LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN
ANALISIS KESEIMBANGAN UMUM DAMPAK PAKET BALI TERHADAP PEREKONOMIAN
INDONESIA DAN TINDAK LANJUTNYA
Oleh:
Reni Kustiari Erna Maria Lokollo
Hermanto Adi Saktyanu Kritiantoadi D
Frans Betsi Marojahan Dabukke
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2014
1
Analisis Keseimbangan Umum Dampak Paket Bali Terhadap Perekonomian
Indonesia dan Tindak Lanjutnya (General Equilibrium Analysis of Impact of Bali Package on the Indonesian Economy
and Follow-Up)
Ringkasan
Setelah bertahun-tahun tanpa kompromi dan mengarah ke runtuhnya negosiasi serta hasil yang kurang optimal, Konferensi tingkat Menteri di Bali
menandai terobosan substantif pertama sejak peluncuran Putaran Doha pada tahun 2001. Pada bulan Desember 2013, sistem perdagangan multilateral dibangkitkan
kembali ketika negara anggota WTO menyetujui paket yang mencakup tiga isu penting yang merupakan bagian dari Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda), yaitu: fasilitasi perdagangan, beberapa aspek pertanian termasuk publik stockholding untuk keamanan pangan, dan paket kebijakan untuk negara kurang berkembang.
Kesepakatan dilakukan tidak hanya berfungsi untuk mengembalikan kepercayaan kepada sistem perdagangan multilateral yang dipandang sudah mulai
stagnan. Paket Bali juga membuka jalan bagi pelaksanaan aturan perdagangan multilateral yang diharapkan memiliki manfaat yang besar bagi perekonomian global.
Dengan estimasi peningkatan ekspor jika semua kesepakatan fasilitasi perdagangan dipenuhi adalah sekitar satu triliun dolar. Konferensi tingkat menteri ini dianggap sebagai suatu langkah konkret menuju ke kesimpulan dari Putaran Doha.
Mengingat meningkatnya dampak dari peraturan perdagangan internasional pada masyarakat selain produsen, penting untuk mengkaji dampak paket Bali
terhadap semua pelaku ekonomi. Makalah ini bertujuan mengelaborasi secara singkat masing-masing pilar pada paket Bali, mengidentifikasi kendala dan tantangan yang mungkin akan dihadapi oleh Indonesia dalam melaksanakan Paket Bali, dan
mengidentifikasi alternatif kebijakan sebagai tindak lanjut paket Bali (Permanen Solution).
1. Pendahuluan
Setelah bertahun-tahun tanpa kompromi dan mengarah ke gagalnya negosiasi serta
hasil yang kurang optimal, Konferensi tingkat Menteri di Bali menandai terobosan substantif
yang pertama sejak peluncuran Putaran Doha pada tahun 2001. Konferensi tingkat menteri
merupakan lembaga tertinggi dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam
konferensi itu, yang biasanya diselenggarakan sekali dalam dua tahun, para menteri
perdagangan dari semua negara anggota dapat mengambil keputusan-keputusan
mengenai semua masalah yang diatur dalam perjanjian dagang multilateral.
2
Pada bulan Desember 2013, sistem perdagangan multilateral dibangkitkan
kembali ketika negara anggota WTO menyetujui paket yang mencakup tiga isu
penting yang merupakan bagian dari Agenda Pembangunan Doha (Doha
Development Agenda), yang terdiri dari beberapa aspek negosiasi pertanian seperti
stockholding publik untuk kepentingan ketahanan pangan, liberalisasi lebih lanjut
dalam administrasi tingkat tarif kuota; fasilitasi perdagangan; dan sejumlah isu
penting terkait dengan perkembangan perdagangan dan integrasi lebih lanjut dari
negara-negara kurang berkembang ke dalam sistem perdagangan global.
Paket Bali adalah sebuah kesepakatan yang dapat menjadi langkah penting
bagi pertumbuhan, perdagangan dan pembangunan dunia. Namun demikian tetap
diperlukan keterlibatan politik yang tepat dari semua negara anggota sehingga dapat
menyepakatinya.
Kesepakatan yang dihasilkan tidak hanya berfungsi untuk mengembalikan
kepercayaan terhadap perjanjian sistem perdagangan yang dipandang sudah mulai
stagnan, paket Bali juga membuka jalan bagi pelaksanaan aturan perdagangan
multilateral yang diharapkan memiliki manfaat yang besar bagi perekonomian global.
Dengan perkiraan peningkatan ekspor dari kesepakatan fasilitasi perdagangan sekitar
satu triliun dolar, konferensi tingkat menteri ini dianggap sebagai langkah konkret
menuju kesimpulan dari Putaran Doha (Jatkar dan Mukumba, 2014).
Pada saat ini sistem perdagangan internasional telah mengalami perubahan
geo-ekonomi yang signifikan dibandingkan dengan pertama kali Putaran Doha
diluncurkan. Perubahan ini didorong oleh laju peningkatan inovasi teknologi
khususnya di negara-negara berkembang dan negara maju serta krisis keuangan di
negara maju. Perubahan kondisi yang terjadi setelah konferensi tingkat menteri
kedelapan pada tahun 2011 telah menyebabkan negara anggota WTO memutuskan
untuk memilih paket yang lebih kecil dari isu paket lengkap Agenda Pembangunan
Doha, yang tidak menunjukkan banyak kemajuan dalam perundingan WTO. Paket
kecil ini dikenal sebagai Paket Bali. Paket ini bukanlah tujuan akhir namun merupakan
awal dari komitmen yang lebih penting dari pelaksanaan keputusan yang diadopsi di
3
Bali serta menyusun agenda untuk menangani isu-isu yang tersisa pada Agenda
Pembangunan Doha
Setelah sukses di Bali, negara anggota WTO memfokuskan perhatian pada
agenda pasca-Bali. Dalam upaya untuk memberikan beberapa pemikiran awal dalam
agenda ini, makalah ini akan memberikan ulasan ringkas dari setiap keputusan pada
konferensi tingkat menteri di Bali. Post-Bali work program dan action plan untuk
perundingan pertanian dan posisi Indonesia sudah harus dikaji dan disiapkan sebagai
solusi permanen sehingga Indonesia dapat mengoptimalkan manfaat dari
keanggotaannya di WTO. Secara rinci tujuan kajian ini adalah: (1) menjelaskan
sejarah singkat masing-masing pilar; (2) menganalisis dampak keputusan Paket Bali
terhadap berbagai sektor ekonomi Indonesia; dan (3). mengidentifikasi alternative
tindak lanjut yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari keputusan menteri di
Bali.
2. Metode Analisis
Salah satu pendekatan untuk menganalisis dampak ekonomi dari paket Bali
terhadap perekonomian Indonesia adalah dengan pendekatan Computable General
Equillibrium (CGE). Kemampuan model CGE untuk mengkaitkan kinerja ekonomi
makro dan mikro dari suatu dampak shock membuat model CGE dapat digunakan
sebagai alat analisis untuk menghasilkan bahan masukan yang komprehensif dalam
menentukan alternative kebijakan (James, 2007; Ross, 2011). Pada kajian ini model
CGE yang digunakan adalah Model IndoTerm (Indonesia The Enormous Regional
Model) yang merupakan pengembangan dari model Orani-G (single country) yang
multi regional (Horridge, 2003).
Struktur model IndoTerm terdiri atas sistem persamaan yang menggambarkan
permintaan tenaga kerja, permintaan faktor produksi, permintaan input antara,
permintaan kombinasi faktor produksi dan input antara, permintaan kombinasi dari
output, permintaan barang investasi, permintaan rumah tangga, permintaan ekspor
dan permintaan akhir lainnya, permintaan margin, harga penjualan, keseimbangan
pasar, pajak tak langsung, PDB pada sisi penerimaan dan pengeluaran, neraca
4
perdagangan, tingkat pengembalian modal, dan akumulasi investasi dan modal.
Persamaan tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 1. Solusi sistem
persamaan-persamaan tersebut diselesaikan dengan menggunakan software
GEMPACK (General Equilibrium Modelling PACKage) versi 11.2 tahun 2012. Database
yang digunakan dalam model IndoTerm adalah Tabel Input-Output Indonesia tahun
2005, yang diaggregasi dari 175 sektor menjadi 21 sektor, antara lain, yaitu padi,
jagung, kedelai, gula dan sektor lainnya.
Dalam model IndoTerm closure yang digunakan, antara lain: (1) variabel
perubahan teknis (technical change variables), (2) variabel tingkat pajak (tax rate
variables), (3) supply faktor input rumah tangga /household supplies of factors
(tenaga kerja, lahan dan modal) dan jumlah rumah tangga, (4) harga luar negeri; (5)
nilai tukar (the exchange rate) yang merupakan numeraire, yaitu harga relatif
terhadap satu barang sehingga bukan harga absolut; dan (6) pengeluaran subsisten
rumah tangga.
Adapun isu penting dari paket Bali yang akan dianalisis adalah cadangan
pangan publik, subsidi ekspor dan fasilitas perdagangan. Dalam konteks cadangan
pangan, produk pangan Indonesia diusulkan untuk memanfaatkan mekanisme peace
clause, prioritasnya adalah beras dan kedelai kemudian dilanjutkan dengan komoditas
Jagung, daging dan gula. Selain itu, untuk permanent solution diusulkan peningkatan
de minimis dari 10% menjadi 15%. Hal ini berimplikasi bahwa Indonesia memiliki
peluang dalam pemanfaatan kerangka peace clause yang pada akhirnya diharapkan
dapat mendorong peningkatan kapasitas produksi pangan strategis melalui
peningkatan subsidi sekitar 50% dari kondisi saat ini.
Komitmen untuk penghapusan subsidi ekspor juga berimplikasi pada
meningkatnya persaingan secara adil di antarapelaku pasar. Jika semua negara
anggota WTO melakukan komitmen penghapusan subsidi ekspor maka nilai
perdagangan dunia akan meningkatkan sekitar 50% (Hufbauer dan Schott, 2013).
Mengingat kontribusi ekspor Indonesia terhadap ekspor dunia hanya sekitar 3.9%,
maka penghapusan subsidi eksport tersebut diperkirakan akan dapat meningkatkan
ekspor Indonesia antara 10% sampai 25%. Demikian pula apabila semua negara
5
anggota WTO melakukan fasilitasi perdagangan maka biaya perdagangan dunia akan
turun sekitar 10%.
Pada kajian ini analisis dampak dari implementasi paket Bali akan dilakukan
dengan memperhatikan, antara lain; (1) peningkatan ekspor Indonesia sebesar 10%
dan 25%; (2) peningkatan subsidi di sektor pangan strategis sekitar 50%, dan (3)
penurunan biaya perdagangan di Indonesia sebesar 5% dan 10%.
3. Tinjauan Pilar-Pilar Paket Bali
Konferensi tingkat menteri ke-9 telah diselenggarakan di Nusa Dua, Bali,
tanggal 3-6 Desember 2013. Kedelapan konferensi tingkat menteri sebelumnya
diselenggarakan di: Jenewa, 15-17 Desember 2011; Jenewa, 30 November–2
Desember 2009; Cancun, 10–14 September 2003; Doha, 9–13 November 2001;
Seattle, 30 November–3 Desember 1999; Jenewa, 18–20 May 1998; dan Singapura,
9–13 Desember 1996.
Apabila dilihat perjalanan panjang perundingan WTO, maka rangkaiannya
dapat diikuti sebagai berikut:
Desember 1996 Para Menteri sepakat untuk membentuk beberapa working group
yang akan membahas trade facilitation, trade and competition, trade and
investment, dan transparency in government procurement, yang dikenal dengan
“Singapore Issues”.
November 2001: Para Menteri Perdagangan menyepakati adanya “Doha Round”
pada pertemuan di Qatar.
September 2003: Para Menteri bertemu di Cancun. Pertemuan ini tidak berhasil
menyepakati apapun dan negara-negara anggota terpecah menjadi beberapa
kubu atas pembahasan Singapore Issues tersebut.
Juli 2004: Negara-negara anggota menyepakati dan menandatangani beberapa
hal pokok yang disebut sebagi “framework package” yang akan dilanjutkan ke
perundingan Doha. Pada tahap ini hanya isu trade facilitation saja yang muncul
ke permukaan, sedangkan isu-isu lainnya tidak dibahas.
6
Tahun 2004-2007: Tidak terjadi kesepakatan apapun. Namun demikian negara-
negara anggota menyusun dan menyempurnakan bahan-bahan negosiasi untuk
isu trade facilitation. Masing-masing kubu/pihak menyiapkan bahan negosiasi
untuk mencapai kesepakatan berikutnya.
Tahun 2008: Geneva “mini-ministerials” berusaha untuk menyepakati draft text
untuk trade facilitation, namun tidak berhasil mencapai suatu kesepakatan
apapun.
Desember 2009: Konsolidasi draft text yang pertama mengenai trade facilitation
berhasil disepakati dan diluncurkan.
April 2011: Ketua dari working group “trade facilitation” menyepakati dan
menyempurnakan draft text; kemudian dibahas di tingkat group negosiasi.
