Download - Layak Huni dan Layak Wisata Pantai - Temu Ilmiah IPLBItemuilmiah.iplbi.or.id/wp-content/uploads/2015/11/TI2015-B-071-074... · TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015

Transcript
  • TEMU ILMIAH IPLBI 2015

    Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | B 071

    Layak Huni dan Layak Wisata Pantai

    Studi Kasus: Pantai Botutonuo, Provinsi Gorontalo

    Pratiwi Mushar(1), Shirly Wunas(2)

    (1)Labo. Struktur, bahan bangunan, dan konstruksi, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin. (2)Labo. Perumahan dan Permukiman, Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.

    Abstrak

    Pengelolaan kawasan wisata pesisir pantai umumnya sudah berbasis masyarakat setempat, dan

    status lahan dominan adalah pemilikan masyarakat. Kondisi tersebut umumnya menimbulkan

    masalah terhadap tindakan pembangunan dalam wilayah pasang surut air laut. Tujuan pembahasan

    ini adalah untuk menjelaskan morfologi pembangunan hunian dan fasilitas penunjang wisatanya

    ditinjau dari konsep keberlanjutan di kawasan pesisir pantai. Data diperoleh dengan cara survei

    langsung di lapangan, pengamatan lapangan dengan mempergunakan peta dasar, wawancara

    dengan mempergunakan kuisioner. Data aspirasi masyarakat diperoleh dengan metode pendekatan

    FGD. Teknis analisis secara spasial dengan mempergunakan peta tematik dengan bantuan peta citra

    satelit, analisis dibedakan secara sub kawasan yang ditentukan berdasarkan homogenitas dari fungsi

    lahan. Hasil analisis menunjukkan pembangunan gazebo, rumah untuk homestay dan kegiatan

    wisata serta kenelayanan telah menimbulkan konflik dalam penggunaan lahan, di wilayah pesisir,

    ataupun di ruang dataran. Bentuk pembangunan telah mengabaikan kelayakan dan keselamatan

    wisatawan dan penduduk lokal itu sendiri.

    Kata-kunci : kawasan wisata, morfologi, hunian, pesisir

    Pengantar

    Saat ini pengembangan kegiatan wisata pantai

    telah mengabaikan konsep keberlanjutan. Pen-

    duduk lokal mengembangkan bangunan hunian

    dan sarana penunjangnya tanpa mengikuti

    peraturan tata bangunan dan lingkungan pesisir

    pantai. Pembahasan ini mengambil kasus

    wilayah pesisir pantai yang terdapat di Provinsi

    Gorontalo, yaitu kawasan Wisata Botutonuo

    yang terletak dalam wilayah Kecamatan Kabila

    Bone, Kabupaten Bone Bolango.

    Kawasan wisata tersebut diarahkan sebagai

    kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi

    dan daya dukung lingkungan. Sesuai hasil revisi

    RIPPDA Provinsi Gorontalo 2012, kawasan

    wisata Botutonuo diarahkan sebagai kawasan

    strategis pengembangan pariwisata dan

    diarahkan pengembangan kawasan wisata

    pantai.

    Kepedulian penduduk untuk mengembangkan

    kawasan wisata Pantai sangat kuat, dan kondisi

    tersebut didukung dengan model pengelolaan

    wisata bahari berbasis masyarakat, dengn

    tujuan untuk memberikan manfaat yang

    sebesar-besarnya bagi masyarakat pesisir ter-

    utama yang berada di sekitar kawasan

    konservasi laut (RIPPDA, Provinsi Gorontalo,

    2012).

    Pantai Botutonuo merupakan kawasan yang

    sangat potensi sebagai lokasi wisata bagi

    penduduk Kota Gorontalo dan sekitarnya (urban

    tourism). Jarak 17km, waktu 20-30 menit,

    dan biaya transport dengan becak motor

    Rp.15.000-Rp20.000 dari Kota Gorontalo.

    Terdapat jalan Arteri primer sebagai peng-

    hubung dari Kota Gorontalo ke kawasan

    pariwisata Botutonuo.

  • Layak Huni dan Layak Wisata Pantai (Kasus: Pantai Botutonuo, Provinsi Gorontalo)

    B 072 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015

    Gambar 1. potensi alam berupa kerikil aneka warna,

    pemandangan pantai luas terbuka, pasir putih, bukit

    hijau, laut tenang di sepanjang pantai wilayah Pesisir

    pantai Botutonuo.

