BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan manusia merupakan perubahan yang progresif dan berlangsung terus
menerus atau berkelanjutan. Keberhasilan dalam mencapai suatu tahap perkembangan akan
sangat menentukan keberhasilan dalam tahap perkembangan berikutnya. Sedangkan, apabila
ditemukan adanya satu proses perkembangan yang terhambat, terganggu, atau bahkan
terpenggal, dan kemudian dibiarkan maka untuk selanjutnya sulit mencapai perkembangan
yang optimal.
Tidak setiap anak mengalami perkembangan normal. Banyak di antara mereka yang
dalam perkembangannya mengalami hambatan, gangguan, kelambatan, atau memiliki factor-
faktor resiko sehingga untuk mencapai perkembangan optimal diperlukan penanganan atau
intervensi khusus. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai anak berkebutuhan
khusus.
Uraian di atas, mengisyaratkan bahwa secara konseptual anak berkebutuhan khusus
(children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan
dengan konsep anak luar biasa, cacat, atau berkelainan (exceptional children). Anak
berkebutuhan khusus tidak hanya mencakup anak yang memiliki kebutuhan khusus yang
bersifat permanen akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat), tetapi juga anak
berkebutuhan khusus yang bersifat temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer juga biasa
disebut dengan anak dengan factor resiko, yaitu yaitu individu-individu yang memiliki atau
dapat memiliki prolem dalam perkembangannya yang dapat berpengaruh terhadap
kemampuan belajar selanjutnya, atau memiliki kerawanan atau kerentanan atau resiko tinggi
terhadap munculnya hambatan atau gangguan dalam belajar atau perkembangan selanjutnya.
Bahkan, dipercayai bahwa anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer apabila tidak
mendapatkan intervensi secara tepat sesuai kebutuhan khususnya, dapat berkembang menjadi
permanen.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Anak dengan kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara simpel
sebagai anak yang lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang tidak akan
pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti
disability, impairment, dan handicaped. Menurut World Health Organization (WHO),
definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut:
1. Impairment: merupakan suatu keadaan atau kondisi di mana individu mengalami
kehilangan atau abnormalitas psikologis, fisiologis atau fungsi struktur anatomis
secara umum pada tingkat organ tubuh. Contoh seseorang yang mengalami amputasi
satu kakinya, maka dia mengalami kecacatan kaki.
2. Disability: merupakan suatu keadaan di mana individu mengalami kekurangmampuan
yang dimungkinkan karena adanya keadaan impairment seperti kecacatan pada organ
tubuh. Contoh pada orang yang cacat kakinya, maka dia akan merasakan
berkurangnya fungsi kaki untuk melakukan mobilitas.
3. Handicaped: merupakan ketidak beruntungan individu yang dihasilkan dari
impairment atau disability yang membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang
normal pada individu. Handicaped juga bisa diartikan suatu keadaan di mana
individu mengalami ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan
lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena adanya kelainan dan berkurangnya fungsi
organ individu. Contoh orang yang mengalami amputasi kaki sehingga untuk aktivitas
mobilitas atau berinteraksi dengan lingkungannya dia memerlukan kursi roda.
Termasuk anak-anak berkebutuhan khusus yang sifatnya temporer di antaranya adalah
anak-anak penyandang post traumatic syndrome disorder (PTSD) akibat bencana alam,
perang, atau kerusuhan, anak-anak yang kurang gizi, lahir prematur, anak yang lahir dari
keluarga miskin, anak-anak yang mengalami depresi karena perlakukan kasar, anak-anak
korban kekerasan, anak yang kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar,
anak yang tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak berpenyakit kronis,
dan sebagainya.
Menurut Heward anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan
mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak
dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar
biasa dan anak cacat.
2.2 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
Membicarakan anak-anak berkebutuhan khusus, sesungguhnya banyak sekali variasi
dan derajat kelainan. Ini mencakup anak-anak yang mengalami kelainan fisik, mental
intelektual, sosial emosional, maupun masalah akademik.
1. Anak Retardasi Mental
Kelompok anak yang mengalami keterbelakangan mental atau disebut juga retardasi
mental di definisikan sebagai kelompok anak yang memiliki fungsi intelektual umum
dibawah rata-rata secara signifikan yang berkaitan dengan gangguan dalam penyesuaian
prilaku yang terwujud atau terjadi selama periode perkembangan (Grossman, in press, 1987).
Fungsi intelektual umum yang dimiliki oleh anak yang mengalami retardasi mental dapat
diukur dari rata-rata tes inteligensi yang diadministrasi secara individual. Pedoman dari
American Association Mental Deficiency (AAMD)dapat digunakan sebagai garis pedoman
bagi posisi seseorang yang tidak termasuk retardasi mental, kecuali juka seorang anak
memiliki skor tes inteligensi sebesar 70 atau dibawah 70 baru dianggap sebagai redartasi
mental.
Disisi lain, ada pedoman yang menetapkan skor tes inteligensi sebesar 75 sebagai
retardasi mental, terutama dalam setting sekolah. Sedangkan ukuran penyesuaian perilaku
ialah berkenaan dengan bagaimana seseorang dapat beradaptasi terhadap tuntutan
lingkungan, dan periode perkembangan terjadinya retardasi mental pada diri anak menurut
AAMD, yaitu antara konsepsi (sejak terjadinya pertemuan sel jantan dan sel betina/sel telur)
dan sembilan belas hari kelahiran.
