PERCOBAAN I
PEMBUATAN KURVA KALIBRASI
TUJUAN
Mahasiswa dapat memahami tahap-tahap dalam pembuatan kurva kalibrasi
TEORI
Molekul-molekul dapat mengabsorbsi atau mentransmisi radiasi gelombang
elektromagnetik. Berkas cahaya putih adalah kombinasi semua panjang gelombang spektrum
tampak. Perbedaan warna yang kita lihat sebenarnya ditentukan dengan bagaimana gelombang
cahaya tersebut diabsorbsi dan ditransmisikan (dipantulkan) oleh objek atau suatu larutan.
Spektrofotometer digunakan untuk mengukur jumlah cahaya yang diabsorbsi atau
ditransmisikan oleh molekul-molekul di dalam larutan. Ketika panjang gelombang cahaya
ditransmisikan melalui larutan, sebagian energi cahaya tersebut akan diserap (diabsorbsi).
Besarnya kemampuan molekul-molekul zat terlarut untuk mengabsorbsi cahaya pada pada
panjang gelombang tertentu dikenal dengan istilah absorbansi (A), yang setara dengan nilai
konsentrasi larutan tersebut dan panjang berkas cahaya yang dilalui (biasanya 1 cm dalam
spektrofotometer) ke suatu point dimana persentase jumlah cahaya yang ditransmisikan atau
diabsorbsi diukur dengan phototube.
Sebuah spektrofotometer memiliki lima bagian penting yaitu:
a) Sumber cahaya, untuk UV umumnya digunakan lampu deuterium (D2O), untuk visible
digunakan lampu tungstent xenon (Auc).
b) Monokromator, yaitu suatu alat untuk mengubah cahaya polikromatik menjadi cahaya
monokromatik
c) Sel penyerap / wadah pada sample, cell dalam spektrofotometer disebut juga dengan kuvet.
d) Photodetektor berfungsi untuk mengubah energi cahaya menjadi energi listrik
e) Analyzer (pengolah data), untuk spektrofotometer modern biasanya dilengkapi dengan
komputer.
Salah satu jenis spektrofotometer yang sering digunakan dalam kegiatan analisa adalah
spektrofotometer UV-Visible. Panjang gelombang yang secara maksimal diabsorbsi adalah
panjang gelombang yang khusus akan digunakan. Setelah cahaya melewati larutan uji, energi
cahaya yang strike phototube dinyatakan sebagai ratio transmitansi cahaya IT (cahaya yang
melewati sample) terhadap cahaya incident I0 (intensitas cahaya dari sumber sebelum melewati
sample). Cahaya yang diterima phototube adalah diukur sebagai persen transmitansi (%T) atau
sebagai log kebalikannya, absorbansi (A).
Kita dapat mengukur nilai %T dan A dengan persamaan berikut :
%T percentace transmitance = x 100%
A (absorbance) = log …………………………*)
Spektrofotometer Visible
Ketika cahaya dari panjang gelombang melalui larutan kimia yang diujikan, sebagian
cahaya tersebut akan diabsorbsi oleh larutan. Hukum Lambert Beer’s yang dikembangkan pada
tahun 1852 oleh J.Beer & Lambert menyatakan secara kuantitatif adsorbsi ini sebagai :
Log I0 / IT = ε. L. C ................................... *)
Keterangan :
I0 = Intensitas cahaya sebelum melewati sample
IT = Intensitas cahaya setelah melewati sample
ε = Koefisien ekstingsi, yaitu konstanta yang tergantung pada sifat alami dari senyawa
substansi dan panjang gelombang yang digunakan untuk analisis
L = Panjang atau jarak cahaya yang melewati sample
C = Konsentrasi dari larutan yang dianalisa
Hubungan I0 / IT akan lebih cepat dipahami dengan melihat kebalikan dari perbandingan
tersebut yakni IT / I0 sebagai transmitansi (T) dari larutan. Sedangkan log (I0/IT) dikenal sebagai
absorbansi (A) larutan.
Pernyataan ini akan menghasilkan persamaan A = - log T dengan A = ε.L.C. Hal yang perlu
diperhatikan disini adalah bahwa persamaan ini menyerupai/setipe dengan persamaan garis lurus
y = mx + b. Absorbansi cahaya dari larutan secara langsung berbanding lurus dengan konsentrasi
larutan.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan berkaitan dengan satuan-satuan persamaan
Lambert-Beer’s di atas yakni :
1. T (transmittance), T tidak memiliki satuan karena ini merupakan rasio intensitas cahaya. IT
dan I0 memiliki satuan yang sama oleh karenanya saling meniadakan.
2. A (absorbance), A juga tidak memiliki satuan karena hubungannya dengan T.
3. L (pathlength), L biasanya memiliki satuan cm berdasarkan fakta kita menstandarkan
panjang menggunakan tempat larutan yang dinamakan kuvet, memiliki satuan dengan lebar
biasanya 1,0 cm.
4. C (concentration), C memiliki satuan konsentrasi seperti M (molaritas) memiliki satuan mg /
mL.atau ppm ( parts per million ).
5. ε, (the extinction coefficient), ε memiliki satuan yang berkebalikan dengan C dan L, sebagai
contoh cm-1 dan M-1.
Kita dapat mempersiapkan satu serial larutan yang memiliki substansi yang sama dalam
konsentrasi yang diketahui dan jika kita plotkan A dan C, akan diperoleh garis lurus/linier.
Hukum Lambert Beer’s bekerja baik untuk larutan dengan konsentrasi rendah, tetapi menjadi
tidak linear jika konsentrasi terlalu tinggi.
Satuan Konsentrasi Parts Per Million ( ppm )
Tipe konsentrasi yang telah umum digunakan dalam kimia adalah molaritas dan
molalitas, ahli kimia analitik lebih sering menggunakan satuan “parts per…” yang berarti bisa
berupa parts per million (ppm) atau parts per billion (ppb). Ketika kita bekerja menggunakan
padatan dalam liquid, ppm menyatakan jumlah miligram zat terlarut dalam satu liter larutan
(1000 ml) atau dapat pula ringkasnya adalah ppm menyatakan miligram terlarut/ 1000 ml.
ALAT DAN BAHAN
Bahan
- Air suling
- Parasetamol,
Alat
- Beker glass
- Spektrofotometer
- Kertas grafik
PROSEDUR KERJA
A. OPERATING TIME
- Buat larutan obat parasetamol dan asetosal dengan kadar 5 ppm dan 15 ppm
- Baca intensitas warna yang terjadi pada spektrofotometer pada panjang gelombang
257nm dengan blangko alkali (NaOH) untuk parasetamol,
- Pembacaan serapan dilakukan setiap interval waktu 5 menit paling tidak selama 60 menit.
- Plotkan serapan yang terbaca vs waktu pada kertas grafik numeric, dan tetapkan
beberapa lama larutan parasetaol mempunyai serapan tetap.
B. MENENTUKAN PANJANG GELOMBANG MAKSIMUM
- Buat tiga macam kadar larutan paasetamol: 5 ppm, 10 ppm, dan 15 ppm
- Baca intensitas serapan yang terjadi pada spectrometer pada panjang gelombang 200-400
nm
- Plotkan serapan yang terbaca vs panjang gelombang pada kertas grafik numeric dan
tetapkan berapa panjang gelombang maksimumnya .
C. MEMBUAT KURVA KALIBRASI
- Buat satu seri larutan obat dalam air dengan kadar 1 ppm, 2,5 ppm, 10 ppm, 15 ppm dan
20 ppm
- Baca intensitas serapannya yang terjadi dari masing-masing kadar pada gelombang yang
telah ditemukan pada butir B.
- Buat persamaan dari kurva baku dengan menggunakan persamaan kuadrat terkecil,
hitung koefisien korelasinya.
