PEMULIAAN DAN PRODUKSI
BIBIT ULAT SUTERA
Oleh : Haris Setiana, S.Si **
KPH Kedu Utara – Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah
I. Pendahuluan
Bibit yang berkualitas merupakan aspek yang sangat penting dalam
usaha persuteraan alam. Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya
penurunan hasil produksi kokon adalah akibat dari kualitas bibit yang
jelek.
Pengertian bibit yang berkualitas sendiri salah satunya adalah bebas dari
penyakit, mempunyai jumlah telur yang subur lebih banyak, penetasan
yang serempak dan memberikan hasil produksi kokon yang stabil (Jooly,
1987).
Berkaitan dengan kepentingan mendapatkan bibit/telur ulat sutera yang
berkualitas ini, maka pembibitan sebagai penghasil bibit ulat sutera dapat
menentukan keberhasilan pemeliharaan ulat yang berpengaruh terhadap
hasil kokon bahkan pada kualitas benang. Dengan penanganan
pembibitan yang baik akan menghasilkan bibit/telur ulat sutera yang
berkualitas.
Untuk itu perlulah kiranya dipahami secara garis besar usaha yang
dilakukan oleh suatu pembibitan ulat sutera mulai dari upaya pemuliaan
bibit sampai dengan kegiatan produksi bibit/telur ulat sutera.
* Disampaikan pada seminar dan simposium pemberdayaan masyarakat melalui
industri sutera alam Kerjasama INTAN Yogyakarta dan Paguyuban sutera alam
Yogyakarta tanggal 20 Agustus 2000
** Asper Produksi PPUS Candiroto KPH Kedu Utara
1
II. Pemuliaan Bibit Ulat Sutera
Sesuai dengan tujuan untuk mendapatkan bibit/telur ulat sutera yang
berkualitas, maka kegiatan yang harus dilakukan adalah pemuliaan
(breeding) ulat sutera.
Kegiatan pemuliaan ulat sutera adalah suatu kegiatan yang dilakukan
untuk meningkatkan varietas ulat sutera secara ekonomis dan efektif
dalam rangka pengembangan usaha persuteraan alam.
Peningkatan dan pengenalan varietas ulat sutera yang baik tidak hanya
akan meningkatkan pendapatan para pemelihara ulat sutera tetapi juga
akan memperbaiki kualitas kokon yang dihasilkan untuk proses
pemintalan. Dengan demikian, kualitas benang yang super dapat
diperoleh.
Tugas pemuliaan ulat sutera dilakukan dengan menggunakan teori dan
teknik genetik dan cabang ilmu lain yang berkaitan. Penggunaan
segregasi dan rekombinasi gen untuk pembentukan mutan; atau
penggunaan metode fisika dan kimia untuk merangsang mutasi
kromosom dan gen; seleksi secara benar serta metode perkawinan yang
dilaksanakan. Dengan begitu karakter ekonomi akan diperoleh dan relatif
akan stabil, maka varietas baru akan diperoleh.
Berdasarkan pengembangan varietas ulat suteranya, maka varietas ulat
sutera yang berkualitas harus merupakan bibit yang unggul, mudah
dipelihara dan dapat beradaptasi pada musim-musim yang berbeda serta
mempunyai ratio perbanyakan yang tinggi.
2
a. Bahan-bahan untuk pemuliaan
Bahan yang berupa varietas ulat sutera merupakan stok induk untuk
pemuliaan dan studi genetik. Untuk itu, koleksi (penyimpanan) bahan
varietas merupakan kegiatan mendasar dalam pemuliaan dan studi
genetik. Selama proses penyimpanan, maka kegiatan penelitian dan
pengamatan harus dilaksanakan secara berkesinambungan agar
dapat dimengerti karakter yang dapat dimanfaatkan.
Selain itu, latar belakang mengenai kondisi lingkungan asal dan teknik
pemeliharaan harus diketahui dengan baik. Dengan cara seperti itu
karakter yang dibentuk dari kondisi lingkungan dapat dimengerti.
Varietas lokal harus dikoleksi karena varietas tersebut biasanya
mempunyai karakteristik yang dapat beradaptasi dengan kondisi
lingkungan setempat. Hal ini sangat penting dalam melakukan
kegiatan pemuliaan.
Dalam kegiatan pemuliaan, jika beberapa jenis persilangan baru
diperoleh dan dipopulerkan di beberapa daerah, varietas lokal yang
ada dapat terancam. Untuk menghindari hal itu varietas lokal tersebut
harus dikoleksi dan disimpan.
Dalam penyimpanan varietas, karakter asli harus dipertahankan. Untuk
mencegah terjadinya inbreeding (kemungkinan terjadinya perkawinan
ngengat dari Family yang sama), koleksi larva yang baru menetas
harus dicampur.
