KERAGAMAN GENETIK TANAMAN PEARL MILLET
(Pennisetum glaucum) PADA GENERASI M3
NAILA SAADAH
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
KERAGAMAN GENETIK TANAMAN PEARL MILLET
(Pennisetum glaucum) pada GENERASI M3
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
NAILA SAADAH
11150950000006
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
KERAGAMAN GENETIK- TANAMAN PEARL MILLET
(Pennisetum glaucum) pada GENERASI M3
SKRIPSI
sebagai salah satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
NAILA SAADAII
11150950000006
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Marina Yuniawatl M.Si
NrP. 19730 6232000122002NIP. 1 9730 92319999 032002
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
YvWDr. Privanti M.Si
NIP. 19750 5262000122001
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul "Keragaman Genetik ranaman pearl millet (pennisefumglaucum) pada
$9n91asi M3,, yang ditulis oleh Naila Saadah, NIM11150950000006 telah diuji dan dinyatakan "LULUS,, dalam Sidang MunaqosyahFakultas Sains danTeknologi, Universitas IslamNegeri SyarifHiday-atullah ia1ltapada- tanggal 26 Septemb er 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syaratuntuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) program Studi Biologi,
Menyetujui,
Penguji I
NIP. 19700 6282}14fi2002
Pembimbing I
ol.Ltv)Jl---r-Dr. Dasumiati M.Si
NIP. 1 97309 2319999032002
Mengetahui
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Marina Yuniawatl M.Si
NrP. 19730 6232000122002
Ketua Program Studi Biologi
f.rfrDr. Privanti. M.Si
NIP. 19750 52620A0122001
r97208161999031003
NIP. 19690404200s012005
ii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, September 2019
Naila Saadah
11150950000006
iii
ABSTRAK
Naila Saadah. Keragaman Genetik Tanaman Pearl millet (Pennisetum
glaucum) Pada Generasi M3. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains
dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2019.
Dibimbing oleh Dasumiati dan Marina Yuniawati.
Perbaikan sifat-sifat agronomis tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum)
seperti tanaman pendek dengan tinggi di bawah 1 m sehingga menghasilkan
produksi biji yang tinggi dapat dilakukan melalui teknik pemuliaan tanaman.
Keberhasilan program pemuliaan tanaman sangat ditentukan oleh ketersediaan
keragaman genetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik
setiap karakter dan menduga nilai heritabilitasnya pada tanaman Pearl millet
generasi M3. Materi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih
M2 Pearl millet hasil radiasi sinar gamma dan tidak menggunakan rancangan
percobaan karena masih berbentuk populasi namun diberi perlakuan terhadap
perbedaan dosis radiasi (0, 100, 200, 300 Gy). Karakter yang diamati diantaranya
adalah tinggi tanaman, jumlah ruas, diameter batang, panjang malai, diameter
malai, berat malai, berat biji, dan berat 1000 biji. Penelitian dilaksanakan dari
bulan Februari 2019 sampai April 2019 di PAIR-BATAN. Dengan dilakukannya
pendugaan ragam tidak diperoleh karakter yang memiliki nilai heritabilitas dan
Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tinggi pada keempat populasi (0, 100, 200,
300 Gy) sehingga belum dapat diseleksi. Dengan demikian, fenotipe tanaman
Pearl millet pada generasi M3 lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan
dibandingkan dengan faktor genetiknya.
Kata kunci : Genetik; Heritabilitas; Keragaman; KKG; Pemuliaan
iv
ABSTRACT
Naila Saadah. The Genetic Diversity of Pearl millet Plants (Pennisetum
glaucum) in the M3 Generation. Essay. Biology Study Program of. Faculty of
Science and Technology. Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta. 2019. Supervised by Dasumiati and Marina Yuniawati.
The improvement of agronomic properties of Pearl millet (Pennisetum
glaucum)plants such as short plants with a height below 1 m to produce seed in
high production can be done through plant breeding techniques. The success of
plant breeding programs is largely determined by the availability of genetic
diversity. This study aims to determine the genetic diversity of each character and
predict its heritability in the M3 generation of Pearl millet. The research material
used in this study was M2 seed of Pearl millet from gamma ray radiation and did
not use the experimental design because it was still in the form of a population but
was treated with different radiation doses (0, 100, 200, 300 Gy). The characters
that observed were plant height, number of segments, stem diameter, panicle
length, panicle diameter, panicle weight, seed weight, and weight of 1000 seeds.
The study was conducted from February 2019 to April 2019 in PAIR-BATAN.
By doing the estimation of variance, there is no character has a heritability value
and high Coefficient of Genetic Diversity (KKG) in all four populations (0, 100,
200, 300 Gy) so they cannot be selected. Therefore, the phenotype of pearl millet
plants in the M3 generation is more influenced by environmental factors
compared to their genetic factors.
Keywords: Breeding; Diversity; Genetic; Heritability; KKG
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah senantiasa
mencurahkan rahmat, taufik dan hidayah – Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
sains. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
besar Muhammad SAW sebagai tauladan dan pembawa petunjuk bagi umat
manusia, kepada keluarga dan sahabat yang istiqomah hingga yaumil akhir.
Skripsi yang berjudul “Keragaman Genetik Tanaman Pearl millet Generasi
M3” disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Rumah
Kawat (Wire House), Gedung Pertanian, Kelompok Pemuliaan Tanaman, Pusat
Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR-BATAN)
Pasar Jumat, Jakarta Selatan.
Penulis tentu saja menyadari bahwa tidak dapat mengerjakan segala sesuatu
yang berkaitan dengan penelitian dan penulisan skripsi tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik karena
adanya dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Lily Eka Surayya Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi beserta jajarannya.
3. Dr. Dasumiati, M.Si dan Marina Yuniawati, M.Si selaku pembimbing I
dan pembimbing II yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan saran
yang sangat bermanfaat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
4. Ir. Junaidi, M.Si dan Dr. Priyanti, M.Si selaku Dosen Penguji pada
seminar proposal dan seminar hasil.
5. PAIR-BATAN, Bidang Pertanian, Kelompok Pemuliaan Tanaman beserta
staf atas bantuan dan kerjasamanya selama melaksanakan penelitian.
6. Bapak Seno selaku pembimbing lapangan yang senantiasa meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing penulis dalam
melaksanakan penelitian.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
manfaat dan pengetahuan bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Jakarta, Agustus 2019
Penulis
v
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ............................................................................................ i
ABSTRAK ................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. viii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... . 3
1.3. Hipotesis .......................................................................................... . 3
1.4. Tujuan ............................................................................................. . 3
1.5. Manfaat ........................................................................................... . 4
1.6. Kerangka Berpikir ............................................................................ 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum) ...................................5
2.2. Pemuliaan Mutasi .............................................................................8
2.3. Mutagenesis dengan sinar gamma .................................................... 9
2.4. Keragaman Genetik dan Koefisien Keragaman Genetik (KKG) ..... 9
2.5. Heritabilitas ..................................................................................... 11
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat ............................................................................ 13
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................ 13
3.3. Rancangan Penelitian .......................................................................13
3.4. Cara Kerja ........................................ ............................................... 13
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keragaan Karakter Agronomi Pearl millet Generasi M3... ............. 17
4.2. Karakter Kuantitatif . ....................................................................... 19
4.3. Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter
Agronomi Pearl Millet .................................................................... 23
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ..................................................................................... 31
5.2. Saran ................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 32
LAMPIRAN .................................................................................................. 35
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Nilai tengah dan simpangan baku karakter hasil pada tetua dan Pearl millet
generasi M3 ...................................................................................................... 17
Tabel 2. Pendugaan Komponen Ragam, Koefisien Keragaman Genetik dan Heritabilitas
Arti Luas Karakter Agronomi Pearl Millet M3 ................................................ 25
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian keragaman genetik tanaman Pearl millet
(Pennisetum glaucum) pada generasi M3................................................... 4
Gambar 2. Tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum)............................................ 6
Gambar 3. Struktur biji Pearl millet (Taylor & Emmambux, 2004) ................................. 7
Gambar 4. Keragaan malai Pearl millet generasi M3. a. Populasi 100 Gy; b. Populasi 200
Gy; c. Populasi 300 Gy ….............................................................................. 22
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Sebaran karakter populasi 100 Gy M3 Pearl millet .....................................35 Lampiran 2. Sebaran karakter populasi 200 Gy M3 Pearl millet ................................... 36
Lampiran 3. Sebaran karakter populasi 300 Gy M3 Pearl millet .....................................37
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemuliaan tanaman adalah kegiatan mengubah susunan genetik individu
maupun populasi tanaman untuk suatu tujuan sehingga diperoleh sifat tanaman
yang lebih baik. Perubahan susunan genetik individu maupun populasi tanaman
dapat dilakukan antara lain dengan mutasi genetik. Pemuliaan tanaman secara
mutasi disebut pemuliaan mutasi. Mutasi genetik tanaman dapat diinduksi dengan
menggunakan mutagen seperti radiasi sinar gamma.
Pearl millet (Pennisetum glaucum) adalah tanaman serealia yang penting di
daerah tropis kering di India dan Afrika. Tanaman ini juga luas ditanam di daerah
sedang seperti USA, Australia, Kanada, dan lain-lain sebagai tanaman serelia
berumur pendek (Albokari, 2014). Pearl millet umumnya baru dikenal sebagai
makanan burung di Indonesia, banyak dijual di penjual makanan burung dan
tumbuh liar sebagai gulma (Nurmala, 2003). Namun sebenarnya sudah banyak
produk makanan dan minuman berbasis Pearl millet yang telah diproduksi di
negara lain (Gadaga et al., 2006). Di Amerika, Pearl millet disajikan lebih modern
yaitu dijadikan bahan untuk membuat minuman berenergi yang dikenal sebagai
milo (Nurmala, 2003).
Keistimewaan Pearl millet adalah ketolerannya yang tinggi terhadap
kekeringan, kesuburan tanah yang rendah, dan pH tanah yang rendah. Pearl millet
umumnya diintroduksi dari berbagai negara yang selanjutnya diadaptasikan di
lingkungan agroekosistem tropis sebagai langkah awal penyesuaian lingkungan
tumbuh. Indonesia merupakan negara tropis, sehingga sangat adaptif untuk
pertumbuhan Pearl millet.
