Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
KUMPULAN SOAL HUKUM ISLAM I
1. Sebutkan 5 (lima) alasan mata kuliah Hukum Islam ada di dalam kurikulum Fakultas Hukum!
Jawab:
Alasan di Fakultas Hukum di Indonesia terdapat mata kuliah Hukum Islam adalah karena:
a. Alasan Sejarah
Pada masa pemerintahan Belanda di Semua sekolah tinggi fakultas Hukum diajarkan
hukum Islam atau yang disebut Mohammedaansch recht.
b. Alasan Jumlah Penduduk
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Sejak dulu, para pegawai, para pejabat
pemerintahan dan atau para pemimpin yang akan bekerja di Indonesia selalu dibekali
dengan pengetahuan keislaman, baik mengenai lembaganya maupun mengenai
hukumnya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Muslim Indonesia.
c. Alasan Yuridis
Di Indonesia hukum Islam berlaku secara normatif dan yuridis. Undang-undang dalam
hukum positif yang mengadopsi Hukum Islam, diantaranya:
1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2) UU No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
d. Alasan Konstitusional
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Adapun tafsir dari Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yaitu:
1) Dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku suatu kaidah
yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, kaidah Nasrani
bagi umat nasrani, kaidah Hindu bagi umat Hindu, kaidah Budha bagi umat Budha.
2) Negara Indonesia Wajib menjalankan (menyediakan fasilitas) agar hukum yang
berasal dari agama yang dipeluk masyarakat Indonesia dapat terlaksana, sepanjang
pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan negara.
3) Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya
menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri
e. Alasan ilmiah
Hukum Islam sebagai bidang ilmu telah lama dipelajari dan telah mendapat pengakuan
dunia hal ini dapat dibuktikan dengan masuknya hukum Islam ke dalam daftar kode
bidang atau disiplin ilmu dan teknologi UNESCO dengan judul Islamic Law.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
2. Sebutkan pengertian, ruang lingkup, ciri-ciri, sumber dan asas dari Hukum Islam!
Jawab:
a. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah kerangka (seperangkat) hukum yang ditetapkan oleh Allah, yang
tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat, serta
alam sekitarnya tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan.
b. Ruang Lingkup Hukum Islam
Berbeda dengan hukum Barat yang membedakan bidang mu’amalat dalam hukum
privat (hukum perdata) dan hukum publik, maka dalam hukum Islam tidak
membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik.
Ruang Lingkup Hukum Islam menurut Zainuddin Ali, sebagai berikut :
1) Ibadah Sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Ibadah adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan
Allah SWT (ritual) yang terdiri atas:
a) Rukun Islam yaitu mengucapkan syahadatin, mengerjakan shalat,
mengeluarkan zakat, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan
haji bila mempunyai kemampuan (mampu fisik dan nonfisik).
b) Ibadah yang berhubungan dengan rukun islam dan ibadah lainnya, yaitu badani
dan mali. Badani (bersifat fisik), yaitu bersuci, azan, iqamat, itikad, doa,
shalawat, umrah dan lain-lain. Mali (bersifat harta) yaitu zakat, infak, sedekah,
kurban dan lain-lain.
2) Muamalah Sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Muamalah adalah peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang
lainnya dalam hal tukar-menukar harta (termasuk jual beli), di antaranya : dagang,
pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan barang atau
uang, penemuan, pengupahan, warisan, wasiat dan lain-lain.
3) Jinayah Sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Jinayah ialah peraturan yang menyangkup pidana Islam, di antaranya: qishash,
diyat, kifarat, pembunuhan, zina, minuman memabukkan, murtad dan lain-lain.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
4) Siyasah Sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Siyasah yaitu menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan, di antaranya:
persaudaraan, tanggung jawab sosial, kepemimpinan, pemerintahan dan lain-lain.
5) Akhlak sebagai Ruang Lingkup Hukum Islam
Akhlak yaitu sebagai pengatur sikap hidup pribadi, di antaranya : syukur, sabar,
rendah hati, pemaaf, tawakal, berbuat baik kepada ayah dan ibu dan lain-lain.
6) Peraturan lainnya di antaranya : makanan, minuman, sembelihan, berbutu, nazar,
pemeliharaan anak yatim, mesjid, dakwah, perang dan lain-lain.
c. Ciri-ciri Hukum Islam
Ciri-ciri utama hukum Islam didasarkan pada ruang lingkup hukum Islam. Adapun
ciri-ciri hukum Islam, yaitu:
1) Bagian dan bersumber dari ajaran Islam
2) Berkaitan erat dengan akidah dan akhlak
3) Mempunyai 2 istilah kunci, yaitu syari’ah dan fiqh
4) Terdiri dari ibadah dan mu’amalah
5) Sumbernya terdiri dari Al-quran, Sunnah Nabi Muhammad, dan ijtihad
6) Mendahulukan kewajiban daripada hak
7) Terdiri dari hukum taklifi dan hukum wadh’i
8) Bersifat universal dan abadi
9) Menghormati martabat manusia
10) Pelaksanaan hukum Islam digerakkan atas dasar iman dan akhlak manusia
(menurut TM. Hasby Ash Shiddieqy)
d. Sumber Hukum Islam
Sumber hukum Islam dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
1) Sumber hukum Islam yang utama (Asliqah), yang terdiri atas:
a) Al-quran
b) Sunnah Nabi (hadits)
2) Sumber hukum Islam tambahan (Tabaiyah), berdasarkan ijtihad, dengan
mempergunakan metode/cara/jalan ijtihad, sebagai berikut:
a) Ijma
b) Qiyas
c) Istidlal
d) Marsalih al Mursalah (marslahah al-mursalah)
e) Istihsan
f) Istishab
g) Urf
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
e. Asas Hukum Islam
1) Asas hukum Islam bersumber pada Al-quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW,
baik yang bersifat rinci maupun yang bersifat umum.
2) Asas hukum Islam dimaksud, antara lain:
a) Asas umum yang menyangkut asas keadilan, asas kepastian hukum, asas
kemanfaatan.
b) Asas Hukum Pidana
c) Asas Hukum Perdata
3) Asas Penerapan Hukum Islam berdasarkan:
a) Hukum Islam tidak memberatkan dan tidak mempersempit
b) Hukum Islam tidak memperbanyak tuntutan
c) Hukum Islam dilaksanakan secara bertahap
3. Jelaskan bagaimana pengertian hukum taklifi dan hukum wad’i! Kemudian berikan
contohnya!
