I. URAIAN UMUM
I.1 JUDUL PENELITIAN : Monitoring Tingkat Resiko
Penurunan Kualitas Air Akibat
Pola Managemen Lahan
Pertanian Daerah
Aliran/Catchment Area Waduk
Selorejo.
I.2 PENANGGUNG JAWAB PROGRAM :
Nama : Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE
Tempat/ tanggal lahir : Blitar, 12 Juni 1947
Alamat Tempat Tinggal : Jl. Teluk Kumai no.8 Malang No.
Telp. (0341) 493 612 ' No. HP
08123314983
Pangkat Dan Jabatan Akademik :
a. Pangkat : Pembina Utama Muda/ IVc
b. Jabatan Akademik : Lektor Kepala
6. Bidang Keahlian Utama : Pengembangan Sumber Daya Air
7. Bidang Keahlian Penunjang:
a. Environment Hydraulic
b. Transportasi Sedimen
c. Waduk, Bendungan
Unit Kerja : Teknik Pengairan, Fakultas Teknik,
Universitas Brawijaya
Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang
Telepon : 0341 575954
Fax : 0341 575954
Email : [email protected]
I.3 Anggota Peneliti
Nama : Bambang Pari P ST
Bidang Keahlian : Analisa Hidrologi Pemodelan
1
Instansi : Program Studi Teknik Sumber Daya
Air Pasca Sarjana Universitas
Brawijaya
Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang
Telepon : 0341 575954
Fax : 0341 575954
Email : [email protected]
2
SUBBASIN
1
2
3
4
Konto Sub Basin (Up Stream)
Penjal Sub Basin
Kewayangan Sub Basin
Konto Sub Basin (Down Stream)
4
I.4 SUBYEK PENELITIAN
Dalam studi ini akan memfokuskan pada sumber polutan Non Point
Source yang berasal dari lahan pertanian, kususnya pada Daerah Aliran
Sungai Waduk Selorejo, dan secara khusus sebagai hasil akhir adalah
terfokus pada kondisi kualitas air waduk Selorejo.
I.5 Periode Pelaksanaan :
I.6 Jumlah Biaya Yang Di Usulkan : Rp. 9.725.000,00 ( Sembilan Juta
Tujuh Ratus Dua Puluh Lima Ribu
Rupiah)
I.7 Lokasi Penelitian : Daerah Pengaliran Sungai /Cactment
Area Waduk Selorejo yaitu Masuk
Wilayah Administrasi Kabupaten
Malang Mencakup Kecamatan,
Ngantang desa : Pagersari,
Kaumrejo, Waturejo, Jombok,
Tulungrejo, Banturejo, Sumberagung,
Sumberagung, Mulyorejo, Purworejo,
Sidodadi, Pagersari, Agantru , dan
Kecamatan Pujon, Desa : Madiredo,
Bendosari, Sukomulyo, Pujonkidul,
Pujon Lor, Pandesari, Wiyurejo,
Tawangsari, Ngabab.
3
Daerah Aliran Sungai Brantas, Jawa Timur
Gambar 1.1 Lokasi Studi, Daerah Aliran Sungai Waduk Selorejo
I.8 Perguruan Tinggi Pengusul : Universitas Brawijaya
I.9 Instansi Lain Yang Terlibat : PERUM JASA TIRTA I
I.10 Keterangan Lain Yang Dianggap Perlu : -
II. ABSTRAK RENCANA PENELITIAN :
Latar Belakang : Baru-baru ini Polutan Non Point Sources (NPS) telah
menjadi suatu perhatian khusus pada bidang kualitas air dan manajemen
pengolahan DAS, dimana yang menjadi salah satu parameter dari besar NPS
tersebut adalah pertanian dan urban run off. Nitrogen (N) dan Phospour adalah
bagian yang penting dalam ekosistem air, namun kandungan yang berlebih
dapat menyebabkan alga booms dan mempercepat proses eutropikasi dimana
salah satu penyebab kemunduran nilai kualitas air.
Daerah Aliran Sungai, DAS/Watershed adalah satu ekosistem yang terdiri
dari kumpulan daratan yang berbeda dalam penggunaan lahan dan terhubung
oleh jaringan-jaringan sungai. Oleh sebab itu benar bahwa kondisi sungai
sangat ditentukan oleh proses yang terjadi pada lahan areal
tangkapannya/DAS. Dimana suatu jaringan sungai mengalir mengarah pada
satu tampungan yang besar, dimana kondisi kualitas air pada tampungan
waduk tersebut dipengarui secara langsung dari kondisi proses yang terjadi
pada lahan DAS.
Dalam studi ini akan memfokuskan pada sumber polutan Non Point Source
yang berasal dari lahan pertanian, kususnya pada Daerah Aliran Sungai Waduk
Selorejo, dimana secara tidak langsung akan sangat mempengarui kondisi
kualitas air di Waduk Sengguruh itu sendiri. Sejalan dengan perkembangan
pembangunan, teknologi dan jaman, pengembangan aktifitas pertanian dan
perubahan tataguna lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau fungsi
lainnya seperti pemukiman, akan terus ditingkatkan. Hal tersebut akan dapat
menyebabkan suatu dampak kondisi perubahan kandungan dan jumlah
konsentrasi Polutan Nutrient dan sediment di waduk selorejo.
Identifikasi Masalah : Secara umum limbah yang masuk kesungai dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu limbah domestik dan limbah industri. Limbah
domestik merupakan limbah yang berasal dari daerah pemukiman,
4
perkantoran, kelembagaan dan pertanian. Sedangkan limbah industri berasal
dari kawasan industri.
Limbah pertanian adalah limbah yang berasal dari lahan pertanian. Seperti
yang telah diketahui aliran sungai Waduk Selorejo berada pada kawasan
algiculture area, Lahan Pertanian dan dimanfaatkan untuk pemenuhan
kebutuhan irigasi pertanian, Kandungan kualitas air sebelum masuk areal
pertanian dan sesudahnya barang tentu akan berbeda, karena adanya
bermacam-macam proses yang terjadi di lahan pertanian. Pengaruh pupuk
pada lahan pertanian merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran.
Pupuk pada umumnya mengandung unsur Nitrogen (N) dan Phospour (P).
Kedua unsur ini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman.
Pembawa limbah pertanian ke dalam sungai adalah hujan dan limpasan
permukaan. Untuk menentukan besarnya polutan, harus ditentukan juga
limpasan permukaan dan aliran sungai yang diakibatkan hujan pada DASnya.
Proses transpor polutan di atas akan bermuara pada suatu tampungan dimana
semua aliran sungai akan berkumpul dan tertampung.
Sebagai contoh kondisi yang pernah terjadi yaitu di Waduk Sutami di desa
Karangkates, bagian DAS Brantas hulu. Pencemaran terakhir yang terjadi di
Waduk Sutami adalah pada tahun 2004 atau tepatnya pada tanggal 4
September 2004, dan terjadi 3 kali pada tahun tersebut. Pencemaran ini
diakibatkan pembuangan limbah cair dari sejumlah industri langsung ke anak-
anak Sungai Brantas, sehingga mengakibatkan dampak matinya ikan-ikan di
Waduk Sutami yang diakibatkan menurunya derajat kadar Oksigen Demand
(DO) dari tingkat normal 3 ml/liter menjadi 0.9 ml/liter serta terjadinya blooming
algae yang muncul kepermukaan air dan adanya penurunan pH (derajad
keasaman air), serta bau yang menyengat hingga mengganggu kegiatan dan
hidup masyarakat.
Beberapa usaha yang dilakukan pasca pencemaran tersebut diantaranya
adalah dilakukan penebaran bibit ikan nila, dengan harapan bahwa pada saat
musim kemarau nanti ikan-ikan ini sudah besar dan mampu menghambat
pertumbuhan algae yang umumnya berkembang pesat pada musim kemarau.
Beberapa contoh lain yang sudah dilakukan studi tentang monitoring kualitas
air, yaitu Danau Tondano Profinsi Sulawesi Utara, Kota Manado yang memberi
5
satu kesimpulan sebagai berikut : “Perairan Danau Tondano menerima beban
pencemaran dari limbah perikanan jaring apung dan limbah penduduk mencapai
Posfat 784,1 kg/hari dan Nitrogen 1715,5kg/hari. Dengan luas Danau Tondano
4800 ha maka beban Posfat yang masuk ke perairan danau mencapai 0,163
kg/ha/hari, berarti masih dibawah toleransi beban Posfat yang masuk ke
ekosistem perairan lentic (danau, waduk) yaitu 0.367 kg/ha/hari. Sehingga, bila
ditinjau dari beban Posfat tersebut, maka perairan Danau Tondano masih
memungkinkan untuk pengembangan perikanan jala terapung. Namun demikian
lokasi jaring apung harus tersebar merata tidak menumpuk di satu atau dua
lokasi. Tingkat kesuburan Danau Tondano berada dalam klasifikasi mesotrophic
sampai eutrophic, kecuali unsur nitrogen yang seluruhnya masih dalam
klasifikasi oligotrophic. Untuk menghindari konflik kepentingan dalam
pengelolaan Danau Tondano ibentuk kelembagaan yang memerlukan
keterpaduan diantara ”stakeholder” Sehingga diharapkan kebijakan lembaga
pengelola ini dapat memahami bagaimana pengelolaan danau yang
berkelanjutan serta dapat mengatasi konflik yang muncul diantara stakeholder
tersebut.”
Demikian halnya pada Waduk Selorejo, telah diidentifikasi bahwa kondisi
kandungan polutan semakin meningkat, berdasarkan hasil ukur dilapangan
dengan periode 10 harian. Sehingga kondisi seperti halnya di Waduk Sutami,
kiranya sangat perlu untuk dilakukan satu monitoring dan tindakan antisipasi
secara dini untuk Waduk Selorejo tersebut.
III. TUJUAN KHUSUS
Waduk selorejo adalah Bendungan multi guna dengan pola operasi
tahunan, dimana kegunaannya adalah untuk PLTA, pemenuhan kebutuhan air
baku, irigasi, dan kebutuhan kegiatan pertanian dan industri lainnya. Tentunya
fungsi dan kegunaan waduk selorejo ini akan sangat dipengarui oleh
kemampuan daya dukung ekosistem daerah alirannya. Seiring dengan
pengembangan wilayah kabupaten malang secara umum dan kedua wilayah
administrasi kecamatan ngantang dan pujon secara kusus,
6
Tujuan studi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk melakukan identifikasi terhadap jumlah polutan yang bersumber dari
polutan lahan pertanian,
2. Melakukan analisa pola penyebaran polutan lokasi daerah studi, dan
kwantitas beban polutan di Waduk Selorejo,
3. Infentarisasi hasil identifikasi besar polutan sebagai warning system resiko
penurunan kualitas air waduk Selorejo.
Sedangkan maksud dari studi ini adalah untuk memberikan suatu informasi
tentang nilai dan pola penyebaran polutan akibat pengolahan lahan pertanian di
daerah lokasi studi, sebagai referensi khusus terhadap monitoring resiko
penurunan kualitas air Waduk Selorejo, dan untuk alat uji kebenaran
penggunaan paket pemodelan hidrologi dan kualitas air : AVSWAT2000 (Soil
and Water Assessment Tool 2000).
Manfaat Studi
Manfaat studi ini adalah sebagai berikut :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang aplikasi pemodelan
berbasis SIG AVSWAT2000.
2. Memberikan masukan informasi kondisi kualitas air Daerah Aliran Sungai
Waduk Selorejo.
3. Sebagai suatu sistem pendukung dalam pengambilan keputusan (decision
suport systems) untuk manajemen pengolahan DAS bagi stik holder.
7
IV. STUDI PUSTAKA
IV.1 Hidrologi dan Ekosistem DAS
Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya
(cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Termasuk di
dalamnya penyebaran, daur, dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya,
serta hubungannya dengan unsur-unsur kehidupan dalam air itu sendiri.
Sedangkan hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) sendiri adalah cabang dari
ilmu hidrologi itu sendiri, yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan
lahan di daerah tangkapan air bagian hulu (upper catchment) terhadap daur air,
termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air, banjir, dan iklim di daerah
hulu dan hilir (Chay Asdak, 2002:4).
4.1.1 Siklus Hidrologi
Siklus air atau hidrologi adalah pola sirkulasi air dalam ekosistem.
Secara alamiah daur hidrologi dapat ditunjukkan seperti terlihat pada gambar
4.1, dimana selama berlangsungnya daur hidrologi tersebut air berjalan dari
permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke
laut secara terus menerus, air tersebut akan tertahan (sementara) di sungai,
danau (waduk), dan dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia
atau makhluk hidup lainnya. Energi panas matahari dan faktor-faktor iklim
lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi pada permukaan vegetasi
dan tanah, di laut atau badan-badan air lainnya. Uap air sebagai hasil proses
evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun
datar, dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air
tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan.
Sebelum mencapai permukaan tanah air hujan tersebut akan tertahan
oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan tersimpan di
permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan sebagian airnya
akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau
mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (steamflow). Sebagian air
hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah, melainkan terevaporasi
kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan setelah
berlangsungnya hujan (interception loss). Air hujan yang dapat mencapai
8
permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration),
dan sisanya akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan
permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas
permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya
masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler
yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah, apabila kelembaban
tanah sudah cukup jenuh maka air hujan tersebut akan bergerak secara lateral
(horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke
permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Air hujan
yang masuk ke dalam tanah tersebut dapat pula bergerak vertikal ke tanah
yang lebih dalam dan menjadi bagian dari air tanah (ground water). Air tanah
tersebut pada musim kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau,
atau tempat penampungan alamiah lainnya (base flow). Sebagian air infiltrasi
yang tetap tinggal dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) kemudian
diuapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah (soil evaporation) dan
melalui permukaan tajuk vegetasi (transpiration).
Gambar 4.1 Siklus Hidrologi
Pada daur siklus hidrologi inilah, mekanisme transport polutan terjadi, sehingga
berdasarkan siklus tersebut mekanisme polutan dapat di bagi menjadi 2 fase
yaitu :
9
1. Siklus hidrologi pada fase/tahap terjadi di satu luasan lahan, sebagai
kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi dan pestisida yang akan masuk ke sistim
jaringan sungai.
2. Siklus hidrologi pada fase/tahap pada Aliran Sungai yang dapat
didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen, nutrisi dan pestisida melalui
aliran sungai menuju ke outlet masing-masing Sub DAS.
A. Fase Pada Lahan
Siklus hidrologi yang menjadi dasar pepersamaanan persamaan adalah
Water Ballance :
(4.1)
Dengan :
SW1 = kandungan air dalam tanah (mm H2O)
SWo = kandungan air dalam tanah pada awal periode (mm H2O)
t = waktu (hari)
R = besaran hujan yang terjadi pada hari ke i (mm H2O)
Qsurf = tinggi limpasan permukaan pada periode waktu ke i ((mm H2O)
Ea = besar evapotranspirasi pada periode waktu ke i (mm H2O)
Wseep = jumlah air yang masuk zona lapisan tanah keras pada periode
waktu ke i (mm H2O)
Wgw = jumlah air pada aliran air tanah pada periode waktu ke i (mm H2O)
10
Gambar 4.2. Siklus Hidrologi
B. Fase Pada Sungai
Penelusuran/Routing pada sungai-sungai utama dapat dibagi menjadi 4
komponen :
1. Penelusuran Banjir. Seperti aliran pada daerah downstream, besar
kehilangan air yang berkaitan dengan proses evapotranspirasi dan
transmisi melewati dasar sungai atau disebabkan penggunaan air sungai
untuk pertanian dan kebutuhan penduduk. Jumlah air pada sungai dapat
bersumber dari besaran hujan yang jatuh kepermukaan bumi mengalir
kesungai dan atau bersumber dari debit-debit keluaran sumber lain.
Besarnya aliran yang mengalir melewati sungai, dicari dengan
menggunakan methode Muskingum.
2. Penelusuran Sedimen. Transpor sedimen sungai memiliki 2 proses
yang terkandung yaitu degradasi dan deposisi. Pada model SWAT ini
persamaan yang digunakan lebih simpel, yaitu nilai maksimum sedimen
yang dapat terangkut dari setiap sekmen sungai memakai persamaan
kecepatan puncak yang dapat terjadi pada sungai.
3. Penelusuran Nutrient. Transformasi nutrient pada aliran sungai
dikontrol dengan komponen kualitas air pada model, yang
persamaannya mengadopsi dari model QUAL2E. Model penjalaran
nutrient terlarut dalam air sungai dan nutrient yang terkandung dalam
sedimen. Larutan nutrient terangkut dengan air, sementara itu yang
11
presipitasi
atmosphere
intersepsi
evapotranspirasi
Aliran Permukaan
infiltrasi
soil store
through flow
perkolasi
Tampungan Air tanah
Aliran Airtanah Aliran kepermukaan
Tampungan di Sungai
Aliran di Sungai Tampungan permukaan
evaporasi
evaporasi
Laut
Kondensasi
terkandung dalam sedimen jumlahnya tetap hingga proses pengendapan
sedimen pada dasar sungai.
4. Penelusuran Pestisida. Sementara Pestisida yang nilainya dalam
jumlah besar, dalam model dimasukan sebagai data input pada input
data HRU (Hidrology Response Units). Seperti nutrient, total pestisida
yang masuk ke sungai adalah yang terlarut dan yang melekat pada
material sedimen.
