Makalah Hukum PerbankanBAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Awal kelahiran Perbankan Syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan Renaissance
Islam Modern: Neorevivalis dan Modernis. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan
berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari
segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah.
Upaya awal penerapan sistem Profit dan Loss Sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia
sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara
nonkonvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rulal Bank di desa Mit Ghamr
pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan sangat
pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahmad dan laporan International Association of
Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan islam yang
beroperasi di seluruh dunia baik di negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa,
Australia, maupun Amerika.
Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Konfrensi Islam di Kirachi,
pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan Bank
Syariah. Proposal yang disebut Studi Tentang Pendirian Bank Islam Internasional Untuk
Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development)
dan proposal pendirian Federasi Bank Islam dikaji para ahli delapan belas negara islam.
Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga
harus digantikan dengan suatu sistem kerja sama dengan sekema bagi hasil keuntungan
maupun kerugian. Proposal tersebut di terima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank
Islam Internasional dan Federasi Bank Islam.
IDB juga membantu mendirikan bank-bank Islam di berbagai negara, untuk pengembangan
sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun sebuah institut riset dan pelatihan untuk
pengembangan penelitian dan pelatihan ekonomi Islam, baik dalam bidang perbankan
maupun keuangan secara umum. Lembaga ini disingkat IRTI (Islamic Research and Training
Institute).
Berdirinya IDB telah memotivasi banyak Islam untuk mendirikan lembaga keuangan Syariah.
Untuk itu, komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan panduan tentang pendirian,
peraturan, dan pengawasan bank Syariah. Kerja keras mereka menimbulkan hasil. Pada
akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, Bank-bank syariah bermunculan di Mesir,
Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki.
Berkembangnya Bank-bank Syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia, pada
awal periode 1980-an, diskusi mengenai Bank Syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai
dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A.
Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amien Azis, dan lain-lain.
Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah
Baitut Tamwil – Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan, yakni Koperasi
Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia baru dilakukan
pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 agustus 1990
menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Hasil Lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang
berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. berdasarkan amanat Munas IV
MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.
Kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan
konsultasi dengan semua pihak terkait.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut di atas, Akte
Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia ditandatangani pada tanggal 1 November 1991.
pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen saham sebanyak Rp 84
miliar.
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan Bank Syaraih ini belum
mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan
hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini halnya dikategorikan sebagai
“Bank dengan sistem bagi hasil” tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-
jenis usaha yang diperbolehkan ini sangat jelas tercermin dari UUNo. 7 Tahun 1992, dimana
pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan
merupakan “sisipan” belaka.
Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya undang-
undang No.10 tahun 1998. dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan
hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan di implementasikan oleh bank
syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional
untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkoversi diri secara total menjadi bank
syariah.
Peluang tersbut teryata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank
mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya. Sebagian
bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya.
Sebagian lainnya bahkan berencana mengkoversi diri sepenuhnya menjadi bank syariah. Hal
ini demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan “pelatihan perbankan
syariah” bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang
berkaitan langsung seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit,
pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.
Salah satu bank milik pemerintah yang pertama kali melandaskan operasionalnya pada
prinsip syariah adalah Bank Syariah Mandiri (BSM). Secara struktural BSM berasal dari Bank
Susila Bakti, sebagai salah satu anak perusahaab di lingkup Bank Mandiri (eks BDN). Yang
kemudian dikonversi menjadi bank syariah secara penuh.
B. Ruang Lingkup Masalah
Bank syariah secara resmi telah diperkenalkan kepada masyarakat sejak tahun 1992, yaitu
dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang iniyang
selanjutnya di interpretasikan dalam berbagai ketentuan pemerintah, telah memeberikan
peluang seluas-luasnya untuk pembukaan bank-bank yang beroperasi dengan prinsip bagi
hasil/syariah. Perkembangan perbankan syariah hingga saat ini masih menunjukan
pertumbuhan yang belum mengembirakan, baik jaringan maupun volume usaha,
dibandingkan dengan pertumbuhan bank konvensional. Hal ini ditunjukan dengan populasi
bank syariah yang masih kecil. Hingga pertengahan tahun 1999, hanya ada 1 bank umum
syariah dan 78 bank perkreditan rakyat syariah, sedangkan populasi bank konvensional
sejumlah 206 bank umum dan 2.231 bank perkreditan rakyat.
Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan perbankan
syariah, terutama berkaitan dengan penerapan suatu sistem perbankan yang baru, suatu
sistem yang mempunyai sejumlah perbedaan prinsip dengan sistem yang dominan dan
telah berkembang pesat di indonesia.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Bank Syariah
2. Apa yang Menjadi Dasar Hukum Bank Syariah di Indonesia.
3. Apa Yang Menjadi Ketentuan Pelaksanaan Bank Indonesia bagi Perbankan Syariah Sejak
Diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank Syariah Secara Umum.
