i
Perempuan dan Rekonsiliasi
“Peran Mama-Mama Papalele Dalam Membangun Rekonsiliasi Haria-Porto, Maluku”
Oleh,
Mauren Priscilla Agatha Latupeirissa
712014016
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2018
iii
iv
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan di bawah ini:
Nama : Mauren Priscilla Agatha Latupeirissa
NIM : 712014016
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW Hak
bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya berjudul:
Perempuan dan Rekonsiliasi
(Peran Mama-Mama Papalele Dalam Membangun Rekonsiliasi Haria-Porto, Maluku)
beserta perangkat yang ada. Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak
menyimpan, mengalihmedia/ mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/ pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatiga, 27 Agustus 2018
Yang menyatakan,
Mauren Priscilla Agatha Latupeirissa
Mengetahui,
Pembimbing Utama,
Pdt. Izak Lattu, Ph.D
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Perempuan dan Rekonsiliasi
“Peran Mama-Mama Papalele Dalam Membangun Rekonsiliasi Haria-Porto, Maluku”
Oleh:
MAUREN PRISCILLA AGATHA LATUPEIRISSA
(712014016)
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing Utama
Pdt. Izak Lattu, Ph.D
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Dekan
Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoanmu Dr. David Samiyono, MTS, MSLS
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2018
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
penyertaan dan tuntunan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan
segala baik. Penulis juga bersyukur karena selalu dilimpahkan hikmat dan pengetahuan
selama menempuh pendidikan Starta Satu di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya
Wacana.
Tugas Akhir yang dibuat ini merupakan wujud dari campur tangan Tuhan dan
merupakan hasil akhir dari setiap jerih payah yang penulis lakukan selama menjalankan tugas
dan tanggung jawab di Fakultas Teologi. Tugas Akhir ini sebagai wujud dari pencapaian
terhadap gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si-Teol) sehingga penulis pun berharap
bahwa Tugas Akhir ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan bagi pembaca karena
proses rekonsiliasi yang dibangun merupakan tugas seluruh pihak baik itu laki-laki maupun
perempuan.
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus sumber segala hikmat yang telah menuntun dan memampukan penulis
semenjak awal berproses dalam pendidikan bersama Fakultas Teologi, Universitas
Kristen Satya Wacana (Juli 2014-Juli 2018) sampai penulis sudah menyelesaikan studi
S1 dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol).
2. Bagi kedua orang tua, “Papa Marthin Agustinus Latupeirissa dan Mama Renny
Florensia” Hattu/Latupeirissa, kedua saudara laki-laki, “Feliks dan Kevin” yang selalu
mendukung, memotivasi dan mendoakan penulis sehingga proses perkuliahan dan
penyelesaian Tugas Akhir dapat diselesaikan dengan segala baik.
3. Bagi Tante Ien, Om Ely, Nuel, Opa Minggus Hattu, Oma Susana Souhoka/Latupeirissa,
Papa Meky Lohy-Alm. Mama Tels, Mama Eva-Papa Bui, Tante Mey-Om Paet, Papa
Jemmy-Mama Ayu, Papa Jhony-Mama Deice, Om Max-Tante Dwi, Papa Sammy-Mama
Os, Kakak Lusi, Kakak Ruben, Om Angki, serta seluruh keluarga besar Latupeirissa-
Hattu atas segala dukungan moril maupun materil, motivasi dan doa kepada penulis
selama menempuh pendidikan di UKSW.
4. Bagi Aven, Esy, Bella dan semua saudara sepupu yang sudah memberikan motivasi dan
dukungan kepada penulis.
5. Untuk kedua dosen wali, Pdt. Irene Ludji dan Pdt. Yusak Setyawan yang telah menjadi
orang tua selama penulis menjadi mahasiswa di kampus dan selalu mendukung penulis
dalam melaksanakan setiap proses perkuliahan dengan baik.
6. Kepada Bapak Izak Lattu (Kak Chak) dan Ibu Astrid Lusi (Kak Astrid) yang dengan
penuh kasih dan kesabaran sudah boleh membimbing penulis dalam proses penulisan
Tugas Akhir sehingga penulis juga boleh menyelesaikannya dengan segala baik.
7. Seluruh dosen, pegawai dan staff Tata Usaha Fakultas Teologi atas seluruh pelayanan,
kerja sama dan dukungan bagi kami selaku mahasiswa/i Fakultas Teologi.
8. Untuk Bapak Nur Purwono selaku supervisior lapangan dalam menjalani PPL I-IV,
Bapak Condrat L. Piga selaku supervisior lapangan untuk PPL V, Pdt. Cindy
Tumbelaka-van Munster selaku supervisior lapangan untuk PPL X, Ibu Mariyani selaku
penanggung jawab sewaktu penulis melakukan praktek Homelitika atas segala dukungan,
pelajaran, serta pengalaman selama penulis melakukan praktek lapangan ini.
9. Kepada seluruh Majelis Jemaat dan warga jemaat GPIB Immanuel, Lampung yang
merupakan lokasi dimana penulis melaksanakan PPL X, (Pdt. Cindy dan keluarga, Kak
viii
Ina, Kak Mince, Memi dan keluarga, Ibu Yuli dan keluarga, Mbak Pres dan keluarga,
Pak Waluyo dan keluarga, Ibu Andri dan keluarga, Tante Eles dan keluarga, Opung
Purba, rekan-rekan pemuda/i: Irene, Defis, Pram, Sarah, Tasya). Terima kasih atas untuk
setiap cinta kasih, kebersamaan, kekeluargaan, persaudaraan, dukungan baik secara moril
maupun materil, maupun doa yang sudah diberikan kepada penulis.
10. Bagi Sinode GPM (GPM Jemaat Nehemia) dan GPIB (GPIB Jemaat Tiberias) yang
sudah menjadi wadah bagi penulis dalam menempuh pendidikan serta melakukan PPL X.
11. Kepada seluruh jajaran pemerintahan di negeri Haria dan negeri Porto, Saparua,
masyarakat serta mama-mama papalele di negeri Haria-Porto yang telah berpartisipasi
dan mendukung penulis dalam melakukan penelitian bagi Tugas Akhir ini sampai
selesai.
12. Kepada sahabat dan juga saudara “Rosdiana Ferdinandus dan Chrisno Latumahina” yang
selalu bersama, mendukung, mendoakan penulis dari awal penulis merantau di kota
Salatiga sampai selesai dalam pendidikan S1 dengan baik.
13. Kepada orang terdekat, “Harly Nanulaitta” atas setiap kasih sayang, pengertian, motivasi,
semangat, doa dan selalu menemani penulis sehingga penulis boleh menyelesaikan
pendidikan dengan segala baik.
14. Kepada sahabat dan juga saudara selama di rantau “Jeany Cristianty Lake” yang selalu
setia menemani penulis ketika penulis melakukan bimbingan sampai menyelesaikan
Tugas Akhir ini dengan baik.
15. Kepada KBM Mandala yang sudah boleh menjadi wadah bagi penulis selama berkuliah
dan yang sudah memberikan banyak pelajaran serta pengalaman bagi penulis dalam
pelayanan bersama.
16. Saudara-saudara yang menjadi keluarga di rantau yang sudah boleh mendukung dan
membantu penulis: “UTIMENA” (Kak Ona, Denis, Kak Egie, Nata, Ayu, Putry, Omi,
Eman, Lyly, Upan), Erik Hallatu, Ashley, Thirsa, SAGERU’14, Kak Eliz, Kak Fem, Kak
Ako, Kak Icha, Kak Opa, Evan dan seluruh teman-teman kost Cungkup 400.
17. Teman-teman Teologi 2014 yang sudah berjuang sama-sama dalam suka dan duka serta
kebersamaannya selama berada di Fakultas Teologi.
18. Terima kasih untuk semua orang-orang terdekat yang sudah hadir memberikan motivasi,
dukungan dan doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini
dengan baik.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT........................................................................................iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES.............................................................................iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI........................................................v
KATA PENGANTAR..............................................................................................................vi
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................................................vii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ix
MOTTO.....................................................................................................................................x
ABSTRAK................................................................................................................................xi
1. Pendahuluan.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Metode Penulisan.........................................................................................................6
2. Landasan Teori : Perempuan dan Rekonsiliasi..................................................................7
2.1 Rekonsiliasi : Penyelesaian Konflik Secara Damai.....................................................7
2.2 Perempuan dalam Rekonsiliasi...................................................................................11
3. Hasil Penelitian.................................................................................................................16
3.1 Gambaran Tempat Penelitian......................................................................................16
3.2 Latar Belakang Konflik dan Proses Rekonsiliasi Konflik Haria- Porto......................17
3.3 Mama-Mama Papalele dalam Proses Rekonsiliasi.....................................................21
4. Analisa...............................................................................................................................24
Peran Mama-Mama Papalele Melalui Aktivitas Ekonomi Lokal dalam Rekonsiliasi
Haria-Porto........................................................................................................................24
5. Kesimpulan........................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..………………..32
x
MOTTO
“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu,
dan tidak ada rencana-Mu yangg gagal.”
Ayub 42:2
Tekun dalam doa. Tuhan Yesus pasti memberikan hikmat dan
menyertai dalam setiap langkah perjuangan.
Papa-Mama
xi
Abstrak
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam tulisan ini yaitu
mengidentifikasi dan menganalisis peran mama-mama papalele dalam
rekonsiliasi Haria-Porto melalui aktivitas ekonomi lokal. Peran mama-mama
melalui aktivitas ekonomi lokal yakni papalele mampu untuk menciptakan
rekonsiliasi bagi Haria-Porto. Metode penelitian yang digunakan penulis yaitu
dengan pengumpulan data untuk dapat membantu memberikan gambaran terhadap
obyek yang hendak diteliti. Pendekatan yang akan di lakukan yaitu pendekatan
kualitatif dengan menggunakan metode observasi dan wawancara. Ini dilakukan
agar penulis dapat mengamati secara langsung transaksi jual-beli yang terjadi di
pasar Haria-Porto dan mendapat gambaran mengenai peran mama-mama papalele
dalam proses rekonsiliasi. Peran mama-mama papalele ini juga dapat menjadi
suatu upaya bagi rekonsiliasi Haria-Porto. Kesimpulan dari penelitian yang
dilakukan oleh penulis adalah mama-mama papalele mampu menciptakan
rekonsiliasi bagi Haria-Porto dengan menggunakan cara mereka sendiri yaitu
melalui aktivitas ekonomi lokal.