4.1.2 Ekosistem DAS
Daerah Aliran Sungai dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, karena
ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen
yang saling berintergrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Ekosistem
terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk
suatu kesatuan yang teratur. Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu
memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah
satu komponen penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam
menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu
komponen lingkungan, dan dengan demikian akan mempengaruhi ekosistem
secara keseluruhan. Pada gambar 4.3 menunjukkan adanya hubungan timbal
balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada
salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen
yang lain. Perubahan komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi
keutuhan sistem ekologi di daerah tersebut (Chay Asdak, 2002:15).
12
Gambar 4.3 Komponen-komponen ekosistem DAS Hulu
Sumber : Chay Asdak, 2002:16
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena
mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan
ini, antara lain dari segi fungsi tata air, sehingga DAS hulu seharusnya menjadi
fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bahwa dalam suatu DAS,
daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.
Pada Gambar 4.4 menunjukkan proses yang berlangsung dalam suatu
ekosistem DAS, dimana input berupa curah hujan sedangkan output berupa
debit aliran dan atau muatan sedimen. Curah hujan, jenis tanah, kemiringan
lereng, vegetasi, dan aktivitas manusia mempunyai peranan penting untuk
berlangsungnya proses erosi-sedimentasi.
Gambar 4.4 Fungsi Ekosistem DAS
13
Input = Curah Hujan
Output = Debit, Muatan Sedimen
Vegetasi Tanah SungaiManusiaIPTEK
MATAHARI
Hutan Desa Sawah/Ladang
Manusia
Tumbuhan
Air
HewanTanah
Sungai (Debit, Unsur Hara)
IV.2 Mekanisme Transport Polutan
Sesuai dengan penjelasan tentang siklus hidrologi maka mekanisme transport
polutan dapat di gambarkan seperti pada Gambar 4.5 berikut:
Gambar 4.5 Mekanisme Transport Polutan
Sehingga dalam studi ini akan terbagi menjadi 3 bagian pokok bahasan yang
harus di selesaikan secara berurutan dan sitematis, yaitu :
1. Pola potensi penyebaran polutan dilahan DAS Waduk Selorejo
2. Pola penyebaran Polutan Di Sungai dan Anak Sungai yang bermuara
di waduk Selorejo
3. Kandungan Polutan di Waduk Selorejo
4.2.1 Mekanisme Transport Dilahan DAS Waduk Selorejo
Pada fase ini merupakan sebagai kontrol jumlah air, sedimen, nutrisi
dan pestisida yang akan masuk ke sistim jaringan sungai. Siklus hidrologi
seperti yang disimulasikan oleh SWAT adalah menjadi dasar
pepersamaanan persamaan Water Ballance seperti persamaan (4.1):
14
presipitasi
atmosphere
intersepsi
evapotranspirasi
Aliran Permukaan
infiltrasi
soil store
through flow
perkolasi
Tampungan Air tanah
Aliran Airtanah Aliran kepermukaan
Tampungan di Sungai
Aliran di Sungai Tampungan permukaan
evaporasi
evaporasi
Laut
Kondensasi
Hujan
Infiltrasi
Evapotranspirasi
Limpasan
Aliran LateralErosi & Sedimentasi Lahan
Run Off
Q Inflow sungai
MEKANISME TRANSPORT POLUTAN
4.2.1.1 Limpasan Permukaan
Limpasan permukaan merupakan salah satu faktor penting dalam sistem
transport berbagai material yang akan terbawa masuk pengaliran sungai.
Limpasan permukaan terjadi ketika jumlah curah hujan melampaui laju infiltrasi.
Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan atau depresi pada
permukaan tanah. Setelah pengisian selesai maka air akan mengalir dengan
bebas dipermukaan tanah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan permukaan bisa
dikelompokkan ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan curah hujan
dan yang berhubungan karateristik daerah aliran sungai. Lama waktu hujan ,
intesitas dan penyebaran hujan mempengaruhi laju dan volume limpasan
permukaan. Pengaruh DAS terhadap limpasan permukaan adalah melalui
bentuk dan ukuran DAS, topografi, geologi, dan keadaan tataguna lahan.
Ada banyak metode yang dapat dipakai untuk menganalisa dan
memprediksi besaran limpasan permukaan, dalam studi ini menggunakan
persamaan SCS .
SCS merupakan model empirikal yang telah umum digunakan diberbagai
kawasan dunia, model ini dibangun guna menyediakan estimasi yang konsisten
untuk memperkirakan besarnya limpasan permukaan berdasarkan data tata
guna lahan dan jenis tanah yang bervariasi. Persamaanya adalah sebagai
berikut :
(4.2)
dengan:
Ia = abstraksi awal (initial abstraction) (mm)
Pe = hujan berlebih (mm)
S = volume dari total tampungan (mm)
P = tinggi hujan (mm)
Abstraksi awal adalah air hujan yang terinfiltrasi lebih dahulu ke dalam
tanah sebelum terjadi limpasan permukaan, yang termasuk dalam komponen
abstraksi awal adalah simpanan permukaan (retention), air yang diserap oleh
tumbuhan, evaporasi dan infiltrasi. Abstraksi awal merupakan variabel yang
berhubungan dengan kondisi jenis tanah dan faktor penutup lahan. Pendekatan
15
yang digunakan untuk menghitung laju abstraksi awal adalah dengan
persamaan :
Ia = 0.2 S
Dengan mensubstitusikan 2 persamaan tersebut maka persamaan
pendugaan limpasan akan menjadi :
(4.3)
Sedangkan S merupakan deskripsi hubungan antara jenis tanah dan tata
guna lahan dari suatu kawasan yang diperoleh dari bilangan Curve Number
(CN), bilangan CN ini berkisar antara 0 – 100 yang juga merepresentasikan
besar potensi dari air limpasan permukaan yang akan terjadi. S dapat dihitung
dengan persamaan :
(4.4)
Untuk nilai curve number (CN) yang berbeda-beda dapat dilihat pada grafik
pada Gambar 4.6 :
Gambar 4.6. Grafik Hubungan Limpasan Permukaan Dan Curah Hujan
Untuk Menentukan Nilai CN
Debit Puncak
Nilai limpasan puncak atau debit puncak adalah nilai maksimum dari
limpasan yang terjadi karena disebabkan oleh intensitas hujan yang turun. Nilai
ini merupakan indikator dari kekuatan erosi yang dapat ditimbulkan pada lahan
16
dan dapat digunakan untuk memprediksi angkutan sedimen. Perhitungan
SWAT untuk nilai debit puncak ini menggunakan modifikasi metode rasional.
Metode rasional dapat digunakan untuk mendesain saluran dengan
bentang yang lebar dan sistem saluran pengendali banjir. Metode rasional
bedasar pada anggapan bahwa hujan yang jatuh dengan intensitas ‘i’ pada
waktu t = 0 secara kontinu akan terus meningkat sampai pada waktu
konsentrasi t = tconc, anggapan ini dengan melibatkan seluruh daerah
pengaliran yang mengarah pada badan sungai (outlet).
Debit puncak dihitung berdasarkan persamaan rasional yang
dimodifikasi. Persamaan metode rasional adalah sebagai berikut:
Q = 0.278 C . I . A (4.5)
dengan:
Q = limpasan permukaan (m3/dt)
C = koefisien limpasan
i = intensitas hujan (mm/jam)
A = luas wilayah DAS (ha)
Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh air dari titik
terjauh dari DAS menuju pada otlet DAS tersebut. Waktu konsetrasi dihitung
dengan menjumlahkan waktu yang dibutuhkan oleh air yang melimpas di lahan
di tambah dengan waktu yang dibutuhkan oleh air yang melimpas di saluran
sampai pada outlet.
tcon = tov + tch
tcon = waktu konsentrasi (jam)
tov = waktu air melimpas di lahan (jam)
tch = waktu untuk air melimpas di saluran (jam)
Waktu konsentrasi air melimpas di lahan (overland flow time of concentration)
(4.6)
17
dengan :
tov = waktu konsentrasi air melimpah di lahan
Lslp = panjang slope DAS (m)
Slp = slope DAS
n = koefisien kekasaran Manning
Waktu konsentrasi air melimpas di saluran (channel flow time of concentration)
(4.7)
dengan :
tch = waktu konsentrasi air melimpas di saluran (jam)
L = panjang saluran
A = luas DAS (km2)
Slp = slope saluran
Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran adalah perbandingan laju debit puncak dengan
intensitas hujan. Angka koefisien limpasan merupakan salah satu indikator
untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik. Nilai C
yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air hujan yang menjadi limpasan
permukaan. Angka koefisien C berkisar antara 0 – 1.
(4.8)
Qsurf = debit limpasan permukaan (m3/det)
Rday = hujan harian (mm)
Intensitas Hujan
Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan per satuan
waktu, misalnya mm/menit atau mm/jam untuk berbagai rentang waktu
(duration) curah hujan tertentu. Perkiraan mengenai frekuensi hujan juga
merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan. Jika tidak ada waktu untuk
mengamati besarnya intensitas hujan atau karena disebabkan tidak adanya alat
untuk mengamati, maka dapat ditempuh cara empiris dengan menggunakan
persamaan-persamaan antara lain: Talbot, Sherman, Ishiguro dan Mononobe.
18
Intensitas Hujan dapat dihitung dengan persamaan :
(4.9)
dengan :
Rtc = banyaknya hujan yang jatuh pada saat waktu konsentrasi
(mm)
tcon = waktu konsentrasi
Rtc = tc x Rday
dengan :
tc = bagian dari hujan harian yang terjadi selama tcon (mm)
Rday = hujan harian (mm)
Modifikasi Metode Rasional
Dengan menggabungkan persamaan di atas didapat persamaan metode
rasional modifikasi sebagai berikut :
(4.10)
dengan :
tc = bagian dari hujan harian yang terjadi selama tcon (mm)
Qsurf = debit limpasan permukaan (m3/det)
tcon = waktu konsetrasi
A = luas DAS (km2)
4.2.1.2 Erosi Dan Sedimentasi Lahan
Erosi adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian
tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik disebabkan oleh
pergerakan air ataupun angin. Proses erosi bermula dengan terjadinya
penghancuran agregat-agregat tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang
mempunyai energi lebih besar daripada daya tahan tanah.
Begitu air hujan mengenai permukaan bumi, maka secara langsung hal
ini akan menyebabkan hancurnya agregat tanah. Pada keadaan ini,
penghancuran agregat tanah dipercepat dengan adanya daya penghancuran
dan daya urai dari air itu sendiri. Hancuran dari agregat tanah ini akan
19
menyumbat pori-pori tanah, sehingga kapasitas infiltrasi akan berkurang.
Sebagai akibat lebih lanjut, akan mengalir di permukaan tanah, yang disebut
sebagai limpasan permukaan tanah (run off). Air yang mengalir pada
permukaan kulit bumi ini mempunyai energi untuk mengikis dan mengangkut
partikel-partikel yang telah hancur, baik oleh air hujan maupun oleh adanya
limpasan permukaan itu sendiri.
Pada studi ini besaran erosi dihitung berdasarkan persamaan Modifikasi
USLE :
sed = 11.8 (Qsurf x qpeak x A) K x C x P x LS x CFRG (4.11)
dengan :
sed = sediment yied (ton)
Qsurf = volume limpasan permukaan (mm/ha)
Qpeak = debit puncak (m3/det)
A = luas DAS (ha)
K = erodibilitas tanah
C = faktor tanaman
P = faktor pengelolaan lahan
LS = faktor lereng
CFRG = faktor kekasaran material tanah
4.2.1.3 Nutrients/Pestisida
4.2.1.3.1 Nitrogen
Siklus nitrogen di dalam tanah adalah bagian dari siklus nitrogen global
yang bisa dikatakan sebagai sebuah ringkasan konsep interaksi perubahan N
secara kimia, fisika, dan biologi di dalam tanah.
Tampak pada Gambar 4.7, perubahan N terjadi karena reaksi-reaksi
berikut :
a. siklus perubahan N dalam bentuk organik dan anorganik (mineralization and
immobilization)
b. hilangnya gas N ke atmosfer (ammonia volatilization and denitrification)
c. hilangnya N karena pergerakan air dalam tanah (leaching and erosion)
d. dan Fiksasi N biologis (biological N fixation)
20
Mikro-oganisme di dalam tanah mempunyai peranan penting dalam
banyak proses perubahan reaksi siklus nitrogen dalam tanah.
Gambar 4.7 Siklus Nitrogen
Nitrogen (N) adalah elemen yang paling penting yang dibutuhkan
tanaman dan yang paling sulit diatur dari semua elemen nutrisi tumbuhan
lainnya. Tanaman membutuhkan nitrogen lebih banyak dari elemen-elemen
penting lain yang dibutuhkan oleh suatu tanaman, tidak termasuk karbon,
oksigen, dan hidrogen.
Nitrogen adalah elemen yang sangat dinamis. Ia mampu merubah
dirinya bersenyawa dengan elemen lain dan menghasilkan suatu elemen baru.
Kemampuan merubah diri baik secara biokimia maupun kimia melalui
serangkaian proses disebut dengan Siklus Nitrogen. Perubahan N biasanya
melibatkan proses oksidasi (pengurangan elektron) dan reduksi (penambahan
elektron) oleh atom N.
21
Teroksidasi +5 NO3- Nitrat
+4 NO2 Nitrogen dioksida
+3 NO2- Nitrit
+2 NO Nitrogen monoksida
+1 N2O Nitrogen oksida
0 N2 Gas N2 atau N Elemental
-1 NH4OH Hidroxilamin
-2 N2H4 Hidrosin
Terreduksi -3 NH3 /NH4 Gas ammonia atau ammonium
SWAT menunjukkan lima ragam bentuk nitrogen di dalam tanah
(Gambar 4.7). Dua bentuk adalah nitrogen dalam bentuk inorganik (mineral);
NH4+ dan NO3-, dan tiga selebihnya adalah nitrogen dalam bentuk organik.
Nitrogen organik murni dihubungkan dengan residu tanaman dan biomasa
mikro sementara nitrogen organik aktif dan stabil dihubungkan dengan humus
tanah. Nitrogen organik yang dihubungkan dengan humus dibagi menjadi dua
kolom untuk menghitung kemampuan perubahan humus ke mineral (Gambar
4.8).
Gambar 4.8 Bentuk Nitrogen dalam Tanah dan Proses Perubahan Bentuk
4.2.1.3.2 Tingkatan Nitrogen Dalam Tanah
Di dalam aplikasi SWAT, bisa ditentukan jumlah nitrat dan nitrogen
organik yang terkandung di dalam tanah humus pada semua lapisan tanah
22
pada permulaan simulasi. Jika tidak ditentukan inisial konsentrasi nitrogen,
SWAT akan mengenali tingkat nitrogen pada bentuk-bentuk yang berbeda.
Inisial tingkat nitrogen di dalam tanah di bedakan oleh kedalaman
menggunakan hubungan :
(4.12)
dimana :
= Konsentrasi nitrat di dalam tanah pada kedalaman z (mg/kg atau
ppm)
z = Kedalaman dari permukaan tanah (mm)
Konsentrasi nitrat dengan kedalaman dihitung dengan persamaan 4.12,
ditampilkan berupa grafik pada Gambar 4.9 di bawah.
Gambar 4.9 Konsentrasi Nitrat dengan Kedalaman
Tingkatan nitrogen organik mengasumsikan bahwa perbandingan C:N
untuk bahan humus adalah 14:1. Konsentrasi humus nitrogen organik pada
suatu lapisan tanah dihitung dengan persamaan :
(4.13)
23
dimana :
= Konsentrasi humus nitrogen organik pada lapisan tanah (mg/kg
atau ppm)
= Jumlah karbon organic pada lapisan tanah (%)
Organik N humus dibagi menjadi bentuk aktif dan bentuk stabil
menggunakan persamaan berikut :
orgNact,ly = orgNhum,ly . fractN
orgNsta,ly = orgNhum,ly . (1 - fractN )
dimana :
orgNact,ly = Konsentrasi nitrogen pada bentuk organik aktif (mg/kg)
orgNhum,ly = Konsentrasi humus nitrogen organik pada lapisan (mg/kg)
fractN = Fraksi humus nitrogen dalam bentuk aktif (ditentukan dengan angka
0,02)
orgNsta,ly = Konsentrasi nitrogen dalam bentuk organik stabil (mg/kg)
Nitrogen di dalam bentuk organik baru di set ke angka O pada semua
lapisan kecuali lapisan atas 10 mm dari tanah diset pada 0.15% dari jumlah
inisial residu pada permukaan tanah.
orgNfrsh,surf = 0.0015 . rsdsurf (4.14)
dimana :
orgNfrsh,surf = Nitrogen organik fresh pada lapisan atas 10 mm dari permukaan
tanah (kgN/ha)
rsdsurf = Material di dalam bentuk residu untuk lapisan atas 10 mm dari
permukaan tanah (kg/ha)
Ammonium untuk nitrogen tanah, NH4ly, ditunjukkan pada 0 ppm.
Masukan data nutrient sebagai konsentrasi. Untuk mengkonversi konsentrasi
ke satuan umum, konsentrasi dikalikan kepadatan dan kedalaman lapisan
dibagi 100.
24
(4.15)
dimana :
= Konsentrasi nitrogen pada suatu lapisan (mg/kg atau ppm)
= Kepadatan pada lapisan (mg/m3)
= Kedalaman lapisan (mm)
Tabel 4.1SWAT Variabel Input
Nama
VariabelDefinisi
Input
File
SOL_NO3 NO3conc,ly : Initial NO3 concentration in soil
layer (mg/kg or ppm).CHM
SOL_ORGN orgNhum,ly : Initial humic organic nitrogen in
soil layer (mg/kg or ppm).CHM
RSDIN rsdsurf : Material in the residue pool for the top
10mm of soil (kg ha-1) .HRU
SOL_BDρb : Bulk density of the layer (mg/m3) .Sol
SOL_CBNorgCly : Amount of organic carbon in the layer
(%) .SOL
4.2.1.3.3 Pergerakan Nitrat
Nitrat di dalam tanah diangkut ke dalam aliran dan badan air akibat
peristiwa limpasan, aliran lateral atau perkolasi. Untuk menghitung jumlah nitrat
yang terangkut, konsentrasi nitrat di dalam air yang bergerak diperhitungkan.
