KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PERSPEKTIF
IBNU QAYYIM AL JAUZIYYAH DALAM KITAB MANHAJ
TARBIYAH IBNU QAYYIM KARYA HASAN BIN ALI AL HIJAZY
SERTA RELEVANSINYA DENGAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Nia Kurniawati
NIM: 111-14-141
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
i
KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PERSPEKTIF
IBNU QAYYIM AL JAUZIYYAH DALAM KITAB MANHAJ
TARBIYAH IBNU QAYYIM KARYA HASAN BIN ALI AL HIJAZY
SERTA RELEVANSINYA DENGAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh:
Nia Kurniawati
NIM: 111-14-141
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
Artinya: “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Mujaadilah: 11) (Depag, 2008: 900)
vii
PERSEMBAHAN
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunia-
Nya skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Ayahku dan ibundaku tersayang, Sonhaji dan Kominah yang selalu
membimbingku, memberikan doa, nasihat, kasih sayang, dan motivasi dalam
kehidupanku.
2. Saudara kandungku adik, Muhammad Iqbal Zamanul Khaq dan Muhammad
Yusuf Ali Ariyadi, atas motivasi yang tak ada hentinya kepadaku sehingga
proses penempuhan gelar sarjana ini bisa tercapai.
3. Keluarga besarku yang selalu mendukung dan menyemangatiku.
4. Sahabat dan teman dekat seperjuanganku, Putri, Hafidzah, Fatma, dan
Za‟iimah yang selalu memberikan motivasi kepadaku dan membantu
menyelesaikan skripsi ini.
5. Teman-teman seperjuangan IAIN Salatiga angkatan 2014 khususnya PAI
2014 yang setiap hari bersama-sama dalam suka dan duka selama empat
tahun.
viii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas limpahan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta
salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang merupakan suri
tauladan bagi seluruh umat Islam yang dapat mereformasi umat manusia dari zaman
kegelapan menuju zaman terang benerang dengan ajaran agama Islam.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai
pihak yang telah memberikan dukungan dan membantu penulis menyelesaikan
skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Ibu Dra. Maryatin, M.Pd. selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing
dengan ikhlas saya dari awal hingga skripsi ini dapat selesai.
5. Bapak Drs. Sumarno Widjadipa, M.Pd. selaku dosen Pembimbing Akademik.
6. Bapak dan Ibu dosen yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, serta
karyawan IAIN Salatiga sehingga penulis dapat menyelesaikan jenjang
pendidikan S1.
7. Bagian Akademik yang senantiasa memberikan pelayanan akademik yang
membantu melancarkan proses pembuatan skripsi dengan lancar
ix
8. Bagian Perpustakaan yang memberikan ruang untuk membuat skripsi dengan
bahan sumber buku dan rujukan yang lengkap.
9. Tak lupa kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses pembuatan skripsi ini
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan. Penulis hanya bisa berdoa
kepada Allah SWT., semoga jasa dan amal kebaikan yang tercurahkan diridhoi oleh
Allah SWT., dengan mendapatkan balasan yang berlipat ganda.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 29 Agustus 2018
Penulis
x
ABSTRAK
Kurniawati, Nia. 2018. Konsep Pendidikan Agama Islam Perspektif Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah dalam Kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim Karya Hasan Bin Ali
Al Hijazy Serta Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Dra.
Maryatin, M.Pd
Kata Kunci: Konsep, Pendidikan Islam, perspektif, Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Tujuan yang ingin dicapai penelitian ini adalah: 1) mendeskripsikan konsep
pendidikan agama Islam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah dalam kitab Manhaj
Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali Al Hijazy, 2) Mendeskripsikan
pendidikan agama Islam di Indonesia 3) mendeskripsikan relevansi konsep
pendidikan agama Islam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah dalam kitab Manhaj
Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali Al Hijazy dengan pendidikan agama
Islam di Indonesia..
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepusatakaan (library
research) dan pendekatan historis dan filosofis. Sumber data primer yang digunakan
adalah buku karya Hasan bin Ali Al-Hijazy berjudul “Manhaj Tarbiyah Ibnu
Qayyim”. Sedangkan sumber data sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang
berhubungan dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
metode dokumentasi dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan
cara mendeskripsikan hasil penelitian sehingga dapat menjadi sebuah laporan.
Hasil penelitian menunjukkan: 1) konsep pendidikan agama Islam perspektif
Ibnu Qayyim, pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan saja, namun juga
pembinaan akhlak dan moral yang baik sesuai ajaran Islam. 2) pendidikan agama
Islam di Indonesia saat ini sudah berjalan dengan baik di lembaga pendidikan
dibawah naungan kemenag, sedangkan pada lembaga pendidikan umum kurang
karena kurangnya jam pelajaran pendidikan agama Islam 3) Relevansi pendidikan
Islam dalam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah dengan pendidikan agama Islam di
Indonesia pada era globalisasi adalah pemikiran Ibnu Qayyim sesuai dengan
pendidikan agama Islam di Indonesia terutama terutama pada pendidikan agama
Islam dibawah kelembagaan Kemenag dan Kemendikbud.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................
HALAMAN BERLOGO .....................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...........................................................
PENGESAHAN KELULUSAN ..........................................................................
MOTTO ...............................................................................................................
PERSEMBAHAN ................................................................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................
ABSTRAK ...........................................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
x
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 5
E. Penegasan Istilah ....................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori ........................................................................... 9
B. Kajian Terdahulu ....................................................................... 20
xii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ................................................ 23
B. Sumber Data .............................................................................. 24
C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 25
D. Analisis Data ............................................................................. 26
E. Sistematika Penulisan ................................................................ 27
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .......................................................................... 29
B. Pembahasan ............................................................................... 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 85
B. Saran .......................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................
89
91
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Tugas Pembimbing
Lampiran 2 Lembar Konsultasi
Lampiran 3 SKK
Lampiran 4 Daftar Riwayat Hidup Penulis
Lampiran 5 Cover Buku
Lampiran 6 Tokoh
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau
sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup
dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental ( Sudirman, dkk, 1989: 3-4).
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) melalui lembaga UNESCO (United Nations,
Educational, Scientific and Cultural Organization) yang bergerak dibidang
pendidikan, pengetahuan dan budaya mencanangkan empat pilar pendidikan
yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4)
learning to live together (Laksana, 2016: 46).
Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan. Sifatnya mutlak dalam kehidupan, baik dalam kehidupan
seseorang, keluarga, maupun bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa
banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu. khususnya
pendidikan Islam yang memiliki peran penting dalam kehidupan setiap umat
Islam.
Para pakar pendidikan agama Islam dengan berbagai ungkapan pada
umumnya sepakat bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah membina pribadi
yang berakhlak. Senada dengan tujuan tersebut Ahmad D. Marimba menyatakan
bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju
terbentuknya kepribadian menurut ukuran-ukuran Islam (Nata, 2003: 52).
2
Pendidikan agama Islam memiliki dua sumber pokok yang sangat penting,
yaitu al-Qur‟an dan Sunnah Nabi yang mengandung ayat-ayat mufasshalat
(terinci) dan ayat-ayat mubayyinat (yang memberikan bukti-bukti kebenaran)
yang mendorong orang untuk belajar membaca dan menulis serta menuntut ilmu,
memikirkan juga menganalisa setiap ciptaan langit dan bumi.
Pendidikan agama Islam telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang baik. Dalam perjalanannya, pendidikan agama Islam telah mengalami
banyak rintangan dan halangan dengan mengusung misi untuk memasyarakatkan
ajaran Islam. Kini pendidikan agama Islam telah berkembang pesat. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya lembaga-lembaga pendidikan agama Islam yang telah
muncul di berbagai daerah.
Arus globalisasi menimbulkan banyak dampak bagi kehidupan manusia,
termasuk dalam salah satunya mengenai pendidikan terlebih dalam hal pendidikan
agama Islam. Dalam era globalisasi yang kini ilmu pengetahuian dan teknologi
telah mengalami perkembangan yang sangat pesat ini, pendidikan agama Islam
semakin dipertanyakan keberadaan dan keikutsertaannya, terlebih jika dikaitkan
dengan perannya terhadap pembentukan budaya modern yang sangat dipengaruhi
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan pada era yang lebih modern ini lebih mengutamakan
kecerdasan kognitif dan kecerdasan psikomotorik dan kurang dalam hal
kecerdasan afektif. Terbukti dengan banyaknya lembaga pendidikan yang
melahirkan peserta didik yang cerdas dan memiliki ketrampilan yang baik, namun
3
masih banyak peserta didik yang tawuran, terlibat dalam pem-bully-an, korupsi,
banyak yang terlibat dalam perbuatan kriminal dan lain sebagainya yang telah
merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Pendidikan agama Islam sendiri
memiliki peranan yang sangat penting dalam penanaman nilai-nilai karakter atau
nilai-nilai moral agar dapat melahirkan lulusan yang tidak hanya memiliki
kecerdasan kognitif dan kecerdasan psikomotorik saja, tapi dapat memiliki
kecerdasan afektif.
Namun, bukan berarti pendidikan agama Islam hanya sekedar memproses
penanaman nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif arus
globalisasi. Yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai karakter yang
ditanamkan dalam pendidikan agama Islam itu tersebut mampu berperan sebagai
kekuatan pembebasan dari himpitan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan
sosial budaya dan ekonomi (Shofan, 2004: 28). Walaupun begitu, tentu saja tidak
bisa menyalahkan kemajuan teknologi yang begitu pesat, karena ilmu pengetahui
dan teknologi itu sendiri merupakan tumpuan harapan manusia. Pendidikan
agama Islam memiliki peran penting dalam proses pembentukan individu yang
tidak hanya cerdas, namun juga memiliki karakter yang baik dan paham akan
ajaran agama yang tidak hanya untuk dipahami saja, tapi juga untuk diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga individu tersebut dapat tumbuh menjadi
pribadi yang tak hanya memiliki kecerdasan akademis saja, namun juga akan
tumbuh menjadi pribadi yang memiliki karakter baik.
4
Ketika membicarakan pendidikan agama Islam tentunya berbicara tentang
konsep pendidikannya. Konsep-konsep pendidikan agama Islam yang ada saat ini
tentu saja tidak lepas dari konsep pendidikan agama Islam yang ada pada era
klasik yang terlahir dari pemikiran-pemikiran para tokoh filosof pendidikan
agama Islam. Cukup banyak tokoh pendidikan agama Islam pada era klasik yang
menyumbangkan pemikirannya pada bidang pendidikan, salah satunya konsep
pendidikan agama Islam itu sendiri.
Banyak tokoh pendidikan agama Islam yang ada diantaranya, yaitu Ibnu
Sina, Al Ghazali, Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi. Namun peneliti disini
mencoba untuk menjabarkan konsep pendidikan Islam perspektif Ibnu Qayyim al
Jauziyyah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dengan ciri dan kepribadiannya sebagai
seorang alim, niscaya akan ditemukan pandangan dan petunjuk beliau tentang
tarbiyah, di samping kesungguhannya dalam membahas fikih, aqidah, tasawuf,
nahwu dan bahasa. Ibnu Qayyim al Jauziyyah merumuskan bahwa pendidikan
qalb (hati) dan pendidikan badan harus berjalan bersamaan. Karena pendidikan
apabila tidak dibarengi dengan kondisi hati dan badan yang sehat tentu akan
menghambat proses belajar mengajar.
Dapat ditemukan nasehat-nasehat beliau tentang tarbiyah dalam tumpukan
buku-buku karangannya. Sebagai contoh, ketika beliau berbicara tentang fitrah
manusia yang merupakan obyek utama dalam kerja tarbiyah, beliau berkata,
“Seandainya fitrah tersebut dibiarkan sesuai dengan fitrah penciptanya, maka tak
ada satu pun perkara yang akan merusaknya, merubah dan membengkokkannya
5
dari fitrah aslinya, dan niscaya ia akan mengakui ketauhidan Allah dan
melaksanakan kewajiban bersyukur dan taat kepada-Nya.”.
Berdasarkan uraian di atas yang merupakan gambaran untuk memperoleh
hasil pembelajaran yang lebih baik lagi mengenai konsep pendidikan dalam
Islam, maka peneliti tertarik untuk membahas masalah ini dalam sebuah karya
ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul “Konsep Pendidikan Agama Islam
Perspektif Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu
Qayyim Karya Hasan Bin Ali Al Hijazy Serta Relevansinya dengan
Pendidikan Agama Islam di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah ini, penulis memiliki beberapa hal
sebagai rumusan masalah, yang meliputi:
1. Bagaimana konsep pendidikan agama Islam perspektif Ibnu Qayyim al
Jauziyyah dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali Al
Hijazy?
2. Bagaimana pendidikan agama Islam di Indonesia?
3. Bagaimana relevansi konsep pendidikan agama Islam perspektif Ibnu Qayyim
al Jauziyyah dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali
Al Hijazy dengan pendidikan agama Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang ingin dicapai oleh penulis berkaitan dengan
judul penelitian ini antara lain:
6
1. Mendeskripsikan konsep pendidikan agama Islam perspektif Ibnu Qayyim al
Jauziyyah dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali Al
Hijazy.
2. Mendeskripsikan pendidikan agama Islam di Indonesia.
3. Mendeskripsikan relevansi konsep pendidikan agama Islam perspektif Ibnu
Qayyim al Jauziyyah dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan
Bin Ali Al Hijazy dengan pendidikan agama Islam di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan di
bidang pendidikan agama Islam khususnya relevansi konsep pendidikan
agama Islam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah dalam kitab Manhaj
Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali Al Hijazy serta relevansinya
dengan pendidikan agama Islam di Indonesia pada masa kini.
b. Sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar S-1 di IAIN
Salatiga.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi pendidik
atau lembaga pendidikan Islam, serta pihak lain untuk menambah
khazanah pengetahuan tentang pendidikan Islam.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
pendidikan agama Islam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah, dengan
7
harapan dapat diketahui relevansi konsep pendidikan agama Islam
perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu
Qayyim karya Hasan Bin Ali Al Hijazy dengan pendidikan agama Islam di
Indonesia.
c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
tentang pendidikan Islam.
E. Penegasan Istilah
Agar pengertian judul skripsi tentang “Konsep Pendidikan Agama Islam
Perspektif Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu
Qayyim Karya Hasan Bin Ali Al Hijazy Serta Relevansinya dengan Pendidikan
Agama Islam di Indonesia” ini tidak menyimpang dari makna yang diinginkan,
maka perlu dijelaskan disini mengenai istilah pada judul yang telah diangkat oleh
penulis.
1. Pendidikan Agama Islam
Menurut al Toumy (Mujtahid, 2011: 17) pendidikan agama Islam
adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau
masyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses
kependidikan berlandaskan nilai agama Islam.
2. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Menurut al Hijazy (2001: 76) pendidikan menurut Ibn Qayyim
mencakup pendidikan hati (qalb) dan pendidikan badan sekaligus. Dan beliau
menjelaskan tentang kaifiyat (cara) mendidik hati dan badan tersebut.
8
Beliau berkata antara hati dan badan sama-sama membutuhkan
pendidikan.
3. Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Pendidikan Islam yang bermakna usaha untuk mentransfer nilai-nilai
budaya Islam kepada generasi muda di Indonesia, masih dihadapkan pada
persoalan dikotomis dalam sistem pendidikannya. Pendidikan Islam bahkan
diamati dan disimpulkan terkukung dalam kemunduran, kekalahan,
keterbelakangan, ketidakberdayaan, perpecahan, dan kemiskinan,
sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat
Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam (Saikhu, 2001: 66).
Pengertian judul secara keseluruhan adalah Konsep Pendidikan Agama
Islam Perspektif Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu
Qayyim Karya Hasan Bin Ali Al Hijazy Serta Relevansinya dengan Pendidikan
Agama Islam di Indonesia, maksudnya adalah pemikiran Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah mengenai pendidikan agama Islam yang dideskripsikan dalam kitab
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan bin Ali Al Hijazy serta relevansinya
dengan pendidikan agama Islam yang ada di Indonesia saat ini.
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Konsep Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah tarbiyah
yang berasal dari kata kerja rabba (Roqib, 2009: 14). Kata tarbiyah asal
katanya adalah rabba-yurabbi, dalam makna aslinya adalah memberi
makan dan menjadikannya berkembang, mendidik. Secara istilah tarbiyah
dapat diartikan menyampaikan suatu sedikit demi sedikit hingga
sempurna.
Dalam artian yang lebih luas, tarbiyah dapat diartikan menjaga dan
memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh), mengembangkan
seluruh potensi, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju
kesempurnaan, dan dilaksanakan secara bertahap (Mufron, 2013: 4).
Menurut Mufron (2013: 5) pendidikan agama Islam dapat diartikan
dengan bimbingan pribadi Muslim. Pendidikan agama Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syafaruddin (2014: 38) pendidikan agama Islam
adalah proses bimbingan terhadap fitrah anak agar tertanam dalam dirinya
10
nilai-nilai Islam yang mencakup tauhid, ibadah, akhlak, dan mu‟amalah
menuju terbentuknya kepribadian muslim sejati.
