BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan adat dan budaya yang
beragam, serta memiliki beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang
dapat berlaku bagi semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Sebagai salah
satu contohnya adalah masyarakat suku Bajo.
Berdasarkan sejarahnya, masyarakat suku Bajo merupakan suatu
komunitas yang hidup di atas perahu, dan biasa disebut dengan “manusia
perahu”. Masyarakat suku bajo selalu membudayakan hal ini, sehingga
kehidupan mereka selalu berpindah pindah. Setelah memanfaatkan satu daerah
maka mereka akan berpidah pada daerah yang lain, barulah kemudian
dimanfaatkan, dan begitu seterusnya. Hal ini sudah menjadi tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Masyarakat suku bajo percaya bahwa laut merupakan kehidupan mereka.
laut adalah ombok lao, atau raja laut. Sehingga filosofi tersebut berakibat pada
penggolongan manusia dalam suku Bajo. Suku Bajo, dalam menempatkan
orang membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu Sama‘ dan Bagai. Sama‘
adalah sebutan bagi mereka yang masih termasuk ke dalam suku Bajo
sementara Bagai adalah suku di luar Bajo. Penggolongan tersebut telah
memperlihatkan kehati-hatian dari suku Bajo untuk menerima orang baru.
Mereka tidak mudah percaya sama pendatang baru.
Masyarakat suku bajo memiliki suatu filosofis ‘Papu Manak Ita Lino
Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana‘,
artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai
manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan
mempergunakannya. Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti
kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur
suku Bajo.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 1
Walaupun suku Bajo selalu tinggal di daerah pinggiran laut dan jauh dari
pengaruh kehidupan masyarakat modern pada umumnya karena terpisah dari
komunitas masyarakat lainnya, bukan berarti suku Bajo tidak memiliki dan
menjunjung tinggi hukum dan adat mereka, seperti yang terjadi pada
masyarakat suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, sebuah desa yang di huni mayoritas
suku Bajo.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan
Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara masih
terdapat hukum adat yang berlaku universal?
2. Bagaimana hubungan hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi
atau bidang antropologi lain dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori,
Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata
kuliah Antropologi Hukum, juga bertujuan:
1. Untuk mengetahui hukum yang berlaku universal dalam masyarakat
Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
2. Untuk mengetahui hubungan hukum dengan aspek kebudayaan dan
organisasi atau bidang antropologi lain dalam masyarakat suku Bajo
Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 2
D. Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini telah menambah referensi pengetahuan
dan teori tentang antropologi hukum. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat
untuk memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak dalam rangka
melakukan upaya pemberdayaan bagi komunitas adat suku Bajo. Demikian
pula secara tidak langsung penelitian ini memberi sumbangan pemikiran
kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan
komunitas adat suku Bajo, baik pemerintah, swasta / dunia usaha, dan civil
society.
E. Metode Penelitian
Analisis atau metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu gambaran penganalisaan data
yang diperolah dari studi lapangan dan kepustakaan dengan cara menjelaskan
dan menerangkan kenyataan objektif penelitian yang diperoleh dari hasil
observasi dan wawancara di lapangan serta menggambarkan perilaku
masyarakat sampai membentuk hukum. Sehingga diperoleh data yang akurat,
baik yang bersifat teoritis kepustakaan maupun yang bersifat praktik yang
diperoleh melalui studi lapangan.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 3
BAB II
KERANGKA TEORI
A. NAMA DAN BAHASA
Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam
melaut, dan hebat juga dalam bercocok tanam. Kemudian kampung Karang
Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo.
Asal-usul suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain
menguasai bahasa daerah setempat, mereka juga berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis – Sulawesi
Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan
menggunakan bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di antara atau bersama
warga penduduk setempat. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup
di gunung. Bajo, identik dengan air laut, perahu, dan permukiman dia atas air
laut. Bajo artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo.
Konon nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka
adalah keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari
putrinya yang melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari ke
segala penjuru negeri hingga pulau Sulawesi. Menurut cerita, sang puteri
memilih menetap di Sulawesi, sedangkan orang-orang yang mencarinya
lambat laun memilih tinggal dan tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon
menurut satu versi, sang puteri yang menikah dengan pangeran Bugis
kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe.
dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Orang
Bajo dikenal mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya,
kendati tradisinya sendiri tetap berjalan.
