MAKALAH
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
MATA KULIAH
KONSEP DASAR PKn
Dosen :
YULI ADHANI, M.Pd.
Disusun oleh :
NURKAMALIA 80120183 00033
PROGRAM KUALIFIKASI S1 PGMI
DUAL MODE SYSTEM FAKULTAS ILMU TARBIYAH dan KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH – JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan Makalah ini.
Makalah ini berjudul “Pancasila Sebagai Ideologi Negara” yang disusun untuk
memenuhi salah satu tugas Mid Semester mata kuliah Konsep Dasar PKn.
Penulis berusaha menyusun Makalah ini sebaik mungkin, akan tetapi penulis menyadari
kesalahan dan kealfaan, Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun berkat arahan,
bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak sehingga Makalah ini dapat diselesaikan. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan arahan dan bimbingan.
Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca
umumnya. Amiin...
Jakarta, 12 Agustus 2013
P e n u l i s
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Melihat perkembangan masyarakat Indonesia saat ini ternyata dalam menghadapi era
globalisasi yang penuh dengan tantangan dan kemungkinan yang bisa terjadi seakan-akan
masyarakat Indonesia terlupa akan jati diri dan falsafah negara Indonesia yang sebenarnya.
Mereka hanya berpacu dengan waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penyesuaian
terhadap apa yang masuk dari luar tanpa adanya sikap untuk menyaring pengaruh yang sesuai
dengan pancasila dan yang tidak sesuai dengan pancasila. Penyerapan pengaruh utamanya dari
luar dapat memberikan pergeseran kehidupan masyarakat sehingga memungkinkan adanya rasa
untuk jauh dari kehidupan yang sesuai dengan pancasila. Selain dari hati, perlu kita ketahui
bahwa Pancasila bukan hanya sebagai filter namun lebih dari itu. Pancasila sebagai falsafah dan
Ideologi negara Indonesia. Dalam Pancasila kita dapat menemukan jati diri bangsa menghadapi
sekaligus menyesuaikan diri dengan era globalisasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kiranya ada kajian yang membahas masalah ini
guna adanya solusi yang tepat dalam menghadapi era globalisasi tanpa melupakan Pancasila
sebagai Falsafah dan Ideologi negara.
B. Perumusan Masalah
1. Pengertian Ideologi?
2. Apa yang dimaksud Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Ideologi Dunia?
3. Pancasila dan Agama
C. Tujuan PenulisanTujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1. Untuk memenuhi tugas UTS Mata Kuliah Konsep Dasar PKn.
2. Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila sebagai Ideologi Negara.
3. Untuk mengetahui asas-asas yang terkandung dalam Pancasila.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ideologi
Kata “Ideologi” berasal dari bahasa Latin dari kata “idea” (daya cipta sebagai hasil
kesadaran manusia) dan “logos” (pengetahuan, ilmu faham). Istilah ini diperkenalkan oleh filsuf
Perancis A. Destut de Tracy (1801) yang mempelajari berbagai gagasan (idea) manusia serta
kadar kebenarannya. Pengertian ini kemudian meluas sebagai keseluruhan pemikiran, cita rasa,
serta segala upaya, terutama di bidang politik. Ideologi juga diartikan sebagai falsafah hidup dan
pandangan dunia (dalam bahasa Jerman disebut Weltanschauung). Biasanya, ideologi selalu
mengutamakan asas-asas kehidupan politik dan kenegaraan sebagai satu kehidupan nasional
yang berarti kepemimpinan, kekuasaan, dan kelembagaan dengan tujuan kesejahteraan.
Menurut W. White definisi Ideologi ialah sebagai berikut : “The sum of political ideas of
doctrines of distinguishable class of group of people” (ideologi ialah soal cita-cita politik atau
dotrin (ajaran) dari suatu lapisan masyarakatatau sekelompok manusia yang dapat dibeda-
bedakan).
