GAMBARAN PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI KALANGAN DOKTER GIGI
(Penenelitian dilakukan di Kota Makassar)
(Dentist’
Abstrak Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) perlu diterapkan dokter gigi di tempat praktiknya, agar dokter gigi dapat terhindar dari risiko bahaya kerja di tempat praktiknya, terutama bahaya infeksi silang, bahaya amalgam (Hg), dan bahaya postur tubuh yang tidak ergonomi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif. Dari populasi dokter gigi umum yang terdaftar sebagai anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Kota Makassar sebanyak 258 orang, didapatkan sampel sebanyak 100 orang berdasarkan pendapat Gay dan Diehl dengan antisipasi drop out 20%. Penelitian ini menggambarkan upaya pencegahan dokter gigi terhadap bahaya infeksi silang dan amalgam (Hg) serta aplikasi postur tubuh yang ergonomi. Penelitian ini didapatkan persentase pencapaian upaya pencegahan responden terhadap bahaya infeksi silang dengan klasifikasi 76-100% sebanyaknya 46 respoden (46%, N=100), upaya pencegahan responden terhadap bahaya amalgam dengan klasifikasi 76-100% sebanyak 25 respoden (37.3%, N=67), serta aplikasi postur yang ergonomi dengan klasifikasi sangat baik sebanyak 24 respoden (24%, N=100). Data ini menujukkan upaya pencegahan dokter gigi terhadap risiko bahaya kerja di tempat praktiknya masih kurang. Dokter gigi di Kota Makassar sebaiknya lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerjanya saat berpraktik. Agar terhidar dari bahaya kerja yang dapat muncul saat melakukan prosedur perawatan pada pasien.
Kata Kunci: Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), dokter gigi
THE DESCRIPTION OF APPLICATION PRINCIPLES OF OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY IN THE DENTIST (Research in
Makassar City)
abstract Occupational Health and Safety needs to be applied in the dentist's practice, so that dentists can avoid the risk of occupational hazards in the practice, especially the hazard of cross infection, the hazard of amalgam (Hg), and the hazard that are not ergonomic posture. This study is a observational study descriptive. Based on population of general dentists who are registered as members of Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) in Makassar of 258 people, obtained a sample of 100 people in the opinion of the Gay and Diehl with 20% drop out anticipated. This study describes the efforts to avoid dentist from the hazard of cross infection and amalgam (Hg) and the application of ergonomic posture. This study found the percentage of respondents achieving prevention of cross infection hazard to the classification of 76-100% as much 46 respondents (46%, N = 100), the prevention of respondents to the hazard of amalgam (Hg) with the classification of 76-100% of 25 respondents (37.3%, N = 67), and the application of ergonomic posture with very good classification of 24 respondents (24%, N = 100). These data showed there are lack of prevention against the risk of danger dentists work in their practice. Dentists in Makassar should pay more attention to occupational health and safety during practice. In order to avoid of occupational hazards that can arise when performing maintenance procedures on patients.
Keywords: Occupational Health and Safety, dentists
2
BAB IPENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Kesehatan gigi dan mulut tidak bisa lepas dari profesi dokter gigi. Hal ini
dikarenakan peran dokter gigi sangat besar dalam membantu seseorang dalam
menjaga kesehatan gigi dan mulutnya, baik dalam usaha preventif, promotif, kuratif
maupun rehabilitatif. Di lain pihak, masih banyak masyarakat yang mengabaikan
kesehatan gigi dan mulutnya. Hal ini dibuktikan pada Survey Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) 2010 bahwa 63% penduduk Indonesia masih menderita penyakit
gigi dan mulut. Kebanyakan dari mereka menderita karies gigi dan penyakit jaringan
penyangga.1 Sedangkan Berdasarkan data dari Profil kesehatan kota/kab 2009 di
Sulawesi Selatan tercatat rasio dokter gigi sebesar 5,38 per 100.000 penduduk,
sedangkan bila dibandingkan dengan target pencapaian IIS 2010, nampak bahwa
rasio untuk tenaga dokter dokter gigi belum mencapai target (dokter gigi 11 per
100.000 penduduk).2
Fakta ini merupakan tantangan terbesar bagi seorang dokter gigi bila
dibandingkan persebaran dokter gigi yang belum mencapai target di tambah lagi
derajat kesehatan gigi dan mulut masyarakat masih rendah. Angka tersebut
menunjukkan bahwa seorang dokter gigi memerlukan kerja yang lebih untuk
mengimbanginya. Namun justru sebaliknya akan mempertinggi risiko bahaya untuk
kesehatan dan keselamatan seorang dokter gigi.
3
Akan tetapi, pernakah kita berpikir apakah selama ini dokter gigi telah
memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerjanya. Tentunya akan menjadi
pertanyaan besar bagi kita, bila selama ini justru dokter gigilah yang kurang
memperhatikan kesehatan dan keselamatannya selama menjalankan profesinya di
ruang praktik.
Mengingat kerja dokter gigi yang cukup berat dan perannya sangat penting,
seorang dokter gigi harus pandai menghindari berbagai ancaman bahaya selama
praktik. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, Pasal
23 dijelaskan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diterapkan
di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya
kesehatan.3 Jika diperhatikan isi dari pasal tersebut maka jelaslah bahwa sangatlah
perlu menerapkan prinsip-prinsip K3 pada praktek dokter gigi, mengingat semua
pekerjaan dokter gigi tidak bisa lepas dari berbagai risiko ancaman bahaya
kesehatan. Dampaknya tidak hanya pada pasien pengunjung saja, tetapi juga para
dokter gigi sebagai praktisisi kesehatan dapat terkena.
Terdapat lebih dari 2,6 milyar pekerja dan tenaga kerja yang terus menerus
berkembang di seluruh dunia dan sekitar 75% merupakan pekerja di negara
berkembang yang risiko di tempat kerjanya lebih parah. Setiap tahun terdapat sekitar
250 juta kasus cedera akibat kerja yang mengakibatkan 330.000 kematian.4 Selain di
rumah, orang-orang hampir menghabiskan waktunya di lokasi kerja. Tentunya salah
satu profesi pekerja tersebut adalah dokter gigi yang risiko bahaya kerjanya cukup
tinggi. Oleh karena itu, diperlukan tempat kerja yang aman dan sehat bagi seorang
gigi.
Potensi bahaya pada praktik kedokteran gigi dapat dari berbagai aspek, mulai
penyakit-penyakit infeksi hingga potensi bahaya seperti kecelakaan, radiasi, bahan-
bahan kimia yang berbahaya, gangguan psikososial dan ergonomi.
Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) perlu diterapkan, hal ini dikarenakan
hampir seluruh penduduk memiliki potensi untuk mengalami cedera dan terkena
penyakit. Dalam dunia kedokteran, dokter gigi berpeluang terkena atau bahkan
menyebarkan agen penyebab penyakit dan bahan polutan ke masyarakat umum.
Kontaminasi dapat melalui pakaian, kendaraan, atau alat yang sering di dipakai oleh
dokter gigi.
Kontrol infeksi merupakan salah satu cara dokter gigi menghindari potensi
bahaya seperti infeksi penyakit menular (Hepatitis, HIV/AIDS, TBC, influenza dll).
Kontrol infeksi dapat diterapkan dengan berbagai cara, seperti anamnesa pasien yang
tepat, pemakaian sarung tangan, masker penutup mulut serta kacamata pelindung
saat kerja, atau bekerja lebih asepsis, memperhatikan sterilisasi alat dan mencuci
tangan (scrubbing-up) dengan benar. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi infeksi
silang (cross infection) dari satu pasien ke pasien lainnya maupun ke dokter gigi
langsung.
Selain dari infeksi penyakit menular, potensi bahaya juga dapat dari
kecelakaan seperti tertusuk alat-alat kedokteran gigi yang tajam (penggunaan alat
scaler dan ekstraksi, hingga cedera saat membuka ampul anastesi). Bahaya terpapar
5
bahan kimia seperti Hg (merkuri) melalui pernapasan maupun kontak dengan kulit,
yang dapat berdampak pada syndrome Parkinson. Potensi bahaya terpapar sinar
radiasi pada rontgen foto dan bahaya sinar dari light cure unit untuk komposit.
Potensi bahaya juga dikarenakan suasana kerja yang tidak ergonomi.
Ergonomi membantu dokter gigi dalam mengurangi risiko cedera, meningkatkan
produktivitas kerja, serta meningkatkan kualitas hidupnya. beberapa kasus yang tidak
ergonomi seperti kesalahan penempatan alat kedokteran gigi yang dapat mengurangi
produktifitas dan keefektifan bekerja hingga kesalahan dalam memposisikan tubuh
saat bekerja di dental unit.
Pada penelitian ini sengaja mengambil dokter gigi umum sebagai subjek
penelitian karena potensi dokter gigi umum untuk terkena berbagai macam potensi
risiko bahaya lebih besar dibandingkan dokter gigi spesialis. Ada kemungkinan
potensi dokter gigi spesialis hanya terkena satu macam bahaya, seperti spesialis
konservasi hanya berpotensi terhadap bahaya amalgam, spesialis bedah dan
periodontologi hanya berpotensi bahaya infeksi silang. Sedangkan pada penelitian
ini berusaha mencakup sebagian besar potensi bahaya pada praktik dokter gigi.
Penelitian ini juga sengaja mengambil di kota Makassar mengingat
persebaran dokter gigi di Sulawesi Selatan terpusat dan lebih banyak dibandingkan
kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan.2
1.2 RUMUSAN MASALAH
6
Bagaimanakah gambaran penerapan prinsip-prinsip kesehatan dan keselamatan
kerja di kalangan dokter gigi kota Makassar?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui gambaran penerapan prinsip-prinsip kesehatan dan
keselamatan kerja di kalangan dokter gigi kota Makassar.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sumber informasi mengenai penerapan
prinsip-prinsip kesehatan dan keselamatan kerja di kalangan dokter gigi di Kota
Makassar.
2. Memberikan informasi tentang pentingnya menerapkan prinsip-prinsip kesehatan
dan keselamatan kerja di kalangan dokter gigi di tempat kerja sehingga para
praktisi di bidang kedokteran gigi dapat terhindar dari berbagai penyakit
(terutamanya penyakit menular) dan cedera akibat kerja selama pelayanan
perawatan.
3. Memberikan informasi tentang bagaimana cara menerapkan prinsip-prinsip
kesehatan dan keselamatan kerja di kalangan dokter gigi di tempat kerja
4. Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi
pembacanya. Serta menginspirasi peneliti lain untuk melakukan penelitian
serupa.
7
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3)
Sejak zaman dahulu, risiko pekerjaan sudah kita kenal bahkan sejak zaman
prasejarah, tidak hanya saat berburu atau berperang tetapi juga untuk aktivitas yang
lebih tenang seperti pembuatan api dengan menggunakan batu. Dengan risiko cedera
tangan akibat terpukul atau tergesek batu.
Sejarah kesehatan dan keselamatan kerja (K3) berawal pada tahun 1561
berdasarkan catatan kerja harian George Agricola yang berjudul De Re Metalica yang
menekankan perlunya menggunakan ventilasi di area tambang. Kemudian pada tahun
1567, karya Paracelsus yang berjudul On the Miner’s Sickness and Other Miner’s
Disease, buku ini menggambarkan penyakit yang terkait akibat pekerjaan tertentu.4
Pada dunia kesehatan khususnya kedokteran gigi, risiko akan penyakit atau
cedara akibat kerja cukup tinggi. Pada prinsipnya seorang dokter gigi lebih mudah dan
rentang tertular oleh penyakit infeksi menular ataupun cedera yang akibat
instrumen/alat kedokteran gigi yang tajam.
2.1.1 Pengertian kesehatan dan keselamatan kerja.
9
Secara filosofi, K3 didefinisikan sebagai upaya dan pemikiran untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani ataupun rohani diri manusia
pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya beserta hasil karyanya dalam
10
rangka menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Secara keilmuan K3
didefinisikan sebagai ilmu dan penerapannya secara teknis dan teknologis untuk
melakukan pencegahan terhadap munculnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Dari sudut pandang ilmu hukum, K3 adalah upaya perlindungan agar setiap tenaga
kerja yang dan orang lain yang memasuki area kerja dalam keadaan sehat dan
selamat serta sumber produksi dapat berjalan aman, efisien dan produktif.5
Kesehatan dan Keselamatan Kerja menurut World Health Organization
(WHO) / International Labor Organization (ILO)3 adalah upaya untuk memberikan
jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja dengan cara
pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat
kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi. Secara garis besar K3
merupakan suatu upaya untuk menekan atau mengurangi risiko kecelakaan dan
penyakit akibat kerja dan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan antara kesehatan
dan keselamatan kerja.6
Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada kedokteran gigi dapat diartikan
sebagai upaya seorang dokter gigi untuk mengurangi risiko penyakit (menular) dan
cedera selama pelayanan perawatan pada praktik dokter gigi.
2.1.2 Kesehatan kerja.
Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan/kedokteran yang
mempelajari bagaimana melakukan usaha preventif, kuratif dan rehabilitatif
terhadap penyakit serta gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor
pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit umum dengan tujuan agar pekerja
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun
sosial.5 Secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi efisiensi dan
produktifitas kerja dikarenakan kesehatan kerja erat kaitannnya dengan lingkungan
kerja dan pekerjaan.
Menurut WHO/ILO 3 Kesehatan Kerja bertujuan untuk peningkatan dan
pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi
pekerja di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja
yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam
pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan penempatan
serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan
kondisi fisiologi dan psikologisnya.
Kesehatan kerja dalam praktik dokter gigi ditujukan agar semua faktor risiko
pekerjaan dan lingkungan kerja yang mempengaruhi kesehatan dokter gigi, serta
semua penyakit dan gangguan kesehatan dapat dihindari selama pelayanan perawatan
guna tercapainya derajat kesehatan bagi dokter gigi dan pasien pengunjungnya
Program kesehatan kerja merupakan kegiatan dan upaya kesehatan dalam
masyarakat pekerja guna mewujudkan kondisi pekerja uang sehat, efektif, efisien dan
produktif sesuai dengan jenis pekerjaannya.5 Upaya penyelarasan antara kapasitas
kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara
sehat tanpa membahayakan diri sendiri maupun orang di sekelilingya juga
merupakan upaya kesehatan kerja.6
12
2.1.3 Keselamatan kerja.
Keselamatan kerja merupakan sarana utama untuk mencegah terjadinya
kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan kerugian yang berupa luka/cedera, cacat,
kematian, kerugian harta benda dan kerusakan peralatan (instrumen) dan lingkungan
secara luas.5 Keselamatan kerja memberikan pekerja perlindungan menyangkut
masalah keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja, perlakuan sesuai
martabat manusia dan moral agama. Dengan demikian, para pekerja dapat
melakukan pekerjaannya dengan aman guna meningkatkan hasil kerja dan
produktifitas kerja.
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan alat kerja,
bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara
melakukan pekerjaan.6
Dalam UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, pasal 3 (1)
ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja yang harus dipenuhi setiap orang atau
badan yang menjalankan usaha, baik formal maupun informal, di manapun berada
dalam upaya memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan semua orang
yang ada di lingkungan kerja. Adapun syarat-syarat keselamatan kerja yang di
maksudkan5:
1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.
13
3. Memberi kesempatan dan jalan penyelamatan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang membahayakan.
4. Memberi pertolongan pada kecelakaan.
5. Memberi alat pelindung diri pada para pekerja.
6. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban,
debu, kotoron, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan
getaran.
7. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik
amupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.
8. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
9. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik.
10. Menyelanggarakan penyegaran udara yang cukup.
11. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban.
12. Menerapkan ergonomi ditempat kerja.
13. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang dan barang.
14. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat perlakuan dan
penyimpanan barang.
15. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.
16. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya
kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
2.1.4 Keselamatan kerja praktik dokter gigi.
14
Berdasarkan syarat-syarat keselamatan kerja yang dipaparkan sebelumnya,
maka dapat digunakan dalam praktik kedokteran gigi seperti:
1. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja, seperti tertusuknya tangan dengan
jarum dan instrumen kedokteran gigi lainnya yang tajam.
2. Memberi alat pelindung diri pada dokter gigi, seperti pemakaian sarung tangan,
masker, penutup kepala, atau celemek.
3. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban,
debu, kotoron, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan
getaran.
4. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik
maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan.
5. Memperoleh penerangan ruangan maupun area kerja pada pasien yang cukup
dan sesuai.
6. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik serta
menyelanggarakan penyegaran udara yang cukup pada ruangan praktik.
7. Memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban ruang praktik.
8. Menerapkan ergonomi di tempat kerja seperti cara memposisikan tubuh dengan
benar saat bekerja, maupun tata letak penempatan alat kedokteran gigi.
2.1.5 Landasan hukum kesehatan dan keselamatan kerja (K3).3,5,6
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja terdiri dari 11
Bab 18 pasal. Memuat aturan-aturan dasar dan ketentuan-ketentuan umum
15
tentang keselamatan dan kesehatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di
darat, dalam tanah, permukaan air, dalam air maupun di udara yang berada di
wilayah RI.
2. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Khususnya pada pasal
23 dinyatakan bahwa Kesehatan Kerja di selenggrakan untuk mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal meliputi pelayan kesehatan kerja, penyakit
akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.
3. Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 86 dinyatakan bahwa: (1) Setiap pekerja atau buruh mempunyai untuk
memperoleh perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Moral dan
Kesusilaaan; dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama. (2) untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna
mewujudkan produktifitas kerja yang optimal diselenggrakan upaya K3. Pasal
87 (1) dinyatakan bahwa: setiap perusahaan wajib menerapkan system
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) yang terintegragsi dengan
sistem manajemen perusahaan.
4. Peraturan Pemerintah RI No. 11 Tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja
terhadap Radiasi. Pasal 8 s/d 10 dinyatakan bahwa pemeriksaan pagi pekerja
radiasi dilakukan 1 kali dalam setahun atau dilakukan sewaktu-waktu bila perlu.
5. Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan.
16
6. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatn
Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.
7. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena
Hubungan Kerja.
8. Keputusan Menteri Kesehatan No. 7 Tahun 1999 tentang Wajib Laporan
Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja.
2.2 PENYAKIT AKIBAT KERJA
Menurut WHO diperkirakan hanya 20-50% pekerja di negara industri dan 5-
10% yang mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan kerja yang memadai. Hal
ini tentunya berdampak pada tingkat penyakit akibat kerja yang di dapat para
pekerja juga semakin tinggi. Menurut ILO, di Indonesia terdapat 70-80% angkatan
kerja yang bergerak di sektor informal, yang umumnya bekerja dalam lingkungan
kerja yang kurang baik dan belum terorganisir dengan baik, berdasarkan informasi
tersebut diperkirakan bahwa masalah kesehatan kerja di Indonesia perlu mendapat
perhatian yang serius.7
2.2.1 Pengertian penyakit akibat kerja.
Penyakit kerja kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang murni
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Sedangkan penyakit yang
17
berhubungan dengan pekerjaan (Work related disease) merupakan penyakit yang
timbul dikarenakan adanya interaksi antara faktor-faktor pekerjaan dengan faktor-
faktor lain.5
Pada simposium yang diselengarakan oleh ILO di Linz mengenai Penyakit
Akibat Kerja 7 dihasilkan definisi sebagai berikut:
1. Penyakit kerja kerja (Occupational Disease) adalah penyakit yang mempunyai
penyebab spesifik atau asossiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada
umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui
2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Work related disease) adalah
penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, di mana faktor pada
pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya dalam
perkembangannya penyakit yang mempunyai etiologi.
3. Penyakit yang mengenai populasi pekerja (disesases affecting working
populations) adalah penyakit yang terjadi apada populasi pekerja tanpa adanya
agen penyebab di tempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerja
yang buruk bagi kesehatan.
Ada beberapa perbedaaan antara penyakit akibat kerja dengan penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan, diantaranya: 5
1. Penyakit akibat kerja:
- Faktor pekerjaan merupakan faktor etiologi yang predominan.
- Berkaitan antara penyebab dan efek, antara potensi bahaya dan penyakit.
- Faktor penyebab murni dari pekerjaan dan lingkungan kerja.
18
2. Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan:
- Faktor pekerjaan berinteraksi denan faktor-faktor lain sehingga timbul
penyakit.
- Faktor penyebab merupakan multifaktorial (penyebab ganda atau kompleks)
2.2.2 Potensi bahaya penyebab penyakit akibat kerja.
Potensi bahaya yang ada di tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan bagi
pekerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja. Untuk
mempermudah pengendalian terhadap potensi bahaya serta mencegah terjadinya
penyakit akibat kerja, perlu bagi seorang pekerja mengenal dan memahami potensi
bahaya tersebut.
Potensi bahaya ini dapat dikelompokkan sebagi berikut:5,7
1. Bahaya fisik. Misalnya kebisingan, vibrasi (getaran), radiasi, suhu ekstrim
(terlalu panas atau dingin), tekanan, intensitas penerangan yang kurang
memadai, dll.
2. Bahaya kimia. Berdasarkan data dari ILO, dari 100.000 bahan kimia yang
digunakan dalam industri terdapat 31 bahan kimia teridentifikasi sebagai
penyebab.
3. Bahaya biologis. Potensi bahaya yang ditimbulkan oleh bakteri, virus, jamur,
parasit, dll. Dapat berasal dari tenaga kerja yang menderita penyakit tertentu
19
(TBC, AIDS, Hepatitis A/B) ataupun berasal dari alat dan bahan yang digunakan
saat bekerja.
4. Bahaya fisiologis. Potensi bahaya yang disebakan penerapan ergonomi yang
tidak baik dan sesuai dengan aturan-aturan ergonomi dalam melakukan
pekerjaan serta peralatan alat kerja. Salah satunya adalah kesalahan dalam
memposisikan tubuh saat bekerja, yang berdampak pada Musculoskeletal
Disorder (MSDs).
2.2.3 Potensi bahaya pada praktik dokter gigi.
1. Bahaya biologis.
Seorang dokter gigi mempunyai risiko untuk terkena infeksi dan dapat pula
menularkan infeksi dari pasien ke pasien lainnya atau lebih dikenal dengan nama
infeksi silang. Infeksi dapat disebabkan oleh kontaminasi alat/instrumen
kedokteran gigi dan tangan operator yang tidak steril, serta dapat melalui mulut
dan saluran nafas bagian atas. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan selama
perawatan diantaranya TBC, HIV/AIDS, influenza, dan infeksi hepatitis, dapat
ditularkan melalui darah, saliva, maupun lesi dengan kontak tangan.8
2. Bahaya kimia.
Bahan-bahan kimia di kedokteran gigi contohnya Hg (merkuri) yang dapat
memasuki atau mempengaruhi tubuh melalui cara: inhalation (melalui
pernapasan), ingestion (melalui mulut ke saluran pencernaan), atau skin contact
(melalui) kulit.
20
3. Bahaya fisik.
a. Bahaya Radiasi. Pada dasarnya radiasi tidak kasat mata, tidak mempunyai
bau, warna, atau rasa. Namun namun diketahui dampak buruk yang
ditimbulkannya seperti kanker, cacat tubuh, bahkan kematian. Contohnya
bahaya sinar-X.
Bahaya radiasi sinar-X dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu efek
somatik non-stokastik, efek somatik stokastik, dan efek genetik somatik.
Efek somatik non-stokastik adalah efek radiasi di mana seseorang
mengalami kerusakan dalam tubuhnya diakibatkan paparan radiasi dosis
tertentu, yang berat ringannya sebanding dengan dosis yang diterima
(misalnya katarak, kemerahan pada kulit). Efek somatik stokastik adalah
efek radiasi yang terjadi tidak bergantung pada besaran dosis, namun
bergantung pada kesempatan dan probabiilitasnya (seperti kanker). Serta
efek genetik somatik adalah efek radiasi yang mungkin terjadi pada organ
reproduksi sehingga merusak DNA, sperma, atau sel telur, sehingga terjadi
mutasi gen dan kromosom, serta dapat mengakibatkan cacat pada keturunan.9
Bahaya dan sifat radiasi pengion yang merugikan:10
1. Dapat menimbulkan penurunan daya tahan tubuh yang menyebabkan
komponen pertahanan rongga mulut terhadap kolonisasi bakteri dan jamur
meningkat.
2. Dapat menimbulkan efek biologis tidak hanya terhadap sel-sel kanker
tetapi juga sel-sel yang masih sehat.
21
3. Oleh karena tidak dapat dilihat oleh panca indera, maka orang yang
terkena radiasi ionisasi tidak dapat menyadari bahaya radiasi tersebut.
4. Tidak dapat difokuskan pada daerah yang akan disinari.
5. Efeknya pada tubuh tidak segera terlihat dan bersifat kumulatif.
Bahaya radiasi pertahanan rongga mulut antara lain:10
1. Berubahnya integrasi anatomik berupa meningkatnya permeabilitas.
2. Perubahan fisiologis secara spesifik dari komposisi protein saliva.
3. Terganggunya fungsi penelanan.
4. Berkurangnya sekresi saliva lebih dari 90%
5. Berubahnya sekretori Imunoglobulin A (sIgA) berupa berkurangnya
aktifitas antimikroba saliva karena turunnya kadar sIgA saliva.
6. Terganggunya perubahan sel mukosa berupa menurunnya aktifitas
antibiotik dalam lapisan basal.
1 Vibrasi (getaran) handpiecie.
2 Mechanical stress.
3 Intensitas penerangan pada ruang praktik.
4 Suhu dan kelembaban ruang praktik.
4. Bahaya fisiologis.
Dapat disebakan oleh penerapan ergonomi yang tidak baik dan sesuai dengan
aturan-aturan ergonomi dalam melakukan pekerjaan serta peralatan alat kerja;
seperti sikap dan cara kerja yang tidak sesuai, pengaturan kerja yang tidak
sesuai, pengaturan kerja yang tidak tepat, beban kerja yang tidak sesuai dengan
22
kemampuan dokter gigi ataupun ketidakserasian manusia dengan
insturmen/mesin. Salah dampak kesalahan dalam memposisikan tubuh saat
bekerja ialah Musculoskeletal Disorder (MSDs). Musculoskeletal Disorder
(MSDs) adalah kelainan yang cukup penting dipermasalahkan mengingat
gejalanya yang muncul lambat serta dampak yang diberikan bagi penderitanya
cukup serius. Berdasarkan data didapatkan 36% pada dokter gigi yang bekerja
kurang dari 10 tahun; 27,6% untuk 10-21 tahun; 25,4% untuk 21-30 tahun dan
13,4% pada dokter gigi yang bekerja lebih dari 30 tahun.11
2.2.4 Evaluasi potensi bahaya di lingkungan kerja.
Setelah mengenali potensi bahaya yang dapat mengakibatkan gangguan atau
penyakit akibat kerja, maka perlu melakukan evaluasi potensi bahaya tersebut
sebagai langkah awal upaya pengendalian. Dalam melakukan evaluasi perlu
diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:5
1. Pengenalan melalui identifikasi potensi bahaya.
2. Pengukuran potensi bahaya. Pengukuran ini dapat berupa pengukuran kualitatif
ataupun kuantitatif. Untuk melkukan pengukuran tentunya membutuhkan
peralatan (pengukur khusus) serta bergantung pada potensi bahaya yang akan
diukur.
3. Sampling. Evaluasi ini butuh perhatian pada jenis dan bentuk potensi bahaya
seta pengaruhnya terhadap pekerja yang terpapar. Penggunaan teknik sampling
yang tepat akan mempengaruhi hasil evaluasi tersesebut.
23
4. Standarisasi. Perbandingan hasil pengukuran dengan nilai ambang batas (NAB)
yang berlaku.
5. Biological monitoring. Pemeriksaan tenaga kerja (darah, urin, dll) sesuai dengan
potensi bahaya yang ada guna mengetahui pengaruh potensi bahaya terhadap
kesehatan kerja. Pemeriksaan berkala atau khusus dapat memantau pengaruh
potensi bahaya terhadap kesehatan tenaga kerja
6. Record keeping. Pencatatan, pengumpulan dan penyimpanan semua data yang
berhubungan dengan potensi bahaya yang ada merupakan hal yang sangat
penting dan bermanfaat untuk perencanaan pengendalian bahaya serta
perbaikannya.
2.3 KECELAKAAN KERJA
2.3.1 Pengertian kecelakaan kerja.
Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak terduga dan tidak pula
diharapkan terjadi. Sedangkan kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang
berhubungan dengan kerja di perusahaan, maksudnya kecelakaan dapat terjadi
dikarenakan pekerjaan atau pada waktu melakukan kerja.4 Kecelakaan kerja sering
kali dapat menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau properti maupun
korban jiwa yang terjadi di dalam proses kerja industri atau yang berkaitan
dengannya. Secara garis besar kecelakaan kerja memiliki karakteristik sebagai
berikut:5
24
1. Tidak diduga semula karena kecelakana tidak terdapat unsur kesengajaan dan
perencanaan.
2. Tidak dinginkan dan diharapkan karena setiap kecelakaan akan menimbulkan
kerugian baik fisik dan mental.
3. Menimbulkan kerugian dan kerusakan, sehingga mengganggu produktifitas
kerja
2.3.2 Sebab kecelakaan kerja.
Meskipun banyak teori yang mengemukakan tentang penyebab terjadinya
kecelakaan kerja akan tetapi secara umum penyebab kecelakaan kerja dapat di
kelompokkan sebagai berikut:5,12
1. Sebab Dasar. Sebab dasar merupakan sebagai atau faktor yang mendasari secara
umum terhadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Sebab dasar meliputi
beberapa faktor yang terdiri dari:
a. Komitmen atau partisipasi dari pihak manajemen atau pimpinan perusahaan
dalam upaya penerapan K3.
b. Manusia (pekerja) itu sendiri.
c. Kondisi tempat kerja, sarana dan lingkungan kerja.
2. Sebab Utama. Faktor dalam persyaratan K3 yang tidak dilaksanakan dengan
benar merupakan sebab utama dari kejadian kecelakaan kerja.
Sebab utama dari kecelakaan kerja terdiri dari:
25
a. Tindakan Tidak Aman (unsafe action) atau Faktor manusia. Tindakan yang
berbahaya dari tenaga kerja yang mungkin dilatarbelakangi oleh faktor:
- Kurangnya pengetahuan dan keterampilan.
- Ketidakmampuan bekerja secara normal.
- Ketidakfungsian tubuh karena cacat
- Kelelahan dan kejenuhan.
- Sikap dan tingkah laku yang tidak aman.
- Kebingungan dan stress akibat prosedur kerja yang belum dapat
dipahami.
- Penurunan konsentrasi saat melakukan pekerjaan.
- Sikap masa bodoh.
- Kurangnya motivasi kerja.
- Kurangnya kepuasan kerja.
- Sikap cenderung mencelakai diri
b. Kondisi tidak aman (unsafe condition) atau faktor lingkungan. Yaitu kondisi
tidak aman dari mesin, peralatan, pesawat, bahan, serta lingkungan tempat
kerja, proses kerja, sifat kerja dan sistem kerja. Tidak hanya dilihat sebagai
lingkungan fisik tetapi juga diperhitungkan faktor-faktor yang berkaitan
dengan penyediaan fasilitas, pengaturan organisasi kerja, hubungan sesama
pekerja, kondisi ekonomi dan politik yang bisa menggangu konsentrasi.
26
2.3.3 Klasifikasi kecelakaan kerja.
Menurut ILO, kecelakaan kerja dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis
kecelakaan, agen penyebab, jenis cedera atau luka, dan lokasi tubuh yang terluka.5
1. Berdasarkan jenis kecelakaannya.
- Terjatuh.
- Tertimpa benda atau objek kerja.
- Tersandung benda atau objek, terbentur, terjepit antara dua benda.
- Gerakan-gerakan yang dipaksa atau peregangan otot yang berlebihan.
- Terpapar atau berkontak dengan benda panas atau suhu tinggi.
- Terkena arus listrik.
- Terpapar bahan-bahan berbahaya atau radiasi, dll.
2. Berdasarkan agen penyebabnya.
- Mesin-mesin.
- Peralatan-peralatan lain, seperti; instalasi listrik, motor listrik, alat-alat
tangan listrik, perkakas, dll.
- Bahan-bahan berbahaya dan radiasi, seperti; bahan yang muda meledak,
debu, gas, cairan, bahan kima, radiasi, dll.
- Lingkungan kerja, seperti; tekanan panas dan dingin, intensitas kebisingan
tinggi, getaran, dll.
3. Berdasarkan jenis luka atau cedera.
- Patah tulang.
27
- Keseleo/terkilir/dislokasi.
- Kenyerian otot atau kejang.
- Gegar otak atau luka dalam lainnya.
- Amputasi atau enukleasi.
- Luka gores atau luka luar lainnya.
- Memar dan retak.
- Luka bakar.
- Keracunan akut.
- Aspixia atau sesak napas
- Efek terkena listrik atau paparan radiasi
- Luka pada banyak tempat di bagian tubuh.
4. Berdasarkan lokasi bagian tubuh yang terluka.
- Kepala, leher, badan, lengan kaki, berbagai bagian tubuh
- Luka umum, dll
2.3.4 Kecelakaan kerja di praktik dokter gigi.
Kecelakaan kerja yang mungkin terjadi di praktik dokter gigi ialah:
1. Terpapar dan keracunan bahan-bahan berbahaya seperti Hg (merkuri).
2. Terpapar sinar radiasi seperti radiasi pesawat sinar-X atau sinar Gamma.
3. Gerakan yang dipaksa dan berulang-ulang, seperti saat membersihkan karang
gigi
4. Luka gores maupun tertusuk oleh instrumen/alat kedokteran gigi.
28
2.4 PENERAPAN PRINSIP KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DI
PRAKTIK DOKTER GIGI
2.4.1 Proteksi diri terhadap infeksi silang.
Pencegahan terhadap infeksi silang dapat dicapai dengan cara membersihkan
tangan sebelum dan sesudah perawatan gigi dan mulut. Namun hasil tindakan
pensucihamaan sangat bergantung pada faktor seperti faktor sifat dan dan banyaknya
mikroorganisme, konsentrasi bahan kimia, waktu kontak, jumlah bahan organik pada
benda tersebut serta suhunya. Pada umumnya untuk membersihkan tangan dlkukan
dengan menggunakan sabun cair yang mengandung bahan germizit dan air selama 15
detik (bila menyentuh darah dan purulen dibersihkan selama 2-3 menit). Selain itu
dapat pula digunakan etil alkohol 50-70% sebanyak 3 ml dengan digosok di tangan
hingga kering.8
Berbagai macam cara dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi silang
antara lain dengan pemakaian proteksi diri yaitu masker, kacamata pelindung, sarung
tangan, baju praktek, maupun penutup kepala/rambut dan kebersihan lingkungan
tempat kerja yang meliputi cara pembersihan alat dan lingkungan.13 Sehingga dengan
adanya prosedur ini, maka rantai infeksi akan terputus, karena kesalahan sekecil
apapun pada prosedur proteksi diri dapat menyebabkan perpindahan penyakit dari
penderita ke penderita baru.
