LAPORAN TUTORIAL
BLOK REPRODUKSI SKENARIO II
KELOMPOK VIII
ALIFIS SAYANDRI MEIASYIFA G0013019
ANISA KUSUMA ASTUTI G0013033
CICILIA VIANY EVAJELISTA G0013065
HEGA FITRI NURAGA G0013109
JEVI IRGIYANI G0013125
KHARIZ FAHRURROZI G0013131
MUHAMMAD RIZKI KAMIL G0013161
NIKKO RIZKY AMANDA G0013177
RIDHANI RAHMA V G0013201
SANTI DWI CAHYANI G0013213
YOSA ANGGA OKTAMA G0013239
YUSAK ADITYA SETYAWAN G0013241
TUTOR : Dwi Rahayu, dr
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Skenario 2
HAMIL, TAPI KOK MENDADAK PERUT SAYA NYERI?
Seorang G5P4A0, 41 tahun, hamil 35 minggu, datang ke Klinik Bersalin
dengan keluahn mengeluarkan lendir darah pervaginam warna hitam disertai nyeri
perut hebat sejak 2 jam yang lalu. Wanita tersebut jarang memeriksakan
kehamilannya di Puskesmas atau bidan. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak
umur kehamilan 6 bulan.
Dari pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam oleh dokter didapatkan
keadaan umum baik, tekanan darah 180/90 mmHg, denyut nadi 80x/menit,
frekuensi napas 22 kali/menit, suhu tubuh 36,5° C. Terdapat edema pada tungkai
bawah. Pada pemeriksaan abdomen tampak distended, teraba janin tunggal, intra
uterin, preskep, denyut jantung janin 11-12-12, tinggi fundus uteri 25 cm, his 3
kali/10 menit/kuat. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan protein urin (+++).
Kemudian dilakukan pemeriksaan obstetrik, didapatkan pembukaan seviks
uteri 6 cm dengan darah warna hitam, kepala sudah turun di Hodge III. Hasil
pemeriksaan tersebut ditulis dalam lembar partograf. Kemudian dokter
mempersiapkan peralatan persalinan berupa vacum ektraksi, termasuk alat
pelindung diri dan diberi injeksi MgSO4, nifedipin, dan pemasangan infus. Klinik
bersalin ini belum memiliki mesin sterilisator, sehingga strelisasi alat persalinan
dipanaskan dalam air mendidih. Setelah 2 jam, persalinan masuk kala II. Setengah
jam dipimpin mengejan, bayi lahir dengan APGAR SCORE 8.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I: Klarifikasi istilah dan konsep
Dalam skenario 1 ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai berikut:
1. G5P4A0 : G = gravida atau jumlah kehamilan, P= paritas atau jumlah
kelahiran, A= abortus atau jumlah keguguran
2. Abdomen tampak distended : keadaan dinding perut lebih tinggi
daripada xypopubic line (garis antara processus xyphoeideus
sternum sampai symphysis pubis)
3. Preskep : presentasi kepala, hubungan sumbu janin dengan sumbu jalan
lahir. Presentasi janin ketika lahir ada beragam jenis sebagai berikut :
kepala (96%), sungsang (3,5%), bahu (0,5%)
4. Denyut jantung janin 11-12-12 : frekuensi denyut jantung yang diukur
pada 5 detik pertama, ketiga, dan kelima
5. His : kontraksi uterus yang dapat diraba dan menimbulkan pembukaan
serviks
6. APGAR score : kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi baru lahir.
Kriteria ini berguna karena berhubungan erat dengan perubahan
keseimbangan asam-basa pada bayi. Di samping itu dapat pula
memberikan gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang
ditemukan
7. Partograf : lembaran yang berisi data persalinan untuk memantau
kemajuan persalinan dan membantu petugas medis menentukan tata cara
persalinan. Diisi pembukaan ke-4, fase aktif
8. Hodge : garis khayal dalam panggul untuk mengetahui seberapa jauh
kepala janin masuk panggul calon ibu
9. Kala II : salah satu jenis kontraksi uterus pada saat pengeluaran, cirinya
sangat kuat, teratur, terkoordinasi dan waktunya agak lama, terjadi
kontraksi uterus untuk mengeluarkan janin
10. Persalinan : proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari
uterus ibu
11. Pembukaan serviks : ukuran diameter leher rahim yang teregang.
Pembukaan melengkapi pendataran, dan biasanya merupakan indikator
yang paling penting dari kemajuan melalui tahap pertama kerja
12. Pemeriksaan obstetri : serangkaian pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengetahui kondisi pasien yang berkaitan dengan kehamilannya
13. Vacuum extraction : Bantuan persalinan dimana janin dilahirkan dengan
tekanan ekstraksi negatif oleh ekstraktor vakum.
14. Nifedipin : Obat hipertensi yang bisa untuk ibu hamil
B. Langkah II: Menetapkan / mendefinisikan masalah
Permasalahan pada skenario 1 antara lain:
1. Bagaimana cara menilai dan melakukan intrepertasi APGAR Score?
2. Bagaimana cara menggunakan lembar Partograf?
3. Bagaimana cara menggunakan Vacum extraction?
4. Bagaimana farmakodinamik dan farmakokinetik dari nifedipin?
5. Adakah hubungan anatara kala persalinan dengan perdarahan pervaginam
yang berwarna hitam, nyeri, dan usia kehamilan?
6. Adakah hubungan GPA dengan keluhan pasien?
7. Adakah hubungan hipertensi dengan kehamilan?
8. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik maternal dan janin, vital
sign dan laboratorium?
9. Mengapa dokter memberi MgSO4, vacum extraction, nifedipin dan infus?
10. Apakah factor yang mempengaruhi persalinan dan bagaimana fisiologi
persalinan normal?
11. Apakah dampak sterilisasi dengan air mendidih terhadap persalinan?
12. Adakah hubungan tidak pernah periksa kehamilan dengan keluhan
pasien?
13. Apakah diagnosis differensial, diagnosis, dan penatalaksanaan pada kasus
tersebut?
14. Bagaimanakah safety patient dan dokter?
C. Langkah III: Analisis masalah
1. APGAR Score
Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir. Penilaian pada 1 menit digunakan untuk melihat seberapa baik
bayi tersebut mentoleransi proses persalinian. Sedangkan penilaian pada 5 menit
digunakan untuk melihat seberapa baik bayi tersebut dapat mentoleransi keadaan
di luar rahim. Test ini jarang dilakukan setelah 10 menit. Akan tetapi, penilaian
bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi
berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian
ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai
terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan
akan membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat.
Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada
awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan
penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit
dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih
diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian
menunjukkan nilai 8 dan lebih.
Skor Apgar merupakan kriteria klinis untuk menentukan keadaan bayi
baru lahir. Kriteria ini berguna karena berhubungan erat dengan perubahan
keseimbangan asam-basa pada bayi. Di samping itu dapat pula memberikan
gambaran beratnya perubahan kardiovaskular yang ditemukan. Penilaian secara
Apgar ini juga mempunyai hubungan yang bermakna dengan mortalitas dan
morbiditas bayi baru lahir. Cara ini dianggap paling ideal dan telah banyak
digunakan dimana-mana. Patokan klinis yang dinilai ialah:
(1) menghitung frekuensi jantung,
(2) melihat usaha bernafas,
(3) menilai tonus otot,
(4) menilai refleks rangsangan,
(5) memperhatikan warna kulit.
Setiap kriteria diberi angka tertentu, dan biasanya dinilai 1 menit setelah
bayi lahir lengkap, yaitu saat bayi telah diberi lingkungan yang baik serta telah
dilakukan pengisapan lendir dengan sempurna. Skor Apgar satu menit ini
menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan baik sekali sebagai pedoman
untuk menentukan cara resusitasi. Skor Apgar perlu pula dinilai setelah 5 menit
bayi lahir, karena hal ini mempunyai korelasi yang erat dengan morbiditas dan
mortalitas neonatal (Hassan dan Alatas, 1985).
Tabel 1. Skor Apgar (Hassan dan Alatas, 1985)
Tanda 0 1 2
Frekuensi
jantung
Tidak ada <100/menit >100/menit
Usaha bernafas Tidak ada Lambat, tidak teratur Menangis kuat
Tonus otot Lumpuh Ekstremitas fleksi
sedikit
Gerakan aktif
Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
Warna Biru/pucat Tubuh kemerahan,
ekstremitas biru
Tubuh dan ekstremitas
kemerahan
Pada APGAR test yang dinilai ada 5 hal dan dinilai masing-masing dari 0 -2 :
Tabel 2. Sistem APGAR Scoring
Pada bayi dengan asfiksia berat, untuk mempersingkat waktu, penilaian
dilakukan secara cepat dengan (1) menghitung frekuensi jantung dengan cara
meraba xifisternum atau a. umbilicalis dan menentukan apakah jumlahnya lebih
atau kurang dari 100/menit, (2) menilai tonus otot apakah baik/buruk, (3) melihat
warna kulit (Hassan dan Alatas, 1985).