Jawab:
a. Hukum Taklifi, disebut juga al Ahkam al Khamsah yaitu lima macam kaidah atau lima
kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam Islam. Lima
penilaian hukum yang dimaksud, antara lain:
1) Wajib (Fardhu/perintah yang mutlak), yang terdiri atas:
a) Fardhu’ain
b) Fardhu kifayah
2) Sunnat (perintah tidak mutlak)
3) Haram (larangan mutlak)
4) Makruh (larangan tidak mutlak)
5) Ja’iz/mubah (kebolehan)
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa salat wajib dilaksanakan umat Islam, dan
hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi
sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan salat Duhur.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
b. Hukum Wadh’i, adalah hukum yang mengandung sebab (illat), syarat, dan halangan
terjadinya hukum dan hubungan hukum.
Misalya, tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan
hukuman atas pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajibannya
mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya, melihat anak bulan
Ramadan menyebabkan wajibnya berpuasa.
Seperti: wudhu adalah syarat bagi sahnya sholat apabila ada wudhu maka sholatnya
sah, namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya pernikahan merupakan
syarat adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja talaq tidak akan terjadi.
Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan rukunnya
adalah sebagai sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi
terhalang jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist
dijelaskan bahwa tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
4. Jelaskan teori receptio in complexu, teori receptie, teori receptie exit atau receptie a
contrario!
Jawab:
a. Teori Receptio in Complexu
Teori Receptio in Complexu ini, dipelopori oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg
tahun 1845-1925. Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi setiap
penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam. Teori Receptio in Complexu ini telah
diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya berbagai
kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyeleaikan urusan-urusan hukum
rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal
sebagai Nederlandsch Indie. Cotohnya, Statuta Batavia yang saat ini desebut Jakarta
1642 pada menyebutkan bahwa sengketa warisan antara pribumi yang beragama islam
harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum islam, yakni hukum yang
dipergunakan oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun
buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
b. Teori Receptie
Teori Receptie dipelopori oleh Christian Snouck Hurgronje dan Cornelis van
Volenhoven pada tahun 1857-1936. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye
agar orang-orang pribumi jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum
Islam. Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka
akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Teori ini
bertentangan dengan Teori Reception in Complexu. Menurut teori recptie, hukum islam
tidak secara otomatis berlaku bagi orang islam. Hukum islam berlaku bagi orang islam
jika sudah diterima atau diresepsi oleh hukum adat mereka. Oleh karena itu, hukum
adatlah yang menentukan berlaku tidaknya hukum islam. Sebagai contoh teori recptie
saat ini di Indonesia diungkapkan sebagai berikut.
Hukum Islam yang bersumber dari Al-quran dan hadits hanya sebagian kecil yang
mmpu dilaksanakan oleh orang islamdi Indonesia. Hukum pidana islam yang
bersumber dari Al-quran dan hadits tidak mempunya tempat eksekusi bila hukum yang
dimaksud tidak diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu, hukum pidana islam belum
pernah berlaku kepada pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak
merdeka sampai saat ini. Selain itu, hukum islam baru dapat berlaku bagi pemeluknya
secara yuridis formal bila telah diundangkan di Indonesia.Teori ini berlaku hingga tiba
di zaman kemerdekaan Indonesia.
c. Teori Receptie Exit
Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Prof. Dr. Hazairin, S.H. Menurutnya setelah
Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-
Undang Dasar 1945 dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua
peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie
bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit
alias keluar dari tata hukum Indonesia merdeka.
Teori Receptie bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Secara tegas UUD ’45
menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Demikian
dinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2). Menurut teori recptie exit, pemberlakuan
hukum islam tidak harus didasarkan pada hukum adat. Pemahaman demikian kebih
dipertegas lagi, antara lain dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974tentang
perkawinan, yang memberlakukan hukum islam bagi orang islam (pasal 2 ayat 1), UU
No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,Instruksi presiden No. 1 tahun 1991
tentang Kompulasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
d. Teori Receptie A Contrario
Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib,
S.H. dengan memperkenalkan Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario
yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat
berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam
dan hukum Islam. Sebagai contoh, umpamanya di Aceh, masyarakatnya menghendaki
agar soal-soal perkawinan dan soal warisan diatur berdasarkan hukum islam. Apabila
ada ketentuan adat boleh saja dipakai Selma itu tidak bertentangan dengan hukum
islam. Dengan demikian, dalam Teori Receptie A Contrario, hukum adat itu baru
berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Inilah Sayuti Thalib dengan
teori reception a contrario.
5. Jelaskan bagaimana proses perumusan kompilasi hukum Islam!
Jawab:
Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk pertama kali
diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawir Sadzali, MA pada bulan Februari 1985
dalam ceramahnya didepan para mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, semenjak itu ide
ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak.
Menurut Abdul Chalim Mohammad gagasan untuk melakukan Kompilasi Hukum Islam ini
pada mulanya setelah 2,5 tahun lebih Mahkamah Agung terlibat dalam kegiatan
pembinaan Badan-badan Peradilan Agama dan dalam penataran-penataran keterampilan
teknis justisial para hakim agama baik ditingkat nasional maupun regional.
Berdasarkan keterangan tersebut tampak kepada kita bahwa ide untuk mengadakan
Kompilasi Hukum Islam ini memang baru muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya
ini adalah merupakan hasil kompromi antara pihak MA dengan Depertemen Agama.
Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak.
6. Apa arti perkawinan menurut UU perkawinan dan INPRES No.1 tahun 1991?
Jawab:
Menurut UU No. 1 Tentang Perkwainan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya menurut Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau Mitsaqon Gholidhon
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya adalah ibadah.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
7. Sebutkan 5 asas perkawinan!
Jawab:
Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata
sepakat antara calon suami dan istri.
b. Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974)
Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu istri dan seorang wanita hanya
boleh memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
c. Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.
d. Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang
(Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
e. Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan istri.
f. Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.
g. Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan istri tersebut.
8. Bagaimana caranya seorang suami akan beristri lebih dari satu orang?
Jawab:
Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat [1] UU
Perkawinan). Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa
Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristri lebih dari satu jika:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
9. Syarat apakah yang harus dipenuhi jika suami hendak menikah lagi?
Jawab:
Berdasarkan Pasal 5 ayat [1] UU Perkawinan suami hendak menikah lagi harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Persetujuan istri/istri-istrinya tidak diperlukan jika istri/istri-istrinya tidak mungkin
dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak
ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat [2] UU
Perkawinan).
10. Apakah yang dimaksud dengan jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-
anaknya?
Jawab:
Jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya yaitu setiap istri berhak mendapatkan hak
masing-masing dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain perkara yang diwajibkan Allah kepada
setiap suami. Jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya berupa:
a. Adil memberikan nafkah.
b. Adil dalam menyediakan tempat tinggal.
c. Adil dalam giliran.
