Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 133 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
BAB IV
MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI
PEMERINTAH ORDE BARU
Pada akhir tahun 1966 pemerintah mengeluarkan suatu
peraturan yang mengatur penggantian nama orang Tionghoa.1
Dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa asimilasi orang-orang
Tionghoa ke dalam masyarakat dan budaya Indonesia merupakan
bagian dari program besar “nation and character building Indonesia.”
Penggantian nama perlu dilakukan karena hal itu mendorong
terjadinya asimilasi. Sepanjang dapat dicermati, Keppres ini sama
sekali tidak mewajibkan atau memaksa orang Tionghoa
melakukan perubahan nama. Namun bagi orang-orang Tionghoa
di Jawa Timur, hal itu tidak berjalan demikian. Tidak lama
sesudah itu, persisnya pada tanggal 1 Januari 1967, Jenderal
Soemitro, selaku Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah
(Pepelrada) Jawa Timur, mengeluarkan sejumlah ketentuan lebih
lanjut yang mengatur kehidupan orang Tionghoa di wilayah ini.
Berbeda dari Keppres tersebut dan dari peraturan-peraturan lain
yang dikeluarkan pemerintah pusat, peraturan yang dikeluarkan
oleh Peperalda dengan tegas melarang pemakaian nama, bahasa
dan aksara Tionghoa di ruang publik. Enam bulan kemudian,
Presidium Kabinet Ampera, cikal bakal pemerintahan Orde Baru,
mengambil jalan yang sama kerasnya dengan menghapus
pemakaian istilah “Tionghoa” dari penggunaan publik dan dari
administrasi pemerintahan negara serta menggantinya dengan
istilah “Cina.” Alasannya, karena istilah Tionghoa dipandang
1 Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966 tanggal 27
Desember 1966 tentang Ganti Nama Orang Cina.
134 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
“mengandung nilai-nilai yang memberi asosiasi-psykopolitis yang
negatif bagi rakyat Indonesia.”2
Bab ini akan menyajikan cara-cara yang dilakukan oleh
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dalam menghadapi
tekanan kebijakan asimilasi yang berhubungan dengan nama
Tionghoa, karakteristik kelompok, status kewarganegaraan,
ideologi negara Pancasila dan bahasa Tionghoa. Pada bagian
pertama akan diuraikan tindakan-tindakan yang menampilkan
kepatuhan kepada kebijakan tersebut sementara di bagian kedua
akan disajikan tindakan-tindakan yang menghasilkan efek yang
berlawanan dengan sasaran yang mau dicapai oleh kebijakan
asimilasi.
A. Langkah-langkah Menuju Kepada Asimilasi
1. Perubahan Nama dan Bentuk Gereja
Berbeda dari saudara-saudarinya yang peranakan di
Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur (GKI Jatim), dengan
namanya, Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Klasis Jawa Timur, orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT mudah sekali diidentifikasi
sebagai asing, bukan Indonesia dan dapat dituduh tidak mau
mengintegrasikan diri ke dalam bangsa Indonesia. Bahkan dengan
nama Gereja Kristen Tionghoa sekalipun, yang sudah mulai dipakai
selama beberapa waktu terakhir, mereka masih tetap mudah
diidentifikasi sebagai lembaga keagamaan asing. Namun sampai
akhir tahun 1966, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT belum
mengambil keputusan apa-apa. Nama-nama pribadi dan lembaga
kelembagaannya belum mengalami perubahan apa-apa. Keluarnya
kebijakan Pepelrada Jatim akhirnya memaksa orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT untuk melakukan perubahan.
2 Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pres.Kab/6/1967,
tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 135 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Awal perubahan dilakukan dalam Sidang Lengkap DGI
Ke VI tahun 1967 di Makassar. Setelah menanti kesediaan
THKTKH Klasis Jatim untuk bergabung dengan Sinode GKI
Jatim yang tidak kunjung muncul juga, sidang DGI akhirnya
memutuskan memisahkan keanggotaan Sinode GKI Jatim dari
THKTKH Klasis Jatim dalam DGI. Namun demikian, mengingat
situasi politik yang sudah berubah sejak tahun 1965 sidang DGI
juga meminta THKTKH Klasis Jatim agar mengganti namanya
dengan nama yang “sesuai dengan [keadaan] masa sekarang.”3
Tanpa berkonsultasi lebih dahulu dengan para pemimpin lain di
Jawa Timur, utusan-utusan THKTKH Klasis Jatim setuju
memberi nama baru untuk THKTKH Klasis Jatim.4 Dalam nama
baru itu tiga huruf G, K dan T tetap dipertahankan tetapi bukan
lagi untuk Gereja Kristen Tionghoa melainkan untuk Gereja Kristus
Tuhan. Nama itu dapat diterima. Pada tanggal 29 Oktober 1967,
dalam Sidang Lengkap DGI Ke VI di Makassar, GKT secara
resmi diterima sebagai anggota tersendiri di dalam tubuh DGI.
Nama baru ini kemudian dibawa ke dalam arena Rapat
Tahunan THKTKH Klasis Jatim tahun 1967. Rapat yang
diadakan di gedung gereja empat jemaat THKTKH di Surabaya,
pada tanggal 8-10 Januari 1968, hanya dihadiri oleh unsur-unsur
internal THKTKH Klasis Jatim saja. Tidak ada pihak-pihak luar
yang diundang. Sejumlah utusan rapat mempertanyakan langkah
yang diambil oleh utusan-utusan yang hadir dalam sidang lengkap
DGI karena merasa tidak memberi mandat untuk melakukan
perubahan nama gereja.5 Setelah melalui perdebatan sengit peserta
rapat akhirnya dapat menerima pilihan tersebut. Penerimaan ini
dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, karena Gereja Kristen
Tionghoa Klasis Jatim telah diterima “mendjadi anggota tersendiri
dalam D.G.I.” Kedua, karena Sidang Lengkap Ke VI DGI
meminta supaya mereka memakai nama yang “sesuai dengan
3 Ringkasan Akta Rapat Tahunan Gereja Kristen Tionghoa (THKTKH)
Klasis Jatim Tahun 1967, butir V. 4 Wawancara bp PP, Malang, 7 Agustus 2009. 5 Ibid.
136 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
[keadaan] masa sekarang.” Dan, ketiga, karena nama itu sendiri
diambil dari Alkitab, yakni dari Lukas 2:11, dari kabar malaikat
kepada gembala mengenai kelahiran Kristus, Tuhan. Keputusan
ini didukung oleh 33 suara. Sisanya, 21 suara, menolak.6
Selain nama gereja, rapat yang sama juga menerima
usulan perubahan nama tiga jemaat GKT di Malang. Jemaat GKT
berbahasa Indonesia, yang dulunya berasal dari jemaat berbahasa
Kanton, kini disetujui menjadi Gereja Kristus Tuhan Jemaat I.
Jemaat GKT berbahasa Amoy kini menjadi Gereja Kristus Tuhan
Jemaat II. Dan Jemaat berbahasa Hokchiu-Kuoyu sekarang
berganti menjadi Gereja Kristus Tuhan Jemaat III.7
Tiga bulan kemudian pertemuan dilanjutkan dengan
Sidang Sinode I GKT, yang diselenggarakan pada tanggal 29
April-3 Mei 1968 di gedung Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes)
Murnajati, Lawang. Sidang dihadiri oleh 50 orang utusan dari 15
jemaat dan sejumlah undangan. Tercatat hadir lima orang wakil
Sinode GKI Jatim dan sejumlah pejabat sipil, militer dan DGI.
Dari pihak pemerintah hadir Dirjen Bimas Kristen Departemen
Agama R.I., M. Abednego, dan Kepala Petugas Urusan Kristen,
Jawatan Urusan Agama Provinsi Jawa Timur, Rasjid
Padmosudiro. Pihak militer diwakili oleh Pdt. Mayor M.G.
Simanjuntak, Kepala Rawatan Rohani Protestan Kodam
VIII/Brawijaya, Jawa Timur, sementara DGI diwakili oleh Pdt.
Dr. S.A.E. Nababan, Sekretaris Umum DGI.
Di antara keputusan-keputusannya adalah menerima
konsep Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga
(ART) Sinode GKT yang disusun oleh sebuah panitia yang
dibentuk oleh sidang terakhir THKTKH Klasis Jatim pada bulan
Januari yang lalu.8 Dalam AD yang baru, sifat organisasi berubah
6 Ringkasan Akta Rapat Tahunan Gereja Kristen Tionghoa (THKTKH)
Klasis Jatim Tahun 1967, Butir V. 7 Ibid. Butir VII. 8 Ibid., Butir IV. Panitianya terdiri atas Badan Pekerja Harian
Sinode ditambah dengan Pdt. Yio Pek Eng, Pdt. Tsang To Hang, John Chen,
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 137 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
dari sistem federasi, di mana tiap-tiap jemaat hidup secara
otonom, menjadi kesatuan (sinodal). Jemaat-jemaat anggota
THKTKH Klasis yang selama ini independen dan sepenuhnya
mengatur urusan-urursannya sendiri kini dilebur menjadi satu
dalam sebuah gereja yang baru. Dengan konsep baru ini, jemaat-
jemaat hanyalah ekspresi-ekspresi lokal dari sebuah gereja
universal yang satu, Gereja Kristus Tuhan (GKT).9
Dengan nama, bentuk organisasi dan anggaran dasar atau
tata gereja yang baru, GKT kemudian didaftarkan kepada notaris
Oe Siang Djie pada tanggal 23 Juli 1967. Dalam akta notaris itu
kembali dijelaskan bahwa alasan perubahan nama itu adalah
karena “perubahan-perubahan dalam bidang sosial dan politik
didalam negeri, setelah Indonesia mentjapai kedaulatannja” dan
demi “menjesuaikan nama Geredja dengan keadaan pada saat
ini.”10 Akta notaris ini, bersama-sama dengan AD dan ART GKT,
kemudian disahkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan
Masyarakat (Bimas) Beragama Kristen, Departemen Agama R.I.,
pada 10 September 1968. Dalam pertimbangannya Dirjen melihat
bahwa “perubahan nama jang dimohon adalah sesuai dengan
perkembangan Geredja Tiong Hwa Ki Tok Kauw Khoe Hwee
Oost-Java atau Geredja Tiong Hwa Ki Tok Kauw Khoe Hwee
Djawa Timur serta perkembangan masjarakat Indonesia dewasa
ini.”11 Dengan ini, kepatuhan GKT kepada kebijakan baru yang
Liem Boen Pien, Liong Sing Ngien dan Pdt. Phoa Oen Kheng dan Pdt. Peterus Prasetija.
9 Lihat Laporan/Ringkasan Akta Sidang Lengkap Tahunan 1968 Synode
Geredja Kristus Tuhan. Tekanan kepada bentuk kesatuan itu diperlihatkan oleh
penggunaan istilah ‘kesatuan’ yang berulang dalam sejumlah keputusan. Mis.
dalam poin X.1, XI.2., XI.3, XI.7. 10 Akta Notaris Oe Siang Djie, SH., No. 59, tanggal 23 Juli 1968
tentang Perubahan Nama Tiong Hoa Ki Tok Kauw Khoe Hwee Oost-Java atau Gereja Kristem Tionghoa Klasis Djawa Timur menjadi Geredja Kristus
Tuhan. 11 Surat Keputusan Direktur Djenderal Bimbingan Masjarakat Beragama
Kristen No. 5 Tahun 1968 tentang Perubahan Nama Geredja Tiong Hwa Ki
Tok Kau Khoe Hwee Oost-Java (Geredja Kristen Tionghoa Klasis Djawa Timur) Mendjadi Geredja Kristus Tuhan.
138 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
diambil negara atas orang-orang Tionghoa diakui dan mendapat
stempel pengesahan negara.
2. Mengubah Orientasi Pelayanan Kepada Masyarakat dan
Bangsa Indonesia
Salah satu maksud kebijakan asimilasi adalah untuk
mengubah orientasi orang-orang Tionghoa dari negeri leluhurnya
kepada negara Indonesia.12 Orang-orang Tionghoa tidak boleh lagi
menjadi kelompok yang “seklusif rasial,”13 yang hanya berkumpul,
bergaul dan kawin-mawin dengan sesamanya saja. Mereka harus
dibuat berinteraksi dan menggabungkan dirinya dengan orang-
orang dari kelompok etnis lain. Di saat yang bersamaan mereka
juga harus membuka kelompoknya untuk dimasuki oleh orang-
orang dari etnis lain.
Perubahan nama THKTKH Klasis Jatim menjadi GKT
rupanya mengandung makna yang lebih dalam. Salah seorang
yang turut mengambil bagian dalam perubahan itu menjelaskan
satu dekade kemudian bahwa dengan nama yang baru, orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT kini “mengarahkan pelayanannya
pada pribumi.”14 Mereka mendekati kelompok etnis lain dan
membuka dirinya untuk dimasuki oleh etnis dan budaya lain. Hal
ini ditegaskan lagi hampir sepuluh tahun kemudian oleh Badan
Pengurus (BP) Sinode GKT dalam sebuah surat yang disampaikan
kepada seorang mahasiswa teologi yang mau menulis sebuah
skripsi tentang sejarah GKT. Dikatakan bahwa “sejak tahun 1968
Missi GKT bukan lagi hanya untuk menginjili orang-orang
12 Lihat Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan dan Adat-istiadat orang Tionghoa. 13 Lihat Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang
Kebijaksanaan Pokok yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asin, Bab II.
14 Pdt. Daniel Tanaya, “I.T.A. Pada Masa Lalu, Sekarang dan Masa Yang Akan Datang,” Gema Aletheia No. 13/14, Edisi Khusus Dies Natalis
Ke-X, 1969-1979: 9.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 139 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Tionghoa saja tetapi juga kepada suku-suku lain”15 di Indonesia.
Dan sebagai ganti kehidupan yang seklusif rasial yang dilarang
oleh Orde Baru, sebuah surat yang diterbitkan BP Sinode GKT
pada tahun 2008 menegaskan lagi bahwa perubahan nama
dimaksudkan supaya GKT dapat menjadi kelompok yang “lebih
inklusif dan lebih nyata dalam mengintegrasikan diri ke dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini.”16
Dua strategi yang dipakai untuk mengorientasikan
pelayanan kepada orang-orang non-Tionghoa ialah melalui
sekolah teologi GKT dan penanaman gereja di kalangan orang-
orang tersebut. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir,
kebutuhan tenaga pekerja gerejawi GKT disuplai oleh Madrasah
Alkitab Asia Tenggara (MAAT) atau yang sekarang dikenal
dengan nama Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT).17 Namun
15 Surat BP Sinode GKT kepada Ev. Francis Chandra, B.Th. No.
270/BPS/GKT/XII/85-89 tanggal 15 Oktober 1987 tentang rekomendasi
penulisan thesis. 16 Surat BP Sinode GKT kepada Majelis Jemaat dan Pengurus Pos
Pekabaran Injil GKT No. 296/BPS/GKT/XXIII/05-09 tanggal 1 September 2008. 17 MAAT lahir dari buah pekerjaan Pdt. Dr. Andrew Gih, seorang
pendeta dari Tiongkok. Selama beberapa waktu ia bahkan sempat bekerja sama dengan Pdt. Dr. John Sung untuk mengadakan KKR di ratusan kota di
Tiongkok. Setelah Tiongkok dikuasai oleh rezim komunis, ia pindah ke Hongkong. Di bawah payung lembaga The Evangelize China Fellowship (ECF)
yang didirikannya pada tahun 1946, ia melakukan pekerjaan-pekerjaan pekabaran Injil kepada orang-orang Tionghoa yang tinggal di luar Tiongkok.
Sesuai dengan visinya MAAT diarahkan untuk melayani kebutuhan gereja-gereja Tionghoa dan orang-orang Tionghoa Kristen yang berbahasa Tionghoa
di kawasan Asia Tenggara. Karena itu bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Tionghoa. Dosen-dosen yang mengajar semuanya adalah orang-orang
Tionghoa totok. Kehidupan kampus pun diwarnai oleh budaya Tionghoa
yang tebal. Pada tahun 1953-1964 MAAT sempat dipimpin oleh seorang mantan diplomat negara Tiongkok Nasionalis, yang berganti profesi menjadi
pendeta. Namanya James Hui. Setelah menyelesaikan tugasnya MAAT, rektor selanjutnya adalah Pdt. Peter Wongso. Ia adalah anak seorang pendeta
Methodist dari Tiongkok yang melayani di Medan. Untuk informasi mengenai Andrew Gih lihat “Ji Zhiwen” dalam Biographical Dictionary of
Chinese Christianity, http://www.bdcconline.net/en/stories/j/ji-zhiwen.php
(diakses pada 11.1.2014). Untuk MAAT atau SAAT lihat Rev. Paulus Suhindro Putra, S.Th., “Sejarah GKKK Jakarta: Visi Yang Tidak Berubah”
dalam 20 Th HUT Gereja Kristen Kalam Kudus Jakarta (Jakarta: Panitia HUT
140 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
suplai yang diberikan ternyata tidak mampu juga mencukupi
kebutuhan GKT. Maka dalam rapat tahunan terakhir Gereja
THKTKH Klasis Jatim pada bulan Januari 1968 diputuskan untuk
mendirikan sebuah sekolah teologi sendiri. Namun tidak seperti
MAAT yang fokus melayani “kebutuhan hamba Tuhan di gereja-
gereja Tionghoa di Indonesia,”18 Institut Alkitab GKT, demikian
namanya pada awalnya, didisain untuk menjadi sekolah teologi
“yang terbuka untuk semua orang”19 dan untuk melayani
kebutuhan gereja-gereja lain yang bukan gereja Tionghoa juga.20
Sejak dimulai pada bulan Februari tahun 1969, sekolah
teologi GKT tersebut sudah menerima mahasiswa dari etnis non-
Tionghoa, demikian pula dengan dosen-dosen dan pekerja-pekerja
non-akademiknya. Dari dua belas orang mahasiwa/i yang
diterima di angkatan pertama tercatat ada seseorang dari etnis
Bali. Demikian pula, dari dua belas tenaga dosen pertama, salah
seorang di antaranya adalah non-Tionghoa. Angka ini terus
bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Sampai tahun 1998,
dari total 310 alumni Sekolah Tinggi Teologi Aletheia (STTA), 70
persennya adalah orang Tionghoa, sementara 30 persennya adalah
orang-orang non-Tionghoa. Mereka berasal dari berbagai gereja
non-Tionghoa di Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan dan sampai
ke pulau Nias.
XX, 2000) dan Pdt. Dr. Peter Wongso, “Almamater Yang Penuh Anugerah
Allah” dalam Daniel Lucas Lukito & Andreas Hauw, eds. Seminari Alkitab
Asia Tenggara: Inspired By the Word to Inspire the World (Malang: SAAT, 2012). 18 Lihat Rev. Paulus Suhindro Putra, S.Th dalam 20 Th HUT Gereja
Kristen Kalam Kudus Jakarta, 26. Menurut Peter Wongso, sejak tahun 1966
MAAT melakukan perubahan orientasi visi dan misinya dari kepada orang
Tionghoa menjadi lintas etnis. Karena itu sejak tahun itu bahasa pengantar kuliah diubah ke dalam bahasa Indonesia dan mulai diumumkan penerimaan
mahasiswa non-Tionghoa pula. Lihat Pdt. Dr. Peter Wongso dalam Lukito & Hauw, eds. Seminari Alkitab Asia Tenggara, 09.
19 Wawancara bp SC, Surabaya, 24 September 2011. 20 Pdt. Daniel Tanaya, “I.T.A. Pada Masa Lalu, Sekarang dan Masa
Yang Akan Datang” dalam Gema Aletheia No. 13/14, Edisi Khusus Dies
Natalis Ke-X, 1969-1979: 10.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 141 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Tabel 4.1. Data Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Aletheia
(STTA) Angkatan I-XXV Menurut Latar Belakang Gerejanya21
No Angkatan Tahun
Wisuda
Jumlah Lulusan Berdasarkan
Latar Belakang Gereja Total
Tionghoa Non Tionghoa
1 I 1973 12 --- 12
2 II 1974 18 2 20
3 III 1975 14 2 16
4 IV 1976 5 --- 5
5 V 1978 11 2 13
6 VI 1979 7 3 10
7 VII 1980 6 3 9
8 VIII 1981 2 3 5
9 IX 1982 5 4 9
10 X 1983 8 6 14
11 XI 1984 7 3 10
12 XII 1985 8 5 13
13 XIII 1986 6 2 8
14 XIV 1987 5 3 8
15 XV 1988 4 3 7
16 XVI 1989 10 6 16
17 XVII 1990 4 1 5
18 XVIII 1991 7 6 13
19 XIX 1992 13 4 17
20 XX 1993 6 4 10
21 XXI 1994 1 3 4
22 XXII 1995 10 4 14
23 XXIII 1996 17 8 25
24 XXIV 1997 15 6 21
25 XXV 1998 15 11 26
JUMLAH
216
94
310
21 Diolah dari Buku Data Alumni Institut Theologia Aletheia (Lawang:
PALITA, 2009).
142 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Seklusifitas orang-orang Tionghoa Kristen di GKT juga
dibuka melalui usaha-usaha penanaman gereja baru di kalangan
orang-orang non-Tionghoa. Langkah resmi pertama dimulai dari
Sidang Sinode Ke-7 tahun 1975, dengan disahkannya program
pembukaan pos-pos pekabaran Injil (Pos PI) baru.22 Program ini
terlaksana pada tahun 1977 dengan dibukanya Pos PI di Sumbawa
Besar, Sendang (Tulung Agung) dan Mimbo-Situbondo.23 Dari
ketiga tempat ini, Sumbawa Besar dan Sendang adalah pos yang
didirikan di kalangan orang non-Tionghoa.
Setelah dua pos itu, dua pos lain yang ditanam di antara
orang-orang non-Tionghoa, adalah Pos PI Banyumanik, Semarang
dan Pos PI Sawojajar, Malang. Pos Banyumanik dimulai pada
akhir tahun 197924 sementara Pos Sawojajar pada bulan Desember
1985.25 Keduanya sama-sama berlokasi di tengah perkampungan
orang muslim. Selain di kedua tempat itu, tempat lain yang sempat
ditengok adalah Timor Timur. Lokasi ini jadi perhatian karena
saran Mayor Pdt. Dj. Bengngu, Kepala Rawatan Rohani Kodam
XVI/Udayana, yang hadir di persidangan sinode pada awal tahun
1980. Namun niat ini kemudian dibatalkan. Tidak ada penjelasan
resmi mengenai alasan pembatalannya. Namun dapat diduga
bahwa hal itu disebabkan oleh situasi keamanan yang belum
kondusif.26 Meski begitu, mengikuti permintaan, lagi-lagi, Mayor
Pdt. Dj. Bengngu, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sempat
memberikan “bantuan materiil (pakaian, obat-obatan, dan
22 Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT ke-7 Tahun 1975, nomor
10.g. 23 Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT Ke-8 Tahun 1977, nomor
21. 24 “Kronologis Berdirinya Pos PI GKT Banyumanik,” Bulletin Sinode
Gereja Kristus Tuhan No. 17, Desember 1992: 21-22. 25 “Mengenal Jemaat GKT: Pos PI Sawojajar,” Buletin Sinode Gereja
Kristus Tuhan No. 4 Tahun 1988: 6-7. 26 Pada masa itu di Timor Timur masih terus berlangsung operasi
tempur melawan kelompok-kelompok yang menentang aneksasi Timor Timur
oleh Indonesia. Tentang masa operasi tempur di Timor Timur lihat Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2009), 363-366.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 143 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
sebagainya) kepada rakyat Timor-Timur guna ikut membantu
meringankan beban penderitaan mereka.”27
3. Memeluk Kewarganegaraan Indonesia
Dalam peraturan-peraturan resmi yang berhubungan
dengan asimilasi, sama sekali tidak ada klausul yang memaksa
orang-orang Tionghoa asing untuk menjadi warga negara
Indonesia. Dalam kebijakan pokok penyelesaian masalah orang
Tionghoa diatur bahwa hal itu diserahkan kepada pilihan orang
Tionghoa sendiri.28 Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa
pemerintahan Orde Baru tidak punya keinginan sama sekali untuk
me-WNI-kan orang-orang Tionghoa. Keinginan ini ada dan
tercermin dalam kesempatan yang diberikan oleh instruksi itu
untuk menjadi WNI. Situasi pasca 1965 dan kecurigaan tentang
peran negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam Gerakan 30
September 1965 membuat keinginan tersebut tidak berhenti hanya
sampai pada status legal-politik sebagai WNI, seperti yang pernah
disepakati dengan Pemerintah Tiongkok dalam Perjanjian Dwi-
Kewarganegaraan tahun 1955,29 tetapi lebih jauh lagi daripada itu,
orang Tionghoa harus menjadi WNI yang terasimilasikan ke
dalam masyarakat dan budaya Indonesia sepenuh-penuhnya.
