BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai penganut paham negara kesejahteraan (welfare state) tentunya
Pemerintahan Negara Indonesia tampil aktif untuk ikut campur dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Tugas administrasi negara dalam welfare state ini
menurut Lemaire adalah bestuurszorg yaitu menyelenggarakan kesejahteraan
umum. Menurut Budi Ispriyarso, untuk mencapai tujuan negara kesejahteraan
tersebut diperlukan berbagai sarana pendukung. Dalam hal ini salah satunya
adalah sarana hukum, khususnya Hukum Administrasi Negara.
Sarana hukum administrasi negara diperlukan untuk memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat dari segala perbuatan administrasi
negara, dan disamping itu pada dasarnya juga memberikan perlindungan hukum
bagi administrasi negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya.
Dengan kata lain Hukum Administrasi Negara memberikan batasan-batasan
keabsahan bagi perbuatan yang dilakukan oleh administrasi negara dan menjamin
keadilan bagi masyarakat yang haknya dirugikan oleh perbuatan administrasi
negara tersebut.
Mekanisme perlindungan hukum ini penting karena di dalam kehidupan
masyarakat sering ditemui permasalahan atau sengketa antara individu, baik
perorangan maupun kelompok, dengan Pemerintah yang berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan dan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat
KTUN) yang dikeluarkan oleh Pejabat administrasi negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 (selanjutnya disingkat UU PTUN 2004) junto Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya
disingkat UU PTUN 1986) menyebut sengketa tersebut sebagai sengketa TUN.
Sengketa TUN muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata merasa
dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana diketahui
bahwa, Pejabat TUN dalam fungsi menyelenggarakan kepentingan dan
1
kesejahteraan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan,
sehingga tidak menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian.
Dalam UU PTUN 1986 dikenal ada dua jalur penyelesaian sengketa TUN
yaitu: (1) melalui upaya administratif; (2) melalui gugatan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara. Menurut Indroharto, upaya administrasi merupakan prosedur yang
ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan
sengketa TUN yang dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri (bukan oleh
peradilan yang bebas) yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding
administratif. Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku
tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa TUN tersebut melalui Upaya
Administratif, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat
mengajukan gugatan ke PTUN atau dengan kata lain Pengadilan baru berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan. Subjek atau pihak-pihak yang
berperkara di PTUN menurut UU PTUN ada 2 pihak, yaitu: (1) Pihak penggugat,
yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan dengan dikeluarkannya KTUN oleh Badan atau Pejabat TUN baik di
pusat atau di daerah. (2) Pihak tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau yang dilimpahkan kepadanya.
Adanya PTUN dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman
kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan antara Badan atau Pejabat TUN
dengan masyarakat. Selain untuk memberikan pengayoman atau perlindungan
hukum bagi masyarakat, ditegaskan pula bahwa keberadaan PTUN adalah untuk
membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang TUN, agar
mampu menjadi alat yang efisien, efektit, bersih, serta berwibawa, dan yang
dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi
semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat.
Penyelesaian sengketa TUN, baik menurut UU PTUN 1986 maupun UU
PTUN 2004 adalah dalam kerangka Negara Hukum Indonesia. Negara hukum
2
yang dimaksud adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
sebagaimana hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam UU PTUN 2004 dengan
menyatakan bahwa PTUN merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Semua peraturan mengenai pelaksanaan kegiatan TUN termasuk badan-
badan dan aparaturnya sudah ditetapkan oleh pemerintah. Namun sengketa dalam
pelaksanaannya masih sering terjadi. Untuk itu, pemerintah membentuk dan
mensahkan UU tentang PTUN sebagai dasar pengaturan terhadap peradilan Tata
Usaha Negara.
Kebebasan bertindak yang dimiliki pemerintah terkadang harus memasuki
kehidupan privat masyarakat. Dalam beberapa hal sangat mungkin terjadi satu
persinggungan antara kepentingan Negara dengan masyarakat. Pada Negara
hukum yang baik, kepentingan masyarakat ataupun privat harus dilindungi dan
tidak biasa diabaikan hanya karena alesan kepentingan umum ataupun
pembangunan. Untuk menjamin adanya perlindungan dan penyeimbangan antara
hak privat masyarakat serta hak publik, dalam hal ini dilaksanakan oleh pejabat
atau badan TUN, maka dibutuhkan hukum yang mengaturnya. Hukum ini
membuat suatu lembaga yang dinamakan PTUN sebagai lembaga peradilan itu.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian kami, antara lain:
1. Bagaimana latar belakang terjadinya kasus Pelanggaran Kode Etik
Pegawai KPUD Kota Depok?
2. Bagaimana proses penyelesaian Kasus Pelanggaran Kode Etik Pegawai
KPUD Kota Depok?
3. Bagaimana analisis pasal-pasal yang berhubungan dengan Kasus
Pelanggaran Kode Etik Pegawai KPUD Kota Depok?
3
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Mengetahui latar belakang terjadinya Kasus Pelanggaran Kode Etik
Pegawai KPUD Kota Depok.
2. Mengetahui proses penyelesaian Kasus Pelanggaran Kode Etik Pegawai
KPUD Kota Depok.
3. Mengetahui pasal-pasal yang berhubungan dengan Kasus Pelanggaran
Kode Etik Pegawai KPUD Kota Depok
D. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup permasalahan yang menyangkut
Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan Tata Usaha Negara disini adalah
contoh dari kasus yang kami ambil yaitu tentang Kasus Pelanggaran Kode Etik
Pegawai KPUD Kota Depok.
4
BAB II
KAJIAN TEORI
`
A. Peradilan Tata Usaha Negara Secara Umum
1. Sejarah Dibentuknya PTUN
Dari sudut sejarah ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah
untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan
pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial
control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi
(mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of
power).
Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986
Tentang PTUN yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan
lembaga PTUN yang professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol
yudisialnya. Namun, perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan
dengan das sein, salah satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan,
Pengadilan Tata Usaha Negara bisa dikatakan belum profesional dan belum
berhasil menjalankan fungsinya.
Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering
tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak
ada sanksi hukumnya serta dukungan yangyang menyebabkan inkonsistensi
sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum
karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag
gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri
urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak
membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan
5
Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut
diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun
2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik
karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa
dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU
No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia
melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar
sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratife, lemah dari prinsip-prinsip
hukum administrasi negara.
