TEXT BOOK REVIEW
MIASTENIA GRAVIS PADA KEHAMILAN
Pembimbing
dr. Untung Gunarto, Sp. S
Disusun oleh :
Melan Mulyana G1A211030
BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
2
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui Text Book Review yang berjudul :
“MIASTENIA GRAVIS PADA KEHAMILAN”
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh :
Melan Mulyana G1A211030
Disetujui dan disahkan:
Tanggal : November 2012
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Untung Gunarto, Sp. S
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan
karuniaNya, sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan Text Book Review
(TBR) ini. TBR yang berjudul “Miastenia Gravis pada Kehamilan” ini merupakan
salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik SMF Ilmu Penyakit Saraf
sebagai dokter muda.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Untung Gunarto, Sp.S,
sebagai pembimbing atas waktu yang diluangkan, bimbingan, dan saran yang
sifatnya membangun dalam penyusunan TBR ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan TBR ini masih belum
sempurna serta banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penyusun
mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembimbing serta seluruh pihak
yang membaca analisis referat ini. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya.
Purwokerto, November 2012
Penyusun
4
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 5
1.1 Latar belakang .................................................................................. 5
1.2 Tujuan ............................................................................................... 6
1.3 Manfaat .............................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7
2.1 Definisi ............................................................................................ 7
2.2 Etiologi ............................................................................................. 7
2.3 Epidemiologi .................................................................................... 7
2.4 Klasifikasi ........................................................................................ 8
2.5 Diagnosis Banding............................................................................ 9
2.6 Patogenesis ..................................................................................... 10
2.7 Manifestasi Klinis ........................................................................... 12
2.8 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 13
2.9 Efek Miastenia Gravis Terhadap Kehamilan ................................. 15
2.10 Penatalaksanaan .............................................................................. 16
2.11 Manajemen Miastenia Gravis pada Kehamilan dan Persalinan ..... 20
BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 23
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Miastenia gravis merupakan suatu gangguan autoimun pada transmisi
neuromuskular yang disebabkan oleh adanya suatu antibodi yang merusak
reseptor asetilkolin sehingga menyebabkan transmisi impuls saraf tidak
adekuat. (1)
Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan yang
fluktuatif dengan adanya remisi dan eksaserbasi. (2)
Miastenia gravis
berkaitan dengan patologi timik yaitu sekitar 15% pasien miastenia gravis
mempunyai timoma dan 60% mengalami hipertrofi timus. Miastenia gravis
bisa juga bersifat kronik, menyebabkan disabilitias berat, dan bahkan
kematian. (3)
Prevalensi miastenia gravis di dunia diperkirakan sebanyak 1 juta
pasien. Sebelum ditemukan berbagai macam pengobatan, prognosis miastenia
gravis sangat buruk dengan angka kematian sekitar 50% 10 tahun setelah
onset. Dengan pengobatan modern seperti immunoterapi, timektomi, dan
pengobatan lainnya menunjukkan bahwa seorang individu dengan dan tanpa
miastenia gravis memiliki life expectancy yang sama walaupun pada
miastenia gravis terjadi penurunan kemampuan fisik, penurunan kualitas
hidup, dan risiko timbulnya komplikasi. (4)
Selama kehamilan, miastenia gravis bisa terjadi kapan saja yaitu pada
trimester pertama, kedua, ataupun trimester ketiga. Miastenia gravis pada
kehamilan lebih sering mengalami perburukan pada trimester pertama dan
trimester ketiga. Miastenia gravis tidak bisa diprediksikan selama kehamilan.
Gejala miastenia gravis biasanya memberat pada trimester pertama dan pada
trimester ketiga. Selain itu, apabila ibu mengalami miastenia gravis selama
kehamilan maka dapat menyebabkan bayinya mengalami transient
myasthenic syndrome yang ditandai dengan tangisan yang lemah, kesulitan
6
untuk menelan dan kelemahan pernafasan. Gejala-gejala ini timbul beberapa
jam setelah bayi lahir. (5)
Miastenia gravis pada kehamilan sangatlah penting untuk diketahui dan
diobati secara tepat karena efek yang ditimbulkannya tidak hanya pada ibu
hamil itu sendiri tetapi juga pada bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu,
pada Text Book Review ini akan dibahas mengenai miastenia gravis pada
kehamilan.
1.2 Tujuan
Penulisan Text Book Review ini bertujuan untuk membahas tentang
miastenia gravis, khususnya miastenia gravis pada kehamilan.
