5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
1/22
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI
BLOK NEUROLOGY AND SPECIF IC SENSE SYSTEM
PEMERIKSAAN REFRAKSI, LAPANG PANDANG, DAN BUTA WARNA
Asisten :
Indah Permata Sari
G1A009092
Disusun oleh :
Dessriya Ambar R. G1A010086
Vici Muhammad Akbar G1A010091
Ulfah Izdihar G1A010092
Tiara Gian Puspi G1A010096
Pradani Eva A. G1A010097
Hayin Naila N. G1A010102
Intan Puspita H. G1A010109
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
2/22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Mata.
B. Waktu dan Tanggal Praktikum
Selasa, 26 Maret 2013
C.
Tujuan Praktikum
1. Tujuan instruksional umum
Setelah praktikum ini mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fungsi
refraksi pada seseorang serta mengoreksi kelainan yang ditemukan,
memeriksa luas lapang pandang, beberapa macam warna dengan
menggunakan kampimeter serta melakukan pemeriksaan tes buta warna.
2. Tujuan instruksional khusus
Setelah menyelesaikan praktikum ini mahasiswa dapat:
a. Menetapkan visus seseorang dengan menggunakan optotipe snellen
b. Mengetahui kelainan refraksi
c. Mengoreksi kelainan refraksi yang ditemukan
d. Memeriksa kemungkinan adanya astigmatis pada seseorang dengan
menggunakan gambar kipas lancasater regan dan keratoscop placido.
e. Mengetahui fungsi retina sebagai reseptor cahaya mempunyai
kepekaan terhadap warna tertentu.f. Dapat melakukan pemeriksaan tes buta warna
D. Dasar Teori
1.
Fisiologi Penglihatan
Fungsi utama mata adalah untuk memfokuskan berkas cahar dari
lingkungan ke sel-sel abang dan kerucut, sel fotoreseptor retina.
Fotoreseptor kemudian mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
3/22
untuk disalurkan ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Fotoreseptor terdiri dari
tiga bagian (Sherwood, 2011) :
a.
Sebuah segmen luar, yang terletak paling dekat dengan eksterior mata,
menghadap ke koroid, dan mendeteksi rangsangan cahaya,
b. Buah segmen dalam, yang terletak di pertengahan panjang
fotoreseptor dan mengandung perangkat metabolik sel, dan
c. Sebuah terminal sinaps yang terletak paling dekat dengan interior
mata, menghadap ke neuron bipolar, dan menyalurkan sinyal yang
dihasilkan di fotoreseptor setelah mendapatkan rangsangan cahaya ke
sel-sel berikutnya ada jalur penglihatan.
Segmen luar, yang berbentuk seperti batang pada sel-sel batang dan
seperti kerucut pada sel-sel kerucut, terdiri dari tumpukan lempeng-
lempeng membranosa pipih yang banyak mengandung molekul-molekul
fotopigmen. Lebih dari sejuta molekul fotopigmen mungkin terdapat di
bagian luar setiap fotoreseptor. Foto pigmen mengalami perubahan
kimiawi apabila diaktifkan oleh cahaya. Suatu fotopigmen terdiri dari
protein enzimatik yang disebut opsin yang berkaitan dengan retinen, suatu
turunan vitamin A. Rodopsin, foto pigmen sel batang, tidak dapat
membedakan berbagai panjang gelombang spektrum cahaya tampak,
pigmen ini menyerap semua panjang gelombang cahaya tampak.
Fotopigmen di tiga jenis sel kerucut, sel kerucut merah, hijau, dan biru,
berespons secara selektif terhadap berbagai panjang gelombang, sehingga
penglihatan warna dapat terjadi (Sherwood, 2011).
Pemutihan rodopsin dari ungu menjadi merah muda terjadi saat
cahaya masuk ke retina. Cahaya menyebabkan 11-cis-retinal yangberikatan dengan opsi berubah bentuk menjadi bentuk all-trans, sehingga
bentuk tersebut terlepas dari opsin. Pemisahan opsi dan retina memicu
potensial saraf dalam sel batang (reseptor), yang menyebabkan stimulasi
sel-sel bipolar dan ganglion retina. Stimulasi ini ditransmisi ke otak
melalui saraf optik (Ethel, 2004).