Salah satu tandanya adalah nama yang bercorak Indonesia.30
Tetapi bagi orang-orang Tionghoa WNA di Jawa Timur
masih ada lagi tuntutan-tuntutan lain yang harus dipenuhi untuk
dapat diterima sebagai WNI sejati. Itu adalah mengganti
27 “Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT Ke-9 Tahun 1979
(Tanggal 15-17 Januari 1980)” dalam Sinode GKT, Tata Gereja & Peraturan
Khusus, Edisi Revisi 2008 (Malang: Sinode GKT, 2008), 82. 28 Lihat Instruksi Ketua Presidium Kabinet Ampera No.
37/U/IN/6/1967 tanggal 7 Juni 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok
Penyelesaian Masalah Cina Bab I pasal 11. 29 Lihat David Mozingo, Chinese Policy Toward Indonesia 1949-1967
(Jakarta: Equinox Publishing, 2007), 117-118. 30 Lihat Keppres No. 240 tahun 1967, 6 Desember 1967, tentang
kebijaksanaan-kebijaksanaan pokok menyangkut WNI keturunan asing.
144 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
agamanya, mengganti bahasa dan mengganti identitas suku.31
Untuk memaksa orang-orang Tionghoa WNA mau menjadi WNI
Jenderal Soemitro, Pepelrada Jatim, “memisahkan mereka yang
masuk WNI” dari “yang tetap WNA” dan memberi perlakuan
yang berbeda kepada keduanya. Jika yang WNI dibebaskan dari
pajak perorangan maka yang WNA wajib membayarnya.32 Lalu,
jika usaha dan tempat usaha para WNI dijamin aman maka
rumah dan tempat usaha orang-orang Tionghoa WNA akan
diambil alih dan diserahkan kepada orang-orang pribumi.33
Sampai pertengahan tahun 1966 orang-orang Tionghoa
asing di GKT hampir semuanya berkewarganegaraan asing.34
Alasan yang mendorong mereka tetap memilih berstatus demikian
dikarenakan kuatnya ikatan emosional dan kultural dengan negara
asalnya. Bagi generasi pertama yang lahir dan dibesarkan di
Tiongkok kesadaran pribadi sebagai warganegara Tiongkok sangat
kuat.35 Bagi mereka berlaku apa yang dalam peribahasa Tionghoa
dikatakan “Kalau daun jatuh maka ia harus kembali ke asalnya.”36
Sebagai bangsa Tionghoa mereka tidak mau mati di sini. Status
warga negara Tiongkok terus dipertahankan supaya bisa pulang
kembali dan meninggal di Tiongkok. Bagi generasi kedua, ikatan
dengan budaya dan kebangsaan Tiongkok lebih banyak
dipengaruhi oleh pendidikan yang diterimanya di sekolah-sekolah
asing Tionghoa, yang mendidiknya untuk mencintai budaya,
31 Ramadhan K.H, Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai
Pangkopkamtib (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), 119-121. 32 Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik: Menyingkap
Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. (Jakarta: TransMedia
Pustaka, 2008), 989. 33 Ibid. Keputusan ini berujung kepada pengambilan paksa toko-toko
dan rumah-rumah milik orang Tionghoa asing di sejumlah kota di Jawa
Timur. 34 Kesempatan pertama diberikan setelah kemerdekaan Indonesia,
yakni sejak 1946-1947. Kesempatan kedua diberikan lagi pada 1950-1951 sebagai hasil kesepatan Konferensi Meja Bundar. Kesempatan ketiga
diberikan setelah UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Indonesia
disahkan. 35 Penjelasan bp SU, via telpon, 24 April 2013; Wawancara bp ST,
Surabaya, 31 Januari 2011; Wawancara bp TJ, 8 Februari 2010. 36 Wawancara bp TJ, 8 Februari 2010.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 145 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
bangsa dan tanah airnya di Tiongkok.37 Karenanya, seperti ayah
dan ibunya, mereka juga ingin pulang kembali ke Tiongkok pada
suatu hari nanti.38
Namun situasi pasca 1965 menempatkan orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT dalam keadaan yang benar-benar sulit.
Mulai tahun 1966 aksi-aksi anti-Tionghoa marak terjadi di mana-
mana sementara dampak pemberlakuan peraturan-peraturan
khusus untuk orang Tionghoa mulai terasa pahit. Kejadian pahit
pertama adalah penutupan sekolah-sekolah asing Tionghoa dan
pengambilalihan aset-aset sekolah itu oleh pemerintah dan
militer.39 Giliran berikutnya adalah rumah-rumah dan tempat-
tempat usaha orang Tionghoa.40 Seorang informan di kota Jember
menceritakan bahwa toko kepunyaan orang tuanya diambil alih
oleh tentara bersenjata lengkap dibantu oleh sejumlah besar warga
masyarakat.41 Informan lain yang tinggal di Malang hanya bisa
menyaksikan dengan sedih dan marah proses pengambilalihan
37 Lihat Lea F. Williams . “Nationalistic Indoctrination in the
Chinese Minority Schools in Indonesia,” Comparative Education Review, Vol. 1,
No. 3 (Feb., 1958): 12-17. Bnd. Wawancara bp SC, Surabaya, 24 Septmeber
2011; Wawancara bp TWL, Malang, 12 Agustus 2009; Wawancara ibu LA,
Jember, 18 September 2013. 38 Wawancara bp SC, Surabaya, 24 September 2011. Seorang
informan lain mengakui bahwa ia lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen yang taat namun setelah sekolah asing Tionghoa ia malah
menjadi ateis dalam kurun waktu yang cukup lama. Ia mulai berkenalan dengan tulisan-tulisan Marxisme semasa studinya di level menengah atas
pada tahun 1955-1958. Ia meninggalkan kepercayaan Kristennya dan
mengaku menjadi atheis selama lebih dari dua dekade kemudian. Ia begitu mencintai Tiongkok dan pemimpinnya. Lihat Wawancara bp TWL, Malang,
12 Agustus 2009. 39 Wawancara bp SU, Surabaya, 6 Februari 2010; Wawancara ibu
YKY, Surabaya, 9 Februari 2010; Wawancara ibu WW, Genteng, 27 Januari
2012; Wawancara ibu LA, Jember, 18 September 2013; Wawancara bp TWL,
Malang, 12 Agustus 2009. 40 Wawancara bp DIS, Malang, 11 Desember 2010. 41 Wawancara ibu LA, Jember, 18 September 2013.
146 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
sebuah toko sepatu milik seorang Tionghoa yang ia kenal dengan
baik sekali.42
Segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan
penguasa militer di Jawa Timur serta aksi-aksi kekerasan massa
mereka memberi pesan yang sangat kuat kepada orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT bahwa mereka harus menjadi WNI jika
mau terus tinggal dan bekerja di Indonesia. Ongkos yang harus
dibayar akan sangat mahal sekali bila terus mempertahankan
status WNA-nya.43
Dua persoalan lain yang turut mempengaruhi pilihan
menjadi WNI, yang dihadapi oleh orang-orang Tionghoa Kristen
di GKT adalah masalah kepemilikan atas tanah dan properti di
atasnya, serta masalah kepengurusan gereja yang harus dijabat
oleh WNI. Menurut ketetapan hukum kolonial, lembaga
keagamaan seperti THKTKH Klasis Jatim diizinkan memiliki
tanah dan properti lainnya serta boleh diurus oleh orang-orang
asing. Namun setelah Indonesia merdeka, situasinya benar-benar
berubah seratus delapan puluh derajat. UU No. 5 tahun 1960
tentang Pokok-pokok Agraria mengaskan bahwa hanya WNI saja
yang dapat “memperoleh sesuatu hak atas tanah.”44 Orang asing
dan orang yang memiliki kewarganegaraan ganda, menurut Pasal
21 ayat 2 dan 3 tidak memiliki hak tersebut. Dengan peraturan ini
maka secara prinsip semua orang Tionghoa WNA di GKT tidak
bisa memiliki hak milik apapun atas tanah.
Pasal 49 memberikan jaminan bahwa tanah-tanah milik
badan-badan keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi oleh
42 Wawancara bp TWL, Malang, 12 Agustus 2009. Dalam catatan
Benny G. Setiono, kematian ini terjadi karena serangan jantung setelah
tokonya ditutup. Lihat Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, 989-990. 43 Seorang informan menceritakan bahwa alasan suaminya memilih
jadi WNI ialah karena jika tidak WNI maka “tidak boleh buka usaha.”
Sebagai anak tertua, suaminya bertanggung jawab mengurus keluarga dan
memelihara adik-adiknya. Agar bisa buka usaha dan usahanya jalan terus maka mau tidak mau suaminya akhirnya harus masuk WNI. Wawancara ibu
WW, Genteng, 27 Januari 2012. 44 Lihat Pasal 9.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 147 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
negara. Itu berarti sebagai lembaga keagamaan GKT seharusnya
bisa punya hak untuk memiliki tanah dan properti di atasnya.
Namun karena hampir semua orang GKT dan pengurus gereja ini
adalah WNA serta lembaga ini belum diakui oleh pemerintah
sebagai yang dapat memiliki hak milik maka sesuai dengan
Ketentuan-Ketentuan Konversi Pasal II Ayat 2 dari undang-
undang yang sama THKTKH Klasis Jatim hanya bisa
mendapatkan hak guna usaha atau hak guna bangunan saja.
Dengan keadaan ini maka semua tanah dan properti di atas tanah
orang Tionghoa Kristen di GKT, yang sejak awal abad ke-20 telah
dibeli dengan uang dan usaha mereka sendiri dan yang menurut
hukum kolonial diakui sebagai milik mereka, demi hukum kini
harus lepas dari kepemilikannya.
Jemaat berbahasa Kanton dari gereja THKTKH di
Surabaya pernah merasakan konsekuensi pahit dari undang-
undang baru itu. Pada tahun 1958 mereka pernah mengajukan
permohonan kepada Menteri Agraria supaya diizinkan
“memindahkan ke atas nama” Yayasan Tiong Hoa Kie Tok Kauw
Hwee (THKTKH) Surabaya, sejumlah tanah yang dibeli pada
tahun 20-an dan seterusnya oleh Tjhing Nian Tjik Kiem Hwee,
sebuah perkumpulan orang-orang Kristen jemaat Kanton di
Surabaya.45 Permohonan ini ditolak oleh Menteri Agraria pada 30
Desember 1961.46 Dasar penolakan tidak disebutkan. Namun
berdasarkan interpretasi Kepala Inspeksi Agraria Jawa Timur, hal
itu tampaknya disebabkan oleh kenyataan bahwa “para pengurus
dan anggota-anggota” Yayasan THKTKH Surabaya adalah
“orang-orang warganegara asing” dan karena itu memenuhi
klausul Ps 21 UU No. 5/1960 tersebut.47 Dengan tiadanya izin itu
maka tanah-tanah tersebut dengan sendirinya menjadi milik
negara. Jemaat berbahasa Kanton dari gereja THKTKH Surabaya
45 Surat Permohonan kepada Menteri Agraria ini disampaikan
melalui kuasa hukumnya, Raden Slamet, pada tanggal 9 Agustus 1958. 46 Surat Keputusan Menteri Agraria No. Peta.6/27/13, tanggal 30
Desember 1961. 47 Surat Kepala Inspeksi Agraria Jawa Timur No. I/Agr/875/Ic kepada
Kepala Jawatan Agraria di Jakarta.
148 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
masih dapat mempergunakannya namun dengan status “hak
pakai” sambil membayar ongkos sewa yang sangat besar setiap
bulan dan setiap tahun.48 Tanah dan rumah yang dibeli dengan
susah payah itu kini lepas dari kepemilikan karena ketentuan
undang-undang.
Dengan seluruh tekanan tersebut orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT kemudian berbondong-bondong memilih menjadi
WNI. Sejumlah pemimpin dan pekerja gerejawi Sinode GKT
langsung mengajukan permohonan untuk menjadi WNI beberapa
bulan setelah sidang sinode pertama tahun 1968 usai. Mereka
adalah Liong Sing Ngien, Liong Sing Hong dan Oh Kim Tjoen
dari Surabaya serta Pdt. Tong Tjong Hway, Tan Ie Lie dan Ko Lie
Ong dari Malang.49 Atas bantuan Pengurus DGI dan seorang pria
bernama Semangoen di Jakarta,50 pada awal tahun 1970
permohonan mereka dikabulkan, dan keenamnya mendapat status
resmi “warganegara Republik Indonesia.”51 Lalu, mengikuti
ketentuan kebijakan asimilasi, mereka mengganti namanya dengan
nama-nama Indonesia. Liong Sing Ngien menjadi Singgih Lukito
Setiawan, Pdt. Tong Tjong Hway menjadi Pdt. Joseph Tong, Tan
Ie Lie menjadi Daniel Tanaya, Liong Sing Hong menjadi Solomon
Lukito Setiawan dan Ko Lie Ong menjadi Albert Konaniah.
48 Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Jawa Timur tanggal 5
Mei 1962, yang ditujukan kepada Liong Sing Ngien, Kuasa Yayasan
THKTKH Surabaya. Uang sewa bulanannya adalah Rp 750,- dan Rp 2500,- sementara uang sewa tahunannya adalah Rp 4500,- dan Rp 15.000,-
49 Lihat Surat Kepala Seksi Intelligence Komando Daerah Inspeksi Kepolisian 101 Surabaya kepada Kepala Pengadilan Negeri Surabaya No.
1587/C4/Intell/1968 tanggal 10 September 1968 tentang Pewarganegaraan
dan Surat Kepala seksi Orang Asing Kejaksaan Negeri Surabaya dan kepada
Kepala Pengadilan Negeri Surabaya No. 36/Pw/S10A/1968 tanggal 23 September
1968 tentang Keterangan tentang “politieke betrouwbaarheid.” . 50 Dalam surat ucapan terima kasih BP Sinode GKT kepada DGI,
dituliskan bahwa bantuan itu diterima “tak lama jang baru lalu.” Itu artinya, amat berdekatan dengan saat dikeluarkannya keputusan penerimaan
keenamnya menjadi WNI. Lihat surat ucapan terima kasih BP Sinode GKT
kepada DGI, tanggal 25 April 1970. 51 Lihat Surat Liong Sing Ngien kepada Bapak Semangoen di Jakarta,
tanggal 25 April 1970.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 149 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Paksaan lain yang turut mendorong para pemimpin GKT
memilih menjadi WNI adalah peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan WNA yang bekerja di Indonesia. Dalam
Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 Bab I Pasal 3
diatur bahwa setiap WNA “yang bekerja dan berusaha di
Indonesia harus memiliki izin kerja dan izin usaha yang sah.” Itu
artinya semua pekerja gereja asing yang bekerja sebagai pendeta
atau guru Injil di jemaat-jemaat THKTKH Klasis Jatim dan GKT
harus mempunyai surat izin kerja. Mereka yang tidak memiliki
izin kerja tidak diperbolehkan bekerja, apalagi memimpin sebuah
organisasi gereja. Soal ini mengemuka dalam kesadaran orang-
orang Tiongho Kristen di GKT ketika pada tahun 1970 Koo Twan
Tjhing, yang baru terpilih sebagai Ketua BP Sinode untuk kedua
kalinya, harus melepaskan jabatan itu karena masih berstatus
WNA.
Proses menjadi WNI sempat terhenti sesaat setelah pada
akhir tahun 1966 Menteri Kehakiman mengeluarkan suatu
instruksi penangguhan. Setelah hubungan diplomatik antara
Indonesia dan Tiongkok dibekukan pada akhir tahun 1967, pada 1
Februari 1968 izin kembali diberikan kepada pengadilan negeri
setempat untuk memproses permohonan orang-orang Tionghoa
asing yang ingin menjadi WNI. Hanya saja kali ini biayanya
dilipatgandakan dari Rp 30.000,- menjadi Rp 100.000,- per orang52
Meski ongkosnya begitu besar namun sejumlah besar orang
Tionghoa Kristen di GKT tetap saja mengajukan permohonan
menjadi WNI.53
4. Menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) yang Pancasilais
Orde Baru memposisikan dirinya berbeda dari Orde Lama
dengan tekad dan tujuannya untuk “memurnikan pelaksanaan
52 Ceramah Siauw Giok Tjhan Di Seminar PPI Belanda (5/10) dalam
http://www.minihub.org/siarlist/msg00709.html (diakses pada 18.12.2013) 53 Tiga orang informan riset ini mengakui mendapatkan
kewarganegaraannya pada tahun 1968.
150 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.” Ia adalah “tatanan
seluruh peri-kehidupan Rakyat, Bangsa dan Negara yang
diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945.”54 Masyarakat yang hendak diwujudkan oleh
tatanan ini adalah “Masyarakat Pancasila,”55 sebuah masyarakat
yang tidak hanya memiliki Pancasila namun memahami dan
menghayati Pancasila “serta berusaha untuk mengetrapkannya
dalam kehidupan sehari-hari.”56 Oleh sebab itu, selain
pembangunan ekonomi, fokus lain yang menjadi perhatian
pemerintahan Orde Baru adalah membangun dan membina tiap-
tiap warganegara Indonesia menjadi insan-insan Pancasilais.
Tekanan pemerintahan Orde Baru kepada Pancasila
diketahui pula oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT.57
Karena itu dalam hubungannya dengan pemerintah, tanpa malu-
malu ditunjukkan sikap yang positif dan mendukung ideologi
negara tersebut. Malah, ketika sebagian besar pemimpin dan
pekerja-pekerja gerejawi GKT masih berstatus WNA, mereka
sudah memperlihatkan bahwa dirinya dan pekerjaannya adalah
yang memperjuangkan Pancasila. Itu dimulai pada tahun 1967
ketika Walikota Surabaya mengeluarkan peraturan baru yang
mengatur besaran biaya pembuatan kartu penduduk khusus bagi
orang asing. Sembilan orang pekerja gerejawi THKTKH Klasis
Jatim di Surabaya terkena dampak peraturan ini.58 Mengingat
54 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila.
(Jakarta: CSIS, 1976), 17. 55 Ibid., 22. 56 Ibid., 82. 57 Dalam Surat Kepala Staf PEPELRADA Jatim Kepada Ketua B.P.
Gereja Kristen Tionghoa Klasis Jatim No. B 437/1966 tertanggal 6 Agustus 1966
tentang Pekabaran Injil, para pemimpin GKT diminta untuk menyerahkan
data diri lengkap semua anggota pengurus dan seluruh anggota jemaatnya.
Dasar permintaan itu adalah “Demi Pantjasila dan terbinanya ketenangan/ketertiban” umum. Surat ini tampaknya menjadi perkenalan
awal orang Tionghoa Kristen di GKT dengan ide pentingnya Pancasila di
mata penguasa baru. 58 Mereka adalah Pdt. Yio Pek Eng, Pdt. Tsang To Hang, Pdt. Ong
Beng Bian, Chiang Wing An, Siauw Kong Jan, Tong Tjong Eng, Wong Shu Ling dan Liem Bie Ging.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 151 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
jumlah yang harus dibayarkan sangat besar maka pada tanggal 15
Februari 1967 Badan Pengurus (BP) Gereja THKTKH Klasis
Jatim memohon kepada Walikota Surabaya agar membebaskan
biaya untuk kesembilan orang tersebut. Dasar yang dipakai ada
dua. Yang pertama adalah Surat Keputusan Pepelrada Jawa
Timur No. Kep.75/12/1966, yang isinya membebaskan semua
pekerja WNA di bidang keagamaan dari membayar Pajak Bangsa
Asing (PBA) menurut ketetapan UU No. 74 Tahun 1958. Yang
kedua adalah karena biaya hidup kesembilan orang itu diperoleh
bukan dari pekerjaan tetapi dari “persembahan jang diterima
daripada anggota2 djemaat jang mereka lajani didalam bidangnya
masing2.”59
Sampai mendekati akhir tahun 1967 permohonan tersebut
tidak digubris. Karena itu pada tanggal 2 Desember 1967, BP
Gereja THKTKH Klasis Jatim kembali bersurat dengan alasan-
alasan yang sama seperti di surat pertama.60 Namun permohonan
tetap tidak dihiraukan. Malah Kepala Bagian Penduduk dari
Kantor Kotamadya Surabaya menjelaskan bahwa kesembilan
orang itu “tetap diharuskan membajar beaja pendaftaran kartu
penduduk.” Pada awal tahun 1968 BP Gereja Kristen Tionghoa
(GKT) Klasis Jatim sekali lagi menyurati Walikota Surabaya.61
Surat kali ini berbeda dari surat bulan Desember karena disertai
dengan tanda tangan Pdt. Rasjid Padmosoediro, Petugas Bagian
Kristen Jawatan Urusan Agama Propinsi Jawa Timur, sebagai
59 Surat BP Gereja Kristen Tionghoa (THKTKH) Klasis Jatim Kepada
Walikota Surabaya No. 052/P2KH/66-68 tentang permohonan pembebasan
pembayaran biaya pendaftaran Kartu Penduduk Khusus Orang Asing tanggal
15 Februari 1967. 60 Surat BP Gereja Kristen Tionghoa Klasis Jatim Kepada Walikota
Surabaya No. 136/P2KH/66-68 tentang “Mohon pembebasan pembayaran
biaya pendaftaran Kartu Penduduk Khusus Orang Asing” tertanggal 2
Desember 1967. 61 Surat BP Gereja Kristen Tionghoa Klasis Jatim Kepada Walkikota
Surabaya No. 149/P1-P2/Psk/66-68 tentang “Mohon ulang pembebasan
pembayaran biaya pendaftaran kartu penduduk khusus orang asing” tanggal 15 Februari 1968.
152 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
pihak yang mengetahui. Namun surat ini pun tak kunjung
direspons.
Pada akhir tahun 1968, surat kembali dilayangkan kepada
walikota Surabaya. Dua alasan baru kini ditambahkan sebagai
dasar pembebasan. Yang pertama adalah Pancasila, dan yang
kedua adalah Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur tentang
pembebasan bayar Sumbangan Wajib Pajak Istimewa (SWI) bagi
pekerja-pekerja gereja GKT.62 Tentang Pancasila, Dalam
permohonannya, BP Sinode GKT menulis demikian
Oleh sebab itu, demi penghargaan dan kemurahan
kepada Rohaniwan sebagai pelopor dan pengemban
Pantjasila, chususnya Sila Pertama, Ketuhanan Jang
Maha Esa, maka kami mohon kebijaksanaan dan
kemurahan hati Bapak, kiranya Rohaniwan2 itu
beserta keluarga jang mendjadi tanggungan mereka
itu diperketjualikan dari pembajaran termaksud.63
Surat ini langsung direspons. Tidak makan waktu panjang
keluar Surat Keputusan Walikota Surabaya No. 3500/1255
tertanggal 28 Desember 1968, yang menyatakan bahwa
kesembilan orang pekerja gerejawi GKT di atas dibebaskan dari
biaya pembuatan kartu penduduk khusus untuk orang asing.
Pelajaran berharga yang diperoleh pemimpin GKT dari kejadian
ini adalah pentingnya memberikan dukungan terbuka kepada
Pancasila dalam urusan-urusan dengan pemerintah. Karena itu,
dasar yang sama kembali dipergunakan pada waktu mengajukan
permohonan pembebasan pembayaran pajak untuk orang asing64
62 Lihat isi Surat Gubernur Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur No. Sek-
73/A/1968 tentang pembebasan pembayaran SWI bagi rohaniwan Sinode
Gereja Kristus Tuhan, tanggal 22 Agustus 1968. 63 Surat BP Sinode GKT kepada Walikota Surabaya No. 98/Sek/Jst/68-
70 tentang Mohon Ulang Pembebasan pembayaran biaya pendaftaran Kartu
penduduk Khusus Orang Asing, tanggal 12 Desember 1968. Cetak miring adalah tekanan saya.
64 UU No. 74 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat
NO. 16 Tahun 1957 tentang Pajak Bangsa Asing (LEMBARAN-NEGARA
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 153 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
bagi pekerja-pekerja gerejawi GKT di Surabaya dan di Genteng-
Banyuwangi.65 Meski berkewarganegaraan asing para pekerja
gerejawi GKT tetap “pelopor dan pengemban Pantjasila,
chususnya Sila Pertama, Ke-Tuhanan Jang Maha Esa.”66 Para
pekerja gerejawi asing ini patut dibebaskan dari pajak karena
mereka mendukung cita-cita Orde Baru untuk membangun
Masyarakat Pancasila. Dan mereka sendiri, sekalipun orang asing,
sesungguhnya adalah manusia-manusia Pancasilais.
Agar dukungan yang diperlihatkan kepada Pancasila tidak
tampil pragmatis namun substansial dan melekat erat dengan iman
yang dihayati oleh orang-orang GKT sendiri, sebuah artikel yang
dimuat dalam majalah Berita Geredja Sinode Geredja Kristus Tuhan
No. 10, July-September 1971, menjelaskan bahwa GKT menerima
dan mendukung Pancasila karena ajaran-ajaran Pancasila cocok
dan sejalan dengan iman Kristen. Artikel yang berjudul
“Kesaktian Pantja – Sila” ini dimulai dengan ajakan untuk
bersyukur kepada Tuhan karena:
telah mengaruniakan kepada Bangsa Indonesia
suatu DASAR NEGARA jg begitu baik, jaitu
PANTJA SILA sehingga negara kita selama 26
tahun ini dapat berdiri dengan tegak dan teguh dan
TAHUN 1957 NO. 63) sebagai Undang-undang, mengatur bahwa setiap
WNA yang berdomisili dan bekerja di Indonesia diwajibkan membayar Pajak Bangsa Asing (PBA) setiap tiga tahun sekali, terhitung sejak 1 Januari 1957.
