LAPORAN HASIL DISKUSI
Modul Organ Hematologi dan Onkologi Medik
“Seorang Wanita 35 Tahun Dengan Keluhan Lemah, Lesu, dan Pucat”
Kelompok X
Dyka Jafar Hutama Putra 030.09.076
Ira Nurul Afina 030.10.135
Liana Anggara Rizkia 030.10.160
Meilinda Vitta Sari 030.10.173
Muhamad Andanu 030.10.185
Muhammad Zaky 030.10.198
Oryza Ajani 030.10.216
Radian Savani 030.10.229
Runy Octavianty 030.10.242
Sindy Januarta 030.10.256
Tri Aryani Astuti 030.10.270
Yoshua Adinugraha 030.10.284
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta
8 April 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
BAB I : PENDAHULUAN 2
BAB II : KASUS 3
BAB III : PEMBAHASAN 4
BAB IV : TINJAUAN PUSTAKA 14
BAB V : KESIMPULAN 31
BAB VI : DAFTAR PUSTAKA 32
BAB I
PENDAHULUAN
Diskusi kelompok kami berlangsung selama 4 jam dibagi dalam dua sesi pertemuan yang
bertempat di ruang Farmasi 1. Tiap sesi berlangsung dalam waktu 2 jam. Diskusi diikuti oleh 12
orang mahasiwa, sepanjang diskusi semua peserta mengikuti jalannya diskusi dengan baik.
Dalam diskusi kali ini dipimpin oleh Radian Savani dan didampingi oleh Oryza Ajani sebagai
sekretaris.
Topik diskusi yang diberikan adalah “ Seorang Wanita 35 Tahun Dengan Keluhan Lemah,
Lesu, dan Pucat”. Hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya diskusi adalah perdebatan antara
anggota diskus mulai dari anamnesis hingga prognosis yang mungkin terjadi pada pasien ini.
Yang menjadi tutor pada diskusi kelompok kami ini ialah Dr. Suweino.
BAB II
KASUS
Seorang wanita berumur 35 tahun datang ke tempat praktek anda dengan keluhan lemah,
lesu, pucat sejak 3 hari yang lalu. Pada anamnesis lebih lanjut dikatakan bahwa menstruasinya 3
bulan terakhir tidak teratur dan banyak sekali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
TD : 110/80 mmHg
Suhu : 37oC
RR : 30x/menit
Nadi : 100x/menit
Mata : konjungtiva anemis
Jantung & paru: dbn
Abdomen : dbn
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil sbb:
Hb : 9 g/dl
Ht : 30%
Eritrosit : 4,0 juta/uL
Leukosit : 7000/uL
Trombosit : 250.000/uL
MCH : 21 pg
MCV : 75 fl
SI : 20 mg/dL
TIBC : 350 mg/dL
RDW : 18%
Gambaran Sediaan Apus Darah Tepi (SADT)
Eritrosit:mikrositik hipokrom,anisopoikilosi-
tosis, terdapat sel pensil
Leukosit : jumlah dan morfologi normal
Trombosit: jumlah cukup, morfologi normal
BAB III
PEMBAHASAN
I. ANAMNESIS
Identitas pasien :
Nama : -
Usia : 35 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : -
Status pernikahan : -
Pendidikan : -
Pekerjaan : -
Keluhan utama : lemah, lesu, dan pucat sejak 3 hari yang lalu
Berdasarkan keluhan utama, pasien merasa lemah, lesu, dan pucat sejak 3 hari yang lalu.
Otot merupakan salah satu jaringan yang membutuhkan energi dalam bentuk ATP dalam jumlah
yang cukup banyak. Pembentukan energi dalam sel otot membutuhkan O2. Apabila sel otot
kekurangan O2, maka aktivitas sel otot menjadi terhambat dan kontraksi otot pun melemah.
Kekurangan O2 biasanya disebabkan oleh penurunan kadar transport O2, yaitu hemoglobin dalam
sel darah merah. Itulah sebabnya pasien merasa lemah dan lesu. Pucat yang dialami pasien
menandakan anoksia jaringan dan berkurangnya peredaran O2 ke perifer, dimana hal ini
merupakan kompensasi tubuh yang lebih menyalurkan O2 ke organ vital, seperti otak, jantung,
dan paru. Pasien mengalami lemah, lesu, dan pucat sejak 3 hari yang lalu menandakan kondisi
akut yang sedang dialami pasien sehingga perlu anamnesis lebih lanjut untuk memastikannya.
Anamnesis tambahan yang didapatkan :
Pasien mengaku menstruasi 3 bulan terakhir tidak teratur dan banyak sekali. Berdasarkan
keluhan utama dan anamnesis di atas, masalah yang kami temukan ialah :
Masalah Dasar Masalah Hipotesis
1. Lemah, lesu Anamnesis - Anemia
- Gangguan metabolisme
- Kurangnya intake makanan
- Kelainan siklus menstruasi
- Penggunaan obat-obatan
2. Pucat Anamnesis - Anemia
- Kurangnya intake makanan
3. Menstruasi 3 bulan
tidak teratur dan
banyak sekali
Anamnesis - Menometrorrhagia
Anamnesis tambahan yang kami ajukan :
Riwayat Penyakit Sekarang :
Anamnesis tambahan yang perlu ditanyakan adalah :
- Dimana tempat tinggal pasien? Pekerjaan pasien?
