SEMISOLIDA
Diajukan Untuk Memenuhi Laporan Akhir Praktikum Farmasetika IA
Tahun Akademik 2007/2008
Disusun Oleh :
Fikri M : 10060307065Yuliana : 10060307067Juasa : 10060307068Refiany Puspitasari : 10060307075
Kelas : Farmasi BKelompok : 6Assisten : Nongki
LABORATORIUM FARMASETIKAJURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG2010
SEMISOLIDA
I. Data Preformulasi Zat Aktif
a) Asam Salisilat/Acidum Salicylicum
Pemerian : Serbuk hablur berwarna putih atau hampir putih, agak
manis dan asam, serta tidak berbau.
Kelarutan : Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol
(95%)P, mudah larut dalam kloroform Pdan dalam eter
P, larut dalam larutan amonium, asetat P, dinatrium
hidrogenfosfat P, kalium sitrat P, dan dalam natrium
sitrat P .
Polimorfisme : -
Ukuran Partikel : -
Titik lebur/titik didih: 150,5 0C dan 161 0C
pKa/pKb : -
Bobot Jenis : 138,12 gr/mol
pH larutan : 1,44 gr/ml
Stabilitas : Higroskopis dan mudah terurai dengan adanya udara
dari luar ketika ditambahkan suatu suspensi terjadi
penguraian asam salisilat dan pelekatan partikel obat
Inkompatibilitas : Terjadi reaksi dipikal dari asam organik dengan alkali
atau logam berat, aktivitas sebagai pengawet berkurang
jika berinteraksi dengan koolin
Sumber : FI edisi III hal : 56dan Handbook of pharmaceutical
exipient, hal : 50
II. Data Preformulasi Zat Tambahan
Salep
a) Vasellin Flavum
Pemerian : Massa lunak, lengket, sifat ini tetap setelah zat
dileburkan dan berfluoresensi lemah jika dicairkan,
warna bening, putih atau kekuningan, hampir tidak
berasa, dan tidak berbau.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%)P,
larut dalam kloroform P, dalam eter P dan dalam eter
minyak tanah P, larutan kadang-kadang berfluoresensi
lemah.
Polimorfisme : -
Ukuran Partikel : -
Titik lebur/titik didih: antara 38 0C dan 56 0C
pKa/pKb : -
Bobot Jenis : 0,815 dan 0,880 gr/mol
pH larutan : -
Stabilitas : Material stabil yang tidak dapat dipisahkan dari
komponen hidrokarbon yang tidak bereaksi secara
alami. Masalah kestabilan terjadi dikarenakan kualitas
yang kecil dan kemurnian. Dapat teroksidasi dengan
adanya cahaya dan dapat berubah warna serta baunya.
Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan beberapa material yang lemah
Sumber : FI edisi III hal : 633 dan Handbook of pharmaceutical
exipient, hal : 421
b) Propilen Glikol
Pemerian : cairan kental dan jernih, tidak berwarna, agak manis,
dan tidak berbau.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, dengan etanol (95%) P
dan dengan kloroform, larut dalam 6 bagian eter, tidak
bercampur dengan eter, minyak tanah dan minyak
lemak.
Polimorfisme : -
Ukuran Partikel : -
Titik lebur/titik didih: -59 0C
pKa/pKb : -
Bobot Jenis : 1,036 gr/ml
pH larutan : -
Stabilitas : Lebih mudah terurai dengan adanya udara dari luar,
pada temperatur rendah propilen glikol sangat stabil
pada wadah tertutup, tetapi pada suhu tinggi dapat
mengalami oksidasi dan menimbulkan produk seperti
propionaldehid, asam laktat dan asam asetat. Propilen
glikol stabil bila dicampurkan dengan etanol (95%) P,
gliserin, air dan dengan air yang steril dengan
menggunakan autoclav.
Inkompatibilitas : Propilen glikol inkompatibel dengan reagen
pengoksidasi seperti potasium permanganat.
Sumber : FI IV hal : 713 dan Handbook of Pharmaceutical
Excipients hal 521-522
Cream
a) Oleum Cocos
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan bau
khas dan tidak tengik.
Kelarutan : Larut dalam 2 bagian etanol (95%) P pada suhu 60 0C,
sangat mudah larut dalam kloroform P dan eter P.
Polimorfisme : -
Ukuran Partikel : -
Titik lebur/titik didih: 23-25 0C
pKa/pKb : -
Bobot Jenis : -
pH larutan : -
Stabilitas : Pemanasan dilakukan lebih dari 76 0C pada saat
pembuatan supositoria.
Inkompatibilitas : Oleum cocos inkompatibel dengan basis zat-zat
organik, karbonat, basis kuat sulfida, zat pengoksidasi
kuat.
Sumber : FI edisi III hal : 456 dan Handbook of pharmaceutical
exipient hal : 639.
b) Emulgid
Pemerian : Berupa cairan lilin berwarna putih atau hampir putih,
hampir tidak berwarna, tidak berasa, dan bau khas.