Sedangkan menurut pendapat Harold H Titus definisi ideologi ialah sebagai berikut : “A
term used for any group of ideas concerning various politicaland economic issues and social
philosophies often appliedto a systematic schema of ideas held by group classes” (suatu istilah
yang dipergunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan
ekonomi serta filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematik tentang
cita-cita yang dijalanakan oleh sekelompok atau lapisan masyarakat). (Drs Ismaun, pancasila
sebagai dasar filsafat atau ideologi negara republik Indonesia dalam Heri Anwari Ais, Bunga
Rampai filsafat pancasila, 1985 : 37).“The term “isme” something used for these system of
thought” (istilah isme/aliran kadang-kadang dipakai untuk sistem pemikiran ini.
Dalam pengertian ideologi negara itu termasuk dalam golongan ilmu pengetahuan sosial,
dan tepatnya pada digolongkan kedalam ilmu politik (political sciences) sebagai anak cabangnya.
Untuk memahami tentang ideologi ini, maka kita menjamin disiplin ilmu politik.
Di dalam ilmu politik, pengertian ideologi dikenal dua pengertian:
1. Pengertian ideologi secara fungsional:
Ideologi diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan
negara yang dianggap paling baik. Secara tipologi dapat dibagi dua :
Ideologi bertipe doktriner:
Suatu ideologi digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu
dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindotrinasikan kepada warga
masyarakat, dan pelaksanaanya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah,
komunisme merupakan salah satu contohnya.
Ideologi bertipe pragmatis:
Suatu ideologi digolongkan pada tipe pragmatis, ketika ajaran – ajaran yang terkandung dalam
ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara
umum (prinsup-prinsipnya saja). Dalam hal ini, ideologi itu tidak diindoktrinasikan, tetapi
disosisalisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem
ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Individualisme (liberalisme) merupakan salah
satu contoh ideologi pragmatis.
2. Pengertian ideologi secara struktural :
Ideologi diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap
kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.
B. Pancasila dan Ideologi Dunia
1. Pengertian Pancasila
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk mencapai Nirwana
diperlukan 5 Dasar / Ajaran, yaitu :
1. Jangan mencabut nyawa makhluk hidup / dilarang membunuh.
2. Jangan mengambil barang orang lain / dilarang mencuri
3. Jangan berhubungan badan / dilarang berzinah
4. Jangan berkata palsu / dilarang berbohong / berdusta.
5. Jangan minum yang menghilangkan pikiran / dilarang minuman keras.
Diadaptasi oleh orang jawa menjadi 5 M = Madat/Mabok, Maling/Nyuri, Madon/Awewe,
Maen/Judi, Mateni/Bunuh.
2. Pengertian Pancasila Secara Etimologis
Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam perpustakaan Buddha yaitu dalam Kitab
Tripitaka dimana dalam ajaran Buddha tersebut terdapat suatu ajaran moral untuk mencapai
nirwana/surga melalui Pancasila yang isinya 5 J.
3. Pengertian Pancasila Secara Historis
Pada tanggal 01 Juni 1945 Ir. Soekarno berpidato tanpa teks mengenai rumusan Pancasila sebagai
Dasar Negara.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, kemudian keesokan
harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah UUD 1945 termasuk Pembukaannya dimana didalamnya
terdapat rumusan 5 Prinsip sebagai Dasar Negara yang diberi nama Pancasila. Sejak saat itulah
Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang umum. Jadi walaupun pada Alinea 4 Pembukaan UUD
45 tidak termuat istilah Pancasila namun yang dimaksud dasar Negara RI adalah disebut istilah
Pancasila hal ini didasarkan interprestasi (penjabaran) historis terutama dalam rangka
pembentukan Rumusan Dasar Negara.