Asfiksia neonatorum dapat dibagi dalam (Hassan dan Alatas, 1985).:
1. ‘Vigorous baby’. Skor Apgar 7-10. Dalam hal ini bayi dianggap sehat dan
tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. ‘Mild-moderate asphyxia’ (asfiksia sedang). Skor Apgar 4-6. Pada
pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
a. Asfiksia berat. Skor Apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis
ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus
otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, refleks
iritabilitas tidak ada.
b. Asfiksia berat dengan henti jantung. Henti jantung ialah
keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari
10 menit sebelum lahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi
menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis
lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada penderita
asfiksia berat
2. Patograf
Partograf dipakai untuk memantau kemajuan persalinan dan membantu
petugas kesehatan alam mengambail keputusan dalam penatalaksanaan.
Partograf dimulai pada pembukaan 4 cm (fase aktif). Partograf sebaiknya
dibuat untuk setiap ibu yang bersalin, baik persalinan normal atau dengan
komplikasi.
Hal-hal yang harus dicatat dalam partograf:
1. Denyut jantung janin. Catat setiap 1 jam.
2. Air ketuban. Catat warna air ketuban setiap melakukan pemeriksaan
vagina:
U: selaput utuh
J : selaput pecah, air ketuban jernih
M: air ketuban bercampur mekonium
D: air ketuban bernoda darah
K: tidak ada cairan ketuban / kering
3. Perubahan bentuk kepala janin (molding atau molase):
0 : sutura terpisah
1 : Sutura yang tepat ( bersesuaian)
2 : sutura tumpang tindih tetapi dapat diperbaiki
3 : sutura sutura tumpang tindih dan tidak dapat diperbaiki
4. Pembukaan mulut rahim/serviks. Dinilai setiap 4 jam dan diberi tanda
silang (x)
5. Penurunan: Mengacu pada bagian kepala (dibagi 5 bagian) yang teraba
(pada pemeriksaan abdomen/luar) diatas simfisis pubis; catat dengan tanda
lingkaran (O) pada setiap pemeriksaan dalam. Pada posisi0/5, sinsiput (S)
atau paruh atas kepala berada di simfisis pubis.
6. Waktu: menyatakan berapa jam waktu yang telah dijalani sesudah pasien
diterima.
7. Jam: catat jam sesungguhnya
8. Kontraksi: Catat setiap setengah jam; lakukan palpasi untuk menghitung
banyaknya kontraksi dalam 10 menit dan lamanya tiaptiap kontraksi dalam
hitungan detik:
Kurang dari 20 detik
Antara 20 dan 40 detik
Lebih dari 40 detik
9. Oksitosin. Jika memakai oksitosin, catatlah banyaknya oksitosin pervolum
cairan infuse dan dalam tetesan permenit
10. Obat yang diberikan: catat semua obat yang diberikan
11. Nadi: catatlah setiap 30-60 menit dan tandai dengan sebuah titik besar (•)
12. Tekanan darah. Catatlah setiap 4 jam dan tandai dengan anak panah
13. Suhu badan. Catatlah setiap 2 jam.
14. Protein, aseton, dan volume urin. Catatlah setiap kali ibu berkemih.
Selain hal diatas, pengamatan yang dicatat pada partograf dapat dibagi
menjadi:
1. Kemajuan persalinan: pembukaan serviks; turunnya kepala (dengan
palpasi perut seperlima kepala janin yang teraba); his (frekuensi per 10
menit, lamanya).
2. Keadaan janin: frekuensi denyut jantung bayi; warna, jumlah, dan lamanya
ketuban pecah; molase kepala janin.
3. Keadaan ibu: nadi, tekanan darah, dan suhu; urin (volume, protein, dan
aseton); obat-obatan dan cairan intravena; pemberian oksitosin.
Jika temuan-temuan melintas ke arah kanan dari garis waspada, petugas kesehatan
harus melakukan penilaian terhadap kondisi ibu dan janin dan segera mencari
rujukan yang tepat.
3. Vacum ektraksi
Ekstraksi Vacum adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan dengan
ekstraksi tenaga negatif (vacum) di kepalanya. (Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1;
331)
Ekstraksi Vacum adalah tindakan obstetrik yang bertujuan untuk
mempercepat kala pengeluaran dengan sinergi tenaga mengejan ibu dan ekstraksi
pada bayi. (Maternal dan Neonatal; 495)
Ekstraksi Vacum adalah suatu persalinan buatan dengan prinsip anatara
kepala janin dan alat penarik mengikuti gerakan alat vacum ekstraktor. (Sarwono;
Ilmu Kebidanan; 831)
Tata cara vacuum ekstraksi :
1. Masukkan mangkok vakum melalui introitus vagina secara miring dan pasang
pada kepala bayi dengan titik tengah mangkok pada sutura sagitalis + 1 cm
anterior dari ubun-ubun kecil dan menjauhi ubun-ubun besar.
2. Penempatan mangkok pada daerah ini dapat membantu mempertahankan
fleksi kepala.
3. Nilai apakah diperlukan episiotomi. Jika episiotomy tidak diperlukan pada
saat pemasangan mangkok, mungkin diperlukan pada saat perineum
meregang, ketika kepala akan lahir
4. Pastikan tidak ada bagian vagina atau porsio yang terjepit.
5. Pompa hingga tekanan skala 10 (silastik) atau negatif - 0,2 kg/cm2
(Malmstrom), dan periksa aplikasi mangkok (minta asisten menurunkan
tekanan secara bertahap).
6. Setelah 2 menit naikkan hingga skala 60 (silastik) atau negatif - 0,6 kg/cm2
(Malm strom), periksa aplikasi mangkok, tunggu 2 menit lagi.
7. Periksa adakah jaringan vagina yang terjepit. Jika ada, turunkan tekanan dan
lepaskan jaringan yang terjepit tersebut.
8. Setelah mencapai tekanan negatif yang maksimal, lakukan traksi searah
dengan sumbu panggul dan tegak lurus pada mangkok.
9. Tarikan dilakukan pada puncak his dengan mengikuti sumbu jalan lahir. Pada
saat penarikan (pada puncak his) minta pasien meneran. Posisi tangan: tangan
luar menarik pengait Ibu jari tangan dalam pada mangkok, telunjuk dan jari
tengah pada kulit kepala bayi.
10. Tarikan bisa diulangi sampai 3 kali saja.
Gambar 1. Tindakan Ekstraksi Vacum
Keuntungan Tindakan Ekstraksi Vacum:
1. Cup dapat dipasang waktu kepala masih agak tinggi, H III atau kurang
dari demikian mengurangi frekuensi SC.
2. Tidak perlu diketahui posisi kepala dengan tepat, cup dapat dipasang di
belakang kepala, samping kepala ataupun dahi.
3. Tarikan tidak dapat terlalu berat. Dengan demikian kepala tidak dapat
dipaksakan melalui jalan lahir. Apabila tarikan terlampau berat cup akan
lepas dengan sendirinya.
4. Cup dapat dipasang meskipun pembukaan belum lengkap, misalnya pada
pembukaan 8-9 cm, untuk mempercepat pembukaan, untuk ini dilakukan
tarikan ringan yang kontinu sehingga kepala menekan pada cervik.
Tarikan tidak boleh terlalu kuat untuk mencegah robekan cervik. Di
samping itu cup tidak boleh terpasang lebih dari ½ jam untuk menghindari
kemungkinan timbulnya perdarahan pada otak.
5. Vacum ekstraktor dapat juga dipergunakan untuk memutar kepala dan
mengadakan fleksi kepala ( misal pada letak dahi ).
Kerugian dari tindakan vakum adalah waktu yang diperlukan untuk
pemasangan cup sampai dapat ditarik relatif lebih lama ( kurang lebih 10 menit )
cara ini tidak dapat dipakai apabila ada indikasi untuk melahirkan anak dengan
cepat seperti misalnya pada fetal distress ( gawat janin ) alatnya relatif lebih mahal
dibanding dengan forcep biasa.