Dari segi bahasa, kendati orang Bajo mempunyai satu bahasa. Namun
dialek mereka terpengaruh dengan bahasa-bahasa daerah tempat mereka
bermukim. Seperti di kabupaten Lembata, mereka hanya berbahasa Bajo
dengan kaumnya, sementara itu mereka berbahasa Lamaholot bila bertemu di
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 4
pasar atau berinteraksi dengan penduduk luar kelompoknya. Dan bahasa bajo
sudah mengalami perbedaan yang sangat jauh sebagai akibat pengaruh
bahasa-bahasa lainnya.
Dalam masyarakat suku Bajo, untuk penyebutan orang yang lebih tua
laki-laki disebut Puto, sementara untuk penyebutan orang yang lebih tua
perempuan disebut “Aya”. Dan untuk orang atau pemuka adat disebut “Lolo
Bajo”.
B.LOKASI MASYARAKAT SUKU BAJO
Dahulu kala masyarakat Bajo kerap berpindah-pindah dari satu
tempat ke temat lainnya mencari sumber kehidupan seperti masyarakat gipsy
atau nomaden. Namun saat ini meskipun masih ada yang meneruskan tradisi
berpindah tempat, sebagian lainnya memilih menetap di lokasi tertentu dengan
pola hidup yang sangat sederhana. Salah satu lokasi menetap yang dipilih suku
ini ada di Pulau Bokori yang sekarang dipindahkan ke daratan Bajo yang
berada di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe sekitar Tahun 1986.
Belum lagi budaya masyarakat Suku Bajo, seperti perkawinan dan
acara selamatan. Adat Perkawinan masyarakat Suku Bajo, saat malam pertama,
biasanya pasangan suami istri baru, di lepas ke laut dengan perahu. Mereka
menghabiskan malam pertama di atas perahu. Ini merupakan tradisi yang
sangat unik.
C. DEMOGRAFI MASYARAKAT SUKU BAJO
Suku Bajo (Bajau) tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara,
selain di pulau Kabaena populasi suku Bajo terdapat juga di pulau Bokori yang
sekarang berada di daratan Soropia.
Sejak lama, masyarakat suku Bajo telah menempati wilayah pesisir
pulau Bokori ini, hidup dengan kearifan dan budaya mereka sendiri. Laut
adalah tumpuan utama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup ratusan
orang anggota komunitas mereka dari tahun ke tahun.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 5
Walaupun suku Bajo tersebar di beberapa pulau sekitarnya, tapi
hampir tidak terdapat perbedaan dengan suku-suku bajo di daerah lain,
masyarakat Bajo di wilayah ini hidup berdampingan dalam satu komunitas
mereka dan menempati wilayah yang sedikit terpisah dengan komunitas lain,
meskipun mereka secara administrasi pemerintahan dalam satu kesatuan
dengan penduduk asli masyarakat Kecamatan Soropia di desa ini. Rumah-
rumah yang mereka huni secara keseluruhan berada di atas laut sehingga
membuat komunitas suku lain agak sulit melakukan interaksi dengan mereka
dalam kehidupan sehari-hari. Belum bisa dipastikan apa yang menyebabkan
mereka sedikit menutup diri dengan komunitas lain.
D. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian utama suku Bajo adalah mencari ikan dengan cara
yang masih terbilang tradisional, seperti memancing, memanah, dan menjaring
ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau
pulau terdekat. Kehidupan Suku Bajo memang masih terbilang sangat
sederhana. Mendirikan pemukiman tetap pun mungkin tak terpikir oleh mereka
apabila tidak dihimbau oleh Pemerintah setempat.
Kegiatan melaut untuk mencari ikan adalah rutinitas utama mereka setiap
harinya. Dari subuh mereka telah berangkat melaut untuk mencari ikan sampai
pada siang hari, sehingga apabila pagi hari pemukiman mereka terlihat sepi,
hanya anak-anak yang berada di rumah. pemukiman ini nanti terlihat ramai
ketika siang hari sampai sore hari, kerana mereka telah kembali dari melaut.