Kata Kunci : Konflik, Rekonsiliasi, Perempuan, Mama-Mama Papalele
1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Rekonsiliasi merupakan salah satu topik yang sudah seringkali dibicarakan,
terkhususnya rekonsiliasi yang terjadi di Maluku, salah satu topiknya yaitu “Carita
Orang Basudara” yang ditulis oleh sekitar 26 penulis yang berdarah
Maluku.1Meskipun demikian pembicaraan ini lebih banyak berfokus pada Kota
Ambon, sedangkan rekonsiliasi di tempat lain seperti di Pulau Saparua, belum banyak
dibicarakan secara terperinci. Karena itu penulis merasa tertarik untuk menulis
mengenai rekonsiliasi konflik yang terjadi di Pulau Saparua yaitu desa Haria dan
Porto yang belum banyak dibahas dalam studi-studi sebelumnya. Beberapa tulisan
telah membahas mengenai rekonsiliasi dari kedua desa tersebut dengan topik yang
diteliti yaitu mengenai peran sosiologis GPM terhadap proses rekonsiliasi yang
terjadi di dua desa ini,2 tetapi tidak membahas mengenai peran perempuan. Maka dari
itu saya juga ingin melihat bagaimana peran perempuan dalam rekonsiliasi tersebut.
Rekonsiliasi merupakan suatu hal yang paling dibutuhkan untuk dapat
mengatasi konflik yang sementara terjadi. Rekonsiliasi dapat terjadi yaitu ketika
adanya sikap hidup yang penuh dengan perdamaian dalam hal ini yaitu sikap toleransi
serta juga menolak adanya berbagai diskriminasi dalam bentuk apapun.3 Rekonsiliasi
juga merupakan suatu proses yang dilakukan untuk dapat mencapai sebuah tujuan
akhir didalam konflik, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu sarana yang dipakai
untuk dapat meluruskan atau mencari benang merah terhadap situasi yang sementara
kacau. Pemikiran terhadap rekonsiliasi yaitu dengan mengutamakan proses
penyembuhan dan juga pembaharuan. Gagasan ini bukan hanya dipakai yang bersifat
perorangan maupun keluarga saja tapi juga dipakai untuk kelompok-kelompok sosial
1 Abidin Wakano, dkk, Cerita Orang Basudara. (Jakarta Selatan: Paramida Pusad, 2014)
2 Hedy M. Tamaela, Tesis: Gereja dan Rekonsiliasi: Memahami Peran Sosiologis GPM
dalam Proses Rekonsiliasi Konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku. (Salatiga: UKSW
Fakultas Teologi-Magister Sosiologi Agama, 2015)
3
Theofransus Litaay, dkk, Mengelola Konflik dalam Konteks Human Security dan
Pengetahuan Lokal, dalam Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian. (Salatiga: Griya Media. 2011), 91.
2
dan etnis dan kepada semua kalangan karena istilah ini sudah menjadi bagian dari
retorika publik.
Rekonsiliasi dapat berdampak pada sikap yang mencakup perdamaian,
keselarasan dan relasi yang baik dengan sesama. Rekonsiliasi bukan hanya persoalan
bagi orang yang secara langsung terlibat saja, melainkan juga kepada orang dimana
peristiwa tersebut sementara terjadi sehingga dapat mengakibatkan dampak besar
bagi orang-orang tersebut. Proses rekonsiliasi juga merupakan sebuah proses untuk
membangun perdamaian yang tidak dapat dikatakan sebagai pekerjaan dari seseorang
atau sekelompok orang saja, karena untuk menciptakan perdamaian dibutuhkan
banyak pihak untuk menyelesaikan konflik yang sementara terjadi. Oleh karena itu,
rekonsiliasi merupakan suatu proses yang ingin melangkah ke tempat tertentu tanpa
perlu menunjukkan syarat-syarat yang dituntut dari proses tersebut dan bagaimana
sehingga semuanya itu dapat diwujudkan dengan baik. Dilain sisi, istilah rekonsiliasi
dianggap tidak cukup untuk menggambarkan apa yang dibutuhkan pada saat
menyelesaikan konflik maka dari itu perlu ditambahkan suatu kebenaran di dalam
proses rekonsiliasi.4
Dalam kehidupan manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa akan selalu ada
konflik yang terjadi. Istilah konflik menurut Webster jika dilihat dari bahasa aslinya,
memiliki pengertian yaitu “suatu bentuk dari perkelahian, peperangan maupun
perjuangan yang bisa berdampak pada fisik antara beberapa pihak.”5 Dalam hal ini
konflik juga terjadi antara kedua Negeri (desa) di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku
Tengah, Provinsi Maluku yaitu negeri Haria dan Porto. Kedua negeri ini merupakan
negeri yang saling berdekatan. Konflik yang terjadi antara kedua negeri ini memiliki
banyak versi. Ada berbagai alat pemicu yang dipakai untuk melanggengkan konflik,
seperti contohnya yaitu mengenai sengketa mata air yaitu Air Raja. Contoh lainnya
yaitu kenakalan anak remaja yang dapat memicu terjadinya konfik individu menjadi
4 Geiko Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi: Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan dalam
Masyarakat. (Yogyakarta:Ledalero Maumere, 2005), 4-6
5 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011), 9
3
konflik umum dan berimbas ke negeri. Berbagai kepentingan ada didalam konflik
yang terjadi ini, baik itu kepentingan politik, kekuasaan dan lain sebagainya.6
Konflik tersebut sudah berlangsung kurang lebih selama tiga tahun dan telah
menimbulkan berbagai kerugian bagi kedua negeri, bukan hanya kerugian secara
materil, melainkan juga sudah banyak korban jiwa (luka-luka maupun meninggal
dunia) akibat konflik tersebut. Kerugian-kerugian tersebut dipicu karena adanya
tindakan kekerasan dari kedua negeri ini. Kekerasan merupakan bagian dari adanya
pola hubungan-hubungan masyarakat yang rentan terhadap konflik, kekerasan juga
merupakan suatu sarana yang pakai untuk bisa mencapai suatu tujuan tertentu oleh
kelompok-kelompok sosial yang dipenuhi dengan berbagai macam persaingan.7
Konflik yang terjadi ini mengakibatkan hubungan sosial yang dulunya baik antar
kedua negeri dan sebagai orang basudara (keluarga) juga menjadi retak akibat
konflik ini. Kemudian juga, dapat menjadi luka batin yang dirasakan oleh kedua
negeri ini dikarenakan kehilangan tempat tinggal maupun kehilangan sanak keluarga.
Sudah banyak hal yang dilakukan untuk dapat melakukan rekonsiliasi terhadap
konflik ini, antara lain dengan pemusnahan senjata tajam, maupun diturunkan lebih
banyak lagi aparat keamanan untuk menjaga agar kondisi kedua negeri ini tetap
stabil. Namun hal yang dilakukan ternyata belum membuat kedua negeri ini kebal dan
masih saja melakukan serangan. Oleh karena itu, ketika konflik terjadi dan
menimbulkan kekerasan serta adanya berbagai macam kerugian, maka haruslah
disadari bahwa hal tersebut tindakan mampu memecahkan masalah tetapi akan
memperkeruh masalah.8
Melihat perkembangan dari konflik ini tentunya banyak pihak yang sudah
turut mengambil bagian di dalamnya, bukan hanya kaum laki-laki saja melainkan
kaum perempuan juga mengambil bagian di dalamnya. Akan tetapi hingga saat ini
6 Wawancara melalui telepon dengan Bpk. Acu Loupatty, pada tanggal 20 Juni 2017
7 Novri Susan, Negara Gagal Mengelola Konflik (Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di
Indonesia). (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 22-23, 105
8 Margaretha Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian: Sebuah Refleksi Teologis
Feminis. (Jakarta: Yakoma-PGI, Persetia, Dept. Perempuan dan Anak, Mission 21, 2009), 115-116
4
dapat dilihat dan disadari bahwa budaya patriakat yang masih kental bagi kalangan
masyarakat didalam kedua negeri ini, sehingga ruang gerak bagi perempuan juga
masih terlihat terbatas. Perihal gender, yang merupakan sesuatu yang sudah sangat
melekat dan merupakan bentukan dari budaya sehingga dapat melahirkan berbagai
anggapan mengenai kaum laki-laki dan perempuan.9 Sistem dan struktur kebudayaan
yang patriakat tersebut dapat menimbulkan pembagian ruang yang didasarkan pada
gender laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itulah maka sistem sosial yang ada dalam
masyarakat lebih dominan kepada laki-laki dibandingkan perempuan. Proses ini juga
dapat berdampak pada penyelesaian konflik yang hanya dilakukan oleh laki-laki,
tetapi perempuan hanya dapat berdiam diri untuk mendengar keputusan yang diambil
oleh laki-laki.10
Ada berbagai pandangan mengenai posisi perempuan, beban ganda
dari perempuan, marginalisasi serta kekerasan terhadap perempuan. Dapat dilihat
jelas bahwa adanya ketimpangan gender, dalam hal ini korban ketidak-adilan
sebagian besar berada di pihak perempuan.11
Selain dari segi sosial, dapat dicermati
juga melalui segi keagamaan bahwa perempuan sudah diberikan pengarahan
mengenai berbagai peran-peran mereka berdasarkan tradisi. Karena peran-peran itu
ditentukan oleh tradisi budaya, maka banyak peran yang diwarisi. Ada batasan-
batasan yang berbeda mengenai perempuan dan juga peran-perannya sehingga
perempuan harus lebih bertingkah laku yang bervariasi, dapat dimulai dari variasi
tradisional bahkan sampai yang radikal.12
Konflik antara kedua negeri ini sudah coba diatasi dengan berbagai langkah
atau cara guna menciptakan kembali kedamaian bagi kedua negeri, akan tetapi
langkah-langkah atau cara-cara yang dilakukan tersebut sepertinya belum memadai
sehingga konflik masih terus terjadi. Perbaikan hubungan dibutuhkan untuk dapat
mencapai kepada kedamaian tersebut, namun jika diperhatikan dalam hubungan
9 Mianto N. Agung, dkk (editor), Perjuangan Perempuan Indonesia: Belajar dari Sejarah.
(Salatiga: Yayasan Bina Darma, 2007), 89
10
Basilica Dyah Putranti, Asnath Niwa Natar (editor), Perempuan, Konflik, dan Rekonsiliasi
Perspektif Teologi dan Praksis. (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2016), 111-112
11
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender. (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2004), 78-79
12
Brunetta R. Wolfman, Peran Kaum Wanita Bagaimana Menjadi Cakap dan Seimbang
dalam Aneka Peran. (Yogyakarta:Kanisius, 1989), 14-19
5
sosial ketika terjadinya konflik banyak yang lebih memilih untuk menyakiti,
membenci, bahkan mendendam, hal-hal inilah yang dapat menjadi menjadi pemicu
terhadap terjadinya konflik dan juga tidak berjalannya proses rekonsiliasi dengan
baik.13
Melihat dari sisi lain dari konflik yang terjadi ini yaitu ada hal menarik yang
terjadi yaitu terdapat beberapa perempuan yang mencoba untuk menjadi agen
rekonsiliasi, perempuan-perempuan tersebut biasa disebut mama-mama dan
rekonsiliasi yang dilakukan yaitu dengan cara Papalele.14
Mama-mama merupakan
sebutan akrab yang melekat bagi mereka yang melakukan papalele dan sudah
menjadi ciri khas bagi perempuan papalele. Jika ingin terlihat akrab sebagai suatu
bentuk hubungan sosial dengan mereka, maka kita dapat memanggil mereka dengan
sebutan mama terlebih dahulu kemudian baru disusul dengan nama mereka.15
Sehingga jika dilihat disini, proses rekonsiliasi juga dapat dilakukan oleh kaum
perempuan karena perempuan juga dapat menjadi asal mulanya kehidupan bahkan
sampai kepada memelihara kehidupan tersebut sehingga perempuan dapat menjadi
sosok yang mampu memahami harga dari konflik tersebut dengan baik. Perempuan
juga mampu mengetahui bagaimana mencegah dan menyelesaikan konflik yang
sementara terjadi.16
Maka dari itu, peran dari mama-mama dalam hal ini sangat
membantu terjadinya proses rekonsiliasi.