(4.16)
dimana :
25
= Konsentrasi nitrat dalam air yang bergerak pada lapisan
tanah (kg N/mm H2O)
NO3ly = Jumlah nitrat pada lapisan tanah (kg N/ha)
wmobile = Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah (mm H2O)
θe = Fraksi porositas anion
SATly = Air yang memenuhi lapisan tanah (mm H2O)
Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah adalah jumlah air yang hilang
oleh limpasan, aliran lateral atau perkolasi.
w mobile = Qsurf + Qlat,ly + w perc,ly (4.17)
untuk lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah
w mobile = Qlat,ly + w perc,ly (4.18)
untuk lapisan lebih dari 10 mm dibawah permukaan tanah.
dimana :
w mobile = Jumlah air yang bergerak pada lapisan tanah (mm H2O)
Qsurf = Debit air limpasan permukaan (mm H2O)
Qlat,ly = Debit air pada lapisan tanah oleh aliran lateral (mm H2O)
w perc,ly = Jumlah air yang terperkolasi (mm H2O)
Nitrat yang terbawa aliran air limpasan permukaan dihitung dengan :
NO3surf = βNO3 . concNO3,mobile . Qsurf (4.19)
dimana :
NO3surf = Nitrat yang terbawa aliran air limpasan (kg N/ha)
βNO3 = Koefisien perkolasi nitrat
concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak pada
lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/mm H2O)
Qsurf = Debit limpasan permukaan (mm H2O)
Nitrat yang terbawa aliran air lateral dalam tanah dihitung dengan :
NO3lat,ly = βNO3 . concNO3,mobile . Qlat,ly (4.20)
untuk lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah
26
NO3lat,ly = concNO3,mobile . Qlat,ly (4.21)
untuk lapisan lebih dari 10 mm dibawah permukaan tanah
dimana :
NO3lat,ly = Nitrat yang terbawa aliran air lateral (kg N/ha)
βNO3 = Koefisien perkolasi nitrat
concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak pada
lapisan 10 mm di bawah permukaan tanah (kg N/mm H2O)
Qlat,ly = Debit aliran air lateral (mm H2O)
Nitrat yang terbawa air karena proses perkolasi dihitung dengan :
NO3perc,ly = concNO3,mobile . Q perc,ly (4.22)
dimana :
NO3perc,ly = Nitrat yang terbawa air karena proses perkolasi (kg N/ha)
concNO3,mobile = Konsentrasi nitrat yang terbawa air yang bergerak (kg
N/mm H2O)
Q perc,ly = Jumlah air yang terperkolasi (mm H2O)
27
4.2.1.3.4 N Organik Pada Aliran Limpasan Permukaan
N organik pada aliran limpasan permukaan dihitung menggunakan
persamaan yang dikembangkan oleh McElroy et al (1976) dan dimodifikasi oleh
Williams & Hann (1978).
(4.23)
dimana :
orgNsurf = Jumlah N organik yang terbawa limpasan (kg N/ha)
concorgN = Konsentrasi N organik pada lapisan 10 mm di bawah
permukaan tanah (kg N/metrik ton tanah)
sed = Jumlah sedimen (metrik ton)
areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)
εN:sed = Perbandingan Norganik : sedimen
Konsentrasi N organik pada lapisan permukaan tanah dihitung dengan :
(4.24)
dimana :
orgNsurf = N organik dalam fresh pool pada lapisan 10 mm di bawah
permukaan tanah (kg N/ha)
concorgN = Konsentrasi N organik dalam stable pool pada lapisan 10
mm di bawah permukaan tanah (kg N/ha)
ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m3)
depthsurf = Kedalaman lapisan tanah (10mm)
4.2.1.3.5 Perbandingan Antara konsentrasi N Organik dan Sedimen
Ketika aliran limpasan permukaan mengalir di atas muka tanah,
sebagian energi air digunakan untuk mengangkut partikel-partikel tanah.
Partikel yang kecil lebih mempunyai berat yang ringan dan mudah diangkut
daripada partikiel yang besar. Ketika distribusi ukuran partikel dari sedimen
yang terangkut dibandingkan dengan lapisan tanah permukaan, muatan
sedimen menuju aliran air utama memiliki porsi yang lebih besar dari ukuran
partikel lempung. Dengan kata lain, muatan sedimen diperbesar dalam partikel
28
lempung. N organik dalam tanah disertakan dalam partikel koloid (lempung),
sehingga porsi atau konsentrasi muatan sedimen akan bertambah besar pada
lapisan tanah permukaan.
Perbandingan antara konsentrasi N organik yang terangkut dengan
sedimen pada lapisan tanah permukaan ini dihitung menggunakan persamaan
yang dijelaskan oleh Menzel (1980)
(4.25)
dimana :
εN:sed = Perbandingan Norganik : sedimen
concsed,surq = Konsentrasi sedimen pada limpasan permukaan (mg
sed/m3 H2O)
Konsentrasi sedimen pada limpasan permukaan dihitung dengan :
(4.26)
dimana :
sed = Sedimen (metrik ton)
areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)
Qsurf = Debit aliran limpasan permukaan (mm H2O)
4.2.1.4 Pergerakan Phosphor Terlarut
Mekanisme utama dari pergerakan phosphor di dalam tanah adalah
disebabkan oleh difusi. Difusi adalah perpindahan ion dalam jarak pendek (1 –
2mm) dalam larutan tanah sebagai hasil sebuah gradien prosentasi. Mengacu
pada pergerakan phosphor yang lambat, limpasan permukaan hanya akan
berinteraksi dengan kandungan phosphor yang berada pada lapisan tanah 10
mm dibawah permukaan tanah. Jumlah kandungan phosphor yang terangkut
pada limpasan permukaan adalah dihitung dengan persamaan berikut:
(4.27)
dimana :
Psurf = Jumlah phosphor terlarut yang terbawa limpasan (kg P/ha)
Psolution, surf = Jumlah phosphor pada lapisan tanah 10 mm dibawah
permukaan tanah (kg P/ha)
29
Qsurf = Debit aliran limpasan permukaan (mm H2O)
ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m3)
depthsurf = Kedalaman lapisan tanah (10mm)
kd, surf = Koefisien tanah phosphor (m3/mg)
Koefisien tanah phosphor adalah perbandingan dari konsentrasi
phosphor terlarut pada lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah dengan
konsentrasi phosphor yang terlarut pada alairan limpasan permukaan.
4.2.1.5 P Organik & Mineral Yang Menyertai Sedimen Pada Limpasan
Permukaan
P Organik dan mineral yang menyertai sedimen pada limpasan
permukaan menuju aliran sungai utama untuk phosphor ini dihubungkan
dengan muatan sedimen dari unit respon hidrologi dan perubahan muatan
sedimen akan direfleksikan dalam bentuk muatan phosphor. Jumlah phosphor
yang terangkut sedimen menuju aliran sungai dihitung dengan persamaan
fungsi muatan yang dikembangkan oleh McElroy et al. (1976) dan dimodifikasi
oleh William & Hann (1978).
(4.28)
dimana :
seDASurf = Jumlah phosphor terangkut bersama sedimen menuju
aliran utama dalam limpasan permukaan (kg P/ha)
concsedP = Konsentrasi phosphor yang menyertai sedimen pada
lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah (g P/metrik ton
tanah)
sed = Sedimen (metrik ton)
areahru = Area unit respon hidrologi/daerah tangkapan (ha)
εP:sed = Perbandingan P organik : sedimen
Konsentrasi phosphor yang menyertai sedimen pada permukaan tanah dihitung
dengan :
30
(4.29)
dimana :
conc sedP = Jumlah phosphor dalam bentuk mineral aktif pada lapisan
10 mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)
minP act,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk aktif mineral pada lapisan
10mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)
minP sta,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk stabil mineral pada lapisan
10mm dibawah permukaan tanah (kg P/ha)
orgP fish,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk fresh organik pada lapisan
10 mm dibawah permukaan tanah
orgP hum,surf = Jumlah phosphor dalam bentuk humus organik pada
lapisan 10 mm dibawah permukaan tanah
ρb = Kerapatan tanah pada lapisan tanah pertama (mg/m3)
depth surf = Kedalaman lapisan tanah (10mm)
4.2.2 Pola Penyebaran Polutan di Sungai
4.2.2.1 Proses Di Sungai
Aliran air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dapat diklasifikasikan
dalam dua kategori yaitu aliran yang terjadi di lahan (overland flow) dan aliran
yang terjadi di sungai. Perbedaan yang utama dari kedua jenis aliran tersebut
adalah dimana pada proses aliran di sungai mempertimbangkan aliran dasar
(base flow) dan pengaruh dari laju debit. SWAT memodelkan proses aliran di
sungai yang mencakup pergerakan air, sedimen dan konstituen pollutant
(nutrients, pesticides dll) dalam jaringan sungai, siklus nutrisi di sungai (in-
stream nutrient cycling) dan transformasi pestisida di dalam sungai (in-stream
pesticide transformations).
4.2.2.2 Penelusuran Debit (Water Routing)
31
Saluran terbuka adalah saluran dengan aliran yang muka air nya bebas,
seperti aliran pada sungai atau pada pipa yang tidak penuh. SWAT
menggunakan persamaan Manning untuk menghitung debit dan kecepatan
aliran air. Penelusuran debit pada sungai menggunakan pendekatan dengan
metode variable storage routing atau metode Muskingum river routing. Kedua
metode tersebut merupakan variasi dari metode kinematic wave model.
Karakteristik Saluran
SWAT mengasumsikan bentuk penampang saluran sungai dengan
bentuk trapesium seperti Gambar 4.10.
Gambar 4.10 Penampang Sungai Trapesium
User diharuskan untuk menentukan lebar dan kedalaman dari saluran
ketika penuh sampai permukaan tanggul maupun panjang saluran, kemiringan
sepanjang saluran dan nilai koefisien n dari Manning. SWAT mengasumsikan
bahwa sisi saluran memiliki perbandingan penampang saluran sebesar 2:1 (Zch
= 2). Kemiringan dari sisi saluran adalah ½ atau 0,5. Lebar dasar saluran
dihitung dari lebar dan kedalaman penuh dengan persamaan :
(4.30)
dimana :
Wbtm = Lebar dasar saluran (m),
Wbnkfull = Lebar atas saluran ketika penuh terisi air (m),
zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan
depthbnkfull = Kedalaman air ketika penuh sampai puncak tanggul (m).
Karena diasumsikan bahwa zch = 2, ada kemungkinan
untuk perhitungan lebar dasar dengan persamaan (4.31)
menjadi kurang atau sama dengan nol. Jika hal ini terjadi,
32
model tersebut menetapkan Wbtm = 0,5. Wbnkfull dan
menghitung nilai baru untuk kemiringan sisi saluran dengan
menggunakan persamaan (4.31) untuk zch:
(4.31)
Untuk kedalaman air saluran yang diketahui, lebar saluran pada
permukaan air adalah :
(4.32)
dimana :
W = Lebar saluran pada permukaan air (m)
Wbtm = Lebar dasar saluran (m)
zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan
depth = Kedalaman air pada saluran (m)
Luas penampang melintang aliran dihitung dengan :
(4.33)
dimana :
Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran (m2),
Wbtm = Lebar dasar saluran (m),
zch = Faktor kemiringan penampang saluran, dan
depth = Kedalaman air pada saluran (m).
Perimeter basah dari saluran ditentukan dengan :
(4.34)
dimana :
Pch = Perimeter basah kedalaman aliran yang ditentukan (m)
Jari-jari hidrolik dari saluran dihitung dengan :
(4.35)
dimana :
Rch = Jari-jari hidrolik untuk kedalaman aliran yang ditentukan,
33
Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran (m2),
dan
Pch = Perimeter basah untuk kedalaman aliran yang diketahui
(m). Volume air yang ada di dalam saluran adalah :
(4.36)
dimana :
Vch = Volume air yang ada dalam saluran (m3),
Lch = Panjang saluran (km), dan
Ach = Luas penampang melintang aliran di dalam saluran untuk
kedalaman yang ditentukan (m2).
Ketika volume air melampaui jumlah maksimum yang ditampung oleh
saluran, limpahan air akan menyebar ke dataran banjir. Dimensi dataran banjir
yang digunakan oleh SWAT ditunjukkan dalam Gambar 4.11.
Gambar 4.11 Ilustrasi Dimensi Dataran Banjir
Lebar dasar dari dataran banjir, Wbtm.fld, adalah Wbtm.fld = 5 . Wbnkfull. SWAT
mengasumsikan perbandingan penampang saluran dari dataran banjir adalah 4
: 1 (zfld = 4). Sehingga kemiringan dari dataran banjir adalah ¼ atau 0,25.
Ketika terjadi aliran pada dataran banjir, perhitungan dari kedalaman
aliran, luas penampang melintang aliran dan perimeter basah adalah jumlah
komponen dari saluran dan dataran banjir:
(4.37)
(4.38)
(4.39)
dimana :
depth = Kedalaman total (m),
depthbnkfull = Kedalaman air dalam saluran ketika penuh sampai puncak
tanggul (m),
34
depthfld = Kedalaman air pada dataran banjir (m),
Ach = Luas penampang melintang saluran untuk kedalaman yang
ditentukan (m2),
Wbtm = Lebar dasar saluran (m),
zch = Faktor kemiringan penampang saluran,
Wbtm.fld = Lebar dasar dataran banjir (m),
zfld = Faktor kemiringan dataran banjir,
Pch = Perimeter basah kedalaman aliran yang ditentukan (m) dan
wbnkfull = Lebar atas saluran ketika penuh dengan air (m).
Tabel 4.2 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Dimensi Saluran
Variabel Definisi Nama File
CH_W(2) wbnkfull : Lebar atas saluran ketika penuh dengan air (m). .rte
CH_Ddepthbnkfull : Kedalaman air dalam saluran ketika penuh
sampai puncak tanggul (m),.rte
CH_L(2) Lch : Panjang Sungai Utama (Km) .rte
4.2.2.3 Debit Aliran dan Kecepatan
Persamaan Manning untuk aliran seragam dalam suatu saluran
digunakan untuk menghitung debit dan kecepatan aliran dalam suatu
bentangan pias saluran dengan persamaan berikut :
(4.40)
(4.41)
dimana :
qch = Debit aliran dalam saluran (m3/s),
Ach = Luas penampang melintang aliran dalam saluran (m2),
Rch = Jari-jari hidrolik untuk suatu kedalaman aliran (m),
slpch = Slope sepanjang saluran (m/m),
n = Koefisen Manning untuk saluran dan
vc = Kecepatan aliran (m/s).
35
SWAT menelusuri air sebagai suatu volume. Nilai harian pada luas
penampang melintang aliran, Ach, dihitung dengan menyusun persamaan 4.36
untuk menentukan luasannya :
(4.42)
dimana :
Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan
kedalaman tertentu (m2),
vch = Volume air yang ada dalam saluran (m3), dan
Lch = Panjang saluran (km). Persamaan 4.33 disusun ulang
untuk menghitung kedalaman aliran untuk waktu tertentu :
(4.43)
dimana :
depth = Kedalaman aliran (m),
Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan
kedalaman tertentu (m2),
Wbtm = Lebar dasar saluran (m), dan
zch = Faktor penampang saluran.
Persamaan 4.43 hanya bisa digunakan jika seluruh air ada di dalam
saluran. Jika volume air yang ada telah memenuhi kapasitas saluran dan
masuk ke dalam dataran banjir, maka perhitungan kedalamannya adalah :
(4.44)
dimana :
depth = Kedalaman aliran (m),
depthbnkfull = Kedalaman air dalam saluran ketika penuh sampai puncak
tanggul (m),
36
Ach = Luas penampang melintang aliran pada saluran dengan
kedalaman tertentu (m2),
Ach.bnkfull = Luas penampang melintang aliran pada saluran ketika
penuh sampai permukaan tanggul (m2),
Wbtm.fld = Lebar dasar dataran banjir (m),
zfld = Faktor kemiringan dataran banjir.
Ketika kedalaman sudah diketahui, maka perimeter basah dan jari-jari
hidrolik dapat dihitung dengan persamaan 4.34 (atau 4.39) dan 4.35 Pada point
ini, semua nilai yang dibutuhkan untuk menghitung debit aliran dan kecepatan
aliran sudah diketahui dan persamaan 4.40 dan 4.41 bisa dipecahkan.
Tabel 4.3 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Debit Aliran
Variabel Definisi Nama File
CH_S(2)slpch : rata-rata Slope sepanjang aluran
(m/m), .rte
CH_N(2) n : koefisen Manning untuk saluran .rte
CH_L(2) Lch : Panjang Sungai Utama (Km) .rte
4.2.2.4 Metode Penelusuran Variabel Tampungan
Metode penelusuran variabel tampungan dikembangkan oleh Williams
(1969) dan digunakan pada model HYMO (Williams dan Hann,1973) dan ROTO
(Arnold et al., 1995).
Untuk suatu bentangan pias yang diketahui, penelusuran tampungan
didasarkan pada persamaan kontinuitas :
(4.45)
dimana :
Vin = Volume inflow selama jangka waktu tertentu (m3 H2O),
Vout = Volume outflow selama jangka waktu tertentu (m3 H2O), dan
Vstored = Perubahan volume tampungan selama jangka waktu tertentu
(m3 H2O).
