MAKALAH
Ushul Fiqh
(Istihsan)Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Mustatho', M.Pd.I
Disusun oleh :
MULIYANA
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SENGATTA
KUTAI TIMUR
2013
KATA PENGANTAR
1
2
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, kepadanya-Nya yang senantiasa
memberikan kesehatan, kesempatan serta Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas sebuah Makalah sederhana yang berjudul “ISTIHSAN”
Dalam penyusunan Makalah ini penulis mengalami banyak hambatan dan
kesulitan dimulai dari pengumpulan data sampai penyusunan-Nya. Namun dengan
adanya kerja keras dan bantuan dari pihak lain dan petunjuk dari Dosen akhirnya
penulis dapat menyelesaikan Makalah ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah terlibat dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis sadar bahwa dalam Makalah ini tentunya masih masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh Karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca untuk membantu melengkapkan dan
menyempurnakan makalah ini. Apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini ,
kami mohon maaf yang sebesarnya.
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat, Amin.
Sangatta , 11 Maret 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul..................................................................................................i
3
Kata pengantar.................................................................................................ii
Daftar isi..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.....................................................................1
C. TUJUAN..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ISTIHSAN.................................................................3
B. MACAM-MACAM ISTIHSAN..........................................................3
C. DASAR HUKUM ISTIHSAN............................................................4
D. KEHUJJAHAN ISTIHSAN................................................................5
E. ALASAN ULAMA SYAFI’IYAH
DAN SEPAHAMNYA YANG
MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL.......................................8
F. RELEVANSI ISTIHSAN DENGAN PEMBAHARUAN
HUKUM ISLAM................................................................................8
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN....................................................................................9
B. SARAN................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana kita ketahui, sumber ajaran islam yang pertama adalah al-
Qur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tidak sekaligus tetapi dengan cara sedikit demi sedikit dimulai di Makkah dan
disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-
persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika itu.
5
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu
dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan
dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan
dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang
al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala
sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh
hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum
dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan
Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya
dengan berbagi metode, walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain,
ada yang memakai metode misalnya Istihsan tetapi ulama lain menolaknya
Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan metode berijtihad oleh
para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup difokuskan pada persoalan
berijtihad dengan Istihsan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Istihsan?
2. Apa saja macam-macam Istihsan?
3. Apa dasar hukum Istihsan?
4. Bagaimana Kehujjahan Istihsan?
5. Apa Alasan Ulama Syafi’iyah Dan Sepahamnya Yang Menolak Istihsan
Sebagai Dalil?
6. Bagaimana relevansi istihsan dengan pembaharuan hukum islam?
C. TUJUAN
Untuk lebih bisa memahami Ruang lingkup tentang Istihsan.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI ISTISHAN
1. Menurut Bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan
sesuatu lebih baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih
baik untuk diikuti,karena memang di suruh untuk itu.
2. Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya seseorang mujtahid
dari tuntutan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang
khafi(samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitnainy
(pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan
memenangkan perpalingan ini
3. Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab
hanafi menulis: istihsan adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas
yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang labih kuat.
4. Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti meninggalkan
qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena adanya dalil yang
lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang meng hendakinya serta lebih
sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
B. MACAM MACAM ISTIHSAN
Ditinjau dari segi pengertian Istihsan menurtut ulama Ushul Fiqh diatas, maka
istishan itu terbagi menjadi:
a. Istihsan menurut syara’
1) Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena
ada suatu dalil.
2) Pepengecualian kasuistis (juz,iyyah) dari suatu hukum kuli (umum)
dengan adanya suatu dalil
b. Istihsan Qiyasi
Yaitu menggunakan Qiyas khafi (samar) dan meninggalkan Qiyas jali
(nyata) karena ada petunjuk untuk itu. Istihsan ini terjadi pada suatu kasus
7
yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu qiyas
jali dan qiyas khafi.
c. Istihsan Istisnaiy
Yaitu hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada
petunjuk untuk hal tersebut. Istihsan Istisnaiy terbagi kepada beberapa macam, yaitu:
1) Istihsan bin-nash, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (al-Qur’an
atau As-Sunnah) dari kaidah yang bersifat umum yang berlaku bagi
kasus-kasus serupa.
