Makalah Antropologi Hukum

33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang kaya akan adat dan budaya yang beragam, serta memiliki beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Sebagai salah satu contohnya adalah masyarakat suku Bajo. Berdasarkan sejarahnya, masyarakat suku Bajo merupakan suatu komunitas yang hidup di atas perahu, dan biasa disebut dengan “manusia perahu”. Masyarakat suku bajo selalu membudayakan hal ini, sehingga kehidupan mereka selalu berpindah pindah. Setelah memanfaatkan satu daerah maka mereka akan berpidah pada daerah yang lain, barulah kemudian dimanfaatkan, dan begitu seterusnya. Hal ini sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Masyarakat suku bajo percaya bahwa laut merupakan kehidupan mereka. laut adalah ombok lao, atau raja laut. Sehingga filosofi tersebut berakibat pada penggolongan manusia dalam suku Bajo. Suku Bajo, dalam menempatkan orang membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu Sama‘ dan Bagai. Sama‘ adalah sebutan Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 1

description

budaya hukum masyarakat

Transcript of Makalah Antropologi Hukum

Page 1: Makalah Antropologi Hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan adat dan budaya yang

beragam, serta memiliki beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang

dapat berlaku bagi semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Sebagai salah

satu contohnya adalah masyarakat suku Bajo.

Berdasarkan sejarahnya, masyarakat suku Bajo merupakan suatu

komunitas yang hidup di atas perahu, dan biasa disebut dengan “manusia

perahu”.  Masyarakat suku bajo selalu membudayakan hal ini, sehingga

kehidupan mereka selalu berpindah pindah. Setelah memanfaatkan satu daerah

maka mereka akan berpidah pada daerah yang lain, barulah kemudian

dimanfaatkan, dan begitu seterusnya. Hal ini sudah menjadi tradisi yang

diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Masyarakat suku bajo percaya bahwa laut merupakan kehidupan mereka.

laut adalah ombok lao, atau raja laut. Sehingga filosofi tersebut berakibat pada

penggolongan manusia dalam suku Bajo. Suku Bajo, dalam menempatkan

orang membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu Sama‘ dan Bagai. Sama‘

adalah sebutan bagi mereka yang masih termasuk ke dalam suku Bajo

sementara Bagai adalah suku di luar Bajo. Penggolongan tersebut telah

memperlihatkan kehati-hatian dari suku Bajo untuk menerima orang baru.

Mereka tidak mudah percaya sama pendatang baru.

Masyarakat suku bajo memiliki suatu filosofis ‘Papu Manak Ita Lino

Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana‘,

artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai

manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan

mempergunakannya. Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti

kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur

suku Bajo.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 1

Page 2: Makalah Antropologi Hukum

Walaupun suku Bajo selalu tinggal di daerah pinggiran laut dan jauh dari

pengaruh kehidupan masyarakat modern pada umumnya karena terpisah dari

komunitas masyarakat lainnya, bukan berarti suku Bajo tidak memiliki dan

menjunjung tinggi hukum dan adat mereka, seperti yang terjadi pada

masyarakat suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten

Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, sebuah desa yang di huni mayoritas

suku Bajo.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan

Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara masih

terdapat hukum adat yang berlaku universal?

2. Bagaimana hubungan hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi

atau bidang antropologi lain dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori,

Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara?

C. Tujuan Penelitian

Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata

kuliah Antropologi Hukum, juga bertujuan:

1. Untuk mengetahui hukum yang berlaku universal dalam masyarakat

Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi

Sulawesi Tenggara.

2. Untuk mengetahui hubungan hukum dengan aspek kebudayaan dan

organisasi atau bidang antropologi lain dalam masyarakat suku Bajo

Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi

Sulawesi Tenggara.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 2

Page 3: Makalah Antropologi Hukum

D. Manfaat Penelitian

Secara akademik, penelitian ini telah menambah referensi pengetahuan

dan teori tentang antropologi hukum. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat

untuk memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak dalam rangka

melakukan upaya pemberdayaan bagi komunitas adat suku Bajo. Demikian

pula secara tidak langsung penelitian ini memberi sumbangan pemikiran

kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam meningkatkan kesejahteraan

komunitas adat suku Bajo, baik pemerintah, swasta / dunia usaha, dan civil

society.