Desember 2011: Pertemuan tingkat Menteri di Jenewa menyadari bahwa terjadi
kebuntuan dalam negosiasi. Oleh karena itu, perundingan “Doha Round” di
deklarasi berstatus sebagai terhenti sementara (“impasse”). Namun demikian
disepakati pula agar para negara anggota mencari peluang-peluang baru agar
dapat terjadi perundingan lanjutan dengan pendekatan yang berbeda.
Tahun 2012-2013: Konvergensi pandangan dari pihak-pihak yang berbeda
akhirnya terjadi, perbedaan berhasil mengerucut menjadi apa yang disebut
sebagai kemungkinan adanya “early harvest” dalam perundingan trade
facilitation. Beberapa isu dari Doha round kembali mengemuka. Perundingan-
perundingan pada tahap selanjutnya diupayakan agar dapat menjadi potensi
kesepakatan yang disebut sebagai “Bali outcome”.
November 2013: Setelah dilakukan negosiasi-negosiasi yang sangat intensif di
Jenewa untuk mencapai Bali Ministerial Declaration, namun tidak tercapai suatu
kesepakatan yang konkrit. Oleh karena itu, Director General of WTO menyatakan
keadaan “impasse”.
Pada tanggal 3-6 Desember 2013, Menteri-menteri dari 159 anggota organisasi
perdagangan dunia (WTO) bertemu dalam konferensi tingkat Menteri yang ke 9
WTO. Para Menteri bekerja keras dan bersama-sama menghasilkan semua
7
terobosan kebuntuan negosiasi yang terjadi selama ini. Terobosan ini diperlukan
untuk mencapai kesepakatan atas apa yang selama ini dikenal sebagai Paket Bali.
3.1. Fasilitasi Perdagangan
Fasilitasi Perdagangan (Trade Facilitation/TF) adalah tentang penyederhanaan
dan harmonisasi prosedur perdagangan antar negara sehubungan dengan kegiatan,
praktek dan formalitas yang terlibat dalam mengumpulkan, menyajikan,
berkomunikasi dan pengolahan data dan persyaratan lainnya untuk kelancaran
pergerakan barang lintas negara. Pembahasan mengenai trade facilitation pada
intinya adalah untuk menyederhanakan customs rules dan memperkecil inefficiencies
yang merupakan sumber kelambanan dan menimbulkan adanya jeda waktu (lag
times) pada perdagangan antar negara.
Trade Facilitation dikenal juga sebagai “Singapore Issues”. Isu Singapore
pertama kali dikemukakan pada saat pertemuan Para Menteri yang pertama di
Singapura pada tahun 1998. Singapore Issues, tidak hanya mencakup isu trade
facilitation saja, namun ditambahkan isu-isu penting lainnya sehingga menjadi 4 isu,
yaitu: (1) trade facilitation, (2) trade and competition, (3) trade and investment, dan
(4) transparency in government procurement. Aspek-aspek inilah yang nantinya
berkembang menjadi modalitas dalam perundingan-perundingan WTO berikutnya.
Para eksportir dan importir dari negara-negara berkembang dan maju sudah
lama mengeluhkan soal banyaknya birokrasi dalam mendistribusikan barang-barang
antar negara. Persyaratan dokumentasi seringkali kurang transparan dan banyak
sekali diduplikasi di banyak tempat. Masalah itu lebih diperburuk lagi oleh kurangnya
kerjasama antara pedagang dan penyalur-penyalur resmi. Walaupun teknologi
informasi sudah mengalami kemajuan, tapi penyerahan data otomatis masih belum
menjadi kebiasaan. Hal ini disadari bahwa pada beberapa tahun belakangan ini
efisiensi dapat ditingkatkan dengan adanya rantai pasok global (global supply chains)
yang terintegrasi dan dapat meningkatkan nilai tambah.
Konsep TF bukanlah hal yang baru, pada beberapa bulan sebelum konferensi
tingkat Menteri di Bali TF mendapat perhatian yang besar. Belum pernah terjadi
8
sebelumnya negara maju membawa gagasan untuk menyelesaikan Perjanjian
Fasilitasi Perdagangan. Isu TF pertama kali muncul pada konferensi tingkat menteri di
Singapura pada tahun 1996, di mana negara anggota WTO setuju untuk
mengidentifikasi aturan WTO yang dapat berlaku untuk TF seperti juga tiga topik
lainnya, yaitu: kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan perdagangan dan
persaingan, dan transparansi dalam pengadaan pemerintah.
Setelah dipertimbangkan selama bertahun-tahun, negara-negara anggota
akhirnya setuju untuk memulai negosiasi TF pada bulan Juli 2004 berdasarkan
modalitas yang terkandung dalam mandat Paket July untuk memperjelas dan
meningkatkan GATT Pasal V (Kebebasan Transit), Pasal VIII (Biaya & Formalitas
terkait dengan impor dan ekspor) dan Pasal X (Publikasi dan Administrasi Peraturan
Perdagangan). Selain membangun sektor kerjasama kepabeanan, tujuannya juga
untuk meningkatkan bantuan teknis dan pengembangan kapasitas berdasarkan
subjeknya. Perjanjian ini akan dibuat sebagai bagian dari keseluruhan Agenda
Pembangunan Doha namun demikian hal ini tidak terjadi karena kebuntuan dalam
negosiasi Putaran Doha. Tiga aspek lain, yaitu investasi, kompetisi dan pengadaan
pemerintah tidak dibahas lebih lanjut.
Meskipun demikian, TF adalah salah satu isu yang termasuk dalam paket
“Early Harvest” dari perjanjian WTO yang komprehensif, negara anggota menyetujui
Perjanjian tentang Fasilitasi Perdagangan. Diharapkan perjanjian akan berjalan efektif
untuk mengurangi biaya perdagangan dengan membuat komitmen yang mengikat
dalam prosedur dan peraturan kepabeanan. Pada bagian I Perjanjian terkait dengan
standar substantif dan prosedural termasuk ketersediaan informasi, fasilitasi prosedur
kepabeanan, Sektor kerjasama perbatasan, dan penyelesaian sengketa.
Bagian II berkaitan dengan Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and different
Treatment/SDT) untuk negara berkembang dan negara kurang berkembang (LDC)
menyebutkan jenis bantuan teknis yang diperlukan untuk memastikan penerapan
standar TF yang baru.
Bagian II mengungkapkan bahwa tidak seperti pendekatan konvensional
bantuan teknis yang sejauh ini telah dilakukan oleh WTO, Perjanjian TF memberikan
9
bentuk yang baru untuk Sektor kerjasama teknis di mana negara-negara berkembang
dan LDCs mengupayakan integrasi antara pelaksanaan masing-masing ketentuan
dalam perjanjian TF dan pemberian bantuan teknis. Bagian ini memiliki potensi untuk
mengubah pendekatan konvensional bantuan teknis WTO. Perjanjian tersebut
menunjukkan perbedaan antara “commitment” dan “improvement” dalam komitmen
yang dibuat oleh WTO bersifat mengikat dan dikenakan tindakan hukum jika tidak
ditaati. Namun, diakui bahwa perbaikan akan datang dari investasi yang memerlukan
pembiayaan berkelanjutan. Oleh karena itu, untuk membuat Perjanjian bermanfaat
dan mempromosikan perdagangan dan pengembangan sektor yang berorientasi
ekspor, Deklarasi Bali menjamin negara-negara berkembang dan LDC‟s akan
didukung dalam membangun kapasitas untuk melaksanakan perjanjian perdagangan
global.
Hasil penelitian dan analisis yang dilakukan oleh Peterson Institute for
International Economics for the International Chamber of Commerce menyimpulkan
bahwa trade facilitation yang dilaksanakan melalui penghapusan hambatan perdagangan
dan pemotongan tariff diperkirakan dapat meningkatkan nilai perdagangan sebesar US$
1 triliun ke dalam perekonomian global (Lamy, 2013).
Studi CUTS (2004) menyatakan bahwa kepabeanan yang terkait dengan hambatan
perdagangan (peraturan yang berlebihan, prosedur aturan formal yang dianggap berlebihan
atau terlalu birokrasi) menyebabkan biaya lebih dari tarif dan sebagian besar karena
kegagalan pemerintah. Namun demikian, semakin banyak negara menyadari bahwa
kurangnya efisiensi proses perdagangan barang berimplikasi pada berkurangnya pendapatan
dari tariff karena kontrol regulasi dan tingkat transparansi yang rendah, pada akhirnya akan
mengurangi kegiatan bisnis di seluruh fasilitas infrastruktur perdagangan dalam negeri.
Organisasi internasional seperti Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD), Komisi Ekonomi dan Sosial untuk Asia dan Pasifik
(UNESCAP), dan Konferensi tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD)
menyatakan bahwa biaya yang timbul dalam pelaksanaan Perjanjian TF mungkin
cukup tinggi bagi Negara-negara berkembang karena kesulitan yang mungkin
10
dihadapi dalam melakukan beberapa komitmen yang terikat waktu karena
keterbatasan sumber daya, keterbatasan kapasitas dan prioritas yang beragam.
Secara luas diakui bahwa kendala TF telah menjadi salah satu alasan utama
rendahnya kegiatan perdagangan terutama di tingkat regional. Penghapusan kendala
ini akan memainkan peran penting dalam meningkatkan perdagangan di antara
negara-negara anggota dan mengurangi hambatan yang tidak perlu dengan cara
harmonisasi dan menyederhanakan kepabeanan dan prosedur transit.
Meskipun ada manfaat TF, namun proses negosiasi terkait Perjanjian TF
menunjukkan adanya kekhawatiran negara berkembang dan negara kurang
berkembang bahwa perjanjian dapat menyebabkan peningkatan aliran impor dan
akan menghabiskan sumber daya negara berkembang dan negara kurang
berkembang untuk pembangunan infrastruktur. Negara berkembang dan negara
kurang berkembang juga khawatir bahwa peningkatan kapasitas pasokan dan akses
ke pasar negara maju yang diperlukan untuk perluasan ekspornya belum tentu
ditangani oleh perjanjian TF dengan keseriusan yang sama.
Negara-negara berkembang dengan kemampuan ekspor yang lebih lemah juga
khawatir bahwa kewajiban baru yang mungkin mengakibatkan impor yang lebih
tinggi tanpa manfaat yang sepadan. Hal ini dapat memberikan efek buruk pada
neraca perdagangannya. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah atau keputusan
lain di luar TF untuk meningkatkan kapasitas ekspor dan kesempatan untuk
menyeimbangkan efek negative ini.
Dalam rangka untuk menghidupkan kembali manfaat WTO, reformasi harus
memperhitungkan peningkatan pangsa perdagangan produk antara dan munculnya
sejumlah rantai nilai yang rumit. Reformasi TF dapat menjadi strategi penting bagi
negara-negara anggota untuk menjadi kompetitif dalam perdagangan dengan
perbaikan tata kelola sebagai dampak positif. Dalam konteks ini, kemudahan
melakukan bisnis, kepabeanan, praktek dan sektor jasa pendukung terkait dapat
menentukan dan mempengaruhi, antara lain, pembuatan keputusan investasi dan
pembangunan fasilitas produksi.
11
Teks perjanjian TF terutama berisi tentang penggunaan teknologi komunikasi
informasi (ICT) untuk implementasi TF. Hal ini merupakan elemen penting yang
dapat memfasilitasi negara yang lebih kecil agar dapat berpartisipasi ke dalam sistem
perdagangan global dan meningkatkan konektivitasnya dengan rantai pasok
internasional.
Perjanjian fasilitasi perdagangan tidak memberikan banyak penjelasan tentang
dampaknya terhadap kesejahteraan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Namun,
diharapkan memiliki dampak yang signifikan terhadap harga, ketersediaan produk
penting (seperti makanan dan obat-obatan), serta keragaman dan kualitas dari
produk yang ditawarkan. Selain itu, TF juga dapat memiliki dampak yang cukup besar
pada daya saing dan integrasi global atau regional ke dalam rantai nilai dari usaha
kecil dan menengah (UKM) terutama di wilayah di mana UKM adalah pedagang
utama intra-regional dan pengusaha besar.
Kontribusi sosial ekonomi UKM pada perekonomian suatu negara sangat besar,
namun menghadapi tantangan tingkat tariff yang tinggi, distorsi, akses terhadap
kredit dan kendala non-tarif, birokrasi dan mahalnya layanan logistik antara lain
ketika melakukan kegiatan ekspor. Perjanjian TF memiliki potensi untuk mengatasi
beberapa kendala tersebut.
Sementara perjanjian dapat mendorong beberapa inisiatif teknis dan keuangan
yang terus merespon beberapa kendala fisik infrastruktur di banyak negara
berkembang dan negara kurang berkembang, masih ada kebutuhan untuk
mendukung peningkatan dan mereview peraturan yang relevan dan membangun
kelembagaan untuk mengaktifkan dan mengkonsolidasikan reformasi TF yang pro-
kompetitif dan pro-konsumen. Reformasi tersebut harus mempertimbangkan
kepentingan semua stakeholder yang lebih luas dari kepentingan UKM dan konsumen
saja.
Saat ini Perjanjian TF telah menjadi bagian dari program WTO yang
merupakan capaian yang signifikan mengingat sifat perjanjian yang mengikat.