Ketika koleksi varietas lokal dipelihara, pertama-tama harus diisolasi
dari varietas yang lain untuk mencegah penyakit pebrine. Demikian
pula halnya dengan varietas yang berasal dari luar negeri.
3
Selain varietas lokal, varietas-varietas yang berasal dari luar negeri,
varietas yang dipopulerkan, varietas yang mempunyai karakter yang
bagus dan varietas mutan merupakan varietas yang harus disimpan
untuk keperluan pemuliaan.
Agar varietas ulat sutera dapat dimanfaatkan, harus dilakukan
penyelidikan dan studi yang ketat mengenai karakter ekonomi dan
karakter biologi yang sangat mendalam. Disamping penyelidikan dan
pencatatan mengenai morfologi, karakter ekonomi juga harus diselidiki
termasuk di antaranya voltinisme, moultinisme, pertumbuhan dan
perkembangan, adaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat,
ketahanan terhadap perubahan, kuantitas dan kualitas sutera, ratio
perbanyakan, dan lain-lain. Kelebihan dan kelemahan dari setiap
varietas juga harus sangat dimengerti. Dengan demikian induk dapat
diseleksi dengan benar.
Dalam rangka mencapai standar kuantitas dan kualitas sutera seperti
panjang filamen, berat filamen, persentase sutera, daya gulung dan
ketahanan ulat, terdapat kesulitan untuk mencapainya secara
bersamaan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, beberapa varietas
dasar perlu diciptakan, termasuk di dalamnya jenis yang memiliki
karakteristik dengan panjang filamen lebih dari 1.500 meter atau
varietas yang memiliki berat kulit kokon lebih dari 0,6 gr atau yang
tahan terhadap penyakit. Dengan memiliki bahan seperti itu, bibit
sutera pada prakteknya dapat ditingkatkan. Oleh karena itu varietas
yang diciptakan oleh manusia sangat penting sebagai bahan varietas.
4
b. Metode Pemuliaan
b.1. Pemuliaan dengan Seleksi
Seleksi merupakan teknik dasar dalam pemuliaan ulat sutera.
Seleksi harus dilakukan pada tiga tingkatan baik individu, famili
maupun galur. Dalam seluruh proses pemuliaan, seleksi tiga
tingkatan ini harus saling dikoordinasikan dan saling melengkapi
satu sama lain.
Seleksi juga dilakukan pada semua stadia perkembangan ulat
sutera, mulai dari telur, ulat , kokon, pupa dan kupu. Tujuan
seleksi pada setiap stadia berlainan. Sebagai contoh, seleksi pada
pada stadia telur ditujukan untuk mendapatkan jumlah telur
perinduk yang tinggi, penetasan yang seragam dan prosentase
penetasan yang baik. Pada ulat, seleksi dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan keseragaman pertumbuhan dan corak tubuh,
umur ulat yang pendek dan rendemen pemeliharaan yang tinggi.
Selain itu, seleksi juga dilakukan untuk mendapatkan heritabilitas
karakter ekonomi ulat sutera yang tinggi seperti panjang filamen,
persentase sutera dan lain-lain. Untuk itu dapat dilakukan seleksi
campuran. Hubungan antara karakter yang berbeda harus
dipertimbangkan dan seleksi secara luas dalam arti jumlah total
karakter tertinggi harus dilakukan.
b.2. Pemuliaan dengan metode Persilangan
Persilangan dilakukan antar galur yang berasal dari daerah yang
berbeda agar sifat-sifat unggul atau karakteristik yang dimiliki
masing-masing galur dapat bergabung pada hibridnya.
5
Persilangan tidak hanya mengkombinasikan karakter dari kedua
induk kepada keturunannya tetapi juga dapat memproduksi
beberapa karakter yang tidak ditemukan pada induk mereka.
Untuk itu persilangan merupakan metode pemuliaan yang paling
efektif dan populer.
Persilangan digunakan secara luas dalam rangka memperbaiki
kualitas jenis ulat dengan mengeksploitasi gen-gen unggul.
Dengan persilangan ini akan muncul heterosis, yaitu nilai
peningkatan kekuatan hibrid bila dibandingkan dengan induknya,
tetapi nilai heterosis untuk setiap sifat berbeda dan tingkat
heterosis bagi masing-masing sifat bervariasi karena susunan
genetik dari induk yang terlibat dalam persilangan berlainan.
Dalam melakukan persilangan, pemilihan induk ulat sutera dengan
tepat merupakan masalah utama. Untuk itu dalam melakukan
pemilihan, beberapa hal harus diperhatikan, yaitu :
- Induk harus diseleksi berdasarkan tujuannya, misalnya untuk
kondisi pemeliharaan yang optomum dipilih galur yang
mempunyai kualitas kokon yang tinggi, sementara untuk
lingkungan yang kurang optimum dipilih larva yang lebih tahan
penyakit. Dengan kata lain seleksi induk didasarkan pada
kondisi yang berbeda.