E. Metode Penelitian

Analisis atau metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu gambaran penganalisaan data

yang diperolah dari studi lapangan dan kepustakaan dengan cara menjelaskan

dan menerangkan kenyataan objektif penelitian yang diperoleh dari hasil

observasi dan wawancara di lapangan serta menggambarkan perilaku

masyarakat sampai membentuk hukum. Sehingga diperoleh data yang akurat,

baik yang bersifat teoritis kepustakaan maupun yang bersifat praktik yang

diperoleh melalui studi lapangan.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 3

Page 4: Makalah Antropologi Hukum

BAB II

KERANGKA TEORI

A. NAMA DAN BAHASA

Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam

melaut, dan hebat juga dalam bercocok tanam. Kemudian kampung Karang

Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo.  

Asal-usul suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain

menguasai bahasa daerah setempat, mereka juga berkomunikasi dengan

menggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis – Sulawesi

Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan

menggunakan bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di antara atau bersama

warga penduduk setempat. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup

di gunung. Bajo, identik dengan air laut, perahu, dan permukiman dia atas air

laut. Bajo artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo.

Konon nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka

adalah keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari

putrinya yang melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari ke

segala penjuru negeri hingga pulau Sulawesi. Menurut cerita, sang puteri

memilih menetap di Sulawesi, sedangkan orang-orang yang mencarinya

lambat laun memilih tinggal dan tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon

menurut satu versi, sang puteri yang menikah dengan pangeran Bugis

kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe.

dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Orang

Bajo dikenal mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya,

kendati tradisinya sendiri tetap berjalan.

Dari segi bahasa, kendati orang Bajo mempunyai satu bahasa. Namun

dialek mereka terpengaruh dengan bahasa-bahasa daerah tempat mereka

bermukim. Seperti di kabupaten Lembata, mereka hanya berbahasa Bajo

dengan kaumnya, sementara itu mereka berbahasa Lamaholot bila bertemu di

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 4

Page 5: Makalah Antropologi Hukum

pasar atau berinteraksi dengan penduduk luar kelompoknya. Dan bahasa bajo

sudah mengalami perbedaan yang sangat jauh sebagai akibat pengaruh

bahasa-bahasa lainnya.

Dalam masyarakat suku Bajo, untuk penyebutan orang yang lebih tua

laki-laki disebut Puto, sementara untuk penyebutan orang yang lebih tua

perempuan disebut “Aya”. Dan untuk orang atau pemuka adat disebut “Lolo

Bajo”.

B.LOKASI MASYARAKAT SUKU BAJO

Dahulu kala masyarakat Bajo kerap berpindah-pindah dari satu

tempat ke temat lainnya mencari sumber kehidupan seperti masyarakat gipsy

atau nomaden. Namun saat ini meskipun masih ada yang meneruskan tradisi

berpindah tempat, sebagian lainnya memilih menetap di lokasi tertentu dengan

pola hidup yang sangat sederhana. Salah satu lokasi menetap yang dipilih suku

ini ada di Pulau Bokori yang sekarang dipindahkan ke daratan Bajo yang

berada di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe sekitar Tahun 1986.

Belum lagi budaya masyarakat Suku Bajo, seperti perkawinan dan

acara selamatan. Adat Perkawinan masyarakat Suku Bajo, saat malam pertama,

biasanya pasangan suami istri baru, di lepas ke laut dengan perahu. Mereka

menghabiskan malam pertama di atas perahu. Ini merupakan tradisi yang

sangat unik.

C. DEMOGRAFI MASYARAKAT SUKU BAJO

Suku Bajo (Bajau) tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara,

selain di pulau Kabaena populasi suku Bajo terdapat juga di pulau Bokori yang

sekarang berada di daratan Soropia.

Sejak lama, masyarakat suku Bajo telah menempati wilayah pesisir

pulau Bokori ini, hidup dengan kearifan dan budaya mereka sendiri. Laut

adalah tumpuan utama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup ratusan

orang anggota komunitas mereka dari tahun ke tahun.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 5

Page 6: Makalah Antropologi Hukum

Walaupun suku Bajo tersebar di beberapa pulau sekitarnya, tapi

hampir tidak terdapat perbedaan dengan suku-suku bajo di daerah lain,

masyarakat Bajo di wilayah ini hidup berdampingan dalam satu komunitas

mereka dan menempati wilayah yang sedikit terpisah dengan komunitas lain,

meskipun mereka secara administrasi pemerintahan dalam satu kesatuan

dengan penduduk asli masyarakat Kecamatan Soropia di desa ini. Rumah-

rumah yang mereka huni secara keseluruhan berada di atas laut sehingga

membuat komunitas suku lain agak sulit melakukan interaksi dengan mereka

dalam kehidupan sehari-hari. Belum bisa dipastikan apa yang menyebabkan

mereka sedikit menutup diri dengan komunitas lain.

D. MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian utama suku Bajo adalah mencari ikan dengan cara

yang masih terbilang tradisional, seperti memancing, memanah, dan menjaring

ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau

pulau terdekat. Kehidupan Suku Bajo memang masih terbilang sangat

sederhana. Mendirikan pemukiman tetap pun mungkin tak terpikir oleh mereka

apabila tidak dihimbau oleh Pemerintah setempat.

Kegiatan melaut untuk mencari ikan adalah rutinitas utama mereka setiap

harinya. Dari subuh mereka telah berangkat melaut untuk mencari ikan sampai

pada siang hari, sehingga apabila pagi hari pemukiman mereka terlihat sepi,

hanya anak-anak yang berada di rumah. pemukiman ini nanti terlihat ramai

ketika siang hari sampai sore hari, kerana mereka telah kembali dari melaut.

Beberapa suku Bajo bahkan sudah mengenal teknik budidaya produk laut

tertentu, misalnya lobster, ikan kerapu, udang, dan lain sebagainya. Mereka

menyebut tempat budidaya sebagai tambak terapung yang biasanya terletak tak

jauh dari pemukiman. Sebagian kecil masyarakat suku Bajo bahkan sudah

membuat rumah permanen dengan menggunakan semen dan berjendela kaca.

Anak-anak Suku Bajo juga sudah banyak yang bersekolah, bahkan ada yang

sampai perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka

tentang pentingnya pendidikan sudah mulai terbangun.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 6

Page 7: Makalah Antropologi Hukum

BAB III

EKSISTENSI HUKUM MASYARAKAT SUKU BAJO BOKORI

A. Hukum Yang Berlaku Sacara Universal bagi Masyarakat Suku

Bajo Bokori

Masyarakat suku Bajo Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe,

Provinsi Sulawesi Tenggara adalah masyarakat yang terbuka akan segala

perubahan dalam kehidupan masyarakat. Namun, bukan berarti masyarakat

tersebut sudah tidak memiliki nilai-nilai tradisi serta hukum adat yang

dijunjung tinggi.

Dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia,

Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, dikenal sebuah tradisi yang

bernama “Pasipupukang”, yang artinya perkumpulan masyarakat suku Bajo

atau tradisi berkumpul masyarakat Bajo untuk mencari solusi-solusi dari

permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Apabila terdapat masalah

diantara masyarakat adat tersebut, maka diadakanlah Pasipupukang untuk

penyelesaiannya. Pasipupukang ini biasanya dilakukan dengan tata cara

sebagai berikut:

Apabila terjadi kasus perkelahian diantara sesama masyarakat Bajo,

diadakanlah pertemuan di suatu tempat, misalnya dirumah tokoh adat atau di

balai pertemuan di Desa. Pertemuan ini dinamakan Pasipupukang, dengan

dihadiri oleh kedua belah pihak yang berseteru, tokoh adat, tokoh masyarakat,

kepala desa. Pembicaraannya dilakukan dengan cara musyawarah untuk

mencari titik terang. Sedangkan apabila kasus perkelahian tersebut melibatkan

pihak lain yang berasal dari kampong lain atau masyarakat adat lain,

penyelesaiannya tetap sama dengan diadakan pertemuan atau perkumpulan

(Pasipupukang) namun, dihadiri oleh masing-masing ketua atau tokoh adat dari

kedua masyarakat adat. Lalu dilakukan musyawarah, apabila ada kerugian

yang ditimbulkan, maka ada namanya pemberian “Passala” atau biasa dikenal

dengan denda. Setelah dilakukan Pasipupukang, namun masalahnya tetap

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 7

Page 8: Makalah Antropologi Hukum

berlanjut dan tidak menemui titik terang, maka diserahkan ke pihak kepolisian

untuk ditindak lanjuti.

Untuk mengetahui apakah dalam masyarakat suku Bajo Bokori memiliki

hukum yang berlaku secara universal atau tidak, sebelumnya perlu diketahui

apa itu yang dimaksud dengan universal. Adapun unsur-unsur dari hukum yang

bersifat universal disini adalah sebagai berikut:

1. Aturan tertulis dan tidak tertulis

2. Bersifat mengatur dan mengikat

3. Mempunyai sanksi

4. Memiliki efek jera.

Yang pertama mengenai aturan. Dalam masyarakat suku Bajo Bokori

terdapat aturan tidak tertulis yang mereka yakini secara turun temurun yang

dikenal dengan Pemali dan Pasipupukang. Hal ini ditaati dan berlaku bagi

seluruh masyarakat Bajo secara keseluruhan.

