritakan kepada kami Sulaimân telah menceritakan kepada kami Tsâbit dari ‘Abd al-Rahman bin Abi Laila dari Suhaib berkata Rasulullah
22 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. 23 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 314.
58
SAW bersabda,”Urusan seorang mukmin itu menakjubkan. Sesungguhnya semua urusannya baik dan tidak ada yang memiliki sifat seperti itu kecuali orang yang beriman. Jika mendapatkan kesenangan maka ia bersyukur, maka jadilah hal itu kebaikan bagi dirinya. Dan apabila ditimpa kesusahan dia bersabar maka hal itu baik bagi dirinya.”24
Sabar mempunyai nilai yang tinggi dalam perspektif agama maupun akhlak.
Dalam Al-Quran terdapat 103 kata sabar atau derivatifnya yang dimuat dalam 90
ayat dan tersebar dalam 45 surat.25 Pentingnya sikap sabar dalam menghadapi
musibah dapat dilihat pada surat al-Baqarah/2:153 dimana Allah SWT menjadikan
sikap sabar sebagai sarana bagi manusia untuk mendapatkan pertolongan dalam
menghadapi masa-masa sulit ketika musibah sedang menimpa.26
Sabar adalah sarana kebaikan yang penting yang dibutuhkan sepanjang
hidup. Sebagian besar sifat-sifat jiwa yang baik tergantung pada sifat sabar;
misalnya dalam menahan ketergesaan, menahan amarah, menahan nafsu syahwat,
mengekang keserakahan dan lain sebagainya. Ia adalah karakteristik esensial dari
orang-orang yang berkualitas tinggi dalam hal spritualitas, keimanan, dan
kedekatannya dengan Allah SWT. Dan ia merupakan salah satu akhlak Qur’ani
yang paling utama dan ditekankan.
Dalam menafsirkan surat al-Baqarah/2:153 tersebut Ibn Katsîr membagi
sabar menjadi tiga. Pertama, sabar dalam meninggalkan semua hal yang
diharamkan oleh Alah SWT. Kedua, sabar dalam melakukan bermacam bentuk
ketaatan dan kedekatan kepada Allah SWT. Ketiga, sabar dalam menghadapi
24 Imam Muslim, Sahîh Muslim (Beirut, Dar al-Haya’, 1972), Bab 14, Juz 8, h. 227, hadis no.
7692. 25 Muhammad Sholikhin, The Power of Sabar (Solo: Tiga Serangkai, 2009), cet. Ke-1, h. ix.
26 sûrah al-Baqarah/2:45.
”Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'”
59
bencana atau musibah.27 Bersikap sabar dalam menghadapi musibah akan menjadi
lebih mudah manakala manusia memahami hakikat musibah sebagaimana
diuraikan dalam pembahasan sebelumnya.
Hasan al-Basrî seorang tabi’in berkata, “Sabar adalah satu di antara
khazanah kebajikan. Allah tidak akan memberikan kecuali kepada seorang hamba
yang mulia.” Sementara Imam Ja’far al-Sâdiq mengatakan, bahwa sabar adalah
salah satu dari tujuh prinsip akar tingkah laku terhadap Allah SWT. Prinsip-
prinsip tingkah laku terhadap Allah SWT tersebut adalah memberikan hak-Nya,
menjaga batas-batas-Nya, bersyukur atas karunia-Nya, patuh kepada titah-Nya,
sabar menghadapi cobaan-cobaan-Nya, memuliakan kesucian-Nya, dan
merindukan-Nya. Dalam al-Qur’an sabar berarti menahan diri terhadap apa yang
tidak kita sukai dengan tujuan memperoleh keridhoan Allah SWT. Firman Allah
dalam surat al-Ra’ad/13:22.
⌧ ☺
⌧
“dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),”
Sabar ditujukan kepada segenap makhluk jenis manusia dan secara khusus
sasarannya adalah orang-orang beriman. Sudah menjadi sunatullah, orang-orang
beriman akan menghadapi ujian, cobaan, gangguan, yang menuntut pengorbanan
27 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 1, h. 203
60
harta jiwa dan benda yang berharga bagi mereka. Tidak ada manusia yang bebas
dari kesedihan hati, terganggu kesehatan tubuhnya, ditinggal mati orang yang
dicintai, kerugian harta, gangguan manusia lain, kesulitan hidup atau musibah
bencana alam. Al-Qur’an memerintahkan orang yang beriman agar menjadikan
sabar dan shalat sebagai penolong dalam menghadapi cobaan dan ujian.28 Adanya
cobaan bagi ahli iman merupakan suatu kepastian yang mengandung tujuan dan
hikmah. Di antaranya adalah:29
1. Mendidik kaum beriman mengasah permata iman dan menjernihkan hati
mereka. Mereka akan menjadi matang melalui ujian. Keimanan yang
kokoh adalah keimanan yang teruji dengan berbagai macam cobaan
dimana pemiliknya berhasil mengatasinya dengan kesabaran dan tidak
terpeleset dengan sikap ingkar.
