EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
DEWI FEBRIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi
yang berjudul EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
HUTAN TANAMAN RAKYAT DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
adalah hasil karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Dewi Febriani
NIM. E161070041
ABSTRACT
DEWI FEBRIANI. Evaluation of Community Forest Plantation Policy Implementation Process in Sarolangun Regency in Jambi Province. Under direction of DUDUNG DARUSMAN, DODIK RIDHO NURROCHMAT, and NURHENI WIJAYANTO.
Community forest plantation policy in Sarolangun Regency has poor performance in implementation. Realization of utilization permit timber-forest plantation (IUPHHK) was issued from Sarolangun district government just about 156.44 ha for 18 KK (0.82% from total provisioning area). Low performance and achievements in the implementation of HTR, requires a comprehensive evaluation on implementation of HTR policy.
The objective of this study are evaluate the HTR policy implementation process as a system of policies, begin from policy content, policy actors (local government and community) to environmental policy. Content of the policy was evaluated using by four indicators, namely: (1) policy objectives, (2) assumptions used, (3) the structure implementation; and (4) human resources and financial support. The policy actors and policy environment will be analyzed using quantitative descriptive analysis and stakeholder analysis. The final result of this study was recommendation of policy implementation strategies in the District Sarolangun, constructed using by analysis of strengths, weakness, opportunities, threats (SWOT) and quantitative strategic planning matrix (
QSPM).
The results showed that HTR policy still needs to be adjusted, because: (a) there are some differences in the perception of translating the objectives of HTR between the Ministry of Forestry and local governments, (b) the assumptions used by the Forestry Ministry in formulating the policy is not appropriate with existing field conditions, and (c) unpreparedness stakeholder activities contained in the structure of the implementation of HTR in implementing the policy.
Level of readiness, commitment and ability of the District Government in implementing HTR Sarolangun included in the category of middle - low, while the capital owned by the communities included in the category of middle, both physical capital (44%), human capital (46%) and social capital (53 %
Based on the above conditions, alternative strategies can be developed in policy implementation in the District Sarolangun HTR are: 1) accommodate exiting community models in forest land as community motivation; (2) optimize local government support to accelerate license process, assistance, and intensive socialization about HTR; and (3) use timber scarcity issues and PT Samhutani as market opportunity issues to stimulating community to plant timber.
). The level of public participation is included in the low category (81.48%) with a voluntary to participate degree in the induction participation. Based on the participation level (Arnstein, 1969), levels of public participation in the Lamban Sigatal dan Seko Besar village in the stage of providing information. While the process of participation in the Taman Bandung village in the stage of consultation.
Key words: Forest Plantation, Evaluation, Sarolangun District
RINGKASAN
DEWI FEBRIANI. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, DODIK RIDHO NURROCHMAT, dan NURHENI WIJAYANTO.
Proses implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat (HTR) di Kabupaten Sarolangun berjalan lambat. Realisasi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun hingga saat ini baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK atau 0.82% dari total luas pencadangan. Rendahnya kinerja dan pencapaian dalam implementasi HTR membutuhkan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses implementasi kebijakan HTR.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi proses implementasi kebijakan HTR secara menyeluruh sebagai sebuah sistem kebijakan, mulai dari isi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah dan masyarakat) hingga lingkungan kebijakan. Isi kebijakan dievaluasi menggunakan empat indikator, yaitu: tujuan kebijakan, asumsi yang digunakan, struktur implementasi dan dukungan sumberdaya manusia dan finansial; sedangkan pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan akan dianalisis menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan analisis stakeholder. Hasil akhir dari penelitian ini adalah rekomendasi strategi implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun yang dibangun menggunakan metode analisis strengths, weakness, opportunity. treaths (SWOT) dan quantitative strategic planning matrix (QSPM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan HTR masih perlu disesuaikan agar dapat diimplementasikan di Kabupaten Sarolangun, karena: (a) terdapat perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan HTR antara Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah; (b) asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan tersebut kurang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada; dan (c) Ketidaksiapan para pemangku kegiatan (stakeholders) yang terdapat dalam struktur implementasi HTR dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Stakeholder kunci dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi, BP2HP dan Universitas Jambi. Instansi-instansi tersebut memiliki kepentingan yang tinggi terhadap implementasi HTR dan memiliki pengaruh yang tinggi pula. Namun hanya Disbunhut Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi saja yang memiliki kekuatan yang tinggi. Oleh karena itu, Disbunhut Kabupaten Sarolangun hendaknya berkolaborasi dengan Dishut Provinsi Jambi dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.
Lingkungan kebijakan yang mendukung implementasi kebijakan HTR adalah budaya masyarakat menanam tanaman berkayu, kebiasaan berladang sesuai kemampuan, peladang berpindah, kelangkaan kayu dan pemasaran karet. Kelangkaan kayu di lokasi penelitian diketahui melalui tingkat kesulitan masyarakat mendapatkan kayu berkualitas baik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa masyarakat merasa kesulitan mendapatkan kayu. Umumnya kayu yang digunakan berasal dari ladang sendiri yang jumlahnya sudah sedikit.
Tingkat kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang-rendah, sedangkan komitmen Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang dan kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori rendah.
Modal yang dimiliki masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang, baik modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Dengan modal yang cukup ini, diharapkan implementasi kebijakan HTR yang menuntut peran sentral masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Tingkat partisipasi masyarakat termasuk dalam kategori rendah dengan derajat kesukarelaaan untuk berpartisipasi termasuk dalam partisipasi terinduksi, di mana partisipasi masyarakat timbul karena motivasi ekstrinsik berupa bujukan, pengaruh atau dorongan dari luar meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi atau tidak. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa terpaksa dan tidak antusias dalam berpartisipasi. Berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat di Desa Seko Besar dan Lamban Sigatal termasuk dalam tahap informing sedangkan masyarakat Desa Taman Bandung yang telah memasuki level konsultasi (consultation).
Berdasarkan kondisi di atas, alternatif strategi yang dapat dikembangkan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah (a) mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai motivasi agar masyarakat mau berpatisipasi dalam kebijakan HTR; (b) mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perijinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat (c) menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu.
Kata kunci: Hutan Tanaman Rakyat, Evaluasi, Kabupaten Sarolangun,
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
EVALUASI PROSES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI
DEWI FEBRIANI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S.
Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, M.S.
Judul Disertasi : Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Nama : Dewi Febriani NIM : E161070041
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.
Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. Anggota Anggota
Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, M.S.
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Hutan Prof. Dr. Ir. Hariadi Katodihardjo, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 26 Juli 2012 Tanggal Lulus : ......................
PRAKATA
Alhamdulllaahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT atas rahmat, ridho dan hidayah-Nya, disertasi yang berjudul “Evaluasi
Proses Implementasi Kebijakan, Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten
Sarolangun, Jambi” ini dapat diselesaikan. Penyusunan disertasi ini diajukan
sebagai syarat memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Pengetahuan Hutan,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. selaku ketua komisi pembimbing dan
kepada Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop serta Prof. Dr. Ir.
Nurheni Wijayanto, M.S selaku anggota komisi Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan, berbagi ilmu dan pengalaman sehingga
menambah wawasan dan cakrawala kami dalam penyusunan disertasi ini.
Semoga semua ini akan menjadi amal ibadah bagi mereka.
2. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F selaku
dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Dr.Ir. Iman Santoso,
M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihadjo, M.S. selaku penguji luar komisi
dalam ujian terbuka; atas saran dan masukan untuk perbaikan disertasi ini.
3. Ir. Akub Indrajaya, Ir. Bambang Yulisman, Ir. Budikus Yulianto, dan semua
jajaran Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun atas bantuan
tenaga dan data-data yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian
di Kabupaten Sarolangun, Jambi, serta Ir. Endang Pudjiastuti, M.S, atas
kerjasama dan bantuannya selama mengumpulkan data di lapangan.
4. Drs. Ishak Zakaria dan Zuraidah Taher, kedua orang tuaku yang senantiasa
memberikan dukungan dan doa sepanjang perjalanan hidupku.
5. Suamiku, Suyanto dan kedua anakku (Muhammad Tegar Rabbani Dewanto
dan Kasih Dean Tsamarrah) atas cinta, pengertian, kasih sayang, dukungan
kepada penulis. Terima kasih telah menjadi bagian terpenting dalam
kehidupan dan keberhasilanku.
6. Tika dan Ria, adik-adikku yang senantiasa memberikan bantuan dan
dukungan selama aku menjalani pendidikan dan semua keluarga di Bengkulu,
Bogor, Solo dan Surabaya atas doa dan dukungannya.
7. Teman-teman S3 angkatan 2007, atas dukungan dan kerjasama kita selama
kuliah di sekolah pascasarjana IPB. Semoga kerjasama yang erat dapat kita
bangun dan terus berlanjut hingga masa yang akan datang
8. Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan
dana dalam mengikuti pendidikan program Doktor di IPB.
9. Semua pihak yang telah banyak memberikan kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data hingga
tersusunnya disertasi ini.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan-
kekurangan. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan penulis sebagai manusia yang
memiliki keterbatasan. Namun demikian, penulis tetap berharap disertasi ini dapat
bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kalangan rimbawan pada
khususnya. Amien.
Bogor Juli 2012
Dewi Febriani
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bengkulu pada tanggal 19 Februari 1974
sebagai anak kedua dari ayah bernama Drs. Ishak Zakaria dan ibu Zuraidah Taher.
Penulis menikah dengan Suyanto, SE pada tahun 2005 dan dikaruniai dua orang
anak, Muhammad Tegar Rabbani Dewanto (5 tahun) dan Kasih Dean Tsamarrah
(2 tahun).
Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD. Sint Carolus Bengkulu.
Pendidikan menengah pertama ditempuh penulis di SMPN 2 Bengkulu dan
pendidikan menengah atas di SMAN 4 Bengkulu. Pada tahun 1992, penulis
melanjutkan studi di Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Pertanian, Universitas
Bengkulu dan meraih gelar sarjana pada tahun 1998. Pada tahun 2000 penulis
berhasil menyelesaikan program pendidikan Akta Mengajar IV di Universitas
Terbuka.
Penulis mengawali karir sebagai honorer di Dinas Kehutanan Provinsi
Bengkulu pada tahun 1998 hingga 2000. Selanjutnya penulis melanjutkan
pendidikan pada Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian
Universitas Gadjah Mada dan meraih gelar Master Pertanian pada tahun 2002,
dengan predikat cum laude.
Sejak tahun 2003 penulis bekerja di Kementerian Kehutanan, Jakarta
sebagai staf di Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, yang beralamat di
Gedung Manggala Wanabhakti hingga sekarang. Tahun 2005, penulis dipercaya
untuk menjadi koordinator sekretariat Indonesian National Forest Programme.
Pada tahun 2007, penulis mendapat penugasan sebagai karyasiswa program
Doktoral Kementerian Kehutanan pada program studi Ilmu Pengetahuan Hutan
(IPH), Sekolah Pascasarjana, IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………. xii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….. xiv
I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 7 1.4 Kebaruan (Novelty)......................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 9 2.1 Kebijakan Publik………………...................................................... 2.2 Implementasi Kebijakaan …………………....................................
9 10
2.3 Faktor Penentu Kinerja Implementasi …………………………….. 2.3.1 Kebijakan publik ……………………………….………….. 2.3.2 Implementator dan target kebijakan ………………………..
2.3.2.1 Modal fisik..………………………………………. 2.3.2.2 Modal manusia……………..……………………... 2.3.2.3 Modal sosial… ……..……………………………..
2.3.3 Lingkungan implementasi kebijakan …………………….... 2.3.4 Analisis Stakeholder………………………………………..
2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat……………………………...... 2.5 Sekilas tentang Hutan Tanaman …………………………………..
2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat……………………………. 2.5.2 Kebijakan hutan tanaman rakyat…………………………..
2.6 Beberapa Tulisan dan Penelitian Mengenai HTR …………………
12 12 13 14 15 16 18 19 22 28 28 29 32
III. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 3.2 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 3.3 Desain Penelitian …………………………………………………. 3.3.1 Teknik pengumpulan data ……………………………...... 3.3.2 Teknik penentuan responden dan informan….……………
3.3.3 Instrumen penelitian ……………………………………… 3.3.4 Jenis dan sumber data ……………………………………
35 40 40 40 40 41 43 44
3.4 Metode Analisis …………………………………………………… 3.4.1 Evaluasi terhadap Isi Kebijakan....………………………... 3.4.2 Evaluasi terhadap Pelaku Kebijakan dan Lingkungan
Kebijakan …………………………………………………. 3.4.3 Evaluasi terhadap Pemangku Kepentingan ………………. 3.4.4 Evaluasi Kesenjangan Implementasi HTR ……………….
46 46
47 48 51
x
3.4.5 Formulasi Strategi Implementasi Kebijakan ……………... 3.4.5.1 Tahap pengumpulan data ………………………… 3.4.5.2 Tahap analisis…………………………………….. 3.4.5.3 Tahap pengambilan keputusan …………………...
52 53 56 58
IV. KEBIJAKAN DAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN 4.1 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat ………………………………..
4.1.1 Kejelasan dan Konsistensi Tujuan ……………………....... 4.1.2 Asumsi yang Digunakan…………………………………... 4.1.3 Struktur Implementasi …………………………………….. 4.1.4 Dukungan SDM dan Finansial …………………………….
4.2 Lingkungan Kebijakan…………………………………………….. 4.2.1 Dukungan Politik dan Stakeholders Lain…………………. 4.2.2 Kondisi Sosial Budaya ……………………………………. 4.2.3 Pemasaran …………...……………………………………. 4.2.4 Kelangkaan Kayu…..………………………………………
61 61 65 67 71 73 73 85 89 92
V. KAPASITAS IMPLEMENTASI PELAKU KEBIJAKAN 5.1 Kesiapan, Kemauan dan Kemampuan Pemerintah Daerah………
5.1.1 Kesiapan pemerintan daerah………………………………. 5.1.2 Kemauan (komitmen) pemerintan daerah……………….... 5.1.3 Kemampuan pemerintah daerah……………………………
5.2 Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial Masyarakat……. 5.2.1 Modal fisik yang dimiliki oleh masyarakat ………………. 5.2.2 Modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat…………… 5.2.3 Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat……………….
5.2.3.1 Kepercayaan terhadap sesama……………………… 5.2.3.2 Kepatuhan terhadap norma………………………… 5.2.3.3 Kepedulian terhadap sesama……………………….. 5.2.3.4 Keterlibatan dalam organisasi sosial……………….
97 97
102103 104 104 106 111 111 112 113 114
VI. EVALUASI GAP IMPLEMENTASI 6.1 Peningkatan Kualitas Hutan Produksi Versus Pemberdayaan
Masyarakat ………………………………………………………... 6.2 Tingkat Partisipasi ………………………………………………... 6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi…………..
7.3.1 Modal fisik …………………………………………………. 7.3.2 Modal manusia……………………………………................ 7.3.3 Modal sosial………………………………………................
6.4 Derajat Kesukarelaan dan Tingkat Partisipasi …………………… 6.5 Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun……………….
VII. PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
7.1 Tahap Pengumpulan Data……………………………………….. 7.1.1 Faktor internal…………………………………………….. 7.1.2 Faktor eksternal……………………………………………
7.2 Tahap Analisa Data………………………………………………
117 121 124 127 128 129 130 133
139 139 142 145
xi
7.3 Tahap Pengambilan Keputusan …………………………………. 7.4 Rekomendasi Strategi Implementasi Kebijakan HTR……………
7.4.1 Akomodir pola pemanfaatan lahan saat ini………………... 7.4.2 Optimalisasi peran pemda…………………………………. 7.4.3 Memanfaatkan isu kelangkaan kayu dan peluang
pemasaran…………………………………………………. 7.5 Desain Implementasi Strategi Terpilih …………………………..
7.5.1 Sistem silvikultur ………………………………………... 7.5.2 Penentuan jenis tanaman………………………………… 7.5.3 Pola penanaman ………………………………………….
7.5.3.1 Hutan campuran berbasis tanaman karet………. 7.5.3.2 Hutan campuran berbasis tanaman berkayu……. 7.5.3.3 Hutan campuran jernang ………………………...
7.5.4 Kelembagaan……………………………………………..
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan……………………………………………………… 8.2 Saran …………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA ……………………….……………………………...
LAMPIRAN…………………………………………………………...…….
149 151 151 153
154 155 156 158 159 159 160 162 165
169 170
171
181
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein (1995) ………………………….
2 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kondisi Modal Sosial dan Kapasitas
Negara……………………………………………………………………..
3 Tiga Elemen Sistem Kebijakan ………………………………………......
4 Kerangka Pemikiran Penelitian …………………………………………..
5 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan…………….
6 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kekuatan….…………….
7 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh, Kepentingan dan Kekuatan
yang Dimilikinya …………………………………………………………
8 Posisi Partisipasi Masyarakat dalam Analisis SWOT…………………..
9 Dimensi-Dimensi Kebijakan yang Mempengaruhi Implementasi………..
10 Posisi Stakeholder Berdasarkan Tingkat Kepentingan dan Pengaruh…..
11 Posisi Stakeholders Berdasarkan Kekuatan dan Pengaruh …...………
12 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh, Kepentingan dan Kekuatan
yang Dimilikinya ……………………………………………………
13 Pola Pemasaran Karet di Kabupaten Sarolangun ……………………..
14 Pola Pemasaran Jernang di Desa Lamban Sigatal……………………….
15 Tingkat Kesulitan Responden dalam Mendapatkan Kayu dengan
Kualitas Baik……………………………………………………..........
16 Tingkat Koordinasi antar Institusi dalam Rangka Implementasi Hutan
Tanaman Rakyat…………………………………………………………
17 Manfaat yang Dirasakan Responden Setelah mengikuti Sosialisasi
Kebijakan HTR dan Pelatihan mengenai HTR…………………………
18 Pendapat Responden Mengenai Kesesuaian Areal Pencadangan
Hutan Tanaman Rakyat ……………………………………...................
19 Matriks SWOT Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun…
20 Kedudukan Posisi Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Kabupaten
Sarolangun………………………………………….……………………
21 Proporsi Rata-Rata Pendapatan Masyarakat …..………………………...
23
30
36
39
32
49
50
51
58
64
76
81
82
91
91
93
99
99
101
146
148
152
22 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Karet ………………..
23 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu I……..........
24 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu II…………..
25 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet I…………
26 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet II………...
27 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu
Fast Growing…………………………………………………………….
28 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu
Bukan Jenis Fast Growing……………………………………………..
160
161
162
163
163
164
164
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Perbedaan antara Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat dan Hutan
Kemasyarakatan ………...………………………………………………...
2 Lokasi Penelitian Berdasarkan Peta Pencadangan Lokasi HTR di
Kabupaten Sarolangun…………………………………………. ………..
3 Proses Mekanisme Pencadangan Areal HTR……………………………..
4 Proses Pengajuan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTR …….
5 Distribusi Modal Fisik yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa
Asal Responden …………………………………………………………..
6 Distribusi Modal Manusia yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan
Desa Asal Responden …………………...………………………………..
7 Distribusi Modal Sosial yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan
Desa Asal Responden ...…………………………………………………..
8 Nilai Bobot Faktor Strategis Internal……………………………………..
9 Nilai Bobot Faktor Strategis Eksternal…..……………………………….
10 Nilai Rating Faktor Strategis Internal…………………………………….
11 Nilai Rating Faktor Strategis Eksternal…………………………………...
12 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM
Strategi 1 ......................................................................................................
13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM
Strategi 2 ......................................................................................................
14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM
Strategi 3 ......................................................................................................
15 Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan dalam Kelompok Hutan
dalam Areal Pencadangangan HTR..............................................................
177
179
180
181
182
182
183
184
185
186
187
188
190
192
194
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi hutan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan akibat
meningkatnya laju deforestasi dan degradasi hutan; menurunnya investasi di
bidang kehutanan dan pembangunan hutan tanaman; dan meningkatnya illegal
logging. Data Forest Watch Indonesia (2002) menunjukkan bahwa pada tahun
1950-an luas hutan di Indonesia mencapai 84% dari total luas daratan, namun di
tahun 1989 luas hutan telah menurun menjadi 60%. Data Departemen Kehutanan
(2006) menunjukkan bahwa pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan
degradasi di Indonesia mencapai 1.8 juta hektar pertahun. Periode 1997-2000 laju
deforestasi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-
rata sebesar 2.8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005
menjadi sebesar 1.08 juta hektar. Statistik Kehutanan Indonesia 2010
menunjukkan bahwa total deforestasi di dalam dan luar kawasan hutan periode
2006-2009 mengalami penurunan menjadi 832 126.9 ha/tahun (Kemenhut 2011a).
Di lain pihak, kebutuhan bahan baku kayu nasional semakin meningkat dan
diprediksi tidak akan mampu dipenuhi oleh hutan alam yang tersisa. Berdasarkan
data Kementerian Kehutanan (2011a) diketahui kapasitas industri kayu saat ini
diperkirakan sebesar 65.6 juta m3 per tahun, sementara produksi kayu yang
dihasilkan baik dari hutan alam maupun hutan tanaman pada tahun 2006–2010
rata-rata hanya sebesar 47.5 juta m3
Kerusakan hutan menjadi lebih parah oleh konflik sosial yang terjadi akibat
pengakuan hak (property right) masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap
pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya hutan (Colchester & Fay 2007;
Kartodihardjo, 2007). Masyarakat sekitar hutan sering dianggap sebagai sebuah
entitas yang dapat mengganggu proses pengelolaan kawasan hutan, sehingga
per tahun. Untuk memenuhi defisit
permintaan tersebut banyak terjadi penebangan dan pemanenan yang berlebihan
(overcutting dan overharvesting) di dalam kawasan hutan. Akibatnya luas
penutupan hutan semakin berkurang dan areal bekas tebangan tersebut
berkembang menjadi lahan kritis.
2 seringkali diposisikan sebagai musuh, pihak yang bertanggung jawab terhadap
perambahan kawasan hutan dan perusak lingkungan (Li, 2002).
Eksistensi hutan dan dinamika masyarakat di sekitarnya berlangsung secara
tidak seimbang, yang menyebabkan kawasan hutan semakin mengalami tekanan,
ancaman dan sangat rentan (vulnerable). Hal ini tidak dapat diatasi dengan
meniadakan komponen yang dianggap mengancam (masyarakat), tetapi harus
dengan cara memperbaiki dan membangun hutan bersama-sama (pemerintah dan
masyarakat) agar hutan menjadi tetap lestari dan bermanfaat (Sumanto, 2009).
Kartodihardjo (2007) berpendapat bahwa kerusakan hutan tidak mungkin
dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan tumbuhnya
kepedulian masyarakat terhadap hutan. Dengan kata lain keterlibatan masyarakat
sekitar hutan dalam pengelolaan hutan merupakan suatu keharusan. Cara alternatif
yang dapat dipilih pemerintah adalah dengan menggulirkan kebijakan-kebijakan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Pemerintah mencanangkan kebijakan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada
tahun 2007 sebagai salah satu usaha untuk mengurangi lahan kritis di dalam
kawasan hutan produksi, memenuhi kebutuhan industri kayu dan meningkatkan
keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan produksi.
Kebijakan ini dibuat untuk melengkapi skema-skema pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang telah ada sebelumnya, seperti hutan kemasyarakatan (HKm),
hutan rakyat (HR), hutan desa (HD) dan beberapa bentuk kerjasama pengelolaan
hutan antara perusahaan swasta dengan masyarakat. Pada skema HTR pemerintah
membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat untuk membangun dan
memanfaatkan areal hutan produksi dibandingkan dengan skema pengelolaan
lainnya (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007; Emila & Suwito 2007)
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat dirasa tepat dalam menyikapi problema
yang terjadi di bidang kehutanan. Moratorium hutan produksi yang saat ini sedang
dalam proses, mengharuskan alternatif substitusi hutan produksi dalam mengatasi
kelangkaan kayu. Bila kebijakan ini berhasil membangun hutan tanaman rakyat
dengan luasan yang cukup, maka kelangkaan kayu masa depan dapat teratasi.
Di samping itu, lemahnya kekuatan pemerintah pasca reformasi dan
banyaknya kawasan hutan produksi yang secara de facto menjadi open access
3 menuntut pemerintah untuk mencari cara alternatif untuk mengamankan kawasan
hutan produksi. Kebijakan HTR juga dapat memayungi kegiatan-kegiatan yang
dilakukan masyarakat dalam kawasan hutan produksi, sehingga konflik
kepemilikan lahan (tenurial) diharapkan dapat teratasi.
Guna mendukung kebijakan ini, Kementerian Kehutanan menetapkan target
pencadangan areal hutan produksi untuk HTR seluas 1.4 juta ha/tahun. Dengan
demikian diharapkan pada tahun 2010 akan terbangun 5.4 juta ha hutan tanaman
rakyat (Ditjen BPK 2006). Namun realisasinya hingga Maret 2011, luas areal
yang dicadangkan untuk HTR baru 650 662.73 ha (Kementerian Kehutanan,
2011).
Lokasi pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November
2008 seluas 18 840 ha. Apabila diasumsikan 15 ha/KK maka diprediksi kebijakan
HTR akan mampu melibatkan 1 256 KK atau 15.5% dari masyarakat pra sejahtera
di Kabupaten Sarolangun yang berjumlah 8 102 KK (BPS, 2007). Namun realisasi
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-
HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun hingga Maret
2010 baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK masyarakat di wilayah Desa Taman
Bandung Kecamatan Pauh (data BP2HP Wilayah IV Jambi). Berdasarkan data
tersebut, diketahui bahwa realisasi IUPHHK-HTR Kabupaten Sarolangun hanya
0.82% dari SK pencadangan, atau hanya 1.43% dari target KK yang dapat
diberdayakan melalui kebijakan ini.
Rendahnya kinerja dan pencapaian dalam implementasi HTR membutuhkan
evaluasi secara menyeluruh terhadap proses implementasi kebijakan HTR. Oleh
karena itu, penelitian ini diarahkan untuk mengkaji proses implementasi kebijakan
dari sisi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah selaku implementator
dan masyarakat selaku kelompok target) dan lingkungan kebijakannya.
1.2 Perumusan Masalah
Sejak dicanangkan pada tahun 2007, luas kawasan hutan produksi yang
dicadangkan untuk HTR masih jauh dari target yang telah ditetapkan. Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan (2006) menyebutkan bahwa untuk
4 meningkatkan produksitifitas hutan produksi maka ditetapkan target HTR seluas
1.4 juta ha/tahun, sehingga diharapkan 5.4 juta ha HTR akan terbangun pada
tahun 2010 (Ditjen BPK 2006). Namun hingga awal tahun 2010, realisasi
pembangunan HTR masih sangat rendah. Data Direktorat Jenderal Bina Usaha
Kehutanan (2010) menunjukkan bahwa luas pencadangan HTR hingga Februari
2010 adalah 605 788 ha, sedangkan Izin Usaha (IUPHHK) HTR baru diterbitkan
di 18 kabupaten, dengan total luas 58 182.89 ha. Kondisi tersebut menyebabkan
Kementerian Kehutanan merevisi target pembangunan HTR yang semula 5.4 juta
ha hingga tahun 2010 menjadi 5.4 juta ha hingga tahun 2016 (Ditjen BUK 2011).
Data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2011) menyebutkan bahwa
hingga Maret 2011, luas areal yang dicadangkan untuk HTR baru 650 662.73 ha
meliputi 103 kabupaten di 26 provinsi. Data pada tahun yang sama menyebutkan
bahwa telah diterbitkan izin HTR sebanyak 50 izin koperasi dan 1 807 izin
perorangan untuk 31 kabupaten di 17 provinsi dengan total luas 127 244.30 ha
atau hanya sekitar 19.56% dari keseluruhan areal yang telah dicadangkan untuk
HTR. Realisasi pembangunan HTR hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Target, Pencadangan dan Realisasi HTR periode 2007-2011
Tahun Target
Pencadangan (ha)
SK Pencadangan
(ha) (%)
Realisasi IUPHHK
(ha) (%) KET
2007 600 000 0.00 0 0.00 0 - 2008 600 000 149 284.00 24.88 8 794.00 5.89 1 kab 2009 600 000 234 119.00 39.02 26 781.04 11.44 10 kab 2010 600 000 222 385.00 37.06 22 607.85 10.17 9 kab
2011 600 000 44 885.73 7.48 69 060.41 153.86 83 kab TOTAL 3 000 000 650 662.73 21.68 127 244.30 19.56 103 kab Sumber : Direktorat Jenderal BUK (2010 dan 2011), diolah
Di Kabupaten Sarolangun, perkembangan penerbitan izin HTR juga sangat
lambat. Hingga Mei 2011 atau dalam kurun waktu 2.5 tahun sejak dikeluarkannya
SK pencadangan, baru 0.82% dari keseluruhan areal tersebut yang sudah
diterbitkan izinnya oleh bupati. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan
(Ditjen BPK, 2009) diketahui bahwa realisasi IUPHHK-HTR di Kabupaten
Sarolangun pada bulan Maret 2009 seluas 44 ha dan 110.66 ha pada bulan Maret
2010. IUPHHK-HTR tersebut diberikan kepada empat kelompok tani hutan
(KTH), yaitu: 52.72 ha untuk KTH Maju Jaya, 31.09 ha untuk KTH Usaha Tani,
50 ha untuk KTH Bukit Lintang dan 20.85 ha untuk KTH Sumber Rejeki.
5
Rendahnya realisasi implementasi HTR diduga karena banyak terjadi
tumpang tindih kawasan pada areal yang telah dicadangkan tersebut dengan
peruntukan lainnya di lapangan (Schneck 2009; Noordwijk et al. 2007). Hasil
penelitian Noordwijk et al. (2007) di daerah Sumatera Utara menerangkan bahwa
hanya 29% dari areal yang dicadangkan untuk HTR yang berupa kawasan hutan
produksi. Kasus seperti ini banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan sehingga
pemerintah daerah memerlukan waktu lebih lama melakukan pemeriksaan silang
di lapangan. Penetapan lokasi HTR ini juga kurang memperhatikan keberadaan
masyarakat dan kondisi sosial ekonominya sehingga dimungkinkan lokasi yang
ditunjuk berada jauh dari pemukiman atau masyarakatnya tidak berminat
membangun HTR.
Beberapa kajian tentang konsep HTR menyebutkan bahwa selain masalah
tenurial, pengembangan HTR juga akan menemui tantangan lainnya sehingga
berkembang lambat. Schneck (2009) mengidentifikasi tantangan tersebut antara
lain terbatasnya kemampuan masyarakat, kurangnya dukungan dari institusi
pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan HTR, pembagian hak dan
tanggung jawab yang jelas antara pemegang hak (terutama dalam pola kemitraan
dan pola developer), akses pasar yang buruk, serta ketidakpastian viabilitas usaha
secara finansial yang disebabkan karena kondisi pasar yang kurang baik dan
besarnya dukungan dana.
Hasil penelitian Herawati (2010a) mengungkapkan bahwa kebijakan HTR
telah keliru sejak dari proses perumusannya, dimana aktor yang terlibat hanya
pihak birokrat kehutanan dan tidak mempertimbangkan informasi mengenai faktor
kegagalan program pemberdayaan masyarakat yang pernah ada sebelumnya.
Padahal dalam implementasinya, dituntut peran yang besar dari pihak di luar
Kementerian Kehutanan seperti pemerintah daerah dan masyarakat.
Apabila pihak implementator tidak dilibatkan dan dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan, tentu saja kebijakan tersebut berpotensi gagal akibat
adanya implementation gap. Dunshire (1978) yang diacu oleh Wahab (2008)
menjelaskan bahwa istilah implementation gap dalam proses implementasi
kebijakan merupakan suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya perbedaan
6 antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa
yang senyatanya dicapai (sebagai hasil atau prestasi pelaksana kebijakan).
Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung oleh implementation capacity
dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk
mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Dalam hal kebijakan
hutan tanaman rakyat, yang mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan
adalah pemerintah daerah (pemda) selaku implementator dan masyarakat selaku
kelompok target.
Herawati (2010b) menyebutkan bahwa peran pemda memiliki pengaruh dan
kepentingan yang tinggi terhadap pelaksanaan program HTR. Oleh karena itu,
tingkat keberhasilan implementasi kebijakan HTR juga sangat dipengaruhi oleh
kesiapan, komitmen dan kemampuan pemda selaku implementator kebijakan.
Untuk mengimplementasikan kebijakan HTR, kesiapan fisik (lahan, pasar,
dll) bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan program HTR,
kesiapan aspek sosial (kesempatan, kemauan dan kemampuan masyarakat) juga
harus diperhatikan (Ekawati et al. 2008). Peran sentral yang diberikan kepada
masyarakat oleh kebijakan ini, menuntut kesiapan yang matang dari masyarakat.
Oleh karena itu, pertimbangan dalam implementasi kebijakan HTR tidak boleh
hanya berdasarkan kondisi biofisik semata, namun juga harus memperhatikan
modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat seperti modal fisik, modal manusia
dan modal sosial.
Modal manusia sangat penting, karena modal usaha tidak hanya berwujud
fisik saja, melainkan akan didominasi oleh modal manusia seperti pendidikan,
keterampilan dan keeratan hubungan (Coleman, 1988). Keahlian, kemampuan,
pengetahuan dan sikap merupakan bagian dari mutu modal manusia yang sangat
berperan dalam pembangunan ekonomi (Hardjanto, 2002).
Modal sosial bisa melekat pada individu manusia dan juga bisa merupakan
hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder & Seok 2002). Modal
sosial penting untuk dipertimbangkan karena masyarakat tidak hanya berupa
sekumpulan manusia yang secara fisik telah bersama dalam kurun waktu tertentu
melainkan terdapat semangat atau ruh yang memperkuat kehidupan kolektif
7 (Pranadji, 2006). Oleh karena itu, guna mencapai tujuan perlu menambahkan
modal sosial pada setiap kebijakan (Weyerhaeuser et al., 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang akan dijawab
dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah isi kebijakan HTR telah memenuhi syarat untuk diimplementasikan
secara efektif ?
2. Apakah pemerintah daerah (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Sarolangun) Kabupaten Sarolangun telah memiliki kesiapan, komitmen dan
kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan HTR ?
3. Apakah masyarakat desa di sekitar lokasi pencadangan HTR di Kabupaten
Sarolangun telah memiliki modal yang cukup sebagai landasan untuk
mengimplementasikan HTR?
4. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan
HTR hingga saat ini?
5. Bagaimana formulasi strategi yang tepat dalam implementasi kebijakan HTR
di Kabupaten Sarolangun?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi proses
implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat di Kabupaten Sarolangun. Tujuan
umum tersebut dijabarkan menjadi lima tujuan khusus, yaitu:
1. Mengevaluasi isi kebijakan HTR.
2. Menganalisis kesiapan, komitmen dan kemampuan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.
3. Menganalisis modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh
masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.
4. Mengevaluasi tingkat partisipasi masyarakat
5. Merumuskan formulasi strategi implementasi HTR di lokasi penelitian
1.4 Kebaruan (Novelty)
Kebaruan (novelty) yang diperoleh dari penelitian mengenai proses
implementasi kebijakan hutan tanaman rakyat ini adalah:
8 1. Berdasarkan objek penelitian, telah banyak penelitian yang menganalisa
kebijakan HTR dari sisi kebijakan. Penelitian ini menganalisis kebijakan
HTR dari sisi implementasi kebijakan, khususnya di Kabupaten Sarolangun.
2. Berdasarkan metodologi yang digunakan, penelitian ini mengevaluasi proses
implementasi kebijakan HTR sebagai sistem kebijakan secara komprehensif,
meliputi isi kebijakan, pelaku kebijakan (pemerintah daerah dan masyarakat)
dan lingkungan kebijakan.
3. Berdasarkan hasil penelitian akan diperoleh kebaruan berupa strategi
implementasi kebijakan HTR khususnya di Kabupaten Sarolangun.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Publik
Istilah kebijakan berasal dari kata bahasa Inggris policy yang dibedakan dari
kata wisdom (kebijaksanaan) maupun virtues (kebajikan) (Suharto 2006). Definisi
tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak ahli yang
merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Nugroho (2008)
telah menginventarisasi definisi kebijakan publik, dan mendapatkan 12 definisi
tentang kebijakan publik sebagaimana dicantumkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Definisi kebijakan publik
No Sumber Definisi
1 James Anderson (2004)
Tindakan beraturan/sistematis yang dilakukan oleh pelaku kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan atau kepentingan
2 Steven A.P. (2003)
Tindakan pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah
3 James Lester & Robert Steward (2000,18)
Serangkaian proses atau pola aktivitas pemerintah atau keputusan yang dirancang untuk memperbaiki permasalahan publik
4 Austin Ranney (2000)
Serangkaian tindakan atau pernyataan tentang suatu tujuan
5 www.cdc.gov Sejumlah tindakan atau aturan yang mengatur tindakan yang dihasilkan dari pemerintah
6 Lib.ucr.edu Proses menuju tercapainya tujuan politik pemerintahan 7 Thomas R. Dye
(1995,2) Segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah
8 Willian Jenkins (1978)
Keputusan yang diambil oleh pemerintah berupa sejumlah cara atau tindakan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu
9 Harold Laswell & Abraham Kaplan (1970)
Kebijakan adalah suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu
10 David Easton (1965)
Akibat dari aktivitas pemerintah
11 Carl I Friederick (1963)
Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu
12 Michael Howlett & M Rammesh (1957)
Fenomena kompleks yang terdiri dari sejumlah keputusan yang dibuat oleh sejumlah individu atau organisasi
Sumber : Nugroho 2008
10 2.2 Implementasi Kebijakan
Grindle (1980) mempunyai pandangan bahwa tugas implementasi adalah
membentuk suatu ikatan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa
direaliasasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu,
tugas implementasi mencakup terbentuknya ‘a policy delivery system’ dimana
sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada
tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan van Horn (1975) sebagaimana diacu oleh Winarno (2008)
membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Mereka menggolongkan kebijakan
menjadi dua karakteristik yang berbeda, yaitu: (1) jumlah perubahan yang terjadi
dan (2) sejauh mana konsensus menyangkut tujuan antara stakeholders dalam
proses implementasi. Unsur perubahan merupakan karakteristik yang penting,
setidaknya menyangkut dua hal, yaitu: (1) implementasi akan dipengaruhi oleh
sejauhmana kebijakan menyimpang dari kebijakan sebelumnya; dan (2) proses
implementasi dipengaruhi oleh jumlah perubahan organisasi yang diperlukan.
Dunshire (1978) yang diacu oleh Wahab (1998) menjelaskan bahwa
terdapat istilah implementation gap dalam proses implementasi kebijakan, yaitu
suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya perbedaan antara apa yang
diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya
dicapai (sebagai hasil atau prestasi pelaksana kebijakan).
Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung oleh apa yang disebut oleh
implementation capacity dari organisasi/aktor atau kelompok organisasi/aktor
yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan
tersebut. Implementation capacity adalah kemampuan suatu organisasi/aktor
untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa
sehingga ada jaminan bahwa tujuan/sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen
formal kebijakan dapat dicapai (Williams 1971 dalam Wahab 1998).
Namun demikian, sebuah kebijakan mengandung resiko gagal. Hogwood
dan Gunn (1986) dalam Hadi (2007) menjelaskan bahwa kegagalan kebijakan
11 dapat dikelompokkan ke dalam dua katagori, yaitu: non implementation (tidak
terimplementasikan) dan unsuccessfull implementation (implementasi yang tidak
berhasil). Kebijakan negara dikatakan non implementation apabila kebijakan
negara tidak dapat dilakukan sesuai rencana karena pihak-pihak yang terlibat
dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka bekerja secara tidak
effesien atau bekerja setengah hati, atau mereka tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan
kekuasaannya, atau bagaimanapun usaha mereka namun ada hambatan-hambatan
yang tidak dapat mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar
untuk dilaksanakan.
Sementara itu, suatu kebijakan yang tidak berhasil (unsuccessfull
implementation) terjadi apabila suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai rencana,
namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya
terjadi bencana alam, terjadinya pergantian kekuasaan dan sebagainya) maka
kebijakan tersebut tidak dapat menghasilkan dampak sebagaimana yang
diharapkan. Umumnya kebijakan yang beresiko gagal tersebut disebabkan oleh
tiga faktor yaitu: (1) kebijakannya yang jelek (bad policy), (2) pelaksanaannya
jelek (bad implementation), atau (3) kebijakannya yang bernasib jelek (bad luck).
Akibatnya sebuah kebijakan tidak dapat diimplementasikan secara efisien dan
dinilai oleh para pembuat kebijakan sebagai pelaksanaan yang jelek.
Lebih lanjut Wahab (1998) menerangkan bahwa sebagian besar kebijakan
pemerintah pasti akan melibatkan sejumlah pembuat kebijakan yang berusaha
keras untuk mempengaruhi perilaku birokrat/pejabat lapangan (street level
bureaucrats) dalam rangka memberikan pelayanan atau jasa tertentu kepada
kelompok sasaran. Dengan kata lain, dalam implementasi program khususnya
yang melibatkan banyak organisasi/instansi pemerintah atau berbagai tingkatan
struktur organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang,
yaitu : (1) pemrakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center atau pusat), (2)
pejabat pelaksana di lapangan (the periphery) dan (3) aktor-aktor perorangan di
luar badan-badan pemerintah kepada siapa program tersebut ditujukan (target
group atau kelompok sasaran).
12
Mazmanian dan Sabatier (1979) diacu oleh Wahab (1998) menjelaskan
makna implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu
program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang
timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara, yang mencakup
baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses
implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku
badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program
dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran (target group), melainkan
menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang
langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak
yang terlibat, dan akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan
(intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended/negative effects).
Dengan demikian evaluasi proses implementasi kebijakan dimaksudkan
untuk memahami apa yang terjadi setelah suatu program dirumuskan, dan apa
yang timbul dari program kebijakan. Di samping itu implementasi kebijakan tidak
hanya terkait dengan persoalan administratif, melainkan juga mengkaji faktor-
faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.
2.3 Faktor Penentu Kinerja Implementasi
Dalam menetapkan faktor penentu kinerja implementasi, penulis merujuk
pada pendapat Dunn (2000) yang menyebutkan bahwa suatu sistem kebijakan
(policy system) mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu:
kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan.
2.3.1 Isi Kebijakan
Berkenaan dengan komponen kebijakan publik, Abidin (2006) menyebutkan
bahwa terdapat beberapa elemen yang wajib dimiliki suatu kebijakan publik agar
dianggap berkualitas dan layak untuk diimplementasikan, yaitu :
13 1. Tujuan yang ingin dicapai harus rasional dan desirable (diinginkan).
Rasional artinya tujuan tersebut harus dapat dipahami dan diterima oleh akal
sehat terutama bila dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia.
Diinginkan artinya tujuan tersebut seharusnya menyangkut kepentingan orang
banyak,sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak.
2. Asumsi yang dipakai dalam perumusan kebijakan harus realistis, karena
asumsi yang realistis akan menentukan tingkat validitas suatu kebijakan.
3. Informasi yang digunakan cukup lengkap, benar dan tidak kadaluarsa.
Lebih lanjut, Sabatier dalam Parsons (2008) mengemukakan enam
persyaratan untuk implementasi yang efektif, yaitu:
1. Tujuan yang jelas dan konsisten agar dapat menjadi standar evaluasi.
2. Teori kausal yang memadai, dan memastikan agar kebijakan tersebut
mengandung teori yang akurat tentang cara melahirkan perubahan.
3. Struktur implementasi yang disusun secara legal untuk membantu pihak-
pihak yang mengimplementasikan kebijakan dan kelompok-kelompok yang
menjadi sasaran kebijakan.
4. Para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang menggunakan
kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.
5. Dukungan kelompok kepentingan dan ‘penguasa’ di legislatif dan eksekutif.
6. Perubahan kondisi sosial ekonomi tidak melemahkan dukungan kelompok
dan penguasa atau tidak meruntuhkan teori kausal yang mendasari kebijakan.
2.3.2 Implementator dan target kebijakan
Peran implementor sangat penting. Ini berhubungan dengan kapasitas yang
mereka miliki. Kapasitas yang dimaksud mencakup keahlian yang dimiliki,
tingkat kreativitas, komitmen, akses dan dukungan politik yang dimiliki, dan
sebagainya. Kapasitas tersebut akan semakin berdayaguna jika kebijakan yang
diimplementasikan didukung dengan ketersediaan sumberdaya yang memadai.
Tetapi sumberdaya yang berlebihan juga dapat menghambat implementasi.
Kondisi kedua ini biasanya terjadi untuk kebijakan yang mengangkat tema-tema
populis-ideologis yang memberikan diskresi dan otoritas yang besar kepada agen
pelaksana tanpa kontrol yang memadai (Quick 1980 dalam Hadi 2007).
14
Dalam kebijakan HTR, peran kelompok target (masyarakat) menjadi
sangat dominan. Kapasitas yang dimiliki oleh kelompok target akan sangat
menentukan keberhasilan implementasi kebijakan HTR. Kapasitas ini meliputi
modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh kelompok target
pada lokasi penelitian.
2.3.2.1 Modal fisik
Dalam literatur ekonomi, modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi
yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat
atau layanan-layanan produktif atau productive services (Dasgupta & Serageldin,
2000). Lawang (2004) mengungkapkan bahwa modal (capital) mempunyai fungsi
yang sangat penting dalam proses produksi barang dan jasa, terutama untuk
jangka panjang. Dijelaskan terdapat tiga modal dalam bidang ekonomi, yaitu
modal finansial (financial capital), modal manusia (human capital) dan modal
fisik (physical capital). Modal fisik seringkali mengacu pada barang-barang yang
kelihatan (tangible), dapat dipegang, dan sering kali tahan lama (durable) seperti:
bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory). Modal fisik
termasuk pula pembangunan infrastruktur seperti transportasi, komunikasi, dan
irigasi untuk mempermudah proses transaksi ekonomi.
1.
Menurut Robinson et al. (2002) terdapat sembilan sifat dasar (karakteristik)
barang modal fisik, yaitu :
2.
Kapasitas transformasi (transformation capacity) menunjukkan kemampuan
yang ada pada barang modal fisik untuk merubah bentuk (transform) input
menjadi output, tanpa harus ada transformasi pada barang modal fisik itu
sendiri. Contoh : pabrik rokok, dapat merubah bentuk tembakau, kertas dan
rempah-rempah (input) menjadi rokok kretek (output) .
3.
Kemampuan untuk mempertahankan identitas/diri (durability) menunjuk
kepada kemampuan modal fisik tersebut untuk tetap mempertahankan
identitasnya dalam memberikan pelayanan. Contohnya: seekor sapi tetap
menjadi sapi walaupun telah menghasilkan susu selama beberapa tahun.
Fleksibilitas modal fisik menunjuk pada kemungkinan memberikan pelayanan
lebih dari satu. Contoh: kendaraan.
15 4.
5.
Suatu barang modal fisik itu bersifat dapat menggantikan (substitutable) dan
terkadang saling melengkapi (complimentary) seperti: sapi dan bajak dengan
traktor untuk membajak sawah.
6.
Kemampuan pelayanan yang diberikan barang modal fisik dapat berkurang
(declay) karena umur atau penggunaan yang terlalu lama.
7.
Kehandalan (realibility) suatu modal fisik terletak pada kemampuan
pelayanan yang dapat diramalkan atau diharapkan. Ada dua dimensi
pelayanan disini yaitu lamanya (longevity) dan intensitas.
8.
Suatu barang modal fisik mempunyai kemampuan untuk menciptakan barang
modal fisik lainnya. Contohnya: mesin pres logam yang dirancang untuk
memproduksi logam mobil, dapat memproduksi barang logam lainnya
9.
Suatu barang modal fisik memiliki peluang (opportunity) investasi dan
divestasi. Peluang investasi yang dimiliki oleh barang modal fisik menunjuk
kepada kemampuan untuk menciptakan barang modal fisik baru (investasi)
atau menghancurkan (divestasi) barang modal lainnya.
Suatu barang modal fisik itu bersifat alienable (susah diterjemahkan) bila
terjadi perpindahan hak melalui pewarisan, penjualan atau penyewaan.
2.3.2.2 Modal manusia
Istilah modal manusia (human capital) diperkenalkan secara luas pertama
kali dikenalkan oleh Shultz dalam pidatonya di depan American Economic
Association pada tahun 1961. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana, bahwa
proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan
merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi merupakan suatu
investasi (Sidu, 2006).
Menurut Fukuyama (2007) dewasa ini, modal untuk usaha tidak lagi hanya
berwujud tanah, pabrik, alat-alat dan mesin. Bentuk modal-modal tersebut bahkan
cenderung semakin berkurang dan akan segera didominasi oleh modal manusia
seperti; pengetahuan dan keterampilan. Modal manusia merujuk kepada
kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan atau
pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan tertentu (Lawang, 2004).
16
Pendidikan adalah cara dimana individu meningkatkan modal manusianya.
Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan modal manusianya semakin
tinggi pula. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif
juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan
menjadi salah satu sektor utama (leading sector).
Pengembangan sumberdaya berkualitas dimaksudkan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan atau kemampuan kerja manusia dalam melakukan
berbagai macam kegiatan dalam masyarakat. Pembinaan sumberdaya manusia
berhubungan erat dengan peningkatan taraf hidup. Pembinaan sumberdaya
manusia dimulai dari keluarga, ditingkatkan melalui pendidikan formal dan
dikembangkan dalam masyarakat terutama di lingkungan pekerjaan.
Todaro dan Smith (2003) mengemukakan bahwa pendidikan dan kesehatan
merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Keduanya merupakan bentuk
dari modal manusia yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas
manusia yang lebih luas dan berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan
merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk
menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga.
2.3.2.3 Modal sosial
Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan keterampilan
adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan interaksi (berhubungan) satu
sama lain. Kemampuan ini akan menjadi modal penting bagi kehidupan ekonomi
dan eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal
sosial’ (social capital), yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi
mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan organisasi (Coleman, 1988).
Coleman (1988) mengatakan bahwa modal sosial memfasilitasi kegiatan
individu dan kelompok yang dikembangkan oleh jaringan, hubungan timbal balik,
kepercayaan dan norma sosial. Menurut pandangannya, modal sosial merupakan
sumberdaya netral yang memfasilitasi setiap kegiatan. Masyarakat bisa menjadi
lebih baik tergantung pada pemanfaatan modal sosial oleh setiap individu.
Birner and Wittmer (2000) membedakan modal sosial dalam dua perspektif
yang berbeda, yaitu (1) private perspective (pendekatan Bourdieu) dan (2) public
perspective (pendekatan Putnam). Menurut Bourdieu (1992) yang diacu oleh
17 Birner and Wittmer (2000) modal sosial adalah “the totally of all actual and
potential resources associated with the possession of a lasting network of more or
less institutionalized relations of knowing or respecting each other’. Dalam
konsepnya, dikemukakan bahwa jumlah modal sosial seseorang tergantung pada
caranya memobilisasi social network dan berasal dari modal (termasuk ekonomi,
budaya dan symbolic capital) yang ada pada setiap anggota dari social network.
Menurut Putnam (1993) modal sosial adalah jejaring kerja (network), norma
dan kepercayaan sosial (social trust) yang memfasilitasi kerjasama dan koordinasi
untuk mendapatkan keuntungan bersama. Putnam (1995) yang diacu oleh Birner
and Wittmer (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai "the collective value of
all ‘social networks and the inclinations that arise from these networks to do
things for each other
Bagaimana hubungan modal sosial dengan pembangunan atau
pengembangan masyarakat?
". Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya
kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-
individu. Selain pendekatan publik, konsep modal sosial memiliki pendekatan
yang lebih pada unsur individual (Bourdieu). Investasi dalam hubungan sosial
dikaitkan dengan harapan diperolehnya profit dari pasar.
F
Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang
berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai
kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi
unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbalbalikan,
aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
ukuyuma (2002) mengatakan modal sosial adalah
sebagai prakondisi untuk keberhasilan pembangunan. Undang-undang dan
pranata politik menjadi hal pokok dalam membangun modal sosial. Alasannya
adalah modal sosial yang kuat merupakan syarat pokok dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi dan politik yang kuat. Fukuyama (2007) mengupas
pentingnya modal sosial berbasis pada kepercayaan. Masyarakat berinteraksi
dengan modal sosial yang kuat, yang ditunjukkan dengan suasana saling percaya
antar warga dalam keseharian mereka. Bentuk modal inilah yang memiliki
hubungan erat dengan tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat atau bangsa.
18
Para ilmuwan sosial sadar bahwa keberhasilan ekonomi tidak hanya
ditentukan oleh modal ekonomi yang berbentuk material semata, tetapi juga ada
modal dalam bentuk immaterial. Modal immaterial ini oleh banyak ilmuwan
disebut sebagai modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada individu manusia
dan juga bisa merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder
& Seok, 2002). Oleh karena itu, mengenai pengertian atau definisi modal sosial
sangat beragam tetapi tidak lepas dari dua obyek penekanan, pertama penekanan
pada karakteristik yang melekat pada individu (norma-norma, saling percaya,
saling pengertian, kepedulian dan lain-lain) dan kedua penekanan pada jaringan
hubungan sosial (adanya kerjasama, pertukaran informasi dan lain-lain).
2.3.3 Lingkungan implementasi kebijakan
Lingkungan tempat di mana sebuah kebijakan diimplementasikan akan
sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah kebijakan. Keadaan sosial-ekonomi,
politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat sebuah kebijakan
diimplementasikan akan sangat mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik.
Kondisi sosial-ekonomi sebuah masyarakat yang maju, sistem politik yang stabil
dan demokratis, dukungan baik dari konstituen maupun elit penguasa, dan budaya
keseharian masyarakat yang mendukung akan mempermudah implementasi
sebuah kebijakan (Ekowati, 2009).
Lebih lanjut Ekowati (2009) menyebutkan bahwa ketika sebuah
perundang-undangan ditetapkan sebagai dasar struktur legal, pada
implementasinya terjadi paling tidak dua proses penting, yaitu :
1. Kebutuhan suatu program untuk mencari perubahan perilaku dalam menerima
secara konstan atau periodik sebuah kebijakan. Jika terjadi penundaan dalam
mencari kerjasama, maka banyaknya kepentingan akan mempengaruhi
keberhasilan implemetasi dan tujuan kebijakan.
2. Pengaruh perubahan dalam kondisi sosial ekonomi dengan dukungan tujuan
di antara publik, umumnya kepentingan kelompok dan pemerintahan.
Hofferbert (1994) yang diacu oleh Ekowati (2009) menyebutkan bahwa
perubahan yang terjadi biasanya bervariasi sebagai faktor anteseden (yang
mendahului), yang diidentifikasi sebagai berikut: (a) peristiwa historis, (b)
19 kondisi sosial ekonomi, (c) opini publik dan (d) wilayah tempat kebijakan
diimplementasikan.
2.3.4 Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder merupakan suatu pendekatan untuk memahami sebuah
sistem dan perubahan yang terjadi di dalamnya, dengan mengidentifikasi aktor
kunci atau stakeholder kunci dan menilai kepentingan masing-masing stakeholder
dalam sistem tersebut (Grimble & Wellard, 1997). Istilah stakeholder dalam
analisis ini ditujukan untuk semua pihak yang mempengaruhi, dan atau
dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dalam sebuah sistem. Oleh
karena itu, stakeholder dapat bersifat individual, masyarakat, kelompok sosial
atau institusi dalam berbagai ukuran, kesatuan atau tingkat dalam masyarakat.
Analisis stakeholder memandu kita untuk dapat sampai pada persoalan dan
memahami alasan yang ada di balik konflik kepentingan yang mengancam
keberhasilan suatu proyek atau kebijakan (Grimble & Chan, 2005). Masuknya ide
ini dalam perencanaan lingkungan dapat menyempurnakan prediksi mengenai
hasil (outcomes), mengurangi resiko perlawanan yang tidak terduga dan secara
umum memfasilitasi informasi bagi pembuat keputusan (Grimble et al., 1995)
Meyers (2001) menyatakan bahwa analisis stakeholder diperlukan untuk
memahami posisi orang lain dalam menghadapi isu yang ada, sehingga dapat
menakar tingkat dukungan atau oposisi dari orang lain dan memprediksi langkah
yang akan diambil bila terjadi perubahan. Lebih lanjut Meyers (2001)
mengungkapkan bahwa masing-masing stakeholder memiliki derajat kekuatan
(power) yang berbeda-beda dalam mengontrol keputusan yang berpengaruh pada
kebijakan dan lembaga; dan mereka juga memiliki derajat potensi yang berbeda
untuk disumbangkan atau derajat kepentingan (interest) yang berbeda dalam
mencapai tujuan tertentu.
Kepentingan (interest) dalam oxford advanced leaner’s dictionary
didefenisikan sebagai sesuatu yang akan membuat seseorang memberikan
perhatiannya terhadap sesuatu (Hornby, 1995). Dalam literatur psikologi sosial,
pengaruh (influence) didefenisikan sebagai proses dari mempengaruhi pemikiran,
kebiasaan dan perasaan dari orang lain dan kapasitas pengaruh seseorang (agen)
terhadap orang lain (target) akan sangat tergantung pada kekuatan yang dimiliki
20 oleh orang tersebut (agen) (Nelson & Quick, 1994 dalam Reed et al. (2009).
Yukl (1994) menyebutkan bahwa pengaruh hanya merupakan efek dari suatu
pihak (agen/subyek) terhadap pihak yang lain (target/obyek). Pengaruh tersebut
dapat mengenai orang, hal-hal atau peristiwa. Dalam hal menyangkut orang,
pengaruh tersebut dapat mengenai sikap, persepsi, perilaku atau kombinasi dari
hal-hal tersebut.
Pengaruh seseorang (agen) terhadap orang lain (target) akan sangat
tergantung oleh kekuatan/kekuasaan yang dimiliki seseorang (agen). Meyers
(2001) mengemukakan bahwa kekuatan (power) stakeholder dapat diketahui dari
tingkat kemampuan stakeholder untuk membujuk atau memaksa orang lain untuk
membuat keputusan dan atau mengikuti serangkaian kegiatan tertentu. Lebih
lanjut Meyers (2001) mengungkapkan bahwa kekuatan dapat berasal dari sifat
organisasi stakeholder dan atau posisi mereka dalam hubungannya dengan
stakeholder lain.
French & Raven (1959) sebagaimana diacu Yukl (1994) mengembangkan
sebuah taksonomi untuk mengklasifikasikan kekuasaan/kekuatan (power)
berdasarkan sumber-sumbernya, yaitu:
1. Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat
memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen.
2. Coercive power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat
menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen.
3. Legitimate power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena
percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang
ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.
4. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya
bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk
melakukan sesuatu.
5. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi
dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh
penerimaan dari agen.
21 Konsep lainnya mengenai sumber-sumber kekuasaan/kekuatan adalah dikotomi
antara (1) kekuasaan karena kedudukan (position power) dan kekuasaan pribadi
(personal power) (Bass, 1960 dan Etzioni, 1961 dalam Yukl, 1994).
2.4 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesa terhadap model pembangunan
yang kurang memihak kepada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari
kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun
dari pemusatan kekuasaan pada faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor
produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha
pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun sistem pengetahuan, sistem politik,
sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi;
dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan
ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu
masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996).
Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua
tujuan, yaitu: (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan; serta (2)
memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Kedua-duanya
harus ditempuh, dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan.
Pranarka dan Vidhyandika (1996) menyebutkan bahwa terdapat dua
kecenderungan dalam proses pemberdayaan yaitu:
1. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada
masyarakat agar individu dapat lebih berdaya. Upaya ini dilengkapi dengan
membangun aspek material guna mendukung pembangunan kemandirian
mereka melalui organisasi. Proses ini dapat disebut sebagai kecenderungan
primer dari makna pemberdayaan.
2. Kecenderungan sekunder yang lebih menekankan kepada proses dialog.
Kecenderungan ini terkait kemampuan individu mengontrol lingkungannya.
Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa upaya pemberdayaan yang
dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan
kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan
22 kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya,
dengan kata lain memberdayakannya.
Pemberdayaan hendaknya didasarkan pada prinsip keberpihakan kepada
masyarakat marginal, karena mereka berada di lapisan sosial paling bawah dan
memiliki posisi yang mampu memecahkan masalah untuk merubah posisi mereka.
Pemberdayaan tidak semata-mata diarahkan pada perbaikan kualitas hidup jangka
pendek dalam konteks ekonomi (peningkatan kesejahteraan ekonomi) maupun
sosial (pendidikan , kesehatan dll) tetapi secara strategi harus mengarah kepada
proses untuk mendapatkan transformasi tatanan kehidupan (Kartasasmita, 1997).
Istilah pemberdayaan (empowerment) muncul hampir bersamaan dengan
adanya kesadaran pada perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu seharusnya mampu merangsang
proses kemandirian masyarakat (self sustaining process). Tanpa partisipasi
masyarakat, proses kemandirian tersebut tidak akan memperoleh kemajuan.
Mardikanto (2010) mengemukakan bahwa kata kunci dari pengertian
partisipasi masyarakat adalah adanya kesukarelaan masyarakat untuk terlibat atau
melibatkan diri dalam pembangunan. Dusseldorp (1981) membedakan tingkat
kesukarelaan masyarakat dalam berpartisipasi menjadi lima jenjang, yaitu:
1. Partisipasi spontan
Partisipasi masyarakat tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman,
penghayatan dan keyakinan diri sendiri
2. Partisipasi terinduksi
Partisipasi tumbuh karena adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan,
pengaruh atau dorongan) dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap
memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi
3. Partisipasi tertekan oleh kebiasaan
Partisipasi yang dilakukan untuk memenuhi kebiasaan, nilai-nilai atau norma-
norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Bila tidak maka takut akan
disisihkan/dikucilkan oleh sekitarnya.
4. Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi
Partisipasi karena takut kehilangan status sosial, atau takut menderita
kerugian atau tidak memperoleh manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan
23
5. Partisipasi tertekan oleh peraturan
Partisipasi dilakukan karena takut akan menerima hukuman atau peraturan
dari ketentuan yang sudah diberlakukan.
Partisipasi masyarakat juga merupakan arti sederhana dari kekuasaan
masyarakat (citizen power). Hal tersebut menyangkut redistribusi kekuasaan yang
memperbolehkan masyarakat miskin dilibatkan secara sadar dalam proses-proses
ekonomi dan politik. Partisipasi masyarakat juga merupakan strategi dimana
masyarakat miskin ikut terlibat dan menentukan bagaimana pemberian informasi,
tujuan dan kebijakan dibuat, jumlah pajak yang dialokasikan, pelaksanaan
program-program, dan keuntungan-keuntungan seperti kontrak-kontrak dan
perlindungan-perlindungan diberikan.
Arnstein (1969) menggambarkan partisipasi masyarakat adalah suatu pola
bertingkat (ladder patern). Suatu tingkatan yang terdiri dari delapan tingkat
dimana tingkatan paling bawah merupakan tingkat partisipasi masyarakat sangat
rendah, kemudian tingkat yang paling atas merupakan tingkat dimana partisipasi
masyarakat sudah sangat besar dan kuat. Tingkatan partisipasi ini, tidak
menjelaskan bagus atau tidak baik sebuah level, melainkan sesuai atau tidak
sesuai sebuah level terhadap kondisi masyarakat. Tingkatan partisipasi menurut
Arnstein dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Tingkatan Partisipasi Menurut Arnstein (1969)
Citizen Control
Delegated Power
Partnership
Placation
Consultation
Informing
Therapy
Manipulation
Degrees of citizen Power
Degrees of Tokenism
Non Participation
MO
RE P
ARTI
SIPA
TIV
E
24
Tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) bisa dijelaskan
sebagai berikut:
1. Manipulasi (Manipulation)
Pada tingkat ini partisipasi masyarakat berada di tingkat yang sangat rendah.
Bukan hanya tidak berdaya, akan tetapi pemegang kekuasaan memanipulasi
partisipasi masyarakat melalui sebuah program untuk mendapatkan
“persetujuan” dari masyarakat. Masyarakat sering ditempatkan sebagai
komite atau badan penasehat dengan maksud sebagai “pembelajaran” atau
untuk merekayasa dukungan mereka. Partisipasi masyarakat dijadikan
kendaraan public relation oleh pemegang kekuasaan.
2. Terapi (Therapy)
Untuk tingkatan ini, kata “terapi” digunakan untuk merawat penyakit.
Ketidakberdayaan adalah penyakit mental. Terapi dilakukan untuk
menyembuhkan “penyakit” masyarakat. Pada kenyataannya, penyakit
masyarakat terjadi sejak distribusi kekuasaan antara ras atau status ekonomi
(kaya dan miskin) tidak pernah seimbang.
3. Pemberian Informasi (Informing)
Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan transisi antara tidak
ada partisipasi dengan tokenism. Kita dapat melihat dua karakteristik yang
bercampur. Pertama, pemberian informasi mengenai hak-hak, tanggung
jawab, dan pilihan-pilihan masyarakat adalah langkah pertama menuju
partisipasi masyarakat. Kedua, pemberian informasi ini terjadi hanya
merupakan informasi satu arah (tentunya dari aparat pemerintah kepada
masyarakat). Akan tetapi tidak ada umpan balik (feedback) dari masyarakat.
Alat yang sering digunakan dalam komunikasi satu arah adalah media massa,
pamflet, poster dan respon untuk bertanya.
4. Konsultasi (Consultation)
Konsultasi dan mengundang pendapat-pendapat masyarakat merupakan
langkah selanjutnya setelah pemberian informasi. Arnstein (1969)
menyatakan bahwa langkah ini dapat menjadi langkah yang sah menuju
tingkat partisipasi penuh. Namun, komunikasi dua arah ini sifatnya tetap
25
buatan (artificial) karena tidak ada jaminan perhatian-perhatian masyarakat
dan ide-ide akan dijadikan bahan pertimbangan.
5. Penentraman (Placation)
Strategi penentraman menempatkan sangat sedikit masyarakat pada badan-
badan urusan masyarakat atau pada badan-badan pemerintah. Pada umumnya
mayoritas masih dipegang oleh elit kekuasaan. Dengan demikian, masyarakat
dapat dengan mudah dikalahkan dalam pemilihan atau ditipu. Dengan kata
lain, mereka membiarkan masyarakat untuk memberikan saran-saran atau
rencana tambahan, tetapi pemegang kekuasaan tetap berhak untuk
menentukan legitimasi atau fisibilitas dari saran-saran tersebut. Ada dua
tingkatan dimana masyarakat ditentramkan: (1) kualitas pada bantuan teknis
yang mereka miliki dalam membicarakan prioritas-prioritas mereka; (2)
tambahan dimana masyarakat diatur untuk menekan prioritas tersebut.
6. Kemitraan (Partnership)
Pada tingkat kemitraan, partisipasi masyarakat memiliki kekuatan untuk
bernegosiasi dengan pemegang kekuasaan. Kekuatan tawar menawar pada
tingkat ini adalah alat dari elit kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki
kekuasaan. Kedua pemeran tersebut sepakat untuk membagi tanggung jawab
perencanaan dan pengambilan keputusan melalui badan kerjasama, komite-
komite perencanaan dan mekanisme untuk memecahkan kebuntuan masalah.
Beberapa kondisi untuk membuat kemitraan menjadi efektif adalah: (1)
adanya sebuah dasar kekuatan yang terorganisir di dalam masyarakat di mana
pemimpin-pemimpinnya akuntabel; (2) pada saat kelompok memiliki sumber
daya keuangan untuk membayar pemimpinnya, diberikan honor atas usaha-
usaha mereka; (3) ketika kelompok memiliki sumber daya untuk menyewa
dan mempekerjakan teknisi, pengacara, dan manajer (community organizer)
mereka sendiri.
7. Pendelegasian Kekuasaan (Delegated Power)
Pada tingkat ini, masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan untuk
menentukan program-progam pembangunan. Untuk memecahkan perbedaan-
perbedaan, pemegang kekuasaan perlu untuk memulai proses tawar menawar
dibandingkan dengan memberikan respon yang menekan.
26 8. Pengawasan Masyarakat (Citizen Control)
Pada tingkat tertinggi ini, partisipasi masyarakat berada di tingkat yang
maksimum. Pengawasan masyarakat di setiap sektor meningkat. Masyarakat
meminta dengan mudah tingkat kekuasaan (atau pengawasan) yang menjamin
partisipan dan penduduk dapat menjalankan sebuah program atau suatu
lembaga akan berkuasa penuh baik dalam aspek kebijakan dan dimungkinkan
untuk menegosiasikan kondisi pada saat di mana pihak luar bisa
menggantikan mereka.
Sumodiningrat (1999), menyebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi
kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa
menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak
yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang
memberdayakan (agen pemberdaya).
Dalam menjalankan fungsinya, agen pemberdaya harus melebur dalam
kesetaraan dan kemitraan bersama masyarakat. Kegagalan selama ini banyak
diasumsikan karena prinsip-prinsip pemberdayaan (kode etik pemberdayaan) yang
seharusnya dilakukan bersama (secara partisipatif) telah dilanggar, karena ada
kepentingan-kepentingan tertentu dari segelintir orang di luar unsur masyarakat
sasaran. Dampaknya menjadi lebih besar terutama untuk kepentingan
pemberdayaan yang berkesinambungan (Sumodiningrat 1999).
Kartasasmita (1997) menjelaskan bahwa pendekatan utama dalam proses
pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai
proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya
sendiri. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan
sebagai berikut:
1. Upaya itu harus terarah (targetted). Ini yang secara populer disebut
pemihakan. Ia ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program
yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
2. Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan
dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni: (a) supaya bantuan tersebut
27
efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta kebutuhan
mereka; (b) meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan
pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan
mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya.
3. Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga
lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara
individu. Pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari
penggunaan sumber daya juga lebih efisien. Di samping itu kemitraan usaha
antara kelompok tersebut dengan kelompok yang lebih maju harus terus-
menerus dibina dan dipelihara secara saling menguntungkan dan memajukan.
2.5 Sekilas Tentang Hutan Tanaman Rakyat
2.5.1 Defenisi hutan tanaman rakyat (HTR)
Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 mendefinisikan hutan tanaman
rakyat sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok
masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan
penetapan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian hutan (Bab 1 pasal 1
ayat 19).
Ketentuan di atas dengan jelas membedakan terminologi hutan tanaman
rakyat (HTR) dengan program kehutanan yang melibatkan masyarakat lainnya
seperti Hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan rakyat (HR). HTR hanya
dikembangkan pada kawasan hutan produksi yang tidak dibebani hak, sedangkan
HKm dimungkinkan untuk dikembangkan di kawasan hutan konservasi (kecuali
cagar alam dan zona inti taman nasional), hutan produksi dan hutan lindung dan
hutan rakyat dibangun pada kawasan hutan yang dibebani hak. Perbedaan hutan
tanaman rakyat dengan kebijakan kehutanan lain yang melibatkan masyarakat
seperti hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan dapat dilihat pada Lampiran 1.
Perbedaan mendasar antara hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan
tanaman rakyat terletak pada kepemilikan (lahan dan tanaman). Kepemilikan
hutan rakyat telah jelas adalah milik masyarakat karena dibangun di atas lahan
yang dibebani hak milik. Kepemilikan lahan pada HTR dan HKm adalah milik
28 negara dan masyarakat yang mengelola lahan tersebut hanya mempunyai izin
usaha pemanfaatan hutan.
Kepemilikan tanaman pada hutan kemasyarakatan tidak dapat dikatakan
milik masyarakat (petani HKm). Direktur BPK (2010) dalam Herawati (2010a)
menyebutkan bahwa penanaman pohon pada program HKm menggunakan
anggaran belanja negara, sehingga petani HKm tidak dapat mengklaim tegakan di
areal HKm sebagai milik pribadi, melainkan harus melalui mekanisme bagi hasil
dengan pemerintah. Sementara, tegakan yang ditanam di HTR diarahkan sebagai
aset pribadi karena dibiayai dari modal petani atau dapat bersumber dari kredit
pemerintah dengan menjadikan tegakan HTR sebagai agunan.
Perbedaan ini memperlihatkan upaya pemerintah untuk menjadikan
masyarakat sebagai partner dalam pengelolaan hutan. Dalam program HTR,
pemerintah memberikan hak dan tanggungjawab kepada masyarakat yang tinggal
di dalam dan sekitar hutan untuk membangun hutan tanaman di kawasan hutan
produksi. Untuk itu pemerintah menyediakan lahan maksimum 15 Ha/KK/daur
tanaman (misal 8 tahun) dan biaya sebesar Rp 5–8 juta/ha/tahun (tergantung
regionnya) sebagai pinjaman dengan suku bunga sebesar 9.5% (Hakim 2007).
2.5.2 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat
Program HTR pertama dicanangkan pada awal tahun 2007 berdasarkan PP
No. 6 tahun 2007 Jo PP No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan dan Permenhut No.
P.23/Menhut-II/2007 Jo. Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara
Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Program ini memberikan
akses kepada masyarakat untuk (1) Memperoleh pengakuan secara hukum dalam
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi; (2) Memperoleh
pinjaman dana pembangunan HTR; (3) Memperoleh jaminan pasar melalui
penetapan harga dasar.
Ditengarai ada tiga situasi yang melatarbelakangi kebijakan HTR, yaitu (1)
tingginya kebutuhan kayu yang tidak dapat diimbangi oleh kemampuan hutan
alam untuk menyediakan kayu bulat; (2) peluang untuk menghasilkan hasil hutan
bukan kayu; dan (3) banyaknya kawasan hutan produksi yang secara de facto
menjadi open access pasca berakhirnya masa konsesi HPH. Tiga situasi ini
29 menjadikan pembangunan hutan tanaman rakyat terlihat sangat sesuai untuk
diimplementasikan.
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) juga merupakan peluang yang sangat
baik untuk dikembangkan dalam hutan tanaman rakyat. HHBK (seperti satwa,
bunga, buah, rotan, madu, damar, gaharu, getah dan lain-lain) dapat menjadi
sumber devisa negara dan sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat hutan.
Data Kementerian Kehutanan menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2000-2004
tercatat devisa ekspor satwa dan tumbuhan di Indonesia sebesar USD 4.17 juta
(Dephut, 2006). Nilai ekspor satwa dan tumbuhan pada tahun 2009 meningkat
hingga mencapai Rp 4.54 triliun dengan masing-masing Rp 3.04 triliun (satwa)
dan Rp 1.5 triliun (tumbuhan), sedangkan produksi rotan mencapai 24.5 ribu ton,
gondorukum 3.2 ribu ton, minyak kayu putih 20 ribu liter, damar 11.1 ribu ton,
dan kopal 149 ton (Kemenhut 2011b).
Lemahnya power pemerintah pasca reformasi menyebabkan pemerintah
merasa kesulitan untuk mengamankan hutan dengan menggunakan instrumen
masa lalu, seperti pengamanan dengan menggunakan polisi kehutanan atau
penegakan hukum. Hal ini menimbulkan banyaknya kawasan hutan produksi yang
semula areal konsesi HPH menjadi kawasan yang tidak bertuan (secara de facto
menjadi open access). Di sisi lain, modal sosial masyarakat mulai melemah,
tingkat kepercayan masyarakat terhadap pemerintah dan sesama masyarakat mulai
menurun. Secara teoritis, dalam kondisi seperti ini kebijakan yang harus diambil
oleh pemerintah adalah dengan memberikan kesempatan mengelola hutan secara
private baik oleh masyarakat maupun pengusaha swasta (Gambar 2). Maka
kebijakan HTR menjadi keputusan pemerintah untuk memberikan hak
pengelolaan kepada masyarakat, dimana masyarakat diperbolehkan untuk
mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan dengan tujuan membangun hutan
untuk kelestarian.
30
STATE CAPABILITY
WEAK STRONG SO
CIA
L C
API
TA
L
WE
AK
PRIVATE STATE OWNER
STR
ON
G
CBFM CO –MANAGEMENT
Gambar 2 Pengelolaan Hutan Berdasarkan Kondisi Modal Sosial dan Kapasitas Negara
Sumber: Nurrochmat, 2005b
Dalam rencana implementasinya, program hutan tanaman rakyat ini akan
dikembangkan melalui tiga pendekatan yaitu pola kemitraan, pola mandiri dan
pola developer. Pola mandiri dilakukan langsung oleh masyarakat lokal secara
individu atau berkelompok, sedangkan pada pola kemitraan dan developer
dirancang akan melibatkan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Swasta
(Emila dan Suwito 2007).
Pola mandiri mengarahkan masyarakat setempat untuk membentuk
kelompok tani hutan, yang kemudian diajukan ke bupati. Kemudian pemerintah
mengalokasikan areal dan SK IUPHHK-HTR untuk setiap individu dalam
kelompok dan masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab atas
pelaksanaan HTR, pengajuan dan pengendalian kredit, pasar dan pendampingan
dari pemda setiap anggota mengingatkan anggota kelompok lainnya untuk
memenuhi kewajiban.
Pola kemitraan dilakukan melalui kemitraan antara petani atau kelompok
tani hutan dengan HTI BUMN/S atau industri perkayuan (panel), pulp dan
kertas/model plasma inti. Pola ini menuntut masyarakat setempat untuk
membentuk kelompok yang kemudian diajukan oleh Bupati ke Menteri
Kehutanan. Pemerintah menerbitkan SK IUPHHK HTR ke individu dan
menetapkan mitra. Mitra bertanggung jawab atas saprodi, pelatihan,
pendampingan dan pasar.
31
Pola lainnya adalah pola developer. Pola ini diperkenalkan Kementerian
Kehutanan (Kemenhut) dengan merujuk kepada developer perumahan. Prinsipnya
BUMN/S sebagai developer membangun HTR dan selanjutnya diserahkan oleh
pemerintah kepada masyarakat sebagai pemegang IUPHHK-HTR yang
selanjutnya biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pinjaman pemegang
IUPHHK-HTR dan dikembalikan secara bertahap sesuai akad kredit.
Lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah No.3/2008 disebutkan bahwa
pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada HTR
diberikan dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang 1 kali dengan
jangka waktu 35 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun oleh menteri sebagai dasar
kelangsungan izin. Tanaman yang dihasilkan HTR merupakan aset pemegang izin
usaha dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin masih berlaku.
2.6 Beberapa Tulisan Dan Penelitian Mengenai HTR
Beberapa tulisan dan penelitian yang mengangkat tema ‘kebijakan hutan
tanaman rakyat’ telah dilaksanakan sejak digulirkannya kebijakan ini. Sub bab ini
mencoba untuk menyajikan isi tulisan dan hasil penelitian dimaksud.
Herawati (2010a) mengemukakan bahwa proses perumusan kebijakan HTR
bukan merupakan model linier melainkan suatu proses incremental (bertahap)
dengan melakukan perubahan sedikit demi sedikit terhadap kebijakan yang
sebelumnya telah ada. Gagasan pembangunan HTR dilatarbelakangi oleh
tingginya potensi lahan kosong yang terdapat di kawasan hutan negara berupa
spot kecil yang tersebar. Di sisi lain sektor industri kayu tengah mengalami defisit
pasokan bahan baku. Dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan
hutan terdegradasi, maka dipilih pemecahan masalah berupa pemberian hak akses
kepada masyarakat sekitar hutan. Kesempatan hak akses bagi masyarakat
dilakukan melalui pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR)
Lebih lanjut Herawati (2010a) mengemukakan bahwa prinsip pemikiran
para pengambil kebijakan HTR di tingkat pusat tidak sejalan dengan persepsi dan
pemahaman yang diterima oleh para pelaksana program di lapangan. Pola fikir
pemberdayaan masyarakat lebih mendominasi di kalangan birokrat pemerintah
32 daerah, sehingga pelaksanaan program HTR sangat tergantung kepada adanya
dukungan fasilitas anggaran, sarana, dan prasarana yang akan disediakan oleh
pemerintah pusat. Kebijakan HTR dipersepsikan oleh stakeholders di daerah
sebagai pola keproyekan sebagaimana pola pembangunan kehutanan yang
lainnya. Oleh karena itu pelaksanaan kegiatan HTR di lapangan tidak berjalan
sesuai harapan. Selain karena terjadinya ketidaksepahaman di kalangan
pemerintah pusat dan daerah, faktor yang menjadi penyebab keterlambatan
impelementasi HTR juga karena keterbatasan kemampuan dan kapasitas petani
sasaran untuk menjalankan bisnis hutan tanaman
Emila & Suwito (2007) mengungkapkan bahwa kebijakan pembangunan
HTR terkait dengan kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro-
poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro poor) dan memperbaiki kualitas
pertumbuhan investasi yang proporsional antar pelaku ekonomi (pro growth).
Belakangan, Ditjen BUK (2011) menambahkan bahwa kebijakan HTR juga
terkait dengan agenda perbaikan lingkungan hidup (pro environment).
Emila & Suwito (2007) mengemukakan tiga prinsip pemberdayaan
masyarakat yang harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan HTR, yaitu:
1. Prinsip pertama adalah masyarakat mengorganisasikan dirinya berdasarkan
kebutuhannya (people organized themselves based on their necessity). Ini
berarti pemberdayaan hutan beserta masyarakatnya ini bukan digerakkan oleh
proyek ataupun bantuan luar negeri karena hal tersebut tidak akan membuat
masyarakat mandiri dan hanya membuat “kebergantungan” masyarakat.
2. Prinsip kedua adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat harus bersifat padat
karya (labor-intensive) sehingga kegiatan ini tidak mudah ditunggangi
pemodal (cukong) yang tidak bertanggung jawab.
3. Prinsip ketiga adalah pemerintah memberikan pengakuan/rekognisi dengan
memberikan aspek legal sehingga kegiatan masyarakat yang tadinya informal
di sektor kehutanan dapat masuk ke sektor formal ekonomi kehutanan/
ekonomi lokal, nasional dan global sehingga bebas dari pemerasan oknum
birokrasi dan premanisme pasar.
Noordwijk et al (2007) menyimpulkan bahwa HTR merupakan paradigma
baru dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia. Walaupun dalam prakteknya
33 masyarakat telah lama melakukan pemanfaatan pada kawasan hutan tersebut
meskipun tanpa jaminan adanya pengakuan hak yang jelas (Hakim dan Effendi,
2008). Pemerintah memberikan jaminan legalitas dan kesempatan yang luas
kepada pihak lain untuk ikut serta alam kegiatan pengelolaan hutan (Hakim dan
Effendi, 2008; Schneck, 2009)
Noordwijk et al (2007) mengemukakan bahwa ada tiga paradigma dalam
hutan tanaman. Paradigma pertama adalah konsep nucleus-plasma-estate dalam
penanaman timber fastwood, dimana pusat kontrol keputusan mengenai jenis
tanaman yang akan ditanam dan hubungan organisasi sentral dengan unit proses
ditetapkan melalui a simple planning framework, tetapi posisi masyarakat sangat
essensial dalam peranannya sebagai tenaga kerja pertanian. Paradigma kedua
adalah community management forest dimana pemerintah satu langkah ke
belakang dan mengizinkan komunitas lokal untuk merespon pasar dan mengelola
hutan negara sesuai dengan pengetahuan mereka. Paradigma ketiga adalah
independent smallholders yang beroperasi pada desa dan hutan milik umumnya
bebas untuk menanam pohon, tapi masih kesulitan dalam memasarkan dan
menggunakan tanaman yang mereka tanam.
Hakim (2009) mengemukakan bahwa pembangunan HTR merupakan upaya
pemerintah dalam rangka meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab
masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan dengan didasari oleh prinsip-prinsip
pengelolaan hutan produksi. Masyarakat diharapkan dapat lebih memahami fungsi
ganda hutan/kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan.
Lebih lanjut Hakim (2009) mengemukakan bahwa secara teknis dan
manajemen, program HTR dapat merupakan upaya kelembagaan kehutanan dalam
menata kembali konsep kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yang dimulai dari
bawah dengan luasan sempit. Beberapa aspek penting yang harus dilakukan
penataannya adalah: (a) teknologi pengelolaan HTR yang tepat guna, (b) jaminan
keamanan dan ketersediaan lahan, (c) jaminan pasar/industri pengguna hasil HTR,
(d) kelembagaan petani (inti) dan kelembagaan penunjang yang kuat dan (e) skim
pembiayaan konvensional (bersumber dari dana DR) dan pembiayaan alternatif
dari sektor/lembaga lain memerlukan dukungan konsep HTR yang operasional
dan mudah digunakan oleh masyarakat.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Nugroho (2008) mengemukakan bahwa tujuan evaluasi bukan untuk
menyalahkan pihak yang mengeluarkan kebijakan. Evaluasi dilaksanakan untuk
mengetahui kesenjangan antara harapan dan pencapaian suatu kebijakan, serta
bagaimana menutup kesenjangan tersebut.
Parsons (2008) mengatakan bahwa evaluasi dapat dilaksanakan ketika
kebijakan/program sedang diimplementasikan yang disebut evaluasi formatif.
Palumbo (1937) dalam Parsons (2008) mengatakan bahwa evaluasi formatif
merupakan analisis tentang seberapa jauh program diimplementasikan dan kodisi
apa yang dapat meningkatkan keberhasilan implementasi.
Nugroho (2008) menyarankan prinsip empat tepat dalam mengukur
keefektifan implementasi sebuah kebijakan. Pertama, apakah kebijakannya sendiri
sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada
telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak
dipecahkan. Tepat yang kedua adalah tepat pelaksananya. Tepat yang ketiga
adalah tepat pelaksanaannya. Tepat keempat adalah tepat lingkungan.
Untuk mengukur apakah sebuah kebijakan telah tepat, Parsons (2008)
menyebutkan bahwa tujuan harus didefinisikan secara jelas dan dipahami dengan
baik, sumberdaya harus disediakan, rantai komando harus bisa menyatukan dan
mengotrol sumber-sumber daya tersebut dan sistem harus dapat berkomunikasi
secara effektif dan mengontrol individu dan organisasi yang terlibat dalam
pelaksanaan tugas.
Berkenaan dengan hal itu,
1. Logika kebijakan.
Subarsono (2006) berpendapat bahwa ada tiga
variabel besar yang mempengaruhi keberhasilan implementasi program, yaitu:
Dalam hal ini, kebijakan yang ditetapkan merupakan kebijakan yang masuk
akal dan mendapat dukungan teoritis. Isi dari suatu kebijakan atau program
hendaknya mencakup berbagai aspek yang mungkin untuk diimplementasikan
dalam tataran praktik.
36 2. Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan.
Lingkungan kebijakan meliputi kondisi sosial, politik, ekonomi, pertahanan,
keamanan, fisik atau geografis.
3. Kemampuan implementor.
Keberhasilan suatu kebijakan dipengaruhi oleh kompetensi dan keterampilan
dari para implementor kebijakan. Untuk itu, diperlukan pengembangan
kualitas SDM, komitmen, dan jumlah implementator yang memadai.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Dunn (2000) yang menyebutkan
bahwa suatu sistem kebijakan (policy system) mencakup hubungan timbal balik
antara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan
kebijakan. Dunn (2000) menggambarkan pola timbal balik tiga elemen tersebut
dalam sistem kebijakan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Tiga Elemen Sistem Kebijakan Sumber : Dunn (2000)
Dunn (2000) menjelaskan bahwa tiga elemen sistem kebijakan seperti
tergambar dalam Gambar 1 saling berhubungan, di mana :
1. Kebijakan publik, merupakan serangkaian pilihan yang dibuat atau tidak
dibuat oleh badan atau kantor pemerintah, dipengaruhi atau mempengaruhi
lingkungan kebijakan dan kebijakan publik.
2. Pelaku kebijakan, adalah kelompok masyarakat, organisasi profesi, partai
politik, berbagai badan pemerintah, wakil rakyat, dan analis kebijakan yang
dipengaruhi atau mempengaruhi pelaku kebijakan dan kebijakan publik.
PELAKU KEBIJAKAN
KEBIJAKAN PUBLIK
LINGKUNGAN KEBIJAKAN
37 3. Lingkungan kebijakan, yakni suasana tertentu tempat kejadian di sekitar isu
kebijakan itu timbul, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pelaku kebijakan
dan kebijakan publik
Berdasarkan berbagai pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
tiga komponen utama yang dianggap mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu
(1) isi kebijakan HTR, (2) implementator dan kelompok target dan (3) lingkungan
kebijakan. Oleh karena itu, evaluasi proses implementasi kebijakan HTR ini akan
difokuskan kepada tiga komponen utama tersebut.
Komponen kebijakan akan dianalisis melalui peraturan-peraturan terkait
dengan pembangunan hutan tanaman rakyat dan dokumen lain yang mendukung.
Telah terdapat beberapa penelitian mengenai kebijakan HTR. Agar tidak tumpang
tindih dengan penelitian yang lain, maka hal-hal yang akan dianalisa dari faktor
kebijakan dalam penelitian ini akan dibatasi terhadap :
1. Kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan.
Tujuan yang digunakan harus jelas, konsisten, desirable (diinginkan) dan
rasional.
2. Asumsi yang digunakan
Asumsi yang digunakan dalam perumusan kebijakan hendaknya realistis.
Asumsi yang realistis akan menentukan tingkat validitas suatu kebijakan.
3. Struktur Implementasi kebijakan
4. Dukungan sumberdaya manusia dan finansial
Komponen lain yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah komponen
pelaku kebijakan, yang terdiri dari pemerintah daerah (pemda) selaku
implementator dan masyarakat selaku kelompok target. Komponen pemda akan
dikaji menggunakan tiga indikator, yaitu:
1. Kesiapan pemda, meliputi: tingkat pengetahuan pemda terhadap kebijakan
HTR dan regulasi lain yang mendukung, ketersediaan SDM kehutanan di
daerah dan jaringan (network) yang dimiliki pemda dalam rangka implementasi
kebijakan HTR;
2. Komitmen/kemauan pemda, meliputi: paradigma/cara pandang pemda terhadap
kebijakan-kebijakan terkait pemberdayaan masyarakat dan persepsi pemda
terhadap HTR;
38 3. Kemampuan pemda, meliputi: kemampuan pemda dalam menerjemahkan
kebijakan HTR ke lapangan, kemampuan pemda memasarkan HTR sebagai
sebuah inovasi, kemampuan pemda melakukan problem solving bila terjadi
permasalahan di lapangan, dan kemampuan pemda melakukan asistensi,
fasilitasi, dan promosi dalam rangka implementasi HTR serta kemampuan
pemda dalam mengawasi proses implementasi HTR.
Komponen lain yang akan dianalisa adalah kondisi masyarakat selaku
kelompok target dalam implementasi kebijakan HTR. Hal yang akan dikaji
meliputi :
1. Modal fisik, meliputi: luas lahan (hutan) yang mungkin dijadikan HTR, sarana
komunikasi dan sarana transportasi.
2. Modal manusia, meliputi: tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat
pendapatan, persepsi masyarakat terhadap HTR,
3. Modal sosial, meliputi: jejaring sosial/jejaring kerja, tingkat kepercayaan antar
sesama, tingkat kepatuhan terhadap norma, tingkat kepedulian antar sesama
dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial
Komponen ketiga yang akan dianalisa dalam penelitian ini adalah
lingkungan tempat kebijakan diimplementasikan. Faktor yang akan dianalisis
dalam komponen lingkungan adalah: dukungan pemangku kepentingan
(stakeholders) lainnya, kondisi sosial budaya, kelangkaan kayu dan pemasaran.
Dari hasil analisis kedua komponen tersebut (pelaku kebijakan dan
lingkungan kebijakan) akan didapatkan faktor kunci implementasi kebijakan HTR
yang menunjukkan faktor pendukung, faktor penghambat, peluang dan ancaman
yang dihadapi oleh masyarakat selaku kelompok target kebijakan dalam
implementasi kebijakan HTR. Langkah selanjutnya adalah menganalisis
kesenjangan implementasi dan merumuskan strategi implementasi kebijakan
HTR. Evaluasi kebijakan HTR akan didekati dengan menggunakan indikator
tingkat partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan HTR, sedangkan
strategi kebijakan akan dibangun berdasarkan hasil analisis terhadap ketiga
komponen di atas. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran penelitian dapat
dilihat pada Gambar 4.
39
Keterangan : : proses : metode analisis
PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN HUTAN TANAMAN RAKYAT
PERBAIKAN KONDISI HUTAN
PRODUKSI
PEMENUHAN KEBUTUHAN KAYU DAN
NON KAYU
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT
KEBIAKAN PEMERINTAH
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
GAP
EVALUASI ISI
EVALUASI
EVALUASI PELAKU KEBIJAKAN
- Kejelasan & konsistensi tujuan
- Asumsi yg digunakan - Struktur Implementasi - SDM dan Finansial
PEMDA MASYARAKAT - Kesiapan - Komitmen - Kemampuan
- Modal Fisik - Modal
Manusia - Modal Sosial
- Dukungan pemangku kepentingan
- Budaya Masyarakat - Pemasaran - Kelangkaan Kayu
ANALISIS DESKRIPTIF
ANALISIS ISI
FAKTOR KUNCI IMPLEMENTASI
EVALUASI GAP IMPLEMENTASI ANALISIS STAKEHOLDER
PARTISIPASI MASYARAKAT
MATRIKS IFE DAN EFE
MATRIKS ANALISIS SWOT
MATRIK ANALISIS QSPM
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian
STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN HTR DI KABUPATEN SAROLANGUN
40 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, mulai dari bulan Juni
sampai Desember 2011. Penelitian dilaksanakan di Kota Jambi (untuk data
kebijakan dan implementator) dan Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi (untuk
data lingkungan, implementator dan masyarakat selaku kelompok target).
Untuk mengumpulkan data masyarakat, penulis memilih tiga desa di
Kabupaten Sarolangun sebagai contoh lokasi penelitian yang diambil secara
sengaja (purposive sampling), yaitu: Desa Taman Bandung, Desa Seko Besar
dan Desa Lamban Sigatal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Desa-desa tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan:
1. Ketiga desa tersebut terletak satu hamparan dan berada dekat dengan areal
pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun dan merupakan desa yang berada
dalam proses implementasi HTR (baik dalam proses perijinan maupun telah
mendapatkan ijin IUPHHK-HTR).
2. Bentuk ijin perorangan akan mempermudah dalam memprediksi dampak
kebijakan HTR terhadap masyarakat. Dari 1 807 KK yang mendapatkan
IUPHHK-HTR perorangan, 18 KK diantaranya terdapat di Desa Taman
Bandung Kabupaten Sarolangun (Ditjen BUK, 2011).
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada proses implementasi kebijakan hutan
tanaman rakyat (HTR) di tiga desa di Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun,
Provinsi Jambi, yaitu Desa Taman Bandung, Desa Lamban Sigatal dan Desa Seko
Besar. Berbagai hasil penelitian yang dilaksanakan pada lokasi berbeda dan
literatur pendukung lain, akan digunakan sebagai pembanding dan memperkaya
hasil analisis penelitian.
3.2 Desain Penelitian
3.3.1 Tehnik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data dan informasi sesuai dengan kebutuhan studi,
maka dilakukan pengumpulan data dan informasi menggunakan pendekatan
sebagai berikut :
41 1. Penelusuran dokumen kebijakan, dokumen perencanaan dan dokumen hasil
penelitian, tulisan, laporan yang terkait dengan kebijakan HTR.
2. Penggunaan kuisioner berupa (i) pertanyaan tertutup dengan menggunakan
alternatif jawaban tiga poin skala likert yang disesuaikan dengan pertanyaan
dan (ii) pertanyaan semi terbuka dengan peubah katagorikal seperti
pendidikan dan peubah numerik seperti umur dan pendapatan.
3. Wawancara mendalam (in-depth interview), dimaksudkan untuk mengetahui
aspek-aspek kualitatif secara lebih mendalam dan komprehensif. Responden
untuk wawancara mendalam adalah informan kunci (key informan) yang
memiliki kompetensi sesuai dengan kajian yang ditelaah. Penentuan informan
kunci menurut Sudikan (2006) harus melalui beberapa pertimbangan
diantaranya : 1) orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai
dengan permasalahan yang diteliti; 2) orang yang bersangkutan memiliki
pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti.
4. Focus group discussion (FGD), yaitu kelompok diskusi terarah yang
bertujuan untuk menggali gagasan, mengidentifikasi dan merumuskan strategi
dan mencari alternatif strategi dalam implementasi kebijakan HTR.
5. Dokumentasi, mengumpulkan data dengan cara mencatat data-data yang telah
tersedia (tercetak atau tergambar) di kantor atau instansi yang terkait dengan
penelitian.
3.3.2 Teknik penentuan responden dan informan
Responden yang dipilih dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tujuan
penelitian yaitu: (1) analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis), (2)
implementator, dan (3) kelompok target. Responden pada kelompok pertama
(stakeholder analysis) ditujukan untuk mengetahui posisi dan dukungan masing-
masing pemangku kepentingan (stakeholder) dalam implementasi HTR. Untuk
itu, responden yang dipilih adalah stakeholder yang terkait dengan implementasi
kebijakan HTR, yaitu: BP2HP wilayah IV Jambi (2 orang), Dinas Perkebunan dan
Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun (3 orang), BAPPEDA Kabupaten
Sarolangun (2 orang), Anggota DPRD Komisi II Bidang Kehutanan Kabupaten
Sarolangun (1 orang), Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi (2 orang), sektor
swasta (1 orang), LP3D (1 orang) dan Universitas Jambi (1 orang).
42
Pemilihan responden pada Dishut Provinsi, Dishut Kabupaten, BAPPEDA
Kabupaten Sarolangun dan BPHP diarahkan pada pegawai yang terlibat dalam
proses implementasi kebijakan HTR (mulai dari penetapan target, pencadangan
hingga proses keluarnya IUPHHK serta pelaksanan kebijakan), sedangkan untuk
responden yang berasal dari Universitas Jambi dipilih orang yang memiliki
pengetahuan mengenai implementasi HTR dan memiliki kemampuan untuk
menilai implementasi kebijakan HTR pada Kabupaten Sarolangun. Responden
untuk sektor swasta dalam penelitian ini adalah HTI PT. Samhutani yang
memiliki wilayah berbatasan dengan areal pencadangan HTR, sedangkan
LSM/NGO yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah LP3D (Lembaga
Penelitian Pengembangan Potensi Desa).
Responden pada kelompok ke-dua (implementator) ditujukan untuk
mengetahui dukungan pemda dalam implementasi HTR. Untuk itu, responden
yang dipilih adalah responden yang terlibat langsung dalam kegiatan HTR, yaitu :
Dishut Kabupaten Sarolangun, BAPPEDA Kabupaten Sarolangun, dan anggota
DPRD komisi II Bidang Kehutanan. Responden ditetapkan sebanyak 15 orang,
yaitu 12 orang disbunhut, 2 orang BAPPEDA dan 1 orang anggota DPRD Komisi
II Bidang Ekonomi, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun
Responden pada kelompok ke-tiga (kelompok target) ditujukan untuk
mengetahui modal yang dimiliki masyarakat dalam mengimplementasikan HTR.
Populasi penelitian dalam kelompok ke-tiga ini adalah seluruh kepala keluarga
yang tinggal di lokasi penelitian baik yang sudah mendapatkan ijin HTR maupun
yang belum. Dari populasi tersebut dipilih contoh secara purposive sampling
sebanyak 81 responden. Kriteria responden yang dipilih dalam penelitian ini
adalah (1) responden merupakan kepala keluarga yang tinggal di lokasi peneltian;
(2) telah mengenal (tahu) mengenai program HTR; dan (3) terlibat dalam proses
implementasi HTR, meskipun baru dalam hal menghadiri sosialisasi. Distribusi
contoh dapat dilihat pada Tabel 3.
43 Tabel 3 Distrubusi Contoh Penelitian pada Setiap Desa
Peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan informan kunci
yang dianggap lebih mengetahui fokus penelitian. Informan kunci diambil
menggunakan metode snowball sampling atau pemilihan informan secara
berantai. Informasi yang diperoleh diharapkan akan melengkapi informasi yang
diperoleh dari responden dan hasil studi literatur dalam melakukan penilaian
terhadap modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat. Wawancara dengan
informan kunci juga dijadikan landasan dalam analisis SWOT dan QSPM.
3.3.3 Instrumen penelitian
Sebagai alat pengumpul data primer, instrumen atau alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner dan wawancara. Kuisioner
merupakan pertanyaan tertutup dengan alternatif jawaban menggunakan tiga poin
skala Likert, yang disesuaikan dengan pertanyaan dalam kuisioner dan pertanyaan
semi terbuka dengan peubah katagorikal seperti pendidikan dan peubah numerik
seperti umur dan pendapatan.
Khusus data mengenai modal sosial, digunakan kuisioner yang merupakan
modifikasi dari model Integrated Questionnaire for The Measurement of Social
Capital (SC-IQ) dan Social Capital Assesment Tool (SCAT). SC-IQ
dikembangkan oleh Grootaert et al. (2004) dengan penekanan fokus pada negara-
negara berkembang. Model ini bertujuan memperoleh data kuantitatif pada
berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada tingkat rumah tangga.
Model ini menggunakan enam indikator, yaitu: kelompok dan jejaring kerja;
kepercayaan dan solidaritas; aksi kolektif dan kerjasama; informasi dan
komunikasi; kohesi dan inklusivitas sosial; serta pemberdayaan dan tindakan
politik.
SCAT dikembangkan oleh Krishna dan Shrader (1999) yang mencoba
menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk menciptakan pengukuran
Desa Populasi (N) Jumlah Rumah Tangga Contoh (n)
Intensitas Sampling (%)
Seko Besar 267 27 9,42 Lamban Sigatal 270 25 9,26 Taman Bandung 308 29 10,11
44 komplementer dan kompleksitas dimensi sosial. Unit analisa SCAT adalah rumah
tangga dan komunitas, dengan variabel yang berhubungan dengan modal sosial
yang mungkin diciptakan dan diakses oleh individu, rumah tangga dan institusi
lokal. SCAT mengukur modal sosial pada level komunitas, rumah tangga dan
organisasi. Walaupun kajian pada level makro dan mikro tetapi untuk level makro
dapat dilakukan wawancara untuk informan kunci pada institusi yang terkait.
Untuk mengetahui secara mendalam dan melengkapi penjelasan dalam
penelitian ini dilakukan juga wawancara terstruktur dengan menggunakan
pedoman wawancara untuk kepentingan memperoleh informasi penjelas
(eksplanasi) dan untuk kepentingan observasi.
3.3.4 Jenis dan sumber data
Data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data
kualitatif dan kuantitatif. Dari segi sumber perolehannya, dibedakan menjadi
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui kuisioner dan
wawancara dengan para responden,serta wawancara mendalam dengan tokoh
masyarakat, dinas/instansi dan LSM terkait.
Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka atau telaah literatur,
dokumen, data dan informasi lain yang terkait dengan tercapainya tujuan
penelitian. Data sekunder meliputi kebijakan-kebijakan terkait HTR, kondisi
geografis, keadan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, dan data penunjang
lainnya. Untuk lebih jelasnya, jenis dan sumber data yang diperlukan dapat dilihat
pada Tabel 4.
