HUKUM ACARA PTUN

download HUKUM ACARA PTUN

of 114

Transcript of HUKUM ACARA PTUN

HUKUM ACARA PTUNPENDAHULUAN :

Dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan Negara oleh pelbagai Badan atau Pejabat Negara harus berdasarkan pada hukum. Tunduk pada hukum tidak berarti sudah cukup dalam setiap tindakan (Wetmatige) saja, tetapi harus memperhatikan pada hukum (Rechtmatige).Untuk menyelesaikan adanya benturan kepentingan antara warga masyarakat dengan pemerintah selaku penguasa, maka perlu diatur hukum acara dalam suatu perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Hukum acara dimaksud untuk mengatur ketertiban dalam proses pemeriksaan dipersidangan pengadilan, maupun diluar peradilan akan tetapi masih ada kaitannya dengan perkara yang diperiksa dalam proses peradilan. Hal ini untuk mencegah tindakan main Hakim sendiri (Eigen Rechting), serta untuk memenuhi asas Cepat, Tepat dan Biaya Ringan, sehingga tercipta penyelesaian sengketa yang memenuhi unsur kepastian hukum (Rechtmatige), kemampataan (Doelmatige) serta rasa keadilan bagi para pencari keadilan.

Didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 9 tahun 2004, yang sebahagian besar mengatur Hukum Formil, sedangkan Hukum Materil tentang Hukum Administrasi Pemerintah belum diatur secara khusus, oleh karena itu Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengodok Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintah yang telah dilimpahkan ke DPR.

FUNGSI DAN TUGAS PERATUNA. FUNGSI PERATUN. Peratun sebagai peradilan administrasi secara teori mempunyai 3 (tiga) fungsi utama, yaitu : 1. Fungsi Normatif. 2. Fungsi Instrumental. 3. Fungsi Jaminan. Diantara ketiga fungsi tersebut satu dengan lainnya saling keterkaitan.

Fungsi Normatif : Berfungsi dalam menciptakan normanorma pemerintahan yang baik/layak yang harus dipatuhi pemerintah sebagai pelaksana pemerintahan.Fungsi Instrumental : Berfungsi untuk menentukan /menetapkan instrumen /alat yang akan digunakan untuk melaksanakan fungsinya. Dan pada akhirnya, normanorma pemerintahan yang digunakan tersebut harus dapat menjamin perlindungan hukum bagi masyarakat (Fungsi Perlindungan Hukum).

Sebagai wujud dalam pemberian perlindungan hukum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, memberi kemudahan-kemudahan bagi pencari keadilan antara lain : 1. Bagi yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera Pengadilan untuk merumuskan gugatan. 2. Bagi yang tidak mampu diberik kesempatan untuk berperkara secara Cuma-Cuma. 3. Apabila ada kepentingan mendesak, Ketua Pengadilan atas permohonan Penggugat akan menetapkan dilakukan pemeriksaan acara cepat.

4. Penggugat dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terdekat dari tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke PTUN yang berwenang. 5. Dalam hal tertentu dimungkinkan untuk diadili oleh PTUN yang wilayah hukumnya meliputi kediaman Penggugat. 6. Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk datang sendiri.

Disamping kemudahan-kemudahan tersebut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, juga memberi perlindungan hukum bagi masyarakat dari perbuatanperbuatan pemerintah sebagai berikut : 1.Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2.Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) Pasal 5 ayat (2) b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Oleh karena hal-hal tersebut merupakan asas-asas sebagai tolak ukur bagi sah dan tidaknya suatu perbuatan pemerintah, maka dapat dikatakan sebagai asas-asas keabsahan bagi perbuatan pemerintah.

Asas-asas keabsahan yang telah diuraikan diatas mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Bagi pemerintah merupakan pedoman baginya untuk melaksanakan tugasnya. Fungsi ini secara singkat dapat dirumuskan sebagai norma pemerintahan (Bestuurnormen).

2.

3.

Bagi masyarakat/orang dan Badan Hukum Perdata merupakan dasar alasan untuk mengajukan gugatan terhadap Pemerintah (Beroeps gronden). Bagi Hakim berfungsi sebagai dasar pengujian terhadap perbuatan pemerintah (Toetsing gronden).

B. TUGAS PERATUN.Untuk menjamin agar Peratun dapat berfungsi sebagai badan yang memberi perlindungan kepada masyarakat, sudah semenstinya diberi suatu kewenangan tugas tertentu. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, menentukan bahwa Pengadilan bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (TUN).

Dipandang dari segi perlindungan hukum, tugas Peratun yang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN, termasuk pada perlindungan hukum represif, sesuai dengan tugasnya, maka perlindungan hukum yang refresif ini hanya terbatas pada pembatalan/pernyataan tidak sah atas keputusan TUN (obyek sengketa).

Bahwa berdasarkan pada uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Peratun mempunyai peranan sebagai lembaga kontrol atau pengawas, agar perbuatan-perbuatan pemerintah tetap berjalan pada rel hukum. Disamping itu Peratun juga sebagai pelindung hak warga masyarakat terhadap penyalahgunaan wewenang atau kesewenangwenangan pemerintah.

OBYEK SENGKETABerdasarkan Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 mendefenisikan Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) adalah : Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku .

Istilah Sengketa yang dimaksud disini mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum.Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu ; dan dalam asas Hukum Tata Negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.