- Galur induk harus benar-benar murni, karena ketidakmurnian
induk, maka segregasi akan terjadi pada keturunannya. Sifat
keturunan tidak akan stabil dan beberapa sifat jelek mungkin
akan terbawa.
- Induk yang digunakan harus memiliki lebih banyak karakter
yang bagus daripada cacatnya. Sebaiknya dipilih induk yang
mempunyai sifat baik yang berbeda, sehingga saling
6
melengkapi. Karakter yang baik dari satu induk dapat menutupi
kelemahan yang lain sehingga memberikan hasil yang bagus.
- Seleksi induk berdasarkan kemampuan kombinasi (daya
gabung). Secara umum, dengan dua induk yang baik, hasil
persilangan akan baik. Tetapi ternyata tidak selalu terjadi
demikian. Kadang-kadang beberapa induk yang tidak begitu
baik, hasil persilangan F1-nya sangat baik karena daya
gabungnya sangat baik. Untuk itu perlu dilakukan test terhadap
beberapa hibrid atau galur induknya.
Beberapa jenis persilangan yang biasa dipergunakan pada ulat
sutera adalah :
Persilangan tunggal (single cross), yaitu persilangan antara
dua galur dari ras yang berbeda. Persilangan ini
menghasilkan kekuatan hibrid yang paling tinggi, tetapi
karena induknya berupa galur murni, maka dalam
pemeliharaannya akan relatif lebih sulit dan ratio
perbanyakannya akan lebih rendah dari persilangan ganda.
Persilangan ganda (Double cross) yang pada umumnya
dilakukan dengan meningkatkan jumlah telur per induk.
Dalam penggunaan persilangan ganda ini, dengan
melakukan pemilihan induk, kekuatan hibrid juga bisa
muncul. Pemeliharan menjadi mudah dan efisien.
Untuk memilih hibrid multi induk, perlu dicoba lebih banyak
kombinasi daripada kalau menggunakan persilangan
tunggal. Oleh karena itu induk harus diseleksi dengan hati-
hati dan model silangan harus diuji dengan baik.
7
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sebagai galur komersial,
hibrid lebih menguntungkan dalam hal kekuatan, sifat kualitatif,
kuantitatif dan keseragaman kokon. Sebagaimana produktivitas
kokon menjadi dasar pertimabngan, pemeliharaan bivoltin jelas
menguntungan. Tetapi di daerah tropis, kadang-kadang
temperatur yang sangat tinggi tidak sesuai untuk pemeliharaan
bivoltin. Pada beberapa kasus, polyvoltin yang tradisional tetap
dipelihara, tetapi tentu saja produktivitasnya akan rendah.
b.3. Pemuliaan dengan metode mutasi
Kegiatan pemuliaan lainnya dilakukan dengan mencari gen yang
mendukung masing-masing sifat kuantitatif yang kemudian
digabungkan ke dalam satu individu. Untuk itu dilakukan rekayasa
genetik dengan melakukan mutasi.
Faktor-faktor mutasi yang berbeda digunakan untuk memperoleh
mutasi dalam gen ulat sutera yang dibuat secara langsung
ataupun tidak langsung disebut pemuliaan dengan metode mutasi.
Variasi mutan yang dihasilkan mempunyai perbedaan susunan
genetik.
Di Indonesia, pemuliaan dengan menggunakan mutasi belum
pernah dilakukan berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan
dan fasilitas yang masih terbatas.
c. Kondisi lingkungan dalam Pemuliaan
Kegiatan pemuliaan ulat sutera perlu didukung oleh kondisi lapangan
yang rasional seperti temperatur, kelembaban, aliran udara, makanan
8
dan teknik pemeliharaan. Dengan kondisi lingkungan yang cocok,
varietas atau hibrid dapat mengembangkan karakternya dengan
sempurna. Sebagai contoh, untuk pemuliaan varietas dengan
kandungan sutera tinggi, harus dilakukan penurunan temparatur
ruangan ulat besar dan pemberian makan dengan murbei yang
berkualitas. Dengan begitu ulat sutera dapat menampilkan karakter
kandungan sutera yang tinggi.
Dalam pemilihan bahan untuk pencapaian tujuan secara benar,
perhatian harus ditekankan pada keseragaman kondisi lingkungan .
Kesalahan karena perbedaan kondisi lingkungan harus diminimisasi.
d. Uji Perbandingan terhadap varietas dan identifikasi varietas
Uji Perbandingan varietas dan identifikasi varietas merupakan kaitan
yang esensial dalam pemuliaan varietas dan popularisasinya. Tujuan
dari uji komparasi dan popularisasi varietas adalah untuk memuliakan
varietas ulat sutera baru dengan menggunakan yang paling populer,
komersial dan varietas lokal sebagai kontrol.