Mama-mama dari negeri Haria dengan berani untuk mengambil tindakan dan
pergi berjualan ke negeri Porto, begitu pula sebaliknya. Meskipun kondisi pada saat
itu sudah dikatakan aman, akan tetapi dari kedua negeri ini belum berani untuk saling
mengunjungi seperti biasanya, misalnya, orang dari negeri Porto belum berani untuk
13 Afthonul Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran Di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),
132-133
14
Papalele yaitu istilah lokal yang telah dikenal untuk mereka yang berusaha dengan cara
menjajakan barang dagangan. Suatu bentuk perjumpaan antara penjual yang menjual barang-barang
kebutuhan keseharian dan pembeli dengan berkeliling. Papalele juga dapat berarti orang-orang yang
melakukan aktivitas ekonomi jual-beli kebutuhan tertentu bagi masyarakat. Papa artinya ‘membawa
atau memikul’ dan lele artinya ‘keliling’. (Simon Pieter Soegijono, Papalele, (Salatiga:Fakultas
Ekonomika dan Bisnis UKSW, 2011), 91-93)
15
Soegijono, Papalele, 95
16
Putranti, Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi, 112
6
datang berbelanja di pasar yang terletak di negeri Haria, begitu pula sebaliknya
dilakukan oleh orang dari negeri Haria.17
Perempuan, mama-mama papalele, bukan hanya berdiam diri melainkan
mereka juga mempunyai peran dalam melakukan rekonsiliasi konflik. Walaupun
hanya beberapa orang saja yang berani untuk melakukannya, ini berarti bahwa
perempuan juga mampu menjadi agen perdamaian. Mereka mampu menjalankan
peran-peran mereka dengan baik. Mereka juga mampu menunjukkan bahwa melalui
peran atau profesi mereka, mereka dapat menyumbangkannya untuk sebuah
perdamaian.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah
penelitiannya yaitu bagaimana peluang dan kontribusi dari mama-mama papalele
dalam rekonsiliasi Haria-Porto melalui aktivitas ekonomi lokal. Dengan adanya
rumusan masalah tersebut maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam
tulisan ini yaitu mengidentifikasi dan menganalisis peran mama-mama papalele
dalam rekonsiliasi Haria-Porto melalui aktivitas ekonomi lokal.
1.2 Metode Penulisan
Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan pengumpulan data untuk
dapat membantu memberikan gambaran terhadap obyek yang hendak diteliti.
Pendekatan yang akan dilakukan yaitu pendekatan kualitatif dengan menggunakan
metode observasi dan wawancara. Metode observasi atau pengamatan yaitu deskripsi
mengenai suatu kejadian secara sistematis dalam lingkungan sosial yang dipilih untuk
diteliti.18
Observasi yang dimaksudkan yaitu dengan mengamati proses jual beli di
pasar negeri Haria dan Porto. Metode wawancara yaitu merupakan metode yang
digunakan untuk mengumpulkan suatu keterangan lisan dari responden melalui
percakapan yang bersifat sistematis dan terorganisir. Oleh sebab itu, wawancara yang
berlangsung secara sistematis serta terorganisir tersebut dilakukan oleh peneliti
17 Wawancara melalui telepon dengan Ibu Nico Kaya, pada tanggal 23 September 2017
18
Bagong Suyanto dan Sutinah (ed.), Metode Penelitian Sosial. (Jakarta: Kencana, 2007), 172
7
sebagai pewawancara dengan sejumlah orang yang diwawancarai sebagai responden
sehingga dapat menghasilkan sejumlah informasi yang berhubungan dengan masalah
yang hendak diteliti. Hasil percakapan tersebut kemudian direkam atau dicatat oleh
pewawancara.19
Penelitian ini akan dilakukan di Maluku, tepatnya di negeri Haria dan Porto,
Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Pengambilan data melalui
wawancara dilakukan dengan : Bapa Raja (Kepala Desa) Haria dan Porto, mama-
mama papalele dari negeri Haria yang pada saat itu pergi berjualan di negeri Porto,
mama-mama papalele dari negeri Porto yang pada saat itu pergi berjualan di negeri
Haria dan beberapa orang dari masyarakat.
2. Landasan Teori
Perempuan dan Rekonsiliasi
2.1 Rekonsiliasi : Penyelesaian Konflik Secara Damai
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural dengan berbagai suku,
bangsa, budaya. Pluralisme yang dimiliki oleh bangsa Indonesia seringkali dapat
menimbulkan berbagai ancaman yang dapat memicu terjadinya konflik yang sudah
membuat mengerasnya konflik-konflik dalam masyarakat dan merupakan produk dari
sistem kekuasaan.20
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia dapat
membuktikan bahwa sebagian besar terjadinya konflik yaitu diawali dari ketidak-
puasan sebagian kelompok terhadap kebijakan negara dan juga berbagai ketimpangan
sosial, ekonomi, serta politik dari berbagai komunitas masyarakat. Upaya untuk
mencegah pecahnya konflik yang merupakan akibat dari beberapa faktor di atas,
maka perlu dilakukan regulasi yang berbasis budaya untuk dapat menjembatani
berbagai komunitas yang berbeda sehingga potensi konflik dapat dikenali dari
sekarang. Konflik dapat dilatar-belakangi oleh berbagai perbedaan ciri yang
dihadirkan oleh individu dalam sebuah interaksi. Dengan dibawanya ciri-ciri
19
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial. (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 312
20
Andi Muh. Darlis, Konflik Komunal Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso. (Yogyakarta:
Buku Litera, 2012), 1
8
individual tersebut, maka konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak dapat dipungkiri bahwa setiap masyarakat itu pun pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau kelompok masyarakat lainnya. “Robert E.
Park dan E. W. Durgess mengatakan bahwa persengketaan (conflict) merupakan
interaksi dengan kontak nyata sedangkan persaingan (competition) merupakan
interaksi tanpa kontak.” Konflik yaitu interaksi antar pihak yang akan menjadi suatu
niscaya dalam pola hubungan sosial.21
Dalam hal mengatasi konflik, proses rekonsiliasi sangat diperlukan,
rekonsiliasi merupakan proses yang berkaitan dengan proses untuk meluruskan
situasi yang tidak adil atau situasi yang sementara kacau. Gagasan rekonsiliasi ini
lebih mengutamakan proses penyembuhan dan juga pembaharuan yang dipakai atau
digunakan oleh semua orang tanpa terkecuali. Akan tetapi seiring penggunaan istilah
rekonsiliasi ini semakin meluas maka itu dapat mengakibatkan istilah ini menjadi
kehilangan kekhasannya.22
Dalam proses rekonsiliasi dibutuhkan suatu proses
pengampunan yang merupakan proses bagi seseorang untuk dapat disembuhkan dari
masa lalunya. Bukan berarti juga bahwa masa lalu yang menyakitkan itu dapat
dilupakan melainkan luka itu tetap menjadi bagian dari masa lalu orang tersebut dan
tidak dapat dihilangkan begitu saja. Pengampunan yang sejati itu sebenarnya dapat
meninggalkan jejak kerendahan hati pada semua yang pernah mengalaminya.23
Pengampunan itu membersihkan semua kenangan-kenangan dari sesuatu yang pahit
dan pernah dirasakan oleh orang tersebut. Pengampunan merupakan bagian dari
proses membebaskan orang dari rantai masa lalu dan rantai bersalah dan dapat
memulai jalan baru menuju masa depan yang lebih kondusif.24
Rekonsiliasi merupakan salah satu bagian dari sebuah perjalanan panjang
dalam menghentikan konflik dan menciptakan perdamaian. Perdamaian dapat
dikatakan sebagai kondisi akhir yang diharapkan dari sebuah konflik yang sudah
21 Darlis, Konflik Komunal Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso, 8-11
22
Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi, 4
23
Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi, 73-75
24
Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi,77-78
9
berhasil diselesaikan.25
Dalam upaya menuju perdamaian maka harus memperhatikan
sebab-sebab dari penderitaan yang dialami sebelum berjalan kearah perdamaian
tersebut. Penderitaan kemungkinan besar akan berlangsung terus menerus, roda dari
kekerasan akan terus berputar sehingga perlahan-lahan masyarakat pun dapat hancur.
Rekonsiliasi sebagai bagian yang akan dicermati, ini merupakan proses yang tidak
dapat dipercepat melainkan harus terus berlangsung menurut iramanya sendiri.
Rekonsiliasi bukanlah proses yang tergesa-gesa melainkan proses yang saling
menghormati dan memperbaharui martabat kemanusiaan korban kekerasan.