1.3 Manfaat
Penulisan Text Book Review ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca sehingga dapat membantu dalam mendiagnosis dan
mengobati miastenia gravis pada kehamilan
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis merupakan suatu gangguan autoimun pada transmisi
neuromuskular yang disebabkan oleh adanya suatu antibodi yang merusak
reseptor asetilkolin sehingga menyebabkan transmisi impuls saraf tidak
adekuat. (1)
Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun yang dapat
diobati, ditandai dengan kelemahan otot. Hal ini berkaitan dengan suatu
antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) pada membran postsinaptik
neuromuscular junction (NMJ). (6)
2.2 Etiologi
Penyebab miastenia gravis pada kebanyakan pasien tidak diketahui.
Miastenia gravis merupakan penyakit autoimun dengan lebih dari 90%
kasus memiliki antibodi anti AChR. Antibodi antibodi IgG ditemukan pada
80-90% miastenia gravis generalisata dan 50-70% miastenia gravis okular.
Beberapa penelitian telah menghubungkan miastenia gravis dengan HLA-
B8, HLA-DRw3, dan HLA-DQw2 yang berperan dalam menyebabkan
kerentanan seseorang mengalami miastenia gravis. Beberapa obat juga bisa
menginduksi atau menyebabkan eksaserbasi miastenia gravis, yaitu
antibiotik, penicillamine, beta blocker, antikolinergik, dan lain sebagainya.
Abnormalitas timik juga sering dihubungkan dengan miastenia gravis, yang
meliputi hiperplasi timik, dan timoma. (7)
2.3 Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan gangguan tersering pada neuromuscular
juntion (NMJ). Prevalensi miastenia gravis di inggris dilaporkan sekitar 2-
7/10.000. Miastenia gravis ini bisa terjadi pada semua usia tetapi lebih
8
sering pada dekade ketiga terutama pada wanita, sedangkan pada pria lebih
sering terjadi pada dekade 6 dan 7. (6)
Di amerika diperkirakan miastenia gravis generalisata terjadi skitar 20
kasus dari 100.000 penduduk. Insidensi di dunia diperkirakan sekitar 20-100
per satu juta penduduk dan prevalensi miastenia gravis diperkirakan 1 dari
20.000 ibu hamil (8)
2.4 Klasifikasi
Miastenia gravis bisa diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidak
adanya antibodi anti AChR, berdasarkan tingkat keparahan penyakit, dan
berdasarkan etiologi. (6)
A. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya antibodi anti AChR
1. Seropositif
Tipe ini merupakan tipe miastenia gravis autoimun didapat
yang paling banyak dan diperkirakan menyerang sekitar 85% pasien
miastenia gravis generalisata dan 50% pasien miastenia gravis
okular. Untuk mendeteksi adanya antibodi, digunakan pemeriksaan
radioimmunoassay. (6)
2. Seronegatif
Antara 10-20% pasien dengan miastenia gravis didapat tidak
terdapat antibodi anti AChR. Akhir-akhir ini, antibodi Muscle
Spesific Kinase (MuSK) telah dilaporkan pada beberapa pasien.
Antibodi ini merupakan suatu protein pada membran post sinap yang
berhubungan dengan AChR. Pasien-pasien kebanyakan mengalami
kelemahan pada otot mata. (6)
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit
Klasifikasi original osserman’s membagi miastenia gravis dewasa
ke dalam 4 golongan berdasarkan tingkat keparahan penyakit, yaitu :
1. Miastenia okular
2. Miastenia generalisata dengan tingkat keparahan ringan dan sedang
3. Miastenia gravis generalisata berat
9
4. Krisis miastenia dengan kegagalan pernafasan. (6)
C. Klasifikasi berdasarkan etiologi
Berdasarkan etiologi, miastenia gravis diklasifikasikan menjadi 4
jenis, yaitu :
1. Miastenia gravis autoimun didapat (acquired autoimmune
myasthenia gravis), merupakan tipe tersering pada orang dewasa
2. Transient neonatal myasthenia gravis, disebabkan oleh transfer pasif
antibodi anti AchR dari maternal.
3. Miastenia gravis yang diinduksi obat seperti D-penicillamine. Tipe
ini identik dengan miastenia gravis autoimun didapat dengan
antibodi anti AChR positif. Obat lain yang bisa menyebabkan
eksaserbasi atau penyebab myasthenia-like weakness adalah curare,
aminoglikosida, quinin, procainamide, dan ca channel blockers.
4. Sindrom miastenia gravis kongenital, disebabkan oleh mutasi protein
yang berperan dalam transmisi neuromuscular post sinap (6).
2.5 Diagnosis Banding
1. Kelainan NMJ lain
a. Sindrom miastenik Lambert-Eaton
Merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
suatu antibodi pada pre-synaptic voltage-gated calcium channel dan
berhubungan dengan kelemahan ekstremitas. Olah raga akan
memperbaiki kelemahan sementara dan refleks bisa menghilang.