Anak dengan kelainan kecerdasan di bawah rata – rata sering disebut juga dengan
istilah tunagrahita. Klasifikasi tunagrahita yang dikemukakan oleh AAMD (Halaman,
1982:43) sebagai berikut:
a. Mild mental retardation (tunagrahita IQ-nya 70 – 55 ringan)
b. Moderate mental retardation (tunagrahita IQ-nya 55 – 40 sedang)
c. Severe mental retardation (tunagrahita IQ-nya 40 – 25 berat)
d. Profound mental retardation (tunagrahita IQ-nya 25 ke bawah) (sangat berat).
Pengelompokkan tunagrahita berdasarkan kelainan jasmani (tipe klinis) :
a. Down Syndrome (Mongoloid)
Anak down syndrom sangat mudah dikenali lewat bentuk wajahnya (seperti orang
mongol yaitu mata sipit dan miring, lidah tebal suka menjulur keluar, telinga kecil, kulit
kasar, susunan gigi kurang baik.). Tapi beberapa diantaranya tidak memperlihatkan bentuk
muka down syndrom (layaknya anak normal). Mereka biasanya sangat pendiam, sering
bermasalah dengan koordinasi otot-otot mulut tangan dan kaki sehingga sering mengalami
terlambat berbicara dan berjalan. Kemampuan inteligensinya dibawah rata-rata normal
menyebabkan mereka sulit mengikuti tugas-tugas perkembangan anak normal, baik dalam
aspek akademis, emosi dan bersosialisasi. Tak jarang behavioralnya juga memperlihatkan
perilaku yang tidak adaptif (sering mencari perhatian yang berlebihan, memperihatkan sikap
keras kepala yang berlebihan (shut off/berlagak seperti patung) dan kekanak-kanakan.
b. Kretin (Cebol)
Anak ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan pendek, kaki dan tangan pendek
dan bengkok, kulit kering, tebal dan keriput, rambut kering, lidah dan bibir, kelopak mata,
telapak tangan dan kaki tebal, pertumbuhan gigi lambat.
c. Hydrocephal
Anak ini memiliki ciri -ciri kepala besar, raut muka kecil, pandangan dan pendengaran tidak
sempurna, mata kadang-kadang juling.
d. Microcephal
Anak ini memiliki ukuran kepala yang kecil.
e. Macrocephal
Anak ini memiliki ukuran kepala yang besar dari ukuran normal.
Anak yang mengalami keterbelakangan mental tidak dapat menjalankan fungsinya
secara normal dalam masyarakat, karena kelemahan mental atau pembentukan mental yang
tidak utuh. Keterbelakangan mental merupakan akibat dari luka atau penyakit di otak yang
terjadi sebelum, selama, atau setelah kelahiran. Anak-anak yang mengalami keterbelakangan
mental terdiri atas berbagai tingkatan, dari yang ringan hingga yang paling berat.
Cara menolong:
a. Anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental belajar dengan cara yang sama
dengan anak-anak normal lainnya -- melalui pancaindra, dengan keterlibatan yang
aktif, dengan kasih, dan perhatian yang cukup besar, serta melalui disiplin yang
konsisten.
b. Anak-anak ini biasanya memiliki rentang perhatian yang singkat. Oleh sebab itu,
berikan kesempatan kepada mereka untuk lebih sering berbicara atau berbagi.
c. Sebagian besar anak-anak yang memiliki kelemahan mental masih bisa mendengar
dan menanggapi Injil. Bagikan ayat-ayat dalam Alkitab dengan cermat dan dengan
perasaan. Beri kesempatan pada anak untuk bertanya, berpikir, dan menanggapi
sebisa mungkin sesuai dengan kemampuan mereka. Ingatlah bahwa anak akan
merespons Juru Selamat sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.
d. Gunakan cerita, bermain peran/drama (role play), boneka/wayang, musik, kegiatan
belajar Alkitab, dan permainan-permainan untuk memberikan pelajaran.
Selain cara-cara tersebut, terdapat beberapa pendekatakan yang dapat dilakukan untuk
menolong anak yang mengalami retardasi mental adalah, sebagai berikut :
Pendekatan Medis : Penggunaan Ritalin efektif untuk mengurangi perilaku antisosial
pada anak-anak dan remaja yang mengalami gangguan tingkah laku.
Pendekatan Behavioral: Pendekatan ini mendasarkan pada prosedur operant
conditioning. Misalnya, Program penanganan residential, yang menetapkan aturan
dengan jelas terhadap anak-anak. Mereka akan diberikan reward untuk perilaku yang
tepat dan hukuman untuk perilaku yang tidak tepat.
Pendekatan Kognitif-Behavioral : Penanganan anak dengan gangguan tingkah laku
dilakukan dengan Terapi Kognitif Behavioral, yaitu melatih anak dengan gangguan
tingkah laku untuk berpikir bahwa konflik sosial adalah masalah yang dapat diselesaikan
dan bukan merupakan tantangan terhadap kejantanan mereka, yang harus dibuktikan
dengan kekerasan. Anak-anak ini dilatih menggunakan keterampilan calming self talk,
yaitu teknik untuk berpikir & berbicara kepada diri sendiri, tujuannya adalah
menghambat perilaku impulsif, mengendalikan kemarahan, dan mencoba solusi yang
tidak mengandung kekerasan dalam menghadapi konflik sosial.
