i
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Haid atau yang sering disebut dengan menstruasi merupakan pelepasan lapisan dalam
(endometrium) yang disertai pendarahan, terjadi berulang setiap bulan secara periodik,
kecuali pada saat hamil. Sedangkan siklus haid adalah waktu sejak hari pertama haid sampai
datangnya haid periode berikutnya.
Siklus haid setiap perempuan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, bukan saja
antara beberapa perempuan, tetapi juga pada perempuan yang sama. Juga pada kakak beradik
bahkan saudara kembar siklus haidnya tidak terlalu sama.
Sebelum datangnya haid, setiap perempuan umumnya mengalami sindrom bulanan atau yang
lebih dikenal dengan sindrom pra-haid. Sindrom ini sangat mengganggu aktifitas perempuan,
terutama mereka yang aktif bekerja diluar rumah.
Selain itu, gangguan haid juga sering terjadi seperti: dismenorea, hipermenorea,
hipemenorea, amenorea, dan masih banyak gangguan haid lainnya yang sering dialami oleh
para perempuan.
Karena kurangnya pengetahuan serta informasi yang dimiliki oleh sebagian besar perempuan
tentang siklus haid, sindrom pra-haid, serta gangguan haid dalam masa reproduksi, maka
penulis tertarik untuk membahas tentang masalah yang sering dialami oleh setiap perempuan
ini. Dalam al-Quran terdapat ayat yang menjelaskan haid dan menstruasiyang berbunyi:
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu
hendaklah ka mu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan oleh Allah Swt kepadamu. Sesungguhnya Allah itu
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (al-
Baqarah: 222). Kata al-adza berarti kotoran (bahaya dan penyakit). Kata al-haid menurut
istilah bahasa adalah banjir. Dan menurut syariat adalah darah yang keluar dari rahim
perempuan pada saat tertentu dan dengan sifat-sifat tertentu pula, sebagai tanda persiapan
pembuahan antara suami dengan istri untuk menunjang kelestarian jenis manusia.
Dari pengertian tersebut, pengertian menstruasi menurut syariat merupakan tanda awal
dimana seorang gadis beranjak pada kematangan dan kedewasaan, serta telah memenuhi
salah satu syarat untuk melaksanakan perkawinan guna melestarikan keturunan. Sedangkan
darah menstruasi itu sendiri ditafsirkan sebagai kotoran yang berarti bahaya dan penyakit.
Tentunya seorang wanita yang telah mengalaminya harus selalu menjaga kebersihan dan
tidak melanggar aturan syariat, salah satunya yaitu melakukan hubungan badan saat
menstruasi.
i
1.2 Rumusan masalah
2.1 Bagaimana Definisi Haid ?
2.2 Bagaimana Masa Haid ?
2.3 Bagaimana Sifatnya ?
2.4 Bagaimana Warnanya ?
2.5 Bagaimana Waktu Lamanya Haid ?
2.6 Bagaimana Larangan Selama Haid?
2.7 Bagaimana Yang Diperbolehkan Bagi Laki-Laki Terhadap Istri Yang Sedang Haid?
2.8 Bagaimana Kaparat (Tebusan) Bagi Laki-Laki yang Menggauli Istri yang Haid?
2.9 Bagaimana Haid dalam pandangan agama islam?
2.10 Bagaimana Hukum bersetubuh ketika haid?
2.11 Bagaimana Haid, Nifas, dan Istihadoh dalam Perspektif al-Qur’ân dan al-Hadits
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui Definisi Haid
Untuk mengetahui Masa Haid
Untuk mengetahui Sifatnya
Untuk mengetahui Warnanya
Untuk mengetahui Waktu Lamanya Haid
Untuk mengetahui Larangan Selama Haid
Untuk mengetahui Yang Diperbolehkan Bagi Laki-Laki Terhadap Istri Yang Sedang
Haid
Untuk mengetahui Kaparat (Tebusan) Bagi Laki-Laki yang Menggauli Istri yang Haid
Untuk mengetahui Haid dalam pandangan agama islam
Untuk mengetahui Hukum bersetubuh ketika haid
Untuk Haid, Nifas, dan Istihadoh dalam Perspektif al-Qur’ân dan al-Hadits
i
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Haid
Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam kondisi sehat, tidak karena
melahirkan atau pecahnya selaput dara.