Islam melarang riba karena ketidak adilan yang melekat di dalamnya. Alternatifnya, Islam
menawarkan berbagai bentuk transaksi alternatif, yang sarat dijiwai oleh fiqih muamalah.
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit
dan jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah Islam yaitu mengacu kepada ketentuan yang ada dalam al-
Qur’an dan Hadits.
Mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits maka diharapkan bank syariah dapat menghindari
praktek-praktek yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan usaha dengan kegiatan
investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi
operasional bank Islam secara keseluruhan. Secara syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah
al-mudharabah yaitu kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
Keuntungan kerja sama mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Berdasakan prinsip ini, Bank Islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung
maupun dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak
sebagai mudharib ‘pengelola’, sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul mall
‘penyandang dana’. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan
pembagian keuntungan masing-masing pihak.
Al-mudharabah terdiri atas dua jenis, yakni yang bersifat tidak terbatas (muthalaqah,
unrestricted) dan yang bersifat terbatas (muqayyadah, restricted).
Pada jenis yang pertama, pemilik dana memberikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada
mudharib (pengelola) untuk menginvestasikan atau memutar uangnya.
Pada jenis yang kedua, pemilik dana memberi batasan kepada mudharib. Di antara batasan
itu, misalnya, adalah jenis investasi, tempat investasi, serta pihak-pihak yang dibolehkan
terlibat dalam investasi. Pada jenis ini shahibul maal (penyandang dana) dapat pula
mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak mencampurkan hartanya dengan dana al-
mudharabah. Adapula faktor yang mempengaruhi bagi hasil yaitu :
1. Faktor Langsung
Di antara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil
adalah investement rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (profit sharing
ratio).
a. Investment rate merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana.
Jika bank menentukan investement rate sebesar 80 persen, hal ini berarti 20 persen dari
total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.
b. Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai
sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan
menggunakan salah satu metode ini:
1) Rata-rata saldo minimum bulanan,
2) Rata-rata total saldo harian
Investment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk di investasikan, akan
menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan.
c. Nisbah (profit sharing ratio)
1) Salah satu ciri al-mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada
awal perjanjian.
2) Nisbah antara satu bank dan bank lainnya dapat berbeda
3) Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu bank, misalnya deposito 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
4) Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dan account lainnya sesuai dengan
besarnya dana jatuh temponya.
2. Faktor Tidak Langsung
a. Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah.
1) Bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya (profit and sharing).
Pendapatan yang “dibagihasilkan” merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-
biaya.
2) Jika semua biaya ditanggung bank, hal ini disebut renvenue sharing.
b. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting)
Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan,
terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
B. Dasar Hukum Bank Syariah di Indonesia
Bank Syariah di tanah air mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi
sektor perbankan pada tahun 1983. hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan
penentuan tingkat suku bunga. Termasuk nol persen.
Walaupun demikian kesempatan ini belum termanfaatkan karena tidak diperkenankannya
pembukaan kantor baru. Hal ini berlangsung sampai tahun 1988 dimana pemerintah
mengeluarkan PAKTO (Paket kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober) Tahun 1988 yang
berisi tentang liberalisasi yang memungkinkan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisi
bank syariah semakin pasti setelah untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari
nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan-keuntungan bagi hasil.
Dengan terbitnya PP No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas
memberikan batasan bahwa “bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiata usaha yang
tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya
tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha,
berdasarkan prinsip bagi hasil (pasal 6), maka jalan bagi operasional Perbankan Syariah
semakin luas.
Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini sekaligus menghapus pasal 6 pada PP No.72/1992
yang melarang dual sistem. Dengan tegas pasal 6 Undang-undang No.10/1998
memperbolehkan bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional dapat juga
melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip syariah melalui :
1. Pendirian kantor cabang atau dibawah kantor cabang baru
2. Pengubahan kantor cabang atau dibawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional menkaji kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
Walaupu demikian bank syariah yang berada di tanah air tetap harus tunduk kepada
peraturan-peraturan dan persyaratan perbankan yang berlaku pada umumnya antara lain:
1. Ketentuan perizinan dalam pengembangang usaha
2. Kewajiban pelaporan ke Bank Indonesia
3. Pengawasan intern
4. Pengawasan atas prestasi, permodalan, manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan faktor
lainnya
5. Pengenaan sanksi atas pelanggaran.
Di samping ketentuan-ketentuan di atas bank syariah di indonesia juga dibatasi oleh
pengawasan yang dilakukan oleh dewan pengawas ayariah mendapatkan persetujuan dari
dewan pengawasan syariah terlebih dahulu di perkenalkan kepada masyarakat.
