PERKEMBANGAN SPIRITUALITAS
M A K A L A H
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Spiritualitas Karya dan Caring
Oleh
Dede Supriyatna
Dinda Betari Ayu
Getrin Lumbantoruan
Maria Stela Vita
Maria Sheila
Matheus Dharma Prathama
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
PADALARANG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas rahmat dan karunia yang telah diberikan, kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
tentang Perkembangan Spiritualitas. Pembuatan makalah ini, dimaksudkan untuk membantu
mahasiswa dalam mencapai tujuan mata ajar Spiritualitas Karya dan caring, sehingga mahasiswa
mampu meningkatkan wawasan dan pengetahuannya.
Dalam penulisan makalah ini belumlah sempurna perlu dikembangkan kembali,
dikarenakan faktor kemampuan dan lain sebagainya, yang menghambat proses pembuatannya,
namun untuk memenuhi tugas dengan dosen Sr. Sofia Gusnia CB.,BSN.,M.Kep ini, penulis
berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik. Oleh karena itu saran dan kritik
yang membangun sangat diharapkan dari semua pihak, guna untuk perbaikan dan kesempurnaan
isi dari makalah ini. Semoga makalah ini mampu memberikan konstribusi positif dan bermakna
dalam proses pembelajaran.
Akhir kata kami sebagai penulis mengucapkan terimakasih bagi semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Padalarang, Maret 2014
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………1
I.2 Tujuan Penulisan …………………………………………………………...…….... 1
I.3 Metodologi Penulisan ………...………………….……………………………....2
1.4 Sistematika Penulisan …………………………………………………………... 2
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian Spriritualitas ………………………………………………..…..……......3
2.2 Perkembangan Spiritualitas …………………………………………………......4
2.2.2 Perkembangan Spiritualitas dan iman Pada Anak-anak …………………......4
2.2.3 Perkembangan Spiritualitas dan iman Pada Masa Remaja ……………………..9
2.2.4 Perkembangan Spiritualitas dan iman Pada Masa Dewasa ……………………11
2.2.5 Perkembangan Spiritualitas dan iman Pada Usia Lanjut ……………………12
2.3 Perkembangan Moral ……………………………………………………………14
2.3.1 Tingkat Pramoral ……………………………………………………………14
2.3.2 Tingkat Prakonvensional ……………………………………………………15
2.3.3 Tingkat Konvensional ……………………………………………………………15
2.3.4 Tingkat Pasca Konvensional …………………………………………………....17
2.4 Perkembangan IMAN menurut Habber ……………………………………………18
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ……….…………………………………………...20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketika merawat pasien dengan cara menghormati hubungan jiwa-tubuh-spirit dan hadir
bersama pasien, penyedia perawatan kesehatan menghormati pasien sebagai manusia utuh.
Dengan cara membiasakan diri dengan karakteristik dan elemen hakiki spiritualitas untuk
merawat pasien, perawat menjadi pembasmi penyakit namun mereka berperan sebagai
penyembuh sejati. Para penyedia perawatan semakin sadar untuk memusatkan perhatian pada
hubungan antara spiritualitas dan kesehatan.
Perkembangan zaman menuntut tersedianya perawatan yang meliputi suatu prespektif
yang lebih holistic mencakup seluruh aspek jiwa, tubuh dan spiritualitas seseorang. Namun
dalam kenyataannya spiritualitas dalam perawatan pasien sering terabaikan, karena tidak ada
definisi atau kerangka kerja konseptual yamg lengkap, ditambah dengan terbatasnya kesempatan
unuk pelatihan spiritualitas dan pengembangan profesionalitas di kalangan penyedia perawatan
kesehatan.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah tentang Perkembangan Spiritualitas sebagai berikut
Tujuan umum :
Mahasiswa S1 Keperawatan Tingkat3 dapat memahami konsep dasar mengenai
perkembangan spiritualitas.
Tujuan khusus :
Mahasiswa dapat menjelaskan Perkembangan Spiritualitas
Mahasiswa mampu memahami beberapa teori mengenai perkembangan spiritualitas.
1
2
1.3 Metodologi Penulisan
Penulisan makalah ini diambil dari buku karangan Berten’s, K .Etika. Young, Carolin.
Spiritualitas, Kesehatan, Dan Penyembuhan dan Brien, O. Pedoman Perawat Untuk Pelayanan
Spiritual.
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 3 bab. Bab I, pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah,
tujuan penulisan, metodologi penulisan dan sistematika penulisan. Bab kedua, landasan teori,
berisi tentang pengertian spiritualitas, tumbuh kembang anak, perkembangan psikososial,
perkembangan secara kognitif, perkembangan moral dan tahap perkembangan iman mulai dari
kecil hingga dewasa. Bab terakhir, penutup, berisi tentang simpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN TEOROTIS
2.1 Pengertian
Spiritualitas merupakan hakikat daari siapa dan bagaimana manusia hidup di
dunia dan seperti nafas, spiritualitas amat penting bagi kepentingan manusia. (Dorsey, et
all.2000)
Istilah “spiritualitas” diturnkan dari kata latin “spirtus” yang berarti nafas. Istilah
ini juga berkaitan erat dengan kata “pneuma” dari bahasa yunaniyang berarti nafas, yang
mengacu pada hidup atau jiwa.
Dalam artikel berjudul “Culture, Spirituality, and Women’s Health lebih lanjut
menjelaskan “Jika kita percaya bahwa spiritualitas meresap dalam seluruh pengalaman
manusia daripada sekedar tempelan, kita harus menerima kebenaran spiritualitas sebagai
bagian integral bagi kesehatan atau kebugaran atau kesejahteraan.
Spiritualitas merupakan perasaan, pemikiran, pengalaman, dan perilaku tang
timbul dari pencarian akan yang kudus. (Boudreaux, O’Hea dan Chasuk, 2002:39)
Spiritualitas merupakan daya semangat, prinsip hidup atau hakikat eksistensi
manusia, yang meresapi hidup dan diungkapkan serta dialami dalam tali temali hubungan
antara diri sendiri, sesame, alam dan ALLAH atau sumber hidup. Karena spiritual
dibentuk melalui pengalaman cultural, spirituallitas merupakan pengalaman manusia
yang bersifat universal.