Uji komparasi dilakukan melalui uji laboratorium dan uji lapangan di
seluruh bagian negara, varietas baru secara benar dan secara ilmiah
dievaluasi berdasarkan karakter dan nilai ekonomis. Dengan demikian
varietas baru yang memiliki hasil produksi kokon yang tinggi, kualitas
tinggi dan mudah dipelihara dapat diproduksi.
Pemeliharaan di laboratorium dilakukan dengan jumlah ulat sutera
sedikit tetapi varietasnya tinggi, kondisi lingkungan seragam dan
penyelidikan yang lebih detail. Selain itu, jika perlu beberapa
ketahanan terhadap kondisi yang tidak menguntungkan seperti
9
terhadap temperatur yang tinggi dan kelembaban yang tinggi dapat
diidentifikasi.
Setelah pengujian dan kontrol varietas diidentifikasi di laboratorium,
jika hasil varietas baru jelas lebih baik dari kontrol, mereka dapat diuji
di beberapa lokasi untuk uji lebih lanjut. Karena kondisi produksi di
lapangan seperti kondisi iklim, kondisi makanan dan teknik
pemeliharaan agak berbeda dengan di laboratorium, maka uji
lapangan ini sangat diperlukan. Setelah diuji, untuk karakter-karakter
kestabilan panen atau ketahanan terhadap kondisi jelek dan daya
adaptasi terhadap daerah yang ada, maka varietas dapat ditentukan
apakah dapat dipopulerkan atau tidak.
Beberapa tipe daerah harus diseleksi sebagai lokasi pengujian
lapangan. Daerah yang diseleksi harus lebih banyak dan pada setiap
penyelidikan harus dicatat secara benar dan rinci karena setiap
catatan tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan dasar untuk
popularisasi varietas ulat sutera untuk produksi.
III. Produksi Bibit/Telur Ulat Sutera
Setelah melaksanakan pemuliaan ulat sutera, kegiatan selanjutnya adalah
produksi bibit/telur ulat sutera.
Bibit yang dipelihara oleh para pemelihara ulat sutera umumnya adalah
bibit/telur F1. Telur F1 ini dihasilkan dari perkawinan ras jepang dan ras
China seperti telah dibahas di bagian pemuliaan ulat sutera.
Dalam memproduksi telur ulat sutera F1 ini perlu dimengerti mengenai
karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh ras-ras yang digunakan
sehingga dapat dihasilkan bibit /telur F1 yang berkualitas.
10
III.1. Tingkatan Pemeliharaan
Sebelum melaksanakan produksi telur ulat sutera F1, perlu
diketahui terlebih dahulu telur ulat sutera berdasarkan tingkatan
pemeliharaannya yaitu : P3 (Great grand Parent), P2 (Grand
Parent), P1 (Parent) dan F1 atau telur komersial. Untuk dapat
melaksanakan produksi F1, produsen bibit terlebih dahulu harus
melakukan pemeliharaan P2 atau grand parent dari hibrid F1 untuk
menghasilkan P1 (parent ) dari F1 hibrid.
Telur P2 (grand parent) dan induk dihasilkan berdasarkan prosedur
pemuliaan yang digunakan untuk menghasilkan varietas ulat.
Karena telur harus dihasilkan dari pupa yang diharapkan akan
menghasilkan kokon yang berkualitas, maka seleksi dari ulat yang
dipelihara sampai dengan kokon yang dihasilkan harus dilakukan
secara ketat. Induk yang menghasilkan kokon dengan bentuk yang
tidak normal dibuang, demikian pula dengan induk yang
menunjukkan pertumbuhan yang rendah.
Sedang untuk pemeliharaan ulat induk P1 (Parent) yang
diharapkan akan menghasilkan kokon untuk produksi telur
komersial, dilakukan pula dengan prinsip prosedur pemuliaan,
walaupun tidak seketat yang dilakukan pada P2.
Pemeliharaan parent memerlukan fasilitas dalam skala yang luas,
karena banyak ulat yang harus dipelihara berdasarkan kebutuhan
telur yang akan dihasilkan untuk kebutuhan para pemelihara ulat
sutera F1. Oleh karena itu, induk mungkin dapat dipelihara di
petani, tetapi pembuatan telur tetap harus dibuat di pusat
pembibitan. Teknisi harus selalu melakukan kontrol untuk
11
memberikan instruksi kepada para petani secara rinci tentang
pemeliharaan dan penanganan ulat, pencegahan penyakit dan lain-
lain.