Adanya tuntutan perkembangan maka undang-undang perbankan No.7/1992 kemudian di
revisi menjadi undang-undang No. 10/1998 tentang perbankan. Undang-undang ini
melakukan revisi beberapa pasal yang dianggap penting, dan merupakan peraturan hukum
secara leluasa menggunakan istilah syariah dengan tidak lagi menggunakan istilah bagi
hasil. Diantara perubahan yang berkaitan langsung dengan keberadaan Bank Syariah
sebagai beriku:
1. Pasal 1 ayat 12 menyatakan : “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan itu
atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang di biayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil”.
2. Pasal 1 ayat 13 berbunyi: “Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
islam antara bank dengan pihak lain nuntuk menyimpan dana atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan
(ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);
3. Ketentuan pasal 6 huruf m diubah, sehingga pasal 6 huruf m berbunyi : “menyediakan
pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh bank syariah”
4. Ketentuan pasal 13 huruf c diubah, sehingga berbunyi : “menyediakan pembiayaan dan
penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia”.
Untuk menjalankan undang-undang tersebut selanjutnya dikeluarkan surat keputusan
Direksi BI No. 32/34.KEP/DIR tanggal 12 mei 1999 tentang bank umum dan bank
perkereditan rakyat tahun 1999 dilengkapi bank umum berdasarkan prinsip syariah dan
bank perkereditan rakyat berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah diatur dalam surat
keputusan direksi BI No. 32/34/KEP/DIR yaitu :
1. Pasal 1 huruf a menyatakan : “Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 angka 3 UU No. 7/1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 10/1998, yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah”.
2. Pasal 1 huruf g menyatakan : “kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah adalah
kegiatan usaha perbankan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 13 UU No. 7/1992 tentang perbankan sebagaimana telah
diubah dengan UU No.10/1998.
3. Bab VI kegiatan usaha, pasal 28 menyatakan bahwa “bank wajib menerapkan prinsip
syariah dalam melakukan kegiatan usahanya meliputi:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
1) Giro berdasarkan prinsi Wadi’ah
Giro Wadi’ah adalah suatu bentuk giro atau titipan yang dapat diberikan suatu bonus
tertentu kepada nasabah
2) Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah
Tabungan mudharabah adalah simpanan mudharabah dalam bentuk tabungan sehingga
dibenarkan adanya mutasi dari dana tersebut sehingga dilakukan perhitungan rata-rata
untuk dapat membagi hasil secara proporsional.
3) Tabungan Mudharabah Muamalah
Tabungan ini merupakan suatu tabungan dengan pembagian laba yabg dihitung secara
presentasi yang telah disepakati dan dihitung dari saldo rata-rata. Dalam waktu tertentu.
4) Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah
Deposito mudharabah adalah suatu jenis deposito atau simpanan yang penarikannya
dilakukan pada suatu waktu tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati
diantara kedua belah pihak, dengan membagi hasil oleh bank kepada nasabah sesuai
dengan porsi bagian laba yang ada.
5) Deposito Karya Mudharabah
Ini merupakan deposito mudharabah dengan jumlah minimal tertentu dan untuk suatu
jangka waktu tertentu dengan pembagian laba sesuai dengan proporsi yang telah disepakati
bersama.
6) Bentuk lain berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah
b. Melakukan penyaluran melalui :
1) Transaksi jual beli berdasarkan prinsip
(a) Murabahah
Adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati
(b) Istishna
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
(c) Ijarah
Perjanjian antara bank sebagai pemilik dengan nasabah sebagai penyewa
(d) Salam
Berarti pembelian barang yang disarankan di kemudian hari sementara pembayaran
dilakukan dimuka
(e) Jual beli lainnya
2) Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip
(a) Mudharabah
(b) Musyaraah
(c) Bagi hasil lainnya
3) Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip
(a) Hiwalah
Adalah memindahkan utang dari tanggung muhil (yang berutang/debitur menjadi
tanggungan muhal’alaih (yang melakukan pembayaran/pihak ketiga). Sedangkan yang
mengutangkan disebut muhal (kreditur)
(b) Rahn
Yaitu gadai berarti menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan
hukum sebagai jaminan utangsehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
sebagian manfaat dari barangnya itu.
