MAKALAHALAT TANGKAP RAMAH LINGKUNGAN
(GILL NET)
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH DASAR-DASAR PENANGKAPAN IKAN
Dr. Ir. Djumanto, M.Sc.
PENYUSUN :
Zaenab Ajiyatin (14/369723/PN/13957)
Saiful Nur S. (14/369737/PN/13959)
JURUSAN PERIKANANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA
2015
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu pemenuh tugas dari mata kuliah Dasar-dasar Penangkapan
Ikan. Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini agar kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.
Yogyakarta, April 2015
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………….……………………. 1
Daftar Isi …………………………………………………………………………... 2
Daftar Tabel, Daftar Gambar, dan Daftar Lampiran...................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .....……………………………………………….......5
1.2. Study Area dan Metode ……..…………………………………………….….. 5
BAB 2 HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Hasil …………………………………………………………………………....7
2.2. Pembahasan ………………………………………………………………….....7
REFERENSI…………………………………………………………………..…....
3
DAFTAR TABEL
1.1 Tabel Klasifikasi alat penangkapan ikan menurut ISSCFGFAO, 1971...............................................................................................................................11
1.2 Tabel Perbedaan Serat Alam Dan Sintetis...............................................................14
DAFTAR GAMBAR
1.1 Gambar hanging rasio horizontal yang umum.............................................................12
1.2 Gambar Jumlah Lembaran Jaring insang.................................................................15
1.3 Gambar Gill net rangkap dua (Jalapdu/ Double Nets)......................................................16
1.4 Gambar Gill net rangkap tiga (trammel net)......................................................................16
1.5 Gambar Rancangan alat tangkap jaring.....................................................................17
1.6 Gambar jaring dan kedudukan jaring didasar perairan............................................18
DAFTAR LAMPIRAN
4
BAB 1PENDAHULUAN
Penangkapan ikan menurut sejarahnya sudah dimulai sejak sekitar 100.000 tahun
lalu yang dilakukan oleh manusia Neanderthal diawali dengan menggunakan tangan yang
kemudian berkembang terus menerus secara perlahan menggunakan alat bantuan berupa
batu, kayu, tulang, dan tanduk. Pada awalnya penangkapan ikan dilakukan untuk
memperoleh bahan makanan bagi keluarga, komunitas, atau kelompok tertentu.
Penangkapan ikan semula dilakukan hanya menangkap ikan seekor-seekor yang
perolehanya tidak pasti, kadang berukuran besar atau dilain waktu memperoleh ukuran
kecil. Ikan tidak memiliki substitusi seperti halnya bahan makanan yang ada di daratan,
orang menangkap ikan lebih dari yang dibutuhkan untuk diri sendiri ketika diketahui
bahwa ikan dapat disimpan dan diolah menjadi berbagai bentuk. Hal semacam ini menjadi
pendorong bagi nelayan untuk mengembangkan alat tangkap sehingga dapat meningkatkan
jumlah hasil tangkapan.
Alat tangkap ikan yang sudah berkembang hingga kini menurut FAO 1971 yaitu
Jaring Lingkar, Pukat, Trawl, Penggaruk, Tangkul, Alat yang dijatuhkan, Jaring Insang dan
Jaring Puntal, Pancing, Alat Penjepit dan Melukai serta Mesin Pemanen. Gill net
merupakan salah satu dari berbagai jenis alat tangkap ikan berupa jaring insang. Gill net
termasuk jenis jaring insang karena ikan-ikan yang tertangkap pada jaring terjerat di sekitar
operculum pada mata jaring sebab yang menjadi sasaran penangkapannya adalah
operculumnya atau operculum pada ikan terjerat mata jaring ketika ikan berusaha
menerobos jaring. Penamaan Gill net di Indonesia beraneka ragam, ada yang menyebutnya
berdasarkan jenis ikan (jaring koro, udang, dan sebagainya) ada pula yang menyebutnya
berdasarkan nama tempat (jaring udang Bayeman) dan sebagainya (Ayodhiya,1991).
