Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintah Desa : Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Marsono Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa : Potensi Permasalahan dan Solusi Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Edy Sutrisno Dinamika dan Problematika Implementasi UU Desa : Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat Rusman Nurjaman Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-Undangan Rico Hermawan Menilik Potensi Disharmoni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Sabilla Ramadhiani Firdaus
Jurnal
Desentralisasi
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
Volume 13 Nomor 1 Halaman 1-83 2015
ISSN : 1412-3568
JUR
NA
L D
ESE
NT
RA
LISA
SI VO
LU
ME
13
NO
MO
R 1
TA
HU
N 2
01
5
i
ISSN : 1412-3568
Jurnal Desentralisasi Vol. 13 No. 1 Tahun 2015
Redaksi :
Pengarah : Sri Hadiati WK SH, MBA Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si Dewan Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si
Ani Suprihartini, SE, MM Widhi Novianto, S.Sos, M.Si Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si
Mitra Bestari : Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Administrasi
Publik) Dr. Makhdum Priyatno, MA (Administrasi Publik) Dr. Hanif Nurcholis, M.Si (Pemerintahan Desa) Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, MA (Politik Lokal)
Redaktur Pelaksana : Tony Murdianto Hidayat, S.Si Redaksi : Rico Hermawan, SIP Rusman Nurjaman, S.Fil
Maria Dika Puspita Sari, SIA
Diterbitkan oleh:
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
(Center For Decentralization and Local Autonomy Studies)
Lembaga Administrasi Negara
(National Institute Of Public Administration)
Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102
Website : www.lan.go.id/web/dkk/
Email : [email protected]
2015
UNDANGAN MENULIS :
Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Politik Lokal. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile copy. Redaksi berhak, melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan yang menarik
ii JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Daftar Isi
Editorial iii - iv
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintah Desa : Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa Marsono
1-15
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa : Potensi Permasalahan dan Solusi Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis
16-31
Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia Edy Sutrisno
32-46
Dinamika dan Problematika Implementasi UU Desa : Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat Rusman Nurjaman
47-60
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-Undangan Rico Hermawan
61-75
Menilik Potensi Disharmoni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Sabilla Ramadhiani Firdaus
76-83
Petunjuk Penulisan 84-85
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 iii
Editorial
Kehadiran Undang-undang Nomor 6 Ta-hun 2014 tentang Desa membawa harapan sekaligus kegelisahan baru. Semangat untuk membangun Indonesia melalui pembangun-an desa menjadi filosofi penyusunan undang-undang tersebut. Kucuran dana milIaran yang akan diterima desa menjadi pendorong untuk mensejahterakan masyarakat desa. Sudah saatnya desa diberikan kesempatan dan keleluasaan untuk membangun wilayah-nya sendiri, untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan, sejajar dengan daerah-daerah perkotaan.
Di sisi lain, muncul kegelisahan terkait kapasitas sumber daya manusia (SDM) penyelenggara pemerintahan desa. SDM di desa dipandang belum mampu diserahi tugas dan tanggung jawab seberat itu. Apalagi mengelola dana yang mencapai milyaran rupiah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada 14 potensi penyeleweng-an dana desa yang meliputi aspek regulasi dan kelembagaan, tata laksana pengawasan, dan sumber daya manusia.
Terlepas dari pro dan kontra yang timbul, kehadiran Undang-undang tentang Desa me-mang membuka ruang diskusi bagi publik. Untuk itulah, Jurnal Desentralisasi kali ini mengangkat tema besar seputar implemen-tasi UU Desa. Melalui topik tersebut, diharap-kan muncul ide, gagasan maupun pemikiran konstruktif tentang penguatan desa dan ka-pasitas pemerintah desa.
Edisi ini menyajikan sejumlah tulisan yang merefleksikan sejumlah gagasan seba-gai respon atas dinamika yang berkembang terkait implementasi UU Desa. Melalui tulisan berjudul “Penguatan Kapasitas Pelayanan Pu-blik Pemerintah Desa: Membangun Konstruk-si Model Pelayanan Publik Desa”, Marsono menawarkan pengembangan suatu model pelayanan publik bagi masyarakat desa. Ada-nya UU Desa baru tentu akan mengubah mo-del pelayanan publik yang selama ini diberi-kan kepada masyarakat desa.
Tulisan berikutnya menyoal aspek penge-lolaan keuangan desa. Dalam tulisan bertajuk “Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasa-lahan dan Solusi”, Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis mencoba mengidentifikasi
potensi permasalahan pengelolaan keuangan desa yang timbul akibat dikucurkannya dana desa dan mencoba menawarkan solusinya.
Sementara itu, Edy Sutrisno mengangkat tema kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah dalam sistem pemerintahan. Melalui tulisan berjudul “Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pem-erintahan Daerah di Negara Kesatuan Repu-blik Indonesia”, Edy menguraikan analisisnya mengenai efektivitas kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan rumusan kedudukan, peran dan fungsi gubernur seba-gai wakil pemerintah pusat di masa menda-tang. Menurut dia, terdapat sejumlah faktor determinan yang menjadi penyebab mengapa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerin-tah pusat tidak berjalan efektif. Selain itu, dia juga merumuskan dua desain sistem peme-rintahan daerah, yaitu 1) provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom-kabupaten/ kota daerah otonom; dan 2) provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom-ka-bupaten/kota wilayah administrasi dan dae-rah otonom.
Artikel selanjutnya membahas dinamika dan problematika dalam implementasi UU Desa yang ditulis oleh Rusman Nurjaman. Melalui tulisan bertajuk “Dinamika dan Pro-blematika Implementasi UU Desa: Pembelaja-ran dari Tiga Daerah Kabupaten di Jawa Ba-rat”, dia menilik bagaimana kesiapan Desa dalam implementasi UU Desa di beberapa daerah di Jawa Barat. Penulis berharap, pengalaman beberapa desa dalam mempersi-apkan diri pada masa-masa awal implemen-tasi UU Desa bisa menjadi pembelajaran ber-harga bagi upaya perumusan kebijakan baru dalam mengoptimalkan implementasi UU De-sa.
Rico Hermawan menelusuri riwayat peng-aturan desa dalam rentang sejarah kebijakan tentang desa. Melalui tulisannya yang ber-judul “Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia: Melihat Desa Dari Sudut Pandang Peraturan Perundang-undangan”, penulis menyoroti sejarah pelaksanaan oto-nomi desa. Apakah UU Desa mampu mem-berikan jalan keluar bagi upaya pembaharu-an desa dan otonomi desa.
iv JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Terakhir, melalui sebuah artikel lepas, Sabilla Ramadhiani mengetengahkan suatu tinjauan mengenai UU Desa itu sendiri. Dalam artikel berjudul “Menilik Potensi Dis-harmoni dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”, Sabilla mengiden-tifikasi adanya potensi ketidakselarasan da-lam peraturan perundang-undangan terse-but, utamanya menyangkut kewenangan ke-menterian yang terkait desa. Selain itu, dia juga mengingatkan kembali mengenai pera-turan pemerintah apa saja yang harus dibuat untuk menghindari dan meminimalisir ada-nya disharmoni atau tumpang tindih kewe-nangan kementerian terkait desa dalam menjalankan amanat undang-undang dan pengoptimalan implementasi UU Desa.
Redaksi menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan serta apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari sela-ku reviewer yang memberikan masukan yang berharga atas seluruh naskah yang masuk. Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua penulis yang telah berupaya keras dan tidak putus asa telah melakukan revisi dan perbaikan naskahnya sesuai ko-reksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada sidang pembaca budiman, kami haturkan selamat membaca. Komentar dan masukkan dari pembaca mengenai isi, topik, dan penge-mbangan jurnal ke depan juga sangat kami nantikan. Semoga bermanfaat.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 1
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa
Strengthening the Capacity of Village Government in Public Services: The
Construction of Public Services Model
Marsono Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak: Pembangunan model pelayanan publik desa menjadi hal yang mendesak sejalan dengan meningkat-nya kewenangan Pemerintahan Desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintahan desa menyusun RPJMDes, APBDes, serta menyusun rencana pembangunan tahunan desa secara mandiri. Dengan demikian, terbuka peluang bagi pemerintahan desa untuk memberikan pelayanan publik yang terbaik kepada seluruh warga masyarakatnya sesuai dengan sifat dan karakteristik Desa masing-masing. Oleh karena itu, dalam perspektif pelayanan publik desa kedepan perlu disusun pola/model pelayanan publik desa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Berdasarkan data empiris, pelayanan publik desa selama ini hanya berupa pelayanan administratif berupa surat pengantar, yang selanjutnya masyarakat desa mengurus sendiri ke Kantor Kecamatan dan/atau ke Kantor Dinas Ka-bupaten/Kota. Untuk menghasilkan sebuah model pelayanan publik desa yang ideal, maka dalam kajian ini digunakan metode analisis yang relevan yaitu deskriptif eksploratif. Metode deskriptif dimaksudkan untuk menelaah dan mendeskripsikan pelayanan publik desa selama ini secara komprehensif. Sedangkan eksploratif lebih kepada upaya mengidentifikasi dan mengekplorasi jenis dan lingkup pelayanan publik desa yang secara tersirat dalam kewenangan-kewenangan yang dimili-ki pemerintah desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Selanjutnya berdasarkan kondisi eksisting dan kewenangan baru yang dimiliki, maka dapat disusun desain/konstruksi model pelayanan publik pemerintahan desa sesuai yang diamanatkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kata Kunci: Penguatan kapasitas, pelayanan publik, pemerintahan Desa
Abstract
Development model of rural public services becomes an urgent matter in line with the increasing
authority of the village government as mandated by Law No. 6 of 2014 on the village. With authority
possessed, village governance arrange RPJMDes, APBDes, as well as the village's annual development
plans independently. Thus, there are opportunities for rural districts to provide the best public
services to all citizens of the community in accordance with the nature and characteristics of each
village. Therefore, in the perspective of rural public services need to be developed in the future
pattern / model of rural public services in accordance with its authority. Based on empirical data, the
public service during the village's only form of administrative services in the form of a letter of
introduction, which then takes care of the villagers themselves to the District Office and / or to the
Office of the District / City. To produce a model of public service ideal village, then in this study used
a method of analysis that is descriptive exploratory relevant. Descriptive method is intended to
examine and describe the public services the village has been comprehensively. While exploratory
rather the effort to identify and explore the type and scope of public services that are implied in the
village of powers owned by the village government in accordance with Act No. 6 of 2014.
Furthermore, based on the conditions existing and new authority owned, it can be arranged design /
construction of village governance model of public service as mandated Act No. 6 of 2014 on the
village.
Keyword : Capacity building, public services, the village government
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa
2 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan otonomi dan demokrasi Desa
yang dibingkai dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, bukan
sekadar perkara kelembagaan semata, mela-
inkan mempunyai dasar filosofis yang dalam.
Masa depan negara ini, membutuhkan bangsa
yang mandiri, bermartabat, pemerintah yang
kuat (berkapasitas dan bertenaga) dan demo-
kratis. Upaya penguatan otonomi daerah dan
“otonomi desa” menjadi bagian dari cita-cita
itu, sekaligus hendak membangun imajinasi
Indonesia yang kuat dan sempurna, yang me-
lampaui (beyond) sentralisme dan lokalisme.
NKRI akan menjadi lebih kuat bila ditopang
oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian
lokal (daerah dan Desa), yakni pusat yang
“menghargai” lokal dan lokal yang “menghor-
mati” pusat. Kemandirian Desa akan menjadi
fondasi dan kekuatan NKRI, oleh karenanya
jika Desa selamanya marginal dan tergan-
tung, maka justru akan menjadi beban berat
pemerintah dan melumpuhkan fondasi NKRI
tersebut.
Jika menilik amanat Undang-Undang No-
mor 6 Tahun 2014, disebutkan bahwa pada
dasarnya otonomi Desa memiliki tujuan
sebagai berikut: (1) memperkuat kemandiri-
an Desa sebagai basis kemandirian NKRI; (2)
memperkuat posisi Desa sebagai subyek
pembangunan; (3) mendekatkan perencana-
an pembangunan ke masyarakat; (4) mem-
perbaiki pelayanan publik dan pemerataan
pembangunan; (5) menciptakan efisiensi
pembiayaan pembangunan yang sesuai
dengan kebutuhan lokal; (6) menggairahkan
ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat
Desa; (7) memberikan kepercayaan, tang-
gung jawab dan tantangan bagi Desa untuk
membangkitkan prakarsa dan potensi Desa;
(8) menempa kapasitas Desa dalam menge-
lola pemerintahan dan pembangunan; (9)
membuka arena pembelajaran yang sangat
berharga bagi pemerintah Desa, lembaga-
lembaga Desa dan masyarakat; dan (10)
merangsang tumbuhnya partisipasi masyara-
kat lokal.
Untuk mewujudkan kondisi Desa sebagai-
mana tersebut di atas, tentu banyak sekali hal
yang harus dilakukan oleh pemerintah, baik
pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan
serta seluruh stake holders terkait. Salah satu
hal yang sangat krusial adalah terkait dengan
penguatan kapasitas pelayanan publik Peme-
rintahan Desa, dimana esensi desentralisasi
dan otonomi daerah salah satunya adalah
mendekatkan pelayanan publik kepada
masyarakat. Oleh karena itu, membangun
model pelayanan publik dalam Pemerintahan
Desa menjadi sebuah keniscayaan dalam
mendorong desentralisasi dan otonomi desa
sebagai strategi dalam memperkuat NKRI
kedepan.
Membangun konstruksi model pelayanan
publik Desa paling tidak harus dimulai dari
mengidentifikasi aspek-aspek yang berkaitan
dengan manajemen pelayanan publik Desa
secara menyeluruh. Beberapa aspek yang
berpengaruh terhadap totalitas dalam pem-
berian pelayanan publik Desa yang berkua-
litas, antara lain terkait dengan: (1) peng-
organisasiannya; (2) bisnis proses; (3) SDM;
(4) Standar-standar; (5) IT dan Sarana pe-
ndukung lainnya.
Oleh karena itu, penguatan kapasitas pe-
layanan publik Desa pada dasarnya adalah
upaya-upaya untuk mengidentifikasi, mem-
bangun, menerapkan dan mengevaluasi seca-
ra baik dan konsisten seluruh aspek-aspek
pelayanan publik Desa sebagaimana tersebut
di atas. Dengan demikian, akan dapat dikem-
bangkan konstruksi model pelayanan publik
Desa baik menyangkut jenis dan jumlahnya,
pengorganisasiannya, ruang lingkupnya,
kompetensi SDM pelayanan Desa, standar-
standar pelayanannya serta penggunaan IT
untuk mendukung kelancaran dan kualitas
pelayanan publik Desa.
B. KONSTRUKSI PELAYANAN PUBLIK
DALAM UNDANG-UNDANG DESA
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa merupakan instrumen untuk
membangun visi menuju kehidupan Desa
yang mandiri, demokratis dan sejahtera.
Kemandirian Desa bukanlah kesendirian
Desa dalam menghidupi dirinya sendiri serta
berada di ruang yang hampa politik, tetapi
juga terkait dengan dimensi keadilan yang
berada dalam konteks relasi antara Desa
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 3
(sebagai entitas lokal) dengan kekuatan
supra Desa (pusat dan daerah) yang lebih
besar. Secara lokal-internal, kemandirian
Desa berarti kapasitas dan inisiatif lokal yang
kuat. Inisiatif lokal adalah gagasan, kehendak
dan kemauan entitas Desa yang berbasis
pada kearifan lokal, komunalisme dan modal
sosial (kepemimpinan, jaringan dan solida-
ritas sosial). Dengan demikian, inisiatif lokal
yang kuat merupakan fondasi lokal bagi ke-
mandirian Desa.
Perspektif pelayanan publik Desa, berda-
sarkan amanat Undang-undang Republik In-
donesia Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 4 butir f,
dinyatakan bahwa pengaturan desa bertu-
juan meningkatkan pelayanan publik bagi
warga masyarakat desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum. Sedang-
kan dalam Pasal 7 ayat (3) butir c, disebutkan
bahwa penataan Desa dimaksudkan untuk
mempercepat proses pelayanan publik. Sela-
njutnya Pasal 67 ayat (2) butir e, menya-
takan bahwa Desa berkewajiban memberi-
kan dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat desa. Lebih lanjut, dalam Pasal
68 ayat (1) butir b disebutkan bahwa masya-
rakat desa berhak memperoleh pelayanan
yang sama dan adil.
Isu kesejahteraan mencakup dua kompo-
nen besar, yakni penyediaan layanan dasar
(pangan, papan, pendidikan dan kesehatan)
dan pengembangan ekonomi Desa yang
berbasis pada potensi lokal. Kemandirian dan
demokrasi Desa merupakan alat dan peta
jalan untuk mencapai kesejahteraan rakyat
Desa. Desentralisasi memungkinkan alokasi
sumberdaya kepada Desa, dan demokrasi
memungkinkan pengelolaan sumberdaya
Desa berpihak pada rakyat Desa. Hak Desa
untuk mengelola sumberdaya alam, misalnya,
merupakan modal yang sangat berharga bagi
ekonomi rakyat Desa. Demikian juga dengan
alokasi dana Desa yang lebih besar akan
sangat bermanfaat untuk menopang fungsi
Desa dalam penyediaan layanan dasar warga
Desa. Namun, kesejahteraan rakyat Desa
yang lebih optimal tentu tidak mungkin
mampu dicakup oleh pemerintah Desa sema-
ta, karena itu dibutuhkan juga kebijakan
pemerintah yang responsif dan partisipatif,
yang berorientasi pada perbaikan pelayanan
dasar dan pengembangan ekonomi lokal.
Secara garis besar konstruksi penataan Pemerintahan Desa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ten-tang Desa dan PP pelaksanaannya dapat dilihat gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1
Konstruksi Peraturan Perundangan tentang Desa
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa
4 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Metode Pemodelan Pelayanan Publik De-
sa
Dalam studi pengembangan model pela-
yanan publik desa ini, pendekatan yang digu-
nakan adalah deskriptif eksploratif. Dimana
pada tahap awal dilakukan pendeskripsian
terhadap data empiris berupa pola atau mo-
del pelayanan publik desa yang selama ini
dilakukan. Disamping itu, pemanfaatan data
empiris pelayanan publik desa juga akan
dipergunakan dalam menentukan gap antara
model pelayanan publik desa eksisting
dengan model pelayanan publik desa ke de-
pan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
berdasarkan Undang-Undang Desa.
Sedangkan terkait dengan pendekatan
eksploratif, pada prinsipnya bahwa kewena-
ngan desa yang telah diamanatkan Undang-
Undang Desa tersebut harus diidentifikasi,
ditelaah, diekplorasi sehingga kewenangan-
kewenangan tersebut dapat diwujudkan ke
dalam tindakan-tindakan nyata berupa kegi-
atan-kegiatan pelayanan publik kepada ma-
syarakat desa. Dengan demikian, maka pem-
bangunan model pelayanan publik desa pada
dasarnya adalah mengisi gap antara pelaya-
nan publik desa existing dan jenis, jumlah
serta lingkup pelayanan publik desa berda-
sarkan kewenangan yang dimiliki berdasar-
kan Undang-undang Desa.
Selanjutnya bagaimana perspektif model
pelayanan publik desa ke depan, yang memi-
liki berbagai karakteristik yang berbeda-
beda. Dari aspek tipologi ada desa adat, yang
juga memilki berbagai bentuk yang juga
berbeda-beda. Sedangkan dari aspek geogra-
fis, karakteristik desa dapat dibedakan men-
jadi desa industri, desa maritim, desa perta-
nian dan desa wisata. Berbagai karakteristik
desa tersebut akan sangat berpengaruh ter-
hadap pola/model pelayanan publik desa
masing-masing. Contoh untuk desa pertani-
an, kebutuhan pelayanan publik di luar kebu-
tuhan dasar dan administratif, tentu akan
lebih diutamakan pada pelayanan penyuluh-
an, pengadaan bibit, pengadaan pupuk, peng-
olahan hasil panen serta pemasaran hasil
panen. Begitu juga akan berlaku untuk desa-
desa dengan karakteristik yang berbeda, baik
berdasarkan tipologi maupun karakteristik
berdasarkan geografis.
Berikut ini adalah frame work kerangka
pemodelan dalam membangun model pela-
yanan publik pemerintah desa pasca Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Gambar 2
Frame Work Kerangka Pemodelan Pelayanan Publik Desa
C.
D.
Masyarakat
Pelayanan Publik Desa Sesuai
Kewenangan Desa UU 6 2014
Pelayanan Publik Desa
Existing
Gap
Model Pelayanan Publik Desa
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 5
C. PELAYANAN PUBLIK DESA : KONDISI
TERKINI
Studi tentang pelayanan publik desa telah
dilakukan Joni Suwarno (2012) yang telah
dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintahan Lokal, Volume I Edisi 2, Juli-
Desember 2012. Adapun judul penelitiannya
adalah : “Kualitas Pelayanan Pemerintahan
Desa (Studi Pelayanan KTP Dan KK Di Desa
Teluk Kepayang Kecamatan Kusan Hulu
Kabupaten Tanah Bumbu)”.
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa
bentuk pelayanan yang diberikan oleh Desa
Teluk Kepayang dalam hal administrasi kepe-
ndudukan adalah berupa rekomendasi dari
desa untuk dapat diteruskan ke Dinas Kepe-
ndudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)
melalui Kantor Kecamatan Kusan Hulu.
Namun pelayanan yang tidak resmi lainnya
adalah adanya masyarakat yang meminta
pengurusan sampai selesai atas KTP dan KK
yang berimplikasi kepada biaya tambahan
seperti biaya transportasi serta biaya tak
terduga lainnya.
Kualitas pelayanan publik yang diberikan
oleh Pemerintah Desa Teluk Kepayang Keca-
matan Kusan Hulu Kabupaten Tanah Bumbu
khususnya dalam pemberian dokumen surat
pengantar pembuatan atau pencetakan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga
(KK) masih belum maksimal dalam hal kete-
patan waktu, prosedur pembiayaan dan ting-
kat kesalahan pencetakan dokumen. Dengan
demikian artinya bahwa kualitas pelayanan
publik di kantor desa Teluk Kepayang masih
belum begitu memuaskan.
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa
secara umum, pelayanan yang diberikan
Pemerintahan Desa Teluk Kepayang kurang
memadai. Seperti jumlah petugas yang
memberikan pelayanan saat ini hanya terdiri
dari tujuh orang yang terdiri dari Kepala
Desa, Sekretaris Desa, Kaur Pemerintahan,
Bendahara Desa, Kaur Pembangunan, Kaur
Umum dan Tata Usaha. Ditinjau dari segi
peralatan dan fasilitas pada kantor Pemerin-
tahan Teluk Kepayang terlihat bahwa keter-
sediaan peralatan sangat tidak memadai,
dimana fasilitas penunjang kerja yang
tersedia hanya terdiri dari 2 (dua) mesin
ketik. Jadi pegawai dalam memberikan
pelayanan masih menggunakan mesin ketik
manual.
Sejalan dengan kondisi di atas, dalam
Diskusi Terbatas di LAN yang mengangkat
tema “Pelayanan Publik Pemerintahan Desa,
Bagaimana Kualitas dan Inovasinya”, dengan
salah satu narasumber Kepala Desa Suka-
manah, Kecamatan Megamendung, Kabupa-
ten Bogor, menyatakan bahwa beberapa
pelayanan yang bersifat administratif
memang sudah bisa diselesaikan di Desa
Sukamanah, namun bentuknya masih berupa
pengantar saja. Setelah itu, masyarakat
datang sendiri ke dinas terkait untuk melan-
jutkan pengurusan pelayanannya. Lebih
lanjut dikatakan bahwa ada beberapa bentuk
pelayanan administratif lainnya yang
disesuaikan dengan hukum adat masyarakat
lokal, seperti pengurusan peralihan hak atas
tanah dan bangunan, pembagian waris dan
sebagainya dimana pelayanan ini dilakukan
atas sepengetahuan pemerintah daerah
setempat. Selain pelayanan yang bersifat
administratif, Desa Sukamanah sudah
memberikan pelayanan non-administratif
yakni berupa kegiatan pemberdayaan masya-
rakat desa untuk pembangunan yang dike-
mas dalam “Geser” (Gerakan Sebungkus Ro-
kok untuk pembiayaan pembangunan yang
tidak masuk ke dalam APBD, APBN, dan
APBDes), Gerakan Membangun untuk Petani,
serta untuk pendidikan berupa SMU Gratis
bagi masyarakat kurang mampu.
Data empiris lain terkait dengan
pelayanan publik desa, adalah hasil visitasi
Pusat Inovasi Pelayanan Publik ke beberapa
desa seperti Desa Lambangsari, Kecamatan
Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi Jawa
Barat, Desa Gabus, Kecamatan Ngrampal,
Kabupaten Sragen Jawa Tengah serta Desa
Lebo, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sido-
arjo dan Desa Masangan, Kecamatan Bangil,
Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, telah
menemukan kondisi bahwa pelayanan di
desa hanya bersifat administratif dan masih
berupa pengantar. Dari hasil visitasi tersebut
ditemukan jumlah dan jenis pelayanan publik
desa, yang dituangkan ke dalam dua kelom-
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa
6 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
pok, sebagai berikut: (1) Pelayanan bersifat
Pengantar, mencakup : (a) KTP (baru dan
Perpanjang); (b) KK (baru dan perubahan);
(c) SKDU (Baru dan Perpanjang); (d) Domisili
Haji; (e) Surat Pengantar SKCK; (f) Surat
Pindah; (g) SKTM; (h) Izin Keramaian; (i)
Surat Pengantar Nikah (NA); (2) Pelayanan
Selesai di desa: (a) Surat keterangan Kelahi-
ran; dan (2) Surat keterangan Kematian.
Selanjutnya terkait dengan pelaksanaan
pelayanan publik desa saat ini, Sekretaris
Camat Sidoarjo Jawa Timur (2015), menyata-
kan bahwa : (1) sudah ada sistem Pelayanan
Kecamatan Terpadu (PATEN); (2) pelayanan
tidak ada yang selesai di desa karena bersi-
fat rekomendasi yang harus ditandatangani
camat (antar provinsi), sekcam, atau
kasubbid pelayanan kecamatan (dalam
hitungan menit); dan (3) pelayanan publik
yang selesai di tingkat kecamatan: pengantar
kegiatan kades, surat keterangan waris (jika
tidak untuk keperluan sertifikat ke BPN, KTP
sementara (KTP kertas), IMB 200 m ke
bawah, Ijin Keramaian (dengan Polsek).
Sejalan dengan penjelasan Sekretaris
Camat Sidoarjo tersebut di atas, Lisbetty B.
Tambunan (2015), pejabat Direktorat
Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemenda-
gri, menyatakan bahwa “menurut PP Nomor
43 Tahun 2014, dari 4 (empat) urusan
pemerintah yang menjadi kewenangan desa,
kewenangan yang paling mendasar dan
dapat diselesaikan di desa hanya 2 (dua)
kewenangan, yakni kewenangan berdasarkan
hak asal usul dan kewenang-an lokal berskala
desa. Dalam ranah tersebutlah desa dapat
menciptakan dan mengem-bangkan inovasi
yang seluas-luasnya demi terselenggaranya
pelayanan yang prima bagi masyarakat desa”.
D. KEBIJAKAN DAN KONSEPSI PELAYAN-
AN PUBLIK
Pemberian pelayanan publik yang berku-
alitas pada hakekatnya adalah pemenuhan
pelayanan kepada masyarakat yang merupa-
kan perwujudan kewajiban pemerintah seba-
gai agent dan masyarakat sebagai principal
(pemegang kedaulatan). Kewajiban pemberi-
an pelayanan tersebut mencakup pelayanan
yang bersifat welfare (kesejahteraan) seperti
kesehatan, pendidikan, sandang dan pangan,
maupun pelayanan terkait dengan barang
publik, jasa publik, pelayanan administratif
serta berbagai jenis pelayanan perizinan dan
non-perizinan. Oleh karena itu, peran dan
tanggung jawab pemerintah sebagai regula-
tor, fasilitator dan katalisator menjadi sangat
penting dalam mendorong dan mewujudkan
pelayanan publik yang inovatif, kontekstual
dan partisipatoris (LAN, 2013).
Sejalan dengan hal tersebut di atas,
beberapa agenda prioritas Rencana Pemba-
ngunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019 bidang pelayanan publik yang
harus dicapai oleh Kementerian/Lembaga
dan Pemerintah Daerah antara lain menca-
kup: (a) peningkatan kualitas implementasi
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik; (b) modernisasi
sistem dan manajemen pelayanan publik
(SDM, ICT, Standar Pelayanan); (c) monito-
ring dan supervisi kinerja pelayanan publik;
(d) membuka ruang partisipasi publik mela-
lui Citizen Charter; dan (e) penguatan integri-
tas dalam pelayanan publik.
Pengertian pelayanan publik berdasarkan
Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa
“pelayanan publik adalah kegiatan atau rang-
kaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peratur-
an perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik”. Selanjutnya berdasarkan Pasal1
butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 96
Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, di-
sebutkan bahwa pengertian pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan da-
lam rangka pemenuhan kebutuhan pelayan-
an sesuai dengan peraturan perundang-
undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pela-
yanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik.
Secara konseptual pelayanan publik diba-
gi kedalam tiga kelompok jenis pelayanan,
yaitu : Pertama, Kelompok Pelayanan Admi-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 7
nistratif, yaitu pelayanan yang menghasilkan
berbagai bentuk dokumen resmi yang dibu-
tuhkan oleh publik, misalnya status kewarga-
negaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan
atau penguasaan terhadap suatu barang dan
sebagainya. Contoh : KTP, Akta Kelahiran,
Akta Kematian, SIM, STNK, BPKB, IMB, Pas-
por dan sebagainya. Kedua, Kelompok Pela-
yanan Barang yaitu pelayanan yang meng-
hasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang
digunakan oleh publik, misalnya jaringan
telepon, tenaga listrik, air bersih dan
sebagainya. Ketiga, Kelompok Pelayanan Jasa,
yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai
jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya
pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penye-
lenggaraan jasa transportasi, pos dan seba-
gainya.
Adapun ruang lingkup pelayanan publik
berdasarkan Pasal Pasal 5 Ayat (1) disebut-
kan bahwa ruang lingkup pelayanan publik
meliputi pelayanan barang publik dan jasa
publik serta pelayanan administratif yang
diatur dalam peraturan perundang-undang-
an. Secara lebih jelas terkait dengan ruang
lingkup pelayanan publik dapat dilihat pada
tabel 1 sebagai berikut:
Tabel1
Ruang lingkuppelayanan publik Sumber : Undang-Undang No. 25 Tahun 2009
Merujuk pada Undang-undang Pelayanan
Publik tersebut, setidaknya ada empat hal
yang harus dilakukan oleh pemerintah desa,
meliputi: 1) Menyusun dan menetapkan stan-
dar pelayanan; 2) Menyusun, menetapkan,
dan mempublikasikan maklumat pelayanan;
3) Menempatkan pelaksana yang kompeten;
dan 4) Menyediakan sarana, prasarana, dan/
atau fasilitas pelayanan publik yang mendu-
kung terciptanya iklim pelayanan yang me-
madai.
Pada dasarnya karakteristik pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh pemerin-
tah adalah: (1) memiliki dasar hukum yang
jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memili-
ki kelompok kepentingan yang luas termasuk
kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide
stakeholders), (3) memiliki tujuan sosial, (4)
dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5)
memiliki konfigurasi indikator kinerja yang
perlu kelugasan (complex and debated perfor-
mance indicators), serta (6) seringkali menja-
di sasaran isu politik (LAN, 2006).
Berbeda dengan pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah, penyediaan pela-
yanan oleh sektor swasta memiliki karak-
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa
8 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
teristik: (1) didasarkan kepada kebijakan
Dewan Direksi (board of directors), (2) terfo-
kus pada pemegang saham (share holders)
dan manajemen, (3) memiliki tujuan mencari
keuntungan, (4) harus akuntabel pada kala-
ngan terbatas (limited share holders), (5)
kinerjanya ditentukan atas dasar kinerja
manajemen, termasuk didalamnya kinerja
finansial, serta (6) tidak terlalu terkait
dengan isu politik.
Terkait dengan pengertian dan konsepsi
pelayanan publik, Pamudji (1994) mengemu-
kakan “pelayanan publik adalah berbagai ke-
giatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan
masyarakat akan barang-barang dan jasa-
jasa”. Hal yang sama dikemukakan Widodo
(2001 : 269) bahwa ”Pelayanan publik seba-
gai pemberian layanan (melayani) keperluan
orang atau masyarakat yang mempunyai ke-
pentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang ditetapkan”.
Selanjutnya Boediono (2003) menyatakan
bahwa pelayanan pelanggan adalah upaya
atau proses yang secara sadar dan terencana
dilakukan organisasi atau badan usaha agar
produk/jasanya menang dalam persaingan
melalui pemberian/penyajian pelayanan ke-
pada pelanggan sehingga tercapai kepuasan
optimal bagi pelanggan. Sedangkan, Djaenuri
(1999:15) mendefinisikan pelayanan masya-
rakat sebagai suatu kegiatan yang merupa-
kan perwujudan dari tugas umum pemerin-
tahan mengenai bidang tugas pokok suatu
instansi untuk dapat melayani kebutuhan
masyarakat secara maksimal.
Ndraha (1996) mengemukakan bahwa
pelayanan pemerintah kepada masyarakat
adalah terkait dengan suatu hak dan lepas
dari persoalan apakah pemegang hak itu
dibebani suatu kewajiban atau tidak. Dalam
hal ini dikenal adalah hak bawaan (sebagai
manusia) dan hak berian. Hak bawaan bersi-
fat individual dan pribadi, sedangkan hak
berian meliputi hak sosial politik dan hak
individual. Lembaga yang berkewajiban
memenuhi hak tersebut adalah pemerintah.
Kegiatan pemerintah untuk memenuhi hak
bawaan dan hak berian itulah yang disebut
pelayanan pemerintah kepada masyarakat
termasuk pribadi-pribadi pemilik hak bawa-
an.
Dalam konteks hubungan pemerintah
dengan masyarakat, menurut Saefullah
(1999: 5), pelayanan publik (public service)
adalah pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat umum yang menjadi warga
negara atau secara sah menjadi penduduk
negara yang bersangkutan. Karenanya
birokrasi publik (pemerintah) berkewajiban
untuk memberi-kan layanan publik yang baik
dan profesional.
Dalam perkembangan konsep pelayanan
publik, seiring dengan reformasi di sektor
publik, mulai di adopsi pendekatan-pende-
katan pelayanan yang dilakukan sektor privat
dalam rangka kompetisi untuk memberikan
yang terbaik kepada masyarakat. Dalam kon-
teks ini masyarakat mulai ditempatkan tidak
hanya sebagai penerima layanan, akan tetapi
masyarakat juga ditempatkan sebagai pela-
nggan atau konsumen yang ikut menentukan
kualitas pelayanan itu sendiri.
Adapun terkait dengan penguatan pen-
tingnya peningkatan kualitas pelayanan
publik di daerah, diamanatkan pula dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-
tang Pemerintahan Daerah dimana disebut-
kan bahwa Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah diarahkan untuk mempercepat ter-
wujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat, serta peningkatan
daya saing daerah.
Upaya penyediaan pelayanan yang berku-
alitas antara lain dapat dilakukan dengan
memperhatikan ukuran-ukuran apa saja yang
menjadi kriteria kinerja pelayanan. Berdasar-
kan Kep MenPAN No 63 tahun 2003 kriteria-
kriteria pelayanan tersebut adalah :
1. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan.
2. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelaya-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 9
nan, seperti menjaga keakuratan perhi-tungan keuangan, teliti dalam pencatatan data dan tepat waktu.
3. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabila terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan.
4. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang di-butuhkan.
5. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus diperhatikan.
6. Keramahan, meliputi kesabaran, perhati-an dan persahabatan dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan. Kera-mahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Seba-liknya, pihak penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang diberikan tidak dikon-sumsi para pelanggan melalui kontak langsung.
7. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mere-ka butuhkan secara mudah dan gamblang, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
8. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak dipe-rolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti.
9. Kredibilitas, meliputi adanya saling perca-ya antara pelanggan dan penyedia pela-yanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak diperca-yai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan un-tuk menjaga pelanggan tetap setia.
10. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu pe-nyelesaian layanan tersebut. Hal ini sangat penting karena pelanggan tidak
boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang diberikan.
11. Keamanan, yaitu usaha untuk memberi-kan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finan-sial dan kepercayaan pada diri sendiri.
12. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pela-nggan. Mengerti apa yang diinginkan pela-nggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pela-nggan dan memberikan perhatian secara personal.
13. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wu-jud nyata dari pelayanan, berupa fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pela-nggan, peralatan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang lainnya.
14. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayan-an hanya dibatasi pada hal-hal yang ber-kaitan langsung dengan pencapaian sasa-ran pelayanan dengan tetap memperhati-kan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
15. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk mem-bayar.
Mengenai kualitas pelayanan publik,
Goetsch dan Davis (2002) mendefinisikan
kualitas pelayanan sebagai suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk,
jasa, manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas
pelayanan juga diartikan sebagai sesuatu
yang berhubungan dengan terpenuhinya
harapan/kebutuhan pelanggan, di mana pela-
yanan dikatakan berkualitas apabila dapat
menyediakan produk dan jasa (pelayanan)
sesuai dengan kebutuhan dan harapan pela-
nggan.
Senada dengan pendapat di atas, Evans
dan Lindsay (1997) berpendapat bahwa kua-
litas pelayanan dapat dilihat dari berbagai
sudut. Jika dilihat dari sudut pandang
konsumen, maka kualitas pelayanan selalu
dihubungkan dengan sesuatu yang baik/
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa
10 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
prima (excellent). Jika kualitas pelayanan
dipandang dari sudut ”product-based”, maka
kualitas pelayanan dapat didefinisikan sebagi
suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel
pengukuran yang berbeda-beda dalam mem-
berikan penilaian kualitas sesuai dengan
karakteristik produk yang bersangkutan.
Kualitas pelayanan jika dilihat dari sudut
“user-based”, maka kualitas pelayanan adalah
sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau
tingkat kesesuaian dengan keinginan pela-
nggan. Sedangkan, jika dilihat dari “value-
based”, maka kualitas pelayanan merupakan
keterkaitan antara kegunaan atau kepuasan
dengan harga.