2.2 Masa Haid
Banyak ulama berpendapat bahwa masa haid dimulai setelah wanita mencapai usia minimal 9
tahun. Apabila wanita melihat darah sebelum mencapai usia ini, maka itu bukan darah haid,
tetapi darah penyakit.
Terkadang darah haid berlangsung hingga akhir umur dan tidak ada dalil bahwa haid mempunyai
batas akhir. Maka bila mana perempuan yang sudah tua melihat darah, itu adalah haid. Hal ini
banyak diterangkan oleh bebrapa madzhab fiqih secara rinci :
a) Malikiyah (Pengikut Imam maliki)
Pengikut imam Maliki berpendapat bahwa apabila darah keluar dari gadis remaja 9-13 tahun,
kemudian wanita itu ditanya tentang hal itu. Bila mereka beranggapan bahwa darah itu haid atau
ragu, maka ia telah haid. Dan bila mereka menyatakan bahwa itu bukan darah haid, maka ia
belum haid, tetapi itu darah penyakit (istihadhah) dan mereka harus diperiksa oleh dokter yang
jujur.
Apabila darah itu keluar dari wanita yang usianya telah 13-50 tahun, maka itu yang pasti darah
haid. Jika ada darah keluar dari wanita yang usianya telah 50-70 tahun, maka wanita itu ditanya
tentang hal itu. Bilamana darah itu keluar dari wanita yang berumur 70 tahun, maka itu pasti
bukan darah haid, tetapi (istihadhah) penyakit.
Begitu pula jika darah itu keluar dari gadis yang umurnya belum mencapai 9 tahun.
b) Hanafiah (Pengikut Imam Hanafi)
Ahli fiqih imam Hanafi berpendapat, apabila darah keluar dari anak perempuan berumur 9 tahun,
maka darah itu adalah darah haid menurut madzhab yang terpilih. Apabila wanita mulai melihat
darah haid, maka ia harus meninggalkan puasa dan shalat sampai usia putus haid, yaitu ketika
mencapai usia 53 tahun menurut madzhab yang terpilih. Dan apabila darah keluar pada usia
diatas 55 tahun, maka itu bukan darah haid.
c) Hanabilah (Pengikut Imam Hambali)
Pengikut imam Hambali menetapkan batas usia putus haid adalah 50 tahun. Andaikata wanita
melihat darah diatas usia itu, maka bukan darah haid walaupun memancar kuat.
d) Syafi’iah (Pengikut Imam Syafi’i)
Fuqaha Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada batas akhir bagi usia haid. Mungkin haid
berlangsung selama wanita masih hidup. Akan tetapi pada umumnya ia berhenti sesudah umur
62 tahun, itu adalah usia putus haid pada umumnya.
i
2.3 Sifatnya
Diantara sifat-sifat yang menjadi ciri darah haid ialah bahwa darah haid itu darah yang kehitam-
hitaman dan baunya tidak sedap.
2.4 Warnanya
Darah haid mempunyai warna berbeda disamping sifatnya yang khas dan umum. Perbedaan
warna itu dilihat ketika wanita itu dimasa haid. Ada 6 warna yaitu : hitam, merah, kuning, keruh,
hijau dan abu-abu. Warna hitam dan merah adalah haid sebagaimana telah disepakati hadits
berikut ini :
? Dari Urwah bahwa fatimah binti Abi Jahsyin mengalami istihadhah, maka Nabi SAW berkata
kepadanya “Apabila darah haid, maka warnanya hitam dan sudah dikenal, oleh karena itu
tinggalkan shalatmu. Bilamana lain warnanya itu adalah urat terputus”. (HR Abu Dawud, Nasa’i,
Ibnu Hibbah dan Al-hakim)
Asy-Syaukani menyatakan “Hadits itu menunjukan bahwa darah haid diketahui dengan sifatnya.