4. Pengertian Pancasila Secara Terminologis
Proklamasi 17 Agustus 1945 telah melahirkan Negara RI untuk melengkapai alat-alat
Perlengkapan Negara PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 dan berhasil
mengesahkan UUD 45 dimana di dalam bagian Pembukaan yang terdiri dari 4 Alinea di
dalamnya tercantum rumusan Pancasila. Rumusan Pancasila tersebut secara Konstitusional sah
dan benar sebagai dasar negara RI yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh Rakyat
Indonesia
Pancasila berbentuk:
1. Hirarkis (berjenjang);
2. Piramid.
Pancasila menurut Mr. Moh Yamin adalah yang disampaikan di dalam sidang BPUPKI pada
tanggal 29 Mei 1945 isinya sebagai berikut :
1. Peri Kebangsaan;
2. Peri Kemanusiaan;
3. Peri Ketuhanan;
4. Peri Kerakyatan;
5. Kesejahteraan Rakyat
Pancasila menurut Ir. Soekarno yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang
BPUPKI, sebagai berikut :
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia;
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan;
3. Mufakat atau Demokrasi;
4. Kesejahteraan Sosial;
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan;
Kelima prinsip dasar negara tersebut kemudian diperas oleh Soekarno menjadi Trisila (tiga
dasar), yaitu :
1. Sosionalisme (kebangsaan);
2. Sosiodemokrasi (mufakat);
3. Ketuhanan YME.
Dan masih menurut Ir. Soekarno Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila
atau Satusilayang intinya adalah Gotong Royong.
Pancasila menurut Piagam Jakarta yang disahkan pada tanggal 22 Juni 1945 rumusannya sebagai
berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia;
Kesimpulan dari bermacam-macam pengertian Pancasila tersebut yang sah dan benar secara
Konstitusional adalah Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, hal ini diperkuat
dengan adanya ketetapan MPRS NO.XXI/MPRS/1966 dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968
yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan dan Rumusan Pancasila Dasar Negara RI yang
sah dan benar adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
5. Pancasila Sebagai Ideologi
Ideologi merupakan suatu sistem nilai yang merupakan kebulatan ajaran yang memberikan
motivasi. Dalam Ideologi terkandung konsep dasar tentang kehidupan yang dicita-citakan oleh
bangsa. Keampuhan ideologi tergantung pada rangkaian nilai yang dikandungnya yang dapat
memenuhi serta menjamin segala aspirasi hidup dan kehidupan manusia. Suatu ideologi
bersumber dari suatu aliran pikiran/falsafah dan merupakan pelaksanaan dari sistem falsafah itu
sendiri.
Ideologi Pancasila merupakan tatanan nilai yang digali (kristalisasi) dari nilai-nilai dasar
budaya bangsa Indonesia. Kelima sila merupakan kesatuan yang bulat dan utuh sehingga
pemahaman dan pengamalannya harus mencakup semua nilai yang terkandung didalamnya.
Ketahanan ideologi diartikan sebagai kondisi dinamik kehidupan ideologi bangsa Indonesia
yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan kekuatan nasional dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan yang dari
luar/dalam, langsung/tidak langsung dalam rangka menjamin kelangsungan kehidupan ideologi
bangsa dan negara Indonesia.
Untuk mewujudkannya diperlukan kondisi mental bangsa yang berlandaskan keyakinan
akan kebenaran ideologi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara serta pengamalannya
yang konsisten dan berlanjut.
Untuk memperkuat ketahanan ideologi perlu langkah pembinaan sebagai berikut :
a) Pengamalan Pancasila secara obyektif dan subyektif.
b) Pancasila sebagai ideologi terbuka perlu direlevansikan dan diaktualisasikan agar mampu
membimbing dan mengarahkan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
c) Bhineka Tunggal Ika dan Wasantara terus dikembangkan dan ditanamkan dalam masyarakat
yang majemuk sebagai upaya untuk menjaga persatuan bangsa dan kesatuan wilayah.
d) Contoh para pemimpin penyelenggara negara dan pemimpin tokoh masyarakat merupakan hal
yang sangat mendasar.
e) Pembangunan seimbang antara fisik material dan mental spiritual untuk menghindari
tumbuhnya materialisme dan sekularisme.