Beberapa suku Bajo bahkan sudah mengenal teknik budidaya produk laut
tertentu, misalnya lobster, ikan kerapu, udang, dan lain sebagainya. Mereka
menyebut tempat budidaya sebagai tambak terapung yang biasanya terletak tak
jauh dari pemukiman. Sebagian kecil masyarakat suku Bajo bahkan sudah
membuat rumah permanen dengan menggunakan semen dan berjendela kaca.
Anak-anak Suku Bajo juga sudah banyak yang bersekolah, bahkan ada yang
sampai perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka
tentang pentingnya pendidikan sudah mulai terbangun.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 6
BAB III
EKSISTENSI HUKUM MASYARAKAT SUKU BAJO BOKORI
A. Hukum Yang Berlaku Sacara Universal bagi Masyarakat Suku
Bajo Bokori
Masyarakat suku Bajo Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe,
Provinsi Sulawesi Tenggara adalah masyarakat yang terbuka akan segala
perubahan dalam kehidupan masyarakat. Namun, bukan berarti masyarakat
tersebut sudah tidak memiliki nilai-nilai tradisi serta hukum adat yang
dijunjung tinggi.
Dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia,
Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, dikenal sebuah tradisi yang
bernama “Pasipupukang”, yang artinya perkumpulan masyarakat suku Bajo
atau tradisi berkumpul masyarakat Bajo untuk mencari solusi-solusi dari
permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Apabila terdapat masalah
diantara masyarakat adat tersebut, maka diadakanlah Pasipupukang untuk
penyelesaiannya. Pasipupukang ini biasanya dilakukan dengan tata cara
sebagai berikut:
Apabila terjadi kasus perkelahian diantara sesama masyarakat Bajo,
diadakanlah pertemuan di suatu tempat, misalnya dirumah tokoh adat atau di
balai pertemuan di Desa. Pertemuan ini dinamakan Pasipupukang, dengan
dihadiri oleh kedua belah pihak yang berseteru, tokoh adat, tokoh masyarakat,
kepala desa. Pembicaraannya dilakukan dengan cara musyawarah untuk
mencari titik terang. Sedangkan apabila kasus perkelahian tersebut melibatkan
pihak lain yang berasal dari kampong lain atau masyarakat adat lain,
penyelesaiannya tetap sama dengan diadakan pertemuan atau perkumpulan
(Pasipupukang) namun, dihadiri oleh masing-masing ketua atau tokoh adat dari
kedua masyarakat adat. Lalu dilakukan musyawarah, apabila ada kerugian
yang ditimbulkan, maka ada namanya pemberian “Passala” atau biasa dikenal
dengan denda. Setelah dilakukan Pasipupukang, namun masalahnya tetap
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 7
berlanjut dan tidak menemui titik terang, maka diserahkan ke pihak kepolisian
untuk ditindak lanjuti.
Untuk mengetahui apakah dalam masyarakat suku Bajo Bokori memiliki
hukum yang berlaku secara universal atau tidak, sebelumnya perlu diketahui
apa itu yang dimaksud dengan universal. Adapun unsur-unsur dari hukum yang
bersifat universal disini adalah sebagai berikut:
1. Aturan tertulis dan tidak tertulis
2. Bersifat mengatur dan mengikat
3. Mempunyai sanksi
4. Memiliki efek jera.
Yang pertama mengenai aturan. Dalam masyarakat suku Bajo Bokori
terdapat aturan tidak tertulis yang mereka yakini secara turun temurun yang
dikenal dengan Pemali dan Pasipupukang. Hal ini ditaati dan berlaku bagi
seluruh masyarakat Bajo secara keseluruhan.
Kedua, bersifat mengatur dan mengikat. Aturan-aturan dalam suku Bajo
Bokori bersifat mengikat bagi semua masyarakat suku bajo serta orang-orang
diluar suku Bajo yang terdapat di wilayah suku Bajo. Misalnya, ketika terjadi
perkelahian di wilayah Bajo yang melibatkan orang-orang didaerah Bajo dan
orang setempat. Diberlakukan aturan yang berlaku di daerah Bajo, dengan
diadakannya musyawarah atau Pasipupukang antara kedua belah pihak.