Menurut Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan gill net adalah
alat penangkapan ikan yang berupa selembar jaring berbentuk empat persegi panjang
dengan ukuran mata jaring (mesh size) yang sama atau beragam diseluruh bagian jaring
yang bagian atas jaringnya terdapat pelampung yang dilalui tali pelampung diikatkan pada
tali ris atas, sedangkan bagian bawahnya adalah pemberat yang dilekatkan pada tali ris
bawah. Fungsi dari pelampung dan pemberat itu sendiri agar jaring dapat terbentang
sempurna di dalam air(2009:61).
5
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara bahari dan negara terbesar di dunia memiliki 17.504
pulau dengan 70% area Indonesia yang berupa laut dan sebagian lainnya merupakan
danau, laguna, muara, waduk, sungai, dan rawa. Kekayaan alam pada laut Indonesia dapat
berupa sumber daya alam SDA terbarukan dan tidak terbarukan. Sumber daya alam SDA
terbarukan misalnya seperti perikanan yang seharusnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia, yang faktanya Indonesia belum bisa
memanfaatkannya dengan maksimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya nelayan
yang bisa dikatakan jauh dari kata kemakmuran dan kejayaan serta sumberdaya kelautan
yang masih hanya dipandang sebelah mata.
Selat Bali merupakan salah satu lokasi sumberdaya alam yang potensial di
Indonesia, namun jumlah tangkapan ikan nelayan di selat Bali mulai mengalami penurunan
hingga tahun 2000, hal ini disebabkan adanya penangkapan ikan yang berebih dengan
penggunaan alat tangkap ikan yang tak ramah lingkungan seperti purse sein. Produktivitas
purse sein yang sangat berlimpah disatu sisi menguntungkan nelayan, tapi disisi lain dapat
berpengaruh pada berkurangnya jumlah ikan (Prasetya, 2007). Selain penggunaan purse
sein yang menyebabkan penurunan hasil jumlah tangkapan ikan, penangkapan ikan tanpa
memperhatikan ukuran, jenis, dan umur ternyata memiliki dampak ganda yang secara tak
disadari oleh bangsa Indonesia telah merugikan bangsa sendiri.
Sesuatu yang lumrah sebuah kebijakan menuai pro dan kontra dari masyarakat,
apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak. Tidak terkecuali dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2015 yang telah ditindaklanjuti dengan
Surat Edaran Nomor 18/MEN-KP/I/2015. Aturan tersebut menerangkan soal pengaturan
penangkapan lobster hanya boleh dilakukan dengan ukuran panjang karapas di atas 8 cm,
selain itu, untuk ukuran kepiting dengan ukuran lebar karapas di atas 15 dan rajungan
dengan ukuran lebar karapas di atas 10 cm (Republika, 2015).
1.2. Study Area dan Metode
Makalah penangkapan ikan dengan alat tangkap ramah lingkungan (Gill net)
ini penulis susun dengan study area permasalahan alat tangkap ramah lingkungan pada
persoalan Pelabuhan Benoa dalam Asosiasi Tuna Long line Indonesia (ATLI) di Bali
dengan Permen KP No.1 Tahun 2015 meliputi pembahasan kondisi eksisting dan
persoalan yang ada atau timbul yang disebabkan berbagai faktor, misalnya hubungan
6
antara organisme, alat tangkap dan jenis ikan, menyajikan segi positif dan negatif
keberadaan alat tangkap (Gill net), dan upaya mempertahankan kondisinya agar tetap
optimum, serta menyajikan alternatif cara penanganan persoalan yang ada.
Metode yang penulis gunakan dalam penyusunan makalah ini berupa analisa
permasalahan alat penangkapan ikan dan eksploratif berbagai kejadian social tertentu atau
hubungan antara dua atau lebih variable.