Stimulasi saraf repetitif menunjukkan respon incremental sedangkan
pada miastenia gravis menunjukkan respon decremental. Penyakit ini
sering berhubungan dengan karsinoma paru .
b. Miastenia gravis yang diinduksi obat
Miastenia gravis yang diinduksi penicillamine merupakan
gangguan autoimun yang mirip miastenia gravis dan akan membaik
beberapa minggu setelah penghentian obat tersebut. Obat-obatan lain
seperti aminoglikosida, procainamide, calcium channel blocker, dan
10
quinine bisa menyebabkan orang normal mengalami kelemahan pada
ototnya seperti eksaserbasi miastenia gravis.
c. Botulisme
Toksin botulinum menghambat dusi vesikel pre sinap yang
menggandung asetilkolin dengan membran pre sinap. Botulisme
menyebabkan kelemahan generalisata, oftammoplkeia, dan
kelemahan otot-otot pernafasan. Penyakit ini berbeda dengan
miastenia gravis, dilihat dari keterlibatan dan pu[il dan respon
incremental pada stimulasi repetitif.
d. Miastenia kongenital
Penyakit ini terdiri dari beberapa gangguan yang diakibatkan
oleh mutasi pada gen yang mengkode protein uuntuk transmisi
neuromuscular.
2. Miopati
Miastenia okular mirip dengan oftalmoplegia progresif kronik dan
gangguan mata pada penyakit graves
3. Proses batang otak
Kombinasi gejala dan tanda okular dan bulbar bisa terlihat pada
gangguan batang otak seperti iskemik, infeksi, dan inflamasi. (6)
2.6 Patogenesis
Neuromuscular junction (NMJ) merupakan suatu sinap yang
menghubungkan saraf dan otot. Secara normal, asetilkolin dilepaskan dari
membran presinap baik secara spontan atau sebagai akibat impuls saraf.
Asetilkolin yang terlepas akan berikatan dengan reseptor ACh. Asetilkolin,
sekali dilepaskan ke dalam daerah sinaptik akan terus mengaktifkan reseptor
asetilkolin. Namun demikian, asetilkolin ini secara cepat akan disingkirkan
melalui dua cara yaitu penghancuran asetilkolin oleh enzim
asetilkolinesterase dan difusi asetilkolin keluar dari celah sinap. Periode
waktu yang singkat dimana asetilkolin menetap di dalam ruangan sinaptik
11
paling lama hanya beberapa detik dan sudah cukup untuk merangsang serat
otot. (9)
Gambar 1. Neuromuscular Junction (6)
Miastenia gravis dihubungkan dengan adanya antibodi anti AChR.
Terdapat beberapa bukti autoantibodi anti AChR menyebabkan miastenia
gravis. Bukti-bukti tersebut di antaranya adalah :
1. Antibodi anti AChR ditemukan pada sekitar 80—90% pasien dengan
miastenia gravis autoimun generalisata.
2. Antibodi anti AchR pada sirkulasi maternal ditemukan juga pada serum
bayi dengan miastenia gravis neonatal dan titer antbodi menurun ketika
bayi tersebut mangalami perbaikan dari miastenia gravis.
3. Suatu eksperimen transfer pasif IgG dari pasien miastenik terhadap tikus
menyebabkan penyakit yang sama dengan miastenia gravis.
4. Plasmaferesis untuk menurunkan AChR menghasilkan perbaikan dari
miastenia gravis.