Tidak seperti membran sel saraf lainnya, saluran Na+pada membran
sel batang akan terbuka jika tidak ada stimulasi (cahaya). Dengan
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
4/22
demikian, dalam gelap, aliran masuk Na+akan mengakibatkan depolarisasi
dan pelepasan transmiter inhibitorik. Neuron bipolar dan sel ganglion tidak
terstimulasi. Jika sel batang distimulasi cahaya, pelepasan Ca++dari dalam
sel batang menyebabkan saluran Na+menutup. Aren konduksi Na+
menurun, maka bagian dalam sel menjadi semakin negatif, atau
hiperpolarisasi. Pelepasan transmiter inhibitorik berkurang dan sel-sel
bipolar berdepolarisasi. Potensial aksi terjadi akibat hiperpolarisasi
membran bukan akibat depolarisasi membran (Ethel, 2004).
Resintesis rodopsin terjadi dalam gelap yaitu saat semua alk-trans
retina diubah kembali menjadi 11-cis-retinal dan berikatan dengan opsi.
Reaksi ini membutuhkan energi dari enzim. Sel batang berfungsi dalam
intensitas cahaya rendah karena pemutihan hanya membutuhkan sedikit
cahaya (Ethel, 2004).
Adaptasi terhadap gelap dan terang adalah penyesuaian penglihatan
secara otomatis terhadap intensitas cahaya yang memasuki retina saat
bergerak dari tempat gelap ke tempat terang atau sebaliknya. Waktu yang
dibutuhkan untuk adaptasi terhadap kegelapan (kemampuan melihat dalam
cahaya redup) sebagian ditentukan dari waktu yang dibutuhkan untuk
meresintesis dan mengumpulkan cadangan rodopsin (Ethel, 2004).
Dalam cahaya terang, semua rodopsin Yana da akan terurai dengan
cepat dan hanya tersisa sedikit untuk membentuk potensial aksi dalam sel
batang, mata disebut beradaptasi terhadap terang. Waktu yang dibutuhkan
untuk adaptasi terang dari cahaya remang adalah sekitar 20 menit (Ethel,
2004).
Sintesis rodopsin dan iodopsin (pigmen pada sel kerucut)membutuhkan vitamin A, suatu prekursor untuk retina. Kekurangan
asupan vitamin A, dapat menyebabkan abnormalitas penglihatan akibat
regenerasi sel batang dan kerucut. Adaptasi terhadap gelap dan erang juga
melibatkan refleks pupilaris, untuk menentukan banyak sedikitnya cahaya
yang masuk bagian interior mata (Ethel, 2004).
Setiap mata mengandung 6 sampai 7 juta sel kerucut bipolar yang
bertanggung jawab untuk kejelasan pandangan dan penglihatan warna. Sel
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
5/22
kerucut mengandung iodopsin, yaitu retina yang terikat pada opsin yang
berbeda dengan opsin dalam sel batang. Iodopsin ini bisa saja bersifat
sensitif-biru, sensitif-merah, atau sensitif-hijau, sehingga setiap sel kerucut
memiliki sensitivitas selektif untuk membedakan warna. Proses
dekomposisi pigmen dalam sel batang untuk membentuk potensial aksi
juga terjadi salam sel kerucut. Karena pigmen iodopsin tidak merespons
dalam cahaya yang redup, maka sel kerucut hanya dapat berfungsi dalam
cahaya yang terang (Ethel, 2004).
Gambar 1. Bagan Fisiologi Penglihatan (Sherwood, 2011)
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
6/22
2. Pemeriksaan Visus
Visus atau ketajaman penglihatan ialah kemampuan mata untuk
melihat dengan jelas dan tegas. Secara fisiologis hal ini ditentukan oleh
daya pembiasan mata. Mata normal dapat melihat secara jelas dan tegas
dua garis atau titik dengan sudut penglihatan 1 menit. Titik jauh dasar
bervariasi diantara mata individu normal tergantung bentuk bola mata dan
korneanya. Mata emetrop secara alami memiliki fokus yang optimal
untuk penglihatan jauh, sedangkan untuk mata ametrop (miopia, hiperopia
atau stigmat) memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik untuk
melihat jauh. Secara praktis sangat sulit untuk mengukur sudut
penglihatan suatu mata. Tahun 1876, Van Snellen menciptakan cara
sederhana untuk membandingkan visus seseorang dengan visus orang
normal, berdasarkan sudut penglihatan 1 menit. Kartu uji snellen
menggunakkan huruf-huruf kapital dengan jenis huruf sans serif.