Tinggi tanaman Pearl millet dapat mencapai 4 m. Tanaman yang tinggi
menyebabkan alokasi fotosintat lebih banyak ke batang dibandingkan ke biji.
Oleh karena itu, perbaikan sifat-sifat agronomi tanaman Pearl millet seperti
tanaman pendek dengan tinggi di bawah 1 m sehingga menghasilkan produksi biji
yang tinggi atau lebih dari 1000 biji dalam setiap tangkai, dan batang yang
2
berdiameter besar lebih dari 4 mm dapat dilakukan melalui teknik pemuliaan
tanaman.
Keberhasilan program pemuliaan Pearl millet di Indonesia sangat
ditentukan oleh ketersediaan keragaman genetik dan ketepatan dalam menerapkan
metode seleksi. Ketersediaan sumber genetik yang mempunyai keragaman tinggi
sangat dibutuhkan karena semakin tinggi keragaman genetik plasma nutfah,
semakin tinggi peluang untuk menyeleksi dan memperoleh varietas unggul baru
yang mempunyai sifat yang diinginkan. Jika ragam genetik yang membentuk
suatu karakter diketahui, maka heritabilitas dari karakter tersebut dapat diduga
untuk melihat nilai relatif dari seleksi yang dilakukan berdasarkan ekspresi
fenotipik dari karakter-karakter yang berbeda (Safavi, Safavi, & Safavi, 2011).
Oleh karena itu, variasi genetik akan membantu dalam mengefisiensikan kegiatan
seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi besar, ini menunjukkan
individu dalam populasi beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotipe
yang diharapkan akan besar (Nur, Human, & Trikosoemaningtyas, 2014).
Ketepatan menggunakan metode seleksi merupakan faktor yang akan
membantu keberhasilan dalam memperoleh varietas-varietas unggul yang
diinginkan. Namun, karena penelitian ini masih pada generasi M3 atau generasi
awal dimana generasi ini masih bersegregasi dan umumnya pada keturunan M2
sampai M5 ditanam tanpa mengalami seleksi, maka dibiarkan dalam bentuk
populasi bulk. Pemilihan secara bulk dilakukan pada generasi ke-6 (M6). Pada
pemilihan secara bulk, keturunan M2 sampai M5 ditanam tanpa mengalami
seleksi. Jadi, setiap generasi pertanaman setelah masak dipanen dan dicampur
untuk digunakan sebagai bahan pertanaman generasi berikutnya. dan seleksi
ditunda sampai generasi M5 karena galur homozigot umumnya sudah dapat
diperoleh pada generasi tersebut (Asadi, 2013)
Berdasarkan hasil dari penelitian sebelumnya telah diperoleh tanaman Pearl
millet pada generasi M2 koleksi PAIR-BATAN yang berpotensi untuk dijadikan
materi sebagai generasi M3. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
keragaman genetik mutan tanaman Pearl millet pada populasi M3 untuk
memperoleh informasi kriteria seleksi pada generasi selanjutnya. Perbaikan sifat
genetik dan agronomi tanaman dapat dilakukan melalui pemuliaan, menganalisis
3
keragaman genetik dan menduga nilai heritabilitas beberapa karakter pada
tanaman Pearl millet.
1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang diteliti pada penelitian ini diantaranya adalah :
1. Apakah terdapat keragaman genetik pada karakter tinggi tanaman,
diameter batang, jumlah ruas, berat malai, diameter malai, panjang malai,
bobot biji, dan bobot 1000 biji pada tanaman Pearl millet (Pennisetum
glaucum) generasi M3?
2. Bagaimana pengaruh faktor genetik terhadap fenotipe pada delapan
karakter tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum) generasi M3?
1.3. Hipotesis
Hipotesis atau jawaban sementara terhadap permasalahan yang diteliti
diantaranya adalah :
1. Terdapat keragaman genetik pada karakter tinggi tanaman, diameter
batang, jumlah ruas, berat malai, diameter malai, panjang malai, bobot biji,
dan bobot 1000 biji pada tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum)
generasi M3.
2. Faktor genetik berpengaruh terhadap fenotipe pada delapan karakter
tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum) generasi M3.
1.4. Tujuan
Tujuan atau target yang hendak dicapai pada penelitian ini diantaranya
adalah :
1. Mengetahui keragaman genetik pada karakter tinggi tanaman, diameter
batang, jumlah ruas, berat malai, diameter malai, panjang malai, bobot biji,
dan bobot 1000 biji pada tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum)
generasi M3.
2. Menduga nilai heritabilitas delapan karakter tanaman Pearl millet
(Pennisetum glaucum) generasi M3.
4
1.5. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam melakukan kegiatan
seleksi pada karakter-karakter yang memiliki keragaman genetik dan heritabilitas
yang tinggi pada generasi selanjutnya sehingga perbaikan karakter-karakter pada
tanaman Pearl millet dapat berhasil dengan baik.
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir pada penelitian pendugaan keragaman genetik tanaman
Pearl millet (Pennisetum glaucum) pada generasi M3 adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian keragaman genetik tanaman Pearl millet
(Pennisetum glaucum) pada generasi M3
Heritabilitas
Keragaman genetik yang tinggi pada generasi M3
Karakter pada tanaman Pearl
millet yang memiliki nilai
heritabilitas tinggi
Seleksi pada
generasi selanjutnya
lebih efektif
Pemuliaan tanaman
Tanaman Pearl millet mudah rebah dan produktivitas biji rendah
Perbaikan karakter tanaman Pearl millet
Mutasi
Iradiasi dengan sinar
gamma (100, 200, 300 Gy)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan kuantitatif genetik merupakan hal yang umum dipakai dalam
pemuliaan tanaman. Nilai heritabilitas dapat digunakan sebagai nilai duga
fenotipe, apakah sifat yang ditampilkan disebabkan oleh faktor lingkungan atau
faktor dari keragaman genetik (Febrianto, 2015). Dalam keadaan demikian maka
keragaman fenotipe ditentukan oleh tiga faktor yaitu keragaman genotipe,
lingkungan dan interaksi lingkungan dan genotipe (Kodyni, 2012). Oleh karena
itu dalam mempelajari perbandingan keragaman genetik dalam beberapa seri
seleksi sering menemui kesulitan karena adanya interaksi genotipe dengan
lingkungan (Mangi, 2010).
Teknologi pemuliaan konvensional telah terbukti berhasil meningkatkan
keragaman genetik, namun pemuliaan konvensional memiliki keterbatasan,
terutama dalam hal waktu yang diperlukan untuk mengintrogresikan gen-gen yang
diinginkan. Teknologi maju diperlukan untuk mengatasi keterbatasan penerapan
teknik pemuliaan konvensional dan mempercepat pencapaian tujuan akhir suatu
program pemuliaan. Untuk itu, salah satu metode yang dapat digunakan dalam
perbaikan dan peningkatan keragaman genetik adalah teknologi iradiasi dengan
menggunakan sinar gamma. Melalui teknik penyinaran (radiasi) dapat
menghasilkan mutan atau tanaman yang mengalami mutasi dengan sifat–sifat
yang diharapkan setelah melalui serangkaian pengujian, seleksi dan sertifikasi
(Martono, 2009). Sifat-sifat yang diharapkan pada penelitian ini yaitu tanaman
Pearl millet yang pendek, produksi biji yang tinggi, dan batang yang besar.
2.1. Tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum)
Di India, Pearl millet merupakan sereal keempat terpenting setelah beras,
terigu, dan sorgum. Pearl millet juga menduduki ranking keenam sereal terpenting
di dunia setelah terigu, beras, jagung, barley, dan sorgum. Pearl millet berasal dari
daerah Sahel, Afrika Barat. Dari wilayah Sahel menyebar ke Sudan lalu ke
6
Senegal (Romadhoni, 2012). Pearl millet beradaptasi sangat baik pada wilayah
tropis, dan tetap dapat beradaptasi dengan baik pada wilayah bertemperatur panas.
Pearl millet mengandung asam lemak tak jenuh sebesar 75% dari total
lemak dan serat sebesar 2% (Lestienne et al., 2007). Menurut Nurmala (2003),
kadar abu Pearl millet 3.86% dan kadar seratnya 5.65%. Protein kasar yang
dikandung pearl millet berjumlah 7.29% (Yanuwar, 2009).
Sejauh ini, beberapa penelitian tentang Pearl millet telah dilakukan di
Indonesia. Salah satunya, penelitian yang telah dilakukan Yanuwar (2009) berupa
perbandingan antara Pearl millet, ketan hitam, dan sorgum yang menunjukkan
kandungan proksimat kadar abu, protein dan lemak Pearl millet lebih tinggi
dibandingkan sorgum dan ketan hitam. Manfaat kesehatan dari mengkonsumsi
pearl millet dilaporkan oleh Rooney et al. (1992) yang menyatakan bahwa dedak
pearl millet memiliki kemampuan menurunkan kadar kolesterol lebih baik
dibanding jagung dan gandum
Penelitian tentang potensi biologis Pearl millet sebagai pangan di Indonesia
telah dilakukan Puspawati (2009) dengan tikus percobaan melalui aktivitas
proliferasi sel limfosit limfa dan kapasitas antioksidan hati melalui aktivitas
antioksidan, malondialdehida dan aktivitas enzim antioksidan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsumsi 50% dan 100% Pearl millet sebagai sumber
karbohidrat tidak memberikan efek negatif pada kesehatan dilihat dari grafik
pertumbuhan yang meningkat, berat organ seperti hati dan ginjal yang tidak
mengalami perubahan dari berat normal.
Pearl millet merupakan tanaman gandum tahunan, yang dapat mencapai
tinggi 3 meter. Batang kecil dengan lebar 1-3 meter. Daunnya menyilang,
menyerupai pisau, dan bergerigi. Panjang daun dapat mencapai 1,5 m dengan
lebarnya 8 m. Bentuk bunga dari tanaman ini adalah malai yang panjangnya
berkisar antara 12-30 cm. Buah nya berbentuk seperti butiran yang bentuknya
berbeda tergantung kepada kultivarnya. Tanaman ini merupakan tanaman C4
dalam proses fiksasi karbonnya (Sofiari, 2009). Biji Pearl millet berbentuk bulat,
berwarna putih kekuningan, dan kulit biji berwarna cokelat kemerahan. Tanaman
dan Pearl millet dapat dilihat pada gambar 2.