Dari rumusan Pasal 1 butir 4 tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab lahirnya sengketa adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek pemeriksaan sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara.Berdasarkan Pasal 1 butir 3 UU No. 5 Tahun 1986 menegaskan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah : Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat konkrit, induvidual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara dari rumusan Pasal 1 butir 3 UU No.5 Tahun 1986, dapat disimpulkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan obyek sengketa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Penetapan harus tertulis. 2. Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat TUN. 3. Berisi tindakan hukum TUN. 4. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. 5. Bersifat konkrit, individual dan final. 6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Makna Penetapan Tertulis menunjukan kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang diisyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan bagi segi pembuktian. Oleh karena itu suatu memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini apabila sudah jelas : a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkan. b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu. c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat dipusat dan diaerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara adalah Perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.

Perundang-undangan yaitu : semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik ditingkat Pusat maupun ditingkat Daerah, serta semua keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik ditingkat Pusat maupun ditingkat Daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.

Makna Bersifat Konkret artinya : Obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Umpamanya : -Keputusan mengenai rumah si A - Izin usaha bagi si B -Pemberhentian si A sebagai Pegawai Negeri.

Bersifat Individual artinya : Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya : Keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena putusan tersebut.

Bersifat Final artinya : Sudah defenitif dan karenanya menimbulkan akibat hukum.

dapat

Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan, belum dapat dijadikan obyek TUN.Umpamanya : Keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri sipil memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.

Ke enam elemen (ciri-ciri obyek sengketa TUN) tersebut bersifat Komulatif, artinya untuk memenuhi kriteria sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan Obyek Sengketa harus memenuhi keseluruhan elemen tersebut diatas. Namun demikian perlu untuk diketahui didalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, menentukan adanya pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1 butir 3, pengecualian itu diatur dalam Pasal 2 (Pengecualian mempersempit) dan Pasal 3 (Pengecualian memperluas) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.

Pengecualian bersifat mempersempit, diatur dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 yang menegaskan bahwa : Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, adalah sebagai berikut : a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana. e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku. f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Pengaturan yang diatur dalam Pasal 2 UU No.5 Tahun 1986 ini, adalah untuk mengatur pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang termasuk dalam ruang lingkup kompentensi mengadili dari Peradilan Tata Usaha Negara.Pembatasn ini diadakan oleh karena ada beberapa jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.

Dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.

Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat umum ialah pengaturan yang memuat normanorma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang berkekuatan berlakunya mengikat setiap orang.

Pengecualian bersifat memperluas, diatur dalam Pasal 3 UU No.5 Tahun 1986, yang menegaskan bahwa : (1). Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (2). Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud. (3).Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan tersebut apabila tenggang waktu yang telah ditetapkan telah lewat dan Badan Hukum atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya.

SUBYEK SENGKETAPada dasarnya dalam pemeriksaan sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara terdapat 2 (dua) pihak yang saling berhadapan untuk mempertahankan dalil masing-masing. Pengaturan Subyek sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal I butir 4 (mengatur tentang Penggugat) dan Pasal 1 butir 6 (mengatur tentang Tergugat) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.

Apabila ketentuan Pasal 1 butir 4 dihubungan dengan Pasal 1 butir 6 dan Pasal 53 ayat 1 (mengatur tentang pengajuan gugatan oleh seseorang/badan hukum perdata) UU No.5 Tahun 1986, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi Subyek Sengketa dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah : 1. Penggugat, yaitu orang atau badan hukum perdata. Syarat bagi orang agar dapat mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara adalah mampu bertindak hukum, tidak dalam pengampuan dan telah dewasa.

Sedangkan bagi Badan Hukum Perdata harus berupa badan atau perkumpulan atau organisasi atau koperasi yang didirikan menurut ketentuan hukum perdata dan merupakan badan hukum perdata dan tidak memiliki fungsi ganda (dual function). Oleh karena undang-undang telah menentukan secara limitatif bagi pihak yang menjadi Penggugat yaitu hanya orang atau badan hukum perdata saja, maka tidak dimungkinkan adanya gugatan dari Pejabat/Badan Hukum Tata Usaha Negara yang satu terhadap Pejabat/Badan Tata Usaha Negara Lainnya.

2. Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat menjadi Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Mengenai siapa saja yang dapat berkedudukan sebagai Tergugat menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 yaitu Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Menurut pengertian awam hanya Instansi-instansi pemerintahan saja yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan, sedangkan dalam praktek, tidak selalu demikian. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan mengatur yang berkaitan dengan pengertian Instansi Pemerintahan, Pejabat Administrasi Pemerintahan maupun Badan yang akan memperluas pengertian Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yaitu :

1. Instansi Pemerintah adalah semua lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi administrasi pemerintahan dilingkungan eksekutif baik di pusat maupun daerah termasuk komisi-komisi, dewan, badan yang mendapat dana dari APBN/APBD (Pasal 1 angka 2). 2. Pejabat Administrasi Pemerintahan adalah Pejabat yang menyelenggarakan fungsi dan tugas Pemerintahan dilingkungan Pejabat Negara/Pejabat meliputi Presiden dan Wakil Presiden, Ketua dan Wakil Ketua Lembaga Negara, Menteri, Ketua dan Wakil Ketua Komisi/Dewan, Gubernur, Bupati, Walikota, Pejabat Struktural/Fungsional, Camat, Kepala Desa dan Lurah (Pasal 1 angka 4).