- Apakah sering merasa pusing? Letih, lunglai, dan lemas?
- Apakah nafas menjadi lebih berat, sesak nafas?
- Apakah ada kelainan fungsi ginjal?
- Bagaimana siklus menstruasi selama ini?
- Adakah penggunaan obat-obatan tertentu?
- Adakah penggunaan pil KB?
Riwayat Penyakit Dahulu
Anamnesis tambahan yang perlu ditanyakan adalah :
- Apakah pasien mengalami seperti ini sebelumnya?
- Apakah ada gangguan pada GI Tract?
- Apakah ada riwayat gastrektomi?
Riwayat Penyakit Keluarga :
Anamnesis tambahan uang perlu ditanyakan adalah :
- Apakah keluarga pasien menderita hal yang serupa?
Riwayat Kebiasaan :
Anamnesis tambahan yang perlu ditanyakan adalah :
- Bagaimana pola makan? Apakah jenis makanan yang sering dimakan?
- Bagaimana frekuensi makan setiap hari? Bagaimana porsi makan setiap
hari?
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : compos mentis
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Konjungtiva anemis anemia
Palpasi, Perkusi, Auskultasi
Jantung : dbn
Abdomen : dbn
III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
NoTanda
Vital
Hasil
PemeriksaanNilai Normal Interpretasi Keterangan
1. TD 110/180 mmHg 120/80 mmHg Normal -
2. Nadi 100x/m 60-100x/m Normal -
3. RR 30x/m 16-20x/m
Takipneu,
kompensasi tubuh
akibat saturasi O2 di
perifer menurun
4. Suhu tubuh 370C 36,5oC-37,2oC Normal -
Pemeriksaan laboratorium :
Pemeriksaan PenilaianHasil
PemeriksaanNilai Normal Interpretasi Keterangan
Darah
Hb 9 g% 12-14 g% anemia
Ht 30 % 37-43% penurunan Ht dan
eritrosit terjadi
karena kehilangan
darah akut akibat
gangguan siklus
menstruasi dan
defisiensi Fe
Eritrosit 4,0 juta/uL 4,2-5,4 jt/uL
Leukosit 7000 /mm3 5000-10.000 /mm3 normal -
Trombosit 250.000 150.000-400.000 normal -
SI 20 mg/dL 60-170 mg/dL defisiensi besi
TIBC 350 mg/dL 300-369 mg/dL normal -
RDW 18% 11-15%
Adanya peningkatan
variasi volume sel
darah merah
Sediaan Apus Darah Tepi (SADT) : Anemia Mikrositik Hipokrom
IV. DIAGNOSIS KERJAsel pensil
Anisopoikilositosis : ukuran dan bentuk sel darah merah yang bervariasi
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan sediaan
apus darah tepi (SADT), diagnosis kerja kelompok kami ialah : Anemia Defisiensi Besi. Secara
laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi pada kasus ini dapat dipakai
kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut:
Anemia hipokrom mikrositer pada sediaan hapus darah tepi, atau MCV <80fl dan MCH
<31% dengan salah satu dari A,B,C, atau D:
A. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
Besi serum <50mg/dl
TIBC >350mg/dl
Saturasi transferin: <15%, atau
B. Feritin serum <20mg/I, atau
C. Pengecatan sumsum tulang dengan Biru Perusia (Perl’s stain) menunjukkan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
D. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2g/dl
Selanjutnya setelah penegakkan diagnosis kerja, perlu diperhatikan bahwa harus dicari
lebih lanjut penyakit dasar penyebab anemia defisiensi besi. Berdasarkan keluhan pasien,
menstruasi 3 bulan tidak teratur dan banyak sekali (menometrorrhagia) menandakan adanya
gangguan siklus menstruasi. Perdarahan yang dialami pasien bisa merupakan salah satu etiologi
terjadinya anemia defisiensi besi sehingga cadangan besi yang ada dalam tubuh tidak mencukupi
untuk proses hemopoesis yang berlangsung. Selain itu perlu konfirmasi lebih lanjut, bagaimana
intake Fe pada pasien ini. Untuk mencari tahu penyebab menometrorrhagia yang dialami pasien
perlu pemeriksaan lebih lanjut. Kelompok kami menganjurkan rujukan ke dokter spesialis
obgyin dan ginekologi.
PATOFISIOLOGI KASUS
V. DIAGNOSIS BANDING
Anemia akibat penyakit kronik.
Anemia Defisiensi Besi
Gangguan sintesis Hb
Hb
Oksigenisasi
perfusi O2 ke jaringan otot
pembentukan energi (ATP)
Aktivitas sel
Kontraksi otot
lemah & lesu
perfusi O2 ke konjungtiva
Konjungtiva anemis
Saturasi O2 di perifer
PernapasanRR : 30x/menit
Pemeriksaan lab :Ht , eritrosit, SIMCH , MCVRDW
SADT : mikrositik hipokrom, anisopoikilositosis, sel pensil
pucat
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan anemia. Sebagian besar
disebabkan oleh inflamasi kronik, kanker , gagal ginjal dan penyakit hati. Anemia penyakit
kronis ini ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan
gangguan produksi eritrosit akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoeitin. Pada umunya
anemia derajat sedang dengan mekanismenya yang belum jelas.