Persamaan ini dapat dituliskan sebagai berikut :
37
(4.46)
dimana :
t = Lama jangka waktu (s),
qin,1 = Debit inflow pada awal jangka waktu (m3/s),
qin,2 = Debit inflow pada akhir jangka waktu (m3/s),
qout,1 = Debit outflow pada awal jangka waktu,
qout,2 = Debit outflow pada akhir jangka waktu (m3/s),
Vstored,1 = Volume tampungan pada awal jangka waktu (m3 H2O), dan
Vstored,2 = Volume tampungan pada akhir jangka waktu (m3 H2O).
Penyusunan ulang dari persamaan 4.46 sehingga semua variabel yang
diketahui berada di sisi kiri dari persamaan tersebut,
(4.47)
dimana :
qin,ave = Debit inflow rata-rata selama jangka waktu tertentu:
Waktu perambatan dihitung dengan membagi volume air pada saluran dengan
debit aliran.
(4.48)
dimana :
TT = Waktu rambat (s),
Vstored = Volume tampungan (m3 H2O) dan,
qout = Debit lepasan (m3/s).
38
Untuk memperoleh hubungan antara pergerakan waktu dan koefisien
tampungan, persamaan 4.47 disubstitusikan ke dalam persamaan 4.48 :
(4.50)
yang disederhanakan menjadi :
(4.50)
Persamaan ini serupa dengan persamaan metode koefisien :
(4.51)
dimana :
SC = Koefisien tampungan.
Persamaan 4.51 adalah dasar dari metode penelusuran konveks SCS
(SCS, 1964) dan metode Muskingum (Brakensiek,1967; Overton,1966). Dari
persamaan 4.50, koefisien tampungan pada persamaan 4.51 ditentukan
sebagai :
(4.52)
Itu dapat menunjukkan bahwa :
(4.53)
Jika disubstitusikan pada persamaan 4.51 akan menghasilkan :
(4.54)
Untuk menyatakan semua nilai dalam satuan volume, kedua sisi persamaan
dikalikan dengan langkah berikut :
(4.55)
39
4.2.2.5 Metode Penelusuran Muskingum
Metode penelusuran Muskingum memodelkan volume tampungan
sepanjang saluran sebagai kombinasi dari bentuk wedge dan prisma (Gambar
4.12).
Gambar 4.12 Tampungan dalam Bentuk Prisma dan Wedge
Ketika gelombang banjir mendekati suatu bentangan, inflow akan
melebihi outflow dan menghasilkan tampungan wedge. Ketika gelombang banjir
berkurang, outflow akan melampaui inflow pada penampang tersebut dan
wedge negatif terbentuk. Pada penambahan tampungan wedge, bentangan
pias berupa bentuk tampungan prisma dengan suatu volume konstan dari
penampang melintang sepanjang saluran.
Seperti telah ditunjukkan pada persamaan Manning (persamaan 4.40),
luas penampang melintang dari aliran diasumsikan tepat sebanding dengan
debit bentangan pias yang diketahui. Menggunakan asumsi ini, volume dari
tampungan prisma dapat ditunjukkan dengan suatu fungsi debit, K . qout, dimana
K adalah rasio tampungan terhadap debit dan memiliki suatu dimensi waktu.
Dengan cara yang sama, volume dari tampungan wedge dapat dihitung dengan
K . X . (qin – qout), dimana X adalah faktor berat yang mengontrol hubungan
penting dari inflow dan outflow dalam menentukan jangkauan tampungan.
40
Penjumlahan dari persamaan tersebut di atas memberikan suatu nilai total
tampungan :
(4.56)
dimana :
Vstored = Volume tampungan (m3 H2O),
qin = Debit inflow (m3/s),
qout = Debit lepasan (m3/s),
K = Waktu konstan tampungan jangkauan (s) dan X adalah
faktor berat. Persamaan ini dapat disusun menjadi bentuk :
(4.57)
Bentuk ini serupa dengan persamaan 4.51.
Faktor berat, X, memiliki batas bawah 0,0 dan batas atas 0,5. Faktor ini
adalah suatu fungsi dari tampungan wedge. Untuk tipe tampungan Badan Air,
tidak ada wedge dan X = 0,0. Untuk wedge penuh, X = 0,5. Untuk sungai, X
akan berkisar antara 0,0 sampai 0,3 dengan nilai rata-rata mendekati 0,2.
Definisi dari volume tampungan pada persamaan 4.57 dapat dimasukkan
dalam persamaan kontinuitas (persamaan 4.46) dan disederhanakan menjadi :
(4.58)
dimana :
qin,1 = Debit awal inflow (m3/s),
qin,2 = Debit akhir inflow (m3/s),
qout,1 = Debit awal outflow (m3/s),
qout,2 = Debit akhir outflow (m3/s), dan
(4.59)
(4.60)
41
(4.61)
dimana C1 + C2 + C3 = 1. Untuk menunjukkan semua nilai dalam volume unit,
kedua sisi persamaan 4.58 dikalikan dengan :
(4.62)
Untuk menjaga stabilitas numerik dan menghindari perhitungan outflow
negatif, kondisi berikut ini harus ditemui :
(4.63)
Nilai untuk faktor berat, X, dimasukkan oleh user. Nilai dari konstanta
waktu tampungan dihitung dengan :
(4.64)
dimana :
K = Konstanta waktu tampungan untuk bentangan pias (s),
coef1 & coef2 = Koefisien berat yang dimasukkan oleh user,
Kbnkfull = Konstanta waktu tampungan yang dihitung untuk
bentangan pias dengan aliran penuh (s), dan
K0.1bnkfull = Konstanta waktu tampungan yang dihitung untuk seper
sepuluh dari bagian penampang dengan aliran penuh (s).
Untuk menghitung Kbnkfull dan K0.1bnkfull, sebuah persamaan yang dikembangkan
oleh Cunge (1969) dapat digunakan yaitu :
(4.65)
dimana :
K = Konstanta waktu tampungan (s),
Lch = Panjang saluran (km), dan
ck = Kecepatan yang serupa dengan aliran untuk kedalaman
tertentu (m/s). Kecepatan ini adalah suatu kecepatan
42
dengan suatu variasi debit aliran yang melewati saluran.
Hal itu didefinisikan dengan :
(4.66)
Dimana debit aliran, qch, dihitung dengan persamaan Manning. Diferensial dari
persamaan 4.40 mengenai luas penampang melintang memberikan :
(4.67)
dimana :
ck = Kecepatan (m/s),
Rch = Jari-jari hidrolik untuk kedalaman tertentu (m),
slpch = Kemiringan sepanjang saluran (m/m),
n = Koefisien n Manning untuk saluran, dan
vc = Kecepatan aliran (m/s).
Tabel 4.4 Variabel yang Dibutuhkan SWAT pada Metode Penelusuran Muskingum
Variabel Definisi Nama File
MSK_X X ; nilai untuk faktor berat .bsn
MSK_CO1
coef1 : Koefisien berat yang dimasukkan oleh
user, .bsn
MSK_CO2
coef2 : Koefisien berat yang dimasukkan oleh
user, .bsn
4.2.2.6 Kapasitas Tampungan
Besarnya jumlah air yang memasuki tampungan dalam satu hari dihitung
dengan :
(4.68)
43
dimana :
bnkin = Jumlah air yang memasuki tampungan (m3 H2O),
tloss = Kehilangan air akibat perpindahan (m3 H2O) dan
frtrns = Fraksi dari kehilangan air pada bagian akuifer dalam
Kapasitas tampungan memberikan aliran pada saluran utama atau
sampai ke sub basin. Aliran tampungan disimulasikan dengan kurva resesi
yang serupa dengan yang digunakan pada air tanah. Volume air yang
memasuki kapasitas tampungan dihitung dengan :
(4.69)
dimana :
Vbnk = Volume air yang ditambahkan pada pias melalui aliran
kembali dari tampungan (m3 H2O),
bnk = Jumlah total air yang ada pada tampungan (m3 H2O) dan
bnk = Konstanta resesi aliran tampungan atau konstanta
proporsionality
Air dapat bergerak dari tampungan mendekati zona tidak jenuh. SWAT
memodelkan pergerakan air mendekati zona tak jenuh tersebut sebagai fungsi
dari kebutuhan air untuk evaporasi. Untuk menghindari kerancuan dengan
definisi evaporasi tanah dan transpirasi, proses ini disebut dengan ‘revap’.
Proses ini signifikan dalam DAS dimana zona tak jenuh air tidak begitu jauh di
bawah permukaan atau zona dimana akar dalam tanaman tumbuh. ‘Revap’ dari
tampungan dikontrol dengan koefisien revap air tanah yang dijelaskan pada
HRU terakhir pada subbasin.
Jumlah maksimum dari air yang kemudian akan dipindahkan dari
tampungan melalui ‘revap’ pada satu hari adalah :
(4.70)
dimana :
bnkrevap,mx = Jumlah air maksimum yang dipindahkan ke dalam zona tak
jenuh untuk mengganti kekurangan (m3 H2O),
44
rev = Koefisien revap,
Eo = Evaporasi potensial harian (mm H2O),
Lch = Panjang saluran (km), dan
W = Lebar saluran pada permukaan air (m).
Jumlah aktual dari revap yang akan terjadi dalam satu hari diberikan dalam
persamaan berikut :
(4.71)
(4.72)
dimana :
bnkrevap = Jumlah air aktual yang dipindahkan ke dalam zona tak
jenuh untuk mengganti kekurangan air (m3 H2O),
bnkrevap,mx = Jumlah air maksimum yang dipindahkan ke dalam zona tak
jenuh untuk mengganti kekurangan air (m3 H2O), dan
bnk = Jumlah total air yang ada pada tampungan pada
permulaan hari i (m3 H2O).
Tabel 4.5 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Kapasitas Tampungan
Variabel Definisi Nama File
TRNSRCHfrtrns ; Fraksi dari kehilangan air pada
bagian akuifer dalam..bsn
ALPHA_BNK
bnk ; Konstanta resesi aliran
tampungan atau
konstanta proporsionality.
.rte
GW_REVAP rev ; Koefisien revap, .gw
4.2.2.7 Keseimbangan Air Saluran
Kapasitas tampungan air pada bentangan di akhir waktu dihitung dengan
:
(4.73)
dimana :
45
Vstored,2 = Volume air pada bentangan di akhir waktu (m3 H2O),
Vstored,1 = Volume air pada bentangan di awal waktu (m3 H2O),
Vin = Volume air yang mengalir ke dalam bentangan pias selama
jangka waktu tertentu (m3 H2O),
Vout = Volume air yang mengalir ke luar bentangan pias selama
jangka waktu tertentu (m3 H2O),
tloss = Volume air yang hilang dari bagian melalui perpindahan di
dasar (m3 H2O),
Ech = Evaporasi harian (m3 H2O),
div = Volume air yang ditambahkan atau dipindahkan dari bagian
pada satu hari melalui pengalihan (m3 H2O), dan
Vbnk = Volume air yang ditambahkan pada bentangan pias melalui
aliran kembali dari tampungan kapasitas (m3 H2O).
SWAT menentukan perhitungan volume outflow dengan persamaan 4.55
atau 4.62 sebagai jumlah bersih air yang dipindahkan dari pias. Seperti halnya
kehilangan akibat perpindahan, evaporasi dan kehilangan air lainnya pada
bagian tersebut dihitung, jumlah outflow pada bagian selanjutnya dikurangi
dengan jumlah kehilangan. Ketika outflow dan semua kehilangan dijumlahkan,
jumlah total akan sama dengan yang diperoleh dari persamaan 4.55 atau 4.62.
4.2.2.8 In-Stream Nutrient Processes/Proses Nutrien Pada Aliran
Parameter yang mempengaruhi kualitas air dan dapat digolongkan
sebagai indikator polusi termasuk nutrien (zat hara), total zat padat, BOD, nitrat,
dan mikroorganisme (Loehr, 1970; Paine, 1973). Parameter penting sekunder
lainnya antara lain bau, rasa dan kekeruhan (Azevedo dan Stout,1974).
Algoritma kualitas air SWAT pada in-stream yang menggabungkan
komponen interaksi dan hubungan digunakan dalam model QUAL2E (Brown
dan Barnwell,1987). Dokumentasi yang digunakan dalam sub bab ini diambil
dari Brown dan Barnwell (1987). Model transformasi nutrient in-stream memiliki
beberapa ciri model SWAT. Untuk menelusuri pemuatan nutrien pada
downstream tanpa mensimulasi perubahan bentuk (transformasi), variabel IWQ
pada file kode kontrol input (.cod) harus diset menjadi 0. Untuk mengaktifkan
simulasi transformasi nutrient in-stream, variabel ini harus diset menjadi 1.
46
4.2.2.9 ALGA
Pada siang hari, alga meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di
sungai melalui fotosintesis. Pada malam hari, alga mengurangi konsentrasi
tersebut melalui respirasi (pernapasan). Ketika alga tumbuh dan berkembang,
mereka membentuk suatu bagian dalam perputaran nutrient in-stream. Sub bab
ini merangkum persamaan yang digunakan untuk mensimulasi pertumbuhan
alga pada sungai.
Chlorophyll a
Chlorophyll a diasumsikan persis sebanding dengan konsentrasi dari biomassa alga phytoplanktonik.
(4.74)
dimana :
chla = Konsentrasi chlorophyll a (g chla/L),
0 = Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga (g chla/mg alg)
dan
algae = Konsentrasi biomassa alga (mg alg/L).
Pertumbuhan Alga
Pertumbuhan dan pembusukan alga/chlorophyll a dihitung sebagai
fungsi dari laju pertumbuhan, laju respirasi, laju pengendapan dan jumlah alga
yang ada di sungai. Perubahan dari biomassa alga dalam satu hari adalah :
(4.75)
dimana :
algae = Perubahan konsentrasi biomassa alga (mg alg/L),
a = Laju pertumbuhan lokal spesifik dari alga (day-1),
1 = Laju pengendapan lokal alga (m/day),
depth = Kedalaman air pada saluran,
47
algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan
TT = Waktu perambatan pada pias (day). Perhitungan untuk
kedalaman
Laju Pertumbuhan Lokal Spesifik Alga
Laju pertumbuhan lokal spesifik alga adalah suatu fungsi dari
ketersediaan nutrisi yang dibutuhkan, cahaya dan temperatur. SWAT pertama-
tama menghitung laju pertumbuhan pada suhu 20 C dan menyesuaikan laju
pertumbuhan dengan suhu air. User dapat menggunakan tiga pilihan untuk
menghitung dampak/pengaruh nutrien dan cahaya pada pertumbuhan:
kecenderungan bertambah (multiplikasi), nutrien terbatas, dan rata-rata
harmoni.
Option multiplikasi menggandakan faktor pertumbuhan untuk cahaya,
nitrogen dan fosfor secara bersama-sama untuk menentukan efek bersihnya
pada laju pertumbuhan alga lokal. Option ini memiliki dasar biologis dalam efek
multiplikasi dari proses enzym yang terlibat dalam proses fotosintesis :
(4.76)
dimana :
a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),
max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),
FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,
FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan
FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.
Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.
Option nutrien terbatas menghitung laju pertumbuhan alga yang dibatasi
oleh cahaya dan baik nitrogen maupun fosfor. Nutrien/efek cahaya adalah
multiplikatif, sedangkan nutrien/efek nutrien adalah bergantian. Laju
pertumbuhan alga dikontrol oleh nutrien dengan faktor batas pertumbuhan yang
lebih kecil. Pendekatan ini menirukan hukum Liebig untuk perhitungan minimum
:
(4.77)
48
dimana :
a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),
max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),
FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,
FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan
FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.
Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.
Laju pertumbuhan alga dikontrol dengan hubungan multiplikatif antara
cahaya dan nutrien, sementara nutrien/interaksi nutrien dipresentasikan dengan
rata-rata harmonik.
(4.78)
dimana :
a,20 = Laju pertumbuhan lokal spesifik alga pada suhu 20 C (day-1),
max = Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),
FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya,
FN = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap nitrogen, dan
FP = Faktor batas pertumbuhan alga terhadap fosfor.
Laju pertumbuhan spesifik alga maksimum diatur oleh user.
Perhitungan dari faktor batas pertumbuhan terhadap cahaya, nitrogen
dan fosfor direview dalam section berikutnya.
- Faktor Batas Pertumbuhan Alga terhadap Cahaya.
Angka dari hubungan matematis antara fotosintesis dan cahaya telah
dikembangkan. Semua hubungan menunjukkan penambahan tingkat
fotosintesis dengan peningkatan intensitas cahaya sampai batas maksimum
atau nilai kejenuhan. Faktor pembatasan pertumbuhan terhadap cahaya
dihitung menggunakan metode kejenuhan separuh Monod. Pada option ini,
faktor batas pertumbuhan terhadap cahaya didefinisikan dengan persamaan
Monod :
(4.79)
49
dimana :
FLz = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya pada
kedalaman z,
Iphosyn,z = Intensitas cahaya fotosintesis aktif pada kedalaman z di bawah
permukaan air (MJ/m2-hr), dan
KL = sKoefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr).
Intensitas cahaya fotosintesis aktif adalah radiasi dengan panjang
gelombang antara 400 sampai 700 mm. Koefisien kekeruhan separuh untuk
cahaya didefinisikan sebagai intensitas cahaya dimana tingkat pertumbuhan
alga adalah 50% dari tingkat pertumbuhan maksimum. Koefisien kekeruhan
separuh untuk cahaya ditentukan oleh user.