29
2.4.2 Penanganan terhadap amalgam (Hg) sebagai bahan restorasi.
Bahan tambal amalgam yang mengandung Hg (merkuri) sampai kini masih
banyak dipakai. Selain karena mudah penggunaannya, harganya pun relatif tidak
mahal. Namun, karena kandungan merkurinya, tambalan ini merupakan bahan yang
kontroversial. Sejauh ini, tidak ada larangan penggunaan bahan tambal ini oleh
institusi seperti FDI (Federation Dentaire International) atau ADA (American
Dental Association).
Demi keselamatan pasien dan personil kesehatan gigi, telah dikeluarkan
tuntunan bagi para dokter gigi dan asistennya dalam menangani bahan tambalan
tersebut:14
1. Kenalilah gejala bahaya dan gejala dari keterpaparan terhadap Hg misalnya
terjadinya sensitivitas dan neuropati.
2. Hati-hatilah dalam menangani tambalan amalgam. Hindari kontak kulit dengan
merkuri atau amalgam yang baru tercampur. Pakailah masker, sarung tangan
baju praktik hanya di tempat praktik.
3. Kenalilah sumber penguapan merkuri di tempat kerja misalnya cipratan Hg,
penyimpanan sisa amalgam dan kapsul amalgam bekas pakai yang tidak tertutup
rapat, kebocoran pada kapsul amalgam atau dispenser, proses triturasi,
penambalan, pemolesan, dan pembongkaran tambalan amalgam, atau pemanasan
instrumen yang telah terkontaminasi oleh amalgam.
4. Pedulilah terhadap penanganan limbah amalgam dan masalah yang berkaitan
dengan lingkungan.
30
5. Buatlah tempat kerja yang berventilasi baik dan desain yang memudahkan
pembersihan. Pertukaran udara segar harus maksimal. Jika ruangan memakai
alat penyejuk udara, gantilah filter AC tersebut secara berkala.
6. Pantaulah keterpaparan Hg. Konsentrasi Hg pada urin hendaknya tidak melebihi
6,1 mikrogram per liter. Periksalah secara periodik kadar Hg di ruangan.
Menurut ketentuan OSHA (Occupational Safety and Health Agency) dari
Departemen Perburuhan Amerika Serikat kadar uap Hg maksimal adalah 50
mikrogram per meter kubik dalam masa kerja 8 jam per had untuk lebih dari 40
jam per minggu.
7. Gunakanlah amalgam dalam kapsul dan gunakan amalgamator dengan tutup
yang baik. Amalgamator hendaknya memenuhi syarat spesifikasi ISO 7488. Jika
memakai amalgam yang tidak dikapsulkan, minimalkanlah penyimpanan
merkuri di dalam tempat kerja.
8. Simpanlah merkuri dalam tempat yang tidak mudah pecah, tertutup rapat, pada
tempat dengan ventilasi baik, serta jauh dari sumber panas.
9. Hati-hatilah dalam menangani tambalan amalgam. Hindari kontak kulit dengan
merkuri atau amalgam yang baru tercampur. Pakailah masker, sarung tangan
baju praktik hanya di tempat praktik.
10. Gunakan alat penyedot (oral evacuation equipment) yang cukup kuat dan
pakailah masker ketika membongkar dan memoles amalgam. Sistem penyedotan
ini harus dilengkapi filter atau kotak penadah yang harus secara teratur
dibersihkan atau diganti.
31
11. Buanglah alat atau bahan yang terkontaminasi Hg dalam kantong tertutup.
Simpan kelebihan amalgam dalam kotak penyimpan tertutup yang berisi larutan
fiksasi radiograf. Amalgam dapat didaur ulang; kirimkan amalgam sisa ini untuk
didaur ulang ke perusahaan yang dapat dipercaya.
12. Janganlah sekal-kali membuang limbah yang terkontaminasi merkuri ke dalam
tempat sampah yang akan dibakar (insinerasi). Insinerasi kapsul bekas
hendaknya dihindari untuk mencegah penguapan Hg ke atmosfer. Deposisi Hg
atmosfer ke tanah, danau atau sungai berisiko terjadinya bioakumulasi Hg dalam
ikan atau mahluk air lainnya.
13. Bersihkan dengan cermat instrumen yang telah terkontaminasi amalgam atau
merkuri sebelum sterilisasi atau desinfeksi panas.
14. Gunakan pemampat amalgam yang kepalanya halus, tidak lagi yang bergerigi
agar mudah dibersihkan dari sisa merkuri sebelum disterilkan.
15. Jangan memasang karpet lantai. Gunakan penutup permukaan, dari lantai
sampai ke dinding, yang tidak mengabsorbsi dan mudah dibersihkan.
2.4.3 Penanganan radiasi pengion.
Di bidang kedokteran gigi, penggunaan sumber radiasi seperti pesawat sinar-
X harus diperhatikan. Namun masih banyak praktek pribadi yang menggunakan
pesawat sinar-X yang belum sepenuhnya memenuhi persyaratan dan menaati
peraturan yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional maupun
Internasional.
32
Dalam pemanfaatan sinar-X perlu berdasarkan pada prinsip ALARA (as low
as reasonably achievable), yaitu dosis radiasi sekecil mungkin, tidak melampaui
nilai batas dosis yang ditentukan oleh badan pengawas. Berdasarkan ketentuan
International Commission on Radiological (IRCP) nilai batas dosis bagi pekerja
radiasi untuk seluruh tubuh 50 mSv pertahun, sedangkan bagi masyarakat umum
untuk seluruh tubuh 5 mSv pertahun.9
Ruang yang digunakan untuk operasional pesawat sinar-X harus memenuhi:9
1. Sinar diharapkan tidak menembus ruang lain dengan tebal dinding 20 cm beton
atau 25 cm batu merah dengan kerapatan jenis 2,2 gr/cm2 atau setara dengan 2
mm Pb.
2. Bila terdapat koridor atau sisi ruang radiasi maka harus diberi tanda bahaya
radiasi.
3. Dinding di dalam ruangan radiasi harus dilapisi Pb (timbal hitam) setebal 2 mm,
agar radiasi primer dan sekunder dapat diserap. Atau menggunakan protective
barrier (sekat barier) berupa dinding yang dapat digeser atau dipindah-
pindahkakan yang dilapisi 2 mm Pb.
4. Desain antarruang dengan ruang radiasi dari pintu ruang radiasi, dibuat
sedemikian rupa agar bebas sinar radiasi.
5. Penempatan pesawat sinar-X diatur sedemikian rupa agar arah sinar ke tempat
yang aman (yaitu bebas penghuni).
33
6. Menggunakan kaca tembus pandang berlabis Pb, untuk memungkinkan operator
melihat selama pemeriksaan.
7. Lampu merah sebagai tanda radiasi yang dipasang di atas pintu, yang dapat
menyala saat pesawat sinar-X digunakan.
Pemaparan terhadap radiasi dan kontaminasi internal dapat terjadi tanpa disadari para
pekerja radiasi. Karena itu untuk mendeteksi akibat yang ditimbulkannya perlu
dilakukan pemeriksaan kesehatan baik sebelum, selama maupun sesudah masa kerja.
Pemeriksaan selama kerja harus dilakukan secara berkala minimal sekali setahun
Upaya proteksi radiasi dalam praktek dokter gigi ada beberapa macam antara lain:9
1. Apron Pb
Celemek pelindung dan penahan radiasi dipakai untuk melindungi pasien dan
operator. Celemek harus mengandung bahan yang ekivalen dengan Pb paling
sedikit setebal 0,25 mm untuk menyerap radiasi sekunder dan kebocoran radiasi
primer.
2. Posisi operator
Operator harus terlindungi selama penyinaran, dengan cara berdiri pada posisi
sekurang-kurangnya 2 m dari pasien dan sumber radiasi, di antara 90º dan 135º
dari arah bekas sinar radiasi primer.
3. Deteksi/pengukur radiasi
34
Untuk mengetahui jumlah dosis radiasi yang diperoleh, pekerja harus
menggunakan film badge atau pocket dosimeter. Sedangkan untuk ruangan
dilakukan deteksi dengan menggunakan alat surveymeter.
2.4.4 Ergonomi
Ergonomi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu Ergon dan Nomos. Ergon
memiliki arti kerja dan Nomos memiliki arti hukum, jadi Ergonomi adalah Studi
tentang manusia untuk menciptakan sstem kerja yang lebih sehat, aman dan nyaman.
Seorang praktisi dibidang kesehatan khususnya kedokteran gigi harus memahami
tujuan mempelajari ergonomi karena dengan memahami tujuan ergonomi dalam
lingkungan kerja, praktisi kesehatan akan terhindar dari musculoskeletal disorders
(MSDs), tentu efek jangka panjangnya adalah praktisi dapat bekerja lebih lama tanpa
mengganggu produktifitas kerja praktisi dalam bekerja. Sebenarnya ergonomi
bertujuan untuk mengurangi risiko cedera, meningkatkan produktivitas kerja, serta
meningkatkan kualitas hidup.17
Faktor risiko ergonomi terdiri dari:15,16,17
1. Pengulangan yang dilakukan terus menerus
Tingkat pengulangan digambarkan sebagai suatu rata-rata jumlah gerakan
atau penggunaan alat yang dilakukan oleh bagian tubuh secara berulang dalam satu
unit waktu. Gerakan ini dapat menyebabkan ketegangan yang berlebih pada otot dan
juga kelebihan penggunaan dapat mendorong ke arah kelelahan berotot. Contohnya
saat melakukan skaling pada pasien dengan karang gigi yang banyak.
35
2. Kekuatan (Force)
Kekuatan adalah gaya mekanik atau fisik untuk memenuhi suatu gerakan
spesifik. Sebagai contoh, menggunakan tangan sebagai ganti suatu penjepit untuk
memegang suatu obyek selagi melakukan suatu pekerjaan seperti menempatkan
suatu restorasi komposit interproksimal atau pada saat mencabut gigi dan melakukan
pembersihan karang gigi secara manual. Jumlah kekuatan yang diperlukan terkadang
berlebih sehingga menyebabkan kelelahan otot.
3. Mechanical stresses
Mechanical stresses digambarkan sebagai cedera yang hebat akibat benda
tajam, peralatan atau instrumen ketika memegang, menyeimbangkan atau
memanipulasi. Contohnya tertusuk atau tergores oleh instrumen kedokteran gigi
yang tajam.
4. Postur tubuh
Postur tubuh adalah posisi bagian dari tubuh yang berhubungan dengan suatu
bagian tubuh lain yang dihubungkan dengan sudut sambungan. Postur tubuh
merupakan salah satu dari hal yang paling sering dihubungkan dengan faktor risiko.
Ada suatu zona pergerakan netral untuk tiap gerakan yang menghubungkan satu
dengan yang lain. Karena masing-masing dihubungkan oleh pergerakan yang tidak
memerlukan kekuatan dari otot atau dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Risiko
cedera akan meningkat kapan saja pada setiap orang saat bekerja apabila melakukan
36
pergerakan di luar zona netral mereka sehingga posisi tubuh tidak seimbang. Untuk
lengan atas dan bahu zona netralnya adalah santai dengan bahu sejajar lantai dan
pada bidang yang sama, lengan berada disampingnya. Bekerja dengan lengan jauh
dari tubuh, overextended dan bahu yang bergerak di luar jangkauan normal yang
memerlukan kekuatan otot lebih tinggi dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya
cedera. Selain itu, posisi duduk yang tegang, seperti miring kesamping, memutar
tulang punggung, membengkok ke depan atau merosot merupakan awal respon dari
kompensasi faktor risiko dengan hubungan kerja yang dapat menjadi kebiasaan
seiring berjalannya waktu. Postur tubuh dan faktor-faktor ini sering dihubungkan
dengan peningkatan risiko gejala MSDs.
5. Getaran
Getaran merupakan salah satu faktor etiologi MSDs dilingkungan kerja, yaitu
melalui penggunaan peralatan yang bergetar dengan frekwensi antara 20-80 Hz.
Dental handpieces dan instrumen-instrumen otomatis bertenaga mesin yang
dioperasikan pada frekwensi lebih dari 5.000-10.000 Hz dan jangka waktu
penggunaannya dalam prosedur perawatan gigi relatif singkat. Jadi dengan demikian,
hal itu juga akan muncul menjadi faktor risiko di dalam profesi dokter gigi yang
relatif kecil.
6. Temperatur
Temperatur yang rendah dapat mengurangi keterampilan manual dokter gigi
dan dapat menyebabkan gejala nerve-end impairment. Temperatur yang tinggi dapat
37
menggangu kenyamanan dokter gigi saat bekerja dan kenyamanan perawatan bagi
pasiennya.
7. Tekanan yang disebabkan oleh keadaan luar
Tekanan yang disebabkan oleh keadaan luar, dapat digambarkan sebagai cara
yang dilakukan oleh suatu pekerjaan dengan tersusun, terawasi dan terproses. Hal ini
mencerminkan sifat yang objektif dari proses pekerjaan. Mungkin termasuk
didalamnya variabel-variabel seperti variasi pekerjaan, kendali pekerjaan, beban
kerja, tekanan waktu, dan batasan-batasan keuangan.
BAB III
KERANGKA KONSEP
38
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
KESEHATAN DAN KESELAMATAN
KERJA DI KALANGAN DOKTER GIGI
Keterangan:
: Variabel yang diteliti.
: Variabel yang tidak diteliti.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian Observasional
Deskriptif.
39
UPAYA PENCEGAHAN
BAHAYA KERJA
BAHAYA FISIOLOGIS
BAHAYA KIMIA
BAHAYA BIOLOGIS
BAHAYA FISIK
POSISI TUBUH YANG TIDAK ERGONOMI
BAHAYA AMALGAM
(Hg)
RADIASI SINAR-X
INFEKSI SILANG
4.2 DESAIN PENELITIAN
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study.
4.3 LOKASI PENELITIAN
Tempat praktik dokter gigi swasta di Kota Makassar.
4.4 WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 14 Juni 2011 -22 Agustus 2011
4.5 POPULASI PENELITIAN
Semua dokter gigi umum yang terdaftar sebagai anggota Persatuan Dokter Gigi
Indonesia (PDGI) cabang Kota Makassar sebanyak 258 orang
4.6 KRITERIA SAMPEL
4.6.1 Kriteria inklusi
a. Dokter gigi umum yang telah melakukan praktik swasta ≥ 1tahun.
40
b. Dokter gigi umum yang aktif melakukan praktik swasta di Kota
Makassar.
4.6.2 Kriteria eksklusi
a. Dokter gigi umum yang tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian
ini.
b. Apabila sampel (responden) tereksklusi pada tempat Praktik Bersama,
maka dapat digantikan oleh dokter gigi umum lainnya yang berpraktik
di tempat yang sama.
c. Apabila jumlah sampel terekslusi menyebabkan sampel kurang dari
sampel minimal, maka sampel akan ditambah sesuai dengan jumlah
sampel yang terekslusi.
4.7 JUMLAH SAMPEL
Menurut pendapat Gay dan Diehl 18, jumlah sampel ideal untuk populasi yang
lebih besar dari 100 dan kurang dari 1000 adalah 30% dari jumlah populasi. Pada
penelitian ini, jumlah populasi adalah sebesar 258, sehingga jumlah sampel
minimal yang digunakan adalah 78. Untuk mengantisipasi terjadinya drop out,
maka ditambah 20% sehingga jumlah sampel menjadi 94 orang. Dan sampel
digenapkan menjadi 100 orang.
4.8 METODE SAMPLING
Metode pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
secara systematic random sampling. Bila kita ingin mengambil 1/n dari
populasi, maka setiap responden nomor n dimasukkan dalam sampel. Bila
ingin dipilih 100 sampel dari 258, maka diperlukan 100/258 = 1/2,58 = 1/2
atau 1/3 bagian dari populasi yang akan diikutsertakan sebagai sampel,
karenanya maka setiap sampel nomor 2 atau 3 akan dipilih. Mula-mula tiap
subjek diberi nomor, dari 1 sampai 258. Tiap pasien ke-2 atau ke-3 diambil
sebagai sampel, sehingga pada akhirnya yang diikutsertakan dalam sampel
adalah kelipatan 2 atau 3 hingga didapat 100 sampel.
4.9 ALAT YANG DIGUNAKAN
1. Lembaran daftar penilaian/kuesioner19,20,21,22
2. Alat tulis (buku catatan dan pulpen)
4.10 DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL
Prinsip-prinsip kesehatan dan keselamatan kerja: suatu upaya mengindari diri dari
risiko bahaya yang ada di praktik dokter gigi. Terdiri dari bahaya fisik, bahaya kimia,
bahaya biologis, bahaya fisiologis. Yang masing-masing terwakili oleh bahaya
infeksi silang pada bahaya biologis, bahaya amalgam pada bahaya kimia, bahaya
radiasi sinar-x pada bahaya fisik, serta kerja yang tidak ergonomi pada bahaya
fisiologis. Sesuai yang tercantum pada kuesioner.19,20,21,22
4.10.1 Upaya pencegahan bahaya infeksi silang:
1. Apakah dokter gigi tersebut telah divaksinasi terhadap hepatitis.
42
2. Apakah dokter gigi tersebut mengenakan sarung tangan dan masker.
3. Apakah dokter gigi tersebut mengenakan kacamata pelindung.
4. Apakah dokter gigi tersebut menggunakan larutan desinfektan saat mencuci
tangan dan instrumen kedokteran gigi.