Eksekusi Putusan PTUN juga seringkali tertunda karena adanya upaya
banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim
menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN
berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya
dilaporkan kepada Presiden. Sejarah Pengadilan Tata Usaha Negara di
IndonesiaPada masa Hindia Belanda, tidak dikenal Pengadilan Tata Usaha Negara
atau dikenal dengan sistem administratief beroep. Hal ini terurai dalam Pasal 134
ayat (1) I.S yang berisi:
1. Perselisihan perdata diputus oleh hakim biasa menurut Undang-Undang;
2. Pemeriksaan serta penyelesaian perkara administrasi menjadi wewenang
lembaga administrasi itu sendiri.
Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950,
dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:
1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;
2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang
penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan
Khusus.
Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 10
undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara.
6
Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara
semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dimana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa, memutus dan
menyelesaikan suatu perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan
Tata Usaha Negara, setelah ditempuh upaya administratif.
2. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan
perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan
hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan
(inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan
sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan
pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya
perlindungan hukum yangyang didasarkan pada diskresi. Dalam kajian Hukum
Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi Negara
(Peradilan Tata Usaha Negara) adalah: defenitif, artinya perlindungan hukum
preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil
keputusan.
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari
hak- hak individu.
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking)
dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya
administrasi dan melalaui peradilan. Menurut Sjahran Basah perlindungan hukum
yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakan hukum.
7
Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk merealisasikan
fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah:
a) Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk
masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara;
b) Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa;
c) Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
d) Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi
negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat;
e) Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara
maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk
mendapatkan keadilan.
3. Prosedur Beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Objek sengketa dalam PTUN adalah keputusan tertulis pejabat
administrasi negara (beschikking). Seperti diketahui, seorang pejabat administrasi
negara mempunyai kewenangan melakukan freis ermessen berdasarkan
kewenangan yang dimilikinya. Freis ermessen tersebut akan berbentuk
beschikking yang berlaku secara konkrit, individual dan final bagi orang atau
badan hukum yang merugikan sasaran keputusan tertulisnya. Untuk mengontrol
hal itulah, maka PTUN dibentuk, yaitu sebagai sarana bagi masyarakat untuk
melindungi kepentingan individunya dari kekuasaan pemerintah. Dimaksud dalam
hal ini karena pejabat administrasi mempunyai kewenangan, maka tidak tertutup
kemungkinan ia akan melakukan sesuatu.
Setiap keputusan TUN (KTUN) dapat digugat oleh individu/badan hukum
perdata, yang terkena dampak langsung dari KTUN tersebut. Gugatan tersebut
dapat diajukan melalui dua cara, yang pertama melalui upaya administratif (Pasal
48 UU No. 9 Tahun 2004) atau melalui PTUN (Pasal 50 UU No. 9 Tahun 2004).
Bagi sengketa yang diajukan melalui PTUN, terhadap putusannya dapat dilakukan
upaya banding melalui PT TUN (Pasal 51 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004)
8
sedangkan bagi sengketa yang diajukan melalui upaya administratif, penyelesaian
melalui lembaga peradilan dapat langsung diajukan ke PT TUN (Pasal 51 ayat (3)
UU No. 9 Tahun 2004) dan terhadap kedua upaya hukum ini dapat dilakukan
kasasi melalui Mahkamah Agung (Pasal 5 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004).
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Kenyataan Seperti telah dikemukakan
diatas mengenai tujuan PTUN, yaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak
rakyat yang bersumber dari hak- hak individu dan memberikan perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari
individu yang hidup dalam masyarakat tersebut, seringkali terhambat dengan
proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
Hal ini terlihat jelas pada tahun 2001 dalam kasus gugatan administrasi
empat orang mahasiswa Universitas Indonesia terhadap SK Rektor Universitas
Indonesia yang menetapkan sanksi berupa skorsing selama dua semester bagi
keempat mahasiswa tersebut. Dalam putusannya PTUN mengabulkan gugatan
keempat mahasiswa UI dan memerintahkan pembatalan SK Rektor UI tersebut.
Tetapi Rektor UI mengajukan banding, dimana pada tingkat banding PT TUN
mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan PTUN sebelumnya. Namun
Rektor UI tetap mempertahankan SK tersebut dengan mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. MA dalam putusannya kembali memenangkan keempat
mahasiswa UI tersebut dan memerintahkan Rektor UI untuk membatalkan SK-
nya. Namun, karena proses peradilan yang sampai pada tingkat kasasi itu
memakan waktu selama masa skorsing keempat mahasiswa tersebut, pada
akhirnya, putusan MA pun menjadi sia-sia dan SK sudah tidak dapat dibatalkan.
Dengan demikian, putusan MA tidak memberikan akibat hukum yang nyata bagi
keempat mahasiswa itu.
Kasus diatas menunjukkan bahwa pengadilan administrasi negara tidak
mampu menyelesaikan sengketa administrasi dengan cepat sehingga tujuan untuk
melindungi hak-hak individu masyarakat menjadi tidak tercapai. Ironisnya,
hambatan dalam mencapai tujuan pembentukan PTUN ini berasal dari upaya
pembuat undang-undang untuk menyediakan kesempatan bagi berbagai pihak
9
untuk mencari penyelesaian yang paling adil dari suatu sengketa melalui upaya
hukum.
HAN yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi)
ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power). Eksistensi
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
khusus yakni, Undang-Undang No.5 Tahun 1986 Tentang PTUN yang kemudian
dirubah dengan Undang-Undang No.9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
dirasa sudah memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang
professional guna menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Namun,
perlu disadari bahwa das sollen seringkali bertentangan dengan das sein, salah
satu contohnya terkait dengan eksekusi putusan, Pengadilan Tata Usaha Negara
bisa dikatakan belum profesional dan belum berhasil menjalankan fungsinya.
Sebelum diundangkannya UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering
tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak
ada sanksi hukumnya serta dukungan yangyang menyebabkan inkonsistensi
sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum
karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag
gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri
urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak
membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan
Pejabat tak bisa dirampas. Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut
diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun
2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik
karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa
dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU
No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia
melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar
sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif, lemah dari prinsip-prinsip
hukum administrasi negara.
10
B. Proses Pengajuan Gugatan ke PTUN
1) Pengajuan Surat Gugatan
Berdasarkan pasal 53 ayat 1 jo pasal 1 butir 4 UU 5/1986, maka dapat
disimpulkan bahwa gugatan pada Peradilan TUN (Peratun) adalah suatu tuntutan
hukum yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata terhadap badan atau
pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan TUN, yang merugikan kepentingan
orang atau badan hukum perdata tersebut dengan permintaan supaya Peratun
menyatakan batal atau tidak sah keputusan TUN tersebut atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.