Fotosintesis diasumsikan terjadi di seluruh kedalaman kolom air. Variasi
dari intensitas cahaya dengan kedalaman didefinisikan dengan hukum Beer :
(4.80)
dimana :
Iphosyn,z = Intensitas cahaya fotosintesis aktif pada kedalaman z di bawah
permukaan air (MJ/m2-hr),
Iphosyn,hr = Radiasi solar fotosintesis aktif yang mencapai
tanah/permukaan air selama jam tertentu dalam satu hari
(MJ/m2-hr),
kl = Koefisien pemadaman cahaya (m-1), dan
z = Kedalaman dari permukaan air (m).
Dengan mensubstitusikan persamaan 4.80 ke dalam persamaan 4.79 dan
menggabungkannya kembali dengan kedalaman aliran didapatkan :
(4.81)
dimana :
FL = Faktor peredaman pertumbuhan alga terhadap cahaya pada
kedalaman kolom air,
50
KL = Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr),
Iphosyn,hr = Radiasi solar fotosintesis aktif yang mencapai
tanah/permukaan air selama jam tertentu dalam satu hari
(MJ/m2-hr),
kl = Koefisien pemadaman cahaya (m-1), dan
depth = Kedalaman air dalam saluran (m).
Radiasi solar fotosintesiss aktif dihitung dengan :
(4.82)
dimana :
Ihr = Radiasi solar yang mencapai dasar selama jam tertentu pada
hari simulasi (MJ m-2-h-1), dan
frphosyn = Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif.
Untuk simulasi harian, nilai rata-rata dari faktor peredaman pertumbuhan
alga terhadap cahaya yang dihitung kembali untuk siang hari harus digunakan.
Ini dihitung menggunakan bentuk modifikasi dari persamaan 4.81 :
(4.83)
dimana :
frDL = Fraksi dari jam siang hari,
Iphosyn,hr = Intensitas cahaya fotosintesis aktif rata-rata pada siang hari
(MJ/m2-hr)
Fraksi dari jam siang hari dihitung dengan :
(4.84)
Dimana TDL adalah panjang hari (hr). Iphosyn,hr dihitung dengan :
51
(4.85)
dimana :
frphosyn = Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif,
Hday = Radiasi solar yang mencapai permukaan air pada hari tertentu
(MJ/m2), dan
TDL = Panjang hari (hr).
Koefisien pemadaman cahaya, kl, dihitung sebagai fungsi dari kerapatan
alga menggunakan persamaan nonlinier :
(4.86)
dimana :
kl,0 = Bagian non-alga dari koefisien peredaman cahaya (m-1),
kl,1 = Koefisien linear bayangan sendiri dari alga (m-1 (g-chla/L)-2/3),
kl,2 = Koefisien non linear bayangan sendiri dari alga (m-1
(g-chla/L)-2/3),
0 = Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga (g chla/mg alg)
dan
algae = Konsentrasi biomassa alga (mg alg/L).
Persamaan 4.86 mengijinkan hubungan antara varietas alga, bayangan
sendiri, dan pemadaman cahaya untuk dimodelkan. Jika kl,1 = kl,2 = 0, tidak ada
bayangan sendiri alga yang disimulasikan. Jika kl,1 0 dan kl,2 = 0, model
bayangan sendiri alga adalah linier. Jika k l,1 dan kl,2 diset dengan nilai selain 0,
model bayangan sendiri alga adalah nonlinier. Persaman Riley (Bowie et
al,1985) menentukan kl,1 = 0,0088 m-1 (g-chla/L)-1 dan kl,2 = 0,054 m-1 (g-
chla/L)-1.
- Faktor Batas Pertumbuhan Alga untuk Nitrogen
52
Faktor batas pertumbuhan alga untuk nitrogen didefinisikan dengan
pernyataan Monod. Alga diasumsikan menggunakan ammonia dan nitrat
sebagai sumber nitrogen inorganik.
(4.87)
dimana :
FN = Faktor batas pertumbuhan alga untuk nitrogen,
CN03 = Konsentrasi nitrat pada pias (mg N/L),
CNH4 = Konsentrasi ammonium pada pias (mg N/L), dan
KN = Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk
nitrogen (mg N/L).
Faktor batas pertumbuhan alga untuk fosfor juga didefinisikan dengan
pernyataan Monod.
(4.88)
dimana :
FP = Faktor batas pertumbuhan alga untuk fosfor,
CsolP = Konsentrasi larutan fosfor pada pias (mg P/L), dan
KP = Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk fosfor
(mg P/L).
Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk nitrogen dan
fosfor menentukan konsentrasi dari N atau P dimana pertumbuhan alga dibatasi
sampai dengan 50% dari tingkat pertumbuhan maksimum. User diijinkan untuk
menentukan sendiri nilai-nilai ini. Rentang nilai yang biasa dipergunakan untuk
KN adalah dari 0,01 sampai 0,30 mg N/L sementara KP akan berkisar antara
0,001 sampai 0,05 mg P/L.
53
Jika laju pertumbuhan alga pada suhu 20 C telah dihitung, koefisien
disesuaikan dengan efek temperatur menggunakan tipe formulasi Streeter-
Phelps :
(4.89)
dimana :
a = Laju pertumbuhan spesifik lokal alga (day-1),
a,20 = Laju pertumbuhan spesifik lokal alga pada suhu 20 C (day-1),
dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).
Laju Respirasi Lokal pada Alga
Laju respirasi pada alga menunjukkan efek bersih dari tiga proses:
respirasi alga yang dihasilkan oleh tubuh, konversi dari fosfor alga ke fosfor
organik, dan konversi dari nitrogen alga ke nitrogen organik. User menentukan
laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C. Laju respirasi tersebut ditambahkan
pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.90)
dimana :
a = Laju respirasi lokal alga (day-1),
a,20 = Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).
Laju Pengendapan Lokal Alga
Laju pengendapan lokal alga dianggap mewakili pemindahan bersih alga
sehubungan dengan proses pengendapan itu sendiri. User menentukan laju
pengendapan lokal alga pada suhu 20 C. Laju pengendapan tersebut
ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
54
(4.91)
dimana :
1 = Laju pengendapan lokal alga (m/day),
1,20 = Laju pengendapan lokal alga pada suhu 20 C (m/day), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).
Tabel 4.6 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Pertumbuhan Alga
Variabel Definisi Nama File
AI00 ; Rasio dari chlorophyll a dan biomassa alga (g chla/mg alg)
.wwq
MUMAXmax ; Laju pertumbuhan alga spesifik maksimum (day-1),
.wwq
K_LKL ; Koefisien kekeruhan separuh untuk cahaya (MJ/m2-hr),
.wwq
TFACTfrphosyn ; Fraksi dari radiasi solar yaitu fotosintesis aktif
.wwq
LAMBDA0kl,0 ; Bagian non-alga dari koefisien peredaman cahaya (m-1),
.wwq
LAMBDA1kl,1 ; Koefisien linear bayangan sendiri dari alga (m-1 (g-chla/L)-2/3),
.wwq
LAMBDA2kl,2 ; Koefisien non linear bayangan sendiri dari alga (m-1 (g-chla/L)-2/3),
.wwq
K_NKN ; Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk nitrogen (mg N/L).
.wwq
K_PKP ; Konstanta kekeruhan separuh Michaelis-Menton untuk fosfor (mg P/L).
.wwq
RHOQa,20 ; Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1),
.wwq
RS11,20 = Laju pengendapan lokal alga pada suhu 20 C (m/day)
.swq
55
4.2.2.10 DAUR NITROGEN
Pada air aerobik, terjadi suatu perubahan bentuk (transformasi) bertahap
dari nitrogen organik menjadi ammonia, menjadi nitrit, dan akhirnya menjadi
nitrat. Nitrogen organik dapat juga dipindahkan dari sungai melalui
pengendapan. Sub bab ini merangkum persamaan yang digunakan untuk
mensimulasi daur nitrogen di sungai.
Nitrogen Organik
Besarnya nitrogen organik di sungai dapat meningkat karena konversi
dari nitrogen biomassa alga menjadi nitrogen organik. Konsentrasi nitrogen
organik di sungai dapat berkurang karena konversi dari nitrogen organik
menjadi NH4+ atau pengendapan dari nitrogen organik bersama sedimen.
Perubahan dari nitrogen organik dalam satu hari adalah :
(4.92)
dimana :
orgNstr = Perubahan konsentrasi nitrogen organik (mg N/L),
1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg
biomass),
a = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),
algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),
N,3 = Konstanta tingkat hidrolisa dari nitrogen organik menjadi
nitrogen ammonia (koefisien laju oksidasi ammnonia) (day-1),
orgNstr = Konsentrasi nitrogen organik pada awal hari (mg N/L),
4 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik (day-1), dan
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen ditentukan oleh user.
Persamaan 4.90 mendeskripsikan perhitungan dari tingkat respirasi lokal dari
alga.
User menentukan konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi
NH4+ pada suhu 20 C. Laju hidrolisa dari nitrogen organik ditambahkan pada
temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
56
(4.93)
dimana :
N,3 = Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+
(day-1),
N,3,20 = Konstanta laju hidrolisa lokal dari nitrogen organik menjadi
NH4+ pada suhu 20 C (day-1), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).
User menentukan koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada
suhu 20 C. Laju pengendapan nitrogen organik ditambahkan pada temperatur
air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.94)
dimana :
4 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik (day-1),
4,20 = Koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada suhu 20 C
(day-1), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut ( C).
Ammonia
Besarnya jumlah ammonia (NH4+) pada sungai dapat meningkat karena
mineralisasi dari nitrogen organik dan difusi dari amonia dari sedimen di dasar
sungai. Konsentrasi amonia di sungai dapat menurun karena konversi dari NH4+
menjadi NO-2 atau penyerapan NH4
+ oleh alga. Perubahan kadar amonia dalam
satu hari dihitung dengan :
(4.95)
dimana :
57
NH4str = Perubahan konsentrasi amonia (mg N/L),
N,3 = Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+
(day-1),
orgNstr = Konsentrasi nitrogen organik di awal hari (mg N/L),
N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),
NH4str = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),
3 = Laju benthos/sedimen untuk amonia (mg N/m2-day),
depth = Kedalaman air pada saluran (m),
frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,
1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg
biomass),
a = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),
algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
Konstanta laju hidrolisa dari nitrogen organik menjadi NH4+ dihitung
dengan persamaan 4.93.
Konstanta laju oksidasi biologi nitrogen amonia akan berubah sebagai
fungsi dari konsentrasi oksigen in-stream dan temperatur. Konstanta laju
tersebut dihitung dengan :
(4.96)
dimana :
N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),
N,1,20 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia pada suhu
20 C (day-1),
Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
Syarat kedua dari sisi kanan persamaan 4.96, , adalah faktor
koreksi penghambatan nitrifikasi. Faktor ini menghambat proses nitrifikasi pada
konsentrasi oksigen terlarut rendah.
58
User menentukan laju sumber sedimen amonia pada suhu 20 C. Laju
sumber sedimen nitrogen amonia ditambahkan pada temperatur air lokal
menggunakan hubungan berikut :
(4.97)
dimana :
3 = Laju benthos/sedimen untuk amonia (mg N/m2-day),
3,20 = Laju benthos/sedimen untuk nitrogen amonia pada suhu 20 C
(mg N/m2-day), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
Fraksi nitrogen alga yang terambil dari kolam amonia dihitung dengan :
(4.98)
dimana :
frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,
fNH4 = Faktor kecenderungan nitrogen amonia,
NH4str = Konsentrasi amonia di sungai (mg N/L), dan
NO3str = Konsentrasi nitrat di sungai (mg N/L).
Nitrit
Besarnya jumlah nitrit (NO-2) di sungai dapat meningkat karena konversi
dari NH4+ menjadi NO-
2 dan menurun karena konversi dari NO-2 menjadi NO-
3.
Konversi dari NO-2 menjadi NO-
3 terjadi lebih cepat dari konversi dari NH4+
menjadi NO-2, sehingga jumlah nitrit yang ada di sungai biasanya sangat kecil.
Perubahan kadar nitrit dalam satu hari dihitung dengan:
(4.99)
dimana :
NO2str = Perubahan konsentrasi nitrit (mg N/L),
N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),
59
NH4str = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),
N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),
NO2str = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), dan
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
Konstanta laju oksidasi biologi lokal dari nitrogen amonia dihitung
dengan persamaan 4.96. Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat
akan berubah sebagai fungsi dari konsentrasi oksigen in-stream dan
temperatur. Konstanta laju tersebut dihitung dengan :
(4.100)
dimana :
N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),
N,2,20 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat pada
suhu 20 C (day-1),
Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
Syarat kedua dari sisi kanan persamaan 4.100, ,
adalah faktor koreksi penghambatan nitrifikasi. Faktor ini menghambat proses
nitrifikasi pada konsentrasi oksigen terlarut rendah.
Nitrat
Besarnya jumlah nitrat di sungai dapat meningkat karena oksidasi NO-2.
Konsentrasi nitrat di sungai dapat berkurang karena pengambilan NO-3 oleh
alga. Perubahan kadar nitrat dalam satu hari dihitung dengan :
(4.101)
dimana :
NO3str = Perubahan konsentrasi nitrat (mg N/L),
N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),
NO2str = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L),
frNH4 = Fraksi pengambilan nitrogen alga dari kolam amonia,
60
1 = Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg
biomass),
a = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),
algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
Tabel 4.7 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Pertumbuhan Alga
Variabel Definisi Nama File
AI1 1; Fraksi dari biomassa alga yaitu nitrogen (mg N/mg alg biomass)
.wwq
RHOQa,20 ; Laju respirasi lokal alga pada suhu 20 C (day-1),
.wwq
BC3N,3,20 ; Konstanta laju hidrolisa lokal dari nitrogen organik menjadi NH4+ pada suhu 20 C (day-1),
.swq
RS44,20;Koefisien laju pengendapan nitrogen organik pada suhu 20 C (day-1),
.swq
BC1N,1,20 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia pada suhu 20 C (day-1),
.swq
RS33,20;Laju benthos/sedimen untuk nitrogen amonia pada suhu 20 C (mg N/m2-day),
.swq
P_NfNH4 ; Faktor kecenderungan nitrogen amonia,
.wwq
BC2N,2,20 ; Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat pada suhu 20 C (day-1),
.swq
4.2.2.11 Daur Fosfor
Daur fosfor serupa dengan daur nitrogen. Pembusukan alga
menyebabkan perubahan bentuk (transformasi) dari fosfor alga menjadi fosfor
61
organik. Fosfor organik dimineralisasi menjadi fosfor terlarut yang tersedia
untuk pengambilan oleh alga. Fosfor organik juga dapat dipindahkan dari
sungai melalui pengendapan. Bagian ini merangkum persamaan yang
digunakan untuk mensimulasi daur fosfor di sungai.
Fosfor Organik
Besarnya jumlah dari fosfor organik di sungai dapat meningkat karena
konversi dari fosfor biomasssa alga menjadi fosfor organik. Konsentrasi fosfor
organik di sungai dapat menurun karena konversi dari fosfor organik menjadi
fosfor inorganik terlarut atau pengendapan dari fosfor organik oleh sedimen.
Perubahan kadar fosfor organik dalam satu hari dihitung dengan :
(4.102)
dimana :
orgPstr = Perubahan konsentrasi fosfor (mg N/L),
2 = Fraksi dari biomassa alga yaitu fosfor (mg N/mg alg biomass),
a = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),
algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),
P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),
orgPstr = Konsentrasi fosfor organik di awal hari (mg P/L),
5 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik (day-1), dan
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
User diharuskan untuk menentukan konstanta laju mineralisasi lokal dari
fosfor organik pada suhu 20 C. Laju mineralisasi fosfor organik ditambahkan
pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.103)
dimana :
P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),
P,4,20 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik pada suhu 20 C
(day-1), dan
62
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
User diharuskan untuk menentukan konstanta laju pengendapan lokal
dari fosfor organik pada suhu 20 C. Laju pengendapan fosfor organik
ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.104)
dimana :
5 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik (day-1),
5,20 = Koefisien laju pengendapan fosfor organik pada suhu 20 C
(day-1),
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
Inorganik/Fosfor Terlarut
Besarnya jumlah dari fosfor inorganik terlarut di sungai dapat meningkat
karena mineralisasi fosfor organik dan difusi dari fosfor inorganik dari sedimen
di dasar sungai. Konsentrasi dari fosfor terlarut dapat berkurang karena
pengambilan P inorganik oleh alga. Perubahan dari kadar fosfor terlarut dalam
satu hari dihitung dengan :
(4.105)
dimana :
solPstr = Perubahan konsentrasi fosfor terlarut (mg N/L),
P,4 = Konstanta laju mineralisasi dari fosfor organik (day-1),
orgPstr = Konsentrasi fosfor organik di awal hari (mg P/L),
2 = Laju sumber sedimen untuk P terlarut (mg P/m2-day),
depth = Kedalaman air di saluran (m),
2 = Fraksi dari biomassa alga yaitu fosfor (mg P/mg alg biomass),
a = Laju pertumbuhan lokal alga (day-1),
algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L), dan
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
63
. User diharuskan untuk menentukan konstanta sumber sedimen untuk P
terlarut pada suhu 20 C. Konstanta sumber sedimen untuk P terlarut
ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.106)
dimana :
2 = Laju sumber sedimen untuk P terlarut (mg P/m2-day),
2,20 = Laju sumber sedimen untuk P terlarut terlarut pada suhu 20 C
(mg P/m2-day), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
Tabel 4.8 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Perubahan
Konsentrasi Fosfor
4.2.2.12 Carbonaceous Biological Oxygen Demand
Carbonaceous oxygen demand (CBOD) dari air adalah besarnya
oksigen yang dibutuhkan untuk menyusun ulang material organik dalam air.
