1.3 Landasan Teori
Bumi yang kita pijak ini adalah bagian dari alam semesta yang begitu luas. Sistem tata surya kita
hanya satu dari milyaran bintang yang ada dijagat raya ini. Bisa kita bayangkan betapa kecilnya
Bumi ini bila dibandingkan dengan alam.
Berbagai bahan pembentuk Bumi terbentuk oleh proses alam yang panjang sejak terbentuknya
Bumi. Jangka waktu pembentukkan tersebut dapat kita ketahui dalam ilmu Geologi dengan
mengamati batuan-batuan yang ada di Bumi. Batuan adalah kumpulan satu atau lebih mineral
(terutama mineral golongan silika / pada Bowen’s series).
Yang dimaksud dengan Mineral sendiri adalah bahan anorganik, terbentuk secara alamiah,
seragam dengan komposisi kimia yang tetap pada batas volumenya dan mempunyai kristal
kerakteristik yang tercermin dalam bentuk fisiknya. Jadi, untuk mengamati proses Geologi dan
sebagai unit terkecil dalam Geologi adalah dengan mempelajari kristal.
Kristalografi adalah suatu ilmu pengetahuan kristal yang dikembangkan untuk mempelajari
perkembangan dan pertumbuhan kristal, termasuk bentuk, struktur dalam dan sifat-sifat fisiknya.
Dahulu, Kristalografi merupakan bagian dari Mineralogi. Tetapi karena bentuk-bentuk kristal
cukup rumit dan bentuk tersebut merefleksikan susunan unsur-unsur penyusunnya dan bersifat
tetap untuk tiap mineral yang dibentuknya., maka pada akhir abad XIX, Kristalografi
dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan tersendiri.
1.3.1 Pengertian Kristal
Kata “kristal” berasal dari bahasa Yunani crystallon yang berarti tetesan yang dingin atau beku.
Menurut pengertian kompilasi yang diambil untuk menyeragamkan pendapat para ahli, maka
kristal adalah bahan padat homogen, biasanya anisotrop dan tembus cahaya serta mengikuti
hukum-hukum ilmu pasti sehingga susunan bidang-bidangnya memenuhi hukum geometri;
Jumlah dan kedudukan bidang kristalnya selalu tertentu dan teratur. Kristal-kristal tersebut
selalu dibatasi oleh beberapa bidang datar yang jumlah dan kedudukannya tertentu.
Keteraturannya tercermin dalam permukaan kristal yang berupa bidang-bidang datar dan rata
yang mengikuti pola-pola tertentu. Bidang-bidang ini disebut sebagai bidang muka kristal. Sudut
antara bidang-bidang muka kristal yang saling berpotongan besarnya selalu tetap pada suatu
kristal. Bidang muka itu baik letak maupun arahnya ditentukan oleh perpotongannya dengan
sumbu-sumbu kristal. Dalam sebuah kristal, sumbu kristal berupa garis bayangan yang lurus
yang menembus kristal melalui pusat kristal. Sumbu kristal tersebut mempunyai satuan panjang
yang disebut sebagai parameter.
Bila ditinjau dan telaah lebih dalam mengenai pengertian kristal, mengandung pengertian sebagai
berikut :
1. Bahan padat homogen, biasanya anisotrop dan tembus cahaya :
tidak termasuk didalamnya cair dan gas
tidak dapat diuraikan kesenyawa lain yang lebih sederhana oleh proses fisika
terbentuknya oleh proses alam
2. Mengikuti hukum-hukum ilmu pasti sehingga susunan bidang-bidangnya mengikuti
hukum geometri :
jumlah bidang suatu kristal selalu tetap
macam atau model bentuk dari suatu bidang kristal selalu tetap
sifat keteraturannya tercermin pada bentuk luar dari kristal yang tetap.
Apabila unsur penyusunnya tersusun secara tidak teratur dan tidak mengikuti hukum-hukum
diatas, atau susunan kimianya teratur tetapi tidak dibentuk oleh proses alam (dibentuk secara
laboratorium), maka zat atau bahan tersebut bukan disebut sebagai kristal.
1.3.2 Proses Pembentukan Kristal
Pada kristal ada beberapa proses atau tahapan dalam pembentukan kristal. Proses yang di alami
oleh suatu kristal akan mempengaruhi sifat-sifat dari kristal tersebut. Proses ini juga bergantung
pada bahan dasar serta kondisi lingkungan tempat dimana kristal tersebut terbentuk.
Berikut ini adalah fase-fase pembentukan kristal yang umumnya terjadi pada pembentukan
kristal :
Fase cair ke padat : kristalisasi suatu lelehan atau cairan sering terjadi pada skala luas
dibawah kondisi alam maupun industri. Pada fase ini cairan atau lelehan dasar pembentuk
kristal akan membeku atau memadat dan membentuk kristal. Biasanya dipengaruhi oleh
perubahan suhu lingkungan.