Perbandingan Anemia Defisiensi Besi dan Anemia Penyakit Kronik
Anemia defisiensi besi Anemia penyakit kronik
Derajat anemia Ringan sampai berat Ringan
MCV Menurun Menurun/normal
MCH Menurun Menurun/normal
Besi serum Menurun Menurun < 50
TIBC Meningkat > 360 Menurun <300
Saturasi transferin Menurun < 15% Menurun / normal 10-20%
Besi sumsum tulang
Negatif Positif
Protoporfirin eritrosit
Meningkat Meningkat
Feritin serum Menurun < 20μg/l Normal 20-200 μg/l
Elektrofoesis Hb Normal Normal
VI. PENATALAKSANAAN
Setelah diagnosis ditegakkan, maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia
defisiensi besi pada pasien adalah:
Nonmedika-mentosa
Terapi kausal ialah terapi terhadap penyebab menometrorrhagia. Kami menganjurkan
pemeriksaan lanjutan dan rujukan ke spesialis obgyn dan ginekologi. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
Medikamentosa
1. Pemberian preparat besi untuk menggantikan kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy). Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas
ferosus) merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi
efektif. Dosis anjuran adalah 3x200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus
mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3x200 mg
mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari dan dapat meningkatkan eritropoesis
dua sampai tiga kali normal. Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada
juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal
untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan adalah
100 sampai 200 mg. jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, anemia sering
kambuh kembali.
2. Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C.
Vitamin c diberikan 3x100 mg per hari.
Respons terhadap terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan
respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke-10
dan normal lagi setelah hari ke-14, diikuti kenaikan Hb 0,15g/hari atau 2g/dl setelah 3-4
minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu. Jika respon terhadap terapi
tidak baik, maka perlu dipikirkan:
Pasien tidak patuh minum obat
Dosis besi kurang
Masih ada perdarahan cukup banyak
Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, keradangan menahun
atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat
Diagnosis defisiensi besi salah.
VII. PROGNOSIS
Berdasarkan pembahasan di atas, apabila pasien ditangani dengan cepat, tepat, dan baik,
menurut kelompok kami ditinjau dari ad vitam, ad sanationam dan ad functionam pasien ialah ad
bonam. Prognosis anemia defisiensi besi pada umumnya baik. Anemia defisiensi besi merupakan
satu gejala yang mudah diobati dengan hasil yang sangat baik. Namun, prognosis anemia
defisiensi besi yang baik dan diperburuk oleh karena kondisi penyakit yang mendasarinya
(underlying disease) seperti neoplasia.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANEMIA DEFISIENSI BESI
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoeisis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan haemoglobin berkurang.ADB ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium menunjukkan cadangan besi kosong.
1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan autoanamnesis pada pasien dewasa
jika keadaan memungkinkan. Sekiranya keadaan tidak memungkinkan,
anamnesis dilakukan secara allo anamnesis. Anamnesis yang perlu
dilakukan meliputi:
Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa
Keluhan utama
Bertanya tentang awitan dan gejala awal. Pasien mengeluh mudah
lelah, nafas menjadi lebih berat, sesak nafas, kurang tenaga dan
gejala lainnya. 1
Kekurangan zat besi memiliki gejala sendiri, yaitu: 1,2
Pika: suatu keinginan memakan zat yang bukan makanan
seperti es batu, kotoran atau kanji
Glositis : iritasi lidah
Keilosis : bibir pecah-pecah
Koilonikia : kuku jari tangan pecah-pecah dan bentuknya seperti
sendok.
Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
Ditanyakan juga pola pertumbuhan sekiranya pasien anak/remaja.
Riwayat penyakit sekarang1,2
Ditanya tentang faktor resiko yang mungkin ada pada pasien.
Misalnya, kebiasaan makannya atau status diet, ambilan obat dan
jangka waktunya, status sosioekonomi (malnutrisi), status
menstruasi (pada wanita, sering pada premenopause).
Penyakit yang dialami sekarang seperti perdarahan saluran
makanan, perdarahan genitourinarius, hemosiderosis paru, dan
hemolisis intravascular serta tempuh lamanya penyakit tersebut.
Riwayat penyakit dahulu2
Ditanya jika pasien mempunyai riwayat gastrektomi parsial atau
total, by pass usus halus proksimal.
Ditanya adakah pasien ada mengambil apa-apa obat terutamanya
aspirin
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Status generalis:
a. Keadaan umum: Tampak sakit ringan, pucat.
b. Kesadaran: Kompos mentis
c. Tanda-tanda vital: dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik lain1,2,3,4
a. Kepala : ditemukan konjungtiva anemis. Dapat juga ditemukan
stomatitis angularis, atrofi papil lidah
b. Thoraks : murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran
jantung
c. Abdomen : bisa ditemukan splenomegali pada pasien ADB yang
berat, persisten dan ADB yang tidak diterapi.
d. Ekstremitas : khas ditemukan koilonikia yaitu kelainan pada
kuku, tidak ditemukan edema pada tungkai.