Gugatan yang telah disusun/dibuat oleh penggugat atau kuasanya,
kemudian didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang sesuai dengan
ketentuan pasal 54 UU 5/1986. Setelah itu oleh panitera mengadakan penelitian
administratif baik administrasi yang diharuskan penggugat dalam mengajukan
gugatan (misal: membayar persekot biaya dll), serta teradap surat gugatannya
sudah memenuhi pasal 56 atau belum. Menurut pasal 56 UU 5/86, pada pokoknya
gugatan harus memenuhi sebagai berikut:
1. Syarat formil, yang berisi identitas penggugat, tergugat maupun
kuasanya
2. Syarat materil:
a. Dasar gugatan / posita gugatan
b. Tuntutan (petitumi)
Bahwa gugatan tidak dapat diajukan setiap waktu kehendak penggugat
karena dalam pasal 55 jo 3 UU 5/1986 telah membatasi secara limitatif. Apabila
yang digugat berupa keputusan TUN (keputusan positif kongkit) maka gugatan
hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak
diumumkan atau diterimanya surat keputusan TUN.
Hal tersebut akan menimbul masalah apabila surat keputusan tersebut
merugikan kepentingan pihak ketiga. Terhadap permasalah ini, untuk memenuhi
kebutuhan praktek di peratun, MARI telah mengeluarkan SEMA no 2 tahun 1991,
yang pada pokoknya menyatakan bahwa perhitungan tenggang waktu dihitung
secara kausitis, yaitu 90 hari sejak saat pihak ketiga mengetahuinya.
11
Apabila obyek sengketa berupa keputusan TUN yang bersifat fiktif
permohonan sebagaimana perhitungan tenggang waktu berdasarkan pasal 3 ayat 2
dan 3 UU 5/1986 dengan cara sebagai berikut :
a. Tenggang waktu 90 hari sejak lewat tenggang waktu proses
permohonan sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan dasarnya.
b. Tenggang waktu 90 hari dihitung sejak lewat waktu 4 (empat) bulan
sejak tanggal diterimanya permohonan.
2) Prosedur Dismissal
Prosedur dismissal adalah suatu proses penelitian terhadap gugatan yang
masuk di PTUN yang dilakukan oleh Ketua pengadilan.
Setelah dilakukan penelitian administratif oleh panitera maka tahap
selanjutnya adalah prosedur dismissal yang eksistensinya serta alasan-alasannya
diatur dalam pasal 62 UU no 5 /1986/ dalam pasal 62 tersebut tidak mengatur
secara terperinci tentang tata cara dalam prosedur dismissal, maka Mahkamah
Agung didalam SEMA no 2 tahun 1991, pada pokoknya menyatakan :
1. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat menunjuk Hakim
sebagai reportir.
2. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan atau
dilaksanakan secara singkat.
3. Ketua pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan
para pihak sebelum menentukan penetapan dismissal aapbila diangap
perlu.
4. Penetapan dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak dapt diterima atau
tidak berdasar dan tanda tangani oleh ketua dan panitera.
5. Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum
hari pesidangan ditentukan dengan memanggil kedua pihak untuk
mendengarkannya.
12
Terhadap penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan dapat dilakukan
upaya hukum perlawanan yang diatur dalam pasal 63 ayat 3, yang pada pokoknya
sebagai berikut :
1. Tenggang waktu perlawanan adalah 14 hari sejak penetapan dismissal
diucapkan
2. Perlawanan diajukan sesuai pasal 56, diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan dengan acara singkat
3. Dalam hal perlawanan dibenarkan maka penetapan dismissal gugur demi
hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan
menurut acara biasa
4. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya
hukum
3) Penundaan
Menurut pasal 67 ayat 1 UU 5/1986 yang pada pokoknya bahwa gugatan
tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan TUN serta tindakan
badan atau pejabat TUN yang digugat. Apabila ketentuan tersebut dilaksanakan
maka gugatan Penggugat (misalnya: perintah bongkar) yang tetap dilaksanakan
sehingga untuk menggugat tidak ada artinya lagi. Oleh karena itu sebagai
kompensasinya perlu adanya lembaga penundaan (vide pasal 67 UU 5/1986).
Permohonan penundaan terhadap pelaksanaan obyek sengketa oleh pihak
penggugat dapat dilakukan dengan cara :
1. Diajukan bersama-sama dalam surat gugatan
2. Dibuat tersendiri tetapi pengajuannya bersama-sama dengan pengajuan
surat gugatan,
3. Diajukan pada saat proses gugatan berjalan, baik secara tertulis maupun
lisan
Yang berwenang menerbitkan penetapan atas permohonan penundaan
adalah :
1. Apabila permohonan tersebut masih dalam tahap penelitian administratif
dan proses dismissal maka yang berwenang adalah Ketua Pengadilan
13
2. Apabila gugatan tersebut telah dilimpahkan kepada Majelis Hakim/Hakim
maka yang berwenang adalah Majelis Hakim/Hakim
Upaya hukum atas penetapan penundaan, maka pihak tergugat
menyampaikan sanggahan kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim/Hakim,
yang pada pokoknya bahwa tindakan tergugat mengeluarkan keputusan TUN
tidak bertentangan dengan pasal 67 ayat 4 UU 5/1986.
Dalam praktek yang sering menimbulkan permasalahan adalah apabila
pihak tergugat tidak mau melaksanakan penetapan penundaan. Apabila hal
tersebut terjadi, maka tembusannya kepada Ketua MARI, menteri Kehakiman
(Kumdang), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI (Surat MENPAN no. B
471.4.1991 tanggal 28 Mei 1991 tentang pelaksanaan putusan Pengadilan TUN),
sesuai yang tercantum dalam SEMARI no 2 tahun 1991.
4) Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam UU no 5/1986 Hakim/Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa
TUN dapat dilakukan melalui 3 (tiga) acara pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan acara singkat
2. Pemeriksaan acara cepat
3. Pemeriksaan acara biasa
a.d.1. Pemeriksaan Acara Singkat
pemeriksaan acara singkat yang diperiksa bukan mengenai pokok
sengketa, melainkan baru mengenai perlawanan sesuai yang diatur dalam pasal 62
dan 118 UU 5/1986, yang dapat disimpulkan bahwa pemeriksan dengan acara
singkat dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
a. Gugatan perlawanan atas penetapan Ketua PTUN (pasal 62 ayat 3, 4, 5 dan 6
UU no 5/1986)
b. Gugatan perlawanan oleh pihak ketiga terhadap pelaksanaan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 118 UU 5/1986)
Acara pemeriksan singkat terhadap gugatan perlawanan baik dari pihak
penggugat asal maupun pihak ketiga tidak diatur secara terperinci seperti yang
diatur dalam pemeriksaan cepat dan bisa, sehingga dalam praktek ada beberapa
pendapat, ada yang mengatakan harus melalui proses persidangan seperti dalam
14
acara biasa. Dan sebagian besar mengatakan cukup dalam ruang permusyawaratan
dalam sidang yang tertutup dan para pihak diberi kesempatan untuk
menanggapinya, sedang putusannya diucapkan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum.
a. Pemeriksaan Persiapan
Pemeriksan persiapan diatur dalam pasal 63 UU 5/1986, yang pada
pokoknya bahwa sebelum pemeriksan pokok sengketa, Hakim wajib mengadakan
pemeriksan persiapan guna melengkapi surat gugatan yang belum jelas. Hakim
wajib memberi saran dan nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki
gugatannya dengan melegnkapi data-datanya dalam jangka waktu 30 hari, dan
dimungkinkan meminta penjelasan dari pihak tergugat. Apabila dalam tenggang
waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan dan menyerahkan perbaikan
gugatan, maka dapat dinyatakn dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima. Terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukumnya, tetapi dapat
diajukan gugatan baru.