CBOD ditambahkan di sungai bersama dengan pemuatan dari limpasan
permukaan atau ujung sumber. Di dalam sungai, dua proses dimodelkan yang
mempengaruhi level CBOD, yang keduanya berfungsi untuk mengurangi
carbonaceous oxygen demand ketika air bergerak menuju downstream.
Perubahan kadar CBOD di dalam sungai dalam satu hari dihitung dengan :
64
(4.107)
dimana :
cbod = Perubahan kadar konsentrasi CBOD (mg CBOD/L),
k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1),
cbod = Konsentrasi carbonaceous oxygen demand (mg CBOD/L),
k3 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD (day-1), dan
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
User diharuskan untuk menentukan laju deoksigenasi carbonaceous
pada suhu 20 C. Laju deoksigenasi CBOD ditambahkan pada temperatur air
lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.108)
dimana :
k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1),
k1,20 = Laju deoksigenasi CBOD pada suhu 20 C (day-1), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
User diharuskan untuk menentukan laju kehilangan akibat pengendapan
dari CBOD pada suhu 20 C. Laju kehilangan akibat pengendapan ditambahkan
pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.109)
dimana :
k3 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD (day-1),
k3,20 = Laju kehilangan akibat pengendapan dari CBOD pada suhu
20 C (day-1), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
Tabel 4.9 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Kadar
Konsentrasi CBOD
65
4.2.2.13 Oksigen
Konsentrasi oksigen terlarut yang cukup adalah suatu kebutuhan
mendasar untuk ekosistem akuatik yang sehat. Konsentrasi oksigen terlarut di
sungai adalah suatu fungsi dari reareasi atmosfir, fotosintesis, respirasi
tanaman dan hewan, kebutuhan sedimen, BOD, nitrifikasi, salinitas dan
temperatur. Perubahan kadar konsentrasi oksigen terlarut dalam satu hari
dihitung dengan :
(4.110)
dimana :
Oxstr = Perubahan kadar konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/L),
k2 = Laju aerasi untuk difusi Fickian (day-1),
Oxsat = Konsentrasi oksigen saturasi (mg O2/L),
Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L),
3 = Laju produksi oksigen per unit dari fotosintesa alga (mg O2/mg
alg),
a = Respirasi lokal atau laju pembusukan alga (day-1),
algae = Konsentrasi biomassa alga pada awal hari (mg alg/L),
k1 = Laju deoksigenasi CBOD (day-1),
cbod = Konsentrasi carbonaceous oxygen demand (mg CBOD/L),
k4 = Laju kebutuhan oksigen sedimen (mg O2/(m2.day)),
depth = Kedalaman air dalam saluran (m),
5 = Laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NH4+ (mg O2/mg
N),
N,1 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrogen amonia (day-1),
NH4str = Konsentrasi amonia di awal hari (mg N/L),
66
6 = Laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NO-2 (mg O2/mg
N),
N,2 = Konstanta laju oksidasi biologi dari nitrit menjadi nitrat (day-1),
NO2st = Konsentrasi nitrit di awal hari (mg N/L), dan
TT = Waktu rambat aliran pada bentangan pias (day).
User menentukan laju produksi oksigen per unit fotosintesa alga, laju
oksigen yang ditangkap respirasi alga per unit, laju oksigen yang ditangkap per
unit oksidasi NH4+, laju oksigen yang ditangkap per unit oksidasi NO-2.
Konstanta laju oksidasi biologi dari NH4+ dihitung dengan persamaan
4.96 sedangkan konstanta laju oksidasi NO-2 dihitung dengan persamaan
4.100. Laju deoksigenasi CBOD dihitung dengan persamaan 4.108.
User diharuskan untuk menentukan kebutuhan oksigen sedimen pada
suhu 20 C. Kebutuhan oksigen sedimen ditambahkan pada temperatur air lokal
menggunakan hubungan berikut :
(4.111)
dimana :
k4 = Laju kebutuhan oksigen sedimen (mg O2/(m2.day)),
k4,20 = Laju kebutuhan oksigen sedimen pada suhu 20 C
(mg O2/(m2.day)), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
Konsentrasi Kejenuhan Oksigen
Besarnya jumlah dari oksigen yang dapat larut dalam air adalah fungsi
dari temperatur, konsentrasi zat padat terlarut, dan tekanan atmosfir. Suatu
persamaan yang dikembangkan oleh APHA (1985) digunakan untuk
menghitung konsentrasi kejenuhan oksigen terlarut:
67
(4.112)
dimana :
Oxsat = Konsentrasi kejenuhan oksigen seimbang pada 1,00 atm (mg
O2/L),
Twat,K = Temperatur air dalam Kelvin (273,15 + C).
Reaerasi
Reaerasi terjadi dari difusi oksigen dari atmosfir ke dalam sungai dan
oleh pencampuran air dan udara yang terjadi selama aliran turbulen.
Reaerasi oleh Difusi Fickian
Pengguna menentukan laju reaerasi pada suhu 20 C. Laju reaerasi
ditambahkan pada temperatur air lokal menggunakan hubungan berikut :
(4.113)
dimana :
k2 = Laju reaerasi (day-1),
k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1), dan
Twater = Temperatur air rata-rata pada hari tersebut (C).
Metode numerus telah dikembangkan untuk menghitung laju reaerasi pada
suhu 20 C, k2,20. Beberapa metode diantaranya ada di bawah ini. Brown dan
Barnwell (1987) memberikan beberapa metode tambahan.
Dengan menggunakan pengukuran, Churchill, Elmore dan Buckingham
(1962) menjabarkan hubungan berikut :
(4.114)
dimana :
68
k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),
vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan
depth = Kedalaman rata-rata sungai (m).
O’Connor dan Dobbins (1958) mengembangkan karakteristik aliran
sungai turbulen menjadi suatu persamaan. Untuk sungai dengan kecepatan
aliran rendah dan kondisi isotropik, berlaku
(4.115)
dimana :
k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),
Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day),
vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan
depth = Kedalaman rata-rata sungai (m).
Untuk sungai dengan kecepatan aliran tinggi dan kondisi non isotropik
berlaku:
(4.116)
dimana :
k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),
Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day),
slp = Kemiringan dasar sungai (m/m), dan
depth = Kedalaman rata-rata sungai (m).
Koefisien difusi molekuler dihitung dengan persamaan:
(4.117)
dimana :
Dm = Koefisien difusi molekuler (m2/day), dan
Twater = Temperatur air rata-rata (C).
Owens et al. (1964) mengembangkan suatu persamaan untuk
menentukan laju aerasi daerah dangkal, aliran bergerak cepat dimana
69
kedalaman sungai adalah antara 0,1 sampai 3,4 m dan kecepatannya berkisar
antara 0,03 sampai 1,5 m/s.
(4.118)
dimana :
k2,20 = Laju reaerasi pada suhu 20 C (day-1),
vc = Kecepatan rata-rata aliran sungai (m/s), dan
depth = Kedalaman rata-rata sungai (m).
Reaerasi Oleh Aliran Turbulen Pada Dam
Reaerasi akan terjadi jika air jatuh melewati suatu dam, bendung atau
struktur bangunan lain di sungai. Untuk mensimulasi bentuk reaerasi ini,
sebuah ‘struktur’ garis perintah ditambahkan pada file konfigurasi watershed
(.fig) pada setiap titik sepanjang sungai dimana aliran melewati suatu bangunan
terjadi.
Besarnya jumlah dari reaerasi yang terjadi adalah fungsi dari defisit
oksigen di atas struktur bangunan dan koefisien reaerasi:
(4.119)
dimana :
Oxstr = Perubahan konsentrasi oksigen terlarut (mg O2/L),
Da = Defisit oksigen di atas bangunan (mg O2/L),
Db = Defisit oksigen di bawah bangunan (mg O2/L), dan
rea = Koefisien reaerasi.
Defisit oksigen di atas bangunan, Da dihitung dengan:
(4.120)
dimana :
Oxsat = Konsentrasi oksigen jenuh seimbang (mg O2/L), dan
70
Oxstr = Konsentrasi oksigen terlarut di sungai (mg O2/L).
Butts dan Evans (1983) mendokumentasikan hubungan berikut yang
dapat digunakan untuk menentukan koefisien reaerasi:
(4.121)
dimana :
rea = Koefisien reaerasi,
coefa = Faktor empiris kualitas air,
coefb = Koefisien aerasi dam empiris,
hfall = Tinggi air jatuh (m), dan
Twater = Temperatur air rata-rata (C).
Faktor empiris kualitas air ditunjukkan dengan nilai yang didasarkan
pada kondisi sungai:
coefa = 1,80 pada air bersih
coefa = 1,60 pada air terpolusi sebagian
coefa = 1,00 pada air terpolusi sedang
coefa = 0,65 pada air terpolusi berat
Koefisien aerasi dam empiris ditunjukkan dengan nilai yang didasarkan
pada kondisi sungai:
coefb = 0,70 sampai 0,90 untuk bidang puncak bendung datar
coefb = 1,05 untuk puncak bendung tajam dengan kemiringan
permukaan lurus
coefb = 0,80 untuk puncak bendung tajam dengan permukaan vertikal
coefb = 0,05 untuk sluice gate dengan debit tenggelam
Tabel 4.10 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk Menghitung Konsentrasi
Oksigen
71
4.2.3 Pola Penyebaran Polutan di Waduk
4.2.3.1 Nutrients In Water Bodies
SWAT menggunakan suatu model empiris sederhana untuk
memprediksikan status tropis dari badan air. Untuk studi yang membutuhkan
model detail dari kualitas air danau, SWAT telah dihubungkan untuk
mendistribusikan model kualitas air danau seperti WASP.
SWAT menentukan empat tipe badan air yang berbeda: kolam, daerah
basah, Badan Air dan pothole. Proses nutrien yang dimodelkan di dalam kolam,
daerah basah, dan Badan Air adalah serupa. Proses nutrien belum dapat
dimodelkan di dalam potholes.
4.2.3.2 Transformasi Nutrien
Ketika menghitung transformasi nutrien di dalam badan air, SWAT
mengasumsikan sistem sebagai sistem campuran. Dalam suatu sistem
campuran, ketika sedimen memasuki badan air maka akan secara langsung
terdistribusi di seluruh volume. Asumsi dari suatu sistem campuran komleks
tersebut mengabaikan stratifikasi danau dan intensifikasi dari phytoplankton di
dalam epilimnion.
Jumlah nitrogen dan fosfor mula-mula dalam badan air dalam satu hari
dihitung dengan menjumlahkan massa nutrien yang masuk ke dalam badan air
pada hari tersebut dengan massa nutrien yang sudah ada di dalam badan air.
(4.122)
dimana :
Minitial = Massa nutrien mula-mula dalam badan air pada satu hari (kg),
72
Mstored = Massa nutrien dalam badan air pada akhir hari sebelumnya
(kg),
Mflowin = Massa nutrien yang ditambahkan dalam badan air pada hari
tersebut (kg).
Dengan cara yang sama, volume air mula-mula dalam badan air dihitung
dengan menjumlahkan volume air yang masuk ke dalam badan air pada hari
tersebut dengan volume yang telah ada di dalam badan air sebelumnya.
(4.123)
dimana :
Vinitial = Volume air mula-mula dalam badan air pada satu hari (m3
H2O),
Vstored = Volume air dalam badan air pada akhir hari sebelumnya (m3
H2O),
Vflowin = Volume air yang masuk ke dalam badan air pada hari tersebut
(m3 H2O).
Konsentrasi nurien mula-mula dalam badan air dihitung dengan
membagi massa nutrien mula-mula dengan volume air mula-mula.
Transformasi nutrien yang disimulasikan pada kolam, daerah basah dan
Badan Air dibatasi pada perpindahan nutrien karena pengendapan.
Transformasi antara kolam nutrien (contohnya NO3 NO2 NH4) dianggap
diabaikan.
Kehilangan karena pengendapan dalam badan air dapat ditunjukkan
sebagai suatu fluks dari massa memanjang area permukaan dari pengaruh
sedimen-air (Gambar 4.13) (Chapra, 1997).
73
Gambar 4.13 Kehilangan karena Pengendapan dalam Badan Air sebagai suatu Fluks dari Massa Memanjang Area Permukaan dari Pengaruh
Sedimen-Air
Massa nutrien yang hilang karena pengendapan dihitung dengan
mengalikan fluks pada area permukaan air-sedimen.
(4.124)
dimana :
Msettling = Massa nutrien yang hilang karena pengendapan dalam satu
hari (kg),
v = Kecepatan pengendapan nyata (m/day),
As = Area dari permukaan air-sedimen (m2),
c = Konsentrasi nutrien mula-mula dalam air (kg/m3 H2O), dan
dt = Panjang jangka waktu ( 1 day).
Kecepatan pengendapan disebut ‘nyata’ karena mewakili efek bersih dari
proses berbeda yang membawa nutrien ke dalam sedimen dari badan air.
Badan air diasumsikan memiliki kedalaman air seragam dan area dari
permukaan air-sedimen adalah ekuivalen dengan area permukaan dari badan
air.
Kecepatan pengendapan nyata biasanya paling banyak ditulis dalam
satuan m/tahun dan inilah caranya nilai dimasukkan ke dalam model. Untuk
danau natural, kecepatan pengendapan fosfor terukur paling banyak
berfrekuensi jatuh antara 5 sampai 20 m/tahun meskipun nilainya kurang dari
1m/tahun sampai lebih dari 200 m/tahun sudah pernah ditulis (Chapra,1997).
Panuska dan Robertson (1999) mencatat bahwa rentangan nilai kecepatan
pengendapan nyata untuk Badan Air buatan manusia cenderung secara
signifikan lebih besar daripada danau natural. Higgins dan Kim (1981) menulis
bahwa kecepatan pengendapan nyata fosfor berkisar antara -90 sampai 269
m/tahun untuk 18 Badan Air di Tennessee dengan nilai tengah 42,2 m/tahun.
Untuk 27 Badan Air Midwestern, Walker dan Kiihner (1978) menulis bahwa
kecepatan pengendapan nyata fosfor berkisar antara -1 sampai 125 m/tahun
dengan nilai rata-rata 12,7 m/tahun. Kecepatan pengendapan negatif
mengindikasikan bahwa sedimen pada Badan Air adalah sumber dari N atau P;
74
kecepatan pengendapan positif mengindikasikan bahwa sedimen pada Badan
Air adalah endapan dari N atau P.
Angka inflow dan properti bendungan lainnya mempengaruhi kecepatan
pengendapan nyata pada badan air. Faktor penting utama termasuk bentuk
fosfor di dalam inflow (terlarut atau terurai) dan fraksi terurai dari kecepatan
pengendapan. Di dalam bendungan, kedalaman rata-rata, pelepasan potensial
untuk resuspensi sedimen dan fosfor dari sedimen akan mempengaruhi
kecepatan pengendapan nyata (Panuska dan Robertson, 1999). Badan air
dengan pelepasan fosfor internal tinggi cenderung memiliki daya tahan fosfor
lebih lemah dan kecepatan pengendapan nyata fosfor yang lebih rendah
daripada badan air dengan pelepasan fosfor internal rendah (Nurnberg,1984).
Tabel 4.11 meringkas kisaran ciri-ciri kecepatan pengendapan fosfor untuk
sistem-sistem yang berbeda.
Tabel 4.11 Rekomendasi Nilai Kecepatan Pengendapan Nyata untuk Fosfor
SWAT memasukkan variabel yang berkenaan dengan pengendapan
nutrien pada pond, daerah basah dan Badan Air seperti dalam tabel 4.11.
Model tersebut mengijinkan user untuk menentukan dua laju pengendapan
untuk setiap nutrien dan waktu selama sepanjang tahun dimana laju
pengendapan yang digunakan. Laju pengendapan yang bervariasi juga diijinkan
sehingga efek dari temperatur dan faktor musim lainnya dapat dihitung dalam
model dari pengendapan nutrien. Untuk menggunakan hanya satu laju
pengendapan selama sepanjang tahun, kedua variabel untuk nutrien dapat
diset pada angka yang sama. Membuat semua variabel menjadi angka nol akan
menyebabkan model tersebut mengabaikn pengendapan nutrien dalam badan
air.
Setelah kehilangan nutrien dalam badan air ditemukan, konsentrasi akhir
dari nutrien dalam badan air dapat dihitung dengan membagi massa akhir
nutrien dengan volume air mula-mula. Konsentrasi nutrien pada outflow dari
badan air adalah ekuivalen dengan konsentrasi akhir dari nutrien pada badan
75
air pada hari tersebut. Massa nutrien pada outflow dihitung dengan mengalikan
konsentrasi nutrien dalam badan air dengan volume air yang meninggalkan
badan air pada hari tersebut.
76
Tabel 4.12 Variabel yang Dibutuhkan SWAT untuk mengontrol Pengendapan
pada Kolam, Daerah Basah dan Badan Air
4.2.3.3 Keseimbangan Total
Dengan mengasumsikan bahwa volume air pada badan air adalah tetap
sepanjang waktu, proses yang telah dijelaskan di atas (inflow, pengendapan,
outflow) dapat dikombinasikan ke dalam persamaan massa seimbang berikut
untuk badan air tercampur:
(4.125)
dimana :
V = Volume sistem (m3 H2O),
c = Konsentrasi nutrien dalam sistem (kg/m3 H2O),
dt = Panjang jangka waktu (1 day),
77
W(t) = Jumlah nutrien yang masuk ke dalam badan air sepanjang hari
(kg/day),
Q = Debit aliran air yang keluar dari badan air (m3 H2O/day),
v = Kecepatan pengendapan nyata (m/day), dan As adalah luas
area dari permukaan sedimen-air (m2)
4.2.3.4 Eutrofikasi
Di bawah kondisi cahaya dan temperatur yang menguntungkan, jumlah
berlebih dari nutrien dalam air akan dapat meningkatkan pertumbuhan alga dan
tanaman lainnya. Akibat dari pertumbuhan ini adalah peningkatan dari laju
eutrofikasi, yang merupakan proses ekologi alami dari perubahan lingkungan
minim-nutrien menjadi kaya-nutrien. Eutrofikasi didefinisikan sebagai proses
dimana suatu badan air menjadi kaya akan nutrien terlarut (seperti phospat)
yang menstimulasi pertumbuhan dari kehidupan tanaman akuatik, biasanya
menyebabkan menipisnya oksigen terlarut (Merriam-Webster,Inc., 1996).