Kedua, bersifat mengatur dan mengikat. Aturan-aturan dalam suku Bajo

Bokori bersifat mengikat bagi semua masyarakat suku bajo serta orang-orang

diluar suku Bajo yang terdapat di wilayah suku Bajo. Misalnya, ketika terjadi

perkelahian di wilayah Bajo yang melibatkan orang-orang didaerah Bajo dan

orang setempat. Diberlakukan aturan yang berlaku di daerah Bajo, dengan

diadakannya musyawarah atau Pasipupukang antara kedua belah pihak.

Selanjutnya, mempunyai sanksi. Ketika terjadi kasus atau masalah di

antara mereka, tidak serta merta dibawa langsung ke pihak berwajib. Namun,

diselesaikan secara adat dulu misalnya musyawarah, kalau sudah tidak ada titik

temu barulah dibawa ke pihak yang berwajib. Namun mengenai sanksi yang

diberikan ada yang namanya Passala atau denda. Mengenai efek jera dalam

masyarakat suku Bajo tidak terlalu berpengaruh besar, karena dalam setiap

penyelesaian masalah dan kasus yang terjadi selalu diselesaikan dengan system

kekeluargaan dan musyawarah.

Misalnya kalau tentang muda-mudinya itu, dalam mereka menjalin

hubungan jika tidak direstui oleh salah satu orang tua calon pemelai wanita

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 8

Page 9: Makalah Antropologi Hukum

baik pria, itu mereka menyelesaikannya juga dengan adat yang mereka yakini

dan dipimpin juga oleh kepala adat melakukan Pasipupukang dengan cara:

Ningkolo (duduk) sebagai simbol untuk mohon izin kepada keluarga

calon mempelai yang tidak menyetujui pernikahan tersebut, kenapa suku Bajo

memilih adat ningkolo, karna ningkolo itu seperti memberi kehormatan,

kesopanan saat akan meminta izin dan sifat kekeluargaan. Pada upacara ini

kepala adatnya yang akan menjadi penengah di antara dua keluarga tersebut.

Dan di situ calon mempelai laki-laki menawarkan jumlah uang sebagai mas

kawin untuk disetujui, jumlah nya itu Rp50.000, dan ditambah lagi pula untuk

uang biaya pesta perkawinan, akan terus terjadi tawar-menawar sampai ada

kesepakatan di antara dua keluarga tersebut. Kalo dilihat lihat upacara adatnya

agak matrelialistis, tapi sebenarnya uang yang ada di upacara adat tersebut

tidak terlalu penting, karena yang mereka maksud ialah adanya pertemuan

kedua keluarga untuk mengenal satu sama lain keharusan untuk berbicara

memberi alasan kenapa pernikahannya tidak disetujui, sekaligus memberi

toleransi.

Dan apabila ada seorang gadis yang hamil di luar nikah, maka laki-laki

yang menghamili harus membayar denda sebesar Rp 10.000 diikuti dengan

berlakunya hukum adat dan instansi agama yang mengharuskan mereka buat

nikah. Bukan hanya itu saja, jika ada seorang pemuda dan gadis yang ditemuin

ngobroll di malam hari, mereka diharuskan untuk menikah, ketatnya peraturan

suku bajo dalam hal pergaulan pemuda pemudi nya, itu wujud betapa sakral

nya nilai sebuah kehormatan keluarga.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 9

Page 10: Makalah Antropologi Hukum

BAB IV

HUBUNGAN ANTARA HUKUM DENGAN ASPEK

KEBUDAYAAN DAN ORGANISASI SOSIAL DALAM

MASYARAKAT SUKU BAJO BOKORI

A. Aspek Budaya

Budaya dalam suku Bajo diantaranya:

1) Rumah Bajo

Rumah Panggung yang  berdiri diatas tonggak tonggak kayu diatas

laut yang saling berhubungan. Rumah orang orang bajo sangat jarang

dipenuhi perabot furniture seperti kursi meja kecuali memang mereka

orang terpandang seperti kepala desa, pemilik warung atau pedagang.

Umumnya mereka duduk di lantai kayu yang tidak terlalu rapat sehingga

kita bisa melihat air laut dan segala kehidupannya di bawah sana.

  Orang-orang Bajo enggan membangun rumah di darat karena

banyak tradisi dan ritual hidup yang harus dilakukan di laut.  Sejak dulu,

setiap bayi orang Bajo harus dicelupkan ke laut untuk mengakrabkan

mereka dengan laut yang dianggap sebagai saudara.