Kemudian jaminan berlaku adil terhadap anak-anaknya yaitu disyaratkan agar setiap suami
yang berpoligami tidak membeda-bedakan antara anak si anu dengan anak si anu. Berlaku
adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah diperhatikan bahawa nafkah anak yang masih
kecil berbeda dengan anak yang sudah besar. Anak-anak perempuan berbeda pula dengan
anak-anak lelaki. Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya mereka berhak memiliki
kasih sayang serta perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai mereka
diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada salah seorang istri serta anak-anaknya
saja.
Keadilan juga sangat dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari
sikap curang yang dapat merosakkan rumahtangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat
memelihara dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan rasa
dendam di antara sesama istri.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
11. Apakah syarat-syarat perkawinan?
Jawab:
Syarat-syarat perkawinan diatur dalam pasal 6 s.d. 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Menurut R. Soetojo Prawirohaidjojo, syarat-syarat perkwainan
terbagi menjadi syarat intern (materiil) dan syarat eksteren (formal). Syarat intern
berkaitan dengan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Kemudian syarat
ekstern berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus dipenuhi dalam
melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-syarat intern terdiri atas:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak [Pasal 6 Ayat (1)].
b. Harus mendapatkan izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon
mencapai umur 21 tahun [Pasal 6 ayat (2)].
c. Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun, kecuali ada
dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang
tua kedua belah pihak [Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU Perkawinan].
d. Bahwa kedua belah dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya
mengizinkan untuk berpoligami [Pasal 9 Jo. Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 UU
Perkawinan].
e. Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan
seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu
sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinan karena penceraian, 130 hari
bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya [Pasal 10 dan 11
UU Perkawinan].
Selanjutnya syarat-syarat eksteren dalam melangsungkan perkawinan terdiri atas:
a. laporan;
b. pengumuman;
c. pencegahan;
d. perlangsungan.
Bandung, 3 Mei 2016
Penulis,
Muhammad Nur Jamaluddin
(MNJ)
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
KUMPULAN SOAL HUKUM ISLAM I
12. Untuk bisa kawin bagi pria dan wanita berapakah umur mereka masing-masing?
Jawab:
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU Perkawinan, yaitu:
Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun, kecuali ada dispensasi
yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah
pihak.
13. Adakah hal-hal yang dapat mencegah atau melarang perkawinan, sekalipun kedua calon
mempelai sudah ada persetujuan dan bagaimanakah jika salah satu larangan itu dilanggar?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 8, perkawinan
dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah, dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. sehubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak tiri;
d. sehubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e. sehubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenekan dari istri, dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang
kawin.
Jika salah satu larangan tersebut dilanggar, maka perkawinan tersebut hukumnya haram
menurut hukum Islam dan batal menurut hukum positif Indonesia.
14. Siapakah yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan dan kemana pencegahan itu
dilakukan?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 13 dan 14,
perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah:
a. para keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah;
b. apabila calon mempelai berada di bawah pengampuan sehingga dengan perkawinan
tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya;
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
c. seseorang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu pihak dan atas
dasar adanya perkawinan;
d. pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah perkawinan apabila ketentuan larangan
perkawinan dilanggar.
15. Mengapa perkawinan dapat dibatalkan dan siapa yang dapat membatalkan perkawinan?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 22 dan 23:
Pasal 22 menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi, syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Kemudian pasal 23
menyatakan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yaitu:
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
b. suami atau istri;
c. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinanan belum diputuskan;
d. pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
16. Kapan perjanjian perkawinan dapat diselenggarakan, apakah setelah perkawinan berlalu
perjanjian perkawinan dapat diubah dan apa isi perjanjian perkawinan itu?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 29 ayat (1) s.d.
ayat (4) bahwa perjanjian perkawinan dapat diselenggarakan:
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d. Selama perkawinan berlangsung tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga.
Kemudian setelah perkawinan berlalu perjanjian perkawinan dapat diubah dan isi
perjanjian perkawinan itu berupa akta nikah.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
17. Bagaimana hak dan kewajiban suami istri?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 30 s.d. Pasal 34
bahwa hak dan kewajiban istri adalah:
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
a. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
b. Masing-masing pihak berhak untuk mlelakukan perbuatan hukum.
c. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
a. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
b. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami
istri bersama.
Pasal 33
Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati setia dan memberi bantuan
lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
a. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
b. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
c. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masi dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan.
18. Apa yang disebut dengan harta bersama, siapa yang mengurus harta bersama dan harta
bawaan dan bagaimana pengaturan harta bersama jika perkawinan putus?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 35 s.d. Pasal 37
bahwa mengenai harta bersama adalah:
Pasal 35
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama.
b. Harta bawaan dan masing-masing suami dan istri dan harta benda. yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adal.ah di bawah penguasaan masing-
masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Pasal 36
a. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
b. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.
19. Apakah yang menjadi alasan putusnya perkawinan, bagaimana proses perceraian dan apakah
alasan-alasan perceraian itu?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 38 s.d. Pasal 40
bahwa mengenai putusnya perkawinan adalah:
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
c. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan-perundangan
tersendiri.
Pasal 40
a. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
b. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Dalam pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 110 komplikasi hukum Islam disebutkan
tentang alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau
gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar Ta’lik Talak.
h. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah
tangga.
Adapun alasan-alasan yang lain yaitu:
a. Karena ketidakmampuan suami memberi nafkah, yaitu mencukupi kebutuhan sandang,
pangan, papan, dan kesehatan yang diperlukan bagi kehidupannya. Jika istri tidak bisa
menerima keadaan ini, maka dia bisa meminta kepada sang suami untuk
menceraikannya, sementara istri benar-benar tidak sanggup menerimanya, pengadilan
yang menceraikannya.
b. Karena suami bertindak kasar, misalnya suka memukul, untuk melindungi kepentingan
dan keselamatan istri, atas permintaan yang bersangkutan pengadilan berhak
menceraikannya.
c. Karena kepergian suami dalam waktu yang relative lama, tidak pernah ada dirumah,
bahkan imam Malik tidak membedakan apakah kepergian itu demi mencari ilmu,
bisnis, atau karena alasan lain. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu dan merasa
dirugikan, pengadilan yang menceraikannya. Berapa ukuran lama masing-masing
masyarakat atau Negara bisa membuat batasan sendiri melalui undang-undang.
c. Suami dalam status tahanan atau dalam kurungan. Jika istri tidak bisa menerima
keadaan itu, maka secara hukum, ia bisa mengajukan masalahnya kepengadilan untuk
diceraikan.