Rekonsiliasi bukan saja membutuhkan sesuatu yang hanya sekedar menghentikan
kekerasan tetapi juga menyangkut perbaikan kehidupan manusia khususnya bagi
mereka yang menderita.26
Dalam proses mencari jalan damai, sangat sulit dibayangkan untuk bisa
menciptakan hubungan damai jika pihak-pihak yang berkonflik belum melakukan
perdamaian. Maka dari itu, sangat penting bahwa resolusi konflik akan selalu
membutuhkan proses untuk penghentian konflik. Penyelesaian konflik merupakan
suatu proses untuk mencapai kesepakatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
berkonflik dengan cara memposisikan diri pada kekuatan dan juga sumber-daya yang
dimiliki sehingga titik kesepahaman dapat ditemukan sehingga tidak ada lagi
perdebatan dan pertentangan bagi pihak yang sementara berkonflik tersebut. Ketika
konflik tersebut masih dalam skala yang kecil maka kedua pihak akan
menyelesaikannya sendiri. Akan tetapi, jika koflik dalam skala yang besar maka
diperlukan pihak ketiga untuk menjadi dan mengupayakan mediasi serta penyelesaian
konflik.27
“Kriesberg mengatakan paling tidak ada empat kondisi yang menandai bahwa
keberhasilan dua pihak yang sebelumnya berkonflik dalam menempuh rekonsiliasi
mempunyai indikator-indikator keberhasilan dari penyelesaian serta resolusi konflik
25 Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice, 258-259
26
Robert J. Schreiter, C.PP.S, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru. (Flores,
NTT: Nusa Indah, 2000), 25-27
27
Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice, 260-261
10
yaitu, (1) pihak yang berkonflik sudah sama-sama mengakui akan adanya tindak
kejahatan yang pernah dilakukan di masa lalu. Syarat ini sangat penting bagi
keduanya, baik itu korban maupun pelaku karena tanpanya mereka tidak akan
menentukan posisi moral mereka sehingga hal-hal yang menyangkut dengan hak dan
tanggung jawab mereka juga menjadi kabur; (2) perjumpaan secara mutualistik dari
suatu hubungan yang sebelumnya bermusuhan. Syarat ini juga masih terkait dengan
hak dan tanggung jawab kedua pihak karena rekonsiliasi tidak mungkin berlaku bagi
kedua belah pihak yang sebelumnya tidak terlibat permusuhan; (3) kedua belah pihak
saling memberi welas asih. Dalam proses ini menjadi bukti bahwa sudah ada iktikad
kuat dari mereka untuk saling menyembuhkan penderitaan dan memulihkan tanggung
jawab, kedua belah pihak juga harus membuat kesepakatan dalam rangka menjamin
keamanan serta kesejahteraan bersama; (4) rekonsiliasi dijalankan dengan sungguh-
sungguh, akan disertai dengan tumbuhnya harapan, kepercayaan dan juga rasa hormat
pada pihak-pihak yang terlibat.”28
Rekonsiliasi merupakan suatu proses yang harus menghormati bahkan
memperbaharui martabat kemanusiaan korban kekerasan. Rekonsiliasi menyangkut
perbaikan kehidupan manusia yang mendasar, khususnya bagi mereka yang
menderita. Perbaikan tersebut membutuhkan waktu yang dapat membuat orang-orang
dalam proses tersebut merasa tidak aman namun waktu yang sangat dibutuhkan dapat
memulai suatu kehidupan baru. Rekonsiliasi jelas tidak dapat dijadikan sebagai suatu
alternatif bagi pembebasan karena pembebasan merupakan sebuah pra-syarat mutlak
dalam rekonsiliasi. Akibatnya, tuntutan-tuntutan terhadap rekonsiliasi dapat menjadi
tujuan bagi pembebasan tetapi tuntutan-tuntutan itu tidak dapat menggantikan
pembebasan sehingga bagi mereka yang diperdamaikan, rekonsiliasi merupakan suatu
bentuk panggilan.
28 Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice, 265-266
11
2.2 Perempuan dalam Rekonsiliasi
Perempuan dalam pemahaman untuk dapat memahami arti menjadi
perempuan dalam pelbagai konteks kultural maupun sosial maka kaum feminis
menolak bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah yang
tidak perlu lagi untuk dipertanyakan. Melihat kehidupan historis dalam masyarakat
tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki yang terlihat mendominasi sementara
perempuan hanya dijadikan sebagai objek. Perempuan bukanlah merupakan
sekelompok yang bersifat homogen walaupun tidak dapat disangkal bahwa kita
semua sama namun dapat menggarisbawahi makna sosial perbedaan yang ada
diantara kita. Sebagai perempuan, tentunya berada juga dalam konteks global maupun
lokal yang ditampilkan dalam berbagai model yang berbeda.29
Dengan begitu pesatnya globalisasi yang terjadi maka globalisasi merupakan
hal penting yang dapat memicu segala kemungkinan bisa terjadi. Dialog antar agama
sangat diperlukan untuk dipakai sebagai alat yang dapat melihat kedepan dalam
membangun hubungan yang baik dengan berbagai pluralitas agama yang ada. Dalam
melakukan dialog antar agama perlu juga dilibatkan perempuan karena perempuan
pun mempunyai peranan penting. Bagi kaum perempuan Muslim, mereka
berpendapat bahwa harus memperlihatkan bagaimana perempuan dalam dialog antar-
agama harus merekonstruksi makna kerudung dan tidak memiliki sikap spontan serta
tidak selalu harus tunduk pada ajaran patriakal Islam. Bukan hanya dilihat dari kaum
perempuan Muslim saja tetapi juga, jika dilihat dalam lingkaran Kristen, Elizabeth
Schussler Fiorenza dan Phyllis Trible mereka telah mempelopori interpretasi feminis
yang ada dalam Alkitab yang menunjukkan bahwa Alkitab juga dapat dibaca untuk
melawan dan untuk membebaskan perempuan. Di Islam, ada seorang tokoh bernama
Amina Wadud yang menerbitkan Al-Quran dan perempuan pada tahun 1992. Amina
mengikuti interpretasi tradisional dan patriakal yang dilihat melalui teks-teks yang
29Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer.
(Yogyakarta&Bandung: Jalasutra, 2009), 1-2
12
spesifik serta kata-kata kunci yang digunakan untuk membatasi kebebasan perempuan
bahkan tidak membenarkan kekerasan terhadap kaum perempuan.30
Konflik dan kekerasan merupakan bentuk dari upaya manusia untuk memecah
belah suatu keadaan. Konflik dapat membuat semua orang merasa terancam,
terancam karena selalu berujung dengan kekerasan. Kekerasan ini membuat banyak
hal berjalan tidak baik, segala akses yang ingin dilalui pun menjadi terhambat dalam
bentuk ekonomi dan kehidupan sosial bermasyarakat. Akan tetapi, kekerasan tidak
dapat dilihat hanya sebatas masalah kriminal karena itu tidak pernah dapat
diselesaikan secara tuntas melalui pendekatan-pendekatan yang hanya bersifat
keamanan dan represif.31
Dampak dari kekerasan tersebut seringkali dirasakan oleh
kaum perempuan yang menjadi korban karena sistem budaya patriakal yang sudah
mendarah daging dalam masyarakat. Perempuan hanya dipandang sebagai korban
yang tidak bisa untuk melakukan suatu tindakan dan hanya bisa berdiam diri saja
sehingga dari berbagai kenyataan ini, mereka harus mampu untuk menerimanya.32
Jika dilihat dari data yang dikeluarkan oleh berbagai organisasi non-
pemerintah dan organisasi yang peduli kekerasan terhadap perempuan dapat
memperlihatkan grafik yang sangat meningkat dari tahun ke tahun. Budayalah yang
membuat perempuan hanya bisa berdiam diri dari kasus-kasus kekerasan yang
mereka hadapi. Banyak sekali bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang
sangat variatif, diawali dari kekerasan dalam rumah tangga dan juga kekerasan
terhadap buruh migran perempuan yang berada di luar negeri. Fakta yang
menunjukkan bahwa budaya dominan juga bisa membuat perempuan menjadi
terjebak dalam kekerasan tersebut bahkan kekerasan terhadap sesama perempuan.
Memang, laki-laki pun dapat menjadi korban dari budaya yang dominan tersebut
30 Kwok Pui-Lan, Globalization, Gender, and Peacebuilding. The future of Interfaith
Dialogue. (New York/Mahwah, New Jersey: Paulist Press, 2012), 41-42
31
Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian, 4
32
Putranti, Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi, 111
13
namun kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki lebih tinggi dan perempuan juga
menjadi korban terparah.33
Praktik ketidak-adilan seringkali terlihat dalam masyarakat, ketidak-adilan ini
bisa terjadi kepada siapa saja dan dapat terjadi dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat. Ketidak-adilan yang menimbulkan masalah dapat berdampak buruk
bagi yang mengalaminya. Ada banyak masyarakat yang mengalami ketidak-adilan
sehingga mereka tidak berdaya untuk dapat keluar dari situasi yang merugikan
tersebut. Mereka yang di kategorikan dalam kaum marginal atau masyarakat kalangan
bawah atau yang kurang mampu dalam taraf ekonomi, merekalah yang menjadi
korban ketidak-adilan, hak-hak dan kepentingan mereka seringkali dianggap tidak
penting.34
Perempuan juga menjadi korban dari ketidak-adilan yang terjadi di
masyarakat karena sistem patriakal yang sangat kental. Sistem inilah yang membuat
masyarakat menjadi terikat sehingga laki-laki dianggap sudah dengan tugasnya
sendiri dan perempuan dengan tugasnya sendiri.
Perempuan melalui potret korban konflik yang terjadi bagi anak-anak dan
perempuan di Maluku juga mampu merekam respons kritis dan kreatif perempuan
Maluku dalam menghadapi konflik, dalam memperkuat daya tawar dan memengaruhi
kualitas ruang publik bahkan opini publik. Keterlibatan perempuan Maluku di arena
konflik menjadi lokus berteologi kontekstual, di mana saat situasi yang sementara
berada dalam perang, kekerasan dan dendam yang mendalam, perempuan Maluku
terus mentransformasikan nilai-nilai kasih, keadilan, pembebesan dan persaudaraan
padahal Maluku sendiri masih berada dalam tatanan rezim patriakal. Respons yang
ditunjukkan perempuan Maluku ditengah konflik telah membuka sebuah ruang baru
untuk mengkomunikasikan hakikat dan makna dari Injil sendiri, bahkan memberi
tantangan baru bagi perumusan ulang teologi tradisional yang bercorak patriakal,
eksklusif dan tertutup tersebut. Melihat dari perempuan Maluku, perempuan
sebenarnya bukan semata-mata korban yang harus dikasihani dan ditolong namun
33 Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian, 10-12
34
Yusak B. Setyawan, dkk, Perdamaian dan Ketidakadilan, Dalam Konteks Indonesia yang
Multikultural dan Beragam Tradisi Iman. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 281-282
14
perempuan juga bisa menjadi pelaku dan saksi konflik sekaligus rekonsiliator
menggunakan perannya dengan cara yang beragam. Pandangan mengenai laki-laki
selalu digambarkan sebagai panglima perang yang sukses, pemberani, pejuang dan
pemenang sedangkan perempuan seakan menjadi tabu yang digambarkan sebagai
pejuang, pendobrak apalagi pembunuh, mereka sering lupa bahwa perempuan juga
memiliki gaya perlawanan dengan caranya masing-masing. Konflik di Maluku
merupakan konflik yang telah memberi kesempatan bagi perempuan Maluku untuk
mendemonstrasikan kediriannya secara blak-blakan, berani vulgar dan
mencengangkan.35
Ketika perempuan sering diasumsikan sebagai korban dalam konflik namun
ternyata asumsi tersebut dapat dipatahkan dengan peran aktif perempuan dalam
aktivitas ekonomi mereka, mengurus keluarga dan anak, mencegah disintegrasi sosial
yang terjadi ditengah-tengah kekerasan dan ketidakamanan. Perempuan malah
memainkan perannya sebagai seseorang yang keras tetapi dalam hal pejuang,
komando bahkan provokator. Dalam konteks konflik di Ambon, Poso dan Aceh,
perempuan justru yang memegang banyak proses dalam hal dialog antar-agama dan
perdamaian, walaupun perempuan hanya dapat memainkan perannya dengan aktif
ditingkat masyarakat luas namun pada tingkat politik guna untuk menyelesaikan
masalah, masih sangat kecil. Melalui peran perempuan yang terbatas dalam hal
penyelesaian konflik ini juga, diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi tantangan
gender yang ada di Indonesia.36
Kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi dari budaya kematian.