5. Apakah dokter gigi tersebut mengenakan jas praktik saat bekerja.
6. Apakah dokter gigi tersebut telah terkena instrumen tajam dalam enam bulan
terakhir.
7. Bagaimanakah dokter gigi tersebut melakukan sterilisasi.
8. Apakah tindakannya selama perawatan/pemeriksaan telah memenuhi prosedur.
4.10.2 Upaya pencegahan bahaya Hg pada penambalan dengan amalgam:
1. Apakah dokter gigi tersebut berkontaklangsung dengan amalgam.
2. Apakah dokter gigi tersebut menyimpan amalgam di tempat tertutup.
3. Apakah dokter gigi tersebut menmbersihkan tumpahan amalgamnya.
4. Apakah dokter gigi tersebut menggunakan kapsul amalgam.
5. Apakah dokter gigi tersebut bekerja pada ruangan dengan ventilasi yang baik.
6. Apakah dokter gigi tersebut menggunakan water spray dan suction saat
melepaskan tambalan amalgam.
7. Apakah dokter gigi tersebut telah mengecek kadar amalgam dalam darahnya dan
tingkat uap amalgam dalam ruangannya secara berkala.
4.10.3 Upaya pencegahan bahaya radiasi sinar-X saat foto radiografi:
1. Apakah dokter gigi tersebut memiliki perlengkapan radiografi sendiri.
2. Apakah dokter gigi tersebut mengambil semua radiografi sendiri.
43
3. Apakah dokter gigi tersebut mengenakan celemek apron saat mengambil
radiografi.
4. Apakah dokter gigi tersebut berdiri 2 meter dari pasien dan sumber radiasi.
5. Apakah dokter gigi tersebut telah mengecek dosis radiografi dalam ruangan
tempat pengambilan radiografi.
4.10.4 Upaya pencegahan bahaya kerja yang tidak ergonomi: Apakah
posisi/sikap tubuh dokter gigi tersebut telah sesuai dengan Test of Visual Perception
(TVP) yang diukur dengan delapan kriteria, yakni :
1. Sudut antara kaki bagian atas dan bawah harus membentuk sudut yang besarnya
110º sedikit lebih.
2. Operator (dokter gigi) harus duduk simetris ke depan dan punggung sejauh
mungkin dari sandaran tempat duduk, atau tubuh bagian atas dimiringkan
maksimal hingga 10-20º, hindari memutar dan miring condong ke samping.
3. Kepala dokter gigi dapat dimiringkan ke depan hingga 25º.
4. Pedal drive harus diposisikan/ditempatkan dekat dengan salah satu kaki,
sehingga tidak memungkikan terjadi pergerakan langsung ke samping selama
prosedur kerja (saat bekerja dapat digapai dengan mudah).
5. Lengan atas yang berada pada bagian tubuh atas bagian depan, lengan tersebut
diangkat hingga 10º, maksimal hingga 25º.
6. Area kerja (mulut pasien) harus disejajarkan dengan tubuh bagian atas, jarak
antara area kerja (mulut) ke mata (atau kacatama pelindung) adalah 35-40 cm.
44
7. Instrumen harus diposisikan dengan area penglihatan dari dokter gigi pada jarak
antara 20-25 cm.
8. Lampu dari detal unit harus diposisikan diatas kepala dokter gigi sebelum dan saat
tubuh dokter gigi menyamping, sehingga cahaya yang dihasilkan terpancar
lurus/paralel ke searah pandangan langsung dokter gigi.
4.11 KRITERIA PENILAIAN
Peneliti menggunakan kuesioner yang terdiri dari empat bagian pokok pertanyaan
(bahaya biologis, bahaya kimia, bahaya fisik, dan bahaya fisiologis). Pada bahaya
biologis (infeksi silang) terdiri dari 2-3 jawaban dengan skor 0-2 dan total skor
sebanyak 36. Pada bahaya kimia (bahaya amalgam) terdiri dari 2 jawaban dengan
skor 0-1 dan total skor sebanyak 9. Pada bahaya fisik (bahaya radiasi) terdiri dari 2
jawaban dengan skor 0-1 dan total skor sebanyak 6. Setelah skor didapatkan maka
dimasukkan dalam rumus:
x= total skor jawaban respondentotal skor
x100 %
Sehingga didapatkan nilai x sebagai persentase upaya pencegahan bahaya infeksi
silang, bahaya amalgam atau bahaya radiasi. Kemudian upaya pencegahan bahaya
45
infeksi silang, bahaya amalgam atau bahaya radiasi dikategorikan dalam bentuk
persentase, yaitu:
0-25% dokter gigi telah mengaplikasikan upaya pencegahan bahaya
biologis/kimia/fisik.
26-50% dokter gigi telah mengaplikasikan upaya pencegahan bahaya
biologis/kimia/fisik.
51-75% dokter gigi telah mengaplikasikan upaya pencegahan bahaya
biologis/kimia/fisik.
76-100% dokter gigi telah mengaplikasikan upaya pencegahan bahaya
biologis/kimia/fisik.
Sedangkan untuk menilai upaya pencegahan sikap/posisi tubuh yang tidak ergonomi
menggunakan. Sistem klasifikasi untuk Test of Visual Perception (TVP).21
SKOR(correct items) KLASIFIKASI INTERPRETASI
1-2 Tidak cukup Hanya 25% sikap/posisi tubuh yang
ergomoni telah diterapkan
3-4 Cukup Hanya 50% sikap/posisi tubuh yang
ergomoni telah diterapkan
5-7 Baik 75% sikap/posisi tubuh yang
ergomoni telah diterapkan
8 Sangat baik 100% sikap/posisi tubuh yang
ergomoni telah diterapkan
46
4.12 DATA PENELITIAN
4.11.1 Jenis data: Data primer, data ini diperoleh langsung dari objek yang
diteliti.
2.3.5 Pengolahan data: Menggunakan Program SPSS versi 16.0 untuk
Windows
4.11.2 Penyajian data : Dalam tabel distribusi
4.11.4 Analisis data: Secara deskriptif, yakni dengan membuat uraian secara
sistematik mengenai keadaan dari hasil penelitian
4.13 PROSEDUR PENELITIAN
1 Sebelum penelitian dilaksanakan, survey awal dilakukan untuk mengetahui
dan mendata jumlah dokter gigi yang terdaftar sebagai anggota Persatuan
Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Kota Makassar.
2 Peneliti menentukan sampel melalui kriteria sampel inklusi dan menghitung
sampel menurut Gay dan Diehl, sehingga diperoleh jumlah sampel sebesar 86
orang. Sampel kemudian dipilih dengan teknik systematic random sampling.
3 Setelah sampel penelitian ditentukan dan didapatkan, penelitian dinyatakan
dimulai. Peneliti mencatat alamat tempat praktik sampel, mendatanginya, serta
47
membagikan kuesioner untuk dijawab sampel dan peniliti melakukan penilaian
untuk Text of Visual Perception (TVP).
4 Bila ada sampel yang telah didatangi dan ternyata termasuk dalam kriteria
ekslusi, maka kuesioner tidak dibagikan.
5 Penelitian dinyatakan berakhir bila seluruh sampel telah mengisi kuesioner
yang dibagikan dan peniliti telah menilai semua sampel dengan Text of Visual
Perception (TVP).
6 Data dari kuesioner dan lembar penilaian Text of Visual Perception (TVP)
kemudian akan dikumpulkan, dinilai, dan dilakukan pengolahan data, sehingga
diperoleh hasil penelitian.
4.14 ALUR PENELITIAN
48
Penentuan lokasi penelitian
Penentuan populasi
Penentuan sampel
Pengisian kuesioner oleh responden dan lembar penilaian oleh peneliti
Pengumpulan data
Analisis data
Hasil
BAB V
HASIL
Telah dilakukan penelitian mengenai gambaran penerapan prinsip-prinsip
kesehatan dan keselamatan kerja di kalangan dokter gigi (penelitian dilakukan di
kota Makassar). Faktor-faktor yang diteliti adalah upaya pencegahan dokter gigi
terhadap bahaya biologis (infeksi silang), bahaya kimiawi (amalgam), serta bahaya
postur/sikap tubuh yang tidak ergonomi. Populasi penelitian adalah seluruh dokter
gigi umum dan sampel ditentukan berdasarkan kriteria sampel. Penentuan sampel
dengan systematic random sampling. Jumlah sampel menggunakan pendapat dari
Gay dan Diehl, yakni sebesar 30% dari populasi atau sebanyak 78 orang dan
ditambahkan 20% untuk estimasi drop out sampel, sehingga jumlah sampel pada
penelitian ini sebanyak 94 orang, namun pada penelitian ini digenapkan hingga 100
orang
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan Test
of Visual Perception (TVP). Dokter gigi yang telah dipilih sebagai sampel
dibagikan kuesioner tersebut untuk dijawab dan dinilai posisi kerjanya
berdasarkan Test of Visual Perception (TVP). Pada penelitian ini, ada dua
sampel yang memenuhi kriteria eksklusi, sehingga kekekurangan sampel
segera digantikan, maka diperoleh penuh sebanyak 100 orang. Data hasil
kuesioner diolah menggunakan program SPSS 16.0 untuk windows. Data
hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
49
Tabel V.1 Distribusi karakteristik responden (N=100)
Karakteristik sampel Frekuensi (N) Persen (%) Rerata ± Simpang BakuUsiaJenis kelamin
Laki-lakiPerempuan
38.72 ± 10.81
19 1981 81
Pengalaman kerja1-5 tahun 40 406-10 tahun 16 1611-15 tahun 13 1316-20 tahun 12 1221-25 tahun 19 19
Jam kerja/hari 5.15 ± 1.68Jumlah pasien/minggu 20.30 ± 12.56Kasus terbanyak (dalam seminggu terakhir)
Restorasi 70 70Ekstraksi 12 12Ortodontik 11 11Skaling 7 7
SeminarYa 37 37Tidak 63 63
Pada tabel V.1 terlihat bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki, yakni 81 orang (81%) perempuan sedangkan laki-laki hanya
19 orang (19%). Terlihat pula bahwa rata-rata usia responden adalah 39 tahun
dengan pengalaman kerja 1-5 tahun sebagai yang terbanyak yakni 40 responden.
Pada tabel V.1 juga diperlihatkan bahwa rata-rata jam kerja praktik responden adalah
5 jam/hari dengan rata-rata jumlah pasien adalah 20 pasien/minggu. Berdasarkan
tabel V.1 terlihat bahwa restorasi merupakan kasus terbanyak yang ditangani
responden dalam seminggu terakhir dengan jumlah 70 kasus. Pada tabel V.1
menunjukkan bahwa responden yang belum pernah mengikuti seminar tentang
bahaya kerja lebih banyak dibandingkan yang pernah mengikuti, yakni sebanyak 63
responden.
Tabel V.2 Distribusi jawaban responden mengenai upaya pencegahan infeksi silang Pertanyaan Frekuensi (N) Persen (%)
Mengalami cedera instrumen selama 6 bulan terakhirYa 11 11Tidak 89 89
Vaksinasi hepatitisYa 69 69Tidak 31 31
Mengenakan sarung tangan & masker saat melakukan perawatanSelalu 97 97Kadang ya, kadang tidak 3 3Tidak pernah 0 0
Mengenakan lebih dari satu sarung tangan pada setiap tanganSelalu 20 20Kadang ya, kadang tidak 31 31Tidak pernah 49 49
Mengganti sarung tangan setiap pasien yang berbedaSelalu 84 84Kadang ya, kadang tidak 15 15Tidak pernah 1 1
Mengenakan kacamata pelindungSelalu 23 23Kadang ya, kadang tidak 53 53Tidak pernah 24 24
Menggunakan alat bantu penglihatan saat bekerja pada gigi RASelalu 90 90Kadang ya, kadang tidak 10 10Tidak pernah 0 0
Menggunakan larutan desinfektanSelalu 86 86Kadang ya, kadang tidak 14 14Tidak pernah 0 0
Lama waktu yang digunakan untuk merendam instrumen dalam larutan desinfektan
5-14 menit 51 5115-19 menit 19 1920-24 menit 7 725-30 menit 14 1431-35 menit 2 236-45 menit 1 1>45 menit 0 01-2 jam 6 6>2 jam 0 01-2 hari 0 0
Metode sterilisasiAutoclave 20 20Oven dry heat 56 56Dididihkan/direbus dengan air 1 1Sterilisasi dingin dan autoclave 7 7Sterilisasi dingin, didihkan/direbus dengan air 0 0Sterilisasi dingin, didihkan.direbus dengan air, dan autoclave
2 2
Autoclave dan didihkan/direbus dengan air 1 1Autoclave dan menggunakan alat sekali pakai (disposable) 13 13Tidak diapa-apakan 0 0
51
52
Cedera
instr
umen se
lama 6
bulan te
rakhir
Vaksin
asi hep
atitis
Selal
u men
genak
an sa
rung t
anga
n dan m
asker
saat p
erawata
n
Selal
u men
genak
an le
bih dar sat
u saru
ng tan
gan tiap
tanga
n
Selal
u men
ggan
ti saru
ng tan
gan se
tiap pasi
en berb
eda
Selal
u men
genak
an ka
camata
pelindung
Selal
u men
ggunak
an m
outh mirr
or saa
t bek
erja p
ada R
A
selalu
men
ggunak
an la
rutan
desinfek
tan
Merendam
instr
umen se
lama 5
-14 men
it
Pengg
unaan au
toclave
sebag
ai meto
de ster
ilisasi
0
20
40
60
80
100
120
Upaya Pencegahan Bahaya Infeksi Silang
Frekuensi Ya
Grafik V.1 Jawaban Ya pada responden mengenai upaya pencegahan infeksi silang
53
Tabel V.2 menunjukkan distribusi jawaban responden mengenai upaya
pencegahan bahaya infeksi silang yang terdiri dari 10 buah pertanyaan. Pada tabel
V.2 terlihat bahwa terdapat responden yang mengalami cedera instrumen enam bulan
terakhir sebanyak 11 responden (11%), di antaranya menyatakan terluka oleh cryer,
alat-alat endo, bur, sonde, dan needle. Terlihat pula bahwa ternyata masih ada
responden yang sama sekali belum pernah divaksin hepatitis sebanyak 31 orang.
Responden yang mengenakan sarung tangan dan masker sebanyak 97 responden
(97%), sedangkan sisanya terkadang mengenakan terkadang tidak. Resonden yang
tidak mengenakan lebih dari satu sarung tangan tiap tangannya sebanyak 49
reponden (49%), sedangkan masih ada pula satu responden (1%) yang ternyata tidak
mengganti sarung tangannya pada pasien yang berbeda.
Proteksi mata saat bekerja dari infeksi silang terwakili oleh pengenaan
kacamata pelindung, namun ada 24 responden (24%) yang tidak mengenakannya,
serta masih ada 10 responden (10%) yang terkadang tidak menggunakan alat bantu
penglihatan (mouth mirror) untuk RA. Pada tabel V.2 menunjukkan bahwa 86 dari
100 responden (86%) menggunakan larutan desinfektan, serta 51 responden (51%)
merendam selama 5-14 menit. Sedangkan untuk metode sterilisasi yang diterapkan,
paling banyak adalah dengan sterilasasi dry heat sebanyak 56 responden (56%).
54
Tabel V.3 Distribusi jawaban responden mengenai upaya pencegahan bahaya infeksi silang saat pemeriksaan dan prosedur perawatan
Pertanyaan Frekuensi (N) Persen (%)Tindakan yang dilakukan selama pemeriksan
Mencuci tangan sebelum memeriksa pasienYa 83 83Tidak 17 17
Mencuci tangan setelah pemeriksaan pasienYa 95 95Tidak 5 5
Mencuci tangan saat/selama pemeriksaan pasienYa 33 33Tidak 67 67
Mengenakan masker saat melakukan pemeriksaan pasienYa 91 91Tidak 9 9
Mengenakan kacamata pelindung saat melakukan pemeriksaan pasien
Ya 48 48Tidak 52 52
Mengenakan jas penutup steril saat melakukan pemeriksaan pasien
Ya 55 55Tidak 45 45
Tindakan yang dilakukan selama prosedur perawatanMencuci tangan sebelum mengenakan sarung tangan
Ya 82 82Tidak 18 18
Scrubing up dengan menggunakan sabun sebelum mengenakan sarung tangan
Ya 59 59Tidak 41 41
Scrubing up dengan menggunakan desinfektan sebelum mengenakan sarung
Ya 42 42Tidak 58 58
Menggunakan sarung tangan setiap kali sebelum melakukan perawatan
Ya 92 92Tidak 8 8
Menggunakan kembali sarung tangan yang sudah dicuci selama perawatan
Ya 91 91Tidak 19 19
Menggunakan kembali sarung tangan yang tidak dicuci selama perawatan
Ya 11 11Tidak 89 89
Menggunakan kacamata pelindungYa 39 39Tidak 61 61
55
Grafik V.2 Jawaban Ya pada responden mengenai upaya pencegahan infeksi silang saat pemeriksaan
Grafik V.3 Jawaban Ya pada respoden mengenai upaya pencegahan infeksi silang saat prosedur perawatan
56
020406080
100
Upaya pencegahan infeksi silang saat prosedur perawatan
Frekuensi Ya
020406080
100
Upaya pencegahan infeksi silang saat pe-meriksaan
Frekuensi Ya
Tabel V.3 menunjukkan distribusi jawaban responden mengenai tindakan
responden saat pemeriksaan dan selama prosedur perawatan, jawaban ini tentunya
juga termasuk pada bagian upaya pencegahan bahaya infeksi silang. Pada tabel V.3
terlihat bahwa terdapat 17 responden (17%) yang masih belum mencuci tangan
sebelum memeriksa tangan, serta hanya 5 responden (5%) yang tidak mencuci
tangan setelah memeriksa pasien. Tabel V.3 juga menunjukkan bahwa 97 responden
(97%) yang menggunakan masker saat memeriksa pasien, serta hampir dari setengah
dari responden yang ternyata tidak mengenakan kacamata pelindung dan jas penutup
steril saat memeriksa pasien, yakni 52 responden (52%) tidak mengenakan kacamata
pelindung dan 45 responden (45%) tidak mengenakan jas penutup streril. Pada tabel
V.3 menunjukkan masih ada respoden yang tidak menjalankan prosedur selama
perawatan, seperti 18 respoden (18%) tidak mencuci tangan sebelum mengenakan
sarung tangan, serta tidak melakukan scrubbing up hampir 50% dari responden.