Nilai-nilai konservasi dalam Tradisi Suku Bajo

- Duata Sangal : Ritual mengambil beberapa jenis ikan kecil yang

terancam punah dan melepaskannya ke laut , ikan yang dilepas itu

diharapkan bisa mengundang ikan-ikan lainnya untuk berkumpul dan

hidup bersama.

- Parika : yaitu memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak

serta membatasi penangkapan berdasarkan ketentuan waktu tertentu

yang disepakati oleh pemuka adat dan tokoh komunitas.

- Pamali : “Daerah terlarang” yang ditetapkan ketua adat Bajo untuk

menangkap ikan di suatu kawasan. Biasanya disertai sanksi tertentu

bagi yang melanggar.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 10

Page 11: Makalah Antropologi Hukum

- Maduai Pinah : Ritual yang dilakukan saat nelayan Bajo akan turun

kembali melaut di lokasi pamali.

2) Kategori Melaut dalam tradisi Bajo

Kegiatan melaut dibagi dalam empat kategori , yakni :

1) Palilibu : melaut jarak dekat dalam sehari

2) Pongka : melaut agak jauh dengan waktu 1-2 minggu

3) Sakai : Melaut jauh dengan lama waktu minimal sebulan

4) Lama : melaut sangat jauh hingga berbulan-bulan dan biasanya

melintasi negeri asing.

5) Duata

Sejumlah wanita berpakaian adat khas suku bajo menggelar tarian

di atas perahu disertai dengan membuang berbagai sesajen di tengah laut.

Tarian ini sebagai rangkaian prosesi tradisi Duata, sebuah tradisi

pengobatan tradisional suku Bajo. Dalam keyakinan masyarakat Bajo,

Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma menjadi sosok

manusia. Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan

tradisional suku bajo, ini dilakukan jika ada salah satu diantara mereka

mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain

termasuk pengobatan medis.

6) Perkawinan

Dalam masyarakat suku bajo, terdapat beberapa jenis perkawinan,

yakni :

1. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro)

Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi

masyarakat Suku Bajo yang bersifat umum, baik dari golongan

bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dari tata cara

pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang

dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyarakat awam berdasarkan

kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 11

Page 12: Makalah Antropologi Hukum

2. Perkawinan Silaiyang ( Kawin Lari)

Perkawian yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan

akan tetapi kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari rumah

penghulu atau kepala kampung untuk mendapat perlindungan dan

selanjutnya diurus untuk dinikahkan.

Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan

diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan “pakayya”

bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak

perempuan yang disebut “nggai ia” selalu berusaha untuk menegakkan

harga diri atau “pakayya” dengan cara membunuh lelaki yang melarikan

anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat,

apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu

(pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota

adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.

Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada

orang tua perempuan untuk dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga

terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi

persetujuannya, karena merasa dipermalukan (adipakaiya). Bahkan orang

tua yang dipermalukan (dipakaiya) itu menganggap anaknya yang

dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya.

Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat

atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim.

3. Perkawinan yang Dilarang

Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Suku Bajo

melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang

masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti :

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya

(ibu/nenek) baik melalui ayah maupun ibu.

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya

(anak/cucu/cicit) termasuk keturunan anak wanita.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 12

Page 13: Makalah Antropologi Hukum

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau

ibu (saudara kandung / anak dari saudara kandung).

- Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang

menurunkan (saudara kandung ayah/saudara kandung ibu/saudara kakek

atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu).

4. Perkawinan Duduk ( Sitingkoloang )

Perkawinan ini terjadi apabila salah satu pihak, baik laki-laki

atau pihak perempuan pergi kerumah orangtua laki-laki atau perempuan

guna menyerahkan dirinya kepada keluarga laki-laki atau

perempuan.Karena laki-laki atau perempuan sangat cinta sehingga dia

memberanikan diri untuk menyampaikan kedatanganya bahwa dia sangat

sayang.Untuk maksud ini dari pihak orangtua memberikan saran agar

masing-masing pihak dapat meluangkan waktunya untuk musyawarah

(sitummu).Perkawinan ini masih berlaku di Masyarakat Bajo.