Perempuan di sini, dipanggil untuk menghapus budaya tersebut, menggantinya
dengan tindakan menolak aktif budaya kematian dan membangun budaya baru yang
bebas dari kekerasan serta mendemontrasikan perdamaian.37
Penderitaan dunia dan
35 Putranti, Perempuan, Konflik dan Rekonsiliasi, 89-90
36
Pengelolaan Konflik di Indonesia – Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Current Asia dan the Centre for Humanitarian
Dialoguehttps://www.files.ethz.ch/isn/131222/Bahasa%20Indonesia%20version.pdf, diunduh, 19 Mei,
2018
37
Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian, 99
15
penderitaan perempuan harus diubah menjadi sukacita dan tawa, serta penindasan
diubah menjadi pembebasan. Strategi yang harus dilakukan yaitu harus di
kembangkan penyadaran kesetaraan gender untuk dapat mendidik hak-hak asasi
manusia bagi perempuan dan laki-laki. Perempuan juga perlu dididik, karena
pendidikan adalah kekuasaan, dari situlah pemberdayaan perempuan dapat di
tingkatkan. Dalam hal mengembangkan spiritual, perempuan juga harus terus
berkembang seiring dengan proses globalisasi yang semakin berkembang pesat.
Orang-orang semakin takut kehilangan identitasnya dalam proses globalisasi. Oleh
sebab itu, perlu untuk mengembankan spiritualitas persaudaraan yang memampukan
orang untuk mengklaim kembali kemanusiaan mereka supaya memiliki sikap lebih
terbuka, bersahabat dan peduli terhadap dunia sebagai satu kesatuan keluarga Allah.38
Menyuarakan kekerasan sangat penting bagi korban karena dapat membantu
menyembuhkan luka-luka psikis. Perempuan dalam hal ini selalu memiliki perasaan
trauma yang sangat besar. Dalam hal ini, untuk bisa mengatasi trauma yaitu melalui
proses pemulihan. Proses pemulihan trauma harus memiliki dinamika yang membuat
proses tersebut tidak kaku sehingga dapat mengalami kemajuan dalam pemulihan dan
bukan kemunduran. Kalau diumpamakan, trauma sama seperti luka yang walaupun
sudah kering tetapi akan tetap meninggalkan bekasnya maka dari itu dibutuhkan juga
keterampilan untuk mengatasi berbagai reaksi negatif yang muncul kapan saja akibat
pengalaman trauma tersebut.39
Perempuan untuk dapat menyembuhkan trauma
mereka salah satunya yaitu dengan mereka bersuara, mengeluarkan segala beban
penderitaan mereka karena mereka selalu dianggap sebagai korban sehingga
penderitaan tersebut bisa menjadi ringan, mereka juga dapat merasakan bahwa ada
telinga-telinga yang sudah lebih peka dan peduli untuk berusaha menolong dan
meringankan beban. Sehingga, bukan saja menjadi korban dalam konflik tetapi
perempuan juga mampu untuk menyuarakan anti kekerasan bagi kehidupan manusia.
38 Ririmase, Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian, 104
39
Tirza T Laluyan, M.Psi, dkk, Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan Trauma
Akibat Bencana Alaam. (Jawa Barat: LPSP3 UI, 2007), 36-45
16
3. Hasil Penelitian
3.1 Gambaran Tempat Penelitian
Haria dan Porto merupakan sebuah Desa atau Negeri yang merupakan 2
negeri yang letaknya bersebelahan atau bertetangga di Pulau Saparua, Kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Melihat dari letak geografis, negeri Haria
merupakan negeri yang terletak disebelah barat kecamatan Saparua dengan jarak 5
km dariibu kota kecamatan. Batas wilayah negeri Haria yaitu belahan utara terdapat
jalan raya dari negeri Haria menuju Saparua, belahan selatan yaitu negeri Booi dan
laut Banda, belahan timur yaitu negeri Tiouw, Paperu, Booi dan belahan barat yaitu
selat Pulau Haruku.Negeri Haria memiliki struktur pemerintahan yang diawali
dengan kepala pemerintahan yaitu Raja (kepala desa), sekretaris desa, Badan
Permusayawaratan Desa (BPD) atau Saniri40
Negeri dan Lembaga Adat. Kemudian
ada 3 seksi dalam pengorganisasian yaitu seksi pemerintahan, seksi pembangunan,
seksi pembinaan dan pemberdayaan masyarakat. Sekretaris desa dibantu oleh 2 Kaur
(Kepala Urusan) yaitu dalam bidang tata usaha dan umum, bidang tata usaha dan
keuangan. Negeri Haria memiliki 6 Soa41
yang dipimpin oleh kepala-kepala Soa dan
6 Soa tersebut terdiri dari 3 Soa Uku Toru dan 3 Soa Ruhu Toru. 3 Soa Uku Toru
terdiri dari; (1) Titasomi, (2) Lounussa, (3) Tanarissa) sedangkan 3 Soa Ruhu Toru
terdiri dari; (1)Louhattu, (2) Peinimua, (3) Samalohy. Masyarakat negeri Haria
memiliki mata pencaharian sebagai petani dan nelayan namun mata pencaharian yang
lebih dominan yaitu nelayan.42
Melihat letak geografis, negeri Porto juga memiliki batas wilayah negeri yaitu
pada belahan barat yaitu negeri Haria dan Tiouw, belahan selatan yaitu dusun Pia dan
40 Saniri negeri yaitu lembaga adat yang berperan mengayomi adat-istiadat dan hukum adat.
Saniri berperan membantu Raja dalam menyelesaikan setiap perselisihan di lingkup negeri atau
dusun.Saniri negeri beranggotakan sekelompok orang yang terdiri dari kepala-kepala soa, pemuda dan
keamanan yang kerap berfungsi sebagai pihak yang dimintai nasehat atau masukan dalam penyelesaian
suatu kasus atau sengketa
41
Soa yaitu kepala dari beberapa marga atau fam (sebutan bagi sistem kekeluargaan di
Maluku yang pada umumnya berdasarkan garis keturunan ayah) yang merupakan yang telah
ditentukan secara turun temurun
42
Wawancara dengan Bapak Yoseph Souhoka (Saniri Negeri Haria), Haria, 12 Desember
2017, Pukul 17.00 WIT
17
negeri Kulur dan belahan utara yaitu laut. Negeri Porto memiliki struktur
pemerintahan yang diawali dengan kepala pemerintahan yaitu Raja (kepala desa)
kemudian sekretaris desa dan dibantu oleh 3 Kaur (Kepala Urusan), 3 Kaur tersebut
masing-masing memiliki bidang yaitu pembangunan, pemerintahan dan umum,
setelah Kaur, ada bendahara negeri. Negeri Porto juga memiliki 8 Soa yang dipimpin
oleh kepala-kepala Soa dan 8 Soa tersebut terdiri dari 3 Soa Ukutoru dan 5 Soa
Ukurima. 3 Soa Ukutoru terdiri dari; (1) Latarisa, (2) Moalea, (3) Nikirisa.
Sedangkan 5 Soa Ukurima terdiri dari; (1) Muahatalea, (2) Moatoa, (3) Namasuma,
(4) Lohinusa, (5) Beinusa. Kemudian setelah kepala Soa, struktur pemerintahan
selanjutnya yaitu Saniri negeri yang dipilih oleh Wyk.43
Masyarakat negeri Porto
memiliki mata pencaharian sebagai petani dan nelayan namun mata pencaharian yang
lebih dominan banyak yaitu petani.44
3.2 Latar Belakang Konflik dan Proses Rekonsiliasi Konflik Haria- Porto
Haria dan Porto adalah dua negeri yang dari dulu dikenal sebagai negeri
bersaudara karena letak kedua negeri ini bertetangga. Akan tetapi kedua negeri ini
sering mengalami konflik bahkan konflik juga sudah terjadi sejak dahulu (tahun
1958, 1977, 1983, 2002 sampai yang tahun 2011). Banyak pemicu konflik sehingga
konflik tersebut dapat terjadi yaitu permasalahan mengenai sengketa Air Raja yang
membuat kedua negeri ini ingin memiliki Air Raja tersebut. Letak Air Raja ini tepat
berada di perbatasan kedua negeri dan Air Raja juga sering dipakai bersama oleh
kedua negeri.45
Namun dapat dilihat juga bahwa pemicu terjadinya konflik yaitu
karena kenakalan anak-anak remaja yang kemudian melibatkan orang-tua mereka dan
akhirnya merambat ke negeri.46
Kenakalan anak-anak remaja dengan berkelahi seusai
sekolah berhasil menciptakan dendam yang berkepanjangan antar kedua negeri
sehingga walaupun kondisi sudah mulai kondusif, alasan dendam inilah yang mampu
43 Wyk yaitu struktur pemerintahan paling bawah, di daerah perkotaan digunakan istilah RT
44
Wawancara dengan Bapak M. A. Nanlohy (Raja Negeri Porto), Porto, 11 Desember 2017,
Pukul 10.00 WIT
45
Wawancara dengan Bapak Yoseph Souhoka (Saniri Negeri Haria)
46
Wawancara dengan Bapak Empi Manuhuttu, (Saniri Negeri Haria), Ambon, 15 Desember
2017, Pukul 16.30 WIT
18
menaikkan kembali amarah dari kedua negeri. Bagi kedua negeri Haria maupun Porto
juga beranggapan bahwa konflik yang terjadi ini tidak terlepas dari adanya campur
tangan pihak ketiga yang terus bermain untuk melanggengkan konflik tersebut
sehingga masyarakat pun terpancing untuk terus menerus melakukan konflik.
Masyarakat kedua negeri kemudian menjadi lupa begitu saja dengan apa kehidupan
mereka bahwa mereka adalah Orang Basudara. Konflik yang berkepanjangan ini
melibatkan banyak pihak didalamnya, dimulai dari anak-anak sampai orang dewasa,
laki-laki bahkan perempuan dan juga pihak luar pun mengambil kesempatan untuk
berkonflik.