Kawasan tempat pemeliharaan seharusnya berjauhan dengan
pusat penghasil benang. Hal ini terutama untuk menghindari
penyakit akibat kontaminasi. Sebaiknya juga dipilih lokasi atau
kawasan yang tidak mudah terserang penyakit pebrin dengan
cuaca yang sesuai untuk produksi yang stabil dan ditangani oleh
orang-orang yang terampil.
Dalam melaksanakan pemeliharaan P1 ini, hal yang merupakan
dasar untuk produksi adalah menghasilkan kokon bibit. Parameter
yang ketat harus dilakukan untuk bisa mendapatkan kokon bibit
yang sehat.
III.2. Proses Produksi Telur
Produksi telur mencakup sejumlah proses seperti penyimpanan
kokon bibit, sortasi kokon, pemisahan pupa berdasarkan jenis
kelamin, penanganan ngengat, pengawinan ngengat, peneluran
dan sertifikasi bibit. Kualitas bibit ditentukan oleh prinsip-prinsip
ilmiah yang bervariasi selama proses-proses yang berbeda.
Dalam melaksanakan produksi telur ini dibutuhkan pengetahuan,
perlengkapan, keahlian dan keterampilan yang lebih khusus
dibandingkan dengan melakukan pemeliharaan ulat. Telur yang
telah dan akan dihasilkan harus selalu ditangani dengan baik dan
bibit yang disebarkan/didistribusikan harus selalu dikontrol.
12
Berikut ini dijelaskan secara garis besar mengenai proses produksi
telur untuk mendapatkan bibit yang berkualitas.
a. Pemilihan kokon bibit
Ulat sutera yang bebas dari penyakit, rendemen pemeliharaan
yang optimal, ratio pupa yang baik, berat kokon maupun berat
kulit kokon perlu dipertimbangkan sebelum pemilihan kokon
bibit dilakukan.
Kokon bibit yang dihasilkan harus diseleksi dan disortir. Kokon-
kokon yang dipilih harus seragam baik dalam ukuran, bentuk,
dan warna.
Pupa-pupa yang hidup merupakan aspek yang sangat penting
dari segi ekonomi. Jika kokon dipanen terlalu awal, maka
banyak pupa yang akan mati. Untuk itu kokon bibit sebaiknya
dipanen pada hari ke-6 atau ke-7 sejak mengokon tergantung
pada musim.
b. Pengangkutan kokon bibit
Untuk proses selanjutnya, kokon-kokon harus diangkut ke
tempat dimana proses tersebut akan dilakukan. Pengangkutan
kokon bibit harus dilakukan dengan hati-hati.
Kokon-kokon bibit yang dihasilkan ditempatkan pada kotak-
kotak yang mempunyai lubang untuk udara atau keranjang
bambu jika jumlahnya sedikit. Hal ini dilakukan karena jika
kokon-kokon ditempatkan pada tempat yang rapat, kokon-kokon
akan kepanasan yang diakibatkan oleh respirasi dan kegiatan
lainnya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pupa.
13
Kokon-kokon bibit ini sebaiknya diangkut pada waktu-waktu
yang dingin untuk menghindari efek temperatur yang tinggi.
Untuk pengangkutan dengan jarak yang jauh, kendaraan
dengan AC bisa digunakan agar dapat diperoleh temperatur
optimum 24oC – 26oC dan kelembaban 70 – 80%.
c. Penanganan kokon bibit
Tempat dan peralatan untuk melaksanakan proses selanjutnya
dari produksi telur harus sudah dipersiapkan sebelumnya.
Ruangan dan alat harus sudah didisinfeksi dan sudah diperiksa
di laboratorium sehingga dapat dipastikan terbebas dari
penyakit yang dapat mengganggu.
Setelah kokon sampai di tempat, kokon ditempatkan pada
sasak-sasak dengan penempatan satu lapis. Kokon-kokon
dapat disortir kembali untuk memisahkan kokon-kokon yang
cacat dari kokon-kokon yang baik.
d. Penyayatan kokon dan sexing pupa dan keluarnya ngengat
Untuk bisa memisahkan antara pupa jantan dan pupa betina,
dilakukan penyayatan kokon. Pupa jantan dan pupa betina ini
kemudian dikelompokkan dan diberi label sesuai dengan
varietas/kelompok rasnya.
Pemisahan dan pengelompokkan pupa jantan dan pupa betina
ini dilakukan untuk sinkronisasi jumlah jantan dan jumlah betina
sehingga dalam pengawinan (kopulasi) ngengat dapat
dilakukan dengan lebih terencana.
14
Temperatur untuk penyimpanan pupa dan adalah 23 – 25oC
dan kelembaban 75 – 80%. Dengan kondisi ini, rasio keluarnya
ngengat nantinya akan tinggi dan telur yang dihasilkan per
induk akan banyak. Temperatur dan kelembaban di luar ini
akan biasanya akan menyebabkan berkurangnya jumlah telur
dan bertambahnya telur yang tidak dibuahi.