Besarnya pajak yang harus dibayar menurut Pasal 11 adalah Rp 1500,- untuk
kepala keluarga, Rp 750,- untuk isteri, dan Rp 375,- untuk anak-anak dan anggota keluarga lain yang tinggal bersama. Setiap tiga tahun besarnya akan
ditinjau kembali menurut keadaan zaman itu. 65 Dua pekerja gerejawi asing di Genteng adalah Pdt. Liem Tjhie
Thing dan Ev. Tan Hwa Khiang. 66 Surat BP Sinode GKT kepada Walikota Surabaya No.
226/Sek/AK/68-70 tentang permohonan pembebasan pembayaran pajak
bangsa asing, tanggal 31 Maret 1970. Lihat pula Surat BP Sinode GKT kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Banyuwangi No. 33/Sek/AK/70-72
tentang permohonan ulang pembebasan pembayaran pajak bangsa asing,
tanggal 16 Oktober 1970.
154 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
dapat mengatasi segala kesulitan dan kesukaran di-
tengah2 dunia jang bergelora ini.67
Selanjutnya Phoa Oen Keng, penulis artikel itu,
mengklaim bahwa pencipta Pancasila ini “sungguh mendapat
ilham dari Tuhan.” Itulah sebabnya maka isi dan jiwa Pancasila
“sangat tjotjok dengan Firman Tuhan dan pengadjaran2 Tuhan
Jesus jang tercatat didalam Alkitab.”68 Ia kemudian menjelaskan
bahwa Pancasila cocok dengan pesan Yesus Kristus di dalam
Markus 12:28-31 tentang Hukum Kasih dan dengan pesan Imamat
19:13-18 tentang mengasihi sesama manusia. Ia mengakhiri
tulisannya dengan suatu penegasan sbb.:
Djelaslah bagi kita, bahwa kelima sila dari
Pantja sila itu sesuai dengan torat dan Firman
Tuhan, karena seseorang jang berTuhan tentu
mendjadi manusia jang adil dan beradab, dapat
mengasihi sesama dan mewudjudkan persatuan
bangsa, sehingga rakjatpun dapat dipimpin oleh
hikmat dalam permusjawaratan dan kebidjaksanaan
didalam negara kita ini.
Maka dari sebab itu, tugas jang penting
pada masa kini ialah mengabarkan Indjil se-
luas2nja, supaya banjak orang jang mengenal
Tuhan dan dapat mengamankan dan mengamalkan
Pantja sila sebagai dasar negara kita. Mohon Tuhan
Jang Maha Esa akan memberkati kita semua.
Amin.69
Untuk mengukuhkan komitmen dan dukungannya yang
penuh kepada pembangunan manusia-manusia Pancasilais maka
kurang dari dua tahun setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat
67 Pdt. Phoa Oen Keng, “Kesaktian Pantja-Sila,” Berita Geredja
Sinode Geredja Kristus Tuhan No. 10, July-September 1971: 12-13. 68 Ibid., 13. 69 Ibid., 14.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 155 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Republik Indonesia (MPR RI) mengeluarkan ketetapan tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4), para
pemimpin GKT menyediakan dirinya untuk ditatar P4. Penataran
dilakukan tepat di tengah-tengah acara Sidang Sinode GKT Ke-9
tahun 1980 di STTA Lawang. Sebanyak 75 orang peserta dari
kalangan pendeta, pengabar Injil dan anggota-angota majelis
jemaat dari seluruh jemaat GKT mengikuti penataran ini.70 Dari
penataran ini dukungan kepada Pancasila akhirnya berpuncak
pada penerimaan bulat Pancasila sebagai asas “dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”71 Sekarang tidak hanya
para anggota dan pekerja gerejawinya saja yang Pancasilais,
lembaga keagamaannya pun adalah lembaga yang Pancasilais.
Orang-orang Tionghoa Kristen di GKT, baik secara individual
maupun institusional, adalah WNI yang berjiwa Pancasila.
Mereka bukan sekedar WNI tetapi WNI pelopor dan pengemban
Pancasila.
5. Mempergunakan Bahasa Indonesia
Larangan pemakaian bahasa Tionghoa oleh Pepelrada
Jatim pada tahun 1967 diresponi oleh orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT dengan meneruskan model pengelolaan organisasi
gereja yang diwarisi dari THKTKH Klasis Jatim, yang memakai
dua macam sekretaris dalam kepengurusan pusat gereja. Sekretaris
pertama adalah untuk administrasi dan korespondensi dalam
bahasa Indonesia dan sekretaris yang kedua untuk bahasa
Tionghoa. Selanjutnya, sejak tahun 1968, sidang-sidang sinode
GKT secara resmi dilakukan dalam dua bahasa.
Pada tahap awal sidang masih didominasi oleh bahasa
Tionghoa sebab penggunanya jauh lebih banyak. Hal itu berjalan
terus sampai kemudian berubah dalam Sidang Sinode GKT Ke-8
70 Notulen Sidang Sinode GKT Ke-9, Lawang, 15-17 Januari 1980: 6. 71 Lihat Tata Gereja GKT Pasal III dan Peraturan Khusus GKT Bab I,
Pasal III Ayat 2. Penerimaan ini dilakukan segera setelah Pemerintah, berdasarkan UU No. 8 Tahun 1985, mengharuskan semua organisasi
kemasyarakatan mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
156 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
dan Ke-9 tahun 1977 dan 1979. Dalam kedua sidang ini, orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT memutuskan tidak lagi memakai
dua bahasa melainkan satu saja, bahasa Indonesia.72 Peraturan ini
terasa ganjil karena pemakai bahasa Tionghoa sebenarnya masih
cukup banyak.73 Bagaimana mereka sampai kepada keputusan ini?
Tampak sekali bahwa hal berhubungan erat dengan kehadiran
unsur pemerintah dan militer serta dan situasi yang sedang
mengitari GKT saat itu.
Dalam sidang sinode tahun 1977 tercatat hadir Dirjen
Bimas Kristen/Protestan Departemen Agama R.I., Pembimbing
Bimas Kristen/Protestan Provinsi Jawa Timur, Wakil Sekretaris
Umum PGI, Ketua Majelis Agung Gereja Kristen Jawi Wethan
(GKJW) dan Ketua Moderamen Sinode Gereja Kristen Indonesia
Jawa Timur (GKI Jatim). Dalam sidang sinode tahun 1979, Dirjen
Bimas Kristen/Protestan kembali hadir. Ia ditemani oleh
Pembimbing Bimas Kristen/Protestan Provinsi Jawa Timur dan
dua orang pendeta tentara dari dua Kodam yang berbeda. Yang
pertama adalah Letnan Kolonel Pdt. J.S. Saragih, Kepala
Rawatan Rohani Protestan Kodam VIII/Brawijaya, Jawa Timur
dan Mayor Pdt. Dj. Bengngu, Kepala Rawatan Rohani Protestan
Kodam XVI/Udayana, Denpasar.
Para tamu khusus ini terakhir kali hadir lengkap dalam
sidang sinode pertama tahun 1968. Pada sidang tahun 1972, yang
hadir hanya Pembimas Kristen/Protestan Jawa Timur,
Hardjoprajitno, bersama Kepala Rawatan Rohani Protestan
Kodam VIII/Brawijaya, Mayor Pdt. A.J.I. Rampen, dan utusan-
utusan Sinode GKI Jatim. Sidang tahun 1973, yang hadir hanya
Pembimas Kristen/Protestan Jawa Timur sementara dalam sidang
sinode tahun 1975 turut hadir Pdt. P.M. Sihombing, wakil
72 Lihat Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-7, Lawang, 26-
28 Oktober 1977: 1 dan Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-9,
Lawang, 15-17 Januari 1980: 3. Sidang Sinode ke IX seharusnya dilakukan pada akhir tahun 1979. Namun karena satu dan lain hal baru dapat dilakukan
pada bulan Januari 1980. Notulen sidang tetap memakai angka tahun 1979 dan diberi penjelasan dilakukan pada bulan Januari 1980.
73 Wawancara bp SO, Malang, 10 Agustus 2009.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 157 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Sekretaris Umum DGI dan Pdt. R.W.K. Adisoesila, utusan
Dewan Gereja-gereja Wilayah (DGW) Jawa Timur, Bali,
Lombok. Selain itu turut pula hadir seorang utusan dari Sinode
GKI Jatim.
Kehadiran tamu-tamu khusus dalam sidang tahun 1977
dan 1979 ini adalah atas permintaan BP Sinode GKT. Mereka
sengaja diundang karena pada masa itu GKT sedang berhadapan
dengan sejumlah masalah pelik. Secara internal, sedang terjadi
konflik di antara BP Sinode GKT dengan sejumlah jemaat GKT di
Kota Surabaya. Konflik dipicu oleh masalah wewenang sinode
dan jemaat setempat, masalah status kepemilikan harta benda
jemaat setempat, pentahbisan pendeta yang tidak diakui sinode,
skorsing yang berujung kepada pemecatan sejumlah anggota
majelis sebuah jemaat di Surabaya, pertikaian di antara faksi-faksi
yang mendukung sekolah teologi SAAT dan STTA, dan terakhir
fitnah yang dilancarkan kepada Ketua BP Sinode GKT sebagai
anggota PKI. Dalam seluruh konflik ini, para pemimpin GKT
melakukan banyak komunikasi dengan wakil-wakil pemerintah di
Departemen Agama pusat dan provinsi, DGI dan militer di Jawa
Timur untuk meminta bantuannya. Kehadiran mereka secara
lengkap dalam sidang tahun 1977 dan 1979 merupakan hasil dari
komunikasi-komunikasi tersebut.
Secara eksternal, masalah lain yang dihadapi oleh orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT dalam periode yang sama adalah
konflik di Sekolah Kristen Aletheia (SKA) Jember. Pemecatan
empat orang guru sekolah yang dilakukan oleh Badan Pelaksana
Pendidikan (BPP) SKA Jember pada tanggal 14 April 1979
menimbulkan protes orang tua dan siswa sehingga mengganggu
jalannya proses pembelajaran di sekolah. Persoalan ini membuat
pemerintah Kabupaten Jember merasa perlu untuk turun tangan.
Upaya penyelesaian yang dimediasi oleh Bupati, pejabat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta pejabat
Departemen Tenaga Kerja Kabupaten Jember malah menemukan
fakta lain yang lebih mengkuatirkan tentang SKA Jember dan juga
158 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
GKT. Dari 601 siswa TK, SD dan SMP yang belajar di sana saat
itu ditemukan data bahwa 95 persen di antaranya adalah anak-
anak Tionghoa74 Ini tentu saja berlawanan dengan kebijakan
asimilasi di bidang pendidikan yang tegas mensyaratkan supaya
mayoritas murid “tidak terdiri dari keturunan Asing (Cina).”75
Dalam kesimpulannya Bupati Jember mengatakan bahwa
pengurus sekolah “tidak melaksanakan asimilasi sebagaimana
yang dikehendaki oleh Instruksi Presiden RI dan Ka Kan wil Dep.
P & K Prop. Jawa Timur ...”76
Dalam bagian lain laporannya, Bupati Jember malah
menilai bahwa sekolah milik GKT ini tidak menaruh perhatian
serius kepada lambang-lambang negara Indonesia. Meski foto
Presiden Soeharto dipasang di kantor sekolah namun foto
wakilnya masih tetap “Bapak Hemengkubuwono IX.” Foto itu
baru diganti dengan foto Adam Malik, wakil presiden saat itu,
setelah diminta oleh pejabat sementara Kepala Sekolah yang
ditunjuk oleh Bupati Jember. Demikian pula di kelas-kelas tidak
ditemukan “gambar Presiden, Wakil Presiden dan Bendera Pusaka
Merah Putih.” Seluruh kenyataan ini dianggap sebagai bentuk
tiadanya penghargaan terhadap kebijaksanaan pemerintah “baik
dalam persoalan asimilasi, kurikulum pendidikan dan
kebijaksanaan Bupati Kepala Daerah Tk II Jember.” Bahkan
Bupati mengkuatirkan sekolah ini hendak dipakai untuk
“menghidupkan kembali CHTH yang pernah ditutup pada
permulaan Orde Baru” karena “orientasinya berfokus kepada
negeri leluhurnya dan bukan berdasarkan iktikad baiknya dalam
74 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-B/3024/1979 tentang laporan
penyelesaian kericuhan pada Badan Pendidikan Sekolah Aletheia Jember
tanggal 27 Nopember 1979. 75 Surat Edaran Kepala Kantor Wilayah Departemen P & K Provinsi Jawa
Timur kepada Semua Kepala Kantor Departemen P & K Jabupaten/Kotamadya di
Jawa Timur No. 1311/S1/G tanggal 14 Oktober 1976 tentang Pelaksanaan
Asimilasi di Bidang Pendidikan di Jawa Timur. 76 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-B/3024/1979 tentang laporan
penyelesaian kericuhan pada Badan Pendidikan Sekolah Aletheia Jember tanggal 27 Nopember 1979.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 159 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
rangka mengamalkan Pancasila serta Undang-undang Dasar R.I.
1945.”77
Kini orang-orang Tionghoa di GKT menghadapi masalah
yang sangat peka, sekaligus mengancam eksistensinya. Jika
mereka mau selamat maka menampilkan diri sebagai WNI yang
patuh mengikuti seluruh kebijakan pemerintah di bidang asimilasi
adalah sebuah keniscayaan. Karena bahasa Indonesia merupakan
salah satu tekanan penting kebijakan asimilasi maka mau
bagaimanapun di hadapan para pejabat pemerintah dan militer
bahasa Indonesia harus dipergunakan. Sekalipun waktu itu
sebagian besar peserta sidang lebih fasih berbahasa Tionghoa dan
peraturan tata tertib sidang tersebut telah menyimpang dari
kebiasaan selama ini, hal itu harus dilakukan demi menampilkan
diri yang sudah berasimilasi.
Selain dalam persidangan sinode, pemakaian bahasa
Indonesia juga diterapkan kepada bahan-bahan cetak yang selama
ini dipergunakan dalam gereja. Dalam Sidang Sinode GKT Ke-5
tahun 1971 peserta sidang mengangkat isu bahasa Tionghoa dalam
buku pembinaan untuk calon baptisan atau sidi. Karena sekarang
GKT sudah menjadi sebuah gereja nasional Indonesia maka buku
tersebut harus diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa
Indonesia.78 Keputusan yang kemudian diambil adalah BP Sinode
diperintahkan “untuk menerbitkan buku katekisasi dalam bahasa
77 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-B/3024/1979 tentang laporan
penyelesaian kericuhan pada Badan Pendidikan Sekolah Aletheia Jember
tanggal 27 Nopember 1979. CHTH adalah singkatan dari Chung Hua Tsung
Hui. Ia adalah organisasi persatuan orang-orang Tionghoa, yang didirikan
setelah Perang Dunia II di banyak kota di Indonesia. Anggotanya awalnya didominasi oleh orang-orang Tionghoa totok pro Kuomintang dan perlahan-
lahan didominasi oleh orang Tionghoa pro Beijing. Organisasi ini dibubarkan
pada tahun 1965 oleh pemerintah. Lihat Leo Suryadinata, ed., Southeast Asian Personalities of Chinese Descent: A Biographical Dictionary, Vol. II: Glossary and
Index (Singapore: ISEAS Publishing, 2012), 5. 78 Wawancara bp AG, Batu, 22 Maret 2011 dan Malang, 22 Februari
2012.
160 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Indonesia.”79 Pekerjaan ini dapat diselesaikan tidak lama
kemudian dengan diterbitkannya buku katekisasi GKT bahasa
Indonesia yang diberi judul ‘Di Atas Dasar Yang Teguh.’
Sepuluh tahun kemudian, dalam sidang sinode tahun
1981, giliran buku nyanyian ibadah jemaat, yang berjudul Puji-
pujian Rohani (PPR), yang diputuskan diubah bahasanya dari
berdwi bahasa: Indonesia-Tionghoa menjadi bahasa Indonesia
saja. Usulan ini berangkat dari usul GKT Jemaat I di Malang,
yang sudah berbahasa Indonesia dan dari GKT Semarang, yang
masih berbahasa Tionghoa.80 Usulan awal ialah memperbaharui
ejaan teks bahasa Indonesia yang saat itu masih memakai ejaan
lama. Namun oleh seorang peserta usulan ini dipahami
berimplikasi kepada penghapusan teks bahasa Tionghoa. Pikiran
ini dilandasi oleh hal yang sudah diketahui bersama bahwa untuk
mencetak buku atau literatur yang ada bahasa Tionghoanya akan
memerlukan sebuah izin khusus dari pihak keamanan.
Problemnya, izin itu dirasa tidak akan mudah didapatkan,
sementa pihak penerbit sendiri tidak mau ambil tanggung jawab
untuk itu. Ketua Sinode GKT yang ditanya mengenai soal ini pun
tidak dapat memberi jawaban tegas.
Keraguan ini ditangkap oleh seorang peserta lain yang
kemudian mengusulkan supaya buku ini “dicetak [dalam] bahasa
Indonesia saja.” Seorang peserta sidang dari kota Semarang
mendukung gagasan itu sambil mengingatkan peserta sidang
tentang “generasi muda yang sudah banyak tidak bisa bahasa
Tionghoa.” Karena itu “yang lalu biarlah berlalu, dan dicetak yang
baru dalam bahasa Indonesia yang disempurnakan.” Seluruh
peserta sidang akhirnya sepakat menerima usulan perubahan
bahasa dan menugaskan “BP Sinode untuk mencetak buku
nyanyian (PPR) khusus dalam bahasa Indonesia yang
79 Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT Ke-4 Tahun 1971, nomor
11. 80 Lihat Notulen Sidang Sinode GKT Ke-10, Lawang, 3-5 November
1981: 19-20.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 161 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
disempurnakan dengan hanya memakai satu not (tanpa not
balok).”81
Tahun 1985, isu ini kembali diangkat. Berangkat dari
kenyataan bahwa pencetakan buku PPR dalam bahasa Indonesia
dengan not angka makan waktu sampai 1,5 tahun Sekretaris
Umum BP Sinode GKT kemudian meminta sidang untuk
menentukan sikap apakah proyek ini mau terus dilanjutkan atau
tidak.82 Pertanyaan ini kembali membuka debat tentang posisi
bahasa Tionghoa dalam buku yang baru. Sebagian berpendapat
supaya bahasa Tionghoa tetap dipertahankan dan hanya “bahasa
Indonesianya saja yang dirobah.” Yang lain berpendapat bahwa
hal itu tidak bisa dilakukan karena alasan teknik pencetakan dan
keputusan memakai teks bahasa Indonesia sudah diputuskan
dalam sidang sinode sebelumnya. Yang lain menambahkan bahwa
bahasa Tionghoa sebaiknya dihapus karena hal “ini berarti kita
juga menyesuaikan diri dengan anjuran/instruksi DEPAG
mengenai bahasa Mandarin dalam gereja.” Dengan seluruh
argumen ini, sidang akhirnya mengambil keputusan sbb.:
Pertama, PPR perlu direfisi oleh Panitia lama
ditambah anggota baru yang ditunjuk, yaitu
Sdr. Soesanto dan Pdt. Kornelius. Kedua, not
balok tetap dipakai. Ketiga, tidak memakai
bahasa Tionghoa.83
Buku ini berhasil diwujudkan dua belas tahun kemudian
pada tahun 1997. Dalam buku baru ini teks bahasa Tionghoa
sudah tidak ada lagi.
81 Kumpulan Keputusan Sidang Sinode GKT Ke-10 Tahun 1981, nomor
6. 82 Kutipan percakapan diambil dari Notulen Sidang Sinode GKT Ke-13,
Lawang, 5-7 November 1985: 7-8. 83
Ibid.
162 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
6. Penutup
Di hadapan semua penguasa, orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT berusaha memperlihatkan persetujuan dan
kepatuhannya kepada kebijakan asimilasi. Sidang Sinode Ke-2
tahun 1969 makin mempertegas sikap itu dengan mengharuskan
semua warga GKT untuk “patuh kepada peraturan pemerintah.”84
Namun seperti diperingatkan James C. Scott mengenai orang-
orang yang ditindas, peragaan hidup di depan penguasa tidak
boleh diterima begitu saja sebagai keseluruhan cerita hidup orang-
orang tersebut. Dalam kasus interaksi orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT dengan negara dan aparat pemerintah, hal itu
tampaknya benar. Di antara peragaan-peragaan kepatuhan
ternyata ada pula peragaan-peragaan lain yang ditampilkan di
pentas lain, yang berada di luar jangkauan observasi penguasa.
Respons-respons yang diperlihatkan secara tersembunyi inilah
yang akan dibicarakan di bagian berikut ini.
B. Langkah-langkah yang Menyimpang dari Asimilasi
1. Tetap Memakai Bahasa Tionghoa
Lebih dari sekedar alat berkomunikasi, bahasa merupakan
alat untuk mengungkapkan identitas.85 Bagi orang Tionghoa
Kristen di GKT bahasa Tionghoa (baik itu dialek maupun
Mandarin) adalah alat untuk berkomunikasi dan mengidentifikasi
84 Ringkasan Akta Sidang Lengkap Tahun 1969 Sinode Gereja Kristus
Tuhan, Butir III. 85 Zhang Xiaoling, “Communication, Language and Identity —
Attitudes toward Preserving Children’s Linguistic Identity in the UK among
Parents from Mainland China,” Journal of Chinese Overseas, Volume 1, Number
1, May 2005: 112; Kari Gibson, “English Only Court Cases Involving the U.S. Workplace: The Myths of Language Use and the Homogenization of
Bilingual Worker’s Identities”, Second Language Studies, 22 (2), Spring 2004: 1-
4; Michael Byram, “Languages and Identities” makalah yang disampaikan
dalam Intergovernmental Conference Languages of Schooling: towards a Framework
for Europe, Strasbourg 16-18 October 2006, dalam
http://www.coe.int/t/dg4/linguistic/source/byram_identities_final_en.doc (2 November 2014).
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 163 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
diri. Pelarangan, apalagi penghapusan, sama artinya dengan
peniadaan diri. Karena itu berbagai upaya dilakukan supaya ia
tetap lestari. Sejumlah strategi pelestariannya akan dibahas di
bagian ini.
1.1. Tata Tertib Sidang Sinode: “Tidak Harus Berbahasa
Indonesia Saja.”
Bila sidang-sidang sinode GKT, dari yang pertama sampai
yang kesembilan, diperiksa lebih lanjut maka akan tampak pola
penggunaan bahasa seperti tabel di bawah ini:
Tabel 4.2. Pola Penggunaan Bahasa dalam Sidang Sinode GKT
Tahun 1968-1980
No Macam Sidang Kehadiran Unsur Pemerintah,
Militer dan DGI
Bahasa Yang
Dipakai
1 Sidang Tahunan
1969, THKTKH
Klasis Jatim, 8-
10 Januari 1968
Tidak ada.
Bahasa
Tionghoa
2 Sidang Sinode
Ke I
29 April-3 Mei
1968
M. Abednego, Dirjen Bimas
Kristen Protestan.
Rasjid Padmosudiro, Kepala
Petugas Urusan Kristen,
Jawatan Urusan Agama
Provinsi Jawa Timur.
Dr. S.A.E. Nababan,
Sekretaris Umum DGI.
May. Pdt. M.G.
Simanjuntak, Kepala
Rawatan Rohani Protestan,
Kodam VIII/Brawijaya.
Bahasa
Tionghoa
Diterjemahkan
ke dalam
bahasa
Indonesia.
3 Sidang Sinode
Ke II
8-11 Juli 1969
Tidak ada.
Bahasa
Tionghoa.
Diterjemahkan
ke dalam
bahasa
Indonesia.
164 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
4 Sidang Sinode
Ke III
7-10 Juli 1970
Tidak ada.
Bahasa
Tionghoa.
Diterjemahkan
ke dalam
bahasa
Indonesia.
5 Sidang Sinode
Ke IV
20-23 Juli 1971
Tidak ada.
Bahasa
Tionghoa.
Diterjemahkan
ke dalam
bahasa
Indonesia.
6 Sidang Sinode
Ke V
10-13 Juli 1072
Hardjoprajitno, Kepala
Bagian Kristen, Perwakilan
Departemen Agama Provinsi
Jawa Timur.
May. A.J.I. Rampen, Kepala
Rawatan Rohani Protestan,
Kodam VIII/Brawijaya.
Wakil-wakil Sinode GKI
Jawa Timur.
Bahasa
Tionghoa
Diterjemahkan
ke dalam
bahasa
Indonesia.
7 Sidang Sinode
Ke VI
24-25 Juli 1973
Hardjoprajitno, Kepala
Bagian Kristen, Perwakilan
Departemen Agama Provinsi
Jawa Timur.
Wakil-wakil Sinode GKI
Jawa Timur tidak bisa hadir.
Bahasa
Tionghoa
Diterjemahkan
ke dalam
bahasa
Indonesia.
8 Sidang Sinode
Ke VII
14-17 Oktober
1975
Pdt. P.M. Sihombing, wakil
BPH DGI.