Berdasarkan konsepsi kualitas pelayanan
publik tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa pelayanan publik desa yang berku-
alitas, hanya akan diwujudkan apabila dalam
pemerintahan desa terdapat sistem pelayan-
an yang mengutamakan kepentingan warga
masyarakat desa sebagai pengguna jasa
pelayanan dan perangkat desa memeliki
kepedulian terhadap kebutuhan dan kepen-
tingan warga masyarakat desa.
E. MEMBANGUN MODEL PELAYANAN
PUBLIK DESA
Dalam konteks pemerintahan desa,
dengan semakin kuatnya otonomi pemerin-
tahan desa maka otorisasi pelayanan publik
pemerintahan desa harus segera diwujudkan.
Lantas bagaimana mewujudkan dan melak-
sanakan otorisasi pelayanan publik pemerin-
tahan desa tersebut di atas? Tentu saja kita
harus mengidentifikasi urusan atau kewena-
ngan yang dimiliki pemerintah desa sesuai
dengan amanat UU Nomor 6 tahun 2014.
Disamping itu, juga perlu mengidentifikasi
kondisi empiris dan current conditions terkait
dengan jenis, jumlah dan lingkup pelayanan
publik pemerntah desa yang selama ini
dilakukan. Dari hasil identifikasi tersebut,
akan ditemukan jenis, jumlah dan lingkup
pelayanan publik pemerintahan desa yang
kontekstual, yang pada akhirnya akan menja-
di model pelayanan publik pemerintahan
desa yang seluruhnya menjadi totalitas sepe-
nuhnya pemerintah desa. Model ini paling
tidak akan dapat menjadi rumusan secara
umum terkait dengan pelayanan publik desa
yang bersifat administratif.
Berdasarkan kondisi empiris diketahui
bahwa pelayanan publik desa secara umum
berupa pengantar atau rekomendasi saja dan
penyelesaian pelayanannya berada di Kantor
Kecamatan atau bahkan di Dinas Teknis
Pemerintah Kabupaten. Beberapa pelayanan
publik di salah satu desa di Kabupaten Bekasi
antara lain meliputi: (1) Surat Pengantar
Pembuatan KTP; (2) Surat Pengantar Akte
Kelahiran; (3) Surat Keterangan Domisili; (4)
Surat Pengantar Nikah; (5) Surat Keterangan
Sudah/Belum Menikah; (6) Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM); (7) Surat Keterangan
Pindah Penduduk; (8) Surat Pengantar IMB;
(9) Surat Keterangan Duda/Janda; (10) Surat
Keterangan Kematian; (11) Surat Keterangan
Kelahiran; (12) Surat Pengantar Calon
Tenaga Kerja; (13) Surat Keterangan Tanah;
(14) Surat Pengantar Izin Keramaian; (15)
Legalisir; (16) Surat Keterangan Usaha; dan
(17) Surat Pengantar SKCK.
Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 6 Tahun
2014 disebutkan bahwa kewenangan desa
meliputi kewenangan di bidang penyeleng-
garaan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pe-
mbangunan Desa, pembinaan kemasyaraka-
tan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan adat istiadat Desa.
Selanjutnya dalam Pasal 19, secara lebih
eksplisit disebutkan bahwa kewenangan
Desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan
hak asal usul; (b) kewenangan lokal berskala
Desa; (c) kewenangan yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
dan (d) kewenangan lain yang ditugaskan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provin-
si, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perun-
dang-undangan.
Berdasarkan kewenangan desa tersebut
di atas, sesuai dengan Pasal 26, Kepala Desa
berwenang: (a) memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa; (b) mengangkat dan
memberhentikan perangkat Desa; (c) meme-
gang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 11
Aset Desa; (d) menetapkan Peraturan Desa;
(e) menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa; (f) membina kehidupan masya-
rakat Desa; (g) membina ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa; (h) membina
dan meningkatkan perekonomian Desa serta
mengintegrasikannya agar mencapai pereko-
nomian skala produktif untuk sebesar-be-
sarnya kemakmuran masyarakat Desa; (i)
mengembangkan sumber pendapatan Desa;
(j) mengusulkan dan menerima pelimpahan
sebagian kekayaan negara guna meningkat-
kan kesejahteraan masyarakat Desa; (k)
mengembangkan kehidupan sosial budaya
masyarakat Desa; (l) memanfaatkan teknolo-
gi tepat guna; (m) mengoordinasikan Pemba-
ngunan Desa secara partisipatif; (n) mewakili
Desa di dalam dan di luar pengadilan atau
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya
sesuai dengan ketentuan peraturan per-
undang-undangan; dan (o) melaksanakan
wewenang lain yang sesuai dengan keten-
tuan peraturan perundang-undangan.
Atas dasar wewenang Kepala Desa terse-
but di atas, dalam melaksanakan tugasnya,
Kepala Desa berkewajiban: (a) memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksa-
nakan Undang-Undang Dasar Negara Repu-
blik Indonesia Tahun 1945, serta memper-
tahankan dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka
Tunggal Ika; (b) meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa; (c) memelihara ketentera-
man dan ketertiban masyarakat Desa; (d)
menaati dan menegakkan peraturan perun-
dang-undangan; (e) melaksanakan kehidu-
pan demokrasi dan berkeadilan gender; (f)
melaksanakan prinsip tata Pemerintahan
Desa yang akuntabel, transparan, profesional,
efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari
kolusi, korupsi, dan nepotisme; (g) menjalin
kerja sama dan koordinasi dengan seluruh
pemangku kepentingan di Desa; (h) menyele-
nggarakan administrasi Pemerintahan Desa
yang baik; (i) mengelola Keuangandan Aset
Desa; (j) melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Desa; (k) menye-
lesaikan perselisihan masyarakat di Desa; (l)
mengembangkan perekonomian masyarakat
Desa; (m) membina dan melestarikan nilai
sosial budaya masyarakat Desa; (n) member-
dayakan masyarakat dan lembaga kemasya-
rakatan di Desa; (o) mengembangkan potensi
sumber daya alam dan melestarikan ling-
kungan hidup; dan (p) memberikan infor-
masi kepada masyarakat Desa.
Selanjutnya bagaimana perspektif pelaya-
nan publik desa kedepan, yang memiliki
berbagai karakteristik yang berbeda-beda.
Dari aspek tipologi ada desa adat, yang juga
memilki berbagai bentuk yang juga berbeda-
beda. Sedangkan dari aspek geografis, karak-
teristik desa dapat dibedakan menjadi desa
industri, desa maritim, desa pertanian dan
desa wisata. Berbagai karakteristik desa
tersebut akan sangat berpengaruh terhadap
pola/model pelayanan publik desa masing-
masing. Contoh untuk desa pertanian, kebu-
tuhan pelayanan publik di luar kebutuhan
dasar dan administratif, tentu akan lebih
diutamakan pada pelayanan penyuluhan,
pengadaan bibit, pengadaan pupuk, pengo-
lahan hasil panen serta pemasaran hasil
panen. Begitu juga akan berlaku untuk desa-
desa dengan karakteristik yang berbeda, baik
berdasarkan tipologi maupun didasarkan
pada karakteristik berdasarkan geografis.
Untuk membangun pola/model pelayanan
publik desa yang kontekstual, maka harus
dimulai dari kewenangan desa serta melihat
kembali pelayanan empiris saat ini.
Framework untuk mendesain model
pelayanan publik pemerintahan desa dapat
dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa
12 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gambar 3 Framework Kerangka Pemodelan Pelayanan Publik Desa
Berdasarkan framework tersebut di atas,
maka dapat didesain pola/model pelayanan
publik pemerintahan desa sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki serta karakteristik
desa baik berdasarkan tipologi maupun mau-
pun berdasarkan geografis. Oleh karena itu,
pola/model pelayanan publik pemerintahan
desa yang dapat dibangun ke depan dapat di
lihat pada gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4
Desain Pola/ModelPelayanan PublikPemerintahan Desa
Sumber : Kewenangan desaUU 6/2014 dan pelayanan desa existing diolah
Dari model pelayanan publik pemerintah-
an desa tersebut di atas, maka selanjutnya
perlu disusun bisnis proses pelayanan publik
desa baik untuk pelayanan publik yang bera-
khir di Desa, Kantor Kecamatan, maupun pe-
layanan publik yang berakhir di Dinas Kabu-
paten. Pada gambar 5 berikut ini adalah
Bisnis proses pelayanan publik pemerintahan
desa terintegrasi dari Desa, Kecamatan dan
Dinas Kabupaten.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 13
Gambar 5 Bisnis Proses Pelayanan PublikPemerintahan Desa Terintegrasi
Dinas Kabupaten
Proses
Kantor Kecamatan
Pemerintahan Desa
Masyarakat Desa
Jika dicermati bisnis proses tersebut di
atas, maka sesungguhnya pelayanan publik
desa merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari sistem pelayanan publik Kecamatan dan
Pemerintah Kabupaten. Namun demikian,
seiring dengan kewenangan yang dimiliki
maka pemerintahan desa sudah selayaknya
dapat membuat model pelayanan publiknya
yang benar-benar mandiri dan selesai di
pemerintahan desa masing-masing. Atau
dengan kata lain, pemerintahan desa harus
segera menyusun manajemen pelayanan
publik desa. Mulai dari menentukan jenis
pelayanan publik apa saja yang harus dilaku-
kan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
desa berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014.
Selanjutnya menentukan lingkupnya, pelaya-
nan apa saja yang menjadi kewenangan dan
selesai di tingkat pemerintahan desa, pelaya-
nan apa yang selesai di Kantor Kecamatan,
serta pelayanan apa saja yang selesai di Dinas
Kabupaten. Untuk jenis pelayanan publik
yang menjadi kewenangan mutlak pemerin-
tahan desa dan selesai di tingkat desa, maka
dapat disusun bisnis proses pelayanan publik
internal desa sebagaimana dapat dilihat pada
gambar 6 sebagai berikut.
Gambar 6
Bisnis Proses Pelayanan Publik Internal Pemerintahan Desa
Pemerintahan Desa
Proses
Masyarakat Desa
Mengajukan Permohonan
Menerima hasil
Proses
Meneruskan ke Kecamatan
Mengajukan Permohonan
Menerima hasil
Proses
Meneruskan ke dinas
Penguatan Kapasitas Pelayanan Publik Pemerintahan Desa: Membangun Konstruksi Model Pelayanan Publik Desa
14 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Berdasarkan peta bisnis proses (business
process mapping) jenis dan lingkup pelaya-
nan publik pemerintahan desa, maka perlu
disusun Standar Pelayanan (SP) dan Maklu-
mat Pelayanan serta disusun Standar Opera-
sional Prosedur (SOP) untuk setiap jenis pe-
layanan.
F. PENUTUP
Seiring dengan meningkatnya kewenang-
an desa sebagaimana diamanatkan Undang-
undang Desa, serta ketersediaan anggaran
Desa yang relatif besar saat ini, tentu akan
berpengaruh terhadap tuntutan dan
kebutuhan masyarakat desa terhadap
pelayanan publik desa. Oleh karena itu,
kapasitas pemerintah desa perlu ditingkat-
kan sesuai dengan ekspektasi dan transfor-
masi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik desa.
Agar transformasi pelayanan publik desa
tersebut dapat diwujudkan dengan baik,
maka perlu disusun desain model/pola pela-
yanan publik desa. Studi ini telah menghasil-
kan desain model pelayanan publik desa,
yang penyusunannya melalui telaah data
empiris pelayanan publik desa dan kewena-
ngan desa sesuai dengan Undang-undang
Desa.
Namun demikian, desain model yang
telah disusun masih terbatas pada kerangka
model serta mapping business process pelaya-
nan publik desa sebagai satu kesatuan pela-
yanan publik Kecamatan dan Dinas Teknis
Pemerintah Kabupaten. Desain model pela-
yanan publik desa ini, belum dapat mengha-
silkan jumlah, jenis dan ruang lingkup pela-
yanan publik desa yang baru sebagaimana
diamanatkan Undang-undang Desa. Mengi-
ngat hingga saat ini, belum ada tindak lanjut
kebijakan operasional terkait dengan kewe-
nangan desa. Oleh karena itu, diperlukan
studi lebih lanjut terkait dengan penjabaran
terhadap wewenang pemerintah desa, sehi-
ngga dapat diidentifikasi jumlah, jenis dan
lingkup pelayanan publik desa secara
konkrit.
Adapun terkait dengan upaya percepatan
penguatan kapasitas desa dalam rangka me-
ningkatkan kualitas pelayanan publik desa,
dapat dilakukan melalui: (1) training peruba-
han mindset dan cultur set aparat desa untuk
melayani warganya; (2) perubahan budaya
kerja; (3) Bimtek penyusunan visi dan misi
pelayanan publik desa, penyusunan SP dan
SOP; (4) pelaksanaan survey kepuasan
masyarakat desa dan pengelolaan pengadu-
an; (5) monitoring dan evaluasi pelaksanaan
SP dan SOP.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa.
Kep MenPAN No 63 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggara-an Pelayanan Publik.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa.
Lembaga Administrasi Negara RI, Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta, 2006.
Lembaga Administrasi Negara RI, Simplifikasi Administrasi Pelayanan Perizinan Dunia Usaha, Jakarta, 2013.
Lembaga Administrasi Negara RI, Pelayanan Publik Desa, Bagaimana Kualitas dan Inovasinya, Bahan Paparan Diskusi Terbatas, Jakarta, 2015.
Boediono, Pelayanan Prima Perpajakan. PT. Rineka Cipta: Jakarta, 1993.
Evan. James R and Lindsay, The Management and Control of Quality, West Publishing Company, United State.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 15
Jaenuri, Peranan Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPPP) Kabupaten Pati Dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Membayar Pajak, Jurnal Ilmiah Ppkn Ikip Veteran, Semarang,1999.
Joni Suwarno, Kualitas Pelayanan Pemerintah Desa Teluk Kepayang, Kecamatan Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu, Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintahan Lokal, Volume I, Edisi 2 Tahun 2012.
Ndraha, Kybernologi Ilmu Pemerintahan Baru 1, Jakarta, 2003.
Saefullah, Konsep dan Metode Pelayanan Umum yang Baik, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Sumedang: FISIP UNPAD, 1999.
Widodo, Joko. Membangun Birokrasi Berbasis
Kinerja. Jakarta : Bayumedia Pub-
lishing. 2001.
ARTIKEL
16 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
Village Financial Management After Implementation of Law No. 6/2014:
Potential Problems and Solutions
Antonius Galih Prasetyo dan Abdul Muis
Peneliti dan Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Tata Pemerintahan
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak:
Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa pengakuan dan ke-
kuasaan baru kepada desa yang selama ini diabaikan dalam pembangunan. Di antara berbagai hal
yang tercakup di dalamnya, dana desa merupakan isu yang paling hangat dibicarakan. Desa akan me-
nerima uang dalam jumlah besar tanpa ada presedennya. Sementara sebagian kalangan meragukan
kesiapan desa dalam mengelola dana sebesar itu, sebagian lainnya meyakini bahwa desa telah siap.
Sesungguhnya, dengan menengok kondisi riil pemerintah dan masyarakat desa saat ini, memang ada
risiko bahwa pengelolaan keuangan desa tidak dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Kompetensi kepala desa dan pendamping desa menjadi dua faktor kunci krusial dari sisi SDM yang
memengaruhi keberhasilan pengelolaan keuangan desa. Agar keuangan desa dapat terkelola dengan
baik, dibutuhkan pemeriksaan atas kebijakan yang ada, pengawasan yang kuat, dan peningkatan
kapasitas serta kesadaran aparatur desa.
Kata-kata kunci: UU Desa; Desa; Dana desa; Pengelolaan keuangan
Abstract:
The birth of Law No. 6 of 2004 on Village gives village recognition and power to village which until
then has been neglected in development. Among many things covered in it, village fund is the most
talked about issue. Village will receive money in big size without precedent. While some people
hesitate the readiness of village to manage such a big fund, others believe that village is ready.
Actually, by visiting the real condition of village’s government and society today, there are risks that
village finance management cannot be done in transparent and accountable manner. The competency
of village head and village facilitator are two crucial key factors from human resources perspective
which affect the success of village finance management. In order to manage village finance properly,
policy checking, strong monitoring, and capacity and consciousness development are needed.
Keywords: Law on Village; Village; Village fund; financial management
PENDAHULUAN
Disahkannya Undang-undang No. 6 Tahun
2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU
Desa) pada 15 Januari 2014 merupakan se-
buah tonggak bersejarah dalam sejarah kebi-
jakan mengenai desa. UU tersebut merupa-
kan balikan paradigmatis (paradigmatic
turn) dari pendekatan atau cara pandang pe-
merintah terhadap desa sebagai satuan
masyarakat terkecil, di mana desa kini dipan-
dang sebagai subjek pembangunan dengan
kewenangan yang luas. Melalui asas rekog-
nisi, hak asal-usul desa sebagai self governing
community dan self local government diakui.
Sementara melalui asas subsidiaritas, desa
diberi kewenangan untuk menyelenggarakan
empat domain urusannya secara penuh,
yakni penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa.
Sebagai satuan masyarakat dengan seja-
rah panjang yang sudah ada sebelum Repu-
blik ini berdiri, sudah seharusnyalah desa
kini menikmati hak-hak yang sesungguhnya
merupakan fitrahnya. Meskipun dibahas dan
disahkan pada masa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono, spirit yang terkandung
dalam UU Desa sesungguhnya berselaras
pula dengan visi-misi pemerintahan Joko
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 17
Widodo-Jusuf Kalla, yang dalam Nawacita-
nya memuat ikhtiar “membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat Daerah-
daerah dan Desa dalam kerangka Negara
Kesatuan.”
(http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_J
okowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015). Misi
tersebut berusaha membalik desa yang
selama ini menjadi alas kaki kekuasaan dan
obyek pembangunan yang pasif sebagai
penonton pembangunan menjadi entitas
yang menjadi lebih mandiri, berdaulat,
demokratis, dan sejahtera.
Tetapi setelah UU Desa lahir, bukan
berarti perdebatan selesai. Banyak pakar,
pengamat, dan praktisi yang mempersoalkan
hakikat sesungguhnya dari UU Desa: apakah
roh yang ada di dalamnya didorong oleh
pilihan democratic driven (pokoknya proses
demokratisasi pembagian kue pembangunan
sudah didistribusikan hingga tingkat desa)
atau economic driven (berorientasi mencari
pengungkit pemberdayaan ekonomi yang
berasal dari desa)? (Huseini, 2015: 7),
apakah UU Desa mengadopsi paradigma
“desa membangun” atau “membangun desa”
atau gabungan dari keduanya?, apakah UU
Desa dapat diartikan sebagai otonomi desa
dan dengan demikian memunculkan rezim
desentralisasi tingkat tiga yang lebih kom-
pleks? Muncul juga kekhawatiran pada tata-
ran implementasi: sudahkah pemerintah
desa dan tingkatan pemerintah di atasnya
benar-benar siap melaksanakannya?
Sementara pada aras kelembagaan, per-
debatan diwujudkan melalui rebutan kewe-
nangan antara Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) dengan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans-
migrasi (Kemendes PDTT). Masing-masing
merasa yang paling berhak mengurus desa
dengan mangajukan logika dan argumennya
masing-masing. Akhirnya, setelah percekco-
kan selama hampir enam bulan, polemik ter-
sebut baru dapat diakhiri, atau demikianlah
kelihatannya, setelah Presiden Joko Widodo
menerbitkan Perpres No. 11 Tahun 2015
tentang Kemendagri dan Perpres No. 12
Tahun 2015 tentang Kemendes PDTT sebagai
pelengkap atas Perpres No. 165 Tahun 2014
tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet
Kerja. Melalui Direktorat Jenderal (Ditjen)
Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri berwe-
nang mengurusi pembinaan pemerintahan
desa dan melalui Direktorat Jenderal Pemba-
ngunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
serta Direktorat Jenderal Pembangunan Ka-
wasan Perdesaan, Kemendes PDTT berwe-
nang mengurusi hal-hal lain di luar pemerin-
tahan desa. Diharapkan, dengan pembagian
kerja semacam ini, tidak muncul lagi
instrumen kebijakan dari kementerian yang
menerobos lingkup wewenangnya, seperti
misalnya Permendagri No. 114 Tahun 2014
tentang Pedoman Pembangunan Desa. Meski
demikian, ada juga yang berpendapat bahwa
format pembagian kerja semacam itu
sesungguhnya mengingkari prinsip pengelo-
laan desa dalam UU Desa yang bersifat siste-
mik-integratif (Jaweng, 2015: 6). Sementara
menurut Hasani (2015: 7), karena Kemenda-
gri tetap memiliki kaki hingga ke desa, maka
otonomi desa dibonsai dengan tetap menjadi-
kannya unit pemerintahan paling rendah.
Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan
bahwa desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang otonom dalam NKRI.
Namun, dari berbagai isu dan tema di
seputar UU Desa, tidak ada diskursus yang
lebih hangat dari satu hal ini, yakni dana
desa. Sejalan dengan pengakuan dan
perhatian besar yang diberikan kepada desa,
pendanaan yang diberikan kepadanya pun
meningkat. Terkait dengan dana ini, dulu
pada waktu RUU Desa masih dibahas ada
wacana bahwa kelak setiap desa akan
mendapat dana Rp 1,4 miliar setiap tahun.
Isu ini tentu menarik sebagai janji politik
yang manis, sehingga tak heran bahwa kala
itu sejumlah fraksi di DPR berebut menjadi
pimpinan panitia khusus (pansus) ketika
pembahasan RUU Desa dimulai Maret 2012
(Kompas, 3 Juli 2015). Bahkan, setelah UU
Desa disahkan dan musim kampanye politik
untuk pemilihan umum presiden 2014
dimulai, calon presiden berlomba-lomba
menjanjikan akan memberikan miliaran
rupiah untuk setiap desa jika terpilih, seolah
mengabaikan fakta siapapun yang terpilih
dana desa akan tetap turun karena itu
ARTIKEL
18 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
merupakan amanat UU Desa. Ketertarikan
terhadap iming-iming dana desa juga dite-
ngarai menyebabkan terjadinya lonjakan
usulan pemekaran desa. Kemendagri menca-
tat, jumlah desa meningkat dari 72.944 pada
awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015
(http://www.koran-
sindo.com/read/964858/149/dana-desa-
picu-tingginya-pemekaran-1424055604,
diakses 9 Juli 2014).
Kenyataannya, hal yang terjadi tidaklah
demikian. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU
Desa menyebutkan bahwa “Besaran alokasi
anggaran yang peruntukannya langsung ke
Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus)
dari dan di luar dana Transfer Daerah (on
top) secara bertahap.” Artinya, pemberian
dana dalam hitungan miliar untuk tiap desa
baru akan diberlakukan di masa depan
setelah melalui tahapan waktu tertentu. Pada
APBN Perubahan (APBN-P) 2015, total dana
desa sebesar Rp 20,766 triliun atau 3,1
persen dari jumlah APBN-P sekitar Rp 2.000
triliun (naik dari APBN 2015 yang hanya
mengalokasikan Rp 9,1 triliun) yang
disalurkan selama tiga tahap pada minggu
kedua bulan April, Agustus, dan Oktober.
Rata-rata desa yang jumlahnya 74.093
mendapat Rp 280 juta. Baru pada tahun 2017
persentase 10 persen tersebut akan
dipenuhi. Dalam Pasal 30A ayat (1) PP No. 22
Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No.
60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang
Bersumber dari APBN, dinyatakan bahwa
pengalokasian dana desa untuk tahun
anggaran 2015 paling sedikit sebesar 3
persen, pada tahun anggaran 2016 paling
sedikit sebesar 6 persen, dan baru pada
tahun 2017 dan seterusnya sebesar 10
persen dari anggaran transfer ke daerah.
Meskipun dana desa yang diperoleh desa
pada tahun ini masih terbatas, isu tentang
pengelolaannya tidak boleh dikesampingkan
karena sebesar apa pun dana publik yang
diterima oleh sebuah entitas harus diperta-
nggungjawabkan secara transparan dan
akuntabel. Lagipula dana desa sebenarnya
hanyalah sebagian saja dari total pendapatan
yang diterima desa untuk dikelola dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes). Dana desa adalah salah satu jenis
dari kelompok pendapatan desa yang
digolongkan sebagai transfer bersama
dengan alokasi dana desa (ADD), bagian dari
hasil pajak daerah kabupaten/kota dan
retribusi daerah (PDRB), dan bantuan
keuangan dari APBD Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Selain itu, masih ada juga
pos pendapatan asli desa (PAD) dan
pendapatan lain-lain. Salah satu jenis
pendapatan dari kelompok transfer yang
besar, bahkan lebih besar dari dana desa,
adalah ADD yang dalam APBN-P dialokasikan
sebesar Rp 33,2 triliun. Berdasarkan data
yang dikumpulkan IRE (2015) sebagaimana
dikutip Muhammad (2015: 6), misalnya,
Kabupaten Sleman tahun 2015 ini
mengirimkan dana ke desa Rp 1,2 miliar per
desa, Kabupaten Gunung Kidul Rp 650 juta
per desa, dan Kabupaten Lombok Tengah Rp
300 juta per desa. Sementara dari PDRB
tahun ini sebesar Rp 2,1 triliun sehingga total
dana yang akan masuk ke desa tahun ini di
luar PAD dan pendapatan lain-lain sebesar
Rp 53,6 triliun (Kompas, 27 Februari 2015).
Total pendapatan desa akan semakin
bertambah setiap tahunnya. Dari pos dana
desa, diperkirakan bahwa pada tahun 2016
jumlahnya meningkat menjadi sekitar Rp 47
triliun dan tahun 2017 sekitar Rp 81 triliun.1
Adapun menurut data yang dimiliki Jaweng
(2015: 6), rencana pertumbuhan dana desa
di masa depan berturut-turut sebesar Rp 44
triliun (2016), Rp 74 triliun (2017), Rp 88,6
triliun (2018), Rp 103,7 triliun (2019).
Sementara Farouk Muhammad mengkalkula-
si bahwa pada 2017 minimum per desa akan
memperoleh pendapatan Rp 1,5 miliar atau
lebih (Muhammad, 2015: 6).
1 Informasi disampaikan oleh Direktur Bina Pemerintahan Desa Eko Prasetyanto pada diskusi terbatas yang dilakukan Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, 26 Juni 2015. Perkiraan ini menjadi kenyataan karena dalam pidatonya saat Sidang Paripurna Pembukaan Masa Sidang 1 DPR, 14 Agustus 2015, Presiden menyampaikan RUU APBN Tahun Anggaran 2016 di mana pos dana desa dialokasikan sebesar Rp 47 triliun (Kompas, 15 Agustus 2015).
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 19
Jumlah pendapatan yang diterima desa,
baik pada tahun ini dan terlebih di tahun-
tahun mendatang, dengan demikian dapat
dikatakan cukup besar. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran mengenai kesiapan desa dalam
menggunakan dana tersebut secara bertang-
gungjawab dan berkeadilan. Banyak kala-
ngan yang skeptis dan meremehkan kemam-
puan desa. Pengamat ekonomi Didik J. Rach-
bini misalnya, mengatakan bahwa kebijakan
dana desa bak memberi uang dari langit ke
kerumunan massa di mana masyarakat akan
saling berebut dan bertengkar untuk menda-
patkan uang itu. Birokrasi desa menurutnya
tak punya tradisi akuntabilitas
(http://www.koran-
sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-
dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-
1423968895, diakses 9 Juli 2015).
Karena khawatir bahwa dana desa dapat
menjadi jebakan yang menjerat kepala desa
untuk korupsi, baik secara sengaja maupun
tidak sengaja akibat ketidaktahuan akan
mekanisme pengelolaan dan pertanggungja-
waban anggaran, maka berbagai pihak pun
menyerukan solusi, misalnya dengan usulan
agar pada masa transisi (tahun pertama dan
kedua) pemerintah dan penegak hukum
jangan terlalu kaku dalam menerapkan
pengawasan dan penegakan hukum, harus
ada langkah persuasif jika pelanggaran
sifatnya administratif (Muhammad, 2015: 6).
Ada juga usulan untuk mempertanggungja-
wabkan dana desa cukup dengan bukti yang
menunjukkan dana telah masuk ke rekening
kas desa (RKD) dengan memperlakukan dana
itu sebagai anggaran dalam kelompok mata
anggaran kegiatan (MAK) bantuan sosial.
Selanjutnya, urusan selesai begitu dana
diterima desa (Padjung, 2015: 7).
Kementerian yang mengurusi desa juga
melakukan berbagai upaya untuk mencegah
dana desa disalahgunakan atau dikelola
dengan tidak mengikuti kaidah yang benar.
Dalam pernyataannya, Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan bah-
wa pihaknya berkoordinasi dengan Kemen-
des PDTT telah melatih para aparat desa se-
cara terpadu mengenai tata kelola dan siste-
matika dalam membuat laporan penggunaan
keuangan desa secara benar. Kemendagri
juga akan memberikan pelatihan kepada ke-
pala desa dan aparat desa untuk peningkatan
kapasitas dalam penyusunan anggaran dan
pengelolaan anggaran. Satu desa minimal
mengirimkan tiga perwakilan sehingga
seluruhnya ada 273.000 orang yang akan
ditingkatkan kapasitasnya. Selain itu, Menda-
gri juga telah meminta Badan Pemeriksa Keu-
angan (BPK) selaku pihak yang akan mengau-
dit dana desa secara langsung agar mengizin-
kan penyederhanaan pelaporan keuangan
bagi desa sehingga dalam membuat laporan
tidak perlu tebal-tebal, cukup satu lembar
saja (http://www.koran-
sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-
audit-anggaran-desa-1434331148, diakses
10 Juli 2015). Di sisi lain, Kemendes PDTT
menjalin kerjasama dengan Ikatan Akuntan
Indonesia (IAI) untuk pendampingan audit
dan pelaporan serta pelatihan administrasi
kepada aparat desa agar dana desa terkelola
secara akuntabel dan transparan
(http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-
penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa,
diakses 9 Juli 2015), selain juga menyiapkan
perekrutan untuk pendamping desa yang
dapat membantu pemerintah desa mengelola
keuangannya.
Namun, ada juga kalangan yang meyakini
bahwa desa telah siap menerima dan menge-
lola dana desa. Menurut Padjung, pengelola-
an uang dalam jumlah yang relatif besar
sesungguhnya bukan barang yang sama
sekali baru bagi desa. Kelompok masyarakat,
melalui Badan Keswadayaan Masyarakat dan
Unit Pengelola Kegiatan sudah biasa
mengelola bantuan langsung masyarakat.
Selama ini juga telah ada ADD yang
disalurkan langsung ke kas desa. Pengalaman
melalui Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang
telah menyentuh 67.108 desa juga telah
memberikan pembelajaran kepada masyara-
kat desa mengenai arti penting akuntabilitas
dan transparansi pengelolaan dana, termasuk
tentang pentingnya menempelkan fotokopi
rekening dan rincian penggunaan dana di
papan informasi (Padjung, 2015: 7). Sukas-
manto memberikan bukti lain bahwa desa
ARTIKEL
20 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
sesungguhnya mampu mengelola keuangan.
Pada tahun 2009, total jumlah pendapatan
yang diterima desa sebesar Rp 8,569 triliun.
Jumlah ini kemudian meningkat pada tahun
2010 menjadi Rp 10,612 triliun (Sukasmanto,
2014: 5). Hal ini menyiratkan bahwa desa
mampu mengelola dana dengan baik karena
bila tidak maka secara logis tidak mungkin
pendapatan yang diberikan kepadanya me-
ningkat.
Tulisan ini menyoroti isu pengelolaan
keuangan desa pasca-UU Desa berlaku. Tuju-
annya adalah untuk memberikan pemaham-
an secara komprehensif mengenai pengelola-
an keuangan desa, substansi peraturan yang
mengaturnya, potensi permasalahan, dan
solusi untuk menghindari problem yang
mungkin muncul. Untuk mencapai tujuan
tersebut, tulisan ini distrukturkan sebagai
berikut. Pertama, dipaparkan mengenai
keuangan desa secara rinci, mulai dari
peraturan yang menjadi landasannya dan
alur atau mekanisme pengelolaannya, mulai
dari awal sampai akhir. Dengan demikian,
pembaca dapat memahami kerangka legal,
aturan main, dan logika dari pengelolaan
keuangan desa secara menyeluruh. Selanjut-
nya, dipaparkan mengenai potensi risiko dari
pengelolaan keuangan desa yang dilihat dari
berbagai aspek, mulai dari tata laksana,
kelembagaan, regulasi, dan SDM. Pemahaman
atas risiko ini memampukan pembaca untuk
melihat celah yuridis, sosiologis, dan politis
dari konstruksi yang membentuk tatanan
pengelolaan keuangan desa. Bagian ini
banyak memanfaatkan hasil kajian yang telah
dibuat oleh berbagai lembaga. Selanjutnya,
dituliskan mengenai dua isu penting yang
menjadi kunci dan faktor determinan yang
secara krusial memengaruhi keberhasilan
pengelolaan keuangan desa dari sisi SDM,
yakni isu kompetensi kepala desa selaku
kuasa pengguna anggaran di desa dan isu
pendamping desa sebagai fasilitator yang
membantu segala permasalahan di desa,
termasuk pengelolaan keuangan.2 Tulisan
2Keberhasilan pengelolaan keuangan desa tentu tidak hanya ditentukan dari sisi SDM yang menjadi fokus dari tulisan ini, melainkan juga dipengaruhi oleh sisi sistem, di antaranya regulasi yang baik
diakhiri dengan penutup yang berisi
kesimpulan dan rekomendasi.
METODE
Data dan analisis yang menjadi bagian
dari hasil kajian ini didapatkan dengan
metode kajian pustaka (literary studies) dan
diskusi terbatas. Kajian pustaka dilakukan
dengan mempelajari UU dan berbagai
peraturan terkait lain yang berhubungan
dengan pengelolaan keuangan desa, juga
berbagai artikel dan tulisan yang membahas
mengenai isu tersebut. Sementara diskusi
terbatas dilakukan untuk mendapatkan data
primer yang relevan dengan isu pengelolaan
keuangan desa dengan mengundang nara-
sumber dari kalangan kementerian, SKPD,
dan kepala desa. Diskusi terbatas dilakukan
oleh Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lem-
baga Administrasi Negara (LAN) selama dua
kali kesempatan pada 26 Juni 2015 dan 9 Juli
2015 dengan peserta para peneliti di lingku-
ngan LAN.3
KEUANGAN DESA DAN PENGELOLAANNYA
Ihwal keuangan desa diatur dalam Pasal
71-75 UU Desa. Dalam Pasal 71 ayat (1),
dinyatakan bahwa “Keuangan Desa adalah
semua hak dan kewajiban Desa yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu
berupa uang dan barang yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
Desa.” Selanjutnya, pengaturan mengenai
keuangan desa dan hal lain yang terkait
(lengkap, jelas, dan tidak tumpang tindih) dan mekanisme pengawasan yang efektif, ketat, dan menyeluruh. Tentang hal ini, lihat Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015. 3 Diskusi terbatas tanggal 26 Juni 2015 menghadirkan narasumber Eko Prasetyanto (Direktur Bina Pemerintahan Desa Kemendagri) dan Tifna Purnama (Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD Kabupaten Tangerang), sedangkan diskusi terbatas 9 Juli 2015 menghadirkan narasumber Bito Wikantosa (Ditjen PPMD Kemendes PDTT), Beni Yusnandar (BPMPD Kabupaten Bekasi), dan Saidih (Kepala Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi). Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak di Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN sebagai penyelenggara diskusi terbatas, terutama kepada Dr. Basseng.
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 21
dengannya dijabarkan lebih lanjut dalam
berbagai peraturan, di antaranya PP No. 43
Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, PP No. 60
Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersu-
mber dari APBN, PP No. 22 Tahun 2015
tentang Perubahan atas PP No. 60 Tahun
2014, PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peru-
bahan atas PP No. 43 Tahun 2014, Permen-
dagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelola-
an Keuangan Desa, Permenkeu No.
241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan
Dana Desa, Permenkeu No. 250/PMK.07/-
2014 tentang Pengalokasian Transfer ke
Daerah dan Dana Desa, Permenkeu No.
93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalo-
kasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantau-
an, dan Evaluasi Dana Desa, dan Permendes
PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas
Penggunaan Dana Desa.
Mengenai pendapatan desa, seturut Per-
mendagri No. 113 Tahun 2014 Bab IV Bagian
Kesatu (Pasal 9-11), dinyatakan bahwa
pendapatan desa terdiri atas tiga elemen,
yakni 1) PAD (yang terdiri atas hasil usaha;
hasil aset; swadaya, partisipasi, dan gotong-
royong; dan lain-lain PAD); 2) transfer
(terdiri atas dana desa; PDRB; ADD; bantuan
keuangan APBD provinsi; dan bantuan
keuangan APBD kabupaten/kota); dan 3)
pendapatan lain-lain (terdiri atas hibah dan
sumbangan dari pihak ketiga yang tidak
mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang
sah).
Terkait dengan nomenklatur jenis-jenis
pendapatan desa di atas, perlu dicatat bahwa
Permendagri No. 113 Tahun 2014 membeda-
kan antara dana desa dengan ADD. Dana desa
adalah dana yang bersumber dari APBN yang
diperuntukkan bagi desa yang ditransfer me-
lalui APBD kabupaten/kota dan digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerin-
tahan, pelaksanaan pembangunan, pembina-
an kemasyarakatan, dan pemberdayaan
masyarakat. Sementara itu, dinyatakan bah-
wa ADD adalah dana perimbangan yang dite-
rima kabupaten/kota dalam APBD kabupa-
ten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khu-
sus (DAK). Pembedaan ini sesungguhnya
tidak dikenal dalam UU Desa sehingga berpo-
tensi menimbulkan kebingungan dan kesa-
lahpahaman meskipun istilah ADD sebenar-
nya pernah muncul dan diatur dalam PP No.
72 Tahun 2005 tentang Desa. Agusta memba-
ca bahwa pembedaan kedua jenis dana
tersebut bermotif politik, yakni sebagai upa-
ya Kemendagri mengamankan dana desa
sesuai peruntukannya, yakni untuk pemerin-
tahan, pembangunan, pembinaan, dan pem-
berdayaan. Dengan demikian, Kemendagri
yang menangani urusan pemerintahan masih
mempunyai ruang yang luas untuk bekerja
karena dana desa tidak melulu dititikberat-
kan pada urusan pembangunan dan pember-
dayaan masyarakat sesuai ketentuan Per-
mendes PDTT No. 5 Tahun 2015 tentang Pe-
netapan Prioritas Penggunaan Dana Desa
(Agusta, 2015a: 7). Argumen ini, bagaimana-
pun, terlalu tipis kekuatannya mengingat Pa-
sal 19 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2014 sudah
mengunci bahwa dana desa memang harus
diprioritaskan untuk membiayai pembangun-
an dan pemberdayaan masyarakat.