7
BAB 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Hasil
Nelayan lobster sebelum pemberlakuan Permen KP No.1 Tahun 2015
mendapatkan keuntungan dari hasil ekspor lobster yang lumayan menggiurkan belum bisa
dikatakan sejahtera. Pemberlakuan Permen KP No.1 Tahun 2015 mengatur pelarangan
penangkapan lobster dengan berat dan ukuran tertentu mengakibatkan penghasilan para
nelayan berkurang, bahkan tidak jarang banyak nelayan yang tidak melaut lagi. Permen KP
No.1 Tahun 2015 dikeluarkan oleh mentri Susi Pujiastuti bukan tanpa sebab, menurutnya
selama 12 tahun ini Vietnam adalah negara eksportir terbesar di dunia, padahal bibit-
bibitnya dari Indonesia (KKP, 2015). Penerapan kebijakan Permen KP No.1 Tahun 2015
semata-mata bukan untuk mematikan pendapatan nelayan tapi justru untuk melindungi
nelayan.
Salah satu solusi yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan akibat
pemberlakuannya Permen KP No.1 Tahun 2015 yaitu dengan meminta bantuan jaring
dengan ukuran besar kepada nelayan kecil kepada ATLI (Asosiasi Tuna Long line
Indonesia) di Bali. ATLI bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali
memberikan jaring dengan ukuran besar kepada nelayan kecil. Bantuan jaring ramah
lingkungan kepada nelayan ini diharapkan bisa meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Hal
ini disampaikan Menteri Susi saat melakukan peninjauan terhadap PT. Bandar Nelayan,
sebuah perusahaan pengolahan Ikan Tuna yang tergabung dalam Asosiasi Tuna Long line
Indonesia (ATLI), di pelabuhan Benoa, Bali, 5 April 2015 (KKP, 2015).
2.2. Pembahasan
Perikanan tuna adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan
dan pemanfaatan SDI tuna dan lingkungan mulai dari produksi, pengolahan hingga
pemasaran dalam kesatuan industri tuna. Pemanfaatan SDI tuna di Indonesia didominasi
oleh armada penangkapan tuna longline (rawai tuna). Guna menjalin informasi dan
penguatan kelembagaan maka terbentuklah asosiasi-asosiasi tuna longline, asosiasi tuna
longline yang ada di Indonesia diantaranya ialah ATLI dan ASTUIN. Jumlah anggota
ATLI tahun 2009 terdata sebanyak 700 perusahaan dengan jumlah kapal sebanyak 995
buah. Anggota ATLI tidak terbatas longline (LL) saja termasuk handline cumi, purse seine
8
(PS), kapal penunjang PS, kapal jaring dan kapal angkut. Selain unit penangkapan ATLI
juga beranggotakan unit pengolahan ikan (UPI) dan doking kapal. Berdasarkan data ATLI
produksi tahun 2010 dengan jumlah kapal 969 buah sebesar 9.100 ton dengan jumlah
ekspor sebanyak 4.060 ton; sehingga produksi per kapal per tahun sebesar 14 ton. Tren
ekspor menujukkan indikasi penurunan produksi. Tujuan utama ekspor tuna ialah negara
Jepang dengan prosentase sebanyak 75%. Adapun untuk produk olahan setengah jadi dari
UPI dipasarkan ke negara USA (80%), UE (50%), dan Jepang (5%). Berdasarkan data dari
PT. Perikanan Nusantara margin usaha yang diperoleh pada tahun 2003 sebesar Rp 5,9
milyar, sedangkan pada tahun 2009 sebesar Rp 1,6 milyar; ada indkasi penurunan
(Andhika, 2010).
