REVIEW BUKU
Judul Buku : Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisipasi, Representasi dan
Demokrasi di Aras Lokal
Penulis : Hasrul Hanif
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : 204
Hasrul Hanif merupakan seorang pemuda lulusan Universitas Gadjah Mada dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Pemerintahan. Semasa kuliah aktif
sebagai Pemimpin Umum di LPPM Sintesa Fisipol UGM dan Editor Jurnal Transformasi.
Memiliki banyak pengalaman penelitian dan advokasi di dalam kajian demokrasi,
desentralisasi, HAM, multikulturalisme, anggaran partisipatif dan lain sebagainya. Selain itu
tulisannya banyak tersebar dalam bentuk tulisan jurnal, buku, majalah serta makalah
seminar nasional. Salah satu judul buku yang telah dia terbitkan adalah Mengembalikan
Kedaulatan Rakyat Pesisir.
Buku ini menyajikan proses institusionalisasi demokrasi di Indonesia dengan cara
yang berbeda dan sangat menarik. Demokratisasi dimunculkan sebagai sebuah
kerajinan yang runyam dan realistis karena hadir melalui berbagai ketegangan, pro-kontra
dan tawar menawar di antara berbagai aktor yang terlibat. Lebih dari itu, proses yang
berlangsung menyatu dengan keseharian masyarakat, meskipun kental dengan nuansa
politik.
Selain itu disajikan pula penelusuran terhadap COFISH Project dan dinamika interaksi
internal di Pengolahan Sumber daya Berbasis Komunitas (PSBK) di kawasan sebuah desa
Pesisir Pantai Prigi, Kabupaten Trenaggalek, Provinsi Jawa Timur. Alasan dipilihnya daerah
tersebut dikarenakan Prigi merupakan daerah yang di masa transisi politik sedang
mengalami proses pembangunan kawasan pesisir yang sangat eksesif dengan hadirnya
COFISH project. Selain itu, interaksi negara dengan masyarakat serta instituisi PSBK di Prigi
sangat dinamis dibandingkan dengan daerah COFISH project lainnya dan secara sosiologis,
konfigurasi sosial masyarakat prigi lebih kompleks dan berbeda dengan masyarakat kawasan
pesisir lainnya.
Buku ini keluar dari jebakan elektoralisme yang membayangkan demokrasi tidak
lebih dari sekedar pemberlakuan serangkaian tatanan prosedural. Tidak hanya keluar dari
jebakan elektoralisme melainkan juga member warna lain bagi kajian demokrasi di
Indonesia. Proses demokratisasi tidak lagi focus ke peraturan politik di Jakarta
sebagai centrum. Sebaliknya demokratisasi justru dibedah secara jeli proses tersebut
dalam day to day politics di tingkat lokal. Daily life politics cukup lama diposisikan sebagai
kajian pinggiran sehingga selalu terabaikan. Padahal justru dengan memasuki daily life
politics tersebut. Tantangan demokratisasi yang sesungguhnya baru bisa kita rasakan.
Lebih jauh buku ini kemudian secara bernas mampu membaca dimensi-dimensi
informalitas dalam proses demokratisasi. Informalitas adalah hal yang nyata hadirnya dalam
proses demokratisasi dan seringkali justru lebih menentukan nasib demokratisasi itu sendiri
namun tampaknya dilupakan dalam kajian demokrasi di Indonesia.
Ada 6 Bab dalam buku ini. Pada Bab 1 berisi basis kerangka teoritik yang akan
menjadi kerangka berpikir dalam seluruh bangunan argumen dalam buku ini. Di mana di
dalamnya dibahas tiga konsep kunci, yaitu; konsepsi tentang rejim Otiritarian Birokratik
(OB), korporatisme representasi politik dan demokratisasi di ranah sosial. Proses konsolidasi
rejim politik developmentaliss dan korporatisasi representasi politik di ranah lokal di mana
demokrasi dipasung dijelaskan pada Bab 2.