7) Upacara Sangal

Upacara Sangal yang dilakukan saat musim paceklik ikan dan

spesies laut lainnya. Pada upacara tersebut, mereka akan melepas spesies

yang populasinya tengah menurun di saat bersamaan. Misalnya: melepas

penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang,

dll. Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut dan mengambil

hasil laut.. Di dalam masyarakat Bajo tumbuh suatu keyakinan terhadap

adanya suatu mantra yang memberi peranan penting dalam kehidupan

mereka, keyakinan tersebut berkaitan erat dengan kegiatan mereka

sebagai nelayan.

Tantangan yang dihadapi oleh Suku Bajo cukup banyak, antara

lain: kurangnya akses menuju pendidikan, hak atas tempat tinggal, angka

kematian pada ibu yang melahirkan dan bayi, kemiskinan, kelaparan, dan

diskriminasi di beberapa lokasi tertentu. Selain itu, perubahan alam pun

menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh suku pengembara laut

ini.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 13

Page 14: Makalah Antropologi Hukum

8) Tarian

Umumnya tarian tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama

dengan tarian suku bugis,buton,mandar dan toraja.Ada dua tarian yang

lumrah di kalangan Suku Bajo yakni :

1. Tarian Manca

Tarian Manca adalah salah satu tarian yang sangat populer dikalangan

masyarakat Bajo.Tarian ini dilakukan pada saat ada pesta pernikahan

yang resmi (Massuro). Biasanya tarian ini dibawakan oleh sepasang

pamanca (tukang manca) terdiri dari dua orang yang masing-masing

saling membawa peddah (pedang). Tarian ini sudah merupakan turun

temurun dari nenek moyang mereka.Si pamanca sudah terlatih sejak

kecil,sehingga gerak badannya sangat lentur sesuai dengan irama

sarroni/sulleh (seruling) dan gandah (gendang). Manca bagi

masyarakat suku bajo melambangkan kesatriaan sejati karena tarian

ini dianggap sebagai bekal untuk menjaga diri. Para pamanca saling

bergantian pabila salah satu dari sipamanca lelah yang lain dapat

(nyamboh) istilahnya menyambung tarian. Umumnya manca

dipentaskan saat pengantin laki-laki diantar kerumah wanita (lekka).

Nah setelah pengantin laki-laki tiba dirumah perempuan,di depan

pintu sudah berdiri salah satu anggota keluarga yang sudah dekat atau

akrab dengan pengantin laki-laki atau perempuan istilah ini disebut

nyambo'. Kalau pengantin laki-laki disebut nyambo' lille sedangkan

pengantin perempuan disebut nyambo' dinde. Manca diiringi dengan

alat musik seruling (sarroni),goh (gong),dan gandah (gendang).

2. Sile' kampoh ( silat kampung )

Silat kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo. Ini

bersinambungan dengan manca artinya semua jurus-jurus yang

didapat dari silat kampung diterapkan dalam manca. Silat kampung ini

tidak sembarangan orang untuk mempelajarinya. Syaratnya harus

sudah cukup umur. Untuk mempelajari silat ini dibutuhkan empat

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 14

Page 15: Makalah Antropologi Hukum

minggu ini sudah sempurna. Prinsipnya silat adalah jalan hidup yang

meliputi berbagai aspek kehidupan seorang manusia.

Fungsi dari silat ini adalah untuk menjaga diri. Ada sebuah ungkapan

yang menyatakan "Bukan orang Bajo yang meninggal dibunuh tanpa

melawan". Makanya setiap pemuda yang berkeinginan untuk pergi

meninggalkan kampung halamannya tidak diperkenankan oleh

orangtuanya sebelum dia mempelajari silat.

9) Religi

Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan

agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa

oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah

agama. Begitu pula dengan Masyarakat suku Bajo Bokori sekarang

beragama Islam. Ini terbukti dengan banyaknya bangunan Mesjid

disekitar kampong Bajo serta masyarakatnya semakin paham mengenai

ajaran Islam bahkan kebudayaannya sering dikaitkan dan mempunyai

hubungan dengan ajaran agama Islam.

10) Sistem Pengetahuan

Masyarakat Bajo Bokori memiliki pengetahuan alamiah-

kontekstual yang dibangun dari dan atas dasar pengalaman alamiah-

kontekstual sehari-hari. Hal ini bermanfaat dalam menjalani kehidupan

mereka sehari-hari sebagai nelayan. Beberapa pengetahuan itu, seperti

peredaran bulan, musim dan peristiwa pasang surut air laut, termasuk

ilmu perbintangan secara tradisional dan sistem penanggalan qamariah

(yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi) dan

penanggalam syamsiah (yang dihitung berdasarkan peredaran bumi

mengelilingi matahari).