Adaya delapan respoden (8%) yang tidak mengenakan sarung tangan setiap kali
sebelum perawatan, 11 respoden (11%) mengenakan kembali sarung tangan yang
tidak dicuci selama perawatan dan 61 responden (6%) tidak menggunakan kacamata
pelindung menunjukkan kurangnya kesadaran responden bahwa pentingnya proteksi
terhadap bahaya infeksi silang.
57
Tabel V.4 Distribusi jawaban responden mengenai upaya pencegahan bahaya amalgam (N=67)
Pertanyaan Frekuensi (N) Persen (%)Apakah anda berkontak dengan amalgam secara reguler
Ya 10 14.9Tidak 57 85.1
Apakah anda menyimpan amalgam pada tempat tertutupYa 63 94.0Tidak 4 6
Apakah anda membersihkan amalgam yang tertumpah Ya 62 92.5T idak 5 7.5
Apakah anda menggunakan kapsul amalgam yang tertutup rapat
Ya 46 68.6Tidak 21 31.4
Apakah anda menggunakan teknik tidak menyentuh amalgam
Ya 58 86.5Tidak 9 13.5
Apakah anda bekerja pada tempat dan ventilasi yang baikYa 56 83.5Tidak 11 16.5
Apakah anda menggunakan water spray dan suction pada saat melepaskan amalgam dan restorasi
Ya 51 76.1Tidak 16 23.9
Apakah anda telah mengecek secara berkala kadar amalgam (Hg) dalam darah
Ya 1 1.5Tidak 66 98.5
Apakah anda telah mengecek secara berkala tingkat uap amalgam
Ya 0 0Tidak 67 100
58
Grafik V.4 Jawaban Ya pada responden mengenai upaya pencegahan bahaya amalgam
59
010203040506070
Upaya pencegahan bahaya amalgam
Frekuensi Ya
60
Tabel V.4 menunjukkan distribusi jawaban responden mengenai upaya
pencegahan respoden terhadap bahaya amalgam, pada bagian ini hanya ada 67
responden yang mengisi bagian ini dikarenakan responden tidak pernah atau sudah
tidak menggunakan amalgam, Alasan mereka tidak menggunakan amalgam adalah
permintaan pasien yang menghendaki tambalan yang estetik seperti komposit dan
glass ionomer. Pada tabel V.4 terlihat bahwa terdapat 10 responden (14.9%) yang
berkontak dengan amalgam secara regular dan 57 lainnya tidak berkontak dengan
amalgam, serta ada 58 responden (86.5) yang tidak berkontak langsung dengan
amalgam. Empat respoden (6%) yang tidak menyimpan amalgam pada tempat yang
tertutup dan 21 respoden (31.4%) yang tidak menggunakan kapsul amalgam.
Berdasarkan tabel V.4 ternyata ada 5 respoden (7.5%) yang tidak membersihkan
amalgam yang tertumpah, hal ini diperparah dengan ruang praktik tanpa ventilasi
yang baik pada 11 respoden (16.5%). Saat melepaskan amalgam dan restorasi, 16
respoden (23.9%) tidak menggunakan water spray dan suction. Pada tabel V.4
menunjukkan hanya ada satu respoden (1.5%) yang pernah memeriksakan kadar Hg
dalam darahnya secara berkala, dan semua respoden tidak pernah melakukan
pengecekan kadar uap amalgam di uang praktiknya.
61
Tabel V.5 Distribusi persentase pencapaian upaya pencegahan responden terhadap bahaya infeksi silang dan bahaya amalgam
Persentase pencapaian upaya pencegahan Frekuesnsi (N) Persen (%)Bahaya infeksi silang
0 – 25% 0 026 – 50% 2 251 – 75% 52 5276 – 100% 46 46
Bahaya amalgam0 – 25% 0 026 – 50% 10 1551 – 75% 32 47.776 – 100% 25 37.3
Tabel V.5 menunjukkan distribusi persentase pencapaian upaya pencegahan
responden terhadap bahaya infeksi silang dan bahaya amalgam. Data ini didapatkan
setelah skor nilai diolah dengan menggunakan SPSS 16.0, sehingga didapatkan
respoden dapat diklasifikasikan menjadi klasifikasi persentase 0-25%, 26-50%, 51-
75%, dan 76-100% telah menerapkan upaya pencegahan respoden terhadap bahaya
infeksi silang dan bahaya amalgam. Pada tabel V.5 terlihat reponden dengan
klasifikasi 51-75% merupakan yang paling tinggi jumlahnnya, baik dari bahaya
infeksi silang dengan 52 respoden (52%, N=100), maupun bahaya amalgam dengan
32 respoden (47.7%, N-67). Tabel V.6 memperlihatkan bahwa tidak ada respoden
yang diklasifikasikan 0-25% dalam menerapkan upaya pencegahan respoden
terhadap bahaya infeksi silang dan bahaya amalgam.
62
Tabel V. 6 Distribusi penilaian peneliti mengenai upaya pencegahan bahaya postur tubuh yang tidak ergonomi berdasarkan test of visual perception (TVP) pada responden (N=100)
Pertanyaan Frekuensi (N) Persen (%)Sudut antara paha dan betis harus membentuk sudut yang besarnya 110º atau lebih
Ya 73 73Tidak 27 27
Dokter gigi harus simetris ke depan dan punggung sejauh mungkin dari sandaran tempat duduk, atau badan dimiringkanke depan maksimal sehingga 10-20º, hindari memutar dan mring condong ke samping.
Ya 73 73Tidak 27 27
Kepala dokter gigi dapat dimringkan ke depan hingga 25º Ya 89 89T idak 11 11
Pedal drive harus diposisikan/ditempatkan dekat dengan salah satu kaki
Ya 91 91Tidak 9 9
Lengan diangkat hingga 10º-25º dari sumbu horizontalYa 89 89Tidak 11 11
Jarak antara area kerja (mulut pasien) antara dan ke mata (atau kacamata pelindung) adalah 35-40 cm
Ya 80 80Tidak 20 20
Instrumen harus diposisikan dengan area penglihatan dari dokter gigi pada jarak antara 20-25 cm
Ya 79 79Tidak 21 21
Lampu dari dental unit harus diposisikan di atas kepala dokte gigi sebelum dan saat tubuh dokter gigi sehingga cahaya yang dihasilkan terpancar lurus searah pandangan langsung ke dokter gigi
Ya 87 87Tidak 13 13
63
64
0102030405060708090
100
Upaya pencegahan bahaya postur/sikap
Frekuensi Ya
Grafik V.5 Hasil penilaian postur/sikap tubuh yang ergonomi berdasarkan test of visual perception pada respoden
65
Tabel V.6 menunjukkan distribusi penilaian peneliti mengenai upaya
pencegahan respoden terhadap bahaya postur/sikap tubuh yang tidak ergonomi
selama melakukan prosedur perawatan. Tabel menunjukkan postur tubuh yang tidak
ergonomi yang paling sering diabaikan oleh respoden adalah kesalahan
memposisikan kaki dan memposisikan punggung, didapatkan sebanyak 27 respoden
(27%). Penempatan pedal drive yang tidak berdekatan dengan kaki merupakan item
yang paling sedikit, yakni 9 responden (9%), namun sedikitnya sikap ini tentunya
dapat mempengaruhi kesehatan respoden.
Tabel V.7 Distribusi sikap/postur ergonomi respoden berdasarkan penilaian test of visual perception (TVP)
Klasifikasi sikap/postur ergonomi berdasarkan penilaian TVP
Frekuesnsi (N)Persen
(%)Tidak cukup 0 0Cukup 3 3Baik 73 73Sangat baik 24 24
Tabel V.7 menunjukkan distribusi sikap/postur tubuh ergonmi pada respoden
berdasarkan Test of Visual Perception. Data ini didapatkan setelah skor nilai diolah
menggunakan SPSS 16.0, sehingga didapatkan respoden dapat diklasifikasikan
menjadi kategori sangat baik, baik, cukup dan tidak cukup. Pada tabel V.7 terlihat
reponden dengan klasifikasi baik merupakan yang paling tinggi sebanyak 52
respoden (73%), serta klasifikasi sangat baik sebanyak 24 respoden (24%) dan
klasifikasi cukup sebanyak 3 respoden (3%),. Tabel V.7 memperlihatkan bahwa tidak
ada respoden yang diklasifikasikan tidak cukup baik pada upaya pencegahan bahaya
postur tubuh yang tidak ergonomi.
Khusus hasil penelitian berupa upaya pencegahan respoden terhadap bahaya
fisik (radiasi) pada penelitian ini tidak didapatkan. Setelah dilakukan penelitian,
ternyata dari 100 orang respoden yang diteliti tidak satupun respoden yang memiliki
alat radiografi sendiri, serta menurut tuturan langsung dari mereka, mereka
mengatakan bahwa kepemilikan alat radiografi sendiri membutuhkan biaya yang
tinggi. Setelah ditanyakan bagaimana mereka mendapat foto rontgen pasiennya,
mereka mengatakan merujuk ke tempat lain. Selanjutnya kami mencoba pergi ke
Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Hj Halimah Daeng Sikati dan Rumah Sakit
Gigi dan Mulut Kandea, kenyataannya yang mengambil foto rontgen adalah sta
pegawai dan mahasiswa klinik kedokteran gigi UNHAS. Sehingga pada penelitian
ini diputuskan untuk tidak melajutkan pengambilan data pada upaya pencegahan
terhadap bahaya fisik (radiasi).
67
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan penerapan prinsip-prinsip
kesehatan dan keselamatan kerja dokter gigi. Upaya dokter gigi dalam menerapkan
kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilihat bagaimana upayanya dalam
menghindari bahaya kerja yang dapat terjadi selama melakukan pekerjaannya di
tempat praktik. Peneliti menfokuskan beberapa bahaya kerja yang setiap harinya
diduga sebagai bahaya yang berpeluang di alami oleh dokter gigi, seperti bahaya
infeksi silang, bahaya amalgam, serta bahaya postur tubuh yang tidak ergonomi.
68
Pada penelitian ini, didapatkan jumlah responden sebanyak 100 dokter gigi
sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat perhitungan sampel yang dilakukan
peneliti, yang terdiri dari 19 laki-laki (19%) dan 81 perempuan (81%). Data ini
memperlihatkan jumlah responden perempuan yang lebih banyak dari laki-laki. Hal
ini memang sesuai bila melihat hasil penelitian badan pusat statistik, pada profil kota
Makassar tahun 2007 yang menunjukkan komposisi perempuan lebih banyak dari
laki-laki dan bahkan jumlah perempuan lebih banyak pada kelompok umur 25-54
tahun yang memang merupakan rentang usia yang ada pada semua responden.2,23
Banyaknya jumlah responden perempuan mungkin juga dipengaruhi oleh teknik
sampling yang di ambil secara acak, sehingga jumlah responden perempuan yang
terambil kebetulan banyak.
69
Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa responden yang mengalami cedera
instrumen enam bulan terakhir sebanyak 11 responden (11%), di antaranya
menyatakan terluka oleh cryer, alat-alat endo, bur, sonde, dan needle. Terlihat pula
bahwa ternyata masih ada responden yang sama sekali belum pernah divaksin
hepatitis sebanyak 31 orang, serta masih ada 10 responden (10%) yang terkadang
tidak menggunakan alat bantu penglihatan (mouth mirror) untuk RA. Hal ini dapat
dikarenakan kurangnya kesadaran dan pemeliharaan diri terhadap kesehatannya dan
bisa dicegah bila responden selalu mengikuti seminar/lokakarya tentang bahaya
kerja, sehingga respoden dapat mengerti dampak yang mungkin terjadi selama
bekerja dan bagaimana meminimalisasinya. Diperkuat bahwa responden yang belum
pernah mengikuti seminar tentang bahaya kerja pada penelitian ini sebanyak 63
responden (63%). Sedangkan penelitian Chopra dan Pandey, menjelaskan bahwa
semua responden yang terdiri dari 17 dokter gigi telah menyadari bahaya kerja di
tempat kerja dan telah divaksinasi terhadap infeksi Hepatitis B. Delapan diantaranya
(47,06%) mengalami cedera instrumen tajam selama enam bulan terakhir dengan
cedera needle dan luka dari benda dan instrumen tajam (Cedera percutaneous),
70,59% tidak selalu selalu menggunakan alat bantu penglihatan (secara tidak
langsung) seperti mouth mirror saat bekerja pada gigi rahang atas.19
Cedera mata dan mungkin mata sebagai media infeksi silang dikarenakan
serpihan kalkulus saat prosedur skaling dan percikan dari cairan tubuh (aerosol
bakteri dan virus) saat menggunakan handpiece kecepatan tinggi tidak bisa dihindari
oleh para responden. Pada peneltian ini didapatkan bahwa pengenaan terdapat 24
responden (24%) yang tidak mengenakan kacamata pelindung, serta masih ada 10
responden (10%) yang terkadang tidak menggunakan alat bantu penglihatan (mouth
mirror) untuk RA. Paparan langsung dari beberapa responden mengungkapkan
bahwa mereka berusaha menciptakan suasana yang nyaman saat bekerja, dalam hal
ini menurut mereka bila menggunakan kacamata pelindung dapat menghambat
mereka saat bekerja serta saat bekerja dengan gigi rahang atas lebih jelas
dibandingkan bila melihat langsung dibanding menggunakan mouth mirror. Hal ini
juga dijelaskan dan serupa dengan penelitian Chopra dan Pandey, hanya satu
responden yang teratur memakai pelindung mata dan hanya 29,41% responden yang
menggunakan mouth mirror saat bekerja pada gigi rahang atas.19,20
Infeksi silang merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian serius,
dikarenakan risiko seorang dokter gigi dan tim kerja untuk tekena infeksi virus
hepatitis B, HIV/AIDS, dan penyakit infeksi menular lainnya. Maka dari itu perlunya
prosedur perawatan yang melindungi dokter gigi dari infeksi silang.
Pada penelitian ini, responden yang mengenakan sarung tangan dan masker
sebanyak 97 responden (97%). Resonden yang tidak mengenakan lebih dari satu
sarung tangan tiap tangannya sebanyak 49 reponden (49%), sedangkan masih ada
pula satu responden (1%) yang ternyata tidak mengganti sarung tangannya pada
pasien yang berbeda. Penelitian ini mendapatkan bahwa 86 dari 100 responden
(86%) menggunakan larutan desinfektan, serta 51 responden (51%) merendam
selama 5-14 menit. Sedangkan untuk metode sterilisasi yang diterapkan, paling
banyak adalah dengan sterilasasi dry heat sebanyak 56 responden (56%) sedangkan
71
autoclave sebanyak 20 respoden (20%). Beberapa upaya pencegahan respoden sudah
sangat baik, dan menurut tuturan dari beberapa respoden mengatakan bahwa semua
prosedur yang dilakukan berdasarkan prosedur yang dijalankan di Rumah
Sakit/Puskesmas (tempat kerjanya selain praktik swasta sore), dan prosedur ini tetap
djalankan di tempat praktik swastanya, atau bisa jadi respoden berusaha tidak jujur
atau dan serius menjawab kuesioner yag diberikan sehingga jawaban yang diberikan
respoden sangat baik. Sedangkan untuk pengunaan larutan desinfektan, kebanyakan
mereka menggunakan larutan etil alkohol 70%, menurut Joklik etil alkohol efektif
mampu mematikan dan menurunkan koloni bakteri.8 Metode sterilisasi yang
digunakan kebanyakan menggunakan dry heat dengan alasan harga alat tersebut
cukup murah bila dibandingkan autoclave.
Pada penelitian Chopra dan Pandey, responden yang tidak mengenakan lebih
dari satu sarung tangan tiap tangannya sebanyak 58%, sedangkan semua responden
ternyata mengganti sarung tangannya pada pasien yang berbeda dan menggunakan
larutan desinfektan baik untuk mencuci tangan maupun mencuci alat. Mencuci
tangan dengan menggunakan larutan desinfektan efektif menurunkan dan mematikan
bakteri yang terdapat ditang individu namun pengaruhnya tidak sama, tergantung
dengan cara dan kebiasaan individu mencuci tangan dan bahan yang digunakan.