(c) Qardh
Yaitu pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali dengan
atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
c. Membeli, menjual dan atau menjamin atas resiko sendiri surat-surat berharga pihak
ketiga yang ditertibkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah
d. Membeli surat-surat berharga pemerintah dan atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas
prinsip Syariah.
e. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan atau nasabah berdasarkan prinsip
wakalah.
f. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip wakalah
g. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang atau surat-surat berharga berdasarkan
prinsip wadi’ah yad amanah.
h. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahaannya untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah
i. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat
berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip Ujr
j. Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip wakalah, murabahah,
mudharabah, musyarakah, dan wadiah serta memberikan garansi bank berdasarkan prinsip
kafalah.
k. Melakukan kegiatan usaha kartu debet berdasarkan prinsip ujr.
l. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip wakalah.
m. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank umum syariah sepanjang disetujui
oleh dewan syariah nasional.
4. Pasal 29 menyatakan : selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
pasal 28, bank dapat pula :
a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan prinsip sharf
b. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah dan/
atau mudharabah pada bank atau perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.
c. Melakukan kegiatan peryertaan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah
dan/atau meudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus
menarik kembali penyertaannya.
d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip
syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku
e. Dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari
zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah atau dana sosial dalam bentuk santunan dan pinjaman
kebajikan (qardhul hasa).
Dasar-dasar hukum positif inilah yang dijadikan pijakan bagi bank islam di Indonesia dalam
mengembangkan produk-produk dan operasionalnya. Berdasarkan hukum positif tersebut,
bank syariah di Indonesia memilki keleluasaan dalam mengembangkan produk dan aktivitas
operasionalnya.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan ketentuan yang memberikan landasan
hukum yang kuat terhadap pengembangan sistem Perbankan Syariah di Indonesia. Hal ini
lah yang merupakan suatu perubahan yang signifikan terhadap UU perbankan sebelumnya,
telah kita lihat bahwa pada undang-undang No. 7 tahun 1992 istilah perbankan syariah
masih belum dinyatakan secara eksplisit, melainkan hanya dinyatakan dengan
menggunakan istilah bank dengan prinsip bagi hasil, sebagaimana diatur dalam pasal 6 dan
pasal 13.
Penegertian Bank dengan bagi hasil yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut
belum mencangkup secara tepat pengertian bank syariah atau “Islamic Bank” yang memilki
cankupan yang lebih luas dari bagi hasil, meskipun UU tersebut talah memungkinkan
berdirinya bank umum syariah yang pertama di Indonesia. Demikian pula peraturan
pelaksanaan yang ada pada masa itu dirasakan belum banyak membuka ruang gerak bagi
operasional Perbankan Syariah di Indonesia. Dengan dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998
yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan serta peraturan-peraturan
pelaksanaannya ini, maka Indonesia telah memasuki periode baru yaitu periode
perkembangan sistem perbankan syariah dengan munculnya bank-bank Syariah baru.
Salah satu prinsip yang dipegang dalam pengaturan tentang Bank Syariah dalam UU No. 10
Tahun 1998 ini adalah kegiatan usaha bank. Jadi sifatnya bukan merupakan jenis
kelembagaan melainkan cara menjalankan kegiatan usaha bank. Sejalan dengan itu, istilah
bank syariah tidak didefinisikan sebagai jenis bank tersendiri, sehingga jenis bank di
indonesia tetap hanya dua, yakni Bank Umum (BU) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pada prinsipnya Undang-undang ini mengatur masalah-masalah hukum yang menyangkut
kelembagaan dan operasional Bank Syariah. Permasalahan hukum tersebut antara lain
meliputi :
1. Macam Bank Syariah
2. Pendirian Bank Syariah
3. Konvensi Bank Konvensional menjadi Bank Syariah
4. Pembukaan Kantor Cabang, yang meliputi sisi keuangan dan modal kerja
5. Badan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional (DPS), yang menyangkut mengenai
fungsi DPS sebagai Penasihat, Mediator, dan Perwakilan
6. Kegiatan usaha dan produk-produk Bank Syariah
7. Pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank Indonesia
8. Sanksi-sanksi pidana dan administratif
Dalam undang-undang No. 10 Tahun 1998 ini terdapat hal baru yaitu dicantumkan secara
tegas mengenai ketentuan pidana dan sanksi admiistratif dalam rangka penegakan hukum
kegiatan usaha perbankan yang bersifat lebih tegas dan mengikat. Ketentuan pidana yang
mengatur kegiatan perbankan diatur dalam pasal sebagai berikut: pasal 46, 47, 47A. 48, 49,
50, dan 50A. Sedangkan ketentuan sanksi administratif diatur dalam pasal 52 dan 53
undang-undang ini.