UU No 5/1986 tidak mengatur tata cara pemeriksaan, oleh akrena itu
untuk memenuhi kebutuhan praktek MARI telah mengeluarkan beberapa Surat
Edaran dan Juklak, yaitu :
a) SEMARI no 2 tahun 1991 tanggal 9 juli 1991
b) Surat MARI no 052/Td TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992
c) Surat MARI no 224/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
d) Surat MARI no 222/Td. TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
Dari surat MARI tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a) Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruang musyawarah dalam sidang
tertutup bisa diruang Hakim dengan tanpa memakai toga
b) Pemeriksan dapat dilakukan oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh
Ketua Majelis
c) Dapat dilakukan mendengar keterangan Penggugat, tergugat serta
Pejabat TUN lainnya atau pihak ketiga yang dianggap perlu.
b. Persidangan Terbuka Untuk Umum
15
Dalam persidangan yang terbuka untuk umum dipimpin oleh Ketua
Sidang, dan dalam proses pemeriksaan ini pada pokoknya ada beberapa tahap:
a) Tahap Jawab Jinawab, pada tahap ini terdiri pembacaan gugatan,
jawaban tergugat, replik dan duplik
b) Tahap Pembuktian
Sesuai salah satu ciri khusus hukum acara Peratun, dimana peranan Hakim
aktif karena dibebani untuk mencari kebenaran material (pasal 63, 80, 85, 95 dan
103 UU 5/1986), maka sistem pembuktian kepada pembuktian bebas yang
terbatas.
Menurut pasal 107 Hakim menentukan apa yang dibuktikan beban
pembukatian besrta penilaian pembukatian, tetapi dibatasi pasal 100 yang
menentukan secara liminatif alat-alat bukti yang dapat digunakan, yaitu : surat
atau tulisan, keterangan saksi ahli, saksi biasa, pengakuan para pihak dan
pengetahuan Hakim
Disamping itu dalam pasal 85 memungkinkan Hakim dapat secara aktif
mencari bukti-bukti yang ada ditangan pejabat TUN.
Setelah tahap pembuktian selanjutnya adalah kesimpulan yang dibaut oleh
masing-masing pihak, kemudian sebagai tahap terahkir adalah putusan yang cara
pengambilan putusan diatur dalam pasal 97 dan bentuk serta isi putusan diatur
dalam dan 109 ayat 1 UU 5/1986.
5) Intervensi
Dalam rangka melindungi kepentingan pihak ketiga, maka dalam pasal 83
memberi kesempatan masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang
berjalan. Pihak ketiga (intervent) yang mempunyai kepentingan dapat masuk
dalam proses perkara bertindak sebagai :
1. Pihak ketiga yang membela haknya atas perkara sendiri, dibedakan :
a. Pihak ketiga yang tidak berpihak pada salah satu pihak. Apabila pihak
ketiga atas kemauannya sendiri akan ikut berproses dalam perkara,
sedang kepentingannya tidak paralel dengans alah satu pihak
melainkan hanya memperjuangkan haknya (Tuussemkomt).
16
b. Pihak ketiga yang dengan kemauannya sendiri akan masuk dalam
perkara dan kepentingannya paralel dengan salah satu pihak maka
akan bergabung dnegan salah satu pihak (Voeging)
2. Masuknya pihak ketiga atas perkarsa salah satu pihak
Apabila dalam suatu perkara yang sedang berjalan para pihak merasa
berkepentingan untuk menarik pihak ketiga agar menjamin/mendukung
kepentingannya (Vrywaring). Disini kepentingan dari salah satu pihak paralel
denagan kepentingan pihak ketiga.
3. Masuknya pihak ketiga atas perkarsa Hakim
Apabila dalam proses pemeriksaan baik dari tahap dismissal, persiapan
maupun persidangan penyelesaian inisiatif para pihak maka Hakim dalam rangka
untuk mencapai penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta
untuk memperoleh kebenaran material dan melindungi kepentingan pihak ketiga
agar ditarik masuk sebagai pihak ketiga untuk bergabung denagn salah satu pihak
atau berdiri sendiri.
Peraturan mengenai intervensi sangat minim dan bersifat umum sehingga
dalam praktek timbul permasalahan dalam penerapan dan penafsiran pasal 83
khususnya bergabungnya pihak ketiga yang terdiri dari orang atau badan hukum
perdata yang kepentingannya paralel dengan tergugat dan berkedudukan sebagai
tergugat intervensi.
Dalam praktek kebanyakan Hakim lebih cenderung memberi kesempatan
pihak ketiga berkedudukan sebagai tergugat intervensi dengan pertimbangan
dalam rangka penyelesaian sengketa yang cepat, tepat dan biaya ringan serta
mencari kebenaran material serta memberi perlindungan kepada pihak ketiga akan
tetapi kasuitis. Dan batas waktu mengajukan permohonan intervensi telah
dipertegas dalam Juklak MARI no 52/Td. TUN/III/1992, yaitu pihak ketiga dapat
masuk dalam suatu perkara sampai pada acara duplik.
6) Putusan
Dalam suatu pemeriksaan sengketa di PTUN sudah selesai maka tahap
akhir dari penyelesaian sengketa adalah putusan. Putusan merupakan hasil
musyawarah majelis Hakim dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
17
umum yang tata caranya diatr dalam pasal 97, dan putusan harus memenuhi syarat
formil yang dituangkan dalam pasal 109 UU5/1986.