Dalam buku spiritualitas care Taylor 2002 mencatat bahwa kamus mendefinisikan
spiritualitas dalam banyak istilah sebagai berikut:
Suci
Moral
Kudus ilahi
Berasal dari mukzizat murni
3
4
Intelektual dan anugrah budi yang tinggi
Roh atau entitas supranatural
Sangat murni dalam pikiran dan perasaan
2.2 Perkembangan Spiritualitas
2.1.1 Perkembangan Spiritualitas dan Iman Pada Anak- Anak
Selama proses ini, masing- masing anak semakin menyadari tentang arti, tujuan,
dan nilai- nilai dalam hidup mereka. Begitu juga iman; ia berkembang melintasi waktu; ia
adalah hasil sekaligus prasyarat bagi pertumbuhan spiritual ( Fultone dan Moore, 1995).
Integritas spiritualitas adalah kebutuhan dasar manusia sebab hal itu memberikan
makna bagi kehidupan sehari- hari. Spiritualitas pada anak juga bukanlah hal yang
berbeda. Hart dan Schneidr 1997, mengartikan spiritualitas pada anak sebagai
“kemampuan seorang anak, lewat relasi- relasi dengan orang lain, untuk memperoleh
nilai- nilai pribadi dan pemberdayaan diri “ ( Hlm. 263). Relasi anak dengan orang lain
sebagaimana relasinya dengan Tuhan atau nilai- nilai membawa mereka pada
perkembangan spiritualitas tersebut.
Pengalaman religius dan spiritual dapat berpengaruh secara kuat pada kehidupan
anak- anak, maka mempengaruhi perkembangan moral, gagasan tentang relasi- relasi
sosial, cara mempersepsikan diri dan perilaku mereka, dan cara menghubungkan
peristiwa- peristiwa keseharian dengan pandangan spiritual yang lebih luas ( Barnes et.
all.,2000).Pada masa ini perkembangan spiritulitas pada anak menurut beberapa ahli
menyebutkan dapat di kelompkan menjadi:
a. Masa Bayi (Infancy)
Kebutuhan spiritual pertama dari seorang bayi adalah kasih tanpa bersyarat dan
kebutuhan ini pertama-tama terpenuhi lewat relasi bayi dengan orang tua atau pengasuh
terdekatnya. Bayi sepenuhnya tergantung pada ibunya ( atau pengasuh terdekatnya)
untuk mendapatkan kebutuhan- kebutuhan fisik, emosi, dan sosial, serta untuk
5
mengmbangkan kepercayaan mereka. Lewat kepercayaan mereka, mereka mulai
berharap bahwa kebutuhan mereka akan seterusnya dipenuhi di masa depan dan harapan
bahwa orang- orang terdekat itu akan selalu membawa kenyamanan.
1) Erikson menyebut periode psikososial ini ( kelahiran usia 2 tahun) sebagai tahap
kepercayaan dasar versus kecurigaan dasar, saat dimana pondasi bagi pengharapan dan
identitas diri dibangun. Pada tahap ini, pemahaman bayi tentang Tuhan masih samar-
samar dan respon- respon lebih terarah pada lingkungan yang hangat dan penuh cinta
daripada hukuman sebagai usaha memperbaiki kesalahan. (Hart &Schneider,
1997;Hitchcock, Schubert, dan Thomas, 1999; Shelly, 1982)
2) Piaget menyebut fase ini (kelahiran usia 2 tahun ) sebagai fase sensori motor sebab bayi
pertama- tama tergantug pada alat- alat inderanya, keterampilan motorik, dan reflek-
reflek untuk memahami dunia dan menyelesaikan masalah. ( Hart& Schneider, 1997;
Hitchcock 1999 et all).
3) Fowler menyebut tahap perkembangan iman ini ( masa bayi hingga usia 3 tahun ) sebagai
tahap 0 atau tak terdiferensiasikan yang berarti bahwa si bayi tidak memiliki kemampuan
untuk merumuskan gagasan atau mengkomunikasikan pemahaman/ konsep tentang
dirinya kepada lingkungan (Betz, 1981) bayi tidak memiliki penilaian benar – salah dan
belum ada keyakinan- keyakinan religius atau spiritual. ( Hart&Schneider; 1997) seluruh
konsep mereka tentang diri dan dunia dikembangkan lewat alat- alat indera.
4) Sigmund Freud, tahap tumbuh kembang pada fase oral (pada usia 0-1 tahun) dengan ciri
khas kepuasaan atau kebahagian terletak pada mulut, seperti
mengisap,menelan,memainkan bibir,makan,kenyang dan tidur. Dan bila hal tersebut tidak
terpenuhi anak akan marah Dan ada juga fase anal (pada usia 1-3 tahun) yang mempunyai
ciri khas pada tahap ini anak belajar tentang pengendalian kandung kemih dan buang air
besar. Mengembangkan control ini menimbukan rasa prestasi dan kemandirian.
5) Shelly 1982, kebutuhan seseorang akan makna dan tujuan akan hadir sejak masa bayi.
Kebutuhan akan cinta dan keterhubungan adalah pondasi untuk bertahan hidup. Bayi
yang tidak dicintai akan gagal untuk tumbuh, bahkan akan meninggal. Ketika bayi
dirawat oleh seorang ibu yang penuh kasih, baik hati, lembut, dan yang memenuhi
6
kebutuhan- kebutuhannya, ia mulai mengembangkan kepercayaan dan terutama adalah
iman yang dideskripsikan sebagai‘ suatu kepercayaan kepada seseorang atau sesuatu’
(Betz, 1981, hlm. 22).
6) Perkembangan iman pada masa bayi disebut dengan iman indiferen/undifferentiated
faith suatu tahap awal ( masa bayi) ketika benih-benih kepercayaan, keberanian, harapan,
dan kasih menyatu untuk menghadapi masalah yang mungkin muncul, seperti “penolakan
lingkungan di sekitar bayi” ( hlm. 121 ). Tahap perkembangan iman ini memiliki
keterkaitan yang sangat erat dan khusus bagi perawat ibu-anak, karena menyangkut
masalah tentang ikatan anak-orang tua.
b. Masa Belajar Berjalan ( ToodlerHood)
Karakteristik periode ini adalah kemandirian dan penguasaan keterampilan-
keterampilan di saat mereka memetik keuntungan dari keterampilan motorik mereka yang
baru saja berkembang. Dalam terminologi perkembangn spiritual, tahap ini adalah tahap
yang penting. Anak- anak yang mulai belajar berjalan memperoleh suatu pemahaman
tentang diri ( self) dan harga diri lewat penguasaan keterampilan seperti toilet training.