Kelarutan : Bebas larut dalam propelan aerosol, kloroform dan
hidrokarbon, cukup larut dalam etanol (95%), larut
dalam bagian eter dan tidak dapat larut dalam air.
Polimorfisme : -
Ukuran Partikel : -
Titik lebur/titik didih: 50-54 0C
pKa/pKb : -
Bobot Jenis : -
pH larutan : -
Stabilitas : Stabil dan dapat disimpan dalam wadah yang tertutup
baik, dalam keadaan dingin dan tempat yang kering.
Inkompatibilitas : Ketidakcampuran dengan tannin, fenol, dan senyawa
fenol dan benzokain. Dapat mengurangi kemampuan
antibakteri dan senyawa ammonium.
Sumber : Handbook of Pharmaceutical Excipients hal : 685
c) Aquadestilata
Pemerian : Cairan tidak berwarna/jernih, tidak berasa dan tidak
berbau
Kelarutan : Dapat bercampur dengan beberapa pelarut polar.
Polimerfisme : -
Ukuran Partikel : -
Titik lebur/titikdidih: 100 0C
Pka/Pkb : -
Bobot jenis : 1 gr/cm3
pH larutan : antara 5 dan 7
Stabilitas : Stabil pada semua bentuk seperti panas, dingin dan
uap.
Inkompatibilitas : Dalam formula pharmaceutical air dapat bereaksi
dengan obat dan zat tambahan lainnya yang dapat
dengan mudah terhidrolisis dengan adanya suhu yang
tinggi.
Sumber : FI III hal : 96 dan Handbook Of Pharmaceutical
Exipient hal : 112
Gel
a) HPMC/Hydromellose
Pemerian : Serbuk granul berwarna putih atau putih cream, tidak
berasa dan tidak berbau.
Kelarutan : Larut dalam air dingin, larut dalam bentuk koloidal
viskositas, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol
(95%) P dan eter tetapi larut dalam campuran etanol dan
diklorometan, metanol dan diklorometol.
Polimorfisme : -
Ukuran Partikel : -
Titik lebur/titik didih: -
pKa/pKb : -
Bobot Jenis : -
pH larutan : 5,5 – 8,0
Stabilitas : merupakan material yang stabil walaupun higroskopis
sebelum dikeringkan. Stabil pada pH 5-11. Peningkatan
temperatur menurunkan kekentalan larutan, mengalami
perubahan dan padat menjadi gel pada pemanasan dan
pendinginan berturut-turut.
Inkompatibilitas : HPMC inkompatibel dengan beberapa agen
pengoksidasi karena HPMC bersifat nonionik, maka
HPMC tidak akan kompleks dengan garam-garam metal
atau ion organik dapat memperlambat kecepatan
melarut.
Sumber : Handbook of pharmaceutical exipient hal : 297.
b) Alkohol
Pemerian : Cairan jernih mudah menguap, bergerak dan mudah
terbakar, tidak berwarna, rasa panas, dan bau khas.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan
dalam eter P.
Polimorfisme : -
Ukuran Partikel : -
Titik lebur/titik didih: -
pKa/pKb : -
Bobot Jenis : 0,8119 – 0,8139 gr/ml
pH larutan : -
Stabilitas : Alkohol mengandung air yang disterilkan oleh
autoclav atau dari filtrat dan harus dapat disimpan pada
wadah kedap udara, mudah rusak dengan adanya
cahaya.
Inkompatibilitas : Dalam kondisi asam, etanol mungkin cepat bereaksi
dengan metenal pengoksidasi bercampur dengan alkali
mungkin menggelapkan warna, berhubungan dengan
suatu reaksi dengan aldehid yang bersifat basa. Garam
organik dan akasia dapat mempercepat dari air atau
tercampur. Etanol ini kompatibel dengan alumunium
dan berhubungan dengan beberapa obat.