Pdt. RWK Adisoesila, wkil
BPH DGW Jawa Timur,
Bali, Lombok.
Penatua D.S. Ibrahim, wakil
Moderamen Sinode GKI
Jatim.
Bahasa
Tionghoa
Diterjemahkan
ke dalam
bahasa
Indonesia.
9 Sidang Sinode
Ke VIII
25-28 Oktober
1977.
Dirjen Bimas
Kristen/Protestan,
Departemen Agama RI.
Pembimbing Bimas
Hanya bahasa
Indonesia.
Tanpa bahasa
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 165 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Kristen/Protestan Provinsi
Jawa Timur.
Pdt. P.M. Sihombing, wakil
BPH DGI, Jakarta. (Ikut dari
awal sampai akhir dan
terlibat aktif).
Ketua Majelis Agung Gereja
Kristen Jawi Wetan
(GKJW).
Ketua Moderamen Sinode
GKI Jatim.
Tionghoa.
Tanpa
penterjemah
bahasa
Tionghoa.
10 Sidang Sinode
IX
15-17 Januari
1980
Aristarkus, Penyelenggara
Bimas Kristen/Protestan
Departemen Agama
Kabupaten Malang.
Letkol. Pdt. J.S. Saragih,
Kepala Rawatan Rohani
Protestan Kodam VIII/
Brawijaya, Jawa Timur.
May. Pdt. Dj. Bengngu,
Kepala Rawatan Rohani
Protestan Kodam XVI/
Udayana, Bali.
(Diangkat sebagai Penasihat
Sidang. Ikut sidang dari awal
sampai akhir!)
Hanya bahasa
Indonesia.
Tanpa bahasa
Tionghoa.
Tanpa
penterjemah
bahasa
Tionghoa.
Dari tabel di atas terlihat bahwa pola pemakaian bahasa
yang selama ini terjadi sejak sidang sinode pertama adalah bahasa
Tionghoa dan terjemahan bahasa Indonesia. Pola ini terlihat pula
dalam susunan dokumen notulen-notulen dan akta-akta sidang
yang dikirim kepada jemaat-jemaat GKT. Dokumen-dokumen
tersebut selalu tersusun dalam dua bahasa: bahasa Tionghoa di
halaman-halaman depan dan bahasa Indonesia di halaman-
halaman belakang. Buletin sinode, yang diterbitkan oleh Badan
Pengurus (BP) Sinode GKT pada tahun 70-an juga dicetak dalam
dua bahasa: Tionghoa dan Indonesia. Bahkan dalam edisi-edisi
166 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
tertentu seperti Natal, ucapan-ucapan selamat Natal yang dimuat
hampir seluruhnya dalam bahasa Tionghoa.86
Pemakaian bahasa Indonesia dalam sidang kedelapan dan
kesembilan, dengan demikian, menyimpang dari kebiasaan. Di
bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa penyimpangan ini
disebabkan oleh kehadiran unsur-unsur pemerintah, tentara dan
DGI selama persidangan; dan karena tekanan dari luar (eksternal)
untuk membuktikan kesejatian keindonesiaannya. Pada tahun
1981, sidang tidak lagi dihadiri oleh utusan tentara dan DGI. Kini
orang-orang Tionghoa hanya sendirian dengan sesamanya. Seperti
sidang-sidang sebelumnya, tata tertiba sidang hanya ada enam
butir saja. Dari butir satu sampai butir lima, peraturannya boleh
dikatakan sama persis dengan tata tertib dua sidang sebelumnya.
Tabel 4.3. Perbandingan Tata Tertib Persidangan Sinode
No Tata Tertib Sidang
Ke VIII/1977
Tata Tertib Sidang
Ke IX/1979
Tata Tertib Sidang
Ke X/1981
1 Para peserta dengan
tanda merah mem-
punyai hak memilih
dan hak dipilih.
Para peserta dengan
tanda kuning tua
mem-punyai hak
me-milih dan
dipilih.
Peserta dengan tanda
merah dan biru
berhak memilih dan
dipilih.
2 Demi ketertiban,
maka para pem-
bicara diharap angkat
tangan dulu.
Demi ketertiban,
maka peserta
diharap angkat
tangan dulu.
Demi ketertiban,
para peserta diharap-
kan mengangkat
tangan.
3 Waktu pembicaraan
jangan terlalu lama.
Waktu berbicara
jangan terlalu lama.
Waktu berbicara
jangan terlalu lama.
4 Tidak boleh
merokok.
Dalam ruangan
sidang tidak diper-
kenankan merokok.
Dalam ruangan tidak
boleh merokok.
5 Jika meningalkan
rapat, harap lapor
dulu pada ketua
Meninggalkan
tempat harap lapor
pada pimpinan
Meninggalkan
tempat harap lapor
pada pimpinan
86 Lihat misalnya Berita Warga Gereja Kristus Tuhan Indonesia 26,
Oktober-Desember 1975.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 167 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
sidang. sidang. sidang.
6 Hanya memakai
bahasa Indonesia.
Sidang hanya me-
makai bahasa
Indonesia.
Memakai bahasa
Indonesia dan
Tionghoa.
Namun pada butir terakhir, butir keenam, sidang kali ini
menerapkan peraturan yang berbeda. Perbedaan ini terjadi atas
usulan seorang utusan dari GKT Semarang, yang juga salah
seorang anggota Majelis Persidangan. Ia meminta supaya peserta
diizinkan “memakai bahasa bebas dalam arti tidak harus
menggunakan bahasa Indonesia, asal saja ada penterjemahnya.”
Alasannya, “demi pengungkapan pendapat secara bebas.”87
Pemakaian bahasa Indonesia secara eksklusif selama dua sidang
terakhir dirasa menghambat pengungkapan pikiran dan pendapat
oleh mereka yang fasih berbahasa Tionghoa. Tanpa satupun protes
sidang secara aklamasi menerima usul ini untuk menjadi peraturan
dalam tata tertib persidangan.
Peraturan ini memang terbukti memberi keleluasaan yang
amat besar seperti yang diharapkan. Peserta sidang yang tidak
dapat berbahasa Indonesia kini dengan leluasa dapat ambil bagian
dalam percakapan. Jika dalam dua sidang sebelumnya mereka
hadir namun tidak berbicara, atau pendapatnya dititipkan melalui
peserta lain yang bisa berbahasa Indonesia maka dalam sidang kali
ini mereka sendiri yang langsung berbicara. Seorang peserta sidang
yang bernama Ko Tuan An pernah hadir dalam sidang tahun 1977
sebagai wakil Badan Kesejahteraan Pendeta/Penginjil. Waktu itu
ia harus menyampaikan suatu laporan. Namun karena tidak dapat
berbahasa Indonesia dengan fasih maka laporan itu ia titipkan
kepada seorang peserta lain yang dapat berbahasa Indonesia untuk
melaporkannya “atas nama Sdr. Ko Tuan An.”88 Dalam sidang
berikutnya yang kembali berlangsung dalam bahasa Indonesia, ia
87 Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-10, Lawang, 3-5
Nopember 1981: 1. 88 Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-7, Lawang, 14-17
Oktober 1975: 4.
168 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
malah tidak hadir. Ia baru hadir kembali pada sidang tahun 1981
sebagai wakil komisi sinode yang bertugas mencari dana untuk
keperluan pekerjaan-pekerjaan sinodal. Namun berbeda dari dua
sidang sebelumnya, kini ia sendiri yang berbicara dan
menyampaikan laporannya secara langsung dalam bahasa
Tionghoa.89
Selain secara lisan, peserta sidang juga diizinkan memulis
dalam aksara Tionghoa. Hal ini berbeda dari sidang tahun 1977.
Dalam pleno pemilihan BP Sinode periode 1977-1981, tata tertib
sidang mengharuskan penulisan nama calon badan pengurus
sinode dalam aksara Indonesia. Sejumlah besar peserta sidang lalu
mengalami kesulitan menuliskan nama. Untuk mengatasinya,
pimpinan sidang lalu mengizinkan peserta yang merasa kesulitan
untuk “mencantumkan nomer”90 calon saja. Dengan peraturan
yang baru di Sidang Sinode 1981, peserta sidang tidak lagi
mengalami kesulitan serupa sewaktu memilih badan pengurus
sinode periode 1981-1985. Kini, baik nama yang memilih maupun
yang dipilih, “boleh ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa
Tionghoa.”91
Sidang Sinode 1981 menjadi titik balik pemakaian bahasa
Tionghoa di forum-forum rapat gerejawi yang tertinggi. Cara
bahasa Tionghoa dipergunakan oleh persidangan ini kemudian
menjadi patokan yang terus dipakai dalam sidang-sidang sinode
selanjutnya. Pada Sidang Sinode Ke-11 tahun 1983, tata tertib
sidang dengan tegas mengatur bahwa peserta “boleh memakai
bahasa Mandarin yang diterjemahkan.” Sidang sinode tahun 1985
89 Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-10, Lawang, 3-5
Nopember 1981: 3. Contoh lain adalah seorang yang bernama Koo Nyong
Ing. Dalam sidang 1977 dan 1980, ia hanya berbahasa Indonesia saja. Dalam sidang 1981, dalan suatu pleno, ia tanpa ragu memakai bahasa Tionghoa
sementara di pleno lainnya memakai bahasa Indonesia. Orang lain adalah
Pdt. Daniel Yonathan. Sebagai orang yang fasih berbahasa Indonesia dan Tionghoa, ia dengan tangkas memakai dua bahasa ini di mana perlu. Hal-hal
seperti ini tidak dilakukan dalam dua sidang sebelumnya. 90 Notulen Sidang Sinode Gereja Kristus Tuhan Ke-7: 5. 91 Ibid., 14.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 169 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
maju selangkah lebih jauh, dengan menyediakan dua penterjemah
resmi ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Ev. Johan Eddy S. dan
Ev. Sofia Chen. Penunjukkan tenaga penterjemah khusus ini
kembali dilakukan lagi pada sidang tahun 1987. Setelah ini bahasa
Tionghoa terus dipergunakan namun kini tanpa penterjemah
khusus. Sidang tampaknya tidak merasa perlu berbuat demikian
karena urusan itu dapat langsung ditangani oleh beberapa tenaga
pekerja gerejawi yang hadir.92
1.2. Buku Nyanyian Jemaat: “Kembalikan Teks Bahasa
Tionghoanya”
Buku nyanyian ibadah GKT yang lama hanya terdiri atas
dua bagian saja. Bagian depan terdiri atas 380 nyanyian yang
dipakai untuk ibadah hari Minggu sementara di bagian belakang
terdapat 100 nyanyian pendek yang dipergunakan untuk ibadah-
ibadah doa dan ibadah-ibadah khusus seperti Kebaktian
Kebangunan Rohani (KKR), dan lain-lain. Tiap-tiap lagu di
bagian depan terdiri atas tiga bait saja, sementara yang di bagian
belakang panjangnya berbeda-beda namun dengan panjang
maksimal tiga bait saja. Seluruh nyanyian memakai not angka dan
not balok. Teksnya tertulis dengan dua bahasa: bahasa Indonesia
dan bahasa Tionghoa. Teks bahasa Indonesia ditaruh di bagian
atas sementara teks bahasa Tionghoa tepat di bawahnya. Setiap
hari Minggu orang-orang Tionghoa Kristen di GKT memuji
Tuhannya dalam dua bahasa ini. (Lihat Lampiran 4).
Buku ini hadir di GKT sebagai hasil kesepakatan yang
dibuat dalam Rapat Tahunan THKTKH Klasis Jatim di Semarang
pada tahun 1965.93 Menindaklanjuti percakapan tentang usaha-
92 Hal itu terlihat, misalnya, dalam sidang sinode GKT tahun 1999,
sidang sinode pertama yang saya ikuti setelah bergabung dengan GKT pada tahun 1997. Dalam sidang itu, seorang peserta sidang memakai bahasa
Tionghoa untuk mengungkapkan pikirannya dan langsung diterjemahkan
oleh seorang pekerja gerejawi yang menjadi salah seorang pimpinan sidang. 93 Lihat Panitia Penyusun Kitab Nyanyian Kesatuan Gereja Kristen
Tionghoa (THKTKH) Klasis Jawa Timur, “Kata Pengantar” dalam Buku
Puji-pujian Rohani (Malang: BP Sinode GKT, 1997), i-ii.
170 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
usaha menampilkan kesatuan gereja yang lebih kongkrit, rapat
merasa perlu membuat sebuah buku nyanyian yang menjadi
simbol kesatuan gereja. Sebuah panitia lalu ditunjuk untuk
menyiapkan-nya. Panitia itu diberi nama Panitia Penyusun Kitab
Nyanyian Kesatuan. Sebagian besar nyanyiannya diambil dari
buku-buku nyanyian yang selama ini sudah dipergunakan oleh
gereja-gereja Tionghoa di dalam maupun luar negeri, termasuk
oleh sejumlah jemaat THKTKH Klasis Jatim. Di antaranya
adalah Hymn of Universal Praise;94 Gospel Hymns, Canton China;
South Fuchian Church Hymns; Evangel Hymns, Hongkong; Chinese
Hymnary, Hongkong; Cry of the Wilderness, Hongkong; Youth Hymns,
Hongkong; Heavenly People Choruses, Hongkong; Evangelical Hymnal.
Dari sumber berbahasa Indonesia, Panitia menoleh kepada
Nyanyian Kemenangan Iman, yang populer di kalangan Gereja
Kemah Injil, lalu Nyanyian Pengharapan dan Nyanyian Kebangunan
Rohani, yang tidak jelas berasal dari kelompok mana. Hasil kerja
panitia ini adalah sebuah buku nyanyian yang diberi nama Puji-
pujian Rohani (PPR).
Pada tahun 1997 terbit edisi revisi PPR, yang hanya
mencantumkan teks bahasa Indonesia saja. Penerbitannya
merupakan buah dari keputusan yang sudah dibuat pada sidang
sinode tahun 1981 dan dipertegas lagi oleh sidang sinode tahun
1985. Namun belum dua tahun beredar, buku ini sudah mendapat
kritik tajam dari anggota-anggota jemaat yang ingin
mempertahankan penggunaan bahasa Tionghoa di GKT. Protes
mereka diperdengarkan dalam Sidang Sinode tahun 1999.
94 Buku ini merupakan hasil kerja sama enam badan gerejawi di
Tiongkok dan terbit pertama kali pada tahun 1936. Di dalamnya ada lebih dari 400 buah nyanyian yang biasa dinyanyikan di gereja-gereja di Barat; lalu
62 lagu yang ditulis oleh musisi Tiongkok Kristen bersama 72 nada lagu tradisional Tiongkok. Lihat Frank W. Price, pentj., Chinese Christian Hymns By
Chinese Writer with Chinese Tunes: Selected from The Chinese Hymn Book, Hymns of
Universal Praise (Richmond, VA.: Board of Missions, PCUSA, 1953), tanpa
halaman. Buku ini merupakan buku nyanyian yang paling banyak
dipergunakan di kalangan gereja-gereja Tionghoa kala itu. THKTKH Jemaat Hinghwa Surabaya adalah salah satu pemakainya. Lihat Wawancara bp TPS,
Malang, 10 Agustus 2011.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 171 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Diwakili oleh utusan sidang dari GKT Jemaat Kanaan, Kediri,
mereka mengingatkan peserta sidang bahwa bahasa Tionghoa
yang tertera dalam buku Puji-pujian Rohani (PPR) yang lama
memiliki relasi yang sangat erat dengan identitas sosial-kultural
GKT. Berikut penjelasannya:
Kalau saya melihat dalam buku PPR yang lalu itu
[maksudnya, yang lama, pen.] ada bahasa
Mandarinnya. Dan GKT itu kalau nggak salah
dulunya adalah Gereja Kie Tok Kauw Hwee ya,
jadi gereja yang berbahasa Mandarin, dan di Kediri
satu-satunya gereja yang berbahasa Mandarin
adalah GKT, di Kediri itu. Tapi sekarang bukunya
itu [maksudnya, buku PPR edisi revisi] rasanya
mundur nggak ada bahasa Mandarinya gitu. Waktu
ada visitasi dari BP itu menyarankan supaya buku
kita yang lama itu direvisi. Kita telah mengikutinya
ya, revisi banyak sekali. Ada hampir seratus buku
kita revisi, tapi setelah kita pakai, ternyata pada
waktu liturgis itu nyanyi bagian pemuda, yang bawa
buku itu ndak bisa nyanyi, akhirnya kacau. Ndak
ada buku itu, bagian pemuda bagian belakang ‘kan
ndak ada. Jadi saya pikir akhirnya buku-buku
bahasa Mandarin yang telah kita revisi itu, ganti
cover dan lain-lain itu, akhirnya ndak kepakai. Jadi
saya pikir kalau nggak bisa sekarang atau biayanya
terlalu banyak bisa menjadi catatan. Seperti buku
merah yang tadi kita pakai ‘kan ada Mandarinnya.
Mengapa buku PPR ndak ada Mandarinnya? Ya
saya pikir itu aja. Terima kasih. 95
95 Utusan GKT Jemaat Kanaan, Kediri, dalam Kaset Rekaman 5
Sidang Pleno V, Sidang Sinode GKT Ke-19, Tretes, Pasuruan, 13-15 Juli 1999,
hari kedua, 14 Juli 1999.
172 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Usulan ini segera mengundang tanggapan yang ramai dari
peserta sidang.96 Ada yang setuju, ada yang tidak setuju. Yang
tidak setuju berpendapat bahwa secara praktis usulan tersebut
tidak mudah untuk dikerjakan.97 Kesulitan itu masih ditambah lagi
dengan tiadanya sumber daya manusia yang sanggup untuk
mengerjakannya.98 Alasan yang lebih fundamental diajukan oleh
seorang pekerja gerejawi yang pernah terlibat dalam urusan revisi
buku PPR. Ia berpendapat bahwa bahasa Tionghoa tidak
diperlukan lagi karena dua alasan. Pertama, karena jumlah
pemakainya sudah makin minim dan sebentar lagi habis. Seirama
dengan alasan yang pernah disampaikan dalam sidang sinode
tahun 1981, ia berpendapat bahwa “tidak lama lagi yang tua-tua
sudah dut dan sekarang ini banyak anak muda sudah tidak bisa
bahasa Tionghoa.” Intinya, memasukkan kembali bahasa
Tionghoa akan menjadi pekerjaan mubasir.
Alasan yang kedua ia hubungkan dengan misi gereja
GKT. Dalam pemahamannya GKT sudah bukan lagi gereja yang
melulu menjangkau orang-orang Tionghoa yang berbahasa
Tionghoa. Misi GKT adalah menjangkau semua orang dari segala
macam suku, bangsa dan bahasa. Ia berkata, “Kita juga tidak ingin
supaya [GKT menjadi gereja yang] Chinese-oriented. Kita ‘kan juga
ingin masuk sampai ke desa-desa. Kalau orang-orang lain lihat
urek-urekan begitu, mereka juga kabur [dengan orientasi baru GKT
itu].”99 Memasukkan kembali bahasa Tionghoa ke dalam buku
nyanyian selain tidak relevan, juga akan menghambat kemajuan
pekabaran Injil yang dilakukan di antara orang-orang non-
Tionghoa.
96 Semua tanggapan yang didiskusikan di sini diambil dari Kaset
Rekaman 5 untuk Sidang Pleno V, Sidang Sinode GKT Ke-19, hari kedua, 14 Juli
1999. 97 Ia adalah seorang yang mampu berbicara dan menulis dalam
bahasa Tionghoa serta berasal dari GKT Jemaat Hosana, Surabaya, yang
waktu itu memiliki dua ibadah Minggu dalam bahasa Tionghoa. 98 Ia adalah pekerja gerejawi di GKT Jemaat Hosana, Surabaya,
dengan jabatan Pendeta. 99 Yang ia maksud dengan dut adalah meninggal. Sementara urek-
urekan adalah tulisan.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 173 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Namun alasan ini ditepis oleh mereka setuju dengan
pemikiran bahwa hal itu mengabaikan dimensi-dimensi historis
dan sosiologis buku itu. Buku itu sangat monumental karena
menjadi buku nyanyian pertama yang diusahakan sendiri oleh
orang-orang Tionghoa Kristen yang berbahasa Tionghoa di
Indonesia.100 Buku PPR, dengan teks bahasa Indonesia dan
Tionghoa, sejatinya adalah jati diri orang-orang Tionghoa Kristen
di GKT. Maka memasukkan kembali teks bahasa Tionghoanya
adalah suatu keharusan, berapapun ongkosnya.101 Kalau dikatakan
para penggunanya sudah semakin habis, pihak yang setuju justru
menemukan bahwa para pengguna di kalangan generasi muda
semakin bertambah. Karenanya, meski orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT sekarang sudah menjadi orang Indonesia, mereka
diingatkan agar terus melestarikan pemakaian bahasa ini.102
Setelah mendengarkan sejumlah tangggapan, Rapat Pleno
ke-5 Sidang Sinode ke-19, tahun 1999 akhirnya sepakat mencetak
kembali buku PPR “dengan bahasa Mandarin dan not balok.”103
Keputusan itu didukung oleh mayoritas (78 dari 98 suara) utusan
sidang.
1.3. Menggunakan Traktat Penginjilan dalam bahasa Tionghoa
Dalam laporan hasil survei menyeluruh gereja-gereja di
Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Studi DGI
pada tahun 1968-1976 ditemukan bahwa salah satu metode
pekabaran Injil yang dipakai oleh GKT adalah “penyebaran
selebaran traktat.” Metode ini, bersama beberapa metode lainnya,
100 Ia adalah pekerja gerejawi dengan jabatan Pendeta, dan bekerja
sebagai dosen di STT Aletheia, Lawang. Ia mengaku berada dalam tim yang
menyusun edisi pertama buku itu, yang memakai dwi-teks: bahasa Tionghoa dan bahasa Indonesia.
101 Ia adakah pekerja gerejawi di GKT Jemaat Hosana, Surabaya, dengan jabatan Penginjil.
102 Ia adalah seoang tua, anggota Majelis Jemaat di GKT Nazareth,
Surabaya. 103 Lihat Kumpulan Keputusan Sidang Sinode Ke-19 Tahun 1999 dalam
buku Tata Gereja dan Peraturan Khusus Gereja Kristus Tuhan (Malang: BP
Sinode GKT, 2008), 104.
174 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
rupanya tidak banyak dipergunakan oleh gereja lain di Indonesia.
Hanya GKT, GKI Jatim, GKI Jateng, Gereja Methodist Indonesia
(GMI) dan Gereja Baptis, yaitu gereja-gereja yang “terdiri dari
orang-orang Cina belaka, atau yang pelayan oikumenisnya
(misionaris) berlatar belakang Cina” saja yang memakainya.104
Traktat-traktat ini adalah dalam bahasa Tionghoa dan diperoleh
dari lembaga-lembaga penerbitan di luar negeri.
Setelah berkuasa, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan
kebijakan pembatasan ketat terhadap masuknya bahan-bahan
cetak yang berbahasa Tionghoa dari luar negeri.105 Kebijakan ini
kemudian dikoreksi beberapa waktu kemudian sehingga buku-
buku atau barang cetakan yang berhuruf dan berbahasa Tionghoa
yang bersifat keagamaan boleh masuk, malah dalam jumlah yang
tidak terbatas, namun setelah terlebih dahulu disensor.106
Penyensoran tampaknya menjadi cara lain pemerintah untuk tetap
meneruskan kebijakan lama sebab pada kenyataannya bahan-
bahan itu tetap sukar untuk masuk, bahkan untuk jumlah yang
terbatas sekalipun.
Kondisi ini tentu menghambat upaya mengabarkan Injil
kepada orang-orang Tionghoa yang belum Kristen. Untuk
mengatasi hal ini maka dalam Sidang Sinode ke-4 tahun 1971
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT mulai memikirkan cara
memperoleh traktat-traktat pekabaran Injil (PI) dalam bahasa
Tionghoa tersebut. Sejumlah peserta sidang mengusulkan supaya
104 Lihat Dr. Fridolin Ukur & Dr. Frank L. Cooley, peny., Jerih dan
Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia (Jakarta:
Lembaga Penelitian dan Studi-DGI, 1979), 221. 105 Surat Edaran Kejaksaan Agung R.I. No. B-134/c.1.3/4/68/148
tanggal 22 April 1968 tentang Pembatasan masuk majalah-majalah/buku-buku
dan barang-barang cetakan lainnya yang berhuruf dan berbahasa Tjina terbitan luar negeri ke Indonesia. Dalam surat terakhir ini tanpa pengecualian
apapun Kejaksaan Agung membatasi masuknya dari luar negeri majalah-
majalah, buku-buku dan barang-barang cetakan lainnya yang beraksara dan
berhasa Tionghoa. 106 Surat Edaran Kejaksaan Agung No. B-267/C.1.3/2/1969/52
tertanggal 19 Februari 1969. Surat edaran ini merupakan kelanjutan dari surat edaran sebelumnya,.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 175 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Sinode GKT mencetak sendiri traktat-traktat itu karena
sebelumnya sudah diputuskan membentuk sebuah badan
penerbitan sinode dan membeli sebuah mesin stensil serta
perlengkapan cetak lainnya. Peserta sidang pada prinsipnya setuju
bahwa traktat-traktat PI amat dibutuhkan dan perlu sekali dicetak.