3. Badan adalah Organisasi yang diberikan wewenang Pemerintah untuk menjalankan fungsi Pemerintahan dan Pelayanan Publik termasuk Badan Hukum lainnya yang dibentuk oleh Pemerintah atau masyarakat (Pasal 1 angka 5). 4. Badan hukum lainnya adalah Organisasi yang menjalankan fungsi pemerintahan berdasarkan penugasan, pelimpahan kewenangan atau penyerahan kewenangan dari Pemerintah, antara lain Otorita, Lembaga Pendidikan, Pengelolaan Kawasan, Notaris, BUMN dan BUMD (Pasal 1 angka 6).

DASAR-DASAR PENGUJIANDasar Pengujian adalah dasar bagi Hakim untuk melakukan penilaian secara yuridis terhadap keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa. Dasar pengujian adalah Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004,(Tentang Perubahan atas UU No.5 Th 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara) dasar pengujian disini berupa hal-hal sebagai berikut : 1.Apakah keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2. Apakah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah melanggar asasasas umum Pemerintahan yang baik.

Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara yang Baik (AAUPB) dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 28 tahun 1999 (Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) Jo Undang-Undang No. 32 tahun 2004 (Tentang Pemerintahan Daerah) yaitu : 1. Asas Kepastian Hukum. 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara. 3. Asas Kepentingan Umum. 4. Asas Keterbukaan. 5. Asas Proporsionalitas. 6. Asas Profesionalitas. 7. Asas Akuntabilitas. 8. Asas Efessiensi. 9. Asas Efektinitas.

Asas Kepastian Hukum adalah : Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.Asas Tertib Penyelenggaraan Negara : Asas yang menjadi landasan keteraturan, keselarasan dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

Asas Kepentingan Umum adalah : Asas yang mendahulukan kesejahtraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. Asas Keterbukaan adalah : Asas yang membuka diri terhadap hak masyarkat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak pribadi, golongan dan rahasia negara.

Asas Proporsionalitas adalah : Asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara. Asas Profesionalitas adalah : Asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas Akuntabilitas adalah : Asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan menurut Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan (Pasal 2 ayat 2) Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang Baik terdiri dari : 1. Asas Kepastian Hukum. 2. Asas Keseimbangan. 3. Asas Kesamaan. 4. Asas Kecermatan. 5. Asas Motivasi. 6. Asas Tidak Melampaui dan Mencampur adukan kewenangan. 7. Asas bertindak yang wajar. 8. Asas Keadilan. 9. Asas Kewajaran dan Kepatutan. 10. Asas Menanggapi pengharapan yang wajar. 11. Asas Perlindungan dan atas pandangan hidup pribadi. 12. Asas Meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal. 13. Asas tertib penyelenggaraan adminitrasi pemerintahan. 14. Asas Keterbukaan. 15. Asas Praporsionalitas. 16. Asas Profesionalitas. 17. Asas akuntabilitas. 18. Asas Kepentingan umum. 19. Asas Efesiensi. 20. Asas Efektifitas.

UPAYA ADMINISTRATIFMenurut UU No.5 Th 1986, pengertian administrasi negara sama dengan tata usaha negara, yang berfungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik dipusat maupun didaerah. Berdasarkan Pasal 48 UU No.5 Th 1986 yang mengatur penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tertentu yang mengharuskan ditempuh lebih dahulu upaya administratif yang tersedia sebelum mengajukan gugatan sengketa Tata Usaha Negara tersebut ke Pengadilan.

Upaya administratif adalah : suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara dan prosedur ini dilaksanakan dilingkungan pemerintahan sendiri dan upaya administratif tersebut terdiri atas dua bentuk.

Upaya administrasi yang dimaksud dalam Pasal 48 UU No.5 Th 1986 yakni : 1. Dalam hal penyelesaian sengketa harus diselesaikan oleh Instansi atasan atau Instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan maka prosedur tersebut dinamakan Banding Administratif . 2. Dalam hal penyelesaian sengketa keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan tersebut, maka prosedur yang ditempuh disebut Keberatan .

Apabila masih tidak puas terhadap penyelesaian melalui upaya administratif, maka dapat ditempuh upaya penyelesaian sebagai berikut : 1. Setelah melalui upaya banding administratif maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) sebagai Pengadilan Tingkat Pertama. 2. Setelah melalui upaya keberatan maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Peradilan Tingkat Pertama.

Untuk mengetahui suatu penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara harus melalui Upaya Administratif atau tidak, maka harus dilihat dari Peraturan PerundangUndangan yang menjadi dasar diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Apabila dalam peraturan dasarnya hanya menyebutkan adanya upaya administratif tetapi tidak jelas apakah yang dipakai adalah prosedur keberatan atau banding administratif, maka gugatan terhadap keputusan Tata Usaha Negara tersebut sebaiknya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintah mengatur tentang Upaya Administrasi , akan tetapi tidak dibedakan antara upaya keberatan dan banding administratif, karena upaya administratif dalam Rancangan Undang-Undang tersebut dapat diajukan bukan kepada Pejabat Pemerintah yang menerbitkan Keputusan Administrasi Pemerintah, akan tetapi diajukan kepada atasan dari Pejabat Administrasi Pemerintah atau Badan yang mengeluarkan Keputusan Administrasi Pemerintah dan keputusan upaya administratif dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 37 dan Pasal 39)

PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARABerdasarkan Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 Jo Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, maka dapat disimpulkan bahwa GUGATAN pada PERADILAN TATA USAHA NEGARA adalah : Suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata terhadap badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, yang merugikan kepentingan orang atau badan hukum perdata tersebut dengan permintaan supaya Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan batal atau tidak sahnya keputusan Tata Usaha Negara tersebut dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.