Terlepas dari masalah tersebut, dana desa
dalam pengertian keseluruhan rupa-rupa
pendapatan desa yang dikelola dalam APB-
Des harus dikelola secara transparan, akun-
tabel, partisipatif serta dilakukan dengan ter-
tib dan disiplin anggaran (Pasal 2 Permenda-
gri No. 113 Tahun 2014). Karena bersumber
dari negara, maka pengelolaannya harus
mengikuti aturan main yang berlaku terkait
pengelolaan dana publik. Dalam Permendagri
No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa, ihwal pengelolaan dan desa
telah diatur dalam Bab V. Di dalamnya, diatur
bahwa pengelolaan dana desa terdiri atas
lima hal, yakni perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, dan pertanggung-
jawaban.
Jika ditilik mulai dari hulu, pengelolaan
keuangan desa dimulai dari perencanaan.
Pertama kali diadakan musyawarah desa
yang diselenggarakan oleh Badan Permusya-
waratan Desa (BPD) untuk membahas hal-hal
yang sifatnya strategis (lihat Pasal 54 UU
Desa). Kemudian, hasil musyawarah desa
berupa perencanaan pembangunan desa
ditindaklanjuti dengan musyawarah pemba-
ARTIKEL
22 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
ngunan perencanaan desa (musrenbangdes)
yang diselenggarakan kepala desa dan pe-
rangkatnya. Musren-bangdes inilah yang me-
mbahas mengenai Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMDes) tiap enam
tahun sekali dan Rencana Kerja Pemerintah
Desa (RKPDes) serta APBDes tiap setahun se-
kali. Setelah Raperdes tentang APBDes dise-
pakati bersama oleh kepala desa dan BPD
paling lambat bulan Oktober dan hasil eva-
luasi dari bupati/walikota atau camat (yang
mendapat delegasi untuk mengevaluasi Ra-
perdes APBDes) menyatakan bahwa Raper-
des APBDes tidak bertentangan dengan ke-
pentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, APBDes dapat
ditetapkan.
Sebelum desa dapat menerima pencairan
dana desa, terlebih dahulu kabupaten/kota
harus mengesahkan APBD kabupaten/kota
dan peraturan bupati/walikota mengenai
tata cara pembagian dan penetapan besaran
dana desa (Pasal 17 ayat (1) PP No. 60 Tahun
2014 dan Pasal 16 ayat (2) Permenkeu No.
93/PMK.07/2015). Sebelum peraturan bupa-
ti/walikota itu dibuat, desa menyelesaikan
terlebih dahulu APBDes-nya. Keharusan ada-
nya peraturan kepala daerah tersebut seba-
gai indikasi bahwa kabupaten telah siap
untuk menyalurkan dana sesuai peraturan.
Per 1 Juli 2015, masih ada 16 kabupaten/
kota yang belum menerima pencairan dana
desa tahap pertama senilai Rp 8,306 triliun
karena belum menyerahkan persyaratan
tersebut, di antaranya Kabupaten Biak Num-
for, Kabupaten Merauke, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Sarmi, Kabupaten Tolikara, Kabu-
paten Waropen, Kabupaten Supiori, Ka-
bupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mam-
beramo Tengah, Kabupaten Puncak, Kabu-
paten Teluk Bintuni, Kabupaten Bekasi, Ka-
bupaten Majalengka, Kota Batu, Kabupaten
Kepahiang, dan Kabupaten Konawe (Kompas,
2 Juli 2015).4
4 Menurut Eko Prasetyanto, keterlambatan penyerahan dokumen tersebut disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terlambatnya revisi PP No. 60 tahun 2014 yang memuat pengubahan formula pembagian dana desa sehingga membuat daerah harus menghitung ulang alokasi dana desa
Penggunaan dana desa dikelola oleh pe-
merintah desa melalui kuasa kepala desa dan
digunakan sesuai RPJMDes, RKPDes, dan AP-
BDes. Adapun laporan realisasi pelaksanaan
APBDes disampaikan kepala desa kepada
bupati/walikota berupa laporan semester
pertama yang harus disampaikan paling
lambat akhir bulan Juli dan laporan semester
akhir tahun paling lambat pada akhir bulan
Januari tahun berikutnya (Pasal 37 Permen-
dagri No. 113 Tahun 2014). Selain pelaporan,
kepala desa juga harus menyampaikan
laporan pertanggungjawaban realisasi pelak-
sanaan APBDes dalam bentuk peraturan desa
kepada bupati/walikota setiap akhir tahun
anggaran (Pasal 38 Permendagri No. 113
Tahun 2014).
Lalu, siapa yang mengawasi pengelolaan
keuangan desa? Pengawasan memegang pe-
ranan penting dalam memastikan agar pe-
ngelolaan dana desa berjalan dengan akun-
tabel, transparan, dan partisipatif demi ke-
maslahatan umum masyarakat desa. Penga-
wasan yang ketat, terkontrol, profesional,
dan berintegritas menjadi prasyarat penting.
Pengelolaan keuangan desa sesungguhnya
diawasi secara berlapis oleh banyak pihak.
Pada Pasal 44 Permendagri No. 113 Tahun
2014 disebutkan bahwa “Pemerintah Kabu-
paten/Kota membina dan mengawasi pelak-
sanaan pengelolaan keuangan desa.” Dalam
hal ini, Inspektorat Daerah akan berperan
penting sebagai leading institution ihwal pe-
ngawasan pengelolaan keuangan desa. Se-
mentara di tingkat pusat, BPK dan Badan Pe-
ngawasan Keuangan dan Pembangunan (BP-
KP) juga akan mengawasi pengelolaan keu-
angan desa secara sampling. Dana desa
menjadi ranah pengawasan mereka karena
untuk daerahnya, sebagian daerah adalah daerah otonom baru, dan bupati atau kepala desanya digantikan oleh pejabat sementara sehingga masih memerlukan waktu untuk memahami peraturan. Sementara itu, Beni Yusnandar dari BPMPD Kabupaten Bekasi mengatakan bahwa daerahnya sengaja tidak mengeluarkan perbup karena menunggu keluarnya Permenkeu No. 93/PMK.07/2015 agar penghitungan yang dilakukan dalam perbup mempunyai landasan hukum yang kokoh dan jelas. Sejak 8 Juli 2015, dana desa sudah masuk ke rekening kabupaten.
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 23
dana desa adalah uang negara yang bersum-
ber dari APBN sehingga pengelolaannya
harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan
kaidah yang berlaku. Untuk memantau pelak-
sanaan pembinaan dan pengawasan dana
desa, pemerintah pusat juga telah mem-
bentuk tim pengendali dana desa yang bera-
nggotakan pejabat lintas kementerian
(http://www.koran-
sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-
dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180,
diakses 10 Juli 2014).
POTENSI PROBLEMATIK PENGELOLAAN
KEUANGAN DESA
Sebagaimana telah disinggung sebelum-
nya, para pengamat terbelah dalam penilai-
annya atas pembagian dana desa, yakni me-
reka yang percaya bahwa dana desa dalam
jumlah yang besar belum tepat diberikan ke-
pada desa saat ini dan mereka yang percaya
bahwa desa telah mampu mengelola dana
desa dengan baik dan benar. Menurut Sofyan
Sjaf, keterbelahan tersebut berkaitan dengan
paradoks dari ketentuan mengenai dana desa
tersebut. Ada tiga paradoks yang diidentifi-
kasinya (Sjaf, 2015: 7). Pertama, pemberian
dana desa menciptakan birokratisasi alih-alih
pemberdayaan desa. Beberapa peraturan
yang mengatur dana desa dipandang sebagai
bentuk birokratisasi baru karena terlalu me-
ngatur secara teknis dan prosedural hal-hal
seperti dasar alokasi dana desa, pengelolaan
dan pertanggungjawaban dana desa, priori-
tas penggunaan dana desa, pendirian Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), dan sebagainya.
Makna pemberdayaan desa yang menjadi in-
tensi normatif dari UU Desa menjadi poten-
sial terlupakan. Sejatinya, apa yang lebih sub-
stantif adalah penguatan pengetahuan aparat
dan warga desa dalam pengambilan keputu-
san penggunaan dana desa sesuai kebutuhan
dan kondisi yang dihadapi desa, juga monito-
ring serta evaluasi penggunaan dana desa
yang partisipatif melibatkan warga desa.
Pada titik ini, paradigma “membangun desa”
yang bernuansa top-down menjadi terasa
lebih dominan daripada paradigma “desa me-
mbangun” yang lebih bottom-up sifatnya.
Kedua, dana desa meretas kesenjangan
struktural antara negara dengan desa tetapi
menciptakan kesenjangan antarwilayah, atau
lebih tepatnya kesenjangan antarpulau. Dari
Rp 20,766 triliun dana desa yang didistribu-
sikan tahun ini, 61,49 persennya alias lebih
dari separuh berada di Pulau Jawa dan Suma-
tra. Sisanya berada di Pulau Kalimantan (8,73
persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan
Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku
dan Papua (12,08 persen). Ini terjadi karena
dana desa setiap kabupaten/kota dihitung
berdasarkan jumlah desa (Pasal 11 ayat (1)
PP No. 22 tahun 2015), dan jumlah desa tidak
berbanding lurus dengan luas pulau. Di Jawa
ada 22.400 desa dan di Sumatra 20.910 desa.
Artinya, dua per tiga jumlah desa berada di
kedua pulau tersebut.5
Padahal, sesungguhnya desa yang terting-
gal lebih banyak berada di luar kedua pulau
ini sehingga dana desa seharusnya lebih
banyak terdistribusi di luar keduanya.
Dengan fakta ini, maka problem pemerataan
masih belum dapat diatasi.
Ketiga, perencanaan desa tidak sesuai
antara harapan dan kenyataan. Dokumen
yang disyaratkan untuk pencairan dana desa
seperti RPJMDes dan RKPDes tidak disusun
secara partisipatif dan transparan. Karena
keterburu-buruan, dokumen tersebut dibuat
secara elitis, tidak jarang menggunakan jasa
konsultan, sehingga hanya segelintir warga
desa yang mengetahuinya. Ini tentu berten-
tangan dengan harapan pemerintah bahwa
perencanaan desa hendaknya dilakukan se-
cara partisipatif, akuntabel, dan transparan.
Eksesnya, apa yang tertuang dalam dokumen
perencanaan juga belum tentu sesuai dengan
kebutuhan aktual masyarakat desa.
Berbagai paradoks di atas membuka tili-
kan kepada proposisi bahwa pengelolaan
dana desa rentan disalahgunakan. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kaji-
annya menemukan 14 persoalan dana desa
yang berpotensi menjadi korupsi yang
terbagi dalam empat aspek, yakni regulasi
5Informasi dari Eko Prasetyanto dalam diskusi terbatas 26 Juni 2015.
ARTIKEL
24 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan,
dan sumber daya manusia
(http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-
pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-
persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7
Juli 2015).
Pada aspek regulasi dan kelembagaan,
persoalan tersebut antara lain: 1) belum
lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pe-
laksanaan yang diperlukan dalam pengelo-
laan keuangan desa; 2) potensi tumpang tin-
dih kewenangan antara Kemendes PDTT dan
Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri;
3) formula pembagian dana desa dalam PP
No. 22 Tahun 2015 yang tidak cukup trans-
paran dan hanya didasarkan atas pemerata-
an; 4) pengaturan pembagian penghasilan
tetap bagi perangkat desa dari ADD dalam PP
No. 43 Tahun 2014 yang kurang adil; dan 5)
kewajiban penyusunan laporan pertanggung-
jawaban oleh desa tidak efisien akibat
ketentuan regulasi yang tumpang tindih.
Pada aspek tata laksana, terdapat lima
persoalan, antara lain: 1) kerangka waktu si-
klus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi
oleh desa; 2) satuan harga baku barang/jasa
yang dijadikan acuan bagi desa dalam me-
nyusun APBDes belum tersedia; 3) transpa-
ransi rencana penggunaan dan pertanggung-
jawaban APBDes masih rendah; 4) laporan
pertanggungjawaban yang dibuat desa belum
mengikuti standar dan rawan manipulasi,
salah satunya disebabkan karena ketidakjela-
san sistem akuntansi yang akan dipakai; ser-
ta 5) APBDes yang disusun tidak sepenuhnya
menggambarkan kebutuhan yang diperlukan
desa karena penyusunan tidak dilakukan
secara partisipatif.
Sementara pada aspek pengawasan, ter-
dapat tiga potensi persoalan, yakni 1) efekti-
vitas inspektorat daerah dalam melakukan
pe-ngawasan terhadap pengelolaan keuang-
an di desa masih rendah; 2) saluran pengadu-
an masyarakat tidak dikelola dengan baik
oleh semua daerah dan mekanisme pengadu-
annya tidak jelas; dan 3) ruang lingkup
evaluasi dan pengawasan yang dilakukan
oleh camat belum jelas.
Sedangkan pada aspek sumber daya
manusia, terdapat potensi persoalan berupa
tenaga pendamping yang berpotensi melaku-
kan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya
pengetahuan aparat desa. Hal ini berkaca pa-
da program sejenis sebelumnya, PNPM Per-
desaan, di mana tenaga pendamping yang
seharusnya berfungsi membantu masyarakat
dan aparat desa justru melakukan korupsi
dan kecurangan.
Sebuah lembaga swadaya masyarakat
(LSM), Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA), juga melakukan kajian
yang serupa dengan KPK. Dalam kajian
FITRA, terdapat enam potensi penyimpangan
dana desa, di antaranya: 1) adanya mafia
anggaran dari pusat dan kabupaten; 2) dana
desa dipakai untuk anggaran pilkada seren-
tak yang tidak teralokasi di APBD; 3) peng-
gunaan dana desa tidak sesuai peruntukan di
desa; 4) aset desa tidak terinventarisir
dengan baik; 5) ketidakmampuan adminis-
trasi dan rumitnya pertanggungjawaban yang
berdampak pada potensi penyalahgunaan
wewenang dan melanggar hukum; dan 6)
minimnya pengawasan dari masyarakat dan
pendamping (Kompas, 3 Juli 2015).
Dari berbagai kajian mengenai risiko
pengelolaan dana desa di atas, ada beberapa
hal yang patut dicatat. PP No. 47 Tahun 2015
telah mengatur ulang mengenai pembagian
penghasilan tetap bagi perangkat desa dari
ADD. Ketentuan tersebut dalam PP No. 43
Tahun 2014 menurut KPK kurang adil, di
mana disebutkan dalam Pasal 81 ayat (2)
bahwa penghasilan tetap kepala desa dan
perangkat desa bagi desa yang ADD-nya
kurang dari Rp 500 juta maksimal 60 persen,
kalau Rp 500-700 juta maksimal 50 persen,
kalau Rp 700-900 juta maksimal 40 persen,
dan kalau di atas Rp 900 juta maksimal 30
persen. Ini kemudian direvisi dalam Pasal 81
ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015 menjadi: ADD
sampai dengan Rp 500 juta maksimal 60
persen, ADD Rp 500-700 juta maksimal 50
persen dengan nominal minimal Rp 300 juta,
ADD Rp 700-900 juta maksimal 40 persen
dengan nominal minimal Rp 350 juta, dan
ADD di atas Rp 900 juta maksimal 30 persen
dengan nominal minimal Rp 360 juta. Keten-
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 25
tuan ini kemudian dikunci lebih lanjut pada
pasal 100 ayat (2) PP No. 47 Tahun 2015, di
mana disebutkan bahwa paling banyak 30
persen dari APBDes digunakan untuk
penghasilan tetap dan tunjangan kepa-la desa
dan perangkat desa, operasional pe-merintah
desa, tunjangan dan operasional BPD, dan
insentif rukun tetangga (RT) dan rukun
warga (RW).
Kemudian, terkait dengan formula pem-
bagian dana desa juga diadakan perubahan
seiring dengan hadirnya PP No. 22 Tahun
2015 menggantikan PP No. 60 Tahun 2014.
KPK menilai bahwa formulasi penentuan
besaran dana desa per kabupaten/kota pada
PP No. 22 Tahun 2015 tidak adil karena lebih
condong didasarkan pada pertimbangan pe-
merataan, dengan alokasi dasar sebesar 90
persen dibagi secara merata kepada setiap
desa (rata-rata Rp 280 juta) dan hanya 10
persen sisanya yang memperhitungkan
variabel jumlah penduduk, angka kemiskin-
an, luas wilayah, dan indeks kesulitan geo-
grafis (IKG). Maka tak heran apabila jumlah
dana yang diterima setiap desa dalam satu
kabupaten tidak jauh berbeda, padahal kon-
disi demografis, geografis, dan sosiologis an-
tara desa satu dengan yang lain bisa jadi
sangat berbeda. Namun, sesungguhnya aloka-
si dasar sebesar 90 persen yang dibagi secara
merata tersebut sesungguhnya hanya berla-
ku untuk tahun 2015 saja (lihat Pasal 29 PP
No. 22 tahun 2015). Menurut keterangan Eko
Prasetyanto, hal tersebut dilakukan demi
pertimbangan kepraktisan karena dikejar
waktu. Kemendagri bersama dengan Kemen-
terian Keuangan (Kemenkeu) dan kementeri-
an terkait tidak sanggup untuk menghitung
dana desa untuk lebih dari 74 ribu desa
sesuai formula yang ditetapkan PP No. 60
Tahun 2014 sebelum pencairan tahap
pertama dilakukan. Data yang paling susah
adalah data yang menyangkut IKG.
KOMPETENSI KEPALA DESA SEBAGAI
PENJAMIN PENGELOLAAN KEUANGAN
DESA YANG BAIK.
Kepala desa memegang peranan penting
dalam pengelolaan keuangan desa karena dia
merupakan pemegang kekuasaan pengelola-
an keuangan desa (Pasal 3 ayat (1) Permen-
dagri No. 113 Tahun 2014). Dengan posisinya
tersebut, dia memiliki kewenangan yang luas,
antara lain: menetapkan kebijakan tentang
pelaksanaan APBDes; menetapkan Pelaksana
Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD)
yang terdiri atas sekretaris desa, kepala
seksi, dan bendahara; menetapkan petugas
yang melakukan pemungutan penerimaan
desa; menyetujui pengeluaran atas kegiatan
yang ditetapkan dalam APBDes; dan
melakukan tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran atas beban APBDes (Pasal 3 ayat
(2) Permendagri No. 113 Tahun 2014).
Jelaslah di sini bahwa kepala desa
menjadi tumpuan utama untuk memastikan
apakah pengelolaan keuangan desa sudah
dijalankan sesuai dengan asas-asas dan
prinsip-prinsip yang ditentukan. Apakah ke-
pala desa sanggup menanggung tanggungja-
wabnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut
bisa saja beragam mengingat kualitas kepala
desa berbeda di desa satu dengan yang lain.
Dalam diskusi terbatas yang diadakan Pusat
Inovasi Tata Pemerintahan LAN pada tanggal
26 Juni 2015, salah satu narasumber yaitu
Kepala Bidang Pembangunan Desa BPMPPD
Kabupaten Tangerang Tifna Purnama mem-
berikan kesaksian bahwa banyak kepala desa
di Kabupaten Tangerang yang kualitasnya di
bawah standar. Ada kepala desa yang korup
(menggunakan ADD untuk menutup hutang
kampanye pemilihan kepala desa), berkonflik
terus dengan BPD sehingga telat atau gagal
menghasilkan APBDes dan perdes lainnya,
tidak paham perencanaan, bahkan ada yang
buta huruf.
Salah satu hal yang ditengarai menjadi
muara dari banyaknya kepala daerah yang
tidak kompeten adalah ketentuan yang ter-
maktub dalam Permendagri No. 112 Tahun
2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Peratu-
ran tersebut tidak memberikan persyaratan
kompetensi bagi calon kepala desa menyang-
kut hal-hal substantif seperti memahami
(setidaknya secara teoretis) manajemen
kepemimpinan desa, manajemen pengelolaan
keuangan, perencanaan pembangunan desa,
dan sebagainya. Pasal 21 hanya memuat per-
syaratan yang sifatnya normatif dan adminis-
ARTIKEL
26 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
tratif seperti bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, memegang teguh dan mengamal-
kan Pancasila, berpendidikan paling rendah
tamat sekolah menengah pertama (SMP) atau
sederajat, berusia paling rendah 25 tahun
pada saat mendaftar, terdaftar sebagai pen-
duduk dan bertempat tinggal di desa setem-
pat paling kurang satu tahun sebelum pen-
daftaran, tidak sedang menjalani hukuman
pidana penjara, berbadan sehat, tidak pernah
sebagai kepala desa selama tiga kali masa
jabatan, dan sebagainya.
Dengan persyaratan seperti di atas, tentu
tidak ada jaminan bahwa calon-calon kepala
desa yang lulus seleksi merupakan orang-
orang dengan kualitas dan kapasitas mumpu-
ni.6
Seharusnya, kepala desa dituntut dan di-
persyaratkan untuk memiliki kompetensi
dalam hal teknis dan manajerial terkait pe-
nyelenggaraan pemerintahan desa agar dana
desa dapat dioptimalkan sebaik mungkin
untuk peningkatan kesejahteraan masyara-
kat dengan tanpa mengorbankan kualitas pe-
ngelolaannya. Seiring dengan titik berat pem-
bangunan yang semakin bertumpu kepada
desa, seharusnyalah persyaratan untuk pen-
calonan kepala desa juga ditingkatkan kuali-
fikasinya.
Penjaringan calon kepala desa yang ber-
kualitas sedikit banyak akan ditentukan oleh
masyarakat desa itu sendiri. Setiap masyara-
kat mendapatkan pemimpin yang pantas dia
dapatkan. Jika dinamika dan tatanan masya-
rakat desa berkembang secara organis dan
demokratis, maka akan muncul pemimpin-
6 Terkait dengan syarat pencalonan kepala desa yang cukup berpendidikan SMP diakui menjadi masalah di Kabupaten Bekasi. Salah satu narasumber dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen kepala desa di Bekasi merupakan lulusan SMP, dan keterbatasan pendidikan tersebut membuat mereka tidak dapat memahami manajemen penyelenggaraan pemerintahan desa dengan baik. Pihaknya pernah ingin membuat peraturan daerah yang mensyaratkan pendidikan minimal kepala desa adalah SMA, namun hal itu terbentur oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi, yakni Permendagri No. 112 tahun 2014.
pemimpin alamiah yang bijak sekaligus kom-
peten. Sebaliknya, jika masyarakat tersebut
telah diinfiltrasi oleh nilai-nilai yang merusak
modal sosialnya seperti individualisme, kese-
rakahan, pemaksaan, dan kekerasan, maka
akan sulit untuk mengharapkan lahirnya ca-
lon-calon pemimpin asli yang berkualitas.
PENDAMPING DESA SEBAGAI AGEN
PEMBERDAYA
Pendampingan desa merupakan aspek la-
in yang berperan krusial dalam menentukan
terjaminnya pengelolaan keuangan desa se-
cara transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Pasal 128 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2014
menyebutkan bahwa pendampingan masya-
rakat desa dilaksanakan oleh satuan kerja pe-
rangkat daerah (SKPD) kabupaten/kota dan
dapat dibantu oleh tenaga pendamping pro-
fesional, kader pemberdayaan masyarakat
desa, dan/atau pihak ketiga. Sementara itu,
ayat 3 pasal yang sama menyebutkan bahwa
camat atau sebutan lain melakukan koor-
dinasi pendampingan masyarakat desa di
wilayahnya. Ini artinya, pendampingan dapat
dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari
pemerintah, masyarakat, dan bahkan swasta.
Pendampingan oleh jajaran pemerintah diko-
ordinasikan oleh Kemendagri dan pendam-
pingan oleh masyarakat dikoordinasikan Ke-
mendes PDTT.
Menarik untuk disoroti di sini adalah
tugas pendampingan yang dilaksanakan oleh
masyarakat. Pendamping desa merupakan
aktor di tingkat masyarakat yang berperan
penting dalam mengawal pengelolaan keu-
angan desa. Mereka melakukan fasilitasi un-
tuk pemerintah dan masyarakat desa agar
kegiatan pemerintahan, pembangunan, pem-
berdayaan, dan kemasyarakatan dapat ber-
jalan dengan efektif demi percepatan pening-
katan kesejahteraan masyarakat desa. Per-
mendes PDTT No. 3 Tahun 2015 tentang Pen-
dampingan Desa telah mengatur dengan rinci
mengenai pendamping desa ini, di antaranya
tujuan pendampingan desa, ruang lingkup
pendampingan desa, tugas pendamping desa,
manajemen pendampingan desa, dan penda-
naannya. Di dalamnya disebutkan bahwa tu-
juan pendampingan desa meliputi: a) me-
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 27
ningkatkan kapasitas, efektivitas dan akunta-
bilitas pemerintahan desa dan pembangunan
Desa; b) meningkatkan prakarsa, kesadaran
dan partisipasi masyarakat Desa dalam
pembangunan desa yang partisipatif; c)
meningkatkan sinergi program pembangun-
an Desa antarsektor; dan d) mengoptimalkan
aset lokal Desa secara emansipatoris (Pasal 2
Permendes PDTT No. 3 Tahun 2015). Ada
pun pendamping desa terdiri atas tenaga
pendamping profesional (yang terdiri atas
pendamping desa yang berkedudukan di
kecamatan, pendamping teknis yang berke-
dudukan di kabupaten, dan tenaga ahli pem-
berdayaan masyarakat yang berkedudukan
di pusat dan provinsi), kader pemberdayaan
masyarakat desa yang berkedudukan di desa
dan diperoleh melalui mekanisme musya-
warah desa, dan pihak ketiga (terdiri dari
LSM, perguruan tinggi, organisasi masyara-
kat, dan perusahaan).
Pendamping desa profesional memiliki
tugas dalam ruang lingkup yang luas, di mana
fasilitasi dan bimbingan pengelolaan keuang-
an hanya salah satu di antaranya, meskipun
hal itu tak disebutkan secara ekplisit di
dalam Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.7
Rekrutmen pendamping profesional dilaku-
kan secara terbuka. Mengingat tugas dan
tanggungjawabnya yang luas, maka wajar
bila ditetapkan bahwa mereka harus memili-
ki kualifikasi yang tinggi. Untuk pendamping
desa misalnya, disebutkan bahwa mereka
harus memiliki kompetensi yang sekurang-
kurangnya memenuhi unsur kualifikasi anta-
ra lain: memiliki pengetahuan dan kemampu-
an dalam pemberdayaan masyarakat; memi-
liki pengalaman dalam pengorganisasian ma-
syarakat desa; mampu melakukan pendam-
pingan usaha ekonomi masyarakat desa;
mampu melakukan teknik fasilitasi kelom-
pok-kelompok masyarakat desa dalam mu-
syawarah des; dan/atau memiliki kepekaan
terhadap kebiasaan, adat-istiadat, dan nilai-
nilai budaya masyarakat desa (Pasal 24
Permendes PDTT No. 3 tahun 2015). Khusus
untuk tenaga pendamping profesional, mere-
7 Tugas pendamping desa profesional secara rinci dapat dilihat dalam Bab II (Pasal 11-17) Permendes PDTT No. 3 tahun 2015.
ka bahkan harus memiliki sertifikasi kompe-
tensi yang diterbitkan oleh lembaga sertifi-
kasi profesi (Pasal 27 ayat (1)). Sebelum
terjun ke lapangan, tenaga pendamping
profesional juga diberikan pembekalan pe-
ningkatan kapasitas dalam bentuk pelatihan
(Pasal 28 ayat (1)). Dalam catatan Kemendes
PDTT, dibutuhkan lebih dari 44.030 pendam-
ping desa di tingkat kabupaten, kecamatan,
dan desa. Dari jumlah tersebut, 12.442 orang
merupakan eks fasilitator PNPM dan 31.558
sisanya merupakan tenaga baru lulusan sar-
jana dan pendamping lokal desa yang dire-
krut dari kalangan masyarakat desa sendiri.8
Meskipun telah diatur dalam suatu
instrumen kebijakan yang cukup ideal secara
normatif, namun bukan berarti isu pendam-
ping desa bebas dari masalah dan risiko. Sya-
rat kualifikasi yang tinggi bisa jadi terpaksa
dikompromikan mengingat kebutuhan akan
pendamping desa dalam jumlah yang banyak
perlu segera dilakukan, padahal jumlah calon
pendamping yang benar-benar kompeten
dan berpengalaman terbatas. Salah satu poin
dalam kajian KPK mengenai risiko pengelola-
an dana desa juga menyoroti mengenai pelu-
ang korupsi yang dilakukan oleh pendamping
desa. Dengan otoritas pengetahuan dan pe-
ngalamannya, mereka dapat memanipulasi
aparatur desa sehingga penggunaan dana
desa disetir sedemikian rupa untuk kepenti-
ngan pribadinya. Ada juga kekhawatiran bah-
wa pendamping desa menjadi lahan profesi
yang dijatahkan untuk kader partai politik
atau sukarelawan pendukung calon presiden
pemenang pemilu, dengan demikian mengor-
bankan tuntutan profesionalitas.
Keterpakuan berlebihan akan dimensi
profesionalitas pendamping desa juga harus
dijaga agar jangan sampai membawa kerja
pendampingan sebagai usaha yang melulu
bernapaskan teknokratis. Pengalaman dalam
program PNPM Mandiri Perdesaan dapat di-
petik sebagai pelajaran. Di luar cerita dan ci-
tra keberhasilan yang sering digembar-gem-
borkan pemerintah, sesungguhnya banyak
8 Informasi disampaikan Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT dalam diskusi terbatas, 9 Juli 2015.
ARTIKEL
28 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
hal defektif yang berada di baliknya. Persen-
tase dana yang macet atau tidak bergulir
memang rendah, namun pembelajaran akan
pengembangan demokrasi dan pemberdaya-
an mandiri masyarakat desa rendah. Fasilita-
tor lebih banyak perperan sebagai perancang
yang mendikte alih-alih transformator. Dana
secara seragam lebih banyak dihabiskan un-
tuk pembangunan infrastruktur dengan sedi-
kit alokasi untuk kegiatan-kegiatan pember-
dayaan dan peningkatan produktivitas mas-
yarakat. Terjadi “eksploitasi warga lewat tira-
ni partisipasi” (Agusta, 2008) dengan me-
maksa warga membangun proyek secara
gotong-royong, padahal di sisi lain orang kota
mendapatkan fasilitas serupa secara gratis.
Dana yang berasal dari hutang lembaga do-
nor lebih banyak mengalir ke pendamping in-
ternasional, nasional, kabupaten, hingga ke-
camatan sehingga tak heran bahwa menurut
BPS, hanya 14 persen desa yang melaporkan
rumah tangga miskin mendapatkan manfaat
PNPM (Agusta, 2015b: 7). Lebih jauh, Carroll
(2010) secara kritis menilai bahwa program
PNPM mengintrodusir nilai-nilai good
governance (partisipasi, akuntabilitas) dan
kompetisi yang kompatibel dengan
neoliberalisme.
Dengan berpijak pada pengalaman terse-
but, ada yang khawatir bahwa pendampingan
desa akan terjebak pada logika yang sama,
yakni berorientasi teknokratis-birokratis.
Meminjam istilah James Ferguson (1990),
pendamping desa berpotensi menjadi “mesin
antipolitik” yang melakukan depolitisasi war-
ga, di mana hak warga desa akan edukasi po-
litik dan penguatan representasi politik di-
blok oleh rasionalitas instrumental (Eko,
2015: 7). Ini patut menjadi peringatan yang
diantisipasi dengan serius, mengingat sebagi-
an besar eks fasilitator PNPM Mandiri sejum-
lah 13 ribu orang yang kontraknya berakhir
pada 31 Desember 2014 inilah yang menjadi
pendamping desa dalam era UU Desa.9 Cara-
9 Bito Wikantosa dari Kemendes PDTT menginformasikan bahwa eks fasilitator PNPM Mandiri telah dimobilisasi sebagai pendamping desa pada awal Juli 2015. Jumlahnya yang berada di kecamatan 10.604 orang dan di tingkat kabupaten 1.834 orang.
cara dan paradigma lama mereka dalam me-
lakukan pendampingan dan fasilitasi harus
diubah. UU Desa mentransformasi dimensi
keproyekan ala PNPM menjadi lebih
tersistematisir dalam kerangka pembangun-
an desa yang holistik. Oleh karenanya, pen-
damping tidak boleh menyisihkan pemerin-
tah desa sebagaimana terjadi dalam PNPM,
melainkan mendudukkannya sebagai aktor
pembangunan bersama dengan warga
(Agusta, 2015b: 7).
PENUTUP
Dana desa menjadi tema yang paling
euforis sejak UU Desa disahkan. Wajar saja,
melalui dana desa, desa akan mendapatkan
dana dalam jumlah yang besar tanpa prese-
den. Berbagai kekhawatiran pun mencuat di
kalangan publik pada umumnya dan pemer-
hati desa pada khusunya. Sosiolog Viviana
Zelizer berpendapat bahwa uang dapat di-
maknai secara jamak dan cair. Cara dalam
mana masing-masing pihak memberikan
makna tertentu kepada uang disebutnya se-
bagai pencirian (earmarking) (Zelizer, 1994).
Pemerintah pusat yang mengalokasikan dana
desa dalam jumlah tertentu kepada desa
memandang uang tersebut sebagai instru-
men untuk membuat desa lebih sejahtera dan
otonom, anggota DPR memandang persetu-
juannya atas dana desa dalam APBN sebagai
modal politik yang dapat dipromosikan kepa-
da konstituen di desa bahwa dirinya adalah
pihak yang berjasa, demikian pula macam-
macam aktor yang berkecimpung di desa
akan memandang dana desa dalam pers-
pektifnya masing-masing, entah apakah itu
sebagai amanah, bonus cuma-cuma, peluang
mencari untung, dan sebagainya.
Uang dalam jumlah yang besar adalah
gula-gula, dan berbagai pihak dengan berba-
gai kepentingan pun bisa diprediksi akan
tertarik untuk masuk ke desa mendesakkan
kepentingannya. Uang yang banyak dikhawa-
tirkan dapat merusak pranata sosial dan bu-
daya yang berlaku di desa, menggerus modal
sosial melalui infiltrasi praktik-praktik kotor.
Beberapa desa di Jawa Timur misalnya, sebe-
lum menerima dana desa sudah melakukan
pengadaan laptop yang dananya ditalangi pe-
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 29
ngusaha setempat. Sementara di Sulawesi Se-
latan ada pengusaha menyumbang dana
kampanye pada pemilihan kepala desa agar
mendapat proyek pengadaan dari dana desa
(Kompas, 3 Juli 2015) dan di Bekasi ada desa
yang menerima sumbangan dua mobil ambu-
lans dari perusahaan sebelum dana desa
turun.10 Fenomena kolusi dan praktik perbu-
ruan rente (rent-seeking) yang selama ini
marak di pemerintah daerah pasca-desentra-
lisasi bisa jadi akan mengalir turun ke desa.
Pemilihan kepala desa juga diperkirakan
akan semakin sengit dan diintervensi oleh
politik uang dan manipulasi, antara lain kare-
na tergiur oleh dana desa yang besar. Jika ke-
pala desa yang terpilih memiliki kaitan
dengan partai politik, maka dana desa bisa
dikorupsi tidak saja untuk menutupi biaya
kampanye dan kepentingan pribadi namun
juga untuk “sumbangan” ke partainya.
Sebagai rekomendasi untuk mencegah
pengelolaan dana desa dapat dilakukan
dengan baik dan berintegritas, maka diperlu-
kan pencermatan atas poin-poin berikut. Per-
tama, berbagai peraturan yang mengatur ten-
tang dana desa mulai dari tingkat UU, PP,
Permen, Perda dan Perbup/Perwal harus
dicek keselarasan dan koherensinya. Jangan
sampai ada peraturan yang tumpang tindih
dan bertentangan dan jangan sampai ada pe-
raturan yang substansinya bukan menjadi
urusan dari pihak yang mengeluarkan pera-
turan. Dengan demikian, tidak akan ada ceri-
ta pelanggaran pengelolaan dana desa akibat
peraturan yang bertentangan atau tidak jelas.
Lebih jauh, peraturan tersebut juga hendak-
nya dievaluasi agar jangan terlalu restriktif
dan kaku (dengan tanpa mengorbankan
prinsip-prinsip tata kelola yang baik) karena
itu hanya akan memperluas birokratisasi dan
ujung-ujungnya ruang gerak desa menjadi
terbatas. Kemungkinan untuk perubahan
atau revisi juga harus dibuka setiap saat se-
bagai respons atas feedback dan dinamika
yang terjadi di lapangan, atau manakala pera-
turan yang ada di dalamnya tidak sesuai
dengan aspirasi otentik masyarakat desa. Ke-
sediaan pemerintah untuk merevisi PP No.
10 Informasi disampaikan Beni Yusnandar (BPMPD Kab. Bekasi) dalam diskusi terbatas 9 Juli 2015.
43 Tahun 2014 dan PP No. 60 Tahun 2014
merupakan contoh yang baik bahwa peme-
rintah mau mendengar aspirasi tersebut.11
Kedua, sistem pengawasan dan monev
yang tegas dan cermat perlu diterapkan. Saat
ini, pengelolaan dana desa dikawal dan dia-
wasi secara berlapis oleh banyak pihak, mulai
dari pemerintah pusat (melalui BPK dan
BPKP), pemerintah daerah (melalui Inspekto-
rat Daerah, BPKD), dan KPK. BPD hendaknya
juga melakukan penguatan dalam fungsi pe-
ngawasan internal, termasuk dalam hal pe-
ngelolaan keuangan desa. Semua pihak terse-
but harus memiliki kesamaan persepsi me-
ngenai apa yang dimaksud dengan penge-
lolaan keuangan desa yang baik dan benar. Di
luar lembaga-lembaga pemerintah tersebut,
masyarakat desa sendiri juga harus dibekali
dengan kesadaran kritis mengenai penting-
nya dana desa dikelola dengan transparan
dan akuntabel. Untuk itu, pendamping desa
dan organisasi masyarakat sipil harus aktif
memberikan pelatihan mengenai cara dan
strategi melakukan pengawasan. Penciptaan
model-model pengawasan yang efektif harus
diujicoba dengan seksama.