2) Istihsan berlandaskan ijma’, yaitu terjadinya sebuah ijma’ –baik yang
sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas
atau kaidah umum.
3) Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat/kebiasaan), yaitu meninggalkan apa
yang menjadi konsekwensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda
karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan
maupun perbuatan.
4) Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah, yaitu ketika seorang
mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang
menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat
itu atau mencegah kemudharatan.
C. DASAR HUKUM ISTIHSAN
Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an
dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
ال��ذين يس��تمعون الق��ول فيتبع��ون احس��نه .اولئ��ك ال��ذين
هدهم الله . واولئك هم اولو االلبابز
8
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah
petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS.
Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya
yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكمArtinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti
yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada
hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan
bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
و.اف/ َأ ا ر/ ن1 و/م��/ ه2 ح/س��/ د/ الل��3 ن��. و/ ِع2 7ا ف/ُه��5 ن 2م5ون/ ح/س/ ل .م5س. /ى ال َأ /م/ا ر/
. :ٌئ1 ي 3ه2 َس/ .د/ الل ن 7ا ف/ُه5و/ ِع2 :ئ ي َس/Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang
baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang
sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin
dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan
kehujjahan Istihsan.
D. KEJUJJAHAN ISTIHSAN
9
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fiqh dalam menetapkan
istihsan sebagai salah satu metode atau dalil dalam menetapkan hukum syara.
Menurut Ulama Hanafiah, Malikiyah dan sebagian Hambaliah, istihsan merupakan
dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara.alasan yang mereka kemukakan
adalah:
1. Dasar dalam Al-Qur’an, surat Az-Zumar ayat 18:
/اِب2 .ب /ل اَأْل. 5وا و.ل5 َأ ه5م. 2ك/ /ئ و.ل
5 و/َأ 3ه5 الل ه/د/اه5م5 3ذ2ين/ ال 2ك/ /ئ و.ل5 َأ /ه5 ن /ح.س/ َأ 2ع5ون/ 3ب /ت ف/ي .ق/و.ل/ ال /م2ع5ون/ ت /س. ي 3ذ2ين/ ال
Artinya: yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apayang paling baik
diantaranya.mereka itulah orang-orang yang telah diberi oleh Allah petunjuk
dan mereka itulah orang-orang uang berakal (QS.Az-Zumar: 18)
2. Dasar istihsan dalam hadis
اهللاحسن عند فهو حسنا المسلمون مارأهArtinya: sesuatu yang dipandang baik menurut umat islam maka baik pula
dihadapan Allah (H.R. Imam ahmad)
Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadis terdapat berbagai permasalahan
yang apabila diberlakukan hukum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas ada kalanya
membawa kesulitan bagi umat manusi. Sedangkan syariat islam ditujukan untuk
menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Untuk menghilangkan kesulitan
itu maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang memberikan hukum yang sesuai
dengan kemaslahatan umat.
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan.
Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng
berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan
syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari
sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak
masalah istihsan ini.
10
Dilihat dari paradigma yang dipakai oleh ulama Hanafiah, Imam Safi’i
berpegang bahwa berhujjah dengan istihsan berarti Ia telah mengikuti hawa nafsunya.
Sedangkan istihsan yang dimaksud ulama Hanafiah adalah berhujjah
berdasarkan dalil yang lebih kuat.adapun dalil yang disodorkan ulama hanafiah
mengenai istihsan, seperti surat az-zumar ayat 18 dan hadis Nabi yang diriwayatkan
Imam Ahmad, ulama safi’iyah berpandapat bahwa dalam surat Az-Zumar ayat 18,
tidak menunjukan adanya istihsan, juga tidak menunjukkan wajibnya mengikuti
perkataan yang baik.kemudian mengenai kutipan hadis di atas, mengisaratkan adanya
ijma kaum muslimin.sedangkan ijma merupakan hujjah yang bersumber dari dalil.jadi
hadis tersebut tidak berarti setiap orang yang memandang suatu urusan itu baik, maka
baik pula menurut Allah.inilah pemahaman yang seharusnya tidak ada dalam benak
kaum maslimin.