3. Pemeriksaan penunjang
i. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit1-5
Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemogglobin
mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV <70 fl hanya didapatkan
pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang
lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi.
Penigkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width).
Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan
anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis ini hasilnya sering
tumpang tindih.
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memaki angka <80fl, tapi pada penilitian
ADB di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah
<78fl memberi sensitivitas dan sfesifisitas paling baik. Dijumpai juga bahwa
penggabungan MCV,MCH,MCHC dan RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks
eritrosit. Indeks eritrosit selalu dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin
menurun.
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan
poiklilositosis. Makin berat derajat anemia, makin berat derajat hipokromia. Derajat
hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan
thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai
sebuah cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil
cell atau cigar cell). Kadang-kdang dijumpai sel target. Leukosit dan trombosit pada
umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang
berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis
dapat dijumpai pada ADB dengan dengan episode perdarahan akut.
ii. Kensentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC)1,2,5
Konsentrasi besi serum dan Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat. TIBC
menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin
dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diganosis ADB, kadar
besi serum menurun <50µg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350µg/dl,
dan saturasi transferin <15%. Ada juga memakai saturasi transferin <16%, atau <18%.
Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar dengan
kadar puncak pada jam 8 sampai 10 pagi.
iii. Ferritin serum1,2,5
Feritin serum merupakan indikator cadangan besi yang sangat baik kecuali pada
keadaan inflamasi dan keganasan tertentu. Titik pemilah (cutt off point) untuk feritin
aserum pada ADB diapakai angka <12µg/l, tetapi ada juga yang memakai <15µg/l. untuk
daerah tropik di mana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang
diajukan oleh negara barat tampaknya haris dikoreksi. Pada satu penilitian pada pasien
anemia di rumah sakit di Bali pemakaian feritin serum <12µg/l dan <20µ/l memberikan
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivtas
tertinggi (84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum <40mg/l, tanpa mengurangi
spesifisitas terlalu banyak (92%).
Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum
<20mg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat inflamasi atau infeksi yang jelas
seperti artritis reumatoid, maka feritin serum 50-60µg/l masih dapat menunjukkan adanya
defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis ADB
yang paling kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan karena
cukup reliabel dan praktis, meskipun tidak terlalu sensitif. Angka feritin serum normal
tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas
100mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.1
iv. Protoporfirin1
Protoporfirin merupakan bahan antara dalam pembentukan heme. Apabila sintesis
heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk
dalam eritrosit. Angka normal adalah kurang dari momg/dl. Untuk defisiensi besi,
protoporfirin bebas adalah lebih dari 100mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada
anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.1
v. Kadar reseptor transferin1,2
Kadar reseptor transerin dalam serum meningkat pada defisiensi besi. Kadar
normal dengan cara immunologi adalah 4-9µg/L. Pengukuran reseptor transferin terutama
digunakan untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih
baik lagi bila dipakai rasio reseptor teransferin dengan log feritin serum. Ratio >1,5
menunjukkan ADB dan rasio <1,5 sangat mungkin anemia karena penyakit kronik1
vi. Pemeriksaan sumsum tulang1,2,4,5,6
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang
dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur. Normoblas
ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia
(Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif).
Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung granula feritin dalam
sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblast negatif. Di klinik, pengecatan besi pada
sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi,
namun akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh pemeriksaan ferritin serum yang
lebih praktis.1
4. Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan besi, gangguan
absorbsi, serta kehilangan besi akibat pendarahan menahun :
Kehilangan besi akibat pendarahan menahun dapat berasal dari:
- Saluran cerna : akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang
- Saluran genitalia perempuan : monorrhagia atau metrorhagia
- Saluran kemih : hematuria
- Saluran napas : hemoptoe
Faktor nutrisi : akibat kurangnya besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan
rendah daging)
Kebutuhan besi meningkat: prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical spure atau kolitis kronik
Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
pendarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab
utama. Penyebab pendarahan paling tersering pada laki-laki adalah perdarahan gastrointestinal,
di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sedangkan pada perempuan dalam
masa reproduksi paling sering karena meno-metrorhagia.1,3
Terdapat perbedaan pola etiologi ADB di masyarakat atau di lapangan dengan ADB di
rumah sakit atau praktek klinik. ADB di lapangan pada umumnya disertai anemia ringan atau
sedang, sedangkan di klinik ADB umumnya disertai anemia derajat berat. Di lapangan faktor
nutrisi lebih berperan dibandingkan dengan perdarahan. Bakta, pada penilitian di Desa Jagapati,
Bali mendapatkan bahwa infeksi cacing tambang mempunyai peran pada 30% kasus, faktor
nutrisi mungkin berperan pada sebagian besar kasus terutama pada anemia derajat ringan sampai
sedang. Sedangkan di klinik misalnya pada praktek swasta, ternyata perdarahan kronik
memegang peran penting, pada laki-laki ialah infeksi cacing tambang (54%) dan hemoroid
(27%), sedangkan pada perempuan menorhagia (33%), hemoroid dan cacing tambang masing-
masing 17%. 1, 4,5,6,7
5. Faktor/kelompok beresiko 1,4,6,7,8
Kelompok-kelompok berikut memiliki peningkatan resiko kemungkinan mengalami
anemia kekurangan zat besi:
Wanita. karena wanita kehilangan darah selama menstruasi. Karena itulah pada umumnya
wanita lebih berisiko daripada laki-laki.