Berdasarkan pemaparan beberapa tokoh tersebut dapat disimpulkan
bahwa pendidikan agama Islam adalah proses bimbingan jasmani dan
rohani yang sesuai dengan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya
kepribadian seorang muslim yang sejati.
b. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan pendidikan agama Islam adalah terbentuknya kepribadian
muslim seutuhnya. Suatu kepribadian utama yang memiliki nilai-nilai
agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-
nilai Islam dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam
(Syafaruddin, 2014: 41).
Konferensi dunia Islam yang diadakan di Makkah pada tahun 1977,
tujuan pendidikan agama Islam diarahkan selangkah lebih maju, dimana di
dalam konferensi tersebut disepakati bahwa:
Pendidikan agama Islam seharusnya bertujuan mencapai
pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total
melalui latihan, semangat, intelek, rasional diri, perasaan, dan kepekaan
tubuh. Karena itu, pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi
pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual,
imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara
11
kolektif. Di samping itu memotivasi semua aspek tersebut ke arah
kebaikan dan kesempurnaan (Mufron, 2013: 25-26)
c. Sasaran Pendidikan Agama Islam
Para pendidik agama Islam pada umunya memiliki pandangan yang
sama bahwa didikan Islam mencakup berbagai bidang, yaitu keagamaan,
akidah dan amaliah, akhlak dan budi pekerti, dan fisik-biologis, eksak,
mental-psikis dan kesehatan. Dari penjelasan tersebut, maka dapat
dinyatakan bahwa sasaran pendidikan agama Islam, meliputi (Roqib,
2009: 22):
1) Setiap proses perubahan menuju ke arah kemajuan dan perkembangan
berdasarkan ruh ajaran Islam.
2) Perpaduan antara pendidikan jasmani, akal (intelektual), mental
perasaan (emosi), dan rohani.
3) Keseimbangan antara jasmani-rohani, keimanan-ketakwaan, pikir-
dzikir, ilmiah-alamiah, materiil-spiritual, individual-sosial, dan dunia-
akhirat.
4) Realisasi dwi fungsi manusia, yaitu peribadatan sebagai hamba Allah
untuk menghambakan diri semata-mata kepada Allah dan fungsi
kekhalifahan sebagai khalifah Allah yang diberi tugas untuk
menguasai, memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan
memakmurkan alam semesta.
12
d. Pendidik dalam Pendidikan Agama Islam
Pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab
terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan seluruh
potensi anak didik, baik potensi efektif, kognitif maupun psikomotorik.
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggungjawab memberi
pertolongan pada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri
dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi
tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah swt dan mampu sebagai
makhluk individu yang mandiri.
Pendidik dalam pendidikan agama Islam adalah setiap orang
dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggungjawab atas
pendidikan dirinya dan orang lain (Syafaruddin, 2014: 54-55). Seseorang
dapat dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan
agama Islam apabila memenuhi dua kriteria berikut (Mufron, 2013: 32):
1) Alim, yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan syariahnya
Nabi Muhammad SAW, sehingga ia akan mampu mentranformasikan
ilmu yang komprehensif tidak setengah-setengah.
2) Adil riwayat, yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan
mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik karena
pendidik tidak hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada
13
peserta didiknya saja, namun juga pendidik harus mampu menjadi
contoh dan suri tauladan bagi seluruh peserta didiknya.
Syarat kepribadian yang harus dimiliki oleh pendidik agar dapat
menjadi pendidik yang baik, yaitu zuhud dan ikhlas, bersih lahir dan batin,
pemaaf, sabar dan mampu mengendalikan diri, bersifat kebapakan atau
keibuan (dewasa), dan mengenal dan memahami peserta didik dengan
baik (baik secara individual maupun kolektif). Oleh karena itu, tidaklah
mudah menjadi pendidik muslim yang baik. Kepribadian pendidik harus
merupakan refleksi dari nilai-nilai Islam (Roqib, 2009: 44).
e. Peserta Didik dalam Pendidikan Agama Islam
Peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan menurut fitrahnya masing-masing.
Mereka perlu bimbingan dan pengarahan yang konsisten dan
berkesinambungan menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Peserta didik tidak hanya sebagai obyek pendidikan tetapi juga sebagai
subyek pendidikan, diperlakukan dengan cara melibatkan mereka dalam
memecahkan masalah-masalah dalam proses pembelajaran (Syafaruddin,
2014: 46). Enam kriteria peserta didik adalah (Mufron, 2013: 50):
1) Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki
dunianya sendiri.
2) Peserta didik memiliki periodesasi perkembangan dan pertumbuhan
14
3) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu
baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana dia
berada.
4) Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur
jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati
nurani dan nafsu.
5) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
6) Dalam proses pendidikan, peserta didik disamping sebagai objek juga
sebagai subjek.
Etika peserta didik merupakan sesuatu yang harus dilakukan dalam
proses pembelajaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada
sebelas kewajiban seorang peserta didik, yaitu (Mufron, 2013: 80-82):
1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela.
2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan dengan
masalah ukhrawi.
3) Bersikap tawadu‟ (rendah hati) dengan cara meninggalkan
kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
4) Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
15
5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun
untuk duniawi.
6) Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah
menuju pelajaran yang sukar.
7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu
yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu
pengetahuan secara mendalam.
8) Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu
ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia akhirat.
11) Peserta didik harus tunduk pada nasehat pendidik.
Etika peserta didik tersebut perlu disempurnakan dengan empat
akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu, yaitu (Mufron, 2013: 82-83):
1) Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit
jiwa sebelum dia menuntut ilmu. Karena belajar merupakan ibadah
yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih.
2) Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka
menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada
Allah.
16
3) Seorang peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu
pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang
datang.
4) Seorang peserta didik harus ikhlas dalam menuntut ilmu degnan
menghormati guru atau pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari
guru dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.
2. Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia saat ini seringkali menghadapi
problematika, dimana pendidikan Islam di Indonesia saat ini adalah terdiri
dari pendidikan formal yang proses pembelajarannya secara klasikal yang
diselenggarakan oleh negara atau swasta dan pendidikan nonformal dengan
pembelajaran bersifat tradisional. Akibat sistem pendidikan nasional yang
sekuler-materialistik, maka terjadi dikotomi pendidikan yang sudah berjalan
puluhan tahun, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Pada akhirnya,
pengelolaan pendidikan secara kelembagaan terjadi pemisahan, dimana
pendidikan agama dikelola oleh Departemen Agama dan pendidikan umum
dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Sistem pendidikan yang berlaku saat ini juga mengandung faktor
diskriminatif, karena pada dasarnya sekolah-sekolah yang berdiri di
masyarakat baik itu naungan pemerintah maupun swasta yang dikelola oleh
masyarakat masih dikelompokkan dalam kategori terdaftar, diakui, dan
disamakan. Karena pada sekolah swasta (termasuk mayoritas madrasah
17
sebagai lembaga pendidikan Islam) lebih merakyat dan murah daripada
sekolah negeri, maka hal ini akan berdampak pada rendahnya mutu karena
lebih sedikit dana, sarana, dan perhatian dari pemerintah yang kurang
memusatkan pada lembaga pendidikan swasta tersebut.
Strategi pendidikan Nasional diupayakan untuk membekali generasi
muda agar mampu membawa bangsa dan negara Indonesia sejajar dengan
negara yang lebih maju. Namun dalam kenyataannya dan sistem operasional
tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Dalam penyelenggaraan
sistem pendidikan, sistem kerjanya dilaksanakan dibawah otoritas kekuasaan,
padahal dalam lembaga pendidikan merupakan lembaga akademik bukan
lembaga administrasi kenegaraan (Mansur, 2004: 162-166).
Pendidikan Islam di Indonesia selama ini terkesan agak terhambat oleh
berbagai masalah mulai dari persoalan dana maupun tenaga ahli. Tantangan
utama yang dihadapi umat Islam saat ini adalah peningkatan sumber insaninya
dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas
masyarakat dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin
pesat. Melalui ajaran Islam atau pendidikan Islam agar mampu
menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat (Mansur, 2004: 186).
Selain hal tersebut, pelaksanaan pendidikan Islam belum berjalan
dengan baik dikarenakan tujuan dan visi pendidikan Islam yang belum
berhasil dirumuskan dengan baik. Akibatnya, lulusan pendidikan Islam hanya
memiliki kesempatan dan peluang yang terbatas, yaitu hanya sebagai
18
pengawal moral bangsa. Keadaan yang demikian merupakan masalah besar
yang perlu untuk segera diatasi.
Permasalahan tersebut diperparah dengan tidak tersedianya tenaga
pendidik Islam yang profesional, yaitu tenaga pendidik yang selain menguasai
materi ilmu yang diajarkannya secara baik, namun juga harus mampu
mengajarkan dengan efisien dan efektif kepada peserta didik. Hal ini
diakibatkan oleh adanya sumber daya pendidik yang rata-rata di bawah
kategori bibit unggul, serta lebih didasarkan pada motivasi keagamaan dan
bukan kompetensi profesionalitas (Nata, 2003:2-3).
3. Pendidikan yang Seharusnya Diterapkan di Indonesia
Agar tujuan pendidikan nasional juga tujuan pendidikan Islam dapat
terwujud sesuai dengan apa yang diharapkan dapat dilakukan beberapa hal
untuk mengatasi permasalahan yang ada, yaitu pihak lembaga pendidikan
dapat melakukan kerjasama yang paling menguntungkan dengan masyarakat
atau pemakai lulusan pendidikan. Pihak perusahaan, departemen, atau
lembaga-lembaga sosial, dan sebagainya perlu diajak kerjasama. Mereka dari
satu sisi dapat memberikan dana atau kesempatan, sedangkan bagi kalangan
dunia pendidikan yang dapat memberikan konsep-konsep inovatif yang dapat
meningkatkan usaha mereka. Kerjasama seperti ini sebenarnya sudah
dilakukan di zaman kejayaan Islam dan juga oleh lembaga-lembaga
pendidikan di negara-negara maju.
19
Untuk mengatasi kurangnya tenaga pendidik yang profesional dapat
dilakukan dengan melakukan pembenahan dari tiga aspek, yaitu 1) aspek
peningkatan wawasan akademik yang meliputi wawasan medan keilmuan,
wawasan medan objektif peserta didik, dan wawasan objektif masa depan, 2)
aspek metodik yang meliputi strategi belajar mengajar, disain instruksional,
dan evaluasi hasil belajar, dan 3) aspek religik yang meliputi pendidikan
wawasan nilai dan satunya ilmu, iman dan amal (Thoha, 1996: 42-43).
Ciri-ciri keprofesionalan seorang pendidik dapat diambil garis
besarnya ada tiga, yaitu (Nata, 2003: 142):
1) Seorang pendidik yang prosesional harus menguasai bidang ilmu
pengetahuan yang akan diajarkannya dengan baik
2) seorang pendidik harus memiliki kemampuan menyampaikan atau
mengajarkan ilmu yang dimilikinya (transfer of knowledge)
3) seorang pendidik harus berpegang teguh kepada kode etik profesional.
Sedangkan kode etik atau akhlak yang harus dimiliki oleh seorang
pendidik agar dapat menjadi seorang pendidik yang baik diantaranya, yaitu
(Nata, 2003: 137):
1. Tingkah laku yang diperbuat itu telah mendarah daging dan menyatu
menjadi kepribadian yang membedakan antara satu individu dengan
individu yang lain
2. Tingkah laku tersebut sudah dapat dilakukan dengan mudah dan tanpa
memerlukan pemikiran lagi.
20
3. Perbuatan yang dilakukan itu timbul atas tekanan dari orang lain.
4. Perbuatan yang dilakukan itu berada dalam keadaan yang sesungguhnya,
bukan kepura-puraan maupun bersandiwara.
5. Perbuatan tersebut dilakukan atas niat semata-mata karena Allah, sehingga
perbuatan tersebut bernilai ibadah dan kelak mendapatkan balasan dari
Allah SWT.
B. Kajian Terdahulu
Penelitian yang menyangkut tentang konsep pendidikan Islam dan
kontribusi tokoh Ibnu Qayyim telah banyak dilakukan oleh penelitian terdahulu,
dan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini antara lain, yaitu:
1. Amrin, 2016, Etika Islam Dalam Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, UIN
Alauddin Makassar. Dia menjelaskan bahwa Ibnu Qayyim al-Jauziyah sangat
menekankan nilai-nilai etika Islam dalam kehidupan ini demi kemaslahatan
bersama. Disinilah dia sangat menekankan betapa pentingnya nilai-nilai etika
yang terkandung dalam ajaran agama Islam. Dalam pemikiran Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, beliau memiliki konsep etika Islam (akhlak) dengan membagi
keutamaan akhlak menjadi empat sifat, yaitu al-Jahl (kebodohan), al-dhalm
(kedzaliman), al-syahwah (syahwat), dan al-ghadlab (marah).
2. Syukur Yakub, 2013, Konsep Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia menjelaskan
bahwa pendidikan anak usia dini menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam
kitab Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud merupakan konsep pendidikan
21
anak usia dini yang diterapkan kepada anak usia sebelum umur tujuh tahun.
Di mana karakteristik pendidikan ini menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
merupakan pondasi awal bagi perkembangan pendidikan anak selanjutnya.
Aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan pendidikan anak usia dini
menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah adalah dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor Hereditas (keturunan) dan faktor Lingkungan. Relevanasi konsep
pendidikan anak usia dini dengan pendidikan Islam yaitu bahwa hubungan
antara anak usia dini terhadap pendidikan Islam sangatlah dipengaruhi oleh
keturunan dan lingkungan, yang dalam prosesnya sangatlah ditentukan oleh
faktor orang tua dalam mengasuh dan mendidiknya dari segi tanggung jawab
pendidikan.
3. Husni Mubaroq, 2008, Pengaruh Maksiat Terhadap Penyakit Hati Menurut
Ibn Al Qyyim Al Jauziyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia menjelaskan
bahwa dalam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah maksiat itu masuk melalui
empat pintu, yaitu Al Lahazhat (pandangan pertama), al khatharat (pikiran
yang terlintas di benak), al lafatzhat (ungkapan yang diucapkan), dan al
khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan). Kemudian, dosa dan
maksiat karena hati yang sakit menyebabkan seseorang terus terjerumus
dalam perbuatan yang menjauhkan dirinya dari Allah. Hal ini berakibat pada
hilangnya berkah, rasa malu, dan kenikmatan yang seharusnya diterima oleh
hamba serta berujung pada syirik, cinta dunia, laknat dan kehancuran.
22
Berdasarkan penelitian di atas, peneliti menemukan persamaan dari ketiga
skripsi tersebut, yaitu terletak pada tokoh Ibnu Qayyim al Jauziyyah. Sedangkan
perbedaannya jika Amrin menjelaskan tentang pemikiran Ibnu Qayyim terhadap
Etika Islam, sedangkan Syukur Yakub menjelaskan tentang pemikiran Ibnu
Qayyim al Jauziyyah terhadap Pendidikan anak usia dini. Sementara itu, Husni
Mubaroq menjelaskan pemikiran Ibnu Qayyim al Jauziyyah tentang pengaruh
maksiyat terhadap penyakit hati. Jadi, ketiga skripsi ini memiliki persamaan
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu, ketiga penelitian di atas
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah tokoh yang diangkat,
yaitu Ibnu Qayyim al Jauziyyah.
Perbedaan penelitian Amrin dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
terletak pada pemikiran Ibnu Qayyim, yang dimana Amrin mengangkat tentang
Etika Islam, peneliti mengangkat tentang Konsep pendidikan agama Islam.
Perbedaan penelitian Syukur Yakub dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti terletak pada pemikiran Ibnu Qayyim, yang dimana Syukur Yakub
mengangkat tentang pendidikan anak usia dini, sedangkan peneliti mengangkat
tentang konsep pendidikan agama Islam. Perbedaan penelitian yang dilakukan
oleh Husni Mubaroq dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada
pemikiran Ibnu Qayyim al Jauziyyah yang diangkat, yang dimana Husni Mubaroq
mengangkat mengenai pengaruh maksiyat terhadap penyakit hati, sedangkan
peneliti disini mengangkat pemikiran Ibnu Qayyim al Jauziyyah mengenai
Konsep Pendidikan agama Islam.
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
kepusatakaan (library research). Menurut Zed penelitian kepusatakaan
(library research) adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengolah
bahan penelitian (Kartiningrum, 2015: 4).
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai
konsep pendidikan agama Islam perspektif Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam
kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali Al Hijazy,
penelitian ini juga untuk memberikan gambaran mengenai relevansi
pendidikan agama Islam perspektif Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab
Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali Al Hijazy dengan
Pendidikan agama Islam di Indonesia di masa modern ini.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini
diantaranya, yaitu pendekatan historis dan pendekatan filosofis. Pendekatan
historis yaitu suatu pendekatan dengan sistem penyelidikan dengan
24
menggunakan aplikasi metode pemecahan yang ilmiah dari pespektif suatu
masalah (Azizah, 2015: 64).
Pendekatan filosofis adalah pendekatan yang berusaha merenungkan
dan memikirkan dengan hati-hati terhadap pemikiran Ibnu Qayyim al
Jauziyyah mengenai pendidikan agama Islam untuk mengambil hikmah yang
terkandung di dalamnya. Pendekatan ini digunakan oleh peneliti untuk
menganalisis semua pemikiran Ibnu Qayyim al Jauziyyah mengenai
pendidikan agama Islam dan menganalisis apakah pemikiran Ibnu Qayyim al
Jauziyyah tersebut relevan dengan pendidikan agama Islam yang ada di
Indonesia pada masa modern ini.