Selanjutnya di Bab 3 dibahas secara lebih mendalam bagaimana rejim
developmentalis di ranah lokal pesisir untuk melakukan negoisasi politik dan merekonstruksi
baru watak dan wajah otokratiknya dengan menghadirkan model kebijakan pembangunan
yang terlihat populis serta mendorong terbentuknya ruang representasi politik yang lebih
demokratis. Untuk proses penciptaan praktik politik yang demokratis melalui PSBK Prigi
Lestari sebagai ruang representasi politik baru dijelaskan pada Bab 4. Arus polotik subversif
atas matinya kanal demokrasi partisipatoris di aras lokal dan pengembalian daulat warga
dalam proses kebijakan di aras lokal akan dibahas secara mendetail pada Bab 5 dan Bab 6.
BAB 1. Rezim Developmentalis, Korporatisme Negara dan demokrasi
Istilah rezim sebenarnya dirumuskan sebagai prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-
aturan dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara.
Dengan demikian, rezim bisa otoriter dan bisa juga demokratis. Gagasan rezim Otoritarian-
Birokratik (OB) awalnya dimunculkan untuk menjelaskan fenomena otoritarianisme negara-
negara berkembang pada konteks historis tertentu yaitu pada saat berlangsungnya proses
deepening (perluasan). Seiring berjalannya waktu, muncul gejala perubahan sistem politik di
mana keberhasilan pembangunan berjalan bersamaan dengan meningkatnya praktik
kekerasan dan otoritarisme.
Ada beberapa konsep rezim Otoritarian-Birokratik (OB). Telah digambarkan oleh
Guillermo O’Donnel (1973) bahwa rezim OB tak hanya berhasil menampilkan negara
menjadi sebuah kekuatan politik yang relatif mandiri berhadapan dengan faksi-faksi
pendukungnya dan masyarakat sipil, tetapi juga mampu memiliki kekuatan dominan yang
mampu mengatasi keduanya. Rezim OB menurut Herb Feith (1980) mempunyai bentuk
ideologis yang khas dengan tiga unsur karakter penopang, yaitu: teknokratis-
developmentalis, militeristis dan nasionalistis. Ada satu konsep rezim OB lainnya yang
dimunculkan oleh King, di mana konsep ini lebih banyak menekankan dimensi dominasi,
manajemen politik dan budaya politik ketimbang budaya dimensi historis-struktural dan
ekonomi politik.
Terdapat berbagai keterbatasan akan studi rezim OB diantaranya selama ini studi
rezim OB tidak menjelaskan lebih lanjtu konteks historis-struktural negara, selain itu hanya
sedikit sekali studi rezim OB yang menyinggung persoalan representasi politik masyarakat
dan tidak terlalu peka dalam mendokumentasikan dinamika di ranah politik masyarakat akar
rumput. Studi rezim OB juga tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana prospek dan masa
depan demokrasi di ranah lokal di mana rezim OB sedang menjalankan peran-peran
politiknya. Dengan demikian, keterbatasan studi rezim OB untuk menjelaskan bobot
otoritarianisme rezim, representasi masyarakat serta interaksi elemen pendukung rezim OB
dan masyarakat di ranah lokal sangatlah membuka peluang untuk memodifikasi model
tersebut dengan melengkapi pembahasan teoritik pada karya akademik.
Kajian utama mengenai studi korporatisme adalah pentingnya sistem intermediasi
kepentingan yang menghubungkan antara kepentingan-kepentingan prosedur dan negara
secara eksplisit, pada ranah organisasi pembuat kebijakan, baik dalam rangka negoisasi
kebijakan maupun menjaga adanya pemenuhan tuntutan dari anggota-anggota mereka
dengan kebijakan yang telah disepakati.penggunaan jejaring korporatis sebagaimana yang
dilakukan oleh rezim OB di ranah lokal merupakan mekanisme yang memberi ruang bagi
negara untuk mencegah atau meminimalisir adanya kecenderungan konflik yang muncul di
dalam masyarakat lokal.