Alternatif penanganan persoalan yang ada di Bali tersebut dapat diselesaikan
dengan solusi yang diberikan ATLI yaitu memberikan bantuan jaring ramah lingkungan
yaitu alat tangkap ikan dengan jaring insang (gill net) seperti jaring ciker dan sirang
dengan ukuran yang ditentukan kepada nelayan kecil.
kriteria alat tangkap ramah lingkungan, FAO (1995) :
1. Selektifitas tangkapan yang tinggi(dari paling rendah hingga tinggi)
Kriteria Selektif : ukuran dan jenis :
a) Alat menangkap lebih dari tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
b) Alat menangkap tiga spesies dengan ukuran yang berbeda jauh
c) Alat menangkap kurang dari tiga spesies dengan ukuran yang kurang lebih
sama
d) Alat menangkap satu spesies saja dengan ukuran yang kurang lebih sama
2. Tidak merusak habitat, tempat tinggal dan berkembang biak ikan dan organisme lainnya.
Ada pembobotan yang digunakan dalam kriteria ini yang ditetapkan berdasarkan luas dan tingkat kerusakan yang ditimbulkan alat penangkapan. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut (dari yang rendah hingga yang tinggi):
a) Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang luas
b) Menyebabkan kerusakan habitat pada wilayah yang sempit
c) Menyebabkan sebagian habiat pada wilayah yang sempit
d) Aman bagi habitat (tidak merusak habitat)
9
3. hasil ikan tangkapan berkualitas tinggi
Dalam menentukan tingkat kualitas ikan digunakan kondisi hasil tangkapan secara
morfologis (bentuknya). Pembobotan (dari rendah hingga tinggi) adalah sebagai
berikut:
a) Ikan mati dan busuk
b) Ikan mati, segar, dan cacat fisik
c) Ikan mati dan segarIkan hidup
4. Tidak membahayakan nelayan(penangkap ikan)
Dampak yang mungkin dialami oleh nelayan, yaitu (dari rendah hingga tinggi) :
a) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat kematian pada nelayan
b) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat cacat menetap
(permanen) pada nelayan
c) Alat tangkap dan cara penggunaannya dapat berakibat gangguan kesehatan
yang sifatnya sementara
d) Alat tangkap aman bagi nelayan
e) Produksi tidak membahayakan konsumen
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan tingkat bahaya yang mungkin
dialami konsumen yang harus menjadi pertimbangan adalah (dari rendah hingga
tinggi):
a) Berpeluang besar menyebabkan kematian konsumen
b) Berpeluang menyebabkan gangguan kesehatan konsumen
c) Berpeluang sangat kecil bagi gangguan kesehatan konsumen
d) Aman bagi konsumen
6. Hasil sampingan (By-catch) rendah
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasarkan pada hal berikut (dari rendah
hingga tinggi):
a) Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis (spesies) yang
tidak laku dijual di pasar
b) Hasil tangkapan sampingan (by-catch) terdiri dari beberapa jenis dan ada yang
laku dijual di pasar
10
c) Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan laku dijual di
pasar
d) Hasil tangkapan sampingan (by-catch) kurang dari tiga jenis dan berharga
tinggi di pasar
7. Dampak negatif biodiversitas rendah
Pembobotan kriteria ini ditetapkan berdasasrkan pada hal berikut (dari rendah
hingga tinggi) :
a) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian semua mahluk hidup dan
merusak habitat
b) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies dan
merusak habitat
c) Alat tangkap dan operasinya menyebabkan kematian beberapa spesies tetapi
tidak merusak habitat
d) Aman bagi keanekaan sumberdaya hayati
8. Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
Tingkat bahaya alat tangkap terhadap spesies yang dilindungi undangundang
ditetapkan berdasarkan kenyataan bahwa:
a) Ikan yang dilindungi sering tertangkap alat