Jika darahnya berwarna hitam, ia adalah darah haid. Kalau tidak, maka ia adalah darah
istihadhah”
Para imam madzhab berselisih tentang hal itu :
1. Hanafiyah dan Syafi’iah menyatakan, ia adalah haid jika keluar pada hari haid, yaitu
sepuluh hari menurut Hanafiyah dan lima belas hari menurut fuqaha Syafi’iyah
2. Menurut Malikiyah, ia adalah haid pada hari-hari kebiasaanya dan tiga hari sesudahnya
untuk membersihkan diri.
3. Hanabilah berpendapat, ia adalah haid pada hari-hari kebiasaan dan tidak diperhitungkan
diluar hari-hari kebiasaannya.
4. Abu Yusuf menyatakan, warna keruh tidak dianggap haid, kecuali sesudah keluarnya
darah.
5. Sedangkan Ibnu Hazm, Ats-Tsauri dan Al-Aiza’iy menegaskan bahwa warna keruh dan
kuning bukanlah haid sama sekali.
2.5 Waktu Lamanya Haid
Menurut Syafi’iyah sedikitnya masa haid adalah satu hari satu malam, menurut Maliki satu jam
dan menurut Abi Hanifah tiga hari.
Sedikitnya masa haid adalah tiga hari tiga malam dan pertengahannya lima hari dan sebanyak-
banyaknya sepuluh hari. Tidak disyaratkan harus keluar darah dalam setiap saat, tetapi cukup
pada awalnya meskipun diselingi masa suci dan seluruhnya dianggap haid. Dari Ar-Rabi bin
shabih, ia mendengar Anas berkata “Masa haid tidak lebih dari sepuluh hari“. Asy-Syeikh
Mahmud Khattab As-Subki berkata “Jelas tidak disyarakatkan keluarnya darah selama 3 hari
atau sepuluh hari tanpa berhenti. Akan tetapi yang diperhitungkan adalah masa permulaan haid
dan berakhirnya”.
i
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa sedikitnya masa suci yang memisahkan antara dua
haid adalah 15 hari.
2.6 Larangan Selama Haid
Bagi wanita haid dilarang melakukan shalat, puasa, masuk masjid, membaca Al-Qur’an dan
menyentuhnya, melakukan thawaf dan berhubungan badan.
? Berhubungan badan setelah berhenti darah
Asy-Syeikh Mahmud Khattab As-Subki menyatakan bahwa jumhur ulama berpendapat
“Diharamkan bergaul dengan istri ketika berhenti darah haidnya, sebelum mandi walaupun
setelah batas maksimal”. Allah SWT befirman :
“Dan janganlah kamu mendekati mereka (istri) hingga mereka suci”. (Al-Baqarah : 222)
? Larangan shalat dan puasa bagi wanita haid
Dari Abi Said dalam sebuah riwayatnya, bahwa Nabi SAW bertanya kepada para wanita
“Bukankah kesaksian wanita separuh dari kesaksian orang lelaki ?” mereka menjawab “Ya”
Nabi SAW bersabda “Itu merupakan bukti kelemahan akalnya. Bukanlah bila haid ia tidak shalat
dan tidak puasa ?” mereka menjawab “Ya” Nabi SAW bersabda “Itu merupakan kekurangan
agamanya”.
As-Syaukani berkata, kata-kata tidak shalat dan tidak puasa menunjukan bahwa larangan bagi
wanita haid untuk puasa dan shalat setelah berlaku sebelum peristiwa itu. Hadits tersebut
menunjukan tidak wajib shalat dan puasa bagi wanita yang sedang haid. Dan ini merupakan
konsensus ulama. Hadits itu menunjukan bahwa akal bisa bertambah dan berkurang, begitu pula
iman. Para ahli fiqih sepakat bahwa wanita yang haid tidak wajib meng-qadha shalat dan wajib
meng-qadha puasa.