Persinggungan gagasan model rezim OB dengan Korporatisme terjadi saat negara
akan melakukan tindakan-tindakan akomodatif terhadap kelas dominan dan represif
terhadap tuntutan-tuntutan yang muncul dari kekuatan-kekuatan kelas bawah. Kehadiran
rezim OB di ranah lokal melibatkan proses negoisasi, akomodasi dan resistensi yang muncul
terus menerus mengiringi konsolidasi elemen pendukung rezim OB di ranah lokal. Proses
tersebut muncul sebagai akibat perkembangan pertumbuhan sosial yang menghasilkan
marjinalisasi kelompok tertentu dan bisa pula muncul dari kontradiksi. Rezim OB dan
jejaring korporatisnya akan selalu menampakkna derajat intervensi dan penetrasi yang
sangat dinamis dan sangat beragam dalam konteks ruang dan waktu tertentu.
Sekuat apapun rezim otoriter bertahan, pada fase historis tertentu akan kehilangan
kapasitasnya dan berada pada muara krisis. Fase perubahan yang muncul pascakrisis
legitimasi rezim OB ditandai oleh dua fase waktu, yaitu: liberalisasi dan transisi. Fase
liberalisasi merupakan proses pengefektifan hak-hak politik yang melindungi individu dan
kelompok-kelompok sosial dari perbuatan kesewenang-wenangan atau tidak sah dari
negara atau pihak ketiga. Sedangkan fase transisi titik awal atau interval selang waktu
antara rezim otiritarian dengan rezim demokratis.
Setelah proses liberalisasi dan transisi terlewati, maka fase berikutnya adalah fase
konsolidasi. Konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen
seluruh elemen yang ada terhadap aturan demokrasi. Dengan kata lain, konsolidasi
mensyaratkan adanya transformasi di ranah masyarakat sipil untuk menjadi kekuatan yang
mandiri independen dan otonom setelah sekian lama berada dalam struktur korporatis
negara serta mengalami kooptasi dan penetrasi negara yang begitu mendalam. Konsolidasi
pada fase lebih lanjut bukan sekedar memastikan instuisi-instuisi demokrasi bisa hadir dan
bekerja secara aturan main bisa ditegakkan, tetapi kini muncul tuntukan untuk
mengembangkan inovasi institusional dalam rangka penciptaan ruang dan mekanisme di
mana aktivitas keterlibatan dan partisipasi publik aktif dalam berbagai proses politik.
BAB 2. Konsolidasi Rezim Developmentalis, Otoritarianisme dan Demokrasi
Semu di Aras Lokal
Rezim Otiritarian-Birokratik (OB) Orde Baru muncul dengan menanggung berbagai
beban warisan krisis struktural rezim-rezim sebelumnya. Krisis tersebut berupa inflasi-inflasi
yang merajalela, beban utang yang sangat berat serta menciptakan situasi di mana proses
politik yang demokratis bagi pemimpin baru, dianggap tidak akan menciptakan kebijakan-
kebijakan yang secara ekonomi layak dan secara politis bisa diterima.
Rezim OB Orde Baru telah mampu menjadikan negara sedemikian relatif otonom
dari kekuatan-kekuatan di luar negara tetapi juga tetap populis. Dalam rangka
mengorganisir adanya peningkatan aktivasi politik massa dan konflik kepentingan yang pasti
muncul, strategi penggunaan jaringan-jaringan koorporatis menjadi hal yang sentral bagi
rezim OB Orde baru.
Semenjak awal kelahirannya, rezim OB Orde baru telah mengukuhkan pilihannya
atas stabilisasi dan pembangunan ekonomi kapitalistik berorientasi keluar. Untuk semakin
mengukuhkan proses tersebut, reproduksi wacana modernisasi sosialmasyarakat desa
melalui revolusi hijau di wilayah agraris dan revolusi biru di wilayah pesisir diperkenalkan
dalam komunikasi sosial di desa untuk menyanggah supra ideologi nasional.
Sementara itu, dominasi negara atas rakyat mulai memapankan keberadaannya
semenjak terintegrasinya sistem perekonomian desa yang awalnya subsisten pada sistem
ekonomi kapitalistik melalui kebijakan modernisasi pertanian dan perikanan. Praktik
modernisasi di pedesaan bukan hanya menjadi proses pelanggaran kemiskinan dan jurang
disparitas sosial yang semakin menganga tetapi juga memunculkan fenomena yang disebut
politik “carrots” berupa hubungan ekonomi elit lokal terhadap negara.