B. Sumber Data
Terdapat dua sumber data yang dijadikan bahan dalam kajian ini, yaitu:
1. Sumber Data Primer
Data primer adalah sumber bahan atau dokumen yang dikemukakan
atau digambarkan sendiri oleh orang atau pihak yang hadir pada waktu
kejadian yang digambarkan tersebut berlangsung, sehingga mereka dapat
dijadikan saksi (Arikunto, 2000: 64). Sumber data primer yang mencakup data
pokok yang dijadikan objek kajian adalah sebagai berikut:
a. Hasan bin Ali Al-Hijazi, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyim, terj. Muzaidi
Hasbullah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001)
25
2. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang mendukung dan melengkapi
data-data primer. Adapun data sekunder dijadikan sebagai landasan teori
kedua dalam kajian skripsi setelah sumber data primer (Azizah, 2015: 66).
Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah buku-
buku atau karya tulis yang berhubungan dengan pendidikan Islam secara
umum, pendidikan Islam di Indonesia pada masa modern dan buku-buku
tentang biografi dan pemikiran Ibnu Qayyim al Jauziyyah mengenai
pendidikan agama Islam dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim karya
Hasan Bin Ali Al Hijazy.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah metode
dokumentasi. Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 231), metode dokumentasi
adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Dokumentasi yang akan
penulis gunakan adalah karya yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah,
maupun karya-karya orang yang lain yang mendukung dan sesuai dengan
penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan mencari data mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan penelitian ini melalui buku saja.
26
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, dapat
dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membaca buku primer maupun buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan
agama Islam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah serta pendidikan agama
Islam di Indonesia pada masa modern.
2. Mempelajari, mengkaji, dan memahami kajian yang terdapat dalam buku-
buku primer maupun yang sekunder.
3. Menganalisis yang kemudian dilanjutkan dengan identifikasi dan
mengelompokkan serta mengklasifikasikannya sesuai dengan sifanya dalam
bentuk per-bab.
D. Analisis Data
Menurut Bogdan (Sugiyono, 2010: 334) analisis data adalah proses
mencari dan mengatur secara sistematis dengan transkrip wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain yang digunakan untuk meningkatkan
pemahaman.
Dalam penelitian ini yang digunakan dalam menganalisa data yang telah
diperoleh dapat dilakukan dengan cara mendeskripsikan, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan menggambarkan data yang diperoleh dengan kata-kata atau
kalimat yang dipisahkan sesuai kategori untuk memperoleh kesimpulan agar
dapat mengetahui keadaan sesuatu mengenai permasalahan yang diangkat di
dalam skripsi ini.
27
Langkah pertama yang akan dilakukan adalah dengan memfokuskan
penelitian terhadap konsep-konsep pendidikan agama Islam perspektif Ibnu
Qayyim al Jauziyyah dengan mempelajari dan menganalisis uraian serta
pendapatnya, baik yang ditulis langsung oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah maupun
dari uraian mengenai pemikiran Ibnu Qayyim al Jauziyyah mengenai pendidikan
agama Islam yang terdapat dalam karya orang lain.
Langkah kedua, yaitu analisis mengenai konsep pendidikan agama Islam
perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah dan relevansinya dengan pendidikan agama
Islam di Indonesia pada masa kini yang terdapat dalam buku pendidikan yang
ditulis oleh pakar pendidikan pada masa kini.
Dengan langkah-langkah tersebut hasil analisisnya secara menyeluruh
dapat dijadikan sebagai sumber jawaban atas tiga pertanyaan yang terdapat pada
rumusan masalah.
F. Sistematika Penelitian
Untuk dapat memperoleh gambaran yang jelas dan juga menyeluruh
mengenai skripsi ini, maka penulis akan memberikan gambaran secara ringkas.
Sistematika pembahasan yang ada dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang masalah dari penelitian yang akan dilakukan,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian.
BAB II Landasan Teori
28
Bab ini membahas mengenai kajian terdahulu dan kajian teori yang berisi
tentang pendidikan agama Islam secara umum, pendidikan agama Islam di
Indonesia, dan Pendidikan agama Islam yang seharusnya diterapkan di Indonesia.
BAB III Metode Penelitian
Bab ini membahas tentang jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan data, analisis data dan sistematika penulisan yang akan
digunakan dalam penelitian ini.
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini berisi hasil penelitian dan membahas tentang tinjauan kritis
terhadap pemikiran Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab Manhaj Tarbiyah
Ibnu Qayyim karya Hasan Bin Ali Al Hijazy, pendidikan agama Islam di
Indonesia pada masa modern kini, dan relevansi antara pemikiran Ibnu Qayyim
Al Jauziyyah mengenai konsep pendidikan agama Islam dengan pendidikan
agama Islam di Indonesia.
BAB V Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan pembahasan yang terdapat pada
bab-bab sebelumnya. Kesimpulan yang diperoleh merupakan jawaban-jawaban
atas pokok permasalahan dalam rumusan masalah
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Biografi Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
a. Riwayat Hidup Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Ibnu Qayyim dilahirkan di Damaskus pada tanggal 7 Shafar 691 H
bertepatan dengan tahun 1292 M. Nama lengkap Ibnu Qayyim adalah
Syamsuddin bin Abu Bakar bin Ayub bin Sa‟ad bin Hariz Ad-Dimasyqi
Al Jauziat. Beliau adalah putra seorang ulama, Syaikh Abu Bakar bin
Ayyub Az-Zar‟i, pendiri Madrasah “Al Jauziat” (Qayyim al Jauziat) di
Damaskus. Dari situlah beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim al
Jauziat (Susanto, 2009: 32-33). Nama kuniyah atau panggilannya adalah
Abu Abdillah, sedangkan nama laqab atau gelarnya adalah Syamsuddin
(Farid, 2006: 822).
Dan beliau meninggal pada malam kamis (di akhir malam) tanggal
13 Rajab 751 H. Beliau meninggal pada usia ke 6o tahun. Jenazahnya
disholatkan di hari berikutnya di masjid Al Umawi, kemudian di masjid
Jarah dan banyak peziarah yang mengiringi upacara penguburannya.
Beliau dikebumikan di Damaskus di kuburan Al-Babus Shagir di samping
makam kedua orangtuanya (Farid, 2006: 834).
30
b. Bukti Keilmuan Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Salah seorang murid Ibnu Qayyim al Jauziyyah menuturkan,
“Beliau adalah ahli fikih, ahli tafsir, dan ahli nahwu.”. Dalam fikih, beliau
bermazhab Hanbali. Di antara bukti ketinggian ilmunya, yaitu (al Hijazy,
:1-3):
1) Bantahannya terhadap para penganut paham dan pemikiran yang
menyimpang yang hanya dibangun atas sangkaan dan khayalan,
sebagaimana bantahannya terhadap paranormal.
2) Beliau memiliki pendapat bahwa penanggalan dengan bulan itu lebih
baik daripada penanggalan dengan matahari, karena penanggalan
dengan bulan selamat dari kesalahan dan kesimpangsiuran.
3) Penjelasan beliau mengenai madu dan manfaatnya. Madu menurut
beliau adalah obat yang paling bermanfaat, melebihi manfaat gula, ia
sangat berguna bagi pencernaan dan kesehatan tubuh.
4) Penjelasannya mengenai alam, bahwa alam itu berjalan sesuai dengan
kehendak, kekuasaan dan pengaturan Allah Ta‟ala.
5) Penjelasannya mengenai magnet, bahwa kelebihannya adalah menarik
setiap sesuatu yang dekat dengannya.
6) Penjelasannya mengenai udara dan kebutuhan makhluk hidup
kepadanya. Beliau menjelaskan bahwa manfaat udara adalah
mengantarkan suara. Udara adalah kehidupan bagi badan, ia yang
mengikat sesuatu yang dihirup darinya ke dalam tubuh.
31
7) Penjelasannya mengenai teori mengapung, dia berkata, “Suatu bisa
mengapung karena di dalamnya ada udara dan udara itu menghalangi
sesuatu untuk tenggelam di dalam air.”
8) Beliau juga menjelaskan mengenai perputaran bintang-bintang sebagai
permisalan dan bukti bagi hakikat perputaran sesuatu. Bahwa semua
planet berputar dengan dua putaran berbeda, yaitu perputaran umum,
dimana setiap planet berputar pada orbitnya dan perputaran khusus,
yaitu setiap suatu berputar pada porosnya
9) Penjelasannya mengenai grafitasi bumi, yang oleh beliau disebut
sebagai “kekuatan memegang”.
10) Dan penjelasan beliau mengenai batasan waktu siang dan malam yang
berjumlah dua puluh empat jam.
c. Riwajat Pendidikan Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Ibnu Qayyim mulai mencari ilmu sejak berumur tujuh tahun. Salah
seorang gurunya adalah Asy-Syihab Al-„Abir yang meninggal pada tahun
697 H. Dari dialah Ibnu Qayyim mulai belajar dengan cara sima‟
(memperdengarkan bacaan dihadapan sang guru), yaitu pada usia tujuh
tahun. Ibnu Qayyim sangat menghormatinya. Disebutkannya dalam
kitabnya Zad Al-Ma‟ad, “Aku memperdengarkan beberapa juz kepada
Asy-Syihab, namun dia kurang setuju dengan apa yang aku lakukan
dikarenakan umurku yang masih sangat belia.”
32
Di antara gurunya yang lain, Abu Al-Fath Al-Ba‟labak yang
meninggal pada tahun 709 H dimana Ibnu Qayyim banyak membacakan
kitab di hadapan sang syaikh dalam bidang ilmu Nahwu. Setelah
memperlajari semua kitab itu, Ibnu Qayyim dapat menguasainya dengan
baik. Sehingga, sebelum menginjak umur sembilan belas tahun dia telah
menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab (Farid, 2005: 826-827).
Di antara banyak gurunya itu, yang paling berpengaruh adalah Ibnu
Taimiyah. Salah satu ajaran yang dipraktikkan dari Ibnu Taimiyah oleh
Ibnu Qayyim adalah dalam memerangi orang-orang yang menyimpang
dari agama Allah. Selain itu, sebagaimana halnya Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qayyim pun berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka. Menurut Ibnu
Qayyim, siapapun pada dasarnya dibenarkan berijtihad selama yang
bersangkutan memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk
melakukannya. Oleh karena itu, beliau mengajak kepada kebebasan
berpikir dengan memahami jiwa syari‟at serta meninggalkan dan
membuang jauh-jauh sifat taqlid. Dalam masalah akidah, beliau
berpendirian bebas dan tidak terikat atau terpengaruh pada salah satu
aliran teologi yang ada (Susanto, 2009: 32).
d. Guru-guru Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Menurut Al-Hijazy (2001: 10-11), Ibnu Qayyim telah berguru pada
guru-guru yang hebat dan luas ilmunya serta terkenal kepiawaiannya.
Beliau belajar hadits kepada Abu Bakar dan belajar ushul kepada Syafiy
33
Al-Hindy dan Ibnu Taimiyah, bahkan kepada Ibnu Taimiyah beliau
banyak berguru sehingga banyak ilmu yang beliau dapatkan darinya.
e. Murid-Murid Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Ibnu Qayyim adalah seorang murabbi yang mulia, telah bekerja di
medan tarbiyah dengan seluruh tenaga dan ilmunya. Maka tak heran jika
murid-muridnya tersebar dimana-mana. Dan muridnya yang paling
terkenal adalah Ibnu Katsir (Pengarang kitab Al-Bidayah wan Nihayah),
kemudian Ibnu Rajah (Pengarang kitab Ad-Dhail Al-Madzahibil
Hanabilah), kemudian Ibnu Abdul Hadi dan anaknya yang bernama
Abdullah. Juga termasuk murid beliau adalah Syamsuddin Muhammad
bin Abdul Qadir An-Nabilisy (Pengarang kitab Mukhtasar Thabaqat
Hanabilah) (Al-Hijazy: 2001:11).
f. Karya-Karya Ibnu Qayyim al Jauziyyah
Ibnu Qayyim memiliki beberapa karya yang telah dicetak yang
diantaranya, yaitu (Farid, 2006: 832-833):
1) Ijtima‟al-Juyusy Al-Islaiyah‟ala Ghazwil Mu‟aththalah Qa Al-
Jamiyah. Dicetak di India pada tahun 1314 H, kemudian dicetak di
Mesir pada tahun 1351 H.
2) Ahkam Ahli Adz-Dzimmah. Dicetak dengan ditahqiq oleh Shubhi Ash-
Shalih dalam dua jilid.
3) Asma‟ Mu‟allafat Ibni Taimiyah. Dicetak dengan ditahqiq oleh
Shalahuddin Al-Munjid.
34
4) I‟lam al-muwaqqi‟in „an Rabbil „Alamin. Dicetak dengan empat jilid
oleh Mathba‟ah Al Muniriyah dan Mathba‟ah As SA‟adah.
5) Ighthasah Al Lahfan min Mashayid Asy Syaitan. Dicetak beberapa kali
dalam dua jilid.
6) Ighatsah Al Lahfan fi Hukmi Thalaq Al Ghadhban. Dicetak dengan
ditahqiq oleh Muhammad Jamalluddin Al Qasimi.
7) Badai‟ Al Fawaid. Dicetak di Mesir oleh Mathba‟ah Al Muniriyah
dengan tanpa tahun dalam empat juz dalam dua jilid.
8) At Tibyan fi Aqsam al Qur‟an. Dicetak beberapa kali.
9) Tuhfah Al Madud fi Al Maulud. Dicetak beberapa kali dan dua di
antaranya telah ditahqiq yang salah satunya cetakan Abdul Hakim
Syarafuddin al Hindi pada tahun 380 H dan kedua adalah dengan
ditahqiq Abdul Qadir Al Amauth pada tahun 391 H.
10) Tahdzib Mukhatashar Sunan Abi Dawud. Dicetak dengan
Mukhtasahar Al Mundziri dan syarahnya Ma‟alim A‟Sunan karya Al
Khitabi dalam delapan jilid lux.
11) Jala‟ Al Ifhan fi Shalah wa Assalam „ala Khairil Anam.
12) Hadi Al Arwah ila Bilad Al Afrah. Dicetak di Mesir beberapa kali.
13) Hukmu Tarik Ash Shalah. Dicetak di Mesir beberapa kali.
14) Ad Da‟wa ad Dawa‟. Dicetak dengan nama al Jawab Al Kafi Iiman
Sa‟ala „ani AdDawa‟ Asy Syafi.
35
15) Ar Risalah At Tabukiyah. Dicetak oleh Mathba‟ah as Salafiyah di
Mesir pada tahun 1347 H.
16) Raudhatul Muhibbin wa Nuszhah Al Musytaqin. Pertama kali dicetak
oleh Mathba‟ah As Sa‟adah di Mesir pada tahun 1375 H.
17) Ar Ruh. Dicetak beberapa kai.
18) Zad Al Ma‟ad fi Hadyi Khairil Ibad. Dicetak beberapa kali dalam
empat jilid dan akhir pencetakannya dalam lima jilid.
19) Syifa‟ Al „Alil fi Masa‟il Al Qadha‟ wa Al Qadar wa Al Hikmah wa At
Ta‟lil. Dicetak dua kali.
20) Ath Thib An Nabawi. Dicetak dua kali. Kitab ini merupakan nukilan
dari kitab Zad Al Ma‟ad.
21) Thariq Al Hijratain wa bab As Sa‟adatain. Dicetak beberapa kali.
22) Ath Thuruq Al Hakimah fi As Siyasah Asy Syar‟iyyah. Dicetak
beberapa kali.
23) „Iddah Ash Shabirin wa Dakhirah Asy Syakirin. Dicetak beberapa kali.
24) Al Furusiyah. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab Al Furusiyah As
Syar‟iyyah.
25) Al Fawaid. Kitab ini lain dengan kitab Badai‟ Al Fawaid. Pertama kali
dicetak di Mathba‟ah Al Muniriyah.
26) Al Kafiyah Asy Syafiyah fi Al Intishar li Al Firqah An Najiyah. Dicetak
beberapa kali. Kitab ini lebih terkenal dengan nama An Nuniyah.
36
2. Konsep Pendidikan Islam Perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah
a. Pengertian Pendidikan Islam
Ibnu Qayyim al Jauziyyah memaparkan pemikirannya mengenai
tarbiyah, ketika beliau sedang mengomentari tafsiran Ibnu Abbas r.a
terhadap kata Rabbani yang ditafsirkan dengan makna tarbiyah, beliau
berkata, “Tafsiran Ibnu Abbas r.a ini dikarenakan bahwa kata Rabbani itu
pecahan dari kata tarbiyah yang artinya adalah mendidik manusia dengan
ilmu sebagaimana seorang bapak mendidik anaknya.” Kemudian setelah
itu beliau menukil pendapat Al Mubarrid r.a yang mengatakan, “bahwa
Rabbani adalah seseorang yang mengajarkan ilmu dan mendidik manusia
dengan ilmu tersebut.” Selanjutnya beliau berkata, “Kata Rabbani
dikatakan dengan makna yang seperti itu karena ia adalah pecahan dari
kata kerja (fi‟il) Rabban-Yarubbu-Rabban yang artinya adalah seorang
pendidik (perawat) yaitu seorang yang merawat ilmunya sendiri agar
menjadi sempurna, sebagaimana orang yang mempunyai harta merawat
hartanya agar bertambah, dan merawat manusia dengan ilmu tersebut
sebagaimana seorang bapak merawat anak-anaknya.” (Al Jauziyyah, 2009:
281)
Pendidikan menurut beliau mencakup tarbiyah qalb (pendidikan
hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Dan beliau menjelaskan tentang
kaifiyah (cara) mentarbiyahkan hati dan badan tersebut. Beliau berkata,
37
“Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan tarbiyah.
Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya
hingga mampu tumbuh dengan sempurna dan lebih baik dari
sebelumnya. Jika badan itu perlu disehatkan, yaitu dengan cara
diberi gizi yang baik dan perlu dijaga dan dilindungi dari hal-hal
yang mengancam, keselamatan dan kesehatannya, karena badan
tidak akan berkembang dengan baik kecuali jika selalu dijaga
kesehatannya dan dihindarkan dari segala hal yang mengancam diri
dan kesehatannya. Demikian pula dengan hati, ia tidak akan bisa
tumbuh dengan baik dan tidak akan bersih serta tidak akan
sempurna kesuciannya kecuali jika selalu diberi gizi yang
menyehatkan dan selalu dilindungi dari hal-hal yang mengancam
diri dan kesehatannya”.
Definisi tarbiyah yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim mencakup dua
makna, yaitu tarbiyah yang berkaitan dengan ilmu seorang murabbi,
yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi terhadap
ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam dirinya
serta agar ilmu tersebut terus bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan
dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang
murabbi dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan
dengan ketekunannya menyertai mereka agar mereka menguasai ilmu
yang diberikan kepadanya secara bertahap (Al Hijazy, 2001: 76-77).
Metode penjagaan ilmu yang paling efektif adalah dengan
mengajarkannya dan menyebarkannya kepada orang lain, sebab ilmu
yang yang selalu disembunyikan akan berpeluang hilang. Berikut
penjelasan beliau tentang metode yang efektif untuk menjaga,
mengembangkan dan memperluas ilmu, beliau berkata,
38
“Hendaknya seorang yang berilmu senantiasa mengajarkan ilmunya
kepada orang lain, karena dengan semakin seringnya dia
mengajarkannya kepada orang lain maka akan semakin deras pula
pancuran sumber-sumber ilmu tersebut. Jika sumber ilmu sudah
terlalu banyak, maka akan banyak pula ilmu tersebut, demikian juga
dengan mengajar orang lain, maka ilmu yang diajarkan tersebut
akan semakin kuat tertancap dalam benak dan hasilnya akan
semakin jelas bisa disaksikan dan dirasakan. Orang yang berilmu
akan mampu menjaga ilmunya, jika mau mengajarkannya kepada
orang lain dan dia akan bisa menambah dan mendapatkan ilmu
yang lain yang belum diketahuinya dengan cara mengajarkan
tersebut. Mungkin saja ia sedang dibelit oleh benang masalah yang
sulit diuraikan dan dicari solusinya, tetapi tatkala dia mengajar
orang lain dengan ilmu yang telah dimilikinya dan ia dihadapkan
dengan masalah yang sama dengan masalahnya sedang dia dituntut
untuk dipecahkan oleh orang lain yang sedang diajarinya -dengan
izin Allah- terbentang di depan matanya jalan keluar dari masalah
tersebut. Begitulah sebuah fenomena yang sering ditemukan dalam
kehidupan. Sudah berapa banyak kesulitan-kesulitan yang kadang
kita tidak sanggup untuk menyelesaikan dengan sendiri, tetapi
tatkala kita membicarakannya, kita dituntut untuk memecahkannya
untuk orang lain dan dengan mudah kita dapat menyelesaikannya.
Seperti itulah manfaat mengajarkan ilmu kepada orang lain, bahkan
lebih daripada itu, dengan mengajar kita mendapatkan ilmu-ilmu
yang lain yang sebelumnya tidak kita miliki.”
Sesungguhnya jasa orang alim yang mau mengajarkan ilmunya
sangat besar, karena dengan cahaya ilmunya ia mampu mengeluarkan
manusia dari gelapnya lorong kebodohan kepada terangnya cahaya ilmu,
makrifah (pengetahuan) dan cahaya petunjuk. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika Allah mengganjar orang-orang yang berilmu dan mau
mengajar orang lain dengan pahala yang berlipat ganda, yaitu Allah
mengeluarkan mereka dari kebodohan dengan menambah disiplin ilmu
dan mengajari ilmu-ilmu yang belum diketahuinya. Masalah ini dengan
39
gamblang dibahas oleh Ibnu Qayyim dalam salah satu buku karangannya.
Beliau berkata,
“Sesungguhnya balasan dan pahala yang Allah berikan kepada
hamba-Nya disesuaikan dengan amal yang dikerjakan oleh hamba-
Nya. Maka karena seorang alim itu telah menghapus kebodohan
manusia, Allah pun akan menghapus kebodohan lain yang ada
padanya sesuai dengan amal yang telah dikerjakan.”
b. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam pandangan Ibnu Qayyim bahwa tujuan (ahdaf) tarbiyah
yang paling utama adalah menjaga kesucian fitrah manusia dan
melindunginya agar tidak jatuh dalam penyimpangan serta mewujudkan
dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah. Demikianlah
beberapa tujuan tarbiyah menurut pandangan Ibnu Qayyim yang secara
umum dapat disimpulkan dan diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok, sebagai berikut (Al Hijazy, 2001: 83-87):
1) Ahdaf Jismiyah (tujuan yang berkaitan dengan badan)
Maksud diadakannya tarbiyah adalah untuk menjaga kesehatan
badan anak didik, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim
kepada otangtua (Al Jauziyyah: 2009: 8),
“Hendaklah bayi yang baru dilahirkan itu disusukan kepada
orang lain, karena air susu ibu dari hari pertama melahirkan
sampai hari ketiga masih bercampur dan kurang bersih serta
masih terlalu kasar bagi bayi yang hal ini akan membahayakan
bayi.”
40
Dalam kesempatan lain beliau juga berwasiat kepada para
orangtua agar mereka tidak mengajak atau membawa anaknya yang
masih bayi untuk bepergian, thawaf atau bepergian jauh lainnya,
karena ketahanan tubuh sang anak di masa itu masih sangat lemah.
Beliau berkata (Al Jauziyyah, 2006: 84),
“Hendaklah sang anak yang masih bayi tidak dibawa bepergian
jauh atau diajak melaksanakan thawaf kecuali jika dia sudah
berumur tiga bulan ke atas. Yang demikian itu dikarenakan
masih terlalu dekatnya umur sang bayi dengan rahim ibunya dan
terlalu lemah kondisi tubuhnya.”
Dari ahdaf jismiyah yang hendak diwujudkan oleh kerja tarbiyah
adalah selalu memperhatikan anak dan mengawasinya dalam hal
makanan dan minumannya, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ibnu
Qayyim berikut ini,
“Hendaklah para orangtua itu tidak membiarkan anak-anaknya
mengkonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan, hal itu
demi menjaga terbentuknya pencernaannya dan keteraturan cara
kerjanya, yang sudah diketahui bahwa sehatnya badan itu
bergantung pada tepatnya (teraturnya) kerja pencernaan tersebut.
Dengan tidak terlalu banyak mengkonsumsi makanan dan
minuman akan mengurangi penyakit, karena dalam tubuh tidak
terdapat timbunan sisa-sisa makanan.”
2) Ahdaf akhlakiyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akhlak)
Menurut Ibnu Qayyim, kebahagiaan akan bisa diraih dengan
terhiasinya diri dengan akhlak yang mulia dan terjauhkannya dari
akhlak buruk. Oleh karena itulah beliau sangat wanti-wanti menasehati
para murabbi (pendidik) agar tidak memberi kesempatan kepada anak
41
didiknya untuk berkhianat dan berbohong, sebab khianat dan
kebohongan akan merusak bangunan kebahagiaan jiwanya,
sebagaimana pernyataan beliau kepada orangtua sebagai berikut (Al
Jauziyyah, 2006: 145),
“Jika sekali saja terbuka kesempatan bagi seorang anak untuk
berbuat bohong dan khianat, maka akan hancurlah
kebahagiaannya, baik di dunia maupun di akhirat, dan anak
tersebut akan terhalangi untuk mendapatkan seluruh kebaikan
yang semestinya dapat diraihnya, jika ia tidak berbohong dan
berkhianat.”
Beliau menganjurkan agar para orangtua dan murabbi tidak
memberikan kesempatan pada anak-anaknya untuk berinteraksi dengan
orang-orang yang tidak jelas akhlak dan perilakunya, dan beliau juga
menganjurkan kepada mereka agar selalu menjaga anak-anaknya agar
tidak berlebihan dalam berbicara, makan dan minum, beliau berkata,
“Para murabbi hendaklah menjauhkan anaknya dari berlebih-
lebihan dalam makan dan berbicara, demikian juga hendaknya
mereka dijauhkan dari bergaul dengan orang-orang yang buruk
akhlak dan perangainya, karena tindakan semacam itu akan
menimbulkan kerugian dalam jiwa seseorang anak yaitu
hilangnya seluruh kebaikan, baik kebaikan di dunia maupun di
akhirat.”
Demikian juga beliau menasehatkan agar senantiasa menjauhkan
anak (didik) dari perilaku yang menyimpang dan menyalahi qudrat
peciptaannya ataupun menyimpang dari akhlak mulia dan bertasyabuh
(menyerupai) wanita (lawan jenis), beliau berkata (Al Hijazy, 2001:
86),
42
“Jauhkanlah dan laranglah anak-anak kalian dari memakai
pakaian terbuat dari sutera (bagi laki-laki) sebab bahan sutera
akan bisa merusak jiwanya, demikian juga jauhkanlah anak-anak
kalian dari melakukan liwath (homoseks), minum khamer,
mencuri dan berbuat bohong.”
3) Ahdaf Fikriyah (Tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akal)
Tarbiyah yang baik ialah yang bertujuan untuk membina dan
menjaga anak dan pemikiran anak didiknya. Ibnu Qayyim
menyebutkan masalah ini dalam sebuat pernyataan sebagai berikut (Al
Jauziyyah, 2006: 146),
“Yang perlu diperhatikan oleh para murabbi adalah agar mereka
sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada anak didiknya
untuk berinteraksi dengan sesuatu yang membahayakan dan
merusak akalnya, seperti minum-minuman yang memabukan
atau narkoba, dan hendaknya anak didik dijauhkan dari
pergaulan dengan orang-orang yang dikhawatirkan akan merusak
jiwanya, dan dijauhkan dari melakukan permbicaraan dan
memegang sesuatu yang akan merusak jiwanya, sebab semua itu
akan menjatuhkannya ke lembah kehancuran. Ketahuilah, jika
sekali saja terbuka kesempatan bagi anak untuk melakukan
perbuatan tersebut, maka akan ia terbiasa melakukan perbuatan
hina dan kotor (seperti; zina, mucikari, dan sebagainya), padahal
tidak akan masuk surga orang-orang yang berbuat zina.”
4) Ahdaf Maslakiyah (Tujuan yang berkaitan dengan skill)
Dalam pandangan Ibnu Qayyim, tarbiyah harus memiliki tujuan
menyingkap bakat dan keahlian (skill) yang tersimpan dalam diri
seorang anak. Kemudian setelah diketahui bakat anak didiknya, maka
segera diadakan pembinaan dan pengarahan kepada bidang-bidang
yang sesuai dan baik yang akan mewujudkan kemaslahatan diri dan
umat manusia secara keseluruhan. Apa yang menjadi pemikiran beliau
43
ini bisa dilihat dalam pernyataan beliau sebagai berikut, Beliau
berkata (Al Hijazy, 2001: 87),
“Yang perlu dijadikan patokan dalam pembinaan skill seorang
anak adalah kesiapan dan bakat yang tampak dalam diri anak
tersebut, maka apabila seorang bapak melihat anaknya mampu
memahami suatu perkara dengan baik, menganalisanya dengan
benar, kuat hafalan dan daya ingatnya atau bahkan mampu
berkonsentrasi menghadapi suatu masalah, semua itu
mewujudkan adanya kesiapan dan kemampuan (bakat) sang anak
untuk menjadi ilmuwan, maka yang harus dilakukan oleh
orangtua terhadap anaknya yang seperti itu adalah memupuk
ilmu ke dalam akal anak tersebut selama akal dan pikiran
tersebut mampu menampungnya, sebab seorang anak yang sudah
terlihat bakat kemampuannya seperti itu akan mampu
menampung dan menerima beberapa ilmu yang berikan
kepadanya dan ilmu yang diberikan kepadanya pun akan mampu
bertahan dan tertanam dalam benaknya, dan selanjutnya ia akan
tumbuh bersama dengan pertumbuhan anak itu. Maka dalam hal
ini yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah mengarahkan
anaknya sesuai dengan kemauan dan bakat yang ada sepanjang
hal itu tidak dilarang oleh syariat (Islam) dan bermanfaat bagi
diri dan umat manusia. Semua ini diajarkan oleh para orangtua
dan pendidik kepada anak-anaknya setelah terlebih dahulu
diajarkan kepada mereka sesuatu yang sangat urgen dan lebih
dahulu dibutuhkan, yaitu pengajaran agama (dien).”
c. Sasaran Pendidikan
Sasaran tarbiyah atau yang lebih tepatnya dikatakan sisi-sisi yang
hendak digarap oleh kerja tarbiyah menurut murabbi yang agung ini
sangat banyak macamnya, diantaranya adalah tarbiyah imaniyah, tarbiyah
ruhiyah, tarbiyah fikriyah, tarbiyah athifiyah (perasaan), tarbiyah
khulukiyah (akhlak), tarbiyah ijtimaiyah, tarbiyah iradiyah (kehendak),
tarbiyah badaniyah, tarbiyah riyadhah, dan tarbiyah jinsiyah (Al Hijazy,
2001: 105).
44
1) Tarbiyah Imaniyah
Tarbiyah imaniyah adalah sejumlah kegiatan dan pekerjaan yang
dilakukan oleh murabbi terhadap anak didiknya dalam menjaga iman
mereka, meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Hal ini
berdasarkan pernyataan Ibnu Qayyim berikut ini,
“Hati dan badan manusia sangat butuh kepada pendidikan agar
keduanya mampu berkembang dan bertambah hingga meraih
kesempurnaan dan kebaikan. Juga agar apa yang diyakini dan
tersembunyi dalam hatinya sesuai dengan apa yang dilakukan
oleh anggota badannya (jawariyah).”
Jadi, tarbiyah imaniyah adalah usaha untuk menjadikan anak
didik sebagai seorang yang patuh mengerjakan seluruh perintah Allah
dan mengikuti petunjuk Rasulullah saw. Tarbiyah imaniyah ini
dibangun di atas dalil-dalil dan bukti-bukti yang kuat dan banyak
tersebar di muka bumi dan alam raya ini. Siapa saja yang melihat dalil-
dalil tersebut dengan mata bashirahnya, niscaya ia akan ditunjukkan
ke jalan yang lurus, sebaliknya barangsiapa yang memalingkan
pandangan bashirahnya, sungguh ia akan tersesat. Sebagaimana
pernyataan Ibnu Qayyim sebagai berikut,
“Sungguh telah tersebar tanda-tanda Rububiyah dan Uluhiyah
Allah di muka bumi ini. Tanda-tanda kebesaran-Nya yang telah
mendapatkan taufiq dan mengakui keesaan Allah dengan
sepenuh iman dan ketundukkan. Tetapi orang-orang yang hina
lagi rendah megingkari keesaan Allah tersebut sehingga mereka
menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam keadaan zhalim
dan kafir. Maka hancurlah orang-orang yang menginginkan
kehancuran dan hiduplah orang-orang yang hidup mata hatinya.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
45
Barangsiapa yang menyambut seruan para Rasul, berarti mereka
telah kembali ke sifat aslinya (fitrahnya) dan barangsiapa yang
membangkang, mereka akan langgeng dalam kubang penyimpangan
dan kerusakan. Begitu juga sudah kita ketahui bahwa tarbiyah
imaniyah itu dalam medan kerjanya akan menghadapi berbagai macam
tipe manusia dengan latar belakang kehidupan, sifat dan karakter
mereka masing-masing. Dari pengetahuan itu, maka dapat ditentukan
ghayah (tujuan) dari tarbiyah imaniyah, yaitu sebagai berikut:
a) Menghambakan manusia hanya kepada Allah, karena Allah tidak
menciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
b) Mewujudkan pribadi-pribadi shalih yang hanya beriman kepada
Allah dan memiliki seperangkat ilmu yang bermanfaat, kemudian
ilmu tersebut dibuktikan dengan amal shalih. Mereka menyeru
manusia untuk beramal shalih dan mereka sabar menanggung
derita dalam jalan dakwahnya.
c) Mengakui bahwa ubudiyah yang dilakukan dengan ketundukkan
dan rendah diri yang sempurna dengan kecintaan yang sempurna
pula adalah salah satu tuntutan uluhiyah Allah (Al Jauziyyah,
2007: 95).