Mengenai sanksi pidana dalam pengaturan perbankan ini memiliki ciri tersendiri di mana di
sini ditetapkan jumlah minimal dan maksimal sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
terdakwa. Ketentuan hukum demikian tentunya tidak terlepas dari pentingnya lembaga
perbankan sebagai lembaga penghimpun dana masyarakat. Ketentuan hukum tersebut
berlaku pula untuk Bank Syariah. Dengan adanya sanksi tersebut juga memberi peringatan
kepada para bankir untuk senantiasa bertindak profesional dan memilki integritas yang
tinggi dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Sejak berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, maka segala ketentuan pelaksanaan yang berkaitan dengan
kebijakan pemerintah di bidang perbankan yang semula dituangkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah kini telah dialihkan pada kebijaksanaan Bank Indonesia (BI) sebagai Bank
Sentral. Ketentuan yang mencabut peraturan pelaksanaan di bidang perbankan tersebut
dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang secara lengkap berjudul
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1998,
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Melalui pencabutan ini keseluruhan PP tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dimulai sejak
dikeluarkannya ketentuan perundangan yang baru oleh Bank Indonesia.
Peraturan kebijakasanaan Bank Indonesia yang menggantikan kedudukan Peraturan
Pemerintah di Bidang Perbankan tersebut pada prinsipnya merupakan penyempurnaan atas
ketentuan yang mendukung operasional Perbankan Syariah di Indonesia. Perangkat
ketentuan-ketentuan yang diperlukan bagi operasional Perbankan secara umum dibagi
dalam empat kelompok, yaitu peraturan yang terkait dengan:
1. Kelembagaan yang melipuit pengaturan mengenai tata cara pendirian, kepemilikan,
kepengurusan, dan kegiatan usaha bank, Peraturan yang telah diterbitkan Bank Indonesia
adalah:
a. SK Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum.
Kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 tanggal 14
Oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah jo. PBI No. 7/35/PBI/2005 tentang Perubahan atas PBI No. 6/24/PBI/2004.
b. SK Direksi Bank Indonesia No. 23/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip syariah. Kemudoan diganti dengan PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli
2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip syariah.
c. PBI No. 7/17/PBI/2005 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah.
2. pengaturan yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas dan instrumen moneter
yang sesuai dengan prinsip syariah.
a. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib
Minimum, yang kemudian diganti dengan PBI No. 6/21/PBI/2004 tanggal 3 Agustus 2004.
b. Peraturan Bank Indonesia No. 2/4/PBI/2000 tanggal 11 Februari 2000 tentang Perubahan
atas PBI No. 1/3/PBI/1999 tanggal 13 agustus 1999 tentang Penyelenggaraan kliring Lokal
dan Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antarbank Atas Hasil Kliring Lokal.
c. PBI No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 februari 2000 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan
Prinsip Syariah jo. PBI No. 7/26/PBI/2005 tanggal 8 Agustus 2005 tentang Perubahan Atas
PBI No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang PUAS.
d. PBI No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.
Kemudian diganti dengan PBI No. 6/7/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia.
e. PBI No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek
bagi Bank Syariah yang kemudian diubah oleh PBI no. 7/23/PBI/2005 tanggal 7 Agustus 2005
tentang Perubahan Atas PBI No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek
bagi Bank Syariah.
f. PBI No. 7/24/PBI/2005 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari bagi Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah.
3. Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian (Pudential Banking Regulation)
Pengaturan yang diperlukan bagi Bank Syariah untuk melaksanakan prinsip kegiatan usaha
yang berhati-hati dan berdasarkan praktik-praktik usaha yang sehat, (dewasa ini penerapan
prinsip kehati-hatian masih mengacu kepada Standar Internasional Perbankan Umum yang
diterbitkan oleh Bank for International Settlement (BIS) yang berkedudukan di Basle Swiss).
4. Peraturan lainnya merupakan peraturan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia atau
Lembaga laisebagai pendukung operasi Bank syariah. Peraturan ini meliputi:
a. Ketentuan berkaitan dengan pelaksanaan tugas Bank Sentral,
b. Ketentuan Standar Akuntansi dan Audit,
c. Ketentuan pengaturan perselisihan perdata antara bank dengan nasabah (arbitrase
Muamalah),
d. Ketentuan mengenai standarisasi fatwa produk Bank Syariah,
e. Dan peraturan pendukung lainnya.
Ketentuan-ketentuan yang disebutkan terakhir di atas merupakan ketentuan pendukung
yang sangat penting dalam operasional Bank Syariah yang menjadi bagian dari strategi
pengembangan sistem Perbankan Syariah yang telah digariskan oleh Bank Indonesia. Di
sampin itu, sejak 1 juni 2001 Bank Indonesia telah membuka Biro Perbankan Syariah yang
akan menangani pengaturan, pengawasan, dan perizinan Bank Syariah.
C. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia.
Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang
perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah, perkembangan bank
syariah, dipandang dari sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha, masih
belum memuaskan. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih
mendorong perkembangan bank syariah di Indonesia.
Upaya mendorong pengembangan bank syariah dilaksankan dengan memperhatikan bahwa
sebagian masyarakat muslim Indonesia pada saat ini sangat menantikan suatu sistem
perbankan syariah yang sehat dan terpercaya untuk mengakomodasi kebutuhan mereka
terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah. Pengembangan
prinsip perbankan syariah juga dutujukan untuk meningkatkan mobilisasi dana masyarakat
yang selama ini belum terlayani oleh sistem perbankan konvensional. Selain itu, sejalan
dengan upaya-upaya restrukturisasi perbankan, pengembangan bank syariah merupakan
suatu alternatif sistem pelayanan jasa bank dengan sebagai kelebihan yang dimilikinya.
1. Pengembangan Bank Syariah.
Dengan diberlakukannya Undang-undang no.10 Tahun 1998, perbankan syariah telah
mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk menyelenggarakan kegiatan usaha,
termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor
cabang yang khusus melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Pemberian
kesempatan pembukaan kantor cabang syariah ini adalah sebagai upaya meningkatkan
jaringan perbankan syariah yang tentunya akan dilakukan bersamaan dengan uprya
pemberdayaan perbankan syariah. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong perluasan
jaringan kantor, pengembangan pasar uang antarbank syariah, peningkatan kualitas sumber
daya manusia, dan kinerja bank syariah, yang pada intinya akan menunjang pembentukan
landasan perekonomian rakyat yang lebih kuat dan tangguh. Berikut ini dikemukakan
beberapa kendala yang muncul sehubungan dengan pengembangan perbankan syariah.
a. Pemahaman Masyarakat yang Belum Tepat terhadap kegiatan Operasional Bank Syariah.
Karena masih dalam tahap awal pengembangan, dapat dimaklumi bahwa pada saat ini
pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai sistem dan prinsip perbankan syariah
masih belum tepat. Pada dasarnya, sistem ekonomi Islam telah jelas, yaitu melarang
memperaktikkan riba serta akumulasi kekayaan hanya pada pihak tertentu secara tidak adil.
Akan tetapi, secara praktis, bentuk produk dan jasa pelayanan, prinsip-prinsip dasar
hubungan antara bank dan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank
syariah, masih sangat perlu disosialisasikan secara luas.
Adanya perbedaan karakteristik produk bank konvensional denganbank syariah telah
menimbulkan adanya keengganan bagi pengguna jasa perbankan. Keengganan tersebut
antara lain disebabkan oleh hilangnya kesempatan mendapatkan penghasilan tetap berupa
bunga dari simpanan. Oleh karena itu, secara umum perlu diinformasikan bahwa
penempatan dana pada bank syariah juga dapat memeberikan keuntungan finansial yang
kompetitif. Disampin itu, salah satu karakteristik khusus dari hubungan bank dengan
nasabah dalam sistem perbankan syariah adalah moral force dann tuntutan terhadap etika
usaha yang tinggi dari semua pihak. Hal ini selanjutnya akan mendukung prinsip kehati-
hatian dalam usaha bank maupun nasabah.
b. Peraturan Perbankan yang Berlaku Belum Sepenuhnya Mengakomodasi Operasioanal
Bank Syariah.
Karena adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional antara bank syariah
dan bank konvensional, ketentuan-ketentuan perbankan perlu disesuaikan agar memenuhi
ketentuan syariah sehingga bank syariah dapat beroperasi secara efektif dan efisien.
Ketentuan-ketentuan teresbut antara lain adalah hal-hal yang mengatur :
1) Instrumen yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas,
2) Instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan
tugas bank sentral,
3) Standar ukuntansi, audit, dan pelaporan,
4) Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian, dan sebagainya.
Ketentuan-ketentuan tersebut sangat diperlukan agar perbankan syariah menjadi elemen
dari sistem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan mampu
berkembang pesat bersaing dengan bank konvensional.
c. Jaringan Kantor Bank Syariah yang Belum Luas
Pengembangan jaringan kantor bank syariah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan
pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu, kurangnya jumlah bank syariah yang ada
juga menghambat perkembangan kerja sama antarbank-syariah. Kerja sama yang sangat
diperlukan antara lain berkenaan dengan penempatan dana antarbank dalam hal mengatasi
masalah likuiditas. Sebagai suatu badan usaha, bank syariah perlu beroperasi dengan
sekala yang ekonomis. Karenanya, jumlah jaringan kantor bank yang luas juga akan
meningkatkan efisiensi usaha. Berkembangnya jaringan bank syariah juga diharapkan dapat
menungkatkan kompetisi ke arah peningkatan kualitas pelayanan dan mendorong inovasi
produk dan jasa perbankan syariah.