PERCOBAAN II
UJI DIFUSI
Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi difusi obat melalui kulit
Konsep kulit sebagai membran pasif dan adanya keyakinan bahwa viabilitas kulit kurang penting
dalam absorpsi perkutan, telah memandu dominasi studi absorpsi perkutan oleh hukum aksi
masa dan difusi secara fisika. Sebuah konsekwensi dari konsep kulit sebagai membran pasif
merupakan tanda-tanda yang jelas dari stratum corneum sebagai barrier terhadap absorpsi
perkutan. Bagian kulit yang hidup akan menentukan metabolisme, distribusi, dan ekskresi dari
senyawa melalui kulit dan tubuh (Wester, 2002).
Struktur barrier permeasi kulit ditunjukkan oleh tiga lapisan yaitu stratum corneum (10 mm),
viable epidermis (100 mm), dan lapisan papilari dari dermis (100 – 200 mm). Struktur gabungan
ini ditembus di berbagai tempat oleh folikel rambut dan kelenjar keringat. Permukaan kulit
manusia rata-rata diketahui mengandung 40 – 70 folikel rambut dan 200 – 250 saluran keringat
untuk setiap cm2 luas kulit. Kelenjar keringat menghasilkan keringat dengan pH 4 sampai 6,8
dan mungkin juga mensekresikan obat, protein, antibodi dan antigen (Barry,1992; Chien, 1992).
Fenomena absorpsi perkutan atau permeasi transdermal dapat digambarkan sebagai gabungan
dari serangkaian langkah yang berurutan yaitu absorpsi molekul penetran pada lapisan
permukaan stratum corneum, difusi melalui stratum corneum dan viable epidermis, dan akhirnya
difusi melalui dermis papilari dan masuk ke dalam mikrosirkulasi. Lapisan-lapisan jaringan
viable dan kapiler-kapiler relatif permeabel dan sirkulasi perifer cukup cepat sehingga untuk
kebanyakan zat-zat, difusi melalui stratum corneum merupakan rate-limiting step. Stratum
corneum bertindak seperti medium difusi pasif dimana tidak ada proses transport aktif dan
mengandung sel-sel yang mati. Sel tersebut terkeratinisasi secara rapat dan tidak aktif dalam
metabolisme. Celah interseluler tidak hanya sempit tapi juga terisi dengan sel-sel berdekatan
yang bertumpang-tindih. Dermis mempunyai komposisi jaringan serabut kolagen dan elastin
yang melekat pada matriks mukopolisakarida dimana terdapat aliran darah, limpatik dan syaraf.
Adanya pembuluh darah tersebut menyebabkan dermis tidak dipandang sebagai barrier permeasi
obat karena uptake obat dapat terjadi dengan cepat(Chien 1992; Walters, 1990).
Obat harus berpenetrasi ke stratum corneum sebagai barrier permeasi kulit sebelum dapat
beraksi baik secara lokal maupun sistemik. Molekul obat dapat berdifusi melalui kulit dengan
tiga rute yaitu stratum corneum, daerah folikel rambut, dan saluran kelenjar keringat. Pada
keadaan awal tahap difusi, molekul obat mungkin berpenetrasi ke dalam kulit sepanjang folekul
rambut atau saluran keringat, dan kemudian diabsorpsi melalui epitelium folikular dan kelenjar
sebaseus sampai tercapai kesetimbangan kemudian difusi melalui stratum corneum menjadi jalur
yang menentukan (Chien, 1992).
Penetrasi melalui stratum korneum dapat digolongkan menjadi dua rute yaitu transepidermal dan
transappendageal. Transepidermal merupakan jalur utama penetrasi perkutan karena luas
permukaan kulit 100 sampai dengan 1000 kali lebih besar dari pada luas permukaan kelenjar
dalam kulit. Difusi melalui rute transepidermal terjadi melalui dua jalur yaitu transeluler
(melalui sel korneosit yang berisi keratin) dan interseluler (melalui ruang antar sel stratum
corneum yang kaya akan lipid). Transappendageal merupakan jalur penetrasi melalui pori-pori
folikel rambut, saluran keringat ,dan kelenjar minyak. Jalur ini penting untuk senyawa-senyawa
yang terionisasi dan molekul besar yang polar (Aulton, 1998; Barry, 1992).
Percobaan
1. Pembuatan membran difusi
Membran yang digunakan adalah kertas whatman no 1 yang diimpregnasi dengan cairan
spangler yang dimodifikasi. Komposisi cairan spangler adalah sebagai berikut :
a. Asam palmitat 10
b. Asam oleat 15
c. Asam stearat 5
d. Minyak kelapa 15
e. Parafin 10
f. Lilin putih 15
Bahan untuk cairan spangler dilebur dan diaduk sampai rata. Masukan ke dalamnya kertas
Whatman no 1 dengan luas tertentu selama 15 menit. Angkat dan segera keringkan dengan
kertas saring dan tentukan jumlah cairan yang terserap. Bobot membran sebelum dan sesudah
impregnasi ditimbang untuk mendapat kondisi yang sama pada setiap membran.
Prosentase impregnasi membran dapat dihitung berdasarkan rumus :
Bt - Bo
Prosentase impregnasi = --------------------- x 100 %
Bo
Dimana Bt adalah berat membran sesudah impregnasi dan Bo adalah berat membran
sebelum impregnasi. Membran yang sudah digunakan untuk percobaan difusi adalah
yang memiliki bobot yang hampir sama.
2. Pembuatan sediaan gel
Buatlah sediaan gel piroksikam dengan basis karbopol dan HPMC dengan formula dibawah pada
tabel di bawah ini.
Tabel 1. Formula Gel Paracetamol Basis Karbopol 940
Komponen Formula I Formula IIParacetamol
Karbopol 940
Trietanolamin
Etanol 95 %
Natrium benzoat
Air suling
1 %
1 %
1,2 %
10 %
0,3 %
ad 100 %
1 %
1,2 %
1,2 %
10 %
0,3 %
ad 100 %
Tabel 2 Formula Gel Paracetamol Basis HPMC
Komponen Formula I Formula IIParacetamol
HPMC
Etanol 95 %
Natrium benzoat
Air suling
1 %
7 %
10 %
0,3 %
ad 100 %
1 %
8 %
10 %
0,3 %
ad 100 %
3. Uji difusi
Uji difusi dilakukan menggunakan metode Flow through yang terdiri dari sel difusi, pompa
peristaltik, pengaduk, gelas piala, tangas air, penampung reseptor, thermometer dan selang
dengan diameter 4 mm. Tiga formula uji ditimbang 1 gram kemudian diratakan diatas membran
dengan diameter 1,5 cm. Suhu sistem 37±0,5 0C dengan cairan sirkulasi aquabidestilata
sebanyak 70 ml. Pompa peristaltik menghisap cairan reseptor dari gelas kimia kemudian
dipompa ke sel difusi melewati penghilang gelembung sehingga aliran terjadi secara
hidrodinamis. Kemudian cairan dialirkan kembali ke reseptor. Proses dilakukan selama 3 jam.
Cuplikan diambil dari cairan reseptor dalam gelas kimia sebanyak 5 ml dan diencerkan dengan
pelarut campur dalam labu takar 10 ml. Setiap pengambilan selalu diganti dengan aquabidestilata
sebanyak 5 ml. Cuplikan diambil dengan selang waktu 20, 40, 60, dan 80 menit kemudian diukur
serapannya pada panjang gelombang maksimum.
Pustaka
Barry, W. B., 1988, Topical Preparation, in The Science of Dosage Form, Aulton, M. E. (Ed.), Churchill Livingstone, New York, 382 – 410.
Bronaugh, R. L., 2002, Determination of Percutaneous Absorption by In Vitro Techniques, in Topical Absorption of Dermatological Products, A. T. Florence (Ed.), Marcel Dekker, Inc., New York, 157 – 158.