Dengan mendasarkan pada ketetapan MPR tersebut, secara jelas dinyatakan bahwa
kedudukan Pancasila dalam kehidupan bernegara Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Sebagai Dasar Negara Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
Adapun makna pancasila sebagai dasar negara, yaitu sebagai berikut :
a. Sebagai dasar me-negara atau pedoman untuk menata negara merdeka Indonesia. Artinya me-
negara adalah menunjuk sifat aktif dari pada sekedar bernegara
b. Sebagai dasar untuk ulah atau aktivitas negara. Diartikan bahwa aktivitas dan pembangunan
yang dilaksanakan dengan negara berdasarkan peraturan perundangan yang merupakan
penjabaran dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945
2. Sebagai ideologi nasional dari negara kesatuan Republik Indonesia
Ideologi nasional mengandung makna ideologi yang memuat cita-cita dan tujuan dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Ideologi Pancasila memenuhi syarat sebagai ideologi terbuka, karena mempunyai cita-cita
sebagai berikut
a. Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak berasal dari luar, melainkan digali dan diambil dari
moral dan budaya masyarakat itu sendiri.
b. Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dan
konsensus masyarakat
c. Bahwa ideologi itu tidak diciptakan oleh negara, melainkan digali dan ditemukan dalam
masyarakat itu sendiri. Masyarakat memiliki ideologi pancasila
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat
reformatif, dinamis, dan terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila mampu
menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta dinamika
perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah
nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namum mengeksplisitkan wawasan secara lebih
konkrit sehingga memiliki kemampuan reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual
yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi rakyat.
Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung nilai-nilai sebagai berikut :
1. Nilai Dasar
Yaitu esensi dari sila-sila Pancasila yang bersifat universal. Dalam nilai dasar, terkandung cita-
cita, tujuan, serta nilai-nilai yang baik dan benar. Nilai dasar tertuang dalam pembukaan UUD
1945. Oleh karena, Pembukaan memuat nilai-Nilai Dasar Ideologi Pancasila, maka
Pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar yang menjadi tertib hukum tertinggi.
2. Nilai Instrumental
Yaitu eksplitasi penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Misalnya, dalam
UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang lima tahun senantiasa disesuaikan dengan
perkembangan zaman, aspirasi masyarakat, undang-undang departemen-departemen sebagai
lembaga pelaksana dan sebagai pada aspek ini senantiasa dapat dilakukan perubahan
(reformatif).
3. Nilai Praktis
Yaitu nilai-nilai instrumental sebagai realisasi dengan pengalaman yang bersifat nyata dalam
kehidupan sehari-hari, seperti , bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam realisasi nilai
praktis, penjabaran nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembang dan selalu dapat dilakukan
perubahan dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta aspirasi masyarakat.
6. Ideologi Dunia
1. Liberalisme (Individualisme)
Negara adalah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak semua orang
(individu) dalam masyarakat (kontraksosial). Liberalisme bertitik tolak dari hak asasi yang
melekat pada manusia sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk
penguasa terkecuali atas persetujuan dari yang bersangkutan. Paham liberalisme mempunyai
nilai-nilai dasar (intrinsik) yaitu kebebasan kepentingan pribadi yang menuntut kebebasan
individu secara mutlak. Tokoh: Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, Herbert Spencer,
Harold J. Laski
2. Komunisme (ClassTheory)
Negara adalah susunan golongan (kelas) untuk menindas kelas lain. Golongan borjuis menindas
golongan proletar (buruh), oleh karena itu kaum buruh dianjurkan mengadakan revolusi politik
untuk merebut kekuasaan negara dari kaum kapitalis & borjuis, dalam upaya merebut
kekuasaan/mempertahankannya, komunisme akan :
a. Menciptakan situasi konflik untuk mengadu golongan-golongan tertentu serta menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan.
b. Atheis, agama adalah racun bagi kehidupan masyarakat.
c. Mengkomuniskan dunia, masyarakat tanpa nasionalisme.
d. Menginginkan masyarakat tanpa kelas, hidup aman, tanpa pertentangan, perombakan masyarakat
dengan revolusi.