5. Antibodi berikatan dengan AChR pada NMJ.
6. Suatu model miastenia gravis eksperimental bisa dibuat dengan cara
memasukkan antibodi anti AChR pada hewan. (6)
Gangguan utama NMJ pada pasien dengan miastenia gravis meliputi
penurunan jumlah reseptor ACh, pemendekan lipatan sinap akibat destruksi
lipatan sinap dan pelebaran celah sinap yang disebabkan oleh pemendekan
lipatan-lipatan junction. Perubahan tersebut disebabkan karena serangan
imun pada membran post sinap. Sumber lain menyebutkan bahwa
12
setidaknya terdapat 3 mekanisme yang diperantarai antibodi dan
menyebabkan gangguan pada reseptor ACh. Mekanisme-mekanisme itu
ialah :
1. Percepatan endositosis dan degradasi reseptor ACh
2. Blokade sisi fungsional perlekatan ACh
3. Destruksi lipatan junctional pada membran post sinap yang disebabkan
oleh komplemen (2)
Titer antibodi tidak berhubungan dengan tingkat kelemahan pada
pasien. (6)
Sekitar 10-20% pasien dengan miastenia gravis tidak mempunyai
antibodi anti AChR dan disebut seronegatif. Pasien-pasien tersebut
mempunya antibodi terhadap protein MuSK pada membran post sinap. (6)
Miastenia gravis secara dominan disebabkan oleh antibodi anti AChR
tetapi sel T juga mempunyai peran dalam patogenesis penyakit ini. Subset
spesifik sel T berespon terhadap stimulasi antigenik dan aktivasi sel B
spesifik AChR. Mekanisme pemecahan toleransi imun tidak diketahui tetapi
dipercaya melibatkan timus. Abnormalitas timik ditemukan pada sekitar
75% pasien. Hiperplasia germinal ditemukan sekitar 85% dan tumor timus
pada sekitar 15% pasien. Lebih dari 90% pasien dengan timoma dan
miastenia gravis mempunyai antibodi anti otot lurik. Sel-sel mioid yang
mengekspresikan AChRs ditemukan di timus dan menunjukkan bahwa
reseptor-reseptor tersebut merupakan sumber autoantigen yang
menyebabkan miastenia gravis. (6)
2.7 Manifestasi Klinis
Pasien menunjukkan gejala kelemahan otot yang memburuk setelah
beraktivitas dan apabila beristirahat maka kelamahan otot tersebut hilang.
Gejala-gejala bisa bervariasi dari jam ke jam dan dari hari ke hari dan
biasanya memburuk pada di akhir pekan. Faktor-faktor yang memperburuk
kelemahan meliputi olah raga, stress emosional, temperatur yang panas,
infeksi, obat-obatan tertentu (aminoglikosida, fenitoin, anestesi lokal),
tindakan operasi, menstruasi dan kehamilan. Otot yang paling sering terkena
13
adalah musculus levator palpebra superioris, musculus ekstraokular, otot-
otot wajah, dan otot-otot leher. (6)
Ptosis merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi dan biasanya
unilateral, parsial, berfluktuasi menyebabkan kebingungan dalam
menegakkan diagnosis. Adanya cogan’s lid twitch sign merupakan ciri
miastenia gravis. Ketika mata masien melihat ke bawah sekitar 20-30 detik
dan secara cepat kembali ke posisi semula, kedua mata akan jatuh ke bawah.
Ptosis membaik setelah tidur. Kelemahan okular biasanya asimetris,
berfluktuasi, dan bisa seperti oftalmoplegia berat. Wajah menunjukkan
sedikit ekspresi, dan pasien mungkin menengadahkan kepalanya sehingga
bisa melihat walopun mengalami ptosis. Suara pasien mungkin mengalami
disfonia dan bisa juga terjadi regurgitasi nasal apabila palatum mole terlibat.
(6)
Arah kelemahan pada miastenia gravis adalah craniocaudal dengan
urutan ialah mata, wajah, badan, dan terakhir adalah ekstremitas.
Kelemahan otot interkostal dan diafragma dapat menyebabkan dyspnea
ketika berolah raga, ketika terlentang, dan bahkan ketika beristirahat.
Osthopnea dengan resolusi yang cepat ketika bangun merupakan tanda
klinis yang penting yang menunjukkan kegagalan neruromuskular
pernafasan. Sesak nafas berat bisa berkembang dalam beberapa jam
sehingga harus dilakukan monitoring Forced Vital Capacity (FVC) dan
analisa gas darah. Pada kasus yang berat, intubasi dan ventilasi mekanik
sangat dibutuhkan. (6)
2.8 Pemeriksaan penunjang
1. Tes tensilon (endrophonium)
Edrophonium merupakan asetilkolinesterase dengan aksi yang
cepat yang bekerja dalam 30 detik dan paling lama sekitar 5 menit. dosis
tes ialah 2 mg, selanjutnya 8 mg setelag 30 detik apabila tidak ada respon
terhadap dosis 2 mg. Pemberian ini bisa mengakibatkan bradikardi dan
hipertensi sehingga harus dilakukan pada fasilitas yang menyediakan
14
alat-alat resusitasi. Pasien harus terlebih dahulu diperiksa EKD dan
apabila ada penyakit jantung akut atau blokade konduksi maka tes tidak
bisa dilakukan. Selama test harus dimonitor EKG-nya dan atropine harus