b) Ikan yang dilindungi beberapa kali tertangkap alat
c) Ikan yang dilindungi .pernah. tertangkap
d) Ikan yang dilindungi tidak pernah tertangkap
9. Secara sosial dapat diterima
Suatu alat diterima secara sosial oleh masyarakat bila:
a) biaya investasi murah
b) menguntungkan secara ekonomi
c) tidak bertentangan dengan budaya setempat
d) tidak bertentangan dengan peraturan yang ada
Pembobotan Kriteria ditetapkan dengan menilai kenyataan di lapangan bahwa (dari
yang rendah hingga yang tinggi):
a) Alat tangkap memenuhi satu dari empat butir persyaratan di atas
b) Alat tangkap memenuhi dua dari empat butir persyaratan di atas
11
c) Alat tangkap memenuhi tiga dari empat butir persyaratan di atas
d) Alat tangkap memenuhi semua
KLASIFIKASI ALAT PENANGKAP IKAN MENURUT ISSCFG(International Standard Statistical Classification Fishing Gear)FAO, 1971. (Tabel 1.1)
12
Gill NET (Jaring Insang)Gill net adalah beberapa rangkaian lembaran jaring berbentuk empat persegi
panjang dengan ukuran panjang jaring maksimum adalah tidak boleh lebih dari 2.500
meter. Gill net menyebabkan ikan tertangkap dengan cara terjerat atau terbelit pada mata
jaring di sekitar operkulum/tutup insangnya. Jenis ikan yang tertangkap adalah jenis ikan
yang berenang kearah horizontal, sedangkan migrasi verticalnya tidak seberapa aktif. Jenis
ikan yang tertangkap termasuk yang berenang dekat permukaan laut dan hasil tangkapan
surface gillnet adalah tenggiri (Scomberomerusc ommersoni), cakalang (Katsuwonus
pelamis), tongkol (Auxis spp.), kuwe (Caranx spp) dan alu-alu (Sphyraena spp.)
Persyaratan Gillnet
Agar ikan terjerat atau terbelit:
a. Kekakuan twine (rigidity of petting twine)
Twine yang lembut di atur dengan: memperkecil diameter twine atau
mengurangi pilin persatuan panjang, ataupun bahan celup pemberi warna
ditiadakan. Semakin lembut semakin mudah menjerat.
b. Ketegangan rentangan tubuh jaring
Kuat rentangan kearah panjang (horizontal) dan lebar (bawah). Ketegangan
jaring, dipengaruhi: pelampung, pemberat, berat tubuh jaring, tali temali, shortening
dan lingkungan.
c. Hanging rasio
Beda panjang jaring setelah dilekatkan pada floatline dengan panjang tubuh
jaring dalam keadaan teregang sempurna (strech) Hanging rasio = L/Lo
Contoh hanging rasio horizontal yang umum dibuat(Gambar 1.1) :
13
Contoh menghitung luas jaring:
S=E x√1−E2 x L x H x a2
S= Luas jaring (m 2 )
E= hanging rasio memanjang
L = Jumlah mata jaring memanjang
H =Jumlah mata jaring vertikal
a2 = ukuran mata jaring
Luas jaring maksimum: E=0,71
d. shortening atau shrinkage
Merupakan beda panjang tubuh jaring dalam keadaan teregang sempurna dengan
panjang jaring setelah direkatkan float line disebutkan dalam persen .
Shortening = ((Lo-L1)/Lo)x100%
e. Tinggi jaring
Tinggi jaring merupakan jarak antara float line dengan sinker line pada saat jaring
terpasang di perairan. Digunakan sebagai pembeda dengan lebar jaring (mesh
depth) yang biasanya digunakan untuk menjelaskan satuan jumlah mata jaring
ataupun meter. Tinggi jaring = 2a n √2 s−s2 . Mesh size (2a), jumlah mata (n),
shortening (s)
f. Mesh size dan besar ikan
Gillnet bersifat selektif terhadap besar ukuran dari ikan tangkapan yang diperoleh.
Oleh karena itu untuk mendapatkan jumlah tangkapan yang banyak harus
disesuaikan dengan besar badan ikan yang jumlahnya banyak pada fishing ground.
g. Warna jaring
Warna Webbing atau jaring ketika berada dalam air akan dipengaruhi oleh
kedalaman air, transparansi, sinar matahari, sinar bulan dll. Warna jaring
mempengaruhi visibilitas ikan. Warna jaring semakin transparan maka ikan
semakin sulit membedakan dengan lingkungannya.
