Korupsi, Kekerasan, dan ImpunitasOleh: Herlambang P. Wiratraman*SELASA, 01 AUG 2017 17:56 | EDITOR : MIFTAKHUL F.S
KK
(http://www.jawapos.com/uploads/news/2017/08/01/korupsi-kekerasan-dan-impunitas_m_148062.jpeg)Herlambang P. Wiratraman (Jawa Pos Photo)
ekerasan melekat dengan problem korupsi. Kekerasan sebenarnya jauh lebih serius dan berbahaya daripada situasi
yang dibayangkan DPR melalui Pansus Hak Angket terhadap KPK.
Penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan dan beragam teror terjadi terus-menerus. Bahkan, sejumlah penggiat
antikorupsi kerap menjadi sasaran. Penganiayaan terhadap Tama S. Langkun, aktivis ICW (2010), atau juga penembakan
terhadap Mathur Husaini, penggiat antikorupsi di Bangkalan (2015), memperlihatkan bahwa kerja-kerja antikorupsi
berisiko tinggi.
Riset yang dikerjakan untuk disertasi menemukan bahwa kerja-kerja jurnalistik di berbagai wilayah Indonesia yang paling
berbahaya adalah menulis berita terkait isu korupsi. Penyiksaan, pembunuhan, perusakan/pembakaran kantor media, dan
juga serangan-serangan terhadap jurnalis terjadi karena mengangkat isu korupsi tersebut. Jurnalis seperti Udin di Bantul
(1996), Herliansah di Probolinggo (2006), dan Prabangsa di Bangli (2009) adalah sebagian contoh kekerasan yang berakhir
dengan terbunuhnya jurnalis karena pemberitaan soal korupsi.
Tulisan berikut mendiskusikan mengapa korupsi justru dibarengi kekerasan. Hal itu penting untuk melihat obstruction of
justice (menghalang-halangi hukum) sesungguhnya menjadi problem besar dalam pemberantasan korupsi.
Kekerasan dalam Korupsi
Penggunaan kekerasan atau tekanan fisik merupakan masalah terburuk dalam pemberantasan korupsi (ultimate problem
of obstruction of justice). Budaya kekerasan yang menyertai politik Indonesia tidak lepas dari warisan otoritarianisme
Soeharto. Secara sosiologis, warisan tersebut membentuk setidaknya lima karakter yang mengiringi kasus-kasus korupsi.
https://googleads.g.doubleclick.net/aclk?sa=L&ai=Cs-eyKKqAWaSzMZegoAOo7bVQ3vuVgUvNk86YxQXb2R4QASD0raYjYOmCgIDgDcgBA6kCe0kKFiG2qD6oAwHIA8kEqgTCAU_QTrw-0JhB9ziHcNH1dYzFhKIvOzi0zVgUbg6DQh9Xc8WXr59puUAm9IK-mgu2wl9cJpdy8UuK1EzsiPtbDPp05mKJl5VZm7_LRVvJI7mVUg3cSHL1zYWGJ9yvsBy964B5-yQ6i8rRyQgcV0IWCpVBczM4uj6Lvp5urylqnbuNqHMcfkf-vQl9oKr4pt3FGiC2OI0Zve_wK6iqR23m6QJ72uYnzkCa8-ulE66l1FsXUq2O_JmRdGCxEXNqv_QoG3C1oAYDgAffkdpdqAevyhuoB93KG6gHpr4b2AcB0ggHCIABEAEYArEJCVPNdW6zdUXYEwo&num=1&sig=AOD64_1aVZdAJs85CjxKdGenIvY6dOnRdA&client=ca-pub-2169669932206009&adurl=http://www.suss.edu.sg/programmes/Pages/Graduate-Studies-Overview.aspxhttp://www.jawapos.com/uploads/news/2017/08/01/korupsi-kekerasan-dan-impunitas_m_148062.jpeg
Pertama, teror dan kekerasan terhadap pengungkapan kasus korupsi menjadi fenomena belum siapnya mental dalam
birokrasi dan penyelenggara kekuasaan untuk diawasi publik. Di Kabupaten Poso, contohnya adalah kasus pembunuhan
saksi kasus korupsi Cornelius Ndale, 48, kepala Desa Pinedapa (5/11/2004), dan peledakan bom dua kantor LSM
antikorupsi (28/4/2005).
Kedua, proses reorganisasi kekuasaan terjadi melalui model politik baru dengan pelembagaan kekuatan pemilik modal,
yang memperlihatkan oligarki kekuasaan dan berpengaruh dalam struktur sosial dan negara dalam demokrasi Indonesia
(Robison dan Hadiz 2004).