tersedia untuk menanggulangi bradikardi. Hasil test bisa positif pada
kondisi-kondisi lain seperti penyakit motor neuron, poliomielitis, dan
neuropati perifer. Hasil test harus diinterpretasikan dan disesuaikan
dengan tanda dan gejala yang ada pa apasien serta temuan-temuan
lainnya. (6)
2. Tes antibodi anti AChR
Antibodi-antibodi tersebut ditemukan pada 80-85% miastenia
gravis generalisata dan 50-60% miastenia gravis okular. Test ini sangat
spesifik untuk miastenia gravis. Meskipun titer antibodi tidak berkorelasi
terhadap tingkat keparahan penyakit, tetapi tes ini sangat berguna dalam
menentukan miastenia gravis. (6)
3. Antibodi anti MuSK
Test ini dilakukan terutama pada pasien dengan kelemahan okular
dan hasil test antibodi anti AChR negatif. (6)
4. Test elektrofisiologi
Stimulasi saraf berulang dan EMG serat tunggal adalah dua test
utama untuk menilai fungsi NMJ. Stimulasi saraf berulang meliputi
stimulasi elektrik supramaksimal pada frekuensi 3 Hz terhadap saraf dan
menilai respon pada otot distal. Pada miastenia gravis, tes ini
menunjukkan reduksi progresif amplitudo dari potensial aksi pada otot
stimulasi yang keempat. Pada orang normal, respon stimulasi keempat
biasanya berkurang sekitar 7%. Apabila berkurang lebih dari 10% maka
test dikatakan positif dan menunjukkan respon dekremental. Test hampir
selalu positif pada miastenia gravis generalisata dan juga bisa neggatif
pada 50% miastenia okular. Single fibre EMG merupakan test yang
paling sansitif (95%) untuk miastenia gravis. (6)
15
5. MRI/CT Scan dada
Pasien dengan miastenia gravis bisa saja menderita tumor timis
terutama pada usia lebih dari 40 tahun. Persistensi jaringan timus setelah
umur 40 tahun atau peningkatan ukuran timik harus dicurigai merupakan
suatu tumor timus. (6)
2.9 Efek Miastenia Gravis Terhadap Kehamilan
Miastenia gravis dapat diderita oleh perempuan selama usia
reproduksinya. Miastenia gravis diderita oleh sekitar 1 dari 20.000
kehamilan. (9)
Suatu penelitian menyebutkan bahwa eksaserbasi terjadi pada
sekitar 41% pasien selama kehamilan dan 29,8% postpartum. Sekitar 4%
pasien pasien meninggal karena perburukan penyakit atau disebabkan oleh
komplikasi pengobatan. Penelitian lain menyebutkan bahwa penyakit
semakin memburuk pada 10 dari 54 pasien miastenia gravis yang sedang
hamil. Sekitar 60% eksaserbasi terjadi selama trimester pertama dan 28%
segera setelah melahirkan. Persalinan prematur terjadi pada 4 ibu hamil dari
54 pasien dan 16 persalinan dilakukan melalui tindakan sectio caesaria.
Penelitian ini menyimpulkan, tidak ada hubungan antara derajat keparahan
miastenia gravis sebelum dan selama kehamilan. (8)
Kejadian miastenia gravis pada waktu kehamilan sulit untuk
diprediksikan. Pasien mungkin mengalami remisi, eksaserbasi, atau bahkan
kiris miastenia. Tidak hanya itu, pasien yang sedang hamil setiap saat biasa
saja mengalami eksaserbasi, kegagalan pernafasan, kiris miastenik, atau
bahkan kematian. (8)
Walaupun demikian, kehamilan dan persalinan pada
wanita dengan miastenia gravis biasanya tidak menimbulkan komplikasi,
meskipun suatu tindakan seperti sectio caesaria, penggunaan forceps sering
dilakukan karena berhubungan dengan partus tak maju. (4)
Meskipun hubungan antara miastenia gravis dengan kehamilan telah
lama menjadi bahan penelitian, tetapi sampai saat ini hasilnya masih
kontradiktif. Sebagai contoh, suatu penelitian mendapatkan bahwa wanita
dengan miastenia gravis mempunyai prevalensi lebih tinggi melahirkan bayi
16
prematur atau bayi dengan berat bayi lahir rendah jika dibandingkan dengan
populasi normal tetapi penelitian lain gagal membuktikan hal ini. Selain itu
peningkatan tindakan sectio caesaria pada wanita hamil dengan miastenia
gravis juga masih kontroversial. (9)
2.10 Penatalaksanaan Miastenia Gravis
Penatalaksanaan miastenia gravis meliputi terapi simptomatik untuk
memperbaiki transmisi neuromuskular, pemberian obat-obat
immunomodulating seperti steroid, dan modifikasi pada penyakit yang
mendasarinya seperti timektomi. Secara umum penatalaksanaan miastenia
gravis dilakukan secara farmakologis dan non farmakologis. Secara
farmakologis yaitu:
1. Pengobatan Simptomatik
Inhibitor asetilkolinesterase menghambat pemecahan asetilkolin
pada NMJ. Peningkatan ketersediaan Ach akan merangsang AChR dan
memfasilitiasi aktivasi dan konstraksi otot. (3)
Obat ini tidak mengobati
proses penyakit yang mendasarinya dan murni hanya bersifat
simptomatik. (6)
Obat yang paling sering digunakan adalah pyridostigmin.