Seiring bertambah baiknya model optotype penguji, dikembangkan kartu-
kartu yang paling cocok untuk menguji ketajaman penglihatan jauh,
misalnya kartu ETDRS. Menggunakkan 10 huruf kapital dengan tingkat
kesulitan sama (D, K,R, H, V, C,N,Z, S dan O) yang ditemukan oleh
Louise L. Sloan (Whitcher, 2010).
Penurunan ketajaman penglihatan dapat dibagi menjadi dua yaitu
penurunan ketajaman visual sentral dan perifer. Penurunan ketajaman
penglihatan sentral dan perifer seringkali disebabkan oleh perubahan
sirkulasi pada suatu lokasi di sepanjang jaras visual neurologik mulai dari
retina hingga korteks oksipital. Pemeriksaan untuk penurunan ketajaman
bisa digunakkan tes optotype snelen, jarak yang digunakan untukmengetes ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh yaitu 6 m
atau 20 kaki dan jarak dekat 14 inci. Ketajaman penglihatan diberi skor
dengan dua angka, angka normal untuk ketaman penglihatan adalah 6/6.
Angka pembilang adalah jarak kartu dengan pasien, sedangkan angka
penyebut adalah jarak yang dapat dibaca oleh orang normal (Whitcher,
2010).
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
7/22
Pasien yang tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu (mis.,
huruf pada 20/200), harus lebih mendekati kartu sampai huruf itu dapat
dibaca. Jarak ke kartu kemudian dicatat sebagai angka pertama.
Ketajaman visual 5/200 artinya pasien baru dapat mengenali huruf yang
paling besar pada jarak 5 kaki. Mata yang tidak dapat membaca satu huruf
pun, diuji dengan cara menghitung jari. Jika tidak bisa menghitung jari,
mata tersebut mungkin masih dapat mendeteksi tangan yang digerakkan
secara vertical atau horizontal. Tingkat penglihatan yang lebih rendah lagi
adalah kesanggupan mempersepsi cahaya. Mata yang tidak dapat
mempersepsi cahaya dianggap buta total (Whitcher, 2010).
Refraksi adalah pembelokan berkas cahaya dari satu medium ke
medium yang lain yang berbeda. Cahaya melewati dua medium dengan
densitas berbeda. Kelainan pembiasan adalah suatu keadaan dimana pada
mata yang melihat jauh tak terhingga, berkas cahaya sejajar masuk ke
mata, dibiaskan tidak tepat jatuh di retina, sehingga tidak dapat melihat
secara jelas. Hal ini dapat disebabkan oleh karena indeks bias sistem lensa
mata atau sumbu mata dari lensa. Kelainan ini bisa timbul disepanjang
jaras optik dan jaras visual neurologik (Whitcher, 2010).
Refraksi adalah prosedur untuk menentukan dan mengukur setiap
kelainan optik. Pemeriksaan refraksi sering diperlukan untuk
membedakan pandangan kabur akibat kelainan refraksi dari pandangan
kabur akibat kelainan medis pada system penglihatan. Jadi, selain menjadi
dasar untuk penulisan resep kacamata atau lensa kontak koreksi, prosedur
ini juga memiliki fungsi diagnostic (Whitcher, 2010).
3. Pemeriksaan Lapang Pandang
Pemeriksaan lapang pandang bertujuan untuk memeriksa batas
perifer penglihatan, yaitu batas dimana benda dapat dilihat bila mata
difiksasi pada satu titik. Lapang pandang yang normal mempunyai bentuk
tertentu dan tidak sama ke semua jurusan, misalnya ke lateral kita dapat
melihat 90100 dari titik fiksasi, ke medial 60, ke atas 5060 dan
ke bawah 6075 (Rohmah, 2011).
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
8/22
Area yang terlihat pada sisi nasal disebut lapang pandang nasalis,
sedangkan area yang terlihat di daerah lateral disebut lapang pandang
temporalis. Bentuk lapang pandang adalah sirkular, namun terpotong di
medial oleh adanya nasal dan di superior oleh adanya atap orbita (Barret et
al, 2010).
Gambar 1. Lapang Pandang (Barret et al., 2010)
Terdapat dua jenis pemeriksaan lapang pandang yaitu pemeriksaan
secara kasar (tes konfrontasi) dan pemeriksaan yang lebih teliti dengan
menggunakan kampimeter atau perimeter. Pemeriksaan lapang pandang
dilakukan dengan perimeter, merupakan alat yang digunakan untuk
menetukan luas lapang pandang. Alat ini berbentuk setengah bola dengan
jari jari 30 cm, dan pada pusat parabola ini mata penderita diletakkan
untuk diperiksa. Batas lapang pandang perifer adalah 90 temporal, 75
inferior, 60 nasal dan 60 superior. Dapat dilakukan dengan pemeriksaanstatik maupun kinetik. Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis
pada keluhan penglihatan, melihat progresivitas turunnya lapang pandang,
merupakan pemeriksaan rutin pada kelainan susunan saraf pusat, serta
untuk memeriksa adanya histeria atau malingering (Rohmah, 2011).