Bayi dan anak-anak. Bayi terutama mereka yang lahir dengan berat badan rendah atau
lahir prematur, ang tidak mendapatkan zat besi yang cukup dari ASI atau susu formula
mungkin menghadapi resiko kekurangan zat besi. Anak-anak memerlukan zat besi ekstra
selama “growth spurts”. Jika anak-anak ini tidak mendapat makanan dengan diet yang
sehat dan bervariasi, mereka mungkin berisiko.
Vegiterian. Orang yang tidak makan daging memiliki resiko yang lebih tinggi sekiranya
mereka tidak mengkonsumsi makanan lain yang kaya dengan sumber zat besi
Sering donor darah. Orang yang rutin melakukan donor darah mungkin memiliki
peningkatan resiko anemia defisiensi besi karena donor darah bisa menyebabkan deplesi
simpanan besi. Kadar hemoglobin yang rendah yang berkaitan dengan donor darah
merupakan masalah sementara dan dapat diatasi dengan makan makanan yang kaya
dengan zat besi.
6. Patofisiologi
Metabolisme zat besi
Perkembangan metabolisme zat besi dalam hubungannya dengan homeostatis besi
dapat dimengerti dengan baik pada orang dewasa, sedangkan pada anak diperkirakan
mengalami hal yang sama seperti pada orang dewasa. Zat besi bersama dengan protein
(globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan
hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim dalam metabolisme
oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter, dan proses katabolisme. Kekurangan zat besi
akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan, susunan
saraf pusat, kardiovaskuler, imunitas dan perubahan tingkat seluler. Jumlah zat besi yang
diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan, bioavailabilitas besi
dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Di dalam tubuh orang dewasa
mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih kurang 67% zat besi
tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam bentuk feritin atau
hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin, hanya sekitar 0,07% sebagai transferin dan
0,2% sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya mengandung zat besi sekitar 0,5
gram.10,11
Ada dua cara penyerapan besi zat besi dalam usus, yang pertama adalah
penyerapan dalam bentuk non heme ( sekitar 90% berasal makanan), yaitu besinya harus
diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk
heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa
memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung atau zat makanan yang
dikonsumsi.11
Besi dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar. Di dalam
lambung besi akan dibebaskan menjadi ion feri (Fe 3+) oleh pengaruh asam lambung
(HCL) vitamin C, asam amino. Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion fero oleh
pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi oleh mukosa usus. Sebagian
akan disimpan sebagai persenyawaan feritin dan sebagian masuk ke peredaran darah
berikatan dengan protein yang disebut transferin. Selanjutnya transferin ini akan
dipergunakan untuk sintesis hemoglobin. Sebagian transferin yang tidak terpakai akan
disimpan sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah daripada ion feri,
terutama bila makanan mengandung vitamin dan fruktosa yang akan membentuk suatu
kompleks besi yang larut, sedangkan fosfat, oksalat dan fitat menghambat absorpsi besi.1
Ekskresi besi dari tubuh sangat sedikit. Besi yang dilepaskan pada pemecahan
hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan masuk kembali ke dalam iron pool dan
akan dipergunakan lagi untuk sintesa hemoglobin. Jadi dalam tubuh normal kebutuhan
akan besi sangat sedikit. Kehilangan besi melalui urin, tinja, keringat, sel kulit yang
terkelupas dan karena perdarahan (menstruasi) sangat sedikit. Oleh karena itu pemberian
besi yang berlebihan dalam makanan dapat mengakibatkan terjadinya hemosiderosis.1
Pengeluaran besi dari tubuh yang normal ialah : bayi 0,3-0,4 mg/hari, anak 4-12
tahun 0,4-2,5 mg/hari, laki-laki dewasa 1,0-1,5 mg/hari, wanita dewasa 1,0-2,5 mg/hari,
wanita hamil 2,7 mg/hari. Kebutuhan besi dari bayi dan anak jauh lebih besar dari
pengeluarannya , karena dipergunakan untuk pertumbuhan. Kebutuhan rata-rata seorang
anak 5 mg/hari, tetapi bila terdapat infeksi dapat meningkat sampai 10 mg/hari.1
Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat
mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua
adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan
feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel kupfer hati dan makrofag di limpa
dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan
homeostasis besi dalam tubuh.1
7. Patogenesis Anemia Defisensi Besi
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin
menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative
iron balance. Keadaan ini ditandai dengan penurunan kadar ferritin serum, peningkatan
absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang.1
Apabila berkurangnya besi berlanjut terus menerus maka cadangan besi menjadi kosong
sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoeisis berkurang sehingga menimbulkan gangguan
pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron
deficient erythropoeisis. Pada fase ini, kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar
free protophorphyrin atau zinc protophorpyrin dalam eritrosit. Saturasi transrferin menurun dan
Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini parameter yang sangat spesifik
ialah pemingkatan reseptor transferin dalam serum.1
Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoeisis semakin terganggu sehingga
kadar hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut
sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada
beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta
berbagai gejala lainnya.