3. Paham Agama
Negara membina kehidupan keagamaan umat dan bersifat spiritual religius. Bersumber pada
falsafah keagamaan dalam kitab suci agama. Negara melaksanakan hukum agama dalam
kehidupan dunia.
C. Pancasila dan Agama
Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai
penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu
sifat dasar negara, sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam
hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu negara memiliki
sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah sebagai pendiri negara untuk
mencapai tujuan manusia itu sendiri.
Namun perlu disadari bahwa manusia sebagai warga hidup bersama,berkedudukan kodrat
sebagai makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Sebagai makhluk pribadi
ia dikaruniai kebebasan atas segala sesuatu kehendak kemanusiaannya. Sehingga hal inilah yang
merupakan suatu kebebasan asasi yang merupakan karunia dari Tuhan yang Maha Esa. Sebagai
makhluk Tuhan yang Maha Esa ia memiliki hak dan kewajiban untuk memenuhi harkat
kemanusiaannya yaitu menyembah Tuhan yang Maha Esa. Manifestasi hubungan manusia
dengan Tuhannya adalah terwujud dalam agama. Negara adalah merupakan produk manusia
sehingga merupakan hasil budaya manusia, sedangkan agama adalah bersumber pada wahyu
Tuhan yang sifatnya mutlak. Dalam hidup keagamaan manusia memiliki hak-hak dan kewajiban
yang didasarkan atas keimanan dan ketakwaanya terhadap Tuhannya, sedangkan dalam negara
manusia memilik hak-hak dan kewajiban secara horizontal dalam hubungannya dengan manusia
lain.
Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika
kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus menerus, sehingga
kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana
keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling
membutuhkan.
1. Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Istilah Sekularisme
Sebelum ”membaca” sejauh mana pentingnya membangun agama yang berlandaskan nilai-
nilai keagamaan. Maka perlu ditelusuri keberadaan pandangan ”oposisinya” yaitu prinsip
sekularisme.
Sekularisme sendiri berasal dari terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis ”laiguisme”,
namun kata ”laigue” sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah timbulnya makna
sekularisme itu sendiri. Asal kata yang tepat adalah ”laikos” yaitu berasal dari kata Yunani.
Laikos bermakna apa yang berhubungan dengan masyarakat umum untuk dibedakan dengan dari
”clirous” (tokoh agama). Jadi menurut Muhammad Abid Al-Jabiri ”laque” adalah siapa saja
yang bukan tokoh agama atau tidak termasuk golongan pendeta.
Kemudian penggunaannya disimpangkan dalam konteks kenegaraan di Prancis dikarenakan
terjadinya peminggiran terhadap (baca; memusuhi) agama dan tokoh agama. Hal itu disebabkan
ketika itu pengajaran-pengajaran agama menjadi wewenang gereja yang dilaksanakan di gereja-
gereja. Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat umum dilakukan oleh negara yang terbatas
kepada ilmu-ilmu seperti matematika, ilmu alam dan humaniora.
Dari pendekatan semantik dan sejarah itu oleh Jean Lacrowa diambil kesimpulan bahwa
”Sesungguhnya pemikiran laguisme (sekulerisme-pen) bukanlah lawan dari pemikiran agama,
namun sekurang-kurangnya ia menuntut adanya pembedaan antara apa yang duniawi dan apa
yang sakral.” Kesalahpahaman terhadap makna sekularisme semakin mendalam ketika nilai-nilai
agama semakin hari semakin ditinggalkan oleh masyarakat Barat. Hal itu dikarenakan
kepentingan individu menjadi begitu terganggu dengan keberadaan nilai-nilai agama. Agama
dianggap terlalu mengekang kebebasan individu sebagai subjek yang mengelola negara.