Kesepakatan ini hanya merupakan kegiatan awal dan masih banyak kegiatan yang
harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan perjanjian. Pada prakteknya, negara
12
anggota harus melihat lebih dari prosedur kepabeanan konvensional dan
memperhatikan kebijakan lainnya yang relevan; peraturan dan lembaga di tingkat
nasional yang perlu dilengkapi sehingga fasilitasi perdagangan efektif bagi konsumen
dan UKM.
Oleh karena itu, strategi implementasi tersebut harus bersifat inklusif serta
dapat memperkuat dan mengkonsolidasikan reformasi regulasi dan kelembagaan TF
yang relevan dengan UKM terutama untuk mendukung efisiensi dan berlangsungnya
rantai pasok dan rantai nilai internasional, serta menjamin manfaat bagi konsumen di
dunia yang semakin berkembang.
Pada saat terjadi deadlocks dalam perundingan dan pertemuan tingkat Menteri
ke delapan pada bulan Desember 2011, maka “trade facilitation” muncul ke
permukaan sebagai paket “early harvest”. Hal ini berarti bahwa pembahasan trade
facilitation sudah mendapatkan titik temu antara negara-negara maju dan negara-
negara berkembang. Namun demikian, dengan berjalannya waktu maka
kesepakatan-kesepakatan yang telah terjadi menjadi semakin jauh, dan hal ini
diperuncing dengan melebarnya jurang baik di tataran teknis maupun di tataran
politik. Pertemuan atau diplomasi di Jenewa dalam tempo yang cepat berhasil
mengerucut untuk mencapai kesepakatan yang akan dibicarakan di Bali, Indonesia.
Dengan masih adanya perbedaan pendapat (gap) antara negara-negara anggota.
Pada akhirnya dinyatakan bahwa proses negosiasi buntu atau “impasse” menjelang
pertemuan Menteri di Bali dan mengharapkan agar pertimbangan politik dari para
Menteri yang hadir di Bali akhirnya akan mengerucut dan menyepakati paket Bali.
3.2. Pertanian
Perundingan pertanian dalam kerangka Doha Round dimaksudkan agar semua
negara-negara anggota, baik itu negara maju maupun negara berkembang, memiliki
komitmen yang sama, yaitu menuju suatu keadaan sebagai “fair and market-oriented
agricultural trading system”. Tujuan akhirnya adalah: mengurangi trade-distorting
domestic support untuk hasil-hasil/barang pertanian; memperbaiki akses pasar, dan
pengurangan dan atau penghapusan subsidi ekspor. Para menteri perdagangan
13
negara anggota sepakat bahwa special and differential treatment (SDT) kepada
negara-negara berkembang juga harus diberikan dan merupakan suatu yang harus
dinegosiasikan.
Negara-negara pengekspor pertanian biasanya menginginkan adanya
liberalisasi perdagangan, contohnya adalah negara-negara anggota yang tergabung
dalam Cairns Group dimana Australia sebagai negara maju disertai Brazil dan
Argentina sebagai negara berkembang bersatu memperjuangkan kepentingan
negaranya masing-masing. Di sisi lain ada negara-negara yang sangat melindungi
atau memproteksi pertaniannya, seperti Jepang, Swiss dan Korea Selatan; yang
sangat melindungi petaninya dan memberikan subsidi yang sangat tinggi kepada
sektor pertaniannya.
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, keduanya merupakan pemain
utama perdagangan pertanian di dunia, memperjuangkan keterbukaan pasar bagi
hasil-hasil pertanian namun tetap mempertahankan subsidi bagi pertaniannya.
Negara-negara berkembang yang tergabung dalam G-20 group juga telah
memperjuangkan adanya pengurangan farm trade-distorting policies di negara maju
sejak tahun 2003. Negara-negara berkembang yang tergabung dalam kelompok G-
33 juga memperjuangkan special treatment bagi petani-petani kecil di negaranya dan
yang termasuk di dalam kelompok ini tidak hanya negara-negara besar seperti China
dan India, tetapi juga negara-negara kecil seperti Barbados dan Saint Lucia.
Perjalanan panjang perundingan pertanian dapat diringkas sebagai berikut.
Pada 1994, Putaran GATT Uruguay menghasilkan WTO, menyepakati Agreement on
Agriculture atau perundingan pertanian, termasuk di dalamnya Article XX.
Selanjutnya, pada 1999, Konferensi tingkat menteri di Seattle tidak berhasil
menghasilkan kesepakatan apapun. Pada 2001, Konferensi tingkat menteri di Doha
menghasilkan kesepakatan baru terutama perundingan perdagangan pertanian, yang
dikenal dengan putaran Doha (Doha round). Pada 2003, Draft text pertama
diluncurkan. Pembentukan kelompok atau group negara-negara G-20. Perundingan
tingkat menteri di Cancun tidak menghasilkan kesepakatan. Pada 2005, Konferensi
tingkat menteri di Hongkong berhasil menyepakati penghapusan atau penghilangan
14
subsidi ekspor pertanian; Selama periode 2006-2007, perundingan-perundingan
lanjutan yang membahas draft texts yang sudah ada, dengan tujuan untuk
menyempurnakan dan mematangkan kesepakatan yang telah dicapai di Doha.
Pada 2008, mini-ministerial di Jenewa hampir berhasil mencapai suatu
kesepakatan akhir, namun masih terjadi perbedaan pandangan pada barang-barang
industri dan perlindungan pertanian (agricultural safeguard). Pada 2011, konferensi
tingkat menteri di Jenewa tidak berhasil mencapai kesepakatan, bahkan perundingan
dinyatakan sebagai buntu atau “impasse”. Pada 2013, konferensi tingkat menteri di
Bali dan berhasil mencapai kesepakatan “small package” atau yang disebut sebagai
paket Bali, salah satu yang paling krusial adalah adanya peace clause pada public
food stockholding (PSH).
Pada perundingan terakhir di Bali disepakati adanya “peace clause” untuk
aspek food stockholding. Hal ini berarti ada jaminan bagi negara-negara berkembang
untuk memiliki food stockholding (PSH) tanpa harus diperhitungkan dalam AMS.
Dalam kesepakatan baru ini, pembelian PSH hanya untuk ketahanan pangan dapat
dilakukan suatu negara dan masuk dalam kategori “green box” dan tidak perlu kuatir
akan adanya tuntutan di kemudian hari oleh negara-negara lain yang dirugikan dalam
global trade body‟s dispute procedure secara hukum. Namun demikian disepakati
pula bahwa negara-negara yang memanfaatkan peace clause untuk PSH ini agar
dapat memberikan informasi dan transparan dalam menerapkannya.
Negara-negara yang tergabung dalam G-20 mengusulkan agar negara maju
membuka akses pasar bagi komoditas pertanian, khususnya pada saat import
quotanya belum terpenuhi. Ini merupakan sisi lain dari hasil negosiasi paket Bali,
yaitu under-filled TRQ (tariff rate quota) di negara-negara tujuan ekspor. Negara
maju dan besar seperti Amerika Serikat menginginkan agar negara besar lainnya
seperti China dan Jepang juga berkomitmen serupa yaitu membuka akses pasarnya,
namun belum terlihat adanya kesepakatan yang mengikat.
Mengenai subsidi ekspor, negara-negara G-20 juga telah mengingatkan
negara-negara anggota WTO bahwa kesepakatan untuk menghapus semua bentuk
subsidi ekspor telah terjadi delapan tahun lalu dan batas waktu yang disepakati
15
adalah tahun 2013. Namun negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa berkilah
bahwa ini adalah kesepakatan conditional dalam paket Doha, oleh karenanya tetap
harus di upayakan walaupun memerlukan waktu yang lebih lama.
Negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-33 mengajukan suatu
skema subsidi yang dapat dikecualikan dan ini menjadi suatu hal yang menarik dan
menimbulkan kontroversial, yaitu adanya paket subsidi pertanian yang dapat
dikecualikan (exempt) dari global trade body karena hanya sangat kecil pengaruhnya
pada trade distortion. Yang termasuk didalamnya adalah program “general services”
yang berhubungan dengan land reform dan ketahanan pangan di daerah pedesaan,
seperti rehabilitasi lahan, konservasi lahan, manajemen kekeringan dan banjir,
ketenagakerjaan di pedesaan, penguasaan sertifikasi lahan serta penempatan petani
(farmer settlement).
Dari semua rancangan dokumen yang disusun pada konferensi tingkat Menteri
di Bali, proposal tentang cadangan pangan publik menjadi topic yang paling sulit
untuk mencapai penyelesaiannya. Usulan tersebut didasarkan pada proposal G-33
yang muncul pada pertemuan informal Sidang Istimewa Komite Pertanian pada tahun
2012. Proposal ini mencakup ketentuan cadangan pangan publik untuk kepentingan
ketahanan pangan (sudah termasuk dalam rancangan modalitas Putaran Doha pada
6 Desember 2008) yang akan dibuat keputusan resminya pada konferensi tingkat
menteri kesembilan pada Desember 2013.
Dalam periode tujuh tahun terakhir, harga komoditas pertanian telah
meningkatkan dengan sangat tinggi dan tidak stabil. Kenaikan harga pangan telah
mempengaruhi hampir semua produk pertanian, volatilitas harga terutama biji-bijian
dan beberapa produk minyak dari biji yang merupakan produk pagan utama yang
selalu menjadi perhatian pada saat membahas ketahanan pangan. Kondisi sektor
pertanian yang terbelakang di sebagian besar negara-negara berkembang telah
membuat sektor ini rentan terhadap fluktuasi harga dengan konsekuensi yang sangat
buruk bagi masyarakat miskin dan rentan yang menggunakan sebagian besar
pendapatannya untuk membeli pangan. Oleh karena itu, bagi banyak negara
berkembang, penyesuaian cadangan pangan publik berfungsi sebagai penyangga
16
bagi masyarakat miskin dari volatilitas harga terutama harga komoditas pangan
pokok.
Berdasarkan aturan WTO saat ini, dukungan negara dianggap mendistorsi
perdagangan jika harga komoditas yang digunakan untuk pengadaan pemerintah
dibeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar. Jumlah produk yang dibayar
dengan harga lebih tinggi dari harga pasar dihitung sebagai Ukuran Dukungan
Agregat (AMS) dan negara-negara melebihi batas AMS dapat dibawa ke lembaga
sengketa WTO untuk penyelesaian.
Titik utama pertentangan yang diangkat oleh G-33, adalah bahwa perhitungan
AMS sudah sangat tidak sesuai dan tidak mempertimbangkan kenaikan harga pangan
yang menjadi ciri pasar global sejak metodologi diadopsi pertama kali. Ketika
perjanjian pertanian WTO dinegosiasikan, negara-negara berkembang diberi batas
AMS sebesar sepuluh persen dari nilai produksi pertaniannya.
Diputuskan bahwa metodologi untuk menghitung pangsa cadangan pangan
publik terhadap total subsidi ini menggunakan harga tahun 1986-1988 sebagai harga
referensi. Negara-negara berkembang menyatakan bahwa karena kenaikan harga
pangan selama dua dekade terakhir, harga pemerintah yang diterapkan selalu lebih
tinggi dari harga referensi.
Mengingat bahwa negara-negara yang melakukan cadangan pangan publik
khawatir akan melebihi batas subsidi AMS, G-33 mengusulkan fleksibilitas yang lebih
besar untuk pangan yang dibeli dengan harga pembelian pemerintah ketika
menyiapkan cadangan pangan publik untuk tujuan ketahanan pangan. G-33
berpendapat bahwa berdasarkan aturan saat ini, inflasi harga telah mengikis
kemampuan NB dalam pengadaan cadangan pangan publik untuk tujuan ketahanan
pangan dengan harga pembelian pemerintah. G-33 berpendapat bahwa karena
ketentuan itu dukungan pemerintah yang diberikan melalui cadangan pangan publik
sudah sangat berlebihan dan berpotensi membuat Negara berkembang berkeinginan
untuk mengajukan skema keamanan pangan yang baru sehingga tidak masuk dalam
sengketa perdagangan global.
17
Negara-negara maju dan beberapa negara berkembang berpendapat bahwa
jika jumlah dukungan berdasarkan harga pasar yang tidak terbatas dimasukkan
dalam kotak hijau (green box), maka hal ini dapat mengganggu perdagangan global,
dan berpotensi memberikan dampak buruk bagi keamanan pangan di negara lain
karena naiknya harga pangan di pasar dunia selama periode pembentukan cadangan
pangan publik dan merugikan petani produsen di negara lain jika terjadi kebocoran.
Oleh karena itu, sebagai kompromi, negara-negara menegosiasikan garis besar
kemungkinan “peace clause” yang harus dipatuhi oleh semua negara untuk menahan
diri agar tidak melakukan tindakan hukum terkait skema ini sampai dicapainya solusi
permanen, dalam pertukaran informasi yang lebih besar dan transparansi tentang
pengoperasian cadangan pangan public di masing-masing negara yang mempunyai
program PSH.