Dalam penyimpanan pupa ini perlu diperhatikan mengenai efek
pencahayaan. Bila perubahan gelap terang berlangsung
reguler setiap 12 jam selam 2 – 3 hari sebelum ngengat keluar,
maka keluarnya ngengat akan seragam dan teratur.
e. Kopulasi (Pengawinan) dan peneluran
Setelah keluar dari kokon, sebaiknya ngengat berkopulasi
hanya pada saat sayapnya sudah berkembang dengan
sempurna. Waktu kopulasi selama satu jam sudah cukup bagi
ngengat jantan untuk menyelesaikan ejakulasi yang pertama.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, untuk
mengurangi proporsi telur yang tidak dibuahi, kopulasi
sebaiknya diperpanjang hingga mencapai 3 – 4 jam.
Setelah mencapai 3 – 4 jam, ngengat kemudian dipisahkan.
Khusus untuk ngengat jantan dapat digunakan kembali untuk
kopulasi berikutnya maksimal 3 kali. Untuk lebih baiknya
sebelum digunakan disimpan terlebih dahulu dalam lemari
pendingin (dry cold storage) yang mempunyai suhu 5oC. Jika
ngengat jantan langsung digunakan, terutama jika tidak
disimpan terlebih dahulu dalam suhu 5oC akan menyebabkan
banyaknya terlur-telur yang unfertil.
15
Setelah ngengat jantan dan ngengat betina dipisahkan, ngengat
betina diletakkan di atas kertas telur dan dibiarkan bertelur
dengan perlindungan (penutup). Penutup ini berfungsi untuk
membatasi pergerakan ngengat betina sehingga telur yang
dihasilkan akan merata.
Seperti halnya penyimpanan pupa, pada masa ngengat
kopulasi dan bertelur dibutuhkan kondisi temperatur 23 – 25oC
dan kelembaban 75 – 80%. Kondisi ini seperti telah diterangkan
di atas akan memberikan hasil telur yang banyak untuk setiap
ngengat yang bertelur.
Cahaya pada saat bertelur mempengaruhi jumlah telur per
induk dan kecepatan bertelurnya. Untuk itu sebaiknya ngengat
ditempatkan di tempat yang gelap selama bertelur.
f. Pemeriksaan terhadap penyakit
Pemeriksaan penyakit terutama penyakit pebrin, sangat penting
dilakukan terhadap ngengat yang sudah bertelur dengan tujuan
agar dapat diketahui apakah ngengat mengandung penyakit
atau tidak. Bila ngengat mengandung penyakit, maka telur
harus dibakar sesuai dengan peraturan. Sedangkan bila
ngengat yang diperiksa bebas dari penyakit, maka telur aman
untuk didistribusikan untuk ditetaskan oleh para pemelihara ulat
sutera.
g. Sterilisasi telur
16
Setelah dilakukan pemeriksaan, telur-telur yang bebas dari
penyakit sebaiknya dicelupkan ke dalam larutan disinfektan
dengan. Perlakuan ini dilakukan untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya kontaminasi terhadap permukaan telur
oleh bakteri-bakteri patogen.
III.3. Penetasan buatan
Telur yang pada saat ini banyak dipergunakan sebagai telur
komersial adalah dari jenis telur bivoltine yang berasal dari negara
sub tropis.
Telur bivoltine yang disimpan dalam kondisi alami tidak akan
menetas. Jika telur akan ditetaskan dalam tahun yang sama,
metode penetasan buatan harus dilakukan.
Penetasan buatan merupakan suatu perlakuan dengan
menggunakan zat tertentu terhadap telur yang akan memasuki
masa hibernasi (diapause) untuk mencegah telur memasuki fase
tersebut atau memaksa telur agar dapat menetas tanpa
mengalami masa diapause.
Dalam melakukan penetasan buatan ini perlu diperhatikan sekali
dalam penangan kokon bibit dan peneluran terutama mengenai
temperatur dan kelembaban karena hal tersebut akan
menyebabkan kesalahan dalam penentuan metode penetasan
buatan ini.
IV. Penyimpanan telur
17
Setiap telur yang diproduksi tidak selalu bisa langsung didistribusikan.
Agar telur ulat sutera dapat tetap digunakan dan dimanfaatkan untuk
penggunaan sewaktu-waktu, maka telur tersebut harus disimpan dalam
lemari pendingin. Hal ini disesuaikan dengan kondisi asal telur ulat sutera
tersebut yang berasal dari negara sub-tropis.
Penyimpanan telur ulat sutera ini tentunya mempunyai batas waktu sesuai
dengan metode penyimpanan yang digunakan. Jika telur-telur tersebut
sudah melewati masa waktu penyimpanan, maka telur ulat sutera tersebut
biasanya sudah tidak bisa lagi menetas. Telur ulat sutera seperti ini
disebut telur kadaluarsa.