Ketiga, sistem ketatanegaraan yang dibangun justru menyediakan jalan bagi rekonsolidasi tersebut. Terutama kekuasaan
elektoral yang dominan menampilkan elite-elite politik dan ekonomi.
Keempat, karakter kekerasan dalam pembungkaman kasus korupsi bergeser. Dari model sentralistis Soeharto yang
terhubung dengan jaringan oligarkinya menjadi terdesentralisasi atau menyebar ke konfigurasi politik ekonomi baru di
daerah. Itu sebabnya, kekerasan atas pengungkapan kasus korupsi di daerah tidak serta-merta terkait dengan elite politik di
Jakarta.
Kelima, akumulasi kapital dengan karakter yang tak lagi memusat melahirkan penyebaran pula organ-organ kekerasan
yang diorganisasikan elite-elite politik-ekonomi baru. Sehingga tak mengherankan jika fenomena premanisme yang
terorganisasi (privatized gangsterism) justru tumbuh subur di Indonesia pasca-Soeharto.
Tak Tersentuh Hukum
Korupsi dan kekerasan tampaknya menjadi dua hal tak terpisahkan. Bahkan, korupsi itu sendiri menyuburkan kekerasan.
Studi relasi keduanya terbukti dalam kasus-kasus di Meksiko dan Amerika Tengah (Sonja Wolf 2016), perang sipil di Georgia
(Pavel K. Baev 2003:127144), dan fenomena kekerasan yang didalangi Godfathers di Nigeria (laporan HRW 2007).
Sekjen PBB Kofi Annan (2004), dalam pengantar adopsi Konvensi Antikorupsi (UNCAC), menyatakan bahwa korupsi
adalah suatu wabah yang berbahaya (an insidious plague) yang mengakibatkan dampak luas korosif di tengah masyarakat.
Korupsi melemahkan demokrasi dan negara hukum, mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, mengacaukan pasar,
mengikis kualitas hidup, serta memuluskan kejahatan terorganisasi, terorisme, dan ancaman lainnya terhadap keamanan
manusia.
Bahkan, dalam soal kekerasan, mendapat perhatian khusus. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 25 Konvensi Antikorupsi,
penggunaan tekanan fisik, ancaman, dan intimidasi yang dilakukan terhadap upaya pengungkapan kasus-kasus korupsi,
termasuk dalam proses penegakan hukum, menjadikan kekerasan tersebut sebagai tindakan menghalang-halangi hukum
(obstruction of justice).
Problem utamanya adalah impunitas (tak tersentuh hukum). Kekerasan terhadap penyidik KPK, penggiat antikorupsi, dan
jurnalis, ironisnya, berakhir tanpa kejelasan siapa yang terlibat serta dimintai pertanggungjawaban hukumnya. Seakan
kasus-kasus tersebut hilang begitu saja. Bila proses hukum bekerja, lebih disebabkan faktor politik yang mendukung
bekerjanya proses hukum.
Dalam kasus terbunuhnya jurnalis Radar Bali (Jawa Pos Group) Prabangsa, sejak ditemukan jenazahnya di Pantai Padang
Bai, Karangasem, (2009) hingga proses hukum yang akhirnya menghukum sejumlah pejabat daerah yang terlibat korupsi
dan membunuhnya, hanya dimungkinkan karena meluasnya tekanan publik dan lampu hijau perkenan dan dukungan
politik untuk pengungkapan kasusnya (Wiratraman 2014).
Sayangnya, politik hukum untuk pengungkapan kasus-kasus kekerasan terhadap gerakan antikorupsi kurang mendapat
perhatian dan komitmen politik yang kuat dari penyelenggara kekuasaan hari ini. Yang terjadi justru tarik-menarik
kepentingan, bukan dalam rangka membentengi pergerakan antikorupsi, melainkan sebaliknya, membiarkan situasi
intimidatif tersebut seraya melucuti kewenangan KPK dan seolah tak peduli kekerasan demi kekerasan terus terjadi.
Bila demikian, situasi itu akan membawa penghancuran bangsa ini menuju brutalitas politik yang dampaknya sungguh
memperpuruk masa depan kesejahteraan sosial di tanah air. (*)
*) Ketua Pusat Studi Hukum HAM FH Unair
! #korupsi dan kekerasan (http://www.jawapos.com/tag/135992/korupsi-dan-kekerasan)#herlambang wiratrama (http://www.jawapos.com/tag/135993/herlambang-wiratrama)
http://www.jawapos.com/tag/135992/korupsi-dan-kekerasanhttp://www.jawapos.com/tag/135993/herlambang-wiratrama