Download - Makalah Demam Tifoid Rsijcp

Transcript
Page 1: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serovar typhi (S typhi).1-3 Salmonella enteric infeksi

yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke

dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam

enterik adalah demam tifoid.

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan

reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup

selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama

berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang

dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada

musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah

103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan

melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di Indonesia,

insiden demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19

tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah

tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam

tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring

yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar

dalam rumah.

B. Tujuan

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas khusus di Rumah Sakit

Islam Jakarta Cempaka Putih.

Page 2: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid

fever. Tifoid adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi pada saluran

pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi.

Gastroenteritis adalah peradangan pada saluran pencernaan, yang

melibatkan lambung, usus, atau keduanya, biasanya menyebabkan diare,

kram perut, mual dan mungkin muntah.

Dehidrasi adalah suatu gangguan dalam keseimbangan air yang

disebabkan output lebih banyak daripada intake sehingga tubuh

kekurangan cairan.

Penyebab utama dari penyakit ini adalah mikroorganisme Salmonella

Typhosa dan Salmonella Typhi, A, B, dan C. Mikroorganisme ini banyak

terdapat di kotoran, tinja manusia dan makanan atau minuman yang

terkena mikroorganisme yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya sumber

utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan tidak sehat.

Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara, mikroorganisme ini

hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan dan

minuman yang tidak higenis.

B. PATOGENESIS

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang

melalui beberapa tahapan.Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman

tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh

melalui mukosa usus pada illeum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada

mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme

membrane ruffling,actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola

intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid

mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik.

Page 3: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan

gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif.

Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh

darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-

organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa dan sumsum tulang.

Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode

replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam system peredaran

darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai

berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala

klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat

menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik.

Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang,

kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi

pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang

mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan

perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila

kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan

berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella

dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.

C. GEJALA KLINIS

Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau

gejala yang bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak

tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan

demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak nyaman di

perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya.

Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan

serangkaian keluhan klinis, seperti mual, nyeri otot, nyeri abdomen, dan

konstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri perut, pusing, dan

pembengkakan dari hati atau limpa atau kedua-duanya pada stadium lebih

lanjut. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,

kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan

Page 4: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

sering dijumpai pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten,

bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indikator demam

tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular

(rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit

putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-

15 serta menetap selama 2-3 hari.

Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama

pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering

dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi

usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya

mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak

terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu

2-4 minggu.

D. DIAGNOSIS

Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat

bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga

dapat mencegah terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai gambaran

klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit

ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari

laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.

Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan

pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit,

dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan

pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis

relatif ). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah

aneosinofilia (menghilangnya eosinofil).

Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium

didasarkan pada 3 prinsip, yaitu:

• Isolasi bakteri

• Deteksi antigen mikroba

• Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab

Page 5: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya

positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah

yang diperlukan 15 ml untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik

dimana sering terjadi penggunaa antibiotik yang tinggi sensitivitas kultur

darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi).

Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen

Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O

dijumpai pada hari 6-8 dan antibody terhadap antigen H dijumpai pada

hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih

tetap dapat dijumpai setelah 6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.

Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan

penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada

dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil

pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.

Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibody IgM. Hasil

pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap

Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O dan

hanya dijumpai pada Salmonella group D.

Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM

dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid,

sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut

pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun

setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara

kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.

Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk

mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifi sitas

yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat

menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai

yang telah dikemukakan sebelumnya.

Page 6: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

E. TERAPI

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas

demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.

Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk

mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.

Pemilihan antibiotik (pada lampiran 1) tergantung pada pola

sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella

typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat

mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori

resistensi antibiotic yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok

chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim+sulfamethoxazole

(kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone.

Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan pertanda

berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan

pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang

disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka

kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan

angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.

Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik,

dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta

mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan

antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas

fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti

dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif,

acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap

obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.

Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih

bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan

demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping

yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.

Page 7: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

Dari studi ini juga terdapat perbandingan rata-rata waktu penurunan

demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia

di mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari.

Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009

menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih

baik dibandingkan chloramphenicol untu mencegah kekambuhan.

Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat

mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.

Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar

pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka

kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan

toksis pada sumsum tulang

Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih

dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya

lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada

kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi

abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan

pasienCdengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid

yang berat.

Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi

suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang

adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan

mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan

makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, hygiene perorangan

terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang

baik, dan ketersediaan air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini

menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi.

Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksin terutama untuk para

pendatang dari Negara maju ke daerah yang endemic demam tifoid.

Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu :

Page 8: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

a. Vaksin Vi Polysaccharie

Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia diatas 2 tahun dengan

diinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksi ini efektif

selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3

tahun. Vaksin memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.

b. Vaksin Ty21a

Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enteric dan cair yang

diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis

yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotic dihindari 7 hari

sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan

memberikan efikasi perlindungan 67-82%.

c. Vaksin Vi-conjugate

Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan

memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah

vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi

perlindungan sebesar 89%.

Page 9: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

BAB III

STUDI KASUS

PEMANTAUAN TERAPI OBAT

1. Informasi Pasien

Nama : Ny. NS

Usia : 52 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Tanggal Masuk : 13-12-2015

Paviliun/Kamar : Marwah Bawah

Penjamin : Pribadi

Suami : Tn. SA

Nama Dokter : Dr. AF

2. Subjektif

Anamnesa

Keluhan : pasien merasa mual, lemas, dan tidak nafsu makan.