Fase gas ke padat (sublimasi) : kristal dibentuk langsung dari uap tanpa melalui fase cair.
Bentuk kristal biasanya berukuran kecil dan kadang-kadang berbentuk rangka (skeletal
form). Pada fase ini, kristal yang terbentuk adalah hasil sublimasi gas-gas yang memadat
karena perubahan lingkungan. Umumnya gas-gas tersebut adalah hasil dari aktifitas
vulkanis atau dari gunung api dan membeku karena perubahan temperature.
Fase padat ke padat : proses ini dapat terjadi pada agregat kristal dibawah pengaruh tekanan
dan temperatur (deformasi). Yang berubah adalah struktur kristalnya, sedangkan susunan
unsur kimia tetap (rekristalisasi). Fase ini hanya mengubah kristal yang sudah terbentuk
sebelumnya karena terkena tekanan dan temperatur yang berubah secara signifikan.
Sehingga kristal tersebut akan berubah bentuk dan unsur-unsur fisiknya. Namun,
komposisi dan unsur kimianya tidak berubah karena tidak adanya faktor lain yang terlibat
kecuali tekanan dan temperatur.
1.3.3 Sistem Kristalografi
Dalam mempelajari dan mengenal bentuk kristal secara mendetail, perlu diadakan
pengelompokkan yang sistematis. Pengelompokkan itu didasarkan pada perbangdingan panjang,
letak (posisi) dan jumlah serta nilai sumbu tegaknya.
Bentuk kristal dibedakan berdasarkan sifat-sifat simetrinya (bidang simetri dan sumbu simetri)
dibagi menjadi tujuh sistem, yaitu : Isometrik, Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik,
Monoklin dan Triklin.
Dari tujuh sistem kristal dapat dikelompokkan menjadi 32 kelas kristal. Pengelompokkan ini
berdasarkan pada jumlah unsur simetri yang dimiliki oleh kristal tersebut. Sistem Isometrik
terdiri dari lima kelas, sistem Tetragonal mempunyai tujuh kelas, sistem Orthorhombik memiliki
tiga kelas, Hexagonal tujuh kelas dan Trigonal lima kelas. Selanjutnya Monoklin mempunyai
tiga kelas dan Triklin dua kelas.
Tabel 1.1 Tujuh Sistem Kristal
No Sistem Kristal Axial Ratio Sudut Kristalografi
1 Isometrik a = b = c α = β = γ = 90˚
2 Tetragonal a = b ≠ c α = β = γ = 90˚
3 Hexagonal a = b = d ≠ c α = β = 90˚ ; γ = 120˚
4 Trigonal a = b = d ≠ c α = β = 90˚ ; γ = 120˚
5 Orthorhombik a ≠ b ≠ c α = β = γ = 90˚
6 Monoklin a ≠ b ≠ c α = β = 90˚ ≠ γ
7 Triklin a ≠ b ≠ c α ≠ β ≠ γ ≠ 90˚
1.3.3 Sumbu, Sudut dan Bidang Simetri
Sumbu simetri adalah garis bayangan yang dibuat menembus pusat kristal, dan bila kristal
diputar dengan poros sumbu tersebut sejauh satu putaran penuh akan didapatkan beberapa kali
kenampakan yang sama. Sumbu simetri dibedakan menjadi tiga, yaitu : gire, giroide, dan sumbu
inversi putar.
Sudut simetri adalah sudut antar sumbu-sumbu yang berada dalam sebuah kristal. Sudut-sudut
ini berpangkal (dimulai) pada titik persilangan sumbu-sumbu utama pada kristal yang akan
sangat berpengaruh pada bentuk dari kristal itu sendiri.
Bidang simetri adalah bidang bayangan yang dapat membelah kristal menjadi dua bagian yang
sama, dimana bagian yang satu merupakan pencerminan (refleksi) dari bagian yang lainnya.
Bidang simetri ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu bidang simetri aksial dan bidang simetri
menengah. Bidang simetri aksial bila bidang tersebut membagi kristal melalui dua sumbu utama
(sumbu kristal).
1.3.4 Proyeksi Orthogonal
Proyeksi orthogonal adalah salah satu metode proyeksi yang digunakan untuk mempermudah
penggambaran. Proyeksi orthogonal ini dapat diaplikasikan hamper pada semua penggambaran
yang berdasarkan hukum-hukum geometri. Contohnya pada bidang penggambaran teknik,
arsitektur, dan juga kristalografi. Pada proyeksi orthogonal, cara penggambaran adalah dengan
menggambarkan atau membuat persilangan sumbu. Yaitu dengan menggambar sumbu a,b,c dan
seterusnya dengan menggunakan sudut-sudut persilangan atau perpotongan tertentu. Dan pada
akhirnya akan membentuk gambar tiga dimensi dari garis-garis sumbu tersebut dan membentuk
bidang-bidang muka kristal.