Pengetahuan masyarakat Bajo Bokori dilihat dari perspektif

sosial/budaya antara lain direfleksikan dalam sebuah pandangan yang

sejalan dengan teori dan fenomena sosial dalam kehidupan sehari-hari,

yaitu sama dan bagai. Selain itu, orang Bajo dapat diidentifikasi dari

bahasanya, yaitu baong sama (bahasa Bajo) yang dapat menyatukan

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 15

Page 16: Makalah Antropologi Hukum

mereka dalam suatu komunitas besar masyarakat Bajo meskipun asal dan

tempat tinggalnya berbada-beda daerah.

Dahulu, masyarakat Bajo Bokori kurang memperhatikan

pendidikan. Mereka hanya berorientasi di laut. Mereka menganggap

sekolah itu tidak penting, tetapi apa gunanya sekolah sampai ke jenjang

yang tinggi kalau toh harus kembali ke laut untuk mencari ikan. Selain

itu, mereka menganggap nenek moyang mereka hanya mengenal

bagaimana caranya mencari ikan saja, mereka tidak tahu bagaimana

caranya jika harus mencari rejeki selain melaut. Namun, seiring

perkembangan zaman, masyarakat Bajo yang awalnya tertutup akan

pendidikan tersebut, sekarang sudah mulai terbuka dengan perubahan

serta perkembangan yang ada terutama di bidang pendidikan. Hal ini

terbukti dengan banyaknya generasi muda masyarakat Suku Bajo yang

berhasil menempuh pendidikan bahkan sudah ada yang sarjana, bidan,

tentara dan polisi.

11) Organisasi Sosial

Dalam masyarakat suku Bajo Bokori, ada persatuan pemuda Bajo yang

namanya Kekar Bajo yang dilaksanakan setiap setahun sekali. Semua

masyarakat Bajo berkumpul dan merayakannya di salah satu daerah

pilihan.

B. Kaitan Antara Hukum dengan Aspek Kebudayaan dan

Organisasi Sosial dalam Masyarakat Bajo Bokori

Dalam proses penyelenggaraan dan penegakan hukum, tidak terlepas dari

keterkaitan Antara hukum dengan aspek kebudayaan serta organisasi social.

Namun, apakah dalam masyarakat adat tertentu antara hukum dengan

kebudayaan dan organisasi social merupakan tiga hal yang saling berkaitan,

atau tidak ataukah juga saling berdiri sendiri tanpa ada hubungan atau

keterkaitan diantara ketigatiga unsur tersebut

Bicara tentang kebudayaan dalam masyarakat adat suku Bajo Bokori jika

dikaitkan dengan hukum mempunyai kaitan yang erat, namun dengan

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 16

Page 17: Makalah Antropologi Hukum

organisasi social tidak terlalu mempunyai kaitan, karena tidak adanya fungsi

organisasi social dalam mengawasi serta membantu penyelesaian masalah

hukum yang terjadi. Organisasi social hanya berperan dalam kegiatan-kegiatan

atau hubungan-hubungan yang terjadi antara komunitas suku Bajo didaerah

lain atau komunitas masyarakat lain.

Dalam masyarakat adat suku Bajo Bokori memiliki hukum yang tidak

tertulis yang mereka yakini secara turun-temurun. Setiap penyelesaian selalu

melibatkan tokoh adat dan pihak-pihak terkait tanpa adanya peran dari

organisasi social. Dimana tampak dalam setiap penyelesaian masalah hukum

yang terjadi di masyarakat selalu diselesaikan dengan cara musyawarah dan

system kekeluargaan seperti dalam tradisi pasipupukang yang didalamnya

terdapat tradisi Ningkolo dan Passala’. Budaya musyawarah dan kekeluargaan

dalam Pasipupukang yang membentuk hukum dalam kehidupan masyarakat

adat Suku Bajo Bokori.

Selain itu, unsur kebudayaan dalam penggunaan bendera adat Bajo dapat

dilihat pada saat adanya perayaan perkawinan, ataupun acara-acara resepsi

lainnya. Tidak semua masyarakat keturunan suku Bajo menggunakan acara

pengibaran bendera adat Bajo ini, karena terdapat tatacara tertentu yang harus

dipenuhi.