Pada akhirnya melalui konflik ini diupayakan berbagai cara untuk dapat
mencari jalan damai sehingga pertikaian kedua negeri ini tidak terjadi lagi karena
sudah banyak sekali kehilangan banyak jiwa, harta benda bahkan berbagai mata
pencarian masyarakat juga tidak berjalan karena konflik tersebut. Melalui cara-cara
mencari jalan damai, banyak pihak juga sudah terlibat didalamnya, baik itu dari
masyarakat sendiri, pemerintah dan juga gereja dari kedua negeri yang mengambil
bagian dalam proses rekonsiliasi. Namun bukan hal mudah membangun rekonsiliasi
terhadap kedua negeri ini karena masyarakat masih berada dalam lingkaran bahwa
negeri mereka yang harus menang serta masih kurangnya kesadaran dalam
masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh Bapak Empi Manuhuttu:
“Konflik bisa saja selesai kalau semua pihak turut campur tangan tetapi
yang paling penting yaitu kesadaran dari masyarakat untuk berdamai
karena konflik yang terus menerus terjadi ini merupakan bentuk dari
kurang kesadaran dalam diri masing-masing masyarakat yang hanya
mau menyelesaikan konflik dengan cara main hakim sendiri padahal
ada jalur hukum yang dapat menyelesaikannya”.47
Maka dari itulah dibutuhkan kerja keras dari semua pihak untuk dapat mendamaikan
kembali kedua negeri ini sehingga ketika negeri mengganti pemimpin negeri yang
baru tidak ada lagi dendam atau trauma dan dapat memicu kembali terjadinya konflik
tersebut.
47 Wawancara dengan Bapak Empi Manuhuttu (Saniri Negeri Haria)
19
Pihak yang berperan didalamnya yaitu pemerintah kedua negeri, dari
pemerintah negeri Porto mengupayakan dengan melakukan pawai keliling negeri
Haria pada tahun 2012, pawai ini dipimpin langsung oleh Raja Negeri Porto (M. A.
Nanlohy) dengan mengelilingi negeri Haria. Kemudian juga pada tahun 2013 dengan
upaya mendatangkan Tentara dari Kesatuan 732 “Kabaresi”48
Maluku Tengah yang
bertempat di Masohi untuk membuat pos keamanan di kedua negeri dengan nama Pos
Tentara Yonif 731 Kabaresi. Pada tanggal 31 Oktober 2013 dilakukan perdamaian
kembali oleh kedua negeri dengan difasilitasi oleh Danrem Provinsi.49
Selanjutnya
dilakukan upaya melalui jalur hukum dengan pokok permasalahan yang dipakai yaitu
permasalahan batas tanah mengenai kepemilikan Air Raja dan Gubernur Maluku juga
sudah menangani hal tersebut,50
pertemuan tersebut dilaksanakan di Kantor Gubernur
Maluku bersama dengan tim-tim dari pusat. Dari pemerintah desa dengan dibantu
oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten mengadakan Workshop Maluku Ambasador
Peace, Ceramah Pemuda Pasca Konflik.51
Selanjutnya dibangun Prasasti Perdamaian
yang letaknya di Gereja Getsemani, Haria dan Gereja Irene, Porto (gambar 1.1, 1.2).
Prasasti ini diletakan dengan memakai ritual upacara adat, disaksikan oleh semua
masyarakat dari kedua negeri dan dihimpunkan semua perangkat negeri dan gereja
sehingga prasasti ini menjadi suatu pengakuan dan kesediaan bagi masyarakat Haria
dan Porto untuk berdamai dan untuk menciptakan kembali hubungan sebagai orang
basudara.52
48 Kabaresi merupakan sebutan atau gelar bagi Thomas Matulessy “laki-laki kabaresi” yang
artinya adalah gagah perkasa dan pemberani.
49
Wawancara dengan Bapak M. A. Nanlohy (Raja Negeri Porto)
50
Wawancara dengan Bapak Leo Manuhuttu (Sekertaris Negeri Haria), Haria, 12 Desember
2017, Pukul 11.00 WIT
51
Wawancara dengan Bapak Otovianus Leuwol (Saniri Negeri Haria), Haria, 12 Desember
2017, Pukul 13.00 WIT
52
Wawancara dengan Bapak Empi Manuhuttu (Saniri Negeri Haria)
20
Gambar 1.1 Prasasti Perdamaian Haria-Porto
Negeri Haria-Porto merupakan negeri yang keseluruhannya beragama Kristen
sehingga bukan hanya pemerintah saja yang turut mengambil bagian dalam proses
rekonsiliasi melainkan dari pihak gereja juga mengambil bagian didalamnya. Gereja
berjalan bersama-sama dengan pemerintah untuk menciptakan suasana damai
tersebut. Peran gereja yaitu dengan merangkul semua komponen masyarakat,
melakukan pembinaaan khusus secara terus menerus dan melakukan pastoral bagi
masyarakat sehingga dapat menumbuhkan kembali rasa kepercayaan antar orang
basudara dan tidak ada lagi dendam dari kedua negeri.53
Gereja mengawalinya
dengan mempertemukan anak dengan anak dengan tujuan mensosialisasikan diri
supaya dapat menghilangkan trauma dalam diri mereka karena mereka merupakan
generasi baru yang akan menjadi penerus bagi kedua negeri melalui kegiatan Pesta
Anak. Pesta Anak ini dilakukan dengan mengantarkan tali gandong dari Haria ke
Porto begitu-pula sebaliknya. Kemudian juga diadakan pertemuan “3 batu tungku”54
setiap tanggal 27 bulan berjalan, dengan diadakan pertemuan-pertemuan ini dapat
53 Wawancara dengan Pdt. Samuel Tahalele (Ketua Majelis Jemaat Gereja Irene, Porto),
Porto, 13 Desember 2017, Pukul 14.00 WIT
54
3 Batu Tungku merupakan istilah dalam mekanisme sosial yang dapat memberikan
kontribusi positif bagi pembangunan negeri. Sistem kerja-sama ini dikenal di semua negeri (Kristen)
di Maluku yang terdiri dari unsur Pemerintahan Negeri, Majelis Jemaat (Gereja) dan Dewan Guru
(Pendidikan). http://kutikata.blogspot.co.id/2008/01/tiga-batu-tungku.html, diunduh, Jumat, 05 Mei
2018
21
berdampak pada proses rekonsiliasi.55
Melalui proses rekonsiliasi yang diupayakan
oleh berbagai pihak, baik itu bagi kedua negeri ini dapat menjadikan bukti bahwa
proses rekonsiliasi dalam upaya mencari jalan damai sebagai bentuk pengampunan
itu haruslah lebih dari sekedar perjumpaan saja melainkan lebih dari itu yaitu
pertukaran derita sehingga dengan masuk ke dalam penderitaan orang lain maka
terjadilah suatu bentuk pembebasan yang dapat merangkul seluruhnya.56
3.3 Mama-Mama Papalele dalam Proses Rekonsiliasi
Rekonsiliasi merupakan suatu proses untuk dapat mendamaikan suatu konflik,
mencari jalan keluar bersama sehingga konflik tersebut dapat diselesaikan. Dalam
melakukan proses rekonsiliasi baik itu pemerintah, gereja dan masyarakat umum
sudah boleh mengupayakan berbagai cara. Peran aktif dari berbagai pihak bahkan
masyarakat pada umumnya juga bukan hanya melibatkan laki-laki saja melainkan
perempuan juga mengambil bagian didalamnya untuk melakukan proses rekonsiliasi.
Perempuan merupakan sosok yang digambarkan sebagai yang lembut, tidak
menyimpan dendam dan mampu mencairkan suasana yang beku menjadi cair ini
dibandingkan dengan laki-laki yang pada dasarnya memiliki sikap keras dan
cenderung lebih menyimpan dendam karena sosok perempuan inilah maka
komunikasi yang baik pun dapat dibangun tanpa memerlukan kekerasan.57
Melihat kondisi konflik yang terus berlanjut bahkan berkepanjangan sudah
pasti setiap rutinitas kegiatan, misalnya, pekerjaan, sekolah dan aktifitas lainnya tidak
dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena masyarakat takut untuk
melakukan aktifitas atau pergi keluar dari negeri walaupun itu hanya untuk berbelanja
bahan pangan saja. Melihat berbagai kenyataan yang terjadi tersebut, ada beberapa
perempuan yang memberanikan diri untuk melakukan aktifitas dengan berjualan
papalele, perempuan papalele tersebut sering disebut mama-mama. Cara mereka
berdagang papalele yaitu dengan berjalan membawa dagangan mereka keliling negeri
55 Wawancara dengan Pdt. Jefri Leatemia (Ketua Majelis Jemaat Gereja Petra, Haria), Haria,
12 Desember 2017, Pukul 20.00 WIT
56
Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi, 55
57
Wawancara dengan Bapak Otovianus Leuwol (Saniri Negeri Haria)
22
untuk dijual namun bukan hanya berjualan di dalam negeri masing-masing saja,
melainkan juga keluar dari negeri mereka, mama-mama dari Haria pergi berjualan ke
Porto dan begitu-pula sebaliknya. Sebelum konflik mama-mama papalele ini sudah
sering melakukan proses papalele. Proses papalele memang sempat terganggu karena
konflik yang terus berkepanjangan tersebut. Namun, ada beberapa mama-mama
papalele yang ketika konflik terjadi, mereka tetap berusaha untuk menjual dagangan
mereka ke negeri tetangga tanpa memikirkan resiko yang akan mereka alami.