Biaya pelaksanaan perjanjian ini akan berbeda dari satu negara dengan negara
lain. Selama negosiasi, sejumlah negara anggota di WTO mengkhawatirkan skema
pengadaan publik yang menyebabkan kenaikan harga di pasar global dan
menimbulkan banyak negara-negara pengimpor pangan neto rentan terhadap efek
perubahan harga. Sementara keputusan konferensi tingkat menteri ini dinyatakan
sebagai kemenangan bagi petani di negara berkembang untuk menjamin keamanan
pangan bagi warganya, pernyataan ini tampaknya gagal mengenali non-homogenitas
negara berkembang.
Beberapa NM berpendapat bahwa untuk negara-negara pengimpor pangan
neto, keputusan ini berpotensi melemahkan ketahanan pangan di negaranya sebagai
akibat dari harga pangan yang tinggi selama periode pembentukan cadangan pangan
publik sehingga merugikan konsumen, dan jika terjadi kebocoran, mengakibatkan
depresi harga dunia dan merugikan petani yang mengusahakan komoditas terkait.
Dalam hal ini, perlu dilakukan diskusi yang seksama tentang skema pembatasan
ekspor untuk komoditas yang digunakan dalam PSH.
Tantangan yang akan muncul dari pelaksanaan keputusan ini adalah: Pertama,
seiring dengan berjalan waktu negara anggota akan berurusan dengan masalah
sistemik perhitungan AMS terkait cadangan pangan publik untuk tujuan ketahanan
18
pangan. Setelah dianggap tidak sesuai dengan kondisi saat ini oleh akademisi dan
pembuat kebijakan, negara anggota harus mencari formulasi baru dari AMS atau
mempertimbangkan pendekatan alternatif terkait dengan cadangan pangan publik
untuk tujuan ketahanan pangan bagi negara-negara berkembang.
Kedua, sampai solusi akhir (permanent solution) dicapai, negara anggota
harus berhadapan dengan potensi stok pangan yang bocor ke pasar dunia. Hal ini
mungkin akan menyebabkan efek distorsi yang dapat mengakibatkan depresi jangka
pendek dan harga komoditas di pasar global yang akan terkena dampaknya. Sebagai
negara anggota yang menerapkan Agenda pasca-Bali, substansi dan proses negosiasi
untuk mencapai kesepakatan solusi permanen harus mempertimbangkan masalah
potensial yang akan muncul.
Salah satu perubahan mendasar pada perdagangan pertanian yang dihasilkan
oleh Putaran Uruguay adalah sistem hambatan non-tarif untuk perdagangan. Hal ini
menghasilkan konsep akses pasar minimum yang akan diaplikasikan melalui sistem
tingkat tariff kuota atau TRQs. Kesepakatan TRQs terkait dengan ketentuan apakah
produk yang diekspor dari satu negara dapat memperoleh akses ke pasar negara lain
dengan tingkat tarif yang lebih rentah dari tingkat tarif kuota.
Berdasarkan Perjanjian WTO, banyak negara telah menegosiasikan konsesi
untuk mengizinkan impor produk tertentu dengan tarif impor yang lebih rendah dari
biasanya untuk jumlah tertentu. Kuota ini dikelola oleh negara pengimpor
berdasarkan alokasi dengan berbagai cara dan metode untuk memberikan akses
kuota kepada eksportir dengan mekanisme “fist come first serve”, impor lisensi sesuai
dengan kontribusi historis dan kriteria lainnya, pengaturan melalui institusi
perdagangan negara, perjanjian bilateral, atau lelang.
Sampai saat ini dalam banyak kasus TRQs tetap tidak terisi sepenuhnya,
sehingga memunculkan isu peningkatan administrasi TRQ sehingga dimungkinkan
pemanfaatan TRQs secara penuh. Selama bertahun-tahun hal ini telah menarik
banyak perhatian di Komite pertanian WTO dalam hal nilai kuota yang terkait dengan
penambahan akses pasar. Usulan G-20 terkait dengan hal ini adalah mengingatkan
kewajiban umum agar dimungkinkan untuk mengisi kuota tersebut berdasarkan
19
beberapa aturan yang lebih rinci tentang implementasi yang lebih baik dari komitmen
tingkat tarif kuota. Pertama, TRQs berisi sejumlah ketentuan tentang aspek
prosedural dan transparansi. Kedua, hal itu juga disiapkan untuk mekanisme “under-
fill”, yaitu ketika kuota secara konsisten tidak sepenuhnya dimanfaatkan, maka
negara tersebut dapat diminta oleh negara anggota lainnya untuk mengubah metode
manajemen “fist come first serve” untuk melihat terjadinya peningkatan realisasi
kuota. Namun mekanisme under-fill ini juga memiliki klausul perlakuan khusus dan
berbeda (SDT) yang benar-benar dibebaskan untuk semua negara-negara
berkembang dari hal itu, sehingga hanya akan diberlakukan untuk negara-negara
maju saja.
Menurut keputusan Konferensi Tingkat Menteri di Bali, Negara anggota perlu
mengkaji alokasi izin impor dan mempertimbangkan alokasi izin yang baru ketika
lisensi yang dipegang oleh pelaku bisnis mengalami “under-fill” karena alasan lain
selain yang terjadi pada kondisi normal. Dengan tidak adanya alasan komersial untuk
lisensi “under-fill”, negara-negara anggota dapat meminta pemegang lisensi ini untuk
disiapkan bagi pengguna potensial lainnya. Negara anggota harus menyediakan
mekanisme realokasi efektif lisensi impor jika negara-negara anggota tidak
memberitahu tingkat kuota atau jika tingkat kuota hanya terpenuhi maksimum 65
persen.
3.3. Kompetisi Ekspor
Kompetisi Ekspor adalah pilar lain dari negosiasi pertanian WTO dan mencakup
subsidi ekspor komoditas pertanian, kredit ekspor pertanian, bantuan pangan, dan
kegiatan ekspor pertanian oleh parastatal/State Trading Entreprise (STE). Hal ini
bertujuan untuk menjaga agar pasar dapat berfungsi secara baik dan memfasilitasi
persaingan yang adil di antara pelaku pasar.
Konferensi tingkat menteri di Hong Kong pada tahun 2005 menargetkan untuk
menghapuskan subsidi ekspor pada tahun 2013 oleh negara-negara anggota yang
akan dicapai dalam konteks hasil keseluruhan negosiasi DDA. Namun, langkah-
langkah ini tidak dapat dilakukan mengingat bahwa DDA masih belum dapat
20
dituntaskan. Proposal awal paket Bali berisi himbauan penghapusan batas nilai yang
diijinkan untuk subsidi ekspor, ketentuan tersendiri berlaku untuk volume, beberapa
ketentuan untuk jangka waktu pembayaran maksimum kredit ekspor, dan ketentuan
perlakuan SDT untuk negara-negara berkembang.
Deklarasi tingkat Menteri di Bali mengakui pentingnya keputusan terkait
perdagangan dan menyesalkan tidak adanya kesepakatan yang dapat dicapai pada
tahun 2013 terkait dengan aspek penghapusan subsidi ekspor dan tindakan yang
setara. Sebaliknya, konferensi Bali menunjukkan bahwa Deklarasi politik tingkat
Menteri menegaskan komitmen untuk penghapusan secara paralel segala bentuk
subsidi ekspor dan semua tindakan ekspor dengan efek setara, mendorong reformasi
ke arah itu, dan menahan diri dalam penggunaannya. Hal ini juga berisi ketentuan
tentang peningkatan transparansi meliputi semua tindakan persaingan ekspor dengan
maksud untuk menginformasikan negosiasi lebih lanjut.
Masyarakat memiliki berbagai kepentingan dalam isu-isu perdagangan
pertanian khususnya yang mempengaruhi antara lain ketersediaan dan pengeluaran
untuk pangan. Praktek subsidi mendistorsi perdagangan dan produksi pertanian
dunia, menekan petani miskin di negara-negara berkembang yang sebagian besar
dalam keadaan sulit. Subsidi ini meningkatkan inefisiensi dan membebankan biaya
tinggi kepada konsumen dan pembayar pajak di negara pemberi subsidi.
Efek negatif dari subsidi yang sebagian besar ditransmisi melalui pasar dunia
dan dampaknya terhadap konsumen akan berbeda-beda tergantung pada status
negara terkait apakah sebagai eksportir neto, importir neto atau negara ketiga.
Subsidi ekspor di NM telah terbukti merugikan eksportir pertanian di negara miskin
karena tidak dapat bersaing dan menyebabkan berkurangnya pendapatan ekspornya.
Sementara Negara maju (NM) mendapat keuntungan peningkatan kesejahteraan dari
negara-negara pengimpor yang memiliki tingkat swasembada pangan rendah. Oleh
karena itu, liberalisasi pertanian harus dilakukan dengan mempertimbangkan
konsumen dan tidak dengan biaya produsen.
21
3.4. Special and Differential Treatment
Special and Differential Treatment (SDT) sudah lama menjadi isu yang krusial
dalam perundingan putaran Doha. Pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan bagi negara-negara berkembang dan negara-negara yang kurang
berkembang (least developing countries/LDC) agar dapat mengintegrasikan sistem
perdagangannya ke arah sistem perdagangan multilateral. Pada pertemuan tingkat
menteri di Jenewa tahun 2011, para menteri negara-negara anggota WTO sepakat
untuk menyelesaikan suatu “monitoring mechanism” yang dapat dilakukan secara
berkala akan adanya SDT ini.
Pada tahun 2003 di Cancun, telah disepakati adanya prinsip utama dalam 28
SDT proposal, dari yang awalnya sebanyak 88 SDT proposal yang diajukan. Namun
demikian pada tahap akhir, para menteri perdagangan negara anggota belum
berhasil mencapai suatu kesepakatan, sehingga semua proposal SDT terpaksa
“menunggu” dan belum dapat diimplementasikan. Dua tahun kemudian, pada tahun
2005, di Hongkong ditinjau kembali namun masih belum terjadi kesepakatan lagi.
Pada tahun 2011, di Jenewa, pada saat konferensi tingkat menteri, kembali ditinjau
dan komite perdagangan dan pembangunan (Committee on Trade and
Development/CTD) melihat dan menata ulang proposal yang dulu telah diajukan,
namun juga belum berhasil mencapai kesepakatan.
Pada konferensi tingkat menteri yang ke sembilan di Bali, ditinjau kembali isu
SDT ini, karena merupakan suatu isu tentang development yang diajukan oleh
negara-negara berkembang. Di Bali, isu SDT ini disepakati mengerucut pada
“monitoring mechanism”, yang bertujuan mereview kemudahan atau provisi yang
diberikan oleh sistem perdagangan multilateral kepada negara-negara berkembang.
Negosiasi tentang SDT ini berawal dari adanya usul dari grup negara-negara
Afrika yang disetujui oleh General Council di bulan Juli 2002 dan awalnya hanya
bagaimana agar special session pada CTD (CTD-SS) dapat bekerja dan
mengimplementasi hasil perundingan yang disepakati. Namun akhirnya berkembang
menolak sedemikian rupa sehingga pandangan negara maju terhadap negara
berkembang menjadi terbelah dengan adanya perbedaan diantara sesama negara
22
berkembang tersebut, negara mana yang mendapat SDT dan mana yang tidak. Hal
inilah yang merupakan isu yang sangat kontroversial.
Menjelang konferensi tingkat menteri di Bali 2013, negara-negara anggota
berusaha menyeimbangkan antara upaya negara-negara maju yang tidak
menginginkan adanya forum negosiasi permanen dengan upaya negara-negara
berkembang yang menginginkan hal yang bukan hanya isu transparansi saja. Namun
demikian pada bulan November 2013, disepakati sementara bahwa draft text yang
ada telah mencantumkan monitoring mechanism dapat berfungsi sebagai titik tolak
bagi WTO untuk mengimplementasikan provisi atau kemudahan dalam SDT.
Apabila disepakati, maka monitoring mechanism, sesuai dengan draft text
yang telah disepakati, akan memberitahukan kepada WTO untuk kembali bekerja
sesuai dengan mandat yang diberikan. Apabila disepakati, maka Committee on Trade
and Development (CTD) akan bertemu dua kali dalam setahun, dan dapat bertemu
lebih dari itu bila diperlukan. Hasil dan rekomendasi dari komite ini akan dilaporkan
pada General Council, sebagai pengambil keputusan tertinggi. Menurut text yang
disepakati di Bali, monitoring mechanism akan direview 3 tahun setelah pertemuan
formal pertamanya.
3.5. Isu Pembangunan dan LDC.
Isu-isu yang menjadi prioritas bagi negara-negara LDCs dalam draft texts
adalah: rules of origin (RoO), operationalising the service waiver, duty-free quota-
free (DFQF), akses pasar (market access) dan isu kapas (cotton). Isu rules of origin
(RoO) bagi negara-negara LDC dirasakan terlalu restriktif dan sangat kaku dalam
implementasi. Rules of origin adalah economic nationality on products yang
diperdagangkan lintas batas negara, atau dengan perkataan lain adalah asal negara
produk yang diperdagangkan tersebut. Dalam definisi ini ditentukan pula seberapa
besar pengolahan terhadap produk itu dilakukan sebelum produk tersebut diekspor.