Anak- anak pada fase berjalan Toodlerhood mengalami kesulitan untuk memahami
atau mengkonseptualisasi Tuhan dan tidak memiliki kemampuan untuk memahami nilai
penting atas tindakan mereka .Jika tidak ada keyakinan religius dan spiritul di dalam
keluarga, anak- anak pada fase ini kerap ali akan menciptakan konsep mereka sendiri
tentang Tuhan untuk menjelaskan segala sesuatu yang tidak jelas.
1) Erikson memandang periode ini ( usia 1-3 tahun) sebagai tahap otonomi versus rasa
malu dan keragu- raguan dan menandai periode ini dengan konflik isu- isu seputar
pernyataan diri yang tegas versus sikap penurut ( Carson, 1989). Anak- anak pada
tahap ini membutuhkan cinta yang seimbang dengan kedisplinan yang konsisten
( Shelly, 1982).
2) Piaget menyebut tahap ini ( usia 2- 4 tahun ) sebagai tahap berpikir pra-operasional
dan fase pra konseptual, dimana anak- anak secara ekstrem berorientasi pada diri
sendiri, memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, dan menilai
7
segala sesuatu berdasarkan pada hasil atau konsekuensi (hukuman atau kepatuhan)
bagi diri mereka ( Hart & Schneider, 1997, Hitchock et all. 1999).
3) Fowler tidak memiliki tahapan tertentu pada fase ini.
4) Perkembangan iman pada masa toddler hood; Menurut Hart dan Schneider 1997,
anak yang sedang belajar berjalan pertama- tama mengalami iman sebagai suatu
keberanian- kerap kali ditujukkan dengan “ kehendak”, sikap menentang otoritas
( biasanya orang tua), dan mengatakan “Tidak!” Otonomi dan pernyataan diri
secara tegas, assertion, adalah karakteristik penting dalam perkembangan iman dan
identitas spiritual.
Anak- anak pada fase ini tidak melakukan suatu pembedaaan antara yang nyata dan
supranatural. Oleh karena itu, konsep iman atau spiritualitas harus disederhanakan.
Penggunaan ilustrasi secara khusus membantu dalam usaha memberikan pemahaman
konsep- konsep spiritual atau religius kepada anak- anak. Mereka kerap kali yakin
bahwa makhluk- makhluk supranatural bersifat magis. Sebagai contoh, mereka
memamndang Tuhan sebagai malaikat atau “ orang yang bersahabat” yang bisa diajak
berkomunikasi. ( Betz, 1981) Tahap ini berlangsung hingga saat anak- anak memasuki
dunia sekolah.
c. Masa Kanak- Kanak Awal
Kebanyakan anak- anak usia sekolah adalah pribadi yang secara fisik begitu aktif
dan menuntut perhatian yang lebih dari orang- orang sekitarnya. Anak menjadi semakin
cakap dalam kemampuan berbahasa dan motoriknya. Anak- anak pada tahap ini sedang
mencoba untuk belajar tentang cara menyeimbangkan keinginan mereka dengan keinginan
orang lain. Pada tahap ini, mereka telah memiliki kesadaran yang berkembang dan
memahami bahwa Tuhan bisa memberi hadiah atau menghukum atas suatu perilaku “
buruk” karena tidak mematuhi aturan yang ketat.
Mereka memandang Tuhan dalam cara pandang yang magis dan mencoba
memanipulasi Nya dengan doa- doa tertentu yang memohon sesuatu sebagai upah atas
8
perilaku baik mereka. Dalam cara pandang semacam ini, adalah wajar bila mereka
kembali pada Tuhan ketika membutuhkan sesuatu saja dan tidak sungguh mengkhususkan
cinta mereka pada Tuhan ( Carson 1989).
1) Erikson menyebut tahap ini sebagai tahap yang ditandai dengan konflik
prakarsa versus rasa bersalah ( usia 3- 6 tahun) sebab anak mendapatkan
persetujuan dan pengakuan dengan kemampuannya menyelesaikan masalah dan
menyelesaikan tugas- tugas sederhana ( Hart & Schneider, 1997; Hitchock et
all. 1999)
2) Sigmun Freud, mengemukakan pada tahap ini anak ada pada tahap Phalic (3-6
tahun) pada tahap ini anak dekat dengan orang tua lawan jenis dan bersaing
dengan orang tua sejenis.
3) Piaget menyebut tahap ini sebagai berpikir praoperasional dan fase intuitif
( usia 4- 7 tahun). Anak belajar untuk berpikir tetapi belum mampu secar
rasional dan sistematis. Ia masih berpusat pada diri dan pemikiran- pemikiran
mereka bersifat subjektif. Anak- anak kerap kali terfiksasi pada satu aspek saja
dari suatu kejadian dan mengabaikan yang lain serta tidak ammpu secara mental
memahami hubungan timbal balik dari sejumlah kejadian.
4) Fowler menyebut fase ini ( usia 3-7 tahun) sebagai tahap pertama atau fase
intuitif- proyektif, selama periode ini perkembangan iman mencerminkan
bentuk ( keimanan) orang tua anak yang bersangkutan. Anak dipengaruhi oleh
tingkah laku dari orang tua, perilaku religius mereka ( seperti menunduk kepala
saat berdoa), pengalaman mereka di Gereja sebagaimana juga ritual- ritual atau
cerita- cerita religius lain yang diamati oleh keluarga. Kebiasaan doa malam,
liburan hari besar keagamaan, dan doa makan memiliki pengaruh penting pada
anak karena biasanya doa ini sering diajarkan kepadanya.
5) Shelly, 1982 anak pada tahap ini memandang Tuhan dalam terminologi
karakteristik- karakteristik fisik seperti gambaran wajahnya, maupun pakaian
yang dikenakannya. Makna doa masih samar- samar, tetapi ritual- ritualnya
9
sendiri sangat penting. Anak mampu memahami cerita- cerita Kitab Suci
sederhana. Suatu kesadaran mulai muncul dan anak mulai takut akan hukuman.