Dari halini dapat dilihat bahwa agama adalah hal yang telah dijauhi oleh masyarakat Barat.
b. Perdebatan mengenai negara dan agama dalam BPUPKI
Pembahasan mengenai hubungan negara dan agama sesungguhnya tidak saja berasal ketika
rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), tetapi sudah
berlangsung jauh hari di antara para pendiri bangsa. Namun tulisan ini hanya membahas
mengenai perbedaan cara pandang tersebut dalam rapat BPUPKI. Hal itu dikarenakan dalam
sidang-sidang BPUPKItersebut telah ditemukan kesepakatan mengenai bagaimana relasi antara
negara dan agama dalam semangat ke-Bhineka Tunggal Ika-an Indonesia.
Pidato Soepomo pada hari ketiga, 31 Mei 1945, di sidang BPUPKI membahas mengenai
hubungan negara dan agama. Menurutnya setelah menguraikan mengenai dasar-dasar negara
maka konsekuensinya perlu dipaparkan olehnya persoalan yang timbul dari pada teori
integralistiknya. Menurut Soepomo soal-soal itu adalah :
1) perhubungan negara dan agama;
2) cara bentukan pemerintahan;
3) perhubungan negara dan kehidupan ekonomi.
Sesungguhnya pembahasan antara para pendiri negara (founding fathers and mothers)
danframers of constitution itu bukanlah berkaitan dengan relasi antara agama dan negara. Akan
tetapi lebih kepada bentuk negara, apakah berbentuk negara Islam atau negara nasionalisme. Hal
itu dapat terlihat jika dicermati perkataan Soepomo berikut ini;”Oleh anggota yang terhormat tuan Moh. Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah; paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagaimana telah dianjurkan oleh tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.”
Soepomo bukan bermaksud menjauhkan nilai-nilai agama dari negara. Karena itu tidaklah
mungkin. Selagi negara diisi oleh orang-orang yang beragama, maka tidaklah mungkin nilai-nilai
agama dihindari dalam menjalankan negara. Soepomo menjelaskan mengenai hal tersebut
sebagai berikut;Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan bersifat ”a religieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang demikian itu hendaknya Negara Indonesia yang juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam.
Bahkan Soekarno juga menjelaskan bahwa konsep pemilihan kepala negara Indonesia juga
berkesesuaian dengan paham agama (baca; Islam). Dari perkataan Soekarno ini akan
memperlihatkan bahwa nilai-nilai agama tidak dapat tidak akan selalu ”berkelindan” dalam
menjalankan sistem bernegara.
Oleh karena relasi agama dan negara sudah diperlihatkan dan dinyatakan tidak dapat
dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para bapak bangsa, maka sangat tidak mungkin,
dalam konteks kekinian, kita menghindari nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan negara.
c. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 serta
penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai
beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan
imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila
pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat
persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan
terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat
pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu
menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti,
tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan
dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas
kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila
”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah
kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara
dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan
pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila
”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam
Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa :
Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial;
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan
Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan
Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil
dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia
(berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan)
dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan
Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam
soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa
negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha
Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966
tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD
bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama.
Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak
menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika
atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain
d. Prinsip Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara
Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa tindakan setiap manusia, termasuk
dalam mengelola bangsa dan negara akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini
berarti setiap tindakan manusia, baik yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan,
berdimensi ke-Tuhan-an atau berdimensi ibadah.
Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang dilahirkan
untuk mengemban tugas sebagai khalifah (wakil Tuhan, pengelola alam semesta) di bumi dengan
tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemaslahatanbersama seluruh umat manusia dan segenap mahluk hidup, serta untuk menjaga
kesinambungan alam itu sendiri.
Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka sudah
barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan kesempatan kepada setiap aparatusnya
(pejabat negara, pegawai negri sipil, pegawai BUMN/BUMD, anggota TNI, anggota Polri, dan
lainnya) melakukan penyalahgunaan kekuasaan, seperti : pelanggaran hak asasi manusia, tindak
pidana korupsi, kerusakan lingkungan, konflik horizontal, dan hal-hal destruktif lainnya yang
menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru bertentangan dengan hakekat ajaran
agama dan tujuan negara didirikan.
e. Penataan Hubungan antara Agama dan Negara
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-
agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa yang dikatakan Samuel P.
Huntington dalam bukunya Who Are We?The Challenges to America’s National Identity (New
York: Simon & Schuster, 2004) bahwa: Betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-
ruang publik, diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan ekonomi, tiba-
tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak ada kerohanian di dalamnya. Coba
lihat Amerika Serikat, kita masih bertahan hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan,
karena kita punya kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan.
Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan “kerohanian yang
dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti Protestan Ethic bagi Amerika
Serikat dan negara Barat lainnya. Jhon Locke dalam tulisannya yang terkemuka berjudul An
Essay Concerning The True Original, Extent and End of Civil Government menyatakan betapa
hubungan negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan legislasi.
Karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar kepada negara, yaitu
dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau tidak telah menjadi tiang utama
keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara juga memberikan sumbangsih yang setara
kepada agama-agama, sehingga agama-agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai
adiluhungnya seperti prinsip mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin),
untuk terus ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia.
Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas
dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini,
agama memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan
keagamaan.
Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and
balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara
untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya,
harusdikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan
rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber
dan landasan praktek-praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan
dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara.
f. Kebebasan Beragama dalam Negara Pancasila
Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah diperjelas dalam beberapa pasal-pasal
dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya…” serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah:
1. Negara hanya menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama masing-masing. Ini
berarti, kebebasan untuk tidak memeluk agama tidak dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang
jika disertai dengan upaya mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena secara
tidak langsung merusak jaminan negara kepada warganya untuk memeluk agamanya masing-
masing.
2. Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya
masing-masing. Kalau memeluk agama Islam harus beribadat menurut Islam, bukan berdasarkan
cara lain. Begitu pula kalau memeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain
sebagainya.
3. Ritus-ritus keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama pemeluknya harus dapat
mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam segala aspeknya serta dapat
memperteguh persatuan dan persaudaraan di kalangan masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya
menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.
g. Indonesia Merupakan Negara Agamis
Untuk menghilangkan ketegangan antara agama dan negara, maka kita tidak cukup lagi
mendefinisikan diri sebagai ”bukan negara agama” dan ”bukan negara sekuler” sebagaimana
terjadi di era Orde Baru. Sebab pernyataan ”bukan negara agama” telah mendegradasikan posisi
”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan pernyataan ”bukan negara
sekuler” tidak cukup kuat sebagaimana juga kurang eksplisit untuk memposisikan ”Ketuhanan
Yang Maha Esa” sebagai dasar negara.
Untuk itu, ke depan kita perlu menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Negara
agamis adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara
agamis, yaitu :
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang mempertegas bahwa
Indonesia adalah negara agamis, yakni:
1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”
sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya.
3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah
Mahkamah Agung.
4. Pasal 28 ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan
dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.
7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara agamis diakui melalui pernyataan putusan
hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama
melalui pembentukan UU yang secara eksplisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU
Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan
Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau melalui pembentukan UU yang secara
implisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Kewarganegaraan, UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan lain sebagainya.
Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menafsirkan semangat
dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam
Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing.”