Krisis kapitalisme di Asia Tenggara pada paruh waktuu 1997 menjadi momen historis
yang menandai runtuhnya bangunan bangunan kekuasaan rezim otokratik Orde baru.
Prosesi krisis ini diawali oleh devaluasi mata uang rupiah terhadap dolar AS dan diperparah
oleh rapuhnya “psikologi” pasar atas ketidakpastian ekonomi yang kemudian memunculkan
adanya percepatan pengalihan modal. Alhasil, kemiskinan tiba-tiba membayangi setiap
sudut ruang negara yang pernah mendapat julukan sebagai salah satu “Asian Miracles” ini.
Adapun krisis legitimasi muncul sebagai arus balik dan blunder tindakan politik
negara yang semakin memuncak sehingga negara harus menuai banyak gugatan oposisional
dan anarkis baik dari kalangan elit maupun masyarakat akan rumput. Kemampuan represi
negara pun menghilang sehingga tak mampu lagi mengontrol segala aktivitas kehidupan
masyarakat. Perubahan politik-ekonomi yang telah terjadi tentunya memaksa rezim OB
yang berkuasa untuk mengubah wajah otokratiknya bila tetap ingin bertahan di tengah
gerusan arus politik subversif aktor nonnegara dan tercabutnya basis dukungan sumberdaya
ekonomi dan politik.
BAB 3. Krisis Rezim Developmentalis, Wacana Pembangunan Alternatif dan
Inisiasi Demokrasi Partisipatoris di Aras Lokal
Kekuatan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) yang selama rezim Otoritarian-
Birokratik (OB) Orde Baru berkuasa selalu dianggap subversif keberadaannya., kini
memperloeh ruang yang semakin leluasa untuk terlibat lebih jauh dalam proses
pembangunan sosial yang sedang berlangsung. Pendampingan Ornop kini seakan inheren
delam setiap perumusan kebijakan pembangunan.
Peran negara dan dominatif dan intervensionis dalam kebijakan modernisasi
perikanan juga membawa dampak yang buruk terutama dalam hal pengelolaan sumberdaya
perikanan dan konflik nelayan. Proses modernisasi menempatkan negara sebagai pelaksana
yang merumuskan, mengimplementasikan serta mengevaluasi kebijakan. Maka tak
mengherankan jika dalam kenyataannnya justru negara lebih sering menggunakan
kekuatan-kekuatan represif dalam mengelola sumber daya perikanan dan mencegah
munculnya konflik dan resistensi nelayan terhadap modernisasi perikanan.
Rezim OB Orde Baru sepertinya tak pernah menyangka akan menjemput denting
kehancurannya dalam waktu yang relatif cepat setelah krsis ekonomi dan legitimasi
berlangsung sejak 1997. Sementara itu posisi tawar dan pengawasan kekuatan di luar
negara, baik di ranah domestik maupun internasional semakin menguat. Sedangkan
kekuatan internasional yang selama ini menopang keberlangsungan sumberdaya material
lewat hibah, utang luar negeri maupun investasi asing mulai membangun pengawasan ketat
atas alokasi aliran dana. Akibatnya strategi politik “carrot” yang menjadi tumpuan utama
untuk memperoleh loyalitas dari arus bawah tak mampu berjalan mulus.
Gabaran tersebut di atas nyata tercermin pada prosesi awal implementasi kebijakan
pembangunan kawasan pesisir melalui kehadiran mega proyek COFISH (Coastal Community
Development and Fisheries Resource management) di kawasan Desa Pantai Prigi, Kabupaten
Trenggalek, Jawa Timur. Mega proyek tersebut merupakan serangkaian dari proyek
PMP2SP. Pilihan kawasan Pantai Prigi memunculkan pertanyaan akan seberapa besar
kepentingan politik ekonomi terhadap kawasan yang sudah menjdai salah satu fishing base
utama di daerah pesisir timur selatan semenjak jaman kolonialisme Belanda tersebut.