? Makan bersama wanita haid
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa firman Allah SWT “Maka jauhilah mereka (istri)
disaat mengalami haid” adalah menjauhi dan tidak makan bersama.
Akan tetapi disebutkan dalam sunnah keterangan yang menetapkan maksud ayat itu adalah
menjauhi persetubuhan dengan wanita. Bahkan ada riwayat bahwa Rasulullah SAW, pernah
meletakan mulutnya pada tempat bekas mulutnya Aisyah. Jadi tidak ada larangan untuk makan
bersama waktu haid.
2.7 Yang Diperbolehkan Bagi Laki-Laki Terhadap Istri Yang Sedang Haid
a. Dari Anas bin Malik “Wanita kaum Yahudi dahulu apabila haid, mereka tidak makan
bersamanya dan tidak dan tidak berkumpul dengannya dalam satu rumah”.
Para sahabat Nabi SAW bertanya, kemudian Allah SWT menurunkan ayat :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah kotoran, oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid”. (Al-Baqarah : 222)
i
Kemudian Rasulullah SAW menjawab “Lakukan segala sesuatu kecuali nikah”.
Dalam lafal ini “kecuali jima (bersetubuh)”
b. Dari Ikrimah dari salah seorang Istri Nabi SAW, bahwa “Nabi SAW apabila menginginkan
sesuatu dari istrinya yang haid, beliau letakkan sesuatu diatas kemaluannya” (HR Al-Jamaah
kecuali Bukhari)
c. Marwan bin Ajda bertanya kepada Aisyah RA, “Apa yang boleh disentuh laki-laki dan istri
yang sedang haid ?”Aisyah menjawab, “Setiap sesuatu, kecuali kemaluan” (HR Bukhari)
d. Dari Hizam bin Hakim dari pamannya, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW “Apa yang
halal dari istri ketika ia haid ?” Nabi SAW menjawab “bagian-bagian yang diatas sarung”
Dari hadits-haits ini kita lihat bahwa hadits pertama menunjukan diperbolehkan menikmati
seluruh badan tanpa menunjuk suatu tempat tertentu, kecuali kemaluan.
Hadits kedua menunjukan diperbolehkan menikmati bagian tubuh istri yang haid diatas sarug
yang dipakai dan tidak boleh anggota lainnya.
2.8 Kaparat (Tebusan) Bagi Laki-Laki yang Menggauli Istri yang Haid
Dari Ibnu Abas, Nabi SAW, menjelaskan tentang laki-laki yang meggauli istrinya yang sedang
haid, ia harus mengeluarkan sedekah satu dinar atau setengah dinar.
Para ulama berbeda pendapat tentang kaparat dalam hadits ini, Asy-Syaukuni menyatakan bahwa
“Hadits itu menunjukan kewajiban kaparat bagi orang yang menggauli istri yang sedang haid.
Pendapat itu mengikuti Ibnu Abbas, Hasan Al-Bashri, Said bin Jubar, Qatadah Al-Auza’iy, Ishaq
dan Ahmad.
Mereka berselisih tentang jenis kaparatnya. Al-hasan dan said berpendapat, membebaskan
seorang budak, yang lain berpendapat uang satu atau setengah dinar sesuai dengan perbedaan
penghasilan mereka. Ia menambahkan, itulah riwayat yang paling sahih dari Asy-Syafi’i dan
Ahmad diantara dua riwayat yang telah dikemukakan. Mayoritas ulama salaf berpendapat, tidak
ada kaparat baginya, tetapi wajib beristighfar (Bertaubat).
2.9 Haid dalam pandangan agama islam
Haid adalah darah yang dikeluarkan dari rahim apabila perempuan telah mencapai
usia balig. Setiap bulan perempuan mengalami masa-masa haid dalam waktu tertentu. Jangka
waktu haid minimal sehari semalam dan maksimal selama lima belas hari, namun umumnya
adalah enam atau tujuh hari.