Gugatan yang telah disusun/dibuat oleh Penggugat atau kuasanya, kemudian didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, yang menegaskan sebagai berikut :(1). Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.

(2). Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkdudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. (3). Dalam hal tempat Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.

(4).Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat. (5). Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. (6). Apabila Tergugat berkedudukan didalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman Tergugat.

Setelah itu oleh Panitera mengadakan penelitian administratif, baik administrasi yang diharuskan Penggugat dalam mengajukan gugatan. (Misalnya ; membayar perskot biaya dan lain-lainnya), serta terhadap surat gugatannya sudah memenuhi Pasal 56 atau belum.

Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 menegaskan sebagai berikut : (1). Gugatan harus memuat : a. Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan Penggugat atau Kuasanya. b. Nama, Jabatan dan tempat kedudukan Tergugat. c. Dasar gugatan dan hal-hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan. (2). Apabila gugatan dibuat dan ditanda tangani oleh seorang kuasa Penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah. (3). Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh Penggugat.

Bahwa gugatan tidak dapat diajukan setiap waktu sesuai dengan kehendak Penggugat, karena dalam Pasal 55 Jo Pasal 3 Undang Undang Nomor 5 tahun 1986 telah membatasi secara limitatif. Pasal 55 menegaskan sebagai berikut : Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Pasal 55 tersebut diatas, mengandung makna bahwa apabila yang digugat berupa keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan Positif Konkrit), maka gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak diumumkan atau diterimanya surat Keputusan Tata Usaha Negara.

Pengaturan secara limitatif tersebut, akan menimbulkan masalah apabila surat keputusan tersebut merugikan kepentingan pihak ketiga. Terhadap permasalahan ini, untuk memenuhi kebutuhan praktek di Peradilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 1991 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 5.K/TUN/1992 tanggal 21 Januari 1993, yang pada pokoknya menyatakan bahwa perhitungan tenggang waktu dihitung secara Kasuistis , yaitu 90 (sembilan puluh) hari sejak saat pihak ketiga mengetahuinya.

Apabila obyek sengketa berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat Fiktip Negatif , maka cara penghitungan tenggang waktu berdasarkan Pasal 3 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 dengan cara sebagai berikut : 1. Tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak lewat tenggang waktu proses permohonan sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya. 2. Tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak lewat 4 (empat) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan.

PROSEDUR DISMISSALProsedur Dismissal adalah : Suatu proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Peradilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan. Setelah dilakukan administratif oleh Panitera, maka pada tahab selanjutnya adalah prosedur dismissal yang pada eksistensinya serta alasannya diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.

Berdasarkan Pasal 62 UU No.5 Th 1986 menegaskan sebagai berikut : (1).Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwewenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal : a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak masuk dalam wewenang Pengadilan. b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan. c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak. d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. e. Gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

(2). a. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya. b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.

(3). a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diucapkan. b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. (4).Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat. (5).Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa dan diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. (6). Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.

Dalam Pasal 62 UU No. 5 Th 1986 tersebut tidak mengatur secara terperinci tentang tata cara dalam Prosedur Dismissal, maka Mahkamah Agung didalam SEMA Nomor 2 Tahun 1991 pada pokoknya menyatakan : 1. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan dan dapat menunjuk Hakim sebagai repostir. 2. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan atau dilakukan secara singkat. 3. Ketua Pengadilan berwewenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan dismissal apabila dianggap perlu. 4. Penetapan dismissal berisi gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar dan ditanda tangani oleh Ketua dan Panitera. 5. Penetapan dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan, sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya.

Terhadap Penetapan dismissal dari Ketua Pengadilan dapat dilakukan upaya hukum perlawanan yang diatur dalam Pasal 62 ayat (3) yang pada pokoknya sebagai berikut : 1. Tenggang waktu perlawanan 14 hari sejak penetapan dismissal diucapkan. 2. Perlawanan diajukan sesuai Pasal 56, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat. 3. Dalam hal perlawanan dibenarkan maka penetapan dismissal gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut hukum acara biasa. 4. Terhadap putusan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum.

PENUNDAANBerdasarkan Pasal 67 ayat (1) UU Nomor 5 Th 1986 yang pada pokoknya menegaskan bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Apabila ketentuan tersebut dilaksanakan maka gugatan Penggugat (misalnya ; perintah bongkar) yang tetap dilaksanakan untuk Penggugat tidak ada artinya lagi. Oleh karena itu sebagai konpensasinya perlu adanya Lembaga Penundaaan (Vide Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986)

Permohonan penundaan terhadap pelaksanaan obyek sengketa oleh pihak Penggugat dapat dilakukan dengan cara : 1. Diajukan bersama-sama dalam surat gugatan 2. Diajukan tersendiri tetapi pengajuannya bersama-sama dengan pengajuan gugatan. 3. Diajukan pada saat proses gugatan berjalan, baik secara tertulis maupun secara lisan. Yang berwewenang menerbitkan Penetapan atas permohonan penundaan adalah ; 1. Apabila permohonan tersebut masih dalam tahab penelitian administrasif dan proses dismissal maka yang berwewenang adalah Ketua Pengadilan. 2. Apabila gugatan tersebut telah dilimpahkan kepada Majelis Hakim/Hakim yang berwenang adalah Majelis Hakim/Hakim.