Seperti telah disebutkan di atas, untuk negara-negara LDCs, preferensi rules of origin
ini dianggap sangat membatasi ruang gerak ekspor dan menyulitkan sehingga tidak
dapat dimanfaatkan oleh negara-negara LDC.
23
Meskipun terjadi kebuntuan dalam negosiasi untuk isu-isu lainnya, namun isu
LDC selalu mendapatkan pengecualian dan perhatian khusus. Pada tahun 2011, para
menteri sepakat memberikan waiver atau pengecualian bagi negara-negara kurang
berkembang (LDCs) agar mendapatkan perlakuan khusus atau preferential treatment.
Negara-negara anggota berkomitmen untuk merevisi guideline agar memudahkan
negara-negara miskin atau kurang berkembang untuk dapat masuk menjadi anggota
WTO. Revisi guidelines ini disetujui oleh General Council pada bulan Juli 2012, isinya
mencakup akses pasar, special and differential treatment (SDT), periode transisi,
transparansi, dan bantuan teknis.
Yemen menjadi negara ke tujuh dari group LDC yang masuk menjadi anggota
WTO dan Yemen mendapat waktu yang cukup untuk meratifikasi paket aksesinya.
Pada bulan Juli 2013, para menteri negara-negara anggota WTO juga sepakat untuk
memperpanjang waktu masa transisi menjadi sampai dengan bulan Juli 2021 bagi
negara-negara LDCs untuk mengimplementasi WTO rules di bidang Hak dan
Kekayaan Intelektual (HAKI atau Intellectual Property Rights/IPR). Pada awalnya
masa transisi ini hanya diberikan sampai bulan Juli 2013 saja.
Pada Oktober 2013, negara-negara LDCs telah menyampaikan aspek teknis
dari preferential RoO beserta beberapa metodologi untuk pengukurannya. Pada saat
ini, draft kesepakatan mengenai RoO masih bersifat panduan yang tidak mengikat
(non-binding guidelines), sehingga negara-negara maju memiliki kebebasan untuk
mengikuti panduan tersebut ataupun tidak. Mengingat keterbatasan yang dihadapi,
maka negara-negara LDCs berkeinginan untuk menggunakan ambang batas nilai
tambah yang serendah-rendahnya, dan kalau memungkinkan dapat memiliki foreign-
input sampai 75 percent dari nilai produk, agar dapat qualified untuk preferential
RoO. Namun demikian, negara-negara LDC juga menginginkan pengecualian bagi
produk-produk yang menjadi andalannya, seperti pada produk pakaian jadi
(clothing).
Services waiver telah disepakati pada tahun 2011, namun belum pernah
dimanfaatkan oleh negara-negara LDCs dan belum pernah dipergunakan oleh mitra
dagangnya. Service-waiver diawali dari perundingan WTO‟s General Agreement on
24
Trade in Services (GATS) pada article IV, bahwa LDCs harus diberikan “special
commitments” dan “special priority”. Di tahun 2005, pada konferensi tingkat menteri
di Hongkong disepakati akan adanya keperluan “appropriate mechanism for
according special priority” dan kemudian pada tahun 2008 disepakati bahwa
mekanisme implementasinya adalah berupa “waiver”.
Negara-negara anggota LDC juga telah menyampaikan akan pentingnya
bantuan teknis dan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia, seperti contohnya
melalui inisiatif Aid for Trade (AfT) untuk mengatasi keterbatasan yang ada di LDCs.
Dalam negosiasi tentang “cotton” (kapas), grup negara-negara Afrika yang tergabung
dalam produsen kapas, seperti negara Benin, Burkina Faso, Chad dan Mali,
menyampaikan proposal yang dikenal sebagai C-4; dan telah dinegosiasikan sejak
tahun 2005. Negara-negara ini berjuang untuk mengubah WTO‟s rules on cotton
yang dianggap merugikan produsen kapas di negara-negara yang sangat tergantung
pada ekspor kapas. Hal ini terjadi akibat skema subsidi yang tinggi di negara-negara
maju mengakibatkan harga kapas dunia menjadi rendah. Pada akhirnya, negara-
negara anggota WTO terus berusaha meneruskan negosiasi yang telah disepakati
pada tahun 2005 dan menggunakan revised draft agriculture modalities tahun 2008
sebagai referensi.
Mengenai duty-free quota-free (DFQF), konferensi tingkat menteri di Singapur
tahun 1996 telah menginisiasi DFQF untuk negara-negara LDCs, namun baru 5 tahun
berikutnya disepakati dan belum dapat diimplementasikan. Pada tahun 2005, para
menteri perdagangan menyepakati tambahan (annex) dalam deklarasinya yang
menyatakan bahwa semua negara berkewajiban untuk dapat mengimplementasikan
DFQF akses pasar bagi semua produk yang berasal dari negara-negara LDCs. Draft
text yang ada saat ini, menyepakati bahwa negara-negara maju harus meningkatkan
DFQF untuk negara-negara LDCs, sehingga dapat memberikan akses pasar bagi
negara-negara LDCs. Pelaksanaan DFQF ini harus dinotifikasi sehingga dapat
meningkatkan transparansi. Komite pada perdagangan dan pembangunan (CTD)
akan mereview setiap tahun terkait upaya peningkatan DFQF ini dan selanjutnya
akan dilaporkan ke General Council untuk implementasi penerapannya.
25
Pada tahun 1996, Konferensi Tingkat Menteri di Singapura, Negara anggota
WTO berpendapat bahwa tujuan pemberian DFQF untuk produk dari LDC dan pada
tahun 2001, para menteri berkomitmen untuk menyediakan akses pasar khusus
untuk produk yang berasal dari LDCs. Pada tahun 2005, para menteri perdagangan
mencapai terobosan ketika Deklarasi Menteri di Hong Kong dari Negara anggota WTO
dimasukkan dalam lampiran yang secara eksplisit menyatakan bahwa para negara
anggota yang termasuk dalam criteria tersebut harus menerapkan akses pasar DFQF
untuk semua produk yang berasal dari LDC. Negara anggota yang tidak dapat
memenuhi komitmen ini diberikan pilihan untuk menyediakan akses DFQF untuk 97
persen dari produk yang berasal dari LDCs dalam proses pencapaian komitmen
penuh. Bagi banyak negara maju, tiga persen dari pos tarif dikecualikan dapat
mencakup lebih dari 90 persen dari total impornya dari LDCs, dan produk-produk
tersebut yang dikenai tingkat tarif yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa LDCs saat
ini tidak benar-benar mendapatkan manfaat dari pengaturan DFQF ini.
Negosiasi DFQF menunjukkan kemajuan substansi yang sangat sedikit dengan
perdebatan terutama terfokus lebih pada potensi keuntungan yang dapat dicapai
berdasarkan skema DFQF 97 persen sebagai alternative dari cakupan penuh. Bahkan
dalam Group LDC sendiri, masalah ini telah menyebabkan beberapa konflik
mengingat bahwa beberapa negara anggota mengkhawatirkan kemungkinan adanya
erosi preferensi yang akan menyebabkan beberapa LDC kehilangan manfaat dari
perlakuan istimewanya.
Teks yang diadopsi di konferensi tingkat Menteri di Bali, lebih mendorong
negara maju dan negara berkembang untuk meningkatkan cakupan DFQF untuk
produk dari LDC agar dapat memfasilitasi akses pasar yang lebih besar. Hal ini
menginstruksikan negara anggota WTO agar memberitahukan DFQFnya kepada LDCs
melalui Mekanisme Transparansi untuk Pengaturan Preferential Trade dan
mendorong Komite Perdagangan dan Pembangunan (CTD) untuk melakukan tinjauan
tahunan terhadap upaya yang dilakukan untuk memberikan akses pasar kepada LDC
melalui skema DFQF, memberikan laporan kepada Dewan Umum terkait dengan
upaya yang tepat. Keputusan ini merepresentasikan komitmen politik dari sebagian
26
negara anggota WTO untuk membantu LDC berintegrasi ke dalam sistem
perdagangan multilateral.
Meskipun pilar ini menunjukkan hasil yang kecil secara global, namun memiliki
konsekuensi besar bagi perekonomian negara-LDC. Mengingat bahwa LDCs belum
dapat memperoleh banyak manfaat dari sistem perdagangan global. Keputusan
menteri ini bertujuan untuk lebih memudahkan peningkatan manfaat perdagangan
terhadap perekonomian negara-LDC dengan lebih meningkatkan peluang akses
pasarnya. Terlepas dari dampak sosial-ekonomi akses pasar DFQF yang signifikan,
negara anggota WTO tidak terikat dengan ketentuan tersebut. Akibatnya, walaupun
telah ada banyak kemajuan terkait dengan DFQF, namun banyak negara miskin
masih berjuang untuk dapat mengakses pasar NM karena kapasitas yang tidak cukup
untuk bersaing dengan negara yang lebih besar yang dapat memperoleh keuntungan
dari skala ekonomi.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Hufbauer dan Shcott (2013) menunjukkan
bahwa jika OECD dan negara-negara berkembang memperluas akses pasar DFQF
menjadi 100 persen dari semua produk yang berasal dari LDCs, maka LDC dapat
memperoleh keuntungan ekspor sekitar delapan miliar dolar, meningkatkan GDP
sekitar tujuh miliar dolar dan menciptakan 746.000 lapangan kerja baru. Hal ini
merupakan hasil dari komitmen politik yang dinyatakan oleh sebagian negara
anggota, sementara masih belum diwajibkan dalam keputusan menteri, terkait
dengan DFQF menunjukkan potensi untuk meningkatkan kesempatan bagi LDCs.
Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam membangun komitmen
yang mengikat.
Sementara perdagangan sektor jasa global menjadi semakin penting, didorong
oleh semakin pentingnya rantai nilai global, partisipasi LDC tetap rendah. Menurut
WTO, perdagangan Sektor jasa hanya menyumbang sekitar 0,6 dan 1,7 persen
masing-masing untuk ekspor dan impor negara-LDC sedangkan secara global
perdagangan Sektor jasa saat ini menyumbang sekitar 70 persen terhadap PDB dunia
dan menyerap sebanyak 45 persen dari total tenaga kerja dunia (Hufbauer dan
Shcott, 2013).
27
Sektor jasa telah menjadi pendorong utama terhadap pertumbuhan dan
pembangunan di LDC dan pada tahun 2011, sektor jasa menyumbang sekitar 47
persen dari total PDB negara-LDC secara keseluruhan. Pemanfaatan sektor jasa tidak
hanya membantu untuk membuka potensi pertumbuhan lebih lanjut, tetapi juga
dapat membantu mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup melalui
akses yang lebih besar ke sektor jasa yang tersedia. Hal ini sangat penting mengingat
semakin banyak bukti adanya hubungan yang kuat antara ekspor sektor jasa, PDB
dan pengentasan kemiskinan serta manfaat peningkatan nilai tambah yang lebih
tinggi dan kegiatan keterampilan intensif.
“Waiver” Sektor jasa berawal dari pengembangan ketentuan Pasal IV
Perjanjian WTO General Agreement on Trade and Services (GATS). Hal ini
mengharuskan negara anggota untuk memfasilitasi peningkatan partisipasi negara-
negara berkembang dalam perdagangan sektor jasa dan menyatakan bahwa LDCs
harus diberikan prioritas khusus. Selain itu, menginstruksikan negara anggota untuk
menyepakati seperangkat pedoman negosiasi LDC untuk memberikan rincian/tahapan
mekanisme pemberian prioritas ini.
Di konferensi tingkat Menteri di Hong Kong, negara anggota menegaskan
perlunya pengembangan mekanisme yang sesuai untuk mengakomodasi prioritas
khusus dan tiga tahun kemudian, pada tahun 2008 disepakati bahwa mekanisme ini
akan diakui sebagai bentuk “waiver”. Pada tahun 2011, negara anggota mengadopsi
“waiver” yang menggunakan pendekatan dua arah. Disepakati bahwa preferensi
akses pasar seperti yang dijelaskan dalam GATS Pasal XVI akan secara otomatis
tercakup oleh “waiver”, sedangkan langkah-langkah akses non-pasar tidak akan
secara otomatis tercakup tetapi dapat disahkan oleh Dewan Perdagangan Sektor jasa
WTO (CTS). Meskipun telah diadopsi pada tahun 2011, “waiver” tidak dapat
dioperasionalkan untuk memenuhi tuntutan LDCs, perlu tindakan lebih lanjut untuk
operasionalisasinya.
Dalam rangka mewujudkan potensi manfaat ekonomi “waiver” sektor jasa
yang diadopsi di konferensi tingkat Menteri pada 2011, draft keputusan yang
diajukan dan diadopsi pada konferensi tingkat Menteri di Bali dimaksudkan untuk
28
mencari operasionalisasi yang cepat dan efektif “waiver” melalui review berkala yang
dilaksanakan oleh CTS.