d. Sumber Daya Manusia yang Memiliki Keahlian dalam Bank Syariah Masih Sedikit
Kendala di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan syariah
disebabkan karena sistem ini masih belum lama dikembangkan. Di samping itu, lembaga-
lembaga akademik dan pelatihan di bidang ini sangat terbatas sehingga tenaga terdidik dan
berpengalaman di bidang perbankan syariah, baik dari sisi bank pelaksana maupun dari
bank sentral (pengawas dan peneliti bank), masih sangat sedikit. Pengembangan sumber
daya manusia di bidang perbankan syariah sangat perlu karena keberhasilan
pengembangan bank syariah pada level mikro sangat ditentukan oleh kualitas menejemen
dan tingkat pengetahuan serta keterampilan pengelola bank. Sumber daya manusia dalam
perbankan syariah harus memilki pengetahuan yang luas di bidang perbankan, memahami
implementasi prinsip-prinsip syariah dalam praktik perbankan, serta mempunyai komitmen
kuat untuk menerapkannya secara konsisten. Dalam hal pengembangan bank syariah
dengan cara mengkonversi bank konvensional menjadi bank syariah atau membuka kantor
cabang syariah oleh bank umum konvensional, permasalahan ini menjadi lebih penting
karena diperlukan suatu perubahan pola pikirdari sistem usaha bank yang beroperasi secra
konvensional ke bank yang beroperasi dengan prinsip syariah.
2. Tujuan Pengembangan Syariah
Langkah yang diambil pemerintah untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat
dalam rangka mendukung program pemulihan dan pemberdayaan ekonomi nasional, selain
restrukturisasi perbankan, adalah dengan pengembangan sistem perbankan syariah. Tujuan
pengembangan perbankan syariah adalah untuk memenuhi hal-hal berikut
a. Kebutuhan Jasa Perbankan bagi Masyarakat yang Tidak Dapat Menerima Konsep Bunga
Dengan diterapkan sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan
konvensional, mobilisasi dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, terutama dari
segmen masyarakat yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan
konvensional.
b. Peluang Pembiayaan bagi Pengembangan Usaha Berdasarkan prinsip Kemitraan
Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan antarinvestor yang harmonis
(mutual investor relationship). Adapun dalam sistem konvensional, konsep yang diterapkan
adalah hubungan debitur dan kreditur yang antagonis (debtor to creditor relationship).
c. Kebutuhan Akan Produk dan Jasa Perbankan Unggulan
Sistem perbankan syariah memilki beberapa keunggulan komparatif berupa penghapusan
pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi
kegiatan spekulasi yang tidak produktif, dan pembiayaan yang ditujukan pada usaha-usaha
yang memperhatikan unsur moral (halal).
3. Strategi Pengembangan Bank Syariah
Strategi pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk meningkatkan kompetensi
usaha yang sejajar dengan sistem perbankan konvensional yang dilakukan secara
komprehensif dengan mengacu pada analisis kekuatan dan kelemahan perbankan syariah di
indonesia saat ini. Upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan keahlian sumber daya
manusia, penyempurnaan ketentuan, dan program sosialisasi. Fokus utama strategi
pengembangan sistem perbankan syariah meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Penyempurnaan Ketentuan
Upaya yang dilakukan adalah penyesuaian perangkat dasar Undang-undang Bank Sentral,
Undang-undang Perbankan, dan penyusunan perangkat-perangkat ketentuan pendukung
kegiatan operasional bank syariah, dalam undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang
perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, telah diterapkan pasal-pasal yang
membuka peluang pengembangan yang lebih luas tentang bank syariah, pasal-pasal dalam
undang-undang tersebut yang berhubungan dengan syariah, selanjutnya akan dituangkan
dalam surat-surat keputusan Direksi Bank Indonesia yang mengatur seluruh kegiatan
operasional bank syariah. Dengan adanya ketentuan yang mendukung, diharapkan bank
syariah akan dapat beroperasi secara optimal dan memilki daya saing yang tinggi.
Strategi pengembangan pengaturan bank syariah diarahkan untuk menciptakan sistem
perbankan syariah yang sehat dan dapat berperan sebagai lembaga intermediasi secara
optimal dengan dukungan hal-hal berikut.