Sumber : FI IV hal : 63 dan Handbook of Pharmaceutical
Excipients hal : 13 – 14
III. Alat dan Bahan
a) Alat :
- Mortir dan stemper
- Gelas ukur
- Beker gelas
- Penangas air
- Stirrer
- Batang pengaduk
- Matkan
b) Bahan :
- Asam salisilat
- Vasellin flavum
- Propilen glikol
- Oleum cocos
- Emulgid
- HPMC/Hypromellase
- Alkohol/etanol
- Aquadestilata
IV. Perhitungan dan Penimbangan
a) Perhitungan
1. Salep
Asam salisilat 10% = 10/100 x 50 gr = 5 gr
Propilen glikol 5 % = 5/100 x 50 gr = 2,5 gr
Propilen glikol 10 % = 10/100 x 50 gr = 5 gr
Vasselin flavum
50 gr – (asam salisilat 10 %)
= 50 gr – 5 gr
= 45 gr
50 gr – (asam salisilat 10% + propilen glikol 5 %)
= 50 gr – (5 gr + 2,5 gr)
= 42,5 gr
50 gr – (asam salisilat 10% + propilen glikol 10%)
= 50 gr – (5 gr + 5 gr)
= 40 gr
2. Cream
Asam salisilat 10 % = 10/100 x 50 gr = 5 gr
Oleum cocos 30% = 30/100 x 50 gr = 15 gr
Emulgid 7,5 % = 7,5/100 x 50 gr = 3,75 gr
Emulgid 15% = 15/100 x 50 gr = 7,5 gr
Aguadest
Emulgid 7,5%
= 50 gr – (asam salisilat 10% + oleum cocos 30% + emulgid 7,5%)
= 50 gr –(5 gr + 15 gr + 3,75 gr)
= 26,25 gr
Emulgid 15%
= 50 gr – (asam salisilat 10% + oleum cocos 30% + emulgid 15%)
= 50 gr –(5 gr + 15 gr + 7,5 gr)
= 22,5 gr
3. Gel
Asam salisilat 10 % = 10/100 x 50 gr = 5 gr
HPMC 10 % = 10/100 x 50 gr = 5 gr
Aquadest = 50 gr – (asam salisilat 10% + HPMC 10 %)
= 50 gr – (5 gr + 5 gr)
= 40 gr
Alkohol + aquadest = 50 gr – (asam salisilat 10% + HPMC 10 %)
= 50 gr – (5 gr + 5 gr)
= 40 gr/2 = 20 gr
Air : Alkohol
1 : 1
Air = 20 gr : Alkohol = 20 gr
b) Penimbangan bahan
1) Salep
Asam salisilat 10% = 5 gr 3x
Propilen glikol 5% dan 10% = 2,5 gr dan 5 gr
Vasselin flavum = 45 gr, 42,5 gr dan 40 gr
2) Cream
Asam salisilat 10% = 5 gr 2x
Oleum cocos 30% = 15 gr 2x
Emulgid 7,5% dan 15% = 3,75% dan 7,5 gr
Aquadest = 26,5 gr dan 22,5 gr
3) Gel
Asam salisilat 10% = 5 gr 2x
HPMC 10% = 5 gr
Aquadest = 40 gr
Aquadest : Alkohol = 20 gr : 20 gr
4. Prosedur
Timbang masing-masing bahan yang akan digunakan.
a) Salep
1) Sediaan 1
Asam salisilat digerus halus sesuai dengan ukuran partikel yang
diinginkan
Vasselin flavum dicampurkan kedalam asam salisilat sedikit demi
sedikit, kemudian diaduk sampai homogen lalu masukkan kedalam
pot salep.
2) Sediaan 2 dan 3
Asam salisilat digerus halus sesuai dengan ukuran partikel yang
diinginkan
Propilen glikol dan vasselin flavum dipanaskan kedalam cawan
penguap yang berbeda diatas penangas air sampai suhu 70 0C
Setelah panas kedua bahan dicampur didalam mortir panas sambil
diaduk homogen sampai dingin dan terbentuk massa semisolida.
Massa semisolida yang sudah terbentuk dimasukkan sedikit demi
sedikit kedalam asam salisilat sambil diaduk sampai homogen
kemudian dimasukkan kedalam pot salep.
b) Cream
Asam salisilat digerus halus dan ditambahkan etanol 95% sampai
larut
Campurkan emulgid dan oleum cocos kemudian panaskan pada
suhu 70 0C
Air panaskan pada suhu 70 0C
Masukkan campuran emulgid dan oleum cocos serta air kedalam
mortir, gerus sampai terbentuk massa cream yang homogen.
Kemudian masukkan asam salisilat sedikit demi sedikit sambil
diaduk sampai homogen dan tercampur rata
Kemudian masukkan kedalam pot salep
c) Gel
1) Sediaan 1
HPMC yang telah ditimbang ditaburkan diatas air lalu diaduk
cepat dengan stirer (beker gelas ditutup ketika diaduk untuk
menghindari banyaknya jumlah udara yang terjebak)
HPMC dimasukkan kedalam asam salisilat yang telah digerus
dengan etanol kemudian diaduk perlahan-lahan.
Kemudian masukkan kedalam pot salep.
2) Sediaan 2
HPMC yang telah ditimbang ditaburkan diatas campuran air-
alkohol (1:1) kemudian diaduk cepat dengan stirer (beker gelas
ditutup)
HPMC dimasukkan kedalam asam salisilat yang sudah digerus
dengan etanol kemudian diaduk perlahan-lahan.
Kemudian masukkan kedalam pot salep.