    Pantai Botutonuo mempunyai pemandangan

    dengan bentangan alam luas (bukit, laut dan

    kebun) dan indah, serta memiliki pantai pasir

    putih, halus, luas di sepanjang pesisir, air laut

    yang tenang dan memiliki kerikil berwarna dan

    keindahan terumbu karang beraneka ragam (di

    pantai sekitarnya, utamanya pantai Olele), lihat

    gambar 1.

    Gambar 2. Kegiatan berenang, bermain pasir, ban di

    Pantai Botutonuo Tujuan pembahasan ini adalah untuk

    menjelaskan morfologi pembangunan hunian dan

    fasilitas penunjang wisatanya ditinjau dari konsep

    keberlanjutan di kawasan pesisir pantai.

    Metode

    Jenis dan sumber data yang dibutuhkan

    mencakup data fungsi ruang sempadan pantai/

    daerah manfaat pantai, fungsi dataran, dan

    fungsi sungai, bantaran sungai dan muaranya,

    data umur bangunan, luas bangunan, status

    pemilikan bangunan dan lahan, pertumbuhan

    bangunan dalam ruang sempadan bangun-

    an/GSB, KDB, KLB, kondisi tapak bangunan, luas

    kapling, akses/ jaringan jalan dengan bangunan.

    Metode Pengumpulan Data

    Data tersebut diperoleh dengan cara survei

    langsung di lapangan, pengamatan lapangan

    dengan mempergunakan peta dasar, wawancara

    dengan mempergunakan kuisioner.

    Data Kelembagaan, mencakup jumlah tokoh

    masyarakat (ulama, tetua, peran dari aspek

    strata sosial, strata ekonomi, MBR, sektor

    informal, diperoleh dengan cara wawancara

    dengan mempergunakan kuesioner dan data

    aspirasi masyarakat diperoleh dengan metode

    pendekatan FGD.

    Metode Analisis Data

    Teknis analisis secara spasial dengan

    mempergunakan peta tematik dengan bantuan

    peta citra satelit, analisis dibedakan secara sub

    kawasan yang ditentukan berdasarkan homo-

    genitas dari fungsi lahan, topografi/ kemiringan

    lereng dan geografi (sub kawasan Utara

    dengan fungsi lahan permukiman, perkebunan

    kelapa, pasir putih, krikil berwarna, sub kawasan

    Selatan dengan fungsi lahan kebun kelapa,

    pasir putih dan sub kawasan pembangunan baru

    dengan lahan kosong, perkebunan, dan lereng

    bukit, gambar 3).

    Gambar 3. Peta yang dipergunakan untuk analisis

    secara spatial dari kawasan Wisata Botutonuo.

    Analisis dan Interpretasi

    Terdapat 5 asas pembangunan wilayah pesisir

    pantai yaitu 1)Asas manfaat, 2)Asas

    berkelanjutan (alam dan budaya), 3)Asas

    kepentingan kesejahteraan masyarakat, dan

    kelestarian lingkungan, 4)Asas keamanan, dan

    5) Asas komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota.

    Namun asas yang dominan berkembang pada

    masyarakat lokal saat ini adalah berdasarkan

    kepentingan kesejahteraan masyarakat, dan

    didukung dengan model pengelolaan wilayah

    pesisir berbasis masyarakat (gambar 4).

  • Pratiwi Mushar

    Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | B 073

    Salah satu kasus wilayah pesisi Botutonuo,

    bangunan tempat istrahat berupa gazebo

    terdapat di sepanjang pantai dengan biaya sewa

    berdasarkan ukuran (Rp.35.000-

    Rp.50.000/gazebo/hari).

    Gambar 4. Kondisi rumah (homestay) dan gazebo

    yang di sewakan kepada wisatawan.

    Gazebo dan perumahan (kebutuhan homestay)

    dibangun berlapis mendekati batas pasang

    tertinggi air laut, mengabaikan keamanan

    pengguna dan kelestarian wilayah pantai. Pola

    pembangunan gazebo adalah sesuai luas dari

    penguasaan lahan dari masyarakat lokal,

    dominan dalam 1 tutupan atap konstruksi

    sederhana yang bentangan luas bentuk prisma,

    terdapat 02unit-30unit gasebo.

    Belum ada keterpaduan penggunaan kawasan

    pantai, ruang sempadan pantai yang merupakan

    ruang publik dikuasai penduduk lokal, nampak

    pada pembangunan gazebo yang mengarah ke

    laut, kumuh, tanpa sarana cuci dan kakus.

    Konflik pemanfaatan lahan di dataran, seperti

    akses masuk keluar pantai, ataupun kebun

    kelapa dipergunakan untuk parkir. Terdapat

    enam pintu masuk dan pada setiap pintu

    terdapat area parkir yang dikelola oleh

    masyarakat sekitar (gambar 5).