Pengayaan nutrien dari air bergerak dan danau adalah suatu akibat
normal dari pelapukan tanah dan proses erosi. Evolusi bertahap dari danau Ice
Age menjadi rawa, dan akhirnya tanah organik adalah suatu hasil dari
eutrofikasi. Bagaimanapun juga, proses ini dapat dipercepat oleh debit buangan
yang mengandung nutrien berlevel tinggi di dalam danau atau sungai. Salah
satu contoh adalah danau Erie, yang diperkirakan memiliki umur ekuivalen 150
tahun alami dalam 15-tahun rentangan percepatan eutrofikasi.
Pertumbuhan tanaman berlebih yang disebabkan oleh eutrofikasi yang
dipercepat dapat membuat kemunduran air. Kemunduran ini disebabkan oleh
peningkatan BOD oleh pembusukan tanaman sisa. Akibat dari peningkatan
BOD ini adalah kecenderungan terhadap kondisi anaerobik dan
ketidakmampuan dari badan air untuk mendukung ikan dan organisme aerobik
lainnya.
Nitrogen, karbon dan fosfor merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan biota akuatik. Mengingat kesulitan dari mengontrol perubahan
nitrogen dan karbon di antara atmosfir dan air dan fiksasi dari nitrogen atmosfir
oleh sekelompok alga biru-hijau, dicoba untuk mengurangi eutrofikasi fokus
78
pada input fosfor. Dalam suatu sistem air bersih, fosfor seringkali merupakan
elemen tak hingga. Dengan mengontrol penambahan fosfor, percepatan
eutrofikasi pada air danau dapat dikurangi.
Di dalam sistem dimana fosfor adalah unsur penting, kontrol batas
nutrien dalam eutrofikasi badan air, jumlah fosfor yang ada dalam badan air
dapat digunakan untuk menentukan jumlah eutrofikasi yang ada dalam badan
air.
Korelasi Fosfor/Chlorophyll
Suatu hasil persamaan bilangan empiris telah dikembangkan untuk
menghitung level chlorophyl a sebagai suatu fungsi dari konsentrasi fosfor total.
SWAT menggunakan suatu persamaan yang dikembangkan oleh Rast dan Lee
(1978) untuk menghitung konsentrasi chlorophyl a dalam badan air.
(4.126)
dimana :
Chla = Konsentrasi chlorophyl a (g/L), dan
= Konsentrasi total fosfor (g/L).
Persamaan tersebut telah dimodifikasi untuk memasukkan koefisien
yang ditentukan oleh user:
(4.127)
Koefisien yang ditentukan user, Chlaco, ditambahkan untuk membiarkan
user menyesuaikan prediksi konsentrasi chlorophyl a untuk batas nutrien yang
berbeda dengan fosfor. Ketika Chlaco diset menjadi 1,00, Persamaan 4.127
adalah ekuivalen dengan Persamaan 4.126. Untuk sebagian besar badan air,
persamaan aslinya sudah mencukupi.
Korelasi Chlorophyll /Secchi-Disk
Kedalaman secchi-disk adalah ukuran lain dari status tropis pada badan
air. Kedalaman secchi-disk menentukan kejernihan air, suatu atribut yang
79
biasanya diserap oleh publik umum. Kedalaman secchi-disk dapat dihitung dari
level chlorophyl a menggunakan persamaan (Chapra,1997):
(4.128)
dimana :
SD = Kedalaman secchi-disk (m) dan
Chla = Konsentrasi chlorophyl a (g/L).
Untuk menggabungkan dengan SWAT, Persamaan 4.128 dimodifikasi
untuk memasukkan koefisien-user:
(4.129)
Koefisien-user, SDco, ditambahkan untuk mengijinkan user menyesuaikan
prediksi kedalaman secchi-disk sebagai pengaruh dari sedimen melayang dan
bahan terurai lainnya pada kejernihan air yang diabaikan oleh persamaan
orisinilnya. Ketika SDco diset menjadi 1,00, persamaan 4.129 adalah ekuivalen
dengan persamaan 4.128. Untuk sebagian besar badan air, persamaan aslinya
sudah mencukupi.
Sementara evaluasi dari kualitas air oleh pengukuran kedalaman secchi-
disk adalah hasil subjektif, beberapa korelasi umum antara kedalaman secchi-
disk dan persepsi publik mengenai kualitas air telah dihasilkan. Salah satu
korelasi yang dibuat untuk Danau Annebessacook di Maine (EPA,1980)
diberikan dalam Tabel 4.13.
Tabel 4.13 Hubungan antara Kedalaman Secchi-Disk dan Persepsi Publik
Mengenai Kualitas Air
80
Tabel 4.14 Variabel yang Dibutuhkan SWAT yang Mempengaruhi Perhitungan
Eutrofikasi pada Kolam, Daerah Basah and Badan Air
81
V. METHODE PENELITIAN
Untuk melaksanakan penyelesaian studi ini diperlukan landasan teori
yang baik dan benar, kemudian harus diikuti dengan validnya data yang
diperoleh baik secara langsung maupun secara tidak langsung, dan didukung
dengan personil yang memang ahli pada bidangnya, sehingga hasil analisa dan
desain rencana dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk memperoleh hasil yang optimal, maka studi penelitiaan ini berusaha
melakukan pendekatan dan Metodologi sebagai berikut :
5.1 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada studi ini menggunakan metode survei, yaitu
perolehan data dilakukan dengan cara langsung dikumpulkan dari sumber
pertama (data primer) dan dari instansi terkait atau secara tidak langsung (data
sekunder).
Data yang dikumpulkan pada dasarnya terdiri dari data spasial atau ruang
dan data non spasial ataupun poin yang menggambarkan kondisi kajian dan
karakteristik DAS Kali Konto Otlet Waduk Selorejo.
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui pengambilan/pengukuran langsung di
lapangan berupa sampel air untuk dilakukan analisis dilaboratorium.
Teknik yang dilakukan untuk pengambilan sampel air tersebut dilakukan
pada titik-titik pertemuan sungai dan waduk selorejo.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data dasar yang diperlukan untuk analisa model.
Adapun jenis data sekunder yang dibutuhkan adalah :
1. Data curah hujan mulai 1990 – 2005,
2. Data jenis tanah tahun 2004
3. Peta topografi Bakosurtanal skala 1 : 25000
4. Peta Tataguna Lahan Skala 1 : 25000.
5. Data klimatologi, meliputi data temperatur udara, kelembapan relatif udara,
kecepatan angin dan radiasi sinar matahari. Data ini dapat diperoleh dari
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).
6. Data peta jaringan sungai
82
7. Data pertanian meliputi :
a. Data rencana Tata Tanam Global (RTTG) tahun 2002/2003 dan
2004/2005
b. Data jenis pupuk. Jenis pupuk yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Urea, SP36, KCL dan ZA (sesuai dengan rekomendasi Dinas
Pertanian Propinsi Jawa Timur dan pemakaian yang dilakukan petani
pada umumnya).
c. Data jadwal pemberian pupuk. Jadwal pemberian pupuk ini disesuaikan
dengan tanaman masing-masing, mulai dari pengolahan lahan, irigasi,
pemupukan sampai dengan masa panen.
5.2 Metode Analisis
Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis dan mengevaluasi
terhadap kandungan polutan nutrien, adalah dengan metode simulasi
pemodelan yaitu AVSWAT2000.
Hasil simulasi akan dibandingkan dengan standart baku mutu air yang
dikeluarkan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
199 tanggal 5 Juni 1990.
5.3 Metode Simulasi Pemodelan AVSWAT2000
AVSWAT 2000 merupakan pengembangan dari ekstensi model program
ArcView GIS yang digabungkan dengan model program SWAT (Soil And Water
Assessment Tool) sebagai model simulasinya (Arnold et all, 1998). SWAT
dibuat untuk tujuan mensimulasikan/memprediksi dampak manajemen
penggunaan lahan yang diantaranya air, sedimen, unsur kimia dari lahan
pertanian dalam jumlah besar dan dalam periode waktu tertentu.
Model AVSWAT 2000 ini, telah benyak digunakan untuk berbagai studi
pengelolaan DAS yaitu diantaranya :
a. TMDL Sungai Bosque Propinsi Erath Texas, yaitu analisa tentang prediksi
jumlah sedimen, nitrogen, dan unsur phospor yang akan tertampung di
Waduk Waco dari berbagai sumber : pembuangan limbah dari perusahaan
industri susu, limbah hasil pengolahan pertanian, daerah
83
pemukiman/perkotaan, dengan metode perhitungannya menggunakan
metode simulasi dan analisa.
b. TMDL Sungai Poteau Oklahoma Arkansas. Studi ini berisikan pekerjaan
meliputi menentukan jumlah sedimen, nitrogen, phospor yang akan
tertampung di Waduk Wister dan kandungan oksigen, temperatur, alga, dan
CBOD pada aliran sungai. Dalam skenario perhitungannya juga meliputi
besarnya hasil limbah peternakan unggas.
c. Nilai DDT di wilayah DAS Sungai Yakima, Washington. SWAT digunakan
untuk mensimulasikan kondisi eksisting dan kedepan tentang besar
konsentrasi sedimen yang terkontaminasi oleh DDT di Sungai Yakima
tersebut.
d. Kantor EPA urusan pestisida telah mengevaluasi dengan menggunakan
model AVSWAT untuk menganalisa tingkat pemakaian Peptisida.
Model program SWAT ini dalam simulasi perhitungan tentang kejadian
hidrologi maupun hidrolik pada suatu DAS, yaitu menggunakan konsep dasar
kesetimbangan air/Water ballance. Untuk tingkat keakuratan hasil : penyebaran
pestisida, sedimen atau nutrient, siklus hidrologi, simulasi dari model haruslah
memiliki kesesuaian dengan kondisi yang terjadi dilapangan.
Simulasi hidrologi pada suatu areal Daerah Pengaliran Sungai, secara
umum dapat dibagi menjadi 3 pokok bahasan, yaitu :
(1) Siklus hidrologi untuk fase di lahan
(2) Siklus hidrologi untuk fase di sungai
(3) Siklus hidrologi untuk fase di waduk
Langkah pengerjaan pemodelan ini disajikan seperti pada Gambar 5.1 :
5.4 Kalibrasi dan Verifikasi
Pengertian kalibrasi dalam kamus umum adalah suatu tanda-tanda yang
menyatakan pembagian skala atau suatu proses peneraan, sedangkan
verivikasi adalah pemeriksaan atau pembuktian kebenaran suatu laporan.
Dalam kaitan dengan studi ini, yang dimaksud dengan kalibrasi dan verifikasi
adalah pengecekan tentang satuan-satuan yang dipakai dalam model
AVSWAT2000 dan mencocokkan hasil running dengan hasil pengukuran dan
84
data-data sekunder langsung di lapangan, sehingga diperoleh kesesuaian dan
validitas hasil pemodelan terhadap hasil lapangan dan laboratorium.
Mengingat bahwa model ini merupakan hasil penelitian dari suatu lembaga
riset amerika, maka untuk mendapatkan hasil model yang sesuai dengan
kondisi di lapangan khususnya di DAS Kali Koto Outlet Waduk selorejo, maka
harus dilakukan kalibrasi hasil model dengan hasil pengukuran lapangan dan
laboratorium.
Jika terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai Polutan hasil
pengukuran lapangan an laboratorium dengan hasil model, maka terlebih
dahulu dilakukan pengecekan parameter-parameter yang dipakai dalam model
sebagai data masukan, yaitu berupa hubungan antara jenis tataguna ahan
dengan koefisien yang dipakai dan hubungan antara tekstu tanah dengan nilai
komponen tanah.
85
Gambar 5.1 Diagram alir kerja model AVSWAT 2000
86
Mulai
PetaTopografi
Data Hidrologidan Peta
Stasiun Hujan
Peta Lokasi sumberPolutan
dan Data-dataKeluaran Limbah
Peta JenisTanah dan
TabelParametern
ya
Peta TatagunaLahan dan
TabelParameternya
Pengolahan DEM
PenggambaranBatas DPS dan
Sub DPS
PembangunanJaringan Sungai /Stream Net Work
PenggambaranBatas-batas
Polygon TatagunaLahan
Pembuatan TabelParameter DataBase Polygon
tataguna Lahan
PenggambaranBatas-batas
Polygon JenisTanah
Pembuatan TabelParameter DataBase PolygonJenis Tanah
Pembuatan TabelParameter DataBase Keluaran
Limbah
Pembuatan TabelParameter Data
Base Hirologi
DATA INPUTMODEL AVSWAT
2000
SIMULASIMODEL AVSWAT
2000
SimulasiLimpasan
Permukaan
SimulasiPenyebaran
Polutan
SimulsiTransport
sedimen Sungai
Simulasi ErosiLahan
Lahan
N Organik : Nitrogen Organik P Organik :Phospor Organik NO3 (Nitrat) transport masuk Sungai
melalui Proses Limpasan Phospor transport masuk Sungai melalui
Proses Limpasan Mineral Phospor transport yang terbawa
olrhj aliran sedimen
Aliran sungai
N Organik Transport (kg N) P Organik Transport (kg P) NO3/Nitrat Transport (kg N) NH4/Amonium transport (kg N) NO2/Nitrite transport (kg N) Mineral Phospor transport(kg P) Alga Biomas transport (kg) BOD/COD (kg O2) DO (kg O2) Peptisida Transport (mg)
Selesai
LAMPIRAN I RENCANA ANGGARAN BIAYA
Rekapitulasi Rencana Anggaran BiayaNo.
UraianJumlah Harga
(Rp) I. BIAYA LANGSUNG PERSONIL 1.1.
Ketua 2,400,000
1.2.
Anggota 1,260,000
1.3.
Surveyor
120,000
Sub Total Biaya Langsung
Personil 3,780,000
II. BIAYA LANGSUNG NON PERSONIL
2.1.
Perjalanan Dinas 180,000
2.2.
Pekerjaan Survei Dan Investigasi 1,315,000
2.3.
Pengumpulan Data 2,050,000
2.4
Operasional Kantor 1,950,000
87
. 2.5.
Pelaporan
450,000
Sub Total Biaya Langsung Non Personil 5,945,000 Total Harga 9,725,000
Terbilang : Sembilan Juta Tujuh Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah
I. ANGGARAN BIAYA LANGSUNG PERSONIL
No
Pelaksanaan
Jumlah Pelaksa
na
Jumlah Jam/Minggu
Jumlah Minggu
Honor/jam Biaya (Rp)
1 Ketua 1 10 24 Rp 10,000.00
Rp 2,400,000.00
2 Anggota 1 15 24 Rp 3,500.00 Rp 1,260,000.00
3 Surveyor 2 4 1 Rp 15,000.00
Rp 120,000.00
Total Biaya Rp 3,780,000.00
88
89
II. ANGGARAN BIAYA TIDAK LANGSUNG
Jumlah Waktu Harga Satuan Jumlah Harga(Bulan/Kali) (Rp) (Rp)
2.1. Perjalanan Dinas1 KETUA 1 6 15,000 90,000 2 ANGGOTA 1 6 15,000 90,000
180,000 2.2. Pekerjaan Survei Dan Investigasi
6 Akomodasi Surveiyor 2 1 Minggu 47,500 665,000 7 Dokumentasi 1 1 100,000 100,000 9 Sewa GPS 2 1 Minggu 25,000 350,000
13 Bahan Alat-alat Bantu 1 1 200,000 200,000 1,315,000
2.3. Pengumpulan Data1 Pengumpulan Data Peta Prasarana Kota 1 1 100,000 100,000 2 Pengumpulan Data Jenis Tanah 1 1 100,000 100,000 3 Pengumpulan Data Hidrologi 1 1 100,000 100,000 4 Peta Tataguna Lahan Bakosurtanal (1 :25000) 3 1 250,000 750,000 5 Pengujian Laboratorium 1 1 1,000,000 1,000,000
2,050,000 2.4. Operasional Kantor
2 Sewa Komputer 1 6 100,000 600,000 3 Sewa Printer 1 6 150,000 900,000 4 Bahan/ATK 1 6 50,000 300,000 5 Komunikasi 1 6 25,000 150,000
1,950,000 2.5. Pelaporan
4 Laporan Akhir (10 eks.) 6 75,000 450,000 450,000
5,945,000
No. Uraian (Org./Ls./Unit/Eks)
Sub Total
Sub Total
Sub Total
Sub Total
Sub TotalTotal Biaya Langsung Non Personil
LAMPIRAN III BIOGRAFI PENELITI
KETUA PENELITIAN1. Nama : Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE
2. Tempat/ tanggal lahir : Blitar, 12 Juni 1947
3. Alamat Tempat Tinggal : Jl. Teluk Kumai no.8 Malang No. Telp.
(0341) 493 612 ' No. HP 08123314983
4. Alamat Kantor : Jl MT Haryono 167 Malang
No. Telp : 0341-553286
No. Fax. : 0341-551430
5. Pangkat Dan Jabatan Akademik :
a. Pangkat : Pembina Utama Muda/ IVc
b. Jabatan Akademik : Lektor Kepala
6. Bidang Keahlian Utama : Pengembangan Sumber Daya Air
7. Bidang Keahlian Penunjang:
a. Environment Hydraulic
b. Transportasi Sedimen
c. Waduk, Bendungan
8. Unit Kerja : Teknik Pengairan, Fakultas Teknik,
Universitas Brawijaya
Alamat surat : Jl MT Haryono 167 Malang
Telepon : 0341 575954
Fax : 0341 575954
Email : [email protected]
9. Pendidikan Akademik
A. Jenjang Pendidikan Akademik
pernah ditempuh
(S 1 s/d S3)
Lokasi Studi
Tahun Studi (Awal -Akhir)
Gelar Bidang Ilmu
1. S1UNIBRAW MALANG
1967-1977 Ir Teknik Sipil
2. DiplomaIHE Delft Belanda
1980-1981 Dipl. HE.Hydraulic Structure
3.S3UNIBRAW Malang
2001-2006 DrTeknik Sumber
Daya Air
90
B. Pendidikan Gelar Terakhir : S3
a. Judul Disertasi : Model Aliran Polutan di Sungai Brantas
Tengah
b. Promotor : Prof. Dr. In Soemarno, MS.