20. Bagaimana akibat putusnya perkawinan karena cerai terhadap anak dan bagaimana jika timbul
perselisihan tentang penguasaan serta biaya penghidupan bagi anak-anak?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 38 s.d. Pasal 40
bahwa mengenai akibat putusnya perkawinan adalah:
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas suami.
21. Apakah artinya perwalian, umur berapakah anak dapat dimasukan di bawah kekuasaan wali,
kekuasaan seorang wali itu mencakup apa saja dan bagaimana perwalian dapat diperoleh?
Jawab:
Menurut Subekti bahwa perwalian adalah pengawasan terhadap anak-anak yang di bawah
umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau
kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh undang-undang.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
22. Bagaimana perkawinan dapat diselenggarakan di luar negeri antara dua orang warga negara
atau antara seorang warga negara dengan orang asing?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 56 ayat (1) dan
ayat (2) bahwa:
Pasal 56 di Luar Indonesia
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara
Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal mereka.
Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 56 UU Perkawinan, perkawinan di luar Indonesia
tersebut adalah sah jika dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat
perkawinan dilangsungkan. Kemudian, untuk yang berwarga negara Indonesia,
perkawinan tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan dalam UU Perkawinan (seperti
misalnya mengenai larangan perkawinan pada Pasal 8 dan Pasal 9 UU Perkawinan).
Lebih lanjut berdasarkan ketentuan Pasal 73 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (Perpres No.
25/2008), agar perkawinan terdaftar secara sah di Indonesia, setelah kembali ke Indonesia,
a harus mencatatkan perkawinan tersebut ke Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis
Dinas Instansi Pelaksana di tempat domisili dengan membawa bukti pelaporan/pencatatan
perkawinan di luar negeri dan Kutipan Akta Perkawinan.
Jika pendaftaran perkawinan tersebut melampaui batas waktu yang ditentukan, maka akan
dikenakan denda berdasarkan Pasal 105 ayat (1) Jo. Pasal 105 ayat (2) huruf f Perpres No.
25/2008. Kemudian berdasarkan Pasal 105 Perpres No. 25/2008 menyatakan bahwa:
“Pelaporan peristiwa penting yang melampaui batas waktu dikenai denda administratif
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.”
Bandung, 3 Mei 2016
Penulis,
Muhammad Nur Jamaluddin
(MNJ)
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
KUMPULAN SOAL HUKUM ISLAM I
23. Apa arti perkawinan campuran?
Jawab:
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 57 s.d. Pasal 61
bahwa:
Pasal 57
Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang lakukan perkawinan campuran,
dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, mengenai hukum publik maupun mengenai hukum
perdata.
2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-
undang Perkawinan ini.
Pasal 60
1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-
syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-
masing telah dipenuhi.
2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk, melangsungkan perkawinan campuran, maka
oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
Pasal 61
1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih
dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan
pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui
bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang ini .
24. Siapakah pencatat perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam dan menurut agama serta kepercayaan selian agama Islam, bagaimana tata cara pencatat
perkawinan?
Jawab:
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2)
bahwa:
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-
undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Kemudian tata cara pencatatan perkawinan terkandung dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3 s.d. Pasal 9:
Pasal 3
1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu
kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan
yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pasal 4
Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau
wakilnya.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Pasal 5
Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon
mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau
suaminya terdahulu.
Pasal 6
1) Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan,
meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat
halangan perkawinan menurut Undang-undang.
2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Pencatat meneliti
pula:
a) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta
kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang
menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau
yang setingkat dengan itu;
b) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang
tua calon mempelai;
c) Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat(2),(3),(4) dan (5)
Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun;
d) Izin Pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-undang; dalam hal calon mempelai
adalah seorang suami yang masih mempunya istri;
e) Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;
f) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat
keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
g) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata ;
h) Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat, apabila
salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu
alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Pasal 7
1) Hasil penelitian sebagai dimaksud Pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah
daftar yang diperuntukkan untuk itu.
2) Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud
Undang-undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebut dalam Pasal 6 ayat (2)
Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau
kepada orang tua atau kepada wakilnya.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Pasal 8
Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan
perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut
formulir yang ditetapkan pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
1) Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan
dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin
disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu;
2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
25. Apakah arti akta perkawinan?
Jawab:
Akta perkawinan adalah akta yang dibuat oleh pejabat pencatat nikah, yang membuktikan
telah terjadi pernikahan.
26. Bagaimana cara perceraian diajukan dan apakah yang menjadi alasan-alasan dapat terjadinya
perceraian?
Jawab:
Berdasarkan Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama bahwa:
Bila anda yang mengajukan gugatan perceraian, berarti anda adalah pihak Penggugat dan
suami adalah Tergugat. Untuk mengajukan gugatan perceraian, anda atau kuasa hukum
anda (bila anda menggunakan kuasa hukum) mendatangi Pengadilan Agama (PA) di
wilayah tempat tinggal anda. Bila anda tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA
wilayah tempat tinggal suami. Bila anda dan suami anda tinggal di luar negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat anda berdua menikah dulu,
atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Berdasarkan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam Jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975 alasan yang
dapat dijadikan dasar gugatan perceraian anda di Pengadilan Agama antara lain:
a. suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
b. suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau
alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan
anda;
c. suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan
dilangsungkan;
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
d. suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;
e. suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau
penyakit yang dideritanya;
f. terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun
kembali;
g. suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
h. suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam
keluarga.
27. Ada kasus masalah perceraian:
Istri menggugat cerai suami kepengadilan Agama setempat, dengan alasan KDRT yang
dilakukan suami. Pengadilan telah memanggil suami sebagai tergugat untuk hadir di
persidangan, namun si suami tidak hadir. Usut punya usut, ketidakhadiran suami tersebut
karena ia berkeyakinan bahwa talak hanya dapat jatuh jika suami berniat dan menjatuhkan
talak kepada istri dan pengadilan tidak punya kewenangan itu.
a. Menurut Anda bagaimana? Apakah talak tersebut layak jatuh atau tidak?
Jawab:
Tidak layak. Mesti menunggu kedatangan dari suami yang harus memberikan kepastian
lebih lanjut akan hal talak tersebut.
b. Beri analisa menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No. 3 tahun 2006
tentang pengadilan agama?
Jawab:
Berdasarkan Pasal 38 sampai dengan pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Jo. UU No. 3 tahun 2006 Pasal 73 bahwa perkara gugat cerai bisa dilakukan
oleh suami atau istri yang menyelesaikan secara damai di Pengadilan dan dihari oleh
keduanya. Jelaslah, jika suami tidak hadir, maka talak tidak layak dijatuhkan.