14
BAHAN JARING
Syarat umum benang jaring :
Mempunyai ketahanan yang besar / tinggi
Sifat halus dan fleksibel
Mempunyai visibilitas yang tinggi
Panjang yang cukup
Sedikit menyerap air
Tahan terhadap kebusukan / tidak cepat rusak
Sifat transparan yang cukup (supaya tidak terlihat oleh ikan)
KLASIFIKASI SERAT
1. Serat alam (natural fibre) :
a. Serat selulose : kapas & rami
b. Serat protein : rambut kuda, Rambut unta wool & sutera
c. Serat mineral : asbes
2. Serat buatan (synthetic fibre) :
a. Polyamide : nylon
b. Polyhidrokarbon : polyethylen Polypropilin
c. Polyhidrokarbon yang disubstitusikan dengan halogen :
# saran (polyviniliden chlorida)
# Vinilon (polyvinil alkohol)
d. Polyhidrokarbon yang disubstitusikan dengan hidriksil : vinilon
Perbedaan Serat Alam Dan Sintetis(Tabel 1.2) :
noVegetable fibre Synthetic fibre
1Mudah busuk Sukar busuk
2Terdiri dari staple fibre Terdiri dari continues filamen
3Tidak dipengaruhi oleh sinar matahari
Ada beberapa yang dipengaruhi oleh sinar matahari
15
4 Kurang kuat Lebih kuat5 Menyerap air
Sedikit / tidak sama sekali
6Tidak mencair Mencair pada suhu tertentu
7Dalam proses pembuatannya tergantung pada kondisi fisik lingkungan
Tidak tergantung musim dan dapat diproduksi secara massal / besar
8Tidak begitu mulur Lebih mulur
Menurut Bentuknya :
1.Serat dengan sisik permukaan - rambut kuda - rambut unta, wool
2.Serat dengan tanda melintang dan penggelembungan yang jelas : rami, henep, flax
3.Serat dengan dengan puntiran : kapas, sutera
4.Serat-serat lain yaitu serat yang termasuk di atas.
Klasifikasi Jaring Insang Berdasarkan Jumlah Lembaran Jaring
(Gambar 1.2) http://www.iftfishing.com/wp-content/uploads/2012/05/download.jpg
a. Gill net tunggal
Yang termasuk klasifikasi gill net tunggal adalah gill net permukaan, gill net
pertengahan, dan gill net dasar.
16
b. Gill net rangkap
1) Gill net rangkap dua (Jalapdu/ Double Nets)
Gill net rangkap dua merupakan jaring yang memiliki dua lapis dengan mata
jaring besar pada lapis pertama dan mata jaring kecil pada lapis kedua. Seperti
halnya gill net rangkap tiga, ikan-ikan tertangkap dengan cara terpuntal.
(Gambar1.3) http://www.iftfishing.com/wp-content/uploads/2012/05/gill-net-rangkap-2.jpg
2) Gill net rangkap tiga (trammel net)
Gill net rangkap tiga (trammel net) juga biasa disebut jaring gondrong, jaring
tilek, jaring kantong, jaring ciker, dan jatilap (jaring tiga lapis). Seperti namanya
jaring ini terdiri dari 3 lapis, yaitu 2 lapis yang diluar memiliki mata jaring lebih
besar sedang yang di dalam memiliki mata jaring yang lebih kecil dan dipasang
agak longgar. Dalam pengoperasiaannya jaring ini dapat diset di dasar maupun
dihanyutkan. Ikan-ikan yang tertangkap karena terpuntal (entangied).
17
(Gambar 1.4) http://www.iftfishing.com/wp-content/uploads/2012/05/gill-net-rangkap-3.jpg
JARING CIKER DAN JARING SIRANG
Jaring ciker dan jaring sirang (trammel net) termasuk jenis jaring penyangkut
karena ikan atau udang yang tertangkap disebabkan tersangkut atau terjerat di mata jaring.