Dikenal 2 cara pemeriksaan perimetri, yaitu: Perimetri kinetik yang
disebut juga perimeter isotropik dan topografik, dimana pemeriksaan
dilakukan dengan objek digerakkan dari daerah tidak terlihat menjadi
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
9/22
terlihat oleh pasien. Perimetri statik atau perimetri profil dimana
pemeriksaan dengan tidak menggerakkan objek akan tetapi dengan
menaikkan intensitas objek sehingga terlihat oleh pasien (Rohmah, 2011).
Uji perimeter atau kampimeter, ini merupakan uji lapang pandang
dengan memakai bidang parabola yang terletak 30 cm di depan pasien.
Pasien diminta untuk terus menatap titik pusat alat dan kemudian benda
digerakkan dari perifer ke sentral. Bila ia melihat benda atau sumber
cahaya tersebut, maka dapat ditentukan setiap batas luar lapang
pandangnya serta dapat ditentukan letak bintik buta pada lapang pandang
(Rohmah, 2011).
Uji konfrontasi, merupakan uji pemeriksaan lapang pandang yang
paling sederhana. Karena tidak memerlukan alat tambahan. Lapang
pandang pasien dibandingkan dengan lapang pandang pemeriksa. Pasien
dan pemeriksa berdiri berhadapan dengan bertatap mata pada jarak 60 cm.
Mata kanan pemeriksa dan mata kiri pasien ditutup. Mata kiri pemeriksa
menatap mata kanan pasien. Pemeriksa menggerakkan jari dari arah
temporalnya dengan jarak yang sama dengan mata pasien kearah sentral.
Bila pemeriksa telah melihat benda atau jari di dalam lapang pandangnya,
maka bila lapang pandang pasien normal, pasien juga dapat melihat benda
tersebut. Bila lapang pandang pasien menyempit, pasien akan melihat
benda atau jari tersebut bila benda telah berada lebih ke tengah dalam
lapang pandang pemeriksa. Dengan cara ini dapat dibandingkan lapang
pandang pemeriksa dengan lapang pandang pasien pada semua arah
(Rohmah, 2011).
Berdasarkan lokasi defek anatomisnya, gangguan lapang pandangdibedakan menjadi (Ginsberg, 2007) :
a. Lesi pada nervus optikus menyebabkan hilangnya penglihatan
monocular
b.
Lesi pada kiasma optikus umumnya merusak serabut saraf yang
menyilang dari separuh retina bagian nasal, yang menyebabkan
hemianopsia bitemporal (cahaya dari setengah lapang pandang bagian
temporal diterima dan diproses oleh bagian nasal retina)
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
10/22
c. Lesi pada traktus optikus menyebabkan hemianopsia homonim.
Serabut serabut dari retina pada bagian temporal akan rusak,
bersamaan dengan serabut dari bagian nasal retina mata yang lain
yang bersilangan
d. Lesi lobus parietal akan merusak serabut superior dari radiasio optikus
yang menyebabkan kuadroanopsia homonim inferior, sebaliknya bila
lesi lobus temporal akan menyebabkan kuadroanopsia homonim
superior
Gambar 2. Lesi pada Gangguan Lapang Pandang (Ginsberg, 2007).
Gangguan lapang pandang lain, seperti (Ginsberg, 2007) :
a.
Skotoma sentral yaitu hilangnya penglihatan sentral yang umumnya
berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan danmerupakan karakteristik penyakit nervus optikus dan penyakit makula
retina
b. Perluasan bintik buta fisiologis yang terlihat dengan pembengkakan
diskus optikus (edema papil) yang disebabkan oleh peningkatan
tekanan intracranial dan umumnya terjadi dengan ketajaman
penglihatan yang masih baik
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
11/22
c. Macular sparing yaitu daerah makula yang masih baik pada pasien
dengan hemianopsia homonim dapat disebabkan oleh lesi korteks
visual yang tidak mengenai kutub oksipital yang merupakan
representasi daerah makula
d. Penglihatan seperti terowongan (tunnel vision) yaitu hilangnya lapang
pandang perifer denggan dipertahankannya daerah sentral yang
disebabkan oleh penyakit oftalmologi (glaukoma kronik sederhana),
penyakit retina (retinitis pigmentosa) serta penyakit korteks
(hemianopsia homonim bilateral dengan makula yang masih baik atau
macula sparing)
E. Alat dan Bahan
1. Fungsi Penglihatan
a. Optotipe van Snelen
b.