28. Bagaimana pendapatmu bila terjadi PERKAWINAN ANTAR AGAMA. Bagaimana solusi
hukumnya? (Gunakan hukum agama dan hukum nasional)!
Jawab:
Adanya tiga prinsip pokok pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan antar
pemeluk agama Islam dengan orang-orang yang bukan agama Islam, yaitu:
a. Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang yang beragama menyembah
berhala, polytheisme, agama-agama yang tidak mempunyai kitab suci, dan dengan
kaum atheis.
b. Melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria bukan Islam.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
c. Mengenai perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita bukan muslim yang ahli
kitab, terdapat tiga macam pendapat yaitu:
1) Melarang secara mutlak.
2) Memperkenankan secara mutlak.
3) Memperkenenkan dengan syarat yaitu apabila pria muslim itu kuat imannya serta
rajin ibadahnya.
Kemudian ketentuan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan
bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama
tergantung kepada hukum agama itu sendiri. Oleh karena itu didalam UU Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai
masalah perkawinan antar agama tersebut, disamping itu apabila kita teliti maka kita hanya
dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu pasal pun baik secara tersurat maupun tersirat
yang melarang dilakukannya perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang
menentukan ada tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah
hukum agama itu sendiri.
29. Bagaimana bila terjadi PERKAWINAN DI LUAR NEGERI. Menurut Anda apakah
perkawinan tersebut diakui secara hukum di Indonesia?
Jawab:
Di Indonesia, berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan di
nyatakan bahwa syarat untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama
dan harus dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat.
Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar negari dapat
diakui sebagai perkawinan yang sah apabila telah di daftarkan di lembaga pencatatan
setempat dan mendapatsurat bukti perkawinan.
Selain adanya syarat pencatatan di negara setempat, hukum perkawinan kita juga
mensyaratkan kepada setiap warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di
luar negeri untuk segera mendaftarkan perkawinannya tersebut di lembaga pemerintah
sekembalinya ke Indonesia.
Bila kita lihat pada pasal 56 (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa apabila terjadi
perkawinan antar warga negara Indonesia atau antar warga negara Indonesia dengan
warga negara asing di mana perkawinan tersebut dilangsungkan diluar negari, maka
perkawinan tersebut dinyatakan sah apabila telah dilakukan berdasarkan hukum
perkawinan negara setempat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum perkawinan
Indonesia. Kemudian berdasakan pasal 56 (2) UU Perkawinan menyatakan bahwa dalam
waktu satu tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan
mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Jadi untuk dapat diakuinya suatu perkawinan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia di luar negeri, maka berdasarkan hukum perkawinan harus memenuhi dua
persyaratan terlebih dahulu yaitu:
a. perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum perkawinan negara setempat dan
perkawinan tersebut harus didaftarkan di lembaga pencatatan untuk
mendapat surat bukti perkawinan;
b. surat bukti perkawinan tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pencatatan Perkawinan
setempat selambat-lambatnya satu tahun setelah suami istri tersebut kembali
ke Indonesia.
Setelah kedua syarat tersebut dipenuhi maka perkawinan yang dilakukan oleh warga
negara Indonesia tersebut adalah sah dan sama kedudukannya dengan perkawinan yang
dilakukan di wilayah Indonesia. Sebaliknya, apabila kedua syarat tersebut tidak dipenuhi,
maka perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tidak diakui oleh negara karena tidak
sesuai dengan hukum perkawinan yang berlaku.
30. Bagaimana pendapatmu tentang SAHNYA PERKAWINAN menurut hukum agama (Islam)
dan hukum nasional? Bagaimana mekanisme yang harus ditempuh agar perkawinan tersebut
sah menurut hukum agama dan hukum nasional?
Jawab:
a. Syarat Sah Menikah Menurut Agama Islam
1) Syarat Nikah Untuk Mempelai Pria
a) Memeluk agama islam
b) Laki-laki yang tertentu
c) Bukan lelaki mahram dengan calon istri
d) Calon mempelai pria mengatahui wali nikah asli yang akan menjadi wali di
pernikahan
e) Tidak dalam Ihram umrah atau haji
f) Menikah dengan kerelaan/kemauan sendiri bukan dengan paksaan
g) Tidak memiliki 4 (empat) orang istri pada waktu menikah
h) Mengetahui perempuan yang akan dijadikan dinikahi dan dijadikan istri
2) Syarat Untuk Mempelai Wanita
a) Memeluk agama islam
b) Wanita yang tertentu
c) Bukan wanita mahram dengan calon suami (saudara kandung calon suami)
d) Wanita bukan seorang kuntsa (menyukai sesama jenis)
e) Tidak dalam Ihram umrah atau haji
f) Calon mempelai wanita tidak boleh didalam Iddah
g) Tidak berposisi sebagai istri orang
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
3) Syarat Wali Nikah
a) Beragama islam (bukanlah seoarnag yang kafir)
b) Wali nikah laki-laki bukan wanita
c) Sudah baligh
d) Menjadi wali dengan kerelaan sendiri bukan dengan paksaan
e) Tidak dalam ihram umroh atau haji
f) Tidak Gila atau cacat fikiran, sudah terlalu tua sehingga sulit berfikir
g) Sudah Merdeka
4) Syarat Saksi Nikah
a) saksi harus berjumlah sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
b) memeluk ajaran agama islam
c) memiliki akal yang sehat
d) sudah baligh
e) berjenis kelamin laki-laki
f) sudah memahami sepenuhnya kandungan yang ada dalam ijab dan juga qobul
g) saksi harus bisa melihat, berbicara, dan juga mendengar
h) adil (bukanlah orang yang melakukan dosa besar dan juga melakukan berbagai
macam dosa kecil)
i) sudah merdeka
5) Syarat Ijab Nikah
a) Pernikahan Yang akan dilakukan ini harus pernikahan yang tepat
b) Tidak boleh merubah atau menggunakan perkataan yang dikarang sendiri
c) Ijab harus diucapkan oleh wali atau wakil yang ada dalam pernikahan
d) Ijab tidak boleh diikatkan dalam jangka waktu tertentu atau nikah kontrak (
contoh pernikahan ini sah dalam jangka waktu sekian sekian )
e) Ijab Tidak boleh memiliki persyaratan ketika ijab ini di lafazkan
6) Syarat Qobul
a) Perkataan Qobul haruslah sesuai dengan ucapan ijab
b) Tidak mengandung kata-kata sindiran
c) Diucapkan oleh calon suami atau wakilnya ( jika benar-benar calon suami tidak
bisa berbicara atau yang lain )
d) Tidak Dikaitkan dalam waktu tertentu atau nikah kontrak (mutaah)
e) Tidak memiliki persyaratan pada saat Qobul diucapkan
f) Harus Menyebutkan Nama Calon istinya
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Kemudian syarat-syarat perkawinan menurut hukum nasional diatur dalam pasal 6 s.d. 12
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Menurut R. Soetojo
Prawirohaidjojo, syarat-syarat perkwainan terbagi menjadi syarat intern (materiil) dan
syarat eksteren (formal). Syarat intern berkaitan dengan para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan. Kemudian syarat ekstern berhubungan dengan formalitas-
formalitas yang harus dipenuhi dalam melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-syarat
intern terdiri atas:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak [Pasal 6 Ayat (1)].