Selanjutnya, mempunyai sanksi. Ketika terjadi kasus atau masalah di
antara mereka, tidak serta merta dibawa langsung ke pihak berwajib. Namun,
diselesaikan secara adat dulu misalnya musyawarah, kalau sudah tidak ada titik
temu barulah dibawa ke pihak yang berwajib. Namun mengenai sanksi yang
diberikan ada yang namanya Passala atau denda. Mengenai efek jera dalam
masyarakat suku Bajo tidak terlalu berpengaruh besar, karena dalam setiap
penyelesaian masalah dan kasus yang terjadi selalu diselesaikan dengan system
kekeluargaan dan musyawarah.
Misalnya kalau tentang muda-mudinya itu, dalam mereka menjalin
hubungan jika tidak direstui oleh salah satu orang tua calon pemelai wanita
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 8
baik pria, itu mereka menyelesaikannya juga dengan adat yang mereka yakini
dan dipimpin juga oleh kepala adat melakukan Pasipupukang dengan cara:
Ningkolo (duduk) sebagai simbol untuk mohon izin kepada keluarga
calon mempelai yang tidak menyetujui pernikahan tersebut, kenapa suku Bajo
memilih adat ningkolo, karna ningkolo itu seperti memberi kehormatan,
kesopanan saat akan meminta izin dan sifat kekeluargaan. Pada upacara ini
kepala adatnya yang akan menjadi penengah di antara dua keluarga tersebut.
Dan di situ calon mempelai laki-laki menawarkan jumlah uang sebagai mas
kawin untuk disetujui, jumlah nya itu Rp50.000, dan ditambah lagi pula untuk
uang biaya pesta perkawinan, akan terus terjadi tawar-menawar sampai ada
kesepakatan di antara dua keluarga tersebut. Kalo dilihat lihat upacara adatnya
agak matrelialistis, tapi sebenarnya uang yang ada di upacara adat tersebut
tidak terlalu penting, karena yang mereka maksud ialah adanya pertemuan
kedua keluarga untuk mengenal satu sama lain keharusan untuk berbicara
memberi alasan kenapa pernikahannya tidak disetujui, sekaligus memberi
toleransi.
Dan apabila ada seorang gadis yang hamil di luar nikah, maka laki-laki
yang menghamili harus membayar denda sebesar Rp 10.000 diikuti dengan
berlakunya hukum adat dan instansi agama yang mengharuskan mereka buat
nikah. Bukan hanya itu saja, jika ada seorang pemuda dan gadis yang ditemuin
ngobroll di malam hari, mereka diharuskan untuk menikah, ketatnya peraturan
suku bajo dalam hal pergaulan pemuda pemudi nya, itu wujud betapa sakral
nya nilai sebuah kehormatan keluarga.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 9
BAB IV
HUBUNGAN ANTARA HUKUM DENGAN ASPEK
KEBUDAYAAN DAN ORGANISASI SOSIAL DALAM
MASYARAKAT SUKU BAJO BOKORI
A. Aspek Budaya
Budaya dalam suku Bajo diantaranya:
1) Rumah Bajo
Rumah Panggung yang berdiri diatas tonggak tonggak kayu diatas
laut yang saling berhubungan. Rumah orang orang bajo sangat jarang
dipenuhi perabot furniture seperti kursi meja kecuali memang mereka
orang terpandang seperti kepala desa, pemilik warung atau pedagang.
Umumnya mereka duduk di lantai kayu yang tidak terlalu rapat sehingga
kita bisa melihat air laut dan segala kehidupannya di bawah sana.
Orang-orang Bajo enggan membangun rumah di darat karena
banyak tradisi dan ritual hidup yang harus dilakukan di laut. Sejak dulu,
setiap bayi orang Bajo harus dicelupkan ke laut untuk mengakrabkan
mereka dengan laut yang dianggap sebagai saudara.
Nilai-nilai konservasi dalam Tradisi Suku Bajo
- Duata Sangal : Ritual mengambil beberapa jenis ikan kecil yang
terancam punah dan melepaskannya ke laut , ikan yang dilepas itu
diharapkan bisa mengundang ikan-ikan lainnya untuk berkumpul dan
hidup bersama.
- Parika : yaitu memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak
serta membatasi penangkapan berdasarkan ketentuan waktu tertentu
yang disepakati oleh pemuka adat dan tokoh komunitas.