Yang harus diperhatikan dalam tindakan ektraksi vacum adalah:
1. Cup tidak boleh dipasang pada ubun-ubun besar
2. Penurunan tekanan harus berangsur-angsur
3. Cup dengan tekanan negative tidak boleh terpasang lebih dari ½ jam
4. Penarikan waktu ekstraksi hanya dilakukan pada waktu ada his dan ibu
mengejan
5. Apabila kepala masih agak tinggi ( H III ) sebaiknya dipasang cup terbesar
(diameter 7 cm)
6. Cup tidak boleh dipasang pada muka bayi
7. Vacum ekstraksi tidak boleh dilakukan pada bayi premature
Syarat tindakan ekstraksi vacum yaitu:
1. Pembukaan 7 cm atau lebih
2. Kepala di Hodge II-III
3. Tidak ada disproporsi kepala
panggul
4. Konsistensi kepala normal
5. Ketuban sudah pecah atau
dipecahkan
Kontraindikasi dari ektraksi vacum
adalah:
1. Letak muka (kerusakan
pada mata)
2. Kepala menyusul
3. Bayi premature (tarikan
tidak boleh keras)
Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu:
Pada Ibu :
Perdarahan
Infeksi jalan lahir
Trauma jalan lahir
Pada anak :
Ekskoriasi dan nekrosis
kulit kepala
Cephal hematoma
Subgaleal hematoma
Perdarahan intrakranial
Perdarahan subconjuntiva,
perdarahan retina
Fraktura klavikula
Distosia bahu
Cedera pada syaraf cranial
ke VI dan VII
Erb paralysa
Kematian janin
Kriteria Kegagalan Ekstraksi Vakum:
1. Cawan penghisap terlepas lebih dari 3 kali saat melakukan traksi dan hal
ini biasanya terjadi, oleh karena :
a) Tenaga vakum terlampau rendah (seharusnya -0.8 kg/cm2) oleh
karena kerusakan pada alat atau pembentukan caput succedaneum
yang terlampau cepat ( < 0.2 kg/cm2 per 2 menit)
b) Terdapat selaput ketuban atau bagian jalan lahir yang terjepit
diantara cawan penghisap dengan kepala anak.
c) Saat melakukan traksi : kedua tangan penolong tidak bekerja secara
harmonis, traksi dengan arah yang tidak tegak lurus dengan bidang
cawan penghisap atau traksi dilakukan dengan tenaga yang
berlebihan.
d) Terdapat gangguan pada imbang sepalopelvik (CPD)
2. Setelah dilakukan traksi selama 30 menit, janin belum dapat dilahirkan.
10. Fisiologi Persalinan Normal
Faktor yang memicu dimulainya persalinan adalah:
1. Peran Estrogen Kadar Tinggi
Selama awal gestasi, kadar estrogen ibu relatif rendah, tetapi
seiring dengan kemajuan kehamilan, sekresi estrogen plasenta terus
meningkat. Estrogen kada tinggi mendorong sintesis konekson di dalam
sel-sel otot polos uterus. Konekson yang baru terbentuk disimpan di
membran plasma endometrium untuk membentuk taut selah yang secara
elektris menyatukan sel-sel otot polos uterus sehingga mereka mampu
berkontraksi secara terkoordinasi.
Estrogen kadar tinggi juga meningkatkan reseptor oksitosin di
miometrium. Selain itu juga mendorong pembetukan prostaglandin lokal
yang berperan dalam pematangan serviks dengan merangsang enzim-
enzim serviks yang secara lokal menguraikan serat kolagen yang terdapat
pada serviks uteri. Selain itu, prostaglandin juga meningkatkan
responsivitas uterus terhadap oksitosin.
2. Peran Oksitosin
Oksitosin adalah hormone yang diproduksi oleh hipotalamus,
disimpan di hipofisis anterior, dan dibebaskan ke dalam darah dari
hipofisis posterior pada stimulasi saraf oleh hipotalamus. Oksitosin, suatu
perangsang otot uterus yang kuat, berperan kunci dalam kemajuan
persalinan. Persalinan dimulai ketika konsentrasi reseptor oksitosin
mencapai suatu ambang kritis yang memungkinkan kontraksi kuat
terkoordinasi sebagai respons terhadap oksitosin darah yang biasa.
3. Peran Corticotropin-Releasing Hormone (CRH)
Pada janin, banyak CRH yang berasal dari plasenta. Peningkatan
laju sekresi DHEA oleh korteks adrenal sebagai respons terhadap CRH
plasenta menyebabkan peningkatan kadar sekresi estrogen plasenta.
Plasenta mengubah DHEA dari kelenjar adrenal janin menjadi estrogen,
yang kemudian masuk ke dalam aliran darah ibu. Jika sudah cukup tinggi,
estrogen ini mengaktifkan proses-proses yang memulai persalinan.
4. Peran Peradangan
Hal yang perlu diperhatikan pada respons peradangan adalah
pengaktifan NF-κB di uterus. NF-κB mendorong pembentukan sitokin-
sitokin peradangan misalnya IL-8 dan prostaglandin yang meningkatkan
kepekaan uterus terhadap berbagai pembawa pesan kimiawi pemicu
kontraksi dan membantu melunakkan serviks.
Berbagai faktor yang berkaitan dengan terjadinya persalinan aterm
dan persalinan prematur dapat menyebabkan lonjakan NF-κB. Faktor-
faktor tersebut mencakup peregangan otot uterus dan adanya protein
surfaktan paru SP-A di cairan amnion. SP-A mendorong migrasi makrofag
janin ke uterus. Makrofag selanjutnya menghasilkan sitokin peradangan
IL-1β yang menghasilkan NF-κB.
Secara umum setidaknya ada 3 presentasi kehamilan yang dapat muncul :
1. Presentasi kepala (pada sekitar 97% kehamilan)
2. Presentasi bokong (3%)
3. Presentasi bahu/transversal (1%)
D. Langkah IV: Menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan
yang didapatkan pada langkah III
Skema. Pasien Skenario II
E. Langkah V: Merumuskan sasaran pembelajaran
pasien G5P4A0, 41 TAHUN, HAMIL 35 MINGGU
Darah pervaginam hitam
Darah pervaginam hitam
nyeri
Hipertensi
Pemeriksaan luar
Pemeriksaan dalam
Pemeriksaan obstetri
partograf
Peralatan bersalin
lahir
APGAR SCORE
STERILISASI
FISIOLOGI PERSALINAN
KALA PERSALINAN
KELAINAN
INTERPRETASI
1. Bagaimanakah farmakokinetik dan farmakodinamik nifedipine ?
2. Adakah hubungan antara perdarahan pasien dengan kala persalinan ?
2. Bagaimana hubungan GPA pasien dengan keluhan?
3. Bagaimanakah hubungan hipertensi dengan kondisi pasien ?
4. Mengapa terjadi oedema tungkai bawah dan abdomen distended ?
5. Mengapa diberi MgSO4, nifedipine, infuse, lalu dilakukan vacuum
ekstraksi ?
6. Bagaimana teknik sterilisasi alat persalinan?
7. Apa hubungan jarang memeriksakan kandungan dengan keluhan?
8. Bagaimana diagnosis banding skenario ini?
9. Bagaimanakah fisiologi persalinan normal ?
10. Bagaimana APD pasien dan dokter?
F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi
kelompok
Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber-sumber ilmiah
dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan topik
diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan
berikutnya.
G. Langkah VII: Melakukan sintesis dan pengujian informasi-informasi
yang terkumpul
1. Nifedipin
Obat lini pertama untuk hipertensi terdiri dari : diuretik, penyekat reseptor
β adregenik, penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), penghambat
resepetor angiotensin dan antagonis kasium. Nifedipin termasuk golongan obat
hipertensi dari golongan antagonis kalsiu
a. Farmakodinamik
Kalsium pada jantung dan otot polos berfungsi untuk kontraksi.
Bedanya pada otot rangka relatif tidak memerlukan kalsium karena sistem
sarkoplasmik retikulum sudah baik. Oleh karenanya pada jantung dan oto
polos kontraksi otot dapat dihambat dengan antagonis kalsium sedang pada
otot rangka tidak. Antagonis kalsium menghambat kalsium masuk ke dalam
sel sehingga tidak terjadi kontraksi otot.
b. Farmakokinetik
Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk hipertensi darurat. Dosis awal
10mg akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit. Dosis maksimal
akan di dicapai dalam waktu 30-40 menit.
c. Efek samping
1) Hipotensi
2) Iskemia miokard atau serebral
3) Penurunan resistensi perifer hal ini menyebabkan takikardi dan palpitasi
yang memudahkan serangan angina pada pasien penyakit jantung
koroner
4) Sakit kepala
5) Muka merah
6) Edema kaena dilatasi arteriol melebihi dilatasi vena
Efek lain dari nifedipin antara lain hiperkapnia, asidosis, hiperkalsemia,
serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Tapi semua itu tidak menimbulkan
efek yang buruk.
Kombinasi nifedipin dan magnesium dapat menyebabkan tokolisis yaitu
penghentian kontraksi selama persalinan prematur. Karena nifedipin dapat
meningkatkan toksisitas magnesium untuk menimbulkan blokade neuromuskular
yang dapat mengganggu fungsi jantung dan paru. Selain itu dapat menyebabkan
hipotensi berat.
Kenapa menggunakan Nifedipine dan tidak Captopril/HCT?