b. Harus mendapatkan izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon
mencapai umur 21 tahun [Pasal 6 ayat (2)].
c. Bagi pria harus sudah mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun, kecuali ada
dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang
tua kedua belah pihak [Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU Perkawinan].
d. Bahwa kedua belah dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya
mengizinkan untuk berpoligami [Pasal 9 Jo. Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 UU
Perkawinan].
e. Bagi seorang wanita yang akan melakukan perkawinan untuk kedua kali dan
seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewatnya masa tunggu, yaitu
sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinan karena penceraian, 130 hari
bagi mereka yang putus perkawinannya karena kematian suaminya [Pasal 10 dan 11
UU Perkawinan].
Selanjutnya syarat-syarat eksteren dalam melangsungkan perkawinan terdiri atas:
a. laporan;
b. pengumuman;
c. pencegahan;
d. perlangsungan.
Mekanisme pemohon berkewajiban:
a. Mengajukan permohonan secara tertulis dengan menggunakan formulir pencatatan
perkawinan.
b. Melampirkan persyaratan.
c. Mendaftarkan ke dinas dan menghadirkan dua orang saksi untuk perkawinan Luar
Negeri.
d. Membayar retribusi dan biaya operasional petugas pencatat.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
31. SARJUDDIN MENIKAH DI INGGRIS dengan istri yang sama-sama Islam dan WNI.
Namun, Ia ingin pernikahannya diakui di Indonesia dan tercatat di Indonesia. Untuk itu ia
melakukan PERNIKAHAN DENGAN TELECONFERENCE dengan mempelai di Inggris,
sedangkan wali nikah, pegawai pencatat perkawinan dan saksi berada di Indonesia.
a. Menurut Anda apakah pernikahan dengan cara teleconference tersebut sah dan
diakui/tidak oleh hukum agama dan hukum nasional?
Jawab:
Menurut Lembaga Fatwa Mesir, pernikahan melalui media teleconference atau nikah
jarak jauh menggunakan teknologi informasi itu tidak sah. Karena tidak memenuhi
persyaratan majelis akad nikah yaitu satu majelis.
Masalah keabsahan perkawinan, negara menyerahkan sepenuhnya pada hukum agama
masing-masing, apabila hukum agamanya telah menyatakan sah maka sah menurut
Undang-Undang. Perkawinan tersebut juga harus dicatatkan ke KUA. Megenai proses
pelaksanaannya dilakukan secara terpisah dengan media teleconference yang
sederhana. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui sah atau tidaknya perkawinan
melalui media telconference dalam sudut pandang hukum Islam dan ditinjau dari
Undang-Undang yang berlaku di Indonesia juga mengetahui proses perkawinan yang
dilangsungkan melalui media teleconfernce sebagai syarat sahnya perkawinan menurut
hukum islam dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pelaksanaan
perkawinan melalui media teleconference.
b. Beri analisa secara keagamaan (hukum Islam) dan analisa secara hukum negara atas
masalah tersebut?
Jawab:
Dalam hal ini dapat dilakukan musyawarah antara beberapa tokoh agama Islam yang
tentu saja didasari dengan Hukum Islam yang berlaku. Hal ini
bisa disebut juga ijtihad, karena menghasilkan hukum baru dari dalil-dalil secara rinci
yang bersumber pada Al-quran dan as-sunnah. Sedangkan berhubungan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenai
masalah keabsahan perkawinan, negara menyerahkan sepenuhnya pada hukum agama
masing-masing, apabila hukum agamanya telah menyatakan sah maka sah menurut
Undang-Undang.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Perkawinan tersebut juga harus dicatatkan ke KUA. Megenai proses pelaksanaannya
dilakukan secara terpisah dengan media teleconference yang sederhana. Tujuan
penelitian ini ialah untuk mengetahui sah atau tidaknya perkawinan melalui media
telconference dalam sudut pandang hukum Islam dan ditinjau dari Undang-Undang
yang berlaku di Indonesia juga mengetahui proses perkawinan yang dilangsungkan
melalui media teleconfernce sebagai syarat sahnya perkawinan menurut hukum islam
dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pelaksanaan perkawinan melalui
media teleconference.
32. Bagaimana pendapatmu tentang POLIGAMI. Bagaimana hukum agama dan hukum nasional
menyikapinya?
Jawab:
Poligami tidak perlu dilakukan bagi orang yang belum bisa benar melaksanakannya. Sekali
pun ada ketentuan, lebih baik dipertimbangkan kembali dengan beberapa pertimbagan
yang benar memberikan kemanfaatan bagi pihak istri untuk di dunia dan di akhirat.
Menurut Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Beliau menyebutkan bahwa hukum poligami adalah
sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau mempersyaratkan 4 hal:
a. Seorang yang mampu berbuat adil
b. Aman dari lalai beribadah kepada Allah
c. Mampu menjaga para istrinya
d. Mampu memberi nafkah lahir
Poligami di Indonesia juga disahkan Sesuai Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu:
Ayat 1 Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan
poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin pengadilan.
a. Ayat 2a Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
b. Ayat 2b. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
33. Menurut Anda mengapa NEGARA MEMPERSULIT POLIGAMI BAGI PNS (Pegawai
Negeri Sipil)? Apa yang melatarbelakanginya?
Jawab:
Karena PNS merupakan bagian perangkat negara yang memiliki tugas, pokok, fungsi, dan
peranan tersendiri terhadap keluarga, agama, bangsa, dan negara sehingga dengan latar
belakang tersebut negara mempersulit PNS untuk melakukan poligami.
Bandung, 3 Mei 2016
Penulis,
Muhammad Nur Jamaluddin
(MNJ)
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
KUMPULAN SOAL HUKUM ISLAM I
34. POLIGAMI
a. Jelaskan kedudukan hukum POLIGAMI menurut hukum Islam dengan hukum positif?
Jawab:
Allah Swt. Berfirman yang artinya: “Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang
kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak akan dapat
berlaku adil maka nikahilah seorang saja…” (QS an-Nisa’ [4]: 3). Berkenaan dengan
ayat ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami.