- Pamali : “Daerah terlarang” yang ditetapkan ketua adat Bajo untuk
menangkap ikan di suatu kawasan. Biasanya disertai sanksi tertentu
bagi yang melanggar.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 10
- Maduai Pinah : Ritual yang dilakukan saat nelayan Bajo akan turun
kembali melaut di lokasi pamali.
2) Kategori Melaut dalam tradisi Bajo
Kegiatan melaut dibagi dalam empat kategori , yakni :
1) Palilibu : melaut jarak dekat dalam sehari
2) Pongka : melaut agak jauh dengan waktu 1-2 minggu
3) Sakai : Melaut jauh dengan lama waktu minimal sebulan
4) Lama : melaut sangat jauh hingga berbulan-bulan dan biasanya
melintasi negeri asing.
5) Duata
Sejumlah wanita berpakaian adat khas suku bajo menggelar tarian
di atas perahu disertai dengan membuang berbagai sesajen di tengah laut.
Tarian ini sebagai rangkaian prosesi tradisi Duata, sebuah tradisi
pengobatan tradisional suku Bajo. Dalam keyakinan masyarakat Bajo,
Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma menjadi sosok
manusia. Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan
tradisional suku bajo, ini dilakukan jika ada salah satu diantara mereka
mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain
termasuk pengobatan medis.
6) Perkawinan
Dalam masyarakat suku bajo, terdapat beberapa jenis perkawinan,
yakni :
1. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro)
Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi
masyarakat Suku Bajo yang bersifat umum, baik dari golongan
bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dari tata cara
pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang
dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyarakat awam berdasarkan
kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 11
2. Perkawinan Silaiyang ( Kawin Lari)
Perkawian yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan
akan tetapi kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari rumah
penghulu atau kepala kampung untuk mendapat perlindungan dan
selanjutnya diurus untuk dinikahkan.
Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan
diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan “pakayya”
bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak
perempuan yang disebut “nggai ia” selalu berusaha untuk menegakkan
harga diri atau “pakayya” dengan cara membunuh lelaki yang melarikan
anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat,
apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu
(pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota
adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.
Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada
orang tua perempuan untuk dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga
terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi
persetujuannya, karena merasa dipermalukan (adipakaiya). Bahkan orang
tua yang dipermalukan (dipakaiya) itu menganggap anaknya yang
dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya.
Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat
atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim.
3. Perkawinan yang Dilarang
Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Suku Bajo
melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang
masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti :
- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya
(ibu/nenek) baik melalui ayah maupun ibu.
- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya
(anak/cucu/cicit) termasuk keturunan anak wanita.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 12
- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau
ibu (saudara kandung / anak dari saudara kandung).
- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang
menurunkan (saudara kandung ayah/saudara kandung ibu/saudara kakek
atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu).
4. Perkawinan Duduk ( Sitingkoloang )
Perkawinan ini terjadi apabila salah satu pihak, baik laki-laki
atau pihak perempuan pergi kerumah orangtua laki-laki atau perempuan
guna menyerahkan dirinya kepada keluarga laki-laki atau
perempuan.Karena laki-laki atau perempuan sangat cinta sehingga dia
memberanikan diri untuk menyampaikan kedatanganya bahwa dia sangat
sayang.Untuk maksud ini dari pihak orangtua memberikan saran agar
masing-masing pihak dapat meluangkan waktunya untuk musyawarah
(sitummu).Perkawinan ini masih berlaku di Masyarakat Bajo.
7) Upacara Sangal
Upacara Sangal yang dilakukan saat musim paceklik ikan dan
spesies laut lainnya. Pada upacara tersebut, mereka akan melepas spesies
yang populasinya tengah menurun di saat bersamaan. Misalnya: melepas
penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang,
dll. Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut dan mengambil
hasil laut.. Di dalam masyarakat Bajo tumbuh suatu keyakinan terhadap
adanya suatu mantra yang memberi peranan penting dalam kehidupan
mereka, keyakinan tersebut berkaitan erat dengan kegiatan mereka
sebagai nelayan.