Upaya hukum atas penetapan penundaan, maka pihak Tergugat menyampaikan sanggahan kepada Ketua Pengadilan atau Majelis Hakim/Hakim, yang pada pokoknya bahwa tindakan Tergugat mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tidak bertentangan dengan Pasal 67 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yakni : Permohonan penundaan sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) : a. Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingankepentingan Penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan. b. Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.

Dalam praktek yang sering menimbulkan permasalahan adalah apabila Tergugat tidak mau melaksanakan Penetapan Penundaan. Apabila hal tersebut terjadi, maka ketentuan Pasal 119 ayat 3 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 yakni : Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan Putusan Pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap, terhadap Pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif . Dapat dijadikan pedoman dan dengan menyampaikan tembusannya kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara RI (Surat MENPAN No.B.471/4/1991 tanggal 29 Mei 1991 tentang pelaksanaan Putusan Pengadilan TUN), sesuai yang tercantum dalam SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 2 tahun 1991.

PEMERIKSAAN PERSIAPANSetelah melalui tahab permusyawaratan (Proses dismissal), maka dilakukan pemeriksaan persiapan terhadap gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Pemeriksaan Persiapan ini didasarkan pada Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, sebagai berikut : (1).Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. (2).Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim : a. Wajib memberikan nasehat kepada Penggugat untuk memperbaiki dan atau melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hari. b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. (3). Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a Penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim dapat menyatakan dengan Putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. (4).Terhadap Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.

Maksud diadakannya Pemeriksaan Persiapan, menurut Penjelasan dalam undang-undang nomor 5 tahun 1986 dikatakan; ketentuan ini merupakan kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara. Wewenang Hakim dalam Pemeriksaan Persiapan ini adalah untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam mendapaatkan informasi atau data yang sangat diperlukan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mengingat bahwa Pengugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kedudukannya tidak sama.

Pemberian kesempatan kepada Penggugat untuk melengkapi data-data gugatannya itu harus dilakukan dalam waktu 30 hari. Kalau kesempatan itu disia-siakannya mungkin akan berakibat gugatannya tidak dapat diterima oleh Hakim/Mejelis. Tata cara pemeriksaan persiapan petunjukpetunjuk teknis pelaksanaannya ditentukan oleh Mahkamah Agung, yakni diatur dalam Angka III Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.

Berdasarkan Angka III Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991, menegaskan sebagai berikut : 1. Tujuan Pemeriksaan Persiapan adalah untuk mematangkan perkara. Segala sesuatu yang akan dilaksanakan dari jalan pemeriksaan persiapan tersebut diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan Ketua Majelis. Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil Penggugat untuk menyempurnakan gugatannya dan atau Tergugat untuk dimintai keterangan/penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu didengar secara terpisah (Psl 68 ayat 2a dan b).

2.a. Pemeriksaan persiapan dilakukan diruangan musyawarah dalam sidang tertutup untuk umum, tidak harus diruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan dikamar kerja Hakim tanpa harus memakai toga. b. Pemeriksaan Persiapan dapat pula dilakukan oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Ketua Majelis. c. Maksud Pasal 63 ayat (2) tidak terbatas hanya kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang bersangkutan dengan data-data yang diperlukan untuk mematangkan perkara itu.

3. a. Dalam tahab pemeriksaan persiapan maupun selama pemeriksaan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum dapat dilakukan Pemeriksaan Setempat. b. Dalam melakukan Pemeriksaan Setempat itu tidak perlu harus dilakukan oleh Majelis Hakim lengkap, cukup oleh seorang Hakim anggota yang khusus ditugaskan untuk melakukan Pemeriksaan Setempat. Penugasan tersebut dituangkan dalam bentuk Penetapan. c. Apabila dipandang perlu untuk menentukan dikabulkan atau tidaknya permohonan penundaan itu, oleh Majelis yang bersangkutan dapat pula mengadakan Pemeriksaan Setempat.

4. Majelis Hakim yang menangani suatu perkara berwenang sepenuhnya untuk memberikan putusannya terhadap perkara tersebut, termasuk pemberian putusan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaad) untuk seluruhnya atau sebahagian gugatan, meskipun perkara itu telah lolos dari dismissal proses.

PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Hakim/Majelis Hakim dalam memeriksa sengketa Tata Usaha Negara dapat dilakukan melalui 3 (tiga) acara pemeriksaan yaitu : 1. Pemeriksaan Acara Singkat. 2. Pemeriksaan Acara Cepat. 3. Pemeriksaan Acara Biasa.

Ad. 1. PEMERIKSAAN ACARA SINGKAT Pemeriksaan Acara Singkat yang diperiksa bukanlah mengenai Pokok Sengketa, melainkan baru mengenai Perlawanan sesuai yang diatur dalam Pasal 62 UndangUndang Nomor 5 tahun 1986, yang dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan dengan Acara Singkat hanya untuk pemeriksaan gugatan perlawanan atas Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 62 ayat 3,4,5 dan 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986)

Acara pemeriksaan singkat terhadap gugatan perlawanan baik dari pihak Penggugat maupun pihak Ketiga tidak diatur secara terperinci seperti yang diatur dalam pemeriksaan cepat dan biasa, sehingga dalam praktek ada beberapa pendapat, ada yang mengatakan harus melalui proses persidangan seperti dalam acara biasa. Dan sebagian besar mengatakan cukup dalam ruangan permusyawaratan dalam sidang tertutup dan para pihak diberikan kesempatan untuk menanggapinya. Sedangkan putusan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum seperti dalam proses dismissal.

