Modul 2 KONSEPSI VALUASI EKONOMI
SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN1
Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc.2, Dr.Ir. Akhmad Fahrudin, M.Si.3, dan
Yudi Wahyudin, S.Pi., M.Si.4
Tujuan Instruksional Khusus : Modul Konsepsi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan ini bertujuan agar peserta pelatihan dapat mengetahui dan memahami konsepsi valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan secara umum. Pengetahuan ini diharapkan menjadi pengantar untuk memahami lebih jauh bagaimana beberapa teknik valuasi yang ada di dalamnya diaplikasikan.
1. KONSEP EKONOMI TENTANG NILAI : PANDANGAN NEOKLASIK
Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat
dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan
keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar
yang digunakan adalah surplus ekonomi (economic surplus) yang
diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus;
1 Modul disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Teknik dan Metode Pengumpulan Data Valuasi Ekonomi,
diselenggarakan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) bekerjasama dengan Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut BAKOSURTANAL, Bogor, 05-09 Maret 2007.
2 Wakil Direktur Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dan Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
3 Peneliti Senior pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dan Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB).
4 Peneliti Senior pada Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dan saat ini menjabat sebagai Direktur Institute for Applied Sustainable Development (IASD).
= 1 =
CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS) (Grigalunas dan
Conger 1995; Freeman III 2003 diacu dalam Adrianto 2005).
Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu
konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar
untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut
consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh
barang yang diinginkan. Sementara itu, surplus produser (PS) terjadi
ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang
harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa.
Contoh menghitung CS dalam konteks nilai ekonomi sebuah komoditas
dapat dilihat pada ilustrasi berikut ini. Katakanlah anda sedang berjalan
dalam keadaan cuaca panas dan anda sudah merasa sangat haus.
Kemudian anda melewati sebuah tenda tempat penjualan air mineral
dingin dalam kemasan gelas. Jumlah dan harga yang mampu anda bayar
(Willingness to Pay; WTP) terhadap setiap unit gelas yang anda akan
minum menuruti sebuah pola diminishing return of satisfaction seperti
yang dapat dilihat pada 1.
Tabel 1. Total Willingness to Pay (WTP) dan Consumers Surplus Jumlah barang Q
(gelas) WTP (Rp)
Cost (Rp)
Incremental CS (Rp)
1 5,00 1,00 4,00 2 2,00 1,00 1,00 3 1,50 1,00 0,50
Total 8,50 3,00 5,50 Sumber : Diadopsi dari Grigalunas dan Conger (1995) diacu dalam Adrianto (2005).
= 2 =
Pada gelas pertama, kemampuan anda untuk membeli terletak pada
level tertinggi (Rp. 5,00) yang menandakan bahwa anda sangat haus.
Apabila harga air mineral lebih dari Rp 5,00 per gelas, maka anda akan
mencari penjual lain. Namun apabila harganya kurang dari Rp 5,00 per
gelas, maka anda akan membeli gelas air mineral tersebut. Ternyata
harga air mineral yang dijual di tenda tersebut hanya Rp. 1,00 per gelas,
sehingga consumer surplus anda untuk gelas ke-1 adalah Rp. 5,00 – Rp.
1,00 atau Rp. 4,00.
Semakin banyak gelas yang anda konsumsi, maka rasa haus akan semakin
hilang dan kemampuan anda untuk membayar (WTP) air mineral menjadi
turun. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa total WTP adalah Rp. 8,50
sedangkan biaya yang harus dikeluarkan sampai gelas ke-3 adalah Rp.
3,00 (harga air mineral tetap Rp. 1,00 per gelas). Dengan demikian total
consumer surplus anda adalah sebesar Rp. 8,50 – Rp. 3,00 atau Rp. 5,50.
Sementara itu, producers surplus terjadi apabila ternyata biaya produksi
per gelas air mineral tersebut adalah Rp. 0,25, sedangkan harga jualnya
Rp. 1,00 per gelas. Dengan demikian PS dalam konteks contoh di atas (3
gelas) adalah Rp. 3,00 – Rp. 0,75 = Rp. 2,25. Total economic surplus
dalam contoh komoditas air mineral gelas adalah CS + PS = 5,50 + 2,25 =
7,25. Secara grafik, kedua konsep CS dan PS tersebut disajikan pada
Gambar 1.
= 3 =
S u p p lyC u rv e
D e m a n d C u rv e
C o n s u m e rsS u rp lu s
P ro d u c e r sS u r p lu s
P
Q
S u p p lyC u rv e
D e m a n d C u rv e
C o n s u m e rsS u rp lu s
P ro d u c e r sS u r p lu s
P
Q
Gambar 1. Surplus Konsumen dan Surplus Produsen
Sementara itu, Freeman III (2003) diacu dalam Adrianto (2005)
menyebutkan bahwa pengertian “value” dapat dikategorikan ke dalam
dua pengertian besar yaitu nilai intrinsik (intrinsic value) -atau sering
disebut juga sebagai Kantian value- dan nilai instrumental (instrumental
value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai intrinsik
apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu
sendiri. Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari
komoditas tersebut, tetapi bebas dari penggunaan dan fungsi yang
mungkin terkait dengan komoditas lain. Komoditas yang sering disebut
memiliki intrinsic value adalah komoditas yang terkait dengan alam (the
nature) dan lingkungan (the environments). Sedangkan instrumental
value dari sebuah komoditas adalah nilai yang muncul akibat
pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu.
Dalam konteks tipologi nilai seperti tersebut di atas, Freeman III (2003)
diacu dalam Adrianto (2005) berargumentasi bahwa konsepsi
instrumental value lebih mampu menjawab persoalan yang terkait
= 4 =
dengan pengelolaan lingkungan, termasuk dalam hal ini pengelolaan
lingkungan wilayah pesisir dan laut, daripada konsepsi instrinsic value.