Chien, Y. W., 1982, Novel Drug Delivery System, 2nd ed., Marcel Dekker Inc., New York, 149 – 213.
PERCOBAAN III
BIOADHESIF
Tujuan
Agar mahasiswa dapat menguji kemampuan bioadhesif sediaan obat yang mengandung suatu
polimer tertentu
Bioadhesif adalah keadaan dimana dua bahan, salah satunya bersifat biologis yang saling
melekat untuk waktu yang lebih lama karena forsa interfasial. Bioadhesif juga dapat
didefinisikan sebagai kemampuan suatu bahan (hasil sintesis atau produk biologi) teradhesi pada
suatu jaringan biologi untuk periode waktu yang lebih lama. Di dalam sistem biologi, bioadhesif
dapat dibedakan menjadi 4 jenis yaitu : adhesi dari suatu sel normal terhadap sel patologi dan
adhesi suatu bahan adhesi terhadap suatu subtrat biologis.
Untuk tujuan penghantaran obat, terminologi bioadhesif bermakna terikatnya sistem pembawa
obat pada lokasi spesifik biologi. Permukaan biologi tersebut dapat berupa jaringan epitel atau
dapat berupa lapisan penutup mukus yang terdapat pada permukaan jaringan. Jika keterikatan
tersebut pada permukaan mukus, fenomena ini dikenal dengan mukoadhesif. Mukoadhesif dapat
pula berupa interaksi antara suatu permukaan musin dengan suatu polimer sintetik atau polimer
alam. Sediaan mukoadhesif ini memanfaatkan sifat bioadhesif dari berbagai polimer larut air,
yang akan menunjukkan sifat adhesif pada waktu terjadi hidrasi, kemudian akan menghantarkan
obat mencapai sasaran tertentu untuk waktu yang lebih lama dibandingkan sediaan konvensional.
Oleh karena lapisan mukosa terdapat pada berbagai bagian tubuh, maka sistem penghantaran
obat mukoadhesif ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sediaan bukal, sublingual,
vaginal, rektal, nasal, okular serta gastrointestinal. Prinsip penghantaran obat dengan sistem
mukoadhesif ini adalah memperpanjang waktu tinggal obat pada organ tubuh yang mempunyai
lapisan mukosa. Sistem mukoadhesif akan dapat meningkatkan kontak yang lebih baik antara
sediaan dengan jaringan tempat terjadinya absorpsi, sehingga konsentrasi obat terabsorpsi lebih
banyak dan diharapkan akan terjadi aliran obat yang tinggi melalui jaringan tersebut.
Penggunaan formulasi mukoadhesif oral dapat dicapai dengan meningkatkan lamanya waktu
tinggal obat dalam saluran cerna. Akan tetapi, beberapa faktor fisiologi dapat membatasi
penggunaan sistem pemberian ini, diantaranya adalah :
a. Absorpsi obat di saluran cerna dipengaruhi oleh motilitas lambung dan usus. Motilitas
lambung yang kuat akan menjadi satu gaya yang dapat melepaskan adhesif.
b. Kecepatan penggantian musin baik pada keadaan lambung kosong maupun penuh dapat
membatasi waktu tinggal sediaan mukoadhesif karena jika mukus lepas dari membran,
polimer bioadhesif tidak dapat menempel lebih lama.
c. Adanya penyakit yang dapat merubah sifat-sifat fisikokimia dari mukus.
Meskipun demikian semua permasalahan dapat dihindari dengan menggunakan polimer yang
sesuai atau dengan menggabungkan bahan-bahan tertentu pada bentuk sediaan.
Alat
1. Sel silindris
2. Disintegrasi test
3. Thermostat
Bahan
1. Mukosa lambung dan usus tikus putih
2. Granul
3. Larutan NaCl Fisiologis
4. Lem Sianoakrilat
Percobaan
1. Uji Bioadhesif In vitro
Uji dilakukan menggunakan jaringan mukosa lambung dan usus yang diisolasi dari tikus putih.
Jaringan lambung dibuka, dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis dan dipotong kira-kira 1 X
1 cm dan jaringan usus dipotong kira-kira 4 cm kemudian diletakan pada penyokong aluminium.
Sejumlah 50 butir granul ditempelkan di atas jaringan tersebut dan dibiarkan berkontak selama
10 menit kemudian ditempatkan dalam sel silindris dengan kemiringan 45 0. Granul yang
menempel pada jaringan lambung/usus dielusi dengan cairan lambung/usus pada suhu 37 ± 0,5
0C dengan kecepatan aliran 22 ml/menit. Jumlah granul yang masih melekat dihitung setiap 5
menit selama 10 menit.
Uji Wash Off
Uji wash off dilakukan dengan menggunakan alat desintegrasi (alat uji waktu hancur) yang
dimodifikasi. Jaringan lambung/usus direkatkan pada kaca objek menggunakan lem sianoakrilat.
Sejumlah 50 butir granul disebarkan/ditempelkan di atas mukosa lambung/usus secara merata
dan masukkan ke dalam alat uji desintegrasi. Alat kemudian digerakkan naik turun 30 kali
permenit di dalam media cairan lambung/usus buatan pada suhu 37 ± 0,5 0C. Jumlah granul
yang melekat dihitung setiap 30 menit selama 2 jam.
PERCOBAAN IV
METODA PENGENDAPAN PROTEIN PLASMA
TUJUAN :
Mahasiswa dapat mengetahui berbagai metode denaturasi protein
TEORI
Penelitian farmakokinetik melibatkan penentuan kadar obat dalam sampel biologis.
Metode analisis yang digunakan untuk penentuan kuantitatif kadar obat dalam suatu sampel
biologis merupakan hal yang sangat penting dalam evaluasi dan interpretasi data
farmakokinetika.
Berbagai sampel biologis dapat diambil untuk penentuan kadar dalm tubuh untuk
penelitian farmakokinetik, sebagai contohdarah, urin feses, saliva, jaringan tubuh, cairan blister,
cairan spinal dan cairan sinovial.
Penentuan kadar suatu obat dalam sampel biologis merupakan hal yang kompleks
disebabkan sampel biologis pada umumnya merupakan suatu matriks yang kompleks. Jika suatu
obat atau metabolitnya dalam sampel biologis dapat dianalisa langsung tanpa perlu dilakukan
perlakuan awal terhadap sampel yang diperoleh maupun pemisahan obat atau metabolit yang
ditentukan maka hal ini merupakan suatu hal yang menguntungkan. Akan tetapi perlakuan awal
sampel maupun isolasi obat atau metabolit yang akan ditentukan dari matriks biologis yang
diperoleh harus dilakukan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan perlakuan awal sampel maupun metode
untuk memisahkan atau mengisolasi obat dan / atau metabolitnya adalah tahapan dari prosedur
yang dipilih harus seminimal mungkin untuk menghindari kehilangan obat dari obat atau
metabolit yang akan ditentukan. Semakin panjang tahapan prosedur untuk perlakuan awal
maupun untuk memisahkan atau mengisolasi obat atau metabolitnya makin besar kemungkinan
hilangnya obat atau metabolit yang akan ditentukan sepanjang prosedur yang dilakukan.
Darah merupakan sampel biologis yang paling umum digunakan dan mengandung
berbagai komponen selular seperti sel darah merah, sel darah putih, platelet dan berbagai protein
seperti albumin dan globulin. Pada umumnya bukan darah utuh (whole blood) tetapi plasma
ataupun serum yang digunakan untuk penentuan kadar obat. Serum diperoleh dengan
membiarkan darah untuk menggumpal dan supernatant yang dikumpulkan setelah sentrifugasi
adalah serum. Sedangkan plasma diperoleh dengan penambahan antikoagulan pada darah yang
diambil dan supernatant yang diperoleh setelah sentrifugasi merupakan plasma. Jadi plasma dan
serum dibedakan dari protein yang dikandungnya.