46
d) Menjaga dan melindungi lisan, anggota badan dan detak hati dari
setiap sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah dan agar
setiap pekerjaan yang dilakukan oleh anggota badan tetap berada di
jalur kecintaan dan keridaan Allah dan dikendalikan perasaan malu
kepada-Nya.
e) Menjadikan seluruh gerak dan aktifitas seseorang selaras dengan
ridha Allah, maka untuk tujuan inilah Allah mengutus Rasul-Nya
dan menurunkan kitab dan syariat-Nya, yaitu agar seluruh aktifitas
yang dilakukan oleh hamba sesuai dengan ridha dan cinta-Nya.
f) Menciptakan kebahagiaan hamba baik dalam kehidupannya di
dunia maupun di akhirat yaitu dengan menjaga dan mendidik
mereka agar menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang
dicintainya dan sebagai tujuan dari seluruh aktifitasnya (Al Hijazy,
2001: 114).
Adapun wasilah (sarana) tarbiyah imaniyah diantaranya, yaitu
(Al Hijazy, 2001: 114):
a) Mentadabburi tanda-tanda kekuasaan Allah dan Dzat Pencipta
serta luasnya rahmat dan hikmah perbuatan-Nya.
b) Mengingat kematian.
c) Mendalami makna ibadah, bahwa ibadah adalah salah satu sarana
tarbiyah imaniyah.
47
2) Tarbiyah Ruhiyah
Ibnu Qayyim memiliki perhatian yang besar pada tarbiyah. Hal
itu terbukti dari beberapa kitab karangannya ada yang berjudul “Ar-
Ruh” yang khusus membahas mengenai seluk beluk ruh atau dari
lembaran-lembaran kitab karangannya yang lain beliau menyelipkan di
dalamnya bahasan Ar-Ruh. Ar-Ruh yang dimaksudkan oleh Ibnu
Qayyim untuk ditarbiyahkan adalah dzat yang tercipta, diatur dan
dididik dan ia bukanlah bagian dari Dzat Allah sebagaimana yang
dipahami oleh sebagian orang yang beralasan dengan firman Allah
(Depag, 2008: 731):
Artinya:
“Sesungguhnya saya akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
Roh-ku, maka hendaklah kamu tersungkur bersujud kepadanya.” (Qs.
Ash-Shaad:71-72)
Tarbiyah yang baik adalah yang mampu menciptakan
keseimbangan dalam kehidupan manusia, yaitu yang memberi unsur
yang ada dalam diri manusia sebuah pentarbiyahan yang akan
menghantarkannya kepada kesempurnaannya, hingga mampu
48
menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya dengan sebaik-
baiknya.
Ruh adalah unsur yang sangat penting dalam penciptaan dan
eksitensi manusia. Dia tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali
dengan tarbiyah yang bersandar pada manhaj Allah. Karena
pentingnya peran ruh bagi kehidupan manusia, kehilangan
kesempurnaan ruh berbeda dengan kehilangan kesempurnaan anggota
badan. Sebab, kehilangan ruh merupakan kehancuran dan petaka bagi
manusia. Karena seluruh anggota badan hanyalah sarana pendukung
bagi ruh dan ibarat rakyat bagi hati.
Dapat disimpulkan bahwa kesempurnaan ruh (nafs) yang
menjamin kebahagiaannya hanya ada pada makrifahnya tentang Allah,
mencintai-Nya, lebih mementingkan keridhaan-Nya daripada
kesenangan syahwat dan hawa nafsu (Al Hijazy, 2001: 134).
Beribadah kepada-Nya dan menaati seluruh perintah-Nya. Yang
demikian itu adalah tujuan tertinggi dari tarbiyah ruhiyah menurut
Ibnu Qayyim. Sarana dalam tarbiyah ruhiyah diantaranya, yaitu (Al
Hijazy, 2001: 152-153):
a) Memperdalam iman kepada apa yang dikabarkan Allah termasuk
beriman kepada perkara-perkara akhirat dimulai dari beriman
kepada adanya alam barzakh dan keadaan di dalamnya, hingga
49
mengimani adanya surga dan neraka serta tentang masuknya ahli
surga ke surga dan ahli neraka ke neraka.
b) Kembali kepada Allah dan sibuk dengan hal-hal yang diridhai-
Nya.
c) Mencintai Allah, Dzat yang menciptakan seluruh jiwa dan
makhluk yang ada. Bahkan kesempurnaan nikmat dan kebahagiaan
ruh hambanya ada dalam mahabatullah.
d) Dzikir mengingat Allah dan mendirikan sholat, sesungguhnya
dzikir kepada Allah dan sholat, ini mengandung kenikmatan bagi
ruh dan menyelamatkan jiwa dari duka cita dan kesedihan.
e) Melakukan muhasabah (introspeksi diri) setiap hari sebelum tidur.
Muhasabah ini bermanfaat untuk mengingatkan jiwa dan
menjelaskan keadaannya.
f) Mentadabburi makhluk Allah yang banyak menyimpan bukti-bukti
kekuasaan, ketauhidan, dan kesempurnaan sifat serta asma-Nya,
kebenaran Rasul dan Nabi-Nya dan kebenaran pertemuan dengan-
Nya.
g) Mengagungkan, menghormati, dan mengindahkan seluruh perintah
dan larangan Allah. Karena dengan mengagungkan seluruh
perintah dan larangan-Nya, akan menjadikan hati istiqomah dan
menyelamatkan ruh.
3) Tarbiyah Fikriyah
50
Yang dimaksud dengan tarbiyah fikriyah adalah mengerahkan
daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir),
mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik
kemampuan ini dikerahkan oleh murabbi dengan mentarbiyahkan
orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiri
dalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta
meluaskan cakrawala berpikirnya (Al Hijazy, 2001: 158).
Manusia itu tidak lain adalah perpaduan antara ruh, akal dan
badan, maka agar manusia ini mampu hidup dan tumbuh dengan
sempurna, lurus dan seimbang, mereka memerlukan bentuk tarbiyah
yang seimbang pula, yaitu sebuah pendidikan (tarbiyah) yang
memperhatikan semua elemen yang menjadi unsur eksistensinya, yaitu
akal, ruh, dan badan.
Ibnu Qayyim banyak memiliki metode dan cara untuk mendidik
pikiran, diantaranya adalah (Al Hijazy, 2001: 167-170):
a) Dengan mentadabburi dan memperhatikan makhluk-makhluk
Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya (baik yang terdapat dalam
jiwa manusia maupun yang terdapat di hamparan alam raya ini)
dengan mata bashirah untuk mengetahui keagungan-Nya,
kebesaran kekuasaan-Nya dan kelembutan kebijaksaan-Nya.
b) Dengan mentadabburi ayat-ayat Allah yang terbaca, yaitu Al
Qur‟an dan mentadabburi syari‟at-Nya yang diturunkan kepada
51
manusia, serta untuk mengetahui kandungan kebaikannya yang
sesuai dengan fitrah yang baik dan akal yang lurus, maka syari‟at
ini diturunkan untuk membumikan kemaslahatan dan
menyebarkannya kepada hamba-hamba-Nya dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
c) Dengan menjalani semua perintah Allah dan istiqomah di atas
manhaj-Nya, karena yang demikian itu akan membuka hati dan
kesempatan untuk berpikir dan bertadabbur sehingga akan
membawa kemaslahatan bagi dirinya.
d) Meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya rintangan yang
menghalangi perkembangan pikiran dan mewaspadai bahaya
maksiat.
e) Bukti perhatian Ibnu Qayyim terhadap perkembangan akal
manusia adalah celaan dan pengingkaran beliau terhadap budaya
taqlid, karena taqlid ini akan membekukan akal dan pikiran dan
mengosongkan aktifitas yang bermanfaat.
f) Menurut Ibnu Qayyim, akal pikiran itu butuh kepada tempat yang
layak dan sesuai dengan sifatnya, agar ia mampu beraktifitas
dengan baik. Beliau juga mengatakan bahwa bagusnya hasil
pikiran itu ketika badan dalam keadaan tenang, tentram dan teguh,
dan ketika terhindar dari hal-hal yang menyibukkannya, juga
terhindar dari kesibukkan yang melelahkannya.
52
g) Beliau mengajak agar menjauhkan diri dari hal-hal yang
mengosongkan dan menutup semangat berpikir serta mengingatkan
pentingnya aktifitas akal. Maka, hal-hal yang memabukkan dan
menghapus fungsi akal itu diharamkan untuk dikonsumsi, karena
hal-hal yang memabukkan itu menyimpan sesuatu yang
bertentangan dan pengingkaran terhadap nikmat akal yang
merupakan sarana tarbiyah yang telah dikaruniakan Allah kepada
manusia, yang dengannya manusia dimuliakan dan dilebihkan atas
makhluk-makhluk lainnya.
4) Tarbiyah Athifiyah
Tarbiyah „athifiyah mendorong manusia agar mengarahkan
perasaan cintanya kepada Allah, hingga ia mampu merangkak naik
bersama perasaan dan instingnya ke derajat yang menjadikannya
sebagai wali Allah. Dia tak pernah merasa sedih kecuali jika menyia-
nyiakan hal-hal yang dicintai Allah, bahkan dia akan merasa sangat
sedih jika mendapatkan hatinya kosong dari cinta kepada-Nya atau
sebagian anggota badannya berpaling kepada hal-hal yang tidak
dicintai-Nya (Al Hijazy, 2001: 174).
Sebagaimana dia tidak akan merasa bahagia kecuali jika telah
berhasil melakukan ketaatan kepada Allah dan melakukan sesuatu
yang menghantarkan kepada kecintaan-Nya. Dia tak pernah merasa
takut kecuali ketika terhalangi dari melakukan ketaatan kepada-Nya
53
dan terhalangi dari sesuatu yang dapat menghantarkannya kepada
kecintaan-Nya. Barangsiapa yang telah meyakini kesertaan Allah dia
tidak akan bersedih hati. Allah berfirman:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan. „Tuhan kami ialah
Allah, kemudian mereka meneguhkan pendiri mereka (istiqomah)
maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan),
janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu‟.” (Qs. Al-Fushshilat: 30)
Ada beberapa metode dan cara untuk memperdalam cinta kepada
Allah dan ubudiyah kepada-Nya di dalam hati, diantaranya adalah (Al
Hijazy, 2001: 196-202):
a) Menanamkan perasaan bahwa seorang hamba sangat
membutuhkan Allah. Perasaan ini akan muncul dalam hati dengan
mengosongkan diri dan hati dari gemerlap dunia dengan bersikap
zuhud terhadapnya.
b) Menanamkan ilmu bahwa dia hanya memiliki satu hati, jika hati ini
telah penuh dengan cinta kepada sesuatu maka tidak ada tempat
lagi bagi cinta kepada yang lainnya.
54
c) Menanamkan keimanan dan keyakinan bahwa apa yang
dimilikinya adalah milik Allah dan dia menyadari bahwa ia sama
sekali bukan pemilik asli atas apa yang ada di bawah kekuasaannya
di dunia ini.
d) Beribadah kepada Allah dengan nama-Nya Yang Maha Awal,
Yang Maha Akhir, Yang Maha Zhahir dan Maha Batin. Ibadah
dengan nama-nama ini akan menumbuhkan kefakiran (rasa butuh)
kepada Allah.
e) Menanamkan makrifat tentang banyaknya nikmat Allah yang telah
diberikan kepada hamba dan besarnya keutamaan dan karunia-Nya
dan juga menanamkan kesadaran tentang kelemahannya (hamba).
f) Menanamkan keimanan bahwa Allah-lah yang menciptakan semua
perbuatannya dan Dialah yang menanamkan keimanan dalam
hatinya.
g) Menanamkan perasaan bahwa dia sangat butuh kepada hidayah
Allah dan menanamkan kefakiran kepada-Nya.
h) Menanamkan ilmu pengetahuan bahwa cinta kepada Allah adalah
tuntutan ilmu. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu sangat
mencintai Rabb mereka daripada kecintaan seseorang kepada
kekasihnya.
5) Tarbiyah Khulukiyah
55
Tarbiyah khulukiyah mencakup seluruh apa yang dibawa oleh
Islam berupa dasar-dasar pembinaan akidah, akhlak, adab dan tingkah
laku. Yang dimaksud dengan Tarbiyah Kulukiyah adalah melatih anak
untuk berakhlak mulia dan memiliki kebiasaan yang terpuji, sehingga
akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi karakter dan
sifat yang tertancap kuat dalam diri anak tersebut, yang dengannya
sang anak mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dan
terbebas dari jeratan akhlak yang buruk. Sesungguhnya seorang anak
itu berkembang di atas apa yang dibiasakan oleh murabbi terhadapnya
di masa kecilnya (Al Hijazy, 2001: 203-204).
Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak yang baik adalah
menampakkan wajah yang berseri-seri, mengamalkan perbuatan ma‟rif
(baik) dan menahan dari perbuatan buruk. Hal ini sebagaimana yang
dinyatakan Ibnu Qayyim berikut ini, Imam Tirmidzi berkata, Abdullah
bin Mubarak berkata, “Husnul Khuluk itu adalah menampakkan
wajah yang berseri-seri, mengamalkan perbuatan ma‟rif dan menahan
dari perbuatan yang buruk (menyakiti orang).”
Cakupan Tarbiyah khulukiyah yang disampaikan oleh Ibnu
Qayyim tidak lain adalah untuk mengetahui sesuatu di balik hal-hal
yang diperintahkan berupa kebaikan dan mengetahui sesuatu di balik
hal-hal yang dilarang berupa kejelekan. Yang demikian itu terlihat
56
dalam sebuah pembicaraan mengenai sabar, dimana beliau menjadikan
sifat sabar ini sebagai bagian dari akhlak hati.
Agenda tarbiyah khulukiyah adalah menanamkan ilmu yang
mampu menunjuk manusia kepada kebaikan dan jalan menuju
kepadanya serta menjelaskan kepada mereka jalan keburukan, wasilah
dan peluang-peluangnya. Sebagaimana juga tarbiyah khulukiyah
harus mampu mewujudkan dalam jiwa manusia dan anak didik azimah
yang benar dan niat yang ikhlas yang akan membawanya terbang ke
alam kebaikan dan menjauh dari kabut keburukan.
Tujuan tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu Qayyim adalah
merealisasikan ubudiyah kepada Allah yang menjadi sebab utama bagi
kebahagiaan manusia, yang karenanya Allah menciptakan manusia,
memuliakan dan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi. Tiada
kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi manusia terkecuali dengan
menjauhkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak
yang utama, sesungguhnya orang yang mengotori dirinya dengan
akhlak yang tercela dan rusak, sungguh dia telah membuang
kebahagiaan dunia dan akhiratnya (Al Hijazy, 2001: 211).
Yang termasuk dari metode tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu
Qayyim adalah uslub takhliyah (pengosongan) dan tahalliyah
(menghiasi diri), mengaktifkan dan menyertakan anak dalam berbuat
baik da al-birr, uslub pelatihan dan pembiasaan, memberikan
57
gambaran yang buruk tentang akhlak tercela, dan menunjukkan buah
yang baik berkat akhlak yang baik (Al Jauziyyah, 2008: 79).
6) Tarbiyah Ijtimaiyah
Masyarakat memiliki peranan yang besar dalam pembinaan
individu dalam setiap dimensinya: fikriyah (pemikiran), khulukiyah
(tingkah laku) dan „athifiyah (perasaan). Maka setiap individu akan
terpola dalam masyarakat dan terpengaruhi oleh apa yang ada di
dalamnya baik berupa pemikiran maupun tingkah lakunya, maka
individu ini akan menjadi batu bata yang baik bagi bangunan
masyarakat apabila tarbiyah kemasyarakatan berpola kepada tarbiyah
Islamiyah, sebaliknya ia akan menjadi batu bata yang buruk dalam
bangunan yang buruk jika tarbiyah kemasyarakatannya tidak dilandasi
ruh Islam sedikitpun.
Tarbiyah ijtima‟iyah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim ini
bertujuan membangun hubungan yang kuat antara individu sebuah
masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan yang terbangun di atas
kecintaan. Tarbiyah ijtima‟iyah yang baik menurut Ibnu Qayyim ialah
yang selalu memperhatikan perasaan orang lain. Seorang individu
dalam masyarakat tidak dibenarkan menyakiti saudaranya walaupun
hanya dengan menebarkan bau yang tidak enak. Tarbiyah ijtima‟iyah
yang memiliki jiwa membangun menurut Ibnu Qayyim ialah yang
mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai
58
sebagian dengan sebagian yang lainnya dan saling mendoakan
walaupun saling berjauhan. Dan sebagai buah dari doa ini malaikat
akan mengaminkan doa seseorang untuk saudaranya yang lain yang
telah didoakannya (Al Hijazy, 2001: 221-223). Ibnu Qayyim berkata,
“Jika seorang hamba mendoakan kebaikan untuk saudaranya
yang Muslim dari kejauhan, maka malaikat akan mengaminkan
doanya dan berkata kepadanya, bagi kamu pun dia seperti doa
yang kamu ucapkan.”