Obat-obatan golongan ini biasanya digunakan untuk terapi awal pada
pasien yang baru terdiagnosis miastenia gravis tetapi kurang efektif jika
diberikan pada penderita miastenia gravis okular. (2)
Obat-obat ini
biasanya bisa ditoleransi hingga dosis lebih dari 60 mg dengan
penggunaan lima kali sehari dengan onset berkisar antara 15-30 menit
dan paling lama 4 jam. (2)
Efek sampingnya bisa menyebabkan
peningkatan konsentrasi Ach pada sinaps muskarinik ataupun nikotinik.
Efek muskarinik yang paling sering muncul adalah hipermotilitas (kram,
diare), keringat berlebihan, dan bradikardi sedangkan efek nikotiniknya
adalah fasikulasi otot dan kram. (3)
Efek samping muskarinik bisa diobati
dengan obat-obatan antikolinergik seperti propantheline atau
diphenoxylate tanpa berpengaruh terhadap reseptor asetilkolin pada NMJ
17
serta atropin tablet dengan dosis 0,5-1 mg pada orang dewasa. Krisis
kolinergik disebabkan karena terlalu banyaknya asetilkolin pada NMJ. (6)
2. Kortikosteroid
Steroid oral direkomendasikan sebagai obat lini pertama apabila
dibutuhkan immunosupresi. (2)
Pada suatu penelitian observasional,
remisi terjadi pada sekitar 70-80% pasien miastenia gravis yang
diberikan terapi kortikosteroid seperti prednisolon. Steroid mempunyai
efek samping seperti bertambahnya berat badan, retensi cairan,
hipeprtensi, diabetes, kecemasan, insomnia, glaukoma, katarak,
perdarahan gastrointestinal, miopati, dan meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi. Risiko osteoporosis dikurangi dengan pemberian
bisfosfonat dan antasid bisa mencegah komplikasi gastrointestinal. Dosis
awal yang direkomendasikan adalah 10-25 mg per hari dan dinaikkan
dosisnya 10 mg selang seling sampai sekitar 60-80 mg per hari.
Perbaikan biasanya terjadi 2-4 minggu dan dilanjutkan 6-12 minggu. (6)
Setelah pemberian dan Ketika mulai mengalami remisi biasanya setelah
4-16 minggu, dosis harus diturunkan sampai dosis efektif, selang seling.
(3)
3. Azathioprine
Azathioprine merupakan suatu immunosupresan yang bekerja
menghambat sintesis DNA dan RNA serta mengganggu fungsi sel T.
Dosis perhari adalah 2-3 mg/KgBB/hari. Onset respon terapi sekitar 4-12
bulan dan efek maksimal setelah 6-24 bulan. Efek samping obat ini bisa
menyebabkan peningkatan enzim hati, leukopenia, anemia,
trombositopenia, dan pansitopenia. (3)
4. Cyclosporin A
Cyclosporin A menghambat produksi interleukin 2 oleh sel T.
Obat ini merupakan obat lini ketiga dan digunakan pada pasien yang
mengalamo intoleransi atau yang tidak berespon terhadap obat
immunosupresan lain. Dosis yang direkomendasikan adalah 5
mg/KgBB/hari. (2)
18
5. Cyclophospamide
Cyclophospamide bekerja pada limfosit B dan efektif pada
miastenia gravis yang resisten terhadap obat. Penggunaan obat ini
terbatas karena bisa menyebabkan infertilitas dan juga bisa menyebabkan
respon terhadap pengobatan lain menghilang. (2)
6. Mycophenolate mofetil (MMF); tacrolimus
Obat-obat ini merupakan obat immunosupresan baru dengan
beberapa keuntungan seperti obat immunosupresan lini ke-2. Suatu
penelitian menyebutkan bahwa efikasi obat ini masih belum jelas. (2)
7. Metotreksat
Metotreksat digunakan pada pasien tertentu yang tidak berespon
terhadap immunosupresan. (3)
metotrexate merupakan suatu antagonist
folat yang menghambat sintesis de novo purin dan pirimidin. Metotrexate
masih digunakan sebagai lini kedua. Suatu uji klinik untuk mengetahui
efikasi metotreksat masih belum sepenuhnya diketahui. Efek samping
metotreksat meliputi alopesia, mukositis, intoleransi gastrointestinal, dan
peningkatan enzim hati. (10)
8. Immunoglobulin intravena
Immunoglobulin intravena merupakan suatu produk darah yang
mengandung imunoglobulin G dari darah donor telah digunakan untuk
mengobati defisiensi immun atau gangguan autoimun. Immunoglobulin
intravena bekerja pada sistem imun dengan cara mempercepat
katabolisme IgG, mensupresi produksi antibodi, menetralkan
autoantibodi antibodi anti idiotipik, menghambat komplemen dan
formasi membrana attack kompleks, dan menghambat fungsi reseptor Fc.