Adapun kandungan protein dalam sampel biologis yang akan dianalisa menyebabkan
dibutuhkannya suatu tahap perlakuakn awal dan atau penyiapan sampel sebelum penentuan
kadar obat dapat dilakukan. Hal ini untuk mengisolasi atau memisahkan obat yang akan
ditelitidari matriks sampel yang diperoleh. Protein, lemak, garam dan senyawa endogen dalam
sampel akan mengganngu penentuan kadar obat yang bersangkutan dan selain itu dalam hal
analisa menggunakan metode seperti HPLC adanya zat-zat tersebut dapat merusak kolom HPLC
sehingga usia kolom menjadi lebih singkat.
Berbagai prosedur untuk mendenaturasi protein dapat digunakan sebagai perlakuan awal
sampel biologis yang diperoleh dari suatu penelitian farmakokinetik, meliputi penggunaan
senyawa yang disebut sebagai zat pengendap protein (protein precipitating agent) seperti asam
tungstat, ammonium sulfat, asam trikoroasetat (tricloro actic acid, TCA), asam perklorat,
methanol dan asetonitril. Penggunaan pelarut organik seperti methanol dan asetonitril sebagai zat
pengendap protein sangat umum digunakan terutama yang melibatkan metode analisis HPLC.
Penggunaan methanol dan asetonitril mempunyai suatu keuntungan karena kompatibilitasnya
dengan berbagai eluen yang digunakan dalam metoda HPLC.
Metode isolasi atau pemisahan obat yang banyak digunakan dalam penelitian
farmakokinetik adalah ekstraksi padat-cair (solid-phase exttraction) dan ekstraksi cair-cair.
Ekstraksi padat-cair menggunakan cartridge khusus untuk memisahkan obat dari sampel dengan
volume relatif lebih kecil (0.5-1 mL) yang tersedia secara komersial dengan harga yang cukup
mahal. Ekstraksi cair-cair merupakan suatu metode yang plaing banyak digunakan karena relatif
cepat, simpel dan murah dibandingkan dengan ekstrasi padat-cair. Baik metode ekstraksi cair-
cair ataupun padat-cair pada umumnya diikuti dengan proses pemekatan obat yang akan
dianalisa.
Pemilihan pelarut pengekstraksi dalam ekstraksi cair-cair harus didasarkan pada sifat
fisikokimia obat maupun metabolit yang akan diisolasi. Berbagai faktor dapat menjadi
pertimbangan dalam seleksi pelarut yang akan digunakan antaralain:
- Immisible (tidak bercampur) dengan air
- Mempunyai kemampuan melarutkan obat yang diinginkan dalam jumlah yang besar
sehingga memberikan nilai recovery yang besar
- Mempunyai titik didih yang relatif rendah sehingga waktu evaporasi pelarut dapat lebih
singkat.
- Sedapat mungkin volume yang digunakan untuk ekstraksi adalah minimal sehingga akan
menekan biaya yang dikeluarkan.
- Jika memungkinkan gunakan pelarut dengan berat jenis yang lebih kecil dari berat jenis
air sehingga proses pemisahan pelarut organik akan lebih mudah karena pelarut organik
akan berada pada lapisan atas.
Dalam proses ekstraksi tentu saja diharapkan perolehan kembali (recovery) obat yang
akan diteliti dari matriks sampel yang diperoleh adalah sebesar mungkin, jika mungkin adalah
100%. Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mendapatkan perolehan kembali yang
sempurna, seperti penggunaan volume pelarut pengekstraksi dalam jumlah yang besar ekstraksi
erulang (repeat extraction) atau ekstraksi bertahap (multistep extraction). Pada ekstraksi berulang
sampel yang sama diekstraksi beberapa kali menggunakan pelarut baru sampai seluruh obat
terekstraksi. Sedangkan pada ekstraksi bertahap dilakukan beberapa tahap ekstraksi
menggunakan pelarut dengan pH yang berbeda. Akan tetapi 100% perolehan kembali pada
umumnya tidak dapat diperoleh sehingga perlu ditentukan perolehan kembali yang optimal
dengan mempertimbangkan jumlah obat telah cukup terekstraksi untuk memenuhi sensitifitas
analisa, jumlah pelarut yang digunakan berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan dan juga waktu
untuk melakukan keseluruhan proses ekstraksi termasuk evaporasi pelarut organik yang
diperoleh. Perolehan kembali obat dari matriks biologis sampai serendah 50% masih dapat
diterima dengan catatan parameter lain seperti sensitifitas, presisi, akurasi dan selektifitas
memenuhi standard umum yang berlaku.
ALAT DAN BAHAN
2.1 Bahan
1. Cairan darah
2. Asetonitril
3. Tricloroasetat
4. Metanol
2.2 Alat
1. Vortex
2. Sentifuge 5417R
3. Mikropipet
4. Tabung ependorf
5. Spuit
6. HPLC
2.3 Prosedur Kerja
a. Pembuatan plasma darah
1. Ambil darah sebanyak 1,5 mL kemudian dimasukkan kedalam tabung ependorf.
2. Darah disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm, selama 7 menit pada suhu 25 0C.
3. Akan terbentuk pelet dan supernatant. Ambil bagian supernatantnya (plasma
darah).
b. Presipitasi protein:
1. Setelah disentrifus, ambil supernatant (plasma darah) sebanyak 200 µL dan
dimasukkan kedalam tabung ependorf. (dibuat 3 dengan masing-masing 200
µL).
2. Tambahkan zat pengendap protein, methanol (tabung 1), asetonitril (tabung 2),
dan tricloroasetat (tabung 3) sebanyak 200 µL ke masing-masing tabung
ependorf..
3. Vortex selama ± 15 detik.
4. Sentrifus dengan kecepatan 15.000 rpm, selama 2 menit pada suhu 250C.
5. Amati supernatant dan endapan yang diperoleh dan dibandingkan hasil yang
diperoleh menggunakan berbagai zat pengendap protein yang digunakan dalam
praktikum.
6. Pisahkan supernatant yang diperoleh.
7. Amati dengan HPLC untuk melihat apakah masih terdapat protein pada cairan
plasma darah pada hasil uji yang diperoleh dengan menggunakan pengendap
protein. Pelarut yang digunakan methanol:air (70:30), dengan suhu 250C pada
panjang gelombang 243nm
PERCOBAAN V
SIMULASI MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH PEMBERIAN
SECARA INTRAVENA
Tujuan:
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan :
a. Dapat menjelaskan proses farmakokinetika obat didalam tubuh setelah
pemberian secara bolus intravena dengan simulasi model in vitro farmakokinetik
obat
b. Mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogaritmik
c. Mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetik
Pendahuluan :
Model digunakan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan sekumpulan data yang
diperoleh dari eksperimen. Suatu model dalam farmakokinetik adalah struktur hipotesis yang
dapat digunakan untuk karakteristik suatu obat dengan meniru perilaku dan nasib suatu obat
dalam sistem biologik jika diberikan dengan suatu pemberian rute utama dan bentuk dosis
tertentu. Model dapat melukiskan dan memperkirakan kinetika disposisi obat.
Kompartemen adalah suatu kesatuan yang dapat digambarkan dengan suatu volume
tertentu dan suatu konsentrasi. Biasanya perilaku obat dalam sistem biologi dapat digambarkan
dengan suatu model kompartemen satu atau model komartemen dua. Kadang – kadang perlu
untuk menggunakan multi kompartemen, dimulai dengan determinasi apakah data eksperimen
cocok atau pas untuk model kompartemen satu dan jika tidak pas dapat mencoba model yang
lebih memuaskan. Sebenarnya tubuh manusia adalah model kompartemen multimillion,
mengingat konsentrasi obat dalam organel berbeda, sel atau jaringan. Dalam tubuh kita
mempunyai jalan masuk untuk untuk dua jenis cairan tubuh ; darah (plasma dan serum) dan urin.