Pertama: ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada tahun Kedelapan
Hijrah, yaitu untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja.
Kedua: perlu digarisbawahi bahwa keadilan bukanlah syarat bagi kebolehan untuk
melakukan poligami. Hukum ini wajib dimiliki oleh seorang suami dalam kehidupan
berpoligami, di samping merupakan dorongan untuk membatasi jumlah istri pada satu
wanita saja, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil.
Ketiga: pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni mencakup setiap
bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini kemudian di-takhsîs
(diperlakukan secara khusus), yaitu bahwa keadilan yang dimaksud hanya yang berada
dalam batas-batas kemampuan manusia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang membolehkan poligami berdasarkan
Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Yang menyebutkan bahwa
seorang suami boleh melakukan perkawinan dengan wanita lain jika memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan. Di samping itu aturan PP No 45 tahun 1990 sebagai revisi dari
PP No. 10 tahun 1983 tentang izin perceraian dan perkawinan bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS).
Meskipun Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami, seperti yang
terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dalam pasal
berikutnya dikatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Dalam pasal
3 ayat 2 disebutkan, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Dengan demikian jelas bahwa asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan
bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka, dimana poligami
ditempatkan pada posisi hukum darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang
luar biasa (extra ordinary circumtance).
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
b. Apa akibat hukum dari adanya poligami dalam hukum positif? Berikan analisa anda?
Jawab:
Menimbulkan kekeliruan dalam melaksanakan hukum dari adanya poligami dalam
hukum positif, sehingga pelaksanaan poligama lebih banyak bukan berdasar pada tujuan
dan ketentuan hukum tersebut.
35. Anda mengenal istilah KAWIN SIRI? Jelaskan dan bagaimana kedudukan nikah siri tersebut
dalam hukum agama (Islam) dan hukum negara (Nasional)?
Jawab:
Nikah siri atau nikah di bawah tangan adalah sebuah pernikahan yang tidak dicatat
di Kantor Urusan Agama.
Pada prinsipnya, selama pernikahan sirri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang
disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan hukum
perkawinan itu ada dasarnya sudah sah, tapi bertentangan dengan perintah Nabi saw., yang
menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak
menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan
dengan perkawinan itu dalam hal diumumkan dan terang-terangannya. Orang berzina
tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui
orang karena perbuatan mulia
Kemudian kawin siri sendiri bertujuan untuk menghindari perzinaan. Namun pada
pelaksanaan dilapangan, kawin siri banyak disalah gunakan untuk pemuas hasrat sex
belaka, seperti untuk poligami, menikahi gadis dibawah umur, serta memudahkan nikah
beda agama. Lemahnya penegakan hukum tentang nikah siri dan kecilnya hukuman serta
denda bagi pelanggarnya makin membuat maraknya pernikahan siri. Padahal dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KUHPidana telah diatur untuk mencegah dan
mengurangi pernikahan siri yang tidak sesuai dengan semestinya lagi.
36. Apakah dalam perkawinan memerlukan PERSETUJUAN MEMPELAI (terutama
perempuan)? Bagaimana pendapat hukum agama Islam dengan hukum nasional?
Jawab:
Ketentuan di atas sejalan dengan KHI yang berlaku di Indonesia yang mewajibkan
persetujuan calon mempelai, sebagai pengukuhan adanya persetujuan calon mempelai,
pegawai pencatat nikah (PPN) harus menanyakan kepada mereka sebagaimana diatur
dalam pasal 17 KHI:
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
a. Sebelum berlangsungnya pernikahan, pegawai pencatat nikah harus menanyakan
terlebih dahulu persetujuan mempelai di hadapan dua saksi nikah.
b. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka
perkawinan tidak dapat dilangsungkan.
c. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu, persetujuan dapat
dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Kemudian persetujuan mempelai (terutama perempuan) merupakan syarat pelaksanaan
perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
37. Syeikh Puji MENIKAHI GADIS DI BAWAH UMUR. Beri analisa anda tentang pernikahan
ini? Pernikahan ini diakui oleh hukum negara kita atau tidak?
Jawab:
Syeikh Puji telah melanggar UU No. 1 Tahun 1974 bahwa usia pernikahan itu pria haru 19
tahun dan perempuan 16 tahun. Pernikahan ini akan diakui oleh negara, jika pernikahan
ini dicatat oleh lembaga negara.
38. Dalam tradisi perkawinan secara agama Islam dikenal istilah TA’LIQ THALAQ. Apakah itu?
Apakah tha’liq thalaq tersebut diperbolehkan dalam hukum Islam dan hukum negara?
Jawab:
Menurut Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 1 poin e menyebutkan, bahwa ta’liq talaq
adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talaq yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
(KHI Pasal 1 huruf e) Sighat ta’liq ini terdapat pada buku nikah bagian belakang. Pada
umumnya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta untuk membacanya.
Sebagian dari masyarakat kita, beranggapan bahwa hal yang demikian (sighat ta’liq talaq)
tidak ada tuntunannya dalam Islam. Tidak ada sunnahnya dalam Islam. Hal tersebut
dianggap sebagai bid’ah (sesuatu yang baru, yang diada-adakan, tidak ada asalnya dalam
Islam, menyerupai syariat, dan dianggap beribadah), dan setiap bid’ah adalah sesat, dan
setiap kesesatan ada di neraka.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
39. Si Fulan menikah dengan Si Fulanah dan dikaruniai 4 orang putra. Setalah ditelusuri oleh
riwayatnya, ternyata mereka adalah mereka adalah SAUDARA PERSUSUAN.
a. Bagaimana status perkawinan mereka dalam hukum agama (Islam) dan hukum nasional?
Jawab:
b. Langkah apa yang harus ditempuh dalam mengahdapinya?
Jawab:
c. Bagaimana status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut?
Jawab:
40. Dalam fiqh terdapat istilah KHUNTSA (banci). Mereka ini bukan gay atau lesbian. Apakah
hukum agama dan negara mengakomodir kepentingan mereka untuk menikah? Bagaimana
solusinya bagi mereka? Apakah kondisi kejiwaan mereka terhalang hukum untuk menikah?
Jawab:
Tidak. Hukum agama dan hukum negara melarang seseorang untuk melakukan pernikahan
sejenis, baik laki-laki dengan laki-laki, maupun perempuan dengan perempuan. Kemudian
solusi bagi mereka hendaknya memberikan pemahaman terhadap meraka akan pentingnya jati
diri dalam kehidupan agar senantiasa hak dan kewajiban di dunia dapat terlaksanakan.