Ketiga, penguatan kapasitas dan kesada-
ran bagi aparatur desa mutlak diperlukan.
Kepala desa dan jajarannya perlu diberikan
pemahaman dan pelatihan mengenai hal ih-
wal pengelolaan keuangan desa, mulai dari
awal (perencanaan dan penganggaran) sam-
pai akhir (laporan pertanggungjawaban). Pe-
ran pendamping desa yang memfasilitasi
desa berperan krusial di sini. Mereka harus
mampu untuk melakukan transfer pengeta-
huan dan pembimbingan intensif. Selain itu,
pendamping pada aras pemerintahan supra-
11 Misalnya, Pasal 100 PP No. 47 Tahun 2015 menyebutkan bahwa perhitungan belanja desa yang ditetapkan dalam APBDes di luar pendapatan yang bersumber dari hasil pengelolaan tanah bengkok (atau sebutan lain). Hasil pengelolaan tanah bengkok dapat digunakan untuk tambahan tunjangan kepala desa dan perangkat desa selain penghasilan tetap dan tunjangan dari maksimal 30 persen APBDes. Ketentuan ini telah memenuhi aspirasi kepala desa yang khawatir bila pendapatan hasil pengelolaan tanah bengkok dimasukkan dalam perhitungan belanja desa maka pendapatannya akan berkurang.
ARTIKEL
30 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
desa juga harus mampu untuk melakukan
kerja peningkatan kapasitas dan pelatihan.
Untuk ini, salah satu hal yang dapat direko-
mendasikan adalah memperlengkapi keca-
matan dengan keberadaan tenaga fungsional
yang paham dalam aspek-aspek teknis dan
sektoral tata kelola desa (keuangan, teknik,
pengembangan usaha, pertanian, dan seba-
gainya), jadi tidak hanya diisi oleh staf admi-
nistrasi, agar pemerintah desa dapat berkon-
sultasi kepada kecamatan. Dalam perencana-
an pembangunan dan penganggaran yang ha-
sil akhirnya tertuang dalam RPJMDes, RKP-
Des, dan APBDes, aparat desa tidak cukup
hanya paham mengenai teknis mekanisme
pelaksanaannya, melainkan juga mampu un-
tuk melakukannya secara berkeadilan dan
demokratis, yakni disusun dengan benar-be-
nar memperhatikan kebutuhan aktual ma-
syarakat dan melibatkan partisipasi otentik
(bukan partisipasi semu dan mobilisasi) dari
masyarakat desa seluas-luasnya. Dengan de-
mikian, pembelanjaan desa dapat diaranse-
men agar mampu meningkatkan kesejahtera-
an, kemandirian, dan keberdayaan masyara-
kat desa. Untuk mencapai ini, peningkatan
kapasitas hanya akan melahirkan keahlian
teknis yang mekanis jika tidak diiringi
dengan perubahan kesadaran. Diperlukan
peningkatan kesadaran agar kepala desa dan
aparat benar-benar memahami bahwa dana
desa adalah amanah besar yang harus diper-
tanggungjawabkan secara akuntabel, bukan-
nya hadiah yang dapat digunakan secara be-
bas oleh elite desa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, dan Artikel Agusta, Ivanovich, 2008, “Kritik Paradigma
PNPM Mandiri (Critique on Paradigm of PNPM Mandiri)”, dalam http://iagusta.blogspot.com/2008/11/kritik-paradigma-pnpm-mandiri-critique.html, diakses 10 Juli 2015.
_______________, 2015a, “Memandirikan Keuangan Desa”, Kompas, 4 April, hal. 7.
_______________, 2015b, “Membalik Pendamping Desa”, Kompas, 4 Mei, hal. 7.
Carroll, Toby, 2010, “Pembangunan Sosial sebagai “Kuda Troya” Neoliberal”, Prisma, Vol. 29, No. 3, hal. 84-101.
Eko, Sutoro, 2015, “Pendampingan Desa”, Kompas, 2 Juli 2015, hal. 7.
Hasani, Ismail, 2015, “Mantra Membangun Desa”, Kompas, 22 April, hal. 7.
Huseini, Martani, 2015, “”Saemaul Undong”, Semua Berawal dari Desa”, Koran Sindo, 25 Juni 2015, hal. 7.
Jaweng, Robert Endi, 2015, “Setahun UU Desa”, Kompas, 14 Februari, hal. 6.
Muhammad, Farouk, 2015, “Menjaga Momentum UU Desa”, Kompas, 3 Juli, hal. 6.
Padjung, Rusnadi, 2015, “Khawatir Dana Desa Dikorupsi”, Kompas, 6 Juli, hal. 7.
Pusat Inovasi Tata Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara, 2015, “Policy Paper Pengelolaan Keuangan Desa Pasca-UU No. 6 Tahun 2014”, Jakarta: Pusat Inovasi Tata Pemerintahan LAN.
Sjaf, Sofyan, 2015, “Menjawab Kekhawatiran Dana Desa”, Kompas, 25 Juni, hal. 7.
Sukasmanto, 2014, “Potensi Penyalahgunaan Dana Desa dan Rekomendasi”. Disampaikan dalam 4th Indonesia Anti-Corruption Forum, Jakarta, 10-12 Juni 2014.
Zelizer, Viviana A., 1994, The Social Meaning of Money, Princeton: Princeton University Press.
Undang-undang dan Peraturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia
Pengelolaan Keuangan Desa Pasca UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Potensi Permasalahan dan Solusi
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 31
Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 241/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 250/PMK.07/2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Bela-nja Negara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksa-naan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2014 tentang
Penataan Tugas dan Fungsi Kabi-net Kerja.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmi-grasi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Berita “Dana Besar Akan Banjiri Desa”, Kompas, 27
Februari 2015, hal. 5. “Pendulum Anggaran Mulai ke Daerah”,
Kompas, 15 Agustus 2015, hal. 1. “Persyaratan Hambat Pencairan”, Kompas, 2
Juli 2015, hal. 5. “Tantangan di Balik Janji Manis”, Kompas, 3
Juli 2015, hal. 5. Laman Website http://www.koran-
sindo.com/read/964587/149/salah-kelola-dana-desa-bisa-jadi-sumber-konflik-1423968895, diakses 9 Juli 2015.
http://www.koran-sindo.com/read/964858/149/dana-desa-picu-tingginya-pemekaran-1424055604, diakses 9 Juli 2015.
http://www.koran-sindo.com/read/1005329/149/penyerapan-dana-desa-baru-rp3-8-t-riliun-1432609180, diakses 10 Juli 2015.
http://www.koran-sindo.com/read/1012635/149/bpk-akan-audit-anggaran-desa-1434331148, diakses 10 Juli 2015.
http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf, diakses 6 Juli 2015.
http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2731-kpk-temukan-14-potensi-persoalan-pengelolaan-dana-desa, diakses 7 Juli 2015.
http://www.sapa.or.id/b1/132-pmk/6838-penanggulangan-kemiskinan-iai-dana-desa, diakses 9 Juli 2015.
ARTIKEL
32 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Governor as a Representative of the Central Government in Local Government
System in the Republic of Indonesia
Edy Sutrisno
Peneliti Muda pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak:
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki kedudukan sangat penting dalam sistem peme-
rintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedudukan strategis tersebut mengalami
banyak tantangan dan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengapa kedudu-
kan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak efektif dan untuk merumuskan konstruksi kedu-
dukan, peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam sistem pemerintahan
daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia ke depan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berjalan
tidak efektif yang disebabkan oleh 6 (enam) determinant factor, yaitu lemahnya dukungan instrumen
kebijakan, ketiadaan institusi kelembagaan, ketiadaan personil aparatur, ketidakjelasan anggaran,
kepemimpinan, dan political will pemerintah. Hasil penelitian merumuskan dua desain sistem peme-
rintahan daerah. Pertama, provinsi wilayah administrasi dan daerah otonom – kabupaten/kota dae-
rah otonom. Kedua, provinsi daerah wilayah administrasi dan daerah otonom – kabupaten/kota wi-
layah administrasi dan daerah otonom. Kedua desain tersebut meletakkan dekonsentrasi dan desen-
tralisasi pada provinsi dan mendudukkan gubernur baik sebagai wakil pemerintah pusat mapun
selaku kepala daerah. Hasil penelitian juga menunjukkan perlunya institusi kelembagaan gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat yang dalam penelitian ini dirumuskan sebagai intermediate govern-
ment dalam bentuk direktorat dekonsentrasi.
Kata kunci: Gubernur, Wakil Pemerintah Pusat, Dekonsentrasi, Desentralisasi, Prefectoral
System, Intermediate Government, Direktorat Dekonsentrasi
Abstract:
Governor as the Central Government representative has a very important position on the local
government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia. The strategic position have
faced lots of challenges and problems. This study aims to analyze why the position of the governor as
the central government representative is ineffective and to formulate the construction of the
governor’s position, role and function as the Central Government representative on the local
government system in the Unitary State of the Republic of Indonesia for the future.
The results show that the governor’s position as the central government representative is ineffective.
The ineffectiveness determinant factors are the lack of support in policy instruments, institutions,
personnel officers, budget uncertainty, leadership, and political will of the governments. This study
formulates two designs for the local administration system. First, the provinces are both an
administrative area and an autonomous region, then the regencies/municipalities are an
autonomous region. Second, both the provinces and regencies/municipalities are an administrative
area and an autonomous region. Both designs set deconcentration and decentralization at the
province as well as governor as the Central Government representative and as the head area. This
study indicate the need of governor’s institution as the central government representative which in
this study is formulated as an intermediate government in the deconcentration directorate format.
Keywords: Governor, Central Government Representative, Deconcentration, Decentralization,
Prefectoral System, Intermediate Government, Directorate Deconcentration
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 33
LATAR BELAKANG
Sejarah sistem pemerintahan daerah di
Indonesia menunjukkan kecenderungan ber-
impitnya daerah otonom dan daerah admi-
nistrasi melalui implementasi asas desentra-
lisasi dan dekonsentrasi. Bhenyamin
Hoessein (2009) mengemukakan, penyeleng-
garaan desentralisasi mewujudkan local self
government dengan terbentuknya daerah
otonom, sedangkan dekonsentrasi mencipta-
kan field administration (instansi vertikal)
dan/atau local state government.1 Penyeleng-
garaan dekonsentrasi memperoleh pijakan
yang kuat ketika UU No. 5 Tahun 1974 ten-
tang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
dilaksanakan. Desain dekonsentrasi dalam
undang-undang tersebut mengadaptasi pola
Integrated Field Administration yang dijalan-
kan secara paralel dengan desentralisasi.
Model tersebut mengharuskan terwujudnya
keseragaman batas-batas wilayah kerja (yu-
risdiksi) dari berbagai instansi vertikal me-
nurut wilayah administrasi di bawah wakil
pemerintah.2
Di samping dekonsentrasi, UU No. 5 Ta-
hun 1974 juga mengamanatkan pelaksanaan
desentralisasi. Maka dianutnya Integrated
Field Administration menuntut berimpitnya
wilayah daerah otonom dengan wilayah ad-
ministrasi (fused model) serta perangkapan
jabatan kepala daerah sekaligus sebagai wa-
kil pemerintah (dual role).3 Pada masa berla-
kunya UU No. 5 Tahun 1974, provinsi, kabu-
paten/kota menempati posisi sebagai daerah
otonom dan wilayah administrasi sedangkan
gubernur, bupati, dan walikota merangkap
jabatan sebagai kepala daerah dan selaku wa-
kil pemerintah. Menurut Hoessein, sesuai
dengan pendapat Fried (1967), sistem peme-
rintahan daerah dengan karakteristik seperti
tersebut adalah model Integrated Prefectoral
System.4
1Bhenyamin Hoessein, Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Konteks Pemerintahan Umum, “Pemerintahan Daerah Di Indonesia”(Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, 2009). 2Ibid. 3Ibid. 4Ibid.
Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun
1974, gubernur baik sebagai wakil pemerin-
tah pusat maupun selaku kepala daerah me-
miliki peran dan fungsi yang efektif sebagai
figur sentral dalam penyelenggaraan peme-
rintahan daerah dimana dekonsentrasi dan
desentralisasi dilaksanakan secara paralel.
Peran dan fungsi tersebut diantaranya adalah
membina ketenteraman dan ketertiban, me-
laksanakan pembinaan ideologi, politik
dalam negeri serta pembinaan kesatuan
bangsa, menyelenggarakan koordinasi kegia-
tan instansi vertikal dan dinas daerah, serta
membimbing dan mengawasi penyelengga-
raan pemerintahan Daerah. Tetapi saat ini,
lebih dari satu dasawarsa pasca dihentikan-
nya UU No. 5 Tahun 1974 dan diberlakukan-
nya UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Ta-
hun 2004 kedudukan gubernur baik sebagai
wakil pemerintah maupun selaku kepala
daerah mengundang kontroversi terkait
dengan tidak efektifnya peran ganda yang
dimiliki gubernur.
Kedudukan gubernur sebagai wakil peme-
rintah dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak
jauh berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999
yang digantikannya. Dihapuskannya kantor
wilayah kementerian/lembaga serta pemba-
tasan kedudukan bupati/walikota dibatasi
hanya sebagai kepala daerah dan tidak lagi
menjabat sebagai wakil pemerintah mem-
bawa implikasi bagi pemerintah pusat. Kons-
truksi demikian mengharuskan pemerintah
pusat mengoptimalkan peran gubernur agar
pemerintah pusat dapat menjalankan fungsi
pemerintahannya secara efektif. Tetapi revisi
UU No. 22 Tahun 1999 tidak memberikan ha-
rapan cerah bagi perbaikan pengaturan ke-
dudukan gubernur sebagai wakil pemerin-
tah. Upaya pemerintah untuk memperkuat
kedudukan, tugas dan wewenang gubernur
sebagai wakil pemerintah melalui UU No. 32
Tahun 2004 Pasal 37 dan Pasal 38 tidak
menghasilkan formulasi yang jelas.
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
sudah seharusnya diletakkan dalam konteks
dekonsentrasi. Analisis yang dilakukan oleh
Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum, dan
Teguh Kurniawan (2006) menunjukkan kele-
mahan-kelemahan dekonsentrasi dalam un-
ARTIKEL
34 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
dang-undang tersebut sebagai berikut:
pertama, UU No. 32 Tahun 2004 tidak memu-
at satu pasalpun yang menyebutkan adanya
wilayah administrasi untuk kepentingan de-
konsentrasi. Kedua, provinsi sebagai wilayah
yurisdiksi operasi gubernur selaku wakil pe-
merintah tidak didefinisikan sebagai wilayah
administrasi. Ketiga, ketidaktepatan penggu-
naan frasa “di wilayah tertentu” dalam defini-
si dekonsentrasi yang dapat mengakibatkan
munculnya perbedaan batas yurisdiksi anta-
ra peta administrasi lapangan dengan peta
yurisdiksi daerah otonom tertentu baik
provinsi maupun kabupaten/kota bagi ope-
rasi instansi vertikal.5 Keempat, ketidakjela-
san tugas dan wewenang gubernur sebagai
wakil pemerintah terhadap instansi vertikal,
ini terkait dengan ketidaksinkronan antara
Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1).6 Legal
problem tersebut jelas mempengaruhi efekti-
fitas pelaksanaan dekonsentrasi sebagai bagi-
an dari amanat UU No. 32 Tahun 2004.
Konstruksi UU No. 32 Tahun 2004
menempatkan provinsi secara fused model.
Selain itu terdapat pula karakteristik Integra-
ted Field Administration dan Integrated Pre-
fectoral System yang dijalankan. Dengan de-
mikian maka instansi vertikal yang berope-
rasi di wilayah administrasi provinsi seha-
rusnya berada di bawah koordinasi gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat. Tetapi kons-
truksi dekonsentrasi yang dibangun dalam
undang-undang tersebut secara implisit jus-
tru mereduksi peran dan fungsi gubernur
sebagai wakil pemerintah dalam hubungan-
nya dengan instansi vertikal penyelenggara
dekonsentrasi. Argumentasi untuk menjelas-
kan fakta ini terletak pada substansi Pasal 37
ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) UU No. 32
Tahun 2004 yang menurut Irfan Ridwan
Maksum (2008) bahwa, gubernur sebagai
5 Definisi dekonsentrasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah pelimpahan wewenang pemerintah-an oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 6 Eko Prasojo, et al, Desentralisasi dan Pemerin-tahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural (Depok: Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006).
wakil pemerintah tidak diberi tugas untuk
berhadapan langsung dengan instansi verti-
kal.7 Dalam arti gubernur tidak memiliki
peran dan fungsi apapun terhadap instansi
vertikal, sedangkan merujuk teori wakil
pemerintah yang dinyatakan oleh Hoessein
mengacu Fried (1967) tidak demikian, yang
menyebutkan terdapatnya tanggungjawab
wakil pemerintah sebagai integrator dan ko-
ordinator seluruh instansi vertikal di daerah-
nya.8
KONSTRUKSI PERAN DAN FUNGSI GUBER-
NUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PU-
SAT KE DEPAN
Berdasarkan analisis, terdapat sejumlah
faktor determinan yang menyebabkan me-
ngapa tugas, wewenang dan fungsi gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat tidak berja-
lan seperti yang diharapkan, yaitu:
• Instrumen Kebijakan, pengaturan guber-
nur sebagai wakil pemerintah dalam UU
No. 32 Tahun 2004 sangat miskin sehi-
ngga dapat dikatakan pada tataran im-
plementasi gubernur sebagai wakil pe-
merintah tidak memiliki dasar kebijakan
yang kuat. Dukungan instrumen kebija-
kan sangat lamban, lemah dan tidak
implementatif.
• Kelembagaan, semenjak UU No. 32
Tahun 2004 diterbitkan dan memposisi-
kan gubernur sebagai wakil pemerintah
selain selaku kepala daerah, faktor kele-
mbagaan menjadi persoalan krusial bagi
pelaksanaan peran dan fungsi gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat. Ketidak-
jelasan struktur kelembagaan gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat menye-
babkan gubernur tidak dapat menjalan-
kan peran dan fungsinya secara optimal.
• Personil Aparatur, personil sebagai salah
satu perangkat gubernur keberadaannya
sangat penting dan strategis, idealnya an-
tara personil gubernur sebagai wakil pe-
7 Irfan Ridwan Maksum, Dekonsentrasi dan Instansi Vertikal (Catatan Kritis UU No.32 Tahun 2004), Seluk Beluk Pemerintahan Daerah Mencari Alternatif Memperkuat Negara Bangsa. FISIP UI Press, Depok, 2008. 8Ibid.
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 35
merintah pusat dengan aparatur guber-
nur selaku kepala daerah adalah terpisah
berdasarkan kompetensi serta ruang
lingkup tugas dan fungsi masing-masing.
• Pembiayaan/Anggaran Keuangan, berda-
sarkan analisis data diketahui bahwa
gubernur sebagai wakil pemerintah tidak
memiliki anggaran yang memadai untuk
membiayai dan menunjang pelaksanaan
tugas dan wewenang yang diembannya,
setidaknya hingga PP No. 19 Tahun 2010
belum dikeluarkan.
• Kepemimpinan Gubernur, lima faktor de-
terminan yang dikemukakan di atas me-
rupakan faktor-faktor mutlak untuk me-
ndorong gubernur dapat menjalankan
tugas, wewenang dan fungsinya secara
efektif. Namun demikian berdasarkan
analisis yang dilakukan terhadap data la-
pangan diketahui bahwa faktor kepe-
mimpinan juga menjadi salah satu deter-
minan faktor yang tidak kalah penting
bagi efektifitas kedudukan gubernur se-
bagai wakil pemerintah pusat. Faktor ke-
pemimpinan gubernur dalam konteks ini
meliputi kepemimpinan politik dan kepe-
mimpinan birokrasi.
• Political Will Pemerintah, pemerintah
terkesan tidak serius dan setengah hati
dalam memberikan mandat atas kedudu-
kan ganda gubernur sebagai wakil peme-
rintah pusat dan selaku kepala daerah.
Sinyalemen ini dapat dijelaskan dalam
beberapa argumentasi, seperti lemahnya
dukungan instrumen kebijakan, perang-
kat organisasi, ruang lingkup tugas dan
wewenang serta kedudukan keuangan
yang tidak jelas.
1. Konstruksi Kedudukan Gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Dalam Sistem Pemerintahan Daerah
di Negara Kesatuan Republik Indone-
sia
Berdasarkan analisis dirumuskan pokok-pokok pemikiran konstruksi pemerintahan daerah berkaitan dengan kedudukan provin-si, kabupaten/kota dan kedudukan, tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerin-tah pusat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstruksi tersebut ter-diri dari 2 (dua) desain sebagai berikut:
a. Desain 1, Provinsi: Wilayah Adminis-
trasi dan Daerah Otonom – Kabupa-
ten/Kota: Daerah Otonom
Desain pertama meletakkan provinsi se-bagai wilayah administrasi dan daerah otonom dan memposisikan daerah kabupa-ten/kota hanya sebagai daerah otonom. Pada level provinsi dianut Fused Model, kedudukan daerah otonom provinsi dengan wilayah administrasi berimpit. Provinsi menjalankan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi konsekuensinya gubernur memiliki kedudu-kan ganda, yakni: sebagai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Dalam de-sain ini daerah kabupaten dan kota hanya berkedudukan sebagai daerah otonom dan posisi bupati/walikota adalah murni sebagai kepala daerah.
a.1. Struktur Organisasi Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota
Desain pertama dengan dasar teori Inte-grated Prefectoral System mewujudkan pe-nyatuan wilayah pemerintahan, yakni wila-yah administrasi dengan daerah otonom pa-da level provinsi. Gubernur memiliki dual role, sebagai kepala wilayah administrasi/ wakil pemerintah pusat dan selaku kepala daerah. Tugas dan wewenang desentralisasi di serahkan kepada gubernur, bupati/wali-kota sebagai kepala daerah otonom. Adapun tugas dan wewenang dekonsentrasi dilim-pahkan kepada gubernur sebagai kepala wi-layah administrasi yang berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah pusat.
ARTIKEL
36 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gambar 1 Desain 1, Provinsi Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom – Kabupaten/Kota Daerah
Otonom
a.2. Konstruksi Kelembagaan Guber-
nur sebagai Wakil Pemerintah Pusat/
Deputi Dekonsentrasi
Institusi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seharusnya bersifat operasional, taktis dan memiliki tugas dan fungsi menyelesaikan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Institusi tersebut diisi oleh personil dengan kualitas yang memadai dan
desain anggaran keuangan yang mantap. Apabila tidak demikian, maka peran dan fungsi gubernur selaku wakil pemerintah pu-sat tidak berjalan. Berdasarkan analisis data, penulis merumuskan desain kelembagaan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam bentuk unit kedeputian sebagai beri-kut:
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 37
Gambar 2 Struktur Kelembagaan Deputi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat/ Deputi
Dekonsentrasi
Keterangan :
• Asisten 1 : Asisten Deputi Bidang Perencanaan dan Program
• Asisten 2 : Asisten Deputi Urusan Pemerintahan Umum
• Asisten 3 : Asisten Deputi Bidang Koordinasi, Pembinaan, dan Pengawasan
• Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota
• Asisten 4 : Asisten Deputi Bidang Koordinasi Instansi Vertikal
• Gubernur WPP: Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
1) Konstruksi Kewenangan Gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Dalam konteks kedudukan gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat konstruksi peran dan
fungsi gubernur dirumuskan ke dalam dua
bentuk, yaitu: kewenangan atributif dan ke-
wenangan delegatif. Kewenangan atributif
merupakan kewenangan yang melekat pada
jabatan gubernur sebagai kepala wilayah
administrasi dan/atau wakil pemerintah
pusat. Kewenangan atributif dalam konteks
ini mengacu pada konsep Integrated Field
Administration dan Integrated Prefectoral
System dan lebih kepada urusan-urusan yang
berhubungan dengan pemerintahan umum.
Kewenangan delegatif, merupakan kewena-
ngan yang berkaitan dengan pelimpahan we-
wenang urusan-urusan kementerian teknis
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dalam konteks Fragmented Field Admi-
nistration.
2) Distribusi Urusan Pemerintahan
Organisasi negara dalam menjalankan peran
dan fungsinya selalu terdapat sejumlah uru-
san yang diselenggarakan secara sentralistis
dan diperhalus melalui dekonsentrasi. Pada
sisi lain tidak pernah ada suatu urusan
pemerintahan yang mutlak diserahkan sepe-
nuhnya kepada daerah melalui desentralisa-
si. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 urusan pe-
merintahan terdiri atas urusan pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan pe-
merintah dan urusan pemerintahan yang
dibagi bersama antar tingkatan dan/atau su-
sunan pemerintahan. Pemerintah pusat seca-
ra absolut memegang 6 (enam) urusan peme-
rintahan meliputi: politik luar negeri, perta-
hanan, keamanan, moneter dan fiskal nasi-
onal, yustisi, dan agama. Sedangkan di luar
urusan absolut di atas adalah 31 (tiga puluh
satu) urusan pemerintahan yang dibagi ber-
sama antar tingkatan dan/atau susunan pe-
merintahan, seperti pendidikan, kesehatan,
ARTIKEL
38 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
pekerjaan umum, dan seterusnya. Penyeleng-
garaan urusan pemerintahan dibagi berda-
sarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas,
dan efisiensi dengan mengedepankan kesera-
sian hubungan antar susunan pemerintahan.
3) Anggaran Keuangan
Dalam praktik penyelenggaraan pemerintah-
an daerah di Indonesia, terdapat tiga meka-
nisme pembiayaan atau asas yang dianut
oleh pemerintah, yakni asas desentralisasi,
asas dekonsentrasi, dan asas tugas pemban-
tuan. Besaran anggaran keuangan dekonsen-
trasi bagi gubernur di suatu wilayah adminis-
trasi menurut peneliti ditentukan berdasar-
kan beberapa variabel, yaitu: besar kecilnya
wilayah administrasi provinsi, besar kecilnya
beban tugas gubernur yang diukur berdasar-
kan kompleksitas dan dinamika permasala-
han dimasing-masing provinsi. Besaran ang-
garan dekonsentrasi harus mampu memberi
peluang bagi gubernur sebagai wakil peme-
rintah pusat untuk melakukan program dan
kegiatan secara nyata. Besaran anggaran bu-
kan hanya untuk kegiatan rapat koordinasi
dan kegiatan-kegiatan yang bersifat seremo-
nial.
Anggaran dekonsentrasi seharusnya dapat
digunakan untuk membiayai program-pro-
gram kegiatan termasuk proyek-proyek de-
konsentrasi yang mampu memberikan man-
faat nyata bagi masyarakat. Dana dekonsen-
trasi untuk gubernur sebagai wakil pemerin-
tah pusat baru diberikan mulai tahun 2011
hanya untuk membiayai kegiatan rapat dan
koordinasi dengan jumlah peserta terbatas
khususnya anggota Forkopimda (Forum Ko-
munikasi Pimpinan Daerah). Bahkan desain
anggaran tidak dapat memberikan kebutuh-
an akomodasi seperti biaya transportasi dan
honorarium bagi peserta dari luar sekretariat
daerah. Menurut peneliti dalam konteks ang-
garan, gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat harus dapat berperan sebagai budget
optimizer.
4) Mekanisme Pengisian Jabatan Guber-
nur
Tarik ulur tentang mekanisme pengisian ja-
batan gubernur, bupati, dan walikota apakah
dipilih presiden dan/atau DPRD atau melalui
pilkada terjadi karena lemahnya konsep yang
digunakan dalam pengisian kepala daerah.
Pilihan yang paling memungkinkan dan visi-
ble untuk digunakan adalah dengan melaku-
kan tahapan seleksi pemimpin daerah
melalui metode campuran, misalnya seleksi
oleh presiden dan dipilih oleh DPRD atau
seleksi calon oleh presiden dan dipilih
langsung oleh rakyat melalui pilkada. Metode
ini dapat menjadi alternatif solusi bagi
polemik penyelenggaraan pilkada yang tidak
berkesudahan, meskipun mekanisme ini juga
belum tentu memberikan pilihan terbaik atas
proses pengisian jabatan gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat dan selaku kepala
daerah. Dalam metode ini setiap pasangan
calon gubernur diajukan kepada presiden
dalam jumlah pasangan tertentu misalnya
minimal empat pasangan dan maksimal tujuh
pasangan. Presiden selanjutnya memilih pa-
sangan yang akan dipilih oleh DPRD atau
melalui pilkada minimal tiga pasangan dan
maksimal empat pasangan. Kemudian pasa-
ngan-pasangan tersebut dipilih oleh DPRD
atau pilkada melalui tahapan yang telah
ditentukan.
b. Desain 2, Provinsi Sebagai Wilayah
Administrasi dan Daerah Otonom -
Kabupaten/Kota Sebagai Wilayah
Administrasi dan Daerah Otonom
Dalam desain kedua kedudukan kabupaten/
kota sama dengan provinsi yaitu sebagai wi-
layah administrasi dan daerah otonom. Pada
posisi ini daerah kabupaten/kota menganut
Fused Model. Seperti yang dikemukakan
Leemans (1970) Fused Model mengakomoda-
si terciptanya penyatuan antara unit adminis-
trasi lapangan dari pusat dengan pemerinta-
han lokal. Konsekuensinya kepala daerah ka-
bupaten/kota memiliki peran ganda sebagai
kepala daerah otonom kabupaten/kota dan
selaku kepala wilayah administrasi kabupa-
ten/kota. Fused Model identik dengan Inte-
grated Prefectoral System yang dikemukakan
oleh Fried (1963) dalam konteks kesatuan
kewilayahan antara daerah otonom dan wila-
yah administrasi serta peran ganda yang di-
pegang oleh kepala wilayah administrasi dan
kepala daerah. Sebagai kepala wilayah admi-
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 39
nistrasi bupati/walikota berperan sebagai
wakil pemerintah pusat dan menjalankan
asas dekonsentrasi, sedangkan selaku kepala
daerah bupati/walikota melaksanakan asas
desentralisasi.
Kedudukan kabupaten/kota sebagai wila-
yah administrasi dalam desain kedua dimak-
sudkan untuk menjamin terwujudnya unbro-
ken chain of command antara pemerintah
pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah
daerah kabupaten/kota. Dalam arti hierarki
antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/
kota tidak terputus. Posisi pemerintah pro-
vinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah
subordinat bagi pemerintah pusat, sebab ga-
ris hierarki wilayah administrasi melalui ke-
dudukan gubernur, bupati/walikota sebagai
wakil pemerintah pusat menjamin tercipta-
nya garis komando oleh pusat bagi wilayah
administrasi di bawahnya yaitu provinsi dan
kabupaten/kota. Hierarkhi pemerintah pusat,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabu-
paten/kota tidak terputus dan pada tataran
penyelenggaraan pembangunan terwujud ke-
sinambungan program antara pemerintah
pusat dengan pemerintah provinsi, kabupa-
ten/kota.
Desain kedua memiliki substansi bahasan
yang sama dengan desain pertama khusus-
nya pada level provinsi karena konstruksinya
sama yakni provinsi menjalankan dekonsen-
trasi dan desentralisasi serta kedudukan ga-
nda gubernur sebagai wakil pemerintah pu-
sat dan selaku kepala daerah. Berdasarkan
hal tersebut maka, struktur organisasi pro-
vinsi, konstruksi kelembagaan gubernur se-
bagai wakil pemerintah pusat, konstruksi
peran dan fungsi gubernur, distribusi urusan
pemerintahan, personil gubernur, anggaran
keuangan serta mekanisme pengisian jabatan
gubernur memiliki substansi yang sama
dengan desain pertama.
Beberapa perbedaan yang terdapat pada
desain pertama dan kedua yaitu: pertama,
pada desain pertama hanya menjalankan
desentralisasi dan kedudukan bupati/wali-
kota murni sebagai kepala daerah. Sementara
pada desain kedua kabupaten/kota menja-
lankan dekonsentrasi dan desentralisasi sa-
ma halnya provinsi dan kedudukan bupati/
walikota ganda sama seperti gubernur seba-
gai wakil pemerintah pusat dan selaku kepala
daerah. Kedua, apabila pada desain pertama
kabupaten/kota tidak terdapat unit dekon-
setrasi, maka pada desain kedua terdapat
unit dekonsentrasi yakni direktorat dekon-
sentrasi yang berada di bawah koordinasi
langsung bupati/walikota sebagai wakil pe-
merintah pusat. Apabila digambarkan, maka
konstruksi organisasi yang menempatkan
provinsi, kabupaten/kota sebagai wilayah
administrasi dan daerah otonom adalah se-
bagai berikut:
ARTIKEL
40 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Gambar 3 Provinsi Wilayah Administrasi dan Daerah Otonom – Kabupaten/KotaWilayah Administrasi
dan Daerah Otonom
Untuk menghindari pengulangan dalam
pembahasan atau repetisi, maka dimensi-di-
mensi yang sama tersebut di atas tidak diba-
has lagi dalam desain kedua kecuali aspek-
aspek yang berbeda dan perlu penguatan di-
bahas peneliti secara tersendiri. Aspek-aspek
tersebut adalah sebagai berikut:
b.1. Kelembagaan Gubernur, Bupati/
Walikota Sebagai Wakil Pemerintah
Pusat
Seperti yang dituangkan dalam gambar 3 di
atas tampak bahwa dalam konstruksi pe-
merintahan daerah kabupaten/kota terdapat
unit dekonsentrasi yang oleh peneliti secara
titelatur disebut direktorat dekonsentrasi.
Direktorat dekonsentrasi di kabupaten/kota
dijabat oleh direktur dekonsentrasi yang
secara hierarkhis berada di bawah kendali
langsung bupati/walikota sebagai wakil
pemerintah pusat dan memiliki hubungan
koordinasi dengan deputi dekonsentrasi
pada level provinsi. Tugas dan fungsi direk-
torat dekonsentrasi adalah untuk mencapai
dan melaksanakan tugas dan wewenang
bupati/walikota sebagai wakil pemerintah
pusat. Secara struktur direktorat dekonsen-
trasi membawahi bidang-bidang tertentu se-
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 41
laras dengan deputi dekonsentrasi. Gambar
direktorat dekonsentrasi pada kabupaten/
kota dikemukakan sebagai berikut:
Gambar 4 Direktorat Dekonsentrasi Pada Kabupaten/Kota
Keterangan:
Bidang 1 :Bidang Perencanaan dan Program
Bidang 2 :Bidang Urusan Pemerintahan Umum
Bidang 3 :Bidang Koordinasi Instansi Vertikal
Bidang 4 :Bidang Urusan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Posisi direktur dekonsentrasi diisi oleh
Pegawai Negeri Sipil karier, yang direkrut
melalui mekanisme seleksi terbuka yang da-
pat diikuti oleh PNS baik dari Kabupaten/
kota maupun provinsi dan pusat. Bidang
Perencanaan dan Program memiliki tugas
dan fungsi menyusun program dan rencana
kegiatan yang akan dilakukan direktorat
dekonsentrasi setiap tahun. Sumber dari pro-
gram dan rencana tersebut berasal dari
bidang-bidang yang lain. Adapun Bidang Uru-
san Pemerintahan Umum melaksanakan
tugas dan fungsi menyelenggarakan urusan
pemerintahan umum, menghidupkan Forko-
pimda tingkat kabupaten. Sementara Bidang
Koordinasi Instansi Vertikal menjalankan
tugas dan fungsi mengkoordinasikan dan
mengintegrasikan program dan kegiatan
yang dilakukan instansi vertikal dengan pro-
gram dan kegiatan pemerintah kabupaten/
kota. Bidang Urusan Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan melaksanakan tugas dan
fungsi mengkoordinasikan dan memfasilitasi
program dan kegiatan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan di kabaupaten dan kota.
Sama halnya dengan deputi dekonsentrasi
pada provinsi yang tidak dijabat secara ex-
officio oleh sekretaris daerah provinsi, direk-
tur dekonsentrasi juga tidak dijabat oleh ex-
officio sekretaris daerah kabupaten/kota,
tetapi diisi oleh PNS karier melalui meka-
nisme rekrutmen terbuka. Jabatan-jabatan
yang dijabat secara ex-officio seringkali tidak
berjalan secara optimal. Conflict of interest
serta kapasitas dan kapabilitas yang terbatas
ketika seseorang merangkap jabatan juga
menjadi alasan mengapa jabatan deputi
dekonsentrasi maupun direktur dekonsen-
trasi tidak harus dijabat secara ex-officio oleh
sekretaris daerah baik di provinsi maupun
kabupaten/kota. Direktur dekonsentrasi me-
mbawahi bidang-bidang yang secara tugas
dan fungsi seperti yang dikemukakan di atas
dan dijabat oleh kepala bidang. Kepala bi-
dang selanjutnya mengkoordinir dan mensi-
nergikan kelompok jabatan fungsional yang
ARTIKEL
42 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
memiliki keahlian dan keterampilan sesuai
dengan bidang masing-masing.
b.2. Tugas dan Wewenang Gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Sebagai wakil pemerintah, gubernur memili-
ki konstruksi peran dan fungsi yang sama
dengan desain pertama, sebab basisnya ada-
lah pada teori Integrated Prefectoral System,
Fused Model, maupun Integrated Field
Administration. Demikian juga dengan peran
dan fungsi gubernur sebagai kepala daerah
tugas dan fungsi utamanya adalah menye-
lenggarakan pemerintahan daerah otonom
dengan berbagai urusan pemerintahan yang
diserahkan oleh pemerintah dalam konteks
desentralisasi. Konstruksi tugas dan wewe-
nang gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat baik dalam konteks kewenangan atri-
butif maupun delegatif seharusnya sejajar
dengan tugas dan wewenang gubernur sela-
ku kepala daerah. Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat perlu diberikan ruang dan
diskresi kebijakan untuk menjalankan tugas
dan wewenang yang diembannya.