Gambar Kipas Lancasater regan
c. Sejumlah lensa sferis dan silindris dengan bermacam macam
kemampuan daya bias.
d.
Mistar
e. Ruangan dengan pencayahaan cukup tapi tidak menyilaukan.
2. Buta Warna
Buku Pseudo Isokhromatik dan Ishihara
F. Cara Kerja
1. Fungsi Penglihatan
a.
Probandus berdiri / duduk pada jarak 6 meter dari Optotipe vansnelen
b. Tinggi mata horizontal dengan Optotipe van snelen
c. Mata diperiksa satu persatu, dengan memasang bingkai kacamata
khusus pada orang percobaan dan tutup mata kirinya dengan penutup
hitam khusus yang tersedia dalam kotak lensa.
d. Periksa visus mata kanan orang percobaan dengan menyuruhnya
membaca huruf yang saudara tunjuk. Dimulai dari baris huruf yang
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
12/22
terbesar ( seluruh huruf ) sampai baris huruf yang terkecil ( seluruh
huruf ) yang masih dapat dibaca OP dengan lancar tanpa kesalahan.
e.
Catat visus mata kanan orang percobaan
f.
Ulangi pemeriksaan ini pada mata kiri
g. Catat hasil pemeriksaan
2. Tes Buta Warna
a. Pada ruangan dengan penerangan cukup, probandus diminta
membaca nomor atau huruf di dalam buku ishihara.
b. Setiap gambar harus dapat dibaca dalam waktu maksimal 10 detik.
c.
Catat hasilnya dan tentukan kelainan yang ditemukan menurut
petunjuk yang terdapat dalam buku tersebut.
d. Bila tidak ada yang buta warna, maka keadaan itu dapat distimulasi
dengan memakai kacamata merah, hijau, dan biru dengan melihat
langit selama 1 menit, kemudian segera diminta membaca gambar-
gambar dalam buku.
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
13/22
21 cm
32 cm 50 cm
39 cm
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
1. Pemeriksaan Visus
Identitas probandus
Nama : Eka Wijaya W
Usia : 21 tahun
Probandus dapat melihat huruf pada papan Optotype Snellen di batas 20
sehingga didapatkan hasil :
20 x
= 6 maka hasilnya adalah 6/6.
Interpretasi : probandus dapat melihat huruf pda optotype Snellen pada
jarak 6 mter, sedangkan orang normal dapat melihat pada jarak 6 meter.
Hal ini berarti bahwa probandus memiliki visus normal.
2.
Pemeriksaan Buta Warna
Tidak ditemukan kelainan buta warna.
3. Pemeriksaan Lapang Pandang
Nama : Vici Muhammad Akbar
Usia : 21 tahun
Mata kanan
Gambar 2.1. Hasil Pemeriksaan Lapang Pandang Mata Kanan
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
14/22
24 cm
50 cm 29,5 cm
28 cm
Mata kiri
Gambar 2.2. Hasil Pemeriksaan Lapang Pandang Mata Kiri
Rumus :
Keterangan :
x : jarak yang di dapat dari probandus
Jarak : jarak mata probandus ke titik pusat perimetri (25 cm)
Tabel 2.1 Lapang pandang pada tes perimetri :
CakupanNilai
normal
Pemeriksaan
Mata Kanan
Pemeriksaan
Mata KiriInterpretasi
Superior 50-60 21 cm = 40, 03o 24 cm = 43,83 o Tidak normal
Inferior 60-70 39 cm = 57, 34o 28 cm = 48,24o Tidak normal
Medial 60 32 cm = 52o 29,5 cm = 49,72 o Tidak normal
Lateral 90-100 50 cm = 63,43o 50 cm = 63,43o Normal
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
15/22
B. Pembahasan
1. Pemeriksaan Visus
Pada pemeriksaan visus biasanya menggunakan kemampuan mata
dalam membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk
kartu. Hasilnya dinyatakan dengan angka pecahan misalnya 20/20 untuk
penglihatan normal. Tajam penglihatan nomal rata-rata bervariasi antara
6/4 hingga 6/6. Tajam penglihatan maksimum berada di daerah fovea.