Jadi penolakan Syafiiyah tersebut bukan pada lafad istihsannya.karena Imam
Syafi’i pun sering menggunakan kata istihsan,seperti pada kasus pemberian mut’ah
kepada wanita yang ditalak. Imam Syafi’i berkata menganggap baik pemberian
mut’ah itu sebanyak 30 dirham. Padahal di dalam Al-Qur’an tidak ada ketentuan nilai
yang harus diberikan, tetapi beliau melakukan itu sebagai ijtihad beliau atas makna
pemberiaan yang ma’ruf.
Jadi cara seperti ini menurut ulama Hanafiah adalah merupakan cara
pengambilan hukum dengan istihsan. Menurut Ulama Syafi’iah ini bukan merupakan
istihsan, tetapi dengan membatasi sesuatu dengan melihat kondisi waktu itu (taksillul
illah).
Diantara orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas
kelompok Hanafi. Mereka beralasan : Pengambilan dalil dengan istihsan adalah
mengambil dalil dengan qiyas samar yang mengalahkan qiyas nyata, atau
memenagkan qiyas yang satu terhadap qiyas lain yang menentangnya karena
kepentingan umum dengan cara mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan
semua itu adalah pengambilan dalil yang benar.
11
E. ALASAN ULAMA SYAFI’IYAH DAN SEPAHAMNYA YANG
MENOLAK ISTIHSAN SEBAGAI DALIL
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan.
Menururt Imam Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng
berhujjah dengan istihsan maka ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah
menentukan syariat baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah
SWT.dari sinilah terlihat bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam
menolak masalah istihsan ini.
Alasan alasan Syafi'i menolak istihsan:
1. Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan
nash. Orang yang melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda", yaitu
menetapkan hukum dengan menyalahi al Qur'an dan sunnah.
2. Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang
memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai
dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan mengikuti hawa
nafsu.
3. Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang
mendasarkan dengan istihsan, yaitu mereka membunuh laki laki yang
melekat pada pohon.
4. Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu
sesuai dalam nash dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman
dalam istihsan adalan maslahah menurut para ulama'.
5. Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al
Qur'an tidak menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.
F. RELEVANSI ISTIHSAN DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM
12
Pembaharuan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan perkembangan
baru itu sebagai pertimbangan hukum agar hukum tersebut betul-betul mampu
merealisasi tujuan syariat dan selalu berpedoman pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai
dasar yang dibawa al-Qur‟an dan Hadits. Jadi pembaharuan hukum Islam bukan
berarti menetapkan hukum Islam yang mampu menjawab permasalahan dan
perkembangan baru secara sembarangan tanpa pedoman dan batasan.
Istihsan meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun dia
menyingkap jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil
syara‟ dan kaidah-kaidahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan
yang berkembang di dalam masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan kesulitan dan
kemudharatan serta menghasilkan kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-dasar
syariat dan sumber-sumbernya.
Istihsan pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan
dengan qiyas, atau dengan kata lain, hukum yang ditetapkan dengan istihsan berbeda
dengan hukum lama yang ditetapkan oleh Qiyas. Dari segi inilah istihsan merupakan
suatu metode istinbat hukum yang sangat relevan dengan pembaharuan hukum Islam.
Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari kekakuan hukum yang dihasilkan
Qiyas.
Salah satu contoh kasus kontemporer yang dapat diangkat yaitu masalah
transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Meskipun ada ketentuan
umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil
yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal
inipun pendekatan istihsan rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan.
13
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan awal yang dapat penulis tarik, berdasarkan permasalahan yang
telah dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Istihsan adalah sebuah konsep penalaran untuk menggali dan menemukan
hukum suatu kejadian yang tidak ditetapkan hukumnya secara jelas oleh nash,
di mana posisi istihsan disamakan dengan qiyas namun dengan sandaran yang
lebih kuat.
2. Pada prinsipnya, istihsan tetap bersandar kepada dalil nash, ijma‟, dan qiyas,
dengan esensi yang sama, yaitu untuk menghindarkan kesulitan demi sebuah
kemaslahatan.
3. Istihsan sebagai salah satu metode istinbat hukum alternatif ternyata akan
selalu relevan dengan perkembangan zaman.