45 Tabel 4 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian
No Jenis Data/Informasi Sumber Data Analisis 1 Isi Kebijakan
• Kejelasan tujuan • Asumsi yg digunakan • Struktur Implementasi
Dukungan SDM dan finansial
- Peraturan Menteri
Analisis Isi Kebijakan
2 Pemerintah Daerah a. Kesiapan
pemda • Ketersediaan SDM • Jaringan/network • Tingkat Pengetahuan
- Kuisioner - Wawancara
mendalam
Analisis Deskriptif Kuantitatif
b. Komitmen Pemda
• Paradigma/cara pandang • Persepsi terhadap HTR
c. Kemampuan Pemda
• Menerjemahkan kebijakan • Memasarkan inovasi • Problem solving • asistensi, fasilitasi, dan
promosi • pengawasan
3 Masyarakat a. Modal
Sosial
• Kerpercayaan antar sesama • Kepatuhan terhadap norma • Kepedulian antar sesama • Keterlibatan dalam organisasi
sosial
- Kuisioner - Wawancara
mendalam
Analisis Deskriptif Kuantitatif
b. Modal Manusia
• Tingkat Pendidikan • Tingkat kesehatan • Tingkat Pendapatan
c. Modal Fisik • Kepemilikan lahan di lokasi pencadangan
• Keberadaan tanaman di areal tersebut
• Ketersediaan lahan hutan
4. Dukungan politik dan stakeholder lain
• Kekuatan (power) • Kepentingan (interest) • Pengaruh
(legitimate/influence)
- Kuisioner - Wawancara
Analisis Stakeholder
5 Lingkungan a. Budaya • Pengetahuan lokal
• Penggunaan/penguasaaan IPTEK
• Adat/kebiasaan
- Kuisioner - Wawancara - Data
sekunder
Analisis Deskriptif Kuantitatif
. b. Kelangkaan kayu
• Kebutuhan kayu • Produksi kayu • Sumber-sumber penghasil
kayu
. c. Pemasaran • Keberadaan Pasar • Jarak Pasar dengan lokasi • Pola Pemasaran
46 3.4 Metode Analisis
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka analisis data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah :
3.4.1 Evaluasi terhadap isi kebijakan HTR
Evaluasi kebijakan HTR dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan analisis isi kebijakan. Analisis isi kebijakan dilakukan terhadap
kebijakan terkait hutan tanaman rakyat, yaitu: (1) PP No. 6 Tahun 2007 tentang
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
jo. Nomor 3 tahun 2008; (2) Permenhut No. P.62/Menhut-II.2008 tentang tentang
Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri
dan Hutan Tanaman Rakyat (perubahan terakhir dari Permenhut P.9/Menhut-
II/2007 dan P.41/Menhut-II/2007); (3) Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011
tentang Tata Cara Permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman; dan (4)
Peraturan Ditjen Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2007 tentang
Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.
Dokumen-dokumen yang berisi peraturan terkait kebijakan HTR tersebut
akan dianalisa dengan menggunakan empat indikator, yaitu :
a. Kejelasan dan konsistensi tujuan kebijakan.
Tujuan yang digunakan harus jelas, konsisten, desirable (diinginkan) dan
rasional.
b. Asumsi yang digunakan
Asumsi yang digunakan dalam perumusan kebijakan hendaknya realistis,
karena asumsi yang realistis akan menentukan tingkat validitas kebijakan
c. Struktur implementasi kebijakan
Strukutur implementasi yang ada hendaknya memungkinkan sebuah
kebijakan dapat diimplementasikan
d. Dukungan sumberdaya manusia dan finansial
Dukungan sumberdaya manusia dan finansial yang memadai akan
mempermudah implementasi sebuah kebijakan
47 3.4.2 Evaluasi terhadap pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan
Pelaku kebijakan yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah pemerintah
daerah selaku implementator dan masyarakat selaku kelompok target. Evaluasi
dilakukan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dilakukan untuk
menggambarkan : (1) tingkat kesiapan, komitmen dan kemampuan pemerintah
daerah selaku implementator kebijakan HTR; (2) modal manusia, modal sosial
dan modal fisik masyarakat selaku kelompok target dalam implementasi kebijakan
HTR; dan (3) kondisi lingkungan (sosial-budaya, kelangkaan kayu dan tingkat
kesejahteraan masyarakat) dimana kebijakan HTR diimplementasikan.
Untuk mengukur tingkat kesiapan, komitmen dan kemampuan pemda
dalam mengimplementasikan HTR, akan dilakukan perhitungan skor dari setiap
variabel dan total skor dari setiap komponen menggunakan skala likert dengan
ketentuan semakin tinggi skor maka akan semakin tinggi tingkat kesiapan,
komitmen dan kemampuan pemda. Perhitungan skor dalam penelitian ini
memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menentukan bobot untuk setiap jawaban responden dengan ketentuan:
3=tinggi, 2= sedang dan 1=rendah.
2. Menghitung skor untuk setiap variabel dengan jalan menjumlahkan bobot
setiap jawaban masing-masing responden.
3. Menghitung interval skor jawaban responden dengan menggunakan rumus
seperti persamaan (1)
selisih total skor tertinggi dan total skor terendah interval skor = (1) jumlah kelas
Jumlah kelas yang ditentukan adalah 3, yaitu: tinggi, sedang dan rendah.
4. Menghitung frekuensi dan persentase pada setiap kelas (tinggi, sedang dan
rendah) pada masing-masing variabel.
5. Menghitung skor untuk setiap komponen dengan jalan menjumlahkan bobot
6. Menghitung interval skor variabel dengan menggunakan rumus seperti
persamaan (1).
7. Menghitung frekuensi dan persentase pada setiap kelas (tinggi, sedang dan
rendah) pada masing-masing komponen.
48
Hal yang sama dilakukan untuk melihat tingkat modal fisik, modal
manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat serta dukungan
lingkungan terhadap implementasi HTR, dengan pembagian kelas yang sama.
Berdasarkan hasil kuisioner tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis secara
deskriptif kualitatif dan sintesa secara mendalam dengan dibantu data-data yang
didapatkan dalam wawancara mendalam.
3.4.3 Evaluasi terhadap dukungan pemangku kepentingan
Dukungan dari pemangku kepentingan akan dievaluasi menggunakan
analisis pemangku kepentingan (stakeholder). Metode yang digunakan untuk
menentukan posisi stakeholder dalam penelitian ini adalah analisis katagori
(analytical catagorisation), yaitu dengan mengklasifikasikan stakeholder
berdasarkan: (1) kepentingan, (2) pengaruh dan (3) kekuatan mereka dalam
implementasi HTR.
Nilai kepentingan stakeholder dalam penelitian ini akan ditentukan oleh :
1. Persepsi stakeholder mengenai ketepatan HTR sebagai resolusi masalah.
2. Kesesuaian impementasi HTR terhadap kebutuhan stakeholder.
3. Motivasi keterlibatan stakeholder dalam implementasi kebijakan HTR.
4. Bentuk dukungan stakeholder dalam implementasi HTR.
5. Keuntungan yang diharapkan oleh stakeholder.
Besarnya nilai pengaruh dari stakeholder dalam implementasi HTR akan
dinilai berdasarkan :
1. Tingkat keterlibatan stakeholder dalam implementasi HTR.
2. Peran dan kontribusi dalam pembuatan keputusan.
3. Hubungan dengan stakeholder lain.
4. Dukungan SDM.
5. Dukungan Finansial.
Data jawaban terhadap tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing
stakeholders kemudian diberikan skor 1 sampai 5 (dengan ketentuan 1=tidak;
2=kurang; 3=cukup; 4=baik; dan 5=sangat) disesuaikan dengan tipe pertanyaan
masing-masing. Kemudian semua jawaban dikelompokkan menurut jenis
indikatornya, dan selanjutnya disandingkan sehingga membentuk koordinat dan
diterjemahkan dalam bentuk matriks resultante yang mengidentifikasi
49 stakeholders dalam empat kuadran dengan bantuan perangkat lunak Microsoft
Excel. Klasifikasi stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya
diilustrasikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan
Sumber : Reed et al. (2009)
Posisi dalam kuadran dapat menggambarkan ilustrasi mengenai posisi dan
peranan yang dimainkan oleh masing-masing stakeholders berdasarkan tingkat
kepentingan dan pengaruh yang mereka miliki, yaitu :
1. Key players merupakan kelompok yang memiliki kepentingan dan pengaruh
yang tinggi sehingga mereka aktif terlibat dalam kegiatan dimaksud.
2. Context setter merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang kecil
dan pengaruh yang tinggi, sehingga dapat menimbulkan resiko yang nyata
(significant), sehingga harus dimonitor dan dikelola (managed) dengan baik.
3. Subject merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi namun
memiliki pengaruh yang kecil, sehingga tidak mempunyai kapasitas untuk
mempengaruhi namun memiliki kemampuan untuk membentuk aliansi
dengan stakeholder lain. Umumnya kelompok ini merupakan kelompok
marginal yang ingin diberdayakan oleh kegiatan (project).
4. Crowd merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang kecil,
pengaruh kecil, dan tidak perlu untuk dipertimbangkan terlalu detil atau
diikat/dilibatkan.
TINGGI
Key Players
(Kuadran II)
Subject
(kuadran I)
Crowd
(Kuadran IV)
Context Setter
(Kuadran III)
TINGGI RENDAH PENGARUH
KEP
ENTI
NG
AN
50
Penentuan nilai kekuatan (power) dalam penelitian ini menggunakan
taksonomi yang dikembangkan oleh French & Raven (1959) sebagaimana diacu
Yukl (1994), yaitu:
1. Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat
memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen.
2. Coercive power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat
menghindari hukuman yang diyakini dimiliki oleh agen.
3. Legitimate power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena
percaya bahwa agen tersebut mempunyai hak untuk meminta dan orang yang
ditargetkan mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.
4. Expert power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh karena percaya
bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara terbaik untuk
melakukan sesuatu.
5. Referent power orang yang ditargetkan menjadi patuh karena ia mengagumi
dan mengidentifikasi dirinya dengan agen tersebut dan ingin memperoleh
penerimaan dari agen.
Data jawaban terhadap tingkat kekuatan dan pengaruh masing-masing
stakeholders (skor) akan dikelompokkan menurut jenis indikatornya dan
disandingkan sehingga membentuk sebuah matriks yang menggambarkan posisi
stakeholder berdasarkan tingkat kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya,
sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Posisi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kekuatan Sumber : Silverstein et al (2009)
TINGGI RENDAH
TINGGI
PENGARUH
KEK
UA
TAN
A
B
C
D
51
Setelah mendapatkan posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan
dan pengaruh yang dimilikinya (Gambar 5) dan tingkat kekuatan dan pengaruh
yang dimilikinya (Gambar 6), maka langkah selanjutnya adalah menggabungkan
kedua gambar tersebut dalam satu gambar yang dapat memetakan posisi masing-
masing stakeholder berdasarkan kekuatan, kepentingan dan pengaruh yang
dimilikinya, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 7.
PENGARUH RENDAH
PENGARUH TINGGI
KEPENTINGAN RENDAH
KEKUATAN RENDAH
KEKUATAN TINGGI
KEPENTINGAN TINGGI
KEKUATAN RENDAH
KEKUATAN TINGGI
Gambar 7. Posisi Stakeholder Berdasarkan Tingkat Pengaruh, Kepentingan, Kekuatan yang dimilikinya
Setelah mengetahui posisi masing-masing stakeholder dalam implementasi
kebijakan HTR, langkah selanjutnya adalah menyusun strategi berdasarkan posisi
masing-masing stakeholder.
3.4.4 Evaluasi kesenjangan (gap) implementasi HTR
Kesenjangan implementasi kebijakan HTR dalam penelitian ini dievaluasi
melalui: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
dalam implementasi HTR; (2) derajat kesukarelaan partisipasi (Dusseldorp, 1981);
dan (3) tingkatan partisipasi (Arnstein,1969).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi ditentukan dengan
melihat hubungan antara modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat (modal
fisik, modal manusia dan modal sosial) terhadap tingkat partisipasi. Dalam
menentukan hubungan tersebut digunakan analisis korelasi peringkat Spearman.
52
Rumus yang digunakan adalah (Sugiyono 2007) :
rs
dimana : r
= 1 - (2)
s d
= koefesien kolerasi spearman i
n = banyaknya sampel = selisih perangkat peubah X dan Y
Nilai rs berkisar antara -1,00 hingga +1,00. Apabila rs bernilai nol, maka
tidak ada korelasi, apabila rs bernilai -1,00 atau +1,00 maka terdapat korelasi
sempurna. Nilai rs
akan bernilai positif (+1,00) bila peringkat peubah X makin
besar dan nilai peubah Y juga makin besar, sebaliknya akan bernilai negatif
(-1,00) bila peubah X makin besar dan peringkat peubah Y makin kecil.
Hipotesa yang diajukan :
Ho = X dan Y saling bebas
H1 = X dan Y berhubungan langsung atau kebalikan
Kaidah keputusannya :
1. Jika rs tabel spearman untuk α(2)(n) atau rs
2. Jika r
tabel spearman untuk
α(2)(n) maka tolak Ho
s tabel spearman untuk α(1)(n) atau rs
Derajat kesukarelaan partisipasi akan ditentukan dengan menggunakan
jenjang sebagaimana yang dikemukakan oleh Dusseldorp (1981) sedangkan
tingkatan partisipasi akan ditentukan menurut pola bertingkat Arnstein (1995).
Tingkatan partisipasi dan derajat kesukarelaan partisipasi ini tidak menjelaskan
bagus atau tidak bagus sebuah level, melainkan sesuai atau tidak sesuai sebuah
level terhadap kondisi masyarakat. Tahapan/jenjang dari derajat kesukarelaan
partispasi menurut Dusseldorp (1981) dan tingkatan partisipasi menurut Arnstein
(1995) dapat dilihat pada tinjauan pustaka.
tabel spearman untuk
α(1)(n) maka tolak Ho
3.4.5 Formulasi strategi implementasi kebijakan
Untuk membangun formulasi strategi implementasi kebijakan HTR dalam
penelitian ini digunakan SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and
Threaths) analysis. Selanjutnya untuk pengambilan keputusan, dilakukan analisa
53 lebih lanjut dengan menggunakan analisis QSPM (Quantitative Strategic
Planning Matrix).
Menurut Rangkuti (2008), proses penyusunan perencanaan strategis
dilakukan melalui tiga tahap analisis yaitu tahap pengumpulan data atau masukan,
tahap analisis atau pemaduan dan tahap pengambilan keputusan. Langkah-langkah
yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Analisa SWOT adalah sebuah bentuk analisa situasi dan kondisi yang
bersifat deskriptif. Analisa ini menempatkan situasi dan kondisi sebagai sebagai
faktor masukan, yang kemudian dikelompokkan menurut kontribusinya masing-
masing. Analisis SWOT adalah sebuah teori yang digunakan untuk merencanakan
sesuatu hal yang dilakukan dengan mempertimbangkan kekuatan (Strength),
kelemahan (Weaknesses), kesempatan (Opportunities), dan ancaman (Threaths).
SWOT ini biasa digunakan untuk menganalisis suatu kondisi dimana sebuah
rencana akan dibuat.
3.4.5.1 Tahap pengumpulan data
Pada tahap ini dilakukan kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis. Data
dibedakan menjadi dua yaitu: data eksternal dan data internal. Tahap ini juga
disebut tahap masukan (input stage) yaitu: menyimpulkan informasi dasar yang
diperlukan untuk merumuskan strategi dengan menyimpulkan matriks Internal
Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE).
Matriks IFE digunakan untuk meringkas faktor-faktor internal yang
berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dihadapi masyarakat dalam
melakukan partisipasi. Matriks EFE digunakan untuk meringkas faktor-faktor
eksternal yang berkaitan dengan peluang dan ancaman yang berasal dari luar
komunitas dalam melakukan partisipasi. Langkah-langkah penyusunan matriks
IFE dan EFE (David, 2009) adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal
Langkah pertama adalah mengidentifikasi faktor-faktor internal, yaitu
dengan merumuskan variabel unsur-unsur kekuatan yang ada di masyarakat
disusul dengan merumuskan variabel unsur-unsur kelemahannya. Langkah
selanjutnya adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yaitu dengan
merumuskan variabel unsur-unsur peluang yang ada dan disusul dengan
54 merumuskan berbagai macam ancaman. Hasil identifikasi dari masing-masing
unsur akan diberikan bobot dan rating.
b. Penentuan bobot setiap variabel
Penentuan bobot dilakukan dengan mengajukan identifikasi faktor strategis
internal dan eksternal kepada stakeholder dengan menggunakan metode paired
comparison. Metode ini digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot
setiap faktor penentu internal dan eksternal.
Untuk menentukan bobot setiap variabel digunakan skor 1, 2, dan 3. Skor
yang digunakan untuk pengisian kolom adalah : (1) skor 1 = jika indikator
horizontal kurang penting daripada indikator vertikal, (2) skor 2 = Jika indikator
horizontal sama penting daripada indikator vertikal, dan (3) skor 3 = Jika
indikator horizontal lebih penting dari pada indikator vertikal.
Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap veriabel
terhadap jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus :
ai
∑=
n
ii
i
X
X
1
=
Variabel berbobot 0 (nol) berarti variable tersebut bukan merupakan faktor
yang penting. Sedangkan variable dengan bobot 1 (satu) merupakan variable yang
sangat penting atau paling berpengaruh. Total bobot yang diberikan akan sama
dengan 1.0. Pembobotan ini kemudian ditempatkan pada kolom bobot matriks IFE
dan EFE. Bentuk penilaian bobot faktor startegis internal dan eksternal dapat
dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 5 Penilaian Bobot Faktor Strategis Internal Faktor Strategis Internal A B C D … Total Bobot
A B C D
…….. Total
Sumber : David (2009)
Keterangan : ai = Bobot Variabel ke-i Xi = Nilai variabel ke – i i = 1, 2, 3, …..n n = Jumlah Variabel
55
Tabel 6 Penilaian Bobot Faktor Strategis Eksternal Faktor Strategis
Eksternal A B C D … Total Bobot
A B C D
…….. Total
Sumber : David (2009)
c. Penentuan peringkat (rating)
Setiap variabel akan diberikan skala peringkat (rating) dari 1 sampai 4. Pada
matriks IFE, penentuan skala peringkat adalah skala 1 = sangat lemah, skala 2 =
sedang, skala 3 = cukup kuat, dan skala 4 = sangat kuat. Sedangkan pada matriks
EFE, penentuan skala peringkat adalah skala 1 = dibawah rata-rata, skala 2 = rata-
rata, skala 3 = diatas rata-rata, dan skala 4 = sangat bagus.
d. Menghitung skor pembobotan
Skor pembobotan diperoleh dengan mengalikan bobot tiap-tiap variabel
dengan peringkatnya.
e. Menghitung total skor pembobotan
Total skor pembobotan diperoleh dengan menjumlahkan secara vertikal
semua skor pembobotan. Nilai total skor pembobotan akan berkisar antara 1
sampai dengan 4. Nilai total ini menunjukkan bagaimana masyarakat bereaksi
terhadap faktor-faktor strategis internal dan eksternalnya.
Penentuan bobot dan rating dilakukan dengan mengajukan hasil
identifikasi faktor-faktor strategis internal dan eksternal kepada stakeholder yang
meliputi tokoh masyarakat, LSM, dan aparat pemerintah daerah yang mengetahui
proses implementasi kebijakan HTR dan berkompetensi untuk melakukan
penilaian pembobotan dan rating. Hasil perkalian antara bobot dan rating
menghasilkan skor pembobotan untuk masing-masing faktor sebagai unsur SWOT
dan dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan.
Tabel 7 dan 8 menunjukkan matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan matriks
External Factor Evaluation (EFE).
56 Tabel 7 Matriks Internal Factor Evaluation
Faktor Internal Bobot Rating Total Skor Kekuatan 1. 2. 3.dst Kelemahan 1. 2. 3.dst Total
Sumber: David (2009)
Tabel 8 Matriks External Factor Evaluation
Faktor Eksternal Bobot Rating Total skor
Peluang 1. 2. 3. dst Ancaman 1. 2. 3. dst Total
Sumber: David (2009)
3.4.5.2 Tahap analisis
Tahap ini disebut juga tahap pemaduan (matching stage) yaitu tahap
dimana berbagai informasi dasar dipadukan untuk merumuskan alternatif strategi
suatu kegiatan. Tahap kedua ini menggunakan analisis SWOT (strengths/
kekuatan, weakness/kelemahan, opportunity/ peluang dan threats/ancaman), yang
digunakan untuk mengkaji kekuatan dan kelemahan masyarakat dalam
implementasi kebijakan HTR. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats).
Analisis SWOT membandingkan antara faktor-faktor strategis eksternal peluang
dan ancaman dengan faktor-faktor strategis internal kekuatan dan kelemahan.
Tahap analisis dengan menggunakan matriks SWOT dimaksudkan untuk
57 merumuskan alternatif strategi pengembangan partisipasi. Matriks ini dapat
menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang
dihadapi masyarakat dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimilikinya (Rangkuti, 2008). Matriks SWOT menghasilkan empat set
kemungkinan alternatif strategi sebagaimana Tabel 9.
Tabel 9 Matrik Analisis SWOT
Faktor Internal dan Kekuatan Kelemahan Faktor Eksternal Strategi
Kekuatan – Peluang Strategi
Kelemahan – Peluang Peluang Strategi
Kekuatan – Ancaman Strategi
Kelemahan-Ancaman Ancaman
Sumber: David (2009)
a. Strategi Kekuatan - Peluang
Strategi ini didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan dari
pengembangan partisipasi masyarakat yang telah dilakukan untuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya.
b. Strategi Kekuatan - Ancaman
Strategi ini didasarkan pada pemanfaatan seluruh kekuatan pengembangan
partisipasi masyarakat yang dilakukan untuk mengatasi ancaman yang ada.
c. Strategi Kelemahan - Peluang
Strategi ini didasarkan pada pemanfaatan peluang yang ada dengan cara
meminimalkan kelemahan.
d. Strategi Kelemahan - Ancaman
Strategi ini didasarkan pada peminimalan kelemahan yang ada dalam
pengembangan partisipasi masyarakat serta menghindari ancaman.
Kecenderungan posisi masyarakat terhadap kekuatan dan kelemahan
dalam berpartisipasi dapat diketahui dengan mengurangkan kelemahan dari
kekuatan yang ada, sedangkan kecenderungan posisi masyarakat terhadap peluang
dan ancaman dapat diketahui dengan mengurangkan ancaman dari peluang yang
ada. Posisi kecenderungan dalam analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 8
(Rangkuti, 2008).
58
Gambar 8 Posisi Partisipasi Masyarakat dalam Analisis SWOT
Kuadran 1 : Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Masyarakat
memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan
peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini
adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Growth
Oriented Strategy ).
Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, masyarakat masih
memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan
adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka
panjang dengan cara strategi diversifikasi.
Kuadran 3 : Masyarakat menghadapi peluang kesempatan berpartisipasi yang
sangat besar, tetapi di lain pihak, mereka menghadapi beberapa
kendala atau kelemahan internal. Fokus strategi adalah
meminimalkan masalah-masalah internal yang ada dalam masyarakat
sehingga dapat merebut peluang kesempatan berpartisipasi yang
lebih baik.
Kuadran 4 : Merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, masyarakat
menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal
3.4.5.3 Tahap Pengambilan Keputusan
Tahap pengambilan keputusan (decision stage) merupakan tahap
pemilihan strategi dengan menggunakan analisis Quantitative Strategic Planning
BERBAGAI PELUANG
BERBAGAI ANCAMAN
KEKUATAN INTERNAL
KELEMAHAN INTERNAL
Kuadran 1 Mendukung Strategi
Agresif
Kuadran 3 Mendukung untuk merubah Startegi
Kuadran 2 Mendukung Strategi
Diversifikasi
Kuadran 4 Mendukung Strategi
Bertahan
59 Matrix (QSPM) atau matriks perencanaan stratejik kuantitatif untuk menentukan
strategi implementasi mana yang terbaik untuk dipilih. QSPM adalah alat yang
direkomendasikan bagi para ahli strategi untuk melakukan evaluasi pilihan
strategi alternatif secara obyektif berdasarkan pada faktor-faktor kunci kesuksesan
(key success factors) internal – eksternal yang telah diidentifikasikan sebelumnya.
Jadi secara konseptual, tujuan QSPM adalah untuk menetapkan daya tarik relatif
(relative attractiveness) dari strategi-strategi yang bervariasi yang telah dipilih,
untuk menentukan strategi mana yang paling baik untuk diimplementasikan
(Katili et al. 2008). Sebagai suatu alat analisa, QSPM memerlukan intuisi yang
tinggi (good intuitive judgement) dalam menilai dan membuat asumsi.
Analisa QSPM dilakukan dengan membuat matriks QSP (Tabel 10)
dengan input faktor-faktor internal dan eksternal dan pilihan alternatif strategi
partisipasi yang sebelumnya telah ditentukan dengan menggunakan analisis
SWOT. Penentuan strategi terpilih dilakukan dengan pemberian bobot berkisar
antara 0.0 (tidak penting) hingga 1.0 (sangat penting) pada masing-masing faktor
dan mengalikannya dengan skor daya tarik (attractiveness score, AS) dari skala 4
(sangat baik) hingga 1 (kurang baik). Selanjutnya antara bobot dan skor daya tarik
dikalikan untuk memperoleh total skor daya tarik (total attractiveness score,
TAS). Alternatif strategi dengan nilai TAS tertinggi adalah stategi yang akan
dipilih untuk direkomendasikan agar dapat diimplementasikan oleh yang
berkepentingan.
60 Tabel 10 Matriks Analisis QSPM
Faktor Utama (Key Success Factors)
Bobot Alternatif Strategi I
Alternatif Strategi II
Alternatif Strategi III
AS TAS AS TAS AS TAS I. Faktor Internal : A. Kekuatan 1. ... 2. ... ... B. Kelemahan 1. ... 2. ... ...
II. Faktor Eksternal : C. Peluang 1. ... 2. ... ... D. Ancaman 1. ... 2. ... ...
Total Skor
Sumber: David (2009)
IV. KEBIJAKAN DAN LINGKUNGAN KEBIJAKAN
4.1 Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat
4.1.1 Kejelasan dan konsistensi tujuan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 mengenai Tata Cara
Permohonan IUPHHK-HTR mendefinisikan hutan tanaman rakyat sebagai hutan
tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur
dalam rangka menjamin kelestarian hutan. Definisi ini secara jelas menyebutkan
bahwa pembangunan hutan tanaman rakyat bertujuan untuk meningkatkan potensi
dan kualitas hutan produksi, yang saat ini telah sangat rendah.
Tujuan ini sangat sesuai dengan kebutuhan Kementerian Kehutanan saat ini
mengingat banyaknya hutan produksi yang menjadi open access paska
berakhirnya konsesi HPH. Kondisi ini menyebabkan kawasan hutan produksi
menjadi tidak bertuan dan sebagian menimbulkan konflik land tenure dengan
masyarakat, sedangkan sebagian lain menjadi lahan kosong dan kritis.
Herawati (2010a) menyebutkan bahwa permasalahan yang menjadi latar
belakang dirumuskannya kebijakan HTR adalah tingginya potensi lahan tidak
produktif di kawasan hutan produksi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh:
berakhirnya masa konsesi HPH dan peristiwa penutupan 15 perusahaan Hutan
Tanaman Industri (HTI) yang juga berakibat pada kondisi sumberdaya hutan.
Lahan hutan bekas HPH dan HTI yang ditutup menjadi berstatus open access
karena tidak ada lagi kejelasan pemegang hak pengelolaannya.
Oleh karena itu, berbagai peraturan yang terkait kebijakan hutan tanaman
rakyat secara konsisten mengatur kebijakan HTR sebagai instrument perbaikan
kondisi hutan, antara lain: (1) penentuan lokasi HTR, (2) penyusunan RKU dan
RKT, dan (3) penetapan jenis tanaman pokok. Tabel 11 menunjukkan turunan
kebijakan yang mengatur kebijakan HTR sebagai instrument perbaikan kondisi
hutan.
62 Tabel 11 Peraturan HTR Terkait Perbaikan Kondisi Hutan sebagai Tujuan HTR
No Kebijakan Sasaran kebijakan Keterangan 1. Penentuan lokasi Memastikan HTR dibangun dalam
kawasan hutan produksi yang tidak produktif
Permenhut No. P.55/2011 psl 2 ayat 1
2. Penyusunan RKU dan RKT
RKU dan RKT merupakan instrument monitoring dan pengendalian pengusahaan hutan oleh masyarakat
PP. No. 3/2008 psl 71(a); psl 75 ayat 3dan 5 Permenhut No. P.55/2011 psl 23 Permenhut No. P.62/2008
3. Penetapan jenis tanaman pokok
Memastikan bahwa hutan produksi ditanami tanaman berkayu
Permenhut No. P.55/2011 Psl 7 dan 8 Juknis Pembangunan HTR
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 pasal 2 ayat 1
menyebutkan bahwa alokasi dan penetapan areal HTR dilakukan oleh Menteri
pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani izin/hak
lain. Kata ‘tidak produktif’ di sini menjadi polemik, karena kenyataan di lapangan
(khususnya di Kabupaten Sarolangun), kawasan yang menjadi lokasi pencadangan
HTR sebagian besar merupakan lahan yang telah diokupasi dan dimanfaatkan
oleh masyarakat. Bagi masyarakat, lahan tersebut merupakan lahan yang
produktif, meskipun dari perspektif pemerintah (Kementerian Kehutanan), lahan
yang telah dikuasai oleh masyarakat tersebut dipandang tidak produktif karena
tidak dapat mengasilkan hasil hutan kayu.
Perspektif ini mencerminkan bahwa paradigma yang dianut oleh
Kementerian Kehutanan masih bersifat state oriented, di mana semua sumberdaya
alam yang ada ditujukan untuk negara (dalam hal ini pertumbuhan ekonomi).
Oleh karena itu dalam setiap kebijakannya, pemerintah sangat jarang
mempertimbangkan variabel ‘masyarakat’ (baik yang ada di dalam maupun
sekitar hutan). Fokus utama perhatian pemerintah adalah: (a) bagaimana menjaga
kelestarian hutan dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat; (b)
bagaimana menjaga keseimbangan supply dan demand bahan baku kayu ; dan (c)
bagaimana meningkatkan investasi di bidang kehutanan.
Kementerian Kehutanan mewajibkan masyarakat peserta HTR untuk
menyusun RKUPHHK (Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu)
HTR dan RKTUPHHK (Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu) HTR (Pasal 23 Permenhut No. P.55/Menhut-II/20011). Terkait tujuan HTR
63 (memperbaiki kondisi hutan produksi), penyusunan RKU dan RKT ini akan
sangat membantu pemerintah dalam rangka memantau kondisi hutan produksi.
Hal lain yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dalam rangka
perbaikan kondisi hutan produksi adalah penetapan jenis tanaman pokok HTR
(Pasal 7 dan 8 Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011). Penetapan tanaman pokok
HTR ini adalah upaya Kementerian Kehutanan untuk memaksa masyarakat
menanam tanaman berkayu sebagai tanaman utama.
Terminologi tanaman berkayu yang dimaksud oleh Kementerian Kehutanan
masih menjadi polemik. Pada mulanya, dalam petunjuk teknis pembangunan HTR
(yang tertuang dalam lampiran perdirjen BPK No. P.06/VI-BPHT/2008) bab VI
menetapkan jenis tanaman pokok dalam HTR terbagi atas lima kelompok, yaitu:
kelompok jenis meranti, kelompok jenis keruing, kelompok jenis non
dipterocarpaceae, kelompok kayu serat dan kelompok MPTS (di mana karet
merupakan salah satu diantaranya). Namun dalam Permenhut No. P.55/Menhut-
II/2011 bab VI pasal 7 ayat 4 menyebutkan bahwa jenis tanaman pokok yang
ditanam dalam areal HTR adalah tanaman hutan berkayu dikombinasikan dengan
tanaman budidaya tahunan berkayu (karet, tanaman berbuah, bergetah, dll).
Pemisahan tanaman MPTS menjadi tanaman budidaya tahunan berkayu,
menyebabkan tanaman karet hanya dapat ditanam 40% dari luas lahan secara
keseluruhan. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat yang telah menguasai areal pencadangan HTR di Kabupaten
Sarolangun telah menanam tanaman karet sebagai tanaman utama dalam lahan
HTR yang telah mereka kuasai sebelumnya.
Ketiga instrument di atas menunjukkan bahwa dalam penyusunan berbagai
turunan dari kebijakan HTR, Kementerian Kehutanan kurang mempertimbangkan
kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Hasil penelitian Herawati (2010a)
menyebutkan bahwa dalam penyusunan kebijakan HTR, aktor yang terlibat hanya
berasal dari lingkup birokrat Kementerian Kehutanan. Hal ini menyebabkan
Kementerian Kehutanan hanya mempertimbangkan kebutuhan sendiri tanpa
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat selaku kelompok target dalam
kebijakan HTR.
64
Winarno (2008) menjelaskan bahwa ciri penting dari implementasi
kebijakan adalah tingkat konflik atau konsensus atas tujuan-tujuan atau sasaran-
sasarannya. Ciri ini akan terlihat dari sejauhmana para pejabat yang melaksanakan
kebijakan mempunyai kesepakatan terhadap tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran
program. Konsensus tidak akan terjadi apabila tindakan-tindakan berdasarkan
nilai dari pejabat atau pemimpin menjadi faktor yang paling menentukan bagi
kebijakan akhir. Kombinasi dari dua ciri ini akan menghasilkan suatu tipologi
kebijakan sebagaimana Gambar 9.
Gambar 9 Dimensi-Dimensi Kebijakan yang Mempengaruhi Implementasi Sumber : Winarno, 2008.
Sebagai sebuah kebijakan kebijakan yang berkenaan dengan masyarakat,
sspek sosial kemasyarakatan menjadi masalah yang harus dipertimbangkan dalam
proses perumusan kebijakan HTR. Oleh karena itu beberapa kajian dan tulisan
mengenai hutan tanaman rakyat (HTR) senantiasa mengulas kebijakan ini dengan
sudut pandang pemberdayaan masyarakat. Hal ini menyebabkan kebijakan hutan
tanaman rakyat menjadi sangat terkait dengan kebijakan pemberdayaan
masyarakat dan menyebabkan kerancuan dalam implementasi kebijakan ini.
Herawati (2010a) menyebutkan bahwa terdapat tarik menarik kepentingan
antara Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah yang berpotensi
menyebabkan kegagalan dalam implementasi HTR. Kementerian Kehutanan
memandang kebijakan HTR hanya sebagai instrument untuk memperbaiki kondisi
hutan yang telah rusak, sementara di sisi lain stakeholders pelaksana (pemda
kabupaten) beranggapan bahwa kebijakan HTR merupakan salah satu instrument
pemberdayaan masyarakat.
JUM
LA
H
BESAR
KECIL
RENDAH TINGGI KONSENSUS TUJUAN
65
Kebijakan yang bersifat sentralistik, top down dan cetak biru (Herawati,
2010a) menyebabkan aspirasi pemerintah daerah selaku implementator kebijakan
HTR belum sepenuhnya dapat diakomodir oleh Kementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan masih belum mampu menerjemahkan kebijakan HTR
sebagai kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan HTR telah
mempunyai tujuan yang jelas yaitu memperbaiki kondisi hutan produksi yang
rusak dengan melibatkan masyarakat, dan tujuan ini secara konsisten
diterjemahkan dalam peraturan-peraturan yang ada, antara lain dengan
menetapkan lokasi HTR, kewajiban peserta menyusun RKU dan RKT, penentuan
jenis tanaman pokok, dan penentuan tahapan kegiatan hutan tanaman. Namun
karena target kebijakan HTR adalah masyarakat, banyak stakeholders kehutanan
(peneliti, pemerintah daerah, civitas akademika, LSM dan NGO) berkeinginan
agar HTR lebih bernafaskan pemberdayaan masyarakat. Hal ini tidak mampu
diterjemahkan oleh Kementerian Kehutanan selaku aktor tunggal pembuatan
kebijakan HTR.
4.1.2. Asumsi yang digunakan
Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat mulai didiskusikan di lingkup birokrat
kehutanan pada pertengahan tahun 2006. Ide membangun HTR dilatarbelakangi
oleh kondisi hutan LOA (logged over area) yang perlu untuk segera ditangani.
Pada awalnya pengambil kebijakan mempertimbangkan untuk memberikan hak
pengelolaan lahan hutan terdegradasi kepada pemegang izin HTI terdekat.
Namun, mengingat prosedur untuk penambahan areal HTI cukup panjang dan
tidak efisien bagi perusahaan maka alternatif tersebut tidak dipilih sebagai solusi
kebijakan. Selanjutnya dinyatakan bahwa lahan kosong di hutan produksi tersebut
dapat diserahkan pengelolaannya kepada rakyat sekitar (Herawati, 2010a).
Pengelolaan hutan produksi oleh masyarakat memiliki konsekuensi yang
besar, terutama bagi Kementerian Kehutanan yang masih menganggap hutan
sebagai sebuah sistem tersendiri yang eksklusif dan terpisah dari sub sistem lain
termasuk kondisi sosial ekonomi masyarakat. Implikasi dari hal tersebut adalah
Kementerian Kehutanan membuat turunan peraturan yang mengatur sedemikian
rupa agar masyarakat berminat untuk membangun hutan dan memanfaatkan
66 hasilnya, namun pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut dapat terpantau oleh
pemerintah dan bermanfaat bagi perbaikan hutan produksi. Cara yang ditempuh
oleh Kementerian Kehutanan adalah dengan menyamakan HTR dengan HTI
dengan masyarakat sebagai pelakunya.
“Sebenarnya HTR itu sama saja dengan HTI, hanya dalam HTR pelakunya
adalah masyarakat. Melalui HTR, masyarakat diajarkan untuk menjadi
enterpreneur (pengusaha) di bidang kehutanan” (wawancara, Mei 2011)
Kebijakan HTR memandang masyarakat sebagai enterpreneur yang
berkewajiban membangun hutan dan memanfaatkan hasilnya dengan sistem hak
guna usaha (HGU) selayaknya sebuah perusahaan HTI. Sehingga tidak
mengherankan bila terdapat peraturan yang mengatur HTR dan HTI secara
bersamaan seperti Permenhut No. P.62/Menhut-II/2008 tentang penyusunan
RKUPHHK-HTI dan HTR. Kewajiban untuk menyusun RKU dan RKT dalam
HTI juga diterapkan dalam kebijakan HTR, meskipun dalam HTR difasilitasi oleh
kepala UPT.
Dalam turunan kebijakan HTR mengesankan bahwa Kementerian
Kehutanan berasumsi bahwa masyarakat telah siap dan paham bagaimana menjadi
seorang enterpreneur, padahal kondisi di lapangan masih sangat jauh berbeda.
Meskipun telah ada pendampingan dari dinas kehutanan kabupaten, namun
sebagian besar masyarakat masih belum mampu dan belum mengerti bagaimana
menjadi seorang enterpreneur kehutanan sebagaimana yang dikehendaki oleh
Kementerian Kehutanan. Fasilitasi oleh UPT Kementerian Kehutanan (BP2HP)
tidak cukup memadai sehingga RKU dan RKT menjadi salah satu kendala utama
dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.
Kebijakan HTR juga disusun berdasarkan asumsi bahwa kepala desa
berkompeten untuk mengimplementasikan kebijakan HTR. Peran sentral kepala
desa antara lain adalah memfasilitasi permohonan IUPHHK (Permenhut No.
P.55/2011 pasal 13 ayat 1) dan mengadakan pengawasan pelaksanaan HTR
(Permenhut No. P.55/2011 Pasal 24 ayat 1). Berdasarkan pengamatan di lapangan,
penyerahan tanggungjawab sepenuhnya kepada kepala desa tidak dapat
dilaksanakan, karena banyak kepala desa yang belum mampu untuk mengemban
tugas tersebut. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam implementasi HTR,
67 sehingga peran ini harus diambil alih oleh Dinas Kehutanan Kabupaten selaku
instansi yang bertanggungjawab di kabupaten bidang kehutanan.
Asumsi lain yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan dalam menyusun
kebijakan HTR adalah masyarakat pengelola hutan produksi yang menjadi
kawasan HTR adalah masyarakat desa yang berdekatan dengan lokasi HTR.
Implikasinya adalah administrasi pengajuan permohonan HTR mensyaratkan
masyarakat untuk menyerahkan KTP, surat keterangan domisili dan surat
rekomendasi dari Kepala desa dimana lokasi HTR berada. Syarat administrasi ini
menyulitkan masyarakat yang telah mengelola lahan HTR namun bukan
masyarakat setempat. Di lokasi penelitian, terdapat beberapa orang masyarakat
desa tetangga yang memiliki lahan (secara de facto) yang termasuk dalam lokasi
HTR dan berminat bergabung dalam kegiatan HTR. Syarat administrasi tersebut
menimbulkan kendala bagi mereka.
Abidin (2006) menyebutkan bahwa asumsi yang digunakan dalam
perumusan kebijakan hendaknya realistis, karena asumsi yang realistis akan
menentukan tingkat validitas suatu kebijakan. Asumsi yang digunakan oleh
Kementerian Kehutanan perlu ditinjau ulang mengingat berbagai kendala yang
timbul akibat asumsi kebijakan yang kurang realistis tersebut berdampak kepada
rendahnya pencapaian target HTR.
4.1.3. Struktur implementasi
Struktur implementasi yang ada hendaknya memungkinkan sebuah
kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik. Untuk itu, sebuah kebijakan
hendaknya mempunyai pelaksana implementasi yang ahli, berkomitmen dan
menggunakan kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan.
Kebijakan HTR merupakan sebuah kebijakan yang melibatkan banyak pihak
dalam implementasinya, sehingga struktur implementasi HTR cenderung
kompleks dan rumit sehingga memakan waktu lama dalam urusan administrasi
dan birokrasi. Nugroho (2009) menyebutkan bahwa dalam proses pencadangan
areal HTR melibatkan sembilan lembaga/organisasi dengan 29 tahapan
sebagaimana yang digambarkan pada Lampiran 3, sedangkan proses permohonan
IUPHHK-HTR melibatkan 10 lembaga/organisasi kehutanan dan non kehutanan
68 dengan 29 langkah/kegiatan yang harus ditempuh sebagaimana disajikan pada
Lampiran 4.
Namun demikian, pelaksana utama kebijakan HTR sesungguhnya adalah
pemerintah daerah (dalam hal ini dinas kehutanan kabupaten). Peran sentral Dinas
Kehutanan Kabupaten sangat menentukan tingkat keberhasilan implementasi
HTR. Meskipun tugas dinas kehutanan kabupaten dalam peraturan perundangan
hanya mencakup pemberian pertimbangan teknis kepada Bupati (Permenhut No.
P.05/Menhut-II/2008 pasal 1A ayat 2 huruf d) dan melaporkan rekapitulasi
perizinan IUPHHK-HTR secara berkala setiap tiga bulan (Permenhut No.
P.05/Menhut-II/2008 pasal 2 ayat 3 dan 4). Namun berdasarkan observasi di
lapangan diketahui bahwa tugas Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut)
Kabupaten Sarolangun dalam implementasi kebijakan HTR mencakup: a)
sosialisasi kebijakan kepada masyarakat selaku kelompok sasaran, b)
memfasilitasi proses perizinan IUPHHK-HTR di lapangan, c) memfasilitasi
pembuatan RKU dan RKT, d) melakukan pendampingan dan e) melakukan
pengawasan dan monitoring pelaksanaan HTR.
Bila ditelaah lebih lanjut, pengemban semua tugas tersebut telah diatur
dengan seksama dalam kebijakan HTR sebagaimana yang disajikan dalam Tabel
12. Namun, beberapa tugas yang diamanatkan kepada bupati (seperti sosialisasi)
dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten terkait peran Dinas Kehutanan
Kabupaten sebagai pemerintah daerah (mewakili bupati) untuk urusan kehutanan.
Sementara itu, beberapa tugas lain yang seharusnya dilakukan oleh kepala desa
(fasilitasi permohonan) juga dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten mengingat
kompetensi kepala desa yang belum memungkinkan untuk memfasilitasi
permohonan HTR.
69 Tabel 12. Pengemban Tugas yang Dilakukan Dinas Kehutanan Kabupaten
No Kegiatan Tugas Dasar hukum Pengemban Tugas
Pelaksana Lapangan
1. Penetapan Areal
Pertimbangan teknis pada Bupati
Permenhut No. P.5/2008 pasal 1A ayat 2 huruf d
Disbunhut Kabupaten
Disbunhut Kabupaten
Sosialisasi Permenhut No. P.55/2011 Pasal 13 ayat 5
Bupati/ Walikota
Disbunhut Kabupaten
2. Fasilitasi proses perizinan
Fasilitasi permohonan
Permenhut No. P.55/2011 Pasal 13 ayat 1,3
Kepala desa Disbunhut Kabupaten
Laporan rekapitulasi perizinan IUPHHK
Permenhut No.P.05/2008 Pasal 2 ayat 3 & 4
Disbunhut Kabupaten
Disbunhut Kabupaten
Fasilitasi pembuatan kelompok
Permenhut No. P.55/2011 Pasal 17 ayat 1
Tidak ada Disbunhut Kabupaten bekerjasama dengan FLEGT
3. Fasilitasi kelembagaan
Fasilitasi penguatan kelembagaan
Permenhut No. P.55/2011 Pasal 19 ayat 4
Bupati, camat dan kepala desa, LSM yang ditunjuk
Disbunhut Kabupaten bekerjasama dengan FLEGT
Pembuatan RKU dan RKT
Permenhut No.P.62/2008 Psl 7 ayat 1, psl 14 ayat 1
Kepala UPT Disbunhut Kabupaten
4. Fasilitasi RKU dan RKT
Persetujuan RKU dan RKT
Permenhut No.P.62/2008 Psl 7 ayat 2, psl 16 ayat 1
Disbunhut Kabupaten
Disbunhut Kabupaten
Penilaian dan persetujuan revisi
Permenhut No.P.62/2008 Pasal 9 ayat 3
Disbunhut Kabupaten
Disbunhut Kabupaten
Melakukan Pendampingan teknis
Juknis Pembangunan HTR Bab VIII
Teknisi yang ditunjuk
Staff Dishutbun Kabupaten selaku pendamping
5. Fasilitasi pelaksanaan
Melakukan Pendampingan kelembagaan
Juknis Pembangunan HTR Bab VIII
Tenaga kerja kehutanan, LSM, organisasi lain
LSM FLEGT bekerjasama dengan Disbunhut Kabupaten
6. Pengawasan dan monitoring
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan HTR
Permenhut No. P.55/2011 Pasal 24
Kepala desa, Kepala Dinas Provinsi/UPT
Disbunhut Kabupaten
Berdasarkan observasi di Desa Lamban Sigatal dan Desa Seko Besar
(yang saat ini dalam proses pengajuan IUPHHK), sistem yang digunakan oleh
Dishutbun Kabupaten Sarolangun adalah ‘menjemput bola’ dimana setelah
70 mengadakan sosialisasi secara berkala ke desa yang dituju, maka semua fasilitasi
permohonan mulai dari memfasilitasi persyaratan hingga pembentukan kelompok
dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten di desa yang dituju. Berbeda dengan kedua
desa di atas, Desa Taman Bandung difasilitasi oleh Disbunhut Kabupaten
Sarolangun bekerjasama dengan EC- Indonesia FLEGT support project. FLEGT
mengawal proses perizinan hingga keluarnya izin IUPHHK di Desa Taman
Bandung, termasuk memfasilitasi penguatan kelembagaan.
Salah satu syarat administrasi yang menjadi kendala dalam implementasi
kebijakan HTR di Desa Taman Bandung (yang telah mendapatkan izin IUPHHK-
HTR) adalah pembuatan RKU dan RKT. Berdasarkan Permenhut No.P.62/2008
Pasal 7 ayat 1, fasilitasi pembuatan RKU dan RKT merupakan tugas dari UPT
Kementerian Kehutanan (BP2HP wilayah IV Jambi). Namun tugas tersebut juga
harus dilakukan oleh Dishutbun Kabupaten untuk memperlancar implementasi
HTR di Kabupaten Sarolangun.
Tugas pendampingan sebagaimana yang tertulis dalam Peraturan Direktur
Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2008 tentang Petunjuk
Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat memiliki dua sifat yaitu
pendampingan teknis dan pendampingan kelembagaan. Di Kabupaten Sarolangun,
yang ditunjuk sebagai pendamping teknis adalah staf Disbunhut Kabupaten,
sementara pendamping kelembagaan (khusus untuk Desa Taman Bandung)
difasilitasi oleh EC-Indonesia FLEGT support project. Namun setelah proyek
FLEGT berakhir, hingga saat ini Disbunhut Kabupaten belum memiliki partner
dalam pelaksanaan pendampingan kelembagaan di desa-desa lainnya (Seko Besar
dan Lamban Sigatal). Sehingga proses pendampingan baik teknis maupun
kelembagaan dalam desa tersebut difasilitasi oleh Disbunhut Kabupaten.
Penunjukan staf Disbunhut sebagai pendamping pelaksanaan pembangunan
HTR perlu ditinjau ulang. Proses pendampingan menjadi kurang optimal karena
tupoksi yang diemban oleh staff dishutbun tersebut bukan hanya kegiatan HTR.
Jarak rumah pendamping dengan lokasi HTR juga menjadi kendala dalam proses
pendampingan. Aksesibilitas jalan yang jelek terutama pada musim hujan
merupakan kendala utama dalam proses pendampingan, di samping masalah
finansial. Di sisi lain, penunjukan staf Disbunhut dapat menjadi strategis karena
71 kegiatan HTR dapat dijalankan secara bersamaan dengan tupoksi lainnya,
sehingga dapat meminimalkan biaya operasional. Namun secara keseluruhan,
tetap menyebabkan proses pendampingan menjadi tidak optimal.
Subarsono (2006) mengungkapkan bahwa keberhasilan sebuah kebijakan
sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan keterampilan dari para implementor
kebijakan. Berdasarkan observasi, diketahui bahwa Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sarolangun cukup kompeten dalam implementasi kebijakan
HTR. Strategi untuk ‘menjemput bola’ dalam memperlancar proses permohonan
IUPHHK cukup tepat untuk desa-desa di Kabupaten Sarolangun, mengingat
sebagian besar kepala desa di sekitar areal pencadangan HTR yang belum
berkompeten melaksanakan tugas sebagaimana yang dituntut dalam kebijakan
HTR. Selain itu, aksesibilitas jalan yang buruk juga menghambat mobilisasi
kepala desa untuk keluar desa.
4.1.4. Dukungan sumber daya manusia dan finansial
Dukungan sumberdaya manusia dan finansial yang memadai akan
mempermudah implementasi sebuah kebijakan. Dukungan sumberdaya manusia
dan finansial dalam kebijakan HTR hendaknya tidak terbatas hanya pada lingkup
Kementerian Kehutanan selaku pembuat kebijakan, namun juga pada pemerintah
daerah dan masyarakat selaku pelaksana dan kelompok target kebijakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya manusia dalam
mengimplementasi HTR baik pada tataran UPT pusat (BP2HP wilayah IV Jambi
dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah XIII Bangka Belitung),
maupun pemerintah daerah (Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Sarolangun) masih terbatas. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan
diketahui bahwa pelaksana lapangan di Dinas Kehutanan yang secara aktif
menangani kegiatan HTR hingga ke lapangan hanya berjumlah 3-4 orang dengan
kualifikasi sarjana kehutanan, di mana dua orang di antaranya telah ditunjuk
sebagai pendamping kegiatan HTR. Sementara sumber daya manusia di BP2HP
yang menangani kegiatan HTR berjumlah kurang dari lima orang. Dukungan
sumber daya manusia Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dapat dilihat
melalui tingkat partisipasi aparat pemda dalam implementasi kebijakan HTR
(Tabel 13).