D kIV
Gambar 2. Model farmakokinetik obat yang diberikan secara injeksi iv. DB = Obat dalam tubuh, VD = Volume distribusi k = konstanta kecepatan
DBO
Slope = - kObat 2,3Dalamtubuh(DB)
waktu
Gambar 3: Grafik semilog kecepatan eliminasi obat pada model kompartemen satu
Persamaan kinetika obat dalam darah pada pemberian secara bolus intravena dengan suatu dosis
D yang mengikuti model satu kompartemen diberikan dengan persaman berikut :
C1 = C0 e-k.t
Dimana C1 adalah kadar obat dalam waktu t, C0 adalah kadar obat pada waktu 0, k atau ke
adalah konstanta kecepatan eliminasi obat.
Dengan menentukan kadar obat pada berbagai waktu, harga C0 dan k dapat dihitung dengan cara
regresi linear setelah persamaan ditransfrmasikan ke dalam nilai logaritmik :
lnC1 = lnC0 – k.t
Setelah ditentukan nilai C0 dan k, berbagai parameter farmakokinetik obat yang berkaitan
dengan cara pemberian obat secara bolus intravena dapat dihitung, seperti nilai volume distribusi
(Vd), klirens (Cl) dan waktu paro eliminasi (t1/2).
Vd = D
C0
Cl = Vd.k
T1/2 = 0,693/k
Percobaan
Percobaan berikut merupakan simulasi dari pemberian obat secara bolus intravena dengan
mengambil suatu senyawa obat sebagai model. Larutan obat (dianggap sediaan injeksi)
dimasukkan sekaligus (bolus) ke dalam suatu wadah (dianggap sebagai kompartemen darah).
Cairan dalam wadah kemudian akan dikeluarkan dengan suatu kecepatan konstan (dianggap
sebagai proses ekskresi renal). Cairan yang hilang karena ekskresi kemudian diganti dengan air
(dianggap sebagai air yang diminum).
Isi wadah dengan 250 ml air.
Buat sejumlah volume larutan obat dengan kadar tertentu untuk pengeluaran cairan dari dalam
wadah dan pompa eristaltik untuk penggantian air yang hilang dari wadah.
Ambil cuplikan sebanyak 5 ml pada waktu 15, 30, 45, 60, 90 dan 120 menit setelah rangkaian
alat dijalankan. Setiap kali pengambilan cuplikan tambahkan sejumlah air volume sama dengan
volume cuplikan.
Tentukan kadar obat dalam cuplikan (secara spektrofotometri).
Plot data kadar obat terhadap waktu pada kertas semilogaritmik.
Hitung harga Co dan k.
Hitung harga Vd, Cl, dan t1/2.
Pustaka
Wagner J.G., Fundamental of Clinical Pharmacokinetics, 1st ed.
Wagner J.G., Pharmacokinetics for The Pharmaceutical Scientist, Technomic Publishing Co.,
Inc., Lancaster, 1993.
PERCOBAAN VI
ANALISIS PARASETAMOL DALAM CAIRAN HAYATI
TUJUAN
Setelah praktikum ini diharapkan mahasiswa dapat:
Mahasiswa dapat memahami langkah-langkah analisa obat dalam cairan
TEORI
Seperti telah diketahui, parameter farmakokinetika obat diperoleh berdasarkan hasil
pengukuran kadar obat utuh dan / atau metabolitnya didalam cairan hayati (darah, urin, saliva
atau cairan tubuh lainnya).
Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetic obat dapat dipercaya, metode penetapan
kadar harus memenuhi berbagai criteria yaitu meliputi perolehan kembali (recovery), presisi dan
akurasi.
Persyaratan yang dituntut bagi suatu metode analisa adalah jika metode tersebut dapat
memberikan nilai perolehan kembali yang tingi (75-90% atau lebih), kesalahan acak dan
sistematik kurang dari 10% (Pasha dkk, 1986)
Kepekaan dan selektivitas merupakan criteria lain yang penting dan nilainya tergantung
pula dari alat pengukur yang dipakai.
Dalam percobaan ini akan dilakukan langkah-langkah yang perlu dikerjakan untuk
optimasi analisis meliputi :
1. Penentuan jangka waktu larutan obat yang memberikan resapan tetap (khusus
untuk reaksi warna)
2. Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan
maksimum (Paracetamol dan parasetamol)
3. pembuatan kurva baku (Paracetamol dan parasetamol)
4. Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik.
II.1 Alat dan Bahan
A. Alat
Tube sentrifuge
Mikropipet
Tabung reaksi
Vortex
Sentrifuge
B. Bahan
Darah
Aquadest
TCA
Paracetamol
II.2 Prosedur Kerja
A. Pembuatan Plasma Bebas Protein
1. Darah diambil masing-masing 1,5 ml ke dalam beberapa tube sentrifuge
2. Sentrifuge darah yang di dalam tube selama 7 menit dengan kecepatan 5000 rpm
3. Supernatan yang terbentuk lalu diambil dan dimasukkan ke dalam tube sentrifuge
yang baru
4. Ditambahkan sejumlah TCA sesuai dengan jumlah volume plasma yang diambil
5. Lalu di vortex selama 15 detik dan disentrifuge kembali selama 2 menit dengan
kecepatan 5000 rpm dalam suhu 25oC
6. Terbentuklah plasma bebas protein
B. Prosedur Penetapan Kadar (Bratton-Marshall)
Sediakan 2 larutan Paraacetamol dalam aquadest dengan konsentrasi 0,5 mg/ml (A) dan 1
mg/ml (B) masing-masing dibuat sebanyak 5 ml.
1. Dibuat satu seri larutan Paracetamol dalam plasma bebas protein (1 ml) dengan
kadar: 50, 100, 150, dan 200 μg/ml menggunakan larutan A; kadar 300 dan 400
μg/ml menggunakan larutan B
2. Tiap-tiap kadar diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah
berisi 3,9 ml air
3. Tambahkan larutan TCA (1 ml; 20%), diamkan 10 menit, dan sentrifuge selama 5
menit dengan kecepatan 3000 rpm
C. Menetapkan Panjang Gelombang Larutan Paracetamol dengan Serapan Maksimum (λ
max)
Intensitas warna larutan obat diukur serapannya pada panjang gelombang 243 nm
D. Membuat Kurva Kalibrasi Paracetamol
1. Diukur serapan semua larutan Paracetamol pada λ max dan dibuat kurva antara
serapan lawan kadar masing-masing
2. Dibuat persamaan garis menggunakan persamaan kuadrat terkecil Y= ax + b dan
dihitung nilai r dari plot tersebut
E. Menentukan Perolehan Kembali, Kesalahan Acak dan Kesalahan Sistemik
1. Disediakan larutan Paracetamol dalam darah: 50 dan 100 μg/ml; tiap kadar dibuat
2 replikasi
2. Masing-masing diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 3,9
ml aquadest
3. Berdasarkan persamaan garis, ditentukan kadar masing-masing dan dihitung
kadar rata-rata simpangan baku
Perolehan kembali
Hitung perolehan kembali (recovery) dan kesalahan sistematika untuk tiap besaran kadar
Perolehan kembali = x 100 % = P%
Kesalahan sistematik = 100 – P %
Catatan : Perolehan kembali merupakan tolok ukur efissiensi analisis, sedangkan kesalahan
sistematik merupakan tolok ukur inakurasi penetapan kadar.
Kesalahan ini dapat berupa kesalahan constant atau proposional.