V. Hasil Pengamatan
a) Salep
Sediaan Waktu Homogenitas PertumbuhanSalep 1 1 jam + -
2 jam -3 jam -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 hari -
Salep 2 1 jam + -2 jam -3 jam -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 hari -
Salep 3 1 jam + -
2 jam -3 jam -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 hari -
Keterangan: + : homogen/tumbuh mikroba- : tidak homogen/tidak tumbuh mikroba
b) Cream
Sediaan Waktu Homogenitas Pemisahan fase
Pertumbuhan mikroba
Penetuan emulsi
Cream 1 1 jam + - -2 jam - -3 jam - -1 hari - -2 hari - -3 hari - -4 hari - -5 hari - - M/A
Cream 2 1 jam + - -2 jam - -3 jam - - 1hari - -2 hari - -3 hari - -4 hari - -5 hari - - A/M
Keterangan : A/M : air dalam minyakM/A : minyak dalam air
VI. Pembahasan
Sediaan semisolid merupakan sediaan setengah padat yang dibuat untuk
pengobatan melalui kulit. Sediaan ini harus mempunyai sifat mampu melekat pada
permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini
di cuci atau di hilangkan, pada praktikum ini akan dilakukan pembuatan tiga
sediaan semisolid, yaitu: salep, krim dan gel, yang kemudiaan akan diamati
homogenitas serta ada atau tidaknya pertumbuhan mikroba pada sediaan tersebut,
serta diamati juga pemisahan fase dan penentuan tipe emulsi pada sediaan krim.
Zat aktif yang digunakan pada masing-masing sediaan yaitu asam salisilat, Asam
salisilat merupakan asam yang bersifat iritan lokal, yang dapat digunakan secara
topikal.
a) Salep
Pada salep dibuat tiga sediaan dengan formula dan dosis yang berbeda dari
tiap bahan yang dipakai, pada ketiga sediaan salep tersebut homogenitas atau
ketercampuran zat aktip dalam formulasi telah terjadi mulai 1 jam penelitian dan
seterusnya hingga pengamatan pada hari ke-4, sedangkan pertumbuhan mikroba
pada sediaan tersebut setelah diamati tidak terjadi, hal ini terjadi karena basis pada
sediaan salep tersebut hanya menyerap atau mengabsorbsi sedikit air dari
formulasi.
Pada praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa sediaan salep
tersebut merupakan basis salep hidrokarbon karena ketika dioleskan pada kulit
sukar untuk di cuci, tidak mudah mengering dan tidak tampak berubah dalam
waktu yang lama. basis hidrokarbon bersifat kompatibel dengan banyak zat aktif
karena inert, sedikit atau tidak mengandung air, serta tidak mengabsorbsi air dari
lingkungannya. Basis salep hidrokarbon termasuk dalamnya vaselin
flavum/vaselin album tetap tinggal di permukaan kulit dan tidak berpenetrasi ke
dalam kulit dan mampu mencegah menguapnya air dari permukaan kulit
menyebabkan kulit menjadi lunak. Tertahannya air pada permukaan kulit
menimbulkan rasa panas yang kurang menyenangkan, tidak membantu penetrasi
zat aktif sehingga cocok untuk salap emolien atau salap pelindung atau untuk
terapi permukaan.
Tidak bercampur dengan air sehingga sulit dicuci dan memberi kemungkinan
waktu kontak yang panjang antara zat aktif dengan kulit yang diobati.
Mengandung banyak rantai hidrokarbon jenuh sehingga tidak mudah tengik dan
tahan panas sehingga dapat disterilkan. Daya absorpsi terhadap air juga rendah
hanya mencapai 5-10% sehingga daya absorpsinya terhadap eksudat yang
mengalir dari luka juga kecil, jadi lebih tepat digunakan pada bagian kulit yang
kering. Pada sediaan salep ke-1 tidak ditambahkan propilen glikol dan vaselin
tidak dilelehkan terlebih dahulu, kadar vaselin yang ditambahkan sekitar 90% hal
ini dimaksudkan agar zat aktif dapat terserap pada basis/dasar salep yang di
maksud, karena penggunaan dasar salep sebagai zat pembawa tidak boleh kurang
atau lebih dari 80-90%,. sedangkan pada sediaan salep ke-2 dan ke-3 digunakan
propilen glikol sebagai Propilen glikol dalam sediaan farmasi berfungsi sebagai
humektan, pelarut, pelicin, dan sebagai menghambat fermentasi dan
pertumbuhan jamur, desinfektan, dan untuk meningkatkan kelarutan (Weller,
1994).
Selain itu juga penambahan propilen glikol pada sediaan topikal juga dapat
meningkatkan laju difusi (Agoes dkk, 1983), Pola perubahan viskositas salep
dengan penambahan berbagai kadar propilen glikol telah diteliti. Viskositas basis
yang mengandung berbagai kadar propilen glikol diamati dengan menggunakan
viskometer Brokfield VT 04. Hasil perubahan menunjukkan bahwa semakin tinggi
kadar propilen glikol dalam basis salep vaselin memberikan viskometer basis yang
semakin menurun.
Penurunan viskositas terjadi secara eksponensial atau mengikuti kinetika orde
pertama dengan harga tetapan penurunan viskometer adalah 7.4x10-2 persen-1.