72 Tabel 13 Tingkat Partisipasi Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun
Indikator Partisipasi Tinggi Sedang Rendah n % n % n %
Keterlibatan 4 26.67 5 33.33 6 40.00 Sosialisasi 15 100.00 0 0.00 0 0.00 Rapat koordinasi 6 40.00 4 26.67 5 33.33 Pelatihan 3 20.00 5 33.33 7 46.67 Turun ke Lapangan 3 20.00 4 26.67 8 53.33 Total Partisipasi 3 20.00 3 20.00 9 60.00
Tabel 13 menunjukkan bahwa dukungan sumber daya manusia Pemerintah
Daerah Kabupaten termasuk dalam kategori rendah (60%) dengan tingkat
keterlibatan yang rendah (40%). Keterlibatan responden umumnya terbagi
menjadi tiga kelompok besar, yaitu (1) kelompok yang selalu dilibatkan dalam
kegiatan HTR; (2) kelompok yang kadang-kadang dilibatkan; dan (3) kelompok
yang tidak dilibatkan.
Kelompok pertama merupakan aparat Dishutbun Kabupaten Sarolangun
yang mengawal implementasi kebijakan HTR hingga ke lapangan. Umumnya
mereka telah mendapatkan pelatihan-pelatihan mengenai implementasi HTR
berupa pelatihan pendampingan dan pembuatan RKU/RKT. Kelompok kedua
adalah merupakan aparat Dishutbun dan Bappeda Kabupaten Sarolangun yang
sering dilibatkan dalam rapat-rapat koordinasi guna membahas perkembangan
HTR atau hal lain yang berkaitan dengan HTR. Kelompok ketiga merupakan
aparat Dishutbun Kabupaten Sarolangun yang tidak dilibatkan dalam kegiatan
HTR, namun pernah mendapatkan sosialisasi mengenai kebijakan HTR dan secara
kepegawaian termasuk dalam bidang yang membawahi proyek HTR. Dukungan
sumber daya manusia yang rendah ini berpotensi menghambat implementasi
kebijakan HTR.
Berdasarkan peraturan dan perundangan mengenai kebijakan HTR diketahui
bahwa sebagian besar sumber dana untuk implementasi kebijakan HTR
dibebankan kepada pemerintah. Namun tidak disebutkan secara jelas instansi
pemerintah yang bertanggung jawab dalam hal finansial untuk setiap jenis
kegiatan. Sehingga setiap stakeholders yang terlibat dalam kebijakan ini harus
berasumsi sendiri bahwa pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah pusat
(Kementerian Kehutanan) sebagai penyedia sumber dana utama dan pemerintah
73 daerah sebagai sumber dana pendamping. Ketidakjelasan penanggung jawab
finansial ini berpotensi menghambat implementasi kebijakan HTR.
4.2 Lingkungan Kebijakan
4.2.1. Dukungan pemangku kepentingan (stakeholder)
Analisis pemangku kepentingan (stakeholder) dalam penelitian ini ditujukan
untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholders dalam implementasi HTR
dan memanfaatkan kepentingan, kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh setiap
stakeholders dalam implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa pada
inisiasi awal HTR (tahun 2007) hingga tahun 2009 cukup banyak pihak yang
tertarik dan terlibat dalam program HTR, baik pihak instansi pemerintah maupun
organisasi nirlaba. Dari hasil inventarisasi pemangku kepentingan (stakeholders),
diketahui bahwa stakeholders yang terlibat dan potensial terlibat dalam
implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun saat ini terdiri atas
beberapa komponen, yaitu: (1) Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, (2) BP2HP
Wilayah IV Jambi, (3) Bappeda Kabupaten Sarolangun, (4) Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Sarolangun, (5) DPRD Komisi II Kabupaten Sarolangun, (6) PT
Samhutani, (7) LP3D, (8) Universitas Jambi dan (9) masyarakat.
Dukungan yang diberikan oleh masing-masing stakeholders tergantung
kepada tingkat kepentingan yang dipengaruhi dan keuntungan yang diharapkan
(Grindle, 1980). Tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat berdasarkan
persepsi mereka terhadap kebijakan HTR (harapan mereka terhadap tujuan HTR)
dan bagaimana cara mereka menyikapi kebijakan ini (keuntungan atau biaya apa
yang pernah dikeluarkan dan sumber daya apa yang telah dimobilisasi).
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdapat tiga persepsi
stakeholder mengenai tujuan dari kebijakan HTR yaitu (1) perbaikan kawasan
hutan produksi; (2) kesejahteraan masyarakat; dan (3) supply bahan baku kayu.
Meskipun beberapa stakeholders memiliki persepsi bahwa tujuan HTR lebih dari
satu dengan takaran yang berbeda-beda. Tabel 14 menunjukkan persepsi
(harapan) responden terhadap tujuan kebijakan HTR.
74 Tabel 14 Persepsi Responden terhadap Tujuan HTR
No Stakeholders Tujuan
Perbaikan HP Kesejahteraan Masyarakat
Supply Bahan Baku
1. Dishut Provinsi Jambi ++ +++ + 2. BP2HP +++ + ++ 3. Universitas Jambi +++ ++ + 4. Disbunhut Kabupaten ++ +++ + 5. Bappeda Kabupaten ++ ++ + 6. DPRD Kabupaten ++ +++ + 7. LP3D ++ +++ + 8. PT. Samhutani ++ + +++ 9. Masyarakat + +++ ++
Keterangan: + : rendah; ++ : sedang, +++ : tinggi Selain persepsi mereka terhadap tujuan HTR, tingkat kepentingan
stakeholders dalam implementasi kebijakan HTR dapat dilihat dari persepsi
mereka terhadap kebijakan HTR, relevansi kebutuhan terhadap implementasi
kebijakan HTR, motivasi keterlibatan dalam implementasi kebijakan HTR, bentuk
dukungan yang diberikan dan tingkat keuntungan yang diharapkan. Tabel 15
menunjukkan penilaian terhadap tingkat kepentingan masing-masing stakeholder.
Tabel 15 Penilaian Tingkat Kepentingan Stakeholder
No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai 1. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 4 4 4 5 4 21 2. BP2HP 5 5 5 5 5 25 3. Universitas Jambi 4 3 4 4 4 19 4. Dinas Kehutanan Kabupaten 5 4 5 5 5 24 5. Bappeda Kabupaten 3 3 3 3 2 14 6. DPRD Komisi II Sarolangun 3 3 2 2 3 13 7. LP3D 3 2 2 2 2 11 8. PT. Samhutani 2 1 1 1 2 7 9. Masyarakat 5 5 5 4 5 24
Keterangan : P1 = persepsi mengenai ketepatan HTR sebagai resolusi masalah P2 = relevansi kebutuhan P3 = motivasi keterlibatan P4 = bentuk dukungan P5 = keuntungan yang diharapkan
Data di atas menunjukkan bahwa stakeholders yang memiliki nilai
kepentingan tinggi adalah instansi pemerintah sektor kehutanan (BP2HP dan
disbunhut kabupaten), dimana implementasi kebijakan HTR merupakan salah satu
tupoksi (tugas pokok dan fungsi) mereka. Masyarakat selaku kelompok target dari
implementasi kebijakan HTR juga memiliki tingkat kepentingan yang tinggi,
75 sedangkan sektor swasta memiliki nilai kepentingan yang rendah dan merasa tidak
pernah dilibatkan dalam proses implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun.
Meskipun beberapa stakeholders memiliki tingkat kepentingan yang tinggi
terhadap HTR, namun tidak semuanya memiliki pengaruh dalam menyukseskan
implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Pengaruh stakeholder
terhadap implementasi kebijakan HTR dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Penilaian Tingkat Pengaruh Stakeholder
No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai 1. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 4 5 5 3 5 22 2. BP2HP 4 5 3 5 5 22 3. Universitas Jambi 3 4 4 3 4 18 4. Dinas Kehutanan Kabupaten 5 5 5 5 5 25 5. Bappeda Kabupaten 4 3 4 3 4 18 6. DPRD Komisi II Sarolangun 2 5 5 3 5 20 7. LP3D 2 2 4 3 3 14 8. PT. Samhutani 1 2 3 5 5 16 9. Masyarakat 4 1 1 5 1 12
Keterangan : P1 = tingkat keterlibatan P2 = peran/kontribusi dalam pembuatan keputusan P3 = Hubungan dengan stakeholder lain P4 = dukungan SDM
P5 = dukungan finansial
Tabel 16 menunjukkan bahwa yang memiliki pengaruh yang besar dalam
menyukseskan implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah
BP2HP dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, sedangkan masyarakat memiliki
pengaruh yang terkecil dalam keberhasilan implementasi HTR.
Dengan mengkombinasikan Tabel 15 dan Tabel 16 maka dibuat ilustrasi
mengenai tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dengan
menggunakan stakeholder grid. Ilustrasi yang ditampilkan terdiri atas empat
kuadran yang menggambarkan posisi masing-masing stakeholders dalam
mendukung kebijakan HTR. Sebaran posisi stakeholders berdasarkan kepentingan
dan pengaruh mereka dalam implementasi HTR digambarkan pada Gambar 10.
76
Gambar 10. Posisi Stakeholder Berdasarkan Tingkat Kepentingan dan Pengaruh
Gambar 10 menunjukkan bahwa stakeholders yang termasuk ke dalam
kelompok pemain kunci (key players) adalah BP2HP, Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan
Universitas Jambi. Kelompok ini memainkan peranan yang sangat penting dalam
menentukan keberhasilan implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.
Penanggungjawab keberhasilan implementasi kebijakan HTR saat ini berada
pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. BP2HP selaku
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan bertanggungjawab atas
kebijakan yang telah digulirkan oleh Kementerian Kehutanan, termasuk kebijakan
HTR. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi juga merupakan stakeholders yang cukup
berperan aktif dalam implementasi kebijakan HTR. Sosialisasi HTR dan
pembuatan demplot adalah salah satu wujud dukungan Dinas Kehutanan Provinsi
Jambi terhadap kebijakan HTR. Sumber kepentingan Universitas Jambi terhadap
kebijakan HTR berasal dari kepentingan pribadi yaitu untuk menjadikan kebijakan
dan lokasi HTR sebagai salah satu ranah penelitian mereka. Namun demikian,
Universitas Jambi berperan penting dalam implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun, salah satunya dengan menyusun Grand Strategy
Pengembangan HTR di Provinsi Jambi.
0
15
30
0 15 30
KEPE
NTI
NG
AN
PENGARUH
KEY PLAYERS
CONTEXT SETTTER
SUBJECT
CROWD
MASYARAKAT BP2HP
DISBUNHUT KAB
DISHUT PROP
UNJAM
BAPPEDA
SAMHUTANI
LP3DDPRD
77
Keempat institusi ini merupakan kelompok yang sangat menentukan dalam
keberhasilan implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Mereka
memiliki kepentingan yang tinggi dan pengaruh yang besar dalam implementasi
kebijakan HTR. Kepentingan yang tinggi terkait dengan tupoksi (tugas pokok dan
fungsi) mereka selaku institusi pemerintah bidang kehutanan. Mereka berharap,
apabila kebijakan HTR berhasil diimplementasikan maka pekerjaan mereka
mengamankan kawasan hutan produksi menjadi lebih mudah. Selain itu, mereka
berpendapat bahwa kebijakan HTR juga merupakan alternatif yang sangat
strategis dalam mengatasi permasalahan kehutanan di Kabupaten Sarolangun,
terutama masalah okupasi kawasan hutan produksi dan konflik tenurial.
Stakeholders yang termasuk ke dalam kelompok context setter adalah
DPRD Kabupaten Sarolangun, Bappeda Kabupaten Sarolangun dan PT
Samhutani. Kelompok ini memiliki pengaruh yang tinggi namun memiliki
kepentingan yang rendah terhadap implementasi kebijakan HTR. Rendahnya
tingkat kepentingan anggota komisi II DPRD ini disebabkan oleh kurang
strategisnya HTR sebagai komoditi politik daerah saat ini, sehingga mereka tidak
memiliki inisiatif untuk memulai dukungan terhadap implementasi HTR.
Meskipun saat ini tingkat kepedulian anggota DPRD terhadap kebijakan
HTR telah jauh berkurang, namun pada tahun 2007-2009 kebijakan HTR
mendapatkan dukungan yang sangat serius dari komisi II DPRD saat itu. Bahkan
HTR pernah menjadi program yang sangat strategis bagi politik daerah, sehingga
pihak DPRD komisi II menjadikan HTR sebagai salah satu kegiatan yang
mendukung program 8102 (pengentasan kemiskinan) di Kabupaten Sarolangun.
Berdasarkan hasil wawancara dengan mantan ketua komisi II DRD
Kabupaten Sarolangun diketahui bahwa sebelum bergulirnya kebijakan HTR,
telah ada wacana (DPRD) untuk memberikan akses pada masyarakat untuk
mengelola hutan produksi yang tidak produktif melalui peraturan daerah (perda).
Kebijakan HTR yang sejalan dengan niat tersebut, memiliki posisi yang strategis
sehingga DPRD saat itu sangat mendukung kebijakan HTR.
Bappeda Kabupaten Sarolangun merupakan partner Dinas Kehutanan
Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan kebijakan HTR, meskipun
peran mereka tidak begitu significant. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
78 bahwa kebijakan HTR tidak berpengaruh terhadap tupoksi mereka, namun selama
kebijakan HTR bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat mereka akan
mendukung kebijakan ini. Tidak ada alokasi dana dan sumber daya manusia
khusus untuk mengimplementasikan kebijakan HTR sehingga mereka hanya
menunggu inisiatif dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun
untuk terlibat dalam implementasi kebijakan HTR.
Salah satu stakeholders potensial lain yang belum dimanfaatkan oleh Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun adalah PT. Samhutani, yang
memiliki lahan berbatasan dengan areal pencadangan HTR. Berdasarkan hasil
wawancara dengan manager camp PT Samhutani, terungkap bahwa perusahaan
mendukung kebijakan HTR, terutama apabila yang ditanam oleh masyarakat
adalah tanaman yang dapat dijadikan bahan baku pulp. Bahkan perusahaan
bersedia untuk menyediakan bibit dan berpartner dengan masyarakat dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR.
Ketiga stakeholders yang termasuk ke dalam kelompok context setter ini
berpotensi menghambat dan atau memperlancar implementasi kebijakan HTR
sehingga harus dikelola dengan baik. Pemerintah Daerah (Disbunhut Kabupaten
Sarolangun) harus mencari cara agar kebijakan HTR ini dapat menjadi menarik
secara politis sehingga mendapatkan dukungan dari DPRD kembali. Pelibatan
Bappeda Kabupaten dalam setiap kegiatan HTR sebaiknya juga ditingkatkan,
tidak hanya sebatas rapat koordinasi, namun dapat diajak dalam hal sosialisasi dan
membangun kerjasama intensif dalam mengimplementasikan HTR. Demikian
halnya dengan PT Samhutani. Disbunhut Kabupaten Sarolangun dapat
mengupayakan bentuk kerjasama (bermitra) antara PT Samhutani dan masyarakat
yang berminat untuk menanam kayu fast growing namun tidak memiliki modal.
Stakeholder yang termasuk kelompok crowd adalah LP3D, sebuah LSM
lokal di Kabupaten Sarolangun. LP3D merupakan stakeholder yang lemah dalam
implementasi HTR karena memiliki kepentingan rendah dan pengaruh yang kecil.
Keterlibatan LP3D dalam implementasi kebijakan HTR dimulai dua tahun yang
lalu, saat LP3D ditunjuk oleh EC-Indonesia FLEGT support project sebagai LSM
lokal yang mendampingi masyarakat dalam implementasi HTR. LP3D diharapkan
dapat melanjutkan kegiatan pendampingan apabila proyek FLEGT telah selesai.
79 Namun karena tidak ada alokasi sumber daya manusia dan finansial , maka
kegiatan pendampingan LP3D terhenti setelah berakhirnya kerjasama antara
LP3D dan FLEGT. Reed et al. (2009) mengungkapkan bahwa kelompok crowd
tidak perlu dilibatkan terlalu detil atau dilibatkan dalam kegiatan.
Masyarakat memiliki nilai kepentingan yang tinggi terhadap kebijakan HTR
namun memiliki pengaruh yang kecil sehingga termasuk dalam kelompok subject.
Kelompok ini merupakan kelompok yang menjadi target dalam implementasi
HTR. Rendahnya pengaruh yang miliki oleh masyarakat menyebabkan
masyarakat tidak dapat memilih bentuk HTR sesuai dengan keinginan mereka,
namun demikian, kelompok key players dapat membangun kerjasama dengan
kelompok context setter untuk mencari model yang tepat untuk memberdayakan
kelompok subject.
Berdasarkan konsep pengaruh Yukl (1994) bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan HTR, selain ditentukan oleh adanya kepentingan yang
tinggi terhadap kebijakan HTR juga ditentukan oleh kemampuan saling
mempengaruhi di antara stakeholders terkait. Oleh karena itu, peran Disbunhut
Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi dalam membangun kerjasama
dengan stakeholder yang lain hendaknya dapat dioptimalkan, terutama dalam
memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter (Bappeda,
DPRD dan PT Samhutani).
Besar kecilnya pengaruh stakeholder terhadap stakeholder lain tergantung
pada besar kecilnya kekuatan yang dimilikinya. French & Raven (1959)
sebagaimana diacu Yukl (1994) membagi kekuatan dalam lima katagori yaitu:
reward power, coercive power, legitimate power, expert power dan referent
power. Penilaian kekuatan stakeholder dalam implementasi kebijakan HTR dapat
dilihat pada Tabel 17.
80 Tabel 17 Penilaian Tingkat Kekuatan Stakeholder
No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai 1. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi 5 3 3 3 4 18 2. BP2HP 5 1 1 5 1 13 3. Universitas Jambi 1 1 1 5 1 9 4. Dinas Kehutanan Kabupaten 5 3 3 5 1 17 5. Bappeda Kabupaten 3 4 1 1 1 10 6. DPRD Komisi II Sarolangun 5 1 1 3 4 14 7. LP3D 1 1 1 1 1 5 8. PT. Samhutani 5 1 1 1 1 9 9. Masyarakat 1 1 1 1 1 5
Keterangan : P1 = reward power P2 = coercive power P3 = legitimate power P4 = expert power P5 = referent power
Tabel 17 menunjukkan bahwa kekuatan terbesar dalam implementasi
kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun dimiliki oleh Dishut Provinsi Jambi dan
Disbunhut Kabupaten Sarolangun, sedangkan kekuatan terkecil dimiliki oleh
masyarakat dan LP3D. Kekuatan reward yang dimiliki oleh instansi kehutanan
(BP2HP, Dishut Provinsi dan Disbunhut Kabupaten) bersumber dari tupoksi yang
dimilikinya, sedangkan PT Samhutani memiliki kekuatan reward terkait
kebutuhan mereka akan bahan baku kayu.
Kekuatan coercive dan legitimate hanya dimiliki oleh instansi yang
berkedudukan di daerah, terkait dengan relationship dan kewenangan (authority)
yang mereka miliki, sedangkan kekuatan expert dimiliki oleh stakeholder yang
diyakini memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengelola hutan. Penilaian
kekuatan referent bersumber dari kekuatan personal untuk mempengaruhi
stakeholder lain dalam implementasi kebijakan HTR.
Besarnya kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing
stakeholder akan memberikan dampak terhadap keterlibatan mereka dalam
implementasi HTR apabila dapat dikelola dengan baik. Dengan
mengkombinasikan data kekuatan dan pengaruh yang dimiliki oleh stakeholder,
maka di buat matrik resultante yang menggambarkan posisi masing-masing
stakeholder sebagaimana Gambar 11.
81
Gambar 11. Posisi Stakeholders Berdasarkan Kekuatan dan Pengaruh
Posisi stakeholder berdasarkan kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya
akan sangat membantu dalam menyusun strategi implementasi kebijakan HTR.
Meyers (2001) mengemukakan strategi yang dapat digunakan oleh stakeholder
berdasarkan tingkat kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Strategi Stakeholders Berdasarkan Pengaruh dan Kekuatan
Pengaruh Rendah Pengaruh Tinggi
Kekuatan Tinggi
Pengurangan Dampak, Bertahan Melawan Berkolaborasi dengan
Kekuatan Rendah
Memonitor atau tidak memperdulikan
Keterlibatan, membangun kapasitas, mengamankan kepentingan
Sumber : Meyers (2001)
Gambar 11 menunjukkan bahwa kelompok yang memiliki kekuatan dan
pengaruh yang besar (Kelompok B) adalah Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan
Dinas Perkebunan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Meyers (2001)
mengungkapkan bahwa strategi digunakan untuk memberdayakan stakeholder
dalam kelompok ini adalah ‘berkolaborasi dengan’. Oleh karena itu, Disbunhut
Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi harus saling berkolaborasi
dalam rangka implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.
0
15
30
0 15 30
KEKU
ATA
N
PENGARUH
MASYARAKAT
LP3D
SAMHUTANIUNJAM
BAPPEDADPRD BP2HP
DISHUT PROV DISHUT KAB
B
C
A
D
82
Kelompok C ditempati oleh BP2HP, DPRD Kabupaten, Universitas Jambi,
Bappeda Kabupaten dan PT Samhutani. Kelompok ini merupakan kelompok yang
sangat potensial untuk dilibatkan dalam implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun. Strategi yang dapat digunakan oleh stakeholder dalam
kelompok ini adalah ‘terlibat, membangun kapasitas dan mengamankan
kepentingan’. Latar belakang kepentingan mereka terhadap kebijakan HTR dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk memotivasi keterlibatan mereka
dalam implementasi HTR. Kapasitas mereka dapat dibangun dengan membentuk
jaringan dalam implementasi HTR.
Kelompok D merupakan kelompok yang memiliki kekuatan dan pengaruh
yang rendah dalam mengimplementasikan kebijakan HTR. Kelompok ini
ditempati oleh masyarakat dan LP3D. Meyers (2001) menyebutkan bahwa
alternatif strategi yang dapat dilakukan oleh stakeholder yang berada dalam
kelompok ini adalah memonitor atau tidak memperdulikan. Khusus untuk
masyarakat, direkomendasikan untuk memonitor proses yang berlangsung dalam
implementasi kebijakan, sedangkan LP3D dapat mengabaikan atau memonitor.
Guna melihat posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan, kekuatan
dan pengaruh yang dimilikinya, dalam penelitian ini menggabungkan dua analisis
katagori yang telah berkembang sebelumnya, yaitu: (1) analisis katagori
berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh (Lindenberg & Crosby, 1981
dalam Reed et al. (2009); dan (2) analisis katagori berdasarkan tingkat kekuatan
dan pengaruh (Silverstein, 2009); menjadi sebuah matrik sebagaimana
diilustrasikan pada Gambar 12.
PENGARUH RENDAH PENGARUH TINGGI
KEPENTINGAN RENDAH
KEKUATAN RENDAH LP3D BAPPEDA,DPRD,
SAMHUTANI
KEKUATAN TINGGI - -
KEPENTINGAN TINGGI
KEKUATAN RENDAH MASYARAKAT BP2HP, UNJAM
KEKUATAN TINGGI - DISHUT KAB
DISHUT PROV
Gambar 12. Posisi Stakeholders Berdasarkan Kekuatan, Kepentingan & Pengaruh
83
Mengembangkan strategi yang telah dikemukakan Meyers (2001),
penelitian ini menambahkan faktor kepentingan dalam menyusun strategi yang
dapat dilakukan dalam implementasi HTR sebagaimana diilustrasikan pada
Gambar 12. Gambar tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam
implementasi HTR terdapat lima zona (kelompok) stakeholder, yaitu:
1. Kelompok hijau; yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan,
pengaruh dan kekuatan yang tinggi. Kelompok ini merupakan kelompok
penentu keberhasilan HTR.
2. Kelompok kuning, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan dan
pengaruh yang tinggi, namun memiliki tingkat kekuatan yang rendah.
Kelompok ini merupakan kelompok pendukung yang harus dilibatkan dalam
implementasi HTR.
3. Kelompok merah, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan dan
kekuatan yang rendah namun pengaruh yang tinggi. Kelompok ini merupakan
kelompok yang harus dapat dimanfaatkan oleh kelompok hijau dalam rangka
keberhasilan HTR.
4. Kelompok biru, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan yang
tinggi namun pengaruh dan kekuatannya rendah. Kelompok ini merupakan
kelompok target kebijakan HTR. Strategi yang dilakukan terhadap kelompok
ini adalah pemberdayaan, agar kelompok ini mampu mengimplementasikan
kebijakan sesuai yang diharapkan.
5. Kelompok ungu, yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan,
pengaruh dan kekuatan yang rendah. Kelompok ini tidak perlu terlalu
dipertimbangkan dalam implementasi HTR.
Posisi Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan Dinas Perkebunan dan
Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun berada dalam kelompok hijau
(zona hijau), yaitu kelompok yang memiliki tingkat kepentingan, pengaruh dan
kekuatan yang tinggi. Kelompok inilah yang menjadi stakeholder penentu
keberhasilan implementasi HTR. Namun pertimbangan jarak menyebabkan
Disbunhut Kabupaten Sarolangun menjadi core dalam implementasi kebijakan
HTR. Oleh karena itu, Disbunhut Kabupaten Sarolangun hendaknya mampu
84 membangun kerjasama yang baik dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR.
Strategi yang dapat dilakukan oleh Disbunhut Kabupaten Sarolangun dalam
menghadapi kelompok kuning adalah melibatkan mereka dalam setiap kegiatan
HTR. BP2HP dan Universitas Jambi adalah instansi yang termasuk dalam
kelompok ini. Idealnya, BP2HP selaku UPT Kementerian Kehutanan di daerah
termasuk dalam kelompok hijau karena memiliki kepentingan yang sangat tinggi
terhadap keberhasilan HTR. Namun karena lokasi yang jauh dan pergantian orang
yang menduduki jabatan di BP2HP, menyebabkan rendahnya kekuatan yang
dimiliki oleh BP2HP.
PT Samhutani, Bappeda dan DPRD Kabupaten Sarolangun termasuk dalam
kelompok merah. Kelompok merah merupakan kelompok yang memiliki
kepentingan dan kekuatan yang rendah dalam implementasi kebijakan HTR,
namun memiliki tingkat prengaruh yang tinggi. Hal ini menyebabkan upaya
kelompok merah dalam menyikapi kebijakan HTR kurang atau bahkan tidak ada.
Untuk mengatasi hal tersebut, Disbunhut Kabupaten Sarolangun dituntut untuk
mampu memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh kelompok merah dalam
implementasi kebijakan HTR. Strategi yang dapat dilakukan oleh Disbunhut
Kabupaten Sarolangun adalah: (1) mampu mengemas HTR menjadi lebih
‘menjual’ bagi kepentingan politis DPRD, (2) menempatkan kebijakan HTR
sebagai salah satu instrument pembangunan daerah (pro invenstment) sehingga
mendapatkan perhatian Bappeda; dan (3) mengajak masyarakat untuk menanam
tanaman berkayu selain karet atau bermitra dengan PT Samhutani.
Kelompok biru merupakan kelompok yang harus diberdayakan. Kelompok
ini merupakan sasaran (target) yang akan mengimplementasikan kebijakan HTR
di lapangan. Untuk itu, Disbunhut Kabupaten Sarolangun hendaknya mempunyai
strategi yang tepat dalam mengimplementasikan kebijakan HTR sehingga dapat
memberdayakan masyarakat. Rekomendasi strategi implementasi yang dimaksud
merupakan output penelitian yang akan disampaikan pada Bab VI.
Gambar 12 menunjukkan bahwa ada dua instansi yang termasuk dalam
kelompok stakeholder yang menjadi penentu kebijakan HTR (zona hijau), yaitu
Dishutbun Kabupaten Sarolangun dan Dishut Provinsi Jambi. Kedua stakeholder
85 ini adalah stakeholder daerah yang memiliki kepentingan yang berbeda dengan
Kementerian Kehutanan. Kepentingan mereka terhadap kebijakan HTR dapat
dilihat dari tujuan yang mereka miliki (Tabel 14), yaitu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui HTR, sedangkan Kementerian Kehutanan
adalah perbaikan kondisi hutan. Hal ini menyebabkan prospek implementasi HTR
di Kabupaten Sarolangun menjadi rendah apabila Kementerian Kehutanan tidak
mampu mengakomodir aspirasi kedua instansi ini dalam setiap turunan kebijakan
HTR.
4.2.2. Kondisi sosial budaya
Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan salah satu faktor yang
menentukan dalam implementasi kebijakan HTR. Masyarakat Desa Taman
Bandung, Desa Seko Besar dan Desa Lamban Sigatal selaku target kebijakan
HTR memiliki kebiasaan dan budaya seperti layaknya Suku Bangsa Melayu,
khususnya budaya Jambi. Kebiasaan dan budaya yang ada ini dapat menjadi
faktor pendukung dan faktor penghambat dalam implementasi kebijakan HTR.
Salah satu budaya masyarakat desa di lokasi penelitian adalah kebiasaan
masyarakat berladang secara berpindah. Kebiasaan ladang berpindah ini
membentuk pola peladangan yang membutuhkan areal yang luas sebagai areal
ladang. Pada umumnya areal yang menjadi ladang masyarakat adalah kawasan
hutan produksi yang saat ini telah dicadangkan sebagai lokasi pengembangan
HTR. Menurut keterangan warga, sekitar 90% dari kawasan pencadangan HTR
sudah menjadi lahan-lahan dalam penguasaan masyarakat yang berupa kebun,
ladang, dan semak-belukar. Sebagian warga juga sudah ada yang
memperjualbelikan lahan-lahan dalam areal pencadangan HTR yang menjadi
penguasaannya kepada para pendatang yang umumnya berasal dari Provinsi
Bengkulu, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Lahan yang berasal dari hutan
yang dibuka masyarakat dan dijadikan kebun karet belum memiliki sertifikat hak
milik. Meskipun tanpa hak milik, penguasaan lahan tersebut tidak menjadi konflik
(antar masyarakat) karena kepemilikannya diakui oleh masyarakat. Kejelasan
kepemilikan lahan secara de facto ini merupakan faktor pendukung dalam
implementasi HTR karena target kebijakan HTR secara perorangan menjadi jelas.
86 Kebijakan HTR hanya ditujukan pada masyarakat yang secara de facto memiliki
lahan di areal pencadangan HTR. Hal ini secara teknis akan memudahkan pemda
dalam hal sosialisasi dan pendampingan.
Namun demikian, budaya peladang berpindah dapat menjadi faktor
penghambat keberhasilan implementasi kebijakan HTR karena pada prinsipnya
kebijakan HTR memberikan hak pada masyarakat untuk mengelola kawasan
hutan dengan cara budidaya tanaman, khususnya tanaman berkayu, sedangkan
sistem peladangan berpindah yang cenderung memanfaatkan ketersediaan
sumberdaya alam yang ada (mencari tanah yang subur) untuk meningkatkan
produktifitas tanaman yang ditanamnya. Usaha intensifikasi seperti pengolahan
tanah, pengaturan jarak tanam, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit
kurang atau bahkan tidak dilakukan. Oleh karena itu diperlukan bimbingan dan
pendampingan secara intensif pada masyarakat untuk membudidayakan tanaman
secara menetap, khususnya dalam budidaya tanaman berkayu.
Dalam peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 pasal 6
menyebutkan bahwa tanaman pokok yang ditanam dalam areal HTR adalah
tanaman berkayu. Hal ini menyebabkan kebiasaan masyarakat untuk menanam
tanaman berkayu juga menjadi faktor pendukung dalam implementasi kebijakan
HTR. Meskipun tanaman yang menjadi primadona masyarakat untuk ditanam
adalah karet, namun beberapa masyarakat yang menanam tanaman berkayu lain
seperti pulai, medang, mahoni, cendana, jabon dan pinang.
Karet memiliki arti penting bagi warga karena di samping sebagai sumber
penghidupan utama, karet juga dipandang sebagai jaminan hidup. Artinya, warga
akan merasa aman jika memiliki kebun karet karena karet bisa memberikan hasil
secara terus-menerus dalam jangka panjang. Bagi warga yang tidak memiliki
kebun karet, mereka dapat menyadap kebun orang lain dengan sistem bagi hasil.
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor:
P.06/VI-BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Bina
Produksi Kehutanan Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat diketahui bahwa karet merupakan salah
satu kelompok multi purpose tree species (MPTS) yang dapat dijadikan tanaman
87 pokok dalam areal HTR. Kebiasaan masyarakat untuk menanam karet juga
menjadi faktor pendukung dalam implementasi kebijakan HTR.
Adat Melayu Jambi lain yang potensial mendukung kegiatan HTR adalah
adat untuk mengelola lahan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh
masyarakat. Di lokasi penelitian dikenal pepatah “ladang 1 dapat padi, ladang 2
tidak dapat padi , ladang 3 tidak dapat makan”. Artinya berladang itu tidak perlu
yang luas-luas, yang penting ladang tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan
kemampuan masyarakat untuk merawat dan mengelola lahan tersebut atau
disesuaikan dengan kemampuan dan banyaknya jumlah anggota keluarga
masyarakat. Pengaturan ini diikuti oleh anggota masyarakat dengan adanya
musyawarah lembaga adat yang dilakukan yaitu dengan musyawarah yang
dinamakan “rembuk bertaun” (Ardi, 2011).
Filosofi dalam pepatah ini sangat potensial sebagai modal petani dalam
mengelola kawasan hutan produksi. Pepatah ini menganjurkan untuk mengelola
lahan sesuai dengan kemampuan baik secara fisik maupun finansial. Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata kemampuan masyarakat untuk
mengelola lahan HTR hanya berkisar antara 2-3 hektar dalam satu tahun,
sedangkan luas kepemilikan lahan masyarakat dalam areal HTR rata-rata adalah 5
hektar. Kemampuan masyarakat mengelola lahan hingga menjadi tanaman,
menjadi patokan untuk mempredikasi bahwa dalam lima tahun akan terbangun
hutan karet yang mampu menopang kehidupan masyarakat.
Namun kenyataannya terdapat kebiasaan lain dalam masyarakat Melayu
Jambi yang menjadi faktor penghambat dalam implementasi kebijakan HTR.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari informan penelitian, diketahui bahwa
ada tiga kebiasaan yang berpotensi menghambat perkembangan HTR di Jambi
yaitu: (1) masih memandang hutan sebagai pemberian dari Allah SWT; (2)
mengadakan perhelatan (perkawinan, pemberian nama anak dan lain-lain) secara
besar-besaran; dan (4) masyarakat masih berjiwa subsisten.
Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian merasa hutan merupakan
pemberian Allah SWT yang diwariskan nenek moyang mereka. Mereka merasa
tidak perlu untuk mengetahui status kawasan hutan yang secara de jure adalah
milik negara. Bagi mereka, pemilik lahan adalah siapa yang paling dulu membuka
88 ladang di kawasan tersebut. Di masyarakat terkenal istilah “pek pek wan, siapo
yang mendapek dio menjadi tuan”. Artinya siapapun orang yang menemukan
lebih dahulu terhadap sumberdaya maka dialah yang menjadi pemiliknya (Ardi,
2011). Masyarakat tidak merasa perlu legalitas lahan dari pemerintah karena
secara de facto mereka telah diakui oleh lingkungannya. Hal ini berpotensi
menghambat progress implementasi HTR apabila tidak dikelola dengan baik.
Kebiasaan lain yang dapat menghambat implementasi kebijakan HTR
adalah kebiasaan masyarakat untuk melaksanakan perhelatan (pesta) secara besar-
besaran. Kebiasaan ini menyebabkan masyarakat membutuhkan uang banyak
dalam waktu yang singkat. Bila demikian, sebagian masyarakat akan memilih
untuk menjual ladang mereka kepada pendatang (dari Bengkulu, Lampung atau
Sumatera Selatan). Hal ini berpotensi sebagai faktor penghambat implementasi
HTR, karena HTR tidak dapat dipindahtangankan apalagi diperjualbelikan.
Potensi konflik yang akan muncul akibat kebiasaan ini menjadi catatan yang perlu
diperhatikan dalam implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.
Kondisi masyarakat Melayu Jambi lain yang dapat berpotensi negatif
terhadap implementasi kebijakan HTR adalah sebagian masyarakat masih berjiwa
subsisten.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian masyarakat tidak mudah
menerima inovasi yang belum teruji, meskipun beberapa masyarakat (terutama
tokoh masyarakat) bersikap lebih terbuka dan mau mencoba inovasi baru.
Kebijakan HTR yang menuntut masyarakat untuk menanam tanaman berkayu
termasuk inovasi baru bagi masyarakat, meskipun mereka telah lama menanam
tanaman karet. Untuk itu, strategi yang dilakukan oleh Disbunhut Kabupaten
Sarolangun dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi untuk memasarkan kebijakan
HTR adalah membuat demplot di beberapa lahan masyarakat peserta HTR. Pemda
berharap agar masyarakat lain akan tertarik untuk menanam tanaman berkayu
Scott (1976) mengemukakan bahwa karakteristik moral ekonomi
subsisten umumnya adalah (1) mengutamakan selamat dan tidak mudah menerima
inovasi yang belum teruji; (2) tidak menyukai/menolak pasar karena hanya
melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri; dan (3)
memiliki hubungan patron-client yang erat sebagai cara menjaga keberlangsungan
hidup bersama (Scott, 1976).
89 selain karet setelah melihat hasil demplot. Namun, dampak yang terjadi adalah
masyarakat justru berharap pemda juga memberikan bantuan bibit untuk lahan
mereka sebagaimana yang dilakukan pada demplot-demplot yang ada.
Selain itu, masyarakat di lokasi penelitian mempunyai kecenderungan untuk
melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Sebagian besar dari mereka merasa cukup dalam keterbatasan, artinya lebih suka
dengan apa adanya. Upaya memperbaiki nasib diinilainya akan memerlukan biaya
yang tinggi dan penuh resiko (kegagalan dan ketiakpastian) (Dixon, 1982 dalam
Mardikanto, 2010). Kamaludin, 2009 menilai bahwa p
ada umumnya, mayoritas
bangsa Melayu masih memandang bekerja adalah untuk mencari nafkah dan
mendapatkan status sosial. Pada masyarakat Melayu, kata bekerja selalu dikaitkan
dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi ke kantor atau ke
tempat ia bekerja, maka ia mengatakan akan pergi mencari makan. Hal ini
mencerminkan bahwa orientasi nilai bangsa Melayu dalam hubungannya dengan
kegiatan bekerja hanyalah sekedar mencari nafkah.
4.2.3. Pemasaran
Sebagian besar masyarakat mengaku belum pernah menjual/memasarkan
kayu. Umumnya kayu yang berasal dari lahan sendiri digunakan untuk keperluan
pribadi seperti membangun/merenovasi rumah dan membuat gubug kerja. Namun
sesungguhnya prospek pemasaran kayu di provinsi Jambi cukup besar.
Berdasarkan hasil penelitian Tim Kajian HTR (2007) diketahui bahwa terdapat
103 industri primer hasil hutan di Provinsi Jambi, meliputi 88 perusahaan kayu
gerjian, 9 perusahaan plywood, 3 perusahaan veneer, 1 perusahaan particle
board,1 perusahaan LVL dan 1 perusahaan pulp.
Berdasarkan hasil kajian keseimbangan pasokan dan permintaan bahan baku
kayu di provinsi Jambi (Alviya dan Nurfatriyani, 2007) diketahui bahwa pada
tahun 2004 Provinsi Jambi mengalami defisit bahan baku sebesar 591 195.22 m3
untuk permintaan bahan baku kayu aktual (konversi dari produksi kayu olahan
real) dan 2 86 095.60 m3 untuk permintaan bahan baku potensial (konversi dari
kapasitas terpasang industri), sedangkan di tahun 2005 terjadi defisit aktual kayu
bulat sebesar 1 325313.03 m3 dan defisit potensial sebesar 3 289 320.09 m3.
90
Khusus untuk kabupaten Sarolangun terdapat 10 industri primer hasil hutan
dengan kapasitas terpasang sebesar 98 700m3/tahun m3/tahun (Tim kajian HTR,
2007). Bila diasumsikan rendemen industri rata-rata adalah 60% maka dibutuhkan
kayu bulat sebesar 138 180 m3/tahun. Sementara itu, produksi kayu bulat
Kabupaten Sarolangun pada tahun 2004, 2005 dan 2006, secara berurutan adalah
sebesar 92 773.98 m3, 41 311.51 m3 dan 48 485.6 m3 (Disbunhut Kabupaten
Sarolangun, 2007), sehingga diprediksi terjadi defisit bahan baku kayu sebesar
45 500 - 96 869 m3
Prospek pemasaran kayu hasil HTR cukup besar. Salah satu perusahaan
kayu gergajian dan veneer berlokasi berdekatan dengan lokasi penelitian, yaitu PT
Samhutani. Meskipun terdapat peraturan yang mengharuskan perusahaan industri
hasil hutan (skala besar) untuk membangun hutan tanaman industri, namun
berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PT Samhutani, mereka masih
kekurangan bahan baku dan bersedia untuk menampung hasil dari hutan tanaman
rakyat sepanjang jenisnya sesuai dengan kebutuhan mereka.
/tahun. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan kayu
tersebut adalah melalui pembangunan hutan tanaman, dimana program HTR dapat
menjadi alternatif sumber bahan baku kayu di masa mendatang.
Tanaman lain yang dapat ditanam dalam areal HTR adalah karet dan
jernang. Pemasaran hasil karet di daerah ini tidak sulit, meskipun jarak desa ke
ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten cukup jauh dan aksesibilitas yang
buruk. Persepsi responden terhadap keberadaan pasar hasil ladang (karet dan
jernang) dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Persepsi responden terhadap keberadaan pasar hasil HTR
Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung
n % n % n % n % Tinggi 14 51.85 22 88.00 21 72.41 57 70.37 Sedang 10 37.04 2 8.00 4 13.79 16 19.75 Rendah 3 11.11 1 4.00 4 13.79 8 9.88
Sumber: Pujiastuti (2011)
Dari Tabel 20 diketahui bahwa persepsi masyarakat mengenai pemasaran
hasil tanaman HTR (karet dan jernang) tinggi. Namun untuk pemasaran tanaman
berkayu, sebagian besar responden tidak mengetahui sama sekali. Masyarakat
mengaku belum memiliki pengalaman menjual kayu.
91
Masyarakat pada umumnya menjual getah karet kepada pedagang-pedagang
pengumpul (tauke) yang datang ke desa, untuk penjualan skala kecil. Bila
penjualan dalam skala besar, umumnya masyarakat langsung menjualnya di pasar
kecamatan atau kabupaten dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan bila
dijual ke pedagang pengumpul. Pola pemasaran karet di lokasi penelitian dapat
dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Pola Pemasaran Karet di Kabupaten Sarolangun
Di Desa Lamban Sigatal, hasil utama dari lahan HTR selain karet adalah
rotan jernang. Desa ini memang ditujukan sebagai kawasan budidaya jernang.
Pemasaran jernang di Desa Lamban Sigatal umumnya dilakukan melalui
pedagang pengumpul (tauke) di desa, yang kemudian membawa jernang ke
pedagang pengumpul kabupaten (Ardi, 2011). Pola pemasaran jernang di Desa
Lamban Sigatal dapat dilihat pada Gambar 14.
Pengumpul Jernang
Pedagang pengumpul desa (tauke desa)
Pedagang pengumpul Kabupaten (tauke kabupaten)
Pedagang pengumpul provinsi (tauke besar/ekspor)
Gambar 11. Pola Pemasaran Jernang di Desa Lamban Sigatal Sumber : Ardi,(2010)
PETANI/PEMILIK LAHAN
PEDAGANG PENGUMPUL (TAUKE) DESA
BURUH SADAP
PEDAGANG PENGUMPUL (TAUKE) KECAMATAN
PEDAGANG PENGUMPUL (TAUKE) KABUPATEN
PABRIK PENGOLAHAN KARET
PEDAGANG PENGUMPUL (TAUKE) PROVINSI
92 4.2.4. Kelangkaan Kayu
Kelangkaan kayu merupakan masalah yang serius di lokasi penelitian dan
sekitarnya saat ini. Permasalahan ini muncul setelah berkurangnya pasokan kayu
dari hutan alam akibat kebijakan yang kurang tepat di masa lalu. Berdasarkan
hasil wawancara dengan salah satu informan diketahui bahwa masyarakat sangat
sulit untuk mendapatkan kayu dengan kualitas yang baik untuk membangun
rumah di lokasi penelitian. Saat ini masyarakat hanya menggunakan tanaman
berdiameter kecil atau jenis tanaman non komersial sebagai alternatif pemenuhan
kebutuhan untuk kayu pertukangan.
Kebutuhan masyarakat terhadap kayu pertukangan yang paling utama
adalah untuk membuat dan memperbaiki rumah atau membuat gubuk di ladang.
Dua desa yang menjadi lokasi penelitian merupakan desa transmigrasi PPH
(pemukiman perambah hutan), yaitu Desa Seko Besar dan Desa Taman Bandung,
sehingga mereka telah mendapatkan jatah rumah dari pemerintah. Namun rumah
bagi mayarakat di lokasi penelitian bukan hanya sebagai tempat berteduh, tetapi
juga merupakan lambang kemakmuran (ukuran tingkat kesejahteraan) seseorang,
sehingga membuat atau memperbaiki rumah merupakan sebuah kebutuhan bagi
masyarakat.
Simon (1994) menyatakan bahwa tinggi rendahnya konsumsi masyarakat
akan kayu pertukangan merupakan fungsi dari pendapatan, pendidikan dan
kebudayaan masyarakat. Makin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka akan
makin tinggi konsumsi kayu mereka. Demikian pula semakin tinggi tingkat
pendidikan dan kebudayaan seseorang, akan makin tinggi pula konsumsi mereka
akan kayu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45.68% responden menggunakan
berbagai jenis kayu untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam lima tahun
terakhir, baik untuk membangun/merenovasi rumah maupun membangun gubug
di ladang. Jenis kayu yang digunakan antara lain adalah balam (Palaquium ridleyi
K.et.G), durian hutan (Durio carinatus), jabon (Anthocepalus chinensis), jelutung
(Dyera costulata), pulai (Alstonia scholaris), randu (Ceiba petandra), bangkirai
(Shorea laevifolia), kempas (Koompasia malcensis), sungkai (Peronema
canescens), medang (Litsea sp), tengkawang (Shorea pinanga) dan lain-lain.
93 Umumnya kayu yang mereka gunakan berasal dari ladang mereka sendiri.
Meskipun demikian, 56.79% responden mengaku kesulitan untuk mendapatkan
kayu dengan kualitas baik, sehingga mereka terpaksa menggunakan kayu apa saja
yang tersedia dalam ladang mereka. Tingkat kesulitan responden dalam
mendapatkan kayu berkualitas baik dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Tingkat Kesulitan Responden dalam Mendapatkan Kayu
Untuk mengetahui kebutuhan masyarakat akan kayu pertukangan dalam
penelitian ini tidak didasarkan pada pada penelitian khusus, melainkan
menggunakan data hasil survey yang dilaksanakan oleh Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada tahun 1980 mengenai kebutuhan kayu pertukangan rata-
rata masyarakat di Jawa, yaitu 0.04 m3
Tabel 21 Kebutuhan Masyarakat akan Kayu Pertukangan
/kapita/tahun (Simon, 1994). Berdasarkan
hal tersebut, dapat diprediksi kebutuhan kayu pertukangan masyarakat akan kayu
pertukangan masyarakat desa di lokasi penelitian sebagaimana disajikan pada
Tabel 21.
Kecamatan Desa Jumlah Penduduk (jiwa)
Kebutuhan Kayu (m3/tahun)
Sarolangun Ladang Panjang 1 155 46.20 Pauh Sepintun 1 557 62.28 Lamban Sigatal 1 088 43.52 Lubuk Napal 1 184 47.36 Karang Mendopo 2 010 80.40 Seko Besar 1 574 62.96 Taman Bandung 1 925 77.00 Pengidaran 1 107 44.28 Mandiangin Mandiangin Pasar 4 080 163.20 Pemusiran 1 077 43.08 Rangkiling Simpang 2 064 82.56 Total 18 821 752.84 Sumber : BPS Kabupaten Sarolangun, 2007
SULIT57%
SEDANG21%
MUDAH22%
94
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan kayu masyarakat di
sekitar areal pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun akan kayu pertukangan
diprediksi sejumlah 752.84 m3
Sementara itu, kebutuhan kayu industri di Kabupaten Sarolangun diprediksi
masih tinggi, bila didekati dari kapasitas terpasang industri perkayuan yang ada di
Kabupaten Sarolangun, kebutuhan kayu gergajian adalah 38 700 m
/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan ini, masyarakat
masih mengandalkan kayu alam yang berasal dari kawasan hutan produksi yang
menjadi areal pencadangan HTR meskipun sangat minim.
3 pertahun,
sedangkan kebutuhan kayu untuk bahan baku veneer adalah 60 000 m3
Tabel 22 Industri Primer Hasil Hutan Kayu di Kabupaten Sarolangun
pertahun
(Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007). Tabel 22 menyajikan kebutuhan kayu
untuk industri di Kabupaten Sarolangun.
Jenis Industri Nama Perusahaan Kapasitas (m3/tahun) Izin Terpasang
Kayu Gergajian CV. Belato Jaya 3 000 3 000 CV. Air Hitan Baru 6 000 6 000 CV. Wira Kayu Abadi 4 500 4 500 CV. Tambir Mas 1 200 1 200 CV. Karya Utama 1 500 1 500 CV. Dua Enam 1 500 1 500 CV. Riau Mandiri 3 000 3 000 PT. Nipah Kurnia Utama 6 000 6 000 PT. Cahaya Sangkutindo 6 000 6 000 PT. Samhutani 6 000 6 000
Veneer PT. Samhutani 60 000 60 000
Total 98 700 98 700 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2007; Badan Litbang Kehutanan, 2007.
Tabel di atas menunjukkan bahwa kebutuhan kayu gergajian di
Kabupaten Sarolangun sebesar 98 700m3/tahun. Bila diasumsikan rendemen
industri rata-rata adalah 60% maka dibutuhkan kayu bulat sebesar 138 180
m3/tahun. Sementara itu, produksi kayu bulat Kabupaten Sarolangun pada tahun
2004, 2005 dan 2006, secara berurutan adalah sebesar 92 773.98 m3, 41 311.51
m3 dan 48 485.6 m3 (Disbunhut Kabupaten Sarolangun, 2007). Sehingga
diprediksi terjadi defisit bahan baku kayu sebesar 45 500 - 96 869 m3
Penyediaan bahan baku kayu sebagian besar hanya mengandalkan hutan
alam. Meskipun di Provinsi Jambi terdapat tiga belas perusahaan yang
mendapatkan izin pemanfaatan kayu dari hutan tanaman (IUPHHK HTI), hanya
/tahun.
95 enam perusahaan yang aktif (Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 2010), sehingga
hutan dalam masih menjadi pemasok utama bahan baku kayu di Provinsi Jambi.