Pendekatan Keluarga-Lingkungan (Family ecological approach): Pendekatan ini
dikembangkan oleh Hanggeler, yang didasarkan pada teori ekologis dari Urie
Bronfenbrenner. Pendekatan ini meyakini bahwa anak berada dalam berbagai sistem
sosial (keluarga, sekolah, hukum, komunitas, dll). Ia menekankan bahwa
anak-anak/remaja yang melanggar peraturan itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
sistem sosial yang berinteraksi dengan mereka. Teknik yang digunakan adalah berusaha
mengubah hubungan anak dengan berbagai sistem, untuk menghentikan perilaku dan
interaksi yang mengganggu.
2. Anak dengan Kecacatan Fisik
a. Anak dengan Gangguan Penglihatan (Tunanetra)
Secara umum tunanetra dikelompokkan menjadi buta dan kurang lihat. Sebagian ahli
mengelompokkannya menjadi kurang lihat (low vision), buta (blind), dan buta total (totally
blind). Anak yang memiliki kerusakan ringan pada penglihatannya (seperti myopia dan
hypermetropia ringan) masih dapat dikoreksi dengan bantuan kacamata dan bisa mengikuti
pendidikan seperti anak lainnya, sehingga tidak dikelompokkan pada tunanetra.
Ketunanetraan dapat diklasifikasikan berdasarkan 3 hal, yaitu tingkat ketajaman
penglihatan,saat terjadinya ketunanetraan serta adaptasi pendidikannya.
a) Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m atau 20/70 feet-20/200 feet
disebut tunanetra kurang lihat (low vision). Pada taraf ini para penderita masih mampu
melihat dengan bantuan alat khusus.
Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60m atau 2/200 feet atau kurang,
dikatakan tunanetra berat atau secara umum dapat dikatakan buta (blind). Kelompok ini
masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi tunanetra yang masih dapat melihat gerakan
tangan dan tunanetra yang hanya dapat membedakan terang dan gelap.
Tunanetra yang memiliki visus 0. Pada taraf yang terakhir ini, anak sudah tidak mampu
lagi melihat rangsangan cahaya atau dapat dikatakan tidak dapat melihat apapun dan
disebut buta total.
b) Berdasarkan Saat Terjadinya Ketunanetraan
Tunanetra sebelum dan sejak lahir
Kelompok ini masih belum mempunyai konsep penglihatan. Oleh karena itu, peran
orang tua sangat besar untuk melatih penggunaan indra-indra yang masih dimilikinya.
Tunanetra batita (di bawah 3 tahun)
Konsep penglihatan yang telah dimiliki lama kelamaan akan hilang sehingga kesan-
kesan visual atau konsep-konsep tentang benda atau lingkungan yang dimilikinya tidak
terlalu bermanfaat bagi kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, orang-orang di sekitarnya
perlu membantu mengulang kembali segala sesuatu yang telah dimengerti anak, saat ia masih
dapat melihat.
Tunanetra balita (3-5 tahun)
Konsep penglihatan akan tetap terbentuk dengan cukup berarti sehingga akan menjadi
bahan pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah pendidikannya. Peran orang tua dan
guru TK sangat besar artinya dalam membina dan mengarahkan konsep yang telah dimiliki.
Tunanetra pada usia sekolah (6-12 tahun)
Konsep penglihatan telah terbentuk dan mempunyai kesan-kesan visual yang banyak
dan bermanfaat bagi perkembangan pendidikannya. Namun demikian, mereka harus tetap
mendapat perhatian khusus dari orang tua dan gurunya dalam menempuh pendidikannya
karena mereka cenderung mengalami guncangan jiwa. Oleh karena itu, tugas para guru
adalah menyadarkan mereka agar mau menerima kenyatan sehingga anak dapat berkembang
dan menambah pengalamannya dalam ketunanetraannya.
Tunanetra remaja (13-19 tahun)
Anak remaja sudah memiliki kesan-kesan visual yang sangat mendalam. Kesan ini
akan bermanfaat dalam mendukung perkembangan kehidupan selanjutnya. Namun,
ketunanetraan pada usia remaja dapat menimbulkan guncangan jiwa yang sangat berat karena
terjadi konflik batin dan jasmani.
Tunanetra dewasa (19 tahun ke atas)
Pada umumnya di usia dewasa ini mereka sudah memiliki keterampilan dan
kemungkinan pekerjaan yang diharapkan untuk kelangsungan hidupnya dan keluarganya.
Ketunanetraan yang dialaminya menjadi pukulan yang sangat berat dan menimbulkan
guncangan jiwa atau putus asa. Oleh karena itu, mereka hendaknya mendapatkan layanan dan
bimbingan baik secara jasmani, maupun rohani secara khusus.
c) Berdasarkan Adaptasi Pendidikan
Klasifikasi ini berdasarkan ketajaman penglihatan. Klasifikasi ini dikemukakan oleh
Kirk (1989: 348-349), yaitu sebagai berikut :
Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability)
Pada taraf ini, mereka dapat melakukan tugas – tugas visual yang dilakukan oleh
orang awas dengan menggunakan alat bantu khusus dan dibantu dengan pemberian cahaya
yang cukup.
Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability)
Pada taraf ini, mereka memiliki kemampuan penglihatan yang kurang baik atau
kurang akurat meskipun dengan menggunakan alat bantu visual dan modifikasi sehingga
mereka membutuhkan lebih banyak waktu dan energi dalam melakukan tugas- tugas visual.
Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability)
Pada taraf ini, mereka mendapat kesulitan untuk melakukan tugas-tugas visual yang
lebih detail, seperti membaca dan menulis huruf awas. Dengan demikian, mereka tidak dapat
menggunakan penglihatannnya sebagai alat pendidikan sehingga indra peraba dan
pendengaran memegang peranan pentimg dalam menempuh pendidikannya.
Cara menolong:
a. Dalam mengajar anak-anak yang memiliki kelemahan pada penglihatan, pusatkan
pengajaran dengan menggunakan indra yang lain -- penciuman, rasa, sentuhan, dan
pendengaran.
b. Berikan penjelasan yang jelas dan singkat. Ingatlah tentang rentang kemampuan
perhatian anak.
c. Sediakan Braille atau Alkitab audio, dan bahan-bahan lainnya.
d. Gunakan metode mengajar yang bervariasi, termasuk musik, dalam mengajarkan
firman Tuhan. Berikan dorongan semangat kepada anak-anak tunanetra untuk ikut
ambil bagian dalam berbagai aktivitas dan berikan kemudahan kepada mereka.
b. Anak dengan Gangguan Pendengaran dan / Wicara (Tunarungu)
Anak dengan gangguan pendengaran sering disebut tunarungu. Istilah tunarungu
dirasa lebih halus daripada tuli. Klasifikasi tunarungu:
a) Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Tunarungu ringan (mild hearing loss) antara 27-40 dB.
Siswa yang mengalami kondisi ini sulit mendengar suara yang jauh sehingga
membutuhkan tempat duduk yang strategis.
Tunarungu sedang (moderate hearing loss) antara 41-55 dB.
Ia dapat mengerti percakapan dari jarak 3-5 feet secara berhadapan (face to face),
tetapi tidak dapat mengikuti diskusi kelas. Ia membutuhkan alat bantu dengar serta terapi
bicara.
Tunarungu agak berat (moderately severe hearing loss) antara 56-70dB.
Ia hanya dapat mendengar suara dari jarak dekat sehingga ia perlu menggunakan
hearing aid.
Tunarungu berat (severe hearing loss) antara 71-90dB.
Ia hanya dapat mendengar suara – suara yang keras dari jarak dekat. Siswa tersebut
membutuhkan pendidikan khusus secara intensif, alat bantu dengar, serta latihan untuk
mengembangkan kemampuan bicara dan bahasanya.
Tunarungu berat sekali (profound hearing loss)
Pada kondisi ini mengalami kehilangan pendengaran lebih dari 90dB. Mungkin ia
masih mendengar suara yang keras, tetapi ia lebih menyadari suara melalui getarannya
(vibrations) daripada pola suara.
b) Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan:
Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang
terjadi sebelum kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
Ketunarunguan pascabahasa (post lingual deafness), yaitu kehilangan pendengaran yang
terjadi beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.
c) Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis, ketunarunguan dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Tunarungu tipe konduktif, yaitu kehilangan pendengaran yang disebabkan oleh
terjadinay kerusakan pada telinga bagian luar dan tengah yang berfungsi sebagai alat
konduksi atau pengantar getaran suara menuju telinga bagian dalam.
Tunarungu tipe sensorineural, yaitu tunarungu yang disebabkan oelh terjadinya
kerusakan pada telinga dalam serta saraf pendengaran (nervus chochlearis).
Tunarungu tipe campuran yang merupakan gabungan antara tipe konduktif dan
sensorineural, artinya kerusakan terjadi pada telinga luar / tengah dengan telinga
dalam/saraf pendengaran.
d) Berdasarkan etiologi atau asal usulnya, ketunarunguan dibagi menjadi :
Tunarungu endogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor genetik (keturunan).
Tunarungu eksogen, yaitu tunarungu yang disebabkan oleh faktor nongenetik (bukan
keturunan).
Cara menolong:
a. Redakan frustrasi. Jangan memberikan penolakan kepada anak yang sulit mendengar
dan sebisa mungkin libatkan anak dalam semua kegiatan.
b. Biarkan anak-anak yang memiliki kelemahan ini menggunakan berbagai cara
berkomunikasi -- berbicara, alat bantu dengar, gerakan tubuh, tanda-tanda, bahasa
isyarat, pantomim, membaca gerak bibir, tulisan, dan gambar.
c. Pelajarilah ungkapan-ungkapan umum dalam bahasa isyarat yang bisa digunakan
untuk berkomunikasi dengan mereka.
d. Berhati-hatilah dalam memperlakukan anak yang tergantung pada bahasa gerak bibir.
Berbicaralah dengan kecepatan dan volume yang normal. Jangan berteriak karena ini
mengubah bentuk bibir Anda.
c. Anak dengan gangguan anggota gerak (tunadaksa)
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada
anggota gerak (tulang, sendi, otot). Pengertian anak Tunadaksa bisa dilihat dari segi fungsi
fisiknya dan dari segi anatominya. Dari segi fungsi fisik, tunadaksa diartikan sebagai
seseorang yang fisik dan kesehatanya terganggu sehingga mengalami kelainan di dalam
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ciri-ciri anak tunadaksa dapat dilukiskan sebagai
berikut:
Jari tangan kaku dan tidak dapat mengenggam.