Untuk mengetahui nilai instrumental dari alam, tujuan spesifik dari
upaya tersebut harus disusun. Dalam konteks ini, nilai ekonomi
sumberdaya alam (the value of nature) lebih condong pada konsepsi
tujuan untuk kesejahteraan manusia (human welfare). Dengan kata lain,
sebuah komponen alam akan bernilai tinggi apabila kontribusinya
terhadap kesejahteraan manusia juga tinggi. Sebuah pemikiran
antroposentris yang memang melekat erat dengan disiplin ilmu ekonomi
ortodoks. Konsep-konsep seperti individual welfare, individual
preferences, dan lain-lain menjadi komponen utama bagi penyusunan
konsep nilai ekonomi ini, seperti yang telah dijelaskan melalui konsep CS
dan PS di atas.
2. KONSEP EKONOMI TENTANG NILAI : PANDANGAN ECOLOGICAL ECONOMICS
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pada dasarnya valuation
merujuk pada kontribusi sebuah komoditas untuk mencapai tujuan
tertentu. Seorang pemain sepakbola dinilai tinggi apabila kontribusi
pemain tersebut tinggi pula untuk kemenangan tim-nya. Sedangkan
dalam konteks ekologi, sebuah gen dianggap bernilai tinggi apabila
mampu berkontribusi terhadap tingkat survival dari individu yang
memiliki gen tersebut. Singkat kata, nilai sebuah komoditas tergantung
dari tujuan spesifik dari nilai itu sendiri. Dalam pandangan neoklasik,
nilai sebuah komoditas terkait dengan tujuan maksimisasi
= 5 =
utilitas/kesejahteraan individu. Dengan demikian apabila ada tujuan
lain, maka ada “nilai” yang lain pula.
Berbeda dengan pandangan neoklasik, dalam pandangan ecological
economics, tujuan valuation tidak semata terkait dengan maksimisasi
kesejahteraan individu, melainkan juga terkait dengan tujuan
keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi (Constanza dan Folke,
1997). Bishop (1997) pun menyatakan bahwa valuation berbasis pada
kesejahteraan individu semata tidak menjamin tercapainya tujuan
ekologi dan keadilan distribusi tersebut. Dalam konteks ini, kemudian
Constanza (2001) menyatakan bahwa perlu ada ketiga nilai tersebut yang
berasal dari tiga tujuan dari penilaian itu sendiri. Tabel 3-2 menyajikan
valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama efisiensi, keadilan dan
keberlanjutan.
Tabel 2. Valuasi Ekosistem Berdasarkan Tiga Tujuan Utama Efisiensi, Keadilan dan Keberlanjutan
Tujuan/Dasar Nilai
Kelompok
Responden Dasar
preferensi
Tingkat diskusi yang
diperlukan
Tingkat input
ilmiah yang diperlukan
Metode spesifik
Efisiensi (E-value)
Homo economicus
Preferensi individu Rendah Rendah Willingness
to Pay Keadilan (F-value)
Homo communicus
Preferensi komunitas Tinggi Menengah Veil of
ignorance
Keberlanjutan (S-value)
Homo naturalis
Preferensi keseluruhan sistem
Medium Tinggi Modeling
Sumber : Constanza and Folke (1997) in Constanza (2001) diacu dalam Adrianto (2005).
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa dalam pandangan Ecological
Economics, nilai tidak hanya dilihat dari tujuan maksimalisasi preferensi
individu seperti yang dikemukakan oleh pandangan neoklasik (E-value),
= 6 =
melainkan ada nilai lain yaitu keadilan (F-value) yang berbasis pada
nilai-nilai komunitas, bukan individu. Dalam konteks F-value ini, nilai
sebuah ekosistem ditentukan berdasarkan tujuan umum yang biasanya
dihasilkan dari sebuah konsensus atau kesepakatan antara anggota
komunitas (homo communicus).
Metode valuasi yang tepat untuk tujuan ini adalah “veil of ignorance”
(Rawls, 1971) di mana responden memberikan penilaian dengan tanpa
memandang status dirinya dalam komunitas. Sementara itu, S-value yang
bertujuan mempertahankan tingkat keberlanjutan ekosistem lebih
menitikberatkan pada fungsi ekosistem sebagai penopang kehidupan
manusia. Dalam konteks ini, manusia berperan sebagai “homo naturalis”
yang menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem secara
keseluruhan (sistem alam dan sistem manusia). Modeling adalah salah
satu spesifik metodologi yang dapat digunakan dalam konteks S-value ini
(Vionov, 1999; Constanza, et.al., 1993).
Secara empiris, valuasi ekosistem berbasis pada dua nilai terakhir (F-
value dan S-value) relatif masih sedikit dilakukan. Namun demikian hal
ini tidak mengurangi semangat dari pandangan ecological economics
bahwa perlu ada penyusunan format nilai ekosistem yang lebih
komprehensif, tidak hanya berbasis pada preferensi individu seperti
metode standar yang ada. Ketiga nilai tersebut dapat diintegrasikan
dengan pendekatan diskusi publik seperti yang disarankan oleh Sen
(1995). Dengan pendekatan uji publik yang demokratis lah nilai dari
= 7 =
sebuah ekosistem dapat ditentukan untuk mencapai tujuan yang efisien,
adil dan berkelanjutan.
3. PENTINGNYA VALUASI EKONOMI DALAM SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, nilai ekonomi suatu komoditas
(good) atau jasa (service) lebih diartikan sebagai ”berapa yang harus
dibayar” dibanding ”berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk
menyediakan barang/jasa tersebut”. Dengan demikian, apabila
ekosistem dan sumberdayanya eksis serta menyediakan barang dan jasa
bagi kita, maka ”kemampuan membayar” (willingness to pay)
merupakan proxy bagi nilai sumberdaya tersebut, tanpa memasalahkan
apakah kita secara nyata melakukan proses pembayaran (payment) atau
tidak (Barbier, et.al, 1997).
Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang
terkandung di dalamnya adalah penting dalam kebijakan pembangunan.
Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah
ekonomi, karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan
ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa
kasus bahkan hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti
sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan
ekosistem apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau
dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan
pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunaan pendekatan
= 8 =
valuasi ekonomi. Dalam hal ini, kuantifikasi manfaat dan ”kerugian”
(cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan
dengan memperhatikan aspek keadilan (fairness).