8. Diagnosis
Pendekatan diagnosis anemia secara umum 1
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease entity),
yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting
diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai diagnosis anemia,
tapi sedapat mungkin kita harus menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut. Maka tahao-tahao dalam diagnosis anemia adalah:
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi
hasil pengobatan
Pendekatan diagnostik berdasarkan tuntutan hasil laboratorium 1
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik
merupakan cara yang ideal tapi memerlukan fasilitas dan keterampilan klinis yang cukup.
Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokrom mikrositer1
9. Diagnosis kerja
Anemia defisiensi besi (ADB) yaitu anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoeisis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan haemoglobin berkurang.ADB ditandai oleh anemia hipokromik
mikrositer dan hasil laboratorium menunjukkan cadangan besi kosong. Anemia defisiensi besi
merupakan anemia yang paling sering dijumpai terutama di daerah tropik atau negara dunia
ketiga, oleh karena sangat berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih
dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan dan
dampak sosial yang sangat serius.1
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap
diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar
hemoglobin atau hematokrit. Cutt off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah
kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.1
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan
tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin
et al) sebagai berikut:
Anemia hipokrom mikrositer pada sediaan hapus darah tepi, atau MCV<80fl dan
MCH<31% dengan salah satu dari A,B,C, atau D:
A. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
Besi serum <50mg/dl
TIBC >350mg/dl
Saturasi transferin: <15%, atau
B. Feritin serum <20mg/I, atau
C. Pengecatan sumsum tulang dengan Biru Perusia (Perl’s stain) menunjukkan
cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
D. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2g/dl
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi.
Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tapi
merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun
dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui penyebabnya.1
Untuk pasien dewasa, fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi, anamnesis
tengtang menstruasi sangat penting. Kalau perlu dilakukan pemeriksaan genekologi. Untuk laki-
laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang.
Tidak cukup hanya dilakkan pemeriksaan hapusan langsung (direct smear dengan eosin), tapi
sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif seperti misalnya teknik Kato-Katz untuk
menentukan beratnya infeksi. Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dapat dianggap
sebagai penyebab utama ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang
sebagai penyebab utama jika ditemukan telur pergram feses (TPG) atau egg pe rgram faces
(EPG) >2000 pada perempuan dan > 4000 pada laki-laki. Dalam satu penilitian lapangan
ditemukan hubungn yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan besi pada
laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada prempuan.1 Anemia akibat cacing tambang
(hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang
berat. Anemia akibat cacing tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna kuning
pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium disamping tanda-tanda defisiensi besi juga
disertai eosinofilia.1
10. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan, maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi terhadap anemia
defisiensi besi adalah:
a. Terapi kausal: terapai terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan,
kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali
b. Pemberian preparat besi untuk menggantikan kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy)
Medikamentosa
Terapi besi oral 1
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena efektif, murah, dan
aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus) merupakan preparat
pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3x200 mg.
Setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas
ferosus 3x200 mg mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari ang dapat meningkatkan
eritropoesis dua sampai tiga kali normal.
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous
succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tapi efektivitas dan efek samping hampir
sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga sediaan enteric coated yang dianggap
memberikan efek samping yang lebih rendah, tapi dapat mengurangi absorbsi besi.
Preparat besi oral sebainya diberikan saat lambung kososng, tapi efek samping lebih
sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami
intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi peroral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai
pada 15 sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat
berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping, besi diberikan
saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3x100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai
12 bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis
pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. jika tidak diberikan dosis
pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali. Untuk meningkatkan penyerapan besi
dapat diberikan preparat vitammin C, tapi dapat meningkatkan efek samping terapi.
Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung besi.