Selanjutnya kondisi kejiwaan mereka yang bergitu, maka akan membuat mereka terhalang
untuk melaksanakan pernikahan, terkhusus untuk di Indonesia.
41. Apabila ada orang yang MEMALSUKAN IDENTITAS DIRI mempelai, dengan motif agar
ia memenuhi syarat-syarat perkawinan, pernikahannya DAPAT DIBATALKAN? Bagaimana
solusi atas masalah tersebut menurut hukum agama dan hukum negara?
Jawab:
Baik analisa dengan menggunakan hukum Islam dan hukum negara, memalsukan identitas
diri mempelai, dengan motif agar ia memenuhi syarat-syarat perkawinan dinyatakan dapat
dibatalkan. Kedua hukum tersebut tidak melarang poligami, hanya saja untuk melakukan
poligamii harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
a. Analisis Hukum Islam
Dalam analisis Hukum Islam berpedoman pada Al-quran surat An-Nisa surat ke-4 ayat
3, yang menerangkan perihal pembatasan poligami maksimal empat orang istri dan
harus bersikap adil. Pertimbangan perkawinan tersebut dibatalkan karena perkawinan
tersebut dilakukan dengan cara yang tidak maruf, yaitu dengan memalsukan identitas.
Hal tersebut telah menimbulkan kemadaratan bagi istri pertama.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Berdasarkan hukum Islam dan sesuai dengan dasar hukum serta pertimbangan hakim
yang digunakan, perkawinan tersebut harus dibatalkan. Akibat dari pembatalan
tersebut tidak memutus seorang ayah untuk memberi nafkah kepada anaknya, karena
anak yang dilahirkan merupakan anak yang sah.
b. Analisis Hukum Negara
Dalam analisis hukum negara, dasar hukum yang digunakan dalam pembatalan
perkawinan ini adalah Pasal 3, 4, 5 dan 24 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pertimbangan hakim membatalkan perkawinan tersebut karena suami tidak meminta
izin dari istri dan pengadilan untuk melakukan poligami, bahkan suami melakukan
penipuan untuk melakukan poligami, bahkan suami melakukan penipuan untuk
melangsungkan perkawinan yang kedua dengan cara memalsukan identitas diri. Maka
dari itu, perkawinan tersebut harus dibatalkan. Akibat hukum yang ditimbulkan dari
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan. Jadi anak
akan tetap menjadi tanggungan orang tua.
42. PENCATATAN PERKAWINAN
a. Bagaimana status hukum perkawinan yang dilakukan tifak di hadapan Pegawai Pencatat
Perkawinan sebagaimana diatur dalam PP No. 9 tahun 1975? Jelaskan! Mengapa?
Jawab:
b. Kalau MEMPELAI BERAGAMA ISLAM, pencatatan perkawinan itu dilakukan oleh
Pegawai pencatatan perkawinan dari instansi mana? Demikian juga bagaimana kalau
MEMPELAI BERAGAMA NON-MUSLIM, di mana instansinya?
Jawab:
Berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
Bab II Pasal 2
Ayat 1:
"Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU
Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk."
Ayat 2:
"Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan pada Kantor Catatn Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan."
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
c. Kalau MEMPELAI BERLAINAN AGAMANYA, bagaimana pencatatan perkawinan
dapat dilakukan?
Jawab:
Dilakukan di kantor pencatatan sipil.
d. Apa saja ITEM YANG HARUS DIPERIKSA oleh pegawai pencatat perkawinan?
Jawab:
1) Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Pengantin (Catin) masing-
masing 1 (satu) lembar.
2) Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai
bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah
setempat.
3) Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu Model N1, N2, N4,
baik calon Suami maupun calon Istri.
4) Pas photo Catin ukuran 2x3 masing-masing 5 (lima) lembar, bagi anggota ABRI
berpakaian dinas.
5) Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Akta Cerai dari
Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati harus ada surat kematian dan surat Model
N6 dari Lurah setempat.
6) Nah untuk poin ini Calon Pengantin harus memiliki surat izin/Dispensasi dari
Pengadilan Agama bagi Catin Laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun
danCatin Perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun.
e. Apa yang dimaksud dengan akta perkawinan?
Jawab:
Akta perkawinan adalah akta yang dibuat oleh pejabat pencatat nikah, yang
membuktikan telah terjadi pernikahan.
43. Mengapa wanita bila dinikahi harus memerlukan wali nikah? Dan mengapakah wali nikah
harus pria? Jelaskan dengan berbagai persfektif kamu ketahui?
Jawab:
Madhab Maliki dan Syafii sepakat bahwa keberadaan wali adalah rukun dalam pernikahan.
Setiap pernikahan yang terjadi tanpa kehadiran wali atau penggantinya maka
pernikahannya batal.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Seorang wanita tidak bisa melaksanakan akad nikahnya sediri dengan alasan apapun, sama
saja apakah ia sudah dewasa atau belum, berakal atau tidak, kecuali dia adalah seorang
janda yang tidaklah sempurna pernikahannya dengan tanpa izin dan kerelaannya.
Madhab Syafii, Maliki dan Hambali sepakat bahwa wali nikah harus laki-laki, maka tidak
sah perwalian seorang perempuan dalam kondisi apapun.
44. Mengapa dan bagaimana pernikahan dapat dilakukan upaya hukum pembatalan? Bagaimana
prosedurnya?
Jawab:
Berdasarkan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebut tegas bahwa
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Permohonan pembatalan dapat diajukan istri atau suami.
Kemudian berkaitan dengan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan: “Seorang
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri”.
Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menambahkan frasa penipuan atau salah sangka,
sehingga menjadi:
“Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami atau istri”.
Jika merasa ada penipuan yang dilakukan suami, maka UU Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam memberikan hak kepada untuk mengajukan permohonan pembatalan
pernikahan.
45. Menurut pasal 31 (3) UU No. 1 tahun 1974 bahwa SUAMI adalah kepala rumah tangga dan
istri adalah ibu rumah tangga. Lalu kaitkan dengan kondisi psikologis dalam fenomena yang
lazim terjadi sekarang. Suami nganggur, istri bekerja. Anak di asuh suami. Kebutuhan
keluarga ditanggung istri. Apakah ketentuan dalam pasal 31 (3) tersebut sesuai dalam kondisi
rumah tangga era sekarang?
Jawab:
Tidak karena kondisi tersebut tidak sesuai dengan maskud dari keadaan yang tercantum
dalam pasal 31 ayat (3) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) www.mnj.my.id
Bandung, 3 Mei 2016
Penulis,
Muhammad Nur Jamaluddin
(MNJ)
Top Related