Konstruksi jaring terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar mempunyai ukuran mata jaring
lebih besar, sedangkan satu jaring yang ada ditengah mempunyai bukaan mata jaring yang
lebih kecil dan dipasang lebih longgar (Waluyo & Barus, 1998). Jaring ciker mempunyai
bentuk persegi panjang yang dilengkapi dengan pemberat pada tali ris bawah dan
pelampung pada tali ris atas. Pelampung berfungsi agar tali ris atas jaring dapat terapung
dan tidak tenggelam, sedangkan pemberat berfungsi untuk menenggelamkan tali ris bawah,
jaring terbentang menghadang arus air dan udang terjerat pada mata jaring(Partosuwiryo,
2002).
Rancangan alat tangkap jaringRancangan alat tangkap jaring terdiri atas pelampung, tali pelampung, tali ris atas,
tubuh jaring, srampad atas, tali ris bawah, tali pemberat, dan pemberat.
(Gambar 1.5)
Pelampung yang digunakan terbuat dari bahan PVC berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 14 cm. Jumlah pelampung sebanyak 20-78 buah dalam satu piece. Penggunaan pelambung sangat penting, agar mata jaring dapat terbuka didalam air sehingga ikan tertangkap. Tali pelampung terbuat dari bahan PE berdiameter 5-8 mm dengan arah pilinan Z. Tali pelampung berwarna hijau, dengan panjang 31,8 – 70,7 m. Dalam satu piece jaring, tali pelampung dibuat lebih panjang 0,5 m yaitu berfungsi untuk menyambung antara piece yang satu dengan yang lainnya. Tali ris atas terbuat dari bahan PE berdiameter 5 mm dengan arah pilinan Z, berwarna hijau, dengan panjang 31,8 – 70,7m. Dalam satu piece jaring sirang, tali ris. Tubuh jaring terbuat dari bahan nilon multifilament. Keunggulan dari bahan ini adalah kuat dan lemas. Ukuran mata jaring (mesh size) 5-7 inci, dengan hang inratio 0,39-0,54. Ukuran mata jaring tersebut relatif besar, karena ukuran mata jaring disesuaikan dngan ukuran sasaran tangkap. Dngan ini hang in ratio 0,39-0,54 maka untuk menangkap ikan secara entangled sudah cukup baik. Benang multifilament lebih kuat dibanding benang monofilament. Benang multifilament
18
yang digunakan memiliki ukuran 210 D/60. Warna jaring biru kehijauan, sehingga sama dengan warna perairan berfungsi untuk mensamarkan jaring di dasar perairan.
Srampad atas terbuat dari bahan yang sama dengan tubuh jaring berjumlah ½ mata ke arah bawah. Srampad atas dibentuk oleh benang ganda berfungsi agar pada saat pengangkatan jaring tubuh jaring tidak putus akibat berat jaring dan berat ikan yang terjerat.
Tali ris bawah terbuat dari bahan PE berdiameter 5 mm dengan arah pilinan Z berwarna kuning dengan panjang 42,9-101,9 m. Dalam satu piece jaring, tali ris bawah dibuat lebih panjang 0,5 m berfungsi untuk menyambung antara piece satu dengan yang lainnya.
Pemberat terbuat dari timah dengan berat satuan 13,04 gram. Pemberat tambahan berfungsi sebagai jangkar, terbuat dari batu yang besar, memiliki berat kira-kira 3 kg. Oleh karena penempatan jaring berada didasar perairan, maka pemberat memiliki peran penting untuk menjaga kedudukan jaring agar tetap ditempat. Hal ini menjadi penting karena pengaruh arus bisa menggeser kedudukan jaring dari tempat semula dan bisa mengubah formasi jaring dalam menghadang ikan.