6) Perkembangan iman pada tahap ini Iman disebut intuitif-proyektif/ intuitif-
projective Faith ( usia 3-6 tahun ) merupakan periode imitatif yang “ penuh
khayalan”. Dalam tahap ini anak sangat dipengaruhi oleh “ berbagai macam
teladan, perasaan, tindakan, dan cerita yang mengenai iman yang dapat mereka
saksikan melalui orang dewasa yang terdekat”.Melalui pemahaman Fowler
tentang tahap perkembangan iman ini, perawat anak, terutama mereka yang
bekerja dengan anak yang mengidap penyakit kronik maupun stadium akhir,
akan memperoleh bimbingan untuk menyikapi kebutuhan-kebutuhan spiritual
maupun emosional anak.
d. Masa Kanak- Kanak Madya
Anak dengan usia antara 6 dan 12 tahun adalah seseorang yang dicirikan sebagai
seseorang yang mencoba menjadi cakap dalam pekerjaan mereka. Anak – anak ini mampu
menalar secara induktif dan berkaitan dengan hal- hal yang konkret dan teramati. Mereka
mengalami kesulitan dengan interaksi di sekolah, yang menyediakan kesempatan bagi
mereka untuk melihat cara pandang lain dan membandingkan kemampuan mereka,
menyelesaikan masalahnya. (Ebmeimer, Lough, Huth, Autio, 1991)
1) Erikson menyebut tahap sebagai tahap yang ditandai dengan konflik kerajinan
versus inferioritas (usia 6-12 tahun). Anak- anak pada tahap ini memiliki
pemikiran yang konkret dan mulai mengembangkan beberapa keterampilan
penalaran yang logis. Jika anak berhasil melalui tahap ini, mereka akan
memiliki citra diri yang berharga. Hal ini dapat diwujudnyatakan dalam
keberhasilan partisipasi dalam kegiatan- kegiatan spiritual dan religius dan
dalam kemampuan membangun relasi yang bermakna dengan orang lain.
2) Sigmund Freud, mengemukakan tahap latent ( 6- 12 tahun) pada tahap ini anak
sudah mulai bersosialisasi ke luar rumah, terjadi pertumbuhan intelektual dan
social pada anak, anak memiliki banyak teman dan impuls agresivitas lebih
terkontrol.
3) Piaget menyebut tahap ini sebagai tahap operasional konkret dan meyakini
bahwa anak- anak pada tahap ini ( usia 7-12 tahun) telah memiliki proses
berpikir secara konkret tetapi masih mengembangkan keterampilan dalam
penalaran induktif dan mulai berpikir logis.
4) Fowler menyebut fase ini (usia 7-12 tahun) sebagai tahap 2 atau tahap literal-
mistis dan memandangnya sebagai tahap dimana anak- anak berevolusi dalam
pemahaman mereka tentang Tuhan. Beberapa anak memandang Tuhan sebagai
orang tua yang marah, hantu, atau roh magis yang ada di langit.
5) Perkembangan iman pada masa ini disebut dengan Iman Mitis-Harfiah/
Mythic-Literal Faith dideskripsikan sebagai masa dimana anak mulai
menginternalisasikan keyakinan dan hasil pengamatan yang dilambangkan
dengan keikutsertaannya sebagai anggota kelompok komunitas iman tertentu”
(hlm. 149 ). Dalam karya dengan pasien anak yang sedikit dewasa, konsep iman
mitis-harafiah dapat membantu perawat mendorong partisipasi anak dalam cara,
praktik maupun peribadatan keagamaannya yang dapat memberikan dukungan
dan kenyamanan dalam menghadapi kondisi sakitnya.
2.1.2 Perkembangan Spiritualitas dan iman Pada Masa Remaja
Masa remaja adalah saat yang ditandai dengan pemberontakan terhadap otoritas dan
konflik antara sikap yang telah diperoleh sebelumnya dengan sikap yang bersal dari nilai-
nilai dan keyakinan- keyakinannya sendiri. Inilah saat yang penuh dengan kecemasan
bagi kebanyakan orang tua. Inilah saat yang penuh dengan pertentangan. Di satu sisi, para
remaja menolak nilai- nilai dan norma- norma orang tua sebab mereka tidak ingin
berkompromi dengan cara hidup orang tuanya. Di sisi lain, dengan keinginan untuk
bereksperimen dengan perilaku kelompok sebaya, para remaja mengalah pada tuntutan
konformitas kelompok dengan mengadopsi pola perilaku yang hedonistik dan bebas atas
sepenuhya. Intensitas kebutuhan spiritual dan religius mereka meningkat sejalan dengan
semakin beratnya penderitaan mereka
10
1) Erikson menyebut fase ini sebagai tahap dengan konflik identitas versus kekacauan
identitas (Hart dan Schneider, 1997; Hitchock et all; 1999). Fase ini (usia 12- 18 tahun )
ditandai sebagai saat transisi dari masa kanak- kanak ke masa dewasa. Para remaja mulai
menguji pembatasan- pembatasan mereka, memisahkan diri dari orang tua mereka, dan
mulai membangun citra diri mereka sendiri yang unik. ( termasuk klarifikasi atas
identitas seksual mereka). Relasi teman sebaya menjadi sangat penting dan dapat
mempengaruhi perkembangan identitas mereka. Inilah saat konflik intensif yang berpusat
pada identitas diri, arti hidup, dan harapan yang kehendak dicapai dalam hidup mereka
sebagai orang dewasa. Kegagalan dalam mencapai suatu identitas menimbulkan
kekacauan identitas.
2) Sigmund Freud, mengemukakan fase Genital (12 – 18 tahun) individu mengembangkan
minat seksual yang kuat pada lawan jenis, individu dapat menentukan identitasnya,
belajar untuk tidak tergantung pada orang tua, serta bertanggung jawab pada diri sendiri.
3) Piaget menyebut fase ini sebagai fase operasional formal, saat dimana keterampilan-
keterampilan penalaran abstrak dan deduktif berkembang (Hitchock et all. 1999). Anak-
anak mesti melalui proses ini untuk mengembangkan jati diri mereka.
4) Fowler ini menyebut tahap ini pekembangan iman sebagai tahap 3 atau tahap
konvensional- sintesis. Para remaja menyadari bahwa mereka mampu memisahkan fakta-
fakta tentang Tuhan dan dunia dari persepsi mereka sebelumnya. Mereka menjadi sadar
akan adanya kekecewaan spiritual,jika persepsi mereka tentang Tuhan berbeda dengan
persepsi yang diajarkan oleh otoritas. Meskipun demikian, para remaja mulai
mempertanyakan standar- standar yang ditetapkan oleh orang tua mereka. ( Hart dan
Schneider, 1997). Definisi fowler mengenai tahapa ini memberikan suatu pemahaman
menganai keterkaitan antara remaja yang sakit dengan dukungan internal (keluarga)
maupun dengan dukungan eksternal ( teman sebaya) dan interaksi selama masa-masa
kritis.