Penambahan propilen glikol dalam vaselin agar campuran stabil paling banyak 10
persen. Sebagaimana pada sediaan salep ke-1, sediaan salep ke-2 dan ke-3 dengan
penambahan propilen glikol dalam konsentrasi yang berbeda pada formulasinya
memberikan data homogenitas yang positif dan data pertumbuhan mikroba yang
negatif. Yang menjadi tujuan dari pembuatan salep adalah Sebagai bahan
pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit, Sebagai bahan pelumas pada
kulit, Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit
dengan larutan berair dan rangsang kulit.
b) Cream
Menurut Farmakope Indonesia III definisi krim adalah sediaan setengah
padat berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan
untuk pemakaian luar. Dan menurut Farmakope Indonesia IV, krim adalah bentuk
sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau
terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Sedangkan menurut Formularium
Nasional krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi kental mengandung
air tidak kurang dari 60 % dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Pada percobaan sediaan krim setelah dilakukan penelitian homogenitas
terjadi mulai dari 1 jam pertama setelah pembuatan, dimana pada sediaan krim ini
tidak adanya agregasi partikel sekunder, distribusi yang merata dan teratur dari
fase terdispersi serta penghalusan parikel primer yang besar. Ukuran partikel
menentukan tingkat homogenitas zat aktif, tingkat kerja optimal dan bebas
pengganggu ( Voigt, 1984 ). Sedangkan pemisahan fase dan pertumbuhan
mikroba tidak terjadi hingga hari ke-4 pengamatan. Ini menunjukan bahwa
sediaan tersebut masih baik dan belum rusak, dimana krim dianggap rusak apabila
terganggu sistem campurannya terutama disebabkan oleh perubahan suhu serta
perubahan komposisi. Perubahan yang terjadi dikarenakan penambahan salahsatu
fase secara berlebihan atau pencampuran dua tipe krim jika zat pengemulsinya
tidak tercampurkan satu sama lain ( Anonim, 1979 ). Bahan yang dipakai pada
pembuatan krim ini terdiri dari asam salisilat sebagai zat aktif, oleum cocos
sebagai pembawa, dan emulgid sebagai zat pengemulsi, dibutuhkannya zat ini
dalam sediaan krim karena ketidakcampuran zat aktif dengan zat pembawa
sehingga sediaan krim akan berupa emulsion, baik emulsi bertipe M/A atau emulsi
bertipe A/M.
Pada praktikum ini dibuat 2 sediaan krim dengan konsentrasi masing-
masing bahan yang berbeda, dimana pada sediaan pertama terdiri dari asam
salisilat 10%, oleum cocos 30%, emulgid 7,5%, dan aquadest 26,25 gr. Sedangkan
pada sediaan krim ke-2 hanya dibedakan konsentrasi emulgid dan aquadestnya,
yaitu emulgid 15% dan aquadest 22,5 gr. Setelah dilakukan penelitian dapat
diketahui kalau sediaan pertama tipe emulsinya adalah M/A sedangkan yang
kedua bertipe emulsi A/M, hal ini menunjukan bahwa komposisi dari fase air dan
minyak akan menjadikan konsistensi dari sediaan tersebiut bervariasi.
Krim adalah sediaan obat untuk pemakaian pada kulit. Sediaan ini
digunakan pada kulit antara lain untuk efek fisik, yaitu kemampuan bekerja
sebagai pelindung kulit, pelincir, pelembut, zat pengering dan lain-lain, atau efek
khusus dari bahan obat yang ada. Pemakaian pada kulit yang memerlukan resep,
umumnya mengandung obat tunggal yang dimaksudkan untuk melawan diagnosis
khusus. Walaupun pada umumnya diinginkan dalam pengobatan penyakit, untuk
obat yang dalam pemakaiannya mengandung bahan obat supaya meresap melalui
permukaan dan masuk kedalam kulit, biasanya tidak dimasudkan (kecuali untuk
sistem pengobatan melalui kulit) bahwa pengobatan masuk kedalam sirkulasi
umum. Bagaimanapun juga sekali obat ini melewati epidermis, akan sampai pada
pembuluh darah kapiler dan mengisi jaringan subkutan dan absorpsi masuk
kedalam sirkulasi umum bukan tidak mungkin.
Absorpsi bahan dari luar ke posisi di bawah kulit tercakup masuk kedalam
aliran darah, disebut sebagai absorpsi perkutan. Krim pada umumnya merupakan
absorpsi perkutan dari bahan obat ada pada prepat dermatologi yang tidak hanya
tergantung dari sifat kimia dan fisika dari bahan obat saja, tapi juga pada sifat
apabila dimasukkan kedalam pembawa farmasetika dan pada kondisi dari kulit.
Pada permukaan kulit ada lapisan dari bahan yang diemulsikan terdiri dari
campuran kompleks dari cairan berlemak, keringat dan lapisan tanduk yang dapat
terkelupas, yang terakhir dari lapisan sel epidermis yang telah mati yang disebut
“lapisan tanduk” dan stratum corneum dan letaknya langsung dibawah lapisan
yang diemulsikan. dibawah lapisan tanduk secara teratur ada “lapisan penghalang”
lapisan yang hidup stratum germinativum, dan dermis atau kulit
sesungguhnya.Pembuluh darah kapiler dan serabut-serabut saraf timbul dari
jaringan lemak subkutan masuk kedalam dermis dan sampai pada epidermis.