Putusan pengadilan TUN dapat berupa :
1. Gugatan gugur (pasal 71)
2. Gugatan tidak dapat diterima (pasal 77)
3. Gugatan ditolak
4. Gugatan dikabulkan
a. Seluruhnya
b. Sebagian
Apabila gugatan dikabulkan dapat dibebani kewajiban bagi tergugat
berupaya :
1. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau
2. Pencabutan keputusan TUN dan menerbutiak keputusan TUN yang baru
atau
3. Penerbitan keputusan TUN dalam hal didasarkan pasal 3
4. Pembebanan ganti rugi
5. rehabilitasi
Perihal putusan yang sering menimbulkan maslah dalam praktek adalah
menyangkut pelaksanaan (eksekusi). Putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap yang dapat dilaksanakan, dan pelaksanaan putusan Peraturan
tidak dikenal pelaksanaan putusan riel, akan tetapi pelaksanaannya hanya secara
administratif, dan Ketua PTUN wajib mengawasi pelaksanaan putusan (pasal
119).
Pelaksanaan putusan oleh penulis dibedakan menjadi 3 (tiga) :
a. Eksekusi Sukarela, apabila pihak tergugat setelah menerim pemberitahuan
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam kemauannya
sendiri melaksanakan diktum putusan
b. Eksekusi otomatis, apabila setelah 4 (empat) bulan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap telah dikirim kepada tergugat dan
tergugat tidak mau melaksanakan kewajiban pencabutan keputusan TUN,
18
maka keputusan TUN tersebut dengan sendirinya tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi
c. Eksekusi Hirachis, apabila dalam putusan pihak tergugat dibebani
kewajiban selain pencabutan keputusan TUN dan pihak tergugat tidak mau
melaksanakannya, maka atas permohonan penggugat, Ketua PTUN
dengan surat resmi memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan.
Jika tergugat tidak melaksanakannya, maka Ketua PTUN memerintahkan
eksekusi melalui instansi atasannya menurut jenjang jabatan sampai pada
batas akhirnya ke Presiden (pasal 116 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU 5/1986).
Apabila ada putusan yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna, yaitu
bila ada kewajiban rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian tidak bisa
dilaksanakan dikarenakan jabatan tersebut telah terisi, maka pihak tergugat dapat
dibebani membayar sejumlah uang atau kompensasi lainnya (pasal 117 dan 121
UU 5/1986). Mengenai besarnya uang kompensasi dan ganti rugi ditentukan
dalam Peraturan Pemerintah no 43 tahun 1991 dan peraturan pelaksanaannya
yaitu Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1129/KMK.01/1991.
Sumber :
http://nurindahutami.wordpress.com/2013/02/15/proses-pengajuan-gugatan-ke-
ptun/
C. Alasan Suatu Perkara diajukan ke PTUN
Pasal 53 ayat 2 UU PTUN menyebutkan ada tiga alasan menggugat suatu
KTUN ke Pengadilan Tata Usaha Negara
1. KTUN yang diajukan gugatan bertentangan dengan perundang-undangan
yang berlaku
a. KTUN tersebut bertentangan dengan ketentuaan dalan perundangan yang
bersifat formil/ procedural.
b. KTUN tersebut bertentangan dengan ketentuaan dalan perundangan yang
bersifat Materiil / Subtansial
c. KTUN tersebut dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan Usaha Negara yang
tidak berwenang
19
2. Badan atau pejabat tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain dari maksud yang diberikannya wewenang tersebut ( KTUN
yang dikeluarkan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
3. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 setelah mempertimbangkan semua
kepentingan yang tersangkut dalam keputusan itu seharusnya tidak sampai
pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut.
Dan yang tidak termasuk sebagai suatu KTUN yang dapat digugat
menurut Pasal 2 menurut Undang-Undang No 9 tahun 2004 adalah :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum
D. Syarat gugatan
1) Syarat Formal
Pasal 56 (1) UU no 5 tahun 1986 Jo UU no 9 tahun 2004 menentukan
bahwa suatu gugatan harus memuat
20
a. Identitas Penggugat
1). Nama lengkap Penggugat
2). Kewarganegaraan Penggugat
3). Tempat Tinggal penggugat
4). Pekerjaaan penggugat
b. Identitas Tergugat
1). Nama., Jabatan, Misalnya : Kepal Dinas…, Bupati…., Gubenur….
Menteri…, Camat…, Lurah….dan sebgainya
2). Tempat kedudukan tergugat
c. Tenggang waktu mengajukan gugatan
Gugatan terhadap suatu Keputusan/Penetapan tertulis atau yang disamakan
dengan itu, hanya dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak
keputusan itu:
a. Setelah diterima atau dikeluarkan SK.
b. Setelah 4 bulan dilakukan permintaan dikeluarkan SK.
c. Setelah banding administratif.
Sehubungan dengan masalah tenggang waktu mengajukan gugatan ini,
juga agar diperhatikan ketentuan dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No.
9 Tahun 2004, yakni dalam hal Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi kewajibannya, maka
setelah lewat jangka waktu yang diatur dalam perundang-undangan dimaksud
dapat diajukan gugatan Tata Usaha Negara. Peghitungan tenggang waktu
daluwarsa mengajukan gugatan dalam hal demikian, adalah sejak lewat waktu
yang diatur dalam perundang-undangan dimaksud dapat diajukan gugatan Tata
Usaha Negara. Perhitungan tenggang waktu daluwarsa mengajukan gugatan
dalam hal demikian, adalah sejak lewat waktu yang diatur dalam perundang-
undangan tersebut. Atau kalau tidak ada ketentuan tenggang waktu, maka setelah
lewat waktu tiga bulan.
d. Diberi Tanggal
Suatu gugatan biasanya diberi tanggal, hal ini berkaitan dengan tenggang
waktu untuk mengajukan gugatan. Dari tanggal surat gugatan akan diketahui
21
apakah gugatan sudah daluwarsa, maka hendaknya ada uraian dalam gugatan
tentang kapan keputusan yang digugat itu disampaikan atau diketahui oleh
Penggugat ini untuk menghilangkan daluwarsa, akan tetapi hal itu harus
dibuktikan kemudian dalam acara pembuktian Demikian juga gugatan yang
premature (belum saatnya diajukan gugatan) akan diketahui dari tanggal gugatan
itu.
e. Ditandatangani
Suatu surat gugatan haruslah ditanda tangani oleh Penggugat atau oleh
kuasanya yang sah untuk itu. Surat gugatan tidak perlu diberi materai, karena
biaya materai tersebut telah dihitung dalam biaya perkara (SEMA No. 2 Tahun
1991).