Secara ekonomis, kawasan Desa Pantai Prigi memang sangat potesial untuk
dipersiapkan menjadi “pintu gerbang” sektor industri perikanan dan kelautan di pantai
selatan. Catatan lain menunjukkan bahwa Prigi juga mempunyai posisi geografis yang
strategis secara ekonomi dan politik bagi pemerintah lokal. Maka tidak mungkin bila
pembangunan kawasan desa Pantai Prigi hanya merupakan upaya pembangunan dan
perluasan daerah pendaratan ikan serta pemberdayaan masyarakat nelayan semata.
Berbagai upaya peyediaan sarana dan prasarana serta infrastruktur penopang telah lama
dilakukan oleh pemerintah seiring berjalannya proyek COFISH.
Keberadaan institusi yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya berbasis
komunitas atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah PSBK pada awalnya merupakan
bagian implementasi desain kebijakan pembangunan kawasan desa Pantai Prigi. Pada
awalnya pembentukan PSBK Prigi lestari dilakukan untuk melaksanakan kerangka kerja yang
telah disusun dalam Perencanaan Manajemen Perikanan. PSBK Prigi Lestari itu sendiri
merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang berfungsi sebagai forum untuk berdiskusi
dan mencari pemecahan serta mengantisipasi terhadap permasalahan pengelolaah
terhadap sumberdaya perikanan dan lingkungan yang lestari demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Adapun struktur organisasi harian PSBK Prigi Lestari terdiri dari struktur legislatif
atau Majelis Musyawarah Masyarakat Pantai (M3P) dan eksekutif atau badan pelaksana.
Jalannya organisasi Prigi Lestari tersebut dipegang oleh kepengurusan yang bekerja dalam
periode waktu 3 tahun dan bisa dipilih kembali. Agar desain kelembagaan yang sudah
diformulasikan sejak awal tersebut mampu terlaksana dengan baik dan optimal, keberadaan
PSBK Prigi Lestari didampigi oleh beberapa Ornop yang terjun langsung dalam berbagai
kegiatan PSBK. Ada 2 Ornop yang tercatat pernah terlibat dalam pendampingan PSBK Prigi
Lestari, yaitu: SPEKTRA Surabaya dan Yayasan Bina Masyarakat Madani (BMM).
Adapun keempat peran yang mesti diemban oleh PSBK Prigi Lestari dan Kiprah yang
telah dilakukan oleh PSBK Prigi Lestari adalah sebagai berikut: dilakukannya pelestarian
lingkungan dengan malaksanakan usaha penanaman bakau,reboisasi hutan pantai, fish
sanctuary dan pengadaan MCK umum. Selain itu dilakukan juga pengelolaan sumberdaya
perikanan. Selanjutnya diversifikasi usaha melalui berbagai pelatihan manajemen
pemasaran, sentralisasi pengolahan ikan, pembuatan kios pemasaran ikan dan pembagunan
TPA pengelola limbah pindang. Terakhir dilakukannya pengembangan sumberdaya manusia
dalam rangka meningkatkan mutu SDM di kawasan Prigi.
Agar perannya bisa berjalan optimal, maka PSBK Prigi Lestari terlibat dalam
penentuan dan pengaturan zonasi penangkapan iakan, serta terlibat dalam patroli laut dan
pengalihan profesi nelayan jaring tarik. PSBK Prigi Lestari juga terlibat ke dalam beberapa
kasus mediasi konflik nelayan yang terjadi di kawasan Prigi. Semua peran tersebut disusun
menjadi berbagai program Kerja Kegiatan PSBK Lestari atau masih menjadi rencana jika
belum terlaksana.