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun (2007)
menyebutkan memprediksi bahwa sebagian besar dari kebutuhan kayu di
Kabupaten Sarolangun dan sekitarnya, dipasok dari areal hutan produksi eks HPH
PT. Pitco yang sekarang sebagian telah menjadi areal pencadangan HTR.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa areal pencadangan
HTR merupakan hutan bekas tebangan (logged over area/LOA) yang sebagian
besar kondisinya sudah sangat rusak karena pada umumnya merupakan areal
perladangan masyarakat. Areal perladangan ini sudah cukup lama (lebih dari 10
tahun) yang ditandai oleh adanya tanaman karet sebagai tanda penguasaan,
sehingga kondisi vegetasinya bercampur antara karet dengan vegetasi alam.
Kondisi hutan alam bekas tebangan pada areal pencadangan HTR ini hampir
mirip dengan kondisi hutan pada areal kerja PT Samhutani (Disbunhut Kabupaten
Sarolangun, 2007) Sehingga untuk memprediksi jenis dan produksi hutan alam
didekati dengan data RKUPHHK-HT PT Samhutani tahun 2007, sebagaimana
yang disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Prediksi Rata-rata Jumlah Batang dan volume (m3
JENIS
) Kayu perhektar di Lokasi Pencadangan HTR
DIAMETER 20-29 CM DIAMETER 30 CM UP Jumlah Batang Volume (m3 Jumlah Batang ) Volume (m3)
Meranti - - 0.56 0.38 Afrika 0.17 0.08 1.67 1.18 Aro ringin 0.39 0.18 3.28 2.27 Balam 0.33 0.15 0.72 0.55 Kelampayan 0.06 0.02 0.61 0.45 Kelat 0.28 0.14 2.94 1.97 Kempas 0.06 0.03 0.78 0.50 Keranji 0.22 0.11 1.28 0.86 Mahang 0.17 0.09 0.83 0.57 Medang 0.28 0.12 2.67 1.89 Merpayung 0.11 0.05 0.61 0.47 Petai 0.06 0.02 0.22 0.15 Petaling 0.11 0.07 1.06 0.68 Pulai 0.06 0.03 0.33 0.23 Sekubung 0.06 0.02 0.33 0.21 Total 2.33 1.11 18.28 12.64 Sumber: Dinas Kehutanan Sarolangun, 2007
Tabel 23 menunjukkan bahwa kawasan hutan produksi eks HPH PT. Pitco
hanya memiliki potensi 12.64 m3 perhektar untuk tanaman berdiameter di atas 30
96 cm dan 1.11 m3 perhektar untuk tanaman berdiameter 20-29 cm. Total luas areal
pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah 18 840 ha, sehingga
diprediksi memiliki potensi 238 137.6 m3 tanaman berdiameter di atas 30 cm dan
20 912.4 m3
Kelangkaan kayu ini merupakan salah satu isu yang sangat baik
dikembangkan agar masyarakat tertarik untuk menanam jenis tanaman berkayu
lain selain karet di lokasi penelitian. Setidaknya masyarakat akan berfikir untuk
menanam jenis kayu komersial (berkualitas baik) untuk memenuhi kebutuhan
pribadi dan untuk dijual.
tanaman berdiameter 20-29 cm. Bila tidak ada upaya permudaan
tanaman, maka diprediksi areal pencadangan HTR hanya dapat memenuhi
kebutuhan industri kayu hingga 3 - 5 tahun mendatang saja.
V. KAPASITAS IMPLEMENTASI PELAKU KEBIJAKAN
Dalam kebijakan hutan tanaman rakyat, yang menjadi pelaku kebijakan
terdiri atas dua kelompok, yaitu pemerintah daerah selaku implementator dan
masyarakat selaku kelompok target. Kapasitas kedua kelompok ini akan sangat
mempengaruhi proses implementasi kebijakan HTR di lokasi penelitian.
5.1 Kesiapan, Kemauan dan Kemampuan Pemerintah Daerah
5.1.1 Kesiapan pemerintah daerah
Kesiapan pemerintah daerah diukur melalui ketersediaan sumber daya
manusia (SDM), kualitas SDM, tingkat pengetahuan SDM mengenai HTR dan
jejaring (network) yang dimiliki dalam rangka implementasi HTR. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa instansi pemerintah daerah yang terlibat dalam
kegiatan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan
(Disbunhut), BAPPEDA Kabupaten dan DPRD Komisi II Kabupaten Sarolangun.
Namun demikian, core kegiatan umumnya adalah Dinas Perkebunan dan
Kehutanan (Disbunhut) Kabupaten Sarolangun.
Tidak ada bidang khusus yang menangani kegiatan HTR di Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Kegiatan HTR hanya menjadi
sebagian urusan Bidang Penataan Kawasan, Bina Hutan dan Konservasi Alam
(PKBHKA) khususnya seksi Inventarisasi Penataan Kawasan Hutan, Rencana
Karya dan Pemetaan (IPKRKP). Jumlah SDM yang membidangi masalah HTR
adalah tujuh orang dan dibantu oleh tiga orang dari bidang/seksi lain serta dua
orang honorer. Jumlah dan tingkat pendidikan SDM yang membidangi urusan
HTR di Kabupaten Sarolangun dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 Tingkat Pendidikan SDM yang membidangi urusan HTR
Instansi PSK PSNK SK SNK SMA Jumlah Disbunhut - Seksi IPKRKP 0 1 4 1 1 7 - Seksi lainnya 0 0 3 0 0 3 - Tenaga Honorer 0 0 0 0 2 2 Bappeda 0 0 0 2 0 2 DPRD Komisi II 0 0 0 1 0 1
Keterangan : PSK=pascasarjana kehutanan, PSNK=pascasarjana non, SK=sarjana kehutanan, SNK= sarjana non kehutanan, SMA=sekolah menengah atas
98 Dari 15 orang tersebut (semuanya menjadi responden dalam penelitian
ini), yang terlibat secara langsung dan sering ke lapangan hanya 26.67%,
sedangkan sisanya 33.33% responden kadang-kadang dilibatkan dan 40%
responden tidak terlibat langsung dalam kegiatan HTR. Dengan komposisi SDM
demikian, 46.7% responden merasa bahwa jumlah SDM tersebut sudah memadai
namun 53.6% responden merasa jumlahnya perlu ditambah mengingat jumlah
desa yang berbatasan dengan areal pencadangan HTR adalah sebelas desa, maka
idealnya satu desa didampingi oleh satu orang pendamping di lapangan.
Dalam mengimplementasikan kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun,
dishutbun pernah bekerjasama dengan LSM lokal (LP3D=Lembaga Penelitian
Pengembangan Potensi Desa) dan perwakilan dari proyek FLEGT (Forest Law
Enforcement, Governance and Trade) di Indonesia serta Universitas Jambi.
Pendapat responden mengenai tingkat keterlibatan dan peran institusi di luar
Disbunhut dalam implementasi HTR dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25 Tingkat Keterlibatan dan Peran Institusi Lain dalam Implementasi HTR
Institusi, peran dan keterlibatan Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Instansi Pemerintah lain - Tingkat Keterlibatan 1 6.67 9 60.00 5 33.33 - Peran 0 0.00 8 53.33 7 46.67 LSM/NGO - Tingkat Keterlibatan 5 33.33 7 46.67 3 20.00 - Peran 6 40.00 8 53.33 1 6.67 Universitas Jambi - Tingkat Keterlibatan 0 00.00 9 60.00 6 40.00 - Peran 2 13.33 5 33.33 8 53.33 Total Keterlibatan 4 26.66 6 40.00 5 33.33 Total Peran 3 20.00 9 60.00 3 20.00 Jejaring kerja yang terbentuk dalam rangka implementasi HTR ini pernah
berkoordinasi secara intensif pada pertengahan tahun 2007 hingga tahun 2009
dalam rangka pencadangan areal HTR hingga diterbitkannya IUPHHK-HTR di
Desa Taman Bandung. Namun saat ini intensitas koordinasi sudah sangat
berkurang, bahkan seringkali institusi lain tidak dilibatkan dalam kegiatan
implementasi kebijakan HTR. Pendapat responden terhadap tingkat koordinasi
dalam implementasi HTR saat ini dapat dilihat pada Gambar 16.
99
Gambar 16 Tingkat Koordinasi Antar Institusi dalam Rangka Implementasi HTR
Dalam rangka mendukung kegiatan HTR, telah dilaksanakan sosialisasi
mengenai kebijakan HTR dan pelatihan mengenai kebijakan HTR di Kabupaten
Sarolangun. Sosialisasi dan pelatihan tersebut bukan hanya diselenggarakan oleh
Kementerian Kehutanan saja namun juga pernah diselenggarakan oleh Dinas
Kehutanan Propinsi Jambi dan FLEGT. Dari data pada Tabel 26 diketahui bahwa
66.67% responden telah mengikuti sosialisasi HTR, 33.33% responden telah
mengikuti pelatihan mengenai pendampingan HTR dan 6.67% responden telah
mendapatkan pelatihan mengenai penyusunan RKT/RKU.
Tabel 26 Distribusi Reponden Berdasarkan Sosialisasi dan Pelatihan yang Diikuti
Tema Pelatihan Dishutbun BAPPEDA DRPD Total n % n % n % n %
Sosialisasi HTR 7 58.33 2 100.00 1 100.00 10 66.67 Pendampingan HTR 5 41.67 0 0.00 0 0.00 5 33.33 Penyusunan RKT/RKU 1 8.33 0 0.00 0 0.00 1 6.67
Manfaat yang dirasakan oleh responden setelah mengikuti sosialisasi dan
pelatihan HTR dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Manfaat yang Dirasakan Responden Setelah mengikuti Sosialisasi
Kebijakan HTR dan Pelatihan mengenai HTR
TINGGI7%
SEDANG60%
RENDAH33%
sangat berguna
64%
cukup berguna
25%
tidak tahu11%
100 Gambar 17 menunjukkan bahwa 11% responden tidak tahu apakah
sosialisasi dan pelatihan yang pernah mereka ikuti akan berguna bagi mereka
dalam rangka membina masyarakat dalam mengimplementasikan HTR, namun
secara umum tingkat pengetahuan responden terhadap kebijakan HTR berada
dalam katagori tinggi (60%) seperti terlihat pada Tabel 27.
Tabel 27 Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Kebijakan HTR
Pengetahuan Tentang Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Definisi HTR 15 100.00 0 0.00 0 0.00 Lokasi HTR 15 100.00 0 0.00 0 0.00 Mekanisme pencadangan areal 9 60.00 4 26.66 2 13.33 Mekanisme penetapan izin 8 53.33 5 33.33 2 13.33 Tata cara permohonan 10 66.66 5 33.33 0 0.00 Pola HTR 10 66.66 3 25.00 2 13.33 Jenis Tanaman 9 60.00 5 3.33 1 6.67
Total Tingkat Pengetahuan 9 60.00 2 13.33 4 26.66 Jika ditelaah lebih lanjut, maka seluruh responden (100%) mengetahui
definisi dan syarat areal yang dapat dijadikan lokasi HTR. Pemahaman responden
terhadap mekanisme pencadangan areal, mekanisme penetapan izin, tata cara
permohonan, pola pengembangan HTR dan jenis tanaman juga tinggi (53%-66%).
Berdasarkan hasil penelitian, rendahnya tingkat pengetahuan responden
disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) tidak pernah mengikuti sosialisasi mengenai
HTR; dan (2) tidak terlibat langsung dalam kegiatan HTR.
Salah satu faktor yang menyebabkan aparat pemda tidak bersedia untuk
terlibat dalam kegiatan HTR adalah jarak antara rumah mereka dengan lokasi
HTR yang terbilang cukup jauh dan aksesibilitas lokasi HTR yang sulit ditempuh
terutama dalam kondisi hujan. Tabel 28 menunjukkan bahwa jarak rumah dengan
lokasi HTR berkisar antara 50–100 km yang umumnya mereka tempuh dengan
menggunakan kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil).
Tabel 28 Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Rumah dari Lokasi HTR
Jarak
Instansi Total Disbunhut Bappeda DPRD
n % Rata-rata n % Rata-
rata n % Rata-rata n %
Rata-rata
50–66 km 3 25.0 0 0.0 1 100.0 4 26.66 74.13 67–83 km 6 50.0 76,4 2 100.0 72,5 0 0.0 50 8 53.33
84-100 km 3 25.0 0 00.0 0 0.0 3 20.00
101 Buruknya aksesibilitas dan jarak lokasi HTR yang jauh menyebabkan
tingkat pengetahuan responden terhadap kondisi biofisik dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat sekitar lokasi areal pencadangan HTR berada dalam katagori
rendah. Tabel 29 menunjukkan bahwa hanya 20% responden yang sangat
mengenal lokasi penelitian, sedangkan sisanya 26.66% responden mengenal dan
53.33% responden tidak mengenal lokasi penelitian (areal pencadangan HTR)
Tabel 29. Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Areal Pencadangan HTR
Pengetahuan Mengenai Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Kondisi biofisik areal HTR 3 20.00 6 40.00 6 40.00 Kondisi sosek masyarakat 3 20.00 4 26.66 8 53,.33 Total tingkat pengetahuan 3 20.00 4 26.66 8 53,.33 Meskipun sebagian besar responden tidak mengenal lokasi penelitian,
namun 60% responden menyebutkan bahwa lokasi tersebut sangat tepat untuk
dijadikan lokasi pengembangan HTR. Gambar 18 menunjukkan pendapat
responden mengenai kesesuaian lokasi areal pencadangan HTR.
Gambar 18 Pendapat Responden Mengenai Kesesuaian Areal Pencadangan HTR
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kesiapan Pemerintah
Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan HTR berada dalam
katagori sedang-rendah, sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 30.
Tabel 30 Tingkat Kesiapan Pemerintah Daerah
Indikator Kesiapan Pemda Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Ketersediaan SDM 2 13.33 7 46.67 6 40.00 Kualitas SDM 7 46.67 6 40.00 2 13.33 Tingkat Pengetahuan SDM 3 20.00 10 66.67 2 13.33 Jejaring Kerja/Network 3 20.00 7 46.67 5 33.33
Total Tingkat Kesiapan 3 20.00 6 40.00 6 40.00
SANGAT TEPAT60%
CUKUP TEPAT33%
MUNGKIN TEPAT
7%
102 5.1.2 Komitmen pemerintah daerah
Komitmen Pemda dalam penelitian ini diukur menggunakan dua indikator
yaitu pendapat responden mengenai orientasi pembangunan Kehutanan di
Kabupaten Sarolangun dan persepsi mereka terhadap implementasi kebijakan
HTR. Data pada Tabel 31 menunjukkan bahwa 46.67% responden berpendapat
bahwa orientasi pembangunan kehutanan di Kabupaten Sarolangun lebih
mengarah pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan kebijakan pembangunan HTR
menurut mereka berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Tabel 31 Orientasi Pembangunan Kehutanan dan Kebijakan HTR
Orientasi Kesejahteraan
masyarakat Ekologi Ekonomi
n % n % n % Orientasi pembangunan Kehutanan 5 33.33 3 20.00 7 46.67 Orientasi kebijakan HTR 10 66.67 1 6.67 4 26.67
Total orientasi 5 33.33 6 40.00 4 26.67 Meskipun terdapat perbedaan orientasi antara pembangunan kehutanan
Kabupaten Sarolangun dengan kebijakan HTR, 46.67% responden berpendapat
bahwa ada kemungkinan pembangunan HTR akan menguntungkan pemda.
Manfaat yang dapat diperoleh pemda melalui implementasi kebijakan HTR
adalah: (1) terjaminnya eksistensi kawasan hutan; (2) Optimalisasi pemanfaatan
kawasan hutan; dan (3) peningkatan ekonomi daerah di luar anggaran pemda.
Disamping menguntungkan bagi pemerintah daerah, 73.33% responden
berpendapat bahwa kebijakan HTR akan sangat menguntungkan bagi masyarakat.
Terdapat dua alasan yang mendasari pendapat tersebut yaitu (1) kebijakan HTR
menjamin masyarakat untuk mengelola kawasan hutan produksi secara legal
(66.67%); dan (2) kebijakan HTR memberikan potensi income masyarakat yang
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (33.33%).
Tabel 32. Persepsi Pemerintah Daerah terhadap Implementasi Kebijakan HTR
Persepsi Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Menguntungkan Pemda 5 33.33 7 46.67 3 20.00 Menguntungkan masyarakat 11 73.33 4 26.67 0 0.00 Sebagai alternatif pemecahan masalah 11 73.33 4 26.67 0 0.00 Total Tingkat Persepsi 3 20.00 9 40.00 3 20.00
103
Persepsi 40% responden terhadap implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang. Tabel 32 menunjukkan
bahwa sebagian besar responden (73.33%) berpendapat bahwa kebijakan HTR
dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah kehutanan di Kabupaten
Sarolangun, terutama berkaitan dengan penguasaan areal hutan oleh masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kemauan/komitmen
Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun dalam mengimplementasikan HTR
berada dalam katagori sedang sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 33.
Tabel 33 Tingkat Kemauan (Komitmen) Pemerintah Daerah
Indikator Komitmen Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Tingkat Orientasi 5 33.33 6 40.00 4 26.67 Tingkat Persepsi 3 20.00 9 60.00 3 20.00 Tingkat Kemauan/Komitmen 3 20.00 10 66.67 2 13.33 5.1.3 Kemampuan pemerintah daerah
Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah
dalam mengimplementasikan kebijakan HTR adalah (1) kemampuan responden
untuk menterjemahkan kebijakan HTR; (2) kemampuan responden memasarkan
HTR sebagai sebuah inovasi; (3) kemampuan responden mengadakan fasilitasi
dan pengawasan; dan (4) kemampuan responden melakukan problem solving.
Dari data yang disajikan dalam Tabel 34 diketahui bahwa tingkat
kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun berada dalam katagori
rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya kemampuan pemerintah daerah dalam
mengadakan fasilitas dan pengawasan dalam rangka implementasi kebijakan HTR
(40%) dan rendahnya kemampuan responden dalam memberikan solusi dalam
memecahkan masalah yang timbul dalam implementasi HTR (40%).
Tabel 34 Tingkat Kemampuan Pemerintah Daerah
Indikator Kemampuan Pemda Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Menterjemahkan kebijakan HTR 10 66.67 2 13.33 3 20.00 Memasarkan inovasi baru 6 40.00 6 40.00 3 20.00 Fasilitasi dan Pengawasan 4 26.67 5 33.33 6 40.00 Problem Solving 2 13.33 7 46.67 6 40.00
Total Tingkat Kemampuan 4 26.67 5 33.33 6 40.00
104 Tabel 34 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan responden dalam
menterjemahkan kebijakan HTR tinggi (66.67%). Hal ini diduga oleh tingginya
tingkat pengetahuan responden terhadap materi kebijakan HTR (Tabel 30).
Sebagian besar responden beranggapan bahwa HTR merupakan inovasi baru yang
sangat strategis untuk memecahkan permasalahan konflik kepemilikan lahan di
Kabupaten Sarolangun.
Hasil wawancara dengan beberapa responden di lingkungan Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun menunjukkan bahwa
rendahnya tingkat fasilitasi dan pengawasan yang dilaksanakan oleh Dinas
Perkebunan dan Kehutanan Sarolangun disebabkan oleh:
1. Minimnya dana yang dialokasikan untuk kegiatan HTR
2. Jarak lokasi areal pencadangan HTR yang cukup jauh dengan aksesibilitas
yang rendah, terutama di musim hujan.
5.2 Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial Masyarakat
5.2.1 Modal fisik
Modal fisik dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan tiga indikator,
yaitu: (1) penguasaan lahan oleh responden yang berada dalam areal pencadangan
areal; (2) ketersediaan areal apabila masyarakat ingin mengajukan/menambah izin
HTR; dan (3) keberadaan tanaman dalam areal yang akan/sudah diajukan untuk
mendapatkan izin HTR. Modal fisik yang dikuasai oleh masyarakat dalam lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 35.
Tabel 35 Modal Fisik
Indikator Modal Fisik Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Penguasaan lahan 51 62.96 10 12.35 20 24.69 Ketersediaan areal 15 18.52 29 35.80 37 45.68 Keberadaan tanaman 34 41.97 31 38.27 16 19.75
Total Modal Fisik 10 12.35 66 81.48 5 6.17 Berdasarkan Tabel 35, secara umum dapat dikatakan bahwa modal fisik
yang dimiliki oleh masyarakat di tiga lokasi penelitian dalam implementasi HTR
masuk dalam katagori sedang (80.25%). Hal ini dipengaruhi oleh penguasaan
lahan yang tinggi (62.96%), ketersediaan areal rendah (45.68%) dan keberadaan
tanaman yang tinggi (41.97%).
105 Bila ditelaah berdasarkan desa asal responden, maka diketahui bahwa
modal fisik yang dimiliki oleh Desa Lamban Sigatal dan Desa Taman Bandung
berada dalam kategori sedang dengan persentase berturut-turut adalah 88% dan
48.28%, sedangkan Desa Seko Besar memiliki modal fisik sedang–tinggi
(44.44%). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 6.
Keberadaan tanaman. Penentuan skor keberadaan tanaman dalam
penelitian ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu (1) ada atau tidaknya tanaman di
areal tersebut, dan (2) tanaman yang ada di lahan tersebut tumbuh sendiri atau
ditanam. Keberadaan tanaman tinggi apabila tanaman dalam lahan tersebut
ditanam, sedang apabila tanaman tumbuh sendiri dan rendah apabila lahan
tersebut belum ditanami.
Penguasaan lahan. Data dalam Tabel 40 juga menunjukkan bahwa
penguasaan lahan responden yang berada dalam kawasan areal pencadangan HTR
termasuk ke dalam katagori tinggi (62.96%), karena hampir semua responden
menguasai lahan yang berada dalam areal pencadangan HTR, meskipun belum
semua responden telah memiliki izin IUPHHK-HTR. Tabel 36 menunjukkan
bahwa dari total penguasaan lahan, rata-rata responden menguasai lahan di dalam
kawasan pencadangan HTR seluas 4.99 ha.
Tabel 36 Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan di Areal HTR1
Kriteria
Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung
n % Rata-rata n % Rata-
rata n % Rata-rata n % Rata-
rata < 5 ha 24 88.89 7 28.00 13 44.83 44 54,32 5 – 10 ha 3 11.11 1.41 12 48.00 8.68 15 51.72 5.17 24 29,63 4.99 10 – 15 ha 0 0.00 4 16.00 1 3.45 5 6,17 > 15 ha 0 0.00 2 8.00 1 3.45 2 2,47
Rata-rata luas penguasaan lahan di areal HTR yang terkecil (1.41%)
terdapat di Desa Seko Besar karena sebagian besar penduduknya telah memiliki
lahan usaha yang berasal dari jatah pemerintah sehingga tidak menggantungkan
kebutuhan lahannya dengan membuka hutan. Desa Lamban Sigatal memiliki rata-
rata luas penguasaan lahan terbesar (8.68%) karena desa ini adalah desa asli yang
1 Data merupakan hasil penelitian bersama Sdr. Endang Pudjiastuti dan telah dipublikasikan dalam Tesis yang berjudul Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan HTR Di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
106 berdiri sejak jaman Belanda sehingga untuk kebutuhan lahan usahanya penduduk
sejak dulu biasa membuka kawasan hutan.
Meskipun data dalam Tabel 36 menunjukkan bahwa penguasaan lahan
responden tinggi, namun status kepemilikan secara legal sebagian besar responden
masih belum jelas karena hasil verifikasi lahan oleh Balai Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH) Bangka Belitung belum diketahui. Komposisi penguasaan lahan
responden yang berada dalam areal pencadangan HTR ditunjukkan pada Tabel 37.
Tabel 37 Distribusi Responden berdasarkan Penguasaan Lahan di Areal HTR
Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung
n % n % n % n % Tidak Memiliki 11 40,74 0 0,00 8 27,59 19 23,46 Proses verifikasi 9 33,33 1 4,00 0 0,00 10 12,35 Memiliki 7 25,93 24 96,00 21 72,41 52 64,20
Pada umumnya lahan hutan yang diakui sebagai milik masyarakat
merupakan kawasan yang telah diokupasi dengan cara membuka hutan untuk
perladangan untuk kemudian berpindah ke daerah lain, membeli atau merupakan
warisan dari orang tuanya yang dulu membuka hutan di daerah tersebut.
Kepemilikan (penguasaan) ini diakui dan dihormati di lapangan oleh masyarakat
sekitar walaupun dengan batas-batas yang sumir.
Ketersediaan areal. Dengan pola seperti di atas, maka keikutsertaan
masyarakat terhadap HTR dibatasi oleh adanya penguasaan lahan masyarakat
dalam areal lokasi pencadangan HTR. Sehingga masyarakat yang tidak menguasai
lahan dalam areal pencadangan tidak dapat ikut serta dalam kegiatan HTR
meskipun mereka memiliki keinginan untuk berpartisipasi. Hal ini berdampak
kepada ketersediaan lahan yang termasuk dalam katagori rendah (45.68%).
5.2.2 Modal manusia
Dalam penelitian ini, modal manusia diukur melalui tingkat pendidikan,
tingkat pendapatan dan tingkat pengetahuan responden. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat desa sekitar areal
pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun termasuk dalam katagori sedang
(45.68%) seperti yang tersaji dalam Tabel 38. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat
107 pendapatan yang rendah (80.25%), tingkat pengetahuan yang sedang (37.03%)
dan tingkat pendidikan yang sedang (80.85%).
Tabel 38 Modal Manusia
Indikator Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Tingkat pendidikan 8 9.88 65 80.25 8 9.88 Tingkat pengetahuan 22 27.16 30 37.03 29 35.80 Tingkat pendapatan 2 2.47 14 17.28 65 80.25 Modal manusia 27 33.33 37 45.68 17 20.99
Bila dilihat berdasarkan desa asal responden (lampiran 7), diketahui bahwa
modal manusia yang dimiliki oleh masyarakat Desa Seko Besar berada dalam
katagori rendah (66.67%), modal manusia masyarakat Desa Lamban Sigatal
sedang (56.00%) dan modal manusia masyarakat Desa Taman Bandung berada
dalam katagori tinggi (48.29%).
Tingkat pendidikan. Lampiran 7 menunjukkan bahwa berdasarkan asal
responden, tingkat pendidikan dengan persentase tertinggi (81.48%) masuk dalam
katagori sedang terdapat di Desa Seko Besar. Tingkat pendidikan dalam penelitian
ini dipengaruhi oleh pendidikan formal dan pendidikan informal (pelatihan dan
studi banding). Bila dilihat lebih lanjut, tingkat pendidikan formal masyarakat di
daerah sekitar kawasan HTR termasuk kedalam kategori sedang yaitu sebanyak
65.43% masyarakat mengecap pendidikan hingga SD dan SMP, bahkan 19.75%
masyarakat menyelesaikan pendidikan SMU dan perguruan tinggi (Tabel 39).
Tabel 39 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung
n % n % n % n % < 6 thn 2 7.41 7 28.00 3 10.34 12 14.81 6 - 9 thn 19 70.37 15 60.00 19 65.52 53 65.43 > 9 thn 6 22.22 3 12.00 7 24.14 16 19.75
Persentase tertinggi (70.37%) responden dengan tingkat pendidikan hingga
SD - SMP terdapat di Desa Seko Besar. Diduga hal ini disebabkan karena failitas
pendidikan di Desa Seko Besar lebih baik dibandingkan dengan dua desa lainnya.
Desa Seko Besar telah memiliki fasilitas sekolah hingga tingkat SMU meskipun
kondisi gedung masih menjadi satu dengan gedung SMP. Tingkat pendidikan
108 formal yang baik ini menandakan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman
mereka tinggi sehingga dapat menjadi faktor kunci yang penting bagi
pengembangan kegiatan HTR di daerah tersebut.
Tingkat pengetahuan. Tidak seperti pendidikan formal, tingkat pendidikan
informal responden sangat rendah. Secara keseluruhan sebanyak 76.54%
responden tidak pernah mengikuti pendidikan informal khususnya bidang
kehutanan (Tabel 40). Beberapa pelatihan yang pernah diikuti masyarakat di
lokasi penelitian sebagian besar merupakan pelatihan mengenai perkebunan dan
pertanian, sedangkan pelatihan bidang kehutanan yang pernah diikuti oleh
beberapa responden yaitu mengenai konservasi hutan serta studi banding
pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dan hutan rakyat di Jawa yang
kebanyakan diselenggarakan oleh lembaga swadaya masyarakat kehutanan.
Tabel 40 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Informal
Kriteria
Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman
Bandung n % n % n % n %
< 6 thn 22 81.48 17 68.00 23 79.31 62 76.54 6 - 9 thn 5 18.52 6 24.00 6 20.69 17 20.99 > 9 thn 0 0.00 2 8.00 0 0.00 2 2.47
Tingkat pengetahuan yang diukur dalam penelitian ini adalah pengetahuan
masyarakat mengenai implementasi kebijakan HTR, termasuk ketentuan yang ada
dalam perundangan-undangan. Persentase tingkat pengetahuan masyarakat
mengenai kebijakan HTR dengan katagori tinggi terdapat di Desa Taman
Bandung yaitu 55.17% (lampiran 7). Hal ini disebabkan karena desa ini pernah
menjadi lokasi percontohan areal HTR di Jambi sehingga pernah dilaksanakan
sosialisasi secara intensif, sedangkan Desa Lamban Sigatal masuk dalam katagori
sedang (52%) dan Desa Seko Besar masuk dalam katagori rendah (70.37%).
Rendahnya tingkat pengetahuan responden di Desa Seko Besar terhadap
kegiatan HTR disebabkan oleh: (1) kurangnya dukungan yang diberikan oleh
aparat desa, (2) tidak ada pihak yang membantu proses fasilitasi serta (3) status
lahan yang masih berkonflik dengan penggunaan lain.
Konflik lahan terjadi karena sebagian dari total LU II (Lahan Usaha II) yang
ditunjuk oleh Kementerian Transmigrasi sebagai lahan garapan tambahan
109 masyarakat termasuk ke dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang saat
ini ditunjuk sebagai areal pencadangan HTR. Masyarakat berpendapat bahwa
lahan tersebut adalah milik mereka meskipun hingga saat ini belum ada
sertifikatnya.
Adanya program KTM (Kota Mandiri Terpadu) yang diluncurkan oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga menjadi salah satu penyebab
rendahnya dukungan aparat desa. Kepala desa berharap desa mereka akan
dijadikan pilot project program KTM. Dengan demikian, mereka berharap
kejelasan status LU II akan terselesaikan (sertifikat akan dikeluarkan oleh
pemerintah). Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden yang
menguasai lahan di areal HTR, mereka berharap areal tersebut dapat menjadi hak
milik sebagai lahan usaha yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai
transmigran. Dengan demikian jatah lahan mereka sama luasnya dengan
masyarakat lain yang lahan usahanya tidak berada di dalam areal HTR.
Tingkat pendapatan. Menurut Sayogyo (1991) sebagaimana diacu oleh
Salim (1980), yang paling mudah untuk menentukan tingkat kemiskinan adalah
pada ekonomi rumah tangga, yaitu tingkat mencapai kebutuhan dasar manusia.
Salim (1980) menyebutkan bahwa berdasarkan kriteria Sayogyo (1977) tingkat
pendapatan petani miskin di daerah pedesaaan adalah setara dengan 240-320 kg
perkapita pertahun. Bila diasumsikan 1 KK memiliki empat anggota keluarga,
maka setiap KK hendaknya berpenghasilan setara dengan 960-1 280 kg beras
dalam satu tahun. Dengan kondisi jalan yang buruk, harga beras di lokasi
penelitian berkisar antara Rp.10 000.00 hingga Rp.15 000.00 tergantung cuaca.
Sehingga pendapatan minimal responden dalam katagori miskin di lokasi
penelitian hendaknya berkisar antara 9.6 juta rupiah– 19.2 juta rupiah pertahun.
Bila dihitung berdasarkan nilai hasil perhitungan kebutuhan hidup layak
(KHL) perkapita masyarakat desa di lokasi penelitian diketahui adalah sebesar 32
juta rupiah. Perhitungan ini didasarkan pada pengeluaran rumah tangga
masyarakat yang setara dengan nilai 800 kg beras/orang/tahun berdasarkan harga
rata-rata patokan untuk kebutuhan fisik minimum (KFM) 320 kg, pendidikan 160
kg, kesehatan 160 kg, dan sosial 160 kg (Sinukaban 2007). Perhitungan kebutuhan
110 hidup layak (KHL) masyarakat di sekitar hutan di lokasi penelitian selengkapnya
tertera pada Tabel 41.
Tabel 41 Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Masyarakat di Sekitar Hutan
Jenis Pengeluaran % Kg
Beras Harga Beras
(Rp/kg)Pengeluaran (Rp/orang1) /
Jumlah Keluarga th)
Kebutuhan (Rp/KK2) / th)
KFM 100 320 10 000 3 200 000 4 12 800 000
Pendidikan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000
Kesehatan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000
Sosial/Tabungan 50 160 10 000 1 600 000 4 6 400 000
KHL
8 000 000
32 000 000
1) rata-rata harga beras di lokasi penelitian pada saat penelitian 2) diasumsikan jumlah anggota keluarga 4 orang
Bila ditinjau dari tingkat pendapatan responden (Tabel 47), maka sebagian
besar responden (80.25%) berada dalam katagori rendah dengan pendapatan rata-
rata 10 juta rupiah pertahun. Pendapatan rata-rata responden tertinggi adalah Rp.
12.68 juta rupiah terdapat di Desa Lamban Sigatal dan rata-rata pendapatan
terendah adalah 6.83 juta rupiah di Desa Seko Besar. Jumlah pendapatan ini
masih jauh dari katagori dapat memenuhi kebutuhan hidup layak, sebagaimana
yang tercantum dalam Tabel 42.
Tabel 42 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan (dalam Jutaan Rupiah)2
Kriteria
Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung
n % Rata-rata n % Rata-
rata n % Rata-rata n % Rata-
rata Tinggi 0 0.00 1 4.00 1 3.45 2 2.47 Sedang 2 7.41 6.83 9 36.00 12.68 3 10.35 10.71 14 17.28 10.02 Rendah 25 92.59 15 60.00 25 86.20 65 80.25
Sumber pendapatan responden sebagian besar berasal dari getah karet baik
dari lahan sendiri maupun dari hasil menjadi buruh karet atau sebagai pedagang
pengumpul. Mereka biasanya menyadap getah enam kali dalam satu minggu dan
hasilnya rata-rata bisa mencapai 50-100 kg/minggu. Harga getah karet yang
digunakan untuk perhitungan pendapatan dalam penelitian ini adalah
Rp.15.000/kg yang merupakan harga yang berlaku pada saat penelitian ini
dilaksanakan. Sumber pendapatan lainnya diperoleh dari usaha dagang, ternak,
2 Data merupakan hasil penelitian bersama Sdr. Endang Pudjiastuti dan telah dipublikasikan dalam Tesis yang berjudul Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan HTR Di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
111 wiraswasta dan honor atau gaji PNS. Pendapatan responden di Desa Lamban
Sigatal lebih besar dibandingkan dengan dua desa lainnya karena di desa tersebut
kebanyakan responden mendapatkan tambahan penghasilan dari mengambil atau
mencari getah jernang.
5.2.3 Modal sosial
Modal sosial dalam penelitian diukur dengan menggunakan instrument
berupa Measuring Social Capital an Integratesd Quisioner (SC-IQ) yang telah
dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian dan tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini. Modal Sosial yang diukur adalah (1)
kepercayaan terhadap sesama, (2) kepatuhan terhadap norma, (3) kepedulian antar
sesama dan (4) keterlibatan dalam organisasi sosial.
Hasil penelitian (Tabel 43) menunjukkan bahwa modal sosial di lokasi
penelitian termasuk dalam katagori sedang (53%). Bila dilihat berdasarkan desa
asal responden (lampiran 8) diketahui bahwa modal sosial yang dimiliki oleh
masyarakat di ketiga lokasi termasuk ke dalam katagori sedang, dengan persentase
44.4% untuk Desa Seko Besar, 56% untuk Desa Lamban Sigatal dan 48.27%
untuk Desa Taman Bandung.
Tabel 43 Modal Sosial
Indikator Tinggi Sedang Rendah n % n % n %
Kepercayaan terhadap sesama 12 14.81 38 46.91 31 38.27 Kepatuhan terhadap norma 40 49.38 30 37.04 11 13.58 Kepedulian kepada sesama 42 51.85 34 41.98 5 6.17 Keterlibatan dalam organisasi sosial 28 68.29 40 49.38 13 16.05
Modal Sosial 16 19.75 43 53.09 23 28.36
5.2.3.1 Tingkat kepercayaan terhadap sesama
Tingkat kepercayaan terhadap sesama masyarakat di lokasi penelitian masuk
ke dalam katagori sedang (46.91%). Tabel 44 menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat (41%) mudah percaya terhadap orang yang berasal dari desa yang
sama, namun 61% responden mengaku sulit percaya orang asing. Perbedaan suku
dan agama tidak mempengaruhi tingkat kepercayaan responden. Namun sebagian
besar masyarakat (70.37%) berhati-hati untuk percaya pada orang lain bila
berhubungan dengan uang. Kondisi ini menurut 53% responden sama saja dengan
112 kondisi lima tahun yang lalu dan 30% responden mengatakan lebih baik dari lima
tahun yang lalu.
Tabel 44 Tingkat Kepercayaan Masyarakat
Latar Belakang Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Desa yang sama 41 50.62 38 46.91 2 2.47 Desa yang berbeda (asing) 11 13.58 61 75.31 9 11.11 Suku berbeda 36 44.44 25 30.86 20 24.69 Agama beda 39 48.15 21 25.93 21 25.93 Uang 2 2.47 57 70.37 22 27.16 Mayoritas masyarakat mudah percaya kepada aparat pemerintah. Tabel 44
memperlihatkan bahwa 88.89% responden mudah percaya kepada guru dan
61,73% responden mudah percaya pada pemerintah daerah. Meskipun demikian,
sebagian besar responden (50.62%) mengaku berhati-hati untuk percaya kepada
pemerintah pusat dan sulit percaya kepada polisi (38.27%).
Tabel 45 menunjukkan bahwa meskipun 75.31% responden mengaku
berhati-hati percaya dengan orang asing, namun sebagian besar responden
(43.21%) mengaku mudah percaya dengan LSM/NGO. Hal ini disebabkan karena
lokasi ini sering mendapatkan sosialisasi dan pendampingan dari beberapa LSM
terkait kehutanan, pertanian dan lingkungan hidup.
Tabel 45 Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Aparat Pemerintah
Tingkat Kepercayaan Terhadap
Tinggi Sedang Rendah
n % n % n % Pemerintah Daerah 50 61.73 23 28.40 8 9.88 Pemerintah Pusat 29 35.80 41 50.62 11 13.58 LSM 35 43.21 19 23.46 27 33.33 Polisi 28 34.57 12 14.81 31 38.27 Guru 72 88.89 9 11.11 0 0.00 5.2.3.2 Tingkat kepatuhan terhadap norma
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma-norma yang berlaku di desa
mereka termasuk dalam katagori tinggi (49.38%). Ini berarti masyarakat masih
sangat mematuhi peraturan-peraturan yang ada dalam lingkungan mereka. Tingkat
kepatuhan masyarakat Desa Seko Besar dan Lamban Sigatal masuk ke dalam
113 katagori tinggi (37.04% dan44%), sedangkan tingkat kepatuhan masyarakat desa
Taman Bandung termasuk dalam katagori Sedang (55.17%) (Lampiran 8).
Dalam memutuskan sebuah perkara (termasuk perkara di bidang
kehutanan), 67.3% masyarakat menggunakan hukum adat, sedangkan sisanya
24.69% menggunakan hukum pemerintah dan 13.58% menggunakan hukum
agama (Tabel 46). Masyarakat Desa Lamban Sigatal dan Taman Bandung
umumnya lebih memilih untuk menggunakan hukum adat dalam memutuskan
suatu perkara, sementara masyarakat Desa seko besar memilih untuk
menggunakan hukum pemerintah. Hal ini diduga karena Desa Seko Besar
merupakan areal transmigrasi dengan penduduk mayoritas adalah pendatang (dari
Jawa, Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan), sehingga merasa kurang cocok
dengan hukum adat Jambi yang digunakan oleh masyarakat pribumi dalam
kehidupan sehari-hari.
Tabel 46 Hukum yang Berlaku di Kalangan Masyarakat
Hukum Adat Agama Pemerintah
n % n % n % Desa Seko Besar 11 40.74 4 14.81 12 44.44 Desa Lamban Sigatal 19 76.00 2 8.00 4 16.00 Desa Taman Bandung 20 68.97 5 17.24 4 13.79
Total 50 61.73 11 13.58 20 24.69
5.2.3.3 Kepedulian kepada sesama
Tabel 47 menunjukkan bahwa tingkat kepedulian masyarakat kepada
sesama termasuk dalam katagori tinggi (51.85%). Hal ini dapat dilihat dari tingkat
keakraban yang sedang (59.26%) dan keinginan untuk saling membantu yang
tinggi (66.67%). Tingkat keakraban dapat dilihat dari banyaknya jumlah teman
akrab yang dimiliki oleh responden dan jumlah orang yang mau membantu bila
mereka dalam kesulitan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 65%
responden memiliki teman akrab lebih dari lima orang dan 51% responden merasa
aman meninggalkan keluarga bila ingin bepergian jauh karena lebih dari lima
orang yang bersedia menjaga anak mereka.
Bila dilihat dari desa asal responden diketahui bahwa tingkat kepedulian
masyarakat di Desa Lamban Sigatal masuk dalam katagori tinggi (52%),
sedangkan tingkat kepedulian masyarakat Desa Seko Besar dan Desa Taman
114 Bandung masuk dalam katagori sedang dengan persentase 48.15% dan 55.17%
(Lampiran 8). Tingginya tingkat kepedulian di Desa Lamban Sigatal diperkirakan
karena Desa Lamban Sigatal merupakan desa asli (bukan lokasi transmigrasi)
sehingga tingkat keragaman masyarakat (suku dan agama) rendah dan hubungan
kekerabatan antar masyarakat tinggi. Dengan kata lain, rata-rata penduduk Desa
Lamban Sigatal masih bersaudara satu sama lainnya. Tingkat kepedulian
masyarakat terhadap sesama dapat dilihat pada Tabel 47.
Tabel 47 Kepedulian terhadap Sesama
Indikator Tingkat Kepedulian terhadap Sesama
Tinggi Sedang Rendah n % n % n %
A. TINGKAT KEAKRABAN • Jumlah teman 53 65.43 16 19.75 12 14.81 • Jumlah teman yg membantu 34 41.98 29 35.80 18 22.22 • Teman yg bersedia menjaga anak 41 50.61 25 30.86 15 18.52 • Persepsi ttg tingkat keakraban 27 33.33 49 60.49 5 6.17 • Persepsi ttg tingkat keberagaman 10 12.35 54 66.67 17 20.99 • Masalah akibat keberagaman 57 70.37 15 18.52 9 11,11
TOTAL 28 34.57 48 59.26 5 6.17
B. KESEDIAAN SALING BANTU • Kesediaan membantu uang 37 45.68 21 25.93 23 28.39 • Kesediaan membantu teman yg
kena musibah
81
100.00
0
0.00
0
0.00 • Kesediaan membantu hajatan 81 100.00 0 00.00 0 0.00 • Kesediaan membantu program
pemerintah yg tdk berdampak langsung pada dirinya
42
51.85
38
46.91
1
1.23 • Kesediaan berbagi sarana produksi 63 77.78 16 19.75 2 2.47
TOTAL 54 66.67 21 25.93 6 7.41 Kepedulian Terhadap Sesama 42 51.85 34 41.98 5 6.17
5.2.3.4 Keterlibatan dalam organisasi sosial
Bila dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial berdasarkan asal
responden (Lampiran 8) maka akan terlihat bahwa ketiga desa yang menjadi lokasi
penelitian termasuk dalam katagori sedang dengan persentase 55.55% desa Seko Besar,
48% Desa Lamban Sigatal dan 44.82% Desa Taman Bandung.
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial masuk dalam
katagori sedang (49.38%). Mayoritas masyarakat aktif (47%) dalam berbagai kegiatan,
terutama pengajian mingguan/bulanan dan arisan. Masyarakat desa umumnya bekerja di
ladang yang jauh dari rumah mereka, sehingga sebagian besar harus menginap di ladang.
115 Mereka akan pulang pada hari Jumat siang untuk melakukan ibadah pada hari jumat dan
melakukan kegiatan sosial pada hari Sabtu/Minggu. Tingkat keterlibatan masyarakat
dalam organisasi soial yang mereka ikuti dapat dilihat pada Tabel 48.
Tabel 48. Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi Sosial (Network)
Indikator Tingkat Keterlibatan dalam Organisasi
Tinggi Sedang Rendah n % n % n %
A. KERAGAMAN ORGANSASI • Jumlah organisasi yang diikuti 5 6.17 45 55.55 31 38,27 • Keragaman latar belakang ekonomi 20 24.69 29 35.80 32 39.51
TOTAL 3 3.71 40 49.38 38 46.91 B. TINGKAT PARTISIPASI
• Asal mula menjadi mengikuti organisasi (ikut membentuk, sukarela, diundang)
22
27.16
28
34.57
31
38.27
• Keaktifan dalam organisasi 25 30.86 39 48.25 17 20.99 • Keikutsertaaan dalam 1 tahun
terakhir 41 50.62 21 25.96 19 23.47
TOTAL 39 48.15 25 30.86 17 20.99 C. KERJASAMA
• Pengambilan Keputusan 39 48.15 36 44.44 6 7.41 • Kerjasama dalam kelompok 39 48.15 36 44.44 6 7.41 • Kerjsama dengan kelompok lain 43 53.09 25 30.87 13 16.05
TOTAL 34 41.98 33 40.74 14 17.28 D. KEBIJAKAN HTR
• Penyuluhan HTR 44 54.32 14 17.28 23 28.40 • Aktif di HTR 9 11.11 29 35.80 43 53.08
TOTAL 28 34.67 22 27.16 31 38.27 TOTAL KETERLIBATAN 28 34.56 40 49.38 13 16.05
Salah satu organisasi sosial yang ada di masing-masing desa asal responden adalah
kelompok tani. Organisasi ini umumnya dibentuk untuk memudahkan komunikasi
masyarakat yang memiliki kepentingan yang sama. Di Desa Lamban Sigatal, kelompok
tani dibentuk dalam rangka pengembangan jernang, sedangkan di Desa Taman Bandung,
kelompok tani dibentuk dalam rangka pengembangan HTR. Belakangan, di Desa Lamban
Sigatal mulai dibentuk kelompok tani HTR.
Tingkat keaktifan masyarakat Desa Taman Bandung pada saat inisiasi HTR baru
dimulai (tahun 2007-2009) sangat tinggi. Pertemuan mingguan selalu dilaksanakan untuk
membahas berbagai hal mengenai HTR. Namun saat ini tingkat keaktifan masyarakat
sudah sangat menurun, meskipun beberapa responden mengaku kelompok mereka tetap
aktif melakukan pertemuan-pertemuan.
VI. EVALUASI GAP IMPLEMENTASI
Setiap kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya
dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi
kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode
berjalannya suatu kebijakan. Parsons (2005) mengungkapkan bahwa riset evaluasi
hendaknya membahas dua dimensi, yaitu: (1) bagaimana sebuah kebijakan bisa
diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan; dan (2) dampak aktual dari kebijakan.
Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah: (1)
meningkatkan produktifitas lahan hutan terdegradasi; dan (2) memberdayakan
masyarakat. Berdasarkan tujuan kebijakan tersebut, terdapat dua indikator
keberhasilan implementasi kebijakan HTR yaitu (1) jumlah luas hutan produksi
yang telah mendapatkan izin pemanfaatan; dan (2) tingkat partisipasi masyarakat
dalam implementasi HTR.
6.1. Peningkatan Produktifitas Hutan Versus Pemberdayaan Masyarakat
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2011), luas
hutan produksi yang telah mendapatkan izin HTR hingga Februari 2011 adalah
seluas 101 012.5 ha atau hanya sekitar 15.91% dari keseluruhan areal yang telah
dicadangkan untuk HTR. Melihat kecilnya realisasi HTR, dapat disimpulkan
bahwa kebijakan HTR belum mampu menjadi tools dalam mengurangi jumlah
lahan kritis di Indonesia, mekipun secara jelas disebutkan bahwa tujuan HTR
adalah meningkatkan produktifitas hutan produksi.
Data Statistik Kehutanan Indonesia menyebutkan bahwa luas lahan kritis
dalam kawasan hutan di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 82 juta ha
(Kemenhut 2011a). Terkait agenda rehabilitasi lahan kritis (pro environment)
yang merupakan salah satu misi HTR, target pencadangan HTR seluas 5.4 juta ha
pada tahun 2016 hanya akan mampu memperbaiki 6.6% dari luas lahan kritis yang
ada pada saat ini (dengan asumsi tingkat keberhasilan 100%). Realisasi HTR yang
rendah menunjukkan bahwa kontribusi kebijakan HTR dalam memperbaiki
kondisi hutan produksi masih sangat kecil.
Berdasarkan perhitungan luas efektif/rasionalisasi kawasan hutan diketahui
bahwa luas hutan yang dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala kecil adalah
118 5.6 juta ha dimana 68% diantaranya termasuk ke dalam kawasan hutan produksi.
Alokasi lahan tersebut bukan hanya ditujukan untuk pengembangan hutan
tanaman rakyat saja, namun termasuk juga untuk pengembangan hutan
kemasyarakatan dan hutan desa (Kemenhut, 2011b). Melihat fenomena ini,
terdapat dua hal yang perlu dikaji secara mendalam yaitu: 1) alokasi kawasan
untuk pengusahaan hutan skala kecil; 2) kemampuan masyarakat untuk mengelola
hutan secara profesional.
Dasar penetapan alokasi luas lahan untuk pengusahaan hutan skala kecil ini
adalah proses analisis spasial yang menghasilkan peta arahan indikator rencana
kehutanan tingkat nasional (Kemenhut 2011b). Oleh karena itu, Kementerian
Kehutanan dalam RKTN 2010-2030 merevisi kembali target pembangunan HTR
menjadi 2.6 juta ha pada tahun 2030. Dengan demikian, sumbangan kebijakan
HTR dalam memperbaki kondisi hutan produksi yang terdegradasi hanya 3.1%
dari total luas lahan kritis yang ada saat ini.
Luas lahan kritis di Propinsi Jambi seluas 2.2 juta ha (Kemenhut, 2011),
sedangkan luas pencadangan HTR di Propinsi Jambi adalah 38 963 ha. Dengan
demikian, hanya 0.8% luas lahan kritis di Propinsi Jambi yang dapat diperbaiki
melalui kebijakan HTR (bila implementasi kebijakan HTR berhasil 100%).
Luas hutan produksi yang terdapat di Propinsi Jambi adalah 931 121 ha
dimana 97 116 (10%) diantaranya terdapat di Kabupaten Sarolangun (Dinas
Kehutanan Propinsi Jambi, 2011). Luas pencadangan HTR di Kabupaten
Sarolangun adalah 18 840 ha. Hal ini berarti kebijakan HTR hanya ditargetkan
untuk memperbaiki 19.4% kondisi hutan produksi di Kabupaten Sarolangun.