Misalnya, ketika mama-mama Haria ingin berjualan ke negeri Porto, mereka
dimarahi oleh masyarakat negeri sendiri, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mama
Au (nama samaran):
“Mereka marah ketika mereka tahu hendak berjualan ke Porto dan
tanggapan saya kepada mereka, jangan cari masalah lagi walaupun
kondisi belum kondusif sepenuhnya. Tidak ada perasaan takut atau
apapun itu, yang terpenting bisa berjualan dan mendapat
penghasilan.”58
Gambar 1.2 Transaksi Jual Beli Pasar Haria
Peran mereka dalam melakukan papalele dapat menjadi sarana mereka secara
tidak disengaja untuk melakukan rekonsiliasi, dengan perasaan tidak takut dengan
resiko yang akan dilalui baik di dalam maupun di luar negeri. Bagi mereka,
melindungi diri sendiri saja sudah cukup untuk dapat berjualan supaya dagangan
58 Wawancara dengan Mama Agustina Kaya (Papalele Haria), Haria, 12 Desember 2017,
Pukul 12.00 WIT
23
mereka pun bisa cepat laku dan juga meraih untung yang besar kalau berjualan ke
negeri sebelah.59
Cara mereka dalam melakukan papalele juga dapat membantu
mereka membangun kembali komunikasi yang baik dengan negeri sebelah yaitu
mereka bukan hanya menawarkan dagangan saja tetapi juga mereka melakukan
interaksi dan interaksi yang dibangun juga bukan dengan menceritakan konflik yang
sementara terjadi melainkan berinteraksi dengan memperbincangkan hal-hal yang
umum walaupun untuk membangun interaksi saat berjualan pun bukanlah hal yang
mudah dan jika memang tidak memerlukan interaksi, mereka hanya menawarkan
dagangan mereka saja kemudian melanjutkan perjalanan mereka lagi.60
Menarik
untuk diperhatikan melalui salah satu mama yang mengatakan demikian:
“Waktu pergi berjualan, perasaannya biasa saja, tidak ada rasa marah
buat mereka, kalau mau marah juga untuk apa, kalau sudah selesai,
berarti selesai. Kalau misalnya mau dendam lalu kenapa kita dari Haria
harus pergi berjualan ke Porto.”61
Gambar 1.3 Transaksi Jual Beli di Pasar Porto
Perempuan dengan sifatnya yang tidak menyimpan dendam membuat mereka
dengan begitu saja melupakan apa yang sementara terjadi dan apa yang sementara
dialami. Buktinya, ada salah satu mama di negeri Haria yang pada waktu konflik
59 Wawancara dengan Mama Lidya Apono (Papalele Porto), Porto, 14 Desember, 2017, Pukul
16.00 WIT
60
Wawancara dengan Mama Fransina Latupeirissa (Papalele Porto), Porto, 14 Desember
2017, Pukul 18.00 WIT
61
Wawancara dengan Mama Yety Hesmus (Papalele Haria), Haria, 12 Desember 2017, Pukul
14.30 WIT
24
rumahnya terbakar tetapi itu tidak membuat dirinya sangat membenci negeri Porto
tetapi dia memilih untuk berjualan papalele ke negeri Porto. Upaya-upaya yang
dilakukan ini supaya dapat menyambung kembali relasi yang terputus karena konflik
dan dapat tersambung kembali layaknya hidup orang basudara. Dari hasil wawancara,
kebanyakan perempuan dari negeri Haria dan Porto mereka tidak mengetahui
keseluruhan asal-muasal terjadinya konflik, mereka hanya mengetahui sepintas yang
mereka tahu saja. Sehingga ketika ada proses perdagangan papalele yang dilakukan
ke negeri sebelah, mereka tetap menerima dengan baik tanpa mengungkit-ungkit
konflik yang terjadi.62
Walaupun ada juga beberapa mama-mama yang sebenarnya
mereka takut namun pada akhirnya mereka pun berusaha untuk mengkesampingkan
rasa takut mereka tersebut dengan mereka tetap bertemu dan melakukan transaksi
jual-beli tetapi secara sembunyi-sembunyi.63
Peran perempuan sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam membantu
proses rekonsiliasi. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan gereja juga
melibatkan perempuan secara penuh. Upaya-upaya tersebut dapat berjalan dengan
baik juga karena perempuan mampu menjadi sosok pendamai dan melalui hasil yang
diperoleh 70% lebih banyak melibatkan perempuan dalam proses perdamaian dan
laki-laki hanya 30%. Walaupun dalam proses yang lama menuju suatu rekonsiliasi
tersebut tetapi perempuan pun dapat membuktikannya, didalamnya juga melalui
aktivitas ekonomi lokal (papalele).64
4. Analisa
Peran Mama-Mama Papalele Melalui Aktivitas Ekonomi Lokal dalam
Rekonsiliasi Haria-Porto
Berdasarkan teori yang digunakan dan hasil penilitian yang didapat oleh
penulis maka dapat dilihat bahwa proses rekonsiliasi dalam upaya mencari jalan
62 Wawancara dengan Mama Ata (Papalele Porto), Porto, 11 Desember 2017, Pukul 15.00
WIT
63
Wawancara dengan Mama Mada (Papalele Porto), Porto, 11 Desember 2014, Pukul 17.00
WIT
64
Wawancara dengan Bapak Oktovianus Leuwol (Saniri Negeri Haria)
25
damai untuk bisa mencapai kesepakatan dari pihak-pihak yang berkonflik untuk dapat
menemukan titik kesepahaman sehingga tidak ada lagi perdebatan dan pertentangan
yang dapat memicu dalam hal melanggengkan konflik. Banyak hal dapat menjadi
kemungkinan untuk dapat menimbulkan kembali konflik tersebut sehingga proses
rekonsiliasi pun harus mampu diupayakan sedemikian baik supaya tidak ada
kemungkinan untuk konflik tersebut terjadi lagi. Dalam proses rekonsiliasi yang
terjadi di kedua negeri Haria dan Porto, sudah banyak pihak yang terlibat dalam
mengupayakan menciptakan rekosiliasi, seperti yang sudah dipaparkan pada hasil
penelitian bahwa dalam upaya rekonsiliasi maka dibuat prasasti perdamaian yang
diletakan di kedua negeri. Prasasti ini merupakan simbol perdamaian yang akan
mengingatkan kedua negeri bahwa konflik sudah berakhir. Sangat penting menerima
benda, tempat atau hal yang lain sejenisnya sebagai simbol untuk mengingatkan
bahwa pernah terjadi suatu konflik yang menimbulkan berbagai jenis kekerasan
terjadi bahkan mengakibatkan banyak kehilangan nyawa dan harta benda. Simbol ini
harus mampu untuk melampaui segala bentuk kenangan yang bersifat etnosentris.
Dalam mengatasi berbagai kesulitan untuk melupakan kenangan dari konflik tersebut
diperlukan juga kesadaran untuk saling menguatkan bahkan harus bisa melampaui
perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan konflik.65
Proses rekonsiliasi yang dilakukan tidak hanya berlaku sekali saja tetapi
berulang-ulang kali karena disebabkan oleh masyarakat dari kedua negeri yang masih
belum bisa berdamai secara utuh karena memendam rasa marah, emosi, kecewa,
dendam dan lain sebagainya. Namun ada saatnya juga mereka beranggapan bahwa
konflik harus segera berakhir, bagaimana-pun caranya itu. Rekonsiliasi merupakan
sebuah perjalanan yang panjang untuk dapat menghentikan konflik sehingga seluruh
pihak (pemerintah, gereja, masyarakat) juga harus bekerja keras dalam menciptakan
perdamaian yang merupakan titik akhir yang diharapkan sehingga dapat dikatakan
bahwa konflik tersebut berhasil untuk diselesaikan.66
65 Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi, 143-145
66
Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice, 259
26
Pihak-pihak yang berupaya bukan hanya melibatkan laki-laki saja tetapi juga
harus bisa melibatkan perempuan juga. Konteks negeri Haria dan Porto yang masih
sangat kental dengan budaya patriakal, membuat perempuan-perempuan di kedua
negeri ini selalu tidak dapat memainkan peran mereka dengan baik untuk
menciptakan suasana perdamaian. Setiap upaya yang dilakukan membutuhkan
persetujuan dari pihak pemerintah dan bahkan ketika sudah mendapat izin dari
pemerintah, perempuan-perempuan masih belum dipercayakan untuk tampil paling
depan, mereka hanya bisa tampil di belakang yakni di dapur untuk menyiapkan
hidangan. Namun, tanpa partisipasi dari perempuan maka setiap keputusan,
kebutuhan dan juga kontribusi dapat beresiko diabaikan. Perempuan sebenarnya
bukan semata-mata korban yang harus dikasihani dan ditolong namun perempuan
juga bisa menjadi pelaku dan saksi konflik sekaligus rekonsiliator menggunakan
perannya dengan cara yang beragam.
Walaupun dalam proses rekonsiliasi perempuan kurang dan bahkan tidak
dilibatkan namun proses perdamaian dan rekonsiliasi lokal antar perempuan dimulai
di pasar yaitu melalui aktivitas ekonomi lokal (papalele). Kehadiran perempuan
sebagai sosok yang tidak pendendam dan tidak mudah emosi membuat mereka lebih
mudah untuk masuk dan melakukan perjalanan ke negeri tetangga. Papalele
dilakukan hanya oleh beberapa perempuan yang disebut mama-mama papalele.
Melalui penelitian yang sudah dilakukan, terdapat 4 peran dari mama-mama papalele
melalui aktivitas ekonomi lokal dalam membangun rekonsiliasi Haria-Porto, yaitu:
1) Menginisiasi pertemuan informal melalui aktivitas ekonomi lokal
Konflik yang terjadi di Haria-Porto membuat masyarakat negeri tidak berani
untuk melakukan aktifitas, banyak hal yang dipertimbangkan untuk tidak melakukan
aktifitas. Banyak alasan yang mengakibatkan masyarakat dari kedua negeri ini
enggan untuk saling bersapa. Namun dibalik semuanya itu, beberapa mama-mama
papalele mereka memberanikan diri untuk berjualan walaupun kondisi pada saat itu
masih kurang kondusif untuk melakukan berbagai kegiatan. Dengan keberanian
27
mereka, dengan ketangguhan mereka dan dengan melindungi diri mereka sendiri,
mereka melangkah untuk melakukan aktivitas papalele. Walaupun, upaya yang
mereka lakukan mungkin lebih didorong oleh kebutuhan hidup untuk mencari nafkah
dibandingkan upaya sadar akan rekonsiliasi konflik yang mereka sudah lakukan.
Mereka lebih memposisikan diri mereka dengan baik untuk menghilangkan rumor
yang mampu menciptakan konflik dan mencegah berbagai provokasi.67
Dengan
berkaca dari wawancara yang dilakukan dengan mama-mama papalele, mereka
mengambil tindakan dengan melakukan papalele tanpa memikirkan resiko yang akan
mereka alami. Maka dari itu, walaupun masyarakat dari kedua negeri terlihat belum
mau untuk saling mengunjungi dan membangun inisiasi, mama-mama papalele,
merekalah yang sudah mampu membangun inisiasi melalui aktivitas ekonomi lokal.
2) Membangun komunikasi dalam proses transaksi
Jika berkaca dari konflik yang terjadi di Ambon, proses interaksi pada saat
konflik berhenti sehingga papalele juga secara otomatis berhenti namun kelompok
papalele merupakan bagian dari masyarakat yang dapat membuka kebuntuan
komunikasi antar kelompok.68
Sama halnya dengan mama-mama papalele yang
berada di Haria dan Porto, merekalah yang berani maju untuk mencairkan suasana
yang beku menjadi cair melalui proses interaksi ketika mereka melakukan papalele.
Interaksi yang mereka bangun tidak menyangkut hal-hal yang memicu konflik terjadi
namun interaksi yang umum untuk dapat diperbicangkan. Perempuan yang
digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut mampu untuk memanfaatkan situasi
walaupun mereka beranggapan bahwa mereka hanya berjualan dan tidak melakukan
rekonsiliasi. Dari kedua negeri Haria dan Porto, hanya ada beberapa di antara mereka
yang memberanikan diri untuk berinteraksi dengan berjualan masuk ke dalam negeri.
Mama-mama negeri Haria lebih memilih untuk berjualan ikan ke negeri Porto
maupun mama-mama negeri Porto lebih memilih untuk berjualan ubi ke negeri Haria
karena kelangkaan bahan-bahan untuk dijual. Papalele dengan masuk ke negeri yang
67 http://www.peacewomen.org/sites/default/files/pp_womenattheindonesianpeacetable_0.pdf,
diunduh, 29 Mei 2018
68
Soegijono, Papalele, 239
28
sementara berkonflik dengan negeri kediaman sendiri kadang mengancam nyawa
mereka. Faktor mendesak akan kebutuhan ekonomi membuat mereka mengambil
resiko untuk berdagang. Bagi mereka, berjuang untuk mempertahankan kehidupan
keluarga lebih utama dibandingkan dengan konflik yang sementara terjadi.