HCT merupakan obat diuretik yang bekerja secara langsung di ginjal
dengan meningkatkan ekskresi NaCl, air dan kalium. Sedangkancaptopril
merupakan obat hipetensi yang bekerja dengan mempengaruhi sistem renin-
angiotensin. Lebih tepatnya menghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme)
yaitu enzim yang mengkonversi Angiotensin menjadi Angiotensin II. Angiotensin
dihasilkan oleh endotel kapiler pulmo dan ginjal. Angiotensin II berfungsi untuk
meningkatkan fungsi simpatik, resorbsi Na & Cl, retensi H20, ekskresi K, sekresi
aldosterone, vasokonstriksi arteriol, dan sekresi ADH. Dengan menghambat
fungsi angiotensin II captopril dapat menurunkan hipertensi. Akan tetapi
penggunaannya tidak dianjurkan pada kehamilan karena bersifat toksik bagi fetus
dan dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.
Gambar 2. Bagan sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Menurut Groom dan Benner (2004), antagonis kalsium merupakan
relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus dengan mengurangi influks
kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung padavoltase. Terdapat beberapa
kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman klinis adalah dengan
nifedipin.26
Awal 1960an nifedipine digunakan sebagai anti angina dan juga
merupakan salah satu obat anti hipertensi yang sudah lama digunakan pada ibu
hamil maupun tidak hamil. Pada saat ini obat ini juga diketahui memiliki peran di
bidang obstetri dan ginekologi khususnya pada penanganan persalinan prematur.
Obat ini populer karena murah, mudah penggunaannya dan sedikit insiden
terjadinya efek samping.Obat ini terbukti menjadi obat tokolitik yang efektif baik
ketika dibandingkan dengan plasebo atau obat-obat lainnya. Banyak penelitian
yang menyatakan bahwa efektivitas obat ini sama dengan ritodrin dalam
mencegah persalinan prematur.
A. Farmakokinetik
Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral
ataupun sublingual.Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah
15-90 menit setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi
dalam plasma dicapai setelah 5 menit pemberian. Lama kerja obat pada pemberian
dosis tunggal dapat sampai 6 jam dan tidak terjadi efek komulatif pada pemberian
oral setiap 6 jam.
Absorpsi secara oral tergantung dari keasaman lambung. Nifedipine
dimetabolisme di hepar, 70-80% hasil metabolismenya dieksresikan ke ginjal dan
sisanya melalui feses.
B. Kontraindikasi dan Penggunaan Klinik
Dosis nifedipine untuk terapi pada persalinan prematur pada percobaan
klinik bervariasi. Dosis inisial 30mg per oral atau 30mg ditambah 20mg peroral
dalam 90 menit atau 10mg sublingual setiap 20 menit, dengan diikuti oleh 4 dosis
tambahan sebanyak 20mg peroral setiap 4-8 jam untuk terapi tokolitik. Sebagai
dosis perawatan 10-20mg setiap 4-12 jam.
Pemberian nifedipine dikontraindikasikan untuk penderita penyakit hati
dan hipotensi.
C. Efek Terhadap Ibu
Nifedipin menghasilkan hipotensi sistemik dengan menyebabkan
vasodilatasi perifer. Obat ini telah digunakan dalam terapi hipertensi selama
kehamilan atau post partum. Secara klinis, ketika digunakan untuk terapi
persalinan prematur, obat ini memiliki efek terhadap kardiovaskular yang
minimal.
Ferguson melaporkan tokolitik nifedipin berhubungan dengan hemodilusi
yang dapat meningkatkan resiko edema pulmonal non kardiogenik.Obat ini tidak
memiliki efek terhadap elektrolit plasma. Nifedipin yang digunakan dengan
magnesium sulfat menghasilkan blokade neuromuskular dan jika timbul, akan
terlihat kelemahan otot yang berat, yang dapat dikoreksi jika magnesium
dihentikan. Magnesium adalah obat penghambat neuromuskuler dan efek ini dapat
diperoleh juga dengan pemakain nifedipin.Laporan-laporan kasus mengenai
interaksi obat ini dapat dijumpai, namun kemunculan interaksi jarang dijumpai.
Hipotensi yang signifikan muncul ketika kedua obat ini digunakan bersamaan
sehingga harus hati-hati jika menggunakan penyekat kanal kalsium dengan
magnesium sulfat.
Meskipun penyekat kalsium hanya digunakan pada studi-studi
penyelidikan di masa lalu, obat ini digunakan secara luas. Ketika digunakan
secara klinis, jarang dijumpai efek samping yang signifikan terhadap ibu, namun
dapat dijumpai takikardia, kemerahan pada kulit, sakit kepala, pusing, nausea,
vasodilatasi, dan hipotensi yang jarang terjadi pada pasien hipovolemik, yang
dapat diterapi secara efektif dengan mengurangi dosis obat. Hepatotoksisitas
maternal yang diinduksi oleh obat telah dilaporkan ketika nifedipin digunakan
untuk terapi persalinan premature sehingga mengakibatkan dihentikannya
pemberian obat ini. Hal ini jarang muncul namun tes fungsi hepar awal dan
periodik mungkin diindikasikan untuk dilakukan ketika nifedipin digunakan untuk
periode yang lama.
D. Efek Terhadap Janin dan Neonatus
Meskipun beberapa fakta memperlihatkan bahwa penyekat kanal kalsium
menjanjikan beberapa harapan sebagai obat tokolitik karena efek samping
terhadap ibu yang lebih sedikit, beberapa perhatian muncul menyangkut efeknya
terhadapjanin.Studi-studi hewan dengan berbagai spesies yang dilaporkan telah
memperlihatkan adanya penurunan aliran darah uteroplasenta, tekanan darah,
hiperkapnia, asidosis, hipoksemia, dan kematian janin. Studi-studi hewan baru-
baru ini telah diiringi dengan pengamatan terhadap janin wanita hamil.
Namun, hanya terdapat studi-studi klinis yang dipublikasikan dalam
jumlah yang terbatas yang menggunakan penyekat kanal kalsium.Obat ini
mencapai kepopuleran sebagai obat tokolitik lini kedua ketika terapi lini pertama
gagal.Tidak terdapat morbiditas janin atau neonatus yang signifikan dari
penggunaan klinis nifedipin sebagai obat tokolitik.Namun, studi-studi lebih lanjut
diperlukan karena jarangnya data yang tersedia sebelum obat direkomendasikan
untuk dapat digunakan lebih luas.
Untuk saat ini, obat ini tampaknya diindikasikan dan bermanfaat ketika
obat yang lain gagal. Di masa depan, obat ini dapat merupakan obat tokolitik yang
bernilai dan bermanfaat dengan efek samping yang lebih sedikit.
2. Hubungan kala persalinan dengan perdarahan pervaginam hitam dan nyeri,
serta usia kehamilan
a. Fisiologi Persalinan Normal
1) Teori penurunan hormonal : 1-2 minggu sebelum partus mulai terjadi
penurunan kadar progesteron dan estrogen menurun mendadak, nutrisi
janin dari plasenta berkurang.
2) Teori plasenta menjadi tua akan menyebabkan turunnya kadarestrogen dan
progesteron yang menyebabkan kekejangan pembuluh Darah hal ini akan
menimbulkan kontraksi rahim.
3) Teori distensi rahim : rahim menjadi besar dan meregang menyebabkan
iskemia otot – otot uterus karena pengaruh hormonalDAn beban semakin
merangsang terjadinya kontraksi.
4) Teori iritasi mekanik : di belakang serviks terletak ganglion servikale dari
fleksus frankenhauser, menjadi stimulasi (pacemaker) bagi kontraksi otot
polos uterus.
5) Induksi partus (induction of labour) : partus dapat pula ditimbulkan
dengan jelas.
b. Perdarahan Antepartum
1) Definisi Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan
28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan
kehamilan sebelum 28 minggu.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada
kelainan plasenta, sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan
plasenta umpamanya kelainan servik biasanya tidak terlalu berbahaya. Pada
setiap perdarahan antepartum pertama-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal
itu bersumber pada kelainan plasenta.
2) Etiologi Perdarahan Antepartum
Perdarahan antepartum dapat disebabkan karena :
1. Kelainan plasenta
a. Plasenta previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada
tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga
menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada
keadaan normal plasenta terletak dibagian atas uterus.
b. Solusio plasenta (Abruptio Placenta)
Solusio plasenta ialah terlepasnya plasenta yang letaknya normal
pada corpus uteri sebelum lahirnya janin, terjadi pada triwulan
ketiga.
2. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya
Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya mungkin disebabkan :
Insersio velamentosa, Ruptura sinus marginalis, Vasa previa, atau Plasenta
sirkumvalata.
a. Insersio velamentosa
Insersio velamentosa adalah tali pusat yang tidak berinsersi pada
jaringan plasenta, tetapi pada selaput janin sehingga pembuluh
darah umblikus berjalan diantara amnion dan korion menuju
plasenta (Sarwono, Ilmu Kebidanan.2005).
b. Ruptura sinus marginalis
Ruptur sinus marginalis adalah pecahnya pembuluh vena dekat tepi
plasenta yang terbentuk karena penggabungan pinggir, sehingga
menyebabkan lepasnya sedikit bagian dari pinggiran ari-ari.
c. Plasenta sirkumvalata
Selama perkembangan amnion dan korion melipat kebelakang
disekeliling tepi-tepi plasenta. Dengan demikian korion ini masih
berkesinambungan dengan tepi plasenta tapi pelekatannya melipat
kebelakang pada permukaan fetal.