Uraian di atas menggiring kita pada pernyataan bahwa peranan kebijakan
HTR dalam meningkatkan produktifitas hutan produksi sangat kecil, meskipun
secara jelas dan konsisten dipaparkan dalam setiap kebijakan terkait HTR bahwa
tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kondisi hutan produksi. Latar
belakang kebijakan HTR sebagai instrumen untuk mengamankan kawasan hutan
produksi yang secara de facto menjadi open acces paska berakhirnya konsesi
HPH, belum mampu menempatkan kebijakan HTR sebagai alternatif solusi
terbaik dalam pengelolaan hutan produksi. Alokasi pengelolaan hutan terbesar
masih diserahkan kepada pihak pengusaha hutan skala besar.
119
Oleh karena itu, tujuan HTR sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat
perlu mendapatkan perhatian dari Kementerian Kehutanan. Sunderlin et al. (2005)
mencatat bahwa kemiskinan pedesaan yang sangat parah dan sisa hutan alam di
negara-negara berkembang cenderung menempati ruang yang tumpang tindih.
Lebih lanjut Sunderlin et al. (2005) mengemukakan bahwa hutan dapat membantu
menghindari atau mengurangi kemiskinan dengan menyediakan sumber-sumber
pendapatan kecil dan merupakan jaring pengaman dalam masa-masa yang sulit.
Hutan dapat membantu menghapuskan kemiskinan dengan memfungsikannya
sebagai sumber tabungan, investasi, aset pembangunan dan peningkatan
penghasilan dan kesejahteraan secara permanen.
Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk
Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237 556 363 orang, dimana
48.8 juta jiwa (12%) tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan (Brown, 2004).
Lebih lanjut Brown (2004) mengungkapkan bahwa dari jumlah penduduk yang
hidup di dalam kawasan hutan tersebut, 10.2 juta jiwa (25%) diantaranya
tergolong dalam kategori miskin (Brown, 2004). Bila diasumsikan dalam satu
keluarga terdiri atas 4 jiwa, maka terdapat ±2.55 juta KK penduduk miskin yang
harus diberdayakan melalui berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat bidang
Kehutanan, termasuk kebijakan HTR.
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030 hanya
mengalokasikan 6 456 911 ha sebagai kawasan hutan yang ditujukan sebagai
kawasan pengusahaan hutan skala kecil (masyarakat), dimana 1 882 404 ha di
antaranya termasuk ke dalam kawasan hutan lindung, 2 274 013 ha kawasan hutan
produksi, 2 150 085 ha kawasan hutan produksi terbatas dan 150 408 hutan
produksi yang dapat dikonversi. Kawasan ini ditujukan untuk memberikan akses
pada masyarakat dalam mengelola hutan melalui kebijakan hutan kemasyarakatan,
hutan adat dan hutan tanaman rakyat.
Bila diasumsikan kemampuan masyarakat mengelola hutan adalah 15
ha/KK (sesuai Permenhut No. P.55/Menhut-II/2011) maka jumlah masyarakat
yang dapat terlibat dalam kegiatan pengelolaan hutan di kawasan yang telah
ditunjuk hanya berjumlah 430 460 KK. Hal ini berarti hanya sekitar 17% dari total
penduduk miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan yang dapat mengelola hutan
120 secara legal (diakui secara sah oleh Pemerintah) dan 83% lainnya harus mencari
pekerjaan di luar kawasan hutan.
Kebijakan HTR dimaksudkan sebagai salah satu alat pengentasan
kemiskinan (pro poor), maka dalam konsepnya kebijakan HTR harus mampu
mengatasi permasalahan kemiskinan ini. Pendekatan yang digunakan untuk
mengentaskan kemiskinan dalam kebijakan HTR adalah membuka akses
masyarakat dalam mengelola hutan produksi yang diharapkan akan berdampak
pada peningkatan taraf hidup masyarakat. Untuk itu ditetapkan target sebesar
600 000 hektar pertahun, dengan harapan minimal 40 000 KK akan terlibat dalam
kegiatan ini setiap tahunnya (dengan asumsi 1 KK mengelola maksimal 15 ha).
Secara teoritis, hal ini berarti dalam masa 4 tahun minimal 160 000 KK (atau
6.3% dari total jumlah orang miskin yang ada di dalam dan sekitar hutan) dapat
ditingkatkan taraf hidupnya melalui kebijakan hutan tanaman rakyat.
Data kesejahteraan dari BKKBN Kabupaten Sarolangun (2007) juga
menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat disekitar hutan belum sejahtera.
Tingkat keparahan kemiskinan (poverty severity) di wilayah ini lebih tinggi
dibandingkan dengan kondisi umum Kabupaten Sarolangun. Data BPS (2007)
menunjukkan bahwa Kabupaten Sarolangun memiliki masyarakat pra sejahtera
sebanyak 8 102 kepala keluarga dari 50 780 keluarga atau sebanyak 15.95%.
Masyarakat di sekitar lokasi pencadangan HTR (kawasan hutan Bukit Bahar –
Tajau Pecah) digolongkan sebagai masyarakat dengan tingkat kesejahteraan
rendah (kelas Pra Sejahtera 28% dan kelas Sejahtera I 29%).
Dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat petani di kawasan hutan
tersebut, Pemda Kabupaten Sarolangun memohon izin pencadangan kawasan di
Bukit Bahar Tajau Pecah wilayah Sarolangun untuk dibangun menjadi kawasan
Hutan Tanaman Rakyat. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor
386/KPTS-II/2008 tanggal 7 November 2008 telah dicadangkan seluas 18 840
hektar kawasan hutan untuk Hutan Tanaman Rakyat. Bila diasumsikan 15 ha/KK
maka diprediksi kebijakan HTR akan mampu melibatkan 1256 KK atau 15.6%
dari masyarakat pra sejahtera di Kabupaten Sarolangun.
Namun realisasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - HTR
(IUPHHK-HTR) yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Sarolangun hingga
121 Maret 2010 baru seluas 156.44 ha untuk 18 KK masyarakat di wilayah Desa
Taman Bandung Kecamatan Pauh. Data tersebut menunjukkan bahwa realisasi
IUPHHK-HTR Kabupaten Sarolangun hanya 0.82% dari SK pencadangan, atau
hanya 1.43% dari target KK yang dapat diberdayakan melalui kebijakan ini.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata masyarakat di lokasi
penelitian menguasai lahan di areal yang telah dicadangkan di areal HTR seluas 5
hektar (Tabel 41), sementara kemampuan mereka untuk mengelola lahan secara
intensif adalah 2-3 hektar/KK. Fenomena ini mengajak kita untuk meninjau ulang
dasar peraturan yang menyebutkan bahwa luas areal maksimum yang dapat
dikelola oleh masyarakat adalah 15 hektar.
Bila luas lahan maksimum yang dapat dikelola oleh masyarakat disesuaikan
dengan luas penguasaan lahan rata-rata petani dalam kawasan hutan di lokasi
penelitian (5 hektar) maka jumlah masyarakat yang dapat terlibat dalam kegiatan
HTR di Kabupaten Sarolangun bertambah menjadi 3 768 KK. Sehingga diprediksi
bahwa kebijakan HTR dapat melibatkan 47% masyarakat dari keluarga pra
sejahtera di Kabupaten Sarolangun. Secara teoritis, hal ini berarti kebijakan HTR
akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Sarolangun sebanyak
50% (jumlah keluarga pra sejahtera berkurang dari 15,95% menjadi 7,42%),
dengan asumsi tingkat keberhasilan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah 100%.
Berdasarkan hasil penelitian, hampir sebagian besar masyarakat menguasai
lahan di areal pencadangan HTR dengan luasan yang beragam dan sporadis. Oleh
karena itu, 90% areal pencadangan HTR telah dikuasai oleh masyarakat secara de
facto. Pembatasan luas dalam perizinan HTR di Kabupaten Sarolangun secara
tidak langsung juga dapat mengendalikan distribusi pendapatan, sehingga tingkat
kesejahteraan masyarakat dapat berlangsung secara merata.
6.2. Tingkat Partisipasi
Ketimpangan (gap) yang terjadi pada implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun dapat diukur melalui tingkat partisipasi masyarakat.
Partisipasi merupakan suatu proses dinamis dalam pengelolaan hutan dimana para
pelaku saling mempengaruhi dan berbagi kontrol terhadap ide-ide pengembangan,
pengambilan keputusan dan penggunaan sumberdaya yang mempengaruhinya
(Bank Dunia, 1996 dalam Sinha & Suar, 2005). Dalam pengertian yang sempit,
122 partisipasi di dalam suatu kelompok sama dengan jumlah anggota yang ikut serta,
namun dalam pengertian yang lebih luas dapat didefinisikan sebagai individu
yang memiliki suara dan pengaruh terhadap pengambilan keputusan.
Penelitian Sinha & Suar (2005) membedakan partisipasi masyarakat
menjadi partisipasi langsung dan tidak langsung. Yang termasuk partisipasi
langsung antara lain keterlibatan individu dalam kegiatan pertemuan, berperan
aktif dalam pertemuan, berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan, pengawasan
dan evaluasi kegiatan. Sedangkan yang termasuk partisipasi tidak langsung antara
lain mematuhi peraturan yang telah ditetapkan, memotivasi anggota keluarga dan
orang lain, mendukung secara moral terhadap transparansi pelaksanaan kegiatan.
Tabel 49 menunjukkan distribusi masyarakat yang berminat untuk ikut serta
dalam program HTR. Dari tabel tersebut diketahui bahwa 54.32% responden
memutuskan untuk ikut serta dalam kegiatan HTR. Ikut serta yang dimaksud
dalam konteks ini adalah mereka yang sudah memiliki izin pengelolaan HTR atau
sedang dalam proses pengurusan izin HTR.
Tabel 49 Distribusi Responden yang Berminat Ikut Serta dalam Program HTR
Ikut Serta Desa
TOTAL Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung
n % n % n % n % Ya 3 11.11 23 92.00 19 65.52 44 54.32 Tidak 24 88.89 2 8.00 10 34.48 37 45.68 Sumber : Pudjiastuti (2010)
Tabel di atas menunjukkan bahwa responden yang memutuskan untuk ikut
serta dalam kegiatan HTR di Desa Seko Besar hanya sebanyak 11.11%.
Rendahnya keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan HTR ini
disebabkan karena belum banyak masyarakat yang mengetahui dan mengenal
HTR. Kegiatan HTR yang dilakukan di Desa Seko Besar baru pada tahap
sosialisasi dan pengenalan.
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya keinginan masyarakat Desa Seko
Besar untuk berpartisipasi adalah masalah land tenure (konflik lahan). Status
lahan yang dicadangkan sebagai areal HTR di Desa Seko Besar tumpang tindih
dengan lahan usaha (LU2), meskipun setelah dilakukan verifikasi lapangan lahan
tersebut masuk ke dalam kawasan hutan produksi. Hal ini mendapat tantangan
terutama dari masyarakat yang belum mendapatkan jatah LU2 karena jika lahan
123 tersebut masuk ke dalam kawasan hutan, maka mereka tidak akan mendapatkan
sertifikat hak milik. Kendala lain datang dari kepala desa yang tidak menyetujui
kebijakan HTR sehingga proses administrasi pengajuan izin HTR bagi yang ingin
ikut serta terhambat. Untuk itu perlu adanya koordinasi dengan instansi lain
terkait terutama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sosialisasi HTR di Desa Lamban Sigatal, telah dilaksanakan dan proses
pengajuan izin HTR sedang berjalan, hasilnya sebanyak 92% responden yang
terpilih berminat untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR. Identifikasi
kepemilikan lahan di areal pencadangan HTR di Desa Lamban Sigatal sedang
dilakukan. Upaya pengajuan izin HTR dilakukan dengan pembentukan
kelompok-kelompok tani. Sampai dengan tahun 2010 telah terbentuk 14
kelompok tani HTR. Pemetaan areal telah dilakukan pada 10 kelompok tani
dengan anggota 57 kepala keluarga dan luas 529 ha. Jumlah ini cukup besar
karena masih menunggu kepastian hasil pemetaan dan verifikasi lahan.
Responden yang ikut serta dalam kegiatan HTR di Desa Taman Bandung
sebanyak 65.52%. Responden tersebut adalah mereka yang telah memiliki izin
HTR perorangan atau yang sedang dalam proses pengajuan izin. Jumlah
responden yang ikut serta di desa ini lebih kecil dibandingkan dengan Lamban
Sigatal karena proses pemetaan dan verifikasi lahan telah selesai sehingga
penataan kawasan telah jelas. Responden yang lahannya berada di luar kawasan
HTR tidak dapat ikut serta dalam kegiatan HTR walaupun mereka tertarik untuk
ikut serta. Dari responden yang mempunyai lahan di areal HTR juga mulai turun
minatnya untuk ikut serta karena mereka yang sudah keluar izin HTRnya sampai
saat ini juga masih belum ada kegiatan atau masih belum bisa menanam karena
kekurangan modal. Mereka masih ingin melihat terlebih dahulu apakah ada
keuntungan yang mereka peroleh dari kegiatan tersebut.
Winarto (2003) mengemukakan bahwa masyarakat akan tergerak untuk
berpartisipasi dalam suatu kegiatan apabila: (1) partisipasi dilakukan melalui
organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah masyarakat yang
bersangkutan; (2) partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat
yang bersangkutan; (3) manfaat yang diperoleh tersebut dapat memenuhi
124 kepentingan masyarakat setempat; dan (4) dalam proses partisipasi terdapat
jaminan kontrol oleh masyarakat.
Implementasi kebijakan HTR di lokasi penelitian belum mampu membuat
masyarakat merasa bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan apabila
berpartisipasi dalam kebijakan HTR. Menurut mereka akan sama saja apabila
mereka ikut HTR atau tidak, karena lahan yang menjadi areal pencadangan HTR
telah mereka kuasai sejak dahulu dan diakui secara de facto oleh masyarakat
setempat.
Masyarakat menuntut hal yang lebih dari pemerintah agar memenuhi
kebutuhan mereka terhadap biaya pembuatan hutan, seperti penyediaan bibit,
pemupukan, biaya pemeliharaan. Oleh karena itu, meskipun tingkat keinginan
masyarakat untuk ikut serta dalam implementasi HTR tinggi (54.32%), namun hal
ini tidak diikuti dengan tingkat partisipasi yang tinggi. Sebanyak 81.48%
responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah dengan skor nilai rata-rata
5.16 dari skor maksimal 123 (Pudjiastuti, 2011). Tingkat partisipasi masyarakat
dalam kegiatan HTR dapat dilihat pada Tabel 50.
Tabel 50 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Partisipasi
Kriteria
Kegiatan HTR Total Kegiatan Perencanaan Pelaksanaan Pemanfaatan Pemeliharaan
dan Evaluasi n % n % n % n % n %
Tinggi 11 13.58 3 3.70 0 0.00 0 0.00 1 1.23 Sedang 20 24.69 29 35.80 3 3.70 11 11.11 14 17.28 Rendah 50 61.73 49 60.49 78 96.30 72 88.89 66 81.48
Sumber: Pudjiastuti, 2011
Tabel di atas memperlihatkan bahwa implementasi kegiatan HTR di lokasi
penelitian masih dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan. Hal ini terlihat dari
tingkat partisipasi responden yang tinggi hanya terjadi pada kedua tahap kegiatan
tersebut. Selebihnya tingkat partisipasi responden dalam kegiatan pemanfaatan
dan evaluasi masih dalam kategori rendah.
6.3. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Mayarakat
Partisipasi masyarakat dalam suatu program/kegiatan dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Menurut Sastropetro (1988) yang diacu oleh Yuwono (2006),
secara umum faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan
125 pembangunan adalah : (1) keadaan sosial ekonomi masyarakat, (2) bentuk
program/kegiatan pembangunan itu sendiri, dan (3) keadaan lingkungan. Keadaan
sosial ekonomi masyarakat yang dimaksud terdiri dari pendidikan, pendapatan,
kebiasaan, kepemimpinan, keadaan keluarga, kemiskinan, kedudukan sosial dan
sebagainya. Bentuk program/kegiatan merupakan kegiatan yang dirumuskan serta
dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi kemasyarakatan atau
kebijakan-kebijakan, sedangkan keadaan lingkungan adalah faktor fisik daerah
yang ada di lingkungan sekitar tempat hidup masyarakat.
Beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
terutama dalam program pengelolaan hutan antara lain tingkat pendidikan,
pengalaman bertani, sifat kekosmopolitan (Susiatik 1998; Neupane et al.,2002;
Zbinden & Lee, 2005). Neupane et al. (2002) dan Zbinden & Lee (2005)
menambahkan faktor seperti umur, kepemilikan lahan, jumlah anggota keluarga,
pendapatan, dan persepsi masyarakat sebagai faktor yang juga sangat
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan di Nepal
dan Kostarika.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR dalam penelitian ini dikelompokkan
menjadi modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Modal fisik merupakan
faktor-faktor fisik yang dimiliki oleh masyarakat dan diduga berpengaruh
terhadap tingkat partisipasi mereka dalam implementasi HTR. Modal fisik
tersebut meliputi penguasaan lahan, ketersediaan areal untuk HTR dan keberadaan
tanaman dalam kawasan pencadangan HTR.
Modal manusia sangat penting, karena modal usaha tidak hanya berwujud
fisik saja, melainkan akan didominasi oleh modal manusia seperti pendidikan,
keterampilan dan keeraatan hubungan (Coleman, 1988; Fukuyama, 2007).
Keahlian, kemampuan, pengetahuan dan sikap merupakan bagian dari mutu modal
manusia yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi (Hardjanto, 2002).
Dalam penelitian ini modal manusia yang diduga menjadi faktor yang akan
mempengaruhi tingkat partisipasi adalah tingkat pendididikan, tingkat
pengetahuan, dan tingkat pendapatan masyarakat.
126
Di samping modal fisik dan modal manusia, faktor yang diduga
berpengaruh pada tingkat partisipasi dalam implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun adalah modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada
individu manusia dan juga bisa merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk
jaringan sosial (Alder & Seok, 2002). Modal sosial penting dipertimbangkan
karena masyarakat tidak hanya berupa sekumpulan manusia yang secara fisik
telah bersama dalam kurun waktu tertentu melainkan terdapat semangat atau ruh
yang memperkuat kehidupan kolektif (Pranadji, 2006). Masyarakat yang memiliki
modal sosial yang tinggi, cenderung bekerja secara bergotong royong, bebas
bicara dan mampu mengatasi perbedaan. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki
modal sosial yang rendah akan tampak adanya kecurigaan, pengelompokan, tidak
ada kepastian hukum dan keteraturan sosial (Suharto, 2007). Oleh karena itu, guna
mencapai tujuan perlu menambahkan modal sosial pada setiap kebijakan
(Weyerhaeuser et al., 2006).
Hubungan antara modal fisik, modal manusia dan modal sosial terhadap
tingkat partisipasi akan menggambarkan seberapa besar pengaruh ketiga modal
tersebut terhadap tingkat partsipasi seseorang dalam mengimplementasikan
kebijakan HTR. Peranan masing-masing modal tergambar dari besarnya koefesien
korelasinya, sehingga dapat diketahui modal mana yang paling berpengaruh
terhadap partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan HTR dan modal
mana yang perlu mendapatkan perhatian untuk dikembangkan dan ditingkatkan
agar tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi HTR dapat menjadi lebih
baik, meskipun saat ini modal tersebut bukan modal yang berhubungan secara
nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat. Peranan modal fisik, modal manusia
dan modal sosial tehadap partisipasi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 51.
127 Tabel 51 Hubungan antara Modal Fisik, Modal Manusia dan Modal Sosial
dengan Partisipasi Masyarakat
No Korelasi Kegiatan HTR Total
partisipasi Perencanaan Pelaksanaan Pemanfaatan Pemeliharaan & evaluasi
A Modal Fisik 0.191 0.202 0.122 0.195 0.231* 1 Penguasaan lhn 0.007 0.136 -0.035 0.132 0.070 2 Ketersediaan areal -0.085 -0.209 -0.054 -0.214 -0.164 3 Keberadaan tnmn 0.328 0.320** 0.309** 0.337** 0.402** B
** Modal Manusia 0.612 0.516** 0.126 ** 0.501 0.593** **
1 Tk. Pendidikan 0.342 0.199 ** -0.96 0.254 0.271* 2
* Tk. Pendapatan 0.084 0.249 0.290* 0.348** 0.244**
3 *
Tk. Pengetahuan 0.598 0.508** 0.125 ** 0.483 0.580** C
** Modal Sosial -0.028 0.069 0.018 0.046 0.016*
1 Trust 0.132 0.045 -0.179 0.072 0.025 2 Norms -0.364 -0.282 ** 0.056 -0.125 - 0.2903
** Solidarity 0.029 0.092 0.084 0.042 0.038
4 *
Network 0.129 0.269 0.194 * 0.124 0.232* Keterangan: * korelasi nyata pada taraf 0.05 ** korelasi nyata pada taraf 0.01 6.3.1. Modal fisik
Meskipun modal fisik tidak berpengaruh nyata terhadap partisipasi
responden pada tiap-tiap tahapan kegiatan, namun modal fisik memberikan
pengaruh nyata pada tahapan berpartisipasi secara keseluruhan. Unsur dari modal
fisik yang terlihat berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat
dalam implementasi HTR adalah unsur keberadaan tanaman. Keberadaan tanaman
dalam lahan areal pencadangan HTR memiliki korelasi positif secara nyata pada
taraf 1% terhadap total tingkat partisipasi sebesar 0.402. Hal ini menunjukkan
bahwa antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR akan
bertambah seiring dengan keberadaan tanaman masyarakat dalam lokasi HTR.
Hal ini berkaitan erat dengan kepedulian masyarakat akan nasib tanaman yang
telah mereka tanam dalam lahan yang telah mereka kuasai.
Sementara tingkat penguasaan lahan dan ketersediaan areal bukan
merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi, karena
masyarakat yang menjadi sasaran dalam implementasi HTR di Sarolangun
umumnya telah menguasai lahan di areal pencadangan HTR. Dengan kata lain,
sebagian besar responden menguasai lahan di areal pencadangan, sehingga faktor
penguasaan lahan dan ketersediaan areal tidak menjadi faktor pembatas dalam
tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi HTR.
128
6.3.2. Modal manusia
Tabel 51 menunjukkan bahwa modal manusia memberikan pengaruh nyata
terhadap total partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan kebijakan
HTR sebesar 0.593. Modal manusia menunjukkan korelasi positif yang nyata
pada taraf 0.01 pada setiap kegiatan HTR kecuali pada kegiatan pemanfaatan.
Bila dilihat dari masing-masing unsur modal manusia, ketiganya memiliki
pengaruh yang nyata terhadap tingkat partisipasi masyarakat.
Tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi
masyarakat pada kegiatan perencanaan dan pemeliharaan/evaluasi, sedangkan
tingkat pendapatan berpengaruh nyata terhadap kegiatan pelaksanaan,
pemanfaatan dan pemeliharaan; dan tingkat pengetahuan berpengaruh nyata
perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan.
Kegiatan perencanaan dalam implementasi kebijakan HTR meliputi (a)
pertemuan guna pembentukan kelompok; (b) pertemuan untuk menentukan
lokasi, pembuatan sketsa lahan, pembagian lahan, penentuan jenis tanaman dan
penentuan aturan main kelompok; (c) pengurusan izin; (d) penyusunan RKU dan
RKT; (e) penataan areal; dan (d) pembuatan jalan dan pondok kerja. Kegiatan
perencanaan ini sangat terkait dengan kemampuan seseorang dalam berpikir.
Hasil korelasi pada Tabel 51 yang menunjukkan bahwa modal manusia yang
berperan dalam kegiatan ini adalah tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan.
Modal manusia yang berpengaruh nyata secara positif terhadap pelaksanaan
adalah tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan. Pengetahuan seseorang
terhadap kebijakan HTR sangat membantu dalam proses pelaksanaan kegiatan
HTR karena kebijakan HTR menuntut seseorang untuk berbudidaya tanaman
berkayu. Sebagian besar masyarakat belum terbiasa menanam tanaman berkayu
sehingga tingkat pengetahuan sangat penting pada kegiatan pelaksanaan dalam
implementasi kebijakan HTR. Faktor finansial juga memiliki pengaruh yang
besar. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang maka modal yang dimiliki
untuk melaksanakan budidaya tanaman berkayu akan semakin besar, sehingga
tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan pelaksanaan akan semakin besar.
Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat umumnya adalah
memanen tanaman karet alam yang telah berproduksi. Mereka yang memiliki
129 tingkat pendapatan yang tinggi merupakan petani pemilik lahan yang telah
dimanfaatkan, sedangkan sisanya adalah buruh sadap karet yang bekerja
menyadap karet di kebun orang lain. Meskipun sebagian dari mereka telah
menguasai lahan dalam kawasan hutan, namun umumnya masih berupa semak
belukar atau tanaman yang ada masih belum berproduksi. Hal ini menyebabkan
tingkat pendapatan berpengaruh nyata terhadap kegiatan pemanfaatan dalam
implementasi kebijakan HTR.
Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh responden terbatas
pada kegiatan penyiangan dan pengamanan tanaman dari hama seperti babi dan
monyet terutama pada tanaman yang masih muda. Pemupukan tidak pernah
dilakukan, sedangkan penyulaman hanya dilakukan oleh beberapa responden.
Untuk menghindari penyulaman, sebagian masyarakat menyebar benih atau
menanam bibit dengan jarak tanam yang sangat rapat untuk mengantisipasi
serangan hama sehingga hasil tanamannya tidak rapi.
Berdasarkan Tabel 51 ketiga unsur pembentuk modal manusia berpengaruh
nyata secara positif terhadap kegiatan pemeliharaan. Tingkat pendidikan dan
pengetahuan akan sangat berpengaruh terhadap upaya responden memelihara
tanaman yang ada, sedangkan tingkat pendapatan akan berpengaruh dalam
penyediaan modal usaha.
6.3.3. Modal Sosial
Modal manusia memberikan pengaruh nyata terhadap partisipasi masyarakat
dalam mengimplementasikan kebijakan HTR sebesar 0.016 pada taraf 0.05.
Tabel 51 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat berkorelasi positif
dengan keterlibatan dalam organisasi sosial dan kepedulian terhadap sesama,
namun berkorelasi negatif dengan kepatuhan terhadap norma. Hal ini
membuktikan bahwa kelompok sosial yang dibangun oleh masyarakat bermanfaat
dalam implementasi kebijakan HTR. Keikutsertaan tersebut dilakukan sebagai
akibat terjadinya interaksi sosial antara individu yang bersangkutan dengan
anggota masyarakat lain (Raharjo, 1983 dalam Yuwono, 2006).
130 6.4. Derajat Kesukarelaan dan Tingkatan Partisipasi Masyarakat dalam
Implementasi HTR
Berdasarkan tipologi tingkat kesukarelaan responden dalam berpartsipasi
menurut Dusseldorp (1981), partisipasi masyarakat di lokasi penelitian dalam
implementasi HTR termasuk ke dalam katagori partisipasi terinduksi. Partisipasi
tumbuh karena adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh atau
dorongan) dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh
untuk berpartisipasi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain: (1) responden ikut
serta karena pengaruh dari tokoh masyarakat, teman atau anggota keluarga tanpa
adanya pengetahuan yang cukup mengenai program HTR, sehingga mereka
enggan berpartisipasi dalam setiap kegiatan HTR; (2) responden ikut serta karena
teridentifikasi sebagai pemilik (penguasa) lahan di areal HTR, sehingga tidak
punya pilihan selain ikut serta dalam kegiatan HTR untuk mendapatkan legalitas
lahan yang dikelola. Keterpaksaaan membuat mereka tidak antusias berpartisipasi
dalam tahapan kegiatan HTR (Pudjiastuti, 2011).
Oleh karena itu, tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi HTR
berbeda-beda tergantung pada alasan yang dimilikinya. Alasan yang dimiliki
responden dan tingkat berpartisipasi dalam HTR umumnya adalah:
1. Sebagai formalitas karena mereka menguasai lahan di areal yang telah
dicadangkan untuk HTR sehingga yang tercantum hanya namanya saja.
2. Berpartisipasi karena diajak oleh pemuka/tokoh masyarakat (dianggap tidak
berdaya) sehingga berpartisipasi hanya ikut-ikutan dan sekedar hadir saja.
3. Berpartisipasi karena ingin tahu sesuatu yang melibatkan dirinya sehingga
berpartisipasi hanya untuk mendengarkan informasi saja.
4. Berpartisipasi karena mengetahui bahwa HTR itu penting bagi mereka
sehingga mereka banyak bertanya mengenai HTR dan memberikan masukan
meskipun masukan mereka jarang dipertimbangkan.
5. Berpartisipasi karena mengetahui bahwa HTR penting dan ingin berdiskusi
lebih lanjut mengenai implementasi HTR di lahan mereka
131 6. Berpartisipasi secara aktif dan mendapatkan tanggung jawab dalam
mengimpelentasikan HTR namun belum memiliki hak untuk ikut serta dalam
pembuatan keputusan
7. Berpartisipasi aktif dan memiliki kewenangan dalam membuat keputusan
8. Berpartisipasi secara aktif, memiliki tanggung jawab penuh atas keberhasilan
implementasi HTR
Berdasarkan alasan-alasan di atas, disusun tingkatan (level) partisipasi
masyarakat yang disesuaikan dengan ladder patern dalam berpartisipasi menurut
Arnstein (1969) sebagaimana disajikan pada Tabel 52.
Tabel 52 Tingkatan partisipasi masyarakat dalam Implementasi HTR Tingkatan Partisipasi
Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung n % n % n % n %
1. Formalitas 5 18.52 2 8.00 1 3.45 8 9.88 2. Sekedar hadir 6 22.22 7 28.00 3 10.34 16 19.75 3. Ingin tahu 11 40.74 12 48.00 7 24.14 30 37.04 4. Mulai aktif 5 18.52 4 16.00 9 31.03 18 22.22 5. Aktif berdiskusi 0 0.00 0 0.00 4 13.79 4 4.94 6. Mulai diberi
tanggungjawab 0 0.00 0 0.00 2 6.90 2 2.47 7. Kewenangan
memutuskan 0 0.00 0 0.00 2 6.90 2 2.47 8. Tanggung
jawab Penuh 0 0.00 0 0.00 1 3.45 1 1.23 Total 27 25 29 81
Dari tabel tersebut diketahui bahwa tingkatan partisipasi masyarakat dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR di Desa Lamban Sigatal dan Desa Seko
Besar memasuki tahap pemberian informasi (informing). Tingkat partisipasi
masyarakat pada tahap ini merupakan transisi antara tidak ada partisipasi dengan
tokenism. Pada tahap ini terdapat dua karakteristik yang bercampur. Pemberian
informasi pada masyarakat di satu sisi merupakan langkah awal partisipasi, namun
di sisi lain tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik
merupakan ciri tokenism
Dua ciri utama dalam tahap informing terlihat jelas dalam implementasi
kebijakan HTR di lokasi penelitian. Pertama adalah pemberian informasi
mengenai hak-hak, tanggung jawab dan pilihan-pilihan masyarakat yang
merupakan langkah pertama menuju partisipasi masyarakat. Dalam hal ini
132 masyarakat diberikan informasi mengenai kebijakan HTR meliputi definisi HTR,
manfaat HTR bagi masyarakat, tata cara permohonan HTR, pola HTR, jenis
tanaman yang boleh ditanam dan lain-lain. Masyarakat diajak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan HTR melalui sosialisasi. Kedua, pemberian informasi ini terjadi
hanya merupakan informasi satu arah (dari aparat pemerintah kepada masyarakat).
Tidak ada ruang bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik (feedback).
Berbeda dengan proses partisipasi di Desa Taman Bandung yang telah
memasuki level konsultasi (consultation). Komunikasi telah berlangsung dua arah
antara pemerintah daerah dengan masyarakat, di mana masyarakat (meskipun
hanya beberapa orang) telah mulai dapat diajak untuk berdiskusi mengenai
kendala-kendala yang mereka hadapi dan apa yang mereka butuhkan dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR. Meskipun memang tidak ada jaminan
perhatian-perhatian masyarakat dan ide-ide mereka akan dijadikan bahan
pertimbangan dalam kebijakan HTR. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
kendala yang dihadapi masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR adalah (1)
kesulitan dalam menyusun RKT dan RKU; (2) kebutuhan bibit.
Hal ini sangat kontras dengan asumsi yang digunakan oleh pembuat
keputusan dalam merumuskan kebijakan HTR. Asumsi yang digunakan
Kementerian Kehutanan dalam menyusun kebijakan HTR adalah masyarakat
dapat menjadi mitra pemerintah dalam mengelola hutan. Untuk itu masyarakat
dituntut menjadi enterpreneur yang dapat berpartisipasi aktif dalam
mengimplementasikan HTR.
Bila ditelaah lebih lanjut, implementasi kebijakan HTR secara ideal
menuntut masyarakat untuk sampai pada level pendelegasian kekuasaan
(delegated power). Secara teori, kebijakan HTR mendelegasikan kegiatan
pengelolaan hutan produksi yang ada dalam areal pencadangan HTR kepada
masyarakat. Pada level ini masyarakat memegang kekuasaan yang signifikan
untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang akan mereka laksanakan dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR, meliputi: jenis tanaman yang akan mereka
tanam, pola penanamannya, kapan mereka akan menanam, kapan mereka akan
memanen, dengan siapa mereka akan bekerjasama dan lain-lain. Meskipun
133 demikian, terdapat beberapa peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat agar
hak pengelolaan tersebut tetap berada pada masyarakat.
Melihat kenyataan di lapangan, akan sangat sulit bagi masyarakat untuk
sampai pada level pendelegasian kekuasaan (delegated power). Struktur hubungan
yang telah terbangun oleh pemerintah daerah dan masyarakat selaku pelaku
kebijakan belum mampu menempatkan masyarakat sebagai aktor tunggal
pengelolaan hutan. Di satu sisi, pemerintah daerah masih belum mampu
mengubah paradigma pengelolaan hutan dari berorientasi pada negara (state
oriented) menjadi berorientasi pada masyarakat (people oriented) dan di sisi lain,
mental masyarakat masih belum siap untuk menjadi seorang enterpreneur.
Beberapa langkah yang diambil oleh pemda untuk mengatasi kendala yang
ada di lokasi penelitian (khususnya Desa Taman Bandung) adalah pembuatan
demplot dan pemberian bantuan bibit. Hal ini sesungguhnya tidak dapat
memecahkan masalah karena belum dapat membangun jiwa entrepreneurship dan
keberdayaan dalam masyarakat, namun hal tersebut justru membuat tingkat
ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah menjadi cukup besar.
6.5 Prospek Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun
Secara sederhana kondisi yang terjadi di Kabupaten Sarolangun dapat
dilukiskan sebagai berikut: pemerintah membutuhkan cara agar kawasan hutan
produksi yang telah kritis (berupa semak dan belukar) dapat berhutan kembali.
Untuk itu, pemerintah berharap masyarakat yang berada di dalam dan sekitar
hutan bersedia untuk membantu pemerintah dalam membangun hutan. Namun,
pemerintah tidak bersedia bila jumlah kawasan hutan berkurang, sehingga bentuk
yang ditawarkan pemerintah kepada masyarakat yang bersedia berpartisipasi
dalam membangun hutan adalah izin pengelolaan bukan hak milik.
Di lain pihak, pasca berakhirnya HPH PT. PITCO kawasan hutan produksi
menjadi open access. Kebiasaan masyarakat berladang berpindah menyebabkan
masyarakat membutuhkan lahan yang luas untuk dijadikan lokasi berkebun hingga
mengokupasi kawasan hutan yang sebelumnya dikuasai oleh PT. PITCO.
Peraturan adat yang selama ini menjadi panutan hidup masyarakat, tidak
menyalahkan tindakan mereka. Penguasaan lahan hutan produksi menjadi legal
secara de facto oleh masyarakat. Sebagai tanda penguasaan lahan, masyarakat
134 menanam tanaman karet alam dan tanaman berkayu lain (sengon, balam, jabon,
dan lain-lain) yang dibiarkan tumbuh tanpa adanya usaha untuk merawatnya.
Adanya kebijakan HTR telah memberikan peluang pada masyarakat untuk
mengelola kawasan hutan produksi (yang sebelumnya telah mereka kuasai) secara
legal. Kebijakan ini sesungguhnya disambut baik oleh masyarakat. Namun
progress implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun cukup rendah.
Hal ini disebabkan antara lain oleh: (1) adanya batasan yang diberikan oleh
kebijakan ini terutama dalam hal penentuan jenis tanaman; dan (2) sulitnya
masyarakat untuk mendapatkan bantuan modal. Hal ini menyebabkan proses
implementasi kebijakan HTR berjalan lambat.
Diketahui bahwa sejak kebijakan HTR diinisiasi tahun 2007 hingga Mei
2011 baru 18 orang (yang tergabung dalam empat kelompok tani hutan) yang
mendapatkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTR di
Kabupaten Sarolangun. Tabel 53 menunjukkan daftar pemegang IUPHHK-HTR
di Kabupaten Sarolangun.
Tabel 53 Pemegang IUPHHK-HTR di Kabupaten Sarolangun hingga Mei 2011 No Nomor
Keputusan Tanggal Luas
(Ha) Nama
Pemegang Kelompok Tani Hutan
(KTH) 1 01 thn 2009 30 Maret 2009 15,00 A.Wakid Maju Jaya T. Bandung 2 02 thn 2009 30 Maret 2009 13,00 Nyoto Usaha Tani T. Bandung 3 03 thn 2009 30 Maret 2009 10,00 A.Kosim Bukit Lintang T. Bandung 4 04 thn 2009 30 Maret 2009 6,00 Karnoto Sumber Rejeki T. Bandung 5 105 thn 2010 15 Maret 2010 4,28 Sapari Maju Jaya T. Bandung 6 106 thn 2010 15 Maret 2010 5,11 Nurainun Maju Jaya T. Bandung 7 107 thn 2010 15 Maret 2010 8,00 Asri Maju Jaya T. Bandung 8 108 thn 2010 15 Maret 2010 6,00 Zaidan Maju Jaya T. Bandung 9 109 thn 2010 15 Maret 2010 6,93 Sapri Maju Jaya T. Bandung 10 110 thn 2010 15 Maret 2010 7,40 Kardi Maju Jaya T. Bandung 11 111 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Aming S Bukit Lintang T. Bandung 12 112 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Rahman M Bukit Lintang T. Bandung 13 113 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 A.Kosasi AR Bukit Lintang T. Bandung 14 114 thn 2010 15 Maret 2010 10,00 Nuraina Bukit Lintang T. Bandung 15 115 thn 2010 15 Maret 2010 7,23 Suyatno Sumber Rejeki T. Bandung 16 116 thn 2010 15 Maret 2010 7,62 Sar’i Sumber Rejeki T. Bandung 17 117 thn 2010 15 Maret 2010 10,50 Suhari Usaha Tani T. Bandung 18 118 thn 2010 15 Maret 2010 7,59 Sunardi Usaha Tani T. Bandung Sumber : BP2HP Wilayah IV Jambi (2011)
Seluruh pemegang IUPHHK HTR di Kabupaten Sarolangun merupakan
warga Desa Taman Bandung, sedangkan dua desa lainnya yang menjadi lokasi
penelitian masih dalam proses sosialisasi dan pembuatan ijin.
135
Berdasarkan evaluasi isi kebijakan, proses implementasi kebijakan HTR
berjalan lambat karena masih terdapat terdapat perbedaan persepsi terhadap tujuan
kebijakan HTR, dimana Kementerian Kehutanan selaku pembuat kebijakan
menekankan bahwa tujuan kebijakan HTR adalah memperbaiki kualitas hutan
produksi, sedangkan masyarakat dan pemerintah daerah selaku pelaku kebijakan
mengharapkan kebijakan HTR lebih bersifat pemberdayaan.
Dalam konsep pemberdayaan, proses pemberdayaan menekankan pada
proses pemberian kemampuan pada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong
atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan pilihan hidupnya (Mardikanto, 2010). Namun demikian dalam
implementasinya, seringkali terdapat bias dalam memahami makna
pemberdayaan, antara lain: (1) anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang
berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman atau aspirasi pembangunan
dari lapisan bawah; (2) anggapan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu
apa yang harus dilakukan atau bagaimana memperbaiki nasib mereka; (3)
anggapan bahwa pembangunan masyarakat di lapisan bawah lebih membutuhkan
bantuan material dibandingkan keterampilan teknis dan manajerial (Mardikanto.
2010).
Meskipun pemda beranggapan HTR adalah kebijakan yang bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat, ketiga bias di atas terjadi dalam implementasi
kebijakan HTR. Akibatnya langkah yang diambil pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan HTR masih bersifat top down, dan berupa bantuan material
seperti penyediaan bibit, pembuatan demplot dan lain-lain.
Di samping perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tujuan kebijakan,
asumsi yang digunakan dalam penyusunan kebijakan HTR juga kurang sesuai
dengan kondisi di lapangan. Asumsi bahwa masyarakat telah siap untuk menjadi
enterpreneur sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kementerian Kehutanan,
masih membutuhkan langkah-langkah kongkrit untuk merealisasikannya.
Bila dilihat dari asumsi yang digunakan oleh Kementerian Kehutanan, tidak
menutup kemungkinan kebijakan HTR menjadi kebijakan yang dapat
memberdayakan masyarakat. Namun masih diperlukan pengkondisian terlebih
dahulu. Sehingga langkah-langkah dalam implementasi kebijakan HTR harus
136 lebih bertahap, tidak secara langsung masyarakat yang mendapatkan ijin harus
melakukan penanaman dan membangun HTR.
Tahap pengkondisian ini harus disesuaikan dengan kondisi para pelaku
kebijakan yang ada (masyarakat dan pemda). Cara yang dapat ditempuh adalah
dengan menunjuk pendamping yang ditempatkan pada setiap desa. Saat ini
pendamping HTR di Kabupaten Sarolangun adalah PNS Disbunhut. Penunjukan
ini dirasa kurang tepat dan proses pendampingan akan menjadi tidak maksimal.
Bantuan yang diberikan kepada masyarakat berupa pelatihan mengenai
budidaya tanaman menetap, pelatihan manajerial dan lain-lain dapat dilakukan
oleh pendamping secara bertahap pada masing-masing pemegang IUPHHK HTR
sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Pendamping HTR dapat
dimasukkan dalam struktur implementasi dan menjadi ujung tombak pemerintah
daerah dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.
Berdasarkan hasil evaluasi pelaku kebijakan diketahui bahwa kesiapan,
komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan
kebijakan HTR termasuk dalam katagori sedang-rendah. Jumlah aparat pemda
yang terlibat aktif dalam implementasi kebijakan HTR hanya 3 -4 orang dimana 2
diantaranya telah ditunjuk menjadi pendamping HTR. Dukungan finansial yang
diberikan oleh Bupati (pemda kabupaten) kurang memadai. Hal ini disebabkan
karena orientasi pembangunan kehutanan di Kabupaten Sarolangun masih kepada
pertumbuhan ekonomi, sehingga HTR dianggap kurang menguntungkan pemda.
Kemampuan pemda dalam mengimplementasikan kebijakan HTR termasuk
dalam katagori rendah, terutama dalam hal penyelesaian masalah (problem
solving) dan fasilitasi dan pengawasan. Hal ini disebabkan oleh jarak dan
aksesibilitas lokasi pengembangan HTR yang jauh dan silit dijangkau.
Untuk meningkatkan kesiapan, komitmen dan kemampuan pemerintah
daerah, beberapa hal yang dapat ditempuh antara lain:
1. Menambah jumlah pendamping yang berasal dari luar lingkup Disbunhut
Kabupten Sarolangun, yang dapat dijadikan ujungh tombak implementasi
kebijakan HTR.
137 2. Memberikan fasilitas yang memadai kepada Disbunhut Kabupaten untuk
mengimplementasikan kebijakan HTR baik berupa sarana prasarana
transportasi maupun dana dalam pelaksanaannya
3. Memberikan pelatihan terutama dalam hal manajemen konflik, problem
solving, fasilitator dan monitoring. Modal-modal yang dimiliki oleh masyarakat termasuk dalam katagori
rendah, baik modal fisik, modal manusia dan modal sosial. Modal fisik yang
dimiliki oleh masyarakat, terutama lahan dan keberadaan tanaman cukup tinggi.
Penguasaan lahan rata-rata masyarakat di lokasi peneltian adalah 4,99 Ha,
meskipun status kawasan masih belum legal.
Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kebijakan HTR cukup tinggi
karena sebagian besar responden merupakan anggota masyarakat yang pernah
mendapatkan penyuluhan (sosialisasi) mengenai HTR. Tingginya pengetahuan
masyarakat ini menunjukkan bahwa sesungguhnya minat masyarakat terhadap
HTR cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat bagaimana agar
HTR dapat diterimaa oleh masyarakat.
Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat termasuk dalam katagori
sedang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki modal sosial yang
cukup dalam mengimplementasikan kebijakan HTR. Namun karena terdapat
beberapa peraturan dalam kebijakan HTR bertentangan dengan norma yang telah
mereka anut sebelumnya, maka diperlukan strategi yang tepat dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR di lapangan.
Berdasarkan hasil evaluasi lingkungan kebijakan diketahui bahwa
masyarakat masih memiliki moral ekonomi subsisten, sehingga keinginan
masyarakat untuk berusaha agar mendapatkan pendapatan yang lebih dari sekedar
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masih sangat kecil. Selain itu masyarakat
juga memiliki kebiasaan untuk menanam tanaman karet, karena karet merupakan
sumber kehidupan mereka. Untuk megimplementasikan kebijakan HTR
dibutuhkan strategi yang dapat mengakomodir kondisi masyarakat ini.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya prospek kebijakan HTR
di Kabupaten Sarolangun rendah. Masih dibutuhkan upaya yang lebih kongkrit
138 dalam mengemas kebijakan HTR agar dapat diimplementasikan di Kabupaten
Sarolangun.
VII. PERUMUSAN STRATEGI IMPLEMENTASI
7.1 Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor
internal dan eksternal berdasarkan kajian di lapangan terhadap: (1) modal fisik,
modal manusia dan modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat; (2) kesiapan,
komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam implementasi HTR; dan (3)
kondisi lingkungan dimana kebijakan HTR akan diimplementasikan. Faktor-
faktor SWOT diidentifikasi berdasarkan penilaian beberapa stakeholders yang
berasal dari unsur Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun dan
tokoh masyarakat. Faktor-faktor yang diidentifikasi meliputi faktor yang berasal
dari dalam masyarakat (internal) dan faktor yang berasal dari luar masyarakat
(eksternal).
7.1.1 Faktor internal
Implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun akan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki oleh masyarakat selaku kelompok target dari implementasi HTR.
Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi dengan beberapa stakeholders, diketahui
faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang diduga akan memiliki
pengaruh terhadap implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun adalah:
a. Kekuatan (strengths)
- Mayoritas masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR
- Masyarakat percaya bahwa dengan ikut HTR maka kegiatan pemanfaatan
hutan produksi akan menjadi legal
- Masyarakat memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup memadai
- Tingkat pengetahuan masyarakat tentang HTR cukup memadai
- Masyarakat memiliki tingkat kepercayaan terhadap sesama yang tinggi
- Masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang baik terhadap instansi
pemerintah daerah
- Masyarakat masih mematuhi norma-norma sosial yang berlaku dalam
komunitas baik tertulis maupun tidak tertulis seperti adat istiadat, aturan
agama, aturan pemerintah, kejujuran, kesopanan dan kerukunan
140
- Masyarakat memiliki tingkat kepedulian terhadap sesama yang tinggi
- Masyarakat memiliki keinginan untuk ikut serta dalam program HTR yang
cukup tinggi
b. Kelemahan (weakness)
- Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet sebagai tanaman pokok di
lahan yang termasuk dalam pencadangan HTR
- Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah
- Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah
- Masyarakat memiliki tingkat kepercayaan terhadap orang asing yang
rendah
- Masyarakat sukar percaya pada orang lain bila berhubungan dengan uang
- Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR
- Sarana transportasi dan aksesibilitas menuju desa dan lokasi HTR sangat
buruk dan tidak mendukung
- Budaya masyarakat kurang mendukung
Hasil penilaian bobot dan rating rata-rata tiap faktor internal diperoleh dari
beberapa stakeholders sebagaimana terlihat pada lampiran 9 dan 11. Hasil
evaluasi dan skor nilai masing-masing faktor internal atau internal factor
evaluation (IFE) dapat dilihat pada Tabel 53.
Tabel 53 menunjukkan bahwa peubah kekuatan yang memiliki nilai
pengaruh tertinggi adalah ‘masyarakat percaya bahwa dengan ikut HTR maka
kegiatan pemanfaatan hutan produksi akan menjadi legal’ (0.304) . Hal ini
merupakan sebuah kenyataan yang cukup menguntungkan bagi implementasi
kebijakan HTR, karena dalam peraturannya HTR menegaskan bahwa kawasan
yang dijadikan pencadangan HTR adalah hutan produksi yang secara de yure
adalah milik Negara. Dengan adanya pengakuan masyarakat bahwa lahan yang
secara de facto diakui milik mereka adalah kawasan hutan produksi, maka
pekerjaan Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah untuk menyadarkan
masyarakat bahwa lahan mereka adalah milik negara secara tidak langsung telah
teratasi.
141 Tabel 53 Matriks IFE dalam implementasi kebijakan HTR di Sarolangun
No Faktor Internal Bobot Rating Bobot skor
A Kekuatan 1 Kepemilikan lahan di areal HTR 0.08 3.60 0.287 2 Kepercayaan bahwa dengan HTR dapat
melegalkan pemanfaatan hutan produksi 0.08 3.60 0.304 3 Tingkat pendidikan formal yang memadai 0.05 3.00 0.165 4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup 0.07 3.60 0.270 5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 0.04 3.00 0.134 6 Tingkat kepercayaan terhadap instansi
pemerintah daerah cukup 0.05 3.40 0.180 7 Norma sosial masih dipatuhi masyarakat 0.04 2.40 0.106 8 Tingkat kepedulian terhadap sesama yang cukup
tinggi 0.05 2.20 0.101 9 Keinginan untuk ikut serta dalam program HTR
yang cukup tinggi 0.08 3.60 0.287 Total 0.56 28.40 1.834 B Kelemahan
1 Mayoritas masyarakat menanam karet 0.05 3.40 0.157 2 Tingkat pendidikan informal yang rendah 0.04 2.40 0.107 3 Tingkat pendapatan yang rendah 0.07 3.80 0.264 4 Kepercayaan pada orang asing rendah 0.04 1.60 0.059 5 Sukar percaya pada orang lain bila berhubungan
dengan uang 0.05 2.00 0.099 6 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi
dalam HTR 0.06 2.40 0.137 7 Transportasi dan aksesibilitas buruk 0.07 3.60 0.252 8 Budaya masyarakat yang kurang mendukung 0.07 3.20 0.208
Total 0.44 20.80 1.283 Kecenderungan terhadap faktor internal 1,000 0.550
Peubah yang memiliki nilai pengaruh terkecil dari kekuatan adalah
‘tingkat kepedulian terhadap sesama” (0.101). Hal ini kurang sesuai dengan hasil
analisis korelasi yang menyebutkan bahwa tingkat kepedulian terhadap sesama
(solidarity) berkorelasi positif dengan tingkat partisipasi masyarakat.
‘Tingkat pendapatan yang rendah’ merupakan peubah yang memiliki
pengaruh terbesar (0.264) di sisi kelemahan, sedangkan pengaruh terkecil adalah
‘kepercayaan terhadap orang asing’ (0.083). Kondisi di lapangan menunjukkan
bahwa kelemahan masyarakat di lokasi penelitian dalam implementasi HTR
umumnya adalah kesulitan dalam hal permodalan karena mayoritas masyarakat
adalah petani subsisten. Mereka menanam karet dan memanfaatkannya sebagai
142 pendapatan utama. Hal ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam
implementasi kebijakan HTR yang menganggap bahwa tanaman karet merupakan
tanaman budidaya yang hanya boleh ditanam 40% dari total luas lahan.