Termasuk dari buah kecintaan seseorang kepada saudaranya
adalah bahwa kecintaan tersebut akan menghantarkan kebaikan
kepadanya, baik dalam hidupnya di dunia maupun setelah
kematiannya. Ibnu Qayyim berkata,
“Sebaik-baik hadiah yang diberikan kepada mayit adalah pahala
memerdekakan budak, shadaqah, memohonkan ampun untuknya,
mendoakannya dan menghajikannya.”
Ibnu Qayyim berwasiat kepada orangtua dan murabbi yang
bertanggung jawab atas urusan seorang anak agar mereka menjauhkan
anak-anaknya dari tempat-tempat yang tersebar di dalamnya
kemungkaran dan kesesatan, karena sesungguhnya seorang anak itu
dalam keadaan fitrahnya, suci jiwanya dan bersih hatinya ibarat
lembaran putih yang bisa ditulisi apa saja di dalamnya (Al Hijazy,
2001: 228). Beliau berkata,
“Apabila seorang anak itu sudah mampu untuk berpikir,
hendaknya dijauhkan dari tempat-tempat yang tersebar di
dalamnya kesia-siaan dan kebatilan, nyanyian kotor,
mendengarkan hal-hal yang keji dan bid‟ah, karena jika semua
59
itu terngiang terus menerus dalam pendengarannya maka akan
sulit untuk dilepaskan di masa besarnya dan para orangtuanya
akan menemukan kesulitan untuk menyelamatkannya.”
7) Tarbiyah Iradiyah
Menurut Ibnu Qayyim, kedudukan iradah (kehendak) bagi jiwa
manusia sangat agung dan menentukan, karena iradah berperan
sebagai mesin penggerak untuk beramal. Sedangkan amal adalah buah
ilmu, ilmu tanpa amal tidak akan memberikan manfaat kepada
pemiliknya, bahkan ia merupakan tempat yang tidak cocok bagi ilmu
tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan di dunia
dan akhirat hendaknya ia menyeimbangkan antara ilmu dan amal (Al
Jauziyyah, 2008: 86).
Iradah itu ada karena adanya kecintaan terhadap sesuatu yang
diinginkan, tegar menanggung derita di jalannya dan sabar dalam
menempuhnya, mengingat hasil yang akan diraihnya dan melatih jiwa
dengan kesungguhan dan amal. Ibnu Qayyim mengatakan (Al Hijazy,
2001: 236-237),
“Barang siapa yang memiliki cita-cita yang tinggi untuk meraih
perkara-perkara yang tinggi nilainya, maka harus mengokohkan
niat untuk mencintai jalan-jalan agama, yaitu sa‟adah
(kebahagiaan) meskipun di awal perjalannya ia banyak menemui
kesulitan dan rintangan. Dia harus mengendalikan nafsunya agar
tunduk dan patuh kepadanya dalam mengarungi jalan-jalan
tersebut hingga ia mendapatkan kenikmatan. Karena
sesungguhnya pulau kebahagiaan itu tidak bisa ditempuh kecuali
dengan perahu kesungguhan dan ketegaran.”
8) Tarbiyah Badaniyah
60
Islam sangat memperhatikan unsur badan, menjaganya dan
memberikan hak-hak secara sempurna, karena perhatian yang
demikian itu akan membantu seseorang dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah dan mengindahkan berbagai kewajiban yang telah
diwajibkan Allah atasnya. “Orang yang Mukmin yang kuat itu lebih
baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang Mukmin yang lemah.
Dan keduanya ada dalam kebaikan.” (HR. Imam Ahmad) (Al Hijazy,
2001: 238).
9) Tarbiyah Riyadhah
Badan manusia disamping butuh gizi di waktu sehatnya dan
butuh obat di waktu sakitnya, dia juga membutuhkan gerakan
olahraga, baik ketika sehat maupun ketika sakit. Namun demikian,
perlu diperhatikan, jangan sampai gerakan olahraga itu dilakukan
sebelum makanan dicerna dengan sempurna. Sesungguhnya olahraga
yang dilakukan sebelum makanan dicerna oleh pencernaan dengan
sempurna akan berbahaya bagi kesehatan.
Dalam pandangan Ibnu Qayyim, waktu yang tepat untuk
olahraga adalah ketika makanan sudah sempurna dicerna oleh tubuh.
Beliau memandang olahraga dengan pandangan yang menyeluruh
bahwa setiap anggota tubuh memiliki bentuk olahraga tertentu yang
sesuai dengan karakter dan cirinya masing-masing.
61
Sarana yang tepat bagi tarbiyah riyadhah adalah syiar (bentuk)
ta‟buddiyah yang telah diperintahkan Allah atas hamba-hamba-Nya,
seperti sholat, puasa, jihad, dan haji. Jika semua ini dikerjakan dengan
ikhlas karena Allah maka semua itu akan bermanfaat bagi ruh dan
badan (Al Hijazy, 2001: 245-246)
10) Tarbiyah Jinsiyah
Ibnu Qayyim tidak memungkiri adanya kecenderungan fitrah
seperti ini yaitu kebutuhan terhadap seks, dimana kebutuhan seperti ini
sudah menjadi sifat kebutuhan manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, yang demikian itu dikarenakan beliau benar-benat
mengetahui dan meyakini bahwa Allah-lah yang telah menciptakan
manusia dengan seperangkat insting yang berbeda-beda dan salah
satunya adalah insting seks, yaitu kontak syahwat antara kali-laki dan
perempuan. Setelah menjelaskan tentang jima‟ yaitu untuk menjaga
dan melestarikan keturunan manusia, beliau menjelaskan bahwa
terbentuknya manusia ketika masih berupa janin adalah berkat
bercampurnya sperma dan ovum.
Ibnu Qayyim juga benar-benar mengetahui bahwa bagusnya
hubungan antara suami istri memiliki peranan yang besar terhadap
kelanggengan sebuah keluarga. Oleh karena itu, beliau mewasiatkan
kepada para bujangan untuk memilih calon pendamping dari pada
gadis, karena dalam pernikahan dengan gadis banyak menyimpan
62
faedah yang sangat agung bagi jiwa maupun badan, juga akan lebih
melanggengkan kehidupan keluarga, yang hal itu tidak akan
didapatkan dalam pernikahan dengan seorang janda atau dalam
berjima‟ dengannya.
Menurut Ibnu Qayyim bahwa jima‟ yang halal itu akan
menyehatkan badan dan menjaganya serta akan menyelamatkannya
dari serangan penyakit. Oleh karena itu, beliau menasehati kaum laki-
laki berkenaan dengan masalah jima‟ ini, agar tetap menjaga
kesehatannya, dimana beliau menerangkan tentang sifat-sifat wanita
yang akan membahayakan laki-laki jika berhubungan dengannya.
Disamping itu beliau juga menerangkan tentang sifat-sifat wanita yang
tidak membahayakan laki-laki ketika dia mengadakan hubungan
biologis dengannya (Al Hijazy, 2001: 248-251). Beliau berkata
mengenai tipe wanita yang dimaksud,
“Berjima‟ dengan wanita yang sangat dicintai hanya sedikit
pengaruhnya dalam melemahkan badan meskipun mani yang
dikeluarkan sangat banyak, sedang berjima‟ dengan wanita yang
dibenci akan melemahkan badan dan kekuaran meskipun air
mani yang dikeluarkan hanya sedikit.”
d. Pendidik dan Peserta Didik
1) Pendidik
Ada beberapa sifat yang jika semua murabbi menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat tersebut niscaya mereka mampu menjalankan
tugasnya dengan sebaik-baiknya dan sempurna. Sifat-sifat ini ada
63
berkaitan dengan perilaku dan akhlak murabbi, ada yang berkaitan
dengan anak didiknya, yang dimana diantaranya sebagai berikut (Al
Hijazy, 2001: 298-304),
a) Ibnu Qayyim melarang seorang murabbi tenggelam dalam
kenikmatan dan kelezatan dunia, karena dunia akan menyihir hati
para ulama dan murabbi.
b) Hendaklah seorang alim dan murabbi senantiasa berjihad dengan
ilmu, yaitu hijrah dan bayan, karena bentuk jihad ini tidak bisa
dilakukan kecuali oleh orang-orang yang sedikit jumlahnya yang
terdiri dari pengikut dan penerus para Rasul.
c) Pemahaman yang mendalam dalam agama adalah salah satu tanda
keimanan seseorang dan salah satu sifat murabbi yang baik adalah
memiliki itu karena ia adalah tanda iman yang paling jelas.
d) Termasuk dari sifat murabbi, pemilik ilmu dan keutamaannya
yaitu, adalah mau mendakwahi manusia kepada cahaya petunjuk,
bersabar meniti jalan dakwah dengan tabah, menanggung derita
dan rintangan yang ada, serta mau menghidupkan hati manusia
dengan ilmu dan al-Qur‟an.
e) Ibnu Qayyim melarang dan memperingatkan seseorang agar tidak
terlalu mudah memberikan fatwa bahkan hendaklah ia
memperketat dalam pemberian fatwa, karena merasa berat dalam
64
memberikan fatwa adalah bagian dari sifat ulama yang haqiqi dan
sifat para murabbi dari generasi salaf umat ini dan imam mereka.
f) Seorang murabbi yang baik ialah yang mengetahui
kemampuannya, ia tidak merasa pesimis dengan celaan dan
perkataan manusia tentang dirinya, namun tidak pula besar hati
dengan pujian seseorang terhadapnya, tidak pula berbangga diri
dan jika melihat temannya duduk memberikan sesuatu kepadanya
melebihi dari kebiasaannya, dia segera memperingatkannya.
g) Termasuk dari sifat-sifat murabbi ialah tasabbut (hati-hati) dalam
menjawab sesuatu yang ditanyakan kepadanya, sebelum ia
menjawab atau membahasnya.
h) Termasuk dari sifat murabbi yang baik, ia tidak merasa cukup
dengan ilmu yang dimilikinya, bahkan selalu merasa ingin
menambahnya, sabar serta tabah menanggung beban berat di
jalannya, bahkan rela bepergian jauh dalam rangka mencari dan
menambah imu.
i) Selalu mengamalkan ilmunya karena dia tahu siapa yang sedang
berada di hadapannya, yang selalu melihat akhlak dan amalnya.
Oleh karena itu, dia mendidik anak didiknya menuju kepada
kebaikan dengan amalnya sebelum mendidik mereka dengan
perkataan dan ucapannya.
65
j) Sifat seorang murabbi yang utama adalah selalu meletakkan di
depan matanya sifat khasyatullah (takut kepada Allah) dan Allah
mengabarkan bahwa para ulama itu adalah khasyah kepada-Nya,
bahkan dia mengkhususkan ulama ini orang-orang yang takut
kepada-Nya.
k) Sifat murabbi yang akan membantu dirinya dalam menjalankan
tugas dan amalnya adalah kerinduan dan kecintaannya kepada
ilmu, karena seorang alim akan menambah ilmu sesuai dengan
kecintaannya terhadapnya. Maka kesibukan seorang alim dalam
mencari ilmu, mempeserta didiki dan mengajarkannya kepada
orang lain, di samping usahanya untuk selalu menambah ilmu dan
tsaqafahnya juga merupakan bentuk peribadatan kepada Allah.
Ibnu Qayyim menghitung keutamaan dan kemuliaan ilmu hingga
mencapai lebih dari seratus lima puluh keutamaan.
Seorang murabbi yang utama dan seorang alim yang agung
adalah yang cahaya ilmunya memancarkan kepada seluruh manusia
pada umumnya dan kepada anak didiknya pada khususnya. Maka
termasuk dari sifat dan adab seorang murabbi terhadap anak didiknya
adalah (Al Hijazy, 2001: 305-307):
a) Kasih sayang kepada yang kecil dan selalu menghibur mereka,
menganggap mereka sebagai anaknya dan menjadikan dirinya
66
sebagai bapaknya, yang demikian itu dalam rangka menanamkan
kepercayaan mereka kepada dirinya dan untuk menanamkan
kebahagiaan dalam diri anak kecil demi mencontoh Rasulullah
saw, seorang murabbi yang paling agung.
b) Seorang murabbi yang sukses ialah yang merealisasikan wasiat
Rasulullah saw mengenai perintah agar selalu memperhatikan anak
didiknya.
c) Peran dan tugas seorang murabbi tidak hanya terbatas pada
mentransfer ilmu kepada anak didiknya dan tidak pula merasa
cukup hanya dengan mengembangkan sisi ilmiah belaka dengan
memberikan teori-teori keilmuan, tetapi di samping tugas
demikian, dia juga bertanggung jawab untuk mengawasi amaliah
anak didiknya dan akhlak mereka di majelis ilmunya.
d) Seorang murabbi harus bersikap adil kepada anak didiknya hatta
dalam memberikan peserta didikan kepada mereka.
e) Jika seorang murabbi melihat tanda-tanda kejeniusan dalam diri
salah seorang anak didiknya dan tampak dalam dirinya
kemampuan untuk menyerap seluruh ilmu yang diberikan, maka
hendaknya sang murabbi segera menolong dan membangkitkan
semangatnya untuk mempertahankan kelebihan yang dimilikinya
itu.
67
f) Kasih sayang dan kelembutan seorang murabbi kepada anak
didiknya, namun tidak berarti menghalanginya untuk memberikan
hukuman kepada mereka jika memang hukuman itu diperlukan,
tetapi dengan syarat hukuman itu harus sesuai dengan kesalahan
dan kondisi anak, tidak sampai melampaui batas kewajaran,
2) Peserta Didik
Bagi para peserta didik dan semua orang yang menuntut ilmu
harus memiliki adab dan akhlak yang akan membantu dalam meraih
ilmu yang dicarinya (Al Jauziyyah, 2009: 283). Diantaranya akhlak
tersebut adalah (Al Hijazy, 2001: 312-314)
a) Jika seorang peserta didik ingin meraih kesempurnaan ilmu,
hendaklah ia menjauhi kemaksiatan dan senantiasa menundukkan
pandangannya dari hal-hal yang diharamkan untuk dipandang.
b) Para peserta didik hendaklah mewaspadai tempat-tempat yang
menyebarkan lahwun (kesia-siaan) dan majelis-majelis keburukan.
c) Bid‟ah sangat berbahaya bagi kebersihan hati. Sesungguhnya
bid‟ah akan mencemari hati sehingga ia menjadi buta dan tidak
mampu melihat makna-makna ilmu serta tidak bisa memahaminya
sesuai dengan semestinya.
d) Hendaklah para peserta didik senantiasa menjaga waktunya dan
jangan sekali-sekali membuang dengan membicarakan hal-hal
68
yang tidak berfaedah, berbohong dan obrolan yang tidak jelas
ujung pangkalnya.
e) Hendaklah tidak berbicara terkecuali jika sudah jelas hakikatnya
dan telah tampak baginya masalahnya. Bukanlah suatu aib serta
tidak mengurangi kedudukan dan derajatnya jika dia tidak
mengetahui sesuatu.
f) Jika membanggakan diri dan harta, kedudukan dan kenikmatan di
dunia sangat dicela oleh syari‟at, maka membanggakan ilmu dan
menganggap dirinya banyak memiliki ilmu adalah tindakan yang
paling buruk.
g) Hendaklah diketahui oleh setiap peserta didik bahwa hanya dengan
ilmu derajat seseorang tidak bisa terangkat kecuali jika ilmu
tersebut diamalkan.
h) Jika para peserta didik menghendaki ilmunya selalu terjaga dan
tidak mudah hilang, maka hendaklah ia segera mengamalkan ilmu
yang telah dimilikinya.
i) Apabila pemahaman yang butuh diiringi dengan niat yang buruk
adalah pangkal segala macam bid‟ah dan kesesatan serta penyebab
segala kesalahan dari pokok sampai cabangnya, maka wajib atas
para peserta didik untuk memiliki pemahaman yang baik dan niat
yang lurus, supaya hatinya terjauhkan dari noda-noda bid‟ah dan
penyimpangan dalam pemikiran.
69
j) Apabila hikmah adalah barang yang hilang dari diri seorang
mukmin, maka kapan saja dia menemukannya ia lebih berhak
untuk memilikinya. Sifat ini lebih berhak untuk dimiliki oleh
setiap peserta didik, sehingga ia senantiasa mencari hakikat suatu
masalah dan berusaha mendapatkannya dari mana saja sumbernya,
sebagaimana wajib atasnya untuk ta‟ashub kepada pendapat
seseorang.
k) Jika peserta didik itu memiliki keutamaan dengan mendapat
balasan dari Allah berupa dilapangkan jalan menuju surga, maka
sepatutnya para pelahar senantiasa mengingat pahala yang besar
tersebut agar menjadi pendorong baginya untuk senantiasa giat
mencari ilmu.
Adapun adab seorang peserta didik kepada gurunya diantaranya
adalah sebagai berikut (Al Hijazy, 2001: 219-220),
a) Seorang peserta didik hendaklah selalu mulazmah (menyertai)
gurunya dan berusaha mengambil faedah darinya, sebab ilmu itu
adalah sunnah yang diikuti dan diambil dari lisan para ulama.
b) Seorang peserta didik jika sudah mulazamah kepada seorang guru,
hendaklah ia senantiasa menuruti nasehat dan petunjuknya.
c) Wajib atas seorang peserta didik untuk melembutkan suaranya
ketika bertanya dan tidak sekali-kali mendebat gurunya dengan
70
keras dan hendaklah senantiasa tekun mendengarkan
keterangannya dan serius di dalamnya.
3. Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya
Islam ke Indonesa. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-
kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh (pendidik) dengan peserta
didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah tersebut tentu
mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini masjid. Masjid
merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul di samping
rumah tempat kediaman ulama atau mubaligh. Setelah itu muncullah
lembaga-lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah, ataupun surau.
Inti dari materi pendidikan pada masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu
keagamaan yang dikonsentrasikan dengan membaca kitab-kitab klasik. Kitab-
kitab klasik adalah menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya ilmu keagamaan
seseorang.
Di awal abad kedua puluh muncullah ide-ide pembaharuan pendidikan
di Indonesia, ide ini muncul disebabkan sudah mulai banyak oang yang tidak
puas dengan sistem pendidikan yang berlaku saat itu. karenanya ada beberapa
sisi yang perlu diperbaharui, yaitu dari segi isi materi, metode, sistem dan
manajemen (Daulay, 2004: 155-147).
Pendidian Islam di Indonesia, seperti juga di bagian dunia Islam
lainnya berjalan menurut rentak gerakan Islam pada umumnya, dalam bidang
71
politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain seterusnya. Pada
permulaan abad ke-20 terjadi beberapa perubahan dalam Islam di Indonesia
yang dalam garis besarnya dapat digambarkan sebagai kebangkitan,
pembaharuan, bahkan pencerahan (renaisance). Perubahan yang berlaku
dalam pendidikan Islam semenjak saat itu hanya dapat dipahami kalau melihat
kesalingterkaitan antara berbagai aspek pembaharuan baik itu politik, sosial,
ekonomi, budaya, pendidikan dan lain-lain (Langgulung, 2001: 58).
Ada dua faktor daya dorong timbulnya dinamika pendidikan Islam di
Indonesia. Pertama, daya dorong dari ajaran Islam sendiri yang memotivasi
umatnya untuk melakukan pembaharuan (tajdid) dan juga kondisi umat Islam
di Indonesia yang jauh tertinggal dalam bidang pendidikan. Kedua, daya
dorong yang muncul dari para pembaharu pemikiran Islam yang telah
mendapat masukan.
Ide dan inti dari pembaharuan itu adalah berupaya meninggalkan pola
dan pemikiran lama yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman dan
berupaya meraih aspek-aspek yang menopang untuk menyesuaikan diri
dengan kemajuan zaman. Berdasarkan dua daya dorong itulah makanya mulai
muncul ide untuk memasukkan mata peserta didikan umum ke lembaga-
lembaga pendidikan Islam serta mengubah metode-metode yang lebih adaptif
terhadap perkembangan zaman ((Daulay, 2004: 148).
Dorongan kuat untuk mengadakan perubahan pendidikan berasal dari
golongan salaf yang menolak taqlid yang dengan sendirinya berarti
72
menekankan pentingnya bahasa Arab sebagai jalan untuk kembali kepada al
Qur‟an dan Sunnah. Sekurang-kurangnya itulah cita-cita. Tetapi dalam praktik
perubahan hanya berlaku dengan perubahan didaktis dan metodik yang
dipinjam dari Barat (Langgulung, 2001: 59).
Di era reformasi di saat bangsa dan negara Indonesia akan memasuki
abad dua puluh satu yang ditandai dengan munculnya era globalisasi, maka
tidak boleh handalan utama adalah kualitas manusia, karena di era ini
sebaiknya adalah era pendidikan. Yang bermakna seluruh potensi bangsa
diarahkan kepada sektor pendidikan.
Pendidikan ada dua pemaknaan yang selalu didengungkan oleh para
pakar, yaitu pendidikan adalah memanusiakan manusia dalam arti yang
sesungguhnya dan pendidikan adalah transfer budaya. Tentang pendidikan
urgensi pendidikan dalam rangka memanusiakan manusia, dapat diambil
kisah klasik yang telah dikemukakan para pakar tentang betapa urgennya
pendidikan tersbut dalam rangka memanusiakan manusia, yakni kisah
ditemukan anak manusia yang dipelihara oleh serigala. Anak manusia itu
tidak bisa hidup dengan wajar sebagaimana manusia, dia hidup sebagaimana
layaknya serigala mulai dari cara makannya, berjalan dan kebiasaan hidup
lainnya.
Mengenai peran pendidikan sebagai transfer budaya adalah berkenaan
dengan manusia sebagai pencipta budaya yang secara akumulatif telah
berproses sejak ribuan tahun yang lalu setidaknya sejak manusia memasuki
73
abad peradaban. Manusia yang hidup sekarang ini menikmati berbagai
kemudahan dan kenyamanan hidup disebabkan karena kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi sumbangan peradaban masa lampau juga tidak
kurang maknanya untuk mengantarkan manusia kepada perabadan masa kini.
Dalam proses transformasi budaya inilah peranan pendidikan amat
menentukan (Daulay, 2014: 195-197).
Dalam era globalisasi industrialisasi, peran pendidikan tidak terfokus
pada penyiapan sumber daya manusia yang siap pakai, mengingat
kecenderungan yang terjadi dalam dunia kerja sangat cepat berubah dalam era
ini. Sebaliknya, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia yang
mampu menerima serta menyesuaikan dan mengembangkan arus perubahan
yang terjadi dalam lingkungan.
Problema yang dihadapi manusia tersebut menghendaki visi dan
orientasi pendidikan yang tidak semata-mata menekankan pada pengisian
otak, tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam
menjalankan ibadah. Yaitu suatu upaya yang mengintegrasikan berbagai
pengetahuan yang terkotak-kotak itu ke dalam ikatan tauhid, yaitu suatu
keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran manusia itu
harus dilihat sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia dan harus
diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya-karya manusia yang
ikhlas (Nata, 2003: 82-83).
74
Di era globalisasi di abad ke-21 yang tahapannya sudah dimulai pada
masa sekarang ini, ternyata telah memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap dunia pendidikan. Berbagai aspek yang berkaitan dengan
pendidikan, mulai dari materi peserta didikan, guru, metode, sarana dan
prasarana, lingkungan dan pola hubungan antara guru dan peserta didik perlu
ditata ulang untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hal ini diperlukan, jika
di dunia pendidikan ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu
perjalanan umat manusia. Dunia pendidikan di masa sekarang benar-benar
dihadapkan pada tantangan yang cukup berat yang penanganannya
memerlukan keterlibatan berbagai pihak yang terkait.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas perlu dilakukan upaya-upaya
strategis, diantaranya yaitu:
a. Tujuan pendidikan dimana sekarang tidak cukup dengan hanya
memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan, keimanan, dan ketakwaan
saja, namun juga harus diupayakan melahirkan manusia yang kreatif,
inovatif, mandiri dan produktif, mengingat dunia yang akan datang adalah
dunia yang kompetitif.
b. Guru di masa yang akan datang adalah guru yang di samping memiliki
informasi, akhlak baik, dan mampu menyampaikan secara metodologis,
juga harus mampu mendayagunakan berbagai sumber informasi yang
tersebar di tengah masyarakat ke dalam kegiatan belajar mengajar.
75
Dengan demikian pembelajaran harus terpusat pada peserta didik yang
pada gilirannya dapat menimbulkan masyarakat belajar.
c. Bahan peserta didikan umum dan agama perlu diintegrasikan dan
diberikan kepada peserta didik sebagai bekal yang memungkinkan ia dapat
memiliki kepribadian yang utuh, yaitu pribadi yang di samping berilmu
pengetahuan juga harus berakhlak mulia. Hal ini penting, karena
kehidupan di masa yang akan datang banyak dihadapkan pada tantangan
yang bersifat moral. Untuk itu, perlu dikembangkan pengamalan akhlak
tasawuf di sekolah-sekolah (Nata, 2003: 93-94).
4. Relevansi Pendidikan Islam Perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah dengan
Pendidikan Islam di Indonesia
Demikianlah sebagian kecil atas pemikiran pendidikan Islam Ibnu
Qayyim yang tampaknya ide-ide beliau dapat dinyatakan cukup sistematis dan
representatif. Bahkan memiliki relevansi dan implikasi terhadap pendidikan
Islam di Indonesia saat ini diantaranya sebagai berikut (Aziz, 2015:140-142),
a. Akibat era teknologi informasi serta pengaruh sekularisme pendidikan
Islam yang awalnya merupakan seperangkat pengetahuan kognitif dan
nilai kini telah berubah sebatas besifat transfer of knowledge semata.
Sehingga paradigma yang berkembang bukan lagi sebagai pendidikan
namun lebih bersifat pengajaran agama yang menitikberatkan pada
pengembangan wawasan intelektual peserta didik.
76
Sementara substansi pendidikan berupa penanaman akhlak, moral
dan karakter cenderung diabaikan. Dengan demikian istilah tarbiyah
sebagaimana yang ditawarkan oleh Ibnu Qayyim menjadi relevan dengan
saat ini. sehingga pemikiran pendidikan Islam menurut Ibnu Qayyim
berimplikasi untuk mengembalikan makna dan hakikat pendidikan tidak
sebatas dalam ruang lingkup tarbiyah, ta‟lim dan ta‟dib.
b. Implikasinya terhadap orientasi tujuan pendidikan Islam kontemporer.
Dalam hal ini Ibnu Qayyim memandang pendidikan Islam lebih
memandang pada tujuan final yang lebih jauh yakni kebahagiaan dunia
dan akhirat. Bukan sebatas tujuan jangka pendek yang bertumpu pada
paradigma pragmatisme dan materialisme. Reorientasi tujuan pendidikan
Islam ini lebih bersifat religius, holistik dan akhlak yang mulai sebagai
bentuk upaya taqarub kepada Allah.
c. Pemikiran pendidikan Islam Ibnu Qayyim berimplikasi terhadap fitrah
seseorang dan pemahaman perkembangan anak dalam pendidikan Islam
kontemporer. Fitrah disini bukan dimakna sebagai mana diungkapkan
dalam teori tabularasa, namun setiap anak memiliki potensi keimanan
untuk meyakini dan menyembah Allah. Sedangkan memahami
perkembangan anak berarti tidak menganggap anak sebagai miniatur
seorang dewasa, namun anak adalah makhluk unik yang berbeda secara
fisiologis dan psikologis dengan orang dewasa. Melalui pemahaman ini
77
kreativitas, potensi dan bakat setiap anak harus mendapatkan perhatian
dan diupayakan berkembang secara optimal.
d. Implikasi terhadap cakupan ruang lingkup pendidikan Islam. Artinya
pemikiran pendidikan Ibnu Qayyim tidak sebatas mengacu pada
pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik semata sebagaimana
yang ditawarkan oleh pemikir pendidikan kontemporer. Tetapi tidak
mengesampingkan aspek pemantapan keimanan dan ketaqwaan bagi
setiap peserta didiknya. Sehingga Ibnu Qayyim memfokuskan materi atau
asas pendidikan Islam pada ranah tarbiyah imaniyah, tarbiyah ruhiyah,
tarbiyah fikriyah, tarbiyah „athifiyah, tarbiyah khulukiyah, tarbiyah
ijtima‟iyah, tarbiyah iradah, tarbiyah badaniyah, tarbiyah riyadhah, dan
tarbiyah jinsiyah.
B. Pembahasan
1. Analisis Terhadap Pendidikan Islam dalam Perspektif Ibnu Qayyim
Agama Islam adalah kumpulan nilai Ilahiyah yang diturunkan kepada
manusia untuk dipahami, dijadikan pegangan dan prinsip mengatur hidup
pemeluknya. Islam adalah agama suci, penuh dengan kedamaian, kemuliaan,
menghargai kemanusiaan dan selalu mengarahkan pemeluknya untuk
senantiasa menjadi jauh lebih baik dan bermartabat dihadapan Tuhan dan
manusia (Nugroho, 2016: 181). Manusia adalah makhluk termulia diantara
makhluk-makhluk yang lain dan dijadikan oleh Allah dalam sebaik-baiknya
bentuk, baik fisik maupun psikisnya, juga dilengkapi dengan potensi (fitrah)
78
dan dapat dikembangkan secara optimal melalui proses pendidikan
(Muhaimin, 2008: 22)
Islam menganggap pendidikan sebagai proses yang suci untuk
merealisasikan tujuan asasi dalam kehidupan yaitu beribadah kepada Allah
dalam makna luas. Pendidikan dalam hal ini, merupakan salah satu bentuk
ibadah dalam Islam, yang ruang lingkupnya adalah alam semesta, porosnya
adalah manusia dan tujuannya adalah kehidupan yang beriman (Hafidz,
2009:45).
Dalam pendidikan Islam, pengertian pendidikan Islam sendiri adalah
proses pentarbiyahan yang mengarah pada pembentukan moral dan akhlak
yang baik. Pengertian tersebut sejalan dengan pengertian pendidikan Islam
dalam perpektif Ibnu Qayyim. Dimana pengertian pendidikan Islam dalam
perspektif Ibnu Qayyim mencakup dua hal, yaitu pendidikan tarbiyah qalb
(hati) dan tarbiyah badan.
Tujuan pendidikan Islam dalam konsep pendidikan Islam yang ingin
dicapai oleh pendidik maupun lembaga pendidikan ada lima yang dimana
kelima tujuan pendidikan ini telah mencakup tujuan pendidikan yang lain,
yaitu tujuan yang mencakup aspek fisik, sosial, spiritual, tingkah laku dan
intelektual. Sedangkan tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Ibnu Qayyim
al Jauziyyah ada empat, yaitu tujuan yang mencakup pada jismiyah (badan),
tujuan akhlakiyah (akhlak), tujuan fikriyah (akal), dan tujuan maslakiyah
(skill). Tujuan pendidikan Islam dalam perspektif Ibnu Qayyim ini masih
79
sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam. Namun, untuk tujuan sosial
dan ruh, beliau tidak memasukkannya dalam tujuan pendidikan, melainkan
dalam sasaran pendidikan Islam.
Sasaran pendidikan perspektif ibnu Qayyim al Jauziyyah diantaranya
yaitu, tarbiyah imaniyah, tarbiyah ruhiyah, tarbiyah fikriyah, tarbiyah
athifiyah (perasaan), tarbiyah khulukiyah (akhlak), tarbiyah ijtimaiyah,
tarbiyah iradiyah (kehendak), tarbiyah badaniyah, tarbiyah riyadhah, dan
tarbiyah jinsiyah. Sedangkan dalam pendidikan Islam, sasaran pendidikan ada
empat, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, pendidikan intelektual,
dan pendidikan sosial. Maka, sasaran pendidikan dalam perspektif Ibnu
Qayyim ini masih sejalan dengan konsep pendidikan Islam. Pada sasaran
pendidikan ini Ibnu Qayyim menambahkan tarbiyah ruhiyah, tarbiyah
athifiyah (perasaan), tarbiyah iradiyah (kehendak), tarbiyah badaniyah,
tarbiyah riyadhah, dan tarbiyah jinsiyah.
Dalam konsep pendidikan Islam, peserta didik adalah individu yang
sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan fitrahnya
masing-masing. Peserta didik tidak hanya dianggap sebagai objek pendidikan,
namun juga sebagai subjek pendidikan. Peserta didik dapat diperlakukan
dengan cara mengikutsertakan peserta didik dalam proses memecahkan
masalah-masalah yang ada dalam kegiatan belajar mengajar. Dan pendidik
sebagai orang-orang yang bertanggungjawab atas perkembangan potensi yang
dimiliki oleh peserta didik baik itu dalam potensi kognitif, afektif maupun
80
psikomotorik. Pendidik memegang peran penting dalam perkembangan
potensi yang dimiliki peserta didik. Sedangkan dalam perspektif Ibnu
Qayyim, dalam konsep peserta didik dan pendidik, Ibnu Qayyim menekankan
bahwa pembinaan dan pengarahan seorang pendidik dianggap sangat penting
dalam proses pembelajaran agar materi atau ilmu yang disampaikan oleh
pendidik dapat diterima dan diserap dengan baik oleh peserta didik. Untuk itu,
peserta didik dan pendidik yang dirumuskan oleh Ibnu Qayyim ini sangat
sejalan dengan konsep pendidikan Islam.
2. Analisis Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia Masa Kini
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) yang melakukan sensus
penduduk pada tahun 2010, Indonesia memiliki populasi penduduk beragama
Islam 207 juta lebih. Banyaknya populasi penduduk Islam ini menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk Islam terbanyak di
dunia. Sayangnya, banyaknya penduduk Islam di Indonesia ini belum mampu
menunjukkan kontribusinya ditengah pergumulan negara ini yang masih
dalam proses membangun (Indra, 2005: 157).
Pendidikan saat ini menjadi isu penting di Indonesia. Peran pendidikan
sangat mendukung dalam peningkatan kreativitas peserta didik. Peserta didik
yang kreatif sangat mendukung dalam peningkatan skill mereka, sehingga
peserta didik diharapkan, setelah mereka terjun ke masyarakat dapat
mengembangkan life skill-nya yang diperlukan untuk berkompetisi dalam
persaingan global. Pendidikan islam sebagai subsistem pendidikan nasional
81
merupakan salah pengembang misi untuk mengembangkan kualitas dan
kepribadian manusia secara utuh. Keberhasilan pendidikan Islam akan
membantu keberhasilan pendidikan nasional (Lestari, 2010: 59-62).