Absorpsi perkutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi
langsung obat melaui stratum corneum 10-15µm, tebal lapisan datar
mengeringkan sebagaian demi sebagian jaringan mati yang membentuk
permukaan kulit paling luar. Staratum corneum terdiri dari kurang lebih 40%
protein (pada umumnya keratin) dan 40% air dengan lemak berupa
perimbangannya terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolestrol dan
fosfat lemak. Kandungan lemak dipekatkan dalam fase eksraselular starum
corneum dan begitu jauh membentuk membran yang mengelilingi sel. Komponen
lemak dipandang sebagai faktor utama yang secara langsung bertanggung jawab
terhadap rendahnya penetrasi obat melalui stratum corneum. Sekali molekul obat
melalui stratum corneum kemudian dapat terus melalui jaringan epidermis yang
lebih dalam dan masuk kedalam dermis apabila obat mencapai lapisan pembuluh
kulit maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi kedalan sirkulasi umum.
Stratum corneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan
yang semi permiabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif.
Jadi, jumlah obat yang pindah, menyebrangi lapisan kulit tergantung pada
konsentrasi obat, kelarutannya dalam air dan koefisien partisi minyak atau airnya.
Bahan –bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air
merupakan difusi melalui stratum corneum seperti juga melalui epidermis dan
lapisan kulit. Walaupun kulit dibagi secara histology kedalam stratum corneum,
epidermis yang yang hidup, dan dermis secara bersama-sama dapat dianggap
merupakan lapisan penghalang. Penetrasi lapisan ini dapat terjadi dengan cara
difusi.
1.Penetrasi transelular (menyebrangi sel);
2.Penetrasi intraselular (antarsel);
3.Penetrasi transappendageal (melaluifolikel rambut, keringat, kelenjar lemak dan
perlengkapan pilo sebaceous).
Tujuan dari pembuatan sediaan krim adalah untuk mendapatkan efek
emolien atau pelembut jaringan dari sediaan tersebut dan keadaan permukaan
kulit. Karena emulsi yang dipakai pada kulit sebagai obat luar bisa dibuat sebagai
emulsi m/a ( minyak dalam air ) atau emulsi a/m ( air dalam minyak ), tergantung
pada berbagai faktor seperti sifat zat terapeutik yang akan dimasukan ke dalam
emulsi. Zat obat yang akan mengiritasi kulit umumnya kurang mengiritasi jika ada
dalam fase luar yang mengalami kontak langsung dengan kulit. Tentu saja dapat
bercampurnya dan kelarutan dalam air dan dalam minyak dari zat obat yang
digunakan dalam sediaan yang di emulsikan menentukan banyaknya pelarut yang
harus ada dan sifatnya yang meramalkan fase emulsi yang dihasilkan . Pada kulit
yang tidak luka, suatu emulsi air dalam minyak biasanya dapat dipakai lebih rata
karena kulit diselaputi oleh suatu lapisan tipis dari sabun dan permukaan ini lebih
mudah dibasahi oleh minyak daripada oleh air. Suatu emulsi air dalam minyak
juga lebih lembut ke kulit, karena ia mencegah mengeringnya kulit dan tidak
mudah hilang bila kena air. Sebaliknya jika diinginkan sediaan yang mudah
dihilangkan dari kulit dengan air, harus dipilih suatu emulsi minyak dalam air.
c) Gel
Gel adalah campuran koloidal antara dua zat berbeda fase: padat dan cair.
Penampilan gel seperti zat padat yang lunak dan kenyal (seperti jelly), namun
pada rentang suhu tertentu dapat berperilaku seperti fluida (mengalir).
Berdasarkan berat, kebanyakan gel seharusnya tergolong zat cair, namun mereka
juga memiliki sifat seperti benda padat. Contoh gel adalah gelatin, agar-agar, dan
gel rambut. Biasanya gel memiliki sifat tiksotropi (Ing.: thyxotropy) : menjadi
cairan ketika digoyang, tetapi kembali memadat ketika dibiarkan tenang.
Beberapa gel juga menunjukkan gejala histeresis. Dengan mengganti cairan
dengan gas dimungkinkan pula untuk membentuk aerogel ('gel udara'), yang
merupakan bahan dengan sifat-sifat yang khusus, seperti massa jenis rendah, luas
permukaan yang sangat besar, dan isolator panas yang sangat baik.