Hasil penelitian Saheeb, Offor, dan Okojie, mendapatkan tiga responden (4,4%)
merendam selama 5-14 menit. Sedangkan untuk metode sterilisasi yang diterapkan,
paling banyak adalah dengan sterilasasi auotoclave sebanyak 52 responden
(52%).8,19,20
72
Penelitian mendapatkan bahwa sudah ada respoden yang tidak menggunakan
amalgam lagi, didapatkan hanya 67 respoden (67%) yang menggunakan amalgam,
33% lainnya (sudah) tidak menggunakan amalgam. Alasan mereka tidak
menggunakan amalgam adalah permintaan pasien yang menghendaki tambalan yang
estetik seperti komposit dan glass ionomer. Pada tabel V.4 terlihat bahwa terdapat 10
responden (14.9%) yang berkontak dengan amalgam secara regular, serta ada 58
responden (86.5) yang menggunakan tidak berkontak langsung dengan amalgam. 21
respoden (31.4%) yang tidak menggunakan kapsul amalgam. Berdasarkan tabel V.4
ternyata ada lima respoden (7.5%) yang tidak membersihkan amalgam yang
tertumpah, hal ini diperparah dengan ruang praktik tanpa ventilasi yang baik pada 11
respoden (16.5%). Saat melepaskan amalgam da restorasi16 respoden (23.9%) tidak
menggunakan water spray dan suction. Pada tabel V.4 menunjukkan hanya ada satu
respoden (1.5%) yang pernah memeriksakan kadar Hg dalam darahnya secara
berkala, dan semua respoden tidak pernah melakukan pengecekan kadar uap
amalgam di uang praktiknya. Nampaknya kesadaran respoden tentang pencegahan
bahaya amalgam (merkuri) masih kurang, dan mungkin semua respoden belum
memahami bagamana pemantauan rutin merkuri dalam darah dan tingkat uap
merkuri di klinik.
Menurut ketentuan OSHA (Occupational Safety and Health Agency,
Departemen Perburuhan Amerika Serikat), konsentrasi Hg pada urin hendaknya
tidak melebihi 6,1 mikrogram/liter dan kadar uap Hg maksimal adalah 50
mikrogram/meter3 dalam masa kerja 8 jam/hari untuk lebih dari 40 jam/minggu.
73
Penelitian Chopra dan Pandey, didapatkan bahwa 82,3% responden telah terekspose
amalgam secara teratur. Sebaliknya mereka tetap menjaga kebersihan merkuri.
Semuanya menggunakan amalgamator dan tidak seorangpun yang berkontak
langsung dengan amalgam. Semua pekerjaan di kamar praktik berventilasi baik serta
menggunakan water spray dan suction saat mengeluarkan amalgam dan restorasi.
Namun tidak ada satupun yang mengecek kadar merkuri dalam darah dan jumlah uap
merkuri ruang praktek mereka.14,19
Pada penilaian mengenai upaya pencegahan respoden terhadap bahaya
postur/sikap tubuh yang tidak ergonomi selama melakukan prosedur perawatan,
setelah diobservasi lebih dari 72% respoden semuannya benar pada masing-masing
delapan item penilaian postur tubuhnya. Postur tubuh yang tidak ergonomi yang
paling sering diabaikan oleh respoden adalah kesalahan memposisikan kaki dan
memposisikan punggung, didapatkan sebanyak 27 respoden (27%). Penempatan
pedal drive yang tidak berdekatan dengan kaki merupakan item yang paling sedikit,
yakni 9 responden (9%). Namun secara umum ke delapan posisi tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Sudut antara kaki bagian atas (paha) dan kaki bagian bawah (betis) harus
membentuk sudut yang besarnya 110º atau lebih (Gambar VI.1). Pada posisi ini
respoden yang benar posisinya sebanyak 73 respoden (73%), sedangkan yang
salah sebanyak 27 respoden (27%).
2. Dokter gigi harus simetris ke depan dan punggung sejauh mungkin dari sandaran
tempat duduk, atau badan dimiringkanke depan maksimal sehingga 10-20º,
74
hindari memutar dan mring condong ke samping (Gambar VI.1). Pada posisi ini
respoden yang benar posisinya sebanyak 73 respoden (73%), sedangkan yang
salah sebanyak 27 respoden (27%).
3. Kepala dokter gigi dapat dimringkan ke depan hingga 25º (Gambar VI.1). Pada
posisi ini respoden yang benar posisinya sebanyak 89 respoden (89%),
sedangkan yang salah sebanyak 11 respoden (11%).
4. Pedal drive harus diposisikan/ditempatkan dekat dengan salah satu kaki
(Gambar VI.2). Pada posisi ini respoden yang benar posisinya sebanyak 91
respoden (91%), sedangkan yang salah sebanyak 9 respoden (9%).
5. Lengan diangkat hingga 10º-25º dari sumbu horizontal (Gambar VI.3). Pada
posisi ini respoden yang benar posisinya sebanyak 89 respoden (89%),
sedangkan yang salah sebanyak 11 respoden (11%).
6. Jarak antara area kerja (mulut pasien) antara dan ke mata (atau kacamata
pelindung) adalah 35-40 cm (Gambar VI.4). Pada posisi ini respoden yang benar
posisinya sebanyak 80 respoden (80%), sedangkan yang salah sebanyak 20
respoden (20%).
7. Instrumen harus diposisikan dengan area penglihatan dari dokter gigi pada jarak
antara 20-25 cm (Gambar VI.4). Pada posisi ini respoden yang benar posisinya
sebanyak 79 respoden (79%), sedangkan yang salah sebanyak 21 respoden
(21%).
8. Lampu dari dental unit harus diposisikan di atas kepala dokte gigi sebelum dan
saat tubuh dokter gigi sehingga cahaya yang dihasilkan terpancar lurus searah
75
pandangan langsung ke dokter gigi (Gambar VI.2). Pada posisi ini respoden
yang benar posisinya sebanyak 87 respoden (87%), sedangkan yang salah
sebanyak 13 respoden (13%).
Gambar VI.1 Posisi dan sudut kaki, punggung (duduk), dan posisi kepala yang ergonomi Sumber: Dental student’ knowledge of ergonomi postural requiretments and their application during
clinical care. Eur J Dent Educ 2011;15:31-5. [internet] Available from URL: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1600-0579.2010.00629.x/pdf.
Accessed May 7, 2011.
Gambar VI.2 Posisi pedal drive dekat dengan salah asatu kaki dan posisi lampu dental unit, sehingga memudahkan operator saat melakukan perawatan
76
Sumber: Dental student’ knowledge of ergonomi postural requiretments and their application during clinical care. Eur J Dent Educ 2011;15:31-5. [internet] Available from URL: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1600-0579.2010.00629.x/pdf.
Accessed May 7, 2011.
Gambar VI.3 Posisi lengan diangkat hingga 10-25º dari sumbu horizontalSumber: Dental student’ knowledge of ergonomi postural requiretments and their application during
clinical care. Eur J Dent Educ 2011;15:31-5. [internet] Available from URL: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1600-0579.2010.00629.x/pdf.
Accessed May 7, 2011
77
Gambar VI.4 Jarak antara area kerja (mulut pasien) 35-40 cm dan instrumen 20-25 cm ke mata (kacamat pelindung)
Sumber: Magnification in dentistry: how ergonomi features impact your health . Eur J Dent Educ 2011;15:31-5. [internet] Available from URL: http://www.dentistrytoday.com/ergonomi/1110 .
Accessed September 14, 2011
Banyaknya respoden yang ke delapan posisi sikap/postur tubuh yang benar,
mungkin di pengaruhi kebiasaan melakukan semua sikap tubuh yang nyaman saat
melakukan perawatan, dan sikap nyaman itulah yang juga merupakan sikap yang
benar dan menjadi penilaian pada penelitian ini, dan tentunya sikap ini sudah sejak
lama dilakukan dan menjadi kebiasaan, akan tetapi bila kebiasaan yang diterapkan
oleh respoden merupakan sikap tubuh yang salah dan menurutnya nyaman, tetap saja
dapat mempengaruhi kesehatan respoden. Sedangkan pada penelitian Garbin dkk,
Postur tubuh yang tidak ergonomi yang paling sering diabaikan oleh respoden adalah
kesalahan memposisikan lampu dental unit searah pandangan respoden sebanyak 52
respoden (75,4%). Adanya perbedaan hasil jawaban mungkin dikarenakan, subjek
penelitian ini menggunakan dokter gigi praktik berpengalaman, sedangkan pada
penelitian pembanding menggunakan mahasiswa kedokteran gigi. 16,17,21
78
BAB VII
PENUTUP
7.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Makassar pada tanggal
14 Juni 2001 - 22 Augustus 2011, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Dokter gigi di Kota Makassar lebih banyak perempuan daripada laki-laki,
terlihat dari hasil penelitian ini sebanyak 81 orang perempuan (81%) dan 19
orang laki-laki (19%).
2. Dokter gigi di Kota Makassar hanya sedikit yang mengalami cedera
instrumen, hanya 11 respoden (11%) dan menurut penuturan respoden di
antaranya menyatakan terluka oleh cryer, alat-alat endo, bur, sonde, dan
needle. Namun sedikitnya tetap saja dapat mengakibatkan infeksi silang ke
dokter gigi.
3. Dokter gigi di Kota Makassar masih banyak responden yang sama sekali
belum pernah divaksin hepatitis sebanyak 31 orang (31%). Hal ini tentunya
membahayakan kondisi respoden bila tertular hepatitis.
79
4. Dokter gigi di Kota Makassar masih ada yang tidak mengenakan kacamata
pelindung sebanyak 24 responden (24%), serta masih ada 10 responden
(10%) yang terkadang tidak menggunakan alat bantu penglihatan (mouth
mirror) untuk RA. Menurut mereka bila menggunakan kacamata pelindung
dapat menghambat mereka saat bekerja, serta saat bekerja dengan gigi rahang
80
atas akan lebih jelas bila melihat langsung dibanding menggunakan mouth
mirror. Dalam hal ini mereka berusaha menciptakan suasana yang nyaman
saat bekerja walaupun itu mengabaikan bahaya kerja di tempat praktiknya.
5. Dokter gigi di Kota Makassar yang mengenakan sarung tangan & masker
sebanyak 97 responden (97%), yang tidak mengenakan lebih dari satu sarung
tangan tiap tangannya sebanyak 49 reponden (49%), sedangkan masih ada
pula satu responden (1%) yang ternyata tidak mengganti sarung tangannya
pada pasien yang berbeda.
6. Dokter gigi di Kota Makassar 86% menggunakan larutan desinfektan baik
untuk mencuci tangan ataupun instrumen, serta 51 responden (51%)
merendam selama 5-14 menit. Sedangkan untuk metode sterilisasi yang
diterapkan, paling banyak adalah dengan sterilasasi dry heat sebanyak 56
responden (56%) sedangkan autoclave sebanyak 20 respoden (20%).
Prosedur ini dijalankan sesuai dengan prosedur yang dijalankan di Rumah
Sakit/Puskesmas (tempat kerjanya selain praktik swasta sore). Metode
sterilisasi yang digunakan kebanyakan menggunakan dry heat dengan alasan
harga alat tersebut cukup murah bila dibandingkan autoclave.
7. Dokter gigi di Kota Makassar sudah banyak yang tidak menggunakan
amalgam, didapatkan hanya 67 respoden (67%) yang menggunakan
amalgam, 33% lainnya (sudah) tidak menggunakan amalgam. Alasan mereka
tidak menggunakan amalgam adalah permintaan pasien yang menghendaki
tambalan yang estetik seperti komposit dan glass ionomer.
81
8. Dokter gigi di Kota Makassar saat menggunakan amalgam, didapatkan
terdapat 10 responden (14.9%) yang berkontak dengan amalgam secara
regular, serta ada 58 responden (86.5%) yang tidak berkontak langsung
dengan amalgam. 21 respoden (31.4%) yang tidak menggunakan kapsul
amalgam. Dan ternyata ironisnya ada lima respoden (7.5%) yang tidak
membersihkan amalgam yang tertumpah, hal ini diperparah dengan ruang
praktik tanpa ventilasi yang baik pada 11 respoden (16.5%). Saat melepaskan
amalgam dan restorasi, cuman 16 respoden (23.9%) tidak menggunakan
water spray dan suction.
9. Dokter gigi di Kota Makassar hanya ada satu respoden (1.5%) yang pernah
memeriksakan kadar Hg dalam darahnya di laboratorium serta hanya sekali
dan tidak berkelanjutan. Dan semua respoden tidak pernah melakukan
pengecekan kadar uap amalgam di uang praktiknya
10. Dokter gigi di Kota Makassar mengenai upaya pencegahannya terhadap
bahaya postur/sikap tubuh yang tidak ergonomi selama melakukan prosedur
perawatan, setelah diobservasi lebih dari 72% respoden semuannya benar
pada masing-masing delapan item penilaian postur tubuhnya. Postur tubuh
yang tidak ergonomi yang paling sering diabaikan oleh respoden adalah
kesalahan memposisikan kaki dan memposisikan punggung, didapatkan
sebanyak 27 respoden (27%). Penempatan pedal drive yang tidak berdekatan
dengan kaki merupakan item yang paling sedikit, yakni 9 responden (9%).
82
7.2 SARAN
1. Dokter gigi di Kota Makassar sebaiknya lebih memperhatikan kesehatan dan
keselamatan kerjanya saat berpraktik. Agar terhidar dari bahaya kerja yang
dapat muncul saat melakukan prosedur perawatan pada pasien.
2. Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Makassar sebaiknya
melaksanakan seminar mengenai kesehatan dan keselamatan kerja dan upaya
pencegahan bahaya pada dokter gigi saat melakukan prosedur perawatan.
3. Diharapkan ada penelitian selanjutnya dan serupa, sehingga dapat menggali
sumber informasi yang lebih mendalam dibanding penelitian ini.
4. Dokter gigi di Kota Makassar yang masih menggunakan bahan tambalan
amalgam, diharapkan untuk mengecek sejak dini kadar merkuri (Hg) dalam
darah dan jumlah uap merkuri (Hg) di ruang praktek mereka.
5. Dokter gigi di Kota Makassar diharapkan membiasakan memperhatikan
postur/sikap tubuhnya agar lebih ergonomi saat melakukan perwatan, agar
tercipta suasana kerja yang aman, sehat, dan nyaman.
83
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan multi etnik dan multi sosial budaya serta
berbagai perbedaan pandangan politik sempit yang diperberat dengan adanya krisis
multi dimensi. Keragaman tersebut berpotensi menimbulkan koflik dengan kekerasan
yang berdampak adanya masalah kesehatan. Konflik dengan kekerasan menyebabkan
terjadinya kedaruratan kompleks yang merupakan bencana karena ulah manusia
termasuk masalah kesehatan yang timbul secara mendadak (akut) yang ditandai
dengan jatuhnya korban manusia. Sehingga penanggulangan masalah kesehatan
akibat kedaruratan kompleks memerlukan keterpaduan dan kerjasama dengan lintas
program dan lintas sektor.
Rumah sakit merupakan tempat kerja yang unik dan kompleks untuk
menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Semakin luas pelayanan
kesehatan dan fungsi rumah sakit tersebut, maka akan semakin komplek peralatan
dan fasilitas yang dibutuhkan. Kerumitan tersebut menyebabkan rumah sakit
mempunyai potensi bahaya yang sangat besar, tidak hanya bagi pasien dan tenaga
medis, tetapi juga pengunjung rumah sakit.
Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi
bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan
(peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan
sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas
anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi.
Oleh karena itu, sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-
upaya K3 di RS. Selain itu, agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan
terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola
maupun karyawan RS.
84
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah
Sakit
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23
dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus
diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai
risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan
paling sedikit 10 orang. Maka Rumah Sakit (RS) juga termasuk dalam kriteria tempat
kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan,
tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap
pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS
menerapkan upaya-upaya K3 di RS. Segala hal yang menyangkut penyelenggaraan
K3 di rumah sakit diatur di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 432 tentang
Pedoman Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit termasuk
pengertian dan ruang lingkup kesehatan dan keselamatan kerja di Rumah Sakit.
a. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja
1) Kesehatan Kerja Menurut WHO / ILO (1995)
Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat
kesehatan fisik, mental, dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di
semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja
yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam
pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan; dan
penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya. Secara ringkas
merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia
kepada pekerjaan atau jabatannya.
2) Kesehatan dan keselamatan kerja
85
Upaya untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat
kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan
penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi
kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.
3) Konsep Dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit adalah
upaya terpadu seluruh pekerja rumah sakit, pasien, pengunjung/pengantar
orang sakit untuk menciptakan lingkungan kerja, tempat kerja rumah sakit
yang sehat, aman dan nyaman baik bagi pekerja rumah sakit, pasien,
pengunjung/pengantar orang sakit, maupun bagi masyarakat dan lingkungan
sekitar rumah sakit.
b. Ruang Lingkup
1) Prinsip, Kebijakan Pelaksanaan dan Program Kesehatan dan Keselamatan
Kerja Rumah Sakit (K3RS)
a) Prinsip K3RS
Agar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) dapat
dipahami secara utuh, perlu diketahui pengertian 3 komponen yang saling
berinteraksi, yaitu :
(1) Kapasitas kerja adalah status kesehtan kerja dan gizi kerja yang baik
serta kemampuan fisik yang prima setiap pekerja agar dapat
melakukan pekerjaannya dengan baik.
(2) Beban kerja adalah beban fisik dan mental yang harus ditanggung
oleh pekerja dalam melaksankan tugasnya.