BAB 4. Penyingkiran Publik, Reoligarki dan Matinya kanal Demokrasi
Partisipatoris di Aras Lokal
Sejak awal usaha-usaha untuk menciptakan PSBK Prigi Lestari sebagai sebuah instuisi
yang mampu melakukan peran-peran intermediasi antara negara dengan stakeholders yang
lain dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan pelestarian lingkngan dengan basis
komunitas telah menjadi perhatian serius aktivis Ornop yang mendampinginya sejak awal
pembentukan. Seiring dengan selesainya kontrak kemitraan SPEKTRA dengan COFISH
Project, SPEKTRA tak lagi mendampingi dan memfasilitasi PSBK Prigi Lestari. SPEKTRA pun
merangkul Ornop yang berbasis lokal dalam proses pendampingan tersebut. Dengan
kemampuan yang ada, Ornop diharapkan mampu mendampingi dan memfasilitasi PSBK
Prigi Lestari.
Adanya manifestasi potensi konflik yang merupakan masalah sosial penting dalam
kehidupan masyarakat pesisir juga tak luput dari perhatian SPEKTRA saat mendampingi
pembentukan PSBK Prigi Lestari. Untuk mencegah terulangnya hal tersebut dan terjadinya
transformasi di dalam tubuh PSBK Prigi Lestari, SPEKTRA melakukan antisipasi dengan
merekayasa posisi puncak dengan presidium dipegang oleh orang yang tidak memiliki
kepentingan langsung.
Namun upaya menjadikan PSBK Prigi Lestari bukan sekedar community development
tak sepenuhnya mendapat dukungan dari kalangan aktivis SPEKTRA lainnya. Keretakan yang
terjadi di tubuh SPEKTRA menyebabkan konsolidasi internal SPEKTRA maupun hubungannya
dengan Ornop lainnya menjadi rapuh. Pada saat bersamaan keretakan di tubuh Ornop
tersebut dibarengi oleh rendahnya antusiasme masyarakat terhadap kehadiran PSBK Prigi
Lestari.
Adanya dominasi birokrasi, rapuhnya kohesivitas kekuatan Ornop pendamping,
lemahnya dukungan masyarakat akibat elitisme instuisi, rendahnya kemampuan organisasi
dan minimnya jaringan, tidak adanya pengetahuan wakil masyarakat di PSBK Prigi Lestari
tentang communitiy-development merupakan beberapa hal yang muncul mengiringi
perjalanan awal PSBK Prigi Lestari.
Interaksi internal PSBK Prigi Lestari akhirnya diwarnai oleh absennya corporate
culture yang mampu mempola PSBK Prigi Lestari secara kelembagaan menjadi sebuah
instuisi yang mandiri, legitimate dan berbasis inisiatif masyarakat dalam melaksanakan
peran-perannya pada kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan, usaha peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan tak pernah optimal.
PSBK Prigi Lestari tampak aktif dalam mendampingi usaha-usaha sosialisasi sehingga
tak berlebihan bila instuisi ini dikenal oleh masyarakat sebagai bagian dari COFISH Project
semata. Namun, kehadiran PSBK Prigi Lestarii juga tak dianggap signifikan di mata
masyarakat akar rumput.
BAB 5. Arus Politik Subversif Atas Matinya Kanal Demokrasi Partisipatoris di
Aras Lokal
Kanal bagi masyarakat rumput untuk mengartikan kepentingannya dalam PSBK tidak
pernah dibuka secara luas akan kuatnya oligarki lokal. Hal ini seringkali membuat lapisan
sosial terluas dalam piramida struktur sosial tersebut tak bersuara. Padahal merekalah yang
seringkali terkena langsung dari dampak kebijakan yang dirumuskan di PSBK Prigi Lestari.
Akibatnya secara perlahan resistensi akan terbangun dan akan menjadi bagian dari respon
sebuah komunitas bila batas-batas substensi dari komunitas tersebut sudah mulai diusik.
Berbagai pola resistensi ternyata juga muncul di kalangan masyarakat akar rumput Prigi saat
substensi mereka mulai terusik oleh kehadiran PSBK Prigi Lestari dan COFISH Project.
Bentuk resistensi frontal yang paling kuat dan bertahan lama adalah perlawanan
yang dimotori oleh seorang pendeta Italia bernama Romo Logano. Romo Logano
mempunyai sebuah lembaga yang menampung berbagai nelayan dan berusaha
mengembangkan dunia kelautan dan lembaga ini diberi nama Lembaga Pengembangan
Kenelayanan (LPK). Lembaga ini tak mau terlibat jauh dalam proyek pemberdayaan
masyarakat dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Prigi melalui COFISH Project dan
PSBK Prigi Lestari.