Faktor-faktor seperti kontras, berbagai uji warna, penerangan umum,
kelainan refraksi mata dan waktu papar dapat merubah tajam
penglihatan (Ilyas, 2009).
Papan Optotype Snellen yang setiap hurufnya membentuk sudut 5
menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti
huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 60 meter dan pada
baris tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada
jarak 30 meter. Huruf pada baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk
sudut 5 menit pada jarak 6 meter, sehingga huruf ini pada orang normal
akan dapat dilihat dengan jelas (Ilyas, 2009).
Pada praktikum kali ini, didapatkan hasil visus 6/6 yang artinya
probandus dapat melihat huruf pda optotype Snellen pada jarak 6 mter,
sedangkan orang normal dapat melihat pada jarak 6 meter. Hal ini
berarti bahwa probandus memiliki visus normal.
2. Pemeriksaan Buta Warna
Pada praktikum ini, probandus dapat membaca semua halaman di
buku pseudokromatik Ishihara yang berarti probandus tidak buta warna.
3.
Pemeriksaan Lapang PandangHasil tes perimetri menunjukkan lapang pandang yang tidak
normal pada cakupan lapang pandang superior, inferior, dan medial. Hal
ini dimungkinkan dapat diakibatkan oleh beberapa hal berikut:
a.
Kesalahan praktikan dalam mengukur luas lapang pandang.
b. Kurangnya koordinasi antara praktikan dan probandus dalam
menentukan luas lapang pandang.
c.
Probandus memang memiliki kelainan lapang pandang (menyempit).
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
16/22
C. Aplikasi Klinis
1. Miopi (Rabun Dekat)
Berkas cahaya pada myopia sinar sejajar yang masuk ke mata dalam
keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan dibiaskan dan membentuk
bayangan di depan retina (Taib, 2010).
Patofisiologi (Taib, 2010) :
a. Miopia Aksial: terjadi karena sumbu aksial mata yang lebih panjang
daripada normal
b.
Miopia Kurvatura: terjadi karena kurvatura kornea atau lensa yang
lebuh kuat daripada normal.
c.
Miopia indeks:terjadi karena indeksbias kornea ataupun lensa yang
lebih tinggi daripada normal.
d. Miopia Refraktif: bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti
terjadi pada katarak intumesensi, dimana lensa menjadi lebih cembung
sehingga pembiasan menadi lebih kuat.
Gejala Klinis (Taib, 2010):
a.
Gejala utamanya adalah kabur bila melihat benda jauh.
b. Sakit kepala, namun jarang terjadi, kecuali disertai dengan
astigmatisma. Kondisi sakit kepala ini jarang terjadi karena pada
penderita myopia murni, penderita tidak pernah berakomodasi, karena
dengan berakomodasi, penglihatan akan semakin kabur.
c. Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh, Hal ini sesuai dengan
efek pin hole, dimana sinar yang dating hanya yang melalui visual aksis
sehingga tidak dibiaskan.d. Suka membaca, terutama pada anak-anak, karena dengan membaca dia
menjadi tidak ada yang mengusik.
Berdasarkan besar kelainan refraksi, dibagi menjadi (Taib, 2010) :
a. Miopia Ringan : -0.25 s/d -3.00
b. Miopia Sedang : -3.25 s/d -6.00
c. Miopia Berat : -6.25 atau lebih
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
17/22
Diagnosis/ Cara Pemeriksaan: Refraksi Subjektif Metode trial and
error(Nurwasis, 2006; Taib, 2010) :
a.
Jarak pemeriksaan 6 meter/5 meter/20feet
b.
Digunakan kartu snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
c. Mata diperiksa satu persatu
d.
Ditentukan visus/ tajam penglihatan masing-masing mata
e. Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan kaca mata sferis negative
Cara pemeriksaan refraksi objektif (Nurwasis, 2006; Taib, 2010) :
a.
Retinoskopi: dengan lensa kerja +2.00, pemeriksa mengamati reflex
fundus yang bergerak berlawanan dengan arah gerakan retinoskop
(against movement)kemudian dikoreksi dengan lensa sferis negative
sampai tercapai netralisasi.
b. Autorefraktometer (computer)
Penatalaksanaan miopi adalah dengan kacamata yang dikoreksi dengan
lensa sferis negatif terlemah yang menghasilkan tajam penglihatan terbaik.