Ada bagian anggota gerak yang tidak sempurna/lebih kecil dari biasa.
Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur, bergetar)
Terdapat cacat pada anggota gerak
Anggota gerak layu, kaku, lemah/lumpuh.
Anak tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Cerebral Palsy (CP) adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun
waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di dalam susunan saraf pusat
dan bersifat kronik.
Ringan, dapat berjalan tanpa alat bantu, mampu berbicara dan dapat menolong dirinya
sendiri.
Sedang, memerlukan bantuan untuk berjalan, latihan berbicara, dan mengurus dirinya
sendiri.
Berat, memerlukan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan menolong diri
sendiri.
2) Berdasarkan letaknya
Spastic, kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya. Ciri-cirinya terdapat kekakuan
pada sebagian atau seluruh ototnya hal ini disebabkan oleh kondisi anak yang
mengalami spasticity terjadi karena lapisan luar otak (khususnya lapisan motor)
bidang piramida dan beberapa kemungkinan bidang ekstra piramida yang
berhubungan dengan pengontrolan gerakan sadar tidak berfungsi sempurna. Daerah
tertentu pada otak dapat menimbulkan gerakan tertentu, kontraksi, atau rangsangan.
Faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut disebut supresor. Apabila ada
salah satu supresor ini masuk, maka akan terjadi suatu desakan, akibatnya otot akan
berada dalam kondisi tegang dan kejang.
Dyskenisia, gerakannya tak terkontrol (athetosis), serta terjadinya kekakuan pada
seluruh tubuh yang sulit digerakkan (rigid). Penyebab athetosis yaitu luka pada sistem
ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun tengah. Ekstra piramida
menjembatani antara kegiatan otot dan kontrol gerak secara otomatis seperti berjalan
dan ekspresi wajah. Anak yang menderita athetosis tampak susah payah untuk
berjalan, menggeliat-geliat, dan terhuyung-huyung (sempoyongan). Gerakannya tidak
berirama dan tidak mengikuti urutan yang wajar sehingga perilakunya sering tidak
terkontrol. Beberapa dari mereka begerak dengan cara tidak wajar atau aneh.
Meskipun penderita athetosis mampu meletakkan tangan pada mulutnya, namun
ketika melakukan gerakan ini tampak berbagai bentuk gerakan yang tidak terkontrol
dan ekstrem.
Ataxia, gangguan keseimbangan, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi, dan
cara berjalannya gontai. Kondisi ataxia disebabkan oleh luka pada otak kecil yang
terletak di bagian belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol
keseimbangan dan koordinasi pada kerja otot. Anak yang menderita ataxia
gerakannya tidak teratur, berjalan dengan langkah yang tinggi dan dengan mudah
menjatuhkannya. Terkadang matanya tidak terkoordinasi, gerakannya seperti
tersentak-sentak (nygtamus). Penderita ataxia tidak terdeteksi ketika dilahirkan,
namun ketika masa meraban dan berjalan kondisi ini tampak jelas. Ataxia ada
beberapa tingkatan mulai dari yang ringan sampai yang sangat berat tergantung
perluasan luka pada cerebellum.
Campuran. Pada kasus-kasus tertentu terdapat penderita yang kondisinya
menunjukkan perpaduan di antara jenis-jenis cerebral palsy. Contohnya penderita
cerebral palsy yang diidentifikasikan dalam ciri spasticity tampak pula ciri athetosis
dan ataxia, atau spasticity dengan tremor atau rigidity, atau bentuk kombinasi yang
lain.
3) Poliomyelitis
Poliomyelitis merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan
oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan bersifat menetap. Dilihat dari sel-sel
motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dibedakan menjadi sebagai berikut.
Tipe spinal yaitu kelumpuhan pada otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
Tipe bulbair yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan
ditandai adanya gangguan pernafasan
Tipe bulbispinalis yaitu gabungan antara tipe spinal dan bulbair
Encephalitis yang biasa disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-
kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio bersifat layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan
kecerdasan atau alat indra. Akibat yang disebabkan oleh penyakit ini adalah otot menjadi
kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan
anggota gerak, tulang belakang melengkung kesalah satu sisi seperti huruf S (Scoliosis),
kelainan telapak kaki yang membengkok keluar atau kedalam,dislokasi (sendi yang ke luar
dari dudukannya), lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).
4) Spinabifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu
tiga ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan.
Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan.
Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan.
3. Anak Berbakat
Anak berbakat ialah anak yang memiliki bakat yang istimewa di bidang intelektual ,
seni, olah raga, dan keterampilan tertentu. Istilah anak berbakat mengacu kepada tiga istilah
yang umum di gunakan oleh masyarakat pendidikan, yaitu anak jenius, gifted, dan telented.
a) Cerdas istimewa (gifted IQ 140-179 and genius IQ 180 ke atas) anak dengan IQ di atas
rata-rata.
Gifted, yang termasuk dalam golongan ini yaitu mereka yang tidak jenius, tetapi
menonjol dan terkenal. Anak cerdas istimewa memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Membaca pada usia lebih muda, lebih cepat, dan memiliki perbendaharaan kata yang
luas.