Putusan mengenai gugatan perlawanan yang dilakukan melalui pemeriksaan dengan acara singkat itu dapat diterima dan dapat pula ditolak. Apabila gugatan diterima, maka Penetapan Ketua Pengadilan yang dilawan itu menjadi gugur demi hukum (ex lege), selanjutnya perkara tersebut oleh Majelis akan dilanjutkan dengan melakukan Pemeriksaan Persiapan dengan acara biasa. Sebaliknya, apabila gugatan perlawanan itu ditolak, maka Penetapan Ketua Pengadilan tersebut tetap sah untuk dipakai.

Pemeriksaan dengan acara singkat ini memiliki beberapa kelebihan sekaligus kelemahan-kelemahan. Kelebihannya adalah dapat mengatasi berbagai rintangan yang mungkin akan menjadi penghalang dalam penyelesaian secara cepat sengketa-sengketa Tata Usaha Negara ; dapat mengatasi arus masuknya perkara-perkara yang sebenarnya tidak memenuhi syarat ; dan dapat dihindarkan pemeriksaan perkara-perkara menurut acara biasa yang tidak perlu dan yang akan memakan banyak waktu, biaya.

Kelemahannya adalah jangka waktu 14 (empat belas) hari mengajukan perlawanan, terhitung sejak penetapan dismissal itu diucapkan dapat menjadi tidak terealisasi, karena dapat saja pada waktu penetapan itu diucapkan berhalangan hadir, berada diluar kota, atau karena hal-hal yang lain ; Disamping itu juga Putusan gugatan perlawanan atau Penetapan Ketua Pengadilan itu tidak dapat digunakan upaya hukum (banding maupun kasasi) kecuali mengajukan gugatan baru, sepanjang tenggang waktu yang ditentukan belum habis.

Ad. 2. PEMERIKSAAN ACARA CEPAT Pemeriksaan Acara Cepat diatur dalam Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.Dalam acara pemeriksaan cepat sudah memeriksa pokok perkara. Berdasarkan Pasal 98 menegaskan : (1). Apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, Penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.

(2).Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 (empat belas hari) setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut. (3).Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kepentingan Penggugat yang cukup mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara yang berisikan misalnya ; perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati Penggugat. Sebagai kriteria dapat dipergunakan alasan-alasan Pemohon, yang memang dapat diterima. Yang dipercepat bukan hanya pemeriksaannya melainkan juga pemutusannya.

Alasan-alasan mengajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat ini mempunyai kemiripan dengan alasan mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara, yakni sama - sama terdapat kepentingan yan g mendesak. Perbedaannya adalah pada permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara pemeriksaannya hanya menyangkut alasan mengapa Penggugat mengajukan permohonan penundaan , sedangkan pada pemeriksaan acara cepat termasuk pokok sengketanya.

Selanjutnya dalam Pasal 99 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menegaskan sebagai berikut : (1).Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan Hakim tunggal. (2).Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63. (3).Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 (empat belas) hari.

Dari ketentuan Pasal 98 dan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 , dapat diketahui bahwa yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan dengan acara cepat adalah pihak Penggugat dan permohonan itu harus diajukan bersama-sama dalam surat gugatan yang diajukan.

Dalam praktek bisa terjadi setelah pemeriksaan berjalan, ternyata pihak-pihak yang tidak hadir, adanya Intervensi dan pembuktiannya rumit. Untuk memecahkan masalah tersebut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak mengatur pemecahannya. Solusi yang baik sesuai pendapat Indroharto,SH , bahwa dengan diterapkannya acara cepat harus juga dijaga dapat ddiperolehnya suatu putusan akhir yang benar-benar baik. Karena kalau kemudian selama pemeriksaan disidang ternyata perkara itu sulit dan banyak komplikasinya, maka Hakim dapat menentukan agar perkara itu dikembalikan kepada Ketua Pengadilan untuk ditetapkan agar diperiksa dengan Acara Biasa.

Ad.3. PEMERIKSAAN ACARA BIASA Pemeriksaan sengketa dengan Acara Biasa, diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 97 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986. Setelah ditentukan bahwa sengketa Tata Usaha Negara diperiksa dengan Acara Biasa, Ketua Pengadilan dengan suatu Penetapan menunjuk Majelis Hakim yang akan memeriksa, memutus dan menyelesaikan gugatan sengketa tersebut.

Dalam pemeriksaan dengan acara biasa yang perlu diperhatikan adanya 2 tahab yaitu : 1. Tahab pemeriksaan persiapan 2. Tahab pemeriksaan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.

Ad. 1. Pemeriksaan Persiapan. Pemeriksaan persiapan diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang pada pokoknya bahwa sebelum pemeriksaan pokok sengketa, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan guna melengkapi surat gugatan yang belum jelas, Hakim wajib memberi saran dan nasehat kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dengan melengkapi data-datanya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, dan dimungkinkan meminta penjelasan dari pihak Tergugat.

Apabila dalam tenggang waktu 30 hari Penggugat belum menyempurnakan dan menyerahkan perbaikan gugatan, maka dapat dinyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan tersebut tidak ada upaya hukumnya, tetapi dapat diajukan dengan gugatan baru.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak mengatur tata cara pemeriksaan, oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan praktek Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan beberapa Surat Edaran dan Juklak.