Pada praktikum kristalografi yang dilakukan di laboratorium Kristalografi dan Mineralogi
jurusan Teknik Geologi, Institut Teknologi Medan. Penggambaran kristal menggunakan proyeksi
penggambaran orthogonal ini.
Tabel 1.2 Penggambaran Tujuh Sistem Kristal
No Sistem Kristal Perbandingan Sumbu Sudut Antar Sumbu
1 Isometrik a : b : c = 1 : 3 : 3 a+^bˉ = 30˚
2 Tetragonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+^bˉ = 30˚
3 Hexagonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+=
40˚
4 Trigonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+=
40˚
5 Orthorhombik a : b : c = sembarang a+^bˉ = 30˚
6 Monoklin a : b : c = sembarang a+^bˉ = 45˚
7 Triklin a : b : c = sembarang a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚
1.4 Aplikasi Kristalografi Pada Bidang Geologi
Pada bidang Geologi, mempelajari kristalografi sangatlah penting. Karena untuk mempelajari
ilmu Geologi, kite tentunya juga harus mengetahui komposisi dasar dari Bumi ini, yaitu batuan.
Dan batuan sendiri terbentuk dari susunan mineral-mineral yang tebentuk oleh proses alam. Dan
pada bagian sebelumnya telah dijelaskan tentang pengertian mineral yang dibentuk kristal-
kristal.
Dengan mempelajari kristalografi, kita juga dapat mengetahui berbagai macam bahan-bahan dasar pembentuk Bumi ini, dari yang ada disekitar kita hingga jauh didasar Bumi। Ilmu kristalografi juga dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat berbagai macam mineral yang paling dicari oleh manusia. Dengan alasan untuk digunakan sebagai perhiasan karena nilai estetikanya maupun nilai guna dari mineral itu sendiri. Jadi, pada dasarnya, kristalografi digunakan sebagai dasar untuk mempelajari ilmu Geologi itu sendiri. Dengan alasan utama kristal adalah sebagai pembentuk Bumi yang akan dipelajari.
BAB II
TATA CARA PENDESKRIPSIAN
2.1 Jumlah Unsur Simetri
Jumlah unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai yang ada
dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik pusat dari
kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat mengetahui
dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan menjadi patokan dalam
penggambarannya.
Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah
sebagai berikut:
Pada posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap
nilai sumbu simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar
kristal dengan poros pada sumbu utamanya.
Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta
nilainya. Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama.
Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada
kristal.
Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada
tidaknya titik pusat kristal.
Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.
2.2 Herman-Mauguin
Dalam pembagian Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu Herman-
Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah simbolisasi yang dikenal secara umum
(simbol Internasional).
Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang simetri
dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.
Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing kristal. Dan cara
penentuannya pun berbeda pada tiap Sistem Kristal.
1. Sistem Isometrik
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4.
Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111, apakah bernilai
3 atau 3.
Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau tidak bernilai
yang memiliki arah 110 atau arah lainnya yang terletak tepat
diantara dua buah sumbu utama.
2. Sistem Tetragonal
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin bernilai 4 atau
4.
Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak tepat
diantara dua sumbu utama lateral.
3. Sistem Hexagonal dan Trigonal
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6 atau 3.
Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang terletak
tepat diantara dua sumbu utama horizontal, berarah 1010.
4. Sistem Orthorhombik
Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai dari
sumbu a, b, dan kemudian c.
5. Sistem Monoklin
Pada sistem ini hanya terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.
6. Sistem Triklin
Untuk sistem ini hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan pusat
simetri kristal.
Keseluruhan bagian tersebut diatas harus diselidiki ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus
terhadap sumbu yang dianalisa. Jika ada, maka penulisan nilai sumbu diikuti dengan huruf “m”
(bidang simetri) dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu ditulis dengan “m” saja.
Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian
kristal :
6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang simetri yang tegak lurus
terhadapnya.
m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan terhadapnya terdapat bidang simetri
yang tegak lurus.
2.3 Schoenflish
Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada unsur-unsur
simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang simetri. Simbolisasi Schoenflish
akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan angka yang
masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.
Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada masing-
masing sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada sistem Isometrik. Sedangkan
system-sistem yang lainnya sama cara penentuan simbolnya.
1. Sistem Isometrik
Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai 2 atau 4.
Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan huruf O (Octaheder)
Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T (Tetraheder)
Bagian 2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri.
Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka diberi notasi
huruf h.
Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka diberi notasi huruf h.
Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf v.
Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.
2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan
Triklin
Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu tambahan, ada 2
kemungkinan :
Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)
Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)
Bagian 2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan
menuliskan nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C
(dari bagian 1) dan ditulis agak kebawah.
Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan dengan
menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1.
Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka dinotasikan
dengan huruf h.
Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka dinotasikan dengan huruf
h.
Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf
v.
Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka dinotasikan dengan huruf d.
Tabel 2.1 Contoh Simbolisasi Schoenflish
No Kelas Simetri Notasi (Simbolisasi)
1 Hexotahedral Oh
2 Ditetragonal Bipyramidal D4h
3 Hexagonal Pyramidal D6h
4 Trigonal Pyramidal C3v
5 Rhombik Pyramidal C2v
6 Rhombik Dipyramidal C2h
7 Rhombik Disphenoidal C2
8 Domatic Cv
9 Pinacoidal C
10 Pedial C
4.2 Indeks Miller-Weiss
Indeks Miller dan Weiss adalah salah satu indeks yang sangat penting, karena indeks ini
digunakan pada ancer semua ilmu matematika dan struktur kristalografi. Indeks Miller dan
Weiss pada kristalografi menunjukkan adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-
bidang atau sisi-sisi sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan
menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan memperhatikan apakah sisi atau bidang
tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada kristal tersebut.
Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus dilakukan
selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan Weiss itu sendiri. Penilaian
dilakukan dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh sisi atau
bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu
kristal.
Pada dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh berbeda. Karena apa yang dijelaskan dan cara penjelasannya sama, yaitu tentang perpotongan sisi atau bidang dengan sumbu simetri kristal. Yang berbeda hanyalah pada penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan yang telah didapat sebelumnya dijadikan penyebut, dengan dengan nilai pembilang sama dengan satu. Maka pada Weiss nilai perpotongan tersebut menjadi pembilang dengan nilai penyebut sama dengan satu. Untuk indeks Weiss, memungkinkan untuk mendapat nilai indeks tidak terbatas, yaitu jika sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai perpotongan sumbu sama dengan nol). Dalam praktikum laboratorium Kristalografi dan Mineralogi jurusan Teknik Geologi, ITM, disepakati bahwa nilai tidak terbatas ( ~ ) tersebut digantikan dengan atau disamakan dengan tidak mempunyai nilai (0). Indeks Miller-Weiss ini juga disebut sebagai ancer bentuk. Hal ini adalah karena indeks ini juga akan mencerminkan bagaimana bentuk sisi-sisi dan bidang-bidang yang ada pada kristal terhadap sumbu-sumbu utama kristalnya.
BAB III
SISTEM KRISTAL DAN DESKRIPSI
3.1 Sistem Isometrik
Gambar 3.1 Sistem Isometrik
Sistem ini juga disebut ancer regular, atau bahkan sering dikenal sebagai ancer kubus atau kubik.
Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan
perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, system Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c,
yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, semua sudut
kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Isometrik memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada
sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan
patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, copper, pyrope,
platinum, halite dan spinel.
4.2 Sistem Tetragonal
Gambar 3.2 Sistem Tetragonal
Sama dengan system Isometrik, ancer ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing
saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan sumbu c
berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c ,
yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, semua sudut
kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Tetragonal memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada
sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan
patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Tetragonal ini adalah zircon, beryl, apatite,
erionite dan nepheline.
4.2 Sistem Hexagonal
Gambar 3.3 Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu
lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain.
Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang
atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, ancer Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d
≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak
sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini
berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap
sumbu γ.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Hexagonal memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada
sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan
patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ
membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Hexagonal ini adalah calcite, alunite, dolomite,
siderite, dan smithsonite.
4.2 Sistem Trigonal
Gambar 3.4 Sistem Trigonal
Beberapa ahli memasukkan ancer ini kedalam system Hexagonal. Demikian pula cara
penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada ancer Trigonal setelah terbentuk bidang
dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik
sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c
, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama
dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti,
pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Trigonal memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada
sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan
patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ
membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Trigonal ini adalah quartz, brulite, bentonite,
gratonite, dan tourmaline.
4.2 Sistem Orthorhombik
Gambar 3.5 Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga ancer Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak
lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠
c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama
lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada ancer ini, ketiga
sudutnya saling tegak lurus (90˚).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Orthorhombik memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran
panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Orthorhombik ini adalah brite, celestite, aragonite,
cerussite, dan witherite.
4.2 Sistem Monoklin
Gambar 3.6 Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya.
Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak
tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama,
umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c ,
yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama
lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut
α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Monoklin memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran
panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite, kernite, malachite,
colemanite dan ferberite.
4.2 Sistem Triklin
Gambar 3.7 Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus.
Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, ancer Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c ,
yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama
lain.. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini,
sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, ancer Triklin memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran
panjang pada sumbu-sumbunya pada ancer ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+=
80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ
membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah turquoise, kyanite, albite, microklin dan anorthite।
Top Related