Memiliki rasa ingin tahu yang kuat, minat yang cukup tinggi.
Berinisiatif, kreatif, dan original dalam menunjukkan gagasan.
Mampu memberikan jawaban-jawaban atau alasan yang logisi, sistematis dan kritis.
Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang panjang, terutama terhadap tugas atau
bidang yang diminati.
Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi.
Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah.
Genius, pada kelompok ini bakat dan keistimewaannya telah tampak sejak kecil.
Misalnya, umur 2 tahun mulai belajar membaca dan pada umur empat tahun belajar bahasa
asing. Kelompok ini mempunyai kecerdasan yang sangat luar biasa. Walaupun tidak sekolah,
mereka mampu menemukan dan memecahkan masalah. Jumlahnya sangat sedikit, namun
terdapat semua ras dan bangsa, semua jenis kelamin, serta dalam semua tingkatan ekonomi.
Contoh orang yang jenius, antara lain: John Stuart Mill (IQ 200), Francis Galton (IQ 200),
dan Goethe (IQ 185).
Anak genius memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Punya kemampuan bernalar yang bagus.
Bisa belajar dengan cepat.
Punya perbendaharan kata yang luas.
Punya kemampuan mengingat yang bagus.
Bisa konsentrasi lama pada hal-hal yang menarik bagi dirinya.
Sensitif perasaannya dan mudah merasa “tertusuk”.
Cepat menunjukkan rasa peduli.
Perfeksionis dan intensif.
b) Bakat istimewa (talented) anak dengan bakat khusus (akademik atau non akademik.
Anak yang memiliki potensi kecerdasan istimewa (gifted) dan anak yang memiliki
bakat istimewa (talented) adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi),
kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak
seusianya (anak normal), sehingga untuk mengoptimalkan potensinya, diperlukan pelayanan
pendidikan khusus. Anak cerdas dan berbakat istimewa disebut sebagai ”gifted & talented
children”.
Bakat khusus akademik yaitu bakat yang sejak awal sudah ada yang berkaitan dengan
intelektual, seperti bakat dalam mata pelajaran matematika, bakat bidang bahasa dan bakat
ilmu. Bakat khusus non akademik yaitu bakat yang sejak awak sudah ada dan terarah pada
suatu lapangan yang terbatas, seperti bakat musik, bakat melukis, dan bakat seni.
Selain anak berbakat yang telah disebutkan diatas, terdapat anak yang termasuk
kategori berbakat yaitu:
Indigo Children
Anak-anak Indigo dilahirkan dengan kelebihan diluar nalar manusia. Beberapa bisa
berkomunikasi dengan mahluk gaib, lainnya memiliki kemampuan intuisi yang kuat,
terkadang mampu memprediksi sesuatu sebelum terjadi, meramalkan sesuatu yang bersifat
futuristik yang mungkin beberapa waktu (tahun/abad) baru diketahui orang normal.
perkembangan anak-anak ini sulit dinalar orang tua, karena biasanya mereka mengalami
pengalaman berupa penglihatan, pendengaran atau pengetahuan yang hanya akan dianggap
khayalan, halusinasi atau sesuatu yang dianggap hanya karangan oleh orang tua mereka
sendiri. Banyak aak-anak indigo yang berakhir di rumah sakit jiwa atau psikiater mental
karena ketidak mengertian orang tua, apalagi di daerah yang penduduknya kurang percaya
hal-hal diluar nalar.
Selain yang telah disebutkan diatas terdapat beberapa tipe anak yang dikategorikan
sebagai anak berkebutuhan khusus, yaitu :
1. Anak Lamban Belajar (slow learner)
Anak lamban belajar adalah anak yang mengalami hambatan atau keterlambatan
dalam perkembangan mental (fungsi intelektual di bawah teman-teman seusianya) disertai
ketidakmampuan untuk belajar dan menyesuaikan diri, sehingga memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Masalah-masalah yang mungkin bisa jadi penyebab anak lamban belajar
antara lain karena masalah tingkat konsentrasinya yang rendah, daya ingat yang lemah,
kognisi, serta masalah sosial dan emosional.
a. Karakteristik Anak Yang Lamban Belajar
Rata-rata prestasi belajarnya kurang dari 6
Dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman
seusianya
Daya tangkap terhadap pelajaran lambat
Pernah tidak naik kelas.
b. Bimbingan Terhadap Siswa Yang Lambat Belajar
Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh seorang guru dalam melakukan bimbingan
terhadap siswa yang lambat belajar antara lain:
Bimbingan bagi anak dengan masalah konsentrasi
Ubahlah cara mengajar dan jumlah materi yang akan diajarkan. Siswa yang mengalami
masalah perhatian dapat ketinggalan jika materi yang diberikan terlalu cepat. Oleh
karena itu, akan berguna bagi mereka untuk memperlambat laju pembelajaran,
melibatkan siswa dengan memberi pertanyaan, dan gunakan media dalam pembelajaran
untuk lebih membantu siswa berkonsentrasi belajar.
Adakan pertemuan dengan siswa. Dalam pertemuan ini seorang guru memberikan
penjelasan dengan cara yang tanpa memberikan hukuman dan tanpa ancaman akan
sangat berguna bagi siswa.