Jika perempuan hamil dengan izin Allah darah haid itu berubah menjadi makanan
janin yang berada di dalam kandungannya. Maka, perempuan hamil tidak mengalami haid.
Dalam masalah haid ini, perempuan dikelompokkan menjadi tiga kelompok: mubtada'ah
(perempuan yang baru menjalani haid untuk pertama kalinya), mu'tadah (perempuan yang
sudah terbiasa menjalani haid), dan mustahadhah (perempuan yang darahnya keluar dan tidak
berhenti.
i
Mubtada'ah adalah perempuan yang baru pertama kali mengalami haid. Jika melihat
ada darah keluar, ia harus meninggalkan salat, puasa, jimak (berhubugan suami istri), dan
amalan lain yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang haid, hingga datangnya masa
suci. Jika dalam masa sehari semalam ia melihat kesuciannya, hendaknya segera mandi dan
menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Jika darahnya tidak berhenti selama lima belas hari,
perempuan tersebut dianggap sebagai perempuan mustahadhah.
Mu’tadah adalah perempuan yang sudah terbiasa menjalani haid. Jika telah selesai
menjalani masa haid, kemudian ia mendapati darah berwarna kekuning-kuningan atau
berwarna keruh, hal tersebut tidak perlu dihiraukan. Artinya, darah tersebut tidak dianggap
sebagai darah haid.
Mustahadhah adalah perempuan yang darahnya keluar terus-menerus melebihi
kebiasaan masa berlangsungnya haid. Jika perempuan mustahadhah adalah perempuan yang
sudah terbiasa menjalani masa haid setiap bulannya, dan ia mengetahui kebiasaan tersebut,
hendaknya ia menjalani masa haidnya hingga selesai. Jika masa haidnya telah selesai, ia
diharuskan mandi, mengerjakan salat, puasa seperti biasanya. Namun, ia harus berwudu
setiap hendak mengerjakan salat. Jika keadaan mendesak, ia boleh melakukan jimak. Dari
Ummu Salamah r.a. bahwa ia pernah meminta fatwa kepada Rasulullah saw. mengenai
seorang perempuan yang selalu mengeluarkan darah. Maka, Rasulullah saw. bersabda,
"Hitunglah berdasarkan bilangan malam dan hari dari masa haid pada setiap bulan
berlangsungnya, sebelum ia terkena serangan darah penyakit yang menimpanya itu. Maka,
tinggalkanlah salat sebanyak bilangan haid yang biasa dijalaninya setiap bulan. Apabila
ternyata melewati dari batas yang berlaku, maka hendaklah ia mandi, lalu memakai cawat
(pembalut) dan mengerjakan salat." (HR Abu Dawud dan An-Nasai dengan isnad hasan).
2.10 Hukum bersetubuh ketika haid
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu‘ Abbas Radhiallahu ‘anhuma,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya bagaimana dengan keadaan seseorang yang
mendatangi (menjimak atau menyetubuhi) isterinya pada ketika haid. Beliau bersabda: Dia
bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.”
Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Majah, ad-Daruquthni,
ad-Darimi dan an-Nasa’i. Menurut Abu Daud dan al-Hakim, ini adalah hadis shahih.
Manakala yang lainnya mengkategorikan hadis ini bertaraf marfu‘ dan mawquf.
Manakala hadis mawquf kepada Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma Baginda
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika (dia) menyetubuhinya (isterinya) pada waktu
permulaan darah (haidh), maka (dia membayar) satu dinar. Dan jika (dia) menyetubuhinya
(isterinya) pada waktu darah berhenti (kering), maka (dia) membayar setengah dinar.”
i
Berdasarkan kedua-dua hadis di atas, kaffarah yang dimaksudkan itu ialah 1 (satu)
dinar jika berlaku persetubuhan pada permulaan haid, iaitu ketika darah haid masih kuat
warnanya.
Manakala ½ (setengah) dinar jika berlaku persetubuhan pada penghujung atau akhir haid,
iaitu ketika darah haid beransur lemah warnanya dan hampir-hampir kering atau sudah
berhenti.