2. Meningkatkan kedudukan orang-orang beriman disisi Allah. Allah SWT
meninggikan derajat mereka, melipatgandakan pahala mereka.
Al-Qur’an menjelaskan berbagai kebaikan di dunia dan di akhirat sebagai
balasan atas sabar. Yaitu sukses di dunia dan kemenangan di akhirat, terhindar dari
api neraka, dimasukkan ke dalam surga serta memperoleh kebaikan yang
diinginkan tiap orang. Kebaikan-kebaikan yang dijelaskan dalam al-Qur’an di
antaranya adalah:
1. Allah menyertai orang-orang sabar
Firman Allah SWT. Surat al-Baqarah
28 Lihat Surat al-Baqarah /2:153. 29 Yûsuf al-Qardawî, Al-Qur’an Menyuruh Kita Sabar (Jakarta: GIP, 2000), Cet ke-16, h. 26-2
61
“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
2. Allah sayang kepada mereka yang sabar
Firman Allah SWT. Surat Ali Imran: 146
⌧ ⌧
☺ ☺
“dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama
mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.”
3. Orang sabar pahalanya dicukupkan tanpa batas
Firman Allah SWT. Surat az-Zumar: 10
☺
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
Dalam menghadapi ujian atau cobaan, selain sabar juga dibutuhkan
tawakkal. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena manusia dalam mencapai
tujuannya tergantung kepada dua faktor. Faktor pertama dari dirinya sendiri yaitu,
62
63
kemampuannya untuk berusaha dan berupaya serta memikul beban juga dalam
menghadapi dan mengatasi segala kendala serta hambatan. Semua itu memerlukan
kesabaran. Faktor kedua ialah, yang diluar jangkauan dan kemampuannya. Itu
merupakan rahasia ghaib dan taqdir Allah SWT. Menghadapi hal ini, seorang
mukmin harus bertawakkal kepada Allah, berlindung kepada-Nya, dan percaya
akan segala rencana Allah SWT.
Tawakkal merupakan sikap seseorang yang merupakan hasil dari
keyakinannya yang bulat kepada Allah SWT. Ia meyakini bahwa Allah yang
menciptakan segala-galanya, kekuasaannya tak terbatas, pengetahuan-Nya
Mahaluas. Keyakinan inilah yang mendorong ia menyerahkan urusannya kepada
Allah, hatinya tenang dan tentram dan tidak ada rasa ragu sedikitpun. Tawakkal
tidak begitu saja meninggalkan usaha sama sekali, dan meyerahkan urusan bulat-
bulat kepada Allah, tetapi harus melalui suatu usaha atau ikhtiar sungguh-sungguh
yang kemudian baru diserahkan kepada Allah SWT. Rasululah SAW merupakan
contoh nyata pribadi penyabar tanpa mengenal batas.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan ini dapat dituliskan jawaban dari rumusan masalah
bahwa Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr bersepakat bahwa pada hakikatnya musibah
merupakan bagian dari rencana keseluruhan Allah SWT dalam penciptaan alam
semesta, termasuk manusia. Dan Allah SWT yang Mahakuasa telah
menetapkannya sebelum penciptaan manusia dan alam semesta ini. Dengan Ilmu-
Nya, Allah SWT mengetahui tanpa ada batasan dalam pengetahuan-Nya tentang
apa yang terjadi, apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi dan semua itu
telah tercatat dalam Kitab di al-lauh al-mahfuz.
Kedua mufassir juga sepakat bahwa sikap terbaik dalam menghadapi
musibah adalah dengan bersabar dalam menghadapinya. Demikian juga
sebaliknya, sikap terbaik ketika memperoleh kenikmatan adalah dengan
mensyukurinya. Manusia tidak perlu menyalahkan diri sendiri ketika tertimpa
musibah. Demikian juga, manusia tidak perlu menyombongkan diri ketika
memperoleh kenikmatan karena semua terjadi atas kehendak Allah SWT.
Namun demikian, kedua mufassir berbeda pendapat tentang batasan dari
musibah. Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang
menimpa manusia, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Sedangkan Ibn
Katsîr membatasi musibah sebagai keburukan atau bencana yang menimpa
manusia.
64
65
B. Saran
Dengan penelitian yang telah dilakukan tentang topik ini penulis
mengajukan saran bahwa penelitian dengan topik ayat-ayat al-Qur’an harus
dilakukan dengan mengacu langsung pada sumber aslinya yang masih utuh, bukan
kitab-kitab versi ringkasan atau mukhtasar. Demikian juga, sebaiknya tidak
mengacu kepada kitab hasil terjemahan, tetapi kepada kitab dalam bahasa aslinya.