Bimbing siswa lebih dekat ke proses pengajaran. Dengan cara membawa mereka dekat
dengan kita sebagai guru secara fisik dan harfiah akan membawa si anak lebih dekat
kepada proses pengajaran.
Berikan dorongan secara langsung dan berulang-ulang, seperti dengan memberikan
penghargaan atas kehadirannya.
Utamakan ketekunan perhatian daripada kecepatan menyelesaikan tugas. Siswa
mungkin merasa kecil hati dan tidak diperhatikan bila mereka dihukum karena terlambat
menyelesaikan dibanding temannya. Guru haruslah membuat penyesuaian dalam jumlah
tugas maupun waktu yang disediakan untuk menyelesaikan tugas berdasar kemampuan
masing-masing individu.
Ajarkan self-monitoring of attention. Melatih siswa untuk memonitor perhatian mereka
sendiri sewaktu-waktu dengan menggunakan timer. Hal ini akan membantu menciptakan
perhatian yang lebih besar bagi kebutuhan dalam memfokuskan perhatian juga bisa
berguna dalam strategi untuk memperkokoh keterampilan memperhatikan.
Bimbingan bagi anak dengan masalah daya ingat.
Ajarkan menggaris bawahi dengan penanda, untuk membantu memancing ingatan. Guru
harus memberi tahu siswa cara memilih kalimat dan istilah kunci untuk diberi garis
bawah.
Perbolehkan menggunakan alat bantu memori. Karena alat-alat itu bisa berfungsi bagi
mereka sebagai alat pengingat dan bisa jadi juga sebagai alat pengajaran.
Biarkan siswa yang mengalami masalah sulit mengingat untuk mengambil tahapan yang
lebih kecil dalam pengajaran. Misalnya dengan membagi tugas kelas dan rumah atau
dengan memberikan tes kemampuan penguasaan lebih sering.
Ajarkan siswa untuk berlatih mengulang dan mengingat. Misalnya dengan memberikan
tes langsung setelah pelajaran disampaikan.
Bimbingan bagi anak dengan masalah kognisi.
Berikan materi yang dipelajari dalam konteks “high meaning”. Ini berguna untuk untuk
mengetahui apakah siswa memahami arti bacaan suatu pertanyaan mengenai materi baru.
Menunda ujian akhir dan penilaian. Bagi sebagian siswa, menunda ujian akhir mereka
sampai siswa menguasai sepenuhnya materi yang dipelajari, mungkin merupakan cara
terbaik.
Tempatkan siswa dalam konteks pembelajaran yang “tidak pernah gagal”. Siswa
biasanya memiliki perasaan akan gagal berbagai hal yang mereka lakukan. Memutuskan
rantai kegagalan dan menciptakan kepercayaan diri bagi siswa ini merupakan sesuatu
yang paling penting bagi guru untuk melakukannya.
Bimbingan bagi anak dengan masalah social dan emosional
Buatlah sistem perhargaan kelas yang dapat diterima dan dapat diakses. Siswa
berkesulitan belajar perlu memahami sistem penghargaan dikelas dan merasa ikut serta
di dalamnya. Jangan sampai mereka merasa tidak memilki kesempatan untuk
mendapatkan penghargaan yang diterima siswa lain.
Membentuk kesadaran tentang diri dan orang lain. Membantu siswa menjadi lebih
mengenal sikap mereka dan dampaknya pada orang lain merupakan kesempatan yang
berarti bagi perkembangan sosial dan emosional.
Mengajarkan sikap positif. Ketika siswa berkesulitan belajar menjadi lebih sadar
terhadap sikapnya dan mendapat pemahaman yang lebih baik atas interaksi dengan orang
lain, mereka akan merespon dengan baik intruksi-intruksi tentang cara membentuk
hubungan yang baik dan lebih positif.
Minta bantuan. Cari bantuan pada teman sejawat disekolah yang mungkin dapat
memberikan bantuan.
2. Anak Autisme
Autisme adalah gangguan yang parah pada kemampuan komunikasi yang
berkepanjangan yang tampak pada usia tiga tahun pertama, ketidakmampuan berkomunikasi
ini diduga mengakibatkan anak penyandang autis menyendiri dan tidak ada respon terhadap
orang lain (Sarwindah, 2002). Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala
psikosis pada anak-anak yang unik dan menonjol yang sering disebut Sindrom Kanner. Ciri
yang menonjol pada sindrom Kanner antara lain ekspresi wajah yang kosong seolah-olah
sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik perhatian
mereka atau mengajak mereka berkomunikasi. Gejala-gejala anak autis tampak sejak lahir,
biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Berikut beberapa gejala-gejala anak autis:
a. Tidak bermain dengan teman sebaya dengan cara yang sesuai
b. Terlambat bicara/tak bisa bicara tanpa kompensasi penggunaan isyarat
c. Penggunaan bahasa yang berulang
d. Minat yang terbatas dan abnormal dalam intensitas dan fokus
e. Sensitifitas berlebihan /kurang sensitif
f. Terdapat bakat-bakat dibidang membaca, aritmatika, menggambar, mengeja, olahraga,
komputer
3. Anak Dengan Kesulitan Belajar Spesifik (specific learning disability)
Kesulitan belajar spesifik meupakan kelainan sistem saraf yang dialami oleh
seseorang yang mengakibatkan pola pertumbuhan yang tidak seimbang dan kelemahan pada
proses syaraf, sehingga akan mengakibatkan seseorang kesulitan dalam menyelesaikan tugas
akademik dan pembelajaran. Kesulitan-kesulitan tersbut seperti kesulitan berfikir, membaca,
berhitung, berbicara. Karakteristik anak berkesulitan belajar spesifik antara lain:
a. Pada masa kanak-kanak:
Kesulitan mengekspresikan diri.