7
Gambar 2. Tanaman Pearl millet (Pennisetum glaucum)
Pearl millet dapat tumbuh subur dimana jika dibandingkan tanaman serelia
C4 lainnya seperti sorghum dan jagung, tidak bisa tumbuh sebaik Pearl millet
karena kekeringan atau karena suhu panasnya. Pearl millet dapat ditemukan di
daerah yang curah hujan tahunan nya berkisar antara 125-900 mm. Suhu ideal
untuk pertumbuhan tanaman ini berkisar antara 21ºC-35ºC. Pearl millet juga
toleran terhadap tanah berpasir yang asam dan dapat tumbuh pada kondisi tanah
yang salin (FAO, 2009). Kondisi pertumbuhan Pearl millet membutuhkan waktu
penanaman antara 60-70 hari.
Jumlah Pearl millet dilaporkan mencapai setengah jumlah total produksi
millet dunia (ICRISAT/FAO, 1996). Produksi millet dunia berkisar 1.5% dari
total panen serealia dunia (Sujiprihati, 2012). Menurut FAO (2007), produksi
Pearl millet berkisar 33.6-37.3 juta ton pada tahun 2001 hingga tahun 2005. Area
yang dapat ditanami Pearl millet sangat luas yaitu daerah tropis di Amerika,
Afrika, dan Asia Selatan. Diperkirakan 20% lahan kering belum dieksploitasi di
Afrika dan Amerika Selatan. Di Indonesia, penanaman Pearl millet masih bersifat
tumpang sari di daerah Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat
sehingga produksinya masih rendah (Suherman et al., 2003). Sampai tahun 2006,
Balai Penelitian Tanaman Serealia Indonesia telah memiliki koleksi plasma nutfah
millet sebanyak 57. (http://balitsereal.litbang.deptan.go.id, 20 Maret 2019).
Malai
Batang
8
Gambar 3. Struktur biji Pearl millet (Taylor & Emmambux, 2004)
Struktur dari biji Pearl millet dapat dilihat pada Gambar 3. Bagian utama
biji (kernel) Pearl millet adalah perikarp, endosperma, dan embrio. Pearl millet
terdiri dari perikarp 8.4%, endosperma 75%, dan embrio 16.5%. Sedangkan jika
dibandingkan dengan sorgum, distribusi bagian kernel yaitu perikarp 6%,
endosperma 84%, dan embrio 10% (Serna Saldivar & Rooney, 1995).
2.2. Pemuliaan Mutasi
Koleksi plasma nutfah merupakan sumber kekayaan keragaman genetik bagi
kegiatan pemuliaan tanaman. Koleksi plasma nutfah merupakan hasil eksplorasi
dari tempat dimana terdapat keragaman genetik yang tinggi, yaitu dari tempat asal
berkembangnya spesies tanaman itu (center of origin) atau dari tempat dimana
tanaman itu secara intensif dibudidayakan sejak lama (center of diversity). Koleksi
plasma nutfah bertujuan untuk mempelajari tingkat keragaman yang ada dan
untuk tujuan konservasi/penyelamatan keragaman genetik (Syukur, 2012).
Keragaman genetik suatu spesies tanaman dapat menurun karena usaha
manusia untuk menanam atau memperluas jenis-jenis unggul baru. Dengan
demikian, jenis-jenis lokal yang amat beragam akan terdesak, bahkan dapat
lenyap. Keadaan ini dapat menimbulkan bahaya yang cukup serius karena
mengurangi ragam genotipe yang penting artinya bagi pemuliaan (Albokari,
2014).
Pemuliaan tanaman adalah kegiatan mengubah susunan genetik individu
maupun populasi tanaman untuk suatu tujuan sehingga diperoleh tanaman yang
9
memiliki sifat lebih baik. Mengubah susunan genetik individu maupun populasi
tanaman dapat dilakukan dengan mutasi genetik. Mutasi genetik tanaman dapat
diinduksi dengan menggunakan mutagen seperti radiasi sinar gamma. Bagian
tanaman yang diradiasi biasanya adalah benih yang akan ditumbuhkan atau bagian
tanaman lainnya yang dapat ditumbuhkan. Pemuliaan tanaman secara mutasi
disebut pemuliaan mutasi. Pemuliaan mutasi mempunyai karakter spesifik yaitu
sangat efektif untuk merubah sedikit sifat dalam perbaikan varietas tanaman
(Sobrizal, 2016).
Pemuliaan mutasi sangat efektif untuk merubah sedikit sifat tertentu tanpa
merubah sifat lain yang sudah disukai sehingga waktu yang diperlukan pada
program pemuliaan tanaman secara mutasi relatif lebih singkat. Selain itu,
pemuliaan mutasi juga efektif untuk memperbaiki tanaman tahunan yang
memerlukan waktu sangat lama untuk dapat disilangkan karena menunggu
datangnya fase generatif (Martono, 2004). Akan tetapi, pemuliaan mutasi juga
mempunyai kelemahan yaitu terjadinya mutasi pada genom tanaman bersifat
random, sehingga pemuliaan mutasi itu sering dianggap seperti menembak dalam
gelap. Oleh karena itu, materi induk yang dipilih harus tepat dan sesuai tujuan,
menggunakan dosis radiasi yang tepat, selanjutnya menentukan satu atau dua
karakter yang akan diperbaiki sebagai target utama. Pada program pemuliaan
tanaman, mutan yang diperoleh dapat saja langsung digunakan sebagai varietas
atau perlu disilangkan terlebih dahulu sebelum menjadi varietas, baik persilangan
balik dengan varietas/galur asal, persilangan sesama mutan, atau persilangan
mutan dengan varietas/galur lainnya (Aryana, 2010).
2.3. Mutagenesis dengan sinar gamma
Induksi mutasi dapat dilakukan pada tanaman dengan perlakuan bahan
mutagen tertentu terhadap organ reproduksi tanaman seperti biji, stek batang,
serbuk sari, akar rhizoma, dan kalus. Mutagen yang sering digunakan yaitu
mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutagen fisik yang telah digunakan secara luas
adalah sinar X dan sinar gamma. Kedua mutagen fisik tersebut memiliki
kemampuan penetrasi yang baik dan bersifat sebagai radiasi ion. Induksi mutasi
menggunakan sinar X dan sinar gamma paling banyak digunakan untuk
10
mengembangkan varietas mutan. Hal ini terbukti dalam kurun waktu 70 tahun
terakhir, telah dihasilkan 2.250 varietas mutan di seluruh dunia. Sekitar 89% dari
1.585 varietas yang dilepas sejak tahun 1985 merupakan hasil induksi mutasi
secara langsung, 64% di antaranya dikembangkan dengan menggunakan sinar
gamma dan hanya 22% dengan sinar X (Yunita, 2009).
Pemuliaan mutasi tanaman mengandalkan penggunaan radioisotope untuk
memperoleh keragaman genetik (Wen & Qu, 1996). Secara konvensional
keragaman genetik diperoleh melalui persilangan dari koleksi plasma nutfah yang
ada, kemudian dilakukan seleksi mulai pada generasi F2 untuk mendapatkan sifat-
sifat yang diinginkan.
2.4. Keragaman Genetik dan Koefisien Keragaman Genetik (KKG)
Keragaman genetik merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan usaha pemuliaan tanaman. Dengan adanya keragaman
genetik dalam suatu populasi berarti terdapat variasi nilai genotipe antar individu
dalam populasi tersebut (Sofiari & Kirana, 2009). Sujiprihati et al. (2003)
menyatakan bahwa keanekaragaman populasi tanaman memiliki arti penting
dalam pemuliaan tanaman. Syukur et al. (2012) menyatakan langkah awal bagi
setiap program pemuliaan tanaman adalah koleksi berbagai genotipe yang
kemudian dapat digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan genotipe yang
diinginkan atas dasar pemuliaan tanaman.
Keragaman genetik adalah suatu besaran yang mengukur variasi penampilan
yang disebabkan oleh komponen-komponen genetik. Penampilan suatu tanaman
dengan tanaman lainnya pada dasarnya akan berbeda dalam beberapa hal. Dalam
suatu sistem biologis, keragaman (variabilitas) suatu penampilan tanaman dalam
populasi dapat disebabkan oleh variabilitas genetik penyusun populasi,
variabilitas lingkungan, dan variabilitas interaksi genotipe x lingkungan
(Rachmadi, 2000). Keragaman genetik berasal dari mutasi gen, rekombinasi
(pindah silang), pemisahan dan pengelompokan alel secara rambang (random)
selama meiosis, dan perubahan struktur kromosom. Keragaman ini menyebabkan
perubahan-perubahan dalam jumlah bahan genetik yang menyebabkan perubahan-
perubahan fenotipe (Crowder, 1997).
11
Penampilan fenotipe suatu tanaman merupakan interaksi antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Keragaman fenotipe yang tampak dihasilkan oleh
perbedaan genotipe dan atau lingkungan tumbuhnya. Keragaman fenotipe yang
terjadi merupakan akibat adanya keragaman genotipe dan keragaman lingkungan.
Keragaman fenotipe mencerminkan keragaman lingkungan (Murti et al., 2002).
Menurut Rachmadi (2000), dalam suatu sistem biologis keragaman suatu
penampilan tanaman dalam populasi dapat disebabkan oleh keragaman genetik
penyusun populasi, keragaman lingkungan, dan keragaman interaksi genotipe x
lingkungan. Jika variabilitas penampilan suatu karakter tanaman disebabkan oleh
faktor genetik, maka keragaman tersebut dapat diwariskan pada generasi
selanjutnya.
Nilai koefisien keragaman genetik dapat memberi informasi mengenai
keragaman genetik dari suatu tanaman sehingga dapat diketahui tingkat keluasan
dalam pemilihan genotipe harapan. (Surapto & Kairudin, 2007).