(3) Lingkungan kerja adalah lingkungan terdekat dari seorang pekerja
b) Program K3RS
Program K3 di rumah sakit bertujuan untuk melindungi keselamatan
dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas pekerja, melindungi
keselamatan pasien, pengunjung, dan masyarakat serta lingkungan sekitar
Rumah Sakit. Kinerja setiap petugas petugas kesehatan dan non kesehatan
merupakan resultante dari tiga komponen yaitu kapasitas kerja, beban
kerja, dan lingkungan kerja. Program K3RS yang harus diterapkan adalah
:
86
(1) Pengembangan kebijakan K3RS
(2) Pembudayaan perilaku K3RS
(3) Pengembangan Sumber Daya Manusia K3RS
(4) Pengembangan Pedoman dan Standard Operational Procedure (SOP)
K3RS
(5) Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat kerja
(6) Pelayanan kesehatan kerja
(7) Pelayanan keselamatan kerja
(8) Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair,
gas
(9) Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya
(10) Pengembangan manajemen tanggap darurat
(11) Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan pelaporan
kegiatan K3
(12) Review program tahunan
c) Kebijakan pelaksanaan K3
Rumah sakit merupakan tempat kerja yang padat karya, pakar, modal,
dan teknologi, namun keberadaan rumah sakit juga memiliki dampak
negatif terhadap timbulnya penyakit dan kecelakaan akibat kerja, bila
rumah sakit tersebut tidak melaksanakan prosedur K3. Oleh sebab itu
perlu dilaksanakan kebijakan sebagai berikut :
(1) Membuat kebijakan tertulis dari pimpinan rumah sakit
(2) Menyediakan Organisasi K3 di Rumah Sakit sesuai dengan
Kepmenkes Nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang Pedoman
Manajemen K3 di Rumah Sakit
(3) Melakukan sosialisasi K3 di rumah sakit pada seluruh jajaran rumah
sakit
(4) Membudayakan perilaku k3 di rumah sakit
(5) Meningkatkan SDM yang professional dalam bidang K3 di masing-
masing unit kerja di rumah sakit
(6) Meningkatkan Sistem Informasi K3 di rumah sakit
87
2) Standar Pelayanan K3 di Rumah Sakit
Pelayanan K3RS harus dilaksanakan secara terpadu melibatkan berbagai
komponen yang ada di rumah sakit. Pelayanan K3 di rumah sakit sampai saat
ini dirasakan belum maksimal. Hal ini dikarenakan masih banyak rumah sakit
yang belum menerapkan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan
kerja (SMK3).
a) Standar Pelayanan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit
Setiap Rumah Sakit wajib melaksanakan pelayanan kesehatan kerja
seperti tercantum pada pasal 23 UU kesehatan no.36 tahun 2009 dan
peraturan Menteri tenaga kerja dan Transmigrasi RI No.03/men/1982
tentang pelayanan kesehatan kerja. Adapun bentuk pelayanan kesehatan
kerja yang perlu dilakukan, sebagai berikut :
(1) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebekum kerja bagi pekerja
(2) Melakukan pendidikan dan penyuluhan/pelatihan tentang kesehatan
kerja dan memberikan bantuan kepada pekerja di rumah sakit dalam
penyesuaian diri baik fisik maupun mental terhadap pekerjanya.
(3) Melakukan pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus sesuai
dengan pajanan di rumah sakit
(4) Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan
kemampuan fisik pekerja
(5) Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi pekerja
yang menderita sakit
(6) Melakukan pemeriksaan kesehatan khusus pada pekerja rumah sakit
yang akan pension atau pindah kerja
(7) Melakukan koordinasi dengan tim Panitia Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi mengenai penularan infeksi terhadap pekerja
dan pasien
(8) Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja
(9) Melaksanakan pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang
berkaitan dengan kesehatan kerja (Pemantauan/pengukuran terhadap
faktor fisik, kimia, biologi, psikososial, dan ergonomi)
88
(10) Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan kesehatan
kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis
terkait di wilayah kerja Rumah Sakit
b) Standar pelayanan Keselamatan kerja di Rumah Sakit
Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat dengan
sarana, prasarana, dan peralatan kerja. Bentuk pelayanan keselamatan
kerja yang dilakukan :
(1) Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan sarana, prasarana,
dan peralatan kesehatan
(2) Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja terhadap
pekerja
(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap sanitair
(5) Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja
(6) Pelatihan/penyuluhan keselamatan kerja untuk semua pekerja
(7) Member rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, pembuatan
tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait
keselamatan/keamanan
(8) Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya
(9) Pembinaan dan pengawasan Manajemen Sistem Penanggulangan
Kebakaran (MSPK)
(10) Membuat evaluasi, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pelayanan
keselamatan kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit
dan Unit teknis terkait di wilayah kerja kerja Rumah Sakit
3) Standar K3 Sarana, Prasarana, dan Peralatan di Rumah Sakit
Sarana didefinisikan sebagai segala sesuatu benda fisik yang dapat
tervisualisasi oleh mata maupun teraba panca indera dan dengan mudah dapat
dikenali oleh pasien dan umumnya merupakan bagian dari suatu bangunan
gedung (pintu, lantai, dinding, tiang, kolong gedung, jendela) ataupun
bangunan itu sendiri. Sedangakan prasarana adalah seluruh jaringan/instansi
89
yang membuat suatu sarana bisa berfungsi sesuai dengan tujuan yang
diharapkan, antara lain : instalasi air bersih dan air kotor, instalasi listrik, gas
medis, komunikasi, dan pengkondisian udara, dan lain-lain.
4) Pengelolaan Jasa dan Barang Berbahaya
Barang Berbahaya dan Beracun (B3) adalah bahan yang karena sifat dan
atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau
dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lainnya.
a) Kategori B3
Memancarkan radiasi, Mudah meledak, Mudah menyala atau terbakar,
Oksidator, Racun, Korosif, Karsinogenik, Iritasi, Teratogenik, Mutagenic,
Arus listrik.
b) Prinsip dasar pencegahan dan pengendalian B3
(1) Identifikasi semua B3 dan instalasi yang akan ditangani untuk
mengenal ciri-ciri dan karakteristiknya.
(2) Evaluasi, untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang
diperlukan sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang
ditangani sekaligus memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila
kecelakaan terjadi
(3) Pengendalian sebagai alternatif berdasarkan identifikasi dan evaluasi
yang dilakukan meliputi pengendalian operasional, pengendalian
organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur
dan proses kerja yang aman, pembatasan keberadaan B3 di tempat
kerja sesuai jumlah ambang.
(4) Untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya
c) Pengadaan Jasa dan Bahan Berbahaya
Rumah sakit harus melakukan seleksi rekanan berdasarkan barang
yang diperlukan. Rekanan yang akan diseleksi diminta memberikan
proposal berikut company profile. Informasi yang diperlukan menyangkut
90
spesifikasi lengkap dari material atau produk, kapabilitas rekanan, harga,
pelayanan, persyaratan K3 dan lingkungan serta informasi lain yang
dibutuhkan oleh rumah sakit.
Setiap unit kerja/instalasi/satker yang menggunakan, menyimpan,
mengelola B3 harus menginformasikan kepada instalasi logistic sebagai
unit pengadaan barang setiap kali mengajukan permintaan bahwa barang
yang diminta termasuk jenis B3. Untuk memudahkan melakukan proses
seleksi, dibuat form seleksi yang memuat kriteria wajib yang harus
dipenuhi oleh rekanan serta sistem penilaian untuk masing-masing criteria
yang ditentukan.
5) Standar SDM K3 di Rumah Sakit
Kriteria tenaga K3
a) Rumah Sakit Kelas A
(1) S3/S2 K3 minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(2) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(3) Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (SpOk) dan S2 Kedokteran
Okupasi minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(4) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 2 orang yang
mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
(5) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1
orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(6) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal)
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
(7) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 2 orang
(8) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat
pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
91
(9) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 2 orang
b) Rumah Sakit Kelas B
(1) S2 kesehatan minimal 1 orang yang mendapat pelatihan khusus
terakreditasi mengenai K3 RS
(2) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang
mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
(3) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1
orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(4) Tenaga paramedis dengan sertifikasi dalam bidang K3 (informal)
yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
minimal 1 orang
(5) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
(6) Tanaga teknis lainnya dengan sertifikasi K3 (informal) mendapat
pelatihan khusus terakreditasi mengenai K3 RS minimal 1 orang
(7) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
c) Rumah Sakit kelas C
(1) Tenaga Kesehatan Masyarakat K3 DIII dan S1 minimal 1 orang yang
mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi mengenai K3 RS
(2) Dokter/dokter gigi spesialis dan dokter umum/dokter gigi minimal 1
orang dengan sertifikasi K3 dan mendapat pelatihan khusus yang
terakreditasi mengenai K3 RS
(3) Tenaga paramedis yang mendapat pelatihan khusus yang terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
(4) Tenaga teknis lainnya mendapat pelatihan khusus terakreditasi
mengenai K3 RS minimal 1 orang
92
6) Pembinaan, Pengawasan, Pencatatan, dan Pelaporan
a) Pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dan pengawasan dilakukan melalui sistem berjenjang.
Pembinaan dan pengawasan tertinggi dilakukan oleh Departemen
Kesehatan. Pembinaan dapat dilaksanakan antara lain dengan melalui
pelatihan, penyuluhan, bimbingan teknis, dan temu konsultasi.
Pengawasan pelaksanaan Standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja
di rumah sakit dibedakan dalam dua macam, yakni pengawasan internal,
yang dilakukan oleh pimpinan langsung rumah sakit yang bersangkutan,
dan pengawasan eksternal, yang dilakukan oleh Menteri kesehatan dan
Dinas Kesehatan setempat, sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-
masing.
b) Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan adalah pendokumentasian kegiatan K3
secara tertulis dari masing-masing unit kerja rumah sakit dan kegiatan
K3RS secara keseluruhan yang dilakukan oleh organisasi K3RS, yang
dikumpulkan dan dilaporkan /diinformasikan oleh organisasi K3RS, ke
Direktur Rumah Sakit dan unit teknis terkait di wilayah Rumah Sakit.
Tujuan kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah
menghimpun dan menyediakan data dan informasi kegiatan K3,
mendokumentasikan hasil-hasil pelaksanaan kegiatan K3; mencatat dan
melaporkan setiap kejadian/kasus K3, dan menyusun dan melaksanakan
pelaporan kegiatan K3.
Pelaporan terdiri dari; pelaporan berkala (bulanan, semester, dan
tahunan) dilakukan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan dan
pelaporan sesaat/insidentil, yaitu pelaporan yang dilakukan sewaktu-
waktu pada saat kejadian atau terjadi kasus yang berkaitan dengan K3.
Sasaran kegiatan pencatatan dan pelaporan kegiatan k3 adalah mencatat
93
dan melaporkan pelaksanaan seluruh kegiatan K3, yang tercakup di dalam
:
(1) Program K3, termasuk penanggulangan kebakaran dan kesehatan
lingkungan rumah sakit.
(2) Kejadian/kasus yang berkaitan dengan K3 serta upaya
penanggulangan dan tindak lanjutnya.
2.2 Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit
a. Pengertian Manajemen K3 RS
Manajemen K3 RS merupakan upaya terpadu dari seluruh SDM RS,
pasien, serta pengunjung atau pengantar orang sakit untuk menciptakan
lingkungan kerja RS yang sehat, aman dan nyaman termasuk pemukiman
masyarakat sekitarnya.
b. Sistem Manajemen K3 RS
SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen yang meliputi: struktur
organisasi, perencanaan, pelaksanaan, prosedur, sumber daya, dan tanggungjawab
organisasi. Tujuan dari SMK3 RS adalah menciptakan tempat kerja yang aman
dan sehat supaya tenaga kerja produktif disamping dalam rangka akreditasi rumah
sakit itu sendiri. Prinsip yang digunakan dalam SMK3 adalah AREC (Anticipation,
Recognition, Evaluation dan Control) dari metode kerja, pekerjaan dan
lingkungan kerja.
c. Langkah manajemen:
1) Komitmen dan Kebijakan
Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan
mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS. Manajemen RS
mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti
pendanaan, tenaga K3 dan sarana untuk terlaksananya program K3 di RS.
Kebijakan K3 di RS diwujudkan dalam bentuk wadah K3 RS dalam
struktur organisasi RS. Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan K3 RS,
perlu disusun strategi antara lain :
a) Advokasi sosialisasi program K3 RS.
94
b) Menetapkan tujuan yang jelas.
c) Organisasi dan penugasan yang jelas.
d) Meningkatkan SDM profesional di bidang K3 RS pada setiap unit kerja
di lingkungan RS.
e) Sumberdaya yang harus didukung oleh manajemen puncak
f) Kajian risiko (risk assessment) secara kualitatif dan kuantitatif
g) Membuat program kerja K3 RS yang mengutamakan upaya peningkatan
dan pencegahan.
h) Monitoring dan evaluasi secara internal dan eksternal secara berkala.
2) Perencanaan
RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan
penerapan sistem manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
Perencanaan meliputi:
a) Identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko.
Identifikasi sumber bahaya yang ada di RS berguna untuk
menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan PAK (penyakit akibat kerja). Sedangkan
penilaian faktor risiko merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya
risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang
menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan.
Pengendalian faktor risiko di RS dilaksanakan melalui 4
tingkatan yakni menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko
dengan sarana atau peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah
bahkan tidak ada risiko sama sekali, administrasi, dan alat pelindung
pribadi (APP).
b) Membuat peraturan. Peraturan yang dibuat tersebut merupakan Standar
Operasional Prosedur yang harus dilaksanakan, dievaluasi, diperbaharui,
serta harus dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada karyawan dan
pihak yang terkait.
c) Menentukan tujuan (sasaran dan jangka waktu pencapaian)
95
d) Indikator kinerja yang harus diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3
dan sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian
SMK3 RS.
e) Program K3 ditetapkan, dilaksanakan, dimonitoring, dievaluasi dan
dicatat serta dilaporkan.
3) Pengorganisasian
Pelaksanaan K3 di RS sangat tergantung dari rasa tanggung jawab
manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja
sama dalam pelaksanaan K3. Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui
adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada
semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin.
a) Tugas pokok unit pelaksana K3 RS
1) Memberi rekomendasi dan pertimbangan kepada direktur RS mengenai
masalah-masalah yang berkaitan dengan K3.
2) Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan dan
prosedur.
3) Membuat program K3 RS
b) Fungsi unit pelaksana K3 RS
1) Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan informasi serta
permasalahan yang berhubungan dengan K3.
2) Membantu direktur RS mengadakan dan meningkatkan upaya promosi
K3, pelatihan dan penelitian K3 di RS.
3) Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3.
4) Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan tindakan
korektif.
5) Koordinasi dengan unit-unit lain yang menjadi anggota K3RS.
6) Memberi nasehat tentang manajemen k3 di tempat kerja, kontrol bahaya,
mengeluarkan peraturan dan inisiatif pencegahan.
96
7) Investigasi dan melaporkan kecelakaan, dan merekomendasikan sesuai
kegiatannya.
8) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru,
pembangunan gedung dan proses.
2.3 Struktur Organisasi K3 di RS
Berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 432 tahun 2007
bahwa Organisasi K3 berada 1 tingkat di bawah direktur, bukan kerja rangkap dan
merupakan unit organisasi yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur RS.
Hal ini dikarenakan organisasi K3 RS berkaitan langsung dengan regulasi, kebijakan,
biaya, logistik dan SDM di rumah sakit. Nama organisasinya adalah unit pelaksana
K3 RS, yang dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di RS.
Keanggotaan:
a. Unit pelaksana K3 RS beranggotakan unsur-unsur dari petugas dan jajaran
direksi RS. Akan sangat efektif bila ada yang berlatarbelakang pendidikan K3.
b. Unit pelaksana K3 RS terdiri dari sekurang-kurangnya ketua, sekretaris dan
anggota. Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan sekretaris serta
anggota.
c. Ketua unit pelaksana K3 RS sebaiknya adalah salah satu manajemen tertinggi di
RS atau sekurang-kurangnya manajemen dibawah langsung direktur RS.
d. Sedang sekretaris unit pelaksana K3 RS adalah seorang tenaga profesional K3
RS, yaitu manajer K3 RS atau ahli K3 (berlatarbelakang pendidikan K3).
97
BAB III
ISI DAN PEMBAHASAN
3.1 Studi Kasus
a. Kasus 1
Jakarta, bagi para perawat, bekerja di klinik kanker butuh kehati-hatian
ekstra. Sedikit saja kesalahan tidak hanya membahayakan pasien, tetapi juga diri
sendiri karena kontak langsung dengan obat-obat kemoterapi dapat menyebabkan
keracunan. Para peneliti dari University of Michigan mengungkap, kontak langsung
dengan kulit atau mata bisa membuat obat-obat kemoterapi atau obat kanker bisa
terserap oleh tubuh. Bagi para perawat yang setiap hari menangani obat-obatan
tersebut, hal ini bisa berdampak serius.
Paparan obat kemoterapi yang tidak disengaja bisa membuat para perawat
mengalami gangguan sistem saraf dan reproduksi. Bahkan saat baru terserap dan
masuk ke sistem peredaran darah, racun-racun tesebut juga sudah bisa memicu risiko
kanker darah. "Kontak apapun di permukaan kulit atau mata sama bahayanya dengan
tertusuk jarum suntik. Untuk kecelakaan jarum suntik, perawat biasanya langsung
mendapat pemeriksaan namun pada obat-obat kemoterapi jarang diperhatikan,"
ungkap salah seorang peneliti, Dr Christopher Friese seperti dikutio dari MSN
Health, Rabu (24/8/2011). Penelitian yang dilakukan Dr Friese dan timnya
98
menunjukkan, 17 persen perawat yang bekerja di klinik kanker mengaku pernah
terlibat kontak langsung dengan obat kemoterapi baik di kulit maupun mata. Data ini
diperoleh setelah mensurvei 1.339 perawat di seluruh Amerika.