5) Perkembangan iman pada masi ini disebut dengan Iman Sintesis-Konvensional/
Synthetic- Conventional Faith ( usia 13-20 ) yang mendeskripsikan pengalaman masa
remaja di luar keluarga seperti pengalaman di sekolah, pengalaman dengan teman sebaya,
11
dan pengalaman dari media dan lembaga agama. Iman memberikan sesuatu “ landasan
untuk identitas dan cara pandang terhadap lingkungan sekitarnya”.
Jika remaja sakit dan masuk RS, mereka akan mengalami tekanan yang luar biasa,
ketidaknyamanan psikologis yang intensif, dan penderitaan (Silber dan Reilly, 1985). Berdasar
suatu kajian, kebanyakan remaja percaya kepada Tuhan atau Ilahi dan hampir separuh dari
mereka yang terserang penyakit yang serius dan fatal mengalami perubahan yang mendadak
dalam kehidupan spiritual mereka. Sensitivitas penyedia layanan kesehatan menjadi sangat
menentukan dalam menyediakan pearwatan penuh kasih kepada para remaja di saat- saat sulit
seperti itu ( Silber dan Reilly, 1985).
2.1.3 Perkembangan Spiritualitas dan iman Pada Masa Dewasa
James Fowler, yang mengembangkan tahapan perkembangan iman,
menggambarkan tahap- tahap perkembangan spiritual dari orang dewasa sebagai proses
universalisasi iman ( O’Brien, 1999). Fase ini menghadirkan titik puncak dari seluruh karya
dari tahap iman sebelumnya dan diwujudkan dengan perasaan akan cinta dan keadilan yang
absolut bagi semua orang. Seorang individu pada tahap ini adalah seseorang yang “dapat
mengorbankan dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan orang lain” ( Berggren-Thomas
dan Griggs, 1995, hlmn. 8). Tahap ini sulit untuk dicapai dan hanya sedikit orang saja yang
pernah mencapainya. Seseorang yang sungguh berada pada tahap ini menjawab otoritas
lebih daripada yang dikenal oleh dunia dan sering terlihat sebagai pribadi subversif
(Berggren-Thomas dan Griggs, 1995). Tenaga kesehatan mesti mengingat bahwa usia
kronologis tidak sepenuhnya mengidentifikasikan pencapaian seseorang terhadapa tahap
perkembangan iman.
Perkembangan iman pada masa ini menurut fowler disebut Iman Individuatif-
Reflektif/Individuative-Reflective Faith ( usia 21-30) yang menunjuk pada suatu masa
ketika orang dewasa muda menyatakan identitas imannya tanpa ditentukan “ gabungan
antara peran pribadi dan nilai penting bagi orang lain” ( hlm. 182 ). Inilah masa dimana
kreativitas pribadi dan jati diri menjadi bahan pertimbangan yang penting bagi perawat,
12
termasuk otonomi pasien dalam perencanaan perawatan yang ditujukan bagi pasien dewasa
muda.
Atau dapat dikatakan sebagai perkembangn iman Iman Konjungtif/Conjungtive
Faith ( usia 31-40 tahun ) adalah masa keterbukaan terhadap aspirasi-aspirasi dari “ diri
pribadi yang lebih dalam” seseorang dan perkembangan kesadaran sosial seseorang (hlm.
198). Perawat untuk para pasien yang berada dalam tahap ini harus peka terhadap
spiritualitas orang dewasa yang lebih matang, terutama terkait dengan penemuan makna
terhadap sakit yang dideritanya.
2.1.4 Perkembangan Spiritualitas dan iman Usia Lanjut
Proses penuaan adalah suatu langkah yang penting dalam perjalanan spiritual dan
pertumbuhan spiritual seseorang. Orang- orang yang memiliki spiritualitas berjuang
menstransendensikan beberapa perubahan seperti juga hal kehilangan yang menyertai
penuaan dan mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.
Spiritualitas dapat memberikan kenyamanan di saat kesendirian atau tekanan;
pemulihan dari kecemasan; dan memberikan suatu perasaan berarti, tujuanm
produktivitas, dan integritas diri. Ia dapat memberikan kepada orang lanjut usia suatu
kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah seperti dari lingkungan rumah
ke fasilitas perawatan di rumah sakit. Spiritualitas memberikan perasaan harga diri, dan
ini adalah suatu daya yang penting untuk menanggulangi kegelisahan di saat sakit dan
mempersiapkan diri menghadapi kematian (Fehring, Miller, dan Shaw, 1997; Isaia et al.,
1999; Levin, Taylor, dan Chatters, 1994). Iman memberikan orang yang lanjut usia suatu
kekuatan batin yang dibutuhkan untuk melampaui ketidakmampuan fisik yang dikaitkan
dengan penuaan dan untuk mengembangkan keuletan emosional yang dibutuhkan untuk
mencapai umur panjang. (Koening, 1999).
Menurut Missinne (1990), manusia, ketika mereka semakin tua, memiliki tiga
kebutuhan dasar. Ketiga kebutuhan dasar ini sama- sama penting dan saling berhubungan
13
di dalam bentuk dan derajat yang berbeda. Tiga kebutuhan dasar itu adalah sebagai
berikut:
1. Pertukaran Biofisis : kebutuhan untuk berhubungan dengan lingkungan fisik
dalam hidup dan berkembang semakin penuh sebagai individu yang unik.
2. Pertukaran Psikososial : kebutuhan lewat hubungan psikososial dengan orang lain,
untuk mengembangkan dan memelihara kepribadian kita yang unik.
3. Integrasi Spiritual : kebutuhan untuk “mengolah dan mencapai pencerahan
melampaui eksistensi diri” (hlmn.46)
Bagi orang usia lanjut, spiritualitas dapat memberikan elemen- elemen esensial
berikut yang berguna bagi hidup yang sehat ( Fischer, 1998)
Spiritualitas mendukung penerimaan akan masa lalu, meikmati masa kini, dan
menyediakan harapan untuk masa depan.