Pada praktikum yang telah dilakukan, pada gel dibuat dua sediaan gel
dalam dua formulasi yang berbeda, pada sedioaan gel ke-1 terdiri dari asam
salisilat 10%, sebagai zat aktif, hidroxy propyl methyl celulosa (HPMC) 10%, dan
air sebanyak 40 gr, sedangkan pada sediaan gel ke-2 ditambahkan alkohol, dimana
perbandingan air : alkohol = 1 : 1 = 20 gr : 20 gr. Penggunaan HPMC dalam
sediaan gel yaitu sebagai gelling agen atau merupakan selulosa semisintetik yang
banyak digunakan sebagai pengental dalam formulasi gel, dimana dengan
penambahan HPMC diharapkan konsistensi sediaan gel lebih baik. Dalam
pengembangan prototype formula gel perlu dilakukan evaluasi type dan grade
selulosa yang digunakan. Sebagai contoh jika diinginkan gel yang transparan
maka penggunaan hidroksipropilmetilselulosa sebagai bahan pengental lebih
cocok jika dibandingkan dengan metilselulosa.
Faktor inkompatibilitas juga harus diperhatikan dalam pemilihan bahan
pengental. Sebagai contoh hidroksietilselulosa bersifat inkompatibel dengan
beberapa garam, metilselulosa dan hidroksipropilselulosa incompatible dengan
preservatif golongan paraben. Keberadaan bahan oksidator dalam formulasi gel
yang mengandung selulosa juga harus dihindari karena degradasi oksidatif pada
rantai polimer dapat menyebabkan penurunan secara cepat viskositas.
Pemanasan dapat mempercepat proses gelasi pada karbomer, namun suhu
pemanasan tidak boleh lebih dari 70°C. Dikarenakan karbomer merupakan
polimer sintetik maka variasi spesifikasi antar lot relative kecil, namun perbedaan
antar batch dalam hal rata-rata berat molekul mungkin terjadi sehingga dapat
berpengaruh terhadap karakteristik reologi dari karbomer.Pada 1 jam pertama
setelah pembuatan sediaan ini, seperti pada sediaan salep dan krim mulai
dilakukan pengamtan dimana homogenitas dari sediaan tersebut terlihat baik, akan
tetapi setelah 1-5 hari pengamatan basis gel tidak homogen lagi dengan zat
aktifnya, hal ini dimungkinkan karena sifat asam dari zat aktif, dimana basis gel
hanya dapat bercampur dengan suatu zat pada tingkat keasaman tertentu, absorpsi
sediaan ini pada kulit sama seperti pada sediaan krim, sediaan ini baik digunakan
untuk luka yang berair karena basis gel dapat menyerap air lebih banyak dari basis
salep atau krim.
Perbedaan dari sediaan salep, krim dan gel adalah dari basis atau bahan
dasar yang digunakan sebagai bahan pembawa zat aktif yang dimaksudkan untuk
pengobatan secara topikal, serta daya absorpsi dari masing-masing sediaan
tersebut. Bahasan mengenai sediaan semisolid tidak lepas dari konsep dasar
mengenai kulit yang mencakup lapisan, serta fungsi masing-masing dari lapisan
tersebut dan bagaimana proses absorpsi perkutan dari kulit tersebut. Kulit
merupakan pembungkus elastik yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan.
Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15%
dari berat tubuh dan luasnya 1,50-1,75m2 . Rata-rata tebal kulit 1-2 mm (Harahap,
2000).
Kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu:
a. Lapisan epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas:
1) Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar
dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan
protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
2) Stratum lusidium terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah
menjadi protein yang disebut eleidin.
3) Stratum granulosum (lapisan keratohialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel
gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya.
Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin.
4) Stratum spinosum (stratum malphigi) atau disebut pula pricle cell layer
(lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal
yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Sel-sel
spinosum mengandung banyak glikogen.
5) Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang
tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar
(palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah
(Djuanda, 2001).
b. Lapisan dermis
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih
tebal dari pada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa
padat dengan elemen- elemen seluler dan folikel rambut. Secara garis besar
dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah.
2) Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah
subkutan,bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut
kolagen, elastin, dan retikulin (Djuanda, 2001).
c. Lapisan subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat,
besar,dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah
(Djuanda, 2001).
Kulit memiliki beberapa fungsi, ada pun fungsinya yaitu :
1. Fungsi proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan
fisis atau mekanis, misalnya tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi,
misalnya zat- zat kimia terutama yang bersifat iritan.
2. Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan
benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap,
begitupun yang larut lemak.
3. Fungsi ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak
berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam
urat, dan amonia.
4. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung- ujung saraf sensorik di dermis
dan subkutis. Badan-badan Ruffini berperan dalam perangsang panas yang
terletak di dermis dan subkutis. Badan-badan krausea berperan dalam
perangsang dingin yang terletak di dermis.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termolegulasi), kulit melakukan peranan
ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot
berkontraksi) pembuluh darah kulit.
6. Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak
di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel
basal dengan melanosit adalah 10 : 1. Jumlah melanosit dan jumlah serta
besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras
maupun individu.
7. Fungsi keratinisasi, memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara
mekanis fisiologik.
8. Fungsi pembentukan vitamin D, dimungkinkan dengan mengubah
dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari (Djuanda, 2001).