Tantangan yang dihadapi oleh Suku Bajo cukup banyak, antara
lain: kurangnya akses menuju pendidikan, hak atas tempat tinggal, angka
kematian pada ibu yang melahirkan dan bayi, kemiskinan, kelaparan, dan
diskriminasi di beberapa lokasi tertentu. Selain itu, perubahan alam pun
menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh suku pengembara laut
ini.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 13
8) Tarian
Umumnya tarian tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama
dengan tarian suku bugis,buton,mandar dan toraja.Ada dua tarian yang
lumrah di kalangan Suku Bajo yakni :
1. Tarian Manca
Tarian Manca adalah salah satu tarian yang sangat populer dikalangan
masyarakat Bajo.Tarian ini dilakukan pada saat ada pesta pernikahan
yang resmi (Massuro). Biasanya tarian ini dibawakan oleh sepasang
pamanca (tukang manca) terdiri dari dua orang yang masing-masing
saling membawa peddah (pedang). Tarian ini sudah merupakan turun
temurun dari nenek moyang mereka.Si pamanca sudah terlatih sejak
kecil,sehingga gerak badannya sangat lentur sesuai dengan irama
sarroni/sulleh (seruling) dan gandah (gendang). Manca bagi
masyarakat suku bajo melambangkan kesatriaan sejati karena tarian
ini dianggap sebagai bekal untuk menjaga diri. Para pamanca saling
bergantian pabila salah satu dari sipamanca lelah yang lain dapat
(nyamboh) istilahnya menyambung tarian. Umumnya manca
dipentaskan saat pengantin laki-laki diantar kerumah wanita (lekka).
Nah setelah pengantin laki-laki tiba dirumah perempuan,di depan
pintu sudah berdiri salah satu anggota keluarga yang sudah dekat atau
akrab dengan pengantin laki-laki atau perempuan istilah ini disebut
nyambo'. Kalau pengantin laki-laki disebut nyambo' lille sedangkan
pengantin perempuan disebut nyambo' dinde. Manca diiringi dengan
alat musik seruling (sarroni),goh (gong),dan gandah (gendang).
2. Sile' kampoh ( silat kampung )
Silat kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo. Ini
bersinambungan dengan manca artinya semua jurus-jurus yang
didapat dari silat kampung diterapkan dalam manca. Silat kampung ini
tidak sembarangan orang untuk mempelajarinya. Syaratnya harus
sudah cukup umur. Untuk mempelajari silat ini dibutuhkan empat
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 14
minggu ini sudah sempurna. Prinsipnya silat adalah jalan hidup yang
meliputi berbagai aspek kehidupan seorang manusia.
Fungsi dari silat ini adalah untuk menjaga diri. Ada sebuah ungkapan
yang menyatakan "Bukan orang Bajo yang meninggal dibunuh tanpa
melawan". Makanya setiap pemuda yang berkeinginan untuk pergi
meninggalkan kampung halamannya tidak diperkenankan oleh
orangtuanya sebelum dia mempelajari silat.
9) Religi
Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan
agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa
oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah
agama. Begitu pula dengan Masyarakat suku Bajo Bokori sekarang
beragama Islam. Ini terbukti dengan banyaknya bangunan Mesjid
disekitar kampong Bajo serta masyarakatnya semakin paham mengenai
ajaran Islam bahkan kebudayaannya sering dikaitkan dan mempunyai
hubungan dengan ajaran agama Islam.
10) Sistem Pengetahuan
Masyarakat Bajo Bokori memiliki pengetahuan alamiah-
kontekstual yang dibangun dari dan atas dasar pengalaman alamiah-
kontekstual sehari-hari. Hal ini bermanfaat dalam menjalani kehidupan
mereka sehari-hari sebagai nelayan. Beberapa pengetahuan itu, seperti
peredaran bulan, musim dan peristiwa pasang surut air laut, termasuk
ilmu perbintangan secara tradisional dan sistem penanggalan qamariah
(yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi) dan
penanggalam syamsiah (yang dihitung berdasarkan peredaran bumi
mengelilingi matahari).