Sebagai contoh, dalam kasus mempertahankan sebuah kawasan
ekosistem sebagai kawasan preservasi, maka pengambil keputusan akan
mempertimbangkan biaya-biaya langsung yang diperlukan untuk menjaga
kawasan tersebut ditambah dengan potensi hilangnya manfaat
pembangunan apabila kawasan tersebut dikonversi. Total costs ini lah
yang kemudian menjadi basis bagi pengambilan keputusan dan dapat
didekati dengan metode valuasi ekonomi. Demikian juga sebaliknya (vice
versa) dalam kasus konversi ekosistem menjadi pemanfaatan lain. Selain
biaya langsung yang diperlukan untuk mengkonversi ekosistem, maka
nilai-nilai ekosistem yang hilang akibat konversi tersebut harus pula
dipertimbangkan. Masalahnya, nilai ekosistem tersebut tidak seluruhnya
dapat didekati dengan menggunakan pendekatan pasar (market
approach), sehingga seringkali diabaikan dalam pengambilan keputusan
yang melibatkan sektor swasta (private) maupun sektor publik. Dengan
demikian, estimasinya seringkali masuk ke dalam kategori under-
estimate yang pada akhirnya berdampak pada ”kesalahan” tingkat
eksploitasi terhadap ekosistem tersebut.
Dalam konteks tersebut di atas, maka tujuan valuasi ekonomi pada
dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga
efisiensi ekonomi (economic efficiency) dari berbagai pemanfaatan
= 9 =
(competing uses) yang mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada
di kawasan. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi
sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat
bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat
ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya
tersebut. Namun demikian, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam
konteks nilai manfaat masyakarat bersih (net gain to society) tidak
dipertimbangkan dalam term ”economic efficiency”. Oleh karena itu,
faktor distribusi kesejahteraan (welfare distribution) menjadi salah satu
isu penting bagi valuasi ekonomi yang lebih adil (fair) seperti yang dianut
oleh kalangan ecological economist. Secara diagram, fungsi keterkaitan
antara valuasi ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan secara berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2 (Ledoux
dan Turner, 2002 diacu dalam Adrianto, 2005).
Dengan demikian Valuasi Ekonomi merupakan salah satu domain (ranah)
dari Ilmu Ekonomi. Pendekatan ekonomi lingkungan paling sedikit
memiliki tiga pokok kajian, yakni : (1) Membahas penggunaan dan
degradasi sumberdaya, terutama untuk memahami secara ekonomi
dalam penetapan harga yang dipandang terlalu rendah, property right
yang belum sempurna, struktur insentif yang berkontribusi pada kerugian
pada lingkungan; (2) Mengukur jasa lingkungan, meliputi pengukuran
maksimisasi aset lingkungan, untuk memaksimalkan nilai aset
lingkungan, maka harus diketahui nilai jasa lingkungan, termasuk
penggunaan dalam penerimaan limbah; (3) Menghambat degradasi
= 10 =
lingkungan untuk mencapai tahap pembangunan berkelanjutan (Ho-Sung
OH, 1993).
Gambar 2. Keterkaitan antara valuasi ekonomi dan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau berkelanjutan (Ledoux dan Turner 2002 diacu dalam Adrianto 2005)
Selanjutnya dikatakan bahwa Ilmu Ekonomi Lingkungan menerangkan
bahwa kerusakan lingkungan merupakan masalah ekternalitas yang akan
mengarah pada kegagalan pasar, karena tidak memungkinkan untuk
membeli atau menjual aset lingkungan dalam pasar karena tidak adanya
= 11 =
harga pasar, sehingga barang dan jasa lingkungan tidak diperdagangkan
dalam pasar. Dengan demikian produser dan konsumer
mengesampingkan masalah lingkungan dalam membuat keputusannya.
Pengenyampingan aset lingkungan ini dalam keputusan mereka
menyebabkan terjadinya penggunaan sumberdaya lingkungan yang tidak
efisien, sehingga menimbulkan kerusakan. Untuk mengatasi tidak
adanya nilai ini maka perlu adanya valuasi melalui pemberian nilai
moneter (monetizing), sehingga memiliki basis dalam membandingkan
antara perlindungan dan pemanfaatan lingkungan.
Dengan demikian valuasi ekonomi adalah penjumlahan dari preferensi
individu dalam keinginannya untuk membayar (willingness to pay) dalam
mengkonsumsi lingkungan yang baik. Dengan demikian valuasi ekonomi
adalah alat untuk mengukur keinginan masyarakat untuk lingkungan
yang baik melawan lingkungan yang buruk.
Apa yang dinilai dalam lingkungan terdiri dari dua kategori yang
berbeda, yakni:
a. Nilai preferensi masyarakat terhadap perubahan lingkungan, sehingga
masyarakat memiliki preferensinya dalam tingkat risiko yang dihadapi
dalam hidupnya, sehingga memunculkan keinginan untuk membayar
willingnes to pay (WTP) agar lingkungan tidak terus memburuk. Hal
ini termasuk dalam kategori valuasi ekonomi (economic valuation),
yang sering dinyatakan dalam kurva permintaan (demand curve)
terhadap lingkungan.
= 12 =
b. Sumberdaya alam dan lingkungan sebagai asset kehidupan memiliki
nilai intrinsic. Hal ini merupakan bentuk dari nilai ekonomi secara
intrinsic (intrinsic values) dari eksistensi sumberdaya alam dan
lingkungan.