Pada permukaan fetal dekat pada pinggir plasenta terdapat cincin
putih. Cincin putih ini menandakan pinggir plasenta, sedangkan
jaringan disebelah luarnya terdiri dari vili yang timbul ke samping,
dibawah desidua. Sebagai akibatnya pinggir plasenta mudah
terlepas dari dinding uterus dan perdarahan ini menyebabkan
perdarahan antepartum. Hal ini tidak dapat diketahui sebelum
plasenta diperiksa pada akhir kehamilan.
3. Bukan dari kelainan plasenta
Misalnya didapatkan kelainan serviks dan vagina, dapat diketahui bila
dilakukan pemeriksaan dengan spekulum yang seksama. Kelainan yang
tampak ialah :
• erosio portionis uteri
• carcinoma portionis uteri
• polypus cervicis uteri, varices vulvae, dan trauma.
Perlu diketahui kematian perinatal terbesar karena perdarahan antepartum
adalah solutio plasenta (70%) dan plasenta previa (26,3%).
4. Fisiologi
Lendir darah pervaginam merupakan tanda telah dimulainya Kala I
Persalinan. (Sastrawinata, 2004)
Usia 39 tahun merupakan faktor risiko terjadinya pre-eklampsia. Lendir darah
pervaginam merupakan tanda telah dimulainya Kala I persalinan.
Persalinan dapat dibagi dalam 4 kala (stages), yaitu:
1. Kala I
Mulai dari his teratur sampai pembukaan lengkap. In partu (partus mulai)
ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah (bloody show), karena
serviks mulai membuka (dilatasi) dan mendatar (efficement).
Kala pembukaan dibagi atas 2 fase, yaitu :
a. Fase laten : dimana pembukaan serviks berlangsung lambat, sampai
pembukaan 3 cm berlangsung dalam 7-8 jam.
b. Fase aktif : berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3
Subfase :
(a) Periode akselerasi : berlangsung 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm.
(b) Periode dilatasi maksimal (steady) : selama 2 jam pembukaan
berlangsung cepat menjadi 9 cm.
(c) Periode deselerasi : berlangsung lambat, dalam waktu 2 jam
pembukaan menjadi 10 cm atau lengkap.
2. Kala II
Pada kala pengeluaran janin, his terkoordinir, kuat, cepat dan lebih lama.
Kepala janin telah turun masuk ruang pintu bawah panggul sehingga
terjadilah tekanan pada otot – otot dasar panggul yang secara reflektoris
menimbulkan rasa mengedan. Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan,
vulva membuka dan perineum meregang. Dengan his mengedan yang
terpimpin, akan lahirlah kepala, diikuti oleh seluruh badan janin.
3. Kala III
Setelah lahirnya bayi, kontraksi rahim istirahat sebentar.Uterus teraba keras
dengan fundus uteri setinggi pusat dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2x
sebelumnya. Beberapa saat kemudian, timbul his pelepasan dan pengeluaran
uri. Dalam waktu 1-5 menit seluruh plasenta terlepas, terdorong ke dalam
vagina dan akan lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simpisis
atau fundus uteri. Seluruh proses biasanya berlangsung 5-30 menit setelah
bayi lahir. Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira – kira
100-200 cc.
4. Kala IV
Adalah kala pengawasan selama 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk
mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarahan postpartum.
3. Hubungan GPA dengan keluhan yang dialami pasien
Graviditas adalah jumlah kelahiran, menunjukkan kehamilan pasien yang
ke berapa. Makin besar angka gravid, maka makin besar pula kemungkinan
melahirkan bayi dengan kondisi lemah dan kematian ibu bersalin. Paritas adalah
angka yang menunjukkan sudah berapa kali pasien melahirkan. Interval waktu
kehamilan yang ideal adalah 2 tahun. Apabila seorang wanita kembali hamil
dalam kurun waktu <18 bulan setelah kelahiran anaknya yang terakhir maka
risiko kematian bayi menjadi 90% lebih besar dibandingkan wanita yang kembali
hamil dalam kurun waktu 24-48 bulan atau 1-2 tahun setelah melahirkan anak
terakhir (Kaplan, 2007).
Data yang didapatkan dari kasus solusio plasenta di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo menunjukkan bahwa kejadian solusio plasenta meningkat dengan
meningkatnya umur dan paritas ibu, hal ini dapat dipahami karena makin tua
umur ibu makin tinggi frekuensi penyakit hipertensi menahun dan makin tinggi
paritas ibu makin kurang baik endometriumnya (Wiknjosastro, 2005).
Data dari RSUD menyebutkan bahwa jumlah kasus perdarahan dirumah
sakit ini adalah 56 kasus dengan 24 kasus atau 42,9% diantaranya perdarahan
antepartum. Salah satu penyebab terjadinya perdarahan antepartum adalah makin
tinggi paritas ibu hamil maka makin kurang baik atau makin melemahnya fungsi
endometrium (Wiknjosastro, 2005).
4. Hubungan hipertensi dengan kehamilan
Hipertensi pada kehamilan kadang disebut juga pregnancy-induced
hypertension (PIH) disebut ‘toksemia kehamilan’ atau pre-eklampsia, merupakan
80% dari semua kasus hipertensi pada kehamilan dan mengenai antara 3-8 persen
pasien, terutama primigravida, pada kehamilan trimester kedua.
Patogenesis Pregnancy Induced Hypertensi
Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan
ini disebabkan oleh gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat
berkurang. Hal ini dapat menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas
sampai batas tertentu hingga mengganggu fungsi plasenta. Ketika kehamilan
berlanjut, hipoksia plasenta menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan
membran basalis trofoblas yang mungkin mengganggu fungsi metabolik plasenta.
Sekresi vasodilator prostasiklin oleh sel-sel endothelial plasenta berkurang dan
sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah, sehingga timbul vasokontriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini terjadi
pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi ibu, dan penurunan
volume plasma ibu. Jika vasospasmenya menetap, mungkin akan terjadi cedera sel
epitel trofoblas, dan fragmen-fragmen trofoblas dibawa ke paru-paru dan
mengalami destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya,
tromboplastin menyebabkan koagulasi intravascular dan deposisi fibrin di dalam
glomeruli ginjal (endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi
glomerulus dan secara tidak langsung meningkatkan vasokontriksi. Pada kasus
berat dan lanjut, deposit fibrin ini terdapat dalam pembuluh darah system saraf
pusat, sehingga menyebabkan konvulsi (Llewellyn-Jones, 2001).
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII 2003, kasus dalam skenario
termasuk hipertensi tingkat 2 dimana tekanan sistole > 160 mmHg dan tekanan
diastol > 100 mmHg. Tekanan darah ditentukan oleh dua hal, yaitu :
a. Curah jantung (cardiac output)
Merupakan hasil perkalian dari frekuensi denyut jantung dan stroke
volume (ditentukan oleh kontraktilitas miokard dan volume darah).
b. Resistensi perifer
Ditentukan oleh tonus pembuluh darah dan elastisitas pembuluh
darah.
Besarnya tekanan darah di pengaruhi oleh :
a. Saraf parasimpatis , fungsinya menurunkan tekanan darah dengan cara
menurunkan frekuensi denyut jantung.
b. Saraf simpatis, bersifat presif atau menaikkan tekanan darah dengan
cara meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
miokard dan meningkatkan resistensi pembuluh darah.
c. SRAA (Sistem Renin Angiotensin Aldosteron), bersifat presif atau
menaikkan tekanan darah dengan cara memberikan efek
vasokonstriksi angiotensin II dan perangsangan aldosteron yang
menyebabkan yang menyebabkan retesnis air dan natrium air di ginjal
sehingga menyebabkan volume darah naik.
d. Faktor lokal
Sel endotel pembuluh darah memproduksi zat vasoaktif, yang bersifat
sebagai :
Vasokonstriktor, contoh : endotelin, angiotensin II dan
tromboksan A2.
Vasodilatator, contoh : NO dan prostasiklin (PGI2).
Jenis-jenis hipertensi pada kehamilan :
a. Hipertensi Kronik : hipertensi yang terjadi sebelum 20 minggu atau
setelah 20 minggu sampai 12 minggu pasca persalinan.
b. Pre-eklampsia : hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu disertai
proteinuria.
c. Eklampsia : hipertensi yang terjadi akibat pre eklampsia disertai
kejang dan koma.
d. Kronik dengan supersoped pre-eklampsia : tanda-tanda hipertensi
kronik disertai pre eklampsia atau hipertensi kronik disertai
proteinuria.
e. Hiprtensi Gestasional : hipertensi yang terjadi pada kehamilan
tanpa proteinuria, hilang pasca 3 bulan persalinan atau kehamilan
dengan pre eklampsia tanpa proteinuria setelah 20 minggu.