Bidang Keahlian: Teknik Sumber Daya Air
c. Ko - Promotor : 1. Prof. Dr. In Chandrawati Cahyani, MS.
Bidang Keahlian: Kimia
2. Ir. Agus Suharyanto, M. Eng., Ph. D.
Bidang Keahlian: Sistem Informasi
Geografis
9. Pengalaman Pekerjaan
A. Pengalaman dalam jabatan AdministrasiBirokrasi/Struktural
No Nama Jabatan Masa Bakti Institusi
1
Staf Pengajar Jurusan Teknik Pengairan Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Malang
1978-sekarang
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
2Sekretaris Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya 1979-1980
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
3Ketua Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
1985-1986 dan 1986-
1990
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
4Anggota Senat Fakultas Teknik dan Universitas Brawijaya 1990-2001
Universitas Brawijaya Malang
B. Pengalaman dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran
B.1 Perkuliahan
No. Judul Mata kuliahTahun/
SemesterInstitusi/PS/FAK/PT
1. Konstruksi Bendungan I ganjil Teknik Pen airan2. Konstruksi Bendungan II genap Teknik Pen airan3. Transportasi Sedimen genap Teknik Pen airan4. Praktikum Hidrolika ganjil Teknik Pengairan
91
B2. Pembimbing Karya Ilmiah Skri si Sl
No. Judul Karya Ilmiah Tahun Institusi
1
Kesesuaian Penggunaan Bilangan Terjun pada Perencanaan Bangunan Terjun Tegak Miring (Uji Titik Pada Perencanaan Saluran Terbuka)
2001
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
2
Kajian Penempatan Sill Terhadap Hilir Bangunan Terjun Tegak (Uji Model Fisik di Laboratorium Hidrolika Saluran Terbuka)
2001
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
3
Analisa Agradasi dan Degradasi (Alterasi Dasar) pada Saluran Alluvial Dengan Menggunakan Metode Numerik
2002
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
4
Pengaruh Kemiringan Sudut Pemasangan Plat Settler Terhadap Efektifitas Pengendapan Sedimen Pada Bak Pengendap Tipe Settler Zigzag Horisontal
2002
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
5Studi Perencanaan Tubuh Bendungan Pelaparado di Kabupaten Bima NTB
2002
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
6Studi Perencanaan Kontruksi Bangunan Pelimpah Embung Kab. Magetan Jawa Timur
2003
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
7
Studi Perencanaan Bangunan Pengendali Sedimen di Kali Bajulmati Guna Mengurangi Sedimen Pada Waduk Bajulmati di Kabupaten Banyuwangi
2003
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
8
Pemodelan Aliran Polutan (BOD, DO, TSS) Sebagai Parameter Kualitas Air di Sungai Brantas Tengah
2003
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
9
Pemodelan Aliran Polutan di Sungai Brantas Tengah KB 159-KB 125 (Jembatan Ngujang Tulungagung-Bendung Mrican Kediri) Sebagai Salah Satu Parameter Kualitas Air
2003
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
10
Pemodelan Aliran Polutan Sebagai Parameter Kualitas Air di Sungai Brantas Tengah Dari Kotamadya Kediri - Kabupaten Nganjuk
2003
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
11
Pemodelan Aliran Polutan Sebagai Parameter Kualitas Air di Sungai Brantas Tengah Antara Bendung Gerak Mrican-Bendung Karet
2003
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
92
Jatimlerek
No. Judul Karya Ilmiah Tahun Institusi
12
Kajian Pengaruh penggunaan Pupuk Anorganik yang Mengandung Unsur P (Phosfat), S (Sulfat) terhadap Kualitas Air Irigasi di Daerah Irigasi Kedung Kandang
2004
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
13
Studi Tentang Profil Tirai Luapan Bawah Pada Ambang Tajam Dengan Uji Model Fisik Sebagai Dasar Perencanaan Muara Tipe Ogee
2004
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
14Studi Optimasi Pola Operesi Waduk Pondok Untuk Irigasi
2004
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
15
Prediksi Kandungan Parameter Kualitas Air (Nitrogen dan Phospor) Dengan Menggunakan Software S.LG. Auswat 2000 (Studi Kasus Brantas Tengah Bagian Hulu)
2005
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
16
Prediksi Kandungan Parameter Kualitas Air (Nitrogen dan Phospor) Dengan Menggunakan Software S.LG. Auswat 2000 (Studi Kasus Brantas Tengah Bagian Hilir)
2005
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
17
Studi Evaluasi Pemberian Air Irigasi Dan Pola Operasinya Pada Daerah Irigasi Waduk Pondok Di Kabupaten Ngawi
2005
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
18Studi Perencanaan bangunan Pelimpah Embung Kertasari Kab. Pasuruan Jawa Timur
2005
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
19
Kajian Penanggulangan Genangan Dengan Pemasangan Pompa di Desa Rejoso Kab. Pasuruan Jawa Timur
2005
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
20
Pengaruh Penambahan End Sill Pada Bangunan Postive Step Terhadap Kondisi Loncatan Hidrolik dan Aliran Air Di Hilir Sluice Gate
2006
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
21Studi Perencanaan Bangunan Utama Embung Janorejo di Kab. Tuban
2006
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
93
C. Pengalaman Bidang Penelitian
No. Judul Penelitian Tahun1. Penelitian Model Hidraulika Bendungan Blega, -2. Penelitian Model Hidraulika Bendungan Wonorejo 1982
3. Penelitian Model Hidraulika Sungai Dengan SistemAutoscouring
1983
4. Penelitian Pertanian Lahan Kering di Pasuruan 1985
5.Penelitian Aplikasi Program Qual-2E Untuk Mengevaluasi Kualitas Aliran Sungai Brantas BagianTengah
-
Malang, 20 Februari 2007 Yang Menyatakan,
Dr. In Aniek Masrevaniah, Dip1.HE.NIP. 130 682 591
94
ANGGOTA PENELITI1. Nama : Bambang Pari Purwanto, ST
2. Tempat/ tanggal lahir : Malang, 2 Agustus 1980
3. Alamat Tempat Tinggal : Jl. Saturnus 11 A, Tlogomas Malang, No.
Telp : 0341-571005
4. Bidang Keahlian /Minat : Analisa Hidrologi Pemodelan,
Pengembangan Sumber Daya Air
5. Bidang Keahlian Penunjang:
a. Analisa Pemodelan Hidrolika Menggunakan Hec-RAS 3.01, SMS 8.1,
b. Pengolahan Data GIS
c. Analisa Pemodelan GIS Hydro
6. Pendidikan Akademik
A. Jenjang Pendidikan Akademik
pernah ditempuh
(S 1 s/d S3)
Lokasi Studi
Tahun Studi (Awal -Akhir)
Gelar Bidang Ilmu
1. S1UNIBRAW MALANG
1998 - 2003 STTeknik
Pengairan
2. S2UNIBRAW MALANG
Sedang Berjalan -Teknik Sumber
Daya Air
B. Pendidikan Gelar Terakhir : S1
a. Judul Skripsi : Evaluasi Saluran Drainase Villa Puncak
Bukit Tidar Terhadap Faktor Erosi
b. Pembibing I : Ir. Agus Suharyanto, M. Eng., Ph. D. Bidang
Keahlian: Sistem Informasi Geografis
c. Pembibing II : Dian Sisinggih ST, MT
Keahlian: Environment Hydraulic
95
7. Pengalaman Bidang Penelitian
No. Judul Penelitian Tahun
1.
Konservasi Air Sebagai Landasan Dalam Perencanaan Ruang (Studi Kasus Di Das Kali Sumpil), Sebagai Pembantu Penelitian Dr.Ir.H.Mohammad Bisri,MS
2003
2.Studi Konservasi dan Reboisasi Kawasan Arboretum Sumber Brantas
2004
3.Identifikasi Rawan Bencana Kota Batu, Sebagai Anggota Penelitian
2004
4.Penyusunan Sistem Informasi Kualitas Air DAS Brantas Hulu, Sebagai Anggota Penelitian
2005
5.Model Aliran Polutan Di Sungai Brantas Tengah Sebagai Anggota Penelitian, Dr. Ir. Aniek Masrevaniah Dipl.HE
2006
6.Pola Sebaran Polutan DPS Brantas Hulu Wilayah Administrasi Kota Batu Akibat Pengolahan Lahan Pertanian, Ketua Penelitian
2006
7.Studi Daya Dukung dan Monitoring Kualitas Air Danau dan Sungai Tondano, Sebagai Anggota Penelitian
2006
Malang, 2 Juli 2007 Yang Menyatakan,
Bambang Pari Purwanto, ST
96
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, MB & Basco, Dr.1989.Computational Fluid Dynamics An Introduction For Engineers, Copublishedin the United State wity John Wiley & Sons, INC, New York.
Anggrahini. 1997. Hidrolika Saluran Terbuka. CV Citra Media, Surabaya.
Anonim, Beture Asie in Assosiation with PT Bina Karya. 1996. Development Operation and Maintenance of Water Quality Monitoring Pollution Control System (WQMPCS) and Protection of Water Resources. Final Report. Brantas Third Project.
Anonim. 2002. Laporan Kajian Rencana Peruntukan Sungai, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Timur.
Aronoff, STAN. 1993. Geographic Information System. A Management Perspective. WDL. Publication Ottawa, Canada
Arnold G.J. Luzio Di M; Srinivasan R. 2002. ArcView Interface for SWAT 2000. Usar’s Manual. Blackland Research & Extension Center Texas Agriculture Experiment Station, Texas.
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajahmada University Perss. Yogyakarta
Budianto, Eko.2002. Sistem Informasi Geografis menggunakan ArcView GIS. ANDI Yogyakarta.
Barry C, Field. 1997. Environment Economics. The McGrawhill Companies, INC.
Cahyono, M & Yaser Arafat, 2001.Model Numerik Dua Dimensi Vertikal Angkutan Sedimen Kohesif. PIT HATHI 2001 di Malang. Proceeding. Jurusan Teknik Pengairan, Unibraw
Chanson, H. 1993. Stepped Spillways Flows and AirEntrainments. Journal CIV Eng.
Chanson, H. 1993. Self Aerated Flows on Chute and Spillwas. Journal of Hydraulic Engineering
Christ. Fulcher; Prato, Tony & Zhow. 2001. Watershed Management Decision Support System, Internet.
Chow Ven Te; David R; Maidment, Larry W. Mays. 1988. Applied Hydrologi. New York: McGrawhill.
97
Colosimo. C; G. Mendicino.1996. GIS for Distrbuted Rainfall-Runoff Modeling. Dalam Geographical Information System in Hydrology,195 – 235. diedit oleh Vijay P. Sigh; M, Florentino. Kluwer Academic Publisher, London.
Cornelist B, Vrengdenhil C. 1989.Computational Hydraulics. Springer – Verlag.
Di Luzio M; Srinivasan R; Arnold, J.G; Neitsch S.L. 2001. ArcView Interface for SWAT 2000 – User’s Guide, Grassland, Soil and Water Research Laboratory. USDA Agriculture Research Service. Temple, Texas. Blackland Research and Extension Centre. Texas Agricultural Experiment Station. Temple, Texas. Published 2002 By Texas Water Resources Institute. CollegeStation, Texas,
ftp.brc.tamus.edu/pub/swat.http://www.brc.tamus.edu/swat/.
Djajadiningrat, Surya T. & Harsono Harry . 1990. Penilaian Secara Cepat Sumber-Sumber Pencemaran Air, Tanah dan Udara..Gajah Mada University. Press.
Douglas B. Moog. 1999. Air Water Gas Transfer in Uniform Channel Flow, Journal of Hydraulic Engineering,
Droste Ronald R. 1997. Theory and Practice of Water and Waste Water Treatment. John Willey & Sons, INC.
Dumairy. 1992. Ekonomika Sumber Daya Air. Pengantar ke Hidrodinamika. BPFE. Yogyakarta.
Glym, Henry & Gary W. 1989. Environmental Science and Engineering. Prentice Hall. Upper Saddle River. New Jersey 07458.
Gulliver, John S; Hibbs David E; McDonald John P. 1997. Measurement of Effective Saturation Concentration for Gas Tranfer. Journal of Hydraulic Engineering.
Iehisa, Nezu; Akhihiro, Kodota & Hiroji, Nakagawa 1997. Turbulent Structure in Unsteady Depth Varying Open Channel Flows. Journal of Hydraulic Engineering.
INWRDAM 2001. Decision Support System in the Field of Water Resources Planningin Management. Internet.
James A. 1984. An Interoduction to Water Quality Modelling. John Wiley & Sons.
Jansen PPh;Bendegom L Van; Berg J Vanden; Vries Md; Zanen A. 1979. Principle of River Engineering. The Non Tidal Alluvial River. PITMan.
Kraijenhoff DA. 1956. River Flow Modelling and Forecasting. D Reidel Publishing Company, Holland.
Kilgore, L; Jennifer. 1997. Development and Evaluation of A GIS Based Spatially Distributed Unit Hydrograph Model. Virginia Polythechnic Institute.
Melquist P. 1991. River Conservation and Management. John Wiley & Sons.
98
Metcalf & Eddy, Inc. 1991. Waste Water Engineering Treatment Disposal Reuse. The McGrawhill International Edition.
Michael, Piasechi & Nicolas D; Katopodes 1997. Control of Contaminant Releasein Riviera I: Adjoint Sensitivity Analysis. Journal of Hydraulic Engineering
Mott McDonald Ltd. 2000. Pedoman Pemantauan Kualitas Air. Balai PSDA Jawa Timur
Muzik I. 1996. Lumped Modelling and GIS in Flood Prediction. Dalam Geographical Information System In Hydrology 269 - 301. Diedit oleh Vijay P. Sigh; M. Florentino. Kluwer Academic Publishers, London.
Neitsch, S.L; Arnold J.G.: Kiniry J.R;William J.R.; King K.W.,2002. Soil and Water Assestment Tool Theoritical documentation version 2000. Grassland, Soil and Water Research Laboratory. Agriculture Reaserch Service. Temple. Texas Blackland Research and Extension Centre. Texas Agricultural Experiment Station. Temple, Texas. Published 2002 By Texas Water Resources Institute. CollegeStation, Texas,
ftp.brc.tamus.edu/pub/swat.http://www.brc.tamus.edu/swat/.
Nemerow, Nelson Leonard. 1991. Stream Lake Estuary and Ocean Pollution. Van Nostrand Reinhold, New York.
Prahasta, Eddy. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika Bandung.
Peavy, Howard S;Rowe Donald R and Tchobanologlous, George. 1986. Environment Engineering. Singapore: McGrawhill, INC.
Petersen, Margareth S. 1986. 1986. River Engineering Practice. Hall, Engle. Woud Cliffs, NJ07632
Sole A, Valanzano, A. 1996. Digital Terain Modelling. Dalam Geographical Information System In Hydrology 175 - 194. Diedit oleh Vijay P. Sigh; M. Florentino. Kluwer Academic Publishers, London
Subramanya, K. 1986. Flow in Open Channel. New Delhi: McGrawhill.Sugiarto, 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Suriati, Armalia& Hatmoko, Waluyo 2001. Pengembangan Sistem Basis Data Kualitas Air Untuk Pengelolaan Sumber Daya Air. PIT HATHI 2001 di Malang. Proceeding Jurusan Pengairan Fakultas Teknik. Unibraw.
Sutamihardja, Dr.RTM. 1986. Studi Pencemaran Air Sungai Kali Brantas, Laporan Akhir. Kerjasama antara Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dengan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor.
99
Tarboton, David. 2000, Distributed Modelling in Hydrology Using Digital Data and Geographic Infprmation Systems. Utah Stae University.
Theodole, L.; Philichi & Michael K.;Stenstorm. 1989. Effects of Dissolved OxygenProbe Log on Oxygen Transfer Parameter Estimations. Journal WPCF.
Utomo, Hadi, Wani. 1987. Erosi dan Konservasi Tanah, Communications Soil Science. Unibraw No.23, Universitas Brawijaya, Malang.
Vito A, Vanoni1983. Sedimentation Engineering (terjemahan). Jurusan Teknik Sumber Air. ITB.
Vijay P, Singh & Willy Headwater Hager. 1986. Environment Hydraulics. Kluwer Academic Publisher
Wignyo Sukant, Budi 1986. Hidrolika Numerik. PAU Ilmu Teknik.
100