Namun, karena alasan-alasan “kesulitan tehnik dll.” sidang
kemudian memutuskan bahwa pencetakan traktat dalam bahasa
Tionghoa diserahkan kepada jemaat-jemaat masing-masing untuk
mengurusnya.107 Kesulitan teknik tentu saja berhubungan dengan
urusan-urusan teknis penerbitan sementara soal “dan lain-lain”,
ringkasan sumber yang ada tidak memberikan penjelasan.
Sekalipun keputusan tersebut tidak memenuhi harapan
pengusul namun traktat yang dibutuhkan sekurangnya-kurangnya
masih dapat diperoleh melalui dua orang misionaris
berkewarganegaraan Amerika Serikat, ibu dan anak yang bernama
Ethel Zoe Alfsen dan Thelma Alfsen. Bersama Edin Cornelius
Alfsen, suaminya, Ethel Zoe Alfsen pernah selama beberapa tahun
berkarya di Tiongkok dan Tibet.108 Awal tahun 60-an keduanya
masuk ke Malaysia dan mendirikan badan misi Malaysia Faith
Mission. Salah satu bidang pekerjaannya adalah menerbitkan dan
menyebar-luaskan literatur Kristen, Alkitab, buklet-buklet dan
traktat-traktat penginjilan di Asia.109 Salah satu traktat yang
diterbitkan dan disebarluaskan oleh lembaga ini berjudul Jalan Ke
Surga. Traktat ini aslinya ditulis dalam bahasa Tionghoa dan
dimaksudkan untuk menunjukkan jalan keselamatan kepada jiwa-
107 Ringkasan Akta Sidang Lengkap Tahun ’71, Lawang, 20-23 Juli
1971, butir 20. 108 Pada akhir tahun 50-an, Edin C. Alfsen sempat masuk ke
Indonesia untuk merintis suatu karya misi. Namun karena situasi politik kala
itu rencana itu akhirnya dibatalkan. Ia dan isterinya, Zoe Alfsen, akhirnya pindah ke Singapura dan merintis pekerjaan di kalangan orang-orang
Tionghoa di sana. Lihat Nils Dybdal-Holthe, 10. ALFSENS
MISJONSARBEID dalam http://gudsfolket.blogspot.com/2007/05/10-
alfsen.html (diakses pada 20.2.2015). Informasi mengenai Zoe Alfsen dan
Thelma Alfsen berhutang banyak dari sumber ini. 109 Malaysia Faith Mission dalam http://www.lfcviroqua.com/3.html
(diakses pada 2 Agustus 2014).
176 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
jiwa yang haus dari dunia komunis.110 Setelah suaminya
meninggal pada tahun 1966, Zoe Alfsen dan putrinya, Thelma
Alfsen, meneruskan pekerjaan misi ini.
Pada awal bulan November 1972, ibu dan anak ini
berhasil masuk ke Indonesia. Keduanya langsung bekerja di
kalangan orang-orang Tionghoa. Zoe Alfsen bekerja sebagai guru
musik untuk orang-orang Tionghoa yang berbahasa Tionghoa. Ia
memakai kesempatan itu untuk memberitakan Injil pada yang
belum Kristen. Thelma, putrinya, bekerja sebagai dosen Ilmu PI di
sekolah teologi GKT di Lawang. Ia sering mengadakan perjalanan
mengabarkan Injil ke mana-mana.
Kalau bahan-bahan lain yang berbahasa Tionghoa
mengalami banyak kesulitan untuk dibawa masuk, traktat yang
dikatakan dipersiapkan khusus untuk menjadi alat pekabaran Injil
kepada orang-orang yang kena pengaruh komunisme tampaknya
tidak mengalami kesulitan itu. Apalagi material itu dibawa masuk
oleh warga negara Amerika Serikat yang waktu itu sedang terlibat
dalam kampanye militer melawan kekuatan komunisme di Asia
Tenggara. Dengan traktat ini dan bahan-bahan sejenis lainnya,
Thelma Alfsen membantu orang-orang Tionghoa Kristen di GKT
dalam melakukan pekerjaan pemberitaan Injil kepada orang-orang
Tionghoa dan orang-orang non-Tionghoa pula.111 Di satu sisi
kebutuhan keagamaan terpenuhi sementara di sisi yang lain
110 Penulisnya adalah rekan Thelma Alfsen sendiri, yang bernama
Irene Yang. Lihat Timothy Tow, Forty Years on the Road to Church Growth
(Singapore: Christian Life Publishers, 1993), 151-152. 111Tidak begitu lama setelah sidang sinode tahun 1971 ia malah
direkrut sebagai dosen ilmu pI di sekolah teologi GKT. Ia ada di situ sampai awal tahun 80-an. Dalam Berita Warga Gereja Kristus Tuhan Indonesia No. 24,
April-Juni ’75 halaman 29 dilaporkan demikian, “Dosen Institut Theologia
Aletheia, Miss Thelma Alfsen, melalui kesempatan masa liburan ini pada permulaan bulan Juli membawa beberapa siswa pergi ke daerah Pegunungan
Willis, untuk mengadakan Penginjilan. Miss. Alfsen membawa sejumlah
besar traktat dan Alkitab untuk dibagikan dan dijual dengan harga murah. Demikian juga diadakan pemutaran film slide. Mohon bantuan doa, supaya
dapat menghasilkan buah yang berlimpah dan banyak jiwa yang berpaling pada Allah.”
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 177 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
kebutuhan akan penanda budaya Tionghoa turut pula dipenuhi.
Lewat traktat-traktat itu bahasa Tionghoa terus dilestarikan
penggunaannya di tengah-tengah orang Tionghoa di GKT.112
1.4. Pembelajaran Bahasa Tionghoa
1.4.1. Di Gereja
Dalam teori tentang penguasaan suatu bahasa, sedikitnya
ada dua macam cara yang dipakai manusia untuk menguasai
bahasa. Yang satu disebut acquisition, yang lain learning.113 Cara
acquisition umum dipakai oleh anak-anak.114 Mereka
mendengarkan orang bicara, memahaminya dan kemudian
menirunya. Mereka tidak peduli apakah susunan kalimatnya benar
atau tata bahasanya tepat. Yang penting pesannya tersampaikan
dan pendengar memahami maksudnya. Cara learning lebih
menekankan ketepatan tata bahasa. Tidak seperti akuisisi, di sini
penguasaan bahasa dilakukan secara lebih disengaja. Dalam
pembelajarannya tekanan diberikan pada ketaatan mengikuti
aturan-aturan yang baku.
Tentang bagaimana cara anak-anak belajar menguasai
suatu bahasa, para ahli terbagi dalam tiga posisi teoretis.
112 Tentang peran pelestarian suatu bahasa melalui bahan cetakan
lihat, misalnya, Taye Paul Olaifa, “Language Preservation and Development:
The Role of the Library,” Journal of Library and Information Sciences, Vol. 2,
No. 1; March 2014: 23-28. Juga lihat pikiran Setiono Soegiharto tentang
bahan cetakan bagi pelestarian bahasa lokal, “Saving local languages through printed materials,” The Jakarta Post, Saturday, March 01, 2008,
http://www.thejakartapost.com/news/2008/02/29/saving-local-languages-
through-printed-materials.html (diakses pada 2 Agustus 2014). Bandingkan
pengalaman serupa pada jasa percetakan terhadap pelestarian bahasa Aramaic, yang dilakukan oleh misionaris-misionaris Protestan Amerika pada
abad ke-19 di Timur Tengah dalam Eden Naby, “Saving Souls / Saving Languages Writing Vernacular Aramaic,” Proceedings of the XIth Conference of
the Foundation for Endangered Languages, Kuala Lumpur, October 2007 dalam
www.aina.org/articles/wva.pdf (diakses pada 23.2.2015). 113 Stephen D. Krashen, Second Language Acquisition and Second
Language Learning (California: Pergamon Press, Inc,, 1981), 1. 114 George Yule, The Study of Language (Cambridge, UK.: Cambridge
University Press, 2010), 171.
178 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Ketiganya adalah teori behavioris, teori inatis dan teori interaksionis.
Teori pertama mengatakan bahwa anak-anak menguasai suatu
bahasa dengan cara mengimitasi perkataan orang dewasa dan
pembiasaan. Teori kedua berpendapat bahwa sejak lahir anak-
anak sudah dibekali dengan kemampuan bawaan untuk berbahasa.
Ia sudah diprogram untuk berbahasa. Karena itu seorang anak
dengan sendirinya dapat menguasai bahasa. Teori ketiga mencoba
keluar dari posisi pertama dan kedua yang menaruh tekanan pada
anak dan memilih melihat sebab musababnya pada gabungan dua
hal, yaitu keunikan manusiawi anak dan lingkungan kebahasaan
dalam mana seorang anak bertumbuh. Kemampuan anak
mempelajari bahasa—apakah itu secara behavioris atau inatis—
diakui namun hal itu juga tidak bisa dilepaskan dari interaksinya
dengan lingkungan kebahasaan di mana ia berada.115
Pembelajaran bahasa Tionghoa untuk anak-anak orang
Tionghoa Kristen di GKT banyak memakai pendekatan
interaksionis dan behavioris. Pihak yang disebut Lightbown dan
Spada sebagai caretaker talk berinteraksi dengan anak-anak sambil
mendorong mereka meniru dan mengingat kata-kata dan kalimat
yang didengar di gereja. Pembelajaran ini berlangsung dalam suatu
wadah pelayanan gerejawi untuk anak-anak, yang dikelola oleh
Komisi Sekolah Minggu (KSM). Dalam wadah ini, anak-anak dari
mulai usia kurang lebih tiga tahun sampai kurang lebih lima belas
tahun mendapat pelayanan rohani yang sesuai dengan level
usianya. Setiap hari Minggu mereka dikumpulkan dan dilayani
secara terpisah dari orang tuanya.
Berbeda dari ibadah orang-orang dewasa yang
mempergunakan sebuah ritual ibadah yang sudah baku, pelayanan
kepada anak-anak bentuknya lebih seperti kegiatan sekolah. Kalau
waktu ibadah orang-orang dewasa muda sampai tua berkumpul
bersama di dalam sebuah ruangan yang sama, di Sekolah Minggu
anak-anak dikumpulkan menurut kelompok usia yang berbeda.
115 Patsy M. Lightbown & Nina Spada, How Languages Are Learned
(Oxford, UK.: Oxford University Press, 1998), 1-17.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 179 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Masing-masing di dalam ruangan kelas yang terpisah satu sama
lain. Ada yang di kelas kecil, kelas tengah, kelas besar dan ada
yang di kelas pra-remaja. Di tiap ruangan itu mereka dilayani oleh
sekurang-kurangnya seorang guru dan sebanyak-banyaknya dua
orang. Bila ada dua maka seorang guru akan bertindak sebagai
guru utama yang mengajarkan pelajaran-pelajaran Alkitab
sementara yang lain bertindak sebagai guru bantu yang menolong
mengatur dan mengawasi anak-anak, membuat daftar presensi dan
membantu guru utama dalam mengelola kelas. Guru utama ini
umumnya berusia lebih banyak dari pada guru bantu dan sekaligus
berperan sebagai coach (pelatih) untuk para guru bantu. Guru-guru
ini berasal dari berbagai macam latar belakang sosial dan usia.
Sebagian guru utama bahkan punya latar belakang sebagai guru
pada sekolah-sekolah Tionghoa di kota mereka masing-masing.
Tidak seperti untuk orang dewasa di mana pengajaran
Alkitab atau khotbah yang diberikan dari Minggu ke Minggu
jarang mengikuti suatu kurikulum yang baku, bagi anak-anak
diberikan pelajaran demi pelajaran Alkitab yang mengikuti sebuah
kurikulum baku. Para pengajarnya tidak dipanggil bapak atau ibu
pendeta atau guru Injil atau guru melainkan laoshi, yang dalam
bahasa Tionghoa berarti guru. Sebutan ini adalah panggilan yang
juga dipergunakan oleh para siswa sekolah Tionghoa asing kepada
guru sekolah mereka. Jika untuk orang dewasa khotbah
disampaikan secara monolog, di Sekolah Minggu, seperti pada
sekolah umum biasa, pelajaran Alkitab diberikan secara dialogis di
antara laoshi dan murid.
Dalam suasana yang menyerupai lingkungan sekolah ini
bahasa Tionghoa diajarkan dalam bentuk komunikasi di antara
laoshi dan murid-muridnya.116 Di tengah proses pembelajaran guru
116 Sampai tahun 70-an, sebagian buku pegangan guru untuk
mengajar masih memakai bahasa Tionghoa. Lihat Wawancara ibu YKY,
Surabaya, 9 Februari 2010. Buku-buku ini perlahan-lahan digantikan dengan buku berbahasa Indonesia yang merupakan terjemahan dari sebuah bahan
pelajaran Alkitab untuk anak yang diterbitkan oleh sebuah gereja Reformed di Amerika Serikat.
180 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Sekolah Minggu akan menyapa, menegur dan mengajarkan isi
Alkitab kepada anak-anak dengan bahasa Tionghoa. Menyanyi
dan berdoa dalam bahasa Tionghoa adalah metode lain yang
banyak dipakai. Lagu-lagu rohani yang dinyanyikan bersama
anak-anak sebagian besar dalam bahasa Tionghoa. Doa-doa yang
dipanjatkan diucapkan dalam bahasa Tionghoa sambil ditiru oleh
anak-anak.117 Sebagian guru Sekolah Minggu yang dulunya
berprofesi sebagai guru di sekolah-sekolah asing Tionghoa bahkan
melakukan seluruh proses pembelajaran dalam bahasa Tionghoa
sementara sisanya, yang tidak berlatar belakang guru,
melakukannya di bagian-bagian tertentu seperti berdoa dan
bernyanyi saja.
Cara kedua yang dipakai untuk mengajarkan bahasa
Tionghoa kepada anak-anak adalah dengan membuka kursus
bahasa Tionghoa tidak resmi di gereja untuk murid-murid Sekolah
Minggu. Kalau di Sekolah Minggu anak-anak belajar berbahasa
Tionghoa secara tidak langsung maka di sini mereka secara
sengaja diajar untuk dapat membaca, menulis dan berbicara dalam
bahasa Tionghoa. Di antara para pengajarnya adalah pekerja
gerejawi yang diutus oleh Sinode GKT untuk bekerja di suatu
jemaat.118
GKT Jemaat Fildadelfia, Mojokerto adalah salah satu
jemaat di mana kursus bahasa Tionghoa ini pernah diadakan.
Kursus ini mulai diadakan awal tahun 70-an dan terus berjalan
sampai awal tahun 80-an. Seorang mantan pekerja gerejawi yang
pernah mengajar dalam kursus ini menjelaskan bahwa alasan
kenapa kursus ini diadakan ialah supaya orang-orang Tionghoa
bisa berbahasa Tionghoa, bahasanya sendiri. Jati diri seorang
Tionghoa melekat dengan bahasa itu. Orang Tionghoa yang tidak
117 Wawancara bp SU, Surabaya, 8 Februari 2010; Wawancara bp TPS,
Malang 10 Agustus 2011. 118 Wawancara bp JL, Mojokerto, 6 Juli 2009.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 181 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
dapat berbahasa Tionghoa adalah kenyataan yang tidak bisa
diterima.119
Alasan lain ialah untuk menjangkau orang-orang
Tionghoa yang belum Kristen. Penjangkauan ini bukan usaha
yang mudah karena rasa tidak suka sebagian besar orang Tionghoa
terhadap agama Kristen. Rasa tidak suka ini sebagian bersifat
politis dan sebagian lagi bersifat kultural-religius.120 Sebagian
orang Tionghoa yang disasar oleh usaha-usaha pekabaran Injil
GKT juga menyimpan rasa tidak suka yang kuat kepada agama
Kristen. Sebagian merasa Kristen anti tradisi budaya Tionghoa,
sementara yang lain memandang Kristen sebagai agama asing.121
Karena itu sebagian orang Tionghoa enggan mengizinkan anak-
anaknya ke gereja. Kursus bahasa Tionghoa diadakan untuk
memperlihatkan kepada para orang tua seperti ini bahwa gereja
justru melestarikan budaya orang Tionghoa. Harapannya, timbul
119 Surat Elektronik ibu PP, 22 Juli 2009. 120 Lihat Cai Wenhao, “The Church in China: Yesterday, Today
and Tomorrow,” Chinese Theological Review 1985. Juga Rev. Z. Charles Beals,
China and the Boxers: A Short History on the Boxer Outbreak (New York: M.E.
Munson, Publisher and Bookseller, 1901), Ch II; James Thayer Addison,
“Chinese Ancestor-Worship and Protestant Christianity,” The Journal of
Religion, Vol. 5, No. 2 (Mar., 1925): 140. 121 Dalam sebuah percakapan beberapa tahun lalu dengan seorang
tokoh klenteng di Kota Batu, usai ibadah penghiburan bagi keluarga famili dekatnya yang meninggal, ia dengan terang-terangan mengungkapkan rasa
tidak sukanya kepada orang Kristen. Ia mengkritik agama Kristen yang membuat orang Tionghoa berhenti menjadi orang Tionghoa setelah mereka
menjadi Kristen dengan melarang anggotanya memelihara adat budaya Tionghoa. Ia bahkan sempat mengancam tidak mau mengakui sebagai
saudara, seorang keponakannya yang sudah menjadi Kristen bila pada waktu
prosesi pemakaman tidak mau berlutut memberi hormat di depan peti jenazah yang meninggal. Seorang lain, seorang perempuan Tionghoa tua,
anak dari pasangan suami-istri yang datang langsung dari Tiongkok, mengatakan kepada saya dalam suatu kunjungan ke rumahnya, bahwa agama
Kristen itu bukan agamanya orang Tionghoa. Itu adalah agamanya orang Barat. Pendapat serupa diutarakan oleh seorang pria lain di Malang. Ia suka
menolak para pekerja gerejawi dari sebuah gereja Tionghoa di Malang yang
datang mengabarkan Injil kepadanya. Ia tidak menolak menjadi Kristen karena ia memandang agama adalah agamanya orang Amerika. Mereka yang
menganutnya ia pandang sudah ditipu oleh orang Amerika. Lihat Wawancara
dengan bp Wwn, Malang, 17 Juni 2014.
182 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
simpati terhadap gereja Kristen dan kesediaan untuk
“memperbolehkan anaknya ikut Sekolah Minggu.”122 Strategi ini
rupanya berhasil. Banyak orang tua kemudian mengizinkan anak-
anaknya datang ke gereja. Tidak sedikit yang mengantar sendiri
anaknya ke gereja, dan sendirinya akhirnya masuk Kristen.
1.4.2. Di Sekolah Teologi
Selain di gereja, tempat lain di mana bahasa Tionghoa
sengaja diajarkan adalah di sekolah teologi GKT, Sekolah Tinggi
Teologi Aletheia (STTA). Di tempat ini bahasa Tionghoa awalnya
dipelajari secara tidak langsung lewat mengikuti kuliah-kuliah
yang disampaikan dalam bahasa Tionghoa.123 Namun karena
sebagian besar anggota-anggota GKT masih berbahasa Tionghoa
maka suatu mata kuliah non-kredit bahasa Tionghoa kemudian
dibuka.124 Mereka yang sudah memiliki dasar-dasar bahasa itu
dikumpulkan dalam suatu kelas tersendiri; sementara yang belum
dikumpulkan dalam suatu kelas dengan tutor khusus.125 Sampai
dekade kedua usia STTA, kursus bahasa Tionghoa bersifat wajib.
Setelah itu menjadi mata kuliah pilihan saja. Sejumlah
mahasiswa/i non-Tionghoa turut pula mengikutinya. Di antara
mereka ada yang berhasil menguasainya dengan baik sekali.126
122 Surat elektronik ibu PP, 20 Juli 2009. 123 Selain untuk Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yang diberikan
oleh dosen-dosen non-Tionghoa dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang, hampir semua kuliah teologi dan Alkitab menggunakan
bahasa Tionghoa sebagai medium instruksional. Lihat Surat elektronik bp MM,
21 Mei 2014. 124 Wawancara bp AG, Malang, 22 Maret 2011. 125 Surat elektronik bp M.M., 21 Mei 2014. 126 Salah satu yang terkenal di kalangan alumni STTA adalah Pdt. I
Made Mastra. Ia adalah pendeta di salah satu jemaat Gereja Santapan
Rohani Indonesia (GSRI) di Jakarta. Ia adalah mahasiswa angkatan pertama
dan diwisuda pada tahun 1973. Ia berasal dari Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Ia mampu berbahasa Tionghoa dengan baik, lisan maupun tulisan.
Ia sempat duduk dalam jajaran pengurus Persekutuan Gereja-gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI) periode 2007-2011 sebagai salah satu penasihat.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 183 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Dalam kurikulum sekolah yang dipublikasikan kepada
publik, sama sekali tidak ada catatan mengenai kursus ini.127
Namun sejak mulai berdiri pada tahun 1969 sampai akhir tahun
90-an, kursus ini selalu ada. Pada awal dekade 80-an kursus mulai
tidak rutin diadakan karena keterbatasan tenaga dan kesulitan-
kesulitan internal yang sedang dihadapi Sinode GKT sejak akhir
tahun 70-an. Memasuki paruh kedua dekade 80-an, kursus ini
kembali rutin diadakan. Menjelang jatuhnya Orde Baru pada
tahun 1998, kursus bahasa ini timbul tenggelam tergantung pada
ketersediaan peminat dan tutor.128
1.4.3. Belajar pada Guru-guru Privat
Leo Suryadinata mencatat bahwa semasa Orde Baru
banyak orang tua yang secara diam-diam mengajarkan bahasa
Tionghoa kepada anak-anaknya dengan cara “menggaji bekas
guru sekolah Cina untuk memberikan pelajaran privat kepada
anak mereka.”129 Hal serupa juga dilakukan oleh sebagian orang
Tionghoa Kristen di GKT untuk anak-anaknya. Sebagian dari
guru-guru ini adalah mantan guru di sekolah-sekolah asing
Tionghoa dan sebagian lagi adalah para pekerja gerejawi GKT
atau pekerja gerejawi dari gereja Tionghoa lain yang bukan GKT.
Seorang mantan murid SMP pada sebuah sekolah asing
Tionghoa di Kota Jember menjelaskan bahwa setelah sekolahnya
ditutup, ia kemudian melanjutkan studinya dengan belajar pada
mantan guru-gurunya.130 Ia menyebut sekolahnya sebagai “sekolah
gerilya,” karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan
127 Lihat misalnya Buku Pedoman Institut Theologia Aletheia Tahun
Akademik 1984/1985 dan 1985/1986, 34-37. 128 Semasa saya belajar di STTA antara tahun 1992-1997 kursus
bahasa Tionghoa sempat diadakan selama beberapa waktu atas permintaan
beberapa mahasiswa. Pada waktu itu kursus ini diasuh oleh isteri salah seorang dosen di sana.
129 Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa,164. 130 Wawancara ibu LA, Jember, 18 September 2013.
184 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat lain.131 Sembari
belajar, ia dan teman-temannya diberi tugas membimbing adik-
adik kelasnya. Maksudnya supaya pendidikan mereka tidak
berhenti begitu saja setelah sekolah asing Tionghoa ditutup.
Seperti yang dialami oleh guru-gurunya, ia dan kawan-kawannya
yang memberikan bimbingan belajar juga harus berhati-hati agar
tidak sampai kepergok aparat pemerintah atau anggota
masyarakat.
Kalau pergi mengajar itu Pak ya, buku semua
disisipkan di dalam rok. Tiap keluar siap .. baju ‘tu,
di luar ini baju ya dilapisi lagi, buku ditaruh di
dalam. Sewaktu-waktu ada pemeriksaan di jalan.
Wow sering-sering begitu Pak. Saya ingat sekali
saya tugasnya Pecinan sana, di Samanhudi, wah
saya ini kuatir sekali pak. Kenapa? Samanhudi itu
saudaranya ada yang menikah sama tentara. Ndak
tanggung-tanggung tentara yang pangkat. Jadi kita
selalu belajar bagaimana harus membawa diri, kalau
ada hal-hal yang ndak enak, kita yang di atas belajar
yang bawah jaga. Anak-anak semua siapa yang mau
ngerti tho. Jadi nanti dikasih tanda, jadi kalau bunyi
‘ting’ atau ‘tong’ atau apa.. itu berarti ada bahaya.