Bisa juga menggunakan lensa kontak untuk anisometria atau myopia
tinggi, atau terapi bedah refraktif. Bedah refraktif kornea adalah tindakan
untuk mengubah kurvatura permukaan anterior kornea (excimer laser,
operasi lasik), sedangkan bedah refraktif lensa adalah tindakan ekstraksi
lensa jernih, biasanya diikuti dengan implantasi lensa intraokuler
(Nurwasis, 2006; Taib, 2010)
2. Hipermetropia (Rabun Jauh)
Hipermetropia merupakan kelainan refraksi dimana sinar sejajar yangmasuk ke mara dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan dibiaskan
membentuk bayangan di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan karena
berkurangnya panjang sumbu (hipermetropia aksial), seperti yang terjadi
pada kelainan congenital tertentu , hipermetropia kurvatura karena
kurvatura kornea atau lensa yang lebih lemah daripada normal, dan
hipermetropia indeks yang terjadi karena menurunnya indeks bias refraksi,
seperti yang terjadi pada afaksia (Taib, 2010).
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
18/22
Gejala klinis hipermetropia meliputi (Taib, 2010) :
a. Penglihatan jauh kabur, terutama pada hipermetropia 3D atau lebih,
hipermetropia pada orang tua dimana amplitude akomodasinya
menurun.
b. Penglihatan dekat kabur lebih awal, terutama bila lelah, bahan cetakan
kurang terang atau penerangan kurang.
c. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan
mata yang lama dan membaca dekat.
d.
Penglihatan tidak enak (astenopia akomodatif=eye strain) terutama
bila melihat pada jarak yang tetap dan diperlukan penglihatan jelas
pada jangka waktu yang lama, misalnya menonton tv dll, terjadi
astenopia akomodatifayaitu keluhan nyeri sekitar mata, mata panas,
nrocoh, yang disebabkan karena mata terus berakomodasi.
e. Mata sensitive terhadap sinar (karena mata dalam kondisi lelah)
f.
Spame akomodatif yang menimbulkan pseudomiopia (setelah melihat
dekat kemudian melihat jauh, akomodasi mata tidak menghilang,
sehingga penglihatan jauh menjadi kabur, seolah-olah terjadi myopia).
Jadi pada penderita dengan keluhan penglihatan jauh kabur, namun
dari anamnesis keluhan astenopia/ perasaan penglihatan yang tidak
enak dirasakan lebih dominan, perlu dicurigai sebagai pseudomiopia.
Cara pemeriksaannya adalah dengan obat siklopegik.
g. Perasaan mata juling karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti
konvergensi yang berlebihan pula. Esoforia, terjasi gejala trias
parasimpatis n.II, yaitu akomodasi, miosis, dan konvergensi.
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan besar kelainan refraksi
dibagi menjadi (Taib, 2010)
a. Hipermetropia ringan : +0.25s/d +3.00
b. Hipermetropia sedang : +3.25 s/d + 6.00
c. Hipermetropia Berat : +6.25 atau lebih
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
19/22
Diagnosis / Cara pemeriksaan: Refraksi Subjektif Metode trial and
error(Nurwasis, 2006) :
a.
Jarak pemeriksaan 6 meter/5 meter/20feet
b.
Digunakan kartu snellen yang diletakkan setinggi mata penderita
c. Mata diperiksa satu persatu
d.
Ditentukan visus/ tajam penglihatan masing-masing mata
e. Pada Dewasa bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan kaca mata sferis
positif
f.
Pada anak-anak dan remaja dengan visus 6/6 dan keluhan astenopia
akomodatifs dilakukan tes siklopegik, kemudian ditentukan
koreksinya.
Refraksi Objektif (Nurwasis, 2006) :
a. Retinoskopi: dengan lensa kerja +2.00, pemeriksa mengamati reflex
fundus yang bergerak searah dengan arah gerakan retinoskop (with
movement) kemudian dikoreksi dengan lensa sferis positif sampai
tercapai netralisasi.
b. Autorefraktometer (computer)
Penatalaksanaan hipermetropi yaitu dengan kacamata yang dikoreksi
dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilakan tajam penglihatan
terbaik. Lensa kontak digunakan untuk anisometria atau hipermetropia
tinggi (Nurwasis, 2006; Taib, 2010).