Syarat Material/Substansial:
Syarat material (substansial) suatu gugatan Tata Usaha Negara, meliputi :
1) Obyek Gugàtan
Dasar gugatannya: Keputusan TUN berupa
i. Penetapan tertulis Pejabat TUN (menyangkut formalnya dalam
pembuktian sèhingga memo/nota dapat memenuhi syarat tertulis, asalkan
jelas Pejabat yang mengeluarkan, isinya kepada siapa ditujukan.
ii. Berisikan tindakan hukum TUN (Mengeluarkan keputusan/Beschikking
yang bersifat Konkret (nyata tidak abstrak,misalnya keputusan
pengosongan rumah, ijin usaha atau pemecatan pegawai). Individual
(yang dituju perorangan, kalaupun umum maka nama-nama disebutkan).
Final (sudah definitive sehingga menimbulkan akibat hukum, kalau
masih memerlukan persetujuan atasan atau instansi lain belum
menunjukkan hak dan kuwajiban).
iii. Objek gugatan harus disebutkan secara jelas di dalam surat gugatan.
Misalnya dalam Perkara Tata Usaha Negara No. 01/G/l 994/PTUN-
MDN, tanggal 14 November 1994, objek gugatanya adalah Sertifikat
Tanali Hak Guna Bangunan (HGB) No. 22 tertanggal 7 Januari 1982 atas
nama M.KADIRAN.
22
2) Posita Gugatan
Posita atau dasar-dasar gugatan, berisikan dalil Penggugat untuk
mengajukan gugatan. yang diuraikan secara ringkas dan sederhana. Posita
ini, meliputi :
a. Fakta Hukum Fakta Hukum berisi fakta-fakta secara kronologis tentang
adanya hubungan hukum antara Penggugat dengan Tergugat maupun
dengan objek.gugatan. Dalam fakta hukum ini juga harus diuraikan kapan
keputusan yang menjadi obyek gugatan dikeluarkan, atau diberitahukan
kepada penggugat atau kapan mulai merasa kepentingan terganggu karena
adanya keputusan tersebut
b. Kualifikasi Perbuatan Tergugat, Dalam gugatan harus diuraikan secara
ringkas dan tegas serta jelas tentang kualifikasi kesalahan dari tergugat.
Sebagaiman dimaksud dalam pasal 53 (2) UU no 5 tahun 1986 Jo II No 9
tahun 2004 misalkan dalam perkara tata usaha Negara no 01/G/1994/
PTUN –MDN merumuskan kualifikasi perbuatan / kesalahan tergugat,
sebagai berikut:
Bahwa Perbuatan tergugatr menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan
(SHGB) No 22 tahun 1982 atas nama rektor universitas Grahandika
sedangkan tanah tersebut selama ini dikuassi oleh penggugat.tanpa adanya
ganguan dari pihak manapun adalah jelas sesuatu yang bertentangan
dengan hukum atau perbuatan yang sewenang-wenang yang sangat
merugikan penggugat
c. Uraikan Kerugian Penggugat
Seandainya akibat perbuatan tergugat menerbitkan keputusan yang
disengketakan itu telah menimbulkan kerugian bagi penggugat, maka hal
itu dapat digugat dalam Gugatan Tata Usaha Negara sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1991 ganti rugi itu maksimum sebesar
Rp. 15.000.000,-. (Lima Belas Juta Rupiah), oleh karenanya diuraikan
secara rinci tentang kerugian yang timbul tersebut.
23
d. Petitum
Adalah kesimpulan gugatan yang berisikan hal-hal yang dituntut oleh
penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Petitum itu umumnya meliputi
hal-hal sebagai berikut :
Mengabulkan/ menerima gugatan Penggugat seluruhnya
Menyatakan perbuatan Tergugat adalah perbuatan yang sewenwg-
wenang atau pernbutan yang bertentangan dengan Undang- Undang
Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan No…. Tanggal ……
yang dikeluarkan oleh tergugat:
Menghukun tergugat untuk membayar ganti kerugian sebesar
Rp……………. Kepada Penggugat (Jika ada)
Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya yang timbul
dalam perkara ini untuk semua tingkatan
Petitum (apa yang menjadi tuntutan/ yang diminta)
Ada 3 (tiga) alternatif:
Pembatalan atau menyatakan tidak sah SK yang dikeluarkan Tergugat.
Ganti rugi
Rehabilitasi
Bisa mengajukan penangguhan pelaksanaan SK
e. Dalam hal ada gugatan privisi maka hal tersebut harus diuraikan terlebih
dahulu setelah identitas para pihak dan objek gugatan diuraikan. Gugaatn
provisi itu dapat menyangkut tindakan tertentu yaitu: menunda
pelaksanaan keputusan Usaha Negara yang disengketakan sampai ada
putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Atau untuk
megizinkan penggugat berperkara secara prodeo atau Cuma-Cuma.atau
mungkin juga untuk meminta suatu perkara diperiksa dengan acara cepat,
Untuk itu harus dikemukakan alasan-alasanya dalam gugatan provisi
tersebut.
Sumber :
http://po-box2000.blogspot.com/2011/05/syarat-gugatan-ptun.html
24
PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Penyelesaian Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun
1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam
menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan
hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara,
dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.
Bentuk upaya administrasi:
i. Keberatan, yaitu Prosedur( upaya administrasi) yang dapat ditempuh oleh
seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN yang
penyelesaiaan sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut
dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat TUN mengeluarkan Keputusan
itu.
ii. Banding Administratif, yaitu Prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang
atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN yang
penyelesaiaan sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut
dilakukan oleh atasan dari Badan atau Pejabat TUN mengeluarkan
Keputusan itu. atau instansi lain dari Badan atau Pejabat TUN yang
mengeluarkan Keputusan yang tersebut.
Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada
kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui
Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pihak yang bersengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara
PENGGUGAT
25
Dalam ketentuan pasal 53 ayat (1) UU no 5 tahun 1986
dirumuskan bahwa Penggugat adaalh orang atau Badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang
berwenang yang berisiu tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi
Dari ketentuan tersebut dapat diketqahui bahwa dalam sengketa Tata Usaha
Negara, yang dapat bertindak sebagai penggugat adalah:
i. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan taata
Usaha Negara
ii. Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
Keputusan Tata Usaha Negara
iii. Berdasarkan yurisprudensi putusan hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara tanggal 9 desember 1994 Nomor 088/G/1994 Piutang/PTUN
Surabaya bahwa organisasi lingkungan dapat bertindak sebagai penggugat
dengan mengatasnamakan kepentingan umum jika organisasi tersebut
memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Tujuan dari organisasi ini tersebut memangn melindungi lingkungan
hidup atau menjaga kelestarian alam, tujaun ini harus tercantum dan
dapat dilihat dalam anggaran dasaqr organisasi yang bersangkutan
b. Organisasi tersebut harus berbentuk badan hukum atau yayasan.
c. Organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan
adanya kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang
secara nyata dimasyarakat.
d. Organisasi tersebut harus cukup representatif.