Pengetahuan masyarakat Bajo Bokori dilihat dari perspektif
sosial/budaya antara lain direfleksikan dalam sebuah pandangan yang
sejalan dengan teori dan fenomena sosial dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu sama dan bagai. Selain itu, orang Bajo dapat diidentifikasi dari
bahasanya, yaitu baong sama (bahasa Bajo) yang dapat menyatukan
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 15
mereka dalam suatu komunitas besar masyarakat Bajo meskipun asal dan
tempat tinggalnya berbada-beda daerah.
Dahulu, masyarakat Bajo Bokori kurang memperhatikan
pendidikan. Mereka hanya berorientasi di laut. Mereka menganggap
sekolah itu tidak penting, tetapi apa gunanya sekolah sampai ke jenjang
yang tinggi kalau toh harus kembali ke laut untuk mencari ikan. Selain
itu, mereka menganggap nenek moyang mereka hanya mengenal
bagaimana caranya mencari ikan saja, mereka tidak tahu bagaimana
caranya jika harus mencari rejeki selain melaut. Namun, seiring
perkembangan zaman, masyarakat Bajo yang awalnya tertutup akan
pendidikan tersebut, sekarang sudah mulai terbuka dengan perubahan
serta perkembangan yang ada terutama di bidang pendidikan. Hal ini
terbukti dengan banyaknya generasi muda masyarakat Suku Bajo yang
berhasil menempuh pendidikan bahkan sudah ada yang sarjana, bidan,
tentara dan polisi.
11) Organisasi Sosial
Dalam masyarakat suku Bajo Bokori, ada persatuan pemuda Bajo yang
namanya Kekar Bajo yang dilaksanakan setiap setahun sekali. Semua
masyarakat Bajo berkumpul dan merayakannya di salah satu daerah
pilihan.
B. Kaitan Antara Hukum dengan Aspek Kebudayaan dan
Organisasi Sosial dalam Masyarakat Bajo Bokori
Dalam proses penyelenggaraan dan penegakan hukum, tidak terlepas dari
keterkaitan Antara hukum dengan aspek kebudayaan serta organisasi social.
Namun, apakah dalam masyarakat adat tertentu antara hukum dengan
kebudayaan dan organisasi social merupakan tiga hal yang saling berkaitan,
atau tidak ataukah juga saling berdiri sendiri tanpa ada hubungan atau
keterkaitan diantara ketigatiga unsur tersebut
Bicara tentang kebudayaan dalam masyarakat adat suku Bajo Bokori jika
dikaitkan dengan hukum mempunyai kaitan yang erat, namun dengan
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 16
organisasi social tidak terlalu mempunyai kaitan, karena tidak adanya fungsi
organisasi social dalam mengawasi serta membantu penyelesaian masalah
hukum yang terjadi. Organisasi social hanya berperan dalam kegiatan-kegiatan
atau hubungan-hubungan yang terjadi antara komunitas suku Bajo didaerah
lain atau komunitas masyarakat lain.
Dalam masyarakat adat suku Bajo Bokori memiliki hukum yang tidak
tertulis yang mereka yakini secara turun-temurun. Setiap penyelesaian selalu
melibatkan tokoh adat dan pihak-pihak terkait tanpa adanya peran dari
organisasi social. Dimana tampak dalam setiap penyelesaian masalah hukum
yang terjadi di masyarakat selalu diselesaikan dengan cara musyawarah dan
system kekeluargaan seperti dalam tradisi pasipupukang yang didalamnya
terdapat tradisi Ningkolo dan Passala’. Budaya musyawarah dan kekeluargaan
dalam Pasipupukang yang membentuk hukum dalam kehidupan masyarakat
adat Suku Bajo Bokori.
Selain itu, unsur kebudayaan dalam penggunaan bendera adat Bajo dapat
dilihat pada saat adanya perayaan perkawinan, ataupun acara-acara resepsi
lainnya. Tidak semua masyarakat keturunan suku Bajo menggunakan acara
pengibaran bendera adat Bajo ini, karena terdapat tatacara tertentu yang harus
dipenuhi.