Lembaga keselamatan dan kesehatan kerja di Amerika Serikat sebenarnya
sudah punya panduan tentang cara penanganan obat kanker yang aman. Namun
karena sifatnya tidak diwajibkan, hanya sebagian saja perawat yang sudah
menerapkan panduan tersebut sedangkan sisanya kurang mematuhinya. Salah satu
imbauan yang tercantum dalam panduan tersebut adalah, para perawat yang
menangani obat-obat kemoterapi harus memakai perlengkapan tertentu untuk
melindungi dirinya. Perlengkapan itu terdiri dari sarung tangan dan juga gaun khusus
untuk melindungi tubuh dari tumpahan obat.
b. Kasus 2
Jakarta, di tempat kerja, ancaman terhadap kesehatan reproduksi bisa
datang dari penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Salah satu profesi yang
rentan mengalami gangguan reproduksi akibat penggunaan bahan-bahan tersebut
adalah tenaga kesehatan. Pakar kesehatan kerja dari Universitas Indonesia, Dr dr
Astrid W Sulistomo, MPH, SpOk (spesialis okupansi atau spesialis kesehatan dan
keselamatan kerja) mengatakan pejanan gas-gas anestesi di rumah sakit dalam
jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita. Pada
ibu hamil, risikonya adalah kelainan kongenital atau pertumbuhan struktur organ
pada janin.
Ancaman bagi kehamilan juga bisa datang dari pejanan obat-obat kanker
atau antineoplastik dalam waktu yang lama dan terus menerus. Selain memicu
kelainan kongenital seperti halnya gas anestesi, obat-obat antineoplastik juga bisa
memicu keguguran atau abortus spontan. "Menurut penelitian, pekerja di sektor
kesehatan dan manufaktur paling rentan mengalami gangguan reproduksi. Khusus
di negara berkembang, yang paling rentan adalah pertanian akibat penggunaan
pestisida," ungkap Dr Astrid dalam seminar Kesehatan Reproduksi di Tempat Kerja
di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (1/3/2011).
99
Selain akibat pejanan bahan-bahan kimia, Dr Astrid mengatakan ancaman
di tempat kerja bisa datang dari pejanan fisik seperti suhu yang terlalu panas.
Pejanan fisik berupa temperatur tinggi antara lain mengancam para pekerja di
peleburan baja, tukang las dan koki atau juru masak. Risikonya memang lebih
banyak mengancam pria, antara lain memicu ketidaksuburan atau oligospermia
serta menurunkan libido atau gairah seks. Namun ada juga pejanan fisik yang
mengancam wanita, misalnya getaran mesin yang bisa memicu keguguran atau
kelahiran prematur.
Meski demikian Dr Astrid mengatakan tidak semua risiko tersebut didukung
dengan bukti ilmiah yang kuat, beberapa di antaranya masih berupa dugaan.
Misalnya gas anestesi, pengaruhnya terhadap kesehatan reproduksi masih
inkonklusif atau belum disimpulkan sementara obat antineoplastik pengaruhnya
sudah didukung bukti kuat.
c. Kasus 3
Taiwan, sebanyak 5 orang penerima donor organ di 2 rumah sakit terkemuka
Taiwan tengah diambang terinfeksi virus HIV (Human Imunodeficiency Virus)
setelah sang pendonor organ belakangan diketahui sebagai penderita HIV positif.
Kelima orang tersebut melakukan transplantasi organ (cangkok organ tubuh) di 2
rumah sakit terbaik di Taiwan pada 24 Agustus 2011. Empat orang melakukan
transplantasi organ di National Taiwan University Hospital (NTUH) dan 1 orang lagi
di National Cheng Kung University Hospital untuk transplantasi jantung.
Kasus transplantasi organ dari penderita HIV ini membikin geger Taiwan dan
kalangan medis dunia. Departemen kesehatan Taiwan melakukan investigasi khusus
untuk mengungkap kasus tersebut dan menyelamatkan 5 orang yang kemungkinan
besar terkena HIV tersebut. Hasil penyelidikan sementara Departemen Kesehatan
Taiwan, kesalahan fatal tersebut akibat human error (kesalahan manusia). Salah
seorang petugas yang ikut dalam proses transplantasi tersebut salah mendengar
informasi yang diberikan melalui telpon tentang hasil tes darah si pendonor organ.
100
Petugas tersebut percaya ia mendengar kata dalam bahasa Inggris 'non reaktif'
dari hasil tes standar si pendonor organ, padahal yang sebenarnya diberitahukan
adalah kata 'reaktif'. Informasi tentang hasil tes yang diberikan melalui telpon itu
juga tidak diperiksa lagi seperti yang dipersyaratkan dalam prosedur standar.
Kemudian hasil tes tidak dikonfirmasikan lagi dengan tim dokter yang akan
melakukan transplantasi. "Kami sangat meminta maaf atas kesalahan itu," bunyi
pengumuman rumah sakit itu seperti dilansir dari focustaiwannewschannel, Minggu
(4/9/2011).
Pejabat departemen kesehatan Taiwan Shih Chung-liang mengatakan akan
melihat kesalahan dan memutuskan hukuman kepada rumah sakit tersebut. Jika
ditemukan kelalaian yang telah menyebabkan kesalahan fatal itu, rumah sakit
mungkin harus menghentikan program transplantasi selama satu tahun di samping
denda yang akan diberikan.
Si pendonor organ adalah seorang pria berusia 37 tahun yang mengalami
koma setelah jatuh dari ketinggian pada 24 Agustus 2011. Si pendonor memang telah
mendaftarkan untuk donor organ dengan memberikan jantung, hati, paru-paru dan 2
ginjalnya yang oleh rumah sakit ditranplantasikan pada hari yang sama. Kepala
departemen kesehatan kota Hsinchu, Ke-wu yao mengecam transplantasi yang
dilakukan rumah sakit itu sebagai kelalaian yang mengerikan. Kota Hsinchu adalah
tempat tinggal si pendonor tersebut. Ke-wu yao mengatakan rumah sakit bisa
menghindari kesalahan tersebut dengan meminta riwayat medis si pendonor di kota
asalnya.
Ke-wu yao mengatakan ke-5 orang penerima donor organ itu sangat mungkin
tertular HIV. Dan pengobatan untuk mereka akan semakin rumit karena selain
minum obat-obatan transplantasi untuk menghindari penolakan terhadap organ baru,
mereka juga harus minum obat untuk HIV. Kekhawatiran juga terjadi pada petugas
medis yang melakukan operasi transplantasi tersebut. Beberapa dokter dan perawat
yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan di ambang kepanikan.
National Taiwan University Hospital adalah salah satu rumah sakit terbaik
dan sangat dipercaya di Taiwan terutama dalam operasi transplantasi organ. Rumah
101
sakit tersebut telah berdiri sejak tahun 1895 dan menjadi pusat riset medis yang
sangat disegani.
3.2 Pembahasan Kasus
Dari ketiga kasus diatas, jelas terlihat bahwa bahaya potensial di rumah sakit
selalu bisa terjadi. Bahaya potensial tersebut dapat menimbulkan dampak kesehatan
bagi warga rumah sakit, yaitu pekerja medis, non medis, pasien bahkan pengunjung
dan pengantar pasien. Bahaya potensial di rumah sakit berkaitan dengan :
1. Faktor biologik (kuman patogen yang berasal umumnya dari pasien),
2. Faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun gterus menerus seperti
antiseptik pada kulit, gas anestasi pada hati),
3. Faktor ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah),
4. Faktor fisik dalam dosis kecil yang terus menerus (panas pada kulit, tegangan
tinggi pada sistem reproduksi, radiasi pada sistem pemroduksi darah), dan
5. Faktor psikologis (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien, gawat
darurat dan bangsal penyakit jiwa).
Dalam kasus pertama dan kedua telah dijelaskan bahwa ada kecenderungan
dari faktor kimia berupa obat kemoterapi, obat antineoplastik dan gas anestesi dapat
memberikan dampak kesehatan bagi petugas kesehatan. Efek toksik dari obat
kemoterapi adalah berupa keracunan yang dapat memberikan dampak negatif pada
sistem saraf bahkan dapat memicu risiko kanker darah apabila obat tersebut telah
memasuki sirkulasi darah. Setelah diidentifikasi lebih lanjut, obat kemoterapi
ternyata juga termasuk dalam B3 (Barang Berbahaya dan Beracun) karena sifat dan
atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lainnya.
Petugas kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat terkena paparan obat
kemoterapi melalui kontak langsung dengan kulit dan mata secara terus menerus saat
melayani pasiennya. Oleh karena itu, penggunaan APD berupa perlengkapan yang
terdiri dari sarung tangan serta gaun dan kacamata khusus sangat dianjurkan untuk
102
melindungi petugas kesehatan yang pekerjaannya sangat terkait dengan pemakaian
obat kemoterapi.
Efek toksik dari pejanan gas lain, yaitu berupa gas anestesi di rumah sakit
dalam jangka panjang bisa memicu ketidaksuburan baik pada pria maupun wanita.
Selain itu, obat antineoplastik juga dijelaskan dapat memicu keguguran maupun
abortus spontan pada pekerja wanita yang hamil. Kasus banyak terpaparnya tenaga
kesehatan di rumah sakit terhadap obat kemoterapi dan bahan kimia lain yang
bersifat karsinogenik tersebut harusnya sudah menjadi sorotan SMK3 di Rumah
Sakit (klinik kanker). Hal ini sangat penting terutama apabila tingkat risiko
keterpaparan bahan kimia merupakan hal yang memiliki bahaya potensial tinggi.
Sehingga kasus yang terkait dengan kecelakaan kerja ini semakin urgent untuk cepat
diselesaikan.
Kecelakaan kerja di rumah sakit selain disebabkan beberapa faktor diatas,
juga dapat terjadi sebagai akibat dari kelalaian dan kesalahan prosedur dari pekerja
itu sendiri, yaitu seperti yang telah dijelaskan dalam kasus 3. Akibat komunikasi
yaitu penerimaan informasi tentang hasil tes yang salah, proses transplantasi organ
terhadap pasien yang awalnya diperkirakan sukses ternyata terdapat kesalahan yang
fatal. Rumah sakit tersebut tidak menjalankan prosedur standar yang telah
disyaratkan seperti meminta riwayat medis si pendonor organ. Bahkan kesalahan
tersebut dapat menimbulkan pasien mengidap penyakit HIV-AIDS yang sebelumnya
tidak ia derita.
Kekhawatiran (efek psikologis) yang ditimbulkan dari kesalahan kinerja
tersebut tidak hanya terjadi pada pasien tetapi juga terjadi pada petugas medis yang
melakukan operasi transplantasi pada kasus 3 diatas. Beberapa dokter dan perawat
yang telah melakukan transplantasi mengalami depresi dan kepanikan. Hal tersebut
dapat dimaklumi mengingat bahwa virus HIV-AIDS dapat ditularkan melalui cairan
tubuh (dalam kasus ini adalah darah) sehingga kemungkinan dokter dan perawat
tersebut tertular HIV-AIDS meningkat.
Selain contoh-contoh kasus diatas, masalah dalam pelaksanaan K3 di rumah
sakit saat ini masih banyak. Masalah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari peran
SMK3 di lingkup Rumah Sakit. Maka sudah seharusnya pihak SMK3 di rumah sakit
103
mengetahui akan bahaya potensial yang ada di rumah sakitnya. Selain itu, SMK3
harus mencanangkan dan menjalankan upaya pengendalian bahaya. Pengendalian
bahaya dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi setelah identifikasi bahaya
potensial di RS untuk menentukan langkah-langkah atau tindakan yang diperlukan
sesuai sifat dan karakteristik dari bahan atau instalasi yang ditangani sekaligus
memprediksi risiko yang mungkin terjadi apabila kecelakaan terjadi.
Setelah melakukan evaluasi, pihak SMK3 juga memerlukan upaya
pengendalian sebagai alternatif pemecahan masalah berdasarkan identifikasi dan
evaluasi yang dilakukan. Upaya pengendalian meliputi pengendalian operasional,
pengendalian organisasi administrasi, inspeksi dan pemeliharaan sarana prosedur dan
proses kerja yang aman, dan pembatasan keberadaan B3 di tempat kerja sesuai
jumlah ambang untuk mengurangi resiko karena penanganan bahan berbahaya.
Penyelesaian masalah penyelenggaraan K3 di rumah sakit juga dapat efektif
jika SMK3 melakukan risk assesment terlebih dahulu terhadap kasus. Setelah itu,
maka kebijakan yang sudah terencana dapat diberlakukan sesuai dengan hasil
assesment. Penentuan kebijakan yang baik dan efektif juga harus disertai dengan
pembuatan program yang mendukung kebijakan itu sendiri. Hal yang tak kalah
penting adalah sosialisasi terhadap target yang bersangkutan seperti tenaga medis
dan non medis di rumah sakit. Setelah sosialisasi dilakukan maka proses
pembudayaan perilaku K3 sudah mulai dapat diprogramkan, seperti pembiasaan
memakai APD (sarung tangan, kacamata pelindung, gaun pelindung, dan lain-lain )
agar tidak terkena paparan bahan atau gas kimia.
Pembinaan dan pengawasan terhadap proses K3 juga harus digencarkan
untuk mencegah adanya ketidakdisiplinan yang akan mengakibatkan risiko bahaya.
Pencatatan dan pelaporan hasil program juga akan sangat berguna untuk mengetahui
proses pelaksanaan K3 setelah dibentuk kebijakan dan program baru. Selain itu,
pelaksanaan evaluasi terhadap hasil program harus selalu dilakukan agar pihak
SMK3 mengetahui apakah diperlukan adanya perbaikan maupun pengembangan
dalam rangka untuk meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja terhadap
pekerja di Rumah Sakit tersebut.
104
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Menurut Kepmenkes NOMOR 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang Pedoman
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit, upaya K3
menyangkut tenaga kerja, cara atau metode kerja, alat kerja, proses kerja dan
lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan
pemulihan. Kinerja setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan
dari tiga komponen K3 yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja.
Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi
faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang mempengaruhi pekerja
dalam melaksanakan pekerjaannya. Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria
tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak
kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga
terhadap pasien maupun pengunjung RS. Dampak kesehatan dari bahaya potensial di
rumah sakit salah satunya adalah penyakit akibat kerja (PAK).
Penerapan program K3 di Rumah Sakit kenyataannya masih perlu banyak
perbaikan hal ini dapat dilihat dari contoh pada kasus bab III. Implementasi tugas,
dan fungsi pokok K3RS masih kurang efektif, hal ini dikarenakan tidak dapat
mencapai standart-standart yang harusnya terpenuhi ketika ada personel K3 dalam
rumah sakit. Salah satunya adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian akan bahaya dari kecelakaan kerja dalam bentuk apapun. Oleh karena
itu, sosialisasi dan pengawasan mengenai K3 di Rumah Sakit harus lebih
ditingkatkan lagi. Harusnya SMK3 juga menerapkan prinsip AREC (Anticipation,
105
Recognition, Evaluation dan Control) dari metode kerja, pekerjaan dan lingkungan
kerja, agar tupoksi K3RS sendiri dapat tercapai.
4.2 Saran
1. Pihak manajemen rumah sakit lebih meningkatkan sosialisasi mengenai fungsi
K3 di rumah sakit kepada siapa saja yang berada di rumah sakit termasuk
dokter, perawat, pasien serta tenaga medis maupun non medis lainnya. Hal ini
diperlukan agar dapat meminimalkan tindakan beresiko bagi dirinya sendiri
maupun orang lain.
2. Pihak rumah sakit mengoptimalkan fungsi K3RS yang ada yaitu dengan cara
melakukan pelatihan terkait Sistem Manajemen K3 Rumah Sakit sehingga
pekerja yang kerjanya terkait dengan SMK3 akan lebih berkompeten dalam
pekerjaannya.
3. Semua pihak yang terkait dengan RS secara tanggung jawab melaksanakan
standar operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan,
perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku.
4. Rumah Sakit secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk menilai
apakah kinerjanya sudah maksimal ataukah masih memerlukan perbaikan
sistem K3RS yang selanjutnya. Selain itu, rumah sakit harus selalu
mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko yang
selalu ada di rumah sakit.
106
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan
Kerja (K3) di Rumah Sakit. Viewed 24 october 2011
<http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%20432-IV
%20K3%20RS.pdf>
Detik.com, Perawat di Rumah Sakit Rentan Keracunan Obat Kemoterapi, viewed 24
October 2011
<http://www.detikhealth.com/read/2011/08/24/123759/1710100/763/perawat-di-
rumah-sakit-rentan-keracunan-obat-kemoterapi>
Detik.com, Pekerja Kesehatan Paling Rentan Alami Gangguan Reproduksi, viewed
24 October 2011
http://www.detikhealth.com/read/2011/03/01/165159/1582368/763/pekerja-
kesehatan-paling-rentan-alami-gangguan-reproduksi
Detik.com, Orang Terima Donor Organ dari Pasien HIV Akibat Salah Prosedur,
viewed 24 October 2011
http://www.detikhealth.com/read/2011/09/04/160801/1715296/763/5-orang-terima-
donor-organ-dari-pasien-hiv-akibat-salah-prosedur
107
108
Top Related