Klasifikasi menurut Llewellyn-Jones (2001) :
a. Potensial PIH
TD pasien meningkat >30 mmHg pada sistolik dan >15 pada diastolik
diatas tekanan basal.
b. PIH ringan (juga dikenal hipertensi kehamilan)
TD diastolik pasien 90-99 mmHg, urin tidak menunjukkan protein
signifikan (<30>)
c. PIH sedang
TD terletak antara 140-170/100-110, yang dikonfirmasi dalam dua kali
pemeriksaan berturut-turut setelah istirahat. Jika didapati proteinuria
signifikan (>30 dan <300>)
d. PIH berat (juga dikenal sebagai pre-eklampsia atau gestational proteinuric
hypertension)
TD pasien melebihi 170/110 dan atau terdapat proteinuria nyata. PIH berat
mengenai kira-kira 1% primigravida.
e. Eklampsia iminens
Tanda-tanda PIH berat, sakit kepala berat, penglihatan kabur atau nyeri
epigastrik dan hiperrefleksia.
f. Edema
Dapat terjadi pada semua derajat PIH tetapi sedikit nilai diagnostic kecuali
jika edema generalisata, karena edema sama seringnya dengan edema pada
wanita yang tidak mengalami gangguan antenatal.
Ada 3 tipe umum hipertensi pada kehamilan menurut American Pregnancy
Association (2014) :
1. Hipertensi kronis
Ibu hamil telah memiliki hipertensi (> 140/90) sejak sebelum 20 minggu
dan tetap ada setelah melahirkan
2. Hipertensi Gestasional
Terjadi hipertensi setelah minggu ke 20 dan hilang setelah melahirkan dan
TIDAK disertai proteinuria
3. Hipertensi Pre-eclampsia
Hipertensi yang dapat diakibatkan oleh hipertensi kronis maupun
hipertensi gestasional dan disertai dengan adanya proteinuria
Secara umum ada 4 tipe umum hipertensi pada kehamilan :
1. Hipertensi kronis
Ibu hamil telah memiliki hipertensi (> 140/90) sejak sebelum 20 minggu
dan tetap ada setelah melahirkan. Hipertensi ini tidak disertai proteinuria.
2. Hipertensi Gestasional
Terjadi hipertensi setelah minggu ke 20 dan hilang setelah melahirkan dan
tidak disertai proteinuria.
3. Hipertensi Pre-eklampsia
Hipertensi yang dapat diakibatkan oleh hipertensi kronis maupun
hipertensi gestasional dan disertai dengan adanya proteinuria.
4. Preeklampsia superimposed pada hipertensi kronik
Preeklamsia yang terjadi pada perempuan hamil yang telah menderita
hipertensi sebelum hamil.
Gambar 3. Peta konsep hipertensi dalam kehamilan.
5. Pemeriksaan vital sign, fisik, lab, serta denyut jantung janin
Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema terjadi karena
hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang patologik
adalah edema yang non dependen pada muka dan tangan, atau edema generalis,
dan biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat. Edema pada
eklampsi meliputi muka dan tangan yang timbul pada pagi hari, biasanya pasien
mengeluh cincinnya menjadi terlalu kecil. Seringkali terjadi edema berat dan
terkadang masif, tapi dapat pula tersembunyi.
ANTENATAL CARE
Dilakukan untuk mengetahui keadaan ibu dan janin dan mencari dan
menyingkirkan penyulit kehamilan.
Janin :
• Denyut jantung janin
• Besarnya janin, saat itu dan kecepatan pertumbuhannya
• Jumlah cairan amnion
• Bagian terendah dan penurunannya (pada akhir kehamilan)
• Aktivitas janin
Maternal :
• Tekanan darah, saat itu dan perubahannya
• Berat badan, saat itu dan perubahannya
• Keluhan, termasuk sakit kepala, perubahan penglihatan, nyeri abdomen,
mual dan muntah, perdarahan, cairan pervaginam, dan dysuria
• Jarak fundus uteri sampai simfisis
Pemeriksaan yang dilakukan dengan teliti pada akhir kehamilan:
o Bagian terendah janin,
o Penurunan bagian terendah,
o Pengukuran luas pelvis secara klinis dan menilai bentuk umum panggul,
o Konsistensi, pendataran dan pembukaan serviks
6. Mengapa diberi MgSO4, nifedipin, pemasangan infus serta dilakukan vakum
ekstraksi?
Syarat pemberian MgSo4 adalah : refleks patela (+); diurese 100 cc dalam
4 jam yang lalu; respirasi 16 per menit dan harus tersedia antidotumnya : kalsium
lukonas 10% ampul 10 cc (Mochtar, 1998). Pemberian MgSO4 pada pasien
berfungsi untuk mencegah pasien memasuki fase eklampsia. Dari tekanan darah
dapat diketahui bahwa pasien mengalami pre-eklampsia berat yang mana sangat
mudah menjadi eklampsia yaitu pre-eklampsia yang disertai kejang bahkan
sampai koma. Magnesium sulfat merupakan obat anti kejang.
Pasien diberi nifedipin dikarenakan nifedipin adalah obat hipertensi
darurat yang dapat menurunkan tekanan darah dengan cepat.
Pasien dilakukan tindakan vakum ekstraksi dikarenakan ini merupakan
salah satu prosedur dalam terminasi kehamilan yang sudah inpartu yang telah
memasuki kala II. Pentalaksaan selain vakum ekstraksi adalah pemberian
amniotomi dan oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah
pemberian obat medisinal dan pada kehamilan <37 minggu, terminasi ditunda
2x24 jam untuk maturasi paru janin dengan pemberian kortikosteroid.
Pemberian infus untuk penderita pre-eklampsia terdiri dari infus dextrose
5% dimana setiap 1L diselingi infus RL (Ringer Laktat) (60-125 cc/jam). RL
isotoni dengan NaCl, KCl, CaCL2 dan natrium laktat yang komposisinya mirip
dengan cairan ekstraseluler.
Indikasi pemberian RL : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada
dehidrasi untuk keperluan hidrasi selama atau sesudah operasi. Indikasi pemberian
dextrose adalah sebagai cairan resusitasi pada terapi intravena serta untuk
keperluan hidasi selama/sesudah operasi.
Cairan resusitasi adalah pemberian cairan untuk pasien yang mengalami
syok karena dehidrasi atau perdarahan.
7. Dampak sterilisasi dengan air mendidih terhadap persalinan
Sterilisasi menggunakan air mendidih hanya akan membunuh sebagian
bakteri vegetatif dan virus inaktif. Namun tidak efektif terhadap prion, beberapa
bakteri, dan spora fungi. Oleh karena itu sterilisasi menggunakan air mendidih
tidak terlalu stabil
Metode sterilisasi yang paling umum dilakukan dan dapat dipercaya
adalah menggunakan uap air/autoclave. Dengan menggunakan autoclave sebagian
besar bakteri, virus, fungi dan juga beberapa bakteri resisten dapat dibunuh.
Metode ini biasanya dilakukan dengan suhu 121o C selama 30 menit atau 132o C
selama 4 menit secara vacum. Selain itu ada juga metode menggunakan ethylene
oksida yang biasanya digunakan untuk plastik, optik, dan benda elektrik dengan
suhu 30-60o C dengan jumlah gas 200-800mg/L. Selain itu juga ada metode dry
heat menggunakan udara. Metode ini mirip autoclave hanya saja tidak
menggunakan uap air.
8. Hubungan jarang kontrol dengan keluhan yang dialami pasien
Tujuan Asuhan Antenatal yaitu :
a. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan Ibu dan tumbuh
kembang bayi;
b. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan sosial ibu dan
bayi,
c. Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin
terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan
pembedahan,
d. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, Ibu
maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin,
e. Mempersiapkan peran Ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar
dapat tumbuh kembang secara normal (Saifuddin, dkk., 2002) tidak tercapai.
Sebaiknya minimal seorang ibu hamil mengontrolkan kandungan empat kali
selama hamil 40 minggu. Namun optimalnya, berdasarkan buku pedoman
antenatal care (2003), seorang ibu hamil yang nulipara tanpa komplikasi
kehamilan sebaiknya mengontrolkan kandungan sebanyak total 10 kali sedangkan
pada ibu hamil yang sudah pernah melahirkan sebelumnya, tujuh kali kontrol
sudah cukup
9. Diagnosis pasien, diagnosis banding beserta tatalaksananya
A.Pre-eklampsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria. Menurut Prawiroharjo (2008) hal-hal yang perlu
diperhatikan:
1. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik ≥140/90 mmHg.
Pengukuran darah dilakukan sebanyak 2 kali pada selang waktu 4 jam-6 jam.
2. Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama
dengan ≥1+ dipstik.
3. Edema, sebelumnya edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda preeklamsi
tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata.