Berikut jaring dan kedudukan jaring didasar perairan :
19
(Gambar 1.6) http://himafarin.lk.ipb.ac.id/files/2014/04/jwtg0102.pdf
LAMPIRAN
PERATURANMENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1/PERMEN-KP/2015TENTANG
PENANGKAPAN LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DANRAJUNGAN (Portunus pelagicus spp.)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAMENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa keberadaan dan ketersediaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) telah mengalami penurunan populasi, sehingga perlu dilakukan pembatasan penangkapan terhadap Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.);
b. bahwa untuk itu perlu menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.);
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);
2. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan
20
Presiden Nomor 13 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24);
3. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 189);
4. Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 339);
5. Keputusan Presiden Nomor 121/P Tahun 2014 Tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja Periode Tahun 2014-2019;
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan;
MEMUTUSKAN:Menetapkan : PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
TENTANG PENANGKAPAN LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus spp.).
Pasal 1Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:1. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.2. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
3. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perikanan.
4. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang melaksanakan tugas teknis di bidang perikanan tangkap.
Pasal 2Setiap orang dilarang melakukan penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) dalam kondisi bertelur.
Pasal 3(1) Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan
Rajungan (Portunus pelagicus spp.) dapat dilakukan dengan ukuran:a. Lobster (Panulirus spp.) dengan ukuran panjang karapas >8 cm
(di atas delapan sentimeter);b. Kepiting (Scylla spp.) dengan ukuran lebar karapas >15 cm (di
atas lima belas sentimeter); dan
21
c. Rajungan (Portunus pelagicus spp.) dengan ukuran lebar karapas >10 cm (di atas sepuluh sentimeter).
(2) Cara Pengukuran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4Setiap orang yang menangkap Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) wajib:
a. melepaskan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) dalam kondisi bertelur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau dengan ukuran yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) jika masih dalam keadaan hidup;
b. melakukan pencatatan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) dalam kondisi bertelur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau dengan ukuran yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tertangkap dalam keadaan mati dan melaporkan kepada Direktur Jenderal melalui kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan.
Pasal 5Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di JakartaPada tanggal 6 Januari 2015MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANANREPUBLIK INDONESIA,ttd.
SUSI PUDJIASTUTI
Diundangkan di Jakartapada tanggal 7 Januari 2015MENTERI HUKUM DAN HAMREPUBLIK INDONESIAttd.YASONNA H. LAOLYBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 7
22
LAMPIRANPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIANOMOR 1/PERMEN-KP/2015
TENTANGPENANGKAPAN LOBSTER (Panulirus spp.),
KEPITING (Scylla spp.), DAN RAJUNGAN (Portunuspelagicus spp.)
Cara Pengukuran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), danRajungan (Portunus pelagicus spp.)
Gambar Pengukuran lobster
Gambar Pengukuran Kepiting
Gambar Pengukuran Rajungan
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANANREPUBLIK INDONESIA,
23
ttd.
SUSI PUDJIASTUTI
REFERENSI
Ayodhiya, A.U. 1981. METODE PENANGKAPAN IKAN. Bogor : Yayasan Dewi Sri.
Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan.2009. Alat Penangkapan Ikan. Jakarta. hal: 61
Partosuwiryo, S. 2002. Dasar-dasar penangkapan ikan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Waluyo, S. & H.R. Barus. 1998. Alat penangkapan ikan dan Udang Laut di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut.
Djumanto. 2015. Bahan ajar Dasar-Dasar Penangkapan Ikan. Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta
http://prasetya.ub.ac.id/berita/Mengatur-Penangkapan-Ikan-Perairan-Selat-Bali-7538-
id.html/02/02/2007
https://andhikaprima.wordpress.com/2010/12/29/perikanan-tuna-di-indonesia-masalah-
dan-kendala-usaha-perikanan-tuna-2/
http://kkp.go.id/index.php/berita/vietnam-eksportir-lobster-terbesar-bibitnya-dari-
indonesia/23/01/2015
http://kkp.go.id/index.php/berita/atli-bantu-alat-tangkap-ramah-lingkungan-untuk-nelayan-
kecil/07/04/2015
http://www.fao.org/docrep/010/ah827o/ah827id04.htm
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48456
http://journal.ugm.ac.id/jfs/article/view/2946
http://himafarin.lk.ipb.ac.id/files/2014/04/jwtg0102.pdf
24
Top Related