Terapi besi parenteral
Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai resiko lebih besar dan
harganya lebih mahal. Oleh karena resiko ini, maka besi parenteral hanya diberikan pada
indikasi tertentu. Indikasi pemberin besi parenteral adalah:
Intoleransi terhadap pemberian besi oral
Kepatuhan terhadap obat yang rendah
Gangguan pencernaan seperti koilitis ulseratif yang dapat kambuh jika
diberikan besi
Penyerapan besi terganggu misalnya pada gastrektomi
Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup
dikompensasi oleh pemberian oral, seperti misalnya pada hereditary
hemorrhagic telengiectasia
kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada kehemilan
trimester tiga atau sebelum operasi
defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoeitin pada anemia
gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik
Preparat yang tersedia ialah iron dextra complex (mengandung 50mg besi/ml),
iron sorbital citric acid complex dan yang terbaru iron ferric gluconate dan iron sucrose
yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuskular dalam atau
intravena perlahan. Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan
memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi
anafilaksis meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala,
flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop.1Terapi besi parenteral bertujuan
mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg. dosis
yang dibserikan dapat dihitung menggunakan dosis:
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB X 2.4 + 500 atau 1000 mg
11. Komplikasi
Anemia kekurangan zat besi mengurangi kinerja dengan memaksa otot tergantung,
pada tingkat yang lebih besar dari pada orang sehat, setelah metabolisme
anaerobik. Hal ini diyakini terjadi karena kekurangan zat besi yang mengandung
enzim pernafasan sebagai penyebab lebih utama daripada anemia.7
Anemia yang parah dapat menghasilkan hipoksemia dan meningkatkan terjadinya
insufisiensi koroner dan iskemia miokard. Demikian pula, dapat memperburuk
status paru pasien dengan penyakit paru kronis.7
Kerusakan struktur dan fungsi jaringan epitel dapat diamati pada pasien kekurangan
zat besi. Kuku menjadi rapuh atau longitudinal bergerigi dengan perkembangan
koilonychia (kuku sendok). Lidah dapat menunjukkan atrofi papila lingual dan
kelihatan mengkilap. Angular stomatitis dapat terjadi dengan celah di sudut
mulut. Disfagia mungkin terjadi bila memakan makanan padat, dengan anyaman
(webbing) dari mukosa pada persimpangan hipofaring dan esofagus (Plummer-
Vinson sindrom); ini telah dikaitkan dengan karsinoma sel skuamosa daerah
esofagus. Atrophic gastritis terjadi pada defisiensi zat besi dengan kehilangan
progresif sekresi asam, pepsin, dan faktor intrinsik dan pembentukan antibodi
terhadap sel parietal lambung. Vili usus kecil menjadi tumpul.7
Itoleransi terhadap dingin berkembang pada satu dari lima pasien dengan anemia
kekurangan zat besi kronis dengan manifestasi gangguan vasomotor, nyeri
neurologik, atau mati rasa dan kesemutan.7
Gangguan fungsi kekebalan dilaporkan pada pasien yang kekurangan zat besi, dan
ada laporan bahwa pasien rentan terhadap infeksi, namun bukti bahwa ini adalah
langsung disebabkan oleh kekurangan zat besi tidak meyakinkan karena adanya
faktor lain.7,8
Anak-anak kekurangan zat besi mungkin menunjukkan gangguan perilaku.
Perkembangan neurologis akan terganggu pada bayi dan kinerja skolastik berkurang
pada anak usia sekolah. IQ anak-anak sekolah kekurangan zat besi dilaporkan
sebagai signifikan kurang dari rekan-rekan nonanemia. Gangguan perilaku
bermanifestasi sebagai gangguan defisit perhatian. Pertumbuhan terganggu pada
bayi dengan defisiensi besi.7,8
Masalah jantung. Anemia kekurangan zat besi dapat menyebabkan detak jantung
yang cepat atau tidak teratur. Jantung harus memompa darah lebih banyak untuk
mengkompensasi kekurangan oksigen yang dibawa oleh darah. Hal ini
dapat menyebabkan pembesaran jantung atau gagal jantung.8
Masalah selama kehamilan. Pada wanita hamil, anemia defisiensi besi dikaitkan
dengan kelahiran prematur dan bayi berat badan lahir rendah. Tetapi kondisi ini
mudah dicegah pada wanita hamil yeng menerima suplemen zat besi sebagai bagian
dari perawatan pralahir mereka.8
12. Pencegahan 1,7,8
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat, maka diperlukan suatu
tindakan pencegahan yang padu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa:
a) Pendidikan kesehatan:
- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan lingkungan
kerja, misalnya dengan pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit
cacing tambang
- Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi
b) Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling sering
dijumpai di daerah tropik. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan
pengobatan masal dengan antihelmentik dan perbaikan sanitasi
c) Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang rentan,
seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak
balita memakai pil besi dan folat.
d) Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan makanan.
Di negara barat dilakukan dengan mencampur tepung untuk roti dan bubuk susu dengan
besi.
B. MENOMETRORHAGIA
Definisi
Menometrorhagia adalah hipermenorhea atau menoragia adalah perdarahan haid yang
lebih banyak dari normal/lebih lama dari normal (lebih dari 8 hari). (Prawirohardjo, 2005).
Menometrorhagia adalah perdarahan dari rahim yang terjadi pada waktu haid juga pada saat-
saat lain (Dorland, 2000). Menometrorhagia adalah perdarahan uterus yang tidak sesuai waktu
tetapi dalam jumlah yang banyak (Manuaba, 2001).
Etiologi
Menurut Safitri (2009), menometrorhagia kebanyakan terjadi karena ketidakseimbangan
hormonal yang mempengaruhi siklus haid.
1. Penyebab organik
Perdarahan dari uterus, tuba, dan ovarium disebabkan :
a. Servik uteri, seperti karsinoma partiom, perlukaan serviks, polip serviks, erosi pada
portio, ulkus portio uteri, dan kanker serviks
b. Korpus uteri, seperti polip endometrium, abortus imminens, mola hidatidosa,
koriokarsinoma, hyperplasia endometrium, sarcoma uteri, mioma uteri
c. Tuba fallopii, seperti kehamilan ektopik terganggu, radang tuba, tumor tuba
d. Ovarium, seperti radang ovarium, tumor ovarium, kista ovarium.