Selain itu bila di dapatkan kenaikan berat badan >0,57kg/minggu.
Preeklamsi adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ
akibat vasospasme dan aktivasi endotel, proteinuria adalah tanda penting
preeklamsi, terdapatnya proteinuria 300 mg/1+ (Cunningham, 2006).
Klasifikasi :
• Preeklampsia Ringan
Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu.
Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam.
• Preeklampsia Berat
Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu.
Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam.
Atau disertai keterlibatan organ lain :
a. Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati.
b. Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas.
c. Sakit kepala , skotoma penglihatan.
d. Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion.
e. Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif.
f. Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl.
• Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik
Pasien dengan riwayat hipertensi kronik
Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000
sel/uL pada usia kehamilan > 20 minggu
Gambaran klinik : pertambahan berat badan yang berlebihan, edema
hipertensi dan timbul proteinuria.
Gejala subjektif : sakit kepala di daerah frontal, nyeri epigastrium;
gangguan visus seperti penglihatan kabur, skotoma, diplopia; mual dan muntah.
Gangguan serebral lainnya : oyong, refleks tinggi dan tidak tenang.
Pemeriksaan : tekanan darah tinggi, refleks meninggi, dan proteinuria
pada pemeriksaan laboraturium.
Etiologi/Predisposisi preeklamsi
Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum bisa diketahui secara pasti. Namun
banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap benar-benar
mutlak. Beberapa faktor resiko ibu terjadinya preeklamsi:
1. Paritas
Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi
pada grandemultigravida (Bobak, 2005). Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4
tahun juga dapat berisiko tinggi timbul preeklamsi (Rochjati, 2003).
2. Usia
Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35 tahun. Kematian
maternal pada wanita hamil dan bersalin pada usia dibawah 20 tahun dan setelah
usia 35 tahun meningkat, karena wanita yang memiliki usia kurang dari 20 tahun
dan lebih dari 35 tahun di anggap lebih rentan terhadap terjadinya preeklamsi
(Cunningham, 2006). Selain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi
perubahan pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi
sehingga lebih berisiko untuk terjadi preeklamsi (Rochjati, 2003).
3. Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum hamil
atau sebelum umur kehamilan 20 minggu. Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi
berisiko lebih besar mengalami preeklamsi, serta meningkatkan morbiditas dan
mortalitas maternal dan neonatal lebih tinggi. Diagnosa preeklamsi ditegakkan
berdasarkan peningkatan tekanan darah yang disertai dengan proteinuria atau
edema anasarka (Cunningham, 2006)
4. Sosial ekonomi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang sosial ekonominya lebih
maju jarang terjangkit penyakit preeklamsi. Secara umum, preeklamsi/eklamsi
dapat dicegah dengan asuhan pranatal yang baik. Namun pada kalangan ekonomi
yang masih rendah dan pengetahuan yang kurang seperti di negara berkembang
seperti Indonesia insiden preeklamsi/eklamsi masih sering terjadi (Cunningham,
2006)
5. Hiperplasentosis /kelainan trofoblast
Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap sebagai faktor predisposisi
terjadinya preeklamsi, karena trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi
uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat
mengakibatkan terjadinya vasospasme, dan vasospasme adalah dasar patofisiologi
preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis tersebut misalnya: kehamilan multiple,
diabetes melitus, bayi besar, 70% terjadi pada kasus molahidatidosa
(Prawirohardjo, 2008; Cunningham, 2006).
6. Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara
familial jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti pada ibu yang
mengalami preeklamsi 26% anak perempuannya akan mengalami preeklamsi
pula, sedangkan 8% anak menantunya mengalami preeklamsi. Karena biasanya
kelainan genetik juga dapat mempengaruhi penurunan perfusi uteroplasenta yang
selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan terjadinya
vasospasme yang merupakan dasar patofisiologi terjadinya preeklamsi/eklamsi
(Wiknjosastro, 2008; Cunningham, 2008).
7. Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh.
Obesitas merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori, biasanya disertai
kelebihan lemak dan protein hewani, kelebihan gula dan garam yang kelak bisa
merupakan faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti
diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis
keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan lain.Hubungan antara berat badan
ibu dengan risiko preeklamsia bersifat progresif, meningkat dari 4,3% untuk
wanita dengan indeks massa tubuh kurang dari 19,8 kg/m2 terjadi peningkatan
menjadi 13,3 % untuk mereka yang indeksnya ≥35 kg/m2 (Cunningham, 2006;
Mansjoer, 2008)
Pencegahan preeklamsi
Pencegahan preeklamsi ini dilakukan dalam upaya untuk mencegah
terjadinya preeklamsi pada perempuan hamil yang memiliki resiko terjadinya
preeklamsi. Menurut Prawirohardjo 2008 pencegahan dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu:
1. Pencegahan non medikal
Yaitu pencegahan dengan tidak memberikan obat, cara yang paling sederhana
yaitu dengan tirah baring. Kemudian diet, ditambah suplemen yang mengandung:
a) minyak ikan yang kaya akan asam lemak tidak jenuh misal: omega-3
PUFA,
b) antioksidan: vitamin C, vitamin E, dll.
c) elemen logam berat: zinc, magnesium, kalium.
2. Pencegahan dengan medikal
Pemberian deuretik tidak terbukti mencegah terjadinya hipertensi bahkan
memperberat terjadinya hipovolumia. Pemberian kalsium: 1.500-2.000mg/hari,
selain itu dapat pula diberikan zinc 200 mg/hari,magnesium 365 mg/hari. Obat
trombotik yang dianggap dapat mencegah preeklampsi adalah aspirin dosis rendah
rata-rata <100mg/hari atau dipridamole dan dapat juga diberikan obat antioksidan
misalnya vitamin C, vitamin E.
Eklampsia
– Kejang umum dan/atau koma
– Tanda dan gejala preeklampsia
– Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi, perdarahan
subarakhnoid, dan meningitis)
B. Solutio Placenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari
implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum
janin lahir. Cunningham, dalam bukunya, mendefinisikan solusio plasenta sebagai
separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum
janin lahir. Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka mungkin
akan didiagnosis sebagai abortus imminens.
Klasifikasi
a. Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan
plasenta:
1) Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
2) Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
3) Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
b. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan:
1) Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
2) Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma
retroplacenter
3) Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion.
c. Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya
mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu:
1) Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda
renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma lebih 150 mg%.
2) Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan,
gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan,
kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3) Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin
mati, pelepasan plasenta bisa terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.
Faktor risiko
Ada banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko solutio placenta, diantaranya
adalah :
• Riwayat solutio placenta : seseorang yang pernah mengalami solutio placenta
mempunyai risiko lebih tinggi
• Tekanan darah tinggi : dapat berupa tekanan darah tinggi kronis atau hipertensi
akibat kehamilan
• Trauma Abdomen
• Substance abuse : Konsumsi rokok/cocain saat kehamilan
• Ruptur Membran : Amnion Prematur Yaitu membran ruptur sebelum waktunya
persalinan
• Kelainan pembekuan darah
• Multipara
• Usia kehamilan diatas 40
Patogenesis
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua
basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari
pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom
subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding
uterus Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan mendesak
jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta
gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta
lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya
dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan
berlangsung terusmenerus karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak
mampu berkontraksi untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematom
subkhorionik akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh
plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah
selaput ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke dalam kantong
ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila
ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi Uterus Couvelaire, dimana seluruh
permukaan uterus akan tampak bercak kebiruan atau berwarna ungu. Uterus
seperti ini akan terasa sangat tegang dan nyeri dan akan mengganggu
kontraktilitas uterus setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi
perdarahan post partum yang hebat.
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan
tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat
pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar
persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia.
Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang
tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya
Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas
pengelompokannya menurut gejala klinis:
1. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat
pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi
perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut
terasa agak sakit, atau terus menerus agak tegang. Walaupun demikian, bagian-
bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu
diawasi, apakah menjadi semakin tegang karena perdarahan yang berlangsung.
Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta ringan ini
adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitamhitaman.
2. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum
duapertiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti
solusio plasenta ringan, tetapi bisa juga secara mendadak dengan gejala sakit perut
terus menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam.
Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya
mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh kedalam syok,
demikian pula janinnya jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan
gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga
bagian-bagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung
sukar didengar. Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah
terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat.
3. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari duapertiga permukaannnya. Terjadi sangat
tibatiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok, dan janinnya telah
meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan, dan sangat nyeri. Perdarahan
pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, malahan perdarahan
pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan- keadaan di atas
besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan
kelainan/gangguan fungsi ginjal.
C. Previa Placenta
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat
abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau
seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terletak dibagian
atas uterus.
Gambar 4. Placenta previa.