Komitmen pemerintah dalam mendukung
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
untuk melaksanakan urusan pemerintahan
umum, menjalankan fungsi koordinasi, pem-
binaan, dan pengawasan penyelenggara-an
pemerintahan daerah, dan melakukan fungsi
koordinasi dan integrasi instansi vertikal
menjadi faktor mutlak terwujudnya efektifi-
tas gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Begitu juga dengan kewenangan delegatif,
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
seharusnya memiliki peran untuk sinkro-
nisasi, mengawasi, dan membina urusan pe-
merintahan lingkup dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
merupakan intermediator bagi pemerintah
pusat dengan daerah otonom provinsi, kabu-
paten/kota. Gubernur menjadi penghubung
bagi gubernur kepala daerah dan bupati/wa-
likota. Dengan desain seperti ini, derajat oto-
nomi daerah tidak berkurang bagi pemerin-
tahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Pe-
merintah tetap dapat melaksanakan peran
dan fungsinya menjalankan koordinasi, mem-
bina, dan mengawasi serta memfasilitasi pe-
ran dan fungsi pemerintah pusat di daerah
otonom dengan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat sebagai aktornya. Konsep
ini sesungguhnya telah tertuang dalam peran
dan fungsi Prefek dalam Integrated Prefec-
toral System dimana gubernur adalah mata,
telinga, dan mulut pemerintah.
Pemerintah pusat dapat mendelegasikan
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
program pembangunan kepada gubernur dan
gubernur menyampaikan ke bupati/walikota
termasuk kepada instansi vertikal. Demikian
pula sebaliknya gubernur selaku kepala dae-
rah adalah institusi penghubung bagi kepen-
tingan pemerintah daerah provinsi, kabupa-
ten/kota dalam konteks daerah otonom. Me-
lalui peran intermediary government ini kebe-
radaan pemerintah pusat tetap dapat dirasa-
kan oleh pemerintah daerah dan rakyat di
daerah. Peran dan fungsi pemerintah secara
nyata dikawal oleh gubernur, bupati/wali-
kota dengan kedudukannya sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah. Presiden sebagai
representasi dari pemerintah tetap terjaga
kewibawaannya melalui peran dan fungsi
yang ditugaskan kepada gubernur, bupati/
walikota sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah otonom.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis diatas, terdapat 6
(enam) faktor determinan yang menyebab-
kan peran dan fungsi gubernur berjalan tidak
efektif, yaitu:
a. Instrumen kebijakan, pemerintah sangat
lamban dalam menyiapkan dan mener-
bitkan kebijakan pendukung kedudukan,
tugas dan wewenang gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat.
b. Ketiadaan kelembagaan, gubernur seba-
gai wakil pemerintah pusat tidak memi-
liki konstruksi kelembagaan yang jelas.
c. Personil aparatur, gubernur sebagai wa-
kil pemerintah pusat tidak memiliki du-
kungan personil aparatur.
d. Anggaran keuangan, gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat tidak didukung
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 43
oleh desain anggaran keuangan yang je-
las guna mendukung pelaksanaan peran
dan fungsi gubernur sebagai wakil peme-
rintah pusat.
e. Kepemimpinan, kapabilitas kepemimpin-
an gubernur berpengaruh terhadap efek-
tifitas pelaksanaan tugas, wewenang dan
fungsi gubernur sebagai wakil pemerin-
tah pusat.
f. Political will pemerintah, berupa dukung-
an nyata dari pemerintah terhadap gu-
bernur sebagai wakil pemerintah pusat
memberi pengaruh besar terhadap efek-
tifitas pelaksanaan tugas, wewenang dan
fungsi gubernur sebagai wakil pemerin-
tah pusat.
Kedudukan, peran dan fungsi gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat ditentukan
oleh desain sistem pemerintahan daerah.
Berdasarkan analisis, desain kedudukan,
peran dan fungsi gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di Negara Kesatuan
Republik Indonesia ke depan dikonstruksi-
kan, sebagai berikut:
Terdapat 2 (dua) konstruksi kedudukan
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
yaitu:
1) Provinsi, kabupaten/kota berkedudukan
sebagai wilayah administrasi dan daerah
otonom – kabupaten/kota berkedudukan
sebagai daerah otonom. Dalam arti, de-
konsentrasi dan desentralisasi diimple-
mentasikan di provinsi - kabupaten/kota
menyelenggarakan desentralisasi. Kons-
truksi demikian menempatkan gubernur
pada kedudukan ganda, sebagai wakil
pemerintah pusat dan selaku kepala dae-
rah, sedangkan bupati/walikota sebagai
kepala daerah.
2) Provinsi berkedudukan sebagai wilayah
administrasi dan daerah otonom – kabu-
paten/kota berkedudukan sebagai wila-
yah administrasi dan daerah otonom.
Provinsi, kabupaten/kota menyelengga-
rakan dekonsentrasi dan desentralisasi.
Kedudukan gubernur, bupati/walikota
adalah ganda sebagai wakil pemerintah
pusat dan selaku kepala daerah.
Konstruksi peran dan fungsi gubernur seba-
gai wakil pemerintah pusat meliputi:
1) Wewenang atributif yang menjalankan 3
(tiga) tugas, wewenang dan fungsi pokok,
meliputi:
Melaksanakan urusan pemerintahan
umum;
Menjalankan fungsi koordinasi, pem-
binaan, dan pengawasan penyeleng-
garaan pemerintahan daerah kabu-
paten/kota;
Menjalankan fungsi koordinator dan
integrator instansi vertikal
2) Wewenang delegatif, berhubungan
dengan wewenang, tugas dan fungsi gu-
bernur sebagai wakil pemerintah pusat
untuk membina dan mengendalikan uru-
san-urusan pemerintahan dalam konteks
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
3) Ketiadaan institusi kelembagaan mem-
pengaruhi efektifitas pelaksanaan tugas,
wewenang dan fungsi gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat. Hasil analisis
data menunjukkan bahwa gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat memer-
lukan institusi kelembagaan. Titelatur
kelembagaan tersebut pada level provin-
si dalam bentuk deputi dekonsentrasi,
sedangkan pada level kabupaten/kota
adalah direktorat dekonsentrasi untuk
mendukung peran dan fungsi gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat.
4) Konstruksi sistem pemerintahan daerah
secara teori dan konseptual menganut
Integrated Prefectoral System yang ditun-
jukkan melalui pembagian wilayah Nega-
ra Kesatuan Republik Indonesia menjadi
provinsi, kabupaten, dan kota yang men-
jalankan dekonsentrasi dan/atau desen-
tralisasi secara paralel serta terwujudnya
kedudukan dan peran ganda gubernur,
bupati/walikota sebagai wakil pemerin-
tah pusat dan selaku kepala daerah.
5) Indonesia sebagai negara kesatuan ter-
desentralisasi telah memiliki konstruksi
ideal penyelenggaraan sistem pemerinta-
han daerah seperti yang saat ini berjalan.
Desain pemerintahan daerah yang me-
nempatkan dekonsentrasi dan desentra-
lisasi pada provinsi dan desentralisasi
pada kabupaten/kota yang mewujudkan
ARTIKEL
44 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
kedudukan gubernur baik sebagai wakil
pemerintah pusat maupun selaku kepala
daerah dan kedudukan bupati/walikota
sebagai kepala daerah relevan diperta-
hankan, diperkuat dan disempurnakan.
2. Rekomendasi dan Implikasi Akademis
dan Praktis
Berdasarkan analisis yang dilakukan, pe-
neliti merumuskan rekomendasi serta impli-
kasi akademis dan praktis sebagai berikut:
a. Memperjelas kedudukan, tugas dan we-
wenang gubernur sebagai wakil peme-
rintah pusat melalui penguatan instru-
men kebijakan baik pada level undang-
undang maupun peraturan perundang-
undangan lainnya.
b. Memperkuat kedudukan, tugas dan fung-
si kelembagaan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat, pada level provinsi di-
bentuk unit deputi dekonsentrasi sebagai
intermediate government (struktur pe-
rantara) bagi kepentingan pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan instansi
vertikal.
c. Memperkuat tugas dan fungsi personil
aparatur pendukung bagi gubernur seba-
gai wakil pemerintah pusat. Posisi deputi
dekonsentrasi bukan diisi secara ex-
officio oleh sekretaris daerah provinsi.
Posisi tersebut diisi oleh PNS karier yang
direkrut secara terbuka. Demikian pula
pada posisi asisten deputi dan staf perso-
nil, diisi oleh kelompok jabatan fungsi-
onal yang memiliki kompetensi andal di
bidang masing-masing.
d. Kedudukan, peran dan fungsi gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat perlu
didukung dengan anggaran keuangan
yang kuat. Gubernur dapat berperan
sebagai budget optimizer sehingga dapat
melaksanakan program dan kegiatan
yang signifikan bagi pemerintah daerah
dan tidak sekedar anggaran untuk
kegiatan rapat, koordinasi, dan seremo-
nial belaka.
e. Political will pemerintah terhadap kedu-
dukan ganda gubernur sangat diperlukan
melalui dukungan nyata terhadap pe-
rangkat kelembagaan, anggaran keuang-
an, dan aspek lainnya sehingga kedudu-
kan ganda gubernur memiliki kontribusi
optimal dalam penyelenggaraan peme-
rintahan daerah.
Konstruksi kedudukan, peran dan fungsi
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
dalam sistem pemerintahan daerah bagi
Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu
disempurnakan melalui strategi sebagai
berikut:
a. Memperkuat dekonsentrasi dan desen-
tralisasi di provinsi dan desentralisasi
pada level kabupaten/kota;
b. Mempertahankan dan memperkut kedu-
dukan gubernur sebagai wakil pemerin-
tah pusat dan selaku kepala daerah serta
didukung dengan perangkat kelembaga-
an, peran dan fungsi, personil aparatur,
dan kedudukan keuangan yang jelas;
c. Teori Integrated Prefectoral System perlu
terus dikembangkan dan diselaraskan
sesuai dengan karakteristik dan tantang-
an penyelenggaraan pemerintahan dae-
rah yang dihadapi Negara Kesatuan Re-
publik Indonesia.
d. Pemerintah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat perlu menginisiasi
dan menerbitkan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang
kedudukan, tugas dan fungsi instansi
vertikal di daerah sebagai panduan bagi
instansi vertikal dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya termasuk keberada-
anya dalam sistem pemerintahan daerah
secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Albertini, Jean-Benoit, La Deconcentration, L’Administration Territoriale La Reforme De L’Etat, Economica, Paris, 1997.
Alderfer Harold .F: Local Government in Developing Countries, McGraw-Hill Series in International Development, 1964.
Bakry La, Pengaturan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Daerah,
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 45
Pemerintahan Daerah di Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2009.
Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development. Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publications, London, 1983.
Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, Decentralizing Governance, Emerging Concepts and Practice, Brookings Institution Press, Washington, D.C.
Cohen, John M. dan Stephen B. Peterson, Administrative Decentralization, Strategies for Developing Countries, Kumarian Pers, Connecticut, USA, 1999.
Corbin, Juliet dan Anselm Staruss, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalang-kah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, (2003).
Creswell W John., Research Design: Qualita-tive & Quantitative Approach, Sage Publications, Inc, California, 1994.
Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qulitative Research, Norman K. Denzin , Yvonna S. Lincoln, Edisi Bahasa Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.
Fried .C Robert, The Italian Prefects, A Study in Administrative Politics, New Haven and London, Yale university Press, 1963.
Hendratno, Edie Toet, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Universitas Pancasila, Jakarta, 2009.
Hoessein, Bhenyamin, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, “Perubahan Model, Pola, danBentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi”, Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009.
Hoessein, Bhenyamin, et al, Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerin-tah Pusat dan Daerah, Depok: PKPADK FISIP Universitas Indonesia, 2005.
Huberman.A. Michael dan Matthew B. Miles, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Universi-tas Indonesia, Jakarta, 1992.
Koswara, E Kertapraja, Pemerintahan Daerah: Konfigurasi Politik Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Dulu, Kini dan Tan-
tangan Globalisasi, Inner bekerja sama dengan Universitas Satyagama, Jakarta, 2012.
Khairuddin, Ahmad, Fenomena Keadilan Dalam Otonomi Daerah: Otonomi Daerah, Etnonasionalisme dan Masa Depan Indonesia, Editor: Bungaran Antonius Simnajuntak, Yayasan Pus-taka Obor Indonesia, Jakarta, 2010.
Leemans, A.F.: Changing Patterns of Local Governemnt, IULA, The Hague, Nether-lands, 1970.
Machin, Howard. The Prefect in French Public Administration, Croom Helm Ltd, Lon-don, 1977.
Maksum, Irvan Ridwan, Seluk Beluk Pemerintahan Daerah, Mencari Alter-natif Memperkuat Negara Bangsa, Fisip UI Press, Depok, 2008.
Mawhood, Phillip, Decentralization: The Concept and The Practice, Local Government in The Third World, The Experience of Tropical Africa, edited by Philip Mawhood, John Wiley and Sons, 1983.
Prasojo, Eko, et al, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Depok: Departemen Ilmu Admi-nistrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006.
Prasojo, Eko, Federalisme dan Negara Federal: Sebuah Pengantar, Departe-men Ilmu Administrasi, FISIP UI, Depok, 2005.
Ramses, Andy M dan La Bakry, Politik & Pemerintahan Indonesia, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, 2009.
Smith, B.C., Field Administration: An Aspect of Decentralization. Routhledge and Kegan Paul, London, 1967.
Smith, B.C, Decentralization: The Territorial Dimension of The State, George Allen & Unwin (publishers) Ltd, London, 1985.
Makalah:
Hoessein, Bhenyamin, Perspektif Jangka Panjang Desentralisasi dan Otonomi Daerah, makalah disampaikan dalam “DiskusiKebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Jangka Panjang”, diselenggarakan oleh Direk-
ARTIKEL
46 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
torat Pengembangan Otonomi Daerah, Bappenas, 27 November 2002.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedu-dukan Komite Nasional Daerah.
Permendagri No. 66 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewe-nang Serta Kedudukan Keuangan Gu-bernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekon-sentrasi dan Tugas Pembantuan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 47
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat
Dynamics and Problems of Implementation of Law Village : Lesson Learn from
Three Districts in West Java
Rusman Nurjaman
Peneliti pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak:
Lahirnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa menjanjikan harapan pembaharuan untuk
mewujudkan desa yang mandiri, maju, demokratis, dan sejahtera. Kajian ini bertujuan untuk melihat
bagaimana praktik implementasi UU Desa tersebut dijalankan di beberapa daerah. Pengalaman desa
dan pemerintah daerah di beberapa daerah kabupaten di Jawa Barat dalam mempersiapkan diri dan
masa-masa awal implementasi UU Desa di sana menarik untuk dikaji sebagai sumber pembelajaran
berharga bagi upaya pengoptimalan implementasi UU Desa di masa depan. Kajian ini menggunakan
metode kualitatif dengan varian studi kasus terhadap persiapan dan pelaksanaan UU Desa di tiga
daerah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung, dan
Kabupaten Sukabumi, yang dipilih karena alasan-alasan metodologis dan praktis tertentu. Pengum-
pulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang relevan, focus group discussion (FGD), wawan-
cara mendalam, dan observasi. Hasil kajian menunjukkan adanya dinamika dan sejumlah tantangan
persoalan dalam implementasi UU Desa di desa-desa di ketiga daerah kabupaten yang menjadi lokus
kajian. Telaahan yang cermat dan mendalam terhadap problem normatif di lapangan dapat menjadi
sumber pembelajaran berharga bagi upaya perumusan kebijakan baru dalam mengoptimalkan im-
plementasi UU Desa.
Kata kunci: kapasitas desa,pemerintahan desa, perencanaan desa.
Abstract:
The enactment of Law No. 6/ 2014 concerning villagespromising new hopes to realize an
independent, advanced, democratic, and prosperous villages. This study aims to look at the practice
of implementation of the Law in several areas. The experiencee of villages and local governments in
several districts in West Java in the preparation and implementation of Village Law in the early days
is interesting to be studied as a valuable learning resources to optimize the implementation of Village
Law in the future. This study used qualitative method with case study variant of the preparation and
execution of Village Law in three districts in West Java province, namely Sumedang, Bandung, and
Sukabumi. Those three regions were chosen for specific methodological and practical reasons. Data
collected through the study of relevant literature, focus group discussion (FGD), in-depth interviews,
and observation. The results show the dynamics and challenges in the implementation of Village Law
in the village in three districts that became the locus of the study. A careful and in-depth research on
normative problems in the field can be a valuable learning resources for the formulation of new
policies in order to optimize the implementation of Law No. 6/ 2014 concerning.
Keyword: the capacity of the village, the village planning, the village administration
PENDAHULUAN
Tak pelak lagi, lahirnya UU No. 6 tahun
2014 tentang Desa medio Januari 2014 silam
membuka babak sejarah baru dalam perjala-
nan republik ini. Regulasi baru yang mengu-
sung semangat pembaharuan desa ini men-
dorong munculnya optimisme yang merebak,
terutama di kalangan masyarakat desa, aka-
demisi ilmu sosial, dan para pegiat advokasi
isu pedesaan. Dengan berlandaskan prinsip
yang jauh lebih substantif dan komprehensif,
banyak pihak yang meyakini bahwa UU Desa
yang baru tersebut bakal mampu membawa
desa meninggalkan citra keterbelakangan
dan ketertinggalannya menuju desa yang
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat
48 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
kuat, demokratis, maju, sejahtera, dan mandi-
ri.
Gayung bersambut manakala presiden
yang baru terpilih juga datang dengan visi-
misi dan program yang sejalan dengan sema-
ngat pembaharuan desa. Kita tahu, Presiden
Joko Widodo dalam teks Nawacita menegas-
kan kembali visinya untuk mengkoreksi
perencanaan dan praktik pembangunan yang
salah arah dan melahirkan ketimpangan ta-
jam melalui apa yang disebutnya sebagai
“membangun Indonesia dari pinggir dengan
memperkuat daerah dan desa” (Tim
Kampanye Jokowi-JK, 2014: 7).
Namun demikian, rupanya terlalu dini un-
tuk menjawab sejauh mana optimisme ini ba-
kal terwujud. Hal ini karena banyaknya tan-
tangan dan menumpuknya pekerjaan rumah
yang tak lain dan tak bukan merupakan wari-
san dari tatanan sosial politik sebelumnya
(Aloysius Gunadi Brata dalam Baskara T
Wardaya, dkk, 2007: 119-129; Dwi Astuti
dalam Baskara T Wardaya, dkk, 2007: 209-
222). Bahkan lebih dari itu, kajian para sar-
jana yang lama memfokuskan diri pada studi
seputar isu agraria dan pedesaan menunjuk-
kan bahwa semua rezim yang pernah tampil
dalam panggung sepanjang sejarah negeri ini
tidak mempunyai basis sosial atau komitmen
yang kuat bagi berlangsungnya perubahan
sosial yang mendasar di ranah desa
(Benjamin White dalam Hadiz dan Dhakidae,
2006: 119-155).
Dalam suatu review kritisnya mengenai
perjalanan satu tahun implementasi UU Desa,
misalnya, Robert Endi Jaweng (2015) menye-
but setidaknya terdapat dua tantangan utama
dalam implementasi UU Desa. Pertama, suk-
sesi pemerintahan/kepemimpinan nasional
yang memengaruhi teknis peralihan dan lan-
jutan persiapan pelaksanaan UU Desa. Kedua,
dominannya logika uang (dana desa/DD),
yang awalnya dipandang sebagai langkah
maju dalam pembagian alokasi kue pemba-
ngunan bagi desa, pada gilirannya menjadi
kontraproduktif karena bisa membuat ele-
men-elemen lain hanya sebagai faktor pendu-
kung.
Di lapangan, bisa jadi problemnya jauh
lebih beragam dan kompleks. Ambil saja satu
soal, misalnya, terkait isu kelembagaan desa.
Problem struktur kelembagaan desa tidak
bisa dipandang sebelah mata. Sebab, optima-
lisasi pelaksanaan UU Desa salah satunya
juga mengandaikan penguatan struktur kele-
mbagaan desa itu sendiri. Oleh karena itu,
penguatan struktur dan kelembagaan desa
menjadi satu agenda penting nan krusial
demi menunjang penataan jalannya pemerin-
tahan desa dan pengelolaan dana desa yang
efektif dalam rangka implementasi UU Desa.
Masalah muncul manakala selama ini, seba-
gaimana terjadi di banyak tempat, kapasitas
aparatur desa masih terbatas sehingga perlu
pendampingan dan bimbingan teknis yang
lebih intensif dari pusat ke daerah (Kompas,
9 Juli 2015). Tak heran jika banyak pihak
yang masih meragukan tingkat pemahaman
aparatur desa terhadap pelaksanaan pemba-
ngunan desa. Jika memang demikian, jelas hal
itu bisa menjadi halangan dalam memastikan
efektivitas penyaluran dana desa.
Namun, para pihak juga menengarai bah-
wa situasi ini tak lepas dari belum optimal-
nya persiapan yang dilakukan oleh aktor
pemerintahan supradesa, dalam hal ini
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(kabupaten/kota dan provinsi). Padahal, me-
reka mengemban kewajiban untuk memberi-
kan bimbingan teknis secara berkala terkait
dengan tugas pokok dan fungsi aparatur
desa. Selain membuat regulasi turunan, pe-
merintah daerah memang sudah melakukan
bimbingan teknis untuk penguatan kapasitas
dan struktur kelembagaan desa melalui pen-
didikan dan penyuluh dan pendampingan
terhadap para aparatur desa.
Selain persoalan kelembagaan desa, pena-
taan sistem administrasi desa juga menjadi
tantangan yang sama bobotnya. Kedua tan-
tangan ini, baik tantangan kelembagaan mau-
pun penataan sistem administrasi, mensya-
ratkan perlunya pengembangan kapasitas
sumber daya manusia aparatur desa untuk
membangun manajemen tata kelola pemerin-
tahan dan pengelolaan dana desa yang efek-
tif, transparan, partisipatif, dan akuntabel.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 49
Di luar itu, dalam rangka implementasi
UU Desa, dimensi tantangan dan persoalan
yang dihadapi pemerintah desa bisa jadi
teramat luas. Mulai dari belum adanya peta
jalan (road map), regulasi turunan, instru-
mentasi kebijakan, persiapan operasional,
kapasitas aparatur desa, yang belum sepe-
nuhnya berada dalam kondisi ideal untuk
memulai tahapan pelaksanaan yang optimal.
Mencermati implementasi UU Desa di
beberapa daerah kabupaten di Jawa Barat,
terdapat beberapa isu, tantangan, dan
dinamika di aras lokal yang menarik untuk
dikaji lebih jauh. Berdasarkan catatan lapang-
an tersebut, sejatinya kita dapat melihat dan
memetakan beberapa problem normatif dan
problem lapangan, serta dinamika lokal yang
tergolong unik—yang sedikit banyak berkai-
tan dengan struktur demografi, tantangan
geografis, kebijakan, konstelasi politik lokal,
dan struktur sosiologis masyarakatnya.
Oleh karena itu, pada bagian berikutnya
tulisan ini akan menguraikan dan memeta-
kan bagaimana problematika dan dinamika
implementasi UU Desa di beberapa daerah
kabupaten di Jawa Barat tersebut, yaitu anta-
ra lain Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ban-
dung, dan Kabupaten Sumedang. Dari situ
kemudian akan diperoleh beberapa catatan
yang dapat menjadi pijakan dalam merumus-
kan rekomendasi kebijakan untuk mengopti-
malkan implementasi UU Desa di masa de-
pan.
Berdasarkan uraian di muka, pada bagian
selanjutnya tulisan ini akan mencoba untuk
menjawab beberapa masalah berikut: Bagai-
mana problematika yang dihadapi pemerin-
tah desa dalam rangka implementasi UU
Desa? Bagaimana pula upaya yang dilakukan
pemerintah daerah (kabupaten/kota) dalam
mengatasi problem tersebut?
METODE KAJIAN
Kajian ini menggunakan metode kualitatif
dengan varian metode studi kasus terhadap
pelaksanaan implementasi UU Desa di 3
(tiga) daerah kabupaten di Provinsi Jawa
Barat. Dalam hal ini ketiga daerah yang men-
jadi lokus kajian antara lain Kabupaten Suka-
bumi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten
Sumedang. Ketiga lokus ini dipilih karena
kedudukannya sebagai daerah kabupaten di
Jawa Barat yang dianggap cukup merepre-
sentasikan karakteristik umum tipologi desa-
desa di daerah kabupaten di Jawa Barat, baik
dari segi struktur sosial ekonomi, demografis,
maupun tingkat kesulitan geografis.
Kabupaten Sukabumi yang memiliki 364
desa dan 4 kelurahan, secara demografis dan
geografis, merepresentasikan daerah dengan
karakteristik desa yang cukup lengkap, yaitu
meliputi desa-desa pantai, desa pedalaman
dengan basis produksi agraris, desa pedala-
man dengan basis ekonomi industri (pabrik),
dan desa-desa dengan berbasis ladang atau
kebun di daerah lereng pegunungan. Sedang-
kan Kabupaten Sumedang yang memiliki 276
desa dan 7 kelurahan merepresentasikan
daerah dengan karakteristik desa-desa peda-
laman berbasis agraris dan industri. Adapun
Kabupaten Bandung yang melingkupi 270
desa dan 10 kelurahan merepresentasikan
daerah dengan karakteristik desa yang
secara geografis berdekatan dengan ibukota
Provinsi Jawa Barat dan dengan tingkat
urbanisasi (baca: proses pengkotaan desa)
yang cukup tinggi.
Pengumpulan data dilakukan melalui
studi kepustakaan yang relevan, focus group
discussion (FGD), dan wawancara mendalam
dengan para pihak terkait, serta observasi
lapangan, yang dilakukan pada bulan April
2015.
KERANGKA TEORI
Sebagai kerangka kajian, bagian berikut
tulisan ini akan memaparkan beberapa kon-
sep kunci. Beberapa konsep seperti paradig-
ma pengaturan desa, pemerintahan desa,
kapasitas pemerintahan desa, merupakan
konsep kunci yang menjadi kerangka penje-
las dalam tulisan ini.
PARADIGMA PENGATURAN DESA
Lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa berimplikasi pada perubahan kedudu-
kan desa dalam bangunan tata negara
Indonesia dan relasinya dengan negara dan
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat
50 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
warga. UU Desa yang baru menegaskan
bahwa paradigma atau asas yang mengkons-
truksi hubungan negara dan desa berdasar-
kan pada prinsip rekognisi dan subsidiaritas.
Konstruksi mengenai kedudukan dan relasi
baru ini tentunya sangat berbeda dengan
konstruksi sebelumnya. Dalam konstruksi
awal, sebagaimana dijelaskan dalam UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun
2005 tentang Desa, kedudukan desa merupa-
kan bagian dari daerah, sebab desentralisasi
hanya berhenti di kabupaten/kota. Dengan
konstruksi residualitas yang menempatkan-
nya sebagai bagian dari daerah tersebut, desa
hanya menerima pelimpahan sebagian kewe-
nangan dari kabupaten/kota. Konstruksi se-
rupa ini bersifat residualitas karena hanya
menempatkan desa sebagai penerima “sisa-
sisanya” kewenangan daerah, baik sisa kewe-
nangan maupun sisa keuangan dalam bentuk
alokasi dana desa (Sutoro Eko, 2014: 23).
Menurut Sutoro Eko (2014: 28), ditetap-
kannya konsep rekognisi sebagai asas
pertama bagi kedudukan desa dalam UU Desa
berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, desa
atau yang disebut dengan nama lain, sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat merupa-
kan entitas yang berbeda dengan kesatuan
masyarakat hukum yang disebut daerah.
Kedua, desa atau yang disebut dengan nama
lain merupakan entitas yang sudah ada
sebelum NKRI lahir pada tahun 1945, dan
sudah mempunyai susunan asli maupun
membawa hak asal usul. Ketiga, desa meru-
pakan bagian dari keragaman atau multikul-
turalisme Indonesia yang tidak bisa serta
merta diseragamkan. Keempat, dalam linta-
san sejarah yang panjang, desa secara struk-
tural menjadi arena eksploitasi terhadap
tanah dan penduduk, sekaligus diperlakukan
secara tidak adil, mulai dari era kerajaan,
pemerintahan kolonial, hingga pemerintah
NKRI. Kelima, konstitusi telah memberikan
amanat kepada negara untuk mengakui dan
menghormati desa atau yang disebut dengan
nama lain sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Asas rekognisi berarti negara mengakui
dan menghormati keragaman desa, keduduk-
an, kewenangan, dan hak asal-usul maupun
susunan pemerintahan. Namun sesungguh-
nya rekognisi tidak hanya dilakukan melalui
upaya-upaya yang mendorong pengakuan
dan penghormatan terhadap keragaman desa
dalam mewujudkan keadilan politik dan
keadilan budaya tersebut, melainkan juga,
sebagaimana diamanatkan dalam UU Desa,
negara melakukan redistribusi sumber daya
ekonomi melalui bentuk alokasi dana dari
APBN maupun APBD. Redistribusi uang me-
rupakan resolusi untuk menjawab ketidak-
adilan sosial-ekonomi karena intervensi, eks-
ploitasi dan marjinalisasi yang dilakukan
oleh negara selama ini terhadap desa.
Dengan mengacu pada asas rekognisi, UU
Desa juga melindungi desa dari berbagai
bentuk imposisi (pemaksaan) dan mutilasi
yang dilakukan oleh aktor-aktor supradesa,
politisi, dan investor.
Sedangkan asas subsidiaritas atau kewe-
nangan lokal berskala desa berarti bahwa
urusan lokal atau kepentingan masyarakat
setempat berskala lokal lebih baik ditangani
organisasi lokal, dalam hal ini desa, yang
paling dekat dengan masyarakat. Sebagai-
mana ditegaskan oleh Sutoro Eko (2014: 31),
dalam penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 sub-
sidiaritas mengandung makna penetapan lo-
kal berskala desa menjadi kewenangan desa.
Dalam hal ini, asas subsidiaritas hadir untuk
mengkoreksi dan menggantikan asas residu-
alitas yang selama ini diterapkan dalam UU
No. 32 Tahun 2004, yang menempatkan desa
sebagai hanya sebagai penerima sisa-sisa ke-
wenangan yang dilimpahkan pemerintah su-
pradesa (kabupaten/kota). Hal ini juga seka-
ligus meluruskan pemahaman keliru dari se-
bagian kelompok yang menganggap UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa mempunyai kesa-
maan dengan PP No. 72 Tahun 2005, yang
merupakan regulasi turunan dari UU No. 32
Tahun 2004.
Sebaliknya, menurut Sutoro Eko, sebagai-
mana asas rekognisi yang menghormati dan
mengakui kewenangan asal usul desa, penja-
baran subsidiaritas sebagai penetapan kewe-
nangan lokal berskala desa berarti bahwa UU
secara langsung menetapkan sekaligus mem-
beri batas-batas yang jelas tentang kewena-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 51
ngan desa tanpa melalui mekanisme penye-
rahan dari kabupaten/kota. Pemerintah juga
tidak mempunyai kewenangan untuk mela-
kukan campur tangan (intervensi) dari atas
terhadap kewenangan lokal desa. Pemerintah
supradesa sebagai lembaga sosial yang lebih
kuat dan lebih besar justru mempunyai tang-
gung jawab moral untuk memberikan duku-
ngan, kepercayaan dan bantuan (fasilitasi)
terhadap desa dalam mengatur dan mengu-
rus kepentingan masyarakat setempat.
Dalam konteks mendorong keadilan eko-
nomi dan politik (distribusi sumberdaya),
skema alokasi keuangan dari APBN untuk
desa juga merupakan salah satu wujud kon-
kret dari pengakuan negara terhadap
kewenangan berdasarkan hak asal usul (asas
rekognisi) dan kewenangan lokal berskala
desa (asas subsidiaritas) (Sudjatmiko dan
Zakaria: 2014: 6).
Pemerintahan Desa
Desa merupakan organisasi pemerintahan
terkecil. Sebagai organisasi pemerintahan,
desa berbeda dengan daerah walaupun kedu-
anya sama-sama merupakan suatu kesatuan
masyarakat hukum. Implikasinya, pemerin-
tahan desa pun memiliki konsepsi dan karak-
ter yang berbeda dengan pemerintahan dae-
rah. Pemerintahan daerah bersama dengan
DPRD merupakan unsur pembentuk daerah
otonom dan merupakan subjek hukum yang
merepresentasi-kan daerah, sedangkan kepa-
la daerah (bupati/walikota) dalam hal ini me-
rupakan personifikasi pemerintah daerah.
Adapun desa sebagai kesatuan masya-
rakat hukum merupakan organisasi kekuasa-
an ataupun organisasi pemerintahan, yang
secara jelas—sebagaimana ditegaskan dalam
UU No. 6 Tahun 2014—mempunyai batas-
batas dan kewenangan untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepen-
tingan masyarakat setempat. Dengan demi-
kian, desa bukanlah kelompok atau orga-
nisasi komunitas lokal semata, atau desa
bukanlah masyarakat. Bahkan, posisinya
sebagai organisasi pemerintahan desa berbe-
da dengan posisi pemerintahan desa teren-
dah di bawah camat sebagaimana yang di-
konstruksikan dalam UU No. 5 Tahun 1979.
Pemerintahan desa juga berbeda dengan
pemerintahan daerah yang tidak memiliki
unsur masyarakat, melainkan hanya perang-
kat birokrasi.
Oleh karena itulah UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa dalam penjelasannya menem-
patkan bahwa desa sebagai organisasi
campuran (hybrid) antara masyarakat berpe-
merintahan (self governing community)
dengan pemerintahan lokal (local self govern-
ment). Inilah yang menjadi bentuk desa
sebagai pemerintahan masyarakat atau pe-
merintahan berbasis masyarakat. Artinya,
desa tidak identik dengan pemerintah desa
dan kepala desa, melainkan desa menga-
ndung pemerintahan dan sekaligus meng-
andung masyarakat sehingga membentuk
kesatuan subjek hukum (Sutoro Eko, 2014:
34)
Dalam praktiknya sebagai organisasi
pemerintahan, pemerintahan desa merupa-
kan penyelenggara pemerintahan dan kepen-
tingan masyarakat setempat (desa) dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Repu-
blik Indonesia, sebagaimana disebutkan da-
lam UU No. 6 Tahun 2014. Bertindak sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan desa
adalah kepala desa yang merupakan repre-
sentasi dari pemerintah desa dengan dibantu
oleh perangkat desa. Lebih lanjut, UU Desa
juga menjelaskan bahwa pemerintahan desa
dijalankan dengan bertumpu pada beberapa
asas, antara lain: a) kepastian hukum; b) ter-
tib penyelenggaraan pemerintahan; c) kepen-
tingan umum; d) keterbukaan; e) proporsio-
nalitas; f) profesionalitas; g) akuntabilitas; h)
efektivitas dan efisiensi; i) kearifan lokal; j)
keberagaman; dan k) partisipatif.
Kapasitas dan Kinerja Pemerintahan Desa
Dalam satu elaborasi mendalam tentang
UU No. 6 Tahun 2014, Sutoro Eko (2014: xv)
mengatakan bahwa kehadiran UU Desa yang
baru ini menegaskan komitmen politik dan
konstitusional bahwa negara melindungi dan
memberdayakan desa agar menjadi kuat,
maju, mandiri, dan demokratis sehingga
dapat menciptakan landasan yang kokoh
dalam melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan menuju masyarakat yang adil,
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat
52 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
makmur dan sejahtera. Namun dalam imple-
mentasinya, visi mulia tersebut sudah barang
tentu tidak akan terwujud tanpa ditopang
oleh kapasitas dan kinerja desa dalam peme-
rintahan dan pembangunan. Pada titik ini,
kapasitas dan kinerja desa merupakan kom-
ponen penting dalam mendorong kemandiri-
an desa. Lalu, kapasitas pemerintahan desa
seperti apakah yang menjadi prasyarat
keberhasilan implementasi UU Desa untuk
mencapai visi kemandirian tersebut? Sebe-
lum menjawab pertanyaan ini, pada bagian
berikut akan mendiskusikan konsep kapa-
sitas pemerintahan desa terlebih dahulu
dengan berpijak pada kewenangan pemerin-
tahan desa.
UU No. 6/2014 menyebutkan bahwa ke-
wenangan desa meliputi kewenangan di bi-
dang penyelenggaraan pemerintahan desa,
pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan
kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan
masyarakat desa berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat
desa. Dengan memperhatikan sejumlah
kewe-nangan desa tersebut, maka urusan
yang menjadi fokus pemerintah desa meli-
puti 1) urusan pemerintahan yang sudah ada
berdasarkan hak asal usul; 2) urusan peme-
rintahan berdasarkan kewenangan lokal ber-
skala desa; 3) urusan pemerintahan berda-
sarkan kewenangan yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
dan 4) urusan pemerintahan kewenangan
lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Peme-
rintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ke-
tentuan peraturan perundang-perundangan.
Kapasitas pemerintah desa tentunya ter-
kait dengan kemampuan pemerintahan desa
dalam melaksanakan tugas dan fungsi ter-
sebut di atas. Dalam konteks ini pengemba-
ngan kapasitas pemerintah desa idealnya
sejalan dengan kewenangan yang diemban
desa sebagaimana diamanatkan oleh UU
Desa. Kapasitas pemerintah desa menjadi
parameter penting bagi pencapaian kinerja
pemerintahan desa. Dengan kata lain, penca-
paian kinerja pemerintahan desa yang baik
hanya akan terwujud jika mendapat dukung-
an dari individu, organisasi dan sistem yang
memadai. Namun banyak pihak selama ini
justru menganggap kapasitas pemerintah
desa sangat terbatas, sehingga yang terjadi
adalah ketergantungan terhadap pemerintah
(Sutoro Eko, 2014: 131).
Namun, menurut Sutoro Eko pula,
lemahnya kapasitas dan kinerja desa bukan
fakta yang abadi. Berpijak dari pengalaman
menjalankan program di desa-desa damping-
an ACCESS (The Austalian Community Deve-
lopment and Civil Society Strengthening
Scheme)—yang kemudian menginspirasi
para perumus UU Desa—pendampingan,
pemanfaatan jaringan, dan pembelajaran
yang berkelanjutan terbukti mampu men-
dongkrak kapasitas dan kinerja desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pemba-
ngunan desa. Setidaknya, terdapat dua hal
pokok yang menjadi fokus pengembangan
kapasitas dan kinerja pemerintah desa. Per-
tama, kapasitas dalam pemetaan sosial dan
perencanaan pembangunan desa. Kedua,
kapasitas dalam mengelola dan mengalokasi-
kan anggaran desa untuk kepentingan ma-
syarakat luas. Sebagai contoh, pembuatan
perencanaan desa dapat menjadi salah satu
titik masuk untuk melihat kapasitas dan
kinerja desa. Dalam konteks implementasi
UU Desa, dokumen perencanaan (RPJMDes,
APBDes, dan RKPDes) merupakan syarat
pencairan Alokasi Dana Desa dari Kabupaten.