1) Struktur perbankan syariah yang dapat mengakomodasi sisi penghimpunan dana dan
pembiayaan secara harmonis. Untuk itu, pengembangan ketentuan mengenai struktur perlu
senantiasa mengacu pada analisis risiko yang meliputi:
a) Struktur permodalan yang kuat, tetapi tidak terkonsentrasi pada satu pihak atau
kelompok tertentu;
b) Struktur organisasi dengan sumber daya yang tangguh;
c) Struktur operasional dengan kebijakan dan pelaksanaan usaha yang berlandaskan pada
prinsip kehati-hatian dan praktik perbankan yang sehat.
2) Sistem pengawasan dan pembinaan yang efektif dalam rangka mewujudkan iklim yang
kondusif serta dapat melindungi kepentingan masyarakat.
b. Pengembangan Jaringan Bank Syariah
Pengembangan jaringan perbankan syariah, terutama ditujukan untuk menyediakan akses
yang lebih luas kepada masyarakat dalam mendapatkan pelayanan jasa bank syariah.
Selain itu, dengan semakin berkembangnya jaringan bank syariah, akan mendukung
pembentukan pasar uang antarbank yang sangat penting dalam mekanisme operaisonal
perbankan syariah sehingga dapat berkembang secara sehat.
Pengembanganjaringan perbankan syariah dilakukan melalui cara-cara berikut.
1) Peningkatan kualitas Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
yang telah beroperasi.
2) Perubahan kegiatan usaha bank konvensional (total convertion) yang memilki kondisi
usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip
syariah.
3) Pembukaan kantor cabang syariah (full branch) bagi bank konvensional yang memilki
kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan
prinsip syariah. Pembukaan kantor cabang syariah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
(a) Pembukaan kantor cabang dengan mendirikan kantor cabank baru;
(b) Perubahan kantor cabang yang ada menjadi kantor cabang syariah;
(c) Peningkatan status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang syariah.
c. Pengembangan Piranti Moneter
Penyusunan piranti moneter dilakukan dalam rangka mendukung kebijakan moneter dan
kegiatan usaha bank syariah. Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha bank syariah maka
pembentukan piranti ini diharapkan dapat membantu pengembangan pasar uang antarbank
syariah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Yang dimaksud dengan Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
adalah memberikan kredit dan jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang
yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yaitu mengacu kepada
ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan Hadits.
2. Yang menjadi dasar hukum bank syariah di indonesia yaitu undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan, dan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia.
3. Yang menjadi ketentuan Pelaksanaan Bank Indonesia terhadap Bank syariah di indonesia
sejak diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 adalah :
a. PBI No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi
Bank umum yang Melakukan kegiatan Usaha berdasarkan prinsip syariah.
b. PBI No. 28/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah.
c. PBI No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia
d. PBI No. 4/1/PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional
menjadi Bank Umum Berdasarkan Syariah dan pembukaan Kantor Berdasarkan Prinsip
Syariah oleh Bank Umum Konvensional
e. PBI No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Bagi Bank Syariah,
Berikut Prnjrlasannya.
f. PBI No. 5/7/PBI/2003 tentang Aktiva Produktif Bagi Bank Syariah.
g. PBI No. 5/7/PBI/2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva bagi Bank Syariah.
B. Saran
1. Kepada Pemerintah dan Bank Indonesia, dalam mengembangkan bank syariah hendaknya
melaksanakan kegiatan sosialisasi mengenai perbankan syariah kepada kalangan
perbankan, masyarakat umum, dan ulama. Upaya sosialisasi ini sangat penting mengingat
masih sangat terbatasnya informasi mengenai prinsip dan operasional bank syariah yang
dimiliki masyarakat, bahkan dikalangan perbankan sekalipun.
2. Dalam proses pengembangan Bank Syariah hendaknya memperhatikan sumber daya
manusia karena sumber daya manusia merupakan tulang punggung keberhasilan program
pengembangan bank syariah jadi hendaknya kepada Bank Indonesia untuk melakukan
kegiatan pelatihan dan pendidikan sumber daya manusia di bidang perbankan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia. Cet. 3. Jakarta: Kencana, 2006.
Kuncoro, Mudrajad. dan Suhardjono. Manajemen Perbankan Teori dan aplikasi, Cet. 1.
Yogyakarta: BPFE, 2002.
Saeed, Abdullah. Penerjemah Maftuhin, Arif. Menyoal Bank Syariah : kritik Atas Interpretasi
Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis. Jakarta: Paramadina, 2004.
Syafii Antonio, Muhammad. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Cet. 1. jakarta: Gema Insani
Press, 2001
Umam, Khaerun. Diktat Hukum Perbankan. Tarakan. Universitas Borneo, 2006.
Diposkan oleh DENIDA di Sabtu, Juli 17, 2010
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
My Facebook
Deden Anas Aconk Lebazz
Buat Lencana Anda
Kursor
MUKUHSATLUKA
Top Related