Untuk mengatasi agar tidak banyak terjadi telur yang kadaluarsa, maka
dibutuhkan perencanaan yang matang baik dari pihak pembibitan maupun
pihak yang menjadi pengguna telur ulat sutera atau pihak pemelihara ulat
sutera. Perencanaan pemeliharaan ulat harus selalu disampaikan kepada
pihak pembibitan sehingga penyebaran terhadap telur yang diproduksi
bisa lebih terprogram.
V. Inkubasi telur
Untuk mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan embrio yang
seragam dimana akan menghasilkan penetasan yang seragam, telur ulat
sutera harus diinkubasikan pada kondisi temperatur dan kelembaban
yang optimum.
Temperatur konstan untuk inkubasi adalah 25oC dan kelembaban 80%.
Temperatur yang tinggi pada saat inkubasi akan menyebabkan penetasan
yang jelek dan ulat yang lemah. Kelembaban yag terlalu rendah akan
menyebabkan penetasan yang jelek dan tidak beraturan. Kelembaban
18
yang tinggi walaupun penetasan bisa seragam, dapat menyebabkan
lemahnya ulat yang dipelihara.
Telur ulat sutera sangat baik jika diinkubasi pada ruangan yang
dikondisikan temperatur dan kelembabannya. Tetapi, untuk penghematan
biaya fasilitas seperti kertas parafin, gabus, pasir, kain basah pot dan lain-
lain dapat digunakan.
VI. Pusat Pembibitan
a. Peran Pusat Pembibitan dalam usaha persuteraan
Seperti telah dijelaskan di atas, suatu usaha pembibitan merupakan
hal yang sangat penting dalam suatu usaha persuteraan alam yang
dapat menentukan keberhasilan produksi baik berupa kokon maupun
benang.
Di Indonesia pada saat ini sebagai pusat pembibitan yang melayani
kebutuhan konsumen akan telur ulat sutera adalah PPUS Candiroto
KPH Kedu Utara dan KPSA Soppeng Sulawesi selatan.
PPUS Candiroto dipersiapkan untuk memasok kebutuhan telur ulat
sutera bagi sentra persuteraan di Sumatera. Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara, sedangkan KPSA Soppeng direncanakan dapat memasok
telur ulat sutera untuk sentra persuteraan di Kalimantan,Sulawesi,
Maluku dan Papua.
b. Fungsi Pusat Pembibitan
19
Tugas utama dari suatu pusat pembibitan ulat sutera adalah
menyediakan dan mencukupi kebutuhan konsumen bibit/telur ulat
sutera akan telur yang berkualitas baik.
Bibit/telur ulat sutera yang digunakan oleh para pemelihara ulat sutera
harus bebas dari penyakit pebrine. Menurut catatan sejarah, negara-
negara penghasil sutera dunia seperti Perancis dan Yunani telah
mengalami kehancuran produksi akibat wabah pebrine yang
terkandung di dalam telur ulat sutera. Kejadian seperti ini telah dialami
juga oleh Indonesia (terutama Sulawesi selatan) ketika sebagian
petaninya membuat bibit lokal tanpa kontrol sanitasi sehinga pada
tahun 1972 produksi sutera sangat menurun tajam dan tidak mudah
untuk membangkitkannya kembali.
Dalam pengadaan bibit/telur ulat sutera tersebut harus selalu
dilakukan upaya peningkatan mutu bibit induk sehingga dapat
memproduksi bibit ulat sutera yang unggul sesuai dengan kebutuhan
konsumen.
Untuk meningkatkan mutu bibit/telur ulat sutera tersebut, hal-hal yang
harus dilaksanakan adalah :
1. Peningkatan karakter ras-ras ulat sutera dengan metode yang
sesuai dengan tingkatan pemeliharaan dan kriteria seleksi.
2. Melakukan pencarian jenis-jenis yang bisa bertahan terhadap
kondisi yang kurang baik.
3. Peningkatan teknologi produksi.
4. Peningkatan sumber daya manusia yang menangani pembibitan
ulat sutera agar penerapan teknik-teknik yang sesuai dan tepat
dalam melaksanakan pembibitan selalu dilakukan, sehingga
bibit/telur ulat sutera yang dihasilkan akan selalu bermutu baik.
20
Dalam melaksanakan tugasnya, suatu pusat pembibitan tidak bisa
terlepas dari dukungan instansi-instansi yang terkait dengan bidang
persuteraan, pusat-pusat penelitian dan pengembangan ataupun
institusi-institusi seperti universitas untuk memperlancar kegiatan
pembibitan dan penyebaran bibit/telur ulat sutera di masyarakat.
c. Fasilitas Pusat Pembibitan
Dalam menjalankan suatu pusat pembibitan, beberapa fasilitas yang
mutlak diperlukan untuk menghasilkan telur yang berkualitas adalah :
1. Sumber daya manusia yang terampil dan berkualitas
2. Kebun murbei dengan jenis-jenis murbei yang berkualitas dan
mencukupi dari segi kuantitas.
