BAB I
PENDAHULUAN
Gigitan ular merupakan penyakit kegawatdaruratan yang terjadi hampir
diseluruh dunia, terutama di area pedesaan. Pekerja agrikultur dan anak paling
sering terkena. Insiden mortalitas gigitan ular tinggi terutama di area Asia
Tenggara. Gigitan ular berbahaya akibat terdapatnya suatu racun yang dikeluarkan
melalui saliva saat menggigit.1 Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi
untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus berperan pada system pertahanan diri
yang dikeluarkan oleh kelenjar ludah parotid pada ular. Bisa ular tidak hanya
terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks terutama
protein yang memiliki aktivitas enzimatik. 2
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia.
Spesies ular dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa
memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas, dimana pada taring tersebut
terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa kedalam tubuh mangsanya baik
secara subkutan maupun intramuscular. 2
Kematian dan luka akibat gigitan ular berbisa terjadi hampir di seluruh
bagian dunia, terutama di bagian dunia yang beriklim tropis. Kasus gigitan ular
yang dilaporkan diperkirakan mencapai 300.000 orang per tahun dengan angka
kematian 50.000 sampai 100.000 orang.2 Di beberapa studi, jumlah kasus gigitan
ular diperkirakan mencapai 5 juta orang pertahun, dengan angka kematian
mencapai 100.000 orang. Kasus gigitan di Asia tenggara biasanya terjadi pada
petani padi, pekerja perkebunan, nelayan, pemelihara ular ataupun pada saat
pengambilan bisa. Namun demikian, kebanyakan korban gigitan ular tidak
mengetahui jenis ular yang menggigit sehingga menimbulkan kesulitan dalam
pengobatan menggunakan serum anti bisa ular.1 Serum anti bisa ular atau disebut
juga antivenin/ antivenom / antivene adalah produk biologis yang digunakan
untuk pengobatan gigitan ular berbisa. Pada setiap kasus sebagai gigitan ular,
harus dipastikan apakah gigitan tersebut disebabkan ular berbisa.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komposisi Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa Ular
Lebih dari 90% bisa ular merupakan protein. Setiap bisa (venom)
mengandung lebih dari 100 jenis protein yang berbeda: berupa enzim
(terbagi atas 80-90% viperid dan 25-70% elapid), non enzymatic
polypeptide toksin, dan protein non toksin seperti nerve growth factor. 1
Enzim venom1
Termasuk hydrolase, hyaluronidase, dan activator atau inaktivator proses
fisiologis seperti kininogenase. Hampir semua venom mengandung l-
amino acid oxidase, fosfomono-diesterase, 5’-nukleotidase, DNAase,
NAD-nuckleosidase, fosfolifase A2, dan peptidse;
Enzim zink metalloproteinase hemoragin: merusak endotel vascular
sehingga menyebabkan perdarahan
Enzim prokoagulan: venom Vipiridae dan beberapa Elapidase dan
Colubridae mengandung serine protease dan enzim prokoagulan lain yang
kerjanya seperti thrombin atau activator faktor X, prothrombin dan faktor
pembekuan. Enzim ini menstimulasi pembekuan darah dengan membentuk
fibrin dalam pembuluh darah. Sebaliknya, proses ini menyebabkan darah
tidak dapat membeku karena hampir semua bekuan fibrin dipecah oleh
system fibrinolitik plasmin tubuh dan kadang dalam 30 menit setelah
gigitan, derajat faktor koagulasi menurun yang menyebabkan darah tidak
dapat membeku. Beberapa venom mengandung toksin yang mengaktivasi
faktor V, X, IX, XIII, fibrinolysis, protein C, agregasi platelet,
antikoagulasi dan perdarahan.
Enzim fosfolipase A2 (lecithinase): merusak mitokondria,
eritrosit,leukosit, platelet, saraf tepi, otot skelet, endotel vascular, dan
membrane lain; memproduksi aktivitas neurotoksik presinaps, efek
sedative seperti opiate, yang menyebabkan pelepasan autofarmakologikal
dari histamine dan antikoagulasi.
2
Asetilkolinesterase: meskipun ditemukan banyak di venom elapid, enzim
ini tidak berkontribusi terhadap neurotoksisitas.
Hyaluronidase: menyebabkan penyebaran venom diseluruh jaringan.
Venom polypeptide toksin (neurotoksin)
– Postsinaptic neurotoksin: alfa-bungarotoxin mengikat reseptor
acetilkolin di motor endplate
– Presiaptik neurotoksin beta-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin yang
melepaskan asetilkoline di neuromuscular junction dan merusak
endplate
B. Jenis-jenis ular berbisa4
Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam
4 familli utama yaitu:
Famili Elapidae misalnya ular cobra, ular weling, ular welang, ular
sendok, ular anang dan ular cabai
Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan
ular bandotan puspo
Familli Hydrophidae, misalnya ular laut
Familli Colubridae, misalnya ular pohon
Ular jenis Crotalidae disebut juga Viperidae atau pit vipers karena
kepala berbentuk triangular, pupil matanya elips, serta terdapat
lubang antara hidung dan mata. (Gambar 2). Lubang tersebut pada
jenis pit viper berfungsi sebagai organ sensoris terhadap panas. Pit
viper mudah dikenal dari taringnya yang cukup panjang, sekitar 3-
4 cm.3 Jenis ular berbisa dari family. Elapidae misalnya coral
snake mempunyai kepala kecil dan bulat, dengan pupil bulat dan
taring lebih kecil sekitar 1-3 mm. Coral snake mudah diidentifikasi
3
karena warnanya terang, misalnya belang hitam dan merah atau kuning.
Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau
tidak dapat dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan
luka bekas gigitan sebagai berikut:
Ciri – ciri ular tidak berbisa:3
Bentuk kepala segi empat panjang
Gigi taring kecil
Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung
4
Ciri – ciri ular berbisa:
Kepala segi tiga
Dua gigi taring besar di rahang atas
Dua luka gigitan utama akibat gigi taring
C. Patofisiologi4
Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah
mata. Racun disimpan dibawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat
bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Bisa ular terdiri
dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah bisa, efek
letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular.
Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.
Secara mikroskop electron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan
protein yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding
pembuluh darah, sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma.
Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang
ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah
sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang terdapat
pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan pelepasan
bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah
serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah
terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi
nekrosis jaringan Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari
membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan
dari jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID. Pada
5
kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen,
gangguan fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas.
D. Epidemiologi1
Insidensi laki-laki lebih sering daripada perempuan, kecuali pekerjaan
yang memang didominasi oleh perempuan (pemetik teh dan kopi). Usia
puncak yaitu pada anak dan dewasa muda yaitu sekitar usia antara 17
tahun,sering kali dalam kondisi mabuk, sedang melakukan aktivitas
berkebun, sedang menangkap bahkan bermain dengan ular. Pada wanita
hamil, snake bite menyebabkan risiko pada ibu dan fetus, terutama
menyebabkan perdarahan dan abortus. Risiko gigitan ular berhubungan
dengan pekerjaan: petani, pekerja perkebunan, pemburu, nelayan, pawang
ular dll. Waktu gigitan biasanya terjadi pada malam hari dan gigitan lebih
sering terjadi pada ekstremitas. Malik dkk pada tahun 1992 melakukan
penelitian terhadap korban gigitan ular, mendapatkan tempat gigitan pada
tungkai atau kaki (83,3%) dan lengan atau tangan (17,7%).
E. MANAJEMEN
Berikut merupakan tahap penanganan gigitan ular:1
o Penanganan pertama (first aid treatment)
o Transportasi ke rumah sakit
o Penilaian klinis yang cepat dan resusitasi
o Melakukan penilaian detail dan special diagnosis
6
o Melakukan pemeriksaan lab
o Memberikan penanganan antivenom
o Mengamati respon antivenom
o Memutuskan dosis antivenom berikutnya yang dibutuhkan
o Melakukan penanganan suportif
o Melakukan penanganan pada area yang tergigit
o Rehabilitasi
o Penanganan komplikasi kronik
1. Penanganan pertama1
Penanganan awalnya adalah membawa pasien sesegera mungkin ke rumah
sakit atau pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dilakukan oleh korban
gigitan ulat sendiri atau dibantu oranglain. Sayangnya, banya sekali
penanganan tradisional yang tersedia dan dapat dilakukan dengan mudah
yang ternyata tidak berguna dan bahkan sebenarnya berbahaya. Metode ini
termasuk: membuat insisi local, atau melakukan tusukan pada daerah
gigitan, mencoba untuk mengeluarkan bisa dari luka, mengikat/ memasang
turniket disekitar ekstremitas, syok elektrik, pemberian bahan kimia
topical, herbal atau es. Selain itu, hal yang paling ditakutkan pada korban
adalah terjadinya paralisis pernafasan sebelum sampai di pelayanan
kesehatan. Hal ini dapat diminimalkan dengan membawa korban ke rs
dengan menggunakan kendaraan yang cepat, contohnya motor.
Adapun hal yang harus diperhatikan dalam penanganan awal:
o Tenangkan pasien yang gelisah
o Imobilisasi tubuh pasien dengan membaringkan tubuhnya pada
posisi yang nyaman dan aman, terutama, imobilisasi di ekstremitas
daerah gigitan dengan splint atau kain. Hal ini dikarenakan setiap
pergerakan atau kontraksi otot dapat menyebabkan peningkatan
absorpsi venon ke pembuluh darah dan limfe
7
o Jika fasilitas tersedia, pertimbangkan melakukan pressure-
imobilisasi
o Hindari segala intervensi pada luka termasuk menginsisi,
menggosok, memijat, membersihkan dengan air atau memberikan
herbal atau bahan kimia karena hal ini dapat menyebabkan infeksi,
peningkatan absorpso venom dan meningkatkan perdarahan local.
o Jangan memasang turniket atau mengikat ekstremitas di area
gigitan, hal ini dapat menyebabkan terjadinya oklusi pembuluh
darah dan menyebabkan nyeri. Pemasangan turniket yang terlalu
lama (lebih dari 40 menit) menyebabkan iskemia sehingga
menimbulkan gangrene
2. Transportasi ke rumah sakit1
Pasien harus dibawa ke tempat dimana ia dapat memperoleh penanganan
medis dengan cepat tetapi memperhatikan keamanan. Setiap pergerakan
terutama ekstremitas yang tergigit, harus dikurangi pergerakannya untuk
mencegah absorpsi venom.
3. Penanganan di pelayanan kesehatan1
o Penilaian klinis cepat dan resusitasi
Melakukan pendekatan ABCDE
o Airway
o Breathing (pergerakan nafas)
o Circulation (pulsasi arteri)
o Disability of nervous system (tingkat kesadaran)
o Exposure and environmental control (menjaga dari dingin,
risiko drowning dll)
Patensi jalan nafas, pergerakan nafas, pulsasi arteri dan level
kesadaran harus segera dinilai. Pada kasus ini Glasgow coma scale
tidak dapat digunakan untuk menilai derajat kesadaran pada pasien
yang mengalami paralisis akibat venom neurotoksin.
Resusitasi dilakukan apabila:
8
o Ditemukan hipotensi menetap dan syok yang disebabkan
efek kardiovaskular dari venom, dan efek sekunder seperti
hipovolemia, pelepasan mediataor inflamasi, syok
hemoragik dan anafilaksis.
o Gagal nafas akibat neurotoksin yang menyebabkan paralisis
otot nafas
o Terjadinya deteriotasi spontan akibat pelepasan turniket
yang ketat atau kompresi bandage dengan tidak hati-hati
o Henti jantung yang disebabkan oleh hyperkalemia akibat
terjadinya lisis otot (rabdomyolisis) setelah tergigit ular laut
seperti kraits dan Russells vipers
o Jika pasien datang terlambat: menyebabkan gagal ginjal
dan septicemia yang dapat dilihat dari adanya nekrosis local
o Penilaian klinis detail dan special diagnosis1
o Anamnesis
Tanyakan 4 pertanyaan inisial berikut:
1. In what part of your body have you been bitten?
Dokter harus segera melihat apakah pasien benar-benar
digigit oleh ular (bekas gigitan taring) dan tanda-tanda
dari keracunan local
2. When and under what circumstances were you bitten?
Penilaian mengenai keparahan envenoming tergantung
seberapa lama pasien telah digigit. Jika pasien datang
dengan cepat ke rs, mungkin hanya terlihat tanda dan
gejala yang sedikit meskipun venom yang diinjeksikan
dalam jumlah yang banyak. Jika pasien tergigit pada
malam hari ketika tidur, pikirkan penyebabnya adalah
kraits; jika pada sawah padi, pikirkan ular kobra atau
Russel’s viper; jika pada kebun buah, mungkin oleh
ular hijau; jika korban sebelumnya berenang, pikirkan
kobra atau ular laut.
9
3. Where is the snake that bit you?
Jika ular telah mati, lakukan identifikasi. Jika ular
merupakan spesies yang tidak berbahaya, pasien dapat
segera dibawah ke pelayanan kesehatan.
4. How are you feeling now?
Gejala awal paling sering adalah muntah. Pasien akan
menjadi defibrinogenasi dan trombositopeni yang
menyebabkan perdarahan, terutama dari bekas gigitan.
Pasien harus ditanya seberapa banyak urine yang dapat
dikeluarkan setelah gigitan dan warnanya. Pasien yang
mengeluh tidak dapat tidur, atau kelopak mata jatuh
(ptosis) atau penglihatan ganda dapat dipikirkan
mengalami keracunan neurotoksin. Adanya
envenoming oleh ular laut, dalam 30 menit setelah
gigitan, dapat menyebabkan nyeri umum, nyeri tekan
dan kekakuan pada otot dan trismus.
o Pemeriksaan Fisik
Harus dilakukan penilaian pada area gigitan dan
mengevaluasi adanya local envenoming
Pemeriksaan pada area gigitan
• Luasnya edema yang juga berhubungan dengan
nyeri tekan saat palpasi (mulai dari proksimal)
• Nodus limfe didekat area gigitan harus dipalpasi
dan mengevaluasi adanya ekimosis atau limfangitis
• Teraba dingin disekitar area gigitan mungkin akibat
terbentuknya tromobosis intravaskular
• Evaluasi adanya sindrom kompartemen (jarang)
• Evaluasi tanda nekrosis awal (lepuhan, garis hitam,
atau pucat pada kulit, hilangnya sensasi, adanya bau
busuk
Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:2
10
- Gigitan Elapidae
o Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa
kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa
pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan
ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan
gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak
dekat gigitan melebar.
o Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit
yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di
sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata.
- Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam
kemudian dalam bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir,
lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara,
kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala,
kulit dingin, muntah, pandangan kabur dan mati rasa di sekitar
mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga
lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi
lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi
dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam
dapat timbul gejala – gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi
dalam 24 jam.
- Gigitan Viperidae:
o Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam
berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat
menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat
gigitan
o Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa
jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan
pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring
ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja.
Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah.
11
Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan
kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang –
kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan
berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
- Gigitan Hidropiidae:
o Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal,
berkeringat dan muntah
o Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul
kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang,
paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil,
dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin
warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik),
ginjal rusak, henti jantung
- Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae:
o Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan,
ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi
minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli
valen crotalidae antivenin
o Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda
penting
o Gigitan Coral Snake:
o Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan
antivenin (Micrurus fulvius antivenin) (Sudoyo, 2006)
Tanda dan gejala lokal
- Tanda gigi taring
- Nyeri lokal
- Pendarahan lokal
- Bruising
- lymphangitis
- Bengkak, merah, panas
12
- Melepuh
- Necrosis
Gejala dan tanda sistemik umum1
o Umum
o mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness,
drowsiness, prostration
o Kardiovascular (Viperidae)
o Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock,
hypotension, arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema
conjungtiva
o Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae)
o Perdarahan dari luka gigitan
o Perdarahan sitemik spontan – dri gusi, epistaksis,
hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per
vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura,
Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva,
perdarahan intrakranial
o Neurologik (Elapidae, Russell’s viper)
o Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman
dan perabaan, “heavy” eyelids, ptosis, ophthalmoplegia
external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di
inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in
swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid
paralysis
o Otot rangka (sea snakes, Russell’s viper)
o Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles,
trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest,
gagal ginjal akut
o Ginjal (Viperidae, sea snakes)
13
o LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria,
myoglobinuria, oliguria/anuria, tanda dan gejala dari
uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest
pain)
o Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russell’s viper)
o Fase akut: syok, hypoglycaemia
o Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan):
weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea,
testicular atrophy, hypothyroidism. (Warrell, 1999)
Pemeriksaan general
Ukur tekanan darah , heart rate
Periksa kulit dan membran mukosa apakah
terdapat petekie, purpura, ekimosis, juga
pada konjuntiva
Periksa sulci gingival adakah perdarahan
spontan
Periksa hidung apakah epistaksis
Nyeri tekan abdomen prdarahan GI atau
retroperitoneal
Nyeri punggung renal ischemia
Tanda lateralisasi neurologi, pupil anisokor,
konvulsi, gangguan kesadaran perdarahan
intrakranial
o Pemeriksaan Penunjang1
1. Pemeriksaan 20-minute whole blood clotting test (20WBCT)
14
2. Pemeriksaan kadar hemoglobin/hematocrit. Adanya hemolysis
intravascular akibat venom menyebabkan terjadinya anemia dan
hemokonsentrasi
3. Hitung platelet: menurun terutama pada viper dan elapid Australia
4. Hitung Sel darah putih : terjadi leukositosis neutrophil menunjukkan
adanya keracunan sistemik dibeberapa spesies
5. Apusan darah: adanya ditemukan sel merah yang fragmented (helmet
cell) akibat terjadinyan hemolysis mikroangiopati
6. Serum/plasma: dapat menjadi lebih pink atau coklat dari tampakan
makroskopis akibat hemoglobinemia atau myoglobinemia
7. Abnormalitas biokimia: aminotransferase dan enzim otot (creatini
kinase, aldolase dll) akan meningkat jika terjadi kerusakan otot local
yang parah. Peningkatan bilirubin diikuti ekstravasasi darah. Kalium,
kreatinin, urea dan nitrogen darah meningkat akibat gagal ginjal.
Terjadi hyperkalemia dapat dilihat dari terjadinya rabdomyolisis.
Bikarbonat menurun sehingga menyebabkan asidosis.
8. Pemeriksaan gas darah arterial: dapat menunjukkan adanya gagal
respirasi (keracunan neurotoksin) dan asidemia (asidosis metabolic
atau respiratorik)
15
9. Pemeriksaan urine: warna urine (pink, merh, coklat, hitam) harus
dicatat dan urine harus diuji Dipstik. Adanya silinder sel darah merah
mengindikasi perdarahan glomerulat. Proteinuria massif merupakan
tanda awal adanya gagal ginjal akut.
10. Elektrokardiografi
o Penanganan Antivenom1
Antivenom merupakan antidotum spesifik pada venom ular. Adalah sangat
menentukan keputusan apakah manajemen korban gigitan ular diberikan
antivenom atau tidak.
Antivenom pertama kali diperkenalkan sebagai penanganan gigitan ular
oleh Albert Calmetter pada 1980. Antivenom merupakan immunoglobulin
yang berasal dari plasma kuda, keledai atau domba yang dikebalkan
dengan 1 atau lebih venom ular. Antivenom monovalent (monospesifik)
merupakan antivenom yang dapat menetralisasi venon pada satu jenis
spesies ular, sedangkan antivenom polyvalent (polispesifik) merupakan
antivenom yang menetralisasi beberapa venom spesies ular.
Indikasi pemberian antivenom
Antivenom diberikan hanya kepada pasien yang apabila diberikan, dapat
mendapatkan keuntungan daripada risiko. Hal ini disebabkan antivenom
memiliki harga yang agak mahal dan reaksi efek samping yang dapat
membahayakan apabila penggunaannya tidak tepat.
Indikasi Antivenom
Antivenom diberikan jika terdapat tanda dan gejala pada pasien seperti
berikut:1
- Keracunan sistemik
o Abnormalitas hemostasis: perdarahan spontan, koagulopati
(20WBCT positif, PT menurun) atau trombositopenia
((<100 x 109/litre or 100 000/cu mm)
o Tanda neurotoksin: ptosis, oftalmoplegia eksternal,
paralisis
16
o Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia
cardiac, abnormal EKG
o Gagal ginjal akut: oliguria/anuria, peningkatan kreatinin
dan ureum darah
o Hemoglobin-/myoglobinuria: urine coklat hitam, disptik
urine, hemolysis intravascular, rabdomyolisis, nyeri otot
dan hyperkalemia
o Laboratorium suportif
Administrasi antivenom
2 metode:
– IV push injection: by slow iv injection (not more than 2ml/min).
– IV infus: antivenom is diluted in 5-10 ml isotonic fluid per BW
Polivalent antivenom serum
– Liquid antivenom, 5 ml/ampule
– Perum biofarma, Bandung. Kapasitas produksi 40.000 vial/tahun
– Dosis pertama sebanyak 2 vial @5ml ditambahkan kedalam larutan
fisiologis menjadi 2 % dan diberikan sebagai cairan infus 40-80
tpm, diulang 6 jam kemudian
– Apabila gejala tidak berkurang, dapat terus diberikan setiap 24 jam
sampai maksium 80-100 ml
– Apabila tidak diencerkan, dapat diberikan langsung secara iv dg
sangat perlahan
Reaksi Antivenom1
1. Reaksi anafilaksis awal
Biasanya terjadi dalam 10-18 menit setelah dimulai pemberian
antivenom, pasien mulai gatal (sering di kulit kepala) dan berkembang
menjadi urtika, batuk, demam, nausea, muntah, kolik abdomen, diare,
takikardi. Kondisi ini juga dapat mengancam jiwa seperti hipotensi,
bronkospasme dan angioedema.
17
2. Reaksi pirogenik (endotoksin): biasanya berlangsung pada 1-2 jam
setelah pemberian antivenom. Gejala klinis menggigil dingin, demam,
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Kejang demam dapat
terjadi. Reaksi ini disebabkan oleh kontaminasi selama proses
penanganan.
3. Reaksi lambat (serum sickness type): berlangsung mulai 1-12 hari
setelah penanganan. Gejala klinis termasuk demam, nausea, muntah,
diare, gatal, urtika, arthralgia, malgia, limfadenopati, edema
periartikular, mononeuritis, proteinuria dengan nefritis imun kompleks,
dan ensefalopati (jarang).
Kontraindikasi antivenom:
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk penanganan antiveom, tapi pasien
yang mengalami reaksi dan memiliki riwayat atopi (terutama asma)
merupakan risiko tinggi untuk mendapatkan reaksi berat, dan hanya
diberikan jika terdapat keracunan sistemik. Pasien dengan risiko tinggi,
dapat diberikan pre-treatment antivenom: adrenaline sc, antihistamin iv
(klorfenamin, prometazine, H2 blocker seperti cimetidine atau ranitidine)
dan kortikosteroid. Pada pasien asma, penggunaan profilaksis B2 agonis
seperti salbutamol mencegah bronkospasme.
Penanganan reaksi antivenom:1
- Reaksi anafilaksis dan pirogenik:
Epinefrin (adrenaline) diberikan secara intramuscular (pada paha
atas lateral) untuk dosis awal 0,5 mg untuk dewasa dan 0,01
mg/kgbb untuk anak. Dosis ini dapat diulang tiap 5-10 menit jika
pasien mengalami deteriorasi.
Terapi tambahan
• Setelah pemberian adrenalin, dapat ditambahkan
klorfenamin (dewasa 10 mg, anak 0,2 mg.kgBB IV ) diikuti
pemberian hidrokortison iv (dewasa 10mmg; anak 2
mg/kgbb)
18
• Pada reaksi pirogenik, pasien diberikan antipiretik (PCT
oral atau supp). IV cairan juga diberikan untuk koreksi
hipovolemi
- Reaksi lambat (serum sickness)
o Klorfenamine: dewasa 2 mg/6 jam; anak 0,25 mg/kgBB
dosis terbagi
o Prednisolon: dewasa 5 mg/ 6jam; anak 0,7 mh/kgbb/hari
dosis terbagi
o Treatment ini berespon setelah 5 hari pemberian
Pelayanan kesehatan pada semua tingkatan dapat berkontribusi terhadap
manajemen pasien yang diduga tergigit ular. Karena penanganan keracunan bisa
ular yang berat merupakan kedaruratan medis yang membutuhkan keterampilan,
alat , antivenom dan pengobatan lain, maka rujukan ke pelayanan kesehatan
dengan tingkat lebih tinggi perlu dilakukan. Sebagaimana diketahui area pedesaan
merupakan tempat terjadinya gigitan ular tersering, sehingga dalam melakukan
rujukan ke RS mungkin membutuhkan waktu yang cepat.
a. Pada tingkat komunitas atau desa
1. Ditanyakan tentang riwayat tergigit ular dan mencari tanda gigitan (bekas
taring, edema pada area gigitan)
2. Imobilisasi pasien secepat mungkin dengan membaringkan pasien pada
posisi relaks dan aman (posisi recovery), imobilisasi terutama pada
ekstremitas yang tergigit
3. Bawa pasien ke pelayanan kesehatan dengan cepat dengan kendaraan
yang aman. Idealnya pasien dalam posisi recovery untuk mengurangi
risiko syok dan inhalasi muntah
4. Gunakan waktu seefisien mungkin dan hindari penangan tradisional ang
berbahaya seperti pemasangan turniket, insisi, aplikasi herbal es, bahan
kimia dll
5. Evakuasi jenis ular, hindari kontak langsung.
19
b. Pada klinik desa, atau pelayanan kesehatan tingkat primer
1. Lakukan penilaian medis sederhana termasuk anamnesis dan
pemeriksaan fisik – edema lokal, nyeri tekan, pembesaran kelenjar
limfe, perdarahan persisten dari luka gigitan, tekanan darah, pulsasi,
perdarahan gusi, hidung, hematemesis, melena, hematuria, tingkat
kesadaran, ptosis, tanda paralisis, melakukan test 20WBCT,
pemeriksaan urine. Identifikasi ular.
2. Nilai ketersediaan transportasi pasien ke yankes level berikutnya
3. Berikan analgesia PO jika perlu:
Paracetamol (dewasa 500 mg maksimun 4 g in 24 hour; anak 10-15
mg/kgbb/hari maksimum 100 mg/hari)
Kodein fosfat (dewasa 30-60 mg maksimum 240 mg dalam 24 jam,
anak >2th 0,5 mg/kgbb maksimum 2 mg/kg/hari) diberikan tiap 4-6 jam
PO (jangan berikan ASPIRIN dan NSAID lain karena menyebabkan
perdarahan
4. Jika tenaga, alat, antivenom dan obat lainnya tersedia, berikan cairan IV
untuk koreksi hipovolemi. Jika pasien memenuhi kriteria pemberian
antivenom, berikan. Tenaga terampil termasuk kemampuan dalam
meng-dx lokal dan keracunan sistemik, memasang Iv atau injeksi iv,
mengidentifikasi tanda anafilaksis dan penanganannya dg adrenaline
IM. Jika antivenom tidak ada, rujuk.
5. Jika pasien mengalami paralisis respirasi, berikan O2 dengan sungkup
dan rujuk ke rs.
6. Minimalkan penggunaan obat inefektif dan potensial harmful
(kortikosteroid, antihistamin, heparin)
c. Pada rumah sakit kabupaten
Proses seperti pada tingkat b diatas kemudian ditambah beberapa langkah
berikut:
1. Lakukan penilaian klinis dan lab lebih detail, termasuk pengukuran
biokimia dan hematologi, EKG jika terindikasi
20
2. Jika antivenom tidak tersedia, rujuk atau tangani secara konservatif; hal
ini membutuhkan transfusi darah atau FFP
3. Nilai ulang analgesia, jika perlu, berikan dosis parenteral lebih kuat
seperti opioid drug (sc, im, iv pethidine, dosis initial dewasa 50-100 mg;
anak 1-1,5/kgbb; atau morfin, dosis inisial dewasa 5-10 mg, anak 0,03-
0,05 mg/kg)
4. Jika pasien memiliki nekrosis lokal (gangren), berikan TT booster,
antibiotik dan pertimbangkan surgical debridement pada jaringan mati
5. Jika pasien mengalami paralisis respirasi atau bulbar, pasang ETT. Jika
terjadi gagal nafas, nilai ventilasi dengan ambu bag atau mechanical
ventilator
6. Jika pasien mengalami GGA, tangani dengan dialisis peritoneal. Jika tidak
memungkinkan, rujuk ke rs spesialistik
7. Jika pasien mengalami perdarahan berat atau anemia serius,
pertimbangkan transfusi darah
8. Lakukan simple rehabilitation
d. Pada rumah sakit rujukan
Prosesnya seperti pada B dan C diatas ditambah dengan:
1. Lakukan managemen surgical yang lebih advanced pada nekrosis lokal
(misalnya split skin grafting)
2. Lakukan investigasi mendalam termasuk kultur bakteri dan imaging (CT
scan) jika perlu
3. Jika pasien mengalami GGGA, lakukan dialisis peritoneal, hemodialisis
atau hemofiltrasi
4. Lakukan rehabilitasi: fisioterapist
21
REFERENSI
1. David A, Warrel. 2010. Guidelines For The Management of Snake-Bites
in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional
Centre For Tropical Medicine.
2. Yanuartono. 2008. Efek Samping Pemberian Serum Anti Bisa Ular Pada
Kasus Gigitan Ular. Jurnal Sain Veterinary Volume 26 No. 1.
http://journal.ugm.ac.id/index.php/jsv/article/viewFile/412/259
3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen
POM Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
4. Nia N, 2003. Gigitan Ular Berbisa. Sari Pediatri Volume 5 No.3
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/5-3-1.pdf
22