TERGUGAT
Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya.
26
i. Jika wewenang diberikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah
atribusi atau delegasi, maka yang menjadi Tergugat adalah badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang tersebut untuk
mengeluarkan KTUN yang disengketakan
ii. Jika wewenang yang diberikan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara itu adalah mandat, maka yang menjadi tergugat adalah Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang memberikan wewenang kepada Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan.
Sumber :
http://po-box2000.blogspot.com/2011/05/penyelesaian-sengketa-tata-usaha-
negara.html
27
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Latar Belakang kasus
Muhammad Hasan, S.Sos adalah ketua KPU Depok periode 2008 sampai
dengan 2013. Dalam melaksanakan proses pilkada di Kota Depok, KPU Kota
Depok telah menolak dukungan partai Hanura Kota Depok terhadap salah satu
pasangan calon yang diajukan oleh Partai Hanura, namun meloloskan pasangan
calon lainnya yang didukung oleh partai yang sama dengan pimpinan yang sama
pula. Dengan perkataan lain, Partai Hanura Kota Depok dalam pilkada Kota
Depok Tahun 2010 telah mendukung dua pasangan calon yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak diperkenankan, dengan kondisi ini KPU Kota Depok
harus memutuskan untuk menetapkan salah satu pasangan calon yang memenuhi
syarat administratif, yang secara objektif kondisi ini pada dasarnya merupakan
konflik internal partai.
Selanjutnya pihak yang telah ditolak tersebut, mengajukan pengaduan ke
Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu pada tanggal 27 Agustus 2012, yang
pada pokoknya mengadukan KPUD Kota Depok tidak mau melaksanakan
eksekusi keputusan mahkamah agung, yakni membatalkan surat KPUD nomor
18/R/KPU-Kota/011.329181/2010 tanggal 24 Agustus 2010 tentang Penetapan
Pasangan Calon dan Nomor Urut Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota
Kota Depok dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun
2010.
Pengaduan tersebut telah dilaksanakan dan dilakukan pencabutab
keputusan KPUD Kota Depok Nomor 18/R/KPU-Kota/011.329181/2010.
Selanjutnya pengaduan tersebut akhirnya oleh DKPP pada tanggal 17 Oktober
2012 telah diputus dengan amar putusan, yakni:
1. Menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tetap kepada Muhammad
Hasan dari keanggotaan KPU;
2. Memerintahkan kepada KPU Provinsi Jawa Barat untuk
menindaklanjuti putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara
28
Pemilihan Umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
3. Memerintahkan kepada KPU dan Banwaslu untuk mengawasi
pelaksanaan putusan yang telah dikeluarkan.
Berkenaan dengan permasalahan yang diajukan oleh pengadu kehadapan
DKPP, sebelumnya telah diperiksa dan diputus oleh Dewan Kehormatan KPU
Jawa Barat pada tanggal 31 Mei 2011, sehingga berlaku asas hukum bahwa
‘terhadap satu persoalan tidak boleh diperiksa dan diputus untuk kedua kalinya’
(asas ne bis in idem). Sehingga apabila diperiksa atau diputus oleh DKPP maka
bertentangan dengan pasal 112 ayat (8) UU No 22 Tahun 2007 tentang
penyelenggara Pemilu.
Selain itu, keputusan pemberhentian Muhammad Hasan, S.Sos.
bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Algemene
Beginselen Van Behoorlijk Bestuur) dan telah melanggar prinsip serta tidak
mengedepankan sikap kehati-hatian.
B. Proses Penyelesaian Kasus Sengketa
C. Analisis kasus
Berawal dari pemecatan terhadap Ketua KPU Kota Depok Sdr.
Muhammad Hasan akibat dari adanya sengketa pemilukada di Kota Depok pada
tahun2010 mengenai penetapan Pasangan calon Walikota dan wakilnya yang
diusung oleh Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) bahwa KPU Kota Depok telah
menolak dukungan Partai Hanura Kota Depok terhadap salah satu pasangan
calon yang diajukan oleh Partai Hanura, namun meloloskan pasangan calon
lainnya yang didukung oleh Partai yangsama dengan pimpinan yang sama
pula.
Dengan perkataan lain Partai Hanura Kota Depok dalam Pemilihan
Kepala Daerah Kota Depok tahun 2010 telah mendukung dua pasangan
calon yang menurut peraturan perundang-undangan tidak diperkenankan,
dengan kondisi ini KPU Kota Depok harus memutuskan untuk menetapkan
salah satu pasangan calon yang memenuhi syarat administrative, yang secara
29
obyektif kondisi hal ini terjadi pada dasarnya merupakan konflik internal
Partai.
Dari pasangan calon Walikota dan wakil Walikota yang tidak terpilih oleh
KPU Kota Depok tersebut mengadukan kepada Dewan Kehormatan
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP) dengan adanya pengaduan dengan
Nomor 012/KE-DKPP/VIII/2012, dari pengaduan tersebut keluarlah keputusan
DKPP yang memutus :
1. Menjatuhkan sanksi berupa Pemberhentian Tetap kepada Teradu
atas nama Sdr. Muhammad Hasan dari keanggotaan Komisi Pemilihan
Umum Kota Depok Provinsi Jawa Barat, terhitung sejak
dibacakannya Putusan ini;
2. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa
Barat untuk menindaklanjuti Putusan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum ini sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
3. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum dan Badan
Pengawas Pemilu untuk mengawasi pelaksanaan Putusan ini;
Selain itu perkara ini sebelumnya telah diperiksa dan diputus oleh
Dewan Kehormatan KPU Provinsi Jawa Barat Nomor 01/Rek-DK/KPU-Prov-
011/V/2011 tanggal 31 Mei 2011, sehingga karenanya sebagaimana berlaku
asas hukum bahwa terhadap satu persoalan tidak boleh diperiksa dan diputus
untuk kedua kalinya (asas ne bis in idem).
Dari kronologis singkat tersebut diatas serta atas dasar menegnai duduk
persoalannya tersebut maka Muhamad Hasan, S.Sos sebagai orang yang telah di
pecat akibat perkara tersebut diatas merasa dirugikan atas keluarnya putusan
DKPP Nomor 012/KE-DKPP/VIII/2012 dan keputusan Dewan Kehormatan KPU
Provinsi Jawa Barat Nomor 01/Rek-DK/KPU-Prov-011/V/2011.
Oleh karena itu Muhamad Hasan, S.Sos menggugat KPU Provinsi Jawa
Barat ke PTUN dengan gugatan mengajukan tuntutan pembatalan atau
dinyatakan tidak sah Keputusan Tergugat, yaitu Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Provinsi Jawa Barat Nomor: 62/Kpts/KPU-Prov-011/XI/2012 tanggal 5
30
November 2012 tentang Pemberhentian Muhammad Hasan S.Sos sebagai
Anggota dan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Periode 2008-
2013.