4. TIPOLOGI NILAI EKONOMI
Banyak literatur dalam bidang valuasi ekonomi seperti Barton (1994),
Barbier (1993), Freeman III (2002) menggunakan tipologi nilai ekonomi
dalam terminologi Total Economic Value (TEV). Dalam konteks ini, TEV
merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan/
penggunaan (Use Value; UV) dan nilai ekonomi berbasis bukan
pemanfaatan/ penggunaan (Non-Use Value; NUV). UV terdiri dari nilai-
nilai penggunaan langsung (Direct Use Value; DUV), nilai ekonomi
penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value; IUV), nilai pilihan
(Option Value; OV). Sementara itu, nilai ekonomi berbasis bukan pada
pemanfaatan (NUV) terdiri dari 2 komponen nilai yaitu nilai bequest
(Bequest Value; BV) dan nilai eksistensi (Existence Value; EV). Gambar
3 berikut ini menyajikan tipologi TEV di mana definisi dan contoh dari
masing-masing nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
= 13 =
Total Economic Value
Use Value Non-Use Value
Direct Use Value
Indirect Use Value
Option Value
Bequest Value
Existence Value
Total Economic Value
Use Value Non-Use Value
Direct Use Value
Indirect Use Value
Option Value
Bequest Value
Existence Value
Gambar 3. Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV)
BV) (XV OV) IUV (DUV NUV UV TEV ++++=+=
Dimana: TEV = Total Economic Value UV = Use Value NUV = Non Use Value DUV = Direct Use Value IUV = Indirect Use Value OV = Option Value XV = Existence Value BV = Bequest Value
Tabel 3. Definisi dan Contoh Komposisi Total Nilai Ekonomi (TEV)
No Jenis Nilai Definisi Contoh
1 Direct Use Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfataan langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem
Manfaat perikanan, kayu mangrove, genetic material, dll
2 Indirect Use Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem
Fungsi ekosistem mangrove sebagai natural breakwaters, fungsi terumbu karang sebagai spawning ground bagi jenis ikan karang, dll
3 Option Value Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem di masa datang
Manfaat keanekaragaman hayati, spesies baru, dll
4 Bequest Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat pelestarian sumberdaya/ekosistem untuk kepentingan generasi masa depan
Nilai sebuah sistem tradisional masyarakat yang terkait dengan ekosistem/sumberdaya; habitat, keanekaragaman hayati
5 Existence Value
Nilai ekonomi yang diperoleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaaan (existence) dari sebuah ekosistem/sumberdaya itu ada, terlepas dari apakah ekosistem/sumberdaya tersebut dimanfaatkan atau tidak
Ekosistem terumbu karang yang terancam punah; endemic species; dll
Sumber : Modifikasi dari Barton (1994) diacu dalam Adrianto (2005)
= 14 =
Teknik valuasi ekonomi terbagi atas pendekatan langsung dan tidak
langsung (direct and indirect approaches). Pendekatan langsung
dilakukan melalui suvey dan percobaan seperti metode Contingen
Valuation (CV). Metode ini menggunakan metode wawancara dan
pengisian kuesioner dengan masyarakat terhadap perubahan lingkungan
yang diusulkan. Pendekatan tidak langsung dilakukan melalui penggalian
informasi tidak langsung, yaitu melalui pengamatan transaksi barang dan
jasa di pasar. Teknik pengukuran ini meliputi Harga Hedonic (Hedonic
Pricing), Teknik Pengupahan (Wage Techniques), Metode Biaya
Perjalanan (Travel Cost Methode), Perilaku Mencegah Pencemaran
(Avertive Behaviour) dan Pendekatan Pasar Konvensional (Conventional
Market Approaches). Beberapa teknik analisis Nilai Ekonomi (Economic
Valuation)5 yang dapat digunakan dapat dijelaskan dalam uraian di
bawah ini.
4.1. Pendekatan Nilai Penggunaan Langsung (Direct Use Value)
Contingent Valuation Metode ini merupakan ungkapan atau pernyataan
masyarakat dalam menghadapi perubahan lingkungan. Metode Valuasi
Contingent adalah teknik survey untuk memperoleh nilai tentang harga
yang diberikan pada komoditas lingkungan yang tidak memiliki pasar.
Asumsi dasar: (a) Masyarakat memahami tentang pilihan yang
ditawarkan, dan (b) apa yang dikatakan adalah sesuatu yang akan
terjadi. Spesifikasi metode ini adalah sebagi berikut:
5 Pearce, D and Georgiou, 1994. Economic Values and The Environment in The Developing World. A
Report for The United Nations Environment Programme , Nairobi).
= 15 =
Penggunaan Digunakan secara luas hampir seluruh perubahan lingkungan, cara yang baik untuk memperoleh non-use value, air bersih, kualitas air dan hutan
Presedur Pengisian kuesioner kepada masyarakat tentang Willingness to Pay (WTP) atau Willingness to Accept (WTAC), pendekatan yang dapat digunakan antara lain menggunakan ekonometrik. Metode yang digunakan a. Metode Bertanya. b. Metode Tawar Menawar c. Pertanyaan Terbuka d. Metode Kartu Pembayaran e. Metode Pertanyan Dikotomi f. Metode Ranking
Validitas Potensi Kesalahan a. Kesalahan Hipotesis (hypothetical bias) b. Kesalahan Strategis (strategic bias) c. Kesalahan Informasi (information bias) d. Kesalahan Titik Awal (starting point bias) e. Kesalahan Alat (vehicle bias)
4.2. Pendekatan Nilai Penggunaan Tidak Langsung (Indirect Use Value)
PENDEKATAN PASAR KONVENSIONAL
Metode ini digunakan dalam pendekatan pasar konvensional sebagai
informasi dasar dalam pendugaan nilai perubahan lingkungan.
Penggunaan Digunakan secara luas untuk melihat hubungan antara pencemaran dan dampak yang diketahui. Misalnya untuk melihat dampak pencemaran pada tanaman, hutan, dan kesehatan.
Prosedur Dose-Respons: menghubungkan antara Pencemaran (dose) dan Dampak (response) dan nilai dengan dampak akhir pada pasar atau shadow price. Umumnya digunakan regresi berganda
Replacement Cost (biaya penggantian) mengetahui kerusakan lingkungan dengan pasti dan kemudian memperkirakan biaya perbaikan lingkungan hingga mencapai keadaan seperti semula
Opportunity Cost. Mengetahui fungsi dari penggunaan sumberdaya alam yang hilang dan memperkirakan pendapatan dari penggunan SDA tersebut.
Validitas Dose-Respons: Ketidak pastian hubungan antara dose dan respon. Replacement Cost: Validitas terbatas pada konteks terhadap biaya standar yang disepakati Opportunity Cost: Lebih kompleks meliputi kehilangan surplus konsumer
= 16 =
PENDEKATAN PASAR BUATAN
(1). Fungsi Produksi Rumah Tangga
a. Travel Cost Method
Penggunaan Umumnya digunakan secara terbatas pada sebuah tempat dan menilai terhadap waktu. Sering dikenal dengan pilihan diskrit (discrete choice).