Ada beberapa tipe placenta previa :
1. Placenta previa total -> ostium cervix internum tertutup seluruhnya
2. Placenta previa parsial -> ostium cervix internum tertutup sebagian
3. Placenta previa marginal -> placenta ada di tepi ostium
4. Placenta previa letak rendah -> placenta implantasi di dekat ostium
Gejala :
• Keluar darah segar berwarna merah dan berulang
• Tidak nyeri
• Uterus tidak tegang
• Jarang terjadi syok
• Teraba placenta
• Ada bantalan antara bagian janin dan jari pemeriksa
Tabel 2. Perbedaan solutio placenta dan previa placenta.
[Sumber : Santosa, Imam (2012). Kuliah Obtetri Ginekologi. Jakarta Dept. Obstetri Dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia]
Diagnosis:
Dari gejala-gejala yang timbul kita dapat menentukan diagnosis sebagai berikut :
Pasien menderita hipertensi (160/110) disertai proteinuria. Kedua hal ini menjurus
kepada pre-eksklampsia. Selain itu pasien berusia 41 tahun (> 40), multipara
(pernah hamil 5 kali dan melahirkan 4 kali). Kedua hal ini merupakan risiko
terjadinya solutio placenta. Diagnosis ini diperkuat dengan keluarnya darah hitam
pervaginan yang juga menggugurkan DD placenta previa.
10. Alat pelindung diri dan patient safety
Alat pelindung diri, antara lain :
a. Sarung tangan
b. Celemek/gaun
c. Masker
d. Kacamata pelindung
e. Sarung kaki plastik/sepatu boot
f. Penutup kepala
Serta selalu melakukan teknik aseptik (cuci tangan) sebelum melakukan tindakan
medis.
Patient safety yang dapat diusahakan secara hukum oleh para dokter
obgyn adalah dengan cara selalu melaporkan keadaan pasien ke dalam rekam
medis serta informed consent pada pasien. Berikut adalah salah satu contoh
screenshot dari laporan keadaan pasien yang dianut di Amerika :
BAB III
KESIMPULAN
Pada skenario 2, diketahui seorang G5P4A0, 41 tahun, hamil 35 minggu
mengalami partus sebelum cukup minggu. Keadaan yang dialami pasien
kemungkinan disebabkan karena faktor risiko, seperti jumlah kehamilan, jumlah
partus, umur saat hamil, jarang melakukan pemeriksaan kehamilan, dan memiliki
riwayat hipertensi sejak umur kehamilan 6 bulan.
Dari pemeriksaan yang dilakukan, didapatkan interpretasi tekanan darah
cukup tinggi, denyut nadi normal, frekuensi napas diatas batas normal, suhu tubuh
normal, denyut jantung janin normal, proteinuria cukup tinggi ditandai dengan
edema pada tungkai bawah, dan terjadi pembukaan serviks uteri 6 cm dengan
darah warna hitam disertai nyeri perut hebat sejak 2 jam yang lalu.
Berdasarkan keluhan yang dialami pasien, faktor risiko dan pemeriksaan
fisik yang dilakukan, ditetapkan salah satu differential diagnosis untuk skenario
ini adalah preeklamsia. Seorang ibu yang memiliki paritas >3 dan mempunyai
riwayat hipertensi sebelum umur kehamilan 20 minggu berisiko tinggi terjadinya
preeklamsia. Selain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi perubahan
pada jaringan alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi sehingga lebih
berisiko untuk terjadi preeklamsi. Preeklamsi juga ditandai dengan didapatkan
protein urin (+++) dan edema pada tungkai bawah.
Differential diagnosis lainnya untuk skenario 2 adalah plasenta previa dan
solution plasenta. Penegakan diagnosis plasenta previa ditandai dengan terjadinya
perdarahan antepartum tanpa disadari dan tanpa trauma saat hamil tua. Sementara
solusio plasenta ditandai dengan terjadinya perdarahan antepartum secara
mendadak, tanpa trauma dan disertai nyeri saat hamil tua. Keadaan umum pasien
yang cukup baik disertai dengan preeklamsia juga tanda dari solusio plasenta.
Dari hasil pemeriksaan obstretik, didapatkan pembukaan serviks uteri 6
cm, kepala sudah turun pada bidang Hodge III, hal ini menandakan persalinan
telah masuk kala II. Oleh karena itu dokter melakukan persiapan persalinan
dengan vakum ekstraksi, yaitu persalinan buatan dimana janin dilahirkan dengan
tekanan ekstraksi tekanan negatif dengan menggunakan ekstraktor vakum.
Kemudian dokter juga memberikan nifedipin untuk menurunkan tekanan darah
dari pasien. Sebelum melakukan persalinan, baik dokter ataupun pasien harus
menggunakan alat pelindung diri.
BAB IV
SARAN
A. Saran untuk kelompok A8
- Diharapkan masing-masing mahasiswa dapat lebih aktif dalam diskusi,
dan dapat saling berbagi ilmu antara satu dengan yang lain.
- Diharapkan semua anggota dapat lebih menghargai pendapat antara satu
dengan yang lainnya agar diskusi berjalan dengan lebih kondusif dan
mendahulukan anggota yang belum memberikan pendapat.
- Diharapkan semua anggota kelompok mampu memahami learning
objectives yang harus dicapai, sehingga tujuan pembelajaran pada skenario
dapat tercapai.
B. Saran untuk tutor
- Tutor sudah mengarahkan hal – hal penting yang perlu didiskusikan oleh
mahasiswa agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Diharapkan tutor juga
bisa mendorong partisipasi mahasiswa agar lebih aktif dalam
menyampaikan pendapatnya.
C. Saran Untuk KBK
- Sebagai pembuat skenario, KBK sudah berusaha membuat scenario
semenarik mungkin sehingga mendorong mahasiswa untuk megupas lebih
dalam mengenai permasalahan yang disajikan. Kedepannya diharapkan
KBK mampu mempertahankan dan membuat inovasi-inovasi menarik
pada scenario sehingga mahasiswa terdorong untuk mampu mencapai
tujuan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
American Pregnancy Association (2014). Gestational Hypertension: Pregnancy
Induced Hypertension (PIH). http://americanpregnancy.org/pregnancy-
complications/pregnancy-induced-hypertension/ - Diakses 9 Maret 2015.
Cunningham, F.G,. 2005. Obstetri William. Edisi 21. Jakarta: EGC.
Drugs.com (2014). Captopril / hydrochlorothiazide Pregnancy and Breastfeeding
Warnings. http://www.drugs.com/pregnancy/captopril-
hydrochlorothiazide.html - Diakses 9 Maret 2015.
Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N (1997). Penatalaksanaan Perdarahan
Antepartum. Makassar : Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS.
Groom KM, Bennett PR (2004). Tocolysis for the Treatment of Preterm Labour –
A Clinically Based Review. The Obstetrician & Gynaecologist.
Guyton, A., & Hall, J.E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Haddad GG, Green TP (2011). Diagnostic approach to respiratory disease. In:
Kliegman RM,Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson Textbook of
Pediatrics.19th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; chap 366.
Hakimi, Mohammad (2009). Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Hassan R., Alatas H. (1985). Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. pp: 1076-7
HISPAC (2008). Guideline for Disinfection and Sterilization in Healthcare
Facilities.
http://www.cdc.gov/hicpac/Disinfection_Sterilization/13_0Sterilization.html -
Diakses 9 Maret 2015.
Inchem (2014) HCT mode of Action.
http://www.inchem.org/documents/pims/pharm/hydrochl.htm - Diakses 9
Maret 2015.
Israr Yayan Akhyar (2007). Karakteristik Solusio Plasenta di Bagian Obstreti dan
Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Pekanbaru : FK Universitas
Riau, pp: 9-17.
I., K Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4.
Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Lenevo, Keneth J (2009). Obstetri Williams: Panduan Ringkas Ed. 21. Jakarta :
EGC.
Llewellyn-Jones, Derek (2001). Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi Edisi 6.
Jakarta : Hipokrates.
Mayo Clinic (2014). Placental Abruption Risk Factors.
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/placental-abruption/basics/
risk-factors/con-20024292 - Diakses 9 Maret 2014.
Mochtar, Rustam (1998). Sinopsis Obstetri Edisi 2 Jilid 1. Jakarta : EGC.
National Library of Medicine (2011). APGAR.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003402.html - diakses 9
Maret 2015
National Library of Medicine (2011). Delivery Presentations.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002060.htm - diakses 9
Maret 2015
Prawirohardjo, Sarwono (2009). Ilmu Kebidanan. Jakarta : BPSP.
Rxlist (2014). Captopril Drug Information.
http://www.rxlist.com/capoten-drug/clinical-pharmacology.htm - Diakses 9
Maret 2015.
Sastrawinata, Sulaiman et al (2004). Ilmu Kesehatan Reproduksi: Obstetri
Patologi Edisi 2. Jakarta : EGC.
Sherwood L (2012). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi ke 6. Jakarta:
EGC, pp: 858-859.
Wiknjosastro, H., 2006. Perubahan Anatomik dan Fisiologik pada Wanita Hamil.
Dalam: Prawirohardjo, S., ed. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 89-100.