Proses perumusan dokumen perencanaan
desa pun tidak hanya berlangsung seperti
halnya kegiatan seremonial Musrembangdes
belaka, melainkan lebih dari itu. Proses
perencanaan desa dirumuskan melalui suatu
mekanisme bertahap dan agenda panjang
yang dilakukan secara kolektif dan inklusif,
yakni mulai dari musyawarah desa, pemeta-
an desa, sensus, eksplorasi, pengorganisasian
aset, pertemuan apresiatif, perencanaan dan
penganggaran.
Tak hanya itu, pengalaman ACCESS juga
menunjukkan bahwa pemerintah desa dan
masyarakatnya mempunyai kemampuan un-
tuk memetakan potensi, aset, dan kemiskinan
desa dengan menggunakan instrumen peme-
taan desa maupun analisis kemiskinan parti-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 53
sipatif. Hasilnya kemudian menjadi pijakan
dalam penyusunan perencanaan desa. Lebih
dari itu, pengalaman desa-desa ACCESS bah-
kan tidak hanya mampu menyusun dokumen
administratif, tetapi juga yang lebih penting
adalah meyusun strategi dan program secara
logis sebagai jawaban atas permasalahan dan
tantangan yang dihadapi desa. Pengalaman
inilah yang terjadi antara lain di desa Bonto-
sungu, Kepulauan Selayar dan desa-desa di
Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dan
desa Lepadi, Dompu, Nusa Tenggara Barat.
PEMBAHASAN
Implementasi UU Desa: Bagaimana Res-
pon Pemerintah Daerah?
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu
provinsi penyangga dan berbatasan langsung
dengan daerah khusus ibukota Jakarta. Di
Jawa Barat sendiri terdapat 5.321 desa dan
643 kelurahan yang tersebar 18 wilayah
kabupaten dan 9 kota. Dalam rangka imple-
mentasi UU Desa, jumlah desa yang mencapai
ribuan tersebut tentunya menjadi tantangan
tersendiri dalam upaya menjalankan amanat
UU Desa. Namun letak geografis yang berde-
katan dengan pusat pemerintahan di Jakarta,
tentunya akan memudahkan proses sosiali-
sasi, implementasi, dan monitoring setiap ke-
bijakan atau regulasi dari pusat. Berdasarkan
temuan di lapangan, kajian ini menunjukkan
bahwa implementasi UU No. 6/2014 di Jawa
Barat memunculkan dinamika dan problema-
tika tersendiri. Suatu hal yang pada giliran-
nya membutuhkan strategi dan regulasi turu-
nan baru yang lebih kontekstual guna men-
jawab tantangan lapangan dalam melaksana-
kan amanat UU. Selain itu, ada juga peluang
yang dapat terus digali demi mengoptimal-
kan pelaksanaan UU Desa.
Sebagai contoh, sebelum berlaku UU Desa
No. 6 Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Jawa
Barat sendiri sudah memberikan bantuan
secara langsung kepada setiap desa sebesar
Rp 100 juta. Hingga bulan April 2015, Pem-
prov Jabar termasuk daerah provinsi yang
lebih dini melakukan sosialisasi penerapan
UU Desa, terutama terkait pertanggungjawa-
ban dana desa, walaupun peraturan dari
pusat belum ada yang lebih rinci dan jelas.
Bahkan peraturan yang sudah ada pun, yaitu
Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa dan PP No. 60 Tahun 2014 ten-
tang Dana Desa yang Bersumber dari Angga-
ran dan Pendapatan Belanja Negara pun dire-
visi lagi. Berdasarkan pembagian alokasi
dana desa dari APBN dalam rangka melak-
sanakan UU Desa, setiap desa di Provinsi
Jabar diperkirakan mendapat alokasi dana
sekitar Rp 300-400juta.1 Lalu bagaimana res-
pon pemerintah daerah dan desa mengenai
implementasi UU Desa tersebut?
Berdasarkan penelusuran ke tiga daerah
lokus kajian, yaitu Kabupaten Sukabumi, Ka-
bupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang,
pemerintah daerah sudah melakukan bebe-
rapa persiapan, baik terkait dengan pembu-
atan regulasi turunan (Perda/Perbup) mau-
pun program peningkatan kapasitas desa dan
perangkatnya. Pemerintah Kabupaten Ban-
dung, misalnya, dalam melaksanakan imple-
mentasi UU Desa, sudah membuat 2 Perda
dan 1 Perbup, antara lain: Peraturan Daerah
No. 19 Tahun 2014 tentang Pemilihan dan
Pemberhentian Kepala Desa, yang kemudian
diimplementasikan melalui Perbup No. 3
Tahun 2014, Peraturan Daerah No. 20 Tahun
2014 tentang Keuangan Desa, dan Peraturan
Bupati tentang peruntukan anggaran desa
yang tengah dalam proses penyusunan2.
Sedangkan Pemkab Sumedang sejauh ini
sudah membuat 3 Perda dan 1 Perbup, anta-
ra lain Perda No. 2 Tahun 2014 tentang Tata
Cara Pencalonan, Pemilihan, dan Pemberhen-
tian Kepala Desa; Perda No. 3 Tahun 2014
tentang Pilkades Serentak; dan Perda No. 4
Tahun 2014 tentang Badan Permusyawara-
tan Desa.3 Mereka juga tengah menyiapkan
Peraturan Bupati tentang pemilihan kepala
desa serentak. Adapun Pemkab Sukabumi
1Wawancara dengan Radian, Bagian Tata Pemerintahan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 22 April 2015. 2Wawancara dengan Agus Rizal, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Kabupaten Bandung, 22 April 2015. 3Wawancara dengan Teti, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Sumedang, 22 April 2015.
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat
54 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
baru menyelesaikan rancangan 2 Perbup,
yaitu Perbup tentang Pengaturan ADD yang
bersumber dari APBD dan Perbup tentang
pengaturan ADD yang bersumber dari APBN.
Pengesahan kedua Perbup ini akan dilakukan
setelah revisi PP Permendagri selesai. Sebe-
lumnya, Kabupaten Sukabumi mempunyai 4
Perda dan Perbup tentang desa. Kini sudah
tidak bisa dipakai karena harus menyesuai-
kan dengan UU baru.
Pelaksanaan UU Desa yang beriringan
dengan pelaksanaan Pilkada, menjadi masa-
lah tersendiri bagi beberapa pemerintah
daerah. Di Kabupaten Sukabumi, misalnya,
terserapnya anggaran untuk penyelenggara-
an Pilkada berdampak pada kurangnya ang-
garan untuk membangun sarana dan prasa-
rana, termasuk di desa. yang lebih genting
lagi, Pemda juga mengalami kekurangan
anggaran untuk mengawal pelaksanaan UU
Desa, sementara bebannya kian bertambah.
Namun di luar segala keterbatasan yang ada,
pemerintah daerah kabupaten/kota tetap
berkomitmen menjalankan amanah UU
dengan segenap kemampuan fiskal yang
ada.4 Mendekati pelaksanaan UU Desa, sejak
tahun 2014 beberapa mereka melakukan
kegiatan persiapan, yaitu melalui Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah-
an Desa (BPMD) atau lembaga sejenis di
setiap kabupaten/kota. Kegiatan yang dilaku-
kan antara lain adalah melakukan sosialisasi
tentang UU Desa dan mengadakan pelatihan
untuk meningkatkan kapasitas perangkat
desa.
Mengacu pada PP No. 43/2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014
tentang Desa, pemerintah dan pemerintah
daerah masih mempunyai kewenangan
menyelenggarakan pemberdayaan masyara-
kat Desa dengan pendampingan secara
berjenjang sesuai dengan kebutuhan. Dalam
pelaksanaannya, pendampingan masyarakat
Desa dapat dilaksanakan oleh satuan kerja
perangkat daerah kabupaten/kota dan dapat
dibantu oleh tenaga pendamping profesional,
4Wawancara dengan Agus Rahmat, Sekretaris BPMPD Kabupaten Sukabumi, 23 April 2015.
kader pemberdayaan masyarakat Desa,
dan/atau pihak ketiga. Hal ini ditegaskan
pula melalui Permendesa No. 3 Tahun 2015
tentang pendampingan desa. Masalah muncul
manakala,baik pemerintah provinsi maupun
pemerintah kabupaten, terbentur keterbata-
san waktu, tenaga, biaya. Akibatnya, meski
dana sudah dapat dicairkan, pendamping
belum siap. Dari wacana yang bergulir, bebe-
rapa pihak menyarankan agar pendampingan
tersebut ditangani oleh pihak ketiga saja, dan
dalam hal ini rekomendasinya jatuh tidak
lain dan tidak bukan kepada mantan fasilita-
tor program PNPM Mandiri.
Dua Isu Krusial
1. Pengelolaan Keuangan Desa
Dalam prosesnya, pelaksanaan UU Desa di
Jawa Barat memang memunculkan dinamika
dan permasalahan baik yang bersifat norma-
tif maupun permasalahan di lapangan. Terka-
it dengan menyebutkan bahwa pengalokasi-
an ADD secara proporsional dengan memper-
timbangkan 4 faktor berikut: jumlah pendu-
duk desa, angka kemiskinan desa, luas wila-
yah desa, dan tingkat kesulitan geografis
desa. Namun dalam kenyataan di lapangan
menunjukkan adanya problem. Jika tetap
dipaksakan, mekanisme pembagian ADD
menggunakan asas proporsionalitas, meng-
hasilkan pembagian yang timpang dan berpo-
tensi memicu konflik horisontal di ranah
desa. Selain itu, pembagian ADD menurut
asas proporsional mensyaratkan pemutakhi-
ran dan akurasi data wilayah dan demografi
dari BPS. Masalah muncul karena data yang
dimiliki BPS seringkali berasal dari penda-
taan duadi daerah adalah data lama yang
berasal dari 2-3 tahun silam. Dengan kondisi
demikian, tak pelak lagi, pengelolaan keu-
angan desa merupakan salah satu isu krusial
dalam implementasi UU Desa.5
Di awal-awal periode pelaksanaannya, UU
Desa memunculkan kebingungan, baik di ka-
langan pemerintah daerah kabupaten/kota,
pemerintah desa, maupun masyarakat um-
um. Dana desa memang sudah tersedia di kas
pemerintah kabupaten/kota, namun belum
5Wawancara dengan Agus Rahmat...
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 55
bisa dicairkan karena peraturannya belum
jelas dan operasional. Di satu sisi, mekanisme
pencairan harus menunggu revisi peraturan
PP 43 dan PP 60 yang hingga laporan ini
ditulis belum tuntas. Di desa juga beredar
kabar bahwa Permendagri No. 113 tentang
Pengelolaan Keuangan Desa juga tengah
direvisi. Di sisi lain, sebagian pemerintah
daerah masih belum membuat aturan-aturan
yang diperlukan, semisal Perbup atau Perda,
karena menunggu peraturan yang lebih jelas
dan rinci. Sementara itu, daerah sangat
terbatas dengan waktu, padahal harus segara
mengimplementasikan UU Desa.
Baik di kalangan aparatur pemerintah
daerah dan perangkat desa, muncul kesan
bahwa implementasi UU Desa ini terlalu
birokratis mengingat banyaknya peraturan
yang harus diperhatikan untuk mencairkan
dana desa. Kepala desa sering beranggapan
Pemkab mempersulit pemberian dana desa.
Banyak desa yang belum menyiapkan
RPJMDes, APBDes, RKP Desa, sebagai per-
syaratan untuk mencairkan dana desa karena
pembuatan semua dokumen itu mengandai-
kan adanya kepastian besaran jumlah dana
yang akan dikelola oleh setiap desa. Desa
memang mempunyai RPJMDes pola lama,
tapi dengan adanya UU Desa perlu ada
penyesuaian baru.6
Masing-masing daerah merespon secara
beragam adanya kecenderungan birokratisa-
si yang kian menguat dalam pengelolaan
dana desa ini. Karena khawatir dana desa
akan diselewengkan, Pemerintah Kabupaten
Bandung merasa perlu untuk membentuk tim
verifikasi di tingkat kecamatan dan pengawa-
san pembinaan oleh camat.7 Sedangkan di
Kabupaten Sumedang selama ini ada kecen-
derungan desa tidak tahu tentang pola-pola
penggunaan dana desa sehingga banyak
Kepala Desa yang diundang ke kejaksa-
an/kepolisian untuk dimintai keterangan.
Untuk itu, Pemkab Sumedang menyambut
baik upaya Polda Jawa Barat yang menugas-
kan jajaran Polres di setiap kabupaten/kota
melakukan pembinaan aparatur pemerintah-
6Wawancara dengan Teti... 7Wawancara dengan Agus Rizal...
an desa dalam rangka menyongsong imple-
mentasi UU Desa. Hal ini bertujuan agar desa
lebih waspada dalam mengoptimalkan peng-
gunaan dana dan sesuai aturan. Sementara
itu, pemerintah Kabupaten Sukabumi meng-
hadapi problem yang berbeda. Keluhan mun-
cul karena dalam APBD kabupaten tidak ada
pos anggaran untuk membiayai kegiatan
sosialisasi tentang anggaran desa. Padahal,
seperti yang dialami oleh desa-desa di Kabu-
paten Sumedang, desa-desa di Kabupaten
Sukabumi kesulitan menyusun RAPBDes
karena besaran nominalnya belum pasti dan
aturannya pun belum jelas alias membi-
ngungkan.
Masih dalam konteks pengelolaan dana
desa, menjadi penting pula kiranya untuk
memperhatikan temuan Tim STIA LAN Ban-
dung. Penelitian mereka yang dilakukan di
wilayah kabupaten Bandung menjelang
ditetapkannya UU Desa menemukan bahwa
sebagian desa di sana dalam beberapa tahun
terakhir mempunyai sumber anggaran desa
yang cukup besar dan beragam. Selain dari
penghasilan asli dan swadaya masyarakat
desa, aliran dana yang masuk ke dalam
anggaran desa juga antara lain berasal dari
dana bantuan pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten, perusahaan/dana
CSR, dana Parpol, hibah, dan lain-lain.
Dengan sumber yang beragam tersebut, se-
tiap desa dapat mengelola anggaran berkisar
antara Rp 600-800 juta. Namun, mekanisme
pengaturan dan pertanggungjawabannya
yang selama ini belum jelas dapat menjadi
masalah di kemudian hari.
2. Perencanaan Pembangunan Desa
Isu krusial lainnya dalam rangka imple-
mentasi UU Desa adalah perencanaan pemba-
ngunan desa. Pasal 79 UU Desa antara lain
menyebutkan bahwa penyusunan perenca-
naan pembangunan desa dilakukan dengan
memperhatikan: 1) mengacu pada perenca-
naan pembangunan Kabupaten/ Kota; 2) Pro-
gram Pemerintah dan/atau Pemerintah Dae-
rah yangberskala lokal Desa dikoordinasikan
dan/atau didelegasikan pelaksanaannya ke-
pada Desa; 3) sebagai salah satu sumber ma-
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat
56 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
sukan dalam perencanaan pembangunan Ka-
bupaten/ Kota.
Pada Pasal 80 juga disebutkan bahwa pri-
oritas, program, kegiatan, dan kebutuhan
pembangunan desa yang didanai oleh Ang-
garan Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya
masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Penda-
patan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota
ditetapkan melalu mekanisme musyawarah
perencanaan pembangunan desa. Namun
dalam kenyataannya di lapangan tidak semua
kegiatan desa sesuai dengan perencanaan
desa. Kasus yang sering terjadi justru desa
membuat program tanpa memperhatikan
dokumen perencanaan. Di Kabupaten Sume-
dang, bahkan tidak sedikit desa yang belum
tahu bentuk perencanaannya seperti apa;
apakah harus mengikuti model daftar
pengeluaran anggaran (DPA, seperti di SKPD)
atau model rencana anggaran belanja (RAB)
saja. Berdasarkan kasus di Kabupaten Sume-
dang, selama ini bentuk perencanaan belanja
mengikuti model RAB, tetapi pelaksanaan
pembelanjaannya sering tidak sesuai.8
Problem juga muncul terkait dengan
rancangan pembangunan kawasan perdesa-
an. Pasal 83 UU Desa mengamanatkan agar
rancangan pembangunan kawasan perdesaan
dibahas bersama oleh Pemerintah, Pemerin-
tah DaerahProvinsi, Pemerintah Daerah Ka-
bupaten/Kota, dan Pemerintah Desa. Hasil-
nya, kemudian ditetapkan oleh Bupati/Wali-
kota sesuai dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupa-
ten/kota. Namun perencanaan desa belum
bisa dilakukan sepenuhnya karena peren-
canaan di tingkat kabupaten/provinsi sering
terlambat. Padahal sejak bulan Desember,
desa sudah menetapkan Perdes tentang
pembangunan desa. Tidak hanya itu, sosiali-
sasi rencana tata ruang dari atas ke bawah
(provinsi-kabupaten-desa) juga kadang tidak
sampai hingga ke tingkat desa, sehingga
menyebabkan perencanaan desa bentrok
dengan perencanaan kabupaten/provinsi.
Masalah kian bertambah karena di desa
sering juga dipimpin oleh figur-figur pemim-
pin desa yang berwawasan sempit. Dalam
8Wawancara dengan Teti...
segi ini, desa seyogyanya justru membutuh-
kan figur pemimpin yang paling tidak dapat
memahami perencanaan wilayah yang dibuat
kabupaten.9
Sesungguhnya, lemahnya koordinasi anta-
ra pemerintah desa dengan lembaga peme-
rintahan supra desa seperti yang tergambar
di atas terkait dengan hubungan antara kedu-
anya dalam konteks lebih luas yang selama
ini, sayangnya, juga memperlihatkan pola
hubungan yang tidak “sedang baik-baik saja”.
Pasal 15 dan 16 UU Desa memang mengatur
hubungan pemerintah desa dengan pemerin-
tahan supra desa (Pemerintah Pusat, Pemda
Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota).
Dalam hal ini, UU Desa menyebutkan bahwa-
sanya Pemerintah, Pemda Provinsi dan
Pemda Kabupaten/Kota mempunyai kewena-
ngan untuk melakukan: 1) pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
desa; 2) mendelegasikan pembinaan dan
pengawasan kepada perangkat daerah; dan
3) memberdayakan masyarakat desa. Yang
perlu menjadi catatan bahwa semenjak ada-
nya otonomi hubungan berjenjang antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, hingga ke desa
justru sering berjalan kurang lancar. Hal ini
karena dalam banyak kasus seorang kepala
daerah kadang-kadang masih membawa
kepentingan Parpol-nya sendiri. Jika dari atas
hingga ke bawah Parpolnya berbeda, biasa-
nya hubungan yang terbangun diwarnai kete-
gangan.10
Terkait perencanaan pembangunan desa,
hal yang juga perlu diperhatikan di masa
depan adalah seputar ketimpangan akses
terhadap informasi. Berdasarkan pengala-
man desa-desa di Jawa Barat, salah satu
hambatan penyampaian informasi rencana
pembangunan desa adalah disebabkan oleh
kesenjangan pemahaman dan penerimaan
informasi tentang anggaran desa. Untungnya,
guna menjawab masalah ini UU Desa sudah
mengakomodasi isu mengenai pentingnya
membangun sistem informasi desa. Pasal 86
antara lain menyebutkan “Pemerintah dan
9Wawancara dengan Radian... 10Ibidem.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 57
Pemerintah Daerah wajib mengembangkan
sistem informasi Desa dan pembangunan
Kawasan Perdesaan”. Lebih lanjut, Pasal 86
mengamanatkan agar sistem informasi desa
tersebut yang dikelola oleh pemerintah desa
dan dapat diakses oleh masyarakat desa dan
semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini,
sistem informasi desa meliputi data desa,
data pembangunan desa, kawasan perdesaan,
serta informasi lain yang berkaitan dengan
pembangunan desa dan pembangunan kawa-
san perdesaan.
Dimensi akses terhadap informasi ini
tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sistem informasi desa yang tertata dengan
baik dan solid memungkinkan terwujudnya
kemudahan dan pemerataan akses atas
informasi yang relevan dengan pembangun-
an desa. Penguasaan akses informasi desa
yang relatif merata dan memadai pada gili-
rannya akan berdampak pada peningkatan
kepercayaan diri masyarakat desa untuk
kemudian turut terlibat dalam pembangunan
desanya. Dari segi ini, pemerataan akses
informasi akan berdampak pada dua hal:
penguatan demokratisasi desa dan pendo-
rong partisipasi masyarakat dalam pemba-
ngunan desa. Dengan demikian, hal tersebut
dapat menjawab problem bahwa selama ini
tidak banyak desa yang mempunyai penga-
laman untuk melibatkan partisipasi masya-
rakat dalam pembangunan desa, baik dalam
tataran perencanaan, pelaksanaan, dan per-
tanggungjawaban. Dalam Pasal 80, UU No. 6
Tahun 2014 sendiri secara eksplisit menga-
manatkan bahwa perencanaan pembangunan
desa harus mengikutsertakan masyarakat
desa.
Tantangan SDM Desa
Dari pemaparan di atas tampak jelas
bahwa yang menjadi tantangan utama di desa
salah satunya adalah potensi dan kapasitas
sumber daya manusia setempat yang masih
minim. Hal ini tidak hanya tercermin dari
sulitnya mencari figur-figur pemimpin desa
yang visioner, berwawasan luas, dengan
kapasitas yang mumpuni, melainkan juga
problem yang kurang lebih sama terletak
pada kelompok perangkat desa dengan kapa-
sitas yang terbatas. Di Jawa Barat memang
terdapat beberapa desa yang berhasil meng-
optimalkan potensi sumber daya yang ada
karena sejumlah faktor seperti kapasitas
pemimpin, perangkat desa dan masyarakat-
nya, serta sebagai buah dari kolaborasinya
dengan organisasi masyarakat sipil, sehingga
tampil menjadi desa yang mandiri—seperti
desa Ciburial di Kabupaten Bandung.11
Namun, umumnya desa-desa di Jawa Barat
masih mengalami kesulitan serius dalam
menghadapi tantangan rendahnya kapasitas
sumber daya manusia di pedesaan.
Minimnya potensi sumber daya manusia
di desa selama ini tidak mengherankan kare-
na rata-rata tingkat pendidikan penduduk
desa hanya lulusan sekolah dasar (SD).
Tentunya hal ini menjadi tantangan ter-
sendiri dalam implementasi UU Desa. Sebab,
Pasal 50 UU Desa menyebutkan bahwa
persyaratan perangkat desa antara lain
berpendidikan minimal SMA dan berusia 20-
42 tahun. Padahal selain hambatan tingkat
pendidikan, berdasarkan temuan lapangan
dari ketiga daerah kabupaten di Jawa Barat
yang menjadi lokus kajian, selama ini posisi
perangkat desa serungkali diisi oleh orang-
orang yang menjelang usia pensiun. Mereka
dipilih berdasarkan pertimbangan ketokohan
atau pengalaman yang bersangkutan.
Dinamika politik desa pun tak jarang
mempengaruhi pemilihan dan pengangkatan
perangkat desa. Di sejumlah desa di Jawa
Barat, misalnya, ada kecenderungan feno-
mena “ganti kepala desa, ganti perangkat”.
Fenomena ini jelas merugikan desa karena
pembinaan yang sudah dilakukan BPMPD
selama ini menjadi sia-sia.12 Dimensi keberla-
njutan program pembinaan juga menjadi
terancam dan hanya menghambur-hambur-
kan anggaran.
Apa sebenarnya yang menyebabkan desa
mengalami kelangkaan sumber daya manusia
yang mumpuni, termasuk untuk menjalankan
pemerintahan desa? Benarkah desa tak per-
nah melahirkan sumber daya manusia yang
11Wawancara dengan Agus Rizal... 12Wawancara dengan Radian...
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat
58 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
mampu menjawab tantangan kebutuhan
pembangunan dan pemerintahan di tingkat
desa?
Para ahli sosiologi dan antropologi
pedesaan sesungguhnya mempunyai panda-
ngan yang cukup menarik disimak. Salah
satunya datang dari Robert Z Lawang, guru
besar sosiologi pedesaan Universitas Indone-
sia. Menurut Lawang, paradigma pemba-
ngunan yang cenderung “anti-desa” yang
selama ini melahirkan struktur sosial yang
timpang antara desa dan kota menyebabkan
hidup di desa serba susah (Lawang, 2006).
Kurangnya perhatian pemerintah dan sektor
swasta pada pembangunan prasarana jalan,
pendidikan, kesehatan, perbankan di daerah
pedesaan, membuat desa itu menjadi tempat
yang penuh masalah yang tidak teratasi. Tak
heran jika kemudian desa ditinggalkan oleh
orang-orang terbaik yang pernah
dilahirkannya.
EF Schumacher, ahli ekonomi dan pemikir
sosial dari Inggris yang mempunyai
perhatian besar terhadap desa, bahkan sejak
jauh-jauh hari mengingatkan perihal kondisi
ini. Menurut Schumacher (1979:182), pokok
persoalan kemiskinan di dunia adalah
terutama menyangkut masalah dua juta desa.
Selama beban hidup di pedesaan tidak dapat
diringankan, masalah kemiskinan di dunia
tidak akan dapat diselesaikan, malah
kondisinya akan semakin memburuk.
Penutup
Kesimpulan
Geliat desa dan pemerintah daerah dalam
mengimplementasikan UU No. 6 Tahun 2014
tentang desa menunjukkan dinamika dan
tantangan yang menarik. Berdasarkan temu-
an lapangan di tiga daerah kabupaten di Jawa
Barat yang menjadi lokus kajian ini, umum-
nya pemerintah daerah dan desa sudah mem-
persiapkan diri dalam rangka pelaksanaan
UU Desa. Persiapan yang dilakukan antara
lain dengan membuat regulasi turunan di
tingkat daerah (Perda dan Perbup), sosiali-
sasi dan upaya peningkatan kapasitas apara-
tur desa melalui serangkaian kegiatan bim-
bingan teknis yang dilakukan oleh BPMPD.
Namun rupanya, seiring beban pemerintah
daerah yang bertambah tidak diimbangi
dengan kemampuan fiskal yang memadai.
Kondisi ini menyebabkan kegiatan sosialisasi
dan upaya peningkatan kapasitas aparatur
desa oleh BPMPD tidak bisa berjalan optimal,
bahkan cenderung seadanya. Di Kabupaten
Sukabumi, misalnya, sisa anggaran yang ada
harus berebut dengan kebutuhan penyeleng-
garaan Pilkada.
Sedangkan pembuatan regulasi turunan
(Perda dan Perbup) agak tersendat karena
adanya revisi PP No. 60 Tahun 2014 dan PP
No. 43 Tahun 2014 dan pengesahan Permen-
dagri yang terlambat. Hal ini menyebabkan
pelaksanaan UU Desa menjadi terhambat
karena peraturan turunannya yang belum
jelas dan operasional. Hingga April 2015,
banyak desa yang belum dapat menyusun
dokumen perencanaan karena peraturan
yang belum jelas ini.
Penyusunan perencanaan pembangunan
desa dan pengelolaan keuangan desa menjadi
dua isu krusial dalam implementasi UU Desa.
Tantangannya adalah bagaimana agar desa
mampu menyusun perencanaan desa berda-
sarkan problem dan kebutuhan yang ada
dengan tidak hanya melalui mekanisme yang
bersifat teknokratis belaka, melainkan juga
membuka dengan ruang keterlibatan masya-
rakat seluas-luasnya dengan memanfaatkan
saluran yang ada sebagaimana diatur dalam
UU Desa. Dalam konteks, ini penguatan BPD
dan musyawarah desa layak menjadi prio-
ritas, kendati memerlukan proses panjang
dan berliku mengingat banyak desa yang
belum berpengalaman untuk mengakomoda-
si partisipasi warga dalam merumuskan
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggung-
jawaban pembangunan desa.
Selain itu, ada juga beberapa problem lapangan dan problem normatif bagi imple-mentasi UU Desa. Kelangkaan sumber daya manusia yang memadai di ranah desa men-jadi problem kunci di lapangan karena hal ini pada gilirannya berimbas pada rendahnya kapasitas desa dalam mengoptimalkan age-nda pembangunan desa sebagaimana diama-natkan dalam UU Desa.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 59
Rekomendasi
Berpijak pada uraian di muka, beberapa rekomendasi yang perlu ditempuh bagi upaya mengoptimalkan implementasi UU Desa di masa mendatang adalah: Pertama, penataan desa perlu segera disiapkan oleh pemerintah pemerintah kabupaten/kota dengan memprioritaskan penataan sistem administrasi desa dan memasukkan agenda pengembangan kapasitas SDM untuk memba-ngun manajemen yang efektif.
Kedua, perlunya memprioritaskan peme-
taan kapasitas desa untuk menentukan
tipologi desa melalui penghitungan aset desa,
kapasitas sumber daya manusia, jumlah dan
sebaran penduduk desa, ketersediaan infra-
struktur dasar bagi masyarakat desa, serta
kondisi ekonomi, sosial, dan kultural masya-
rakat desa. Dengan demikian, perencanaan
desa di masa mendatang tidak hanya sekadar
mengacu padaapa yang sudah ada saat ini.
Ketiga, lembaga sosial supradesa (peme-
rintah kabupaten/kota), perlu mengoptimal-
kan program pendampingan desa, pemanfa-
atan jaringan, dan menetapkan program
pembelajaran yang berkelanjutan untuk
mendongkrak kapasitas dan kinerja desa
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan desa.
Keempat, peningkatan kapasitas perang-
kat desa diarahkan pada dua hal pokok: 1)
penguatan kapasitas dalam pemetaan sosial
dan perencanaan pembangunan desa; 2)
penguatan kapasitas dalam mengelola dan
mengalokasikan anggaran desa untuk
kepentingan masyarakat luas.
Kelima, pemerintah desa perlu menginte-
grasikan sistem informasi desa (SID) tidak
hanya ke dalam sistem perencanaan pemba-
ngunan, tapi juga dalam pengelolaan keu-
angan dan aset desa. Dalam hal ini, kiranya
penting bagi desa diberi kewenangan untuk
membentuk unit organisasi baru yang
memiliki tugas pokok dan fungsi dalam
pembuatan dan pembaharuan data base
desa, hingga melakukan pemantauan atas
perubahan struktur geografis desa, baik
karena proses alamiah atau penetrasi modal
yang masuk ke desa.
Keenam, partisipasi masyarakat merupa-
kan salah satu elemen kunci dalam peru-
musan perencanaan, pelaksanaan, dan per-
tanggungjawaban program pembangunan
desa. Proses perencanaan desa dirumuskan
melalui suatu mekanisme bertahap dan
agenda panjang yang dilakukan secara
kolektif-partisipatif dan inklusif, yakni mulai
dari musyawarah desa, pemetaan desa, sen-
sus, eksplorasi, pengorganisasian aset,
pertemuan apresiatif, perencanaan dan
penganggaran.
Ketujuh, perencanaan daerah dan peren-
canaan desa mempunyai hubungan yang
terkonsolidasi. Desa dalam menyusun RPJM
Desa dan RKP Desa memuat program prio-
ritas, program dan kegiatan lokal berskala
desa yang akan dibiayai sendiri oleh desa.
Sedangkan kabupaten/kota berkewajiban
memberikan informasi tentang program dan
prioritas kegiatan pembangunan daerah yang
akan dilaksanakan di desa. Untuk memudah-
kan desa dalam mengacu program-program
daerah, maka informasi perencanaan daerah
yang diberikan kepada desa dibuat lebih
sederhana, misalnya berupa ringkasan
RPJMD/RKPD. Hal ini dimaksudkan agar
RPJM Desa/RKP Desa dan RPJMD/RKPD
kabupaten/kota dapat terkonsolidasi dengan
baik.
Kedelapan, dalam perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan berskala desa,
pemerintah supra desa (Kementerian/Lem-
baga Sektoral dan Dinas/SKPD) hadir dalam
rangka memberikan panduan (asistensi) dan
dukungan (fasilitasi), misalnya melalui
penyelenggaraan-penyelenggaraan pelatihan
atau bantuan teknis yang dibutuhkan desa.
Kesembilan, perlunya memperkuat musyawarah desa dengan melibatkan lebih banyak aktor dalam proses perencanaan desa. Semakin banyak aktor yang dilibatkan dalam proses perencanaan, maka hasilnya semakin legitimated. Selain melibatkan aktor-aktor yang merepresentasikan kelom-pok elite desa seperti pemerintah desa, BPD, tokoh agama/adat, musyawarah desa perlu melibatkan kelompok-kelompok kegiatan/ kepentingan tertentu seperti kelompok tani, kelompok rentan (warga miskin, perempuan,
Dinamika dan Problematika Implementasi Undang-Undang Desa: Pembelajaran dari Tiga Daerah di Jawa Barat
60 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
dan penyandang disabilitas), serta organisasi masyarakat sipil yang ada di desa.
DAFTAR PUSTAKA Buku, Majalah, Media Cetak Astuti, Dwi. “Pedesaan: Potret Kemiskinan
yang Belum Usai” dalam Baskara T. Wardaya, dkk, 2007, Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Jakarta: ELSAM.
Eko,Sutoro, dkk., 2014, Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa.
Gunadi Brata,Aloysius. “Kehancuran Ekonomi Perdesaan, Mengapa Berlanjut?” dalam Baskara T. Wardaya, dkk, 2007, Menelusuri Akar Otoritaria-nisme di Indonesia, Jakarta: ELSAM.
Jaweng, Robert Endi. 2015, “Setahun UU Desa”, Harian Kompas 14 Februari, hal. 6
Kompas, 2015. “Untuk Kelancaran Dana Desa, Perkuat Struktur Kelembagaan Desa”, Harian Kompas Edisi Siang, 9 Juli 2015.
Lawang, Robert Z. 2006, “Anti Desa: Sebuah Telaah Sosiologis”, Teks Pidato Upacara Pengukuhan Guru Besar Sosiologi Modern FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 16 November.
Schumacher, EF. 1979, Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil (diterjemahkan oleh S. Supomo dari Small Is Beautiful: A Study of Economics as If People Mattered), Jakarta: LP3ES.
Sudjatmiko, Budiman dan Zakaria,Yando. 2014, Desa Kuat, Indonesia Hebat!: Buku Pegangan bagi Aparat/ Perangkat Desa Seluruh Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia.
Tim Kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla,
2014, “Jalan Perubahan untuk
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri,
dan Berkepribadian: Visi Misi dan
Program Aksi Joko Widodo-Jusuf
Kalla 2014”, Jakarta: Tim Kampa-
nye Jokowi-JK
White,Ben. “Di Antara Apologia Diskursus Kritis: Transisi Agraria dan Peliba-
tan Dunia Ilmiah di Indonesia” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (Peny.), 2006, Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta-Singapore: Equinox Publi-shing.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang
Desa Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005
tentang Desa Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa
Peraturan Kementerian Desa No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa.
Wawancara Wawancara dengan Radian, Bagian Tata
Pemerintahan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 22 April 2015.
Wawancara dengan Agus Rizal, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Kabu-paten Bandung, 22 April 2015.
Wawancara dengan Teti, Badan Pember-dayaan Masyarakat dan Pemerin-tah Desa Kabupaten Sumedang, 22 April 2015.
Wawancara dengan Agus Rahmat, Sekretaris BPMPD Kabupaten Sukabumi, 23 April 2015.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 61
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan
The Village within the Framework of the Unitary State of the Republic of
Indonesia (NKRI): Looking at the Village from Regulations Perspective
Rico Hermawan
Peneliti pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana masyarakat memiliki pemerintahannya sendiri. Secara jelas, dalam konstitusi pemerintah mengakui keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum asli Indonesia ini yang jenisnya kurang lebih mencapai 250 jenis. Pada awal Indonesia berdiri, melalui berbagai peraturan per-undang-undangan, pemerintah telah mengakui dan memberikan otonomi kepada desa untuk menyelenggara-kan pemerintahannya sendiri. Desa mengemban tugas sebagai agen pembangunan terkecilatau dengan kata lain pembangunan nasional dimulai dari desa. Akan tetapi, situasi berubah sejak orde baru berkuasa dan melakukan proses negaranisasi terhadap desa. Sentralisasi pemerintahan berimbas pada peran desa. Penyeragaman terhadap desa di seluruh Indonesia dilakukan atas nama stabilisasi politik. Pasca Orde Baru, peran dan fungsi desa mulai direposisi. Pemerintah mulai mengakui kembali esksistensi desa-desa adat. Desentralisasi dan demokratisasi menjadi isu krusial dalam upaya pembaharuan terhadap desa. Tulisan ini mencoba untuk melacak kebelakang upaya pelaksanaan otonomi desa di Indonesia. Apakah undang-undang tentang desa teranyar yaitu UU Nomor 6 tahun 2014 akan menjadi jalan keluar dari upaya melakukan pembaharuan terhadap desa dan otonomi desa itu sendiri. Kata kunci : Desa, Undang-Undang Desa, Otonomi Desa
Abstract The village (Desa) is an entity in which the community has its own government. Clearly, the constitution recognizes the existence of the units of the original Indonesian legal community is that kind reaches approximately 250 types. At the beginning of Sukarno’s government, through a variety of laws and regulations, the government has acknowledged and give autonomy to the village to hold its own government. The village carry out duties as agents of development, or in other words the national development started from the village. However, the situation changed since the Soeharto’s New Order ran and did the negaranization over the villages. Centralized administration impact on the role of the village. Uniformity of the villages in Indonesia carried out on behalf of political stabilization. Post new order, the role and function of the village began to be repositioned. The government began to acknowledge the existence of the desa adat. Decentralization and democratization become a crucial issue in the reform efforts of the village. This paper attempts to trace backward village autonomy implementation efforts in Indonesia. Are the laws about the latest village namely Law No. 6 of 2014 will be the way out of the reform efforts of the villagers and village autonomy itself. Keywords : The Village,Law Village, Village Autonomy
PENDAHULUAN
Sejak dahulu desa digambarkan sebagai ibu kandung suatu negara. Secara argumen sosiologis, nuansa-nuansa kehidupan yang ditampilkan di desa merupakan gambaran riil dari kehidupanmasyarakat suatu negara. Pencerminan sebagainegara yang beasaskan gotong royong dalam Pancasila merupakan cerminan perilaku dan modal sosialdari masyarakat desa, atau disebut dengan nama lain, di horizon Indonesia.