Prosedur Survei secara detil terhadap perjalanan kemudian dihitung jumlah biaya perjalanannya.
Validitas Cukup rumit dan terdapat tempat yang kompetitif dan tujuan ganda dari perjalanan, yang mengganggu korelasi perjalanan dengan harga
b. Perilaku Pengeluaran
Metode ini digunakan dengan menggunakan pasar buatan (surrogate
market) untuk memperkirakan nilai ekonomi terhadap perubahan
lingkungan
Penggunaan Penggunaannya terbatas pada kasus dimana rumah tangga mengeluarkan uang untuk menanggulangi masalah lingkungan, misalnya penggunaan bahan kedap suara, penggunaan detektor asap, sabuk pengaman, saringan air dsb.
Prosedur Jarang digunakan namun secara metodologi cukup potensial digunakan. Metode ini dilakukan melalui survei terhadap pengeluaran rumah tangga terhadap permasalahan lingkungan yang dihadapinya.
Validitas Menggunakan pengeluaran aktual akan relatif valid
(2). Pendekatan Hedonik
a. Harga Properti
Penggunaan Digunakan hanya untuk karakter lingkungan tertentu yang dibangun dalam pembangunan rumah atau properti. Sangat relevan digunakan dalam pencegahan polusi air dan udara serta kenyamanan ingkungan (amenity)
Prosedur Pendekatan umumnya melibatkan data penjualan rumah atau estimasi harga rumah oleh agen properti bersamaan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga. Regresi berganda sangat dibutuhkan untuk memperoleh estimasi harga implisit.
Validitas Perkiraan akhir tidak dalam bentuk kurva permintaan. Harga dan faktor determinan sering sulit didapatkan
= 17 =
b. Upah : Pendugaan Risiko (Risk Estimation)
Penggunaan Digunakan sangat terbatas pada risiko kesehatan yang berwujud risiko morbiditas dan mortalitas. Digunakan sebagai nilai dari kehidupan. Digunakan secara luas seperti pendekatan dose-response
Prosedur Pendekatan menggunakan teknik regresi berganda dari upah/gaji terhadap faktor-faktor determinan dalam risiko kecelakaan.
Validitas Sama dengan validitas Contingen Valuation Methode (CVM)
5. TEKNIK VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN: ECOSYSTEM APPROACH
Salah satu potensi penting dari suatu kawasan adalah potensi
keanekaragaman hayatinya. Dalam konteks ini, valuasi ekonomi
sumberdaya alam dan lingkungan menggunakan pendekatan ekosistem
seperti yang diuraikan secara rinci oleh Nunes, et.al (2003). Klasifikasi
nilai ekonomi keanekaragaman hayati suatu kawasan dijelaskan oleh
Nunes, et.al (2003) melalui sebuah diagram seperti yang disajikan pada
Gambar 4 berikut ini.
B io d ivers ity
E co s ys te m
S p ec ies
H u m an W elfa re
1
2
3
4
5
6B io d ivers ity
E co s ys te m
S p ec ies
H u m an W elfa re
1
2
3
4
5
6
Gambar 4. Kerangka Nilai Ekonomi Keanekaragaman Hayati Berbasis
Ekosistem (Nunes et.al 2003 diacu dalam Adrianto 2005)
= 18 =
Gambar 4 merupakan basis dari analisis valuasi ekonomi pulau kecil di
mana keanekaragaman hayati merupakan salah satu indikator utamanya.
Kategori pertama adalah arus/link 1-6 di mana keanekaragaman hayati
memberikan manfaat kepada kesejahteraan manusia dalam konteks
ecosystem life support functions seperti misalnya manfaat penyediaan
air bersih, pengendali banjir, perpindahan nutrien dan lain-lain (Turner,
et.al, 2000). Kategori kedua adalah arus/link 1-4-5 yang menunjukkan
nilai keanekaragaman hayati dalam konteks perlindungan habitat alam.
Hal ini misalnya dapat berupa manfaat wisata atau rekreasi alam di
suatu kawasan. Kategori ketiga adalah arus/link 2-5 di mana manfaat
keanekagaman hayati dapat dilihat dari sisi input bagi sistem produksi
barang atau jasa. Sebagai contoh, kayu yang berasal dari ekosistem
mangrove di suatu kawasan merupakan input produksi bagi industri arang
bakau (mangrove firewoods/charcoal). Kategori keempat yaitu arus/link
3 menunjukkan nilai keanekaragaman hayati yang berasal dari aspek
non-use seperti aspek bio-etik (bioethics) yang merefleksikan pandangan
moral manusia terhadap keanekaragaman hayati.
Teknik penilaian fungsi dan manfaat keanekaragaman hayati suatu
kawasan dapat dipilih mulai dari yang berbasis pada market price,
surrogate price, hingga constructed market price. Penilaian berbasis
pada harga pasar misalnya terkait dengan manfaat dan fungsi langsung
dari keanekaragaman hayati seperti nilai kontrak pemanfaatan buah
mangrove untuk farmasi, nilai penerimaan industri turis dari
= 19 =
pemanfaatan amenity services dari ekosistem mangrove, dan lain
sebagainya (Nunes, et.al., 2003).
Berdasarkan proses penilaian, beberapa literatur seperti Nunes, et.al
(2003) atau Freeman (2003) menyebutkan dua kategori valuasi ekonomi
yaitu : (1) revealed preference methods; dan (2) stated preferences
methods. Metode (1) mengeksplorasi data pasar yang ada dan dikaitkan
dengan komoditas lingkungan. Teknik valuasi yang masuk ke dalam
kategori ini adalah travel cost (TC), hedonic price (HP), averting
behavior (AB) dan production function (PF). Sebagai contoh, teknik TC
digunakan untuk mengestimasi nilai ekosistem mangrove sebagai “target
tujuan” melalui pendekatan generalisasi biaya kunjungan (generalized
travel costs). Sebaliknya, praktisi HP menggunakan pendekatan hedonik
untuk mengestimasi, misalnya, nilai ekonomi “udara bersih” dengan
mengkaitkan antara harga rumah di lokasi yang “berudara bersih” dan
kualitas udara. Sedangkan teknik AB menggunakan pendekatan
generalisasi biaya pengeluaran untuk menilai jasa-jasa lingkungan. Biaya
pencegahan kerusakan (avoided damage cost), biaya pengganti
(replacement cost), biaya kompensasi (compensation costs), adalah
contoh-contoh teknik valuasi berbasis pada pendekatan AB. Terakhir,
pendekatan PF mengestimasi nilai ekonomi sebuah komoditas lingkungan
melalui hubungan input-output produksi. Sebagai contoh, nilai ekonomi
ekosistem mangrove sebagai tempat pemijahan dan pembesaran ikan
dapat didekati dari hubungan antara mangrove dengan produktifitas
perikanan di perairan sekitar ekosistem mangrove.