Dengan demikian, akan didapatkan data-data primer yang akurat. Versi ringkasan
layak dibaca bagi pembaca yang tidak ingin melakukan penelitian, tetapi ingin
memahami tafsir al-Qur’an dengan mudah. Selain itu perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana sebuah kitab versi ringkasan atau
mukhtasar mengurangi informasi yang terkandung dalam karya aslinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Syihâb al-Dîn. al-Tibyân Fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Juz 1.
Arifin, Bey. Mengenal Allah. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006, cet. ke-11. al-Asfahâni, Al-Râghib. Mu’jam Mufradât fî alfâdz al-Qur’ân. Beirut: Dar al-
Kutub al-‘ilmiyah, 2004. al-Baidâwiy. Tafsir al-Baidâwiy. Beirut: Dar al-Fikr, tt. al-Baihaqi. Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ. Beirut:Dar al-Fikr, tt. Biro Humas & Luar Negeri BPK. “Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan
Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pascatsunami”. Artikel diakses pada 10 Januari 2010 dari http://www.bpk.go.id/web/?p=3958
al-Bukhâri. Sahîh al-Bukhâriy. Beirut: Dar al-Fikr, tt. al-Buthy, M Sai’d Ramadhan. Sirah Nabawiyah. Penerjemah Aunur Rafiq Sahleh
Tamhid. Jakarta: Robbani Press, 2000, cet. Ke-2. Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Cipta
Media, tt. Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Van Horve, 1993, Jilid III. al-Dzahabi, Muhammad Husain. Israiliyat dalam Tafsir dan Hadits. Jakarta:
Lentera antar Nusa, 1993. al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Mesir: Maktabah
Wahbah, 1985. al-Farmawi, Abd al-Hayy. Al-Bidâyah fî Al-Tafsîr Al-Maudhu’iy. Kairo: Al-
Hadharah Al-Arabiyah, 1977, Cet.II. al-Hafidz, Ahsin W.. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2006, cet. ke-2. Hamka. Tafsir Al-Azhar, Juz XXVII. Jakarta: Pustaka Panjimas, tt. al-Hanbali, Muhammad al-Manjibi. Menghadapi Musibah Kematian. Penerjemah
Muhammad Suhadi. Jakarta: Mizan Publika, 2007. Ibn, Katsîr. al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Beirut: Dar al-Fikr, tt, Jilid XIV.
66
Ibn, Katsîr. Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm. Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985, juz 4. Ibn, Manzûr. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dar Sâdir, tt. al-Khalidi, Salah Abdul Fatah. Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân.
Penerjemah Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Intermedia, 2001, Cet. Ke-1. al-Khatib, Muhammad Ajjaj. UUsul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H. Kompas. “Bencana Situ Gintung, Kerugian UMJ Rp 10 Miliar.”. 10 Maret 2009. Mahmûd, Mani’ Abd al-Halim. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehesif Metode
Para Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdianor dan Faisal Saleh. Jakarta: Rajagrafindo, 2003.
Maswan, Nur Maizin. Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsîr. Yogyakarta: Menara
Kudus, 2002. Munawwir, A.W.. Kamus Arab –Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 2002,
cet. Ke-25. Muslim, Imam. Sahîh Muslim. Beirut: Dar al-Haya’, 1972. Pusat Bahasa Depdiknas RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia Diakses tanggal 22
Mei 2009 dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php al-Qardawî, Yûsuf. Al-Qur’an Menyuruh Kita Sabar. Jakarta: GIP, 2000, Cet ke-
16.. al-Qardawî, Yûsuf. Bagaimana Berinteraksi Dengan al-Quran. Penerjemah
Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2000. al-Qattân, Mannâ‘ Khalîl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Penerjemah Mudzakir AS.
Jakarta: Litera Antar Nusa, 2006, cet. Ke-9. Qutb, Sayyid. Fî Zilâl al-Qur’ân. Beirut: Dar al-Syuruq, 1978. al-Razi, Imam. Mukhtar al-Sihah. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Republika. “Sayed Qutb, Sang Syahid Kontroversial”. Republika Online, artikel
diakses pada 17 Januari 2010 dari http://www.republika.co.id/node/72910 al-Rifa’i, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah
Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 2003, Cet. Ke-1, jilid IV. al-Sâbûniy, Muhammad ‘Aliy. Mukhtasar Ibn Katsîr. Beirut, Dar al-Fikr, tt. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet.ke-8.
67
68
Sholikhin, Muhammad. The Power of Sabar. Solo: Tiga Serangkai, 2009, cet. Ke-1.
al-Sya’rawi, Mutawalli. Baik danBuruk. Penerjemah Tajuddin. Jakarta: Pustaka Kautsar, 1994, cet. Ke-1.
Tirmidzi, Imam. Sunan al-Tirmidziy. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Top Related