Riwayat penyakit : TB Milier 1997 dan 2010 pengobatan tuntas

Diagnosa : thypoid, gastroenteritis dehidrasi sedang

Alergi obat : tidak ada

BB pasien : -

3. Objektif

A. Hasil Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Normal Satuan 14 15 16 17 18 19 20 21

Suhu 36 – 37.5 ° C 40 39 37.2 36.8 39.8 37.5 37 36.9

Tekanan Darah

120/90 mmHg 140/90

130/90

120/80

110/70

110/70

120/70

110/70

110/70

Nadi 60 – 100 x / menit 90 96 114 75 114 140 112 84

Page 10: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

B. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Parameter NilaiRujukan Satuan

Hasil

14 18 20

Hematologi

Hb 11.7 – 15.5 g/dL 12.4 L 9.4 11.1

Leukosit 3.6 – 11.0 103 µL H 16.57 6.96 6.97

Hitung Jenis

Basofil 0 – 1 % 0 0 -

Eosinofil 2 – 4 % 2 L 0 -

Netrofil batang 3 – 5 % 5 3 -

Netrofil segmen 50 – 70 % H 77 H 83 -

Limfosit 25 – 40 % L 12 L 6 -

Monosit 2 – 8 % 4 8 -

Hematokrit 35 – 47 % 36 L 28 L 34

Laju Endap Darah 0 – 20 mm/jam 15 -

Trombosit 150 – 440 103 µL 290 223

Eritrosit 3.8 – 5.2 106 µL 4.01 L 3.00

MCV / VER 80 – 100 Fl 89 94 91

MCH / HER 26 – 34 pg 31 31 30

MCHC 32 – 36 g/dL 35 33 33

Elektrolit Darah

Na 135 – 147 mEq/L 127

Page 11: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

K 3.50 – 5.00 mEq/L 4.2

Cl 94 – 111 mEq/L 95

Anti Salmonella IgM < 2 : negative 2.0

Gula Darah Sewaktu 170 – 200 mg/dL L 69

Kimia Klinik

SGOT ( AST ) 10 – 31 u/L H 105

SGPT ( ALT ) 9 – 36 u/L H 43

Albumin 4.0 – 5.2 g/dL L 3.2

Fungsi Ginjal

Ureum Darah 10 – 50 mg/dL 21

Kreatinin Darah < 1.4 mg/dL 0.8

Temperatur 36 – 37.5 ° C 37.0

Analisa Gas Darah

pH 7.370 – 7.450 H 7.507

pCO2 33 – 44 mmHg L 27.8

pO2 71 – 104 mmHg L 51.4

Saturasi O2 94.00 – 98.00 % L 88.80

HCO3 (act) 21 – 28 mmol/L 22.2

Base Excess (ecf) -2.00 - + 3.00 mmol/L -1.00

Base Excess ( B ) -2.40 - + 2.30 mmol/L 0.9

Total CO2 23.00 – 27.00 mmol/L 23.10

4. Pemberian Obat

Terdapat di lampiran 2.

5. Penilaian Kesesuaian Dosis

Page 12: Makalah Demam Tifoid Rsijcp
Page 13: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

6. Telaah Resep

7. DRP (Drug Related Problem)

Page 14: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

8. Interaksi Obat

Page 15: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan :

1. Berdasarkan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium, dr. AF

mendiagnosa Ny. NS menderita thypoid, gastroenteritis dehidrasi sedang.

2. Terdapat DRP dalam pengobatan pasien ini diantaranya adanya pilihan

antibiotik yang tidak tepat, terlalu kecil/besarnya dosis, ketidaklengkapan

catatan jam pemberian obat pada profil pemberian obat pasien serta

adanya interaksi antar obat.

B. Saran

1. Perlu perhatian lebih lanjut mengenai obat-obatan yang berinteraksi agar

tidak menimbulkan efek samping yang merugikan.

2. Melengkapi setiap catatan jam pemberian obat pada profil pemberian obat

pasien.

Page 16: Makalah Demam Tifoid Rsijcp

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Depkes RI, 2006.

drugs.com diakses tgl 06/01/16

Emmeluth, Donald. 20014. Deadly Diseases and Epidemics. Thypoid Fever. Philadelphia : Chelsea House Publisher. Hal. 39.

Ferri, Fred F. 2016. 2016 Ferri’s Clinical Advisor. Philadelphia : Elsevier Inc. Hal. 1096.

http://kamuskesehatan.com/arti/gastroenteritis/ diakses tgl 05/01/16

http:// www.dexa-medica.com/our-product/searchs/Stronger%20Neo-Minophagen %20C diakses tgl 06/01/16

Lacy, F., et all. 2008. Drug Information Handbook, 17th Edition. USA : Lexy-Comp.

Lt Gen SP Kalra AVSM Bar, Lt Col N Naithani, Col SR Mehta VSM, Sqn Ldr AJ Swamy. Current Trends in the Management of Typhoid Fever dalam MJAFI 2003;59. Hal : 130-135 diakses melalui http :// medind.nic.in/maa/t03/i2/maat03i2p130.pdf tgl 05/01/16

Nelwan, RHH. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Departeman Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jakarta, 2012.

www.farmasi-id.com diakses tgl 06/01/16