Menteri-menteri perdagangan sepakat untuk bekerjasama guna meningkatkan
partisipasi LDCs dalam perdagangan sektor jasa global dan membuat keputusan
untuk mempromosikan pemberian preferensi untuk LDCs berdasarkan “waiver”
Sektor jasa LDC. Keputusan menteri juga menyatakan bahwa pertemuan tingkat
tinggi Komite Perdagangan Sektor jasa akan berlangsung enam bulan setelah LDCs
mengirimkan permintaan kolektif yang mengidentifikasi sektor dan model pasokan
yang menarik bagi LDC dan semua negara (maju dan berkembang) dalam posisi
untuk melakukan kesepakatan diharapkan untuk menunjukkan perlakuan istimewa
kepada LDC dan membuka peluang di sektor jasa.
Sementara komitmen “waiver” Sektor jasa pada konferensi tingkat Menteri
tahun 2011 merupakan langkah maju yang signifikan untuk LDCs, “waiver” hanya
akan memberikan manfaat ekonomi sejauh dioperasionalkan dengan cara yang benar
secara komersial. Situasi ekonomi LDC dan pembangunannya, perdagangan dan
keuangan telah menghalangi LDC untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam sistem
perdagangan multilateral dan memperoleh pangsa yang memadai dalam
pertumbuhan perdagangan Sektor jasa dunia. Sejauh ini, tidak ada permintaan untuk
menggunakan “waiver” oleh LDCs, dan tidak ada preferensi yang diberikan oleh mitra
dagang LDC. Banyak upaya yang masih harus dilakukan untuk memastikan bahwa
LDCs memperoleh manfaat dari partisipasinya pada ekspor Sektor jasa global.
Untuk mengoperasionalkan “waiver”, semua mitra dagang perlu
mengidentifikasi kondisi di mana LDC dapat memperoleh keuntungan dari preferensi
komersial yang bermakna. Kesulitan evaluasi terletak pada informasi yang rinci yang
diperlukan untuk membuat penilaian yang mendasar. Upaya yang saat ini sedang
dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang ekspor Sektor jasa LDC, target
pasar dan hambatan yang ada sebagai langkah pertama dalam merancang
kemungkinan permintaan bersama negara-LDC untuk preferensi yang bermakna.
Sementara itu, LDCs dan mitra dagangnya perlu untuk melangkah dengan ide-ide
dan masukan terkait dengan cara untuk mengoperasionalkan “waiver”. Untuk tujuan
29
ini, LDC menekankan perlunya peningkatan bantuan teknis dan peningkatan
kapasitas, antara lain melalui inisiatif bantuan perdagangan untuk mengatasi kendala
di sisi pasokan yang menjadi ketentuan asal barang.
3.6. Ketentuan Asal Barang (RoO)
Ketentuan Asal barang (RoO) diberlakukan untuk produk menurut negara
produsennya yang diperdagangkan melintasi batas negara, dan menentukan berapa
tingkat proses yang dapat dilakukan secara lokal sebelum produk dianggap sebagai
produk dari negara pengekspor. Dalam kasus LDCs, preferensial RoO sering dianggap
terlalu membatasi dan tidak fleksibel, sehingga sulit bagi LDC untuk mendapat
keuntungan dari preferensi yang dimaksud. Bagi banyak eksportir LDC, ketentuan
originalitas ini menghambat LDC dalam mengakses pasar potensial.
Pada awalnya para negosiator mencoba untuk mengatasi masalah ini dalam
konteks inisiatif DFQF yang akhirnya diadopsi pada Konferensi Tingkat Menteri Hong
Kong pada tahun 2005. Deklarasi Menteri di Hong Kong menyerukan upaya untuk
menyederhanakan proses preferensial RoO dan membuatnya menjadi lebih
transparan dan membuat landasan untuk proposal yang lebih rinci tentang reformasi
RoO.
Dalam rangka untuk secara efektif memfasilitasi akses pasar bagi LDCs
berdasarkan pengaturan perdagangan non-timbal balik, draft keputusan yang
berkaitan dengan ketentuan asal barang telah disepakati oleh para Menteri di Bali.
Keputusan menteri berisi seperangkat pedoman multilateral untuk aturan asal barang
negara anggota WTO harus mengaplikasikan skema preferensi non-timbal balik untuk
LDCs agar membuatnya lebih mudah dalam melakukan ekspor ke pasar preferensial.
Keputusan di Bali memutuskan bahwa setiap negara akan memberikan
preferensi perdagangan kepada LDCs agar dapat memiliki metode sendiri untuk
menentukan aturan asal barang, dan mempersilahkan negara anggota untuk
memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang tercakup dalam keputusan ketika akan
mengembangkan atau membangun aturan asal barang dari masing-masing LDCs.
30
Pengalaman sebelumnya telah menunjukkan bahwa dalam program preferensi
tertentu seperti program Negara-negara Uni Eropa yang menawarkan 100 persen
cakupan untuk produk dari LDC, skema tersebut sering berisi pembatasan atau tidak
fleksibel untuk menentukan kelayakan produk. Sementara aturan tersebut dirancang
untuk memastikan bahwa transformasi substantial input terjadi di eksportir LDC,
aturan ini seringkali rumit dan dengan demikian sulit untuk dipenuhi.
Ketentuan RoO ini dalam bentuk pedoman yang tidak mengikat karena itu
Negara-negara maju dapat memilih akan mengadopsi ketentuan ini atau tidak.
Sementara itu, dalam panduan menjelaskan bahwa keputusan menteri di Bali dapat
memberikan dampak positif pada LDC jika diikuti oleh Negara-negara maju dan
negara berkembang, masih harus dilihat apakah negara anggota WTO akan benar-
benar menggunakan panduan ini untuk merancang preferensial RoO untuk LDCs
karena panduan tersebut tidak wajib untuk dilaksanakan.
Ketentuan Perlakuan khusus dan berbeda (SDT) memberikan berbagai
fleksibilitas kepada NB dan LDC anggota WTO. Ketentuan ini mencakup berbagai
ketentuan termasuk meningkatkan peluang perdagangan, menjaga mengembangkan
dan kepentingan LDC, pemberian periode transisi yang lebih lama dan memberikan
bantuan teknis. SDT telah lama dianggap sebagai bagian penting dari agenda
pembangunan Putaran Doha. Mekanisme pemantauan awalnya diciptakan sebagai
sarana untuk membantu mengembangkan dan mengintegrasikan LDC ke dalam
sistem perdagangan multilateral dengan mengevaluasi manfaat dari perlakuan khusus
tersebut.
Usulan untuk membentuk Mekanisme Pemantauan ketentuan SDT
disampaikan oleh kelompok Afrika pada tahun 2002. General Council sepakat untuk
membentuk mekanisme dan kemudian menginstruksikan Sidang Istimewa CTD untuk
menguraikan fungsi, struktur dan kerangka acuan mekanisme tersebut. Pada
Konferensi Tingkat Menteri di Jenewa pada tahun 2011, para menteri sepakat untuk
mempercepat finalisasi Mekanisme Pemantauan.
Keputusan Menteri yang diadopsi terkait mekanisme pemantauan
menunjukkan bahwa mekanisme harus berlaku sebagai focal point untuk
31
menganalisis dan meninjau semua aspek pelaksanaan ketentuan SDT dan
mengidentifikasi masalah. Mekanisme untuk membuat rekomendasi, termasuk untuk
memulai negosiasi yang relevan dan bertanggung jawab atas substansi teknis.
Mekanisme pemantauan akan menyediakan sebuah forum untuk memantau masalah
SDT, dengan tujuan meningkatkan kemampuan negara penerima agar dapat
memanfaatkannya. Secara khusus, pemantauan akan memberikan ulasan reguler
tentang ketentuan SDT yang ada dalam perjanjian multilateral WTO dan pembuatan
rekomendasi. Mekanisme pemantauan menandai langkah penting dari sistem
perdagangan multilateral dalam merespons kekhawatiran negara-negara
berkembang.
Sementara itu, tidak terbatas hanya pada LDCs, penerapan mekanisme ini
dapat memberikan dampak positif bagi LDCs. Mekanisme pemantauan ini
dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah ke mekanisme tinjauan yang relevan
dan akan mampu menempatkan penekanan pada efektivitas ketentuan SDT serta
memberikan LDC sebuah forum di mana LDC dapat mengangkat isu-isu dan kesulitan
yang dihadapi dalam pelaksanaan ketentuan ini.
4. Analisis Dampak Paket Bali
Pada bagian ini disajikan hasil estimasi dampak implementasi paket Bali
terhadap perekonomian Indonesia. Tiga isu penting yang dianalisis adalah aspek
terkait dengan pertanian, subsidi ekspor dan fasilitas perdagangan. Negosiasi bidang
pertanian ditekankan pada isu cadangan pangan public. Beberapa produk pangan
Indonesia diusulkan untuk memanfaatkan mekanisme Peace Clause, prioritasnya
adalah Beras karena hanya beras yang sudah dinotifikasi. Namun Kedelai, Jagung,
Daging dan Gula akan diusulkan juga sebagai staple food yang akan dijadikan
sebagai pangan yang dijadikan cadangan pangan oleh pemerintah. Selain itu untuk
permanent solution diusulkan de minimis meningkat dari 10% menjadi 15% dari total
nilai produksi komoditas pertanian terkait. Oleh karena itu pada kajian ini
disimulasikan subsidi pemerintah meningkat sebesar 50% dari total subsidi saat ini.
32
Subsidi ekspor langsung antara lain terdiri dari: (1) Penjualan cadangan
pangan yang terdiri dari produk pertanian untuk ekspor dengan harga di bawah
harga barang-barang yang sama di pasar domestik; (2) Subsidi financial kepada
produsen, misalnya program pemerintah yang memberlakukan retribusi pada
keseluruhan produksi yang kemudian digunakan untuk mensubsidi ekspor sebagian
dari produksi tersebut; (3) Upaya pengurangan biaya seperti subsidi untuk
mengurangi biaya pemasaran barang yang diekspor, termasuk biaya penanganan dan
pengiriman internasional; (4) Subsidi transportasi yang diterapkan untuk ekspor saja,
seperti yang dirancang untuk membawa produk ekspor ke lokasi pengiriman; dan (5)
Subsidi pada produk yang merupakan bagian dari produk ekspor. Misalnya, subsidi
untuk gandum yang merupakan bagian dari produk ekspor biskuit. Hufbauer dan
Schott (2013) menyatakan jika semua negara anggota WTO melakukan komitmen
penghapusan subsidi ekspor maka nilai perdagangan dunia akan meningkatkan
sekitar 50%. Kontribusi ekspor Indonesia terhadap ekspor dunia hanya sekitar 3.9%.
Oleh karena itu kajian ini melakukan scenario peningkatan ekspor Indonesia sebesar
10% dan 25%.
Fasilitasi Perdagangan bertujuan untuk pengurangan potensi biaya perdagangan
dan membuat komitmen prosedur dan regulasi bea cukai. Fasilitasi Perdagangan
terdiri dari ketersediaan informasi; keterlibatan masyarakat pada aktvitas
perdagangan; Uang muka; Produser tarif dan biaya; dokumen; otomatisasi; Prosedur
kerjasama intern; kerjasama eksternal; dan Consularization yang mengacu pada
prosedur untuk memperoleh fasilitas dari konsulat negara pengimpor, dokumentasi
kepabeanan yang berkaitan dengan mengimpor, seperti faktur konsuler atau visa
untuk faktur komersial, dan sertifikat asal. Menurut Hufbauer dand Schott (2013) jika
semua negara anggota WTO melakukan fasilitasi perdagangan maka biaya
perdagangan dunia akan turun sekitar 10%. Pengurangan biaya perdagangan berasal
dari pemberian uang muka sekitar 3,7%; Produser tarif dan biaya sekitar 1,7%;
dokumen formal sekitar 0,2%; otomatisasi sekitar 2,7%; Prosedur sekitar 5,4%;
kerjasama eksternal sekitar 1,2%. Dalam kajian akan dilakukan scenario penurunan
biaya perdagangan sebesar 5% dan 10%.
33
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ke-9
yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 3-6 Desember 2013 telah menghasilkan
kesepakatan Bali (Bali Package). Paket Bali mencakup tiga isu utama yang terdiri
dari „trade facilitation‟, „public stockholding for food security‟ dari G33, dan „LDCs
issues‟, atau paket pembangunan negara-negara kurang berkembang (Least
Developed Countries). Paket Bali ini akan dijadikan sebagai kesepakatan cepat dan
mudah disetujui (early harvest) dalam rangka penyelesaian negosiasi Putaran Doha
yang telah mengalami deadlock sejak tahun 2001.
Dari tiga elemen Paket Bali tersebut, yang banyak disorot adalah perjanjian
fasilitasi perdagangan dan isu pertanian, khususnya terkait dengan pembentukan
stok pangan bagi masyarakat miskin dan kelonggaran subsidi bagi petani miskin.
Dengan peace clause yang akan diberlakukan selama paling tidak empat tahun ke
depan atau maksimal sampai dicapainya solusi permanen, negara berkembang dapat
memberikan dukungan domestik melebihi yang disepakati Putaran Uruguay 1986-
1994, yakni 10 persen dari nilai total output pertanian, tidak akan dituntut/dibawa ke
panel sengketa WTO.