Spiritualitas memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Spiritualitas memberikan bantuan dalam peristiwa- peristiwa hidup yang
penuh tekanan, meningkatkan pemahaman seseorang tentang arti hidup, dan
membantu mempersipakan diri menghadapi kematian.
Spiritualitas memberikan dukungan selama fase- fase kehilangan dan proses-
proses yang menyedihkan.
Adapun Tugas- tugas perkembangan masa lanjut usia mencakup penemuan
makna dan kepenuhan di dalam hidup dan menjelajahi aspek – aspek positif dari
kehidupan. Tugas- tugas perkembangan juga mencakup hal – hal berikut (Hitchock et
all., 1990):
Pengakuan dan penerimaan keterbatasan- keterbatasan diri
Merencanakan untuk mengatur hidup yang aman
Mewujudkan gaya hidup sehat
Melanjutkan relasi hangat dengan keluarga dan teman- teman
Membangun afiliasi dengan orang lain di kelompok usia yang sama.
14
Menghadapi realitas tak terelakan dari kematian dan kematian dari orang-
orang yang dicintai.
Perkembangan iman Menurut Fowler pada masa ini disebut dengan Iman
Universal/ Universalizing Faith ( usia 40 tahun keatas ) digambarkan Fowler sebagai titik
puncak dari tahap-tahap iman sebelumnya, sebagai masa yang terkait dengan “ perintah-
perintah kasih dan keadilan yang absolut “ kepada semua manusia (hlm. 200 ). Para perawat
perlu menyadari bahwa pasien dapat memiliki derajat yang berbeda dalam pemenuhan
perintah-perintah dalam tahap akhir ini. Dengan melakukan asesmen posisi pasien dalam
tahap perkembangan iman, perawat akan terbantu dalam memahami baik tanggapan pasien
terhadap kondisi sakit yang dialami maupun kebutuhan-kebutuhannya akan dukungan
eksternal dalam menghadapi krisis tersebut.
2.3 Perkembangan Moral
Menurut Kholberg ada enam tahap perkembangan moral diantaranya:
2.3.1 Tingkat Pramoral
Menurut kohlberg, enam tahap dalam perkembangan moral dapat dikaitkan
satu sama lain dalam 3 tingkat demikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi 2
tahap. Perkembanagn moral tidak dimulai bersamaan dengan kehidupan seorang
manusia. Menurut Kohlberg selama tahun- tahun pertama belum terdapat
kehidupan moral dalam arti yang sebenarnya. Jika anak kecil membedakan antara
baik dan buruk, hal itu hanya kebetulan terjadi dan jarang sekali perbedaan seperti
itu didasarkan atas norma-norma atau kewibawaan moral. Penilaian moral pada
anak kecil itu belum mempunyai suatu struktur yang jelas. Karena itu bisa
dikatakan bahwa tiga tingkat tersebut didahului oleh suatu epriode pramoral.
Kohberg baru mulai penelitiannya pada anak-anak berumur sekitar 6 tahun.
2.3.2 Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini si anak mengakui adanya aturan-aturan dan baikserta
buruk mulai mempunyai arti baginya, tapi hal; itu semata-mata dihubungkan
15
dengan reaksi orang lain. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya
ditentukan oleh faktor-faktor dari luar. Motivasi untuk penilaian moral terhadap
perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau konsekuensi yang dibawakan oleh
perilaku si anak: hukuman atau ganjaran, hal yag pahit atau menyenangkan. Yang
mencolok ialah bahwa motif-motif ini bersifat lahiriah saja dan bisa mengalami
banyak perubahan. Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan 2 tahap :
1) Tahap 1 :Orientasi hukuman dan kepatuhan.
Anak mendasarkan perbuatannya atas otoritas konkret( orang tua, guru )
dan atas hukuman yang akan menyusul, bila ia tidak patuh. Anak kecil tidak
memukul adiknya. Karena hal itu dilarang oleh ibu dan karena melanggar
kemauan ibu akan membawa hukuman. Perspektif si anak semata-maat
egosentris. Ia membatasi diri pada kepentingannya sendiri dan belum
memandang kepentingan orang lain. Ketakutan untuk akibat perbuatan adalah
perasaan dominan yang menyertai motivasi moral ini.
2) Tahap 2 : Orientasi relatives instrumental
Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrument dapat memenuhi
kebutuhun sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Anak mulai
menyadari kepentingan orang lain juga, tapi hubungan antara manusia
dianggap nya seperti hubungan orang dipasar : tukar menukar. Hubungan
timbal balik antar manusia adalah soal “ jika kamu melakukan sesuatu untuk
saya, maka saya akan melakukan sesuatu untuk kamu”, bukannya soal
loyalitas, rasa terima kasih atau keadilan.
2.3.3 Tingkat Konvensional
Penelitian kohlberg menunjukkan bahwa biasanya ( tapi tidak selalu ) anak mulai
beralih ketingkat ini antara umur 10 dan 13. Disini perbuatan-perbuatan mulai dinilai
atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi.
Tingkat ini oleh kohlberg disebut “ konvensional”, karena disini anak mulai
menyesuaikan penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang
16
berlaku dalam kelompok sosialnya. Memenuhi harapan keluarga, kelompok atau
bangsa dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, terlepas dari
konsekuensi atau akibatnya. Dalam sikapnya si anak tidak hanya meyesuaikan diri
dengan harapan orang –orang tertentu atau dengan ketertiban sosial, melainkan juga
menaruh loyalitas kepadanya dan secara aktif menunjang serta membenarkan
ketertiban yang berlaku. Singkatnya anak mengidentifikasikan diri dengan kelompok
sosialnya beserta norma-normanya. Tingkat kedua ini mencakup juga 2 tahap :
1) Tahap 3 : penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi anak manis.
Anak cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan dari
para anggota keluarga atau kelompok lain. Perilaku yang baik adalah perilaku
yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak
mengambil sikap : saya adalah “ anak manis “ ( good boy-nice girl ) artinya ia
adalah sebagaimana diharapkan oleh orangtua, guru, atau sebagainya. Ia ingin
bertingkah laku secar “wajar”, artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika
ia menyimpang dari norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah.
Dalam hal ini untuk pertama kali si anak mulai memperhatikan pentingnya
maksud perbuatan. Perbuatan adalah baik, asal maksudnya baik. Misalnya,
waktu ia membantu ibunya di dapur dengan mencuci piring, ada gelas pecah.