2. Penyebab perdarahan disfungsional
Perdarahan uterus yang tidak ada hubungannya dengan sebab organik. Perdarahan
disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan menopause, nama lainnya
disebut “metropathia haemorrhagica cystica” atau folikel persisten.
Perdarahan disfungsional terbagi menjadi 3 bentuk :
a. Perdarahan disfungsional dengan ovulasi (ovulatoir disfunction bleeding)
Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tanpa ada sebab-
sebab organik, maka harus diperhatikan sebagai etiologi.
- Korpus lutheum persistens
Dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang bersamaan dengan ovarium
yang membesar korpus lutheum ini menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur
(irreguler shedding) sehingga menimbulkan perdarahan.
- Insufisiensi korpus lutheum menyebabkan premenstrual spotting, menorhagia dan
polimenorrea, dasarnya adalah kurangnya produksi progesterone disebabkan oleh
gangguan LH releasing factor.
- Apapleksia uteri pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh
darah dalam uterus.
- Kelainan darah seperti anemia, gangguan pembekuan darah purpura trombosit openik.
b. Perdarahan disfungsional tanpa ovulasi (anovulatoir disfunctiond bleeding).
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium dengan
menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu. Timbul perdarahan yang kadang-
kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Folikel-folikel
mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia kemudian diganti dengan folikel-
folikel yang baru. Endometrium tumbuh terus dibawah pengaruh estrogen yang lama
kelamaan menjadi hyperplasia endometrium. Dapat disimpulkan bahwa itu perdarahan
anovulatoar, jika dilakukan kerokan dan diambil sediaan darah yang diperoleh saat
kerokan.Pada wanita dalam masa pubertas, untuk membuat diagnosa tidak perlu
dilakukan kerokan. Tapi pada wanita yang berumur 20-40 tahun kemungkinan bisa polip,
mioma, dan sebagainya. Pada wanita dalam masa pramenopause dorongan untuk
melakukan kerokan ialah untuk memastikan ada atau tidaknya tumor ganas.
c. Stres psikologis dan komplikasi dari pemakaian alat kontrasepsi.
(Prawirohardjo, 2005)
BAB V
KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoeisis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang
pada akhirnya mengakibatkan pembentukan haemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium menunjukkan cadangan besi kosong. Hal ini
semua terdapat dalam kasus pasien di atas. Anemia hanya sebagai gejala, jadi untuk diagnosis
harus sebisa mungkin dicari penyakit dasar yang menyebabkan anemia defisiensi besi yang
dialami pasien. Preparat besi oral merupakan terapi pilihan utama, namu jika ada indikasi
tertentu, pemberian parenteral dapat dipertimbangkan. Selain itu perubahan dalam diet adalah
sangat penting dan signifikan untuk membantu proses penyembuhan dan sekaligus sebagai
langkah pencegahan.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru w, Setiyohadi B, Alwi I, K Marcellus Simadibrata, Setiati S, Bakta M I, et
all. Pendekatan Terhadap Pasein Anemia dan Anemia Defisisnesi Besi, dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publisihing, Jakarta. Cetakan 1 November 2009; p1109-
1115, 1127-1137
2. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
Loscalzo J. Iron deficiency anemia. Harrison's principles of internal
medicine. 17th ed. McGraw Hill 2008: p 1919-21
3. Hoffbrand A.V, Pettit Johon E, Vyes P. Hypochromic Anemias dalam Atlas of Clinical
Hematology. Elsavier 4th ed 2010: p 75-80
4. Sudiono H, Iskandar Ign, Edward H, Halim S.L, Santoso R. Penuntun Patologi Klinik
Hematologi, Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida. Biro Publikasi
UKRIDA, Jakarta. Cetakan kedua 2007; p 103-111
5. Handayani w, Haribowo Andi S. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sel
Darah Merah dalam Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sitem Hematologi. Slemba Medika, Jakarta 2008: p 50-54
6. Mehta Atul B, Hoffbrand A.V. General Aspects Of Red Cell dan Iron I: Physiology and
Deficiency dalam Hematology at a Glance. Wiley-Blackwell 3rd ed 2009: p 26-29
7. Kumar V, Cotran Ramzi S, Robbins Stenly L. Anemia Defisiensi zat Besi dan Anemia
Pada Penyakit Kronik dalam Buku Ajar Patologi Robbins. Penerbit Buku Kedokteran
ECG, Jakarta 7th ed cetakan 1 2007: p 459-461
8. Conrad Marcel E, Besa Emmanuel C. Iron Deficiency Anemia. August 2009. Diunduh
dari http://emedicine.medscape.com, 2 April 2011.
9. Harms Roger W, Berge Kenneth G, et al. Iron Deficiency Anemia. March 2011.
Diunduh dari http://www.mayoclinic.com/health/iron-deficiency-anemia, 3 Maret 2011.
10. Price A, Wilson L, Anemia defisiensi besi, Patofisiologi, ed.4, EGC, Jakarta, 1995; p 236-
237.
Top Related