Sebagai entitas yang terlebih dahulu ada sebelum NKRI berdiri, Desa telah memiliki susunan asli atau asal usul yang tidak bisa diganggu gugat. Artinya, NKRI memiliki kewajiban untuk mengakui keberadaan merekabaik secara kontekstual maupun konstitusional.
Dalam perjalanannya, proses pengakuan ini mengalami pasang surut. Meski secara konstitusi pendiri bangsa secara istimewa memberi pengakuan keberadaan desa namun, selama puluhan tahun upaya rekog-nisi ini cenderung diabaikan. Rezim Orde
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan
62 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Baru yang berkuasa selama tiga dasawarsa berhasil mengubah pandangan tentang desa, dari entitas yang nyata ada menjadi seolah-olah semu. Hal ini berimbas pada pola relasi negara dengan desa yang menjadi tidak jelas. Seolah-olah ia ada tapi cenderung terabaikan.
Dalam proses pembangunan, peran desa hanya diletakkan sebatas objek pembangun-an, yaitu tempat segala kebijakan pembangu-nan bermuara. Hal ini tidak terlepas dari pandangan minor terhadap desa sebagai kantung utama seluruh permasalahan negara yang seolah-olah menjadi beban bagi peme-rintah.
Padahal pandangan tersebut tidak terlepas dari proses pelemahan yang terstruktur. Rezim pembangunan (develop-mentalisme) yang mengedepankan industria-lisasi sebagai prioritas pembangunan masa depan, seolah “tidak memerlukan” Desa seba-gai agen. Permasalahan-permaslahan seperti kemiskinan di desa akan bisa teratasi dari efek rembes keuntungan-keuntungan yang diterima melalui jalur pembangunan top-down dan pelayanan publik. Tetapi, semua itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi justru adalah Desa mengalami proses pemiskinan akibat proyek negaranisasi masuk ke desa, yang membuat desa mengalami krisis multi-dimensi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bertempat tinggal
di desa. Survei penduduk tahun 1980 menyebutkan sekitar 78 persen penduduk Indonesia tinggal di desa. Namun, situasi kian berubah. Populasi desa makin tergerus karena terjadi kesenjangan akibat ketidak-merataan pembangunan. Akibatnya, sektor inti desa seperti pertanian semakin mengala-mi kemunduran. Berdasarkan sensus pendu-duk tahun 2010, perbandingan jumlah penduduk desa dengan kota semakin berim-bang. Sekitar 50,2 persen penduduk Indone-sia ada di desa, dan 49,8 persen berada di kota (BPS, 2010). Apabila tren ini terus berla-njut, sangat mungkin jumlah penduduk desa ke depan akan semakin sedikit (lihat Gambar 1). Dan ini merupakan ancaman besar bagi keberlangsungan hidup suatu negara.
Pilihan meninggalkan desa menjadi pilihan yang dianggap rasional bagi pendu-duk desa karena desa semakin dilanda per-masalahan internal dan eksternal. Kehidupan ekonomi di desa dinilai sudah tidak menja-njikan. Desa terus-menerus mengalami pro-ses kapitalisasi baik berskala lokal maupun global. Proyek pembangunan-isme, negarani-sasi, modernisasi, dan kapitalisasi menyerbu desa yang membuat desa terus mengalami krisis ekonomi-politik. Tumbuh pesatnya pasar-pasar modern di desa menjadi salah satu contoh dari bagaimana desa mengalami proses ditundukkan secara struktural terse-but.
Gambar 1.
Komposisi Penduduk Pedesaan dan Perkotaan
Sumber : Kementerian Pertanian, 2013; Lembaga Demografi UI, 2012.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 63
Regulasi yang mengatur tentang desa sudah banyak diterbitkan oleh pemerintah. Namun sayangnya, silih bergantinya rezim ikut berimbas pada silih bergantinya pula cara pandang memperlakukan desa dari sebagaimana mestinya menjadi sebagaimana kehendaknya pemerintah.
Setidaknya dalam memahami soal Desa, seringkali kita dihadapkan pada petimbang-an-pertimbangan yang terkesan rumit, seper-ti kondisi asimetris daerah dan desa-desa di Indonesia. Apakah dengan jumlah dan karak-ter yang banyak dan beragam, apakah bisa pemerintahan terendah ini diatur dalam suatu regulasi perundang-undangan, seperti Undang-Undang Desa. kerumitan seperti ini yang kerap pada akhirnya menimbulkan distorsi di level elit hingga bawah.
Tulisan ini mencoba untuk mendiskusi-kan desa. Melihat bagaimana negara selama ini mendudukkan desa dalam sistem ketata-negaraan Indonesia sekaligus mencoba men-diskusikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang digadang-gadang sebagai petunjuk sekaligus jawaban melaku-kan pembaharuan terhadap desa. Dengan menggunakan perspektif kesejarahan serta membaca ulang peraturan perundang-unda-ngan tentang pemerintahan daerah dan desa, dijadikan sebagai bahan kajian dan alat anali-sis dalam tulisan ini.
PENGATURAN TENTANG DESA DI AWAL
KEMERDEKAAN
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indone-sia, keberadaan desa telah ada sebelum negara-bangsa bernama Indonesia dilahirkan pada 1945. Pada sidang BPUPKI 1945, Muhammad Yamin, seorang Minangkabau, dan Soepomo, seorang Jawa dan bergelar ahli hukum adat, mengusulkan agar volksgemeen-schappen (persekutuan-persekutuan masya-rakat pribumi) didudukkan sebagai daerah otonom yang bersifat istimewa, yang artinya menempatkan mereka sebagai komunitas mandiri. Mereka dianggap daerah yang memiliki susunan asli dan tidak dapat diperlakukan sama dengan daerah-daerah kesatuan teritorial lain yang tidak memiliki susunan asli (Zakaria, 2000 : 205). Gagasan tersebut akhirnya disetujui dan dituangkan dalam UUD 1945 -sebelum amandeman- pasal 18 yang mengatur pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil
dimana desa diatur sebagai “daerah kecil”. Daerah besar dan daerah kecil yang dmaksud dalam pasal tersebut adalah daerah otonom (Nurcholis, 2013: 405). Penjelasan Bab 18 UUD menjadi alat legitimasi bahwa negara mengakui keberadaan mereka sebagai entitas natuur :
“dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 ‘Zelfbestu-rende Landschappen’ dan ‘Volksgee-meenschappeu’ seperti Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susu-nan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersi-fat istimewa. Negara Republik Indonesia menghor-mati kedudukan daerah-daerah isti-mewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.”
Pada pemerintahan awal kemerdekaan, pembagian kekuasaan antara pusat, daerah, dan desa pada orde Sukarno sangat memper-hatikan kesesuaiannya dengan konstitusi. Ada empat undang-undang pemerintahan daerah yang memasukkan aturan tentang otonomi desa, yaitu, UU No. 22 tahun 1948, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965 dan UU No. 19 tahun 1965.
Pada UU Nomor 22 Tahun 1948, pemerin-tah membagi wilayah Negara Republik Indonesia ke dalam tiga tingkatan, yaitu : Propinsi, Kabupaten (Kota Besar), dan Desa (Kota Kecil). Pemerintah mengakui desa sebagai agen pembangunan untuk menegas-kan orientasi pembangunan negara dari bawah ke atas. Desa adalah daerah otonom terbawah yang diberikan hak kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tang-ganya sendiri, seperti digambarkan dalam bagian penjelasan tentang “titik berat dalam memberi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”:
“Menurut Undang-undang pokok ini, maka daerah otonom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu adalah sendi negara,
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan
64 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala-segalanya, diperkuat dan didinamisir, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap kea-daannya). Pemberian hak otonomi menurut ini, Gemeente-ordonnantie adalah tidak berarti apa-apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya didesa itu sudah tidak hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pulaatau sebaliknya adat yang hidup dimatikan, bertenta-ngan dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu. Desa tetap tinggal terbelakang, negara tidak ber-daya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah. Tetapi Pemerintah Republik kita mempunyai tujuan sebaliknya. Untuk memenuhi Pasal 33 UUD., negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemak-muran ini harus dimulai dari bawah, dari desa. Oleh karena itu desa harus dibikin didalam keadaan senantiasa bergerak maju, (dinamis). Maka, untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan didalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern), malah tidak se-begitu saja, tetapi juga akan diusul-kan supaya bimbingan terhadap daerah-daerah yang mendapat peme-rintahan menurut Undang-undang pokok ini lebih diutamakan diadakan didesa”.
Pengakuan dan pemberian hak otonomi kepada desa sebagai agen utama pembangu-nan tidak lain merupakan bentuk ikhtiar pemerintah terhadap amanat konstitusi. Agar tujuan negara dalam menciptakan kemakmu-ran tercapai, caranya adalah dengan memu-lainya dari desa. Desa harus senantiasa bergerak dinamis karena desa merupakan bentuk pemerintahan terkecil dan terdekat dengan rakyat.
Undang-undang No. 1 Tahun 1957 ten-tang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menjadi undang-undang otonomi daerah pertama sejak berlakunya sistem pemerin-
tahan semi-parlementer dan UUD Sementara (UUDS) 1950. Dalam UU ini, daerah otonom yang diatur oleh pemerintah hanya dua jenis, yaitu Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Mengenai pembentukan Daerah Tingkat III, pemerintah menilai bahwa pembentukannya harus dilakukan dengan hati-hati dikarena-kan desa merupakan batu sandar pembangu-nan sehingga harus dipersiapkan secara matang dan tidak serampangan, seperti dije-laskan dalam penjelasan UU tersebut :
“Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin-bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang ada.”
Dinamika pemerintahan pada pertengah-an 1950-an yang ditandai dengan pergulatan politik di parlemen dan daerah memaksa UU ini tidak berjalan hingga Presiden Sukarno pada 1959 mengeluarkan Dekrit Kembali ke UUD 1945 yang membuat UUDS 1950 dan Demokrasi semi-parlementer dibubarkan. Dengan demikian Desapraja (sebagai daerah Tingkat III) dan sebagai daerah otonom terbawah hingga UU No. 1 tahun 1957 belum dapat dilaksanakan.
Ketika Sukarno telah berkuasa penuh atas pemerintahan sejak 1959, pemerintahannya menerbitkan UU No. 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pengaturan tentang desa tetap menjadi bagian dalam UU ini dengan penekanan bahwa akan ada suatu undang-undang yang mengatur tentang Daerah Otonomi Tingkat III. Pada 1 Septem-ber 1965 terbitlah UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Republik Indo-nesia.
Pemerintah memberikan istilah baru un-tuk menyebut kesatuan masyarakat hukum ini yaitu Desapraja. Meski menggunakan sebutan baru, namun pemerintah tetap mengakui bentuk kesatuan masyarakat hukum asli Indonesia dengan segala aturan-aturan (adat) yang berlaku. Di UU ini keberadaan desapraja bukanlah sebagai ben-tuk terakhir dari hirarkis otonomi daerah, namun suatu saat semua Desapraja harus di-tingkatkan menjadi Daerah Otonomi tingkat III seperti yang telah diamanatkan dan dije-laskan dalam UU No. 18 tahun 1965 dimana
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 65
Daerah Otonomi tingkat III adalah Kecama-tan dan/atau Kotapraja.
Sama halnya dengan UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 19 tahun 1965 tidak bisa ber-jalan efektif. Tepat satu bulan setelah diter-bitkan, pemerintahan Sukarno diterpa badai politik yang dimulai dari peristiwa G30S yang berdampak pada jatuhnya kekuasaan Sukar-no. UU ini tidak sempat dilaksanakan di selu-ruh daerah. Namun, anehnya, UU No. 19 Tahun 1965 sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui ins-truksi Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 1966 (Kemendagri, Naskah Akademik 2013 : 47). Dengan demikian, apa yang dinamakan sebagai Desapraja dan Daerah Otonomi Tingkat III praktis tidak terwujud dan dengan itu pengaturan desa kembali berdasarkan IGO 1906 dan IGOB 1938 zaman Belanda.
Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pertama republik sebenarnya telah meletak-kan fondasi kuat untuk mendudukan desa sebagai daerah otonom. Akan tetapi, dinami-ka politik yang terjadi membuat efektivitas aturan itu tidak berjalan sesuai harapan.
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1979:
NEGARANISASI DESA ALA ORDE BARU
Namun, pengakuan terhadap otonomi desa hanya bertahan sampai ketika rezim orde baru melakukan pelanggaran konstitusi melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Rezim orde baru yang mengedepankan sen-tralisasi, atau meminjam istilah Mas’oed (1989) sebagai pemerintahan “otoritarianis-me-birokratik”, menutup keran otonomi ter-hadap desa. Terlihat kesan orde baru begitu anti terhadap konsep otonomi yang seluas-luasnya seperti yang telah dilakukan sebe-lumya melalui UU No. 5 Tahun 1974. Orde baru mencoba melakukan penyeragaman seluruh desa di Indonesia yang menyebabkan hilangnya eksistensi desa-desa adat. Seperti yang tertuang dalam pasal 1 UU tersebut, bahwa desa adalah,
“suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan ru-mah tangganya sendiri dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indone-sia”.
Melalui UU ini, pusat menjadikan desa sebagai perpanjangan (subordinat) pemerin-tahan terkecil. Konsep desa yang dibentuk adalah desa administratif yang berada di bawah kecamatan dalam hirarki pemerintah-an. UU ini menjadi instrumen untuk memper-kuat birokratisasi, otoritarianisme, sentrali-sasi, dan pembangunan yang berorientasi pada pembentukan pemerintah pusat di daerah-daerah (local state government). Menurut Eko (2005) secara menyolok UU ini mengedepankan korporatisasi politik untuk menciptakan stabilitas politik desa, memper-kuat birokratisasi dan kontrol politik untuk membuat loyalitas pemerintah desa, membu-ka ruang-ruang bagi penetrasi modal ke desa, serta membuang berbagai bantuan ke desa yang terkesan populis. Asas yang dibangun oleh rezim otoriter orde baru adalah asas uniformitas yang menghilangkan eksistensi desa-desa adat karena semua desa merupa-kan kepanjangan tangan pemerintah. Terda-pat beberapa bukti empirik yang meng-gambarkan desa mengalami krisis ekonomi-politik dari implementasi UU No. 5 Tahun 1979 itu diantaranya adalah:
Pertama, hilangnya kontrol desa terhadap tanah sehingga menghancurkan kedaulatan rakyat desa. Sebagian besar tanah dikuasai oleh negara. Negara seolah menjadi kompra-dor pemberi lisensi terhadap pemilik modal untuk menguasai tanah yang menyebabkan marjinalisasi terhadap rakyat desa. Kedua, hancurnya basis sosial otonomi desa. Peran pemimpin desa diganti menjadi bawahan camat dan bupati. Di luar Jawa, peran penghulu adat dipinggirkan oleh perangkat desa. Peraturan-peraturan adat digantikan dengan peraturan negara yang menghancur-kan pranata sosial. Ketiga, negaranisasi telah menciptakan kematian demokratisasi di tingkat desa. Desa dikelola secara sentralisasi dan otoriter. Kepala desa merupakan pengu-asa tunggal yang mengendalikan segala hajat hidup orang desa. Kepala desa bukanlah pemimpin masyarakat namun sebagai bagian birokratisasi negara. Kepala desa selalu tam-pil dominan dalam urusan publik dan politik, tetapi ia tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan dipercaya. Keempat, kebijakan pemba-ngunan desa memang telah menyajikan se-
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan
66 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
jumlah cerita sukses, namun di satu sisi justru membawa kerugian besar. Kemiskinan selalu menghantui masyarakat desa. Peme-rintah menjadikan kemiskinan tersebut seba-gai komoditas proyek. Atas nama pemba-ngunan dan pemberantasan kemiskinan pro-yek-proyek pemerintah masuk yang salah satu akibatnya adalah meminggirkan petani dari sawahnya. Harga produk-produk perta-nian rendah yang menyebabkan kemiskinan dan pengangguran merajalela di desa.
Kelima, berbagai program bantuan yang mengalir ke desa merupakan jebakan yang mematikan kemandirian desa. Gotong-royong yang selama ini menjadi modal sosial bagi masyarakat desa justru tergerus oleh ban-tuan-bantuan pembangunan pemerintah. Program bantuan tidak meningkatkan kapa-sitas dan kemandirian (otonomi) desa, tetapi justru menciptakan ketergantungan abadi desa terhadap bantuan pemerintah suprade-sa. Salah satu kasus yang mencolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan peme-rintah desa “menguangkan” gotong royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa (APBDes). Keenam, serbuan kapitalisasi telah membuat keterbatasan sumberdaya lokal dan pemiskinan desa. Di bawah skenario pembangunanisme Orde Baru, eksploitasi sumberdaya lokal (desa) terjadi secara besar-besaran yang mengalir ke negara serta kota-kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Akibatnya desa dihadapkan pada kemiskinan struktural. Pergerakan ekonomi baru ditem-puh dengan cara-cara kapitalisasi desa yaitu dengan membuka selebar-lebarnya investasi yang ramah bagi pemilik modal. Elit desa dalam pengambilan keputusan cenderung meminimalkan proses demokrasi dengan berkolaborasi dengan elit lain. Ketujuh, ter-ciptanya relasi dengan model ketergantu-ngan baru desa terhadap sektor ekonomi kota, atau masyarakat lokal terhadap pasar. Terserapnya sumber daya desa akibat proses kapitalisasi membuat keuntungan produksi lari ke kota dan mobilitas warga desa semakin deras ke kota yang membuat desa menjadi tidak berkembang akibat semakin berkurangnya masyarakat produktif desa (Eko, 2005).
Setelah kejatuhan Orde Baru, sistem poli-tik Indonesia mengalami periode transisi. Seiring dengan gelombang demokrasi dan desentralisasi membuat desa mulai bangkit
dan menjanjikan harapan baru bagi desa sekaligus tantangan-tantangan baru baik dari domestik maupun global.
DESA PASCA ORDE BARU: PEMBAHARU-
AN DESA DAN UPAYA PEMERATAAN PEM-
BANGUNAN
Kejatuhan rezim otoriter Orde Baru menjadi langkah awal membangun kehidu-pan pemerintahan yang lebih adil dan demo-kratis. Undang-Undang Pemerintahan Dae-rah, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004, dan yang terbaru UU No. 23 tahun 2014 lahir sebagai jawaban atas kebutuhan tersebut. Demokrasi, Desentralisasi dan oto-nomi daerah menjadi jargon suci sekaligus sebuah antitesis dari pengelolaan pemerin-tahan yang sentralistis dan otoriter di masa lalu. Melalui desentralisasi, daerah menda-patkan kewenangan mengelola rumah tangga pemerintahannya sendiri secara mandiri, adil, dan demokratis.
Khusus bagi desa, semangat yang hendak dibangun dari undang-undang otonomi daerah adalah semangat kemandirian. Desa sudah saatnya diberikan kepercayaan untuk berdaya, mengambil keputusan, bahkan me-ngelola keuangan sendiri sesuai dengan asas subsidiaritas, lokalisasi pengambilan kepu-tusan dan penggunaan wewenang oleh struktur atau organisasi untuk kepentingan masyarakat desa. Mendorong desa untuk lebih mandiri sama saja mengurangi beban pemerintah.
Situasi pemerintah telah berubah sejak periode krisis ekonomi 1997/98, reformasi hingga era sustainabilitas ekonomi seperti sekarang ini. Hal ini membuat cara pandang pembangunan di daerah ikut berubah. Sentralisasi ditinggalkan. Desentralisasi dile-takkan sebagai pilihan, selain demi integritas nasional, membagi urusan ke daerah menjadi pilihan lebih rasional. Salah satu produk penting dari reformasi salah satunya adalah Ketetapan MPR (TAP MPR) No. XV/MPR/ 1998 yang menetapkan kewajiban pelak-sanaan penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, pemanfaatan sum-ber daya nasional yang berkeadilan serta (berkeadilan) dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI di-mana desa berada dalam entitas penting ter-sebut dalam pelaksanaan pembagunan nasi-onal Indonesia. UU Desa Nomor 6 tahun 2014
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 67
lahir dari perjuangan para aktivis desa, kepa-la dan perangkat desa, hingga politisi di DPR selama kurang lebih 7 tahun.
a. UU No. 22 tahun 1999 : Melepaskan
Atribut-atribut Orde Baru
Pemerintahan reformasi terlihat jelas ingin melepaskan semua atribut-atribut yang berbau Orde Baru. UU No. 22/1999 lahir dengan semangat menghapus bayang-bayang sentralisasi pemerintahan yang selama ini hanya memperkaya pusat tetapi memiskin-kan daerah. Desentralisasi daerah dengan pemberian otonomi kepada daerah kemudian menjadi jawaban seperti yang dimaktubkan dalam UU tersebut.
Secercah harapan muncul dari UU 22 Tahun 1999 dimana dalam UU tersebut pemerintah mengakui kembali asal-usul desa di Indonesia (rekognisi) yang hilang selama periode Orde Baru, artinya UU ini menghapus uniformitas desa yang terkesan Jawaisme selama Orde Baru berkuasa. Dalam UU 22 Tahun 1999, definisi Desa diubah menjadi,
“kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasar-kan hak asal-usul yang bersifat isti-mewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai Peme-rintahan Desa adalah keanekaraga-man, partisipasi, otonomi asli, demo-kratisasi, dan pemberdayaan masya-rakat.”
Permasalahan tentang penyeragaman desa sungguh menarik perhatian para penyu-sun UU No. 22 Tahun 1999 untuk segera mengganti dan mengubahnya menjadi rumu-san yang lebih demokratis. Akhirnya keputu-san untuk mengganti peraturan tentang desa itu tertuang pada Bagian Menimbang butir e :
“Bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyera-gamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti”
Rumusan tentang desa diatas merupakan sebuah lompatan luar biasa. Dalam pengerti-an tersebut disebutkan kembali karakteristik alami desa-desa di Indonesia yang beraneka-ragam, menjunjung nilai-nilai leluhur (asal-usul), gotong royong, otonom, dan demokra-tis yang menjadi modal sosial dan mem-bentuk pranata sosial sebagai modal pelaksa-naan pembangunan dan pelayanan publik.
Poin penting lain dari UU No. 22 Tahun 1999 adalah tentang demokratisasi desa. Kepala Desa tidak lagi memiliki kekuasaan dominan, dimana sebelumnya, disamping menjadi kepala desa juga menjabat ketua Lembaga Musyawarah Desa sebagai lembaga legislatif desa. Dalam undang-undang terse-but disebutkan pula bahwa pertanggungja-waban kapala desa tidak lagi kepada bupati (melalui Camat), tetapi langsung kepada masyarakat desa yang terwakili dalam lem-baga perwakilan desa yaitu, Badan Perwakil-an Desa (BPD).
Pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) sendiri merupakan perwujudan dari demokratisasi desa. BPD lahir sebagai kritik terhadap Lembaga Musyawarah Desa (LMD) bentukan orde baru. Pada era orba, LMD merupakan lembaga pemerintahan yang sifatnya korporatis. Ketua LMD adalah kepala desa. Menurut UU No. 22/1999 anggota BPD dipilih dengan melibatkan masyarakat. Ber-beda dengan LMD yang anggotanya ditunjuk oleh lurah/kepala desa. Dalam UU ini telah ada pemisahan antara lembaga eksekutif dengan legislatif. Setidaknya terdapat tiga (3) domain kekuasaan yang dibagi oleh kepala desa dengan BPD, (1) pembuatan keputusan dalam bentuk peraturan desa (perdes) yang dikerjakan bersama-sama antara kepala desa dengan BPD, (2) pengelolaan keuangan yang melibatkan BPD seperti penyusunan APBDes dan pelelangan tanah kas desa, (3) rekruit-men perangkat desa yang dulu dikendalikan oleh lurah dan kecamatan, sekarang dikenda-likan oleh BPD. Fungsi pengawasan yang dila-kukan BPD pun telah lebih baik meskipun masih sebatas pada laporan pertanggungja-waban kepala desa (Eko, 2008).
Namun di sisi lain, tidak jarang keberada-an BPD justru menimbulkan masalah, teruta-ma terkait hubungan antara BPD dengan ke-pala desa. Dalam beberapa kondisi ada kepala desa yang sulit atau tidak mau berbagi kekuasaan dengan BPD, ada pula yang tidak
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan
68 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
mau di kontrol oleh BPD, dan ada pula kepala desa yang berpandangan kekuasaan itu adalah “tunggal” (Abdul Rozak, dkk, 2004). Ada pula ketegangan antara keduanya ber-mula dari lemahnya pemahaman para ang-gota BPD terhadap tugas pokok dan fungsi-nya, sehingga BPD sering kali melanggar batas-batas kekuasaan yang ditetapkan oleh regulasi (Eko, 2003). Keberadaan BPD pun dalam tugasnya menyerap aspirasi masyara-kat terkadang juga perlu dipertanyakan kare-na kerap kali BPD bergerak dalam koridor kepentingan mereka dan elit lain.
Dari sisi keuangan, sumber pembiayaan pemerintahan desa berupa pendapatan desa, bantuan dari pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, atau sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa. Bantuan dari pemerintah kabupaten sendiri meliputi dana bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh pemerintah kabupaten dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD). ADD merupakan perwujudan pemenuhan terhadap hak-hak desa yang diamanatkan dalam penyelengga-raan otonomi daerah dan otonomi desa. Fungsi ADD sebagai bentuk pemerataan pembangunan di desa dan untuk memenuhi pelayanan publik di desa. Meskipun demiki-an, pada beberapa kasus masih banyak daerah yang tidak serius melaksanakan peri-mbangan keuangan yang menyebabkan nasib pembangunan di desa terkatung-katung.
b. UU Nomor 32 Tahun 2004 : Resen-
tralisasi Orde Baru?
Antara UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 22 Tahun 1999 sebenarnya tidak memili-ki banyak perbedaan yang signifikan. Penga-turan tentang desa dalam UU ini, yang diper-jelas pelaksanaannya dalam Peraturan Peme-rintah No. 72 tahun 2005 sebagai bagian dari penguatan pelaksanaan otonomi daerah. Secara umum UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 1999 sama-sama telah membe-rikan pengakuan terhadap keberadaan desa-desa adat tradisional asli Indonesia. Pengaku-an terhadap desa adat berserta hak-hak tradisional juga terlihat dalam undang-undang yang mengatur otonomi khusus seperti di Aceh misalnya dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengakui keberadaan ”mukim” (berada
di antara kecamatan dan desa/gampong), yang selama orde baru mukim dihilangkan dari sistem hirarkis pemerintahan di Aceh (Naskah Akademik UU Desa Kemendagri, 2013: 77).
Namun demikian, beberapa akademisi mengkritisi pemberlakuan undang-undang ini sebagai bagian dari resentralisasi sistem pemerintahan rezim orde baru. UU No. 32 Ta-hun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 menga-ndung banyak kecacatan. Menurutnya, subs-tansi UU No. 32 Tahun 2004 menjauh dari UU No. 22 Tahun 1999 yang bersifat devolutif-li-beral, sebaliknya UU No. 32 Tahun 2004 ber-sifat sentralistik-otokratis-korporatis (Eko, 2008). Gejala resentralisasi ini terlihat pada pola hubungan pusat-daerah dan akuntabili-tas kepala daerah maupun kepala desa. UU No. 32 Tahun 2004 menghendaki penegasan hirarkis kekuasaan yang simetris dari pusat hingga desa/kelurahan. Artinya level di atas memiliki kontrol kekuasaan yang besar ter-hadap level di bawahnya. Pasal 200 pada undang-undang ini menyebutkan bahwa “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/ko-ta dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintahan Desa dan Badan Permu-syawaratan Desa (BPD)”. Ini menandakan bahwa desa menjadi entitas bagian dari pe-merintah kabupaten. Padahal dalam konsep aslinya, kedudukan desa adalah berdiri oto-nom terpisah dari pemerintah. Pertanggung-jawaban yang diberikan oleh pemerintah desa bukan kepada level pemerintahan di atasnya, tetapi kepada rakyatnya. Peminda-han akuntabilitas itulah yang disebut sebagai upaya resentralisasi (Eko, 2008).
Bukti lain dari upaya tersebut adalah pengangkatan seorang sekretaris desa dari pegawai negeri sipil, yaitu PNS kecamatan yang ditugaskan di desa. Keberadaan sekre-taris desa di desa dari kalangan PNS menun-jukkan bentuk birokratisasi negara terhadap desa dengan meletakkan desa berada lang-sung di bawah camat. Dalam beberapa kondi-si, seringkali Sekdes mengerjakan wewenang yang seharusnya dilakukan kepala desa. Tu-gas-tugas kepala desa dikerjakan oleh Sek-des. Sehingga kemandirian desa menjadi hi-lang karena campur tangan kecamatan yang begitu besar. Bahkan dari segi pendapatan Sekdes yang berasal dari Negara sedangkan Kepala Desa hanya mendapatkan sebuah ta-nah bengkok, rentan menimbulkan kecembu-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 69
ruan sosial. Dari sisi keuangan desa, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 sebenarnya telah meletakkan dasar perimba-ngan keuangan untuk desa. Alokasi Dana Desa yang menjadi dana pembangunan ber-asal dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/ Kota untuk Desa paling sedikit 10 persen, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional. Artinya porsi keuangan yang diterima oleh desa dari dana perimbangan pusat telah ditentukan besarannya. Namun, dalam kenyataannya dana alokasi desa se-ringkali belum dilandasi komitmen besar dari pemerintah daerah. Masih banyak kabupaten atau kota yang tidak mengucurkan dananya untuk desa. Bahkan, untuk desa yang wila-yahnya jauh dari pusat pemerintahan, dana desa hampir tidak pernah menyentuh mere-ka.
UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014:
UPAYA PEMBAHARUAN DESA?
Undang-undang Desa No. 6 Tahun 2014 menjadi undang-undang kedua yang secara spesifik mengatur tentang desasejak terakhir UU No. 5 tahun 1979. UU Desa 2014 hadir membawa semangat baru pembaharuan de-sa. Undang-undang ini menjadi koreksi seka-ligus otokiritik terhadap peraturan perunda-ngan tentang desa selama ini yang terkesan tidak serius. Mengenai pembaharuan desa, pembaharuan yang dimakud adalah tidak ha-nya sekedar melakukan renovasi desa atau merekonstruksi desa yang sudah rusak. Pem-baharuan adalah proses transformasi sosial, atau perubahan yang sustain (berkelanjutan) yang direkayasa melalui perubahan paradig-ma, kebijakan publik, dan gerakan sosial dari masyarakat sipil (Eko 2008).
UU Desa 2014 berada pada koridor peme-rintah mengakui seluruh hak asal-usul desa beserta pranata tradisionalnya yang telah ada sejak dahulu. Artinya asas rekognisi tetap diakui oleh pemerintah terhadap beragam desa asli (adat) Indonesia. Disamping itu, de-sa juga diberikan kewenangan otonom untuk mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri (subsidiaritas). Kombinasi antara asas rekognisi dan subsidiaritas ini mengha-silkan definisi Desa yang baru (Eko, dkk : 2014) yaitu
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, sela-
njutnya disebut Desa, adalah kesatu-an masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pe-merintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa ma-syarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerin-tahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
UU ini menggunakan dua pendekatan pembangunan yaitu “desa membangun” dan “membangun desa”. UU Desa juga meletak-kan desa dalam sifatnya sebagai komunitas inklusif. Tidak bersifat eksklusif. Desa tidak boleh lagi menjadi tempat bermuaranya ke-pentingan-kepentingan elit yang menandai desa bukanlah milik segelintir elit lokal mau-pun elit desa. Sifatnya yang inklusif ini mem-berikan ruang kepada masyarakat desa untuk memikirkan nasib desanya sendiri bersama-sama (rembug). Perencanaan pembangunan dilakukan secara musyawarah dan tugas ke-pala desa adalah melaksanakan mandat mu-syawarah rakyat.
Untuk mendukung pembangunan dan pe-ngembangan kawasan pedesaan, pemerintah memperkuat dua poin aturan penting yang mengatur instrumen pembangunan tersebut yaitu mengenai Dana Alokasi Desa yang ber-sumber dari APBN dan Sumber Pendapatan Desa. Dana alokasi desa yang selama ini ke-rap tidak diindahkan oleh pemerintah kabu-paten/kota diatur dengan jelas bahwa alokasi dana desa paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana alokasi khusus (DAK). Dengan besaran tersebut, seti-ap desa di Indonesia bisa mendapatkan dana alokasi yang lebih besar. Harapannya, dengan dana yang lebih besar itu dapat mendukung program pengembangan kapasitas dan pem-bangunan di desa. Disamping itu, desa juga diberikan kesempatan untuk mengelola sum-ber-sumber pendapatan desa mandiri yang dapat berasal dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pengelolaan pasar desa, pengelo-laan kawasan wisata skala desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam, tambang ba-tuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber pendapatan lain yang tidak un-tuk dijualbelikan.
Di samping memperkuat basis ekonomi desa, UU Desa 2014 juga memberikan kesem-patan untuk penguatan demokrasi di desa.
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan
70 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Berbeda dengan UU No.32 Tahun 2004, da-lam UU ini dijelaskan adanya pembagian ke-kuasaan antara kepala desa dan Badan Per-musyawaratan Desa (BPD) yang jelas. Kedua-nya memiliki kedudukan yang sama, yakni sebagai lembaga pemerintahan desa, dan fungsi yang berbeda, yaitu kepala desa seba-gai lembaga eksekutif, sedangkan BPD seba-gai lembaga legislatif. Pembagian tugas kepa-la desa dan BPD, antara lain :
1. Kepala Desa dan BPD membahas dan menyepakati bersama peraturan de-sa (Pasal 1 angka 7)
2. Kepala Desa dan BPD memprakarsai perubahan status desa menjadi kelu-rahan melalui musyawarah desa (Pa-sal 11 ayat (1))
3. Kepala desa memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan se-cara tertulis kepada BPD (Pasal 27 huruf c)
4. BPD memberitahukan kepada Kepa-la Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara ter-tulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir (Pasal 32 ayat (1))
5. Kepala Desa mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan memusyawarahkannya bersama BPD (Pasal 73 ayat (2))
6. Kepala Desa dan BPD membahas bersama pengelolaan kekayaan mi-lik desa (Pasal 77 ayat (3))
Mengenai keanggotaan BPD, UU Desa me-ngisyaratkan pemilihan anggota BPD yang lebih demokratis. Jika pada UU No. 32 Tahun 2004 keanggotaan BPD terdiri dari Ketua Ru-kun Warga (RW), Pemangku Adat, Golongan Profesi, Pemangku Agama, dan tokoh masya-rakat, dan ikut campurnya kecamatan dalam penentuan anggota, memberikan kepala desa kekuasaan yang dominan, dikarenakan po-tensi keberadaan anggota BPD yang merang-kap sebagai bawahan kepala desa sehingga menyulitkan fungsi kontrol terhadap kepala desa. Sedangkan dalam UU Desa 2014, keang-gotaan BPD dilakukan secara demokratis dengan diberikan keleluasaan pemilihan me-nggunakan cara-cara yang dianut dan diakui oleh masing-masing desa.
Di samping itu, sekretaris desa yang sela-ma berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 bera-sal dari kalangan PNS, yaitu orang kecamatan
yang ditempatkan di desa, dihapuskan. Me-nempatkan PNS dalam struktur organisasi pemerintah desa sebenarnya tidak mengan-dung tujuan jelas. Meski, keberadaannya di-maksudkan untuk menjembatani hubungan antara desa dengan pemerintah, namun keberadaannya justru malah menimbulkan polemik. Jabatan sebagai PNS sangat berpo-tensi menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan perangkat desa. Hal ini sangat berdampak pada efektivitas jalannya peme-rintahan desa. Dalam UU Desa 2014 ditegas-kan posisi sekretaris desa bukan dari kala-ngan PNS. Hal ini membuat posisi desa men-jadi lebih otonom dan menghilangkan upaya birokratisasi negara.
Ambivalensi dan Resistensi : Kasus Suma-
tera Barat
Namun, upaya ini bisa saja redup pasal-nya dalam undang-undang tersebut juga me-ngandung pasal-pasal yang cukup bisa diper-tanyakan keseriusannya dalam membentuk pemerintahan desa yang mandiri, seperti pa-da pasal 26 ayat 3 poin a disebutkan bahwa, Kepala desa dalam melaksanakan tugasnya memiliki hak mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa. Kata “meng-usulkan” menimbulkan ambivalensi yang berkepanjangan jika tidak diperjelas pemak-naannya. Kata ini bisa saja mereduksi tujuan utama dari undang-undang yaitu membentuk pemerintahan desa mandiri. Jika seorang ke-pala desa hanya memiliki hak untuk meng-usulkan struktur organisasi dimana hak un-tuk memutuskan struktur tersebut berada di tingkat kabupaten, maka bisa saja usulan struktur yang telah dibentuk dan disesuaikan dengan kondisi riil kebutuhan desa dianulir atas nama “kemudahan koordinasi” antara kabupaten/kecamatan dengan desa, seperti aturan sebelumnya dimana struktur organi-sasi di desa (urusan) disesuaikan dengan sek-si-seksi yang ada di kecamatan. Apalagi da-lam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang peraturan pelaksanaan UU De-sa pada pasal 62 ayat 2 juga telah menentu-kan komposisi sekretariat desa dibatasi pa-ling banyak hanya tiga bidang urusan. Arti-nya, keleluasaan yang diberikan kepada desa sebenarnya begitu sedikit. Hal ini memancing kecurigaan untuk menjaga hegemoni negara di desa yang sangat mungkin bisa mengham-bat proses transisi pola pikir (mindset) ma-syarakat desa.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 71
Selain itu, pengakuan terhadap eksistensi desa-desa adat juga menjadi concern utama dalam undang-undang ini. Meski pemerintah mengedepankan asas pengakuan terhadap desa-desa asli Indonesia, akan tetapi masih terdapat ketidakjelasan dalam tataran imple-mentasi. Terdapat kesan adanya penyamara-taan memahami desa-desa adat di seluruh Indonesia. Padahal tiap-tiap mereka memiliki karakteristik berbeda. Nagari di Minangka-bau sangat berbeda dengan Desa Adat di Bali, dan sebagainya. Hal ini yang kemudian menimbulkan resistensi dan reaksi terhadap ketidakjelasan UU ini memaknai dan mem-perlakukan eksistensi mereka. Di Minangka-bau, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minang-kabau (LKAAM) menunjukkan kekecewaan terhadap UU Desa ini. Menurut Ketua LKAAM Sumatera Barat, Datuk Sayuti, konsep desa tidak cocok diaplikasikan di Sumbar. Karena sejak berabad-abad lalu Sumbar mengguna-kan konsep Nagari, yang menghimpun ma-syarakat hukum adat berdasarkan filosofi ‘Adat Basandi Syara’, ‘Syara Basandi Kitabul-lah’ (ABS-SBK). “Ia meminta pemerintah pu-sat untuk tidak memaksakan konsep desa yang dipakai oleh Jawa, Madura dan Bali, ter-hadap Sumbar. Kalau tetap dipaksakan, pe-merintah pusat berarti telah mengangkangi UUD 1945 yang menghargai keragaman, dan telah mengobrak-abrik keutuhan NKRI” (Wa-wancara dengan Sayuti, 2 September 2015 di Padang).