2.5. Heritabilitas
Pendekatan kuantitatif genetik merupakan hal yang umum dipakai dalam
pemuliaan tanaman. Nilai heritabilitas dapat digunakan sebagai nilai duga
fenotipe, apakah sifat yang ditampilkan disebabkan oleh faktor lingkungan atau
faktor dari keragaman genetik (Kuckuck et al., 1985). Nilai heritabilitas yang
tinggi atau mendekati angka 1 menunjukkan bahwa faktor genetik sangat berperan
dalam penampilan fenotipe yang diamati dan faktor lingkungan rendah. Karena
nilai fenotipe ditentukan oleh faktor keragaman genetik dan lingkungan. Jika
interaksi genotipe dan lingkungan tidak bisa diabaikan maka akan mengurangi
hubungan antara fenotipe dan genotipe, maka progres seleksi rendah (Xie &
Mosjidis, 1996),
Dalam keadaan demikian maka keragaman fenotipe ditentukan oleh tiga
faktor yaitu keragaman genotipe, lingkungan dan interaksi lingkungan dan
genotipe (Rasamivelona et al., 1995). Oleh karena itu dalam mempelajari
perbandingan keragaman genetik dalam beberapa seri seleksi sering menemui
kesulitan karena adanya interaksi genotipe dengan lingkungan (Bernardo, 1996).
Nilai heritabilitas tinggi dan lebarnya keragaman pada tanaman polinasi terbuka
12
mempunyai harapan yang baik untuk perbaikan melalui "intra population
selection program".
Jika ragam genetik yang membentuk suatu karakter diketahui, maka
heritabilitas dari karakter tersebut dapat diduga. Heritabilitas merupakan penduga
yang penting dari derajat respons suatu populasi terhadap seleksi alami maupun
seleksi buatan. Pendugaan heritabilitas sangat berguna untuk melihat nilai relatif
dari seleksi yang dilakukan berdasarkan ekspresi fenotipik dari karakter-karakter
yang berbeda (Safavi et al., 2011). Falconer dan Mackay (1996) menyatakan
bahwa suatu karakter yang mempunyai nilai duga heritabilitas tinggi menandakan
bahwa penampilan karakter tersebut kurang dipengaruhi oleh lingkungan.
Menurut Rachmadi (2000), pendugaan heritabilitas mencakup dua
pengertian, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Jika suatu genotipe
dipandang sebagai suatu unit dalam hubungannya dengan lingkungan, sehingga
varians genetiknya merupakan varians genetik total, maka pendugaannya
mengacu kepada heritabilitas dalam arti luas (h²bs). Namun jika vairians
genetiknya hanya merupakan pengaruh aditif dari suatu varians genetik, maka
pendugaan heritabilitasnya mengacu kepada pengertian dalam arti sempit (h²ns).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendugaan heritabilitas dalam arti sempit
memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan heritabilitas dalam arti luas.
Menurut Mangoendidjojo (2003), heritabilitas berdasarkan variasi
komponennya dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense
heritability) dan heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability).
Heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara varians genetik total
dan varians fenotipe, sedangkan heritabilitas dalam arti sempit merupakan
perbandingan antara varians aditif dan varians fenotipe.
Heritabilitas merupakan proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipe
yang dinyatakan dalam satuan persen. Heritabilitas dikelompokkan menjadi dua,
yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas
merupakan proporsi ragam genetik total terhadap ragam fenotipe, sedangkan
heritabilitas arti sempit adalah proporsi ragam aditif terhadap ragam fenotipe.
Nilai duga heritabilitas diklasifikasikan menurut Stanfield (1983), yaitu tinggi jika
bs > 50, sedang jika 20 ≤ bs ≤ 50, dan rendah jika bs < 20.
13
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2019 sampai April 2019.
Lokasi penelitian berada di Rumah Kawat (Wire House), Gedung Pertanian,
Kelompok Pemuliaan Tanaman, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga
Nuklir Nasional (PAIR-BATAN) Pasar Jumat, Jakarta Selatan.
3.2. Alat dan Bahan
Bahan atau materi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
benih M2 Pearl millet hasil radiasi sinar gamma koleksi PAIR-BATAN. Bahan
lainnya adalah pupuk kandang organik dan air.
Alat yang digunakan adalah cangkul, tongkat kayu, ember plastik, tali raff
ia, penggaris, jangka sorong digital, meteran, pulpen, plastik, timbangan, alat
perontok biji, kantong kertas, dan spidol
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini masih berbentuk populasi yang dibedakan terhadap dosis
radiasi. Dosis radiasi yang dibedakan terdiri dari 4 dosis (0, 100, 200, 300 Gy). 0
Gy pada penelitian ini berlaku sebagai tetua. Tanaman Pearl millet ditanam pada
petak yang berbeda sesuai dengan populasi atau dosis radiasinya. Pengamatan
dilakukan secara individu. Masing-masing populasi atau dosis radiasi terdiri dari
200 individu tanaman Pearl millet sehingga terdapat 800 tanaman (200 x 4 dosis)
dalam satu percobaan.
3.4. Cara Kerja
3.4.1. Persiapan Benih
Benih M2 tanaman Pearl millet koleksi PAIR-BATAN yang berbiji besar
disiapkan pada masing-masing dosis (M0, M100, M200, M300 Gy) untuk
dievaluasi sifat-sifat agronomis pada generasi M3.
14
3.4.2. Persiapan Lahan
Lahan yang digunakan untuk penanaman tanaman Pearl millet dibersihkan
dari tanaman-tanaman lain dengan mencangkul tanaman lain tersebut sampai ke
akar sehingga lahan bersih dari tanaman lain agar tidak menggangu pertumbuhan
tanaman Pearl millet. Luas lahan yang digunakan adalah 16,60 m x 3,80 m. Lahan
dibuat sebanyak 4 petak yang masing-masingnya berukuran 4,15 m x 3,80 m.
Masing-masing petak terdiri dari 6 baris dan setiap baris terdiri dari 20 lubang
tanam. Jarak antar tanam adalah 15 cm sedangkan jarak antar baris adalah 70 cm.
3.4.3. Pelaksanaan Percobaan
Benih M2 ditanam pada lubang yang telah disiapkan dengan masing-masing
dosis perlakuan (M0, M100, M200, M300 Gy). Penanaman dilakukan dengan
menaburkan lima benih biji M2 Pearl millet pada setiap lubangnya. Pupuk
kandang organik yang telah disiapkan ditaburkan pada benih tersebut. Penyiraman
dilakukan setiap hari selama masa vegetatif dari tanaman Pearl millet yaitu
selama 40 hari. Penjarangan dilakukan dengan mencabut atau memotong tanaman
untuk disisakan sebanyak 2 atau 3 tanaman pada setiap lubangnya. Tiap lubang
tanam yang tidak tumbuh diisi dengan tanaman yang masih satu baris dengan
lubangnya. Langkah ini disebut dengan penyulaman. Penyiangan dilakukan
dengan memacul tanah sehingga membunuh tanaman liar di sekitarnya.
Penyiangan biasanya diikut sertakan dengan pemupukan kedua dan pembubuhan
pada usia tanam yang sama.
3.4.4. Panen dan Pasca Panen
Tanaman Pearl millet dapat dipanen setelah berumur 80 hari dengan cara
memotong pangkal batang. Karakter yang diamati adalah tinggi tanaman, panjang
malai, diameter batang, jumlah ruas batang, berat malai, diameter malai, bobot biji
per malai, dan bobot 1000 biji per malai.
15
3.4.4. Parameter Pengamatan
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan cara menghitung dari leher
akar sampai ujung malai menggunakan meteran dan dinyatakan dalam satuan cm.
Jika malai yang ada pada satu tanaman Pearl millet lebih dari 1, maka dipilih
malai yang paling tinggi. Panjang malai diukur dari leher/pangkal malai sampai
ujung malai menggunakan penggaris. Diameter batang diukur menggunakan
jangka sorong digital. Caranya adalah geser rahang jangka sorong ke kanan
sehingga batang yang diukur dapat masuk diantara kedua rahang (antara rahang
geser dan rahang tetap). Batang lalu digeser rahang ke kiri sedemikian sehingga
batang yang diukur terjepit oleh kedua rahang. Jumlah ruas batang dihitung
dengan melihat ruas batang yang ada pada satu tanaman Pearl millet. Malai yang
telah diambil dari tanaman Pearl millet ditimbang beratnya menggunakan
timbangan. Dalam perhitungan bobot biji per malai atau bobot 1000 biji per malai,
malai perlu dirontokkan terlebih dahulu dengan menggunakan alat perontok biji.
Biji yang telah dirontokkan dimasukkan ke plastik kecil untuk mempermudah
dalam menimbang bobot nya. Pengukuran bobot 1000 biji dilakukan dengan
mengambil 100 biji pada plastik kecil yang berisi keseluruhan bobot biji pada satu
malai lalu dikalikan 10 sehingga didapat bobot 1000 biji dari malai tersebut.
3.4.5. Analisis Data
Data kuantitatif yang dianalisis berupa keragaman genetik dari tanaman
Pearl millet yang berupa ragam fenotipe ( P), ragam lingkungan ( ), dan
ragam genetik ( ) yang dihitung berdasarkan nilai ragam populasi tanaman
Pearl millet. dan Ragam fenotipe ( P), ragam lingkungan ( ), dan ragam
genetik ( ), dihitung berdasarkan rumus, yaitu :
P = + ............................ (1)
................................... (2)
= P - .............................. (3)
16
Keterangan :
P = Ragam fenotipe
Ragam genetik
= Ragam lingkungan
= Ragam Pearl millet populasi 0 Gy
Pendugaan nilai heritabilitas arti luas ( ) dilakukan dengan rumus berikut :
=
x 100 ............................... (4)
Nilai duga heritabilitas diklasifikasikan menurut Stanfield (1983), yaitu
tinggi jika bs > 50, sedang jika 20 ≤ bs ≤ 50, dan rendah jika bs < 20
Koefisien keragaman genetik (KKG) dihitung berdasarkan rumus Singh
dan Chaudhary (1979), yaitu:
KKG √
x 100% .......................... (5)
Keterangan :
= ragam genetik
= rata – rata populasi.
Kriteria KKG berdasarkan Alnopri (2004), yaitu rendah (0–10%), sedang
(12–20%) dan tinggi (> 20%).
17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keragaan Karakter Agronomi Pearl millet Generasi M3
Simpangan baku adalah salah satu teknik statistik yang lazim digunakan
untuk menjelaskan homogenitas kelompok. Simpangan baku merupakan nilai
statistik yang biasa digunakan untuk menentukan bagaimana sebaran data dalam
sampel, serta seberapa dekat titik data individu ke mean atau rata-rata nilai
sampel. Nilai tengah dan simpangan baku masing-masing karakter pada tetua dan
M3 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai tengah dan simpangan baku karakter hasil pada tetua dan Pearl
millet generasi M3
Karakter
Nilai tengah
dan simpangan
baku tetua
Nilai tengah dan simpangan baku
generasi M3
100 Gy 200 Gy 300 Gy
Tinggi Tanaman (cm) 185±32,5 175,5±37,5 153±36,5 185±37,7
Jumlah Ruas 8±0,8 7±1,5 6±1,45 8±1,3
Diameter Batang (cm) 1,42±0,49 1,95±1,16 1,68±1,13 2,36±,11
Panjang Malai (cm) 27±6,2 23 ±6,3 24±7,8 29±6,4
Berat Malai (g) 22,9±10,1 16,5±10,8 11,7±10,2 21,8±11,6
Diameter Malai (cm) 2,25±0,42 2,04±1,09 2,07±1,03 2,63±1,01
Bobot 1000 Biji (g) 9,5±2,4 7,7±2,4 7,8±2,4 10,1±2,5
Bobot Biji (g) 13,7±8,2 9,7±8,4 11,6±9,2 16,1±9,5
Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa setiap karakter pada populasi 100
Gy, 200 Gy, dan 300 Gy masih memiliki keragaman genetik yang tinggi dilihat
dari nilai tengah serta simpangan bakunya. Karakter jumlah ruas pada populasi
300 Gy yang memiliki nilai rata-rata tertinggi jika dibandingkan dengan populasi
100 Gy dan 200 Gy (8). Sedangkan nilai rata-rata terendah terdapat pada populasi
200 Gy (6). Jika dilihat dari nilai rata-rata serta simpangan baku, ketiga populasi
dikatakan masih beragam namun, populasi 300 Gy merupakan populasi yang
memiliki nilai simpangan baku paling kecil dibandingkan dengan populasi 100 Gy
dan 200 Gy meskipun nilai simpangan baku pada populasi 300 Gy masih lebih
besar jika dibandingkan dengan nilai simpangan baku pada tetua. Hasil yang sama
18
terdapat pada karakter lainnya yaitu karakter tinggi tanaman, bobot biji, diameter
batang, diameter malai, bobot 1000 biji, panjang malai,dan berat malai.
Keragaman yang terjadi pada populasi 100 Gy, 200 Gy, dan 300 Gy
diakibatkan oleh pengaruh radiasi sinar gamma. Dengan terjadinya keragaman
maka dapat dilakukan seleksi dan pemilihan galur-galur mutan yang diinginkan,
sesuai dengan tujuan pemuliaan (Arwin, 2012). Hal ini biasa terjadi dalam
pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi, dimana pada generasi M3 tanaman
belum homogen dan perlu pemurnian pada generasi lebih lanjut.
Menurut Sherif et al. (2011), sinar gamma merupakan iradiasi
elektromagnetik yang dihasilkan dari fisi nuklir. Radiasi dengan dosis tinggi dapat
menyebabkan kematian pada tanaman, namun pada dosis radiasi yang rendah dan
tepat dapat menginduksi keragaman seperti morfologi malai yang berubah,
meningkatkan ukuran organ tanaman, produksi dan mutu. Namun demikian,
pemberian dosis yang terlalu rendah tidak cukup untuk memutasi tanaman karena
frekuensi mutasi yang terlalu rendah hanya menghasilkan sedikit sektor yang
termutasi (Hammed et al., 2008).
Iradiasi menggunakan beberapa dosis (100 Gy, 200 Gy dan 300 Gy) dalam
penelitian ini mengakibatkan mutasi pada karakter-karakter tanaman Pearl millet.
Kemampuan suatu tanaman dalam merespon radiasi berbeda-beda. Seperti yang
kita ketahui bahwa radiasi dapat memberikan pengaruh, positif maupun negatif
terhadap sifat-sifat tanaman. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan tipe
jaringan tanaman dan letak posisi tanaman pada saat diradiasi (Predieri, 2001).
Hasil penelitian yang menunjukkan keragaman genetik yang masih tinggi
pada generasi M3 juga terdapat pada hasil penelitian tanaman sorghum. Hasil
penelitian Amin pada tahun 2014 memperlihatkan bahwa karakter tinggi tanaman
memperlihatkan keragaman genetik luas untuk karakter tinggi tanaman yang
diperoleh pada populasi M3 Kasifbey, M3 Selayar dan M3 Dewata. Untuk
karakter panjang malai, populasi M3 Dewata yang menunjukkan keragaman
genetik tinggi dan populasi M3 Basribey memiliki keragaman genetik luas pada
karakter jumlah floret hampa. Karakter bobot biji/malai memiliki keragaman
genetik luas pada populasi M3 Kasifbey, M3 Selayar dan M3 Dewata.
19
4.2. Karakter Kuantitatif
Tinggi tanaman penting untuk Pearl millet yang akan dipanen bijinya.
Tinggi tanaman berkorelasi positif dengan komponen hasil yaitu bobot biji per
malai (Mutiah, 2013) sehingga semakin tinggi tanaman maka bobot biji per malai
semakin besar. Populasi 300 Gy menghasilkan tanaman yang sama tingginya
dengan tetua diantara yang diamati yaitu 185 cm, sedangkan populasi 200 Gy
menghasilkan tanaman paling rendah yaitu 153 cm (Tabel 1).
Tinggi tanaman sorgum yang ideal dikembangkan di Indonesia adalah yang
memiliki tinggi sekitar 100-140 cm, karena tinggi badan rata-rata penduduk
Indonesia adalah 150-170 cm. Tinggi ideal tanaman sorgh um dapat memudahkan
proses pemanenan dan membuat tanaman tidak mudah rebah. Begitu pula dengan
tanaman Pearl millet. Karena tanaman Pearl millet dengan tanaman sorghum
berada pada famili Poaceae. Selain itu, untuk kebutuhan produksi biji, tinggi
tanaman yang terlalu tinggi tidak diharapkan karena jika tidak ditopang dengan
struktur perakaran yang kokoh maka tanaman akan mudah rebah (Sungkono,
2010) serta sulit dalam pemeliharaan dan pemanenan hasil.
Diameter batang terbesar dihasilkan oleh populasi 300 Gy (2,36 cm) dan
terkecil oleh populasi 200 Gy (1,68 cm) (Tabel 1). Batang merupakan tempat
berlangsungnya fotosintesis dan sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan
sehingga diameter batang yang besar dapat menghasilkan bobot biji yang semakin
besar. Hal ini dibuktikan dengan hasil yang ada pada Tabel 1 bahwa bobot biji
terbesar dihasilkan oleh populasi 300 Gy (16,1 g) dan bobot biji terkecil oleh
populasi 100 Gy (9,7 g)
Sungkono (2010) menyatakan bahwa ada korelasi positif antara tinggi
tanaman dan diameter batang tanaman sorgum. Begitu pula pada tanaman Pearl
millet. Hal ini dapat dibuktikan pada hasil yang terdapat pada Tabel 1 bahwa
populasi yang tergolong memiliki tanaman berukuran tinggi (>180 cm) adalah
populasi 300 Gy, begitu juga dengan diameter batang nya yang memiliki hasil
terbesar (2,36 cm). Populasi yang tergolong memiliki tanaman berukuran pendek
(<180 cm) adalah populasi 100 Gy dan populasi 200 Gy. Maka dari itu, diameter
batang pada kedua populasi tersebut tidak sebesar diameter batang pada populasi
300 Gy (1,95 dan 1,68 cm).
20
Populasi 300 Gy menghasilkan tanaman dengan malai terpanjang sebesar 29
cm, sedangkan Populasi 100 Gy menghasilkan tanaman dengan malai tependek
sebesar 23 cm (Tabel 1). Populasi 300 Gy menghasilkan tanaman dengan
diameter malai terbesar sebesar 2,63 cm, sedangkan populasi 100 Gy
menghasilkan tanaman dengan diameter malai terkecil yaitu 2,04 cm (Tabel 1).
Populasi 300 Gy menghasilkan tanaman dengan berat malai total per tanaman
terbesar yaitu 21,8 g, sedangkan populasi 200 Gy menghasilkan tanaman dengan
berat malai total pertanaman terkecil sebesar 11,7 gram (Tabel 1). Bobot malai
yang besar menghasilkan bobot biji per tanaman yang tinggi. Populasi 300 Gy
menghasilkan tanaman dengan bobot biji per tanaman paling besar sebesar 16,1 g,
sedangkan populasi 100 Gy menghasilkan tanaman dengan bobot biji per tanaman
paling kecil sebesar 9,7 g (Tabel 1).
Karakter bobot biji dan bobot 1000 biji menunjukkan bahwa jumlah biji per
tanaman yang diberikan iradiasi sinar gamma menunjukkan hasil yang positif
pada populasi 300 Gy dimana ada beberapa tanaman yang mengalami
peningkatan produksi. Rataan tertinggi terdapat pada dosis iradiasi 300 Gy (16,1
& 10,1). Sedangkan pada populasi 100 Gy dan 200 Gy menunjukkan hal yang
negatif dimana ada beberapa tanaman yang mengalami penurunan produksi
sehingga memiliki rataan yang menurun jika dibandingkan dengan tetua.
Penggunaan energi seperti sinar gamma pada tanaman akan memberikan pengaruh
yang baik di bidang pertanian, dengan perlakuan dosis radiasi sinar gamma
dengan dosis yang tepat diperoleh tanaman yang mempunyai sifat-sifat yang
seperti hasil tinggi, umur pendek, tahan terhadap penyakit. Dapat disimpulkan
bahwa dosis 300 Gy merupakan dosis yang tepat untuk tanaman Pearl millet
dalam memperoleh tanaman yang mempunyai hasil yang tinggi.
Karakter tanaman yang diinginkan adalah tanaman yang pendek, yang akan
menghasilkan malai besar. Karakter bobot malai yang diinginkan adalah bobot
malai yang besar, sehingga seleksi ditujukan pada diameter batang yang besar dan
diameter malai besar, karena karakter-karakter tersebut berkorelasi positif dengan
bobot malai. Karakter tinggi tanaman tidak memiliki korelasi dengan bobot malai,
sehingga mutasi masih memungkinkan untuk mendapatkan tanaman dengan
diameter batang besar, bobot malai besar, namun tanaman pendek. Karakter
21
diameter batang dapat digunakan sebagai karakter seleksi untuk mendapatkan
tanaman dengan bobot malai yang besar.
Keragaan malai Pearl millet generasi M3 terdapat pada Gambar 4. Malai
merupakan bagian utama dari tanaman Pearl millet yang menghasilkan biji. Oleh
karena itu, malai adalah salah satu komponen utama yang berpengaruh langsung
terhadap hasil. Secara fenotipe bentuk malai dari masing-masing populasi yang
diuji berbeda tergantung pada dosis radiasi. Hal itu disebabkan oleh efek radiasi
sinar gamma yang dapat menyebabkan perubahan genetik di dalam sel somatik
(mutasi somatik). Selain dapat diturunkan, efek radiasi juga dapat menyebabkan
terjadinya perubahan fenotip.
Iradiasi dapat menginduksi perubahan struktur kromosom yaitu terjadi
pematahan kromosom. Iradiasi sinar gamma sering digunakan dalam usaha
pemuliaan tanaman karena dapat meningkatkan variabilitas, sehingga dapat
menghasilkan mutan. Mutasi yang terjadi ke arah sifat positif dan terwariskan ke
generasi berikutnya merupakan mutasi yang dikehendaki oleh pemulia. Mutasi
fenotipe menjadi perhatian pemulia tanaman karena mutasi menunjukkan karakter
tanaman yang dapat memiliki nilai ekonomi. Pemuliaan tanaman merupakan suatu
proses seleksi berdasarkan fenotipe.
Panjang malai dari galur-galur yang diuji pun memiliki variasi dari pendek,
sedang, hingga panjang (Gambar 4). Panjang malai dari populasi yang diuji
memiliki hasil yang lebih baik pada populasi 300 Gy dibandingkan dengan
panjang malai tetua (Tabel 1). Tanaman Pearl millet yang memiliki panjang malai
terpanjang yaitu pada populasi 300 Gy diharapkan mampu menghasilkan biji lebih
banyak sehingga akan mempengaruhi potensi hasil tanaman.
Respon setiap individu terhadap adanya cekaman iradiasi sinar gamma
berbeda-beda. Seperti perubahan yang terjadi pada morfologi daun pisang raja
bulu merupakan respon terhadap gangguan fisologis karena adanya kerusakan
pada kromosom daun sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Royani
(2012) dalam penelitiannya menemukan bahwa induksi mutasi fisik sinar gamma
memberikan pengaruh perubahan karakter morfologi pada daun sambiloto
terutama pada bagian daun. Penelitian yang sama juga dilaporkan Hasbullah et al.,
22
b
c
(2012) bahwa iradiasi sinar gamma mempengaruhi perubahan pada warna kalus
pada tanaman hias Gerbera jamesonii.
Selain efek radiasi, perubahan pada salah satu karakter morfologis ini saat
pertumbuhan tanaman nya dapat terjadi apabila ada cekaman lingkungan.
Pengaruh cekaman lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman sangat ditentukan
oleh besarnya tingkatan cekaman yang dialami tanaman tersebut.
Gambar 4. Keragaan malai Pearl millet generasi M3. a. Populasi 100 Gy; b.
Populasi 200 Gy; c. Populasi 300 Gy.
a
23
4.3. Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter
Agronomi Pearl millet
Salah satu komponen penting dalam program pemuliaan tanaman adalah
keragaman genetik. Keragaman genetik yang tinggi untuk beberapa karakter pada
populasi ini disebabkan latar belakang genetik populasi yang berbeda. Nilai duga
ragam genetik digunakan untuk mengevaluasi sejumlah populasi koleksi yang
ditanam memiliki keragaman yang tinggi atau rendah. Pendugaan parameter
genetik untuk sifat-sifat yang diinginkan akan memberikan informasi tentang
kondisi genetik dari sifat-sifat tersebut, sehingga sangat berguna dalam
menentukan arah, metode dan target-target tertentu yang ingin dicapai melalui
program pemuliaan tanaman. Tanpa informasi tentang nilai duga parameter
genetik sifat-sifat yang ingin diperbaiki, maka pekerjaan pemuliaan tanaman lebih
lanjut menjadi tidak efektif dan efisien.
Nilai ragam yang diduga dari analisis ragam dapat dipartisi menjadi ragam
fenotipe, ragam lingkungan dan ragam genotipe sehingga dapat diperoleh
informasi tentang besarnya peran ragam genetik terhadap total keragaman yang
diamati. Keragaman genetik dari galur tersebut diperoleh dari induksi mutasi
dengan meradiasi benih Pearl millet dengan sinar gamma yang bersumber dari
60Co. Berdasarkan hasil penelitian Hoeman (2007) pembentukan galur mutan ini
bertujuan untuk memperbaiki karakter agronomi dan kualitas hasil sorgum
sehingga sesuai dengan kondisi agroekologi yang diinginkan.
Keragaman genetik suatu populasi bergantung pada apakah populasi
tersebut masih menjadi bagian dari populasi bersegregasi, tingkat generasi ke
berapa, dan bagaimana latar belakang populasinya (Pinaria et al., 1995). Populasi
yang digunakan dalam penelitian ini berada pada generasi ketiga sehingga pada
populasi ini masih memiliki keragaman yang cukup besar.
Penelitian ini mengunakan ragam tetua sebagai ragam lingkungan karena
masing-masing individu tanaman pada tetua memiliki kesamaan secara genetik
sehingga variasi fenotipe yang muncul bukan disebabkan oleh variasi genetik
melainkan dipengaruhi oleh lingkungan. Komponen ragam lingkungan dapat
dihitung nilainya dengan menggunakan populasi yang tidak mempunyai ragam
genetik atau populasi dengan ragam genetik rendah seperti galur murni.
24
Hasil pendugaan ragam fenotipe, ragam lingkungan dan ragam genetik
menunjukkan bahwa pengaruh lingkungan masih cukup tinggi terhadap
keragaman populasi genotipe Pearl millet kecuali terhadap karakter jumlah ruas,
diameter batang, dan diameter malai dimana faktor genetik lebih dominan
mengendalikan karakter tersebut yang ditunjukkan oleh nilai heritabilitas arti luas
yang tinggi.
Pendugaan nilai heritabilitas juga penting dilakukan karena heritabilitas
dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan peluang diturunkannya suatu
karakter kepada generasi selanjutnya. Semakin tinggi nilai heritabilitas maka
proporsi ragam genetik semakin besar dibandingkan ragam lingkungannya.
Efektivitas seleksi untuk mendapatkan genotipe unggul ditentukan oleh
keragaman genetik pada suatu populasi dan seberapa besar sifat unggul tersebut
dapat diturunkan pada generasi selanjutnya.
Heritabilitas suatu karakter penting diketahui, terutama untuk menduga
besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman
serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi (Susanto & Adie,
2005). Heritabilitas merupakan parameter genetik untuk memilih sistem seleksi
yang efektif.
Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan tingkat hubungan antara fenotip
dan genotip yang tinggi, dan dalam hal ini faktor genetik mempunyai pengaruh
yang lebih besar daripada faktor lingkungan terhadap penampilan suatu karakter
atau fenotip. Kegiatan pemuliaan untuk perbaikan karakter dapat dilakukan
dengan melakukan seleksi pada karakter-karakter yang mempunyai nilai
heritabilitas tinggi dan juga keragaman genetik yang tinggi. Nilai pendugaan
komponen ragam, koefisien keragaman genetik, dan heritabilitas arti luas dapat
dilihat pada Tabel 2.
25
Tabel 2. Pendugaan Komponen Ragam, Koefisien Keragaman Genetik dan
Heritabilitas Arti Luas Karakter Agronomi Pearl Millet M3
Populasi P KKG (%)
Tinggi Tanaman (cm)
100 Gy 345,1 1419,19 1074,08 24,31 0,16
200 Gy 268,92 1343 1074,08 20,02 1,33
300 Gy 356,44 1430,62 1074,08 24,92 1,37
Jumlah Ruas
100 Gy 1,67 2,39 0,72 69,83 0,46
200 Gy 1,39 2,11 0,72 65,95 0,46
300 Gy 1,21 1,93 0,72 62,61 0,39
Diameter Batang (cm)
100 Gy 1,11 1,36 0,24 81,76 0,66
200 Gy 1,04 1,29 0,24 80.73 0,71
300 Gy 1 1,25 0,24 80.16 0,61
Bobot Biji (g)
100 Gy 12,43 71,52 68,23 4,59 0,51
200 Gy 18,13 86,37 68,23 20,99 1,16
300 Gy 23,19 91,43 68,23 25,37 1,14
Panjang Malai (cm)
100 Gy 1,28 40,57 39,28 3,17 0,23
200 Gy 22,61 61,89 39,28 36,53 0,95
300 Gy 2,82 42,11 39,28 6,71 0,31
Berat Malai (g)
100 Gy 14,3 117,61 103,30 12,16 0,85
200 Gy 2,51 105,82 103,30 2,37 0,39
300 Gy 33,9 137,21 103,30 24,71 1,18
Diameter Malai (cm)
100 Gy 1,02 1,2 0,18 84,98 0,67
200 Gy 0,9 1,08 0,18 83.37 0,55
300 Gy 0,85 1,03 0,18 82.58 0,54
Bobot 1000 Biji (g)
100 Gy 0,05 5,94 5,88 0,99 0,08
200 Gy 0,15 6,04 5,88 2,52 0,13
300 Gy 0,78 6,67 5,88 11,76 0,27
Keterangan : (ragam genetik); (ragam fenotip); (ragam lingkungan);
(heritabilitas arti luas); KKG (Koefisien Keragaman Genetik)
26
Nilai heritabilitas arti luas populasi 100 Gy menunjukkan karakter jumlah
ruas, diameter malai, dan diameter batang memiliki memiliki nilai heritabilitas arti
luas yang tinggi. Heritabilitas arti luas sedang pada karakter tinggi tanaman, dan
bobot biji serta heritabilitas arti luas rendah pada berat malai, bobot 1000 biji,
serta panjang malai.
Nilai heritabilitas arti luas populasi 200 Gy menunjukkan karakter jumlah
ruas, diameter malai, dan diameter batang memiliki memiliki nilai heritabilitas arti
luas yang tinggi. Heritabilitas arti luas sedang pada karakter tinggi tanaman,
panjang malai, dan bobot biji serta heritabilitas arti luas rendah pada bobot 1000
biji dan berat malai.
Nilai heritabilitas arti luas populasi 300 Gy menunjukkan nilai heritabilitas
arti luas tinggi pada karakter jumlah ruas, diameter malai, dan diameter batang.
Heritabilitas arti luas sedang pada karakter tinggi tanaman, berat malai, dan bobot
biji serta heritabilitas arti luas rendah pada panjang malai dan bobot 1000 biji.
Kriteria heritabilitas arti luas terbagi menjadi tiga yaitu tinggi jika nilai
heritabilitas bs > 50, sedang jika 20 ≤ bs ≤ 50, dan rendah jika bs < 20.
Menurut Mangi et al. (2010) karakter jumlah ruas yang memiliki nilai heritabilitas
tinggi menunjukkan bahwa pengaruh genetik terhadap fenotipe lebih besar,
dibandingkan dengan pengaruh lingkungan. Selain itu, nilai heritabilitas tinggi
juga akan memberikan kestabilan pada karakter yang diturunkan ke generasi
selanjutnya, namun perlu diketahui pula bahwa kenampakan fenotipe dipengaruhi
lingkungan. Sehingga untuk mendapatkan varietas unggul, genotipe yang diuji
juga diharapkan bersifat homogen dalam kenampakannya.
Karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi juga memberikan indikasi
bahwa perbaikan karakter tersebut melalui seleksi sangat dianjurkan. Seleksi
dapat dilakukan tanpa menunggu generasi lanjut. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Lestari (2006), jika nilai duga heritabilitas tinggi maka seleksi dilakukan pada
generasi awal karena karakter dari suatu genotipe mudah diwariskan ke
keturunannya, tetapi sebaliknya jika nilai duga heritabilitas rendah maka seleksi
dilakukan pada generasi lanjut karena sulit diwariskan pada generasi selanjutnya.
27
Nilai heritabilitas yang tinggi dari karakter-karakter yang diamati
mengindikasikan bahwa seleksi dapat diterapkan secara efisien pada karakter
tersebut dan dapat dijadikan sebagai dasar/kriteria seleksi melalui program
pemuliaan tanaman. (Barmawi, 2013). Beberapa penelitian telah menggunakan
komponen nilai heritabilitas sebagai kriteria seleksi pada beberapa komoditi
tanaman, antara lain Wirnas et al. (2006) pada kedelai, Sudarmadji et al. (2007)
pada wijen, Saleem et al. (2008) pada padi, Martono (2009) pada nilam, Sa’diyah
et al. (2009) pada kacang panjang dan Arif et al. (2012) pada cabai.
Stommel dan Griesbach (2008) menjelaskan bahwa nilai duga heritabilitas
suatu karakter dengan kategori sedang menunjukkan bahwa karakter tersebut
dipengaruhi oleh faktor genetik dan sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Sedangkan nilai heritabilitas yang rendah menggambarkan faktor lingkungan
lebih banyak mempengaruhi karakter tersebut. Sugandi et al. (2012)
menambahkan keragaan karakter yang memiliki heritabilitas rendah dipengaruhi
oleh faktor lingkungan, sedangkan karakter dengan heritabilitas tinggi maka
keragaan dari karakter tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik. Karakter yang
memiliki nilai heritabilitas sedang dan rendah seperti tinggi tanaman, bobot biji,
diameter batang, berat malai diameter malai, bobot 1000 biji dan panjang malai
memerlukan pengujian intensif pada generasi selanjutnya jika menginginkan
kestabilan pewarisan sifat tersebut, mengingat karakter-karakter yang memiliki
nilai heritabilitas sedang dan rendah juga berkorelasi terhadap produksi.
Karakter-karakter yang diamati pada penelitian ini merupakan karakter
kuantitatif. Oleh karena itu, hanya satu karakter yang memiliki nilai heritabilitas
arti luas yang tinggi yaitu jumlah ruas pada ketiga populasinya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pupodarsono (1998) yang menyatakan bahwa perbedaan jenis
karakter dapat mempengaruhi besarnya nilai duga heritabilitas dalam arti luas.
Karakter-karakter kualitatif umumnya memiliki nilai duga heritabilitas dalam arti
luas tinggi, sedangkan karakter-karakter kuantitatif umumnya memiliki nilai duga
heritabilitas dalam arti luas rendah.
Tabel 2 menunjukkan bahwa koefisien keragaman genetik setiap karakter
pada ketiga populasi rendah. Kriteria Koefisien Keragaman Genetik (KKG)
berdasarkan Alnopri (2004), adalah sempit jika (0-10%), sedang (12-20%) serta
28
luas (> 20%). KKG digunakan untuk mengukur besarnya keragaman genetik
suatu karakter dan untuk membandingkan keragaman genetik berbagai karakter
pada suatu tanaman. Kriteria luas pada nilai KKG dapat menunjukkan tingkat
keragaman genetik yang luas sehingga proses seleksi dapat dilakukan lebih mudah
dan efisien. Namun, berdasarkan hasil Koefisien Keragaman Genetik (KKG) yang
didapatkan yaitu rendah pada setiap karakter dan pada setiap populasi nya maka
seleksi tidak dapat dilakukan. Menurut Boer (2011) Karakter dengan nilai KKG <
0.10 tidak direkomendasikan sebagai karakter seleksi. Hal ini menunjukkan
bahwa semua karakter pada populasi 0, 100, 200,dan 300 Gy dapat
direkomendasikan sebagai karakter seleksi karena memiliki nilai KKG > 0,10
kecuali pada karakter bobot 1000 biji di populasi 100 Gy yang memiliki nilai
KKG < 0,10 (0, 08).
Rendahnya hasil Koefisien Keragaman Genetik yang didapatkan juga
mengindikasikan bahwa belum terdapat keragaman genetik yang memadai untuk
karakter hasil dan komponen hasil genotipe Pearl millet yang dicobakan.
Karakter-karakter tersebut relatif seragam di antara berbagai genotipe yang
dicobakan. Perbaikan karakter hasil dan komponen hasil melalui seleksi karakter-
karakter tersebut dalam populasi yang sedang ditangani saat ini belum bisa
dilaksanakan.
Rendahnya suatu karakter juga dapat diartikan bahwa karakter tersebut
memiliki keragaman yang sempit. Sempitnya kisaran nilai KKG yang diperoleh
memberi indikasi kekerabatan genotipe-genotipe tersebut sangat dekat. Karakter
yang memiliki nilai koefisien keragaman genetik (KKG) menunjukkan bahwa
kondisi genotipik untuk karakter tersebut tidak berbeda dengan berbedanya
genotipe yang dicobakan. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter tersebut masih
seragam antar genotipe yang ada.
Karakter jumlah ruas pada ketiga populasi menunjukkan heritabilitas yang
tinggi namun nilai KKG nya rendah. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Bahar
dan Zen (1993) bahwa karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi, ragam
genetik tinggi, pada umumnya akan memiliki nilai KKG tinggi untuk masing-
masing karakter.
29
Analisis sebaran pada karakter-karakter generasi M3 Pearl millet digunakan
untuk membandingkan nilai tengah tetua dan nilai tengah populasi turunannya
dengan melihat sebaran data populasi tersebut. Sebaran karakter tinggi tanaman,
diameter batang, jumlah ruas, berat malai, diameter malai, panjang malai, bobot
biji, dan bobot 1000 biji (Lampiran 1-Lampiran 3).
Penelitian ini khususnya pada karakter tinggi tanaman, diharapkan
mendapatkan tanaman Pearl millet yang ukurannya pendek sehingga
memudahkan petani dalam proses pemanenan. Sehingga, nilai karakter tinggi
tanaman ke arah kiri pada pola sebaran data (Lampiran1) diperhatikan untuk tahap
seleksi pada generasi selanjutnya. Nilai yang berada pada sebelah kiri tetua
memiliki nilai yang lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai tetua. Hal ini
diartikan bahwa tinggi tanaman pada populasi 100, 200, dan 300 Gy lebih rendah
jika dibandingkan nilai tetua. Oleh karena itu, seleksi pada karakter tinggi
tanaman dilakukan ke arah kiri.
Karakter-karakter lain seperti karakter diameter batang, jumlah ruas,
panjang malai, diameter malai, berat malai, bobot biji, bobot 1000 biji diharapkan
memiliki hasil yang tinggi atau nilai yang lebih besar jika dibandingkan dengan
nilai tetua karena karakter-karakter tersebut berkaitan erat dengan hasil produksi
biji tanaman Pearl millet pada generasi M3. Penyebaran nilai karakter ke arah
kanan pada karakter-karakter tersebut diperhatikan untuk tahap seleksi pada
generasi selanjutnya. Nilai yang berada pada sebelah kanan tetua memiliki nilai
yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai tetua. Hal ini diartikan bahwa
karakter diameter batang, jumlah ruas, panjang malai, diameter malai, berat malai,
bobot biji, bobot 1000 biji pada populasi 100, 200, dan 300 Gy lebih besar jika
dibandingkan nilai tetua.Oleh karena itu, seleksi pada karakter-karakter tersebut
dilakukan ke arah kanan.
Karakter-karakter kuantitatif seperti karakter yang berhubungan erat dengan
pertumbuhan tanaman dan hasil panen, merupakan karakter-karakter yang sangat
dipengaruhi oleh lingkungan. Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen
dimana pengaruh masing-masing gen terhadap penampilan karakter (fenotipe)
lebih kecil, walaupun gen-gen tersebut secara bersama-sama mempunyai
pengaruh yang lebih besar dari pengaruh lingkungan (Phillips, 2008).
30
Grafik menggambarkan bahwa setiap populasi menyebar normal terjadi
karena dalam mengendalikan keragaman pada populasi M3 pengaruh lingkungan
yang besar mempengaruhi. Penyebaran nilai karakter yang diamati dari genotipe-
genotipe pada populasi M3 menjulur ke kanan maka menghasilkan banyak
segregan-segregan transgesif yang nilainya melebihi atau mengurangi nilai dari
kedua tetua. Hal ini sesuai dengan pendapat Roy (2000) yang mengatakan bahwa
karakter kuantitatif pada tanaman yang penyebarannya menjulur ke kiri atau ke
kanan menunjukkan adanya pengaruh lingkungan, interaksi genotipe dan
lingkungan.
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini antara lain:
1. Keragaman genetik yang didapatkan melalui pendugaan ragam diperoleh
bahwa semua karakter pada populasi 100 Gy, 200 Gy, dan 300 Gy
memiliki nilai heritabilitas dan nilai KKG yang rendah. Namun pada
karakter jumlah ruas, diameter batang, dan diameter malai pada populasi
100 Gy, 200 Gy, dan 300 Gy memiliki nilai heritabilitas yang tinggi
namun nilai KKG nya sempit.
2. Nilai heritabilitas karakter jumlah ruas, diameter batang, dan diameter
malai pada populasi 100, 200, dan 300 Gy memiliki nilai heritabilitas yang
tinggi. Dengan demikian, Fenotipe tanaman Pearl millet pada karakter-
karakter yang memiliki nilai heritabilitas yang tinggi lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan dengan faktor lingkungan.
Hasil sebaliknya, karakter-karakter yang memiliki nilai heritabilitas rendah
menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dibandingkan dengan faktor genetik.
5.2 Saran
Karakter-karakter tanaman Pearl millet pada generasi M3 memiliki nilai
heritabilitas dan KKG yang rendah sehingga seleksi tidak efektif dilakukan pada
generasi M3. Pemurnian pada generasi yang lebih lanjut perlu dilakukan. Namun,
pada populasi 300 Gy sudah mulai terlihat berpotensi untuk diseleksi pada
generasi selanjutnya.
32
DAFTAR PUSTAKA
Albokari, M.M.A. (2014). Induction of mutants in durum wheat (Triticum durum
Desf. Cv Samra) using gamma irradiation. Pak. J. Bot. 317-324.
Alnopri. (2004). Variabilitas genetik dan herItabilitas sifat-sifat pertumbuhan bibit
tujuh genotipe kopi Robusta-Arabika. Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 6:91-
96.
Arif, A.B., Sujiprihati, S., & Syukur, M. (2012). Pendugaan parameter genetik
pada beberapa karakter kuantitatif pada persilangan antara cabai besar
dengan cabai keriting (Capsicum annuum L.). Jurnal Agronomi Indonesia.
40:119-124.
Aryana, I. G. P. M. (2010). Uji keseragaman, heritabilitas, dan kemajuan genetik
galur padi beras merah hasil seleksi silang balik di lingkungan gogo.
Agroekoteknologi. 3(1): 12-19.
Asadi. (2013). Pemuliaan mutasi untuk perbaikan terhadap umur dan
produktivitas pada kedelai. Jurnal Agro Biogen. 135- 142.
Bahar, H., & Zen, S. (1993). Parameter genetik pertumbuhan tanaman, hasil dan
komponen hasil jagung. Zuriat. 4:4-7.
Barmawi, M., Yushardi, A., & Sa’diyah, N. (2013). Daya waris dan harapan
kemajuan seleksi karakter agronomi kedelai generasi F2 hasil persilangan
antara Yellow bean dan taichung. Jurnal Agrotek Tropika, 1(1), 20-24.
Febrianto, E.B., Wahyu, Y., & Wirnas, D. (2015). Keragaan dan keragaman
genetik karakter agronomi galur mutan putatif gandum generasi M5. Jurnal
Agronomi Indonesia, 52-58.
Hoeman, S. (2007). Peluang dan potensi pengembangan sorghum manis. Makalah
pada workshop “Peluang dan Tantangan Sorghum Manis sebagai Bahan
Baku Bioetanol”. Dirjen Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Lestari A.D., Dewi W., Qosim W.A., Rahardja M., Rostini N., Setiamihardja R..
(2006). Variabilitas genetik dan heritabilitas karakter komponen hasil dan
hasil lima belas genotipe cabai merah. Zuriat. 17(1): 94-102.
Mangi, S., Sial, M., Ansari, B., Arain, M., Laghari, A. (2010). Heritability Studies
for Grain Yield and Yield Components in F3 Segregating Generation of
Spring Wheat. Pakistan. Journal Botany. 42(10):1807-1813.
33
Mangoendidjojo, W. (2003). Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius.
Yogyakarta.
Martono, B. (2004). Keragaman Genetik dan Heritabilitas Karakter Ubi
Bengkuang (Pchyrhizus erosus (L.) Urban). Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Aneka Tanaman Industri. Sukabumi.
Martono, B. (2009). Keragaman genetik, heritabilitas dan korelasi antar karakter
kuantitatif nilam (Pogostemon sp.) hasil fusi protoplas. J. Littri 15:9-15.
Nur, A., Human, S., & Trikosoemaningtyas. (2014). Keragaman genetik gandum
populasi mutan M3 di agroekosistem tropis. Jurnal Aplikasi Isotop dan
Radiasi, 10, 1, 35 – 44.
Poespodarsono, S. (1988). Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar
Universitas, IPB, Bogor.
Pinaria, A, Baihaki, A., Setiamihardja, R., & Daradjat, A. (1995). Variabilitas
Genetik dan heritabilitas karakter-karakter biomassa 53 genotipe kedelai.
Zuriat. 6 (2):88-92
Romadhoni, A., Zuhry, A., & Deviona. (2011). Variabilitas Genetik dan
Heritabilitas 20 Genotipe Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) Unggul
Koleksi IPB. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Riau. Riau.
Royani, J.I. (2012). Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap perubahan karakter
morfologi, molekular, senyawa aktif tanaman sambiloto (Andrographis
paniculata) (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sa’diyah, N., Widiastuti, M., & Ardian. (2013). Keragaan, keragaman, dan
heritabilitas karakter agronomi kacang panjang (Vigna unguiculata)
generasi F1 hasil persilangan tiga genotipe. Jurnal Agroteknologi Tropika
1(1): 32-37.
Safavi, AS., Safavi, SM., & Safavi, SA. (2011). Genetic variability of some
morphological traits in sunflower (Helianthus annus L.). J. Sci. Res Vol. 17
:19-24.
Saleem, M.Y., Mirza, J.I., & Haq, M.A. (2008). Heritability, genetic advance, and
heterosis in line x tester crosses of basmati rice. J. Agric. Res 46:15-26.
Singh, R.K., dan Chaudary, B.D. (1977). Biometrical Methods In Quantitative
Genetics Analysis. Kalyani Publishers. Indiana New Delhi. 304p.
Sobrizal. (2016). Potensi pemuliaan mutasi untuk perbaikan varietas padi lokal
Indonesia. Jurnal Ilmilah Aplikasi Isotop dan Radiasi. Vol. 12 (1): 23-35.
34
Sofiari, E. & Kirana, R. (2009). Analisis pola segregasi dan distribusi beberapa
karakter cabai. Jurnal Hortikultura Vol. 19 (3) : 255 – 263.
Stansfield, W. D. (1991). Theory and Problems of Genetics. Toronto: McGraw-
Hill Inc.
Sudarmadji, R. Mardjono, H., & Sudarmono. (2007). Variasi genetik, heritabilitas
dan korelasi genotipik sifat-sifat penting tanaman wijen (Sesamum indicum
L.). J. Littri. 13:88-92.
Sugandi R., Nurhidayah T., & Nurbaiti. (2012). Variabilitas genetik dan
heritabilitas karakter agronomis beberapa varietas dan galur sorgum
(Sorghum bicolor (L.) Moench) (skripsi). Universitas Riau, Riau.
Sujiprihati & Yunianti, R., (2012). Teknik Pemuliaan Tanaman. Edisi Revisi.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Sujiprihati & Ali, E.S. (2003). Heritability, performance and correlation studies
on single cross hybrids of tropical maize. Asian Journal Plant Sci. 2(1):51-
57.
Sungkono. (2010). Seleksi galur mutan sorgum (Sorghum bicolor (L.) untuk
produktivitas biji dan bioetanol tinggi di tanah masam melalui pendekatan
participatory plant breeding (disertasi). Institut Pertanian Bogor, Bogor
Suprapto & Kairudin, N. (2007). Variasi genetik, heritabilitas, tindak gen dan
kemajuan genetik kedelai (Glysine max Merrill) pada Ultisol. Jurnal Ilmu-
ilmu Pertanian Indonesia. 9(2):183-190.
Susanto, G.W.A., & Adie, M.M. (2005). Pendugaan heritabilitas hasil dan
komponen hasil galur-galur kedelai di tiga lingkungan. Proceeding
Simposium PERIPI 5–7 Agustus 2004. hal: 119 – 125.
Syukur, M. (2012). Indeks seleksi pada 11 populasi kedelai generasi F6. Bul.
Agron. 34:19-24.
Yunita Rossa. (2009). Pemanfaatan Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro
dalam Perakitan Tanaman Toleran Cekaman Abiotik. Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Bioteknoogi dan Sumber Daya Pertanian. Bogor.
35
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sebaran karakter populasi 100 Gy M3 Pearl millet
45,037,530,022,515,07,50,0
40
30
20
10
0
Bobot biji (g)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
161412108642
60
50
40
30
20
10
0
Bobot 1000 Biji (g)Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
2421181512963
40
30
20
10
0
Diameter batang (cm)
Fre
qu
en
cy
K (0 Gy)
24021018015012090
25
20
15
10
5
0
Tinggi tanaman (cm)
Fre
qu
en
cy
K (0 Gy)
36
Lampiran 2. Sebaran karakter populasi 200 Gy M3 Pearl millet
141210864
40
30
20
10
0
Bobot 1000 Biji (g)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
240210180150120906030
40
30
20
10
0
Tinggi tanaman (cm)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
50403020100
40
30
20
10
0
Bobot Biji (g)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
161412108642
40
30
20
10
0
Diameter batang (cm)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
36
Lampiran 3. Sebaran karakter populasi 300 Gy M3 Pearl millet
52,545,037,530,022,515,07,50,0
25
20
15
10
5
0
Bobot biji (g)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
18151296
40
30
20
10
0
Diameter batang (cm)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
161412108642
40
30
20
10
0
Bobot 1000 biji (g)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
300270240210180150120
25
20
15
10
5
0
Tinggi tanaman (cm)
Fre
ku
en
si
K (0 Gy)
Top Related