Absorpsi Perkutan
Tujuan umum penggunaan obat pada terapi dermatologi adalah untuk
menghasilkan efek terapetik pada tempat-tempat spesifik di jaringan epidermis.
Absorpsi perkutan didefinisikan sebagai absorpsi menembus stratum korneum
(lapisan tanduk) dan berlanjut menembus lapisan di bawahnya dan akhirnya masuk ke
sirkulasi darah. Kulit merupakan perintang yang efektif terhadap penetrasi perkutan
obat (Lachman et al., 1994).
a. Rute penetrasi obat ke dalam kulit
Penetrasi obat ke dalam kulit dimungkinkan melalui dinding folikel rambut.
Apabila kulit utuh maka cara utama untuk penetrasi masuk umumnya melalui lapisan
epidermis lebih baik dari pada melalui folikel rambut atau kelenjar keringat (Ansel,
1995). Absorpsi melalui epidermis relatif lebih cepat karena luas permukaan
epidermis 100 sampai 1000 kali lebih besar dari rute lainnya (Lachman et al., 1994).
Stratum korneum, epidermis yang utuh, dan dermis merupakan lapisan penghalang
penetrasi obat ke dalam kulit. Penetrasi ke dalam kulit ini dapat terjadi dengan cara
difusi melalui penetrasi transeluler (menyeberangi sel), penetrasi interseluler (antar
sel), penetrasi transepidageal (melalui folikel rambut, keringat, dan perlengkapan pilo
sebaseus) (Ansel, 1995).
b. Disolusi
Disolusi didefinisikan sebagai tahapan dimana obat mulai masuk ke dalam
larutan dari bentuk padatnya (Martin et al., 1993) atau suatu proses dimana suatu
bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam pelarut. Dalam sistem biologis pelarut
obat dalam media aqueous merupakan bagian penting sebelum kondisi absorpsi
sistemik (Shargel et al., 2005). Supaya partikel padat terdisolusi molekul solut
pertama-tama harus memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak
menjauhi permuk aan memasuki pelarut (Martin et al., 1993).
c. Difusi
Difusi adalah suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa
oleh gerakan molekul secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan
konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya membran polimer (Martin et
al., 1993). Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans- membran bagi
umumnya obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi
obat pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum difusi Fick, molekul obat berdifusi
dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah konsentrasi obat rendah (Shargel
et al., 2005).
VII. Usulan Formula
a) Salep
Formulasi salep Asam salisilat :
Komposisi : Tiap 50 gr mengandung :
Asam salisilat 10%
Propilen glikol 5%
Vasselin album 10%
Pada formula yang kita usulkan dalam pembuatan sediaan salep terdapat asam
salisilat sebagai zat aktif, dimana asam salisilat merupakan asam yang bersifat
iritan lokal, yang dapat digunakan secara topikal. Selain itu pada sediaan ini
terdapat vasselin album, vasselin album terlihat lebih baik dari pada vasselin
flavum sebagai dasar basis salep hidrokarbon, juga terdapat propilen glikol
sebagai humektan pada sediaan tersebut.
b) Cream
Formulasi cream asam salisilat :
Komposisi : Tiap 50 g mengandung :
Betamethasonum 1 gr
Cetomacrogolum-1000 300 mg
Cetostearylalcoholum 1,2 g
Paraffinum liquidum 1 g
Vaselinum album 2,5 g
Aqua destillata hingga 10 g
Pada sediaan krim, usulan formula yang kita usulkan pada sediaan tersebut
terdapat Betamethasonum sebagai zat berhasiat dari krim ini. Cetomacrogolum-
1000, cetostearylalcoholum, paraffinum liquidum, dan vaselinum album.
campurannya merupakan fase minyak. Aqua destillata merupakan fase air. Dalam
formula ini merupakan krim tipe air – minyak, karena fase minyak bertindak
sebagai fase kontinyu dan fase air didispersikan sebagai bola- bola kecil ke
seluruh fase kontinyu.
c) Gel
Formulasi Gel asam salisilat :
Komposisi : Tiap 50 gr mengandung :
VIII. Daftar Pustaka
1. Farmakope Indonesia Edisi IV, tahun 1995
2. Farmakope Indonesia Edisi III, tahun 1979
3. MIMS Bahasa Indonesia Vol.9, tahun 2008
4. Anonim, 1978, Formularium Nasional, edisi II, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
5. Wade, A. & P.J. Weller, Handbook of Pharmaceutical Excipients, 1994, 2nd
ed, The Pharmaceutical Press London.
6. Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan
RI,Jakarta
7. Prof. Drs. Moh. Anief Apt, Ilmu Meracik Obat, UGM Press, 1997.
8. Anief. Moh. 2000. Farmasetika. Gajah Mada University Press : Yogyakarta
9. Dytha Andri Deswati, S.Far,Apt, Farmasetika II, UNFARI,2007.
10. Agoes G, Darijanto S.T. 1993. Teknologi Farmasi Likuida Dan Semi Solida.
Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati ITB. Bandung.