Adapun maksud dinar di atas adalah dinar mengikut timbangan Islam daripada emas
tulin. Satu dinar bersamaan dengan satu misqal daripada emas, iaitu 4.25 gram emas
(mengikut timbangan pada zaman sekarang).
Sebagai irsyad, harga minima bagi satu gram emas 21 karat (setakat Irsyad Hukum ini
ditulis) ialah $29.70. Maka nilai satu dinar mengikut nilaian matawang ringgit ialah 4.25
gram x $29.70 = $126.225. Manakala setengah dinar pula bernilai $63.1125.
Kaffarah yang disebutkan itu hanya dikenakan ke atas suami sahaja dan disedekahkan
kepada golongan fakir dan miskin. Manakala menurut Imam ar-Rafi‘e Rahimahullah,
memadai kaffarah tersebut diberikan kepada seorang fakir .
Darah Nifas.
Darah nifas, ialah darah yang keluar dari rahim perempuan selepas melahirkan anak,
sekalipun hanya berupa segumpal darah. Jangka masa keluarnya darah nifas :
1. Masa yang paling pendek ialah kadar keluar setitik darah.
2. Masa yang sederhana ialah empat puluh hari.
3. Masa yang paling lama ialah enam puluh hari.
Nifas didefinisikan oleh noormuslima.com sebagai masa dimana seorang wanita mengalami
keluar darah dari bagian kemaluannya karena setelah proses persalinan. Bahkan ada beberapa
ulama Islam yang mengkategorikan keluarnya darah akibat keguguran juga merupakan masa
nifas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa nifas adalah segala bentuk keluarnya darah dari bagian
kemaluan seorang wanita karena segala bentuk kelahiran, meskipun bayi meninggal di dalam
kandungan.
Ditulis pada situs mukminun.com bahwa pandangan Islam tentang masa nifas salah satunya
disebutkan pada sebuah hadist riwayat At-Tarmidzi bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda
bahwa masa nifas terjadi kurang lebih selama 40 hari, kecuali seorang wanita telah melihat
dirinya suci sebelum itu. Nah selama menjalani masa nifas tersebut, sama halnya dengan ketika
haid, seorang wanita tidak boleh menunaikan ibadah sholat dan puasa.
Berbeda dengan orang haid yang dapat membayar puasanya kelak di kemudian hari, seorang
wanita yang mengalami nifas jika tidak berpuasa memiliki pilihan membayar fidyah sesuai
jumlah hari dia tidak berpuasa.
i
2.11 Haid, Nifas, dan Istihadoh dalam Perspektif al-Qur’ân dan al-Hadits
Pandangan Islam tentang haid sebagaimana dinyatakan oleh al-Qur’ân mengandung sebuah
pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi Yahudi sebelumnya. Dalam tradisi Yahudi,
perempuan yang sedang menstruasi dianggap sebagai perempuan kotor yang bisa mendatangkan
bencana sehingga harus diasingkan dari masyarakat. Selama menstruasi ia harus tinggal dalam
gubuk khusus (menstrual huts), tidak boleh diajak makan bersama, dan bahkan tidak boleh
menyentuh makanan. Tatapan mata perempuan yang sedang haid disebut mata Iblis (evil eye)
yang harus diwaspadai karena mengandung bencana. Oleh karena itu perempuan yang sedang
haid harus menggunakan tanda tertentu seperti gelang, kalung, giwang, celak mata, cadar, riasan
wajah yang khusus dan sebagainya agar segera dapat dikenali kalau ia sedang haid. Semua itu
diberlakukan untuk mencegah “si mata Iblis”.
Pandangan teologis yang demikain negatif ini kemudian ditentang oleh al-Qur’ân dan dipertegas
dalam hadits. Hal ini tampak ketika kita melihat sebab turunnya (asbabun nuzûl) ayat haid (QS.