Perbaikan miastenia gravis dengan pengobatan ini dilaporkan mencapai
70%. Immunoglobulin ini secara umum diberikan 400 mg/kgBB/hari
selama 3 sampai 5 hari. Efek terapinya terjadi dalam beberapa hari atau
minggu setelah pemberian. (11)
19
Pengobatan secara nonfarmakologis bisa dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut:
1. Plasmaferesis
Plasmaferesis telah digunakan lama digunakan dalam
pengobatanmiastenia gravis. Dengan cara ini dapat menghasilkan
perbaikan dalam waktu cepat tetapi sifatnya sementara. Terapi dengan
cara ini biasanya dilakukan pada pasien dengan miastenia gravis berat
dan mengalami krisis miastenik. Selain itu biasa dilakukan sebagai
persiapan pada pasien yang akan menjalani timektomi. (6)
2. Timektomi
Terdapat beberapa pendekatan operasi timektomi, di antaranya
adalah sternotomi parsial, transervikal, dan torakoskopik. Timektomi
pada pasien miastenia gravis dengan atau tanpa timoma telah banyak
dilakukan dan perbaikan postoperatif membutuhkan waktu beberapa
bulan sampai beberapa tahun sehingga sulit membedakan perbaikan ini
disebabkan oleh efek obat-obatan imunosupresif atau efek dari timektomi
itu sendiri. (3)
Indikasi timektomi pada miastenia gravis adalah pasien
timoma yang berpotensial menginvasi jaringan sekitarnya dan pasien
muda dengan miastenia generalisata dimana dengan timektomi, penyakit
dasarnya bisa diobati. (6)
Gambar 2. Target Spesifik pada Intervensi pengobatan Miastenia Gravis
(2)
20
2.11 Manajemen Miastenia Gravis pada Kehamilan dan Persalinan
Prinsip utama manajemen miastenia gravis selama kehamilan adalah:
a. Selama kehamilan, pengobatan miastenia gravis sama dengan
pengobatan pada pasien yang tidak hamil
b. Evaluasi awal pasien hamil dengan miastenia gravis meliputi penilaian
kekuatan motorik, status pernafasan, dan tes fungsi paru. Penilaian
jantung juga harus dilakukan dengan EKG. Selain itu harus diperiksa
juga fungsi tiroid karena terdapat hubungan antara miastenia gravis
dengan penyakit autoimun lainnya
c. Semua penyakit infeksi harus diobati karena bisa menyebabkan
eksaserbasi miastenia gravis
d. Adanya sesak nafas dan batuk harus dievaluasi untuk menentukan adanya
kegagalan otot nadas atau tidak
e. Stress emosional dan fisik dapat menyebabkan eksaserbasi miastenia
gravis (12)
Pada kehamilan, Inhibitor asetilkolinesterase seperti prostigmin
merupakan standar lini pertama untuk mengobati miastenia gravis.
Penyesuaian dosis pada wanita hamil dibutuhkan karena pada wanita hamil
terjadi peningkatan klirens ginjal, volume darah yangmeningkat,
pengosongan lambung yang lambat, dan muntah yang sering. Peningkatan
dosis prostigmin harus disertai dengan penurunan interval pemberian. (12)
Glukokortikoid, azathioprine, dan cyclosporin bisa digunakan
apabila antikolinesterase gagal mengontrol eksaserbasi miastenia gravis.