Kesalahan acak :
Hitung kesalahan acak (random analytical error) untuk tiap besaran kadar
Kesalahan acak = x 100 %
Catatan: Kesalahan acak merupakan tolok ukur imprecision suatu analisis dan dapat bersifat
positif atau negative. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan
dicerminkan oleh tetapan variasi.
References
1. Brettscheider dan Glocke, M (1983). The Quality f Experimental results dalam
Bergmeyer, H.U dkk (eds) methods of Enzymatic Analysis, Verlag Chemie. Weinheim, 3
rd ed. Vo II pp 459-477
2. Pachla, L.A, Wright. DS dan Reynolds, Dl : (1986) Bioanalytics Consideration for
Pharmacokinetic and Biopharmaceutic Studies, J.Clin Pharmacol 26 : 332-335.
3. Westgard, J.O,de Vos, DJ, Hunt, MR Quam, E.F. Carey, RN dan Garber, CC. (1978)
Conceppts and Practices in Evaluation of Clinical Chemistry methods,
Am.J.Med.Technol.44 : 290-571.
PERCOBAAN VII-VIII
PENETAPAN WAKTU PENGAMBILAN CUPLIKAN DAN ASUMSI MODEL
KOMPARTEMEN
Tujuan : Setelah praktikum ini diharapkan mahasiswa dapat:
1. Mahasiswa mampu memperkirakan model kompartemen berdasarkan kurva
semilogaritmik kadar obat dalam plasma / darah lawan waktu.
2. Agar mahasiswa menetapkan jadwal dan jumlah pencuplikan untuk pengukuran
parameter farmakokinetik berdasarkan model kompartemen suatu obat
PENDAHULUAN
Setelah mahasiswa memahami prosedur analisis obat, maka tahap penting selanjutnya
adalah menetapkan waktu pengambilan cuplikan (sampling time), dan diikuti perkiraan model
kompartemen yang dianut oleh obat tersebut.
Keterikatan kedua factor ini sedemikian rupa sehingga kesalahan waktu pengambilan
cuplikan dapat menyebabkan kesalahan dalam penentuan model kompartemen.
Untuk menghindari kesalahan dalam penetapan model dalam farmakokinetika tersebut,
terutama untuk obat yang diberikan secara intravena, waktu sampling hendaknya dilakukan
sedini mungkin sesudah pemberian obat.
Jika kinetika obat setelah pemberian ekstravaskular mengikuti model dua kompartemen
terbuka, dianjurkan bahwa distribusi pencuplikan sebagai berikut: 3 titik pada tiap tahap
absorpsi, sekitar puncak, distribusi dan eliminasi.
Pencuplikan pada tahap distribusi tidak diperlukana jika kinetiknya mengikuti model satu
kompartemen terbuka. Terutama pada percobaan pendahuluan, lama pengambilan cuplikan perlu
pula diperhatikan.
Jika darah digunakan sebagai cuplikan, pencuplikan dilakukan sampai 3-5 X T1/2
eliminasi obat dan bila digunakan urin sampai 7-10 X T1/2 eliminasi. Pada percobaan
pendahuluan sebaiknya waktu sampling dicari setelah pemberian intravena.
Kadar obat plasma hendaknya dimonitor sampai 3 jam setelah pemberian (untuk
Paracetamol dan parasetamol), dengan mengambil cuplikan minimal 4-6 titik pada jam-jam
pertama setelah pemberian obat.
Data yang telah diperoleh dari percobaan pendahuluan tersebut, selanjutnya digunakan
untuk memperkirakan model farmakokinetik obat. Yakni, dengan memplotkan kadar obat utuh
dalam darah lawan waktu pada kertas semilog, atau plot log kecepatan ekskresi (d Ao / dt) lawan
waktu pada kertas grafik normal, jika digunakan data urin.
Kinetik obat dikatakan mengikuti model satu kompartemen jika kurva –kurva tersebut
(dari data darah atau urin) menunjukkan kurva monofasik (berupa garis lurus), sedangkan unutk
model 2 kompartemen kurva yang terjadi berbentuk bifasik.
2.4 Bahan
1. Larutan parasetamol dosis 1 gram
2. Larutan metanol
3. Darah kelinci
4. Natrium nitrit 0,1%
5. N-(1-naftil) etilen diamin 0,1%
6. Aquadest
7. Parasetamol tablet
2.5 Alat
1. Vortex
2. Sentifuge 5417R
3. Mikropipet
4. Tabung ependorf
5. Spuit
6. HPLC
7. Kateter
8. Kuvet
9. Spektrofotometer UV-VIS
10. Beaker glass
11. Batang pengaduk
12. Gelas ukur
13. Silet
14. Stopwatch
Prosedur Kerja
a. Pembuatan Larutan Parasetamol
1. Timbang parasetamol 100 mg
2. Larutkan dengan aquadest di dalam labu ukur ad 10 mL.
3. Didapat larutan induk paracetamol dengan konsentrasi 100 ppm.
4. Diberikan ke kelinci menggunakan Sonde dengan dosis 500mg (konversi
dahulu ke dosis hewan)
b. Pengambilan darah
1. Ditimbang Kelinci dan kemudian dibersihkan bulu telinga sekitar vena
marginalis dengan pisau cukur.
2. Kelinci dimasukkan ke dalam holder, ambil darahnya (0,5 mL) secara
vena sebagai blanko.
3. Larutan paracetamol diberikan secara peroral dengan dosis 300
mg/kgBB.
4. Ambil darah kelinci (1 mL) melalui vena telinga pada menit ke 30,
90,dan 150.
c. Pembuatan plasma darah
4. Ambil darah sebanyak 1 mL kemudian dimasukkan kedalam tabung
ependorf.
5. Darah disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm, selama 7 menit pada suhu
25 0C.
6. Akan terbentuk pelet dan supernatant. Ambil bagian supernatantnya
(plasma darah).
d. Presipitasi protein:
8. Setelah disentrifus, ambil supernatant (plasma darah) sebanyak dan
dimasukkan kedalam tabung ependorf.
9. Tambahkan zat pengendap protein, methanol sebanyak 2 kalinya plasma
tabung ependorf..
10. Vortex selama ± 15 detik.
11. Sentrifus dengan kecepatan 15.000 rpm, selama 2 menit pada suhu 250C.
12. Pisahkan supernatant yang diperoleh.
13. Tiap tabung ditambahkan larutan NaNO2 (0,1 mL; 0,1%)
14. Larutan ditambahkan NH4-sulfamat (0,2 mL;0,5%), didiamkan 2 menit.
15. Larutan ditambahkan N-(naftil) etilendiamin (0,2 mL; 0,1%), diamkan 3
menit.
16. Amati dengan Spektrofotometer UV-VIS
Reference:
Ritschel, WA (1980), Handbook of Basic Pharmacokinetics, 2nd ed., Drug intell, Publ,
Inc, Hamilton
PERCOBAAN IX
ANALISIS OBAT URIN
Tujuan Percobaan
Memperkenalkan langkah-langkah analisis obat atau metabolitnya dalam cuplikan urin.
Optimasi Analisis
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam analisis cuplikan urin untuk optimasi
metode analisis adalah
1. Menentukan waktu stabil, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyempurnakan
reaksi (warna) sehingga terbentuk kompleks (warna) yang stabil. Waktu stabil ini
ditandai dengan adanya resapan yang tetap dalam jangka waktu tertentu.
2. Menentukan panjang gelombang maksimum.
3. Membuat kurva baku, yakni kurva baku internal (dalam urin) dan kurva baku
eksternal.
4. Menghitung nilai perolehan kembali kesalahan cak dan kesalahan sistematik.
Setelah nilai-nilai pada angka 4 tersebut dihitung dan bila ternyata memenuhi persyaratan
standar yang berlaku, yaitu nilai perolehan kembali = 70 – 90 % atau lebih dan kesalahan
acak serta kesalahan sistematik kurang dari 10% maka dapat disimpulkan dan diputuskan
bahwa metode analisis tersebut dapat digunakan untuk analisis selanjutnya. Informasi
yang diperoleh pada angka 1,2 dan 3 (waktu stabil, panjang maksimum, dan kurva baku
internal/eksternal akan selalu dipergunakan untuk analisis cuplikan selanjutnya (hasil
optimasi).