Penggunaan simbol bendera adat Bajo itu sendiri memiliki kandungan
“asas persatuan”, dalam hal ini mempersatukan anggota masyarakat suku
Bajo ke dalam tradisi adat mereka; mengandung juga “asas kedaulatan”,
dimana penggunaan bendera adat tersebut menunjukkan kedaulatan adat Bajo
yang masih mendarah daging pada masyarakat adat Bajo yang masih
menggunakan adat tersebut; mengandung juga “asas kehormatan”, dimana
penggunaan bendera adat tersebut adalah sebagai jati diri yang menunjukkan
eksistensi harga diri, dan kebesaran adat masyarakat Bajo; “asas kebangsaan”,
disini berarti penggunaan bendera mencerminkan sifat patriotisme,
kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi untuk tetap setia kepada adat
istiadat Suku Bajo; “asas ketertiban”, berarti bahwa penggunaan bendera
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam penggunaannya; “asas kepastian
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 17
hukum”, berarti bahwa penggunaan bendera harus dapat memberikan kepastian
hukum dalam penggunaannya; “asas keseimbangan”, berarti bahwa
penggunaan bendera harus mencerminkan keseimbangan dalam hal pengadaan,
penetapan, dan penggunaannya; “asas keserasian” berarti bahwa penggunaan
bendera harus mencerminkan keserasian dalam hal pengadaan, penetapan, dan
penggunaannya; dan “asas keselarasan” berarti bahwa penggunaan bendera
harus mencerminkan keselarasan dalam hal pengadaan, penetapan, dan
penggunaannya. simbol persatuan, kekeluargaan dan gotong-royong
masyarakat Bajo.
Dengan adanya aspek kebudayaan dan kepercayaan masyarakat adat
suku Bajo Bokori melalui symbol penggunaan bendera adat Bajo tersebut
dengan nilai-nilai filosofis yang dimiliki menunjukkan bahwa sebagian besar
hukum adat dalam masyarakat suku Bajo Bokori lahir dari kebudayaan-
kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 18
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam masyarakat suku Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten
Konawe masih terdapat hukum adat yang berlaku secara Universal,
hal ini dapat dilihat dengan adanya hukum adat tidak tertulis serta
yang diyakini seluruh masyarakat adat Bajo secara turun-temurun
oleh masyarakat setempat, seperti misalnya Pasipupukang dalam
setiap penyelesaian masalah hukum dengan tradisi Ningkolo dan
Passala/denda sebagai sanksi apabila terjadi kasus atau masalah.
2. Hubungan Antara hukum masyarakat suku Bajo dengan aspek
kebudayaan masih sangat erat, Dilihat dari tradisi pasipupukang
dalam masyarakat tersebut serta dengan system musyawarah dan
kekeluargaan yang erat dalam setiap penyelesaian masalah. Selain
itu, dengan adanya tradisi bendera symbol masyarakat adat suku Bajo
yang mengandung berbagai nilai-nilai dan asas-asas dalam
kehidupan. Hal ini sangat berkaitan dengan hukum yang berlaku.
Namun Antara hukum dengan organisasi social yang ada dalam
masyarakat Bajo Bokori tidak memiliki kaitan yang sangat erat.
Setiap ada permasalahan hanya melibatkan tokoh adat dan pihak
bersangkutan untuk musyawarah mencari jalan keluar tanpa ada
organisasi social yang terlibat. Artinya, antara hukum dan organisasi
social berdiri sendiri tanpa ada hubungan.
B. Saran
Makalah ini dibuat sebagai bahan belajar pembaca khususnya mahasiswa
dan memperluas wawasan mengenai masyarakat suku Bajo, khususnya suku
Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Oleh karena itu
sebaiknya makalah ini digunakan sebagaimana fungsi seharusnya.
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 19
DAFTAR PUSTAKA
Aslan, La Ode Muhamad dan Nadia, La Ode Abdul Rajak. 2009. Potret
Masyarakat Pesisir Sulawesi Tenggara. Kendari : Unhalu Press.
http://dombaungu.blogspot.com/2012/05/alat-tangkap-ikan-suku-bajo-yang-
telah.html
http://tipswisatamurah.blogspot.com/2012/02/uniknya-tradisi-masyarakat-
bajo.html
http://unj-pariwisata.blogspot.com/2012/05/kearifan-lokal-suku-bajo-uas.html
http://gunawansugiyanto.wordpress.com/2008/06/12/kearifan-lokal-yang-tidak-
tertulis/
http://ahmilanakwajo.blogspot.com/2010/03/jenis-perkawinan-suku-bajo.html
Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 20
Top Related