Lambat dalam mengerjakan tugas seperti mengikat sepatu
Tidak perhatian, mudah terganggu
Ketidakmampuan mengikuti arahan karena ketidakmampuan memahami instruksi lisan.
Lemah dalam ketrampilan bermain di lapangan.
b. Pada usia remaja dan dewasa:
Kesulitan dalam memproses informasi auditori
Kehilangan barang-barang miliknya, keterampilan mengatur lemah
Lambat dalam membaca, pemahaman rendah
Kesulitan dalam mengingat nama orang dan tempat
Kesulitan mengatur ide untuk menulis
Anak-anak yang termasuk kedalam kesulitan belajar spesifik meliputi:
a. Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia), ciri-cirinya seperti:
Perkembangan kemampuan membaca terlambat
Kemampuan memahami isi bacaan rendah
Serta ketika membaca sering banyak kesalahan.
b. Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia) ciri-cirinya:
Ketika menyalin tulisan sering terlambat selesai, sering salah menulis huruf.
Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca
Tulisannya banyak salah atau terbalik atau huruf hilang
Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
c. Anak yang kesulitan belajar berhitung (diskalkulia) ciri-cirinya seperti:
Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =,
Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan.
Sering salah membilang dengan urut.
Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan
sebagainya.
Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
Cara pengajaran anak berkesulitan belajar di sekolah antara lain:
a. Pemberdayaan sensori visual dapat dilakukan dengan :
Diskriminasi visual, pembelajaran dengan mencari perbedaan dan persamaan huruf atau
suku kata. Misal : Mintalah anak untuk membedakan kata-kata yang hampir sama,
seperti : batu, bata, tabu.
Memori visual. Misal : Guru menunjukkan suatu kata selama beberapa detik lalu
menyembunyikannya. Siswa berupaya mengingat huruf-huruf yang ada dalam kata itu.
Menyebutkan nama huruf. Misal : Minta anak mencari kata dengan huruf depan ‟m‟ atau
‟w‟ di majalah lalu menggunting dan ditempel di buku kegiatan.
b. Pemberdayaan sensori auditori dapat dilakukan dengan cara :
Irama, ini penting untuk belajar tentang ’word familiar’ (kata dengan bunyi sama). Siswa
diajarkan untuk melengkapi puisi atau sajak a-a-a.
Blending (menggabung huruf). Langkah pengajarannya :
a.Ucapkan dua suku kata yang berbeda (Ba-Tu).
b.Minta anak mengulang dan bantu ia mengenali 2 suku kata pembentuknya
Memori auditori.
a.Ucapkan kalimat sederhana dan minta anak mengulang. Kalimat dapat ditingkatkan
semakin panjang.
b. Minta anak menghafal puisi atau lagu.
BAB IIIPENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan (bermakna)
mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam
proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya
sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Berkebutuhan khusus merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan anak-
anak luar biasa atau mengalami kelainan dalam konteks pendidikan. Ada perbedaan yang
signifikan pada penggunaan istilah berkebutuhan khusus dengan luar biasa atau berkelainan.
Berkebutuhan khusus lebih memandang pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi dan
mengembangkan kemampuannya secara optimal, sedang pada luar biasa atau berkelainan
adalah kondisi atau keadaan anak yang memerlukan perlakuan khusus.
Anak berkebutuhan khusus dapat diklasifikasikan menjadi 3 bentuk yaitu: retardasi
mental, kecacatan pada fisik, serta anak berbakat. Dalam 3 bentuk tersebut terdapat beberapa
jenis gangguan yang dialami anak. Seperti anak yang mengalami retardasi mental, didalam
jenis ini terdapat anak down syindrom, Kretin (Cebol), Hydrocephal, Microcephal, dan
Macrocephal. pada kecacatan fisik, anak ada yang mengalami tunarungu, tunanetra, dan tuna
daksa. Sedangkan pada anak berbakat, terdapat anak yang jenius, gifted, dan telented.
Selain klasifikasikan yang telah disebutkan, terdapat beberapa jenis lain yang dapat
dikategorikan sebagai anak yang berkebutuhan khusus, yaitu: anak autisme, Anak Lamban
Belajar (slow learner), dan Anak Dengan Kesulitan Belajar Spesifik (specific learning
disability).
3.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini.
Karena itu penulis membutuhkan kritik dan saran bagi para pembaca, untuk mengevaluasi
cara penulisan dan penyusunan makalah, sehingga dapat dijadikan pedoman untuk membuat
makalah-makalah selanjutnya. Bagi para pembaca yang ingin lebih mengetahui dari isi
makalah ini secara lebih detail, pembaca dapat membacanya diberbagai buku serta website
yang membahas tentang materi dimakalah ini.
Daftar Pustaka
Abdul Salim Chairi, dkk. 2009. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Secara Inklusif.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Hadis Abdul. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung: Alfabeta.
Top Related