Dulu perbuatan itu dinilai secara moral buruk, karena bisa mendatangkan
hukuman. Dalam tahap ketiga perbuatan itu dianggap baik, karena dibaliknya
ada maksud baik.
2) Tahap 4 : orientasi hukum dan ketertiban ( law and order ).
Paham “ kelompok“ dengan mana anak harus menyesuaikan diri disini
diperluas : dari kelompok akrab ( artinya, orang-orang yang dikenal oleh anak
secara pribadi) ke kelompok yang lebih abstrak, seperti suku bangsa, negara,
agama. Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap, otoritas dan pertahanan
ketertiban sosial. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya,
menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi
17
ketertiban itu sendiri. Orang yang melanggar aturan-aturan tradisional atau
menyimpang dari ketertiban sosial, jelas bersalah.
2.3.4 Tingkat pasca konvensional
Oleh Kohlberg tingkat ketiga ini disebut juga “ tingkat otonom” atau “ tingkat
berprinsip “ ( principled level ). Pada tingkat ketiga ini hidup moral dipandang
sebagai penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut
dalam batin. Norma-norma yang ditemukan dalam masyarakat tidak dengan
sendirinya berlaku, tapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip yang mekar dari
kebebasan pribadi. Orang muda mulai menyadari bahwa kelompoknya tidak
selamanya benar. Menjadi anggota suatu kelompok tidak menghindari bahwa
kadang kala ia harus berani mengambil sikapnya sendiri. Tingkat ketiga ini pun
mempunyai 2 tahap:
1) Tahap 5 : orientasi kontrak-sosial legalistis.
Disini disadari relativesme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan
kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa
yang disetujui dengan cara demokratis baik buruknya tergantung pada nilai-
nilai dan pendapat-pendapat pribadi.Segi hukum ditekankan, tapi
diperhatikan secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal
itu terjadi demi kegunaan sosial. Selain bidang hukum, persetujuan bebas dan
perjanjian adalah unsur pengikat bagi kewajiban. Suatu janji harus ditepati
juga kalo berkembang menjadi merugikan, karena berasal dari persetujuan
bebas.
2) Tahap 6 :orientasi prinsip etika yang universal.
Disini orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan
hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati
nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut
keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan
hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar
18
prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam. Ia
mengutuk dirinya karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri.
Menurut kohlberg, penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit
orang yang mencapai tahap keenam ini.
18
2.4 Perkembangan IMAN menurut Habber:
Tahap 1: Oral (Lahir sampai usia 12-18 bulan)
Awalnya, menghisap jari dan kepuasan oral merupakan hal yang sangat penting, tetapi juga merupakan kesenangan yang aneh.
Akhir dari tahapan ini, bayi mulai menyadari bahwa orangtuanya adalah sesuatu yang terpisah dari dirinya. Gangguan dalam
kemampuan fisik dan emosional orangtua (misalnya ikatan yang tidak adekuat atau penyakit kronik) akan mempengaruhi
perkembangan bayi.
Tahap 2: Anal (Usia 12-18 bulan samapai tahun)
Fokus kesenangan berubah ke area anal. Anak-anak semakin tertarik pada sensasi kesenangan pada area anal. Melalui proses
toilet-training, anak menunda kepuasan sesuai keinginan orangtua dan masyarakat.
Tahap 3: Phallic atau Oedipal (3-6 tahun)
Pada tahap ini organ genital menjadi focus kesenangan. Menurut Freud, anak lelaki menjadi tertarik dengan penis, anak wanita
menyadari tidak memiliki penis, dikenal dengan istilah penis envy. Tahap ini merupakan periode dimana anak befantasi
mencintai orang tua yang berbeda gender, dikenal dengan Oedipus atau Electra complex. Akhir dari tahap ini adalah anak
berusaha mengurangi konflik ini dengan cara lebih mengenali dan menerima orang tua yang sama gender.
Tahap 4: Laten (6-12 tahun).
Freud percaya bahwa pada fase ini keinginan seksual dari tahap oedipal dini ditekan dan disalurkan kepada aktivitas social
yang produktif. Dalam dunia pendidikan dan social anak, banyak yang harus dipelajari dan dikerjakan, dimana anak
membutuhka energy dam usaha.
19
Tahap 5: Genital (Masa puberitas-dewasa)
Ini merupakan tahap akhir Freud. Pada periode ini anak mengalami ketertarikan seksual dengan individu diluar dukungan
keluarga. Konflik sebelumnya yang tidak terselesaikan timbul saat remaja. Saat individu menyelesakan konflik, individu
tersebut akan mendapatkan kematangan hubungan seksual dewasa. Komponen kepribadian mausia terbentuk melalui tahapan
perkembangan Freud. Freud percaya bahwa fungsi komponen tersebut adalah Untuk mengatur tingkah laku. Komponen –
komponen tersebut id, ego, dan superego. Ini adalah dorongan dari dasar naluri dalam memperoleh kesenangan, selain
itu juga merupakan bagian dari kepribadian yang paling primitif dan timbul sejak usia bayi . Ego menggambarka
komponen nyata penengah konflik antara lingkungan dan dorongan identitas. Ego membantu kita menilai kenyataan secara
akurat, mengatur keinginan, dan membuat keputusan yang baik. Komponen yang ketiga yaitu Superego yang berfungsi
melakukan pengaturan, pengendalian dan pencegahan tindakan. Lebih dikenal sebagai Suara Hati, superego dipengaruhi oleh
standar dorongan sosial dari luar seperti orangtua atau guru.
Tujuan teori Freud adalah perkembangan keseimbangan antara keinginan mencari kesenanangan dan tekanan sosial.
Orang dewasa memilik suara hati kuat yang akan membatasi perolehan kesenangan sesuai nilai – nilai sosial. Meskipun teori
Freud banyak dikritik karena adanya bias gender dan budaya, tetapi Freud telah memberika dasar untuk observasi emosi
dan tingkah laku bagi teoritikus lain.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Perkembangan iman pada anak dari masa bayi sampai usia lanjut sangat diperlukan. Orang tua dan keluarga dalah point
terpenting dalam terbentuknya perkembagnan iman anak yang matang. Dalam keperawatan juga dapat dipraktekan, contohnya saja
pasien yang memerlukan dukungan sipiritualitas saat sakit, karena dukungan spiritualitas saat sakit dapat membantu kesembuhan
pasien.