Total skor untuk faktor internal kekuatan sebesar 1.834 sedangkan total skor
untuk kelemahan sebesar 1.283. Kecenderungan kondisi masyarakat dalam
implementasi kebijakan HTR terhadap faktor internal (sumbu absis atau sumbu X)
dalam impelementasi kebijakan HTR mempunyai skor adalah 0.550, berada di
bawah skor rata-rata 2.50. Menurut David (2009) hal tersebut berarti bahwa
faktor-faktor kekuatan yang ada pada masyarakat belum dimanfaatkan atau
direspon sepenuhnya untuk mengatasi kelemahan yang ada.
7.1.2 Faktor eksternal
Selain dipengaruhi faktor internal, proses implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal berupa
peluang dan ancaman. Faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang
memiliki pengaruh terhadap implementasi kebijakan HTR di Kabupaten
Sarolangun adalah:
a. Peluang (opportunities)
- Pemerintah Daerah dan LSM (LP3D dan FLEGT) cukup mendukung
implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.
- PT Samhutani bersedia untuk membeli tanaman kayu yang ditanam oleh
masyarakat (peluang pemasaran).
- Kelangkaan kayu terjadi baik di tingkat desa, kecamatan, maupun
kabupaten Saroloangun dan sekitarnya.
- Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR akan menguntungkan Pemda
b. Ancaman (Treaths)
- Program KTM (Kota Terpadu Mandiri) yang diinisiasi Kementerian
Transmigrasi tengah diggalakkan di lokasi penelitian
- Belum ada jaminan berusaha terutama dari lembaga permodalan dan
instansi pemerintah sehingga masyarakat cenderung menanam dalam
jumlah kecil atau mengandalkan permudaan alam.
- Dukungan pemda masih bersifat keproyekan
- Kesiapan dan komitmen pemda dalam mendukung HTR masih rendah
143
- Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR masih rendah
- Kapasitas kepala desa dalam implementasi HTR masih rendah
- Jumlah pendamping yang belum memadai
Hasil penilaian bobot dan rating rata-rata tiap faktor eksternal diperoleh dari
beberapa stakeholders sebagaimana terlihat pada Lampiran 10 dan 12. Hasil
evaluasi dan skor nilai masing-masing faktor eksternal atau external factor
evaluation (EFE) terlihat pada Tabel 54. Peluang yang memiliki nilai pengaruh
tertinggi adalah ‘terjadinya kelangkaan kayu’ (0.235), sedangkan peluang dengan
nilai pengaruh terkecil adalah ‘persepsi bahwa kebijakan HTR akan
menguntungkan pemda’ (0.132).
Tabel 54 Matriks EFE dalam Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun
No. Faktor Eksternal Bobot Rating Total Skor A Peluang
1 Dukungan pemda dan LSM 0.07 3.4 0.235 2 Peluang pemasaran ke PT Samhutani 0.06 2.8 0.159 3 Terjadi kelangkaan kayu 0.07 3.6 0.249 4 Persepsi pemda bahwa HTR akan
menguntungkan Pemda 0.05 2.6 0.132 Total 0.25
3.052
B Ancaman 1 Adanya program KTM 0.07 1.80 0.133 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga
permodalan dan kemitraan) 0.12 2.40 0.281 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 0.12 3.00 0.347 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen pemda
dalam mendukung HTR 0.10 2.40 0.252 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam
implementasi HTR masih rendah 0.10 2.60 0.248 6 Rendahnya kapasitas kepala desa dalam
implementasi HTR 0.11 2.80 0.315 7 Jumlah pendamping yang belum memadai 0.13 3.20 0.429
Total 0.75 2.005 Kecenderungan terhadap faktor Eksternal 1.00 1.048
Kelangkaan kayu merupakan kondisi yang memprihatinkan namun
menguntungkan bagi implementasi kebijakan HTR. Berdasarkan hasil wawancara
dengan pelaku usaha pertukangan di desa Lamban Sigatal diketahui bahwa saat ini
sudah sangat sulit untuk mendapatkan kayu dengan jenis dan kualitas yang baik.
Saat ini umumnya masyarakat desa telah menggunakan kayu jenis campuran yang
144 berkualitas rendah sebagai bahan baku untuk pertukangan. Hal ini terpaksa
dilakukan karena ketersediaan kayu dengan jenis dan kualitas yang baik sangat
terbatas. Umumnya hanya beberapa responden yang memiliki kayu dengan jenis
yang bagus di lahan mereka.
Persepsi pemda mengenai keuntungan kebijakan HTR terhadap instansi
mereka memiliki pengaruh yang kecil karena saat ini isu mengenai HTR sudah
tidak catchy seperti dulu saat HTR baru digulirkan. Perlu upaya ekstra untuk
menghidupkan kembali semangat pemerintah daerah dalam mendukung
implementasi HTR.
Nilai pengaruh terbesar pada peubah ancaman adalah ‘jumlah pendamping
yang belum memadai’ (0.429) sedangkan peubah yang mempunyai pengaruh
terkecil adalah ‘adanya program KTM’ (0.133). Pendamping implementasi HTR
di Kabupaten Sarolangun berjumlah tiga orang dan ketiganya merupakan staff
dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. Guna
meningkatkan kinerja implementasi kebijakan HTR, jumlah pendamping ini
hendaknya ditambah dan bukan berasal dari kalangan PNS Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Sarolangun, mengingat jarak lokasi yang cukup jauh dan
aksesibilitas jalan yang buruk.
Meskipun dianggap mempunyai pengaruh yang kecil, namun keberadaan
KTM di lokasi penelitian cukup menjadi ancaman. Program KTM yang diinisiasi
oleh Kementerian Transmigrasi ini mempunyai misi membentuk sebuah kawasan
terpadu di Kecamatan Pauh yang dapat menjadi sentral perdagangan dan industri.
Dalam programnya, Kementerian Transmigrasi dan Pemda Kecamatan Pauh
bermaksud untuk membeli lahan yang akan dikembangkan sebagai KTM dengan
harga yang layak.
Mengingat lemahnya sistem administrasi agraria di daerah pedesaan
Sumatera (termasuk Kabupaten Sarolangun) menyebabkan ketiadaan sertifikat
tanah bagi lahan-lahan penduduk. Bukti kepemilikan umumnya berupa surat
keterangan dari kepala desa dan pengakuan secara de facto dari masyarakat.
Kawasan pencadangan HTR yang merupakan hutan produksi yang telah diokupasi
oleh masyarakat, secara de facto telah diakui kepemilikannya oleh masyarakat.
145 Program KTM yang membutuhkan kawasan yang cukup luas merupakan ancaman
yang serius bagi implementasi kebijakan HTR di Sarolangun.
Tabel 54 menunjukkan bahwa total skor peluang dalam faktor eksternal
adalah 3.052 sedangkan total skor ancaman adalah 2.005. Kecenderungan kondisi
masyarakat dalam implementasi kebijakan HTR terhadap faktor eksternal (sumbu
ordinat atau sumbu Y) dalam impelementasi kebijakan HTR mempunyai skor
adalah 1.048, berada di bawah skor rata-rata 2.50. Menurut David (2009) hal
tersebut berarti bahwa masyarakat belum mampu merespon setiap peluang yang
ada untuk menghindari ancaman yang datang dari luar.
7.2 Tahap Analisis Data
Setelah dilakukan evaluasi terhadap faktor-faktor internal dan eksternal,
selanjutnya adalah tahap pemaduan antara faktor kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman. Tahap pemaduan dilakukan dengan menggunakan matriks SWOT
untuk mencari alternatif strategi terbaik untuk mengimplementasikan kebijakan
HTR di Kabupaten Sarolangun. Matrik SWOT untuk analisis mencari strategi
implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun dapat dilihat pada Gambar
19.
146
FAKTOR INTERNAL Kekuatan/Strength (S) Kelemahan/Weakeness (W)
FAKTOR EKSTERNAL
1. Kepemilikan lahan HTR 2. Kepercayaan bahwa HTR
dapat melegalkan lahan 3. Tingkat pengetahuan tentang
HTR cukup 4. Tingkat pendidikan formal
yang memadai 5. Tingkat kepercayaan terhadap
sesama tinggi 6. Kepercayaan masyarakat
terhadap instansi pemda 7. Norma sosial masih dipatuhi
masyarakat 8. Tingkat kepedulian terhadap
sesama yang cukup tinggi 9. Keinginan untuk ikut serta
dalam program HTR yang cukup tinggi
1. Masyarakat menanam karet 2. Kepercayaan pada orang
asing rendah 3. Tingkat pendidikan
informal yang rendah 4. Tingkat pendapatan yang
rendah 5. Sukar percaya pada orang
lain bila berhubungan dengan uang
6. Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR
7. Transportasi dan aksesibilitas buruk
8. Budaya masyarakat yang kurang mendukung
Peluang /Opprotunity(O) Strategi S-O Strategi W-O 1. Adanya dukungan
pemda dan LSM 2. Peluang pemasaran ke
PT Samhutani 3. Kelangkaan Kayu 4. Persepsi pemda bahwa
HTR menguntungkan pemda
1. Mengakomodir pemafaatan lahan yang ada saat ini sebagai salah satu bentuk HTR (S1.S2,S3,S4,S6,S7,S9,O1,O2)
2. Mengotimalkan dukungan pemda melalui pendampingan dan sosialisasi yg intensif (S1,S2,S3,S6,S8,O1,O2)
3. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan pemasaran sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam kayu (S1,S4,S5,S6,O2,O3)
1. Mengarahkan dukungan pemda pada capacity building masyarakat dan perrbaikan sarpras jalan (W2,W3,W7,W8,01,04)
2. Mengupayakan regulasi agar tanaman karet dapat menjadi tanaman pokok (W1,W4,W5,W6,O1,O2)
3. Memberikan kesempatan warga luar desa untuk berpartisipasi dalam HTR (W6,W8,O1,O4)
Ancaman/Threats (T) Strategi S-T Strategi W-T 1. Adanya program KTM 2. Belum adanya jaminan
berusaha 3. Dukungan Pemda masih
bersifat keproyekan 4. Rendahnya kesiapan dan
komitmen Pemda dalam mendukung HTR
5. Tingkat koordinasi antar instansi asih rendah
6. Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR
7. Jumlah pendamping yang belum memadai
1. Menanamkan pada masyarakat bahwa HP bukan hak milik (S1,S2,S4,S6,T1)
2. Mengarahkan dukungan pemda pada hal yang bersifat pengadaan sarpras (S6,S7,T3)
3. Mengotimalkan peran tokoh mayarakat (S5,S8.T5,T6)
4. Meningkatkan koordinasi antar sector (S4,S5,S6,S8,T4,T5)
1. Membetuk lembaga keuangan alternatif tingkat desa (W3,W4,W5,T2,T3)
2. Menambah jumlah pendamping HTR (W3,W8,T7)
Gambar 19 Matriks SWOT Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Sarolangun
147
Gambar 19 memperlihatkan 12 alternatif strategi yang dapat dikembangkan
dalam rangka implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun. Alternatif
strategi tersebut adalah:
A. Strategi S-O (Strength-Opportunities atau Kekuatan-Peluang)
Strategi S-O merupakan strategi agresif yang didasarkan pada pemanfaatan
seluruh kekuatan internal yang dimiliki oleh masyarakat untuk memanfaatkan
peluang eksternal sehingga diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Alternatif strategi S-O adalah:
a. Mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai
salah satu bentuk HTR
b. Mengoptimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi HTR
melalui sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mengenai pentingnya
kebijakan HTR dan pendampingan
c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran sebagai
rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu
B. Strategi W-O (Weakness-Opportunities atau Kelemahan-Peluang)
Strategi W-O merupakan strategi konservatif yang didasarkan pada
pemanfaatan seluruh peluang eksternal untuk untuk mengatasi kelemahan internal
yang ada pada masyarakat. Alternatif strategi W-O yaitu:
a. Mengarahkan dukungan pemerintah ke arah capacity building masyarakat
baik berupa penyuluhan, pelatihan dan lain-lain
b. Mengupayakan regulasi agar tanaman karet dapat menjadi tanaman pokok
dalam kawasan HTR
c. Memberikan kesempatan bagi warga dari luar desa untuk berpartisipasi dalam
implementasi kebijakan HTR
C. Strategi S-T (Strengths-Threats atau Kelemahan-Peluang)
Strategi E-T merupakan strategi kompetitif yang didasarkan pada
pemanfaatan seluruh kekuatan internal untuk untuk menghindari atau mengurangi
dampak ancaman eksternal. Alternatif strategi S-T yaitu:
a. Menanamkan kesadaran pada masyarakat bahwa hutan produksi bukan hak
milik sehingga tidak dapat diperjualbelikan
148 b. Mengarahkan dukungan pemda pada pengadaan sarana dan prasarana untuk
implementasi kebijakan HTR seperti pengadaan bibit tanaman berkayu dan
peminjaman modal pada masyarakat
c. Mengoptimalkan peranan tokoh masyarakat dan pemuka agama
d. Meningkatkan koordinasi antar sektor dalam implementasi HTR
e. Menambah jumlah pendamping HTR
D. Strategi W-T (Weakness-Threat atau Kelemahan-Ancaman)
Strategi W-T merupakan strategi defensif yang didasarkan pada peminimalan
kelemahan internal untuk untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman
eksternal. Alternatif strategi W-T yaitu:
a. Membentuk lembaga keuangan alternatif tingkat desa
b. Menambah jumlah pendamping HTR
Strategi implementasi kebijakan HTR terpilih yang memungkinkan untuk
diimplementasikan bergantung pada hasil pertemuan sumbu x (faktor internal) dan
sumbu y (faktor eksternal). Dari hasil pertemuan kedua sumbu tersebut diketahui
bahwa kecenderungan posisi masyarakat pada implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun berada pada kuadran I yaitu pada titik (0.550;1.048).
Berdasarkan kedudukan titik kecenderungan tersebut, maka strategi yang akan
diterapkan pada implementasi kebijakan HTR adalah strategi yang bersifat
agresif. Gambar 20 memperlihatkan kedudukan posisi strategis implementasi
kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun.
Gambar 20 Kedudukan Posisi Strategi Implementasi Kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun
Posisi pada Kuadran 1 (satu) merupakan situasi yang menguntungkan. Pada
Strategi Agresif ini, implementasi kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun harus
Y
X
(0.550;1.048)
149 menghindari faktor-faktor yang bersifat ancaman, sedangkan peluang yang ada
harus dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan segenap kekuatan
yang dimiliki masyarakat meskipun secara internal mereka juga mempunyai
beberapa kelemahan dalam mengimplementasikan kebijakan HTR.
Dengan demikian, strategi implementasi kebijakan HTR yang dipilih adalah
strategi agresif, yaitu
a. Mengakomodir pola pemanfaatan lahan saat ini sebagai salah satu bentuk
HTR
b. Mengoptimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi HTR
melalui sosialisasi dan penyuluhan yang intensif mengenai pentingnya
kebijakan HTR dan pendampingan
c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran sebagai
rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman berkayu
7.3 Tahap Pengambilan Keputusan
Tahap Pengambilan Keputusan dilakukan dengan menggunakan matriks
Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). QSPM membutuhkan penilaian
yang baik dan obyektif menggunakan skor ketertarikan atau attractiveness score
(AS). Pemberian skor ketertarikan (AS) dilakukan oleh stakeholders yang
berkompeten sehingga obyektifitas dapat dipertahankan (Lampiran 13,14 dan 15).
Hasil analisis penentuan prioritas strategi implementasi kebijakan HTR
dapat dilihat pada Tabel 55. Hasil matriks QSPM menunjukkan bahwa strategi
prioritas yang terpilih sebagai alternatif pertama adalah ‘mengakomodir pola
pemanfaatan kawasan hutan yang ada saat ini sebagai salah satu bentuk HTR’;’
dengan nilai total attractiveness score (TAS) sebesar 6.583. Alternatif strategi
kedua ‘mengotimalkan dukungan pemda dalam percepatan implementasi melalui
percepatan proses perizinan, pendampingan dan sosialisasi secara intensif
mengenai pentingnya HTR untuk masyarakat’ (nilai TAS 5.729) dan alternatif
ketiga adalah ‘menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT
Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman
berkayu’ (nilai TAS 5.697).
150 Tabel 55 Prioritas Strategi Implementasi Kebijakan HTR Kabupaten Sarolangun
Faktor Utama Bobot Strategi I Strategi II Strategi III AS TAS AS TAS AS TAS
Faktor Strategis Internal Kekuatan Kepemilikan lahan di areal HTR 0.08 3.8 0.30 3.0 0.23 3.6 0.29 HTR dapat melegalkan hutan produksi 0.08 3.8 0.32 3.8 0.32 3.2 0.27 Tk. pendidikan formal yang memadai 0.05 2.8 0.15 2.8 0.15 2.6 0.14 Tk. pengetahuan tentang HTR cukup 0.07 3.6 0.27 3.4 0.25 3.4 0.25 Tk. kepercayaan terhadap sesama tinggi 0.04 1.6 0.07 3.6 0.16 2.4 0.10 Tk. kepercayaan terhadap pemda cukup 0.05 3.8 0.20 3.8 0.20 3.4 0.18 Norma sosial masih dipatuhi masyarakat 0.04 2.8 0.12 2.2 0.09 2.4 0.10 Tk. kepedulian thd sesama cukup tinggi 0.05 2.2 0.1 2.2 0.10 2.6 0.12 Keinginan ikut serta HTR tinggi 0.08 3.8 0.30 3.2 0.25 3.6 0.29
Kelemahan Mayoritas masyarakat menanam karet 0.05 2.4 0.10 3.4 0.15 2.4 0.10 Tingkat pendidikan informal yang rendah 0.04 3.8 0.26 3.6 0.25 3.8 0.26 Tingkat pendapatan yang rendah 0.07 2.2 0.08 2.0 0.07 2.8 0.10 Kepercayaan pada orang asing rendah 0.04 2.6 0.12 2.2 0.10 2.6 0.12 Sukar percaya pada orang lain bila berhubungan dengan uang 0.05 2.6 0.14 2.2 0.12 3.0 0.17 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 0.06 3.6 0.25 3.0 0.21 3.2 0.22 Transportasi dan aksesibilitas buruk 0.07 3.4 0.22 3.2 0.20 2.8 0.18 Budaya masyarakat yang kurang mendukung 0.07 3.6 0.16 2.2 0.10 1.6 0.07
Faktor Strategis Eksnternal
Peluang Dukungan pemda dan LSM 0.07 3.8 0.26 3.4 0.23 3.2 0.2 Peluang pemasaran ke PT Samhutani 0.06 3.4 0.19 2.2 0.12 3.8 0.2 Terjadi kelangkaan kayu 0.07 3.0 0.20 3.2 0.22 4.0 0.27 Persepsi pemda bahwa HTR akan menguntungkan Pemda 0.05 3.6 0.18 3.6 0.18 3.6 0.18
Ancaman Adanya program KTM 0.07 3.0 0.22 1.6 0.11 1.6 0.11 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan dan kemitraan) 0.12 3.2 0.37 3.2 0.37 2.0 0.23 Dukungan Pemda masih keproyekan 0.12 3.6 0.41 2.6 0.30 2.6 0.30 Kesiapan & komitmen pemda rendah 0.10 3.6 0.37 2.6 0.27 2.0 0.21 Tingkat koordinasi masih rendah 0.10 3.0 0.28 2.4 0.22 2.2 0.21 kapasitas kepala desa rendah 0.11 3.2 0.36 3.2 0.36 2.8 0.31 Jumlah pendamping belum memadai 0.13 3.6 0.48 2.2 0.29 3.0 0.40
TOTAL SKOR KETERTARIKAN 6.58 5.72 5.69 PRIORITAS STRATEGI TERPILIH I II III
Keterangan AS : (1) Tidak Atraktif; (2) Kurang atraktif; (3) Cukup Atraktif; (4) Sangat Atraktif
151 7.4 Rekomendasi Strategi Implementasi Kebijakan HTR
Berdasarkan uraian terdahulu diketahui bahwa strategi implementasi
kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun yang ditawarkan adalah :
1. Alternatif pertama : mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan yang ada
saat ini sebagai salah satu bentuk HTR
2. Alternatif kedua: mengoptimalkan dukungan Pemda Kabupaten Sarolangun
dalam percepatan implementasi melalui percepatan proses perizinan,
pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR untuk
masyarakat
3. Alternatif ketiga: menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran
ke PT Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam
tanaman berkayu.
7.4.1 Akomodir pola pemanfaatan kawasan hutan saat ini sebagai salah satu bentuk HTR
Berbeda dengan penelitian Herawati (2010a) yang mengungkapkan bahwa
minat masyarakat di Kalimantan Selatan cukup tinggi terhadap HTR karena
adanya kebutuhan akan lahan, masyarakat di Kabupaten Sarolangun telah
menguasai semua lahan (90%) yang dicadangkan sebagai areal HTR. Oleh karena
itu, untuk menarik minat masyarakat terhadap program HTR diperlukan sebuah
strategi yang tidak terlalu banyak mengubah perilaku masyarakat dalam
mengelola hutan.
Dari uraian sebelumnya telah diketahui bahwa pendapatan utama
masyarakat berasal dari tanaman karet, baik sebagai petani pemilik maupun buruh
sadap. Pendapatan masyarakat yang berasal dari hasil tanaman karet mencakup
92% dari total pendapatan masyarakat. Gambar 21 menunjukkan proporsi rata-
rata pendapatan masyarakat di lokasi penelitian.
152
Gambar 21 Proporsi Rata-Rata Pendapatan Masyarakat
Hasil yang didapat dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian Sudibjo (1999) di Desa Sepunggur, Kecamatan Muara Bungo,
Kabupaten Bungo Tebo, Jambi yang menunjukkan bahwa kontribusi tanaman
karet dalam pendapatan rumah tangga petani adalah sebesar 93,88%. Kondisi ini
menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat pada tanaman karet cukup
tinggi,sehingga harus dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan HTR.
Strategi pertama yaitu mengakomodir pola pemanfaatan kawasan hutan
yang ada saat ini sebagai motivasi salah satu bentuk HTR. Strategi ini merupakan
strategi yang cukup strategis, mengingat masyarakat belum memiliki kemampuan
untuk membangun hutan yang ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh
Kementerian Kehutanan. Bila ditelaah lebih lanjut, strategi pertama ini akan
menguntungkan kedua belah pihak (pemerintah dan masyarakat). Di pihak
pemerintah, kebutuhan akan status lahan secara de facto di lapangan dapat teratasi
karena melalui program HTR secara tidak langsung masyarakat mengakui bahwa
lahan yang mereka kuasai selama ini adalah milik negara. Di pihak masyarakat,
kebutuhan akan ‘rasa aman’ terhadap penguasaan lahan dan tanaman karet mereka
akan teratasi karena pemerintah akan mengakui hak pengelolaan hutan yang
mereka miliki melalui program HTR. Dengan demikian, strategi ini dapat
memecahkan masalah land tenure yang ada di Kabupaten Sarolangun.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa saat ini sebagian besar masyarakat
(terutama di Desa Taman Bandung dan Seko Besar) telah mengakui (mengetahui)
bahwa terdapat kawasan hutan produksi di daerah mereka yang dijadikan sebagai
kawasan pencadangan HTR. Meskipun lahan yang menjadi areal pencadangan
HTR ini sebagian besar telah dikuasai oleh masyarakat, namun tetap ada
85%
7%4% 4%
Usaha Tani Karet
Buruh Sadap Karet
Pegawai Negeri Sipil
Pedagang, wiraswasta
153 ketakutan pada masyarakat bila suatu waktu lahan mereka akan diambil kembali
oleh negara.
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma yang berlaku cukup tinggi.
Hal ini berdampak pada tumbuhnya rasa takut pada diri masyarakat bila
melanggar aturan/norma yang berlaku. Fenomena adanya kebijakan HTR
menimbulkan kebingungan bagi masyarakat, karena di satu pihak mereka merasa
bahwa menurut peraturan adat, lahan yang telah mereka jadikan kebun karet
adalah milik mereka, sementara di pihak lain terdapat peraturan bahwa lahan
milik tersebut adalah milik negara.
Strategi pertama merupakan jalan tengah yang diberikan oleh kebijakan
HTR dengan mengakomodir kegiatan mereka memanfaatkan hutan produksi
sebagai sumber mencari nafkah. Strategi ini akan sangat membantu masyarakat
dalam mengatasi kebingungan yang terjadi. Dengan demikian, strategi ini juga
dapat meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan
HTR. Kebutuhan masyarakat akan ‘rasa aman’ atas lahan yang telah mereka
okupasi selama ini merupakan motivator yang kuat dalam implementasi HTR di
Kabupaten Sarolangun.
7.4.2 Optimalisasi dukungan pemerintah daerah
Schneck (2009) mengidentifikasi bahwa salah satu tantangan dalam
mengimplementasikan kebijakan HTR selain kurangnya kemampuan masyarakat
adalah kurangnya dukungan dari institusi pemerintah dalam pengembangan dan
pengelolaan HTR. Kondisi di lapangan di Sarolangun, dukungan pemerintah
daerah termasuk dalam katagori sedang. Hal ini akan menjadi peluang yang
bagus bila dimanfaatkan sebaik mungkin, karena dukungan pemerintah daerah
akan memberikan dampak yang sangat significant dalam keberhasilan
implementasi HTR. Strategi kedua merupakan alternatif strategi yang sesuai untuk
memanfaatkan dukungan pemda tersebut.
Budiman (2000) dalam Mardikanto (2010) menyebutkan bahwa terdapat
dua elemen penting dalam partisipasi masyarakat dalam usaha mereka untuk
meningkatkan taraf hidup, yaitu: (1) dengan sebesar mungkin ketergantungan
pada inisiatif dalam mengambil keputusan sendiri; dan (2) pembentukan
pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya
154 inisiatif, sifat swadaya dan kegotong-royongan yang membuatnya lebih efektif.
Berdasarkan hasil penelitian, hanya ditemukan sedikit dari masyarakat yang
memiliki inisiatif untuk mengimplementasi HTR tanpa bantuan dari pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 45) diketahui bahwa tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah cukup tinggi (61.73%).
Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat ini dapat dimanfaatkan dengan
memberikan sosialisasi secara intensif mengenai HTR, guna menumbuhkan
motivasi dalam diri masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan HTR.
Pendampingan hendaknya dilakukan dengan memilih orang yang tepat
sebagai fasilitator lapangan. Jarak lokasi dengan tempat tinggal dan penegasan
mengenai tugas fasilitator lapangan/pendamping yang difokuskan pada
implementasi kebijakan HTR dan tidak dibebani oleh tugas-tugas sampiran
mutlak diperlukan. Oleh karena itu disarankan untuk memilih pendamping di luar
lingkup PNS Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun dan
bertempat tinggal di lokasi pencadangan HTR.
Berpegang pada prinsip pemberdayaan masyarakat, maka implemetasi
kebijakan HTR hendaknya bertujuan untuk memandirikan masyarakat dan
meningkatkan taraf hidupnya. Sehingga arah pendampingan kelompok adalah
mempersiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri
kegiatannya.
7.4.3 Memanfaatkan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran
Mutaqin (2008) mengemukakan bahwa penyediaan pasar yang dapat diakses
oleh masyarakat sekitar hutan merupakan fokus utama dalam implementasi
kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Karenanya issu
mengenai kelangkaan kayu dan pemasaran dapat menjadi rangsangan bagi
masyarakat untuk menanam tanaman berkayu, di samping tanaman karet yang
telah ditanam mereka sejak dahulu.
Namun demikian untuk mengimplementasikan strategi ini tidak mudah
mengingat masyarakat yang sudah terlanjur memanfaatkan karet sebagai mata
pencaharian utama. Oleh karena itu, menawarkan sebuah inovasi baru berupa
menanam tanaman hutan berkayu adalah pekerjaan yang sangat sulit.
155
Karakteristik masyarakat di lokasi penelitian termasuk dalam katagori moral
ekonomi subsisten. Scott (1976) mengemukakan bahwa karakteristik moral
ekonomi subsisten umumnya adalah (1) mengutamakan selamat dan tidak mudah
menerima inovasi yang belum teruji; (2) tidak menyukai/menolak pasar karena
hanya melakukan kegiatan sebatas rutinitas untuk memenuhi kebutuhan sendiri;
dan (3) memiliki hubungan patron-client yang erat sebagai cara menjaga
keberlangsungan hidup bersama (Scott, 1976). Ketiga ciri tersebut ada pada
masyarakat di lokasi penelitian. Budaya masyarakat memanfaatkan tanaman karet terkait dengan budaya
peladang berpindah. Penanaman karet dilakukan sebagai penanda bahwa wilayah
tersebut merupakan daerah yang telah dikuasainya. Umumnya tanaman karet yang
ditanam berupa stek karet alam. Karena tidak ada pemeliharaan maka persentase
tumbuh dan produktifitas getah karet sangat rendah. Meskipun demikian, mampu
memberikan kontinuitas pendapatan bagi masyarakat.
Kontinuitas pendapatan dari karet merupakan jaminan mata pencaharian
berkelanjutan, yang disebut Chambers (1986) sebagai sustainability livelihood
security. Keberlanjutan mengacu pada pemeliharaan atau produktivitas
sumberdaya untuk jangka panjang. Sebuah keluarga yang mempunyai kebun karet
mempunyai sumber pendapatan tetap setiap bulannya.
Mengalihkan budaya masyarakat dari menanam tanaman karet ke jenis
tanaman lainnya sangat sulit. Pekerjaan yang harus dilakukan adalah mengubah
moral ekonomi masyarakat yang semula moral subsisten yang tidak responsif
terhadap inovasi, kearah moral ekonomi rasional yang responsif terhadap
perubahan (Wharton, 1965 dalam Mardikanto 2010).
7.5 Desain Implementasi Strategi Terpilih
Pada tahap awal, kebijakan HTR akan diimplementasikan dalam kondisi
seadanya di lapangan (tanaman karet sebagai tanaman pokok). Hal ini
dimaksudkan agar masyarakat tidak terlalu banyak dibebani oleh berbagai
peraturan dalam HTR, sehingga masyarakat dengan pola hidup yang bergantung
pada tanaman karet bersedia untuk berpartisipasi dalam HTR. Bila minat
masyarakat untuk berpartisipasi telah cukup tinggi, dibutuhkan dukungan
pemerintah daerah untuk memberikan percepatan dalam proses perizinan HTR,
156 memberikan pendampingan dan sosialisasi secara intensif pada masyarakat
mengenai pentingnya HTR.
Langkah ketiga adalah menumbuhkan minat masyarakat untuk menanam
tanaman berkayu. Langkah ini dapat ditempuh melalui pendekatan personal
kepada masyarakat oleh pendamping. Kebutuhan masyarakat akan jenis kayu
berkualitas dapat dijadikan motivasi bagi masyarakat untuk menanam tanaman
berkayu. Selain itu, terdapat potensi pasar yang cukup besar apabila masyarakat
bersedia untuk menanam tanaman sengon karena PT Samhutani menyatakan
bersedia untuk membeli kayu yang ditanam oleh masyarakat.
Untuk mengimplementasikan strategi kebijakan yang telah dirumuskan
sebelumnya, langkah awal yang dilakukan adalah mengelompokkan areal
pencadangan HTR menjadi dua kelompok utama, yaitu: (1) hutan karet, dan (2)
semak belukar dan areal terbuka. Kelompok pertama (hutan karet) merupakan
lahan yang didominasi oleh tanaman karet alam yang bercampur dengan vegetasi
lainnya (sengon, medang, balam, mahang, kempas dan lain-lain). Kelompok ini
merupakan areal peladangan tua (lebih dari 10 tahun) sehingga tanaman karet
alam yang ditanam sebagai tanda kepemilikan lahan telah menjadi hutan karet.
Kelompok kedua mendominasi lebih dari 50% areal pencadangan HTR
(Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, 2007). Kelompok ini
didominasi oleh semak dan belukar, meskipun masih terdapat beberapa batang
pohon yang tumbuh secara sporadis, namun tidak mampu membentuk tutupan
hutan. Umumnya kelompok ini merupakan areal peladangan muda, sehingga
tanaman karet atau pohon yang lain belum tumbuh besar. Strategi terpilih akan
diimplementasikan secara berbeda pada dua kelompok tersebut, baik sistem
silvikultur, penentuan jenis tanaman maupun teknis penanamannya.
7.5.1 Sistem silvikultur
Suhendang (2008) menyebutkan bahwa dalam praktek pengelolaan hutan
di Indonesia, secara operasional sistem silvikultur diartikan sebagai: (a)
Serangkaian prosedur mencakup cara-cara mempermudakan, memelihara dan
memanen tegakan atau hutan untuk menghasilkan suatu produk tertentu; dan (b)
Rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi
157 penebangan, peremajaaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin
kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.
Helms (1998) menyebutkan bahwa sistem silvikultur merupakan
serangkaian rencana dari perlakuan untuk memelihara, memanen dan membangun
kembali sebuah tegakan hutan. Sistem silvikultur juga merupakan proses
penggantian suatu tegakan hutan melalui kegiatan pembibitan, permudaan,
penananam, pemiliharaan dan pemanenan untuk menghasilkan suatu produk kayu
atau hasil hutan lainnya dalam bentuk tertentu seperti kayu pertukangan, kayu
pulp, hasil hutan non kayu (getah, damar, rotan, madu dan lainnya), termasuk
rekayasa untuk mempengaruhi sifat dan susunan hutan baru yang terjadi.
Penerapan sistem silvikultur dalam implementasi kebijakan hutan tanaman
rakyat di Kabupaten Sarolangun akan dikembangkan sesuai dengan kondisi hutan
(lahan) pencadangan yang ada. Sistem silvikultur yang dapat dikembangkan
adalah tebang pilih permudaan buatan untuk hutan karet (kelompok 1) dan tebang
habis permudaan buatan untuk lahan berupa semak belukar dan areal terbuka
(kelompok 2).
Pertimbangan dalam penentuan sistem silvikultur yang digunakan adalah
kondisi tegakan tanaman karet yang telah menjadi gantungan hidup (livelihood)
bagi masyarakat di lokasi terpilih. Hutan karet yang telah terbangun sebelumnya
dengan jarak tanam yang rapat dan tidak beraturan, dapat dijarangkan sedemikian
rupa sehingga kualitas pohon karet akan menjadi lebih baik. Djikman (1951)
dalam Setyamidjaja (1993) menyatakan bahwa beberapa akibat dari jarak tanam
yang sempit, diantaranya adalah kerusakan tajuk oleh angin akan lebih besar,
kematian pohon karena serangan penyakit akan lebih tinggi, dan tercapainya lilit
batang matang sadap akan lebih lambat. Sistem silvikultur tebang pilih permudaan
buatan akan diarahkan untuk mendesain kawasan hutan karet agar menjadi lebih
teratur dengan jarak tanam yang optimal sehingga produksi karet yang dihasilkan
akan meningkat.
Sistem silvikultur tebang habis permudaan buatan akan diterapkan pada
lahan terbuka dan semak belukar. Lahan ini akan didesain dengan menggunakan
sistem agrofororestry dengan jenis tanaman yang diminati oleh masyarakat.
158 Beberapa jenis tanaman berkayu yang telah tumbuh dalam areal ini sebelumnya
dapat tetap dipertahankan keberadaannya bila memiliki kualitas pohon yang baik.
7.5.2 Penentuan jenis tanaman
Berdasarkan hasil penelitian, 92% masyarakat menghendaki tanaman karet
sebagai tanaman utama dalam lahan HTR. Meskipun demikian masyarakat merasa
tidak keberatan untuk menanam tanaman berkayu lainnya dengan komposisi 70%
tanaman karet dan 30% tanaman berkayu.
Berdasarkan hasil penelitian Budi et al. (2008) terdapat beberapa jenis
pohon buah dan kayu yang telah dicoba ditanam di antara tanaman karet di
Kalimantan Barat dan Jambi, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 56.
Tabel 56 Jenis-Jenis Pohon Penghasil Buah, Kayu dan Resin yang Telah Dicoba Ditanam Bersama Karet pada Sistem RAS
Nama Komersial Nama Ilmiah Asal Benih Hasil
Penghasil Buah/kayu : Nangka Artocarpus heterophyllus Biji Buah Cempedak Artocarpus integra Biji Buah Durian Durio zibethinus Biji Buah/Kayu Langsat/Duku Lansium domesticum Biji Buah Pekawai Durio c. f. Dulcis Biji Buah Jengkol Archidendron jiringa Biji Buah Petai Parkia speciosa Biji Buah Rambutan Nephelium spp. Biji Buah
Penghasil Kayu : Gaharu Aquilaria malaccensis Cabutan Kayu/resin Tengkawang Shorea macrophylla Biji/cabutan Kayu/buah Meranti Shorea spp. Cabutan Kayu Merkuyung Shorea johorensis Biji/cabutan Kayu Keladan Dryobalanops beccarri Cabutan Kayu Omang Hopea dryobalanoids Biji Kayu Nyatoh Palaquium spp. Biji/cabutan Kayu Terindak Shorea senimis Biji/cabutan Kayu Tembesu Fragraea fragrans Cabutan Kayu Pulai Alstonia scholaris Cabutan Kayu Gmelina Gmelina arborea Biji Kayu Sengon Paraserianthes falcataria Biji Kayu
Sumber : Percobaan RAS di Kalimantan Barat dan Jambi (1997-2006) dalam Budi et al. (2008)
Berdasarkan hasil penelitian tim kajian hutan tanaman rakyat Badan
Litbang Kehutanan bekerjasama dengan EC Indonesia FLEGT SP (2007) di Desa
159 Taman Bandung, diketahui bahwa jenis-jenis tanaman yang disukai masyarakat
berdasarkan skala prioritas berturut-turut adalah sengon, pulai, jabon, terap dan
gaharu. Khusus untuk desa Lamban Sigatal, tanaman jernang yang telah menjadi
salah satu sumber pendapatan di samping karet. Hasil penelitian Ardi (2011)
menunjukkan bahwa hingga saat ini terdapat 50 KK di Desa Lamban Sigatal yang
kehidupannya bergantung tidak hanya pada hasil kebun karet namun juga
tergantung pada penjualan getah jernang yang mereka kumpulkan dari tumbuhan
jernang liar di kawasan hutan ataupun di kebun-kebun karet yang mereka miliki.
Oleh karena itu, dalam mendesain implementasi kebijakan HTR di desa Lamban
Sigatal harus mempertimbangkan untuk menjadikan tanaman jernang sebagai
tanaman sela.
7.5.3 Pola penanaman
Pola tanam yang direkomendasikan untuk dikembangkan dalam
implementasi HTR di Kabupaten Sarolangun dapat dibagi menjadi tiga pola
tanam, yaitu: (1) hutan campuran berbasis tanaman karet, (2) hutan campuran
berbasis tanaman berkayu dan (3) hutan campuran Jernang. Khusus untuk pola ke-
3 direkomendasikan untuk Desa Lamban Sigatal yang telah lama mengenal dan
memiliki pengalaman dalam budidaya jernang. Namun tidak menutup
kemungkinan untuk dikembangkan pada kedua desa lainnya.
7.5.3.1 Hutan campuran berbasis tanaman karet
Hutan campuran berbasis tanaman karet terutama ditujukan untuk areal
hutan karet (kelompok I). Pada pola ini, tanaman karet akan menjadi tanaman
utama sedangkan tanaman berkayu dijadikan sebagai tanaman pembatas (pagar)
dan tanaman sela. Jenis tanaman berkayu yang menjadi tanaman sela dan tanaman
pembatas (pagar) disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Bagi masyarakat
yang memiliki modal kecil, dapat memanfaatkan beberapa jenis anakan tanaman
berkayu yang telah tumbuh secara alami dalam lahan mereka.
Rasnovi (2006) menyebutkan bahwa tingkat kekayaan dan keragaman
jenis serta komposisi jenis anakan tumbuhan berkayu di agroforestry karet
dipengaruhi oleh tingkat kekayaan dan keragaman jenis serta komposisi jenis
anakan di hutan yang ada di dekatnya. Berdasarkan hasil penelitian tim kajian
160 HTR Badan Litbang Kehutanan bekerjasama dengan EC Indonesia FLEGT SP
(2007) diketahui bahwa terdapat 69 jenis pohon penting yang ditemukan dalam
kelompok hutan sekitar areal pencadangan HTR (Lampiran 15). Desain yang
direkomendasikan dalam hutan campuran berbasis tanaman karet ini adalah
seperti yang tersaji pada Gambar 22.
∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ O O O O O O
∆ 4m 4 m ∆ ∆ ∆ O O O O O O
∆ 3 m ∆ ∆ ∆ O O O O O O
∆ 6 m ∆ ∆ ∆ O O O O O O
∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆
Keterangan : O : tanaman karet ∆ : tanaman berkayu (sengon, pulai, meranti, dll)
Gambar 22. Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Karet
Hutan karet dianjurkan untuk dijarangkan sedemikian rupa sehingga
membentuk jalur-jalur dengan jarak tanam 3 x 6 meter (dapat disesuaikan dengan
jarak tanam yang ada). Tanaman berkayu sebagai tanaman sela ditanam pada baris
ke-3 dengan jarak 4 meter dari tanaman karet. Tanaman karet yang tumbuh pada
lokasi penanaman tanaman sela dapat tetap dipertahankan sebelum tanaman sela
tumbuh besar dan membutuhkan ruang yang lebih luas.
Tanaman berkayu juga ditanam mengelilingi lahan dengan jarak tanam
yang disesuaikan dengan jalur yang ada sebagai tanaman pembatas (pagar). Jarak
tanaman berkayu yang berfungsi sebagai pembatas dengan tanaman karet yang
dianjurkan adalah 4 meter. Dengan pola tanam ini, setiap 1 hektar lahan akan
membutuhkan ±122 batang tanaman berkayu untuk dijadikan sebagai tanaman
pagar dan ±156 batang tanaman berkayu sebagai tanaman sela, sedangkan
tanaman karet yang dibiarkan tumbuh sebanyak ±594 batang. Sehingga
perbandingan jumlah tanaman karet dan tanaman berkayu adalah 70% : 30%.
7.5.3.2 Hutan campuran berbasis tanaman berkayu
Hutan campuran berbasis tanaman berkayu direkomendasikan untuk
dikembangkan pada lahan berupa semak belukar dan lahan terbuka (kelompok 2).
Pada pola ini, tanaman berkayu (sengon, pulai, jabon, terap, mahoni, meranti dan
161 lain-lain) akan menjadi tanaman utama, yang dikombinasikan dengan tanaman
MPTS seperti karet, durian, rambutan dan lain-lain sebagai tanaman sela dengan
perbandingan tanaman berkayu: tanaman MPTS adalah 80% : 20% untuk hutan
campuran berbasis tanaman berkayu I (Gambar 23) dan 70% : 30% untuk hutan
campuran berbasis tanaman berkayu II (Gambar 24). Tanaman pagar disesuaikan
dengan keinginan masyarakat, dapat berupa tanaman berkayu berumur panjang
(seperti meranti, mahoni, jati) atau jenis lain seperti pinang. Desain pola tanam
hutan campuran berbasis tanaman berkayu I dapat dilihat pada Gambar 23.
x x x x x x x x x x
x ∆ ∆ 3m ∆ ∆ ∆ ∆ x O O x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x 3m 6 m
x ∆ 3m ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x O O x 2
m ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x
x x x x x x x x x x
Keterangan : O : tanaman karet unggul x : tanaman pinang ∆ : tanaman berkayu fast growing ( sengon, jabon, pulai, terap, dll)
Gambar 23 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu I
Pada desain yang direkomendasikan dalam hutan campuran berbasis
tanaman berkayu I yang diilustrasikan pada Gambar 19, tanaman berkayu
ditanam dengan jarak tanam 3 x 3 meter sedangkan tanaman karet ditanam pada
baris ke-3 dengan jarak 3 meter dari tanaman berkayu dan 6 meter terhadap
tanaman karet lainnnya. Tanaman pagar ditanam mengelilingi lahan dengan jarak
2 meter dari tanaman berkayu. Dengan pola tanam seperti ini, maka setiap satu
hektar lahan akan membutuhkan ±683 batang tanaman berkayu dan ±170 batang
tanaman karet, sedangkan untuk tanaman pagar dibutuhkan ±130 batang pinang.
Pola tanam lain yang direkomendasikan sebagai pola penanaman pada
lahan terbuka dan semak belukar (kelompok 2) adalah hutan campuran berbasis
tanaman berkayu II sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 24. Pada pola ini,
jumlah tanaman karet yang ditanam lebih banyak dari pola sebelumnya. Jarak
tanam tanaman berkayu yang direkomendasikan adalah 3 x 3 meter sedangkan
jarak tanam tanaman karet adalah 3 x 6 meter.
162
x x x x x x x x x x x x
x ∆ ∆ 3 m ∆ ∆ ∆ ∆ x O O O O x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x 3m 6 m
x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x 3m O O O O x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x 2 m 3m
x x x x x x x x x x x x
Keterangan : O : tanaman karet unggul x : tanaman pinang ∆ : tanaman berkayu fast growing ( sengon, jabon, pulai, terap, dll)
Gambar 24 Pola Tanam Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu II
Tanaman berkayu dan tanaman karet dalam hutan campuran berbasis
tanaman berkayu dapat dilaksanakan secara bersamaan maupun tidak. Namun bila
masyarakat menghendaki untuk menanam tanaman berkayu jenis fast growing
trees disarankan untuk tidak dilakukan penanaman bersamaan dengan tanaman
karet. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan tanaman berkayu jenis fast growing
trees yang lebih cepat dari tanaman karet. Hasil penelitian Mulyoutami et al.
(2005) di Kalimantan Barat diketahui bahwa penanaman tanaman karet yang
bersamaan dengan tanaman berkayu jenis fast growing trees menyebabkan
pertumbuhan karet tertekan dan mengakibatkan matang sadap karet tertunda
hingga satu tahun lebih lama. Budi et al. (2008) menyarankan agar tanaman
berkayu jenis fast growing trees ditanam setelah tanaman karet berumur 2 tahun.
7.5.3.3 Hutan Campuran Jernang
Hutan campuran jernang dapat dibangun pada hutan karet (kelompok 1)
maupun lahan terbuka serta semak belukar (kelompok 2). Desain yang ditawarkan
dalam hutan campuran jernang merupakan modifikasi dari dua pola tanam
sebelumnya (hutan campuran berbasis tanaman karet dan hutan campuran berbasis
tanaman berkayu) dengan menanam tanaman jernang ditanam di sela-sela
tanaman berkayu dan karet.
Penanaman jernang pada hutan campuran berbasis tanaman karet
dibedakan menjadi dua pola sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 25 dan 26
Gambar 25 merupakan pola penanaman tanaman jernang pada hutan campuran
karet dan tanaman berkayu, di mana jenis tanaman berkayu yang ditanam bukan
163 jenis fast growing sedangkan Gambar 26 merupakan pola penanaman jernang
apabila tanaman berkayu yang ditanam merupakan jenis fast growing. Pola
penanaman jernang pada hutan campuran berbasis karet terlihat pada Gambar 25.
∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ O O O O O O
∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ O O O O O O
∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ O O O O O O
∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ ¤ ¤ ¤ ∆ O O O O O O
∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆
Keterangan : O : tanaman karet ¤ : tanaman jernang ∆ : tanaman berkayu ( meranti, mahoni dll)
Gambar 25 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet I
Tanaman jernang membutuhkan tanaman inang sebagai tempat
merambatnya. Dengan menanam tanaman jernang di sela-sela karet dan tanaman
berkayu diharapkan tanaman jernang dapat merambat pada kedua jenis tanaman
tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah umur tanaman karet saat menanam
tanaman jernang hendaknya telah lebih dari 15 tahun, sehingga tanaman jernang
tidak mengganggu pertumbuhan tanaman karet (Budi et al., 2008).
Apabila jenis tanaman berkayu yang dikembangkan oleh masyarakat
adalah jenis fast growing, tanaman jernang cukup ditanam di sela-sela tanaman
karet saja, sebagaimana yang diilustrasikan pada Gambar 26. Hal ini disebabkan
oleh umur panen tanaman fast growing yang cukup singkat (± 5 tahun) sehingga
tidak efektif untuk dijadikan rambatan bagi tanaman jernang.
∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ O O O O O O
∆ ¤ ¤ © ¤ © ¤ ¤ ∆ O O O O O O
∆ ¤ ¤ © ¤ © ¤ ¤ ∆ O O O O O O
∆ ¤ ¤ © ¤ © ¤ ¤ ∆ O O O O O O
∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆
Keterangan : ∆ O : tanaman karet ¤ : tanaman jernang ∆: tanaman berkayu (meranti, mahoni dll) © : tanaman berkayu fast growing (sengon, gmellina, jabon dll)
Gambar 26 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Karet II
164
Penanaman jernang pada hutan campuran berbasis tanaman berkayu juga
dapat dibedakan menjadi dua pola tergantung pada jenis tanaman berkayu yang
ditanam (fast rowing atau bukan). Penanaman jernang pada hutan campuran
berbasis tanaman berkayu fast growing diilustrasikan pada Gambar 27, sedangkan
penanaman jernang pada hutan campuran berbasis tanaman berkayu yang bukan
fast growing diilustrasikan pada Gambar 28.
x x x x x x x x x x x x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤
x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ O O O O ¤ x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ ¤ ¤ x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ O O O O ¤ x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ x x x x x x x x x x x x
Keterangan : O : tanaman karet unggul x : tanaman pinang ¤ : tanaman jernang ∆ : tanaman berkayu fast growing ( sengon, jabon, pulai, terap, dll)
Gambar 27 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu Fast Growing
x x x x x x x x x x x x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤
x ∆ ∆ ∆ ¤ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ O O O O ¤ ¤ x ∆ ∆ ∆ ¤ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ x ∆ ∆ ∆ ¤ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ O O O O ¤ ¤ x ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ ∆ x ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ ¤ x x x x x x x x x x x x
Keterangan : O : tanaman karet unggul x : tanaman pinang ¤ : tanaman jernang ∆ : tanaman berkayu fast growing ( meranti, jati, mahoni dll)
Gambar 28 Penanaman Jernang pada Hutan Campuran Berbasis Tanaman Berkayu Bukan Jenis Fast Growing
165 7.5.4 Kelembagaan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 menganjurkan
masyarakat untuk membentuk kelompok tani atau koperasi untuk memudahkan
proses perizinan. Bentuk lembaga yang telah terbangun dalam pengelolaan HTR
di Kabupaten Sarolangun adalah kelompok tani hutan. Bentuk lembaga ini
dirasakan lebih cocok bagi masyarakat dibandingkan koperasi. Berdasarkan hasil
penelitian Pudjiastuti (2011) diketahui bahwa sebagian besar responden (92.59%)
lebih memilih izin atas nama perorangan dibandingkan dengan koperasi. Ini
terjadi di semua desa baik di Seko Besar (85.19%), Lamban Sigatal (96%)
maupun Taman Bandung (96.55%).
Lebih lanjut Pudjiastuti menjelaskan bahwa alasan responden lebih memilih
izin atas nama perorangan dibandingkan dengan koperasi antara lain karena
mereka merasa lebih nyaman dan leluasa (56.67%), sanggup mengelola sendiri
(30%), tidak harus berbagi keuntungan (6.67%) dan menghindari selisih paham
dengan orang lain (6.67%). Adapun responden yang lebih memilih koperasi
dengan alasan pengelolaan lebih mudah (60%), ada modal (20%) dan
menumbuhkan rasa kebersamaan (20%).