Adapun Surat Edaran dan Juklak tersebut terdiri dari : - SEMARI No. 2 Th 1991 tangal 09 Juli 1991. - SEMARI No. 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992. - SEMARI No. 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993. - SEMARI No. 222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993.

Dari Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : - Pemeriksaan persiapan dilakukan diruang musyawarah dalam sidang tertutup, bisa diruang Hakim dengan tanpa memakai toga. - Pemeriksaan dapat dilakukan oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis. - Dapat dilakukan mendengar keterangan Penggugat, Tergugat serta Pejabat Tata Usaha Negara lainnya atau pihak ketiga yang dianggap perlu.

Ad.2. Persidangan Terbuka Untuk Umum Dalam persidangan yang terbuka untuk umum dipimpin oleh Ketua sidang dan dalam proses pemeriksaan ini pada pokoknya ada beberapa tahab, antara lain : -Tahab Jawab Jinawab. Pada tahab ini terdiri dari : a. Pembacaan gugatan. b. Jawaban Tergugat. c. Replik/dari Penggugat d. Duplik/ dari Tergugat.. - Tahab Pembuktian.

Salah satu ciri khusus hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, dimana peranan Hakim aktif karena dibebani untuk mencari kebenaran material (Pasal 63,80,85,95 dan 103 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986), maka sistim pembuktian kepada pembuktian bebas yang terbatas.

Menurut Pasal 107, Hakim menentukan apa yang dibuktikan, beban pembuktian berserta penilaian pembuktian, tetapi dibatasi Pasal 100 yang menentukan secara liminatif alat-alat bukti yang dapat digunakan yaitu ; Surat atau tulisan, Keterangan ahli, saksi biasa, pengakuan para pihak dan pengetahuan Hakim.

Disamping itu juga dalam Pasal 85 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 memungkinkan Hakim dapat secara aktif mencari bukti-bukti yang ada ditangan Pejabat Tata Usaha Negara.Setelah tahab Pembuktian selanjutnya adalah Kesimpulan yang dibuat oleh masing-masing pihak, kemudian sebagai tahab terakhir adalah Putusan cara pengambilan putusan diatur dalam Pasal 97 dan bentuk isi putusan diatur dalam Pasal 109 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

PEMBUKTIANSalah satu hal yang penting yang selalu harus dilakukan Hakim dalam pemeriksaan Pengadilan adalah dengan cara yang tepat (menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan pembuktian) menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang relevan untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan akhir nanti yang disingkat dengan kata Pembuktian , disamping disamping penerapan hukum (rechtstoepassing) serta kadang kala menemukan hukum (rechtsvinding).

Masalah-masalah yang timbul dalam pembuktian itu sering berdekatan dengan masalah kekuasaan hukum pengadilan (dibidang pembuktian) seperti ; Apakah Hakim boleh memasukan suatu fakta dalam penilaiannya ; Apakah Hakim harus terikat kepada fakta-fakta yang diajukan para pihak adalah masalahmasalah yang masuk dalam bidang kekuasaan hukum pengadilan.Sedangkan membuktikan atau memberikan pembuktian adalah ; dengan alat-alat pembuktian tertentu memberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang existensi fakta-fakta (hukum) yang disengketakan.

Yang dimaksud dengan fakta-fakta adalah : 1. Fakta-fakta hukum. 2. Fakta-fakta biasa (blote feiten) Fakta hukum adalah : kejadian-kejadian atau keadaan yang existensinya (keberadaannya) tergantung kepada penerapan suatu peraturan. Umpamanya : Peraturan mengatakan ; pegawai yang ternyata tidak cakap dapat diberhentikan dari jabatannya. Ternyata si A telah berulang kali membuat kesalahan-kesalahan yang sangat ceroboh selama ia menjabat jabatannya yang dipangkunya sekarang. Kejadian-kejadian kesalahan yang diperbuat pegawai si A tidak akan mempunyai arti apa-apa kalau peraturan itu tidak diterapkan oleh atasannya terhadapnya. Pegawai itu baru dapat dinyatakan tidak cakap kalau peraturannya diterapkan kepadanya. Jadi pernyataan tidak cakap itu merupakan fakta hukum.

Suatu fakta hukum kadang kala juga bersifat murni yuridis. Umpamanya ; Pernyataan tidak keberatan oleh Pemerintah yang diperoleh A untuk membangun suatu gedung yang menyimpang dari rencana peruntukan tanah. Juga kenyataan adanya suatu peraturan umpamanya dapat pula disebut sebagai fakta hukum. Fakta-fakta biasa (blote feiten) adalah kejadian-kejadian, keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya faktafakta hukum tertentu. Umpamanya ; pernyataan tidak cakap pegawai A harus disimpulkan dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat A dalam jabatannya tersebut. Jadi kesalahan-kesalahan yang diperbuat A tersebut merupakan fakta-fakta hukum.

Berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 menegaskan bahwa alat-alat bukti yang diajukan dalam acara Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari : 1.Surat atau tulisan. 2.Keterangan ahli. 3. Keterangan saksi. 4. Pengakuan para pihak. 5. Pengetahuan Hakim

Ad.1. Surat dan Tulisan. Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis yaitu : a. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang Pejabat Umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. c. Surat-surat lain yang bukan akta.

Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, akta dibawah tangan juga dapat menjadi alat bukti yang sempurna, sepanjang kedua belah pihak tidak menyangkal tanda tangan yang mereka bubuhkan pada surat tersebut. Perbedaan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan adalah bahwa akta dibawah tangan tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kekuatan pembuktian dari surat-surat lain yang bukan akta diserahkan kepada pertimbangan hakim, karena surat-surat tersebut, sejak awal dibuat bukan secara sengaja untuk dijadikan alat bukti apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari.

Dalam praktek setiap alat bukti surat yang diajukan didalam persidangan, baik itu yang diajaukan oleh pihak Penggugat maupun pihak Tergugat (bukti surat yang berupa fhoto copy) terlebih dahulu harus diberikan matrai dan diberi cap oleh kantor Pos, untuk selanjutnya setelah itu dilegalisir pada Kepaniteraan Pengadilan guna penyesuaian dengan aslinya. Dan setiap alat bukti harus diberikan tanda, untuk Penggugat diberikan tanda P.1, P.2. dan seterusnya, sedangkan untuk Tergugat diberikan tanda T.1. T.2 seterusnya.

Ad.2. Keterangan Ahli (Expertise) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang di berikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.Keterangan ahli ini, dalam hukum acara perdata sering juga disebut dengan saksi ahli. Pada umumnya hakim menggunakan keterangan ahli agar memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh ahli tertentu.

Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak boleh memberikan keterangan ahli, sebagaimana yang telah ditegaskan sebagai berikut : Yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah : a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus keatas atau kebawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa. b. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai. c. Anak yang belum berusia 17 tahun. d. Orang sakit ingatan.

Ad.3. Keterangan Saksi. Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri. Dengan demikian pendapat, dugaan, anggapan atau keterangan yang diperoleh dari orang lain menjadi tidak relevan dijadikan saksi. Dan seseorang tidak dibenarkan menjadi saksi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Sedangkan berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, menegaskan bahwa orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian adalah : a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak. b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatannya itu. Ada atau tidaknya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu diserahkan kepada pertimbangan hakim.

Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan didengar dalam persidangan Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa. Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, maka saksi dapat didengar keterngannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa. Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir dipersidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang ditempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar saksi tersebut.

Ad.4.Pengakuan Para Pihak (Bekentenis, Confession). Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan kuat dan dapat diterima oleh Hakim. Dalam hukum acara perdata, pengakuan dapat diberikan dimuka hakim dipersidangan atau diluar persidangan. Suatu pengakuan harus diterima secara bulat (utuh), hakim tidak diperkenankan hanya menerima sebagian dari pengakuan dan menolak sebagian yang lain.

Pengakuan adalah merupakan pernyataan sepihak, sehingga tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain, terutama pihak lawannya. Oleh karena itu, Pengakuan adalah merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan dengan maksud segera menyelesaikan perkara. Dengan demikian pengakuan dapat menjadi alat bukti yang sempurna.

Pengakuan dimuka Hakim dipersidangan (gerechtelijk bekenetenis) merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara dipersidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebahagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan dimuka hakim dipersidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah akibat dari suatu kesesatan atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.

Pengakuan diluar persidangan ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata diluar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh lawannya. Pengakuan diluar sidang ini dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Pengakuan secara lisan masih harus dibuktikan dipersidangan, maka oleh karena itu bukanlah merupakan alat bukti. Tidak mustahil diajukan alat bukti pengakuan tertulis diluar persidangan. Kalau pengakuan lisan diluar persidangan bukanlah alat bukti, maka pengakuan tertulis diluar persidangan ini merupakan alat bukti disamping alat bukti tertulis, yang kekuatan pembuktiannya bebas.

Untuk memperoleh kebenaran materil, pengakuan para pihak baik dipersidangan maupun diluar persidangan itu, perlu mendapat perhatian hakim bahwa pengakuan itu tidak diberikan secara terpaksa atau dibawah tekanan dari pihak-pihak tertentu, terutama pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak diluar persidangan baik secara lisan dan atau tulisan.

Ad.5. Pengetahuan Hakim. Pengetahuan adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan Pengetahuan Hakim adalah hal yang dialami sendiri oleh hakim selama pemeriksaan perkara dalam sidang. Misalnya, kalau salah satu pihak memajukan sebagai bukti suatu gambar atau suatu tongkat, atau hakim melihat keadaan suatu rumah yang menjadi perselisihan ditempat. Ini semua merupakan betulbetul pembuktian dari hal sesuatu dan pada waktu sekarang dapat dimasukan alat bukti persangkaan, akan tetapi, seperti sudah disebutkan diatas, persangkaan ini sendiri tidak tepat kalau dinamakan alat bukti.

Salah satu Pengetahuan hakim menurut Indroharto, adalah hal-hal yang terjadi selama pemeriksaan oleh hakim tersebut atau hakim lain yang ditunjuknya, seperti hasil Pemeriksaan Setempat. Untuk memastikan terbuktinya suatu fakta kadang kala hakim merasa perlu melakukan pemeriksaan setempat guna dapat melakukan penilaian yang tepat mengenai perkara yang sedang diperiksa. Umpamanya pemeriksaan gedung yang dinyatakan telah melanggar garis sempadan, yang dianggap telah membahayakan, tanah yang dinyatakan masuk dalam jalur hijau dan sebagainya.