    Selain itu terdapat konflik pemanfaatan ruang

    pantai, seperti ruang berpasir putih dan laut

    yang digunakan untuk kegiatan renang,

    dimanfaatkan juga untuk tambatan perahu,

    rawan pencemaran air laut (gambar 5).

    Gambar 5. Kondisi konflik guna lahan di wilayah

    sempadan pantai (lahan untuk perumahan penduduk,

    parkir dan kebun kelapan), dan konflik guna lahan

    pantai (tambatan perahu, kegiatan renang, dan

    rekreasi lainnya di sepanjang pantai wilayah pesisir

    Botutonuo.

    Perilaku perkembangan guna lahan tersebut

    adalah secara natural, karena guna lahan pada

    kawasan wisata pantai Botutonuo adalah 90%

    lahan adalah milik masyarakat, bersertifikat.

    Selain itu kawasan tersebut belum terdapat

    perencanaan berbasis masyarakat.

    Kondisi prasarana lingkungan untuk kegiatan

    hunian dan wisata juga belum memperhatikan

    aspek ramah lingkungan, dan kelayakan hunian.

    Di wilayah pesisir pantai Botutonuo, masyarakat

    sekitar pesisir membuang air limbah dan air

    kotornya ke laut, atau dibiarkan tergenang di

    sekitar rumah, atau dengan cara menggali

    lubang.

    Pengelolaan sampah dilakukan secara individu oleh penduduk lokal yaitu dengan sistem gali timbun. Belum ada sistem 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

    Air bersih berasal dari sumur galian dan memompanya dengan menggunakan tenaga energy surya. Oleh sebab itu diharapkan pengembangan instalasi listrik bersumber dari energi alternatif.

    Selain prasarana lingkungan yang layak huni

    dan layak wisata, wilayah pantai Botutonuo

    belum dilengkapi jalur penyelamatan kecelakaan

    lalu lintas ataupun evakuasi bencana alam.

    Kawasan sangat rawan terhadap tsunami mem-

    butuhkan perencanaan jaringan jalur

    penyelamatan.

    Kesimpulan

    Pembangunan gazebo, rumah untuk kebutuhan

    homestay dalam wilayah pasang surut air laut,

    serta terdapat konflik penggunaan lahan, baik di

    wilayah pesisir, maupun ruang dataran,

    menunjukkan pembangunan belum mem-per-

    timbangkan konsep keberlanjutan. Bentuk pem-

    bangunan telah mengabaikan kelayakan dan

    keselamatan wisatawan dan penduduk lokal itu

    sendiri. Prasarana lingkungan belum mem-

    perhatikan aspek ramah lingkungan, seperti air

    kotor dibuang langsung ke laut, atau sungai,

    dan sampah dilakukan secara individu tanpa

    konsep 3R.

  • Layak Huni dan Layak Wisata Pantai (Kasus: Pantai Botutonuo, Provinsi Gorontalo)

    B 074 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015

    Regulasi tata bangunan dan lingkungan perlu

    disusun dan diterapkan di wilayah pesisir

    Botutonu, agar dapat mendukung pelestarian

    kawasan dan dapat mengendalikan per-

    kembangan hunian pada keterbatasan lahan

    dengan cara vertikal.

    Daftar Pustaka

    Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah.

    Masterplan Teluk Tomini 2013-2033.

    Edmund,B.1979. A Participatory Approach to Urban

    Planning. Human Sciences Press

    Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Nomor

    06/PRT/M/2007. Tanggal 16 Maret 2007. tentang

    Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan

    Lingkungan

    Petunjuk Teknis Penataan Bangunan dan Lingkungan

    di Kawasan Tepi Air. Direktorat Jenderal Cipta Karya

    Departemen Pekerjaan Umum. 2000

    Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo NO 2 Tentang

    Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah

    Provinsi Gorontalo Tahun 2014.

    Revisi rencana induk pembangunan kepariwisataan

    Daerah (RIPPDA) Provinsi Gorontalo, 2012.

    Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone

    Bolango 2011-2031.

    Rencana Strategis Wilayah pesisir dan pulau-pulau

    kecil Provinsi Gorontalo 2013.

    Revisi rencana induk pembangunan kepariwisataan

    Daerah (RIPPDA) Kab. Bone Bolango 2011.

    Undang-Undang No.09 Tahun 1990 tentang Pariwisata,

    1990. Jakarta

    Yulianda, 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif

    Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir Berbasis

    Konservasi. Makalah. Departemen Manajemen

    Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan. Institut Pertanian Bogor.