Kalau sudah dengar itu buku semuanya disimpan
dan kita mulai bermain.132
Seorang anggota GKT di Surabaya tidak pernah
mengalami pengalaman semencekam itu.133 Kalau kakak-
kakaknya pernah mengenyam studi di bangku sekolah-sekolah
asing Tionghoa, ia dan adik-adiknya sama sekali tidak pernah
menginjakkan kaki di situ karena sekolah tersebut sudah ditutup
lebih dulu. Untuk menuntaskan pendidikan kakak-kakaknya,
ayahnya mengirim mereka kepada mantan guru-guru sekolah
asing Tionghoa untuk belajar secara privat. Ia dan adik-adiknya
131 Wawancara ibu LA, Jember, 18 September 2013. 132 Ibid. 133 Ibid.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 185 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
dikirim oleh ayahnya kepada seorang pekerja gerejawi dari Gereja
Kristen Abdiel (GKA) untuk belajar bahasa Tionghoa. Selama dua
tahun penuh ia belajar secara intensif pada guru ini dengan materi
pembelajaran dari cerita-cerita Alkitab.134
Seorang mantan guru di sebuah sekolah asing Tionghoa di
Malang menempuh cara sedikit berbeda. Setelah sekolah
tempatnya mengajar ditutup, ia lalu membuka suatu kursus privat
bahasa Tionghoa. Inisiatif ini muncul karena anaknya sendiri
belum bisa berbahasa Tionghoa dengan baik. Ia kemudian
meminta sejumlah sahabat di gerejanya untuk mengirim anak-
anaknya bergabung dalam kursus bahasa Tionghoa yang ia adakan
di rumah. Tawaran itu disambut baik dan dengan senang hati
mereka mengirim anak-anaknya belajar bahasa Tionghoa
kepadanya. Pekerjaan ini ia lakukan cukup lama sampai anaknya
dan anak-anak sahabat-sahabatnya sudah cukup besar dan mampu
menguasai bahasa itu dengan baik.135
2. Menjaga Warna Ketionghoaan Kelompok.
Seperti telah disebutkan di awal, salah satu tujuan yang
mau dicapai dari penerapan kebijakan asimilasi adalah “untuk
mencegah terjadinya kehidupan seklusif rasial.”136 Peraturan ini
sedikitnya hendak mencapai dua hal. Pertama, mencegah orang-
orang Tionghoa dari bergaul dan berkelompok dengan sesama
orang-orang Tionghoa; dan kedua, mendorong mereka membuka
diri, mendatangi, bergaul, membaur dan berkelompok dengan
orang-orang non-Tionghoa. Salah satu produk yang mau
dihasilkan ialah tidak ada lagi kelompok-kelompok keagamaan
yang melulu berisi orang-orang Tionghoa saja. Orang-orang dari
etnis lain harus sengaja didekati, dicari dan dibawa masuk ke
dalam kelompok. Kelompok yang dulunya monokultural sekarang
harus multikultural.
134 Wawancara bp SA, Surabaya, 10 Februari 2010. 135 Penjelasan Ibu OGH, via telpon, Malang, 5 Juni 2014. 136 Lihat Keputusan Presiden (Keppres) No. 240 tahun 1967 Bab II Pasal
3.
186 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Meresponi kebijakan itu, di tengah-tengah orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT muncul arus yang menginginkan GKT
tetap berwarna dominan Tionghoa. GKT harus tetap fokus
melayani dan menjangkau orang-orang Tionghoa. Keinginan yang
selama ini laten atau sedikitnya samar-samar menemukan
artikulasinya yang terang benderang pasca runtuhnya Orde Baru
tahun 1998. Ia terekspresikan dalam sejumlah percakapan yang
mengemuka di Sidang Sinode Ke-19 tahun 1999. Isu yang
membingkai percakapan tersebut adalah kemerosotan jumlah
anggota gereja GKT yang terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Berangkat dari keprihatinan itu, seorang peserta sidang
berpendapat bahwa faktor penyebabnya ada pada masalah
kelompok target PI yang sudah tidak jelas lagi. Hal ini tidak terjadi
sebelumnya pada para pendiri GKT sebab visi mereka mengenai
hal itu sangat jelas. Visi itu adalah menjangkau dan melayani
orang-orang Tionghoa yang berbahasa Tionghoa.
Kita harus menggali kembali dari sejarah GKT.
Dan kita harus menggali kembali visi GKT yang
mula-mula itu apa. Kita jangan sampai akhirnya
nyasar Bapak, Ibu. Kita memang ya, terus terang,
GKT adalah inklusif. Terbuka. Kita harus
menjunjung tinggi pluralisme itu. Kita ini satu. Nah,
tapi, jangan lupa. Keunikan GKT ini jangan
dilupakan. Jadi kalau kita ini kembali ke visi mula-
mula, kita ini, chuan fu in ini, kita ini siapa? Nah
kalau cerita kronologisnya, nanti saya waktunya
tiga menit tidak cukup, saya mungkin ini, kita harus
kembalikan ke BP. Ini adalah PR yang berat untuk
BP. Karena dulu, kalau ndak salah, saya dengar
Bapak, Ibu, dari senior-senior kita. Dulu itu GKT
itu pecah. GKT yang bahasa Mandarin, itu chuan fu
in menginjili ke sasaran ke orang yang berbahasa
Mandarin. Lalu GKI itu ke yang berbahasa
Indonesia. Nah, tapi tidak tutup keinklusifannya
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 187 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
GKT. Tapi keunikan ini, tolong visi mula-mula ini,
jangan ketutup gitu.137
Lebih jauh ia menjelaskan maksudnya dengan memakai
metafor restoran Chinese food.
Kalau misalnya kita ini buka restoran ya, Chinese
food, kalau misalnya kita ke sana itu, siapa yang
boleh masuk? Semua orang boleh masuk Bapak,
Ibu. Amin Bapak, Ibu ya. [Disahut amin oleh peserta
sidang]. Lha, tapi, jangan kita nyari sate kambing di
situ lho. Betul ini. Ini adalah ilustrasi yang sungguh-
sungguh menyentuh saya. Terima kasih. Kiranya
Tuhan berkati. [Peserta sidang kemudian memberikan
tepuk tangan kepadanya.].
Bagaikan sebuah restoran Chinese food, GKT terbuka
menerima siapapun. Namun karena yang dijual oleh “restoran”
GKT ini adalah “makanan dan minuman Tionghoa” maka
pembeli yang pertama-tama dibayangkan dan diharapkan akan
datang adalah orang-orang Tionghoa. Arus pemikiran ini
kemudian mendapat penegasan dari Ketua BP Sinode GKT
sewaktu menjelaskan pernyataan misi GKT. Ditegaskan bahwa:
Jemaat Gereja Kristus Tuhan adalah jemaat yang
terus menerus berupaya membawa berita Kabar
Baik yaitu Injil Keselamatan Yesus Kristus
sebagaimana Allah nyatakan kepada para perintis.138
Jemaat GKT berusaha turut aktif dalam pelayanan
seutuhnya kepada sesama tanpa pandang bulu;
mendidik tiap-tiap orang dalam kesempurnaan
dalam Kristus, dewasa dalam iman dan kasih
sehingga Allah dipermuliakan.
137 Kaset Rekaman 5 untuk Sidang Pleno IX, Sidang Sinode GKT Ke-19,
1999. Kutipan-kutipan yang selanjutnya diambil dari rekaman yang sama.
Cetak miring adalah dari saya. 138 Cetak miring di bagian ini dan berikutnya adalah tekanan saya.
188 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Lebih lanjut Ketua BP Sinode GKT menjelaskan lagi
demikian,
Nah, ini memang membutuhkan suatu uraian yang
tajam dan saya yakin kalimat ini saudara tangkap
maksudnya. Ya, ini menyangkut kita harus mengerti
sejarah gereja dan di mana Allah pertama kalinya
meletakkan beban itu. Dan ini membutuhkan suatu
pemahaman secara misiologi yang jelas sehingga
kita tidak salah paham; sehingga setiap kita tidak
memiliki suatu konsep yang keliru tentang wawasan
di dalam pelayanan. Yang penting adalah kita harus
mengerti ke mana kita harus pergi sehingga banyak
orang menjadi percaya dan disatukan dalam
keluarga Allah. Saya percaya kalau setiap kita
menghayati dari pernyataan misi ini kita bisa
menangkap jiwa dari spirit GKT.
Sebelum Ketua BP Sinode GKT mengungkapkan hal-hal
ini di persidangan, setahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1998,
sebuah jemaat GKT di Surabaya telah menyusun sebuah
pernyataan visi yang mengungkapkan siapa mereka dan orang-
orang mana yang mau mereka sasar secara sengaja dan sistematis.
Pernyataan itu mengatakan bahwa mereka adalah “Gereja
Reformed Tionghoa yang sehat dan menjadi berkat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk serta berperan
aktif dalam misi sedunia.”139 Ini adalah jemaat pertama dalam
lingkungan GKT yang sejak tahun 1968 secara terbuka
menyatakan identitasnya sebagai gereja Tionghoa. Untuk
meningkatkan bilangan jumlah anggotanya, mereka mengatakan
akan memberitakan Injil “kepada sesama manusia sesuai dengan
139 Lihat makalah Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan
Sinode GKT, GKT Menjawab Tantangan Milenium: Paparan untuk Pra-Sidang
Sinode GKT, Hotel Kartika Wijaya, Batu, 24 April 2000.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 189 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
visi.”140 Siapa ini? Seorang pekerja gerejawi yang pernah bekerja di
jemaat ini dan turut berpartisipasi dalam proses penyusunan
pernyataan visi dan misi ini menjelaskan bahwa mereka “tidak
menolak etnis lain untuk datang beribadah atau tetap
menggunakan kesempatan bersaksi kepada etnis lainnya.” Tetapi,
“sebagai gereja yang berlatar belakang etnis Tionghoa dan
mempunyai visi dan beban untuk menjangkau etnis Tionghoa
sebagai fokus utama pelayanannya” maka “upaya penjangkauan
PI secara sistematis [adalah] terutama kepada etnis Tionghoa.”141
Jadi, sesama manusia yang sesuai dengan dengan visi, pertama-
tama dan terutama, adalah sesama orang Tionghoa.
Semasa Orde Baru berkuasa, visi, cita-cita dan target ini
tidak pernah terungkap sejelas dan seterang ini. Namun upaya
untuk memelihara identitas gereja ini sebagai gerejanya orang-
orang Tionghoa, ada untuk melayani orang Tionghoa dan fokus
menjangkau orang-orang Tionghoa bukan tidak ada. Ia terus
hidup dan ditampilkan dalam sejumlah praktik yang akan
diuraikan di bawah ini.
2.1. Pekerja-pekerja Gerejawi Perlu Belajar Bahasa Tionghoa.
Seperti terlihat dari uraian di Bab III, salah satu komponen
penting dalam definisi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT
mengenai dirinya adalah bahasa. Bahasa Tionghoa menjadi faktor
yang—meminjam Abrams dan Hogg— mendefinisikan “who they
are, of what sort of people they are, and how they relate to others
(whether members of the same group—ingroup—or of different
groups—outgroup).142 Karena itu pekerja-pekerja gerejawi yang
140 Makalah Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan Sinode
GKT, GKT Menjawab Tantangan Milenium: Paparan untuk Pra-Sidang Sinode
GKT, Hotel Kartika Wijaya, Batu, 24 April 2000. 141 Surat elektronik bp KS, 12 Juni 2014. 142 Dominic Abrams & Michel A. Hogg, Social Identifications: A Social
Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Routledge,
1998), 2.
190 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
melayani di GKT harus bisa berbahasa Tionghoa, atau setidak-
tidaknya memahami bahasa ini.
Sebelum tahun 1968 tenaga-tenaga yang mampu
berbahasa Tionghoa disuplai dari luar negeri, dan setelah
Indonesia merdeka dari Madrasah Alkitab Asia Tenggara
(MAAT)/Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT). Namun
kebijakan asimilasi meniadakan kesempatan untuk mendapatkan
tenaga semacam itu. Sejak tahun 1966, MAAT/SAAT sudah
mengubah bahasa pengantar kuliah dari bahasa Tionghoa ke
bahasa Indonesia.143 Sementara STT Aletheia (STTA), sekolah
teologi GKT yang berdiri tahun 1969, juga memakai bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi. Jika demikian maka
seharusnya bahasa Indonesia yang perlu dipelajari dan dikuasai
dengan baik. Apalagi sebagian besar orang-orang Tionghoa di
GKT tidak fasih berbahasa Indonesia. Kehadiran pekerja-pekerja
gerejawi yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik tentu akan
menolong orang-orang tersebut menguasai bahasa Indonesia dan
berasimilasi dengan baik. Namun yang dilakukan oleh orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT malah sebaliknya. Calon-calon
pekerja gerejawi yang hendak masuk ke GKT malah didorong
untuk menguasai bahasa Tionghoa.
Tentu tidak semua calon pekerja gerejawi tamat dengan
membawa kemampuan berbahasa ini. Dari semua orang non-
Tionghoa yang pernah mengikuti kuliah bahasa ini hanya satu dua
orang saja yang dikabarkan berhasil menguasai bahasa ini dengan
baik. Sisanya hanya mengerti sedikit sekali atau tidak mengerti
sama sekali.144 Sampai tahun 1998 komposisi pekerja gerejawi
yang Tionghoa dan non-Tionghoa di GKT adalah 76 orang
Tionghoa berbanding 28 orang non-Tionghoa. Hampir semua
143 Lihat Peter Wongso, “Almamater yang Penuh Anugerah Allah,”
Seminari Alkitab Asia Tenggara: Inspired by the Word to Inspire the World, eds.
Daniel Lukas Lukito & Andreas Hauw (Malang: SAAT, 2012), 09. 144 Seorang alumni non-Tionghoa yang dapat berbahasa ini dengan
fasih pernah menjadi pendeta sebuah gereja Tionghoa yang besar di Jakarta,
sempat menjabat sebagai ketua sinodenya dan bahkan salah satu ketua persatuan internasional gereja-gereja tersebut.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 191 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
pekerja gerejawi non-Tionghoa tidak mampu berbahasa Tionghoa.
Namun dari yang Tionghoa pun hanya sebagian kecil saja yang
fasih berkomunikasi (bicara, membaca dan menulis dalam bahasa
Tionghoa). Sisanya memiliki kemampuan yang amat minim
(sedikit mengerti yang diucapkan orang namun tak bisa berbicara,
membaca dan menulis).
Meski hasilnya seperti itu namun sampai akhir periode
yang diinvestigasi oleh penelitian ini kursus bahasa Tionghoa di
sekolah teologi GKT terus saja diadakan. Bahasa Tionghoa masih
tetap dirasa penting untuk diajarkan. Hal itu kian ditekankan
kepada mereka yang nantinya akan melayani di gereja-gereja
berlatar belakang Tionghoa. Bagi yang hendak bergabung di GKT
penguasaan bahasa Tionghoa mengandung makna bahwa GKT
merupakan sebuah kelompok keagamaan yang ditandai oleh
bahasa Tionghoa dan fokus menjangkau orang-orang dari bahasa
itu. Dalam ungkapan seorang pekerja gerejawi non-Tionghoa,
GKT adalah seperti sebuah keluarga yang memiliki bahasa
komunikasinya sendiri. Bahasa itu adalah bahasa Tionghoa.145
Setiap orang yang mau tinggal, hidup bersama dan bekerja sama
dengan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT perlu memahami
dan belajar bahasa keluarga ini supaya dapat berkomunikasi dan
berinteraksi dengan mereka.
2.2. Komposisi Siswa dari Etnis Tionghoa di Sekolah Kristen
Aletheia (SKA).
Peraturan Menteri Pendidikan mengenai Sekolah
Nasional Proyek Chusus (SNPC) menetapkan bahwa di sekolah-
sekolah tersebut prosentase siswa WNI sedikit-dikitnya harus
mencapai angka 60 persen dari total siswa.146 Artinya, jumlahnya
harus lebih banyak dari siswa WNA mantan murid sekolah-
sekolah asing Tionghoa. Setelah sekolah-sekolah itu dibubarkan
145 Keterangan via telpon bp MN, 20 Juni 2014. 146 Peraturan Menteri Pendidikan No. 015/1968 mengenai Sekolah
Nasional Proyek Chusus (SNPC) Bab V Pasal 13.
192 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1975,
prinsip di atas terus dipertahankan. Mengikuti instruksi Direktur
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah/Ketua Tim Pembantu
Pelaksanaan Asimilasi di Bidang Pendidikan dan Pengaturan
Pendidikan Asing di Indonesia, Kepala Kantor Wilayah
Departemen P & K Provinsi Jawa Timur kemudian
menginstruksikan tiap sekolah di Jwa Timur menjaga “mayoritas
muridnya tidak terdiri dari keturunan Asing (Cina).”147
Sekolah Kristen Aletheia (SKA) didirikan di Surabaya
pada tahun 1970, dua tahun pasca keluarnya surat keputusan
Menteri Pendidikan mengenai SNPC. Tujuan SKA adalah,
pertama, untuk mencetak peserta didik “yang dapat berdiri sendiri
atas tanggung jawab sendiri baik terhadap Tuhan, sesama manusia
serta bangsa dan negara Republik Indonesia.” Dan yang kedua,
untuk mencapai “tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah Republik Indonesia, sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945.”148 Terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai
asimilasi di bidang pendidikan, orang-orang Tionghoa Kristen di
GKT menegaskan dalam Pasal 4 Anggaran Dasar SKA bahwa
mereka akan “memperhatikan segala ketentuan Pemerintah
Republik Indonesia khususnya peraturan dan perundang-
undangan yang menyangkut pendidikan dan pengajaran, dan
tercermin dalam kurikulum yang diberikan oleh Departemen P
dan K.” Selanjutnya, dalam Pasal 10 Ayat 9 dinyatakan bahwa
SKA “menerima murid dari semua lapisan masyarakat, dengan
ketentuan dapat memenuhi semua peraturan/persyaratan
147 Surat Edaran Kepala Kantor Wilayah Departemen P & K Provinsi
Jawa Timur No. 132/1976. 148 Dua tujuan ini ditegaskan lagi sebagai tujuan SKA dalam Buku
Pedoman Pengelolaan Sekolah Kristen Aletheia yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan Sekolah Kristen Aletheia (DPSKA) pada bulan Oktober 1987. Lihat halaman 2, Pasal 6 tentang Tujuan Pendidikan Sekolah
Kristen Aletheia, Ayat 1 dan 2. Namun pada awal dekade 90-an Departemen
Pendidikan Sekolah Kristen Aletehi (DPSKA) Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) menyatukan keduanya menjadi “membantu pemerintah dalam upaya
Pembangunan Nasional, khususnya di bidang pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan UUD 1945.”
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 193 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
sekolah.” Ketetapan ini kemudian disempurnakan dalam Buku
Pedoman Pengelolaan SKA yang terbit tahun 1987. Di sini
dimasukkan sebuah pasal khusus mengenai pembauran, yang
diberi judul “Pembauran Murid.” Di dalamnya soal asimilasi di
sekolah diatur sbb.:
1. Sekolah Kristen Aletheia harus melaksanakan dan
menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam program
pembauran bangsa.
2. Dalam menerima murid sekolah harus berusaha
mengurangi ketidakseimbangan jumlah murid pribumi dan
non pribumi menurut situasi dan kondisi setempat.
3. Dalam melaksanakan pembauran hendaknya ada kerjasama
antara sekolah-sekolah Kristen yang sejenis.
Walau tampaknya mendukung tujuan-tujuan pemerintah
di bidang pendidikan namun juga diselipkan kebijakan lain yang
malah memperkecil ruang bagi terjadinya asimilasi yang mau
didukung. Dengan alasan agar “identitas dan citra Sekolah Kristen
Aletheia terjamin” maka siswa yang diterima untuk belajar di
SKA diprioritaskan pada mereka yang memenuhi kriteria-kriteria
tertentu.149
Siswa yang diterima di level Kelompok Bermain (play
group) dan Taman Kanak-kanak adalah yang [a] beragama Kristen,
[b] anggota/anak dari anggota Gereja Kristus Tuhan, dan [c] anak
karyawan Sekolah Kristen Aletheia. Untuk siswa di level Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Umum (SMU) prioritas masuk diberikan kepada siswa-
siswi yang [a] beragama Kristen, [b] siswa SKA di level
sebelumnya, [c] anggota GKT atau anak dari anggota GKT, dan
[d] anak dari karyawan SKA.
149 Buku Pedoman Pengelolaan Sekolah Kristen Aletheia Tahun 1987, 6.
194 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Dengan kriteria-kriteria tersebut maka sukar untuk
dihindari jika kemudian siswa-siswi Tionghoa akan lebih banyak
jumlahnya dari pada yang non-Tionghoa. Sebagai ilustrasi
kongkrit, hal ini bisa dilihat dari data SKA Jember pada akhir
tahun 70-an sampai awal 80-an. Pada Tahun Pelajaran (Tapel)
1978/1979 dilaporkan bahwa jumlah total siswa TK sampai SMP
adalah 520 anak. Dari jumlah itu “hanya 10 orang saja murid
pribumi asli.” Sisanya, 510 anak atau lebih dari 98%, adalah
orang-orang Tionghoa.150 Untuk Tapel 1979/1980 jumlah total
siswa adalah 645 anak dengan komposisi etnis dan
kewarganegaraan sbb.:
Tabel 4.4. Data Siswa SKA Jember Tahun 1979151
No Satuan
Pendidikan
Jumlah
Siswa Pribumi
Tionghoa
WNI
Tionghoa
WNA
1 TK 75 anak 1 anak 42 anak 32 anak
2 Sekolah
Dasar
487 anak 23 anak 203 anak 261 anak
3 SMP 83 anak 5 anak 35 anak 43 anak
4 Total 645 29 280 336
Dengan komposisi “anak-anak keturunan Cina sebanyak
95% dari jumlah murid seluruhnya” maka dapat dipahami bila
Bupati Jember menyimpulkan bahwa pengurus SKA Jember tidak
mau “melaksanakan asimilasi sebagaimana yang dikehendaki oleh
150 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember No. SRA/II-
B/1534/1979, tanggal 25 Juli 1979. 151 Diambil dari surat kedua dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Jember kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-
B/3024/1979 tertanggal 27 November 1979. Dalam surat tanggal 25 Juli 1979,
Bupati Jember melaporkan bahwa jumlah total siswa adalah 601 anak.
Koreksi ini tampaknya terjadi setelah Bupati menugaskan bp Katidjan, S.H., sebagai pimpinan SKA Jember secara keseluruhan. Kemungkinan besar dari
orang inilah yang Bupati mendapatkan data-data yang dilaporkannya kepada Gubernur Jatim.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 195 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Instruksi Presiden RI dan Kakanwil Dep. P & K Prop. Jawa
Timur.”152 Penilaian tersebut tentu bisa diperdebatkan. Namun
data siswa selama dua tahun pelajaran memberi dasar yang sukar
dibantah dari penilaian semacam itu. Kelihatan di sana terus
hadirnya keinginan untuk tetap berkumpul dalam kelompok etnis
sendiri, yang terpisah dari kelompok etnis.153
Berbeda dari anggaran dasar tahun 1970 yang tidak punya
aturan khusus tentang pembauran, dalam buku pedoman
penyelenggaraan sekolah tahun 1987, soal tersebut dimasukkan
dalam sebuah pasal khusus. Pasal ini mungkin sekali dimasukkan
setelah peristiwa di SKA Jember.154 Pengurus sekolah di tingkat
lokal coba dihindarkan dari melakukan kekeliruan yang sama,
yang akan membawa mereka berhadap-hadapan dengan
pemerintah. Peraturan ini terus ada di situ sampai lebih kurang
satu dekade kemudian. Di dalam pedoman penyelenggaraan
sekolah yang baru, yang disusun pada tahun 1995 pasal tentang
pembauran ditiadakan.155 Menurut salah seorang penyusunnya hal
itu dilakukan untuk menghindarkan sekolah dari tuduhan
melakukan diskriminasi terhadap siswa/i non-Tionghoa. Dengan
jumlah siswa/i etnis Tionghoa yang tetap mayoritas,
mencantumkan kebijakan yang nanti akan bertabrakan dengan
kenyataan di lapangan bisa menimbulkan konsekuensi yang lebih
152 Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Jember kepada Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. Sra/II-B/3024/1979, tanggal 27
November 1979. 153 Sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini atas beberapa
sekolah Kristen di Jakarta menemukan bahwa sekolah-sekolah yang terafiliasi
dengan gereja-gereja berlatar belakang Tionghoa ini berfungsi untuk memperthankan sebuah batas fisik dan spasial di mana anak-anak muda
Tionghoa mendefinisikan identitas mereka terhadap orang-orang non-
Tionghoa. Lihat HOON, Chang Yau.(2010). Mapping 'Chinese' Christian Schools in Indonesia: Ethnicity, Class and Religion. Asia Pacific Education
Review. Available at: http://ink.library.smu.edu.sg/soss_research/755
(diakses pada 8 Juli 2015). 154 Kasus ini sempat membuat Sinode GKT harus berurusan dengan
sejumlah instansi pemerintah di Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur dan pusat.
155 Pedoman Tehnis Penyelenggaraan Pendidikan dan Operasional Sekolah
Kristen Aletheia.
196 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
berat dari pada kalau kebijakan itu tidak ada sama sekali.156
Dengan alasan itu maka siswa-siswi Tionghoa di SKA bisa terus
mayoritas.
2.3. Penempatan Pekerja Gerejawi yang Cocok dengan Karakter
Etnisitas Jemaat.