= 20 =
Kategori kedua dari metode penilaian ekonomi adalah stated
preferences method di mana pendekatan ini lebih memfokuskan pada
teknik “experimental” constructed market melalui teknik penilaian
langsung dengan bantuan kuisioner. Salah satu teknik yang dikenal luas
dalam konteks kategori ini adalah teknik Contingent Valuation (CV).
Nunes, et.al (2003) menyebutkan bahwa teknik CV ini dalam beberapa
hal memiliki kelebihan dibanding penggunaan alat analisis berbasis
revealed preferences. Pertama, teknik CV mampu merefleksikan nilai
yang secara teoritis diharapkan oleh pendekatan hicksian welfare
measures. Seperti kita ketahui perbedaan utama antara hicksian dan
marshalian demand adalah pada penggunaan teori utilitas konstan dan
masuknya perilaku pendapatan ke dalam pengukuran kesejahteraan.
Kedua, teknik CV ini mampu mengestimasi nilai ekonomi dari jasa-jasa
lingkungan yang tidak memiliki perilaku pasar. Pengabaian nilai-nilai ini
akan mengurangi nilai ekonomi ekosistem secara keseluruhan. Terakhir,
CV merupakan salah satu teknik valuasi yang bersifat “partisipatif”
karena memungkinkan terjadinya diskusi publik seperti yang disebut oleh
Sen (1995) sebagai bagian penting dari demokrasi (Nunes, et.al.. 2003).
Meskipun demikian, teknik CV bukan tanpa kelemahan. Kelemahan
utamanya adalah asumsi bahwa individu maupun kelompok individu yang
merupakan target CV akan berpikir secara rasional dalam menentukan
nilai ekonomi sebuah fungsi ekosistem. Padahal dalam kenyataannya,
sifat ini tidak semua dimiliki oleh individu atau kelompok individu seperti
yang disinyalir oleh Stiglitz (2002) bahwa tidak semua individu rasional.
= 21 =
Dalam konteks lain, Letson (2002) menyebutkan bahwa pendekatan
Revealed Preferences lebih sensitif terhadap model ekonometrik yang
digunakan, tapi tidak terlalu sensitif terhadap pengumpulan data.
Sedangkan sebaliknya, pendekatan Stated Preferences lebih sensitif
terhadap pengumpulan data, tapi tidak terlalu sensitif terhadap
pemodelan ekonometrik.
Secara diagram, aplikasi dari teknik-teknik tersebut di atas untuk valuasi
ekonomi berbasis ekosistem disajikan dalam Tabel 4 berikut ini (Nunes,
et.al., 2003).
Tabel 4. Total Economic Value dari Suatu kawasan Dalam Konteks Keanekaragaman Hayati
Interpretasi nilai ekonomi
Manfaat Keanekaragaman Hayati
Metode penilaian ekonomi
Genetic and species diversity (link 1-6)
Input bagi proses produksi (misalnya industri farmasi, pertanian, perikanan, dll)
CV : + TC : - HP : + AB : + PF : +
Natural areas and lanscape diversity (link 1-4-5)
Perlindungan habitat (misalnya perlindungan area rekreasi, dll)
CV : + TC : + HP : - AB : - PF : +
Ecosystem functions and ecological services (link 2-5)
Nilai-nilai ekologi (misalnya fungsi pengendalian banjir, dll)
CV : - TC : - HP : + AB : + PF : +
Non Use biodiversity (link 3)
Nilai keberadaan dan moral CV : + TC : - HP : - AB : - PF : -
Sumber : Nunes et.al (2003) diacu dalam Adrianto (2005) Keterangan : CV = Contingent Valuation; TC = Travel Cost; HP = Hedonic Price;
AB=Averting Behavior; PF= production function
= 22 =
6. PENDEKATAN IDENTIFIKASI STRUKTUR DAN FUNGSI KAWASAN
Berdasarkan uraian tentang konsepsi dan pengertian nilai ekonomi, maka
pendekatan valuasi ekonomi sumberdaya kawasan dapat dilakukan
seperti yang disajikan secara diagram pada Gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Skema Valuasi Ekonomi Sumberdaya Kawasan
Seperti yang disajikan pada Gambar 5, pendekatan valuasi ekonomi
dimulai dari analisis terhadap tipologi suatu kawasan yang meliputi tipe
ekosistem, tipe spesies dan komunitas yang ada di dalamnya. Dari ketiga
sub-tipologi tersebut dilakukan penilaian ekonomi yang berbasis pada
teknik valuasi yang relevan untuk setiap sub-tipologi. Ekosistem hutan
misalnya, secara ekonomi mempunyai fungsi yang nilai kegunaannya
bersifat langsung (Direct Use Values), seperti sebagai kayu bakar
(pengganti bahan bakar), bahan bangunan dan konstruksi, wisata,
pertanian, makanan, obat, tekstil, peralatan rumah tangga, kulit, dan
Kawasan Tipologi Sumberdaya/ Endowment Spesies
Komunitas
Total valuation
Ekosistem Mangrove (S1)
Ekosistem Terumbu Karang (S2)
Sumberdaya Perikanan (S3)
Ekosistem
Sumberdaya ke-n (Sn)
= 23 =
lain-lain. Adapun secara ekologi ekosistem hutan mempunyai fungsi yang
nilai kegunaannya bersifat tidak langsung (Indirect Use Values), seperti
penyedia nutrien, tempat berkembang biak, tempat bermain dan asuhan
bagi biota, pencegah erosi, daerah resapan air, dan lain-lain.