Obat-obat tersebut telah diteliti dan relatif aman. Bagaimanapun dosis
cyclosporine dan azathioprine berkorelasi dengan aborsi spontan, partus
prematurus, berat bayi lahir rendah, kerusakan kromosom dan supresi
hematologik. Glukokortiokoid bisa menyebabkan intoleransi karbohidrat
khususnya selama kehamilan. Bagaimanapun, tidak ada efek teratogenik
dari glukokortikoid dan pada wanita hamil, glukokortikoid diberikan dengan
dosis efektif yang terendah. (5) (12)
21
Plasmaferesis dan pemberian imunoglobulin digunakan untuk krisis
miastenik terutama apabila terjadi pada wanita hamil yang sudah tidak
berefek apabila diobati secara konvensional. Terapi ini sangat efektif dan
lebih aman. (12)
Magnesium sulfat sering digunakan untuk mengobati preeklampsia
dan eklampsia. Wanita hamil dengan miastenia gravis merupakan
kontraindikasi diberikannya magnesium sulfat klarena dapat menyebabkan
krisis miastenik berat dengan adanya blokade sinap. Hipertensi berat dapat
diobati dengan methyldopa atau hidralazine sedangkan fenobarbital dapat
digunakan sebagai profilaksis kejang. (13)
Pasien dengan preeklampsia dan
miastenia gravis yang diobati dengan glukokortikoid dosis tinggi berisiko
mengalami edema pulmo sehingga harus selalu dalam pengawasan. (12)
Efek miastenia gravis terhadap persalinan lebih dirasakan pada
persalinan kala II. Persalinan kala I tidak dipengaruhi oleh miastenia gravis
karena uterus terdiri dari otot polos dan sedikit reseptor asetilkolin post
sinaptik. Pada persalinan kala II banyak digunakan otot-otot lurik selama
usaha eksvulsif sehingga bisa terjadi kelemahan. Selama proses ini
berlangsung maka inhibitor asetilkolinesterase, yaitu prostigmin, diberikan
secara parenteral dengan dosis satu per tigapuluh dosis oral. (12)
22
BAB III
KESIMPULAN
1 Miastenia gravis merupakan suatu gangguan autoimun pada transmisi
neuromuskular yang disebabkan oleh adanya suatu antibodi yang merusak
reseptor asetilkolin sehingga menyebabkan transmisi impuls saraf tidak
adekuat
2 Penyebab miastenia gravis pada kebanyakan pasien tidak diketahui.
3 Miastenia gravis bisa diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidak adanya
antibodi anti AChR, berdasarkan tingkat keparahan penyakit, dan berdasarkan
etiologi
4 Arah kelemahan pada miastenia gravis adalah craniocaudal dengan urutan
ialah mata, wajah, badan, dan terakhir adalah ekstremitas.
5 Pasien yang sedang hamil setiap saat biasa saja mengalami eksaserbasi,
kegagalan pernafasan, kiris miastenik, atau bahkan kematian
6 Penatalaksanaan miastenia gravis dilakukan secara farmakologis dan non
farmakologis.
7 Pada kehamilan, Inhibitor asetilkolinesterase seperti prostigmin merupakan
standar lini pertama untuk mengobati miastenia gravis.
8 Plasmaferesis dan pemberian imunoglobulin digunakan untuk krisis miastenik
terutama apabila terjadi pada wanita hamil yang sudah tidak berefek apabila
diobati secara konvensional
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Berlit S, Tuschy B. Myasthenia Gravis in Pregnancy: A Case Report.
Germany: Obstetric and Gynecology; 2012.
2. Montegazza R, Bonanno S, Camera G. Current and emerging therapies for the
treatment of myasthenia gravis. Neuropsychiatric Disease and Treatment.
2011; 7.
3. Skeie GO, Apostolski S, Avoli A, Gilhus NE. Guidelines for treatment of
autoimmune neuromuscular. European Journal of Neurology. 2010.
4. Gilhus NE, Owe J. Myasthenia Gravis: A Review of Available Treatment
Approaches. SAGE-Hindawi Access to Research. 2011.
5. Manoj SK. Caesarean section in a patient with Myasthenia Gravis: A bigger
challenge for the anesthesiologist that the obstetrician. Journal of Obstetric
Anesthesia and Critical Care. 2012; 2(1).
6. Turner C. A review of myasthenia gravis: Pathogenesis, Clinical features and
Treatment. Current Anaesthesia & Critical Care. 2007; 18.
7. Goldenberg WD. Myasthenia Gravis. [Online].; 2012 [cited 2012 November
11. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1171206-
overview#aw2aab6b2b4.
8. Sharon I. Myasthenia Gravis and Pregnancy. [Online].; 2011 [cited 2012
November 11. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/261815-overview#showall.
9. Hall JE. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
Philadelpia: Elsevier Saunders; 2011.
10. Wen JC, Liu TC. No increased risk of adverse pregnancy outcomes for
women with myasthenia gravis: a nationwide population-based study.
European journal of Neurology. 2009; 16.
24
11. Sathasivam S. Current and emerging treatments for the management of
myasthenia gravis. Ther Clin Risk Manag. 2011; 7.
12. Keem JY. Treatment of Myasthenia Gravis Based on Its Immunopathogenesis.
J Clin Neurol. 2011; 7.
13. Bird SJ, Stafford IP. Management of myasthenia gravis in pregnancy. In ;
2011.
14. Picon PD. Clinical Practice Guidelines for Pharmaceutical Treatment of
Myasthenia Gravis. In Department of Health Care; 2010; Brazil.
Top Related