Sebagai upaya mengasimilasikan dirinya ke dalam tubuh
masyarakat dan budaya di mana ia berada, kini orang Tionghoa
Kristen di GKT menerima pekerja-pekerja gerejawi non-Tionghoa
untuk melayani di tengah-tengah mereka. Para pekerja ini hampir
semuanya direkrut dari lulusan-lulusan STTA, sekolah teologi
GKT. Meski diterima secara sinodal hal itu kelihatannya tidak
berbanding lurus dengan di jemaat. Tidak semua jemaat GKT
pernah dilayani oleh pendeta atau pengabar Injil non-Tionghoa.
Sejumlah data tentang pekerja gerejawi dan tempat pelayanannya
dari tahun 1968-1997 memperlihatkankan kenyataan sbb.:
Tabel 4.5. Data Pekerja Gerejawi GKT di Enam Jemaat di Kota
Malang dan Surabaya, 1968-1998
KOTA NAMA
JEMAAT
PEKERJA
GEREJAWI ETNIS
MALANG
GKT Jemaat I
Satu-satunya
jemaat GKT
yang sudah
memakai bahasa
Indonesia.
Berawal dari
jemaat berdialek
Kanton.
Pdt. Lauw Siok
Ling
Ev. Christine
Wong
Ev. Andreas
Jiahuely
Pdt. Kornelius A.
Setiawan
Ev. Kaleb
Kiantoro
Ev. Mariana
Tjong
Pdt. Anwar
Selain Ev.
Nyoman
Paulus,
seorang etnis
Bali, yang
masuk pada
tahun 1996,
seluruhnya
adalah etnis
Tionghoa.
156 Penjelasan bp SSD, via telpon, Kamis, 24 Juli 2014.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 197 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Gozali
Ev. Nyoman
Paulus
GKT Jemaat II
Berasal dari
jemaat berdialek
Hokkien
(Amoy).
Pada tahun
1982 pecah jadi
dua. Sebagian
kecil tetap di
Sinode GKT,
sebagian besar
ikut Sinode
Gereja Kristen
Abdiel (GKA).
Ev. Wu Mu Tek
Ev. Andreas
Jiahuely
Ev. Theodore A.
Hwoolys
Ev. Ku Kang
Shen
Ev. Magdalena
Yunavebriwati
Ev. Chen Mei
Yin
Ev. Elim Layang
Pdt. Abednego
Budiharjo
GKT Jemaat III
Berasal dari
jemaat berdialek
Fuzhou-Kuoyu.
Pdt. Ie Tjin Sin
Ev. Titus
Gunawan
Ev. Sie Sioe Hwa
Ev. Ester Kong
Pdt. Daniel Chai
Ev. Grace
Hartono
Pdt. Abednego
Budihardjo
Ev. Ike Tjiang
Sie Sie
Pdt. Tju Pau San
Ev. Emil
Andreas
Ev. Luciana
Andreas
Ev. Phebe Ang
Ev. Samuel Edhi
O.
Ev. Joko
198 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Sukamto
Ev. Budi Santoso
Ev. Woen Siang
Mee
SURABAYA
GKT Jemaat
Nazareth
Berawal dari
jemaat berdialek
Kanton.
Pdt. Tsang To
Hang
Ev. Kwan Swie
Cu
Ev. Ie Kwok Pau
Pdt. Daniel
Jonatan
Ev. Nancy Liu
Ev. Irene Liem
Ev. Herry
Posumah
Ev. Fredie
Lukito Setiawan
Ev. Lilik
Hendrawati
Ev. Nehemia
Alip Hiu
Ev. Tjong Ming
Lan
Ev. Paul Tan
Ev. Lucy Gan
Ev. Henny
Pujiastuti
Ev. Elly Venolita
Ev.Lim Dian
Pratama
Ev. Herry
Posumah
adalah etnis
non-Tionghoa.
GKT Jemaat
Anugerah
Berawal dari
jemaat berdialek
Hokkien
Ev. Edy Paulus
Ev. Stephanie
Paulus
Ev. David
Purnomo
Ev. Phebe
Purnomo
Pdt. Chang Yong
Semuanya
dari etnis
Tionghoa.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 199 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
(Amoy).
Pada tahun
1975 pecah jadi
dua. Sebagian
tetap tinggal di
Sinode GKT,
sebagian lain
ikut Sinode
Gereja Kristen
Abdiel (GKA).
Sin
Ev. Liang Yau
Yong
Ev. Matius
Lukito Setiawan
Ev. Ie Kwok Pau
Ev. Lauw Mei Ik
Ev. Tjen Pik Lan
Sdr. Yen Yauw
Yen
Ev. Lie Hwee
Lan
Sdr. Budi
Santoso
Sdr. Lie En Min
Ev. Agus
Susanto
Ev. Liang Ai Lie
GKT Jemaat
Hosana
Berawal dari
jemaat berdialek
Fuzhou-Kuoyu.
Pada tahun
1973 pecah jadi
dua. Sebagian
tetap tinggal
dalam Sinode
GKT, sebagian
lain ikut Sinode
Gereja Kristen
Abdiel (GKA).
Pdt. Baring L.
Yang
Pdt. Ong Bing
Bian
Ev. Stephen
Tong
Pdt. Yakub
Hosana
Ev. George
Onggo Sanusi
Ev. Liem Mei
Djing
Ev. Lenny Asikin
Ev. Daniel
Cahyadi
Ev. Theodore
Hwoolys
Ev. Cecillia Go
Ev. Gracia Go
Ev. Ruth Liang
Semuanya
dari etnis
Tionghoa.
200 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Ev. Luciana
Kumala
Pdt. Sia Kok Sin
Ev. Silas Liman
Ev. Lindawati
Ev. Phobi
Pattipeilohy
Ev. Ie David
Ev. Hengky
Wijaya
Ev. Hadi
Sugianto
Ev. Joeng Si
Wing
Ev. Andreas
Hauw
Ev. Inggar S.
Ev. Henny
Pujiastuti
Ev. Insan
Ev. Elok
Chrisinar
Enam jemaat dalam Tabel 4.5 di atas adalah jemaat-
jemaat awal, yang berdiri jauh sebelum Sinode GKT dibentuk
tahun 1968. Sampai tahun 1968 semuanya, kecuali Jemaat I
Malang, dilayani oleh pekerja gerejawi yang datang langsung dari
Tiongkok. Dari data itu tampaknya ada kesamaan pola di mana
jemaat-jemaat yang berasal dari dialek Kanton, yaitu GKT I
Malang dan GKT Nazareth, Surabaya, yang sempat memiliki
pekerja gerejawi dari etnis non-Tionghoa. Bahkan pada saat GKT
Jemaat Nazareth masih memiliki ibadah Minggu dalam dialek
Kanton dan bahasa Mandarin, tenaga non-Tionghoa sudah
diterima di sana. Ini tidak ditemukan pada jemaat-jemaat yang
berasal dari dialek Hokkien (Amoy) dan Fuzhou-Kuoyu, baik di
Surabaya maupun Malang.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 201 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Selain keenam jemaat itu, di beberapa kota lain ada pula
jemaat-jemaat GKT yang memakai bahasa Tionghoa, yakni
bahasa Mandarin dan bukan dialek, dalam ibadah hari Minggu.
Berikut adalah data pekerja gerejawi di tiga jemaat GKT semacam
ini. Nama-nama disusun berdasarkan urutan waktu masuknya
mereka ke jemaat tersebut.
Tabel 4.6. Data Pekerja Gerejawi GKT Jemat Kediri, Jember
dan Genteng, 1968-1998
KOTA NAMA
JEMAAT
PEKERJA
GEREJAWI
ETNIS
PEKERJA
GEREJAWI
Kediri
GKT Jemaat
Kanaan
Ev. The Sun Sun
Ev.Yongki Karman
Ev. Yung Tik Yuk
Ev. Effendi Budiana
Ev. Irene Jessica
Ev. Stefanus Erwin
Daud
Kecuali Ev.
Stefanus Erwin
Daud yang etnis
Timor, semuanya
adalah etnis
Tionghoa.
Jember
GKT Jemaat
Jember
Pdt. Elijah Siauw
Ev. Chen Sie Kiun
Pdt. Tju Pau San
Ev. Andreas Jiahueli
Ev. Lucy Gan
Ev. Lien Fan
Pdt. Abednego
Budiharjo
Ev. Sudjiono Boas
Ev. Yonathan Redjono
Ev. Irene Yossica
Ev. Effendi Budiana
Ev. Purwanti
Setianingsih
Ev. Yohanes O.
Tjahjadi
Ev. Elly Venolita
Ev. Oei Giok Lian
Selain Ev.
Sudjiono Boas
dan Ev.
Yonathan
Redjono, suruh
pekerja gerejawi
adalah dari etnis
Tionghoa.
202 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Ev. Yohanes
Mattulessy
Ev. Elani
Genteng GKT Jemaat
Genteng
Ev. Liem Chang Fuk
Ev. Matius Tan Hwa
Khiong
Ev. Nancy Lioe
Giok Hwa
Ev. Sarlin Yoselfina
Ev. Cornelius
Tibarrena
Pdt. Moretz Masrikat
Ev. Trifena Poh Ka
Pen
Ev. Stephanie
A.Yulianti
Ev. Alex Gunawan
Kecuali Ev.
Sarlin Yoselfina,
Ev. Cornelius
Tibarrena, Pdt.
Moretz Masrikat
dan Ev.
Stephanie A.Y.,
seluruh pekerja
gerejawi adalah
etnis Tionghoa.
Dari ketiga jemaat ini, hanya jemaat Genteng yang
memiliki jumlah pekerja non-Tionghoa terbanyak sekaligus
terlama masa tugasnya di suatu jemaat dibandingkan dengan
jemaat GKT yang lain. Ev. Sarlin Yoselfina, seorang etnis Rote,
bertugas dari tahun 1979 sampai 1993 (14 tahun). Pdt. Moretz
Masrikat, etnis Maluku, juga cukup lama, yakni dari tahun 1988
sampai 1994 (6 tahun). Sementara Ev. Stephanie A.Yulianti, etnis
Jawa, hanya 3 tahun saja (1996-1999).
Di Jemaat Jember, Ev. Sujiono Boas dan Pdt. Yonathan
Redjono hanya bekerja selama tiga tahun saja, yakni dari 1984-
1987. Dari Jember Ev. Sujiono Boas dimutasi ke GKT Jemaat
Sinai di kota Batu, Malang, yang secara etnis sangat beragam dan
tidak memiliki ibadah Minggu dalam bahasa Tionghoa. Pdt.
Yonathan Redjono dimutasi ke GKT Jemaat Betlehem, Lawang,
yang juga sama tidak memiliki ibadah Minggu dalam bahasa
Tionghoa. Sama dengan dua orang terakhir, Ev. Stefanus Erwin
Daud yang bertugas di GKT Jemaat Kanaan, Kediri, hanya
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 203 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
bekerja di sana selama tiga tahun saja (1991-1994). Sesudah itu ia
keluar dari GKT dan pindah ke gereja lain.
Tidak pernah ada penjelasan yang terang kepada peserta
sidang sinode tentang alasan mutasi dari suatu jemaat ke jemaat
lain, atau alasan keluarnya seorang pekerja gerejawi dari GKT.
Laporan BP Sinode kepada persidangan sinode hanya
menyebutkan nama pekerja-pekerja gerejawi yang berhenti atau
dimutasikan ke tempat lain. Pendapat umum yang berkembang
mengenai hal-hal tersebut adalah kebutuhan mendesak di tempat
lain, atau karena konflik yang tak bisa diselesaikan di antara
pekerja gerejawi tersebut dengan jemaat yang dilayani, atau karena
ketidakcocokan lain yang membuat entah pekerja itu atau
jemaatnya tidak mau memperpanjang masa tugasnya. Yang jelas,
kepergian mereka meninggalkan jemaat-jemaat tersebut di tangan
pekerja-pekerja gerejawi dari etnis Tionghoa.
Dalam kurun waktu yang sama, sejumlah besar pekerja
gerejawi non-Tionghoa lulusan sekolah teologi GKT di Lawang
yang direkrut masuk GKT. Berikut adalah nama dan tahun
kelulusan mereka serta tempat pelayanan mereka disusun secara
kronologis.
Tabel 4.7. Daftar Pekerja Gerejawi GKT yang Non-Tionghoa,
1968-1998
PERIODE
NAMA PEKERJA
GEREJAWI DAN
TAHUN LULUS
TEMPAT PELAYANAN
1968-1978
1. Semieon Yudhan
(1978)
SKA Surabaya
SKA Ampenan
SKA Lumajang.
2. Yan Aran Mering
(1978)
GKT Jemaat Ampenan,
Lombok
GKT Haleluyah Lumajang
204 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
1979-1988
3. Sarlin Yoselfina (1979) GKT Jemaat Genteng,
Banyuwangi (sampai 1994).
GKT Pos PI Sawojajar,
Malang.
4. Juan Erwin Pohan
(1979)
GKT Jemaat Denpasar
5. Moretz Masrikat
(1980)
GKT Jemaat Ebenhaezer,
Sumbawa Besar
GKT Pos PI Jajag,
Banyuwangi
GKT Jemaat Genteng,
Banyuwangi (sampai 1995).
GKT Pos PI Bangil
6. Milka Kartini Baganu
(1980)
Sekolah Kristen Aletheia
(SKA) Surabaya
7. Rini Hari Siswati
(1980)
GKT Pos PI Turi-Sendang,
Tulungagung
8. Marthen Nainupu
(1981)
GKT Jemaat Denpasar
GKT Jemaat Ampenan,
Lombok
9. Yonathan Redjono
(1981)
GKT Pos PI Bangil
GKT Jemaat Jember
GKT Jemaat Bethlehem,
Lawang.
10. Alex Mauko (1981) Sekolah Kristen Aletheia
(SKA) Surabaya
11. Herry Posumah (1982) GKT Pos PI Paiton
GKT Nazareth, Surabaya
(sampai 1985).
12. Meike Makagansa
(1983)
GKT Jemaat Maranatha,
Paiton
13. Stephanus Kasman
(1983)
GKT Jemaat Banyuwangi
(sampai 1988 lalu berhenti).
14. Alfius Areng Mutak
(1984)
GKT Semarang
Dosen STT Aletheia,
Lawang
15. Mirianto (1984) GKT Rogojampi
GKT Ebenhaezer,
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 205 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Sumbawa Besar
GKT Pos PI Sawojajar,
Malang
16. Sujiono Boas (1984) GKT Jember (SKA Jember)
GKT Jemaat Sinai, Batu
GKT Ampenan
17. Yosafat (1987) GKT Pos PI Banyumanik,
Semarang
18. Misail Ubik (1988) GKT Pos PI Muncar
19. Agus Prihantoko
(1988)
GKT Pos PI Mimbo,
Situbondo
GKT Pos PI Sawojajar,
Malang
1989-1998
20. Meince Sahupala
(1989)
GKT Imanuel, Ambulu
21. Akim Suhardy (1989) GKT Jemaat Filadelfia,
Mojokerto
22. Cornelius Tibarrena
(1989)
GKT Jemaat Genteng (sampai
1993).
GKT Pos PI Sawojajar
23. Raymond A.
Panguliman (1989)
GKT Pos PI Sawajojajar
24. Bekti Iriani (1990) GKT Pos PI Muncar
25. Sulamit Aprilina A.
(1991)
GKT Pos PI Mimbo,
Situbondo
GKT Pos PI Singosari,
Malang
26. Stefanus Erwin Daud
(1991)
GKT Kanaan, Kediri (berhenti
tahun 1994).
27. Jootje J.M. Tarumingi
(1992)
GKT Probolinggo
28. Mariani Febriana LD
(1993)
GKT Pos PI Balung
GKT Jemaat Betlehem,
Lawang
29. Jefri Ermawan (1995) GKT Jemaat Banyuwangi
30. Nyoman Paulus (1996) GKT Jemaat I, Malang
31. Stephanie A. Yulianti
(1996)
GKT Jemaat Genteng-
Banyuwangi
206 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
32. Yuli Andreas (1996) GKT Jemaat Denpasar
33. Endy Andjarnowati
(1997)
GKT Jemaat Balung
34. Markus D. Lere Dawa
(1997)
GKT Jemaat Sinai, Batu
Tempat-tempat pelayanan yang dicetak miring adalah
jemaat-jemaat yang sampai 1998 masih memiliki ibadah hari
Minggu dalam bahasa Tionghoa. Sementara jemaat-jemaat yang
lain sudah tidak lagi memakai bahasa itu. Kecuali GKT Jemaat
Denpasar, Jemaat Genteng-Banyuwangi, Jemaat Jember, Jemaat I
Malang dan Jemaat Semarang, seluruh jemaat dan pos pekabaran
Injil (Pos pI) yang lahir pada dekade 60-an sampai 70-an adalah
buah karya PI jemaat-jemaat yang lahir di dekade-dekade
sebelumnya. Sejak awal komposisi etnisnya sudah beragam dan
bahasa pengantar ibadah Minggu telah memakai bahasa Tionghoa
dan bahasa Indonesia. Beberapa tahun setelah Sinode GKT berdiri
mereka sepenuhnya memakai bahasa Indonesia. Sejumlah jemaat,
seperti Pos PI Sawojajar, Malang; Pos PI Banyumanik, Semarang;
dan GKT Jemat Ebenhaezer, Sumbawa Besar, mayoritas anggota
adalah non-Tionghoa. Karena itu sejak awal sudah memakai
bahasa Indonesia saja dalam kegiatan-kegiatannya.
Para pekerja gerejawi non-Tionghoa hampir semuanya
ditemukan di dalam jemaat-jemaat yang muncul belakangan,
mulai era 60-an. Di jemaat-jemaat yang sejak awal abad ke-20
sudah dilayani oleh pekerja gerejawi Tionghoa yang berbahasa
Tionghoa dan yang sedaerah asal dengan anggota-anggota jemaat
yang dilayani, pekerja gerejawi non-Tionghoa hampir tidak ada di
sana. Kalaupun ada maka masa pelayanannya tidak lama.
Seorang mantan anggota badan pengurus sinode
mengatakan bahwa selama masa tugasnya tidak pernah ada
kebijakan resmi sinodal yang mengatur supaya jemaat-jemaat yang
masih memakai bahasa Tionghoa harus dilayani oleh pekerja
gerejawi Tionghoa yang berbahasa Tionghoa. Meski demikian ia
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 207 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
akui bahwa jemaat-jemaat tertentu tetap meminta supaya pekerja
gerejawi yang ditempatkan di sana dari latar belakang tersebut.
Hanya saja hal sulit untuk dipenuhi karena
Waktu itu pemakaian bahasa ini dirasa berbahaya
bagi masa depan orang Tionghoa. Sehingga sama
sekali tidak ada pertimbangan khusus mengenai hal
ini. Yang kami lakukan lebih banyak
dipertimbangkan adalah apakah orang tersebut
cocok di tempat itu atau tidak. Itu saja.
Pertimbangan itu lebih banyak muncul dari jemaat
saja, yang meminta supaya hamba Tuhan yang
ditempatkan mampu berbahasa itu. Namun
permintaan ini pun jarang diungkapkan, sekalipun
keinginan itu ada, karena semua kelihatannya sadar
bahwa tidak gampang mendapatkan tenaga
semacam itu pada masa itu.157
Informan ini tidak menjelaskan apa yang ia maksud
dengan kriteria “cocok.” Sebuah percakapan di antara utusan-
utusan Sidang Sinode GKT XIII pada tahun 1987, yang turut pula
dihadiri oleh informan tersebut, kiranya dapat memberi terang
kepada salah satu makna istilah “cocok” yang dimaksud. Saat
menjelaskan alasan mengapa di GKT proses pentahbisan seorang
pekerja gerejawi yang berjabatan Penginjil menjadi berjabatan
Pendeta membutuhkan waktu yang cukup lama, Pdt. Joseph
Tong, Penasihat Sidang waktu itu, menjelaskan demikian:
Di dalam keadaan/kebudayaan seandainya seorang
berlatar belakang Hing Hwa, melayani di Gereja
Amoy. Karena pelayanan baik tetapi latar belakang
kurang bisa diterima untuk menjadi Pendeta maka
tidak pernah diajukan untuk menjadi Pendeta. Oleh
karena itu, dalam usulan ini BP diberi wewenang
untuk meninjau keadaan demikian supaya bisa
157 Penjelasan via telpon bp TPS, Rabu, 12 Januari 2011.
208 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
diusulkan, tetapi usul itu diberi prioritas kepada
jemaat di mana hamba Tuhan itu melayani. Tetapi
kalau keberatan-keberatan yang timbul berkaitan
dengan kepercayaan dan kehidupannya maka ini
soal lain, tidak mungkin kalau kehidupan yang tidak
bisa diterima di Jemaat Amoy akan diterima di
Jemaat Hing Hwa.158
Dalam penjelasan ini terungkap tiga kondisi yang
dicermati waktu seorang pekerja gerejawi hendak ditahbis menjadi
pendeta sebuah jemaat GKT. Yang pertama adalah latar belakang
budayanya; yang kedua pokok-pokok kepercayaan yang diimani;
dan yang terakhir adalah perilaku hidup sehari-hari. Mengenai
budaya, faktor etnisitas (apakah Hinghwa atau Amoy) menjadi
faktor yang menentukan. Sekalipun beretnis Tionghoa namun
untuk jemaat-jemaat tertentu ada preferensi etnis yang turut
dipertimbangkan. Hal itu diakui oleh seorang pekerja gerejawi dari
etnis Tionghoa yang berasal dari suku Hokkian. Sekalipun dapat
berbahasa Tionghoa (Mandarin) namun karena beda suku maka ia
tidak serta merta dapat menjadi pendeta di jemaat orang Hokchiu.
Hal itu dapat terjadi karena mereka menginginkan pelayan
gerejawinya berasal dari suku yang sama.159
Keinginan macam ini jarang sekali diungkapkan secara
terbuka. Karenanya, meski sukar untuk dipenuhi namun di saat
yang sama juga sukar untuk dinegosiasikan. Sampai tahun 1998,
seperti terlihat dalam Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 di atas, hampir
semua pekerja gerejawi yang bekerja di kesembilan jemaat di atas
adalah orang-orang Tionghoa, yang sedikit atau banyak dapat
berbahasa Tionghoa, atau dialek bahasa jemaat yang dilayaninya.
Kalaupun akhirnya tidak mampu berbahasa Tionghoa, setidaknya
ia orang Tionghoa, yang seetnis dengan anggota-anggota jemaat
itu; atau, pada akhirnya, semata-mata orang Tionghoa saja. Para
158 Notulen dan Laporan Kerja 1987-1989 dalam Persidangan XIV Sinode
Gereja Kristus Tuhan, P.P.A.G. Malang, 14-17 Nopember 1989: 36. 159 Wawancara bp AG, Malang, 22 Februari 2012.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 209 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
pekerja non-Tionghoa sukar untuk masuk ke sana, atau bertahan
di sana dalam jangka waktu cukup panjang.
2.4. Bersekutu dan Bekerja Sama dengan Sesama Gereja-gereja
Tionghoa lainnya.
Sejak masih bernama THKTKH Klasis Jatim, hubungan
dengan sesama orang Tionghoa Kristen di bagian lain pulau Jawa
dan tempat-tempat lain di Hindia Belanda sudah terjalin erat.
Orang-orang Tionghoa Kristen di GKT turut hadir dan ambil
bagian secara aktif dalam pertemuan-pertemuan dengan sesama
orang Kristen Tionghoa se-Hindia Belanda.160 Setelah Indonesia
merdeka, bersama-sama dengan orang-orang Tionghoa Kristen
lainnya di THKTKH Klasis Jawa Tengah, Klasis Jawa Barat dan
gereja-gereja Tionghoa lain di Sumatera dan Kalimantan, orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT mendirikan sebuah persekutuan
ekumenis gereja-gereja Tionghoa di Indonesia, yang diberi nama
Persekoetoean Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Indonesia pada tahun
1948. Persekutuan ini diubah namanya menjadi Dewan Gereja-
gereja Kristen Tionghoa di Indonesia (DGKTI), setahun
kemudian, dalam konferensi kedua di Surabaya, September
1949.161 Keterlibatan dalam badan ini terus dipertahankan sampai
akhir 50-an ketika badan ini akhirnya bubar dengan sendirinya.
Meski badannya bubar namun kontak-kontak dengan sesama
jemaat Tionghoa totok di Jawa Tengah dan Jawa Barat terus
dipelihara.
Setelah Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) berdiri
pada bulan Mei 1950, melalui THKTKH Klasis Jatim orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT mulai terlibat dalam hubungan yang
intensif dengan orang-orang Kristen dari etnis non-Tionghoa.
160 Salah satu yang diikuti adalah Konferensi Tayhwee di Purworejo,
Jawa Tengah, pada 26-28 Maret 1937. Waktu, THKTKH Klasis Jatim
diwakili oleh Lim Hong Lian, Phoa Kim Boen dan Oei Soei Tiong. Lihat Dr. Th. Van den End, ed., Sumber-sumber Zending tentang Sejarah Gereja di Jawa
Barat 1858-1963 (Jakarta: BPK, 2006), 648-654. 161 Ibid., 734.