Menurut asal 25 ayat (1) dan (5) Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 4 serta Pasal 47 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir diubah
dengan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya disebut sebagai
“Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara”) yang menyatakan bahwa
Peradilan Tata Usaha Negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang bertugas
dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan Sengketa
Tata Usaha Negara, di mana menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-
undang Nomor 51 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha
Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam laporan atau gugatan yang akan diajukan ke PTUN ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh penggugat agar dapat memperkarakan gugatannya
ke PTUN, syarat tersebut adalah sebgai berikut :
1. Subyek hukum/pihak berperkara dalam sengketa tersebut harus
orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan selaku
Penggugat yang kepentingannya dirugikan oleh terbitnya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berkedudukan sebagai pihak
Tergugat;
2. Sengketa tersebut timbul sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara, sehingga yang menjadi obyek gugatan adalah
Keputusan Tata Usaha Negara yang harus mencakup unsur-unsur
sebagai berikut:
31
a. Unsur penetapan tertulis
b. Unsur atau Badan Pejabat Tata Usaha Negara
c. Unsur tindakan hukum Tata Usaha Negara
d. Unsur bersifat kongkret, individual dan final
e. Uunsur timbulnya akibat hukum
f. Tidak termasuk pengecualian sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 Undang-undang Tata Usaha Negara
3. Pokok Gugatan termasuk dalam kewenangan mengadili (absolut
maupun relatif) Peradilan Tata Usaha Negara.
Gugatan yang dilayangkan Muhamad Hasan, S.Sos. ini sudah memenuhi
syarat Sengketa Tata Usaha Negara yang dapat diperiksa dan diadili di
Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahwa penggugat yaitu Muhamad Hasan, S.Sos
telah merasa dirugikan degan dikeluarkannya surat keputusan KPU Provinsi Jawa
Barat.
KPU berdasarkan Pasal 1 angka 5 dan angka 7 Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum merupakan
lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang bertugas melaksanakan Pemilu
di Provinsi sehingga merupakan Badan Tata Usaha Negara dan karena itu
subyek hukum dalam sengketa ini memenuhi kategori sebagai subyek hukum
yang dapat menjadi pihak dalam Sengketa Tata Usaha Negara.
Oleh sebab itu gugatan ini dapat dadili dan diselesaikan di PTUN. Maka
dapat ditarik garis besarnya bahwa bahwa yang menjadi subyek/ pihak berperkara
dalam hal ini adalah Penggugat selaku orang perorangan yaitu Muhamad
Hasan, S.Sos dan sebagai pihak Tergugat adalah KPU Provinsi Jawa Barat.
Selain itu dalam gugatan yang dimasukan oleh penggugat ke PTUN
terdapat pula sengketa kepegawaian yang dapat diselesaika di PTUN,sengketa
kepegawaian itu yaitu KPU Provinsi Jawa Barat yang berwenang menangani dan
mengawasi KPU Kota Depok telah memecat anggota sekaligus ketua KPU Kota
Depok Muhamad Hasan, S.Sos.
Maka sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51
Tahun 2009, yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara adalah
32
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik
di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya majelis hakim yang menentukan dan memutuskan mengenai
gugatan ini memutuskan yang menjadi objek sengketa yaitu surat Keputusan
Tergugat Nomor: 62/Kpts/KPU-Prov-011/XI/2012 tanggal 5 November 2012
tentang Pemberhentian Penggugat sebagai Anggota dan Ketua Komisi
Pemilihan Umum Kota Depok Periode 2008-2013.
Sehingga untuk menentukan apakah obyek sengketa tersebut merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara yang menurut Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara dapat menjadi obyek gugatan dalam Sengketa Tata Usaha
Negara di Peradilan Tata Usaha Negara, maka Majelis berpedoman pada
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka 9 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara.
Keputusan Tata Usaha Negara terdapat pengecualian/pembatasan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 undang-undang tersebut yang pada
pokoknya menentukan beberapa Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-
undang Peradilan Tata Usaha Negara, salah satunya adalah Keputusan Komisi
Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan
umum (vide Pasal 2 huruf [g] Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara).
Sehingga dalam perkara ini oleh karena obyek sengketa adalah berupa
Keputusan Tergugat tentang Pemberhentian Penggugat sebagai Anggota dan
Ketua KPU Kota Depok, maka Majelis berpendapat bahwa persoalan
pemberhentian anggota KPU Kabupaten/Kota dan/atau pemberhentian
pegawai/stafnya-nya bukan merupakan bagian atau tidak berkaitan dengan
hasil pemilihan umum, tetapi merupakan urusan administrasi internal.
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam perspektif penggunaan wewenang,
prosedur dan substansinya, oleh karena itu Keputusan Tergugat dalam perkara
33
ini berupa pemberhentian Penggugat sebagai Anggota dan Ketua KPU Kota
Depok memenuhi kategori sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang
dapat digugat dan menjadi obyek dalam Sengketa Tata Usaha Negara.
mengenai kewenangan PTUN berkenaan dengan daerah kewenangan
pengadilan yaitu yang berwenang mengadili dalam perkara ini adalah Pengadilan
Tata Usaha Negara Bandung berwenang mengadili sebagai Pengadilan tingkat
pertama baik secara absolut maupun secara relatif atas sengketa a quo.
Dalam putusannya Majelis Hakim Menimbang, bahwa berdasarkan
keseluruhan pertimbangan selama persidangan, maka tindakan Tergugat dalam
menerbitkan Keputusan yang menjadi obyek sengketa dilakukan sesuai
dengan wewenangnya dan memenuhi ketentuan prosedur/tata cara maupun
substansi/materi sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Perihal alat- alat bukti surat lainnya yang diajukan Penggugat maupun
Tergugat karena tidak relevan maka patut untuk dikesampingkan, begitu pula
dengan alat bukti keterangan 2 (dua) orang saksi yang diajukan oleh Penggugat
yang tidak mendukung dalil gugatan juga patut dikesampingkan, karena itu
seluruh petitum gugatan harus ditolak.
Oleh karena gugatan Penggugat ditolak seluruhnya sehingga Penggugat
berada di pihak yang kalah, maka berdasarkan ketentuan Pasal 110 Undang-
undang Peradilan Tata Usaha Negara, biaya perkara yang timbul dalam perkara
ini dibebankan kepada Penggugat.
BAB IV
KESIMPULAN
34
A. Kesimpulan
B. Saran
35
Top Related