3. Presbiopi
Presbiopi merupakan suatu keadaan dimana kemampuanakomodasi mata berkurang karena proses sklerosis. Presbiopia bukan
merupakan bagian dari kelainan refraksi, tetapi dia membutuhkan bantuan
kacamata. Patofisiologi yang terjadi pada prespbiopia adalah, pada
mekanisme akomodasi yang normal, terjadi peningkatan daya refraksi
mata karena perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa dan
kapsul sehingga lensa menjadi cembung. Dengan meningkatnya umur
meka lensa menjadi lebih keras (sklerosis) dan kehilangan elastisitasnya
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
20/22
untuk menjadi cembung, dengan demikian kemampuan melihat dekat
makin kurang (Donahue, 2008).
Gejala klinisnya adalah terjadi karena daya akomodasi yang
berkurang sehingga titik dekat mata makin menjauh dan pada awalnya
kesulitan membaca dekat huruf cetakan kecil. Dalam upaya melihat jelas,
maka penderita cenderung menegakkan punggungnya atau menjauhkan
objek yang dibacanya sehingga mencapai titik dekatnya , dengan demikian
objek yang dibaca dapat menjadi lebih jelas. Presbiopia timbul pada usia
45 th untuk ras Kaukasian dan 35 tahun untuk ras lainnya. Gejala klinis
lainnya adalah kelelahan mata dan nyeri kepala.
Untuk cara pemeriksaan, penderita terlebih dahulu dikoreksi penglihatan
jauhnya dengan metode trial and error hingga visus mencapai 6/6.
Dengan menggunakan koreksi jauhnya kemudiansecara binokuler
ditambahkan lensa sferis positif dan diperiksa menggunkan kartu Jaeger
pada jarak 33cm (Nurwasis, 2006).
Penatalaksanaanya adalah dengan diberikan lensa sferis positif sesuai
pedoman umur, yaitu pada umur 40 tahun ditambahkan sferis +1.00 dan
setiap 5 th di atasnya ditambahkan lagi sferis +0.50. Lensa sferis positif
yang ditambahkan dapat diberikan berbagai cara:
a. Kacamata baca saja untuk melihat dekat saja
b. Kacamata bifikal unutk melihat jauh dan dekat
c. Kacamata progresif di mana tidak ada batas bagian lensa untuk
melihat jauh dan dekat.
Jika koreksi jauhnya tidak dapat mencapai 6/6 maka penambahan
lensa sferis positif tidak terikat umur, tetapi boleh diberikan seberapapunsampai membaca cukup memuaskan (Nurwasis, 2006).
Prognosis dari presbiopi ini adalah baik karena presbiobi dapat
dikoreksi menggunakan kaca mata maupun lensa kontak. Komplikasi
presbiopi bila tidak dikoreksi dapat makin parah dan mengakibatkan
kualitas hidup menurun. Belum ada bukti ilmiah yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya presbiopi (Donahue, 2008).
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
21/22
BAB III
KESIMPULAN
1. Pemeriksaan visus yang dilakukan dengan optotype Snellen mendapatkan
hasil normal apabila visus 6/6
2. Contoh dari kelainan refraksi antara lain miopi, hipermetropi, dan presbiopi.
3. Kelainan refraksi dapat dikoreksi dengan pemakaian kacamata, lensa kontak,
dan operatif.
4. Buta warna dapat dideteksi dengan melakukan tes buta warna menggunakan
buku pseudokromatik Ishihara.
5/19/2018 Laporan Praktikum Fisiologi Mata Sistem Saraf dan Indera Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
22/22
DAFTAR PUSTAKA
Barret K, Barman M, Boitano S, Brooks H. 2010. Ganongs Review of Medical
Physiology. US: The McGraw-Hill Companies.
Donahue SP, 2008. Presbyopia And Loss Of Accommodation. In Yanoff M,
Duker JS, Eds. Ophthalmology3rd ed. St. Louis, Mo: Mosby Elsevier.
Ginsberg, Lionel. 2007.Lecture Notes: Neurologi. Jakarta: Erlangga.
Ilyas, S. 2009.Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI.
Nurwasi. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata
Edisi III. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo
Rohmah, Yuyun Mawaddatur. 2011. Pemeriksaan Lapang Pandang. Jember: FKUniversitas Jember
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 6. EGC:
Jakarta.
Sloane, Ethel. 2004.Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. EGC: Jakarta.
Taib, Trisnowati, 2010. Handout Kuliah Ilmu Penyakit Mata, dr. Trisnowati
Taib, Sp. M (K).Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo
Whitcher, John P and Eva, Paul Riordan. 2010. Oftalmologi Umum. Jakarta :EGC.
Top Related