Pertanyaan menarik menyangkut hal ter-sebut adalah apa alasan sebenarnya dari pe-merintah menggunakan kata “Desa” sebagai judul Undang-Undang nomor 6 tersebut. Hal ini yang menjadi pertanyaan besar bagi Sayuti dalam wawancaranya dengan penulis (2 September 2015). Sebelumnya, menurut pengakuannya, LKAAM telah mencoba untuk menemui dan memberikan usulan kepada Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang notabene Putra asli Minangkabau. Akan teta-pi pertemuan itu tidak pernah terjadi karena sikap menghindar dari Mendagri, kata Sayuti. LKAAM mengajukan tawaran kepada Kemen-dagri untuk tidak menggunakan nama “Desa” dalam judul UU, tetapi mengajukan istilah “Undang-Undang Pemerintahan Terendah” yang dianggapnya akan lebih mengakomoda-si kebhinekaan desa-desa di Indonesia (Wa-wancara, 2 September 2015).
Selama ini pemahaman publik terhadap desa adalah seperti desa yang ada di Jawa. Padahal secara argumen filosofis dan sosio-logis, desa-desa di Jawa (Madura dan Bali) berbeda dengan “desa-desa” di luar Jawa. Di Jawa (Madura dan Bali) pengaruh peningga-lan hindu dan islam begitu kental mempenga-ruhi corak sosiologis desa di Jawa yang ken-tal nuansa feodal yang oleh Schrieke (1960) dibahasakan sabagai konsekuensi dari buda-ya masyarakat pertanian. Kerukunan dan ke-patuhan penduduk desa menjadi ikatan dan modal sosial desa, sedangkan kehidupan eko-nomi pada tingkat di atas desa yang meme-nuhi kebutuhan raja dan bangsawan didasar-kan atas pungutan barang dan jasa yang dina-mai ikatan feodal yang menjadi corak ikatan tradisional masyarakat desa. Ikatan tradisio-nal inilah yang meresap ke sendi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat desa (Burger, 1962) atau menurut Wertheim, hubungan-hubungan patrimonial dalam masyarakat pedesaan Jawa (dalam Breman, 1980). Sedangkan di luar Jawa, sebagai contoh Naga-ri di Sumatera Barat. Nagari adalah bentuk desa asli masyarakat Minangkabau. Nagari berfungsi sebagai organisasi sosial dan poli-tik tertinggi, sekaligus unit pemerintahan utama. Pada dasarnya nagari merupakan “re-publik otonom” yang memiliki wilayah geo-grafis sendiri dan pemerintahan sendiri. Se-cara simbolis nagari-nagari melekatkan diri ke dalam suatu federasi yang bersifat longgar yang disebut luhak (Abdullah, 1984: 108). Luas wilayah suatu nagari dapat berukuran sama dengan luas sebuah kabupaten dengan jumlah penduduk dapat mencapai 50 ribu ji-wa. Nagari dan desa di Jawa tidak hanya ber-beda dalam ukuran luas dan struktur admi-nistratif, tetapi juga dalam hal filosofi kebera-daannya (Naim, 1990 dalam Beckmann dan Beckmann, 2007). Dalam Nagari berlaku sis-tem sosial-politik yang egaliter-demokratis. Tanah sebagai faktor produksi terpenting da-lam adat minangkabau bukanlah kepemilikan raja, sebagaimana dalam sistem feodalisme di wilayah lain. Kepemilikan tanah dimiliki ber-sama oleh masyarakat desa. Karena kepemi-likan bersama tanah desa ini, maka, hasrat tiap orang untuk menggunakan tanah ini ha-rus melalui persetujuan bersama kaumnya (Latif, 2011: 387). Semua yang menyangkut kepentingan umum diputuskan secara mufa-kat, seperti disebut dalam pepatah minang-kabau: Bulek aei dek pambuluah, bulek kato
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan
72 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
dek mufakat (bulat air karena pembuluh, bu-lat kata karena mufakat).
Jumlah nagari di Sumatera Barat yang hanya berjumlah 880 –hampir sama dengan jumlah desa di satu kabupaten di Kabupaten Aceh Utara yang mencapai 852 desa– ikut berpengaruh terhadap jumlah dana desa yang akan diterima oleh Sumatra Barat. Hal ini ternyata menimbulkan resistensi lebih tajam di tingkat aras bawah karena “iming-iming” dana desa yang besar sejak UU diter-bitkan menjadi alasan untuk meneriakkan keseteraan penerimaan dana desa. Saat desa dibawah peraturan UU No. 5 Tahun 1979, jumlah desa yang ada di Sumatera Barat ber-dasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 1977 tentang Peneta-pan Jumlah Desa di Seluruh Indonesia men-capai 3.516. Jumlah yang sangat banyak ini tidak terlepas dari pilihan Pemerintah Dae-rah Tingkat I Sumatera Barat yang menghen-daki Jorong, yang berada di bawah Nagari, dinaikkan statusnya menjadi Desa sesuai UU No. 5 tahun 1979. Jumlah ini kemudian mengalami penyusutan seiring pilihan untuk “kembali ke Nagari” setelah rezim Orde Baru runtuh, yang membuat eksistensi Nagari kembali bangkit dan Jorong-Jorong banyak melakukan penyatuan dan kembali berada di bawah Nagari. Akan tetapi, lahirnya UU Desa 2014 ini disambut dengan seruan untuk melakukan pemekaran besar-besaran. Kini pilihan untuk memekarkan Jorong-Jorong dan menaikkan statusnya menjadi Nagari/ Desa bermunculan di Sumatera Barat, seperti yang terjadi di Kabupaten Solok (wawancara dengan Kepala Bagian Pemerintahan Nagari, Kabupaten Solok, 2 September 2015). Masa-lah jumlah Jorong yang banyak ini ditambah dengan problem jumlah penduduk yang ter-hitung cukup besar untuk ukuran sebuah de-sa di beberapa Nagari di Sumatera Barat. Se-buah Nagari di Kabupaten Pasaman bernama Nagari Aia Bangih jumlah penduduknya men-capai 62 ribu jiwa. Untuk ukuran sebuah de-sa, jumlah ini tentu sangat besar. Maka dari itu, desakan untuk melakukan pemekaran cu-kup kuat menguat di beberapa nagari di Su-matera Barat.
Terlepas dari persoalan ambivalensi regu-lasi dan resistensi yang muncul, lahirnya UU Desa telah memberikan keyakinan tentang tercapainya sebuah transformasi desa yang berkeadilan, mandiri dan berbudaya. Jenis
desa asli Indonesia jika mengacu pada penje-lasan UUD 1945 mencapai 250 jenisnya. Dengan jumlahnya yang begitu banyak ini, otomatis karakteristik desa secara sosiologis dan filosofis sangatlah beragam. Pemerintah perlu untuk mengakomodasi keberadaan me-reka dalam aturan kelembagaan yang secara khusus mengatur tentang desa-desa adat In-donesia. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka, memi-nimalisir konflik dan disintegrasi, serta men-jaga kearifan lokal khas Indonesia.
PENUTUP
a. Rekomendasi
Konsep pembaharuan desa muncul seba-gai bentuk keprihatinan terhadap ketimpang-an pembangunan yang terjadi selama ini an-tara pusat dan daerah, atau antara kota dan desa. Orientasi pembangunan yang bias desa menjadikan desa terus tergerus pada mo-dernitas absurd yang tidak disadari oleh para pemangku kepentingan sebagai bentuk peng-hancuran terhadap kehidupan negara secara perlahan. Semua ini tidak terlepas dari posisi desa sebagai “saka bumi” kehidupan suatu negara, titik tolak pembangunan.
Bagaimana sebenarnya kita meletakkan konsep pembaharuan desa dalam konteks UU Desa 2014 sekarang? Pembaharuan desa se-mestinya diletakkan sebagai usaha “perjua-ngan kelas”, yaitu kelas masyarakat desa, ke-las masyarakat petani, untuk membawa mo-dernitas abad dua puluh satu ke desa-desa di seluruh Indonesia. Kita tidak bisa menafikan bahwa sisi-sisi tradisional desa selama ini se-perti menjadi faktor penghambat pemba-ngunan desa. Akan tetapi, kita juga tidak bisa meminggirkan faktor struktural yang telah menjadikan desa terpinggirkan sebagai enti-tas pemerintahan rakyat. Dengan kata lain, negara menjadi pihak yang paling bertang-gung jawab terjadinya pelemahan tersebut.
Lahirnya UU Desa harus dijadikan sebagai usaha menempatkan konsep pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) sebagai basis utama pemba-ngunan desa. Rakyat harus bergerak mandiri untuk membangun pemerintahannya, baik dalam tatanan sosial-politiknya, ekonomi, maupun kebudayaan.
Dari segi sosial-politik, UU ini memberi-kan kesempatan bagi masyarakat desa men-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 73
jalankan sebuah praktik politik yang lebih mengedepankan “swadaya politik masyara-kat”. Konsep ini diterjemahkan ke dalam praktik demokrasi partisipatoris yang aktif dimana masyarakat sejak masa persiapan pelaksanaan pilkades hingga penjaringan calon kades melakukannya secara swadaya. Sebagai contoh dalam pelaksanaan, masyara-kat dapat melakukan pengumpulan dana dari para kepala keluarga untuk membiayai pe-laksanaan pilkades. Kemudian, dalam penja-ringan kepala desa, masyarakat bisa menga-jukan calonnya sesuai dengan kemampuan kepemimpinannya dan tingkat kejujurannya selama ini di mata masyarakat desa. Mencon-toh apa yang dilakukan dalam adat Minang-kabau, dalam alam Minangkabau, setiap Na-gari terbagi ke dalam beberapa “partai kecil” yang mewakili beberapa golongan yaitu golo-ngan Niniak Mamak (perhimpunan datuk-da-tuk kepala suku); Bundo Kanduang (pemim-pin seluruh perempuan-perempuan dan anak cucunya dalam suatu kaum); Alim Ulama (pe-mimpin dalam urusan agama); Pemuda (perhimpunan orang-orang muda pada suatu kaum); Cerdik Pandai (perhimpunan orang-orang yang disebabkan karena ia memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta arif dan bijaksana). Dari kelima golongan ter-sebut, setiap golongan kemudian mengajukan salah satu orang sebagai calon Wali Nagari yang dianggapnya memiliki kemampuan se-bagai pemimpin, arif, dan bijaksana. Setelah itu dilakukan pemilihan secara demokratis (pemilihan langsung) dan mufakat untuk me-milih Wali Nagari (Sanggoeno Diradjo, 2015). Praktik seperti ini tentunya akan meminima-lisir munculnya elite-elite desa yang bisa dengan mudah menggunakan menguasai pa-nggung politik desa. Dengan demikian, diha-rapkan pemimpin yang lahir adalah pemim-pin yang sesuai kehendak masyarakat.
Dari segi ekonomi, tujuan utama dari lahirnya UU Desa adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Ada sebuah usaha reposisi peran desa yang coba dilakukan me-lalui UU ini. Tidak lagi menjadi objek pemba-ngunan semata namun, desa mesti berperan secara langsung sebagai agen pembangunan itu sendiri. Dalam UU Desa telah diatur seca-ra jelas mengenai beberapa hal yang terkait dalam bidang ekonomi seperti Keuangan De-sa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pe-mbangunan Kawasan Pedesaan, Badan Usaha Milik Desa, dan juga Kerjasama Antar Desa.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan saat ini dalam usaha pembangunan desa ada-lah pertama, pentingnya pemahaman masya-rakat terhadap arti penting dan peran Desa ikut serta dalam pembangunan nasional. Jangan sampai apa yang telah diatur dengan jelas dalam UU ternyata tidak dipahami sebagai tugas dan kewenangan mereka ikut serta dalam pembangunan. Pengetahuan me-reka terhadap hal ini diharapkan mampu menggerakkan masyarakat desa untuk bersi-nergi, membangun soliditas dan kegotong-royongan. Tentu saja, kondisi ini juga mem-butuhkan peran serta pemerintah pusat dan daerah untuk memandu dan menata sumber-sumber daya di desa, membangun trust, serta menciptakan sinergitas pembangunan yang terencana dan berkeadilan.
Kedua, perlunya membangun hubungan emosional yang erat antara masyarakat dengan desanya. Selama ini, dimensi ini luput dari perhatian masyarakat desa. Tidak hanya masyarakat di itu sendiri, akan tetapi, juga bagi para kaum urban (perantau) yang telah lama meninggalkan desanya. Desa kerap menghadapi persoalan putusnya hubungan emosional dengan masyarakatnya yang telah pergi merantau ke kota. Menengok kasus di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat da-pat menjadi contoh, dimana Pemerintah Dae-rah Kabupaten Tanah Datar memiliki sebuah unit pemerintahan bernama Bagian Pemerin-tah Nagari dan Urusan Rantau. Dimana salah satu tugas fungsi unit ini salah satunya ada-lah mewadahi para perantau-perantau dari Kabupaten Tanah Datar untuk terlibat dalam pembangunan di Kabupaten Tanah Datar. Hubungan emosional terhadap Nagari-Nagari yang ditinggalkan itulah yang menjadikan permasalahan pembangunan di Sumatera Ba-rat tidak begitu nyata terlihat.
Ketiga, terpecahnya UU tentang Pemerin-tah Daerah, menjadi salah satunya UU Desa, membuat pembagian kewenangan dan uru-san serta pembagian kue keuntungan yang diterima Desa menjadi samar-samar. Perlu adanya regulasi yang mengatur secara jelas mengenai hak-hak apa saja yang bisa dipe-roleh desa untuk memperjelas posisi keoto-nomiannya. Sebagai contoh dalam hal penge-lolaan objek-objek pariwisata yang berada langsung di Desa, seperti apa pembagian keuntungan antara Desa dan daerah. Sehi-ngga keberadaan objek pariwisata tersebut
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan
74 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
mampu membawa manfaat langsung masya-rakat desa dan berguna bagi sustainabilitas pembangunannya.
Keempat, meskipun telah ada aturan ten-tang dana desa, namun, dalam implementasi-nya diharapkan masyarakat dan pemerintah desa tidak memandang dana tersebut sebagai satu-satunya pemecah persoalan desa. Bagai-manapun sumber utama yang dimiliki oleh Desa adalah modal sosialnya seperti gotong royong dan musyawarah mufakat. Semua ini harus dimanfaatkan untuk mendorong kema-juan desa. Dana desa tidak lebih sebagai ins-trumen pelengkap dalam upaya pembangun-an Desa.
b. Kesimpulan
Dalam proses perjalanan bangsa Indone-sia, Desa adalah entitas negara yang telah la-ma diabaikan perannya dalam proses pemba-ngunan. Meskipun pemerintah berkali-kali mengatur posisi desa dalam regulasi perun-dangan, tetap saja Desa seperti mengalami proses penundukkan yang terstruktur.
Dampak dari pelemahan ini adalah mele-mahnya institusi modal sosial desa seperti gotong royong dan musyawarah desa. Rezim pembangunan yang tidak merata juga mem-buat penduduk desa bermigrasi meninggal-kan desa yang membuat desa kehilangan sumber daya produktifnya. Selain itu, gera-kan sosial desa semakin lemah karena ori-entasi pembangunan tidak berpusat pada masyarakat (people) tetapi pada pertumbuh-an (growth).
Dapat dikatakan, tugas berat menanti dalam proses pembaharuan dan pembangun-an kembali institusi desa. Desa telah terlanjur mengalami masalah begitu besar yang, itu berarti adalah masalah besar bangsa. Tren penduduk desa terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Proyeksi dalam dua pu-luh tahun ke depan menunjukkan komposisi penduduk Indonesia akan didominasi pendu-duk perkotaan. Artinya adalah, dalam skala nasional, hal ini akan berdampak pada pere-konomian Indonesia. Ancaman utama jelas datang dari ancaman pangan. Sebagai negara yang mengatasnamakan diri negara agraris, sektor pangan dihadapkan pada semakin menghilangnya penduduk petani. Terkesan adanya upaya menghilangkan desa (derurali-zation) dan petani (depeasantization) dalam
pembangunan. Sebagai core sector perekono-mian, pertanian adalah penopang utama bagi sektor-sektor ekonomi lainnya. Dari sektor pertanian muncul sektor-sektor pendukung (supporting sector) seperti: industri pengola-han, jasa, teknologi informasi. Andai sektor inti mengalami penurunan, maka sektor pen-dukung juga akan mengalami penurunan. Namun, berbeda apabila sektor pendukung yang mengalami penurunan, maka sektor inti masih bisa menopang perekonomian. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar adalah dengan memperkuat peran dan fungsi desa atau dengan kata lain pembangunan nasional harus dimulai dari desa.
Undang-undang Desa No. 6 tahun 2014 lahir sebagai usaha penyempurnaan tujuan diadakannya pembaharuan desa. Semangat yang coba dihembuskan undang-undang ini adalah semangat “Desa Membangun” dan “Membangun Desa”. Desa Membangun yaitu menempatkan desa sebagai subjek pemba-ngunan, yaitu desa merencanakan, melaksa-nakan, dan menerima manfaat pembangun-an. Sedangkan Membangun Desa yaitu peme-rintah melibatkan masyarakat desa dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Artinya adalah bahwa diharap-kan adanya sinergitas antara Desa dengan Negara dalam proses pembangunan.
Harapan saat ini adalah dengan pemberi-an kewenangan kepada desa untuk mandiri, desa dapat menyukseskan pelaksananaan de-sentralisasi daerah sebagai bagian dari agen pembangunan dan pelayanan publik yang le-bih prima. Dengan desa menjadi maju maka eksistensi desa dalam kerangka NKRI akan tetap terjaga dan dengan itu pemerataan eko-nomi menjadi sebuah keniscayaan karena ke-miskinan pedesaan yang selama ini menjadi sebuah beban bagi pemerintah dapat berku-rang.
DAFTAR PUSTAKA Buku Abdullah, Taufik. 1984. “Studi tentang
Minangkabau”, dalam Ahmad Ibra-him (ed.). Minangkabau Minang-rantau. Medan: Penerbit Madju.
Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk Indonesia 2010.
Breman, Jan. 1980. The Village on Java and The Early Colonial State. Rotter-dam: CASP.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 75
Burger, D.H. 1962. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia (3rd Edition). Jakarta : Pradnjaramita.
Diradjo, Ibrahim Dt. Sanggoeno. 2015. Tambo Alam Minangkabau : Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Mi-nang. Bukittinggi: Kristal Multime-dia.
Eko, Sutoro (ed). 2005. Prakarsa Desentra-lisasi & Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE PRESS
Eko, Sutoro. 2008. Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan Otonomi Desa. IRE’s Insight Working Paper/Eko/II/Februari. Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta.
Eko, Sutoro. Jalan Panjang Pembaharuan Desa (Pengantar : Epilog) dalam Kusmanto, Heri, dkk. 2007. Desa Tertekan Kekuasaan. Medan: BITRA Indonesia.
Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984. Desa. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisi-tas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pusta-ka Utama.
Mas'oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struk-tur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES.
Nurcholis, Hanif. 2013. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Desa dalam Jurnal Desentralisasi, Vol. 11, No. 2, hal. 401-417.
Schrieke, B. 1960. Indonesian Sosiological Studies.:The Position Of The Regents From The Days Of the Dutch East India Company To The Constitutio-
nal Regulation of 1854. Bandung : Sumur Bandung.
Von Benda-Beckmann. 2007. Franz dan Von Benda-Beckmann, Keebet. Identi-tas-Identitas Ambivalen: Desentrali-sasi dan Komunitas-Komunitas Poli-tik Minangkabau, dalam Politik Lokal di Indonesia. Editor Henk S. Nordholt dan Gary van Klinken. Ja-karta : Yayasan Obor Indonesia.
Zakaria, R. Yando. 2000. Abih Tandeh: Masya-rakat Desa di Bawah Rejim Orde Ba-ru. Jakarta : Elsam.
Peraturan Perundang-undangan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2014
tentang Desa. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005
tentang Desa. Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2001
tentang Pedoman Umum Pengatu-ran Mengenai Desa.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintah-an Daerah
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 ten-tang Penetapan Aturan-Aturan Po-kok Mengenai Pemerintahan Sen-diri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 ten-tang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 ten-tang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 ten-tang Pemerintahan Desa.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 ten-tang Desa.
ARTIKEL
76 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Menilik Potensi Disharmoni
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Sabilla Ramadhiani Firdaus Staf pada Bagian Hukum dan Organisasi
Lembaga Administrasi Negara
LATAR BELAKANG
Sejarah pengaturan mengenai desa yang tersusun dalam hukum formil sudah ada se-menjak republik ini baru seumur jagung. Mu-lai dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ten-tang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Un-dang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mem-percepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Un-dang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Un-dang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Dae-rah, dan terakhir dengan Undang-Undang No-mor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam pelaksanaannya, pengaturan me-ngenai desa tersebut belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyara-kat desa. Padahal hingga saat ini, Indonesia mempunyai sedikitnya 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa dan sekitar 8.000 (delapan ri-bu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan penga-turan desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan za-man, terutama antara lain menyangkut kedu-dukan masyarakat hukum adat, demokratisa-si di ranah desa, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan yang selama ini menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat menggang-gu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indo-nesia.1
1 Dalam Penjelasam Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Setelah Rancangan Undang-Undang Desa disahkan pada Januari 2014, lahir peraturan mengenai desa yang membawa semangat pembaharuan dalam menjawab permasalah-an-permasalahan yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa). Namun dalam pelaksanaannya, muncul permasalahan ke-wenangan untuk mengurus desa yang sesuai dengan amanah UU Desa tersebut. Saat ini ada lebih dari satu kementerian yang menya-takan diri mempunyai kewenangan dalam mengurus desa, baik dalam hal merumuskan kebijakan maupun terkait dengan kewenang-an untuk melakukan pengawalan implemen-tasi UU Desa yang menjadi harapan besar un-tuk pembangunan dan pengembangan desa.
RUMUSAN PERMASALAHAN
a. Bagaimana pengaturan mengenai batas-batas kewenangan antar kementerian mengenai desa jika dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 6 Ta-hun 2014 dan peraturan turunannya (Pe-raturan Presiden hingga pada peraturan pelaksananya)?
b. Hal apa saja yang di diamanatkan Un-dang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ten-tang Desa dalam berbagai bentuk pera-turan turunannya? Apakah berbagai ben-tuk peraturan turunan yang ada seka-rang sudah mencerminkan semangat dan amanat UU Desa?
c. Adakah atau sejauh manakah potensi dis-harmoni dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud di atas?
PEMBAHASAN
Penggunaan istilah “Menteri” dalam UU Desa merujuk pada 2 (dua) institusi yang berbeda. Pasal 1 UU Desa menyebutkan bah-wa Menteri yang dimaksud di sana adalah menteri yang menangani Desa. Sedangkan di dalam penjelasan umum penjelasan menge-nai istilah Menteri adalah :
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 77
Menteri yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedudu-kan ini Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan fasi-litasi mengenai penyelenggaraan pemerinta-han Desa, pelaksana-an Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakat-an Desa, dan pem-berdayaan masyarakat Desa.
Lalu, dalam penjelasan Pasal 112 (Ayat 1 dan 3) pun disebutkan yang dimaksud peme-rintah saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Sementara itu, berdasarkan nomenklaturnya maupun visi-misi yang dibangun, Kementeri-an Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi diharapkan dapat menja-
lankan amanat serta pengawalan UU Desa. Hanya saja, pada saat lahirnya UU Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi belum dibentuk sehingga penyebutan “Menteri” dalam UU Desa masih mengacu pada Menteri Dalam Negeri. Dalam perkembangannya, “Menteri” yang menangani desa mulai disebutkan secara jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2015 tentang Peruba-han atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang Desa, yang juga mengalami peruba-han antar kedua peraturan tersebut, sebagai-mana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Dasar Hukum Konteks Penggunaan Istilah Menteri
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Menteri adalah menteri yang menangani Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Menghapus istilah menteri sebagaimana dimak-sud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 dan langsung menyebutkan men-teri mana yang memiliki wewenang untuk me-nyusun ketentuan-ketentuan yang diamanah-kan untuk dibentuk, antara lain sebagai berikut:
1. Tata cara pengubahan status Desa menjadi Desa adat diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerinta-han di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 28 Ayat 2)
2. Penataan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 32)
3. Penetapan kewenangan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyele-nggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 39 Ayat 1)
4. Pemilihan Kepala Desa diatur dengan pera-turan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerin-tahan dalam negeri (Pasal 46)
5. Sekretariat Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan da-lam negeri (Pasal 62 ayat 3)
6. Pelaksana teknis sebagai pelaksana tugas operasional diatur dengan peraturan men-teri yang menyelenggarakan urusan peme-rintahan di bidang pemerintahan dalam ne-
ARTIKEL
78 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Dasar Hukum Konteks Penggunaan Istilah Menteri
geri (Pasal 64 Ayat 3)
7. Ketentuan mengenai Kepala Desa dan Pe-rangkat Desa diatur dalam peraturan men-teri yang menyelenggarakan urusan peme-rintahan di bidang pemerintahan dalam ne-geri (Pasal 70)
8. Pakaian dinas dan atribut Kepala Desa dan Perangkat Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan da-lam negeri (Pasal 71 Ayat 2)
9. Tahapan, tata cara, dan mekanisme penye-lenggaraan musyawarah Desa diatur dengan peraturan menteri yang menye-lenggarakan urusan pemerintahan di bi-dang pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan da-lam negeri (Pasal 80 Ayat 5)
10. Pedoman teknis mengenai peraturan di Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerinta-han di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 89)
11. Pengalokasian ADD dan pembagian ADD kepada setiap Desa diatur dengan pera-turan bupati/ walikota (Pasal 96 Ayat 4)
12. Tata cara penundaan dan/atau pemotong-an dana perimbangan diatur dengan pera-turan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan yang ditetapkan setelah dikoordinasikan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerin-tahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, pembangun-an kawasan perdesaan, dan pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 96 Ayat 8)
13. Ketentuan mengenai hasil pengelolaan ta-nah bengkok atau sebutan lain diatur dengan peraturan bupati/walikota (Pasal 100 Ayat 4)
14. Pengelolaan kekayaan milik Desa diatur dengan peraturan Desa dengan berpedo-man pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 79
Dasar Hukum Konteks Penggunaan Istilah Menteri
di bidang pemerintahan dalam negeri (Pa-sal 110 Ayat 2)
15. Pengelolaan kekayaan milik Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyele-nggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 113)
16. Tata cara pendirian, pengurusan dan pe-ngelolaan, serta pembubaran BUM Desa dan BUM Desa Bersama diatur dengan pe-raturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangu-nan desa, pembangunan kawasan perdesa-an, dan pemberdayaan masyarakat Desa berkoordinasi dengan menteri yang me-nyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 142)
17. Tata cara kerja sama Desa di bidang Peme-rintahan Desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan da-lam negeri (Pasal 149)
18. Lembaga kemasyarakatan dan lembaga adat Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa berdasarkan pedoman yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyele-nggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri (Pasal 153)
Tabel 1. Konteks penggunaan istilah Menteri.
Pembagian kewenangan mengenai desa
yang menuai polemik baik di masyarakat hi-ngga kalangan pemerintahan, memicu terbit-nya Peraturan Presiden untuk membedakan dan menjelaskan secara rinci batas-batas kewenangan yang masing-masing tertuang dalam Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Ta-hun 2015 tentang Kementerian Desa, Pemba-ngunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
KEWENANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI TERKAIT DESA
Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri mengatur tentang kewenangan, tugas, dan fungsi Kementerian Dalam Negeri terkait penyelenggaraan peme-rintahan Desa sebagaimana disebutkan da-lam Pasal 2 dan 3 berikut:
Pasal 2
Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang peme-rintahan dalam negeri untuk membantu Pre-siden dalam menyelenggarakan pemerintah-an negara.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana di-maksud dalam Pasal 2, Kementerian Dalam Negeri menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang politik dan pemerin-tahan umum, otonomi daerah, pembi-naan administrasi kewilayahan, pembi-naan pemerintahan desa, pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah, pembinaan keuangan daerah,
ARTIKEL
80 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
serta kependudukan dan pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembina-an, dan pemberian dukungan adminis-trasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan ne-gara yang menjadi tanggung jawab Ke-menterian Dalam Negeri;
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Dalam Negeri;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan su-pervisi atas pelaksanaan urusan Kemen-terian Dalam Negeri di daerah;
f. pengoordinasian, pembinaan dan penga-wasan umum, fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan per-undang-undangan;
g. pelaksanaan penelitian dan pengemba-ngan di bidang pemerintahan dalam ne-geri;
h. pelaksanaan pengembangan sumber da-ya manusia di bidang pemerintahan da-lam negeri;
i. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah; dan
j. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organi-sasi di lingkungan Kementerian Dalam Negeri.
KEWENANGAN KEMENTERIAN DESA, PDT, DAN TRANSMIGRASI TERKAIT DESA
Perpres No. 12 Tahun 2015 tentang Ke-menterian Desa, PDT, dan Transmigrasi mengatur kewenangan, tugas, dan fungsi Ke-menterian Desa, PDT, dan Transmigrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintah-an di bidang pembangunan desa dan kawas-an perdesaan, pemberdayaan masyarakat de-sa, percepatan pembangunan daerah terting-gal, dan transmigrasi untuk membantu Presi-den dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 2 dan 3 berikut:
Pasal 2
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mempunyai tu-gas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal,
dan transmigrasi untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan ne-gara.
Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana di-maksud dalam Pasal 2, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Trans-migrasi menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah tertentu, pembangunan daerah terting-gal, penyiapan, pembangunan permuki-man, dan pengembangan kawasan trans-migrasi;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembi-naan, dan pemberian dukungan adminis-trasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Desa, Pembang-unan Daerah Tertinggal, dan Transmigra-si;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan ne-gara yang menjadi tanggung jawabnya;
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Desa, Pembang-unan Daerah Tertinggal, dan Transmigra-si;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Keme-nterian Desa, Pembangunan Daerah Ter-tinggal, dan Transmigrasi;
f. pelaksanaan penelitian dan pengemba-ngan, pendidikan dan pelatihan, serta pengelolaan informasi di bidang pemba-ngunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, penge-mbangan daerah tertentu, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi; dan
g. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organi-sasi di lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Dari ketentuan dua Perpres di atas yang menjelaskan batas wewenang dan penjaba-ran tugas dan fungsi masing-masing kemen-terian, jelas terdapat pembedaan yang men-dasar namun tetap saling bersinggungan an-tar kementerian terkait. Kementerian Dalam Negeri mengurusi pemerintahan desa dengan batas-batas perumusan, penetapan, dan pe-
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 81
laksanaan kebijakan di bidang politik dan pe-merintahan umum, otonomi daerah, pembi-naan administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa. Sedangkan wewenang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi lebih dititikbe-ratkan pada penyelenggaraan urusan peme-rintahan di bidang pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyara-kat desa dengan melaksanakan fungsi peru-musan, penetapan, dan pelaksanaan kebijak-an di bidang pembangunan desa dan kawas-
an perdesaan, pemberdayaan masyarakat de-sa.
AMANAH PERATURAN PELAKSANA UU DESA
Terkait dengan pelaksanaan UU Desa, ter-dapat beberapa hal yang menjadi amanah un-tuk dibentuk peraturan lebih lanjut yaitu dengan Peraturan Pemerintah. Berikut ada-lah rincian ketentuan yang menjadi amanah agar dijabarkan dalam bentuk peraturan pe-laksanaanya:
No. Peraturan Pelaksana Keterangan
1. Tata Cara Pemilihan Kepala Desa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Peme-rintah (Pasal 31 Ayat 3)
Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai Tata Cara Pemilihan Kepala Desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelak-sanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 40-Pasal 46). PP ini menyebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peratu-ran menteri, yang saat ini diatur dalam Pera-turan Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa dan Pera-turan Daerah.
2. Pemberhentian Kepala Desa diatur lebih lanjut dalam PP (Pasal 40 Ayat 3)
Peraturan yang mengatur mengenai pember-hentian kepala desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 54-Pasal 60). PP ini menyebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk pera-turan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang mengatur meka-nisme pemberhentian kepala desa.
3. Musyawarah Desa diatur lebih lanjut da-lam Peraturan Pemerintah (Pasal 47 Ayat 6)
Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai Pemberhentian Kepala Desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU Desa (Pasal 80). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, yang saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi No. 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib Dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawa-rah Desa.
4. Perangkat Desa diatur lebih lajut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berda-sarkan Peraturan Pemerintah (Pasal 50 Ayat 2)
Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai perangkat desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 dan PP No. 43 Tahun 2014 (beberapa ketentuan masih mengacu pada PP No. 43 Tahun 2014, dan ada 2 pasal yang diubah dan diatur dalam PP No. 47 Tahun 2015).
ARTIKEL
82 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
No. Peraturan Pelaksana Keterangan
Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang menga-tur mengenai perangkat desa.
5. Pemberhentian Perangkat Desa diatur da-lam Peraturan Pemerintah (Pasal 53 Ayat 4)
Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai pemberhentian perangkat desa adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelak-sanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Pasal 68-Pasal 70). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang menga-tur mengenai pemberhentian perangkat desa.
6. Besaran penghasilan tetap dan tunjangan serta penerimaan lainnya yang sah diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 66 Ayat 5)
Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai penghasilan tetap dan penerimaan lainnya adalah PP No. 47 Tahun 2015 tentang Peruba-han atas PP No. 43 Tahun 2014 tentang pelak-sanaan UU Desa (Pasal 81-Pasal 82). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri, namun hingga saat ini belum ada peraturan menteri yang menga-tur mengenai penghasilan tetap dan penerima-an lainnya.
7. Keuangan Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 75 Ayat 3)
Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai keuangan desa adalah PP No. 47 Tahun 2015 dan PP No. 43 Tahun 2014 (beberapa ketentuan masih mengacu pada PP No. 43 Ta-hun 2014, dan ada beberapa pasal yang diubah dan diatur dalam PP No. 47 Tahun 2015). Dalam PP tersebut disebutkan bahwa perlu adanya suatu pengaturan lebih lanjut dalam bentuk peraturan menteri. Saat ini, sudah ter-dapat beberapa peraturan menteri yang meng-atur mengenai keuangan desa, antara lain se-bagai berikut:
1. PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara seba-gaimana telah diubah dengan PP No. 22 Tahun 2015;
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa;
3. Peraturan Menteri Keuangan No. 93 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penga-lokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pe-mantauan, dan Evaluasi Dana Desa;
4. Peraturan Menteri Keuangan No. 241 Tahun 2014 tentang Transfer Dana Daerah dan Desa;
Menilik Potensi Disharmoni dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 83
No. Peraturan Pelaksana Keterangan
5. Peraturan Menteri Keuangan No. 250 Tahun 2014 tentang Pengalokasian Transfer Dana Daerah dan Desa;
6. Peraturan Menteri Keuangan No. 263 Tahun 2014 Sistem Akuntansi dan Pelaporan Dana Desa;
8. Perangkat Desa yang berstatus sebagai pe-gawai negeri sipil melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pa-sal 118 Ayat 6)
Peraturan Pemerintah yang mengatur menge-nai Perangkat Desa yang berstatus sebagai pe-gawai negeri sipil adalah PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Tabel 2. Amanah UU Desa yang harus dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah
PENUTUP
Pengaturan mengenai desa menimbulkan polemik tentang potensi disharmoni kewena-ngan antar kementerian, hingga pada imple-mentasi kebijakan peraturan perundang-un-dangan yang saling tumpang tindih satu sama lain. Identifikasi dan kajian mengenai hal ini dirasa sangat perlu untuk memberikan keje-lasan mengenai batas-batas kewenangan hi-ngga pada kejelasan pengaturan dan tercipta-nya harmonisasi peraturan perundang-unda-ngan terkait desa.
Dalam pembahasan di muka dijelaskan bahwa dengan munculnya PP No. 11 Tahun
2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan PP No. 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah memberikan kejelasan mengenai batas kewenangan antar dua ke-menterian yang pada pelaksanaanya pun juga perlu saling koordinasi. Demikian pula hal-nya dengan UU Desa yang juga perlu dilihat amanah penyusunan peraturan pelaksana dan aspek apa saja yang kiranya bisa diidentifikasi dan dilakukan klasifikasi pera-turan perundang-undangan agar tercipta su-atu sistem peraturan perundang-undangan yang harmonis dalam rangka mengoptimal-kan implementasi UU Desa.
84 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015
Petunjuk Penulisan
JURNAL DESENTRALISASI merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian
Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode
ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para
peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau pengamat untuk menyum-
bangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran kritis di bidang desentralisasi
dan otonomi daerah dan otonomi daerah. Topik jurnal desentralisasi mencakup
berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan me-
liputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dimensi-dimensi pelaksanaan
otonomi daerah.
Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut :
1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang
desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan
otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah;
2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik
dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran ku-
arto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan hu-
ruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3
cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm.
3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di bawah tabel, sedangkan posisi
judul gambar berada di atas gambar.
4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas :
a. Judul tulisan;
b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama
adalah penulis utama;
c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor te-
lepon dan alamat email penulis;
d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-ma-
sing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci;
e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema
tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemuka-
kan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data
pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis;
f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu ditulis-
kan metode penelitian yang digunakan;
g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan
topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap
data;
h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan pe-
nulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan;
i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan
dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma),
tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang dipe-
roleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa
contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:
Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Cha-
nges: a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York: Routledge.
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.1, 2015 85
Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Gha-
lia Indonesia.
5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi nas-
kah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip;
6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung,
gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam
daftar pustaka;
7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan
alamat:
Redaksi Jurnal Desentralisasi
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara
Gedung B Lantai 3
Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110
Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115
Email : [email protected]
Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra
Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan
yang layak kepada penulis.***
Top Related