Al-Baqarah/2:222). Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa sekelompok sahabat Nabi bertanya
kepada Nabi tentang perilaku orang Yahudi yang tidak mau makan bersama dan bergaul dengan
istrinya di rumah ketika si istri haid. Maka turunlah ayat ini :
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah (darah) haid adalah kotoran,
maka menjauhlah kalian dari istri kalian di tempat keluarnya haid. Dan janganlah kalian
mendekati mereka sampai mereka suci. Jika mereka telah bersuci maka datangilah (campurilah)
mereka sesuai dengan cara yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” Selanjutnya
Rasulullah SAW berkata :
Artinya: “Berbuatlah apa saja kecuali berhubungan seks”.
C.Persetubuhan
Kita tidak boleh bersikap malu dalam memahami ilmu agama, untuk menanyakan sesuatu
hal. Aisyah r.a. telah memuji wanita Anshar, bahwa mereka tidak dihalangi sifat malu untuk
menanyakan ilmu agama. Walaupun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan haid, nifas,
janabat, dan lain-lainnya, di hadapan umum ketika di masjid, yang biasanya dihadiri oleh orang
i
banyak dan di saat para ulama mengajarkan masalah-masalah wudhu, najasah (macam-macam
najis), mandi janabat, dan sebagainya.
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur’an dan hadis yang ada hubungannya
dengan masalah tersebut, yang bagi para ulama tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara
menerangkan secara jelas mengenai hukum-hukum Allah dan Sunnah Nabi saw. dengan cara
yang tidak mengurangi kehormatan agama, kehebatan masjid dan kewibawaan para ulama.
Hal itu sesuai dengan apa yang dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah
hubungan ini, agar diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi atau dibesar-
besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-isteri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan
mereka, maka hendaknya memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
kesalahan dan kerusakan terhadap kelangsungan hubungan suami-isteri. Kesalahan yang
bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi dari kehidupan manusia dan kehidupan
berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum
dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada
satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta
ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam
melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang
orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi saw,
yaitu menikah.
Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:
“Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyu, kepada Allah daripada kamu,
tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka,
barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”
2. Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai
hubungannya dengan cara menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan
mengerjakannya dianggap suatu ibadat.
Sebagaimana keterangan Nabi saw.:
“Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah
ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.
Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga
dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang
buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik.”
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki
kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat
menahan diri.
i
Karenanya diharuskan bagi wanita menerima dan mentaati panggilan suami. Sebagaimana
dijelaskan dalam hadis:
“Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia
sedang masak.” (H.r. Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).
Al-Ghazali berkata, “Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-
kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan
telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri,
sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas.”
Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’aad Fie Haadii
Khainrul ‘Ibaad, mengenai sunnah Nabi saw. dan keterangannya dalam cara bersetubuh.
Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:
Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir
Allah.
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.
Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu: Menundukkan pandangan, menahan nafsu,
menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan. Nabi saw. telah
menyatakan:
“Yang aku cintai di antara duniamu adalah wanita dan wewangian.”
Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya
menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan.”
Kemudian Ibnul Qayyim berkata, “Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-
gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya.”
Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat
konservatif, bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa
kini.
Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan
seksual diantara kedua pasangan, suami isteri, yang telah diterangkan dalam Al-Qur’anul Karim
pada Surat Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.
Firman Allah swt.:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu,
Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu
i
sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam
masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya …” (Q.s. Al-Baqarah: 187).
Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-isteri,
kecuali yang telah disebutkan, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Q.s. Al-
Baqarah 187).
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah
tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemuiNya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Q.s. Al-
Baqarah: 222-223).
Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya
masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat di atas disebutkan:
“Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara bagaimanapun kamu
kehendaki.” (Q.s. Al-Baqarah: 223).
i
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Darah Haidh. Darah haidh ialah darah yang keluar dari rahim perempuan yang berumur 9
tahun atau lebih dengan kiraan tahun hijriyyah di dalam keadaan sihat. Masa keluarnya darah
haidh
Darah Nifas. Darah nifas, ialah darah yang keluar dari rahim perempuan selepas melahirkan
anak, sekalipun hanya berupa segumpal darah. Jangka masa keluarnya darah nifas.
Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi dari kehidupan manusia dan
kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah
tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya.
Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
Dari paparan di atas tampak bahwa Islam –seperti tampak dalam al-Qur’ân dan al-Hadits-
mempunyai pandangan yang positif terhadap perempuan yang sedang haid, nifas dan istihadoh.
Tidak ada satupun teks yang menganggap perempuan yang sedang menjalani proses
reproduksinya ini sebagai orang yang kotor dan harus dijauhi. Demikian juga fiqh secara
substansial tidak memandang negatif proses reproduksi perempuan ini, meskipun dalam
beberapa produk hukum tertentu fiqh tidak mencerminkan sensitivitas gender.
Mengingat haid, nifas, dan istihadoh tidak hanya berkaitan dengan masalah ibadah dan
hubungan suami-istri, melainkan berkaitan langsung dengan persoalan kesehatan reproduksi
perempuan, maka kondisi riil perempuan sudah seharusnya menjadi acuan utama dalam seluruh
produk hukum dan ketentuan yang menyangkut masalah haid, nifas dan istihadoh ini.
3.2 Saran
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan.
i
DAFTAR PUSTAKA
Http://www.fahmina.or.id/pemikiran-fahmina/fiqh-perempuan/700-haid-nifas-dan-
istihadoh.html
Badriyyah fayyumi 2007 “haid, nifas dan istihadoh”, di kh. Husein muhammad,
faqihuddin abdul kodir, lies marcoes natsir dan marzuki wahid, dawrah fiqh concerning
women – modul kursus islam dan gender, fahmina institute, cirebon, 2007.
http://islamiwiki.blogspot.com/2012/06/arti-dan-pengertian-haid.html#.upgahcep_zc
http://www.referensimakalah.com/2013/01/pengertian-menstruasi-dari-berbagai-
tinjauan.html
http://makalah-update.blogspot.com/2012/11/makalah-tentang-haid.html
http://mustafidinahmad.wordpress.com/2010/04/10/menstruasihaid-dalam-fiqih- islam/
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan pada Allah SWT, Karena atas berkat dan rahmat-Nya penyusun
dapat menyelesaikan penyusunan makalah Agama ini. Dengan kami harapkan kiranya makalah
yang telah kami susun dapat bermanfaat bagi para pembaca atau pihak lain yang membutuhkan
informasi dalam makalah “PANDANGAN ISLAM TERHADAP HAID, NIFAS, DAN
PERSETUBUHAN”
Dalam makalah ini terdapat banyak sekali informasi mengenai nilai-nilai yang berkaitan dan
menjadi dasar dalam Kebidanan.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini jauh dari kata sempurna,untuk itu
kami berbesar hati untuk menerima segala kritik dan saran dari berbagai pihak. Kami juga tidak
lupa menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata kami mohon maaf atas kekurangan serta kejanggalan baik isi maupun dalam teknik
penyusunannya.
Raha, November 2013
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................................ 1
B. Rumusan masalah............................................................................................................ 2
C. Tujuan............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Haid................................................................................................................... 3
2.2 Masa Haid................................................................................................................... 3
2.3 Sifatnya................................................................................................................... 4
2.4 Warnanya................................................................................................................... 4
2.5 Waktu Lamanya Haid.................................................................................................... 4
2.6 Larangan Selama Haid.................................................................................................... 5
2.7 Yang Diperbolehkan Bagi Laki-Laki Terhadap Istri Yang Sedang Haid...................... 5
2.8 Kaparat (Tebusan) Bagi Laki-Laki yang Menggauli Istri yang Haid............................. 6
2.9 Haid dalam pandangan agama islam..............................................................................6
2.10 Hukum bersetubuh ketika haid.................................................................................. 7
2.11 Haid, Nifas, dan Istihadoh dalam Perspektif al-Qur’ân dan al-Hadits.......................9
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN................................................................................................................13
3.2 SARAN............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................14
Top Related