210 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Figur seperti Tan Yoe Gie, Pdt. Ie Tjin Sin, Daniel Chen dan Go
Yauw Koen tercatat mewakili orang-orang Tionghoa Kristen di
GKT dalam forum-forum pertemuan DGI sampai tahun 60-an.162
Hubungan dengan DGI dipandang penting demi mendapatkan
“dukungan moral dan support agar GKT bisa tetap jalan
sebagaimana adanya.”163 Ini menjadi semacam aliansi strategis
yang bertujuan melanggengkan eksistensinya. Itu sebabnya di tiap
kesempatan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT berupaya
mengambil bagian dalam proyek-proyek dan program-program
DGI.
Namun keikutsertaan ini sesungguhnya bersifat elitis.
Figur-figur yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan DGI/PGI di
level nasional dan wilayah Jawa Timur adalah para pemimpin di
level pengurus sinode saja. Kalangan akar rumput GKT dapat
dikatakan tidak terlibat sama sekali. Utusan-utusan ke pertemuan-
pertemuan DGI/PGI hampir semuanya dari kalangan pekerja
gerejawi (baca: pendeta atau pengabar Injil). Walau informasi-
informasi tentang DGI/PGI dan keterlibatan wakil GKT di
tingkat nasional dan regional teratur disebarluaskan melalui media
komunikasi sinode kepada jemaat-jemaat namun hal itu tidak
mendorong keterlibatan mereka. Sampai akhir dekade 90-an
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT hampir-hampir tidak
mengetahui aktivitas-aktivitas PGI. Mereka berada dalam jarak
sosial yang masih cukup jauh dari saudara-saudari seimannya
yang non-Tionghoa.
162 Bersama wakil-wakil lain dari THKTKH Klasis Jatim, Tan Yoe
Gie hadir dalam konferensi pembentukan DGI, 21-28 Mei1950 di Jakarta. Lihat Madjallah Dewan Geredja-geredja Keristen Tionghoa (T.H.K.T.K.H.) di
Indonesia, Juni 1950, 16. Pdt. Ie Tjin Sin ditunjuk oleh Sidang Lengkap IV
DGI 1960 sebagai Ketua II Komisi Kesejahteraan Keluarga Kristen DGI
sementara Daniel Chen (Daniel Tanaya) dan Go Yauw Koen hadir sebagai
utusan THKTKH Klasis Jatim dalam Sidang Lengkap V DGI tahun 1964. Lihat PGI, Arak-arakan Oikoumene Meniti Tahun-tahun Pertumbuhan: Dokueman Historis Sidang Lengkap IV DGI 1960—Sidang Lengkap V DGI 1964 Arak-arakan
Oikoumene Meniti Tahun-tahun Pertumbuhan: Dokumen Historis Sidang Lengkap
IV DGI 1960—Sidang Lengkap V DGI 1964 (Jakarta: Sekretariat Umum PGI,
1996), 274, 400. 163 Wawancara bp PP, Malang, 7 Agustus 2009.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 211 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Namun tidak demikian halnya dengan hubungan dan
keikutsertaannya dalam badan-badan dan persekutuan-
persekutuan orang Tionghoa Kristen di Indonesia dan luar negeri.
Di sini dapat ditemukan minat dan semangat yang besar. Ada dua
lembaga keagamaan yang menarik minat dan partisipasi orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT. Yang pertama adalah Chinese
Coordination Centre of World Evangelism (CCCOWE) dan yang
kedua ialah Persekutuan Gereja-gereja Injili Indonesia (PERGI).
CCCOWE didirikan di Hongkon pada tahun 1975, sebagai
respons terhadap konferensi orang-orang injili (evangelicals) sedunia
di Lausanne, Swiss, tahun 1974.164 Tujuannya ialah membangun
kembali kesatuan orang Tionghoa Kristen sedunia.165 Targetnya
adalah terbentuknya sebuah komunitas Tionghoa Kristen sedunia
yang memakai bahasanya sendiri, koneksi-koneksi sosialnya
sendiri dan cara-caranya sendiri dalam memberitakan Injil
menurut kebutuhan-kebutuhan orang Tionghoa yang disasar.
Strateginya ialah dengan mengkristenkan orang-orang Tionghoa
yang terhilang di seluruh dunia, mulai dari yang berdiam di negara
Tiongkok sampai kepada para imigran Tionghoa di seluruh
dunia.166 Dengan tujuan, sasaran dan strategi ini maka orang-
orang Tionghoa Kristen, anggota-anggota CCCOWE, harus
melawan (resist) asimilasi di mana saja mereka berdomisili dan
terus menjaga anak-anaknya tetap berada di dalam lingkaran
orang Tionghoa (Chinese orbit). CCCOWE mendorong anggota-
164 Judith Nagata, “Christianity among Transnational Chinese:
Religious versus (Sub)ethnic Affiliation” dalam International Migration, Vol. 43
(3) 2005, 122. 165 Ibid. Kalimatnya adalah “to re-establish Chinese Christian unity
worldwide.” 166 Ibid. Kalimatnya adalah “‘lost or vulnerable’ Chinese across the
world, from the ‘unreached’ millions in China to lonely migrants every
where.” Dalam situsnya, Joshua Ting, Sekretaris Umum CCCOWE hari ini menjelaskan bahwa badan ini ada untuk “calling the Chinese churches
worldwide to unity in spirit and in truth to proclaim the Gospel to the world...
It is a forerunner, a catalyst, a coordinator, that assists Chinese churches in a joint effort to advance the ministry of world evangelization.” Lihat
http://www.cccowe.org/content.php?id=vision2020_main (diakses pada Selasa, 29 Juli 2014).
212 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
anggotanya supaya tidak menyediakan ibadah dalam bahasa lokal
demi melestarikan pemakaian bahasa Tionghoa.167
PERGI adalah wadah persekutuan orang-orang Kristen
dari gereja-gereja yang berlatar belakang Tionghoa di Indonesia.
Pembentukannya tidak lama setelah CCCOWE. Para pendirinya
adalah sejumlah pemimpin dari gereja-gereja orang Tionghoa
totok yang ikut serta dalam pembentukan CCCOWE. Sejak awal
PERGI sudah dianggap sebagai bagian integral dari CCCOWE,
sehingga dipandang sebagai CCCOWE-nya Indonesia.168 Karena
itu maksud, sasaran dan strategi-strateginya mencerminkan apa
yang ditemukan pada CCCOWE.169 Kegiatan rutin yang
dilakukan PERGI adalah pembinaan-pembinaan rohani untuk
para pekerja gerejawi dan aktivis-aktivis gereja yang dikemas
dalam kegiatan bernama Pekan Retreat. Acara ini rutin diadakan
sejak tahun 1976.170
Sampai dekade 80-an berakhir, tidak ada catatan tentang
keterlibatan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT di dalam
kedua lembaga itu. Konflik internal sejak awal 70-an sampai awal
80-an, yang berujung kepada perpecahan dan pemisahan diri
sejumlah jemaat dari Sinode GKT, tampaknya memakan banyak
energi dan waktu sehingga tidak tersisa cukup untuk menjalin
hubungan dengan sesama orang Tionghoa Kristen di gereja-gereja
Tionghoa lainnya. Lagipula, di antara para inisiator dan aktivis
167 Nagata dalam International Migration, Vol. 43 (3) 2005, 122. 168 Wawancara bp ST, Surabaya, 31 Januari 2011. 169 PERGI hari ini sudah malih rupa menjadi Persekutuan Gereja-
gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI), yang secara resmi berdiri pada 27
Februari 2007. Sebelum akhirnya menjadi PGTI, PERGI terlebih dulu berubah bentuk menjadi Pusat Pelayanan Gereja-gereja Injili di Indonesia
(PPGII) pada 11 November 1997. Dalam konsideran sejarah PGTI yang termaktub dalam Anggaran Dasar PGTI 2008 dinyatakan bahwa PPGII
merupakan gabungan dari sejumlah badan. Salah satunya adalah CCCOWE
Indonesia. Seperti CCCOWE, PGTI ada untuk “menjadi wadah kesatuan dan persatuan serta kerjasama Gereja-Gereja Tionghoa di seluruh tanah air
Indonesia.” http://pgti.co.id/page/7/anggaran-dasar (diakses pada 29.7.2014).
170 Lihat Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 29, Desember 1996, 49.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 213 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
CCCOWE dan PERGI tampak sejumlah muka yang langsung
ataupun tidak langsung terlibat dalam konflik besar di tubuh GKT
selama periode itu.
Memasuki dekade 90-an mulai muncul laporan-laporan
tentang partisipasi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dalam
kegiatan-kegiatan bersama dengan orang-orang Tionghoa Kristen
di gereja-gereja Tionghoa lainnya. Laporan pertama muncul
dalam Laporan Umum BP Sinode kepada Sidang Sinode GKT
Ke-15 tahun 1991. Dilaporkan bahwa BP Sinode telah mengutus
dua orang pekerja gerejawi untuk mengikuti konggres PERGI
pada bulan Agustus 1991 di Yogyakarta. Dua tahun kemudian, BP
kembali melaporkan kepada sidang sinode bahwa seorang pekerja
gerejawi telah diutus untuk mengikuti Konggres III PERGI di
Yogyakarta. Tidak ada penjelasan atau laporan mengenai apa saja
yang dibicarakan dalam kedua konggres tersebut. Namun dua
bulan sebelum keikutsertaan dalam konggres tersebut sejumlah
orang Tionghoa Kristen di GKT dari Surabaya dan Jakarta
dilaporkan hadir mengikuti Pekan Retreat V PERGI di Wisma
Kinasih, Bogor.171 Retreat yang mengambil tema “Kasih Yang
Merangkul Dunia” ini diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai
gereja Tionghoa di seluruh Indonesia. Selain peserta biasa, turut
pula hadir dua pekerja gerejawi GKT, yang diundang khusus oleh
Panitia untuk menjadi “tenaga penterjemah” bahasa Indonesia ke
bahasa Tionghoa dan bahasa Tionghoa ke bahasa Indonesia.172
Tidak sampai setahun muncul lagi laporan lain tentang
terbentuknya sebuah persekutuan gereja-gereja Kristen berbahasa
Mandarin di Surabaya. Persekutuan ini resmi berdiri pada bulan
Februari 1994. Namun penjajakan untuk pembentukannya sudah
dilakukan sejak bulan Oktober1993, enam bulan setelah berlalunya
retreat pekerja gerejawi PERGI di Bogor. Tiga jemaat GKT yang
ada di kota Surabaya, yaitu GKT Jemaat Hosana, GKT Jemaat
Nazareth dan GKT Jemaat Anugerah ada di antara keempat belas
171 Lihat Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan Edisi 19, Agustus 1993, 58. 172 Ibid.
214 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
gereja pendirinya.173 Kegiatannya diawali dengan sebuah seminar
teologi dan kebaktian misi, yang dilayani oleh dua pembicara dari
Singapore Bible College (SBC), Singapura.174 Setelah kegiatan
perdana ini keempat belas gereja anggota kemudian mengadakan
persekutuan bersama yang turut dihadiri oleh utusan-utusan ketiga
jemaat GKT di Surabaya.175
Tidak jauh dari waktu ini, sejumlah pengusaha Tionghoa
Kristen di Surabaya juga mendirikan sebuah organisasi pengusaha
Kristen se-Surabaya. Persekutuan yang diberi nama Persekutuan
Pengusaha Kristen Visi dan Misi ini diinisiasi oleh tiga orang
pengusaha Tionghoa Kristen, yang berasal dari dua jemaat Gereja
Kristen Abdiel (GKA), Surabaya. Sejumlah anggota jemaat GKT
yang berprofesi sebagai pengusaha turut pula menjadi anggota.
Dua di antaranya malah sempat duduk sebagai pengurus.176 Sejak
berdiri pada tahun 1994 dan terus sampai 1996, kegiatan rutinnya
adalah ibadah bersama tiap bulan. Memasuki tahun 1997, agenda
173 Anggota pendiri lainnya adalah Gereja Kristen Abdiel (GKT)
Jemaat Gloria I dan II, GKA Trinitas, GKA Elyon, GKA Gracia, GKKA Jemaat Arjuno, GKKA Jemat Tenggilis, Gereja Kristen Kalam Kudus
(GKKK), Gereja Persekutuan Kristen, Gereja Sidang Kristus dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Jemaat Hakka di Jalan Bibis, Surabaya.
GKA adalah gereja yang lahir dari perpecahan dalam tubuh sejumlah jemaat GKT di Surabaya, Malang, kota-kota lain di Jawa Timur dan Bali dari awal
dekade 70-an sampai awal 80-an. 174 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 21, April 1994, 57. Singapore
Bible College (SBC) adalah sebuah sekolah teologi evangelikal interdenominasi
yang didirikan pada tahun 1952 di Singapura, awalnya untuk melayani kebutuhan gereja-gereja berbahasa Tionghoa di Asia Tenggara. Dalam
perkembangannya, ia kemudian juga membuka departemen pendidikan
teologi dalam bahasa Inggris. Sekolah teologi ini didirikan oleh sejumlah pendeta dan pemimpin gereja Anglikan, Baptis, Methodist, Presbyterian dan
gereja-gereja independen pada tahun 1952, dan mendapat dukungan dari The Chinese Church Union Singapore, Christian Nationals Evangelism Commission
(CNEC) dan badan misi Overseas Missionary Fellowship yang setahun
sebelumnya mengevakuasi markas besarnya dari Tiongkok ke Singapura.
Untuk info SBC lihat https://www.sbc.edu.sg/en/about-sbc-mainmenu-27 (diakses pada 29.7.2014). Sementara untuk OMF lihat
http://omf.org/us/archives/singapore/ (diakses pada 29.7.2014). 175 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 22, Agustus 1994, 46. 176 Buku Tahunan 1997 Persekutuan Pengusaha Kristen Visi dan Misi
Surabaya, 19-20.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 215 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
rutin bulanan itu dibuat lebih beragam, seperti konser musik,
ceramah-ceramah tentang pemberdayaan sumber daya manusia,
pembinaan iman Kristen, seminar ekonomi, ceramah keluarga
pengusaha Kristen, dan lain-lain.177
Masih di tahun 1994, sebuah jemaat di kota Malang
dilaporkan mengadakan kebaktian misi selama dua malam
berturut-turut. Pembicaranya adalah Dr. Thomas Wang, mantan
General Secretary dari CCCOWE, dan saat itu sedang menjabat
sebagai General Secretary dari lembaga World AD 2000 Evangelical
Movement serta presiden dari The Great Mission Centre di Los
Angeles. Sebelum datang ke Malang, ia telah mengisi acara serupa
di sebuah gereja Tionghoa lain di Surabaya. Laporan tersebut
mengatakan bahwa bahasa yang dipakai selama acara ini adalah
“bahasa Mandarin” yang “diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.” Dan, baik di Surabaya maupun di Malang, acara ini
terselenggara berkat usaha “Badan Kerja Sama Gereja-gereja
Berbahasa Mandarin Surabaya.”178
Tidak lama kemudian, jemaat yang sama dilaporkan
menggelar sebuah acara malam puji-pujian untuk Tuhan. Acara
ini adalah hasil kolaborasi dengan sebuah gereja Tionghoa yang
seetnis dan sedialek di Jakarta.179 Tidak sampai setahun kemudian,
tepatnya pada bulan Maret 1995, persekutuan gereja-gereja
berbahasa Tionghoa di Surabaya kembali menjadi sponsor sebuah
kebaktian kebangunan rohani (KKR), yang dilayani oleh seorang
177 Buku Tahunan 1997 Persekutuan Pengusaha Kristen Visi dan Misi
Surabaya, 21. 178 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 22, Agustus 1994, 46-47. 179 Ibid., 46. Gereja tersebut adalah Gereja Kristus Jemaat Mangga
Besar (GKJMB), yang sudah berubah nama sejak beberapa tahun lampau
menjadi Gereja Kristus Yesus (GKY) Jemaat Mangga Besar. Secara historis gereja
ini punya hubungan yang sangat dekat dengan GKT karena sama-sama dirintis oleh badan misi yang sama, yakni badan misi Gereja Methodist
Episkopal Konferensi Malaysia pada awal abad ke-20. Seperti orang-orang
Tionghoa di GKT Jemaat III dan GKT Jemaat Hosana, Surabaya, mereka berawal dari jemaat berdialek Fuzhou-Kuoyu. Salah seorang pekerja gerejawi
GKT, yaitu Pdt. Baring L. Yang, pernah sesaat bekerja di antara orang-orang ini.
216 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
pengkhotbah Tionghoa-Amerika bernama Rev. Christopher Sun.
Khotbah disampaikan dalam bahasa Tionghoa (bahasa Mandarin)
dalam ibadah empat hari berturut-turut.180 Di sela-sela waktunya
kunjungannya ke Surabaya, beberapa pemimpin persekutuan ini
membawa Rev. Sun mengunjungi sekolah teologi GKT di kota
Lawang, Malang. Dalam pertemuan dengan para dosen dan
mahasiswa, Rev. Sun memberikan dorongan untuk ambil bagian
dalam karya pekabaran Injil sedunia sekaligus mendoakan dosen
dan para mahasiswa. Meski fasih berbahasa Inggris dan hanya
segelintir orang saja yang paham namun Rev. Sun lebih memilih
berbicara dan berdoa dalam bahasa Tionghoa.
Tahun 1996 PERGI kembali mengadakan pekan retreat.
Acara ini diikuti oleh ratusan peserta dari dua puluh dua gereja
Tionghoa di Indonesia. BP Sinode GKT mengirim sejumlah
utusan resmi: tiga dari Departemen Pekabaran Injil, seorang staf
kantor sinode dan dua anggota badan pengurus sinode.181 Tujuan
BP mengutus rombongan besar ini, seperti dilaporkan dalam
Sidang Sinode XVIII tahun 1997, adalah untuk “menambah
wawasan dan menimba pengalaman khususnya mengenai
pelayanan gereja-gereja yang berlatar belakang bahasa
Mandarin.”182 Yang menarik dari retreat kali ini adalah kehadiran
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dalam jumlah yang besar.
Selain keenam utusan resmi itu, turut hadir sejumlah besar
anggota jemaat-jemaat GKT dari Surabaya dan Malang. Mereka
datang dengan kemauan sendiri dan atas biaya sendiri.183 Selain
mereka juga hadir Ketua STT Aletheia waktu itu, yang diminta
oleh panitia untuk menyampaikan sebuah ceramah khusus yang
180 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 24, April 1995, 40. 181 Ketiga anggota departemen tersebut adalah Pdt. Iskandar
Santoso, Pdt. Teguh Isworo dan Ev. Joko Sukamto sementara dua anggota
pengurus sinode tersebut adalah Kurnia Wijaya Iman dan Markus
Alengkong. Staf kantor sinode sekaligus penulis laporan mengenai acara ini adalah Ev. Paulus Tjioe.
182 Notulen Sidang Sinode GKT Ke-17 dan Laporan Kerja 1995-1997, A-2. 183 Dari jemaat-jemaat GKT di Surabaya hadir 49 orang sementara
yang dari Malang hadir 16, dari total 25 orang peserta dari kota Malang.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 217 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
bertema, Tantangan Misi yang Dihadapi Gereja Mandarin di
Indonesia.184
Kuatnya suasana ketionghoaan kegiatan ini dilaporkan
demikian,
Kami merasakan suasana ketionghoaan cukup
menonjol karena banyak peserta yang berbicara
bahasa Mandarin meskipun banyak juga yang
berbahasa Indonesia. Mayoritas peserta memang
berkulit kuning, tetapi ada juga peserta suku-suku
non-Tionghoa, mereka mengikuti Retreat karena
melayani di gereja-gereja berlatar belakang
Tionghoa.185
Tidak lama kemudian, pada bulan Juli 1996, CCCOWE
mengadakan konggres pekabaran Injil yang kelima di Hong Kong.
Dengan tema “The Lord of History—The Light of the World”
konggres membahas berbagai isu yang muncul di kalangan gereja-
gereja Tionghoa di dunia. Di antaranya Christianity and Chinese
culture.186 Konggres yang dihadiri oleh 1700 peserta dari seluruh
dunia ini juga dihadiri oleh sejumlah orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT.187 Mereka berangkat atas inisiatif pribadi dan
biaya sendiri.
Puncak dari semua kisah hubungan dan kerja sama
dengan sesama orang Tionghoa Kristen selama periode penelitian
ini adalah dukungan yang diberikan orang-orang Tionghoa Kristen
di GKT kepada pendirian Pusat Pelayanan Gereja-gereja Injili
Indonesia (PPGII), yang didirikan oleh “CCCOWE distrik
Jakarta, Gerakan Penginjilan Era 2000, Pusat Pelayanan Musik
184 Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan No. 29, Desember 1996, 49. 185 Ibid. 186 Dalam http://www.lausanne.org/en/gatherings/event/44-the-
fifth-chinse-congress-on-world-evangelization-ccowe.html (diakses pada 30.7.2014).
187 Penuturan bp KS, Surabaya, 30 Januari 2011 dan Surat elekronik bp
KS, 31 Juli 2014.
218 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Gerejawi, Pusat Pelayanan Literatur Injil, dan Persekutuan
Gereja-Gereja Kristen Injil Jakarta tanggal 11 Nopember 1997.”188
Sejumlah nama orang-orang Tionghoa Kristen di GKT didapati
namanya dalam susunan kepengurusannya untuk wilayah Jawa
Tengah, Surabaya, Malang, Bali-NTB-NTT. Fakta ini berbeda
seratus delapan puluh derajat dari dukungan yang diberikan
kepada PGIW Jatim. Dalam kepengurusan PGIW Jatim Periode
1997-2002, hanya ada satu pekerja gerejawi GKT saja yang
terlibat. Yang lain, baik itu pekerja gerejawi maupun anggota
jemaat, sama sekali tidak ada.
Demikianlah, meski sejak akhir tahun 60-an sampai 90-an
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terlibat dalam kontak yang
sangat intensif dengan tokoh-tokoh gereja-gereja non-Tionghoa di
Indonesia melalui DGI/PGI, namun itu hanya berhenti di
kalangan elit gereja saja. Kalangan akar rumput GKT sama sekali
tidak ambil bagian. Sebaliknya, sampai akhir dekade 90-an, kontak
dan interaksi dengan sesama orang Tionghoa Kristen justru
tumbuh subur dan berkembang pesat. Para elit dan lebih-lebih
kalangan akar rumputnya terlibat sangat aktif membangun
hubungan dan jaringan kerja sama dengan grup-grup orang
Tionghoa Kristen lainnya. Mereka sibuk bertemu, bersekutu dan
bekerja sama dengan sesama orang Tionghoa Kristen dalam
wadah-wadah yang menjadikan bahasa dan budaya Tionghoa
sebagai komponen identitas sosial yang penting.
3. Penutup
Bagi orang-orang Tionghoa Kristen Tionghoa di GKT,
bahasa Tionghoa, karakteristik kelompok yang dominan orang
Tionghoa dan orientasi pelayanan kepada orang-orang Tionghoa
adalah penanda-penanda yang telah mendefinisikan dirinya sejak
awal. Arus deras kebijakan asimilasi yang coba menghapus itu
188 Dalam http://pgti.co.id/page/12/sejarah (diakses pada
29.7.2014). Terpilih sebagai Sekretaris Jenderal PPGII yang pertama adalah
Pdt. Daniel Cahyadi. Ia adalah mantan pekerja gerejawi GKT di Jemaat Hosana, Surabaya dan Jemaat III, Malang.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 219 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
semua dengan segala daya dikendalikan sedemikian rupa supaya
komponen-komponen identitasnya tetap lestari. Tekanan untuk
membaur-melebur ke dalam masyarakat dan budaya setempat
diatasi dengan memanfaatkan ruang-ruang yang tersedia di gereja,
sekolah teologi dan sekolah umum serta badan-badan pelayanan
orang Tionghoa Kristen. Di dalamnya, elemen-elemen
identitasnya dirawat agar tidak punah ditelan oleh asimilasi.
Di tiap level interaksinya dengan negara, orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT punya strategi sendiri dalam
menegosiasikan identitasnya. Kehadiran orang-orang non-
Tionghoa di tengah-tengahnya “dimainkan” dengan cara yang
cerdik. Di satu pihak mereka diperlihatkan sebagai bukti bahwa
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT bukan lagi kelompok yang
seklusif dan eksklusif. Di pihak lain lokasi kehadiran mereka
dinavigasi sedemikian rupa supaya ketionghoaan kelompok masih
tetap dapat dikenali.
Bab selanjutnya merupakan upaya interpretatif terhadap
perilaku orang-orang Tionghoa Kristen di GKT yang disajikan
dalam bab ini. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Apakah ini
merupakan bagian dari proses peranakanisasi seperti yang
dipikirkan Suryadinata tentang orang-orang Tionghoa totok? Apa
dan bagaimanakah peran yang dimainkan oleh agama bagi orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT dalam relasi mereka dengan
negara? Apakah agama, seperti diteorikan selama ini, memainkan
peran positif dalam asimilasi orang-orang Tionghoa? Atau, adakah
peran lain yang ditampilkan oleh agama dari hasil-hasil penelitian
ini? Pertanyaan-pertanyaan ini dan yang terkait dengan itu akan
coba digumuli dalam bab berikut.
220 | BAB IV MENGHADAPI KEBIJAKAN ASIMILASI PEMERINTAH ORDE BARU
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 221 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Top Related