Gambar 5. Pendekatan ”full economic valuation” suatu kawasan (Diadopsi dari Groot et.al 2002 diacu dalam Adrianto 2005)
Dari Gambar 5 dapat dilihat pendekatan ”full economic valuation”
berangkat dari pemikiran bahwa sistem alam yang terdapat pada suatu
kawasan melalui proses ekologi mengendalikan fungsi lingkungan sebagai
produsen bagi barang dan jasa. Dalam konteks ini lah, keterkaitan
dengan sistem manusia dimulai melalui upaya pemanfaatan barang dan
jasa yang dihasilkan oleh sistem alam (resources uses). Apabila
pemanfaatan yang dilakukan melebihi daya dukung pulau kecil maka
proses ekologis akan terganggu yang pada akhirnya akan mempengaruhi
manfaat (benefit) dan biaya (cost) serta nilai bersih dari sistem kawasan
tersebut. Lebih lanjut, Gilbert and Janssen (1998) menjelaskan bahwa
= 24 =
fungsi sistem alam dapat dikategorikan ke dalam empat jenis yaitu fungsi
produksi, fungsi regulasi, fungsi informasi, fungsi pembawa/habitat.
7. SKENARIO PENGELOLAAN DAN KRITERIANYA
Untuk memilih beberapa pilihan skenario pengelolaan, maka perlu
dilakukan terlebih dahulu Extended Cost Benefit Analysis (ECBA) untuk
mengestimasi nilai sekarang (Present Value) dan Rasio Manfaat dan Biaya
Bersih (Net Benefit Cost Ratio) yang paling cocok dari sudut pandang
masyarakat serta menggunakan tingkat potongan (discount rate) yang
relevan. Pendugaan nilai bersih sekarang dari sebuah skenario
pengelolaan pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan
sebagai berikut (Dixon and Hufschmidt, 1986) :
CpCeCdBeBdNPV −−−+=
Dimana : NPV = net present value (nilai bersih sekarang) dari alternatif pengelolaan
Bd = manfaat langsung dari alternatif pengelolaan yang dianalisis
Be = manfaat tidak langsung dari alternatif pengelolaan yang dianalisis
Cd = biaya langsung dari alternatif pengelolaan yang dianalisis
Ce = biaya tidak langsung dari alternatif pengelolaan yang dianalisis
Cp = biaya mitigasi dari alternatif pengelolaan yang dianalisis.
= 25 =
Kriteria-kriteria yang paling umum digunakan dalam Extended Cost
Benefit Analysis (ECBA) ini adalah sebagai berikut :
(1). Net Present Value (NPV)
NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat
bersih. Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV yang positif
dan alternatif yang mempunyai NPV tertinggi pada peringkat pertama.
Secara matematis, Net Present Value dapat disajikan sebagai berikut
(Abelson, 1979) :
( )∑= +
−=
i
ttii
rCBNPV
0 1
di mana : B = manfaat per tahun
C = biaya
r = discount rate per tahun
i = jangka waktu perhitungan proyek.
(2). Net Benefit Cost Ratio (NBCR)
NBCR adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria
alternatif yang layak adalah NBCR lebih besar dari 1 dan kita meletakkan
alternatif yang mempunyai NBCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara
matematis, NBCR dapat disajikan sebagai berikut (Abelson, 1979) :
= 26 =
( )
( )∑
∑
=
=
<+−
>+−
= i
ttii
i
ttii
rBC
rCB
NetBCR
0
0
01
01
di mana : B = manfaat per tahun
C = biaya
r = discount rate per tahun
i = jangka waktu perhitungan proyek.
8. REFERENSI TERBATAS
Abelson, P. 1979. Cost Banefit Analysis and Environmental Problems. Itchen Printers Limited, Southampton, England.
Adger, W. N. and Florian Grohs. 1994. Aggregate Estimate of Environmental Degradation for Zimbabwe. Ecological Economics 11 (2), 93-104.
Adger, W.N. 1995. Compliance with the Climate Change Convention. Atmospheric Environment 29 (16), 1905-1915.
Adrianto, L. 2005. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. Paper disampaikan pada Sosialisasi Pedoman Investasi Pulau-Pulau Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Mataram, 28 Juli 2005.
Adrianto, L and Y. Matsuda. 2004. Study on Assessing Economic Vulnerability of Small Islands Regions. Environment, Development and Sustainability 6 : 317-336 pp.
Adrianto, L. and Y. Matsuda. 2002. Developing Economic Vulnerability Indices of Environmental Disasters in Small Islands Regions. Environmental Impact Assessment Review 22 : 393-414 pp.
Atkinson, G., Dubourg, R., Hamilton, K., Munasinghe, M., Pearce, D., and Young, C. 1997. Measuring Sustainable Development : Macroeconomics and the Environment. Edward-Elgar Publisher. Cheltenham, UK.
= 27 =
Bohle, H.G., Thomas E Downing, and Michael J. Watts. 1994. Climate Change and Social Vulnerability. Global Environmental Changes 4 (1), 37-48
Briguglio, L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic Vulnerabilities. World Development, 23 (9), 1615-1632.
Briguglio, L. 2000. An Economic Vulnerability Index and Small Island Developing States : Recent Literatures. Working Paper, Kagoshima University Pacific Islands Studies Center. Kagoshima, November 29, 2000.
Brookfield, H.C. 1990. An Approach to Islands, in : Beller, W, P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. The Parthenon Publishing Group. Paris, France, New Jersey, USA. pp. 23-34.
Carpenter, S., William Brock, and Paul Hanson. 1999. Ecological and Social Dynamics in Simple Models of Ecosystem Management. Conservation Ecology 3 (2); 4. (Online, URL : http://www.consecol.org/ vol3/iss2/art4).
Cicin-Sain, B. dan Knecht, R.W., 1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Concepts and Practices. Island Press, Washington DC.
Conley, T and Ligon, E. 1998. Economic Distance, Spillover, and Cross Country Comparisons. Working Paper, Department of Agricultural and Resources Economics, Division of Agriculture and Natural Resources, University of California at Berkeley. USA.
Conor, D. 1995. Applying Economic Instrument in Developing Countries: From Theory to Implementation. International Development Research Centre, Paris.