3. Ulat sutera dari jenis murni sebagai bibit induk.
4. Dry cold storage atau lemari pendingin yang berfungsi untuk
menyimpan telur-telur yang dihasilkan dan akan disebarkan kepada
konsumen telur.
5. Sarana dan prasarana pemeliharaan ulat.
6. Sarana dan prasarana peneluran.
7. Sarana dan prasarana untuk perlakuan telur.
8. Sarana dan prasarana untuk pemeriksaan penyakit terutama
penyakit pebrine.
Didukung oleh adanya kelengkapan fasilitas tersebut di atas, maka
diharapkan dapat dihasilkan telur-telur yang berkualitas.
c. Penanganan Pasca Produksi
Dengan telur yang berkualitas, salah satu faktor pendukung
keberhasilan dalam usaha persuteraan alam telah terpenuhi. Tetapi
21
tentu saja perlu diperhatikan dan diingat bahwa keberhasilan usaha
persuteraan juga didukung oleh cara pengambilan telur dari pusat
pembibitan, cara inkubasi, teknik pemeliharaan ( ulat kecil maupun
ulat besar), kebun murbei dan faktor lingkungan (termasuk disinfeksi)
di tempat para pemelihara ulat sutera termasuk sumber daya
manusianya.
Bibit yang paling bagus sekalipun, jika tidak ditangani dengan baik dan
benar sesuai dengan ketentuan, tidak akan dapat memberikan hasil
yang memuaskan.
VII. Kesimpulan
1. Bibit berkualitas merupakan aspek yang sangat penting dalam suatu usaha
persuteraan alam.
2. Pembibitan ulat sutera sebagai penghasil bibit ulat sutera sangat berperan
dalam menentukan kualitas bibit ulat sutera.
3. Untuk meningkatkan varietas ulat sutera, dalam suatu usaha pembibitan ulat
sutera dilakukan kegiatan pemuliaan ulat sutera.
4. Dalam pemuliaan ulat sutera secara ketat harus diperhatikan bahan
pemuliaannya, metode pemuliaan, kondisi lingkungan, seleksi dan uji
komparasi varietas yang dihasilkan sehingga dapat dihasilkan varietas
unggulan.
5. Kegiatan produksi telur ulat sutera yang dilakukan dalam suatu pusat
pembibitan harus memperhatikan prosedur pemuliaan.
6. Dalam melakukan produksi telur ulat sutera perlu dimengerti karakteristik-
karakteristik yang dimiliki oleh ras-ras ulat sutera sehingga dapat dihasilkan
bibit-bibit yang berkualitas.
7. Penanganan yang baik dengan selalu adanya pengontrolan pada setiap
proses dan terhadap bibit-bibit yang diproduksi dan didistribusikan harus
selalu dilaksanakan.
22
8. Setelah dihasilkan telur yang berkualitas, penanganan di tempat para
pemelihara ulat sutera merupakan faktor yang juga menentukan keberhasilan
suatu usaha persuteraan alam.
VIII. Daftar Pustaka
Daus, Amir; Haris. S. 1998. Pemeliharaan Ulat Sutera dan Pengokonan.
Materi Pelatihan Persuteraan Alam Untuk Penyuluh dan Petani Oleh
Perum Perhutani. Perum Perhutani Unit I. Semarang.
Ho Lim, Soo; Taek Kim, Young; Poong Lee, Sang; Jun Rhee, In; Jung
Sung,Lim; Ho Im, Byung. 1990. Sericulture Training Manual, FAO
Agricultural Service Bulletin No. 80, Food and Agriculture
Organisation of The United nations. Rome.
Jolly, Manjeet. 1987. Appropriate Sericulture Techniques. International Centre
for Training & Research in Tropical Sericulture. Mysore.
Kartasubratra, Junus; M. Kaomini; W. Saleh, W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam
Indonesia, Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta.
Katsumata, F. 1972. Petunjuk Sederhana Bagi Pemelihara Ulat Sutera.
Tokyo. Japan
Muljadi, Untung; E. Supoko; Haris S. 2000. Pembibitan Ulat Sutera dan
Pengembangan Persuteraan Alam Indonesia. Makalah Seminar
dan Lokakarya Persuteraan Alam Universitas Galuh. Ciamis
Tajima, yataro. 1972. Handbook Of Silkworm Rearing. Agriculture Technique
Manual I. Fuji Publishing Co. Ltd. Tokyo.
23
Top Related