Penggunaan simbol bendera adat Bajo itu sendiri memiliki kandungan

“asas persatuan”, dalam hal ini mempersatukan anggota masyarakat suku

Bajo ke dalam tradisi adat mereka; mengandung juga “asas kedaulatan”,

dimana penggunaan bendera adat tersebut menunjukkan kedaulatan adat Bajo

yang masih mendarah daging pada masyarakat adat Bajo yang masih

menggunakan adat tersebut; mengandung juga “asas kehormatan”, dimana

penggunaan bendera adat tersebut adalah sebagai jati diri yang menunjukkan

eksistensi harga diri, dan kebesaran adat masyarakat Bajo; “asas kebangsaan”,

disini berarti penggunaan bendera mencerminkan sifat patriotisme,

kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi untuk tetap setia kepada adat

istiadat Suku Bajo; “asas ketertiban”, berarti bahwa penggunaan bendera

harus dapat mewujudkan ketertiban dalam penggunaannya; “asas kepastian

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 17

Page 18: Makalah Antropologi Hukum

hukum”, berarti bahwa penggunaan bendera harus dapat memberikan kepastian

hukum dalam penggunaannya; “asas keseimbangan”, berarti bahwa

penggunaan bendera harus mencerminkan keseimbangan dalam hal pengadaan,

penetapan, dan penggunaannya; “asas keserasian” berarti bahwa penggunaan

bendera harus mencerminkan keserasian dalam hal pengadaan, penetapan, dan

penggunaannya; dan “asas keselarasan” berarti bahwa penggunaan bendera

harus mencerminkan keselarasan dalam hal pengadaan, penetapan, dan

penggunaannya. simbol persatuan, kekeluargaan dan gotong-royong

masyarakat Bajo.

Dengan adanya aspek kebudayaan dan kepercayaan masyarakat adat

suku Bajo Bokori melalui symbol penggunaan bendera adat Bajo tersebut

dengan nilai-nilai filosofis yang dimiliki menunjukkan bahwa sebagian besar

hukum adat dalam masyarakat suku Bajo Bokori lahir dari kebudayaan-

kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 18

Page 19: Makalah Antropologi Hukum

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam masyarakat suku Bajo, Kecamatan Soropia, Kabupaten

Konawe masih terdapat hukum adat yang berlaku secara Universal,

hal ini dapat dilihat dengan adanya hukum adat tidak tertulis serta

yang diyakini seluruh masyarakat adat Bajo secara turun-temurun

oleh masyarakat setempat, seperti misalnya Pasipupukang dalam

setiap penyelesaian masalah hukum dengan tradisi Ningkolo dan

Passala/denda sebagai sanksi apabila terjadi kasus atau masalah.

2. Hubungan Antara hukum masyarakat suku Bajo dengan aspek

kebudayaan masih sangat erat, Dilihat dari tradisi pasipupukang

dalam masyarakat tersebut serta dengan system musyawarah dan

kekeluargaan yang erat dalam setiap penyelesaian masalah. Selain

itu, dengan adanya tradisi bendera symbol masyarakat adat suku Bajo

yang mengandung berbagai nilai-nilai dan asas-asas dalam

kehidupan. Hal ini sangat berkaitan dengan hukum yang berlaku.

Namun Antara hukum dengan organisasi social yang ada dalam

masyarakat Bajo Bokori tidak memiliki kaitan yang sangat erat.

Setiap ada permasalahan hanya melibatkan tokoh adat dan pihak

bersangkutan untuk musyawarah mencari jalan keluar tanpa ada

organisasi social yang terlibat. Artinya, antara hukum dan organisasi

social berdiri sendiri tanpa ada hubungan.

B. Saran

Makalah ini dibuat sebagai bahan belajar pembaca khususnya mahasiswa

dan memperluas wawasan mengenai masyarakat suku Bajo, khususnya suku

Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Oleh karena itu

sebaiknya makalah ini digunakan sebagaimana fungsi seharusnya.

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 19

Page 20: Makalah Antropologi Hukum

DAFTAR PUSTAKA

Aslan, La Ode Muhamad dan Nadia, La Ode Abdul Rajak. 2009. Potret

Masyarakat Pesisir Sulawesi Tenggara. Kendari : Unhalu Press.

http://dombaungu.blogspot.com/2012/05/alat-tangkap-ikan-suku-bajo-yang-

telah.html

http://tipswisatamurah.blogspot.com/2012/02/uniknya-tradisi-masyarakat-

bajo.html

http://unj-pariwisata.blogspot.com/2012/05/kearifan-lokal-suku-bajo-uas.html

http://gunawansugiyanto.wordpress.com/2008/06/12/kearifan-lokal-yang-tidak-

tertulis/

http://ahmilanakwajo.blogspot.com/2010/03/jenis-perkawinan-suku-bajo.html

Eksistensi Kebudayaan Hukum Masyarakat Adat Suku Bajo Bokori | 20