Constanza, R.(eds). 1991. Ecological Economics : The Science and Management of Sustainability. Columbia University Press. N.Y.
Corson, W.H. The Global Ecology Hand Book, What you can do abaout environmental crisis (ed). Beacon Press, Boston.
Cross, M and Nutley, S. 1999. Insularity and Accessibility : the Small Island Communities of Western Ireland. Journal of Rural Studies. 15 (3), 317-330.
= 28 =
Dahuri, R., 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan. dalam Edyanto, CB.H., Ridlo, R., Naryanto, H.S. dan Setiadi, B. (Eds.). Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Depdagri, Dir. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources Management Project, USAID. hal. B32 – B42.
Dakhidae, Daniel. 1994. Economy, ecology and A sense of solidarity. In Economy And Ecology in Sustainable Development. Edited by SPES. Gramedia Pustaka Utama.
Debance, K.S. 1999. The Challenges of Sustainable Management for Small Island.[online]. Available online at http://www.insula.org/islands /small-islands.html. Accessed in May 25, 1999.
Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Kota Batam. 2005. Perkembangan Perikanan Tangkap Kota Batam Tahun 2003-2004. Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Kota Batam. Batam.
Dow, K. and Susan L. Cutter. 2000. Public Orders and Personal Opinions : Household Strategies for Hurricane Risk Assessment. Environmental Hazard 2 (4), 143-155.
Dutton, I.M. dan Hotta, K., 1995. Introduction. dalam Coastal Management in the Asia-Pacific Region: Issues and Approach. Hotta, K dan Dutton I.M. (eds.). Japan International Marine Science and Technology Federation, Tokyo.
Edwards, S.F. 1987. An Introduction to Coastal Zone Economics : Concepts, Methods, and Case Studies. Taylor and Francis Publishers. New York, USA.
Falkland, T., 1995. Water resources assessment, development and management for small tropical island. Proc. Work. Water Resources Assessment in Small Island and the Coastal Zone (Hehanusa, P.E. and Haryanti, G.S., Eds). LIPI-UNESCO, Indon, Nat. Com. IHP, and RDC Limnol.-LIPI, Jakarta. hal. 1-82.
FAO. 2000. Application of Contingent Valuation Method in Developing Countries. FAO Economic and Social Development Papers No. 146/200. FAO, Rome.
Field, Barry C. 1994. Environmental Economics, An Introductions. Mcbrew Hill., INC, New York.
= 29 =
Freeman III, A.M. 2003. The Measurement of Environmental and Resource Values. Resources for the Future. Washington, D.C.
Friend, A. M. 1993. A Framework for consideration of tertiary level training in environmental economics. Training in Environmental Economics in The Asia-Pacific Region and Repor of The First NET-TLAP Resources Development Workshop for Education and Training at Tertiary Level in Environmental Economics. United Nations Environment Programme Regional Officer for Asia and The Pacific.
Gilbert, A.J and R. Janssen. 2002. Use of Environmental Functions to Communicate the Values of A Mangrove Ecosystem Under Different Management Regime. Ecological Economics 25; 323-346.
Grigalunas, T.A. and R. Congar. 1995. Environmental Economics for Integrated Coastal Area Management : Valuation Methods and Policy Instruments. UNEP Regional Seas Reports and Studies No. 164. UNEP.
Groot, R.S., et.al. 2002. A Typology for the Classification, Description, and Valuation of Ecosystem Functions, Goods and Services. Ecological Economics 41; 393-408.
Hamilton, L.S. and S.C.Snedaker (Eds). 1984. Handbook for Mangrove Area Management. IUCN and UNESCO.
Hasegawa, H. 2000. Turning Point for Island Policies ? : Comparative Case Studies Between EU and Japan. Working Paper, International Small Islands Studies Association. Islands of the World VI Conference, Isle of Skye, October 16-20, 2000.
Hein, P.L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands, in : Beller, W., P. d’Ayala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. The Parthenon Publishing Group. Paris, France, New Jersey, USA. pp. 35-44.
Ho-Shung Oh.1993 Role of environmental economics in ESSD in Asia and Pacific. Training in Environmental Economics in The Asia-Pacific Region and Repor of The First NETTLAP Resources Development Workshop for Education and Training at Tertiary Level in Environmental Economics. United Nations Environment Programme Regional Officer for Asia and The Pacific.
Hufschmidt, M.M., D.E.James, A.D.Meister, B.T.Bower and J.A.Dixon. 1992. Environmental, Natural System and Development : An Economic Valuation Guide. The John Hopkins Univeristy Press, Baltumore.
= 30 =
Kusumastanto, T., S.Koeshendrayana, A.Fahrudin and L.Adrianto. 1998. Cost Benefit Analysis of Habitat Conservation in the Malacca Strait. Center for Coastal and Marine Resources Studies, Bogor Agricultural Univeristy.
Ledoux, L and R.K. Turner. 2002. Valuing Ocean and Coastal Resources : A Review of Practical Examples and Further Action. Ocean and Coastal Management 45; 583-616.
Pearce, D. 1994. Economic Values and The Environment in The Developing World.The Centre for Social and Economic Research on The Global Environment, University College London and University of Eas Anglia United Kingdom.
Pearce, D., Anil Markandya and E. Barbier. 1990. Blue Print for a Green Economy. Eartscan Publication Ltd. London.
Pearce, D.W and Jeremy J. Warford. 1993. World without End, Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press.
Pearce, David W. and R. Kerry Turner. 1994. Economic of Natural Resources and the Environment. The John Hopkins University Press, Baltumore.
Perrings, C. 1998. Resilience in the Dynamics of Economy-Environment Systems. Environmental and Resource Economics 11 (3-4), 503-520.
Pezzey,J. 1992. Sustainable Development Concept, An Economic Analysis. The World Bank, Washington DC.
Randall, A. 1987. Resource Economics. An economic Approach to Natural resources and Environtmental Policy. John Wiley & Son, New York.
Ruitenbeek, H.J. 1991. Mangrove Management : An Economic Analyisis of Management Options with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI/KLH, Jakarta.
Tietenberg, T. 1992. Environmetal and Natural Resources Economics. Third Edition, Harper Collins Publisher.
= 31 =
Top Related