Kehadiran LPK Romo Logano mempunyai pengaruh yang sangat besar, terutama di
dalam interaksi dan transaksi ekonomi di kawasan desa Pantai Prigi. Hal ini tidak bisa
dilepaskan dari keberhasilan mereka dalam mempertahankan sistem pengelolaan
sumberdaya perikanandan kelautan lama pada jenis alat tangkap purse seine, yang dikenal
dengan istilah sistem bagi hasil esekan dalam jatah ikan makan.
Perlawanan akar rumput yang bersifat frontal lainnya terjadi saat usaha pemindahan
nelayan dari Pantai Prigi ke Pantai Cengkrong. Peristiwa tersebut diawali oleh adanya upaya
negara untuk mengembangkan kapasitas pelabuhan Prigi dari pelabuhan biasa menjadi
Pelabuhan Perikanan Nusantara pada pertengahan Sepetmber 2001. Kebijakan tersebut
bahkan mendapat dukungan dari PSBK Prigi Lestari. Akhirnya PSBK Prigi Lestari
dikambinghitamkan oleh tim COFISH Project dan juga masyarak akar rumput. PSBK ini
dianggap tidak bisa memegang tanggung jawab untuk menjaga daerah fish sanctuary dan
tidak banyak memihak pada masyarakt akar rumput.
BAB 6. Mengembalikan Daulat Warga dalam Proses Kebijakan di Aras Lokal
Rezim developmentalis yang sudah cukup lama berkuasa harus dihadapkan dengan
beragamketerbatasan politiknya yang mengungkungnya karena adanya pergeseran
atmosfer ekonomi dan politik baik bersifat internal maupun eksternal. Negara harus
menerima kenyataan berada pada titik nadir legitimasi karena dukungan sumberdaya
alokatif dan otoritatif yang selama ini mampu membangunnya menjadi power house state
tidak lagi mengalir deras. Oleh karena itu, negara harus menegosiasikan ulang format
politiknya dengan mendorong adanya top-down crafting participatory democracy.
Namun harapan terciptanya sebuah proses kebijakan pembangunan yang partisipatif
dan ruang representasi politik baru yang lebih demokratis ternyata tak pernah tercapai.
Kekuatan Ornop yang mendampingi dikooptasi. Pada saat bersamaan, ada hasrat kuat untuk
membangun reoligarki elit lokal yang cukup lama menikmati fasilitas sebagai state-
sponsored client.
Wacana pembangunan partisipasi ternyata tidak lebih dari kamuflase baru negara di
ranah lokal yang diadopsi untuk bernegoisasi dengan negara ketika tak lagi memiliki
kapasitas koersif dan hegemonik yang cukup kuat. PSBK Prigi Lestari sebagai ruang
representasi sosial hanyalah menjadi invite space dan gagal menjadi popular space.
Akibatnya, berbagai kebijakan yang dihasilkan tidak pernah mendapat legitimasi yang kuat
dari masyarakat rumput, malah mendapatkan resistensi arus bawah.
Agar prinsip-prinsip dasar dapat terejahwantahkan dalam inovasi kelembagaan yang
ada, setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu ditransformasikan. Usaha-usaha
mempromosikan partisipasi publik harus dibarengi oleh komitmen untuk memperluas dan
mendeformalisasi ruang-ruang publik yang ada. Selain itu, kehadiran sebuah kekuatan civil
society yang otonom dan solid dengan kemampuan jaringan instiitusional yang mutlak
sangat mapan urgensinya. Dengan adanya kerjasama yang tinggi dalam berbagai kegiatan
nonpartisan, nantinya diharapkan akan berkembang budaya kewarganegaraan yan g
membuat demokrasi dan pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Demokrasi hanya
bisa terinternalisasikan dengan baik apabila ada kekuatan civil society yang potensial
menjadi kekuatan yang otonom, mandiri dan inklusif dengan semangat komunitarian yang
mengakar kuat.
Top Related