Negara agamis adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat Ketuhanan Yang
Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan
adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus
keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk
agama tadi dapat menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga
negara Indonesia) merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Agama-agama dalam negara agamis harus selalu menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan agama-agama itu tidak bertentangan
dengan langkah-langkah negara yang juga berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Negara agamis yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi, Pakistan,
Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel) di mana negara
bertanggungjawab mempertahankan agama formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi
tertentu justru dapat mengabaikan nilai-nilai substansial dari beberapa agama.
Negara agamis merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara sekuler menolak
segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa), maka negara
agamis justru sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan
kehidupan berbangsa dan bernegara
h. Hubungan Islam dengan Pancasila dan Negara
Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab—kitab Nya, rasul-
rasul Nya, Hari Akhir dan Qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang
darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah
Islamiyah telah memerintahkan untuk menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala aspek
kehidupan, yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya negara. Firman Allah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam ssecara keseluruhan” (Qs.
al-Baqarah [2]: 208).
“Apakah kamu akan beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar kepada sebagian yang
lainnya. Maka tidak adabalasan bagi yang mengerjakan itu di antara kamu, melainkan
kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat mereka akan dikembalikan kepada
azab yang sangat pedih” (Qs. al-Baqarah [2]: 85).
Berdasarkan ini, maka seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada
manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum
Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara,
maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan
agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam
arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan
bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang
parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara.
Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi
dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang
menegaskan bahwa agama-negara adalah sesuatu yang tak mungkin terpisahkan. Keduanya
ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau`amaani). Jika dipisah,
hancurlah perikehidupan manusia.
Sejalan dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan. Juga tak
mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara
sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang terkenal dengan
sebutan Khilafah atau Imamah. Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fil
Islam, hal. 17 mendefinisikan Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengemban dakwah
Islam ke seluruh penjuru dunia.
Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah
sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa ummat Islam wajib mempunyai
seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang
yang tertindas dari yang menindasnya.
BAB III
P E N U T U P
A. Simpulan
1. Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam kehidupan bernegara Indonesia adalah :
a. Sebagai Dasar Negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Sebagai ideologi Nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung nilai-nilai sebagai berikut:
a. Nilai dasar
b. Nilai instrumental
c. Nilai praktis
3. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia. Namun demikian, faktor manusia baik penguasa maupun rakyat, sangat
menentukan dalam mengukur kemampuan sebuah ideologi dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Sebaik apapun sebuah ideologi, tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang baik,
hanyalah angan-angan belaka.
4. Sebagai warga Negara yang baik sudah sewajarnya kita mengetahui apa ideologi kita sebagai
bangsa Indonesia oleh karena itu kita harus benar-benar yakin dan percaya kepada Pancasila
sebagai ideologi karena Pancasila tidak membawa bangsa kita kedalam kehancuran namun masih
mampu bertahan mengahadapi kemajuan jaman.
B. Saran
1. Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman bagi rakyatnya, diperlukan adanya
jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap masyarakat yang ada di dalamnya. Khususnya
jaminan keamanan dalam melaksanakan kegiatan beribadah.
2. Untuk mengembangkan nilai-nilai Pancasila dan memadukannya dengan agama, diperlukan
usaha yang cukup keras. Salah satunya kita harus memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Selain
itu, kita juga harus mempunyai kemauan yang keras guna mewujudkan negara Indonesia yang
aman, makmur dan nyaman bagi setiap orang yang berada di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2003. Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Edisi Revisi. Jakarta: Prenada Media Group.
http://sibage.blogspot.com/2013/04/contoh-makalah-pancasila-sebagai.htmlhttp://dinyzulfiqor.blogspot.com/2013/05/contoh-makalah-pancasila-sebagai-dasar.htmlhttp://edwaneloenks.blogspot.com/2009/11/hubungan-pancasila-dengan-agama.htmlhttp://boneeta2012.blogspot.com/2012/09/hubungan-negara-pancasila-dan-agama.html
http://pebriawan.blogspot.com/2012/12/contoh-makalah-pkn-pancasila-sebagai.html