Kesepakatan tersebut juga akan memberi ruang bagi Indonesia untuk
memberikan subsidi pada sektor pertanian karena tidak akan dianggap menyalahi
perjanjian sepanjang tidak mengganggu pasar negara lain. Meskpiun demikian seiring
dengan berbagai perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara
berkembang, berbagai kekuatiran telah muncul terhadap implikasi dari Paket Bali bagi
sektor pertanian di Indonesia.
Apalagi saat ini Indonesia dinilai masih dominan menjadi "pasar" negara
lainnya karena kalah bersaing dengan produk pertanian impor. Nilai impor pangan
Indonesia pada 2014 sekitar US$ 178 miliar lebih besar dari nilai ekspor yang hanya
US$ 176 miliar. Oleh karena itu, analisis dampak dari implementasi Paket Bali
terhadap kinerja perekonomian Indonesia penting untuk dilakukan. Analisis tersebut
akan dilakukan dengan dua skenario, antara lain; (1) Optimis; peningkatan ekspor
Indonesia sebesar 10%, peningkatan subsidi sekitar 50% dan penurunan biaya
perdagangan di Indonesia sekitar 10%; dan (2) Pesimis; peningkatan ekspor
34
Indonesia sebesar 10%, peningkatan subsidi sekitar 50%, penurunan biaya
perdagangan di Indonesia sebesar 5%. Berikut ini diuraikan secara ringkas dampak
implementasi paket Bali dilihat dari aspek ekonomi makro, output, harga output,
ekspor, dan impor dengan menggunakan model IndoTerm.
Gambar 1. Dampak Implementasi Paket Bali Terhadap Beberapa Indikator
Makroekonomi Keterangan: 1. Sim-1 (Optimis); peningkatan ekspor Indonesia sebesar 10%,
peningkatan subsidi sekitar 50% dan penurunan biaya perdagangan di Indonesia 10%; dan
2. Sim-2 (Pesimis); peningkatan ekspor Indonesia sebesar 10%,
peningkatan subsidi sekitar 50% di sektor pangan strategis, penurunan biaya perdagangan di Indonesia sebesar 5%.
Makroekonomi. Dampak implementasi paket Bali terhadap variabel-variabel
makroekonomi disajikan pada Gambar 1. Hasil analisis menunjukkan bahwa
perubahan persentase riil GDP adalah positif dengan nilai pada simulasi optimis (Sim-
1) dan pesimis (Sim-2) masing-masing sebesar 0,74% dan 1,47%. Peningkataan riil
GDP ini terlihat masih relatif kecil karena peningkatan nilai impor lebih besar dari nilai
ekspor. Selain itu, penurunan nilai CPI, yaitu 0,25% (Sim-1) dan 0,37% (Sim-2) juga
turut menekan indek harga terutama untuk berbagai komoditas primer.
Output dan harga komoditas. Keterkaitan perubahan nasional output dan
harga komoditas, khususnya di sektor pertanian dapat dipelajari pada Gambar 2 dan
3. Implementasi paket Bali dapat mendorong peningkatan output pada berbagai
35
komoditas pertanian. Komoditas pertanian yang mengalami peningkatan output
terbesar pada simulasi optimis (Sim-1) adalah kedelai (2,19%), kemudian diikuti oleh
tebu (1,27%), peternakan (1,11%), jagung (1,06%), dan padi (0,66%). Demikian
pula pada simulasi pesimis (Sim-2), beberapa komoditas pertanian juga mengalami
peningkatan output. Peningkatan produksi ini terjadi karena komoditas tersebut
memang sudah memiliki teknologi yang cukup memadai, sehingga upaya
peningkatan subsidi untuk komoditas terkait, ekspor dan penurunan biaya transaksi
akan mendorong peningkatan produksi secara signifikan. Peningkatan produksi
kedelai sebesar 2,19% menunjukkan bahwa peningkatan subsidi yang terkait
langsung dengan usahatani kedelai akan meningkatkan produksi kedelai.
Gambar 2. Dampak Implementasi Paket Bali Terhadap Output Pertanian
Implementasi paket Bali juga mempunyai dampak terhadap peningkatan harga
dari berbagai output yang dihasilkan oleh berbagai komoditas pertanian (Gambar 3).
Peningkatan harga yang terbesar terjadi pada komoditas peternakan masing-masing
sebesar 5,89% (Sim-1) dan 9,12% (sim-2). Hal ini menunjukkan bahwa pasar
pertanian Indonesia menjadi semakin luas atau permintaan komoditas pertanian
meningkat dengan diimplementasikan paket Bali.
36
Gambar 3.Dampak Implementasi Paket Bali Terhadap Harga Output Pertanian
Ekspor dan Impor. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dampak paket Bali
terhadap kinerja ekspor dan impor dari seluruh sektor ekonomi terlihat pada Gambar
4 dan 5. Hampir semua sektor pertanian pada simulasi optimis (Sim-1) mengalami
peningkatan ekspor kecuali karet, kelapa sawit, dan kakao. Peningkatan ekspor
terbesar terjadi pada kedelai (13,13%), kemudian diikuti oleh padi (12,20%), tebu
(10,97%), jagung (6,66%) dan peternakan (5,70%). Demikian pula pada simulasi
pesimis (Sim-2), komoditas pertanian lainnya (OtherAgric) mengalami peningkatan
terbesar kemudian diikuti oleh kedelai dan jagung. Sebaliknya penurunan ekpor, baik
pada simulasi optimis maupun pesimis terjadi pada komoditas karet, kelapa sawit,
dan kakao. Hal ini diduga karena negara tujuan ekspor karet, sawit dan kakao
Indonesia masih terbatas. Disamping itu, pasar ekspor komoditas tersebut juga
masih dihadapi dengan berbagai kebijakan non tarif, serta ketatnya persaingan dari
negara eksportir lainnya.
37
Gambar 4. Dampak Implementasi Paket Bali Terhadap Volume Ekspor
Penerapan Paket Bali juga akan mendorong peningkatan jumlah impor seperti
terlihat pada Gambar 5. Pada simulasi optimis (Sim-1) terlihat padi, tebu dan jagung
mengalami penurunan impor dengan persentase yang berbeda-beda. Penurunan
impor terbesar terjadi pada padi (3,42%). Sebaliknya, pada simulasi pesimis (Sim-2),
semua komoditas pertanian mengalami peningkatan jumlah impor. Peningkatan
impor terbesar terjadi pada karet (26,72%), dan kelapa sawit (15,79%).
Gambar 5. Dampak Implementasi Paket Bali Terhadap Volume Impor
Dari hasil analisis dampak seperti diuraikan sebelumnya, khususnya pada
skenario optimis (Sim-1) menunjukkan bahwa dampak Paket Bali bagi Indonesia tidak
memberikan hambatan terhadap agenda-agenda ketahanan pangan dan
pembangunan pertanian yang selama ini telah dijalankan. Subsidi maksimal sebesar
10 persen dari total produksi pangan dalam rangka stok untuk ketahanan pangan,
38
yang menjadi isu utama dalam konferensi WTO di Bali, juga belum pernah terlampaui
oleh Indonesia. Namun demikian peace clause tetap harus dimanfaatkan dalam
upaya mendorong peningkatan kapasitas produksi pangan nasional. Demikian pula
perbaikan prosedur kepabeanan yang ada dalam Paket Bali, tidak hanya dimaksudkan
agar barang lebih mudah mengalir keluar-masuk tetapi diharapkan juga dapat
meningkatkan daya saing sektor pertanian.
Posisi pemerintah Indonesia harus tetap tegas dalam menempatkan pertanian
sebagai sektor strategis dalam pembangunan. Apalagi di sektor pertanian ini masih
banyak petani yang taraf kehidupannya perlu ditingkatkan. Demikian juga dalam
stok pangan, Indonesia tetap perlu memiliki stok pangan sebagai salah satu faktor
penunjang penting ketahanan pangan. Stok pangan nasional pada tingkat yang
aman juga tetap diperlukan untuk program-program pengentasan kemiskinan dan
menghadapi bencana. Berbagai aspek tersebut menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dalam perjuangan Indonesia di berbagai forum WTO.
5. Tindak Lanjut
Pada saat ini muncul kecencerungan untuk mengurangi topic-topik dalam
DDA, oleh karena itu Indonesia perlu mempertahankan DDA dan koreksi yang
dilakukan hanya untuk imbalances saja sehingga tidak mengabaikan development.
Perlu penyederhanaan pendekatan yang digunakan karena Draft Modalitas Revisi 3
dan 4 tidak dapat mengakomodasi putaran baru untuk isu-isu yang baru. Untuk G33,
Revisi 4 adalah mempunyai modalitas isu pertanian yang terbaik. Dengan demikian,
perlu mengidentifikasi aspek-aspek dalam Draft Modalitas Revisi 3 dan 4 yang sudah
diterima oleh Negara-negara anggota (settle), kemudian dibahas secara intensif
untuk aspek lain yang belum diterima oleh anggota.
China dan India adalah negara pemberi subsidi yang tertinggi di dunia bahkan
lebih besar dibandingkan dengan negara maju. Oleh karena itu, Indonesia harus
mengupayakan, melalui negara lain, agar Domestik support (DS) China dan India
dikurangi karena dapat menyebabkan different level of playing field. Riding the wave
walaupun DS bukan concern Indonesia karena focus Indonesia adalah Market acces
39
(MA) dan public stock holding (PSH), namun ada komponen DS di dalam PSH. Oleh
karena itu, Indonesia mengharapkan NM yang menekan China dan India agar
mendisiplinkan DSnya. Elemen kunci Draft Modalitas Revisi 4 adalah Blue Box (BB)
dan Green Box (GB) yang berdampak pada trade distorting region. Oleh karena itu,
penurunan de minimis harus diikuti oleh penurunan AMS limit. Sebetulnya
pertentangan yang terkait dengan DS hanya terjadi antara US, China dan India.
Metoda Moving Average AMS limit to product specific (PS-AMS) lebih disukai oleh
negara berkembang (NB). Indonesia tidak mempunyai AMS.
Pada saat ini negara-negara anggota ditengarai sering melakukan Box shifting
dari Blue Box (BB) dan Amber Box (AB) ke Green Box (GB) yang tidak dikenai
keharusan untuk dikurangi. Oleh karena itu perlu pengamatan terhadap GB negara
lain karena GB pada akhirnya dapat juga mendistorsi pasar. Nilai OTDS per petani
yang tertinggi adalah di negara Jepang, US dan EU13, sedangkan di negara
berkembang yang tertinggi adalah brazil sekitar US$ 323/petani, China US$ 31/petani
dan India US$ 6/petani. Sementara itu, DS per petani di Amerika Serikat adalah US$
220, China US$ 199. Nilai Overall Trade-Distorting Domestic Support (OTDS) dan GB
di US mencapai 44% dari nilai total produksi pertanian (Total Value of Production),
EU sekitar 25%, China sekitar 14%, India sekitar 11% dan Brazil sekitar 4%.
Brazil hanya berhasil membawa proposal pemotongan tariff cutting karena
proposal OTDS dan MA tidak dapat diterima oleh negara-negara anggota. Proposal
yang terkait dengan MA dihadang oleh G33 di aspek SP dan SSM yang menciptakan
ketidakpastian dan unflexibility.
China dan India sudah masuk katagori emerging economy (EE), sementara
Indonesia belum masuk sebagai bagian dari EE. Di MA proponent SP dan SSM utama
adalah Indonesia. Proposal (Non paper) dari Paraguay berisi cross cutting isu semua
aspek namun tidak mengakomodasi Special Product (SP) dan Special Safeguard
Mechanism (SSM). Jumlah SP yang dikecualikan atau tidak ada pemotongan tariff
adalah sekitar 5% dari 12% total tariff yang dikecualikan. SSM adalah topic yang
paling sulit untuk dicapai kesepakatannya atau bahkan tidak akan dicapai sama sekali
40
karena dianggap akan menyebabkan ketidakpastian. Oleh karena itu, perlu
memodifikasi SSM atau Special Safeguard (SSG) dimulai dari interest Indonesia.
SSM merupakan modifikasi dari SSG karena penerapan SSG sangat rigid dan
complicated. Tarif cut di Draft Modalitas Revisi 4 belum memasukkan flexibilitas
seperti SP dan SSM. SSG hanya untuk negara yang mempunyai AMS dan negara-
negara tertentu yang berjumlah sekitar 56 countries. Average tariff cut negara-
negara RAM adalah 36% dan minimum cut sebesar 10%. Average cut proposal
Paraguay tidak dapat menghapus high tariff dan tariff escalation karena non
concentrated rules. Sebagai Proponent SP dan SSM maka Indonesia tidak dapat
menyetujui proposal Paraguay.
India mengatakan kesepakatan terkait topic SSM sulit untuk dicapai, hal ini
berimplikasi bahwa SSM tidak masuk ke agenda rapat Revisi 4. SP dan SSM adalah
topic-topik yang membuat G33 menjadi solid, sebaliknya topic PSH ada kemungkinan
dapat membuat perpecahan di dalam G33.
Indonesia sebagai ketua G33 masih harus tetap memperjuangkan SP dan SSM.