Meskipun dalam arahan kebijakan pengelolaan HTR kelompok hanya
dimaksudkan untuk memudahkan proses perizinan, namun realitas di lapangan
menunjukkan bahwa kelompok juga dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan
membangun kerjasama. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 70.37%
responden menganggap bahwa kelompok tani hutan ini penting dalam
membangun HTR di Kabupaten Sarolangun (Pudjiastuti, 2011).
Tabel 57 Persepsi responden terhadap kelembagaan HTR
Kriteria Desa Total Seko Besar Lamban Sigatal Taman Bandung
n % n % n % n % Tinggi 9 33.33 21 84.00 27 93.10 57 70.37 Sedang 9 33.33 3 12.00 0 0.00 12 14.81 Rendah 9 33.33 1 4.00 2 6.90 12 14.81
Sumber : Pudjiastuti (2011)
Responden menganggap menjadi anggota KTH itu penting karena selain
dapat memudahkan urusan administrasi, sesama anggota juga dapat saling
membantu, serta memudahkan koordinasi dan pertukaran informasi. Responden
166 yang tidak menyetujui KTH beranggapan karena anggota KTH belum saling
mengenal dan dapat mengganggu proses perizinan apabila ada satu anggotanya
yang bermasalah.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga pilihan dalam menentukan
susunan anggota kelompok. Pilihan pertama adalah orang-orang yang memiliki
areal yang saling berdekatan dalam satu hamparan (54.72%). Pilihan lainnya
adalah anggota keluarga (22,64%) dan orang yang dapat bekerjasama dan dapat
dipercaya (22,64%). Idealnya, kelompok dibentuk oleh masyarakat peserta HTR
yang memiliki areal kelola sehamparan (berdekatan satu sama lain). Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan proses pengurusan administrasi baik untuk
pengurusan izin maupun pinjaman dana. Namun pilihan lain juga tidak buruk
karena dalam bekerjasama sangat dibutuhkan kepercayaan antar sesama anggota
kelompok dan anggota keluarga pada umumnya merupakan orang yang paling
dekat dan dapat dipercaya.
Dalam mengimplementasikan strategi terpilih direkomendasikan agar
masyarakat membentuk kelompok berdasarkan lokasi areal kerja yang dimilikinya
(yang saling berbatasan) dengan luas yang direkomendasikan untuk masing-
masing responden maksimal lima hektar. Kelompok boleh beranggotakan lintas
warga desa sepanjang lahan-lahan yang dikelola berada dalam satu hamparan
sesuai dengan pembagian areal kerja HTR.
Penguasaan lahan hutan di areal HTR oleh masyarakat di daerah ini tidak
merata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa responden
(terutama yang telah lama tinggal di daerah tersebut) telah menguasai lahan di
areal HTR > 15 ha bahkan hingga 40 ha dalam bentuk ladang atau kebun karet.
Kelompok inilah yang paling banyak berkepentingan untuk ikut dalam program
HTR. Oleh karena itu, dianggap perlu untuk melakukan pembatasan luas
pengelolaan maksimal lima hektar untuk pemerataan bagi masyarakat.
Hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat penguasa lahan dengan luas
melebihi dari yang dianjurkan dapat mengatasinya dengan cara: (1) membagi
penguasaan lahannya kepada anak-anak atau anggota keluarga lainnya atau (2)
membagi penguasaan lahan dengan buruh yang menggarap lahan tersebut dengan
pola bagi hasil tertentu. Cara pertama lebih banyak dilakukan oleh masyarakat
167 karena (1) mereka lebih mempercayai keluarga dibandingkan dengan orang lain;
(2) pendapatan yang diperoleh dari lahan tersebut tidak berkurang karena tidak
harus dibagi dengan orang lain; dan (3) dapat mengamankan masa depan anak-
anak mereka. Selain itu , dengan cara pertama pengambilan keputusan tetap dapat
dilakukan oleh pemilik utama sehingga mengurangi konflik dengan orang lain.
Cara kedua jarang dilakukan karena potensi konflik lebih besar jika dirasa
pembagian keuntungan tidak saling menguntungkan. Adanya sifat tidak mudah
percaya dan tidak mudah bekerjasama dengan orang lain juga mempengaruhi
keputusan mereka tidak membagi penguasaan lahannya dengan orang lain.
Pola HTR yang digunakan oleh masyarakat dalam satu kelompok
hendaknya sama, dapat menggunakan pola mandiri atau kemitraan. Berdasarkan
hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa pola HTR yang ditawarkan
pada masyarakat sebelumnya adalah pola mandiri. Namun demikian masyarakat
memiliki tingkat persepsi yang tinggi terhadap peluang kerjasama dengan mitra
atau investor. Pudjiastuti (2011) menyebutkan bahwa persepsi masyarakat
terhadap mitra kerjasama/investor cukup tinggi (61.73%). Hal ini diduga karena
responden tidak memiliki modal dan pengetahuan yang cukup untuk mengelola
lahannya.
Pola penanaman yang digunakan oleh masyarakat dalam satu kelompok
tani hendaknya dapat diselaraskan satu sama lainnya agar memudahkan dalam
pengelolaan, mencari mitra (bila masyarakat ingin mengelola dalam bentuk pola
kemitraan) dan mencari peluang pasar.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 KESIMPULAN
1. Hasil penelitian menunjukkan bawa prospek implementasi kebijakan HTR di
Kabupaten Sarolangun rendah.
a. Berdasarkan hasil evaluasi kebijakan: masih terdapat perbedaan persepsi
terhadap tujuan kebijakan HTR, asumsi yang digunakan tidak sesuai
dengan kondisi lapangan dan struktur implementasi yang ada tidak
berjalan sebagaimana mestinya
b. Berdasarkan hasil evaluasi pelaku kebijakan: kesiapan, komitmen dan
kemampuan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan
HTR termasuk dalam katagori sedang sampai rendah, sedangkan modal
fisik, modal manusia dan modal sosial masyarakat dalam implementasi
kebijakan HTR masuk dalam katagori sedang
c. Berdasarkan hasil evaluasi lingkungan kebijakan: masyarakat masih
bersifat subsisten dan memiliki kebiasaan menanam tanaman karet
d. Berdasarkan hasil gap implementasi: tingkat partisipasi masyarakat
masih rendah dengan derajat kesukarelaan dalam berpartisipasi
terinduksi.
2. Kebijakan HTR masih perlu penyesuaian dalam implementasinya di
Kabupaten Sarolangun. Rekomendasi yang diberikan untuk perbaikan adalah
sebagai berikut:
a. Dari sisi isi kebijakan: perumusan kebijakan hendaknya dapat
mempertimbangkan kebutuhan pemda dan masyarakat; asumsi yang
digunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi lapangan,
menyederhanakan struktur implementasi dengan lebih memberikan
dukungan sdm dan finansial kepada stakeholder kunci implementasi.
b. Dari sisi pelaku kebijakan: diperlukan peningkatan koordinasi antar
instansi dalam implementasi kebijakan HTR sehingga dukungan sdm dan
finansial dalam implementasi kebijakan HTR dapat meningkat,
170
c. Dari sisi lingkungan kebijakan: perlu mengakomodir tanaman karet
sebagai salah satu tanaman pokok dalam implementasi HTR di Kabupaten
Sarolangun
3. Rekomendasi strategi yang dapat dikembangkan dalam implementasi
kebijakan HTR di Kabupaten Sarolangun, adalah:
a. Mengakomodir pola pemanfaatan lahan yang ada saat ini sebagai salah
satu bentuk HTR
b. Mengoptimalkan dukungan Pemda Kabupaten Sarolangun dalam
percepatan implementasi melalui percepatan proses perizinan,
pendampingan dan sosialisasi secara intensif mengenai pentingnya HTR
untuk masyarakat
c. Menggunakan isu kelangkaan kayu dan peluang pemasaran ke PT
Samhutani sebagai rangsangan bagi masyarakat untuk menanam tanaman
berkayu
8.2 SARAN
1. Kementerian Kehutanan hendaknya mempertimbangkan kepentingan
pemerintah daerah dan masyarakat selaku implementator dan kelompok
target dalam kebijakan HTR.
2. Kementerian Kehutanan perlu mempertimbangkan kembali peraturan
mengenai budidaya tanaman HTR yang menyebutkan bahwa tanaman
budidaya berkayu (termasuk karet) paling luas hanya 40% dari areal HTR,
karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi tanaman karet
merupakan primadona masyarakat.
3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sarolangun selaku core
pelaksana (penentu keberhasilan implementasi HTR) hendaknya dapat
meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam implementasi kebijakan HTR,
terutama terhadap kelompok stakeholder yang memiliki tingkat kekuatan
yang tinggi namun memiliki kepentingan yang rendah seperti Bappeda,
DPRD dan PT Samhutani.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin SZ. 2006. Kebijakan Publik. Edisi Revisi. Jakarta: Pancur Siwah.
Alder PS, Seok WK. 2002. Social Capital: Prospect for a New Concept. Academy of Management Journal 27(1):17
Ardi. 2011. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestry (Studi Kasus Lamban Sigatal, Kabupaten Sarolangun-Jambi) [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Arnstein S. 1969. A Ladder of Citizen Partisipation. Journal of The American Planning Association35:216-224
Birner R, Wittmer H. 2000. Converting Social Capital into Political Capital. How do Local Communities Gain Political Influence? A Theoretical Approach and Empirical Evidence from Thailand and Columbia. Paper submitted to the 8th
[BKKBN Kabupaten Sarolangun] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2007. Laporan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Sarolangun. Sarolangun: BKKBN Kabupaten Sarolangun.
Biennal Conference of International Association for the Study of Common Property (IASCP). Institute of Rural Development. Göttingen: Georg-August University.
[BPS Kabupaten Sarolangun] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sarolangun. 2007. Kabupaten Sarolangun dalam Angka. Sarolangun: BPS Kabupaten Sarolangun
Brown TH. 2004. Analysis of Population and Poverty in Indonesia‘s Forests. Draft. USAID. Natural Resources Management Program. Jakarta.
Budi, Wibawa G, Ilahang, Akiefnawati R, Joshi L, Penot E, Janudianto. 2008. Panduan Pembangunan Wanatani Berbasis Karet Klonal. Bogor: World Agroforestry Center [ICRAF] SEA Regional Office, Indonesia
Chambers, R.1986. “Sustainable Livelihood, Environment and Development : Putting Poor People First, dalam Institute of Development Studies. University of Sussex. Brighton, England.
Colchester M, Fay C. 2007. Land, Forest and People: Facing the Challenges in South-East Asia. Rights and Resources Initiative Listening, Learning and Sharing, Asia Final Report September 2007.
Coleman J. 1988. Social Capital in Creation of Human Capital. American Journal of Sociology 94 (supplement): pp S95-S120
172 Daryanto H. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Berbasiskan Masyarakat
Terpencil. Buletin Kawasan Edisi 8 Tahun 2003. Jakarta: Direktorat PKKT Bappenas,
Dasgupta P, Serageldin I. 2000. Social Capital A Multifaced Perspective. World Bank. Washington DC.
David FR. 2009. Manajemen Strategis. Terjemahan dari Strategic Management : Concepts and Cases. Sunardi D. (penerjemah). Jakarta: Salemba Empat.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006 -2005. Jakarta: Departemen Kehutanan.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta. Dephut.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008a. Peraturan Pemerintah RI Nomor 3
Tahun 2008 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana PengelolaanHutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta. Dephut.
[Dephut]. Departemen Kehutanan. 2008b. Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.5/Menhut-II/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Jakarta. Dephut.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta. Dephut.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.62/Menhut-II/2008 tentang penyusunan RKUPHHK-HTI dan HTR. Jakarta. Dephut.
[Disbunhut] Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun. 2007. Proposal Permohonan Pencadangan Areal Hutan Tanaman Rakyat Kabupaten Sarolangun. Jambi: Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun
[Dishut] Dinas Kehutanan Propinsin Jambi. 2011. Data Pokok Kehutanan 2010. Jambi: Dinas Kehutanan Propinsi.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, 2006. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Makalah pada Workshop Nasional Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta: Departemen Kehutanan.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2008. Peraturan
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-BPHT/2008 tentang Perubahan Peraturan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan
173
Nomor P.06/VI-BPHT/2007 tentang Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Jakarta. Dephut.
[Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009. Data Release
2009 Bina Produksi Kehutanan Triwulan II. Http://www.dephut.go.id/files/ Data_ Release_Ditjen BUK_Triwulan_II_2009.pdf
[Ditjen BUK] Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan. 2011. Perkembangan Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Makalah pada Seminar dan Bimbingan Metodologi Penelitian FORMA IPH IPB pada tanggal 22 Februari 2011. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
[19 Mei 2010].
Dunn WN. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Terjemahan dari Public Policy Analysis: An Introduction. Wibawa S, Asitadani D, Hadna AH, Purwanto EA [penerjemah]. Darwin M [editor]. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Dusseldorp DBWM. 1981. Participation in Planned Development Influence by Governments Developing Countries at Local Level in Rural Areas. Wagenigen: Agricultural University
Dye TR. 1995. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.
Ekawati S, Daryono H, Zuraida. 2008. Kesiapan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat. Makalah Seminar Hutan Tanaman Rakyat yang diselenggarakan oleh Puslit Sosek dan Kebijakan Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan tanggal 14 Agustus 2008.
Ekowati MRL. 2009. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program. Suatu Kajian Teoritis dan Praktis. Jakarta: Pustaka Cakra.
Emila, Suwito. 2007. Hutan Tanaman Rakyat (HTR): Agenda Baru untuk Pengentasan Kemiskinan? Warta Tenure Nomor 4 - Februari 2007
Fukuyama F. 2002. Social Capital and Development: The Coming Agenda. SAIS review XXII. The Johns Hopkins University Press
Number 1, Winter-Spring 2002,
Fukuyama F. 2007 Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Terjemahan dari Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. Ruslani (penerjemah). Cetakan kedua. Jakara: Qalam.
[FWI/GFW] Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch. 2002. The State of the Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia and Washington DC. Global Forest Watch.
Giarci GG. 2001. Caught in Nets: A Critical Examination of the Use of the Concept of “Network” in Community Development Studies, Community Development Journal Vol.36 No.1 January 2001 pp 63-71. Oxford University Press.
174 Grimble R, Wellard K. 1997. Stakeholder Methodologies in Natural Resource
Management: a Review of Principles, Contexts, Experiences and Opportunnities. Agricultural System vol.55 No.2 pp.173-193. Elsevier Science Ltd.
Grimble RJ, Chan MK, Aglionby J and Quan J. (1995) Trees and trade-offs: A Stakeholder Approach to Natural Resource Management. Gatekeeper Series no.52. International Institute for Environment and Development. London.
Grimble R, Chan MK. 2005. Analisis Stakeholder untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam di Negara Berkembang. dalam Supaharjo (editor). Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Pustaka Latin, Bogor.
Grindle MS. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World. New Jersey: Princeton University Press.
Grootaert C. 1999. Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia. Social Development Department. Washington DC: World Bank
Grootaert C, Narayan D, Jones VN, Woolcock. 2004. Measuring Social Capital An Intergrated Questionnaiire. Washington DC: The World Bank.
Hadi S. 2007. Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Strategis Cepat Tumbuh dalam Rangka Mendorong Perkembangan Wilayah Tertinggal.. Jakarta: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal. Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Hakim I. 2007. Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sebagai Salah Satu Upaya Pemantapan Kawasan Hutan. Prosiding Seminar Good Governance sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari. Pusat Penelitian Sosek dan Kebijakan Kehutanan. Bogor: Badan Litbang Kehutanan.
Hakim I. 2009. Kajian Kelembagaan dan Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat: Sebuah Terobosan dalam Menata Kembali Konsep Pengelolaan Hutan Lestari. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 1, April 2009. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan.
Hakim I, Effendi R. 2008. Prospek Hutan Tanaman Rakyat: Mengkaji Potensi Kelembagaan yang tumbuh di Masyarakat. Makalah Seminar /hutan Tanaman Rakyat yang Diselenggarakan oleh Puslit sosek dan Kebijakan Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan tanggal 14 Agustus 2008.
Hardjanto. 2002. Mutu Modal Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 6:65 – 71.
Hasbullah J. 2006. Social Capital Menuju Keungggulan budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR United Press.
175 Helms JA, editor. 1998. The Dictionary of Forestry. North and Central America:
The Society of American Foresters and CABI Publishing.
Herawati T. 2010a. Hutan Tanaman Rakyat: Analisis Proses Kebijakan Dan Penyusunan Model Konseptual Kebijakan. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Herawati T. 2010b. Analisis Respon Pemangku Kepentingan di Daerah Terhadap Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(1):3-25
Hornby. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Crowther J (editor). New York: Oxford University Press.
Jamasy O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Blantika Mizan.
Justianto A. 2007. Kebijakan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat untuk Menunjang Pembangunan Nasional. Buletin Planolog Vol -3 No. 1 Maret 2007. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Kamaluddin. 2009. Modal Sosial dan Pembangunan Manusia Melayu: Kasus Indonesia dan Malaysia. Fakultas Pertanian Universitas Riau.
Kartasasmita G. 1996. Power dan Empowerment : Sebuah Telaah Mengenai Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Badan Perencanaan Nasional.
Kartasasmita G. 1997. Pemberdayaan Masyarakat : Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Makalah pada Sarasehan DPD Golkar Tingkat I Jawa Timur tanggal 14 Maret 1997. Jakarta: Badan Perencanaan Nasional.
Kartodihardjo H. 2007. Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam: Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan. Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta.
Katili PB, Setiawan H, Hadi SP. 2008. Perumusan Strategi Bersaing dengan Menggunakan Metoda AHP dan QSPM Pada Industri Kecil Menengah. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II, Universitas Lampung, 17 – 18 November 2008.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011a. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta Kementerian Kehutanan.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011b. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan IUPHHK-HTR dalam Hutan Tanaman. Jakarta. Dephut.
176 Krishna A, Shrader E. 1999. Social Capital Assessment Tools. Makalah pada
conference on social and Poverty Reduction, Washington DC: June 22-24, 1999. The World Bank.
Kusumedi P, Rizal HB. 2010. Analisis Stakeholder dan Kebijakan Pembangunan KPH Model Maros di Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 7(3):179-193.
Lawang RMZ. 2004. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI Press.
Li TM. 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Terjemahan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mardikanto. 2010. Konsep-Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Acuan Bagi Aparat Birokrasi, Akademisi, Praktoso dan Peminat/Pemerhati Pemberdayaan Masyarakat. Solo: Universitas Sebelas Maret Press.
Meyers J. 2001. Analisis Kekuatan Stakeholders. dalam Supahardjo (editor). Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka Latin.
Mulyoutami E, Ilahang, Wulandari D, Joshi L, Wibawa G, Penot E. 2005. From Degragaded Imperata grassland to productive rubber agroforest in West Kalimantan. Paper dipresentasikan pada Workshop International on Smallholder Agroforestry Option in Degraded soils di Batu, Malang Jawa Timur.
Muttaqin MZ. 2008. Good Governance dalam 5 Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan. Jurnal Analisis Kebijakan 5(3): 143-151
Nawir AA, Kassa H, Sandewall M, Dore D, Campbell B, Ohlsson B, Bekele M. 2007. Stimulating Smallholder Tree Planting – Lessons from Africa and Asia. Unasylva 228 Vol. 58, 2007.
Neupane RP, Sharmab KR, Thapaa GB. 2002. Adoption of Agroforestry in the Hills of Nepal: A Logistic Regression Analysis. Agricultural Systems 72:177–196.
Nugroho R. 2008. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Nugroho B. 2009. Review kebijakan dan strategi pengembangan HTR. Di dalam Workshop Strategi Percepatan Perluasan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) pada acara Pekan Raya Hutan & Masyarakat 2009 “Gerakan Rakyat Untuk Mengantisipasi Isu Global Pengelolaan Sumber Daya Hutan”. Graha Sabha Pramana Kampus UGM Yogyakarta, 14 Januari 2009.
Nurrochmat DR. 2005a. Strategi Pengelolaaan Hutan. Upaya Menyelamatkan Rimba yang Tersisa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
177 Nurrochmat DR. 2005b. The Impact of Regional Autonomy on Political, Dynamic,
Socio-economic and Forest Degradation. Case of Jambi, Indonesia. Göttingen: Cuvillier Verlag.
Noordwijk M van, Suyanto S, Budidarsono S, Sakuntaladewi N, Roshetko JM, Tata HL, Galudra G, Fay C. 2007. Is Hutan Tanaman Rakyat A New Paradigm in Community Based Tree Planting in Indonesia? ICRAF Southeast Asia. Bogor.
Parsons W. 2008. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Pranadji T. 2006. Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Agroekosistem Lahan Kering. Jurnal Agro Ekonomi 24:178–206.
Pranarka, Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan (Empowerment). Jakarta: Center of Strategic Internatinal Studies (CSIS).
Pregernig M. 2002. Perceptions, Not Facts: How Forestry Professional’s Decide on the Restoration of Degraded Forest Ecosystems. Journal of Environmental Planning and Management 45(1):25–38.
Prijono OS, Pranarka AMW. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Center of Strategic Internatinal Studies (CSIS).
Pudjiastuti E. 2011. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Putnam RD. 1993. The Prosperous Community Social Capital and Public Life. The American Prospect Vol 4 No. 13.
Putnam RD. 1995. Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Journal of Democracy volume 6 no. 1:65-78. Januari 1995. The John Hopkins University Press.
Rangkuti F. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.
Rasnovi D. 2006. Ekologi Regenerasi Tumbuhan Berkayu pada Sistem Agroforest Karet. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quin CH, Stringer LC. 2009. Whos’s in and Why? A Tipology of Stakeholder Analysis Methods for Natural Resources Management. Journal of Environmental Management 90 (2009):1933-1949
Robinson LJ et al.. 2002. Is Social Capital is Really Capital? Review of Social Economy. Vol. LX No. 1, March 2002.
178
Salim E. 1980. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Idayu.
Sairin S. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schneck J. 2009. Assessing the Viability of HTR ‐ Indonesia’s Community Based Forest Plantation Program [tesis]. Masters project submitted in partial fulfillment of the requirements for the Master of Environmental Management Degree in the Nicholas School of the Environment of Duke University.
Scott JC. 1976. Moral Ekonomi Petani. Terjemahan Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Setyamidjaja. 1993. Karet Budidaya dan Pengolahan. Kanisius. Yogyakarta.
Sidu D. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Silverstein D, Samuel P, De Carlo N. 2009. The Innovator’s Toolkit. 50+
Simon H. 1994. Seri Kajian Management Regime, Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan Sosial.Yogyakarta: Aditya Media
Techniques for Predictable and Sustainable Organic Growth. New Jersey: John Wiley and Sons Inc.
Sinha H, Suar D. 2005. Leadership and People’s Participation in Community Forestry. International Journal of Rural Management I (I):125-143
Sinukaban N. 2007. Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan : Pengembangan DAS dengan Tebu sebagai Tanaman Konservasi. Direktorat Jenderal RLPS. Jakarta
Siswiyanti Y. 2006. Hubungan Karakteristik Anggota Masyarakat Sekitar Hutan dan Beberapa Faktor Pendukung dengan Partisipasinya dalam Pelestarian Hutan di KPH Parung Panjang Kabupaten Bogor. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pacasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Subarsono AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudibjo. 1999. Kajian Agroforestry Karet dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Studi Kasus di Desa Sepunggur, Kecamatan Muara Bungo, Kabupaten Bungo Tebo, Propinsi Jambi). Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 14. Bogor: ICRAF Southeast Asia
179 Sudikan SY. 2006. Ragam Metode Pengumpulan Data. Di dalam Bungin B
[editor]. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian kontemporer. Jakarta: Rajawali Pres.
Sugiyono. 2007. Statistik Non Parametris untuk Penelitian. Cetakan kelima. Bandung: CV Alfabeta.
Suharto E. 2006. Analisis Kebijakan Publik. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: CV. Alvabeta.
Suharto E. 2007. Modal Sosial dalam Kebijakan Publik. Di dalam: Sugeng B dan Susantyo B [editor]. Bunga Rampai Modal Sosial dalam Pembangunan Sosial. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. hlm 1 – 14.
Suhendang E. 2008. Multisistem Silvikultur dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Prosiding Lokakarua Nasional Penerapan MultisistemSilvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi. Institut Pertanian Bogor.
Sumodiningrat G. 1999. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Berbasis Pemberdayaan. Yogyakarta: IDEA.
Sumanto SE. 2009. Kebijakan Pengembangan Perhutanan Sosial dalam Perspektif Resolusi Konflik. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 6(1):13-25
Sunderlin WD, Angelsen A, Belcher B, Burgess P, Nasi R, Santoso L, Wunder S. 2005. Livelihoods, Forests, and Conservation in Developing Countries: an Overview. World Development 33(9): 1383–1402.
Susiatik T. 1998. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Terpadu (PMDHT) di Desa Mojokerto Kecamatan Wirosari Kabupaten Dati II Grobogan Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Syahyuti. 2002. Ikatan Genealogis dan Pembentukan Struktur Agraria: Kasus pada Masyarakat Pinggiran Hutan di Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Jurnal Agro Ekonomi 20 (1)
Tim Kajian HTR. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan kerjasama dengan EC Indonesia FLEGT SP. 2007. Kajian Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi Jambi dan Kalimantan Barat. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Badan Litbang Kehutanan.
Todaro PM, Smith SC. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Airlangga
Wahab SA. 2008. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksaaan Negara. Cetakan keenam. Jakarta: Bumi Aksara.
Weyerhaeuser H, Kahrl F, Su Y. 2006. Ensuring a feature for collective forestry in china’s southwest: adding human and social capital to policy reforms. Science Direct, Forest Policy and Economics 8:375-385.
180 Winarno B. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Cetakan Kedua Edisi
Revisi. Yogyakarta: Media Presindo.
Winarto H. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
World Bank. 2006. Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia. Jakarta: The World Bank.
Yukl GA. 1994. Kepemimpinan Dalam Organisasi. Terjemahan dari : Leadership in Organizations. Udaya J, penerjemah. New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Yuwono S. 2006. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan Hutan Rakyat Pola Kemitraan di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Zbinden S, Lee DR. 2005. Paying for Environmental Services: An Analysis of Participation in Costarica’s PSA Program. World Development 33(2):255-272.
Lampiran l. Perbedaan antara Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan Rakyat (HR) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Hutan Rakyat Hutan Kemasyarakatan Hutan Tanaman Rakyat Definisi Hutan yang tumbuh di atas tanah yang
dibebani hak mlik atau hak lainnyadengan ketentuan minimum luas 0,25 Ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuandan tanaman lainnya lebih dari 50%. (P.03/Menhut-V/2004)
Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakanmasyarakat (PP No. 6/2007)
Hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dankualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. (PP No.6/2007)
Aspek Legal (Peraturan
Pemerintah dan Permenhut)
- PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,Serta Pemanfaatan Hutan
- SK Menhut No: 49/Kpts-11/1997; tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat
- Permenhut No: P.03/Menhut-V/2004 tentang Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan GNRHL
- PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,Serta Pemanfaatan Hutan
- SK Menhut No: 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan
- SK Menhutbun No: 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
- SK Menhut No: 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan
- Permenhut No: 37 tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan
- PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,Serta Pemanfaatan Hutan
- Permenhut No: P.23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Rakyat Dalam Hutan Tanaman
- Permenhut No: P.5/Menhut-II/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri No P.23/Menhut-II/2007
- Permenhut No:P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk mendapatkan pinjaman dana bergulir pembangunan HTR
- Permenhut No: P.62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu HTI dan HTR
- Permenhut No : P.14/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Permenhut No: P.62/Menhut-I/2008
- Permenhut No: P.64/Menhut-II/2009 tentang standar biaya pembangunan HTI dan HTR 183
Hutan Rakyat Hutan Kemasyarakatan Hutan Tanaman Rakyat
Aspek Kelembagaan
1. Lokasi Pengembangan
Hutan milik (di luar kawasan hutan negara)
- Hutan Konservsi (kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional),
- Hutan Lindung - Hutan Produksi
- Hutan Produksi
2. Eselon I Dephut yang menangani BPDASPS RLPS BUK
3. Skema Pendanaan
- Bantuan Inpres Penghijauan dan Reboisasi
- Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUKDAS)
- Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR)
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan/atau
- Sumber-sumber lain yang tidak mengikat
- Pinjaman dana bergulir dari Badan Layanan Umum Pembiayaan Pembangunan Hutan.
- Swadaya Masyarakat
Aspek Kepemilikan
1. Kepemilikan lahan
Milik masyarakat Milik Negara Milik Negara
2. Kepemilikan tanaman
Milik Masyarakat Milik Negara Milik Masyarakat
184
Lampiran 2. Lokasi Penelitian Berdasarkan Peta Pencadangan Areal HTR di Kabupaten Sarolangun
185
Lampiran 3 Proses mekanisme pencadangan areal HTR (Nugroho 2008)
MENHUT BAPLAN BPK SEKJEN GUBERNUR DISHUT PROP
BUPATI/ KOTA
DISHUT KAB BPKH
Peta arahan indikatif
Penyiapan dan penyampaianPeta arahan
indikatif
Tembusan Peta arahan indikatif per
propinsi
Tembusan Peta arahan indikatif per
propinsi
Tembusan Peta arahan indikatif per
propinsi
Tembusan Peta arahan indikatif per
propinsi
Tembusan Peta arahan indikatif per
propinsi
Tembusan Peta arahan indikatif per
propinsi
Sosialisasi program
Sosialisasi program
Sosialisasi program
Sosialisasi pembiayaan
Sosialisasi pembiayaan
Sosialisasi pembiayaan
Asistensi Perpetaan
Pertimbangan Teknis dan peta arahan
1:50.000
Rencana & Usulan lokasi peta 1:50.000
Tembusan Rencana &
Usulan lokasi peta 1:50.000
Tembusan Rencana &
Usulan lokasi peta 1:50.000
Rencana & Usulan lokasi peta 1:50.000
Verifikasi peta
Konsep peta pencadangan
Verifikasi teknis adm
Konsep SK pencadangan
SK pencadangan
HTR
186
Lampiran 4 Proses pengajuan Izin Usaha Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman Rakyat (Nugroho 2008)
MENHUT DIRJEN
BPK BUPATI/
KOTA LSM CAMAT UPT
DEPHUT KEPALA
DESA KK/
PETANI KOPERASI PENYU-LUH
alokasi dan penetapan
areal
Pencadangan areal
Sosialisasi
Sosialisasi
Sosialisasi
Informasi areal
pencadangan
Informasi areal
pencadangan
Membentuk kelompok
Membentuk koperasi
Persyaratan: - KTP - Ket. domisili - Sketsa areal
Persyaratan: - Akte pendirian - Ket. kades - Sketsa areal - Peta
Fasilitasi pembuatan sketsa areal
Rekomen-dasi
Rekomen-dasi
Rekomen-dasi
Surat permohonan
Rekomendasi Kepala Desa
perrtimbangan teknis UPT
Permohonan perorangan/
kopersai
Menerbitkan SK IUPHHK- HTR dilampiri
Peta Areal kerja 1:50.000
Tembusan SK
IUPHHK HTR
Tembusan SK
IUPHHK HTR
Verifikasi persyaratan
Verifikasi persyaratan
Surat permohonan
Surat permohonan perorangan/
koperasi
Pertimbangan teknis
SK IUPHHK HTR SK IUPHHK
HTR
187
Lampiran 5 Distribusi Modal Fisik yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa Asal Responden
Indikator Desa Seko Besar Desa Lamban Sigatal Desa Taman Bandung
Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % n % n % n % n % n %
Kepemilikan lahan 19 70.37 2 7.40 6 22.22 17 68.00 2 8.00 6 24.00 15 51.72 6 20.69 8 27.59 Ketersediaan areal 4 14.81 15 55.56 8 29.63 6 24.00 4 16.00 15 60.00 5 17.25 10 34.48 14 48.28 Keberadaan tanaman 5 18.52 13 48.15 9 33.33 16 64.00 7 28.00 2 8.00 13 44.83 11 37.93 5 17.24 Total Modal Fisik 12 44.44 12 44.44 3 11.11 3 12.00 22 88.00 0 00.00 13 44.83 14 48.28 2 6.89 Lampiran 6 Distribusi Modal Manusia yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa Asal Responden
Indikator Desa Seko Besar Desa Lamban Sigatal Desa Taman Bandung
Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % n % n % n % n % n %
Tingkat pendidikan 2 7.41 6 22.22 19 70.37 7 28.00 13 52.00 5 20.00 16 55.17 8 27.59 5 17.24 Tingkat pengetahuan 9 33.33 14 51.85 4 14.81 15 55.55 6 24.00 4 16.00 3 10.34 19 65.52 7 24.14 Tingkat pendapatan 0 0.00 2 7.41 25 92.59 1 4.00 9 36.00 15 60.00 1 3.45 3 10.35 25 86.20
Modal manusia 2 7.40 7 25.93 18 66.67 6 24.00 14 56.00 5 20 14 48.29 10 34.48 5 17.24
188
Lampiran 7 Distribusi Modal Sosial yang Dimiliki oleh Masyarakat Berdasarkan Desa Asal Responden
Indikator Desa Seko Besar Desa Lamban Sigatal Desa Taman Bandung
Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % n % n % n % n % n %
Kepercayaan sesama 3 11.11 22 81.48 2 7.41 9 36.00 10 40.00 6 24.00 13 44.83 15 51.72 1 3.45 Kepatuhan thd norma 10 37.04 12 44.44 5 18.52 11 44.00 11 44.00 3 12.00 7 24.14 16 55.17 6 20.69 Kepedulian 8 29.63 13 48.15 6 22.22 13 52.00 9 36.00 3 12.00 8 27.59 16 55.17 5 17.24 Keterlibatan sosial 4 14.81 20 70,07 3 11.11 3 12.00 17 68.00 5 20.00 9 31.03 15 51.72 5 17.24 Mosal Sosial 8 29.63 11 40.74 8 29.63 6 24.00 10 40.00 9 36.00 1 3.45 16 55.17 12 41.38
189
Lampiran 8 Nilai Bobot Faktor Strategis Internal No. Faktor Strategis Internal Resp. 1 Resp. 2 Resp. 3 Resp. 4 Resp. 5 Rerata I. Kekuatan
1. Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 2. Masyarakat percaya bahwa dengan ikut HTR maka kegiatan
pemanfaatan HP menjadi legal 0.09 0.08 0.08 0.09 0.09 0.08 3. Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 0.05 0.06 0.05 0.05 0.06 0.05 4. Tingkat pengetahuan tentang implementasi HTR yang memadai 0.08 0.08 0.08 0.07 0.07 0.07 5. Tingkat kepercayaan terhadap, tokoh masyarakat dan agama tinggi 0.04 0.04 0.05 0.04 0.04 0.04 6. Tingkat kepercayaan yang baik terhadap instansi pemerintah daerah 0.05 0.04 0.05 0.06 0.05 0.05 7. Masyarakat masih menjalankan norma-norma dan nilai-nilai sosial 0.04 0.04 0.05 0.05 0.04 0.04 8. Tingkat kepedulian masyarakat terhadap sesama yang tinggi 0.05 0.04 0.05 0.05 0.04 0.05 9. Keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam program HTR tinggi
0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08
Total Bobot Kekuatan 0.56 0.56 0.56 0.56 0.56 0.56
II. Kelemahan 1. Matoritas masyarakat menanam tanaman karet 0.04 0.04 0.06 0.04 0.05 0.05 2. Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 0.05 0.04 0.05 0.05 0.04 0.04 3. Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 4. Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03 0.04 5. Tk. kepercayaan pada orang lain bila berhubungan dgn uang rendah 0.04 0.06 0.04 0.06 0.05 0.05 6. Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 0.05 0.06 0.06 0.05 0.06 0.06 7. Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 0.08 0.07 0.07 0.07 0.08 0.07 8. Budaya masyarakat yang kurang mendukung
0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 0.07 Total Bobot Kelemahan 0.37 0.37 0.37 0.37 0.38 0.37
TOTAL BOBOT INTERNAL 0.93 0.93 0.93 0.93 0.94 0.94
190
Lampiran 9 Nilai Bobot Faktor Strategis Eksternal No. Faktor Strategis Eksternal Resp. 1 Resp. 2 Resp. 3 Resp. 4 Resp. 5 Rerata III. Peluang
1. Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 0.07 0.07 0.06 0.08 0.07 0.35 2. Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 0.05 0.06 0.08 0.05 0.05 0.28 3. Terjadi kelangkaan kayu 0.07 0.07 0.06 0.07 0.08 0.35 4. Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.25 Total Bobot Peluang 0.25 0.25 0.25 0.24 0.25 0.25
IV. Ancaman 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 0.06 0.10 0.06 0.06 0.08 0.074 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan dan
kemitraan) 0.12 0.10 0.12 0.12 0.12 0.117 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 0.11 0.12 0.12 0.12 0.11 0.116 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dalam mendukung HTR 0.12 0.10 0.11 0.11 0.09 0.105 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 0.09 0.09 0.10 0.10 0.09 0.096 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 0.12 0.12 0.10 0.10 0.12 0.112 7 Jumlah pendamping yang belum memadai 0.13 0.13 0.14 0.14 0.13 0.134 Total Bobot Ancaman 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75
TOTAL BOBOT EKSTERNAL 1.248 1.246 1.246 1.242 1.246 1.246
Keterangan Skor Ketertarikan (Attractiveness Score) : (1) Tidak Atraktif, (2) Kurang atraktif, (3) Cukup Atraktif, (4) Sangat Atraktif 191
Lampiran 10 Nilai Rating Faktor Strategis Internal No. Faktor Strategis Internal Resp. 1 Resp. 2 Resp. 3 Resp. 4 Resp. 5 Rerata I. Kekuatan
1. Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 3 4 4 4 3 3.60 2. Masyarakat percaya bahwa dengan ikut HTR maka kegiatan
pemanfaatan HP menjadi legal 4 4 3 3 4 3.60 3. Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 3 3 3 3 3 3.00 4. Tingkat pengetahuan tentang implementasi HTR yang memadai 4 4 4 2 4 3.60 5. Tingkat kepercayaan terhadap, tokoh masyarakat dan agama tinggi 3 2 3 3 4 3.00 6. Tingkat kepercayaan yang baik terhadap instansi pemerintah daerah 3 4 3 4 3 3.40 7. Masyarakat masih menjalankan norma-norma dan nilai-nilai sosial 1 3 2 3 3 2.40 8. Tingkat kepedulian masyarakat terhadap sesama yang tinggi 3 2 3 2 1 2.20 9. Keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam program HTR tinggi
3 4 4 3 4 3.60 Total Rating Kekuatan 27 30 29 27 29 28.40
II. Kelemahan 1. Matoritas masyarakat menanam tanaman karet 3 3 4 4 3 3.40 2. Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 3 2 2 3 2 2.40 3. Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 4 4 4 4 3 3.80 4. Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 2 2 1 2 1 1.60 5. Tk. kepercayaan pada orang lain bila berhubungan dgn uang rendah 2 2 2 2 2 2.00 6. Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 2 3 2 2 3 2.40 7. Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 4 3 3 4 4 3.60 8. Budaya masyarakat yang kurang mendukung
3 4 3 3 3 3.20
Total Rating Kelemahan 23.00 21.00 24.00 21.00 23.00 22.40 TOTAL RATING INTERNAL 53 50 51 50 53 50.80
192
Lampiran 11 Nilai Rating Faktor Strategis Eksternal No. Faktor Strategis Eksternal Resp. 1 Resp. 2 Resp. 3 Resp. 4 Resp. 5 Rerata III. Peluang
1. Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 3 3 4 3 4 3.40 2. Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 3 3 4 3 1 2.80 3. Terjadi kelangkaan kayu 3 4 4 4 3 3.60 4. Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 3 2 3 2 3 2.60 Total Rating Peluang 12 12 15 12 11 12.40
IV. Ancaman 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 1 3 1 3 1 1.80 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan dan
kemitraan) 4 2 2 1 3 2.40 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 3 2 4 3 3 3.00 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dalam mendukung HTR 3 2 2 2 3 2.40 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 3 3 2 3 2 2.60 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 3 4 2 3 2 2.80 7 Jumlah pendamping yang belum memadai 4 2 3 4 3 3.20 Total Rating Ancaman 21 18 16 19 17 18.20
TOTAL RATING EKSTERNAL 33 30 31 31 28 30.60 193
Lampiran 12 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 1 Skor AS Strategi 1 : Mengakomodir Pola Pemanfaatan Kawasan Hutan yang Ada Saat Ini Sebagai Salah Satu Bentuk HTR
No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)
Resp. 1
Resp. 2
Resp. 3
Resp. 4
Resp. 5 Rerata
I. KEKUATAN 1 Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 4 4 3 4 4 3.8 2 Kegiatan pemanfaatan HP menjadi legal karena HTR 4 3 4 4 4 3.8 3 Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 2 2 4 3 3 2.8 4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup memadai 4 4 3 3 4 3.6 5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 2 2 1 2 1 1.6 6 Tingkat kepercayaan yang baik thd instansi pemerintah daerah 3 4 4 4 4 3.8 7 Masyarakat masih menjalankan norma-norma sosial 3 2 2 3 4 2.8 8 Tingkat kepedulian yang tinggi 2 2 1 3 3 2.2 9 Keinginan masyarakat untuk ikut serta program HTR tinggi
4 3 4 4 4 3.8 II KELEMAHAN
1 Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet 3 4 4 3 4 3.6 2 Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 2 3 2 2 3 2.4 3 Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 4 4 3 4 4 3.8 4 Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 2 2 3 2 2 2.2 5 Tk. kepercayaan rendah bila berhubungan dgn uang 2 3 2 3 3 2.6 6 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 3 2 3 3 2 2.6 7 Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 3 4 4 3 4 3.6 8
Budaya masyarakat yang kurang mendukung
4 4 4 4 3 3.8
194
Lanjutan Lampiran 12 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 1
No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)
Resp. 1
Resp. 2
Resp. 3
Resp. 4
Resp. 5 Rerata
III. PELUANG 1 Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 4 4 4 3 4 3.8 2 Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 3 4 3 3 4 3.4 3 Terjadi kelangkaan kayu 2 3 4 3 3 3.0 4 Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 4 4 3 3 4 3.6
IV. ANCAMAN 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 3 3 4 2 3 3.0 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan & mitra) 4 3 3 2 4 3.2 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 4 3 4 4 3 3.6 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dlm mendukung HTR 3 4 4 3 4 3.6 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 3 3 2 3 4 3.0 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 4 3 4 2 3 3.2 7 Jumlah pendamping yang belum memadai
4 3 4 4 3 3.6
195
Lampiran 13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 2 Skor AS Strategi 2 : Mengoptimalkan Dukungan Pemda untuk Percepatan HTR
No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)
Resp. 1
Resp. 2
Resp. 3
Resp. 4
Resp. 5 Rerata
I. KEKUATAN 1 Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 3 3 2 3 4 3.0 2 Kegiatan pemanfaatan HP menjadi legal karena HTR 4 4 3 4 4 3.8 3 Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 3 2 3 4 2 2.8 4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup memadai 3 3 4 3 4 3.4 5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 4 3 4 4 3 3.6 6 Tingkat kepercayaan yang baik thd instansi pemerintah daerah 4 4 3 4 4 3.8 7 Masyarakat masih menjalankan norma-norma sosial 2 1 3 2 3 2.2 8 Tingkat kepedulian yang tinggi 2 2 3 2 2 2.2 9 Keinginan masyarakat untuk ikut serta program HTR tinggi
3 4 3 3 3 3.2
II KELEMAHAN 1 Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet 3 2 3 2 1 2.2 2 Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 4 3 3 4 3 3.4 3 Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 3 4 4 3 4 3.6 4 Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 2 1 2 3 2 2.0 5 Tk. kepercayaan rendah bila berhubungan dgn uang 2 3 3 2 1 2.2 6 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 2 2 3 2 2 2.2 7 Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 3 4 2 3 3 3.0 8
Budaya masyarakat yang kurang mendukung
3 3 4 3 4 3.4
196
Lanjutan Lampiran 13 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 2
No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)
Resp. 1
Resp. 2
Resp. 3
Resp. 4
Resp. 5 Rerata
III. PELUANG 1 Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 3 3 4 4 3 3.4 2 Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 2 2 3 2 2 2.2 3 Terjadi kelangkaan kayu 2 3 3 4 4 3.2 4 Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 4 3 4 4 3 3.6
IV. ANCAMAN 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 1 2 2 1 2 1.6 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan & mitra) 3 3 4 3 3 3.2 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 2 3 3 2 3 2.6 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dlm mendukung HTR 2 3 3 2 3 2.6 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 2 2 3 3 2 2.4 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 3 4 2 3 4 3.2 7 Jumlah pendamping yang belum memadai
2 2 3 2 2 2.2
197
Lampiran 14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 3 Skor AS Strategi 3 : Menggunakan Isu Kelangkaan Kayu dan Pemasaran sebagai Rangsangan Untuk Menanam Pohon
No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)
Resp. 1
Resp. 2
Resp. 3
Resp. 4
Resp. 5 Rerata
I. KEKUATAN 1 Masyarakat memiliki lahan di areal pencadangan HTR 4 4 3 3 4 3.6 2 Kegiatan pemanfaatan HP menjadi legal karena HTR 3 3 3 4 3 3.2 3 Tingkat pendidikan formal yang cukup memadai 3 2 3 2 3 2.6 4 Tingkat pengetahuan tentang HTR cukup memadai 4 3 3 4 3 3.4 5 Tingkat kepercayaan terhadap sesama tinggi 2 2 3 3 2 2.4 6 Tingkat kepercayaan yang baik thd instansi pemerintah daerah 4 3 4 4 2 3.4 7 Masyarakat masih menjalankan norma-norma sosial 2 3 2 2 3 2.4 8 Tingkat kepedulian yang tinggi 3 4 2 2 2 2.6 9 Keinginan masyarakat untuk ikut serta program HTR tinggi
3 4 4 3 4 3.6
II KELEMAHAN 1 Mayoritas masyarakat menanam tanaman karet 1 2 1 2 2 1.6 2 Masyarakat memiliki tingkat pendidikan informal yang rendah 2 3 2 3 2 2.4 3 Masyarakat memiliki tingkat pendapatan yang rendah 4 4 4 3 4 3.8 4 Tingkat kepercayaan terhadap orang asing rendah 3 3 2 3 3 2.8 5 Tk. kepercayaan rendah bila berhubungan dgn uang 3 2 3 3 2 2.6 6 Masyarakat luar desa sulit untuk berpartisipasi dalam HTR 3 2 3 3 4 3.0 7 Lemahnya dukungan transportasi dan aksesibilitas 4 3 3 4 2 3.2 8
Budaya masyarakat yang kurang mendukung
4 4 3 4 3 3.6
198
Lanjutan Lampiran 14 Penilaian Skor Ketertarikan (Attractiveness Score, AS) Analisis QSPM Strategi 3
No. Faktor Strategis Attractiveness Score (AS)
Resp. 1
Resp. 2
Resp. 3
Resp. 4
Resp. 5 Rerata
III. PELUANG 1 Adanya dukungan Pemerintah Daerah dan LSM 3 3 4 3 3 3.2 2 Adanya peluang pemasaran kayu rakyat ke PT Samhutani 4 4 4 3 4 3.8 3 Terjadi kelangkaan kayu 4 4 4 4 4 4.0 4 Pemda mempunyai persepsi bahwa HTR menguntungkan Pemda 3 4 4 3 4 3.6
IV. ANCAMAN 1 Adanya program Kota Terpadu Mandiri 1 2 1 2 2 1.6 2 Belum adanya jaminan berusaha (lembaga permodalan & mitra) 2 3 2 2 1 2.0 3 Dukungan Pemda masih bersifat keproyekan 3 2 3 3 2 2.6 4 Rendahnya kesiapan dan komitmen Pemda dlm mendukung HTR 3 2 1 2 2 2.0 5 Tingkat koordinasi antar instansi dalam implementasi HTR rendah 3 3 2 2 1 2.2 6 Rendahnya kapasitas Kepala Desa dalam implementasi HTR 3 3 2 3 3 2.8 7 Jumlah pendamping yang belum memadai
4 3 3 2 3 3.0
199
200 Lampiran 15.Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan di Kelompok Hutan
dalam Kawasan Pencadangan HTR di sekitar Desa Taman Bandung
No Nama Jenis Lokal Nama Botani Famili
1 Balam terung Palaquium hexandrm Baill Sapotaceae
2 Balam tenginai Palaquium ridleyi K.et.G Sapotaceae
3 Beringin Ficus benyamina Moracea
4 Bengkirai Shorea laevolia Dipterocarpaceae
5 Binuang Octomeles sumatrana Datisceae
6 Durian hutan Durio carinatus Bombaceae
7 Geronggang Craxtoxylum arborescens Bl Guttiferae
8 Gaharu buaya Gonystylis macrophylus A.Shaw Thymeliaceae
9 Gaharu Axuilaria malacensis Thymeliaceae
10 Jambu-jambu Eugenia sp Myrtaceae
11 Jabon Anthocephalus chinensis Rubiaceae
12 Jelutung Dyera costulata Apocynaceae
13 Katiau Ganua motleyana Pierrre Sapotaceae
14 Kempas/Mangeris Koompasia malcensis Maing Caesalpinaceae
15 Kepayang Scaphium macropodium J.B, Sterculiaceae
16 Kedondong hutan Pentaspadon montleyi Hook.f Anarcadiaceae
17 Kelat Xylopioa sp Annonaceae
18 Keranji Dialium platysepalum Baker Caesalpinaceae
19 Keruing Dipterocarpus sp Dipterocarpaceae
20 Kulim Scorodocarpus borneensis Becc Olacaceae
21 Laban Vitex pubescens Vak Verbenaceae
22 Mahang Macaranga triloba Muell.Arg. Euphorbiaceae
23 Mahang Sekubung Macaranga gigantea Muell.Arg Euphorbiaceae
24 Kayu Arang Diospyros malam Bakh Ebenaceae
25 Meranti tembaga Shorea leprosula Dipterocarpaceae
26 Medang seluang Litsea firma Hook.f Lauraceae
27 Medang Kuning Litsea sp Lauraceae
28 Medang Labu Litsea sp Lauraceae
29 Meranti Maja Shorea virescens Parijs Dipterocarpaceae
201 Lanjutan Lampiran 15. Beberapa Jenis Pohon Penting yang Ditemukan di
Kelompok Hutan dalam Kawasan Pencadangan HTR
No Nama Jenis Lokal Nama Botani Famili
30 Merpayang Sterculia MacrophyllaVent Sterculiaceae
31 Mersawa Anisoptera marginata Dipterocarpaceae
32 Pulai Alstonia angustifolia Wall Apocynaceae
33 Pulai gading Alstonia scholaris Apocynaceae
34 Pelawan Tristania Whiteana Griff Myrtaceae
35 Petaling Ochanostachys amantaceae Nast Olacaceae
36 Petanang Dryobalanops oblongifolia Dipterocarpaceae
37 Pinang Arenga catechu Palmae
38 Randu Ceiba petandra Bombaceae
39 Rotan saga Calamus tiliaceus Graminaeae
40 Rotan jenang Daemonorop sp Graminaeae
41 Simpur Dilenia exelsa Miq Moraceae
42 Sungkai Paneronema canescens Jack Verbenaceae
43 Terentang Campnosperma auriculata Anarcadiaceae
44 Tengkawang Shorea stenoptera Burck Dipterocarpaceae
45 Tengkawang Shorea palembanica Dipterocarpaceae
46 Tengkawang Shorea pinanga Dipterocarpaceae
47 Tengkawang telur Shorea compressa Burck Dipterocarpaceae
48 Terap Artocarpus elasticus Reinw Moraceae
Top Related