3.2 Saran
Konsep perkembangan iman yang sudah dipaparkan di atas dapat berguna bagi keluarga, orang tua, anak, dan dalam dunia
keperwatan dapat diaplikasikan untuk membantu kelancaran daripada kesembuhan pasien.
24
DAFTAR PUSTAKA
Berten’s K.2004.Etika.Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Brien, O.2009.Pedoman Perawat Untuk Pelayanan Spiritual. Jakarta : Bina Media Perintis
Young, Carolin.2007.Spiritualitas Kesehatan Dan Penyembuhan. Jakarta : Bina Media
Perintis
Iii
Perbandingan Tahap – Tahap Perkembangan Psikososial, Kognitif, Tumbuh Kembang, Iman, dan Moral
Massa
Perkembangan
Tahap Psikososial
(Erikson)
Tahap Kognitif
(Piaget)
Tahap
Perkembangan
Iman (Fowler )
Tahap Tumbuh Kembang (Sigmun Frued)
Tahap Perkembangan
Moral (Kholberg)
Masa bayi Kepercayaan dasar vs
kecurigaan dasar
(lahir hingga 2
tahun) :
Fondasi bagi harapan
dan identitas diri
Sensorimotor (lahir
hingga 2 tahun) ;
Anak tergantung pada
indera untuk
mempelajari dunia dan
menyelesaikan
masalah.
Tahap 0, tak
terdiferensiasi
(masa bayi hingga 3
tahun) : Anak belum
memiliki keyakinan-
keyakinan spiritual
maupun religius
masa berjalan
fase oral (pada usia 0-1
tahun) dengan ciri khas
kepuasaan atau kebahagian
terletak pada mulut, seperti
mengisap,menelan,memaink
an bibir,makan,kenyang dan
tidur. Dan ada juga fase
anal (pada usia 1-3 tahun)
yang mempunyai ciri khas
pada tahap ini anak belajar
tentang pengendalian
kandung kemih dan buang
air besar.
Pramoral (tahun – tahun pertama) belum ada kehidupan moral dalam arti sebenarnya
( Toodlerhood) Otonomi vs rasa malu
dan keragu- raguan
Pemikiran
praoperasional/
prekonseptual ( 2-4
Tidak ada tahapan
tertentu
Tidak ada tahapan tertentu Tahap Pra
Konvesional (0–6
tahun)
(1- 3 tahun):
Anak berjuang dengan
pernyataan diri yang
tegas vs penurut
tahun):
Secara ekstrem
terpusat pada diri
Terbagi menjadi 2
tahapan yaitu
Tahap
Punishment and
Obedience
orientation adalah
konsekuensi
menentukan baik
atau buruknya
suatu tindakan.
Tahap
Instrumental-
Relativist
Orientation atau
Hedonistic
Orientation
adalah tindakan di
katakana benar
apabila tindakan
tersebut dapat
Masa Kanak-
kanak awal
Prakarsa vs rasa
bersalah ( 3-6 tahun):
Anak memenangkan
penerimaan dengan
pengatasan masalah
dan penyelesaian
tugas- tugas sederhana.
Pemikiran
praoperasional/
intuitif (4- 7 tahun):
Anak belum berpikir
secara logis dan
memiliki cara pandang
terhadap dunia yang
berpusat pada diri dan
bersifat subjektif
Tahap 1, intuitif
proyektif (3-7
tahun):
Fase yang sangat
imajinatif dimana
perkembangan iman
mencerminkan iman
orang tua.
tahap Phalic (3-6 tahun)
pada tahap ini anak dekat
dengan orang tua lawan
jenis dan bersaing dengan
orang tua sejenis.
memenuhi
kebutuhan bagi
dirinya sendiri dan
orang lain
Masa kanak-
kanak Madya
Masa Remaja
Kerajinan vs
inferioritas (6- 12
tahun): Anak mulai
mengembangkan
keterampilan penalaran
logis
Identitas vs
kekaburan identitas
(12- 18 tahun):
Operasional konkret
(7-11 tahun):
Anak memiliki
kemampuan berpikir
konkret dan
mengembangkan
penalaran induktif dan
logika
Formal operasional
( 11- 15 tahun):
Perkembangan
keterampilan
Tahap 2, Mistis-
literer ( 7-12 tahun):
Anak berevolusi
dalam kemampuan
berpikir; mulai
bertanya tentang
gambaran Tuhan
Tahap 3, sintesis-
konvensional
Remaja dapat
memisahkan fakta-
Tahap latent (6- 12 tahun)
pada tahap ini anak sudah
mulai bersosialisasi ke luar
rumah, terjadi pertumbuhan
intelektual dan social pada
anak, anak memiliki banyak
teman dan impuls
agresivitas lebih terkontrol.
fase Genital (12 – 18
tahun) individu
mengembangkan minat
seksual yang kuat pada
Tahap Konvensional (10-13 tahun) pada tahap ini anak mulai menyesuaikan penilaian dan perilakuknya terdiri dari dua tahap.
Tahap penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi anak manisdan orientasi hukun dan ketertiban
Anak menguji batas-
batas dan mulai
mengembangkan suatu
identitas dan
mengklarifikasikan
tujuan dan makna
hidup
penalaran deduktif dan
makna hidup
fakta tentang Tuhan
dan dunia dari
persepsi- persepsi
terimajinasi
sebelumnya
lawan jenis, individu dapat
menentukan identitasnya,
belajar untuk tidak
tergantung pada orang tua,
serta bertanggung jawab
pada diri sendiri.
Masa Dewasa - - Tahap 4, (usia 21-30
tahun) Iman
Individu-Reflektif
pada tahap ini
seseorang “dapat
mengorbankan
dirinya sendiri untuk
memenuhi
kebutuhan hidup
oaring lain”
- Tahap pascakonvesional atau disebut juga tingkat otonom dan tingkat berprinsip. Terdiri dari 2 tahap
Tahap orientasi kontrak-sosial legalistis dan Tahap orientasi prinsip etika yang universal
Usia Lanjut - -Tahap 5 , (Usia 40
tahun ke atas) Iman
Universal adalah
suatu tahap di mana
seseorang dapat
-
berdaptasi dengan
lingkungannya.
Top Related