Kebutuhan ekonomi seperti inilah yang menjadi titk masuk dalam melakukan
rekonsiliasi yang spontan
Melihat peran aktif dari mama-mama papalele menimbulkan suatu kesadaran
bahwa perempuan sebenarnya bukan semata-mata dijadikan sebagai korban dalam
konflik, yang harus terus dikasihani dan ditolong. Melainkan perempuan juga dapat
menjadi agen rekonsiliasi dengan memakai perannya yang beragam,69
salah satunya
yaitu melalui aktivitas ekonomi lokal, papalele.
3) Pengampunan lewat aktivitas ekonomi lokal
Dalam menciptakan rekonsiliasi dibutuhkan proses pengampunan yang
merupakan proses bagi seseorang untuk dapat disembuhkan dari masa lalunya. Akan
tetapi, bukan berarti bahwa masa lalu yang menyakitkan itu dapat dilupakan
melainkan luka itu tetap menjadi bagian dari masa lalu orang tersebut dan tidak dapat
dihilangkan begitu saja. Pengampunan itu membersihkan semua kenangan-kenangan
dari sesuatu yang pahit dan pernah di rasakan oleh orang tersebut. Pengampunan
merupakan bagian dari proses membebaskan orang dari rantai masa lalu dan rantai
bersalah dan dapat memulai jalan baru menuju masa depan yang lebih kondusif.70
Melalui rekonsiliasi yang diciptakan oleh mama-mama maka dengan sendirinya
mereka sudah mempunyai sikap pengampunan. Walaupun terlihat sederhana karena
melalui proses aktivitas ekonomi lokal namun mama-mama mampu menyuarakan
bahwa mereka juga mampu untuk menyembuhkan luka-luka psikis yang dialami
ketika terjadinya konflik. Ada diantara mereka yang melakukan papalele, mereka
adalah orang-orang yang kehilangan keluarga, harta benda ketika konflik terjadi
namun dengan kebesaran hati mereka, mereka tidak menyimpan dendam melainkan
69 Putranti, Perempuan, Konflik dan Kekerasan, 89
70
Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi,77-78
29
mereka tetap berupaya untuk membangun interaksi yang baik untuk bisa
menyembuhkan luka-luka psikis yang mereka alami dan yang mereka rasakan.
4) Trauma healing melalui aktivitas ekonomi lokal
Menyembuhkan atau menghilangkan rasa trauma memang tidak semudah yang
dibayangkan. Pengalaman trauma yang dialami juga tidak mempengaruhi orang yang
mengalaminya dengan cara yang sama karena mereka akan mengalami hal yang
berbeda-beda untuk menghilangkan rasa traumanya. Dalam proses ini dibutuhkan
dukungan atau bantuan yang tepat dari orang lain untuk dapat mengatasi trauma yang
dialami sehingga trauma dapat berangsur-angsur hilang dan orang yang mengalami
trauma akan bangkit kembali.71
Melalui pemulihan secara bertahap dapat membantu
orang untuk menghilangkan rasa traumanya, pemulihan yang dilakukan tidak bisa
berjalan kaku melainkan harus memiliki dinamika sehingga pemulihan secara
bertahap akan terus mengalami kemajuan dan bukan kemunduran. Mama-mama
papalele Haria-Porto mengupayakan penyembuhan trauma dengan melakukan
transaksi jual-beli padahal sebenarnya mereka takut tetapi mereka harus
memberanikan diri untuk melakukan papalele. Perasaan takut tersebut tidak
sebanding dengan perasaan berani yang ada dalam diri mereka. Keadaan yang belum
sepenuhnya kondusif mengharuskan mereka hadir dengan melindungi diri sendiri
ketika melakukan transaksi. Proses menghilangkan rasa trauma karena konflik
apalagi banyak yang kehilangan tempat berlindung ketika panas hujan, kehilangan
sanak keluarga dan kehilangan lainnya membuat rasa trauma akan konflik sangat
besar. Peran dari mama-mama yang tidak menyimpan dendam dan berani
menghadapi perasaan trauma mereka, membuat mereka semakin tangguh memikul
tanggung-jawab ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan juga sebagai pedagang
papalele.
Melalui hasil wawancara, mama-mama papalele Haria dan Porto yang
memberanikan diri untuk berdagang ikan (ciri khas Haria) dan patatas atau ubi (ciri
71 Laluyan, Pemulihan Trauma, 25
30
khas Porto) membuktikan bahwa perempuan juga memiliki peran aktif dalam konflik.
Ketika perempuan berani untuk melakukan proses rekonsiliasi maka dapat
menghilangkan sedikit demi sedikit budaya patriakal yang sangat melekat dan kental
di kedua negeri Haria dan Porto dan ketika perempuan-perempuan hendak melakukan
sesuatu proses rekonsiliasi, mereka tetap dihargai keberadaannya dan tetap diterima
sebagai sosok yang mampu menciptakan perdamaian.
5. Kesimpulan
Penulis menyimpulkan bahwa konflik yang terjadi di Haria dan Porto yang
didasari oleh berbagai kepentingan, sudah diupayakan berbagai bentuk proses
rekonsiliasi. Upaya dalam membangun perdamaian antara kedua negeri dilakukan
oleh seluruh pihak, yaitu pemerintah, gereja dan masyarakat. Namun, upaya
rekonsiliasi tersebut masih dominan melibatkan laki-laki dibandingkan perempuan.
Budaya patriakal yang membentuk pola pikir masyarakat dan berimbas pada tindakan
mereka didalam lingkup universal. Perempuan jangan hanya dilihat sebagai sosok
yang lemah dan tidak dapat mengupayakan rekonsiliasi tetapi perempuan harus
dilihat sebagai sosok yang berani yang dapat menciptakan rekonsiliasi.
Melalui aktivitas ekonomi lokal yaitu papalele, beberapa perempuan yakni
mama-mama papalele mampu untuk membangun interaksi dan komunikasi yang baik
dalam proses papalele. Mereka dengan berani melakukan papalele padahal kondisi
pada saat itu belum kondusif. Dengan bermodalkan ketangguhan mereka tanpa
memikirkan berbagai resiko yang akan mengancam nyawa mereka, mereka berani
untuk berdagang. Tujuan utama mereka melakukan papalele yaitu untuk kebutuhan
ekonomi keluarga mereka bahkan mereka tidak menyadari bahwa yang mereka
lakukan adalah upaya menciptakan rekonsiliasi secara spontan. Interaksi yang mereka
bangun ketika berdagang membuat mereka sukses untuk menciptakan komunikasi
yang baik bahkan mereka pun tetap berusaha untuk menghilangkan trauma dari dalam
pikiran mereka akibat konflik. Perempuan yang selama ini dianggap sebagai sosok
yang lemah, sebenarnya mereka mampu untuk menciptakan proses rekonsiliasi
31
dengan cara mereka sendiri. Proses rekonsiliasi yang terjadi di negeri Haria dan Porto
bukan hanya laki-laki saja yang dominan untuk menciptakan tetapi perempuan juga
mampu menciptakan hal baru dan tidak biasa dalam proses rekonsiliasi.
32
Daftar Pustaka
Buku :
Wacano, Abidin, dkk. Cerita Orang Basudara.Jakarta Selatan: Paramida Pusad, 2014
Litaay, Theofranus, dkk, disunting. Mengelola Konflik dalam Konteks Human
Security dan Pengetahuan Lokal dalam Buku Bacaan Pendidikan
Perdamaian.Salatiga: Griya Media, 2011
Fahrenholz, Geiko Muller. Rekonsiliasi: Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan
dalam Masyarakat. Yogyakarta: Ledalero Maumere, 2005
Murniati, A. Nunuk P. Getar Gender. Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2004
Wolfman, Brunetta R. Peran Kaum Wanita Bagaimana Menjadi Cakap dan
Seimbang dalam Aneka Peran. Yogyakarta: Kanisius, 1989
Soegijon, Simon Pieter. Papalele.Salatiga: Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW,
2011
Suyanto, Bagong dan Sutinah. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana, 2007
Silalahi, Uber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2009
Putranti, Basilica Dyah dan Asnath Niwa Natar, editor.Perempuan, Konflik, dan
Rekonsiliasi Perspektif Teologi dan Praksis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016
Ririmase, Margaretha. Perempuan, Kekerasan dan Perdamaian Sebuah Refleksi
Teologis Feminis. Jakarta: Yakoma-PGI, Persetia, Dept. Perempuan dan Anak,
Mission 21, 2009
Agung, Mianto N., dkk, editor. Perjuangan Perempuan Indonesia: Belajar dari
Sejarah. Salatiga: Yayasan Bina Darma, 2007
Susan, Novri. Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik
di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Afif, Afthonul. Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran Di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015
Setyawan, Yusak B, dkk, penyunting. Perdamaian dan Keadilan Dalam Konteks
Indonesia yang Multikultural dan Beragam Tradisi Iman. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2017
Schreiter, Robert J. Schreiter, Rekonsiliasi Membangun Tatanan Masyarakat Baru.
Flores, NTT: Nusa Indah, 2000
33
Darlis, Andi Muh, Konflik Komunal Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso.
Yogyakarta: Buku Litera, 2012
Jeckson, Stevi dan Jackie Jones, editor. Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer.
Yogyakarta: Jalasutra, 2009
Pui-Lan, Kwok. Globalization, Gender, and Peacebuilding. The future of Interfaith
Dialogue. New York/Mahwah, New Jersey: Paulist Press, 2012
Tirza T Laluyan, M.Psi, dkk, Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan
Trauma Akibat Bencana Alaam. Jawa Barat: LPSP3 UI, 2007
Website :
https://www.files.ethz.ch/isn/131222/Bahasa%20Indonesia%20version.pdf, diunduh,
19 Mei, 2018
http://www.peacewomen.org/sites/default/files/pp_womenattheindonesianpeacetable_
0.pdf, diunduh, 29 Mei 2018
http://kutikata.blogspot.co.id/2008/01/tiga-batu-tungku.html, diunduh, Jumat, 05 Mei
2018
Wawancara :
Pra wawancara dengan Bapak Acu Loupatty dan Ibu Nico Kaya
Hasil wawancara dengan Bapak Raja Negeri Porto dan Sekretaris Negeri Haria
Hasil wawancara dengan Saniri Negeri Haria-Porto
Hasil wawancara dengan Mama-Mama Papalele Haria-Porto
Tesis :
Tamaela. Hedy M, Gereja dan Rekonsiliasi: Memahami Peran Sosiologis GPM
dalam Proses Rekonsiliasi Konflik di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku.
Salatiga: UKSW Fakultas Teologi-Magister Sosiologi Agama, 2015
Top Related