Secara historis, pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan dakwah Islamiyah. Pendidikan
Islam berperan sebagai mediator dimana ajaran Islam dapat disosialisasikan
kepada masyarakat dalam berbagai tingkatan. Melalui pendidikan inilah,
masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
Islam sesuai dengan ketentuan Al Qur‟an dan Al Sunnah (Nata, 2003: 1).
Keberadaan pendidikan Islam sebagai pendidikan ketuhanan menjadikannya
berjalan selaras dengan jalan yang digariskan Islam sebagai agama dengan
maknanya yang luas, Islam sebagai agama kehidupan dunia dan akhirat, Islam
sebagai agama yang komprehensif mencakup seluruh masalah kehidupan,
menyangkut kebutuhan individu, masyarakat manusia seluruhnya (Hafidz,
2009:33).
Era globalisasi yang sudah dimulai pada masa kini ternyata telah
memberikan dampak yang cukup besar dalam bidang pendidikan di seluruh
dunia termasuk pendidikan Islam di Indonesia. Industri telah menghasilkan
berbagai alat-alat yang dapat memudahkan kehidupan manusia. Seharusnya
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih ini mampu untuk
mengatasi berbagai permasalahan dalam hidup, namun pada kenyataannya
dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih ini
82
tak mampu untuk menumbuhkan moral atau akhlak yang baik. Bahkan kini di
Indonesia ini sendiri mengalami kemerosotan moral yang telah berada dalam
tingkatan yang mengkhawatirkan.
Saat ini banyak terjadi kenakalan remaja, tawuran antar peserta didik
dan tindak kejahatan yang dilakukan oleh peserta didik. Bahkan hal ini terjadi
pada peserta didik yang masih menginjak usia tiga belas tahun atau duduk di
bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Hal ini mengisyaratkan bahwa
peserta didik-peserta didik saat ini kurang dalam hal moral dan akhlak. Untuk
itu dibutuhkan pendidikan akhlak atau karakter sedini mungkin. Dan
pendidikan Islam memegang peran penting dalam memberikan pendidikan
karakter.
Pada kenyataannya, pendidikan Islam sering dikesampingkan jika
dibandingkan dengan pendidikan umum lainnya. Hal ini dikarenakan
kurangnya minat peserta didik terhadap peserta didikan pendidikan Islam.
Kurangnya minat peserta didik ini bukan tanpa alasan. Peserta didik merasa
kurang tertarik dengan peserta didikan pendidikan Islam ini salah satu
alasannya adalah karena metode yang digunakan dalam penyampaian materi
peserta didikan terkesan monoton bagi peserta didik. Metode yang digunakan
adalah metode tradisional.
Di zaman yang sudah modern ini seharusnya metode yang digunakan
oleh pendidik adalah metode yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Banyak alat-alat yang canggih dan media-media yang dirasa lebih baik
83
digunakan. Kekreatifan seorang guru dituntut disini untuk dapat memilih
metode yang sesuai dengan peserta didik maupun dengan perkembangan
zaman. Sehingga materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh
peserta didik.
Pada dasarnya untuk dapat mewujudkan tujuan pendidikan yang ingin
dicapai diperlukan sistem pendidikan pendidikan Islam yang tidak hanya baik
namun juga sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Analisis Terhadap Pendidikan Islam Perspektif Ibnu Qayyim al
Jauziyyah dan relevansinya dengan Pendidikan Islam di Indonesia Masa
Kini
Untuk menghadapi permasalahan pendidikan Islam di Indonesia pada
era globalisasi saat ini dibutuhkan pemberian pendidikan yang sesuai dengan
ajaran Islam diberikan kepada anak sejak dini. Dimana pendidikan yang
diberikan kepada peserta didik tidak hanya mengenai kognitif (pengetahuan)
saja. Dan hal ini sesuai dengan pendidikan Islam dalam perspektif Ibnu
Qayyim al Jauziyyah yang dimana dapat diterapkan di Indonesia. Relevansi
pendidikan Islam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah dengan Pendidikan
Islam di Indonesia ini, diantaranya:
a. Era digital ini memberikan dampak pada dunia pendidikan dimana kini
pendidikan lebih mengutamakan pada transfer of knowledge saja.
Sedangkan pendidikan akhlak dan moral dikesampingkan dan cenderung
diabaikan. Untuk itu, istilah pendidikan yang diberikan oleh Ibnu Qayyim
84
al Jauziyyah ini relevan saat ini, sehingga pemikiran pendidikan Ibnu
Qayyim ini dapat mengembalikan makna pendidikan yang sebenarnya dan
tidak hanya sebatas pemberian pengetahuan saja.
b. Tujuan pendidikan yang ditawarkan oleh Ibnu Qayyim pun relevan
dengan tujuan pendidikan Islam di Indonesia saat ini, dimana Ibnu
Qayyim menawarkan tujuan pendidikan yang berkaitan pembinaan dengan
badan, akal, akhlak, dan skill. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan
Islam di Indonesia saat ini yang bertujuan untuk memberikan pendidikan
tidak hanya kognitif saja, melainkan juga memberikan pendidikan afektif
dan juga psikomotorik.
c. Pemikiran pendidikan Islam dalam perspektif Ibnu Qayyim mengenai
fitrah seseorang dan perkembangan anak memiliki dampak yang baik bagi
pendidikan Islam di Indonesia saat ini. Mengetahui fitrah atau potensi
anak itu satu hal yang penting, dengan mengetahui fitrah atau potensi atau
bakat yang dimiliki dapat dilakukan pengarahan, perhatian khusus, dan
pengoptimalan terhadap fitrah anak tersebut.
d. Pemikiran Ibnu Qayyim mengenai materi pendidikan atau sasaran
pendidikan Islam tidak hanya mengacu pada aspek kognitif, afektif dan
psikomotrik saja, namun juga memperhatikan mengenai aspek
pemantapan keimanan dan ketaqwaan. Dimana Ibnu Qayyim menawarkan
materi-materi pendidikan yang diantaranya, yaitu tarbiyah imaniyah,
tarbiyah ruhiyah, tarbiyah fikriyah, tarbiyah athifiyah (perasaan),
85
tarbiyah khulukiyah (akhlak), tarbiyah ijtimaiyah, tarbiyah iradiyah
(kehendak), tarbiyah badaniyah, tarbiyah riyadhah, dan tarbiyah jinsiyah
e. Perilaku, adab, dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pengajar atau
pendidik yang Ibnu Qayyim apabila dilaksanakan oleh pendidik di
Indonesia saat ini dapat mengefektifkan kegiatan belajar mengajar. Tidak
hanya pendidikan, namun Ibnu Qayyim juga menyampaikan bagaimana
perilaku, sifat dan adab seorang peserta didik terhadap pendidik. Rumusan
pendidik dan juga peserta didik yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim ini
relevan dengan rumusan pendidik dan peserta didik yang berada di
Indonesia saat ini.
Berdasarkan pemaparan diatas, pemikiran Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
mengenai pendidikan Islam sangat relevan untuk diaplikasikan dalam
pendidikan Islam yang ada di Indonesia, karena pemikiran Ibnu Qayyim al
Jauziyyah tersebut masih sesuai dengan tuntutan zaman modern saat ini. Hal
ini merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
pendidikan Islam saat ini yang tengah mengalami penurunan.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan beberapa uraian di atas, maka penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa:
1. Konsep pendidikan agama Islam dalam perspektif Ibnu Qayyim al Jauziyyah
dijelaskan bahwa pendidikan agama Islam meliputi tarbiyah qalb dan tarbiyah
badan. Konsep pendidikan agama Islam dalam perspektif Ibnu Qayyim al
Jauziyyah tidak hanya memusatkan pendidikan pada aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik saja, namun juga memberikan pendidikan ketakwaan dan
keimanan pula. Konsep pendidikan Islam dalam perspektif Ibnu Qayyim ini
sejalan dengan konsep pendidikan Islam.
2. Pendidikan agama Islam di Indonesia saat ini sudah berjalan dengan baik
terlebih dalam pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian
Agama. Karena lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan
Kementerian agama memiliki banyak jam pelajaran pendidikan agama Islam
yang dibadi ke dalam banyak mata pelajaran yang diantaranya yaitu, Akidah
Akhlak, Al Qur‟an Hadits, BTA, Bahasa Arab dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam pendidikan agama Islam dalam lembaga pendidikan umum
dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih kurang, karena
kurangnya jam pelajaran dimana mata pelajaran pendidikan agama Islam saat
ini hanya memiliki jam pelajaran tiga jam saja.
87
3. Relevansi konsep pendidikan agama Islam dalam perspektif Ibnu Qayyim al
Jauziyyah dengan pendidikan agama Islam yang ada di Indonesia pada era
globalisasi ini adalah dalam perspektif Ibnu Qayyim, pendidikan tidak hanya
pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, namun juga ketakwaan dan
keimanan. Konsep pendidikan agama Islam dalam perspektif Ibnu Qayyim ini
sesuai dengan pendidikan Islam di Indonesia saat ini dimana dibutuhkan
peningkatan ketakwaan dan keimanan. Sehingga lembaga pendidikan tidak
hanya memberikan lulusan yang pandai dalam akademik, namun juga lulusan
yang memiliki akhlak mulia dan ketrampilan yang mumpun juga lulusan yang
beriman.
88
B. Saran-Saran
Beberapa saran yang dapat penulis tujukan kepada:
1. Kepada lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan merupakan suatu sarana yang dimana terdapat interaksi
antara pendidik dan peserta didik dalam proses belajar mengajar, maka
lembaga pendidikan dituntut untuk mampu memberikan pendidikan Islam
yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam agar dapat mencetak lulusan yang
tak hanya baik dalam bidang akademik namun juga memiliki akhlak dan
moral yang baik pula.
2. Kepada pendidik
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan dalam
mengajarkan pendidikan Islam kepada peserta didik sehingga dapat
diterapkan dengan baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hijazy, Hasan bin Ali Hasan. 2001. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim.
Terjemahan Muzaidi Hasbullah. Jakarta : Al-Kautsar
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2006. Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud:
Bingkisan Kasih Untuk si Buah Hati. terjemahan Abu Umar Basyir
al-Maedan. Solo: Pustaka Arafah
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. 2007. Al-Jawab Al-Kafi: Mengetuk Pintu
Ampunan Meraih Berjuta Anugerah. terjemahan Futuhal Arifin.
Jakarta : Gema Madinah Makkah Pustaka.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. 2009. Kunci Surga: Mencari Kebahagiaan
Dengan Ilmu. terjemahan Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono.
Solo : Tiga Serangkai.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. 2008. Al-Fawaid Menuju Pribadi Takwa. terjemahan
Munirul Abidin. Jakarta: Al-Kautsar.
Arikunto, Suharismi. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Aziz, Safrudin. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dn
Kontemporer. Yogyakarta: KALIMEDIA.
Azizah, Nur. 2015. Konsep Pendidikan Akhlak: Studi Surat Al Furqon Ayat 63-64
dan Implementasinya dalam Pembentukan Kepribadian Muslim.
Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Depag. 2008. Al Qur‟an dan Terjemah. Semarang: CV. TOHA PUTRA.
Farid, Syaikh Ahmad. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: PUSTAKA AL-
KAUTSAR.
Hafidz, Muhammad & Kastolani. 2009. Pendidikan Islam: Antara Tradisi dan
Modernitas. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Indra, Hasbi. 2005. Pendidikan Melawan Globalisasi. Jakarta: RIDAMULIA.
Laksana, Sigit Dwi. 2016. Integrasi Empat Pilar Pendidikan (Unesco) dan Tiga
Pilar Pendidikan Islam. 6(1): 46.
Langgulung, Hasan. 2001. Pendidikan Islam dalam Abad ke-21. Jakarta: Radar
Jaya Offset.
Lestari, S & Ngatini. 2010. Pendidikan Islam Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mansur. 2004. Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa. Yogyakarta
Pustaka Pelajar.
Mufron, Ali. 2013. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aura Pustaka.
Mujtahid. 2011. Reformasi Pendidikan Islam. Malang: UIN-MALIKI PRESS
(ANGGOTA IKAPI).
Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan. Jakarta: PRENADA MEDIA.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif
di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Saikhu, Ach. 2001. Pendidikan Islam di Indonesia (Suatu Kajian Upaya
Pemberdayaan). 1(2): 66.
Shofan, Moh. 2004. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: IRcISOD
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif-Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Susanto, A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: AMZAH.
Syafaruddin, dkk. 2014. Ilmu Pendidikan Islam : Melejitkan Potensi Budaya
Umat. Jakarta: Hijri Pustaka Utama.
LAMPIRAN
SURAT TUGAS PEMBIMBING
LEMBAR KONSULTASI SKRIPSI
SATUAN KETERANGAN KEGIATAN
Nama : Nia Kurniawati Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI)
NIM : 111-14-141 Dosen PA : Drs. Sumarno Widjadipa, M.Pd
No. Nama Kegiatan Pelaksanaan Sebagai Nilai
1 OPAK STAIN SALATIGA 2014
“Aktualisasi Gerakan Mahasiswa yang
Beretika, Disiplin, dan Berfikir Terbuka ”
.
18-19
Agustus
2014
Peserta
3
2 OPAK JURUSAN TARBIYAH STAIN
SALATIGA 2014
“Aktualisasi Karakter sebagai Pembentuk
Generasi yang Religius, Educative, dan
Humanis”.
20-21
Agustus
2014
Peserta
3
3 Orientasi Dasar Keislaman (ODK)
“Pemahaman Islam Rahmatan Lil „Alamin
sebagai Langkah Awal Menjadi
Mahasiswa Berkarakter”.
21 Agustus
2014
Peserta
2
4 Achievement Motivation Training (AMT)
“Dengan AMT Semangat Menyongsong
Prestasi”.
23 Agustus
2014
Peserta
2
5 UPT PERPUSTAKAAN STAIN
SALATIGA
“LIBRARY USER EDUCATION
(Pendidikan Pemustaka)”.
28 Agustus
2014
Peserta
2
6 CEC dan ITTAQO
“SIBA - SIBI Training UTS Semester
Ganjil Tahun 2014”
26 Oktober
2014
Peserta
2
7 Seminar Nasional
“Berkontribusi Untuk Negara Melalui
Televisi/TV”
5 November
2014
Peserta
8
8 HIMPUNAN MAHASISWA PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARIAH S-1
STAIN SALATIGA
“Training and TOEFL Test”
8-9
November
2014
Peserta
3
9 Talkshow Pra Nikah LDK STAIN Salatiga
“Menjemput Jodoh Impian”
9 November
2014
Peserta
2
10 Pondok Pesantren Al Hasan
“Maulud Nabi”
14 Januari
2015
Panitia
4
11 Seminar Nasional
“Pemuda Peradaban Islam dan
Kemandirian”
2 September
2015
Peserta
8
12 Pondok Pesantren Al Hasan
“Maulud Nabi”
30 Januari
2016
Panitia
2
13 Seminar Nasioal HMI
“Pembangunan Karakter Bangsa Upaya
Mewujudkan Generasi Muda yang
Berbudaya untuk Indonesia Bermartabat”.
9 April
2016
Peserta
8
14 Seminar Nasional HMJ PAI IAIN Salatiga
“Pendidikan Agama Menjadi Pelopor
Kebangkitan Nasional Era Modern”.
21 Mei
2016
Peserta
8
15 Seminar Internasional
“Petani Untuk Negeri”
24
September
2016
Peserta
8
16 Seminar Nasional
“Reaktualisasi Hadis dalam Kehidupan
Berbangsa dan Berbudaya”.
19 Oktober
2016
Peserta
8
17 Seminar Online
“Tips and Trick Student Exchange”
14 Oktober
2017
Peserta 2
18 Seminar Nasional dan Workshop Literasi
“Merawat NKRI dengan Membangun
Budaya Literasi”
13 April
2018
Peserta
8
19 International Class Program State Institute
for Islamic Studies Salatiga
“Art and Language Exhibition 2018
Entitled “Sumpah Abimanyu””
25 April
2018
Peserta
8
20 EDULIGHT
“TOEFL Training Edulight and IAIN
Salatiga”
5 Mei 2018 Peserta
2
21 EDULIGHT
“TOEFL Test Edulight and IAIN Salatiga”
6 Mei 2018 Peserta
2
22 Seminar Nasional UKM ITTAQO
“Tantangan dan Prospek Pembelajaran
Bahasa Arab di Era Kekinian”
12 Mei
2018
Peserta
8
2
BIOGRAFI PENULIS
Nama : Nia Kurniawati
Tempat, Tanggal Lahir : Salatiga, 18 Desember 1995
Agama : Islam
Alamat : Jl. Nusantara 2 Rt 06 Rw 07 Canden,
Kel. Kutowinangun Lor, Kec. Tingkir, Salatiga
Riwayat Pendidikan formal:
1. Tamatan : TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Tahun 2002
2. Tamatan : SD Kutowinangun 09 Salatiga Tahun 2008
3. Tamatan : SMP N 02 Salatiga Tahun 2011
4. Tamatan : MAN Salatiga Tahun 2014
5. Kuliah Strata Satu (S1) Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga sejak tahun 2014 sampai sekarang.
Top Related