Hal ini sangat diperlukan karena itu merupakan correcting imbalances dalam
perdagangan internasional. Selain itu SSM penting untuk menangkal jika terjadi impor
surge. SP untuk produk-produk tertentu yang sangat dilindungi untuk pengurangan
tariff walaupun harus ada disiplinnya karena WTO adalah rule based. Beberapa
metoda penerapan SSM seperti prorating, crosschecking, dan moving average
dicantumkan dalam proposal July 2014.
Situasi perdagangan dunia sebelum dan sesudah 2010 cenderung sangat
berbeda. Oleh karena itu, sudah waktunya G33 merevisi ketentuan-ketentuan dalam
SSM. Ada kecenderungan topic dalam DDA akan dikurangi oleh karena itu G33 harus
berupaya agar DDA dapat segera disimpulkan. Ketentuan yang dihasilkan pada
pertemuan di Nairobi hanya untuk mengembangkan MA saja yang cenderung
menguntungkan NM, padahal NB berkepentingan juga untuk PSH (DS) dan export
competition.
Argentina dan Paraguay mengajukan proposal sendiri untuk MA. Kelompok
negara-negara yang tergabung dalam Cairns Group (CG) mempunyai kepentingan
41
untuk membicarakan MA sehingga dihasil proposal dari kelompok beberapa negara
dan bukan merupakan proposal CG, karena tidak semua negara anggota CG setuju
dengan proposal tersebut. Demikian pula Indonesia tidak setuju dengan proposal
Argentina dan Paraguay tersebut. Untuk mengulur waktu Indonesia selalu pakai
alasan masih melakukan konsultasi dengan capital. Proposal (Non paper) CG dalam
konteks ambisi terlihat baik tetapi dalam pelaksanaannya belum tentu baik seperti
yang diharapkan.
Canada menggunakan CG untuk mengendorkan DS yang diperjuangkan oleh
negara-negara CG. Dalam konteks Export competition (EC) yang melakukan subsidi
ekspor terbesar adalah Kanada, terutama untuk processing product. Ekspor subsidi
Kanada sangat tinggi, oleh karena itu Kanada berupaya mengunci perundingan di
aspek DS supaya tidak sampai di aspek EC untuk Indonesia keluar dari CG agak
susah karena Indonesia sebetulnya mempunyai kepentingan juga di topic kompetisi
ekspor. Menurut CG, diantara negara-negara yang tergabung dalam G33 yang
mempunyai DS terbesar adalah di India, China dan Indonesia.
PSH dapat menyebabkan hal yang tidak diinginkan, misalnya komoditas yang
mendapat PSH bocor ke pasar internasional. Dengan demikian tujuan pencapaian
ketahanan pangan suatu negara akan mengganggu ketahanan pangan negara-
negara lain. Jepang mengatakan boleh berupaya mencapai ketahanan pangan tetapi
jangan dengan menggunakan PSH. Untuk Indonesia komoditas yang dapat
menggunakan PSH dalam MC9 baru untuk beras, tetapi tidak untuk komoditas selain,
oleh karena itu Indonesia akan dibawa ke Dispute Settlement Body (DSB) jika
Indonesia menggunakan skema PSH untuk komoditas selain beraas.
Australia sangat khawatir akan terjadinya trade distorting effecf dari PSH.
Salah satu cara untuk mengadres concern dari beberapa negara terkait dengan
proposal PSH adalah mendisiplinkan pelaksanaan PSH. Sebetulnya G33 tidak
mempunyai kesamaan pendapatan terkait dengan PSH karena beberapa negara tidak
mempunyai cukup budget untuk melakukan PSH.
Berdasarkan aturan WTO subsidi dapat diberlakukan untuk semua produksi.
Dengan demikian, penghitungan PSH adalah selisih harga dikalikan dengan total
42
produksi (bukan hanya yang diprocure saja). Terkait dengan hal itu G33 harus
merumuskan permanen solution yang diinginkan. Ketentuan PSH harus diputuskan
berdasarkan hasil diskusi kelompok negara-negara, sehingga tidak hanya
menguntungkan negara secara individual. Untuk mewujudkan hal ini, Indonesia akan
mendatangi beberapa negara (key member) untuk membicarakan proposal PSH yang
nantinya akan dibawa ke G33.
Isi dari Proposal July 2014 meminta agar topic PSH masuk ke GB. Oleh karena
itu, hal ini tidak akan mendapat kesepakatan dari negara-negara anggota lainnya.
Sebetulnya pada saat menuju MC9, G33 sudah mempunyai proposal (ingredient),
namun justru yang diajukan adalah proposal yang high call yaitu meminta
memasukkan PSH ke dalam komponen GB.
Permanen solution yang mungkin adalah Annex 5 Food note 2 yang berisi
antara lain memasukan procure ke GB, sehingga permanen solution yang diusulkan
sama dengan proposal 2012. Ketentuan GB adalah semua program subsidi
pemerintah yang tidak mendistorsi pasar.
Dalam menindaklanjuti hasil Pasca Bali, kebijakan pertanian yang perlu
dilakukan harus mempertimbangkan berbagai kondisi sebagai berikut (Pidato
kenegaraan Presiden RI 15 Agustus 2014): (1). Rata-rata pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,6 %/tahun; (2) Pendapatan sekitar US$ 3475 per tahun; (3) Indeks
Pembangunan Manusia sekitar 0.684; (4) Bertambahnya 8 juta konsumen kelas
menengah Indonesia per tahun; (5) Pengangguran terbuka mencapai 6%; (6)
Pengangguran muda terdidik sekitar 47%; dan (7) Indeks Gini Rasio sekitar 0,41.
Dalam konteks yang demikian kebijakan pembangunan pertanian memiliki
peranan yang strategis terhadap: (1) sumbangan terhadap PDB; (2) penyediaan
pangan; (3) bahan baku industri dan pakan; (4) bahan baku bioenergi; (5)
penyerap tenaga kerja; (6) sumber devisa negara; (7) sumber pendapatan
masyarakat, terutama di pedesaan; dan (8) pelestarian lingkungan.
Sesuai SIPP (Strategi Induk Pembangunan Pertanian) 2013-2045, pola strategi
yang diharapkan adalah: (1) Perpaduan kesepakatan perdagangan dan investasi
multilateral, regional dan bilateral; (2) mendorong liberalisasi, standardisasi dan
43
transparansi dan revolusi teknologi informasi dan transportasi; (3) pergerakan
masyarakat, barang dan informasi makin cepat; (4) menisbikan sekat-sekat antar
negara; (5) liberalisasi perdagangan berdampak pada struktur perdagangan dan
pembentukan blok perdagangan; (6) perlu diantisipasi dan memanfaatkannya dengan
baik; dan (7) perlu terus antisipasi agar semakin terbuka perdagangan dan produk
pertanian nasional tetap unggul di pasar global dan produksinya meningkat untuk
mendukung ketahanan pangan.
Berdasarkan kondisi di atas, sebagai tindak lanjut hasil Pasca Bali untuk
permasalahan bidang Pertanian adalah koordinasi lintas-kementerian untuk
mengidentifikasi program peningkatan kapasitas produksi dan produktivitas pangan
nasional, pemberdayaan petani dan pengentasan kemiskinan di pedesaan. Lebih
lanjut terkait dengan publik stockholding, tindak lanjut yang dilakukan adalah (1)
Menganalisis dan menyepakati komoditas pangan Indonesia yang akan diberikan
subsidi domestik (beras, jagung; kedelai; gula; daging sapi); dan (2) Pengajuan
komoditas PSH dan skema subsidi Indonesia untuk dinotifikasikan ke WTO.
Selain itu juga memperjuangkan Permanent Solution (G33) melalui (1)
peningkatan de-minimis dari 10% menjadi 15%; (2) Merubah „fixed external
reference price‟ dari rata-rata 1986-1988 menjadi rata-rata harga 3 tahun terakhir,
dengan memperhitungkan dampak inflasi; dan (3) Mengusulkan „procured quantity‟
sebagai „eligible production‟ dalam perhitungan subsidi. Dalam perhitungan Market
Price Support (MPS) sesuai dengan paragraph 9 Annex 3 pada Agreement on
Agriculture (AoA), sehingga perhitungan MPS menjadi sebagai berikut:
MPS = (Applied Administered Price – Fixed External Reference Price) * Eligible
Production
dimana Applied Administered Price = HPP; Fixed External Reference Price (FERP)=
rata-rata 1986-1988 VS rata-rata 3 tahun terakhir; dan Eliglible Production = Total
Production VS Procured Quantity. Sedangkan Existing Staple Food, ada dalam
ketentuan nasional sebelum Paket Bali (PP, Inpres, Kepmen).
Terkait dengan TRQ, tindak lanjut yang dilakukan adalah meningkatkan akses
pasar dari komitmen TRQ negara anggota WTO lain melalui penerapan „TRQ Underfill
44
Mechanism‟. Hal ini perlu diperhatikan oleh Indonesia karena Indonesia tidak pernah
mampu memenuhi ekspor kuota manioc ke EU. Untuk mendapatkan manfaat dari
perdagangan maka penerapan TRQ harus lebih didisiplinkan lagi.
Terkait dengan topic export competition, tindak lanjut yang harus dilakukan
adalah: (1) Indonesia menekankan dan mengusulkan perlu adanya credible and
concrete outcome dari export competition (modifikasi paragraf 8 draft text); dan (2)
Indonesia meminta negara maju untuk “exercise restraint with regards to all forms of
export subsidies and all export measures with equivalent effects”
Dengan demikian, dalam kerangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan
pangan nasional, kebijakan dan proram yang perlu dilakukan adalah: (1) Kebijakan
dan program „ekstensifikasi‟ melalui perluasan lahan, pencetakan sawah,
pembangunan sarana irigasi dan sarana pedesaan lain, harus menjadi prioritas
program nasional; (2) Kebijakan dan program „intensifikasi‟ untuk meningkatkan
produktivitas (yield) dan efisiensi; dan (3) Kebijakan dan program peningkatan mutu
dan daya saing produk pangan melalui penanganan pasca panen, antara lain melalui
proses grading untuk memenuhi standar baku mutu dengan memperluas program,
seperti penerapan Sistem Resi Gudang (SRG).
6. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Indonesia dapat mengusulkan solusi permanen (pasca paket Bali/peace clause)
antara lain peningkatan subsidi domestik sekitar 15% dari 10%, terutama pada
general services yang merupakan komponen dari GB, sehingga tidak diperlukan
adanya pengurangan. Pembangunan irigasi pertanian dan perbaikan infrastruktur
pedesaan termasuk di dalamnya modernisasi pasar tradisional dapat dioptimalkan
manfaatnya karena termasuk dalam green-box sehingga dapat masuk ke dalam
kategori yang diperbolehkan.
Indonesia dapat memanfaatkan under-filled TRQ di negara tujuan ekspor,
misalnya quota ekspor untuk cassava di pasar Eropa dapat lebih dimanfaatkan
sehingga pendapatan ekspor akan meningkat. Demikian juga komoditas pertanian
lainnya dimana Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Selain itu,
45
fasilitasi perdagangan terbukti akan meningkatkan kinerja perdagangan dunia, oleh
karena itu upaya peningkatan produksi domestik sangat diperlukan.
Posisi Indonesia terkait dengan public stockholding (PSH) harus selalu
memperhatikan kepentingan nasional tidak hanya kepentingan G33. Oleh karena itu,
Indonesia harus selalu memantau pelaksanaan PSH di negara berkembang yang lain,
mengupayakan anggaran dan penambahan komoditas yang masuk dalam PSH
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Bridges Negotiation Briefing. Special Bali Issue. An ICTSD Guide to the Proposed Bali
Package. December 2013. ICTSD.
CUTS International. 2004. Trade Facilitation Reducing the Transaction Cost or
Burdening the Poor. Jaipur. India.
G-33 Proposal on Some Elements of TN/AG/W/4/Rev.4 for Early Agreement to
Address Food Security Issues.
Horridge, M. 2003. ORANI-G: A Generic Single-Country Computable General Equilibrium Model. Notes prepared for the Practical GE Modelling Course. June
23-27, 2003. Australia: Centre ofPolicy Studies and Impact Project, Monash University.
Hufbauer, G. and Schott, J. 2013. Payoff from the World Trade Agenda, Peterson Institute for International Economics.
Jatkar, A. and C, Mukumba. 2014. Unpacking the Bali Pakage: A snapshot of the Bali Ministerial Decisions of the WTO Members. CUT‟S International. Jaipur. India.
Journal Konferensi Tingkat Menteri ke 9. Bali, Indonesia. Edisi 1-3 Desember 2013.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dan WTO. Desember 2013.
Lamy, P. 2013. A Trade Facilitation Deal Could Give a US$ 1 tn Boost to World
Economy. WTO. Geneve. Swiss.
Moore, J. C. 2007. General Equilibrium and Welfare Economic. Springer Berlin Heidelberg. New York
Post-2015 Agenda on Trade, Climate Change and Food Security. A South Asian Perspective. Sawtee. www.sawtee.org.
Ross M. Starr. 2011. General Equilibrium Theory. Cambridge University Press
WT/GC/W/688. Public Stockholding for Food Security Purposes. WTO.
Top Related