Rumus penghitungan :
1. Perolehan kembali = kadar terukur X 100 % = P %
kadar yang diketahui
2. Kesalahan sistematik = 100 % - P %
Kesalahan acak = simpangan baku X 100 %
Harga rata-rata
Percobaan Analisis Cuplikan Parasetamol dalam urin
Alat dan Bahan
1. Baku parasetamol
2. Tablet/kapsul parasetamol 500 mg
3. Cuplikan urin
4. Beaker glass 250, 500-ml
5. Labu taker 25 ml 10 buah)
6. Corong
7. Pot plastik 100 ml (8 buah)
8. Tabung reaksi 120 X 15 mm (30)
9. Kelereng (30 buah)
10. Bench sentrifuge
11. Vortex mexer
12. pH meter/pH universal
13. Spektrofotometer UV-Vis
Larutan dan Pereaksi
1. Stock parasetamol 100 ppm = 100 mg baku parasetamol dilarutkan dalam aquades
dan dicukupkan sampai 100 ml.
2. HCl 4 M, buat 2 liter.
3. NaOH 0,2 M = 16 g NaOH dilarutkan dalam aquades sampai 2 liter.
4. Fenol 1 % b/v = 2.5 g fenol dilakukan dalam aquades 250 ml.
5. Larutan karbonat – natrium bromin = 26,5 g Natrium Karbonat anhidrat dilarutkan
adalam aquadest, tambahkan 37,5 ml larutan bromin jenuh dalam air. Cukupkan
volumenya sampai 250 ml (dibuat segar).
6. Naftoresorsinol padat
7. HCl pekat 200 ml
8. Etil asetat 600 ml
9. Barium klorida 2 % b/v = 8 g BaCl2 ad 400 ml.
10. Besi (III) klorida 2 % b/v = 2 g FeCl3 ad 100 ml.
11. Pereaksi pembentuk warna = campuran 2 liter NaOH 0,2 M, 250 ml fenol 1 % dan
250 ml pereaksi karbonat-natrium bromin (dibuat segar).
Penetapan kadar parasetamol dalam cuplikan urin
1. Tara tabung reaksi dengan volume 10 ml, kerjakan dengan teliti.
2. Ambil 1 ml cuplikan urin dan tambahkan 4 ml HCl 4 M ke dalam tabung reaksi
tersebut di atas.
3. Tutup mulut tabung dengan kelereng dan tempatkan dalam penangas air mendidih
(dalam lemari asam) selama 1 jam.
4. Dinginkan dan cukupkan volumenya menjadi 10 ml dengan akuades campur sampai
homogen dengan vortex mixer.
5. Ambil 1 ml dari larutan tersebut (aliquot) dan tambahkan 10 ml pereaksi pembentuk
warna di dalam tabung reaksi yang bersih, campur perlahan-lahan dengan bantuan
vortex mixer.
6. Lakukan pembacaan serapan/transmitan pada panjang gelombang 630 nm.
7. Lakukan percobaan dalam ”triplo” buat blangko.
Tugas percobaan kelas
1. Menetapkan waktu stabil
a. Buat larutan parasetamol dengan kadar 200 ppm dan 400 ppm dari larutan stock
parasetamol 1000 ppm.
b. Ambil 1 ml dari masing-masing kadar dan lakukan proses pereaksian seperti
tersebut di atas (penetapan kadar parasetamol, mulai angka 2 dengan mengganti 1
ml urin dengan 1 ml masing-masing kadar).
c. Lakukan pembacaan resapan/transmitan segera setelah proses pereaksiaan pada
panjang gelombang 630 nm pada waktu 0, 5, 10, 15, ..... 60 menit.
d. Buat grafik antara resapan terhadap waktu pada kertas grafik numerik. Tetapkan
waktu stabilnya. Gunakan informasi ini (waktu stabil) pada saat mencari panjang
gelombang maksimum.
2. Mencari panjang gelombang maksimum
a. Buat larutan parasetamol dengan kadar 100 ppm, 300 ppm, 400 ppm, dari larutan
stock, lakukan proses pereaksian seperti diatas.
b. Sesuai dengan ”waktu stabil” yang saudara peroleh, lakukan pembacaan resapan
pada 680 nm sampai 580 nm. Buat grafiknya.
3. Membuat kurva baku parasetamol
a. Dari larutan stock parasetamol, buat seri larutan dengan kadar = 50, 100, 200,
400, 600, dan 800 ppm.
b. Ambil 1 ml dari masing-masing kadar, lakukan proses pereaksian seperti tersebut
di atas, lakukan percobaan dalam ”triplo”.
c. Lakukan pembacaan resapan, pada waktu stabil dan panjang gelombang
maksimum yang saudara peroleh pada percobaan sebelumnya.
d. Buatlah grafik resapan terhadap kadar.
e. Carilah persamaan garis regresinya dengan persamaan kuadrat terkecil Y = A +
Bx.
4. Mencari nilai perolehan kembali, kesalahan acak, dan sistematik
a. Dari larutan stock, buat tiga seri larutan dengan kadar 100, 200, dan 400 ppm.
Buat dalam triplo.
b. Lakukan proses pereaksian seperti tersebut di atas, sesuai ”waktu stabil” dan pada
”panjang gelombang maksimum”.
c. Hitung kadarnya berdasar persamaan kurva baku terpilih.
d. Hitung kadar rata-rata dan simpangan bakunya untuk mencari nilai perolehan
kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik.
PERCOBAAN X
ANALISIS PARASETAMOL TOTAL DALAM CUPLIKAN URIN
Parasetamol (Paracetamol) dalam dosis terapetik normal pada umunya dianggap sebagai
salah satu minor analgesik yang paling aman, walupun harus diperhatikan bahwa
kelebihan dosis parasetamol dapat mengakibatkan nekrosis hati pada manusia dan hewan.
Setelah pemberian oral, parasetamol dieliminasi dari tubuh oleh proses metabolisme
“lintas pertama” yang nyata dan dalam jumlah kecil metabolit utamanya pada manusia
adalah sebagai konjugat glukuronida dan konjugat sulfat. Eliminasi parasetamol dapat
dirasionalisasikan secara matematik menurut metode Cumming ex al. Dengan
menggunakan pendekatan metode ini, terbukti bahwa plot log laju ekskresi obat ”total”
akhirnya akan menjadi garis lurus, dengan kemiringan sama dengan :
-ke
2,302
Dimana ke adalah konstanta laju eliminasi. Jadi dalam percobaan ini log laju ekskresi
obat ”total” (mg/jam) diplotkan pada titik tengah dari masing-masing interval waktu
pengambilan urin (t midpoint).
Dalam individu normal yang sehat, dosis parasetamol yang digunakan dalam percobaan
ini tanpa efek samping dan merupakan dosis yang digunakan diperhatikan bahwa obat ini
tidak boleh dimakan oleh orang yang :
1. Mempunyai sejarah penyakit hati dan ginjal tipe apapun.
2. Mempunyai kebiasaan minum parasetamol.
3. Menunjukkan reaksi alergi atau hipersensitivitas terhadap obat
parasetamol.
4. Sedang dalam pengobatan menggunakan obat lain.
5. Tidak sehat.
Pemberian parasetamol dan pengumpulan urin
Cuplikan urin harus dikumpulkan selama waktu 6 jam. Subjek (probandus) dapat
meminum obat dan mengumpulkan cuplikan urin sehari sebelum dianalisis. Cuplikan
urin dapat disimpan selama satu malam pada suhu 4 0C tanpa penguraian yang berarti.
1. Untuk menjaga aliran urin, subyek harus minum 200 ml air setelah 30
menit, kandungan kimia harus dikosongkan dan urin dimasukkan dalam
wadah yang sesuai. Cuplikan ini digunakan sebagai blangko, catat
volumenya.
2. Parasetamol 500 mg (tablet/kapsul/larutan) diminum dengan 200 ml air
dan waktu mulai dicatat. Ini adalah waktu jam ke nol.
3. Setelah 1 jam, kandung kemih dikosongkan, banyaknya volume urin
diukur dan dicatat serta ditandai. Ambil kurang lebih 15 ml subyek minum
200 ml air.
4. Prosedur yang sama (seperti pada angka 3) diulang, dengan interval waktu
: 2, 3, 4, 5, dan 6 jam.
Anaisis Cuplikan Parasetamol Total dalam Urin
1. Tentukan kadar parasetamol ”total” dalam cuplikan urin pada masing-masing
interval waktu yang telah ditentukan (jam ke-1, 2, 3, 4, 5 dan 6). Untuk menentukan
penetapan kadarnya, lihat pada percobaan sebelumnya. Ambil 1 ml dan diproses,
lakukan dalam triplo.
2. Data kadar parasetamol ”total” dalam urin yang diperoleh dari setiap interval waktu
pengambilan cuplikan ditabulasikan dalam tabel di bawah ini, untuk selanjutnya
hitung parameter farmakokinetik parasetamol (ket, t1/2, ka, f, prosentase jumlah
obat yang diabsorpsi).
Tabel I. Langkah Penetapan Parameter Farmakokinetik dengan data Ekskresi Urin
Kumulatif
No. Interval
Waktu
t.mid
(jam)
C
mg/ml
V
ml
A el
mg
Aek
Mg
d Aek
dt
1 X d Aek
kel dt
AT(f) % absorpsi
1.
2.
n
t0 – t1
t1 – t2
tn – tn+1
Uji Kualitatif Sifat Metabolit Urin
Lakukan uji-uji berikut ini terhadap semua cuplikan urin, termasuk urin blangko
1. Uji naftoresorsinol untuk konjugat glukuronida
Didihkan selama 3 menit dalam almari asam, o,5 ml urin + naftoresorsinol padat, 2
mg + HCl pekat 1 ml, dinginkan. Tambahkan 3 ml etil asetat, kocok homogen,
warna ungu dalam lapisan organik menunjukkan adanya asam glukuronat.
2. Uji barium klorida untuk konjugat sulfat
Atur pH urin (0,5 ml) pada pH = 4 – 6, tambahkan 2 ml BaCl 2 %, BaSO4
mengendap, yang terbentuk dari sulfat anorganik lalu disentrifugasi. Ambil
beningnya dan tambahkan 2 tetes HCl pekat, didihkan dalam almari asam selama 3
menit. Pembentukan endapan atau kekeruhan selanjutnya menunjukkan adanya
konjugat sulfat.
3. Uji besi (III) klorida untuk fenol
Kedalam cuplikan urin (0,5 ml) dengan pH = 7 tambahkan beberapa tetes FeCl3 2%.
Beberapa tetes pertama membentuk endapan besi (III) fosfat yang dapat
disentrifugasi bila perlu. Penambahan tetesan FeCl3 selanjutnya akan menghasilkan
warna ungu atau hijau jika ada fenol.
PERCOBAAN XI
BIOAVAILABILITAS DAN BIOEKIVALENSI
Tujuan
Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu untuk :
Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk uji.
Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan bioekivalensi satu produk obat.
Setiap produk yang akan beredar di pasaran harus terjamin kualitasnya sehingga dengan
pemakaian produk tersebut efek terapeutik yang diinginkan akan tercapai. Produk generik
atau ”me too” yang akan dipasarkan juga tidak lepas dari persyaratan ini. Suatu produk
generik atau ”me too” harus memenuhi standar yang sama dengan produk inovator dalam
hal kualitas, efikasi, dan keamanan. Selain evaluasi in vitro, evaluasi bioekivalensi in
vivo perlu pula dilakukan untuk menjamin bioavailabilitas produk generik atau ”me too”
tidak berbeda secara berarti (statistical insignificant) dari suatu produk pembanding. Pada
umumnya yang dijadikan sebagai produk pembanding adalah produk inovator yang
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pihak yang berwenang untuk dipasarkan.
Diperolehnya status bioekivalen dari suatu produk diharapkan diperolehnya respon efek
dan keamanan kepada para dokter maupun pasien untuk memilih berbagai merek obat
dengan jaminan bahwa setiap produk akan memberikan efek klinis dan keamanan yang
sebanding.
Uji bioekivalensi menjadi sangat penting pada saat mana masa paten suatu produk
inovator habis. Selain itu, uji bioekivalensi juga dilakukan pada periode pengembangan
suatu produk, adanya perubahan metode atau tempat manufaktur, adanya pergantian
peralatan manufaktur, ataupun adanya perubahan sumber bahan baku yang digunakan.
Parameter farmakokinetik yang digunakan untuk evaluasi status bioekivalen suatu produk
adalah :
1. AUC (area under the curve of concentration-time relationship, luas area di bawah
kurva hubungan konsentrasi dan waktu).
2. Cmaks (konsentrasi maksimum).
3. Tmaks (waktu untuk mencapai konsentrasi maksimum).
Dalam praktek Cmaks, dan Tmaks diperoleh dari konsentrasi maksimum hasil
pengukuran konsentrasi dalam sample yang diperoleh dan waktu tercapainya konsentrasi
maksimum tersebut. Perlu diperhatikan dalam penetapan Tmaks bahwa pada daerah
puncak kurva hubungan konsentrasi dan waktu profil kurva relatif mendatar sehingga
dengan adanya variabilitas metode penetapan kadar yang digunakan maka nilai Tmaks
bahwa pada daerah puncak kurva hubungan konsentrasi dan waktu profil kurva relatif
mendatar sehingga dengan adanya varibilitas metode penetapan kadar yang digunakan
maka nilai Tmaks yang diperoleh mungkin bukan merupakan Tmaks yang sebenarnya. Tidak
optimalnya frekuensi pengambilan sample dapat menyebabkan penetapan nilai Tmaks yang
tidak akurat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian bioekivalensi agar hasil yang diperoleh
dapat digunakan antara lain adalah :
Subyek, yang meliputi penetapan kriteria inklusi dan eksklusi pada saat seleksi subyek
penelitian, perlakuan awal yang perlu dilakukan terhadap subyek sebelum uji
bioekivalensi dilaksanakan.
Perlakuan yang akan diberikan, yang meliputi dosis obat yang digunakan, cara
pemberian, rancangan pengambilan sampel seperti sampel apa yang akan dikumpulkan
(darah, plasma, atau urin) dan waktu pengambilan sampel.
Evaluasi hasil yang diperoleh, antara lain uji statistik yang akan digunakan dan penetapan
definisi dari bioekivalen sebelum uji dimulai.
Tugas
1. Lakukan analisa terhadap data yang diperoleh dari suatu penelitian bioekivalensi
suatu produk generik yang diberikan kepada saudara.
2. Simpulkan apakah status bioekivalensi dari produk uji dapat diberikan.
3. Jika kesimpulan saudara untuk produk uji adalah bioekivalensi, analisa
kemungkinan apa yang mungkin menjadi penyebab bioinekivalensi serta ajukan
saran apa yang perlu dilakukan untuk dicapainya status bioekivalensi dari produk
uji.
Pustaka
Abdou, HM. Dissolution, Bioavailability & Bioequivalence, Pennsylvania : Mack
Publishing Company.
Shargel L and Yu ABC, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 4 th ed.,
Appleton & Lange, 1999
Top Related