KEPEMILIKAN PUBLIK DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
ISLAM DAN EKONOMI KONSTITUSI
(Analisis Kebijakan Privatisasi di Indonesia)
TESIS
Diajukan sebagai Persyaratan Mengikuti Ujian
Promosi
Oleh:
Isti Nuzulul Atiah
NIM: 11.2.00.0.08.01.0093
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, M.M
KONSENTRASI EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014 M/1435H
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Isti Nuzulul Atiah
NIM : 11.2.00.0.08.01.0093
Judul Tesis :Kepemilikan Publik dalam Perspektif
Ekonomi Islam dan Ekonomi Konstitusi
(Analisis Kebijakan Privatisasi di Indonesia)
Menyatakan bahwa draft tesis telah diverifikasi oleh Dr.
Suparto, M.Ed, Ph.d pada tanggal 21 Agustus 2014.
Draft tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi
meliputi:
1. Penambahan Jurnal
2. Penulisan Referensi
Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan
pertimbangan untuk menempuh ujian pendahuluan.
Jakarta, 22 Agustus 2014 M
26 Shawwa>l 1435 H
Saya yang membuat pernyataan,
(Isti Nuzulul Atiah)
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Isti Nuzulul Atiah
Tempat Tanggal Lahir : Pandeglang, 2 Mei 1988
Nim : 11.2.00.0.08.01.0093
Jenjang Pendidikan : S2 Pengkajian Islam
Konsentrasi : Ekonomi Islam
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul
“Kepemilikan Publik dalam Perspektif Ekonomi Islam dan
Ekonomi Konstitusi (Analisis Kebijakan Privatisasi di Indonesia)”
adalah hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan
sumbernya. Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan
kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain
itu apabila di dalamnya terdapat plagiasi saya siap menerima
sanksi berupa pencabutan gelar akademik yang diberlakukan oleh
Sekolah Pascasarjana Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-
benarnya.
Jakarta, 8 Agustus 2014 M
12 Shawwa>l 1435 H
Saya yang membuat pernyataan,
Isti Nuzulul Atiah
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan tesis ini dapat
terselesaikan. Segala nikmat yang Allah SWT berikan telah
memberikan kekuatan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis
ini. Salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh
keluarganya, sahabat, dan pengikut sunnahnya. Penelitian ini
ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
pada program Magister Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam menyelesaikan penulisan tesis ini sangat banyak
hambatan dan rintangan yang penulis hadapi, namun penulis
menyadari bahwa semua ini dapat dihadapi berkat dorongan dan
motivasi dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan banyak terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Komaruddin Hidayat selaku rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Prof. Azyumardi Azra selaku direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Juga
kepada seluruh jajaran pimpinan, Prof. Suwito, M.A., Dr. Yusuf
Rahman, M.A., seluruh karyawan dan karyawati tata usaha, dan
perpustakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM, selaku pembimbing dan
promotor dalam penulisan tesis ini. Masukan, saran, dan
kritikan yang telah diberikan sangat berguna sebagai bentuk
pengembangan pengetahuan bagi penulisan tesis ini. Juga
seluruh dosen yang telah memberikan gagasan-gagasan
pemikiran demi berkualitasnya penulisan tesis ini.
3. Kedua orang tua penulis tercinta (H. Ace Asrori, SE dan Hj.
Yayan Fauziah) serta adik-adik, yang telah banyak memberi
motivasi, nasehat dan dukungannya, baik secara moril maupun
materiil tanpa sedikitpun pamrih di hati mereka.
4. Suami tersayang, terimakasih atas segala keleluasaan waktu,
pengertian, dan pengorbanan juga kadang direpotkan dengan
diskusi tentang tesis penulis. Berkat segala dukungannya dalam
menempuh bahtera kehidupan akademis maupun keluarga
terasa indah dan menentramkan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis yang penuh tantangan ini.
5. Sahabat-sahabat penulis angkatan 2012 Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, teh Ita, Iffa, Nadia, Herlina,
Tya, Albab, Zahra, Sarah, Nisa, Hafidz, Abib, Mulyadi juga
teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Terimakasih atas kebersamaannya semoga perjuangan dan ilmu
yang diperoleh dapat bermanfaat untuk sesama.
6. Untuk semua yang telah mendukung dan membantu penulis
dalam menyelesaikan studi maupun penulisan tesis yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, hanya doa yang bisa
penulis berikan semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan.
Aamiin.
Semoga tesis ini dapat memberikan pengetahuan kepada
semua pihak. Penulis menyadari bahwa tesis ini mempunyai
banyak kekurangan untuk itu diharapkan tesis ini dapat
memberikan ide bagi peneliti lain untuk membuat perkembangan
penelitian lebih lanjut.
Jakarta, 25 Agustus 2014 M
29 Shawwa>l 1435 H
Isti Nuzulul Atiah
ABSTRAK
Tesis ini membuktikan bahwa terdapat interelasi antara
kebijakan privatisasi dalam suatu negara terhadap kesejahteraan
rakyatnya, bahwa semakin besar kendali pemerintah dalam
menjalankan sistem perekonomiannya maka semakin tercapai
kebutuhan publik.
Tesis ini membantah pendapat Juliet D’ Souza, William L.
Megginson dan Robert Nash (Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms: The Rule of Restructuring and Corporate Governance; 2000) yang menyimpulkan bahwa
privatisasi BUMN mampu membangun praktek Good Corporate Governance lebih baik yang mampu memicu perbaikan kinerja.
Kecenderungan utama yang terjadi setelah privatisasi adalah
semakin besar saham pemerintah yang dilepaskan maka
manajemen BUMN akan lebih fokus pada tujuan profit maximization.
Sebaliknya, tesis ini mendukung kesimpulan Igor Artemiev
dan Michael Haney (The Privatization of Russian Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation of a Major Industry; 2002) yang menyimpulkan bahwa privatisasi merusak lapangan
kerja yang sudah ada, privatisasi juga disinyalir cenderung
menstimulasi korupsi alih-alih menguranginya. Penelitian ini
membuktikan bahwa kebijakan privatisasi yang diterapkan di
negara tersebut tidak berdampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Marwan Batubara (2004) dan Revrisond Baswir (2009)
dan Indra Bastian (2002) berpendapat bahwa privatisasi bukanlah
cara yang tepat untuk menanggulangi tantangan yang dihadapi
BUMN. Privatisasi hanyalah sebuah jalan pintas untuk
mengalihkan kepemilikan BUMN ke tangan para pemodal swasta.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis-normatif. Sumber
primer yang digunakan adalah buku An-Niz}a>m Al-Iqtis}a>di> karya
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni> dan sumber sekunder berupa literatur
yang berkaitan dengan kebijakan privatisasi di tingkat global.
Kata kunci: Konsep Kepemilikan, Ekonomi Islam,
Ekonomi Konstitusi, Privatisasi.
ABSTRACT
This thesis reveals that the concept of public ownership in
Islam is compatible with economic constitutions as stated in the
Constitution of the Republic of Indonesia of 1945 verse 33 as
national economic ideology. In addition, this thesis also proves
that privatization policy adopted by developed countries is not
relevant to be employed by developing countries such as
Indonesia.
This thesis disputes Juliet D’ Souza’s, William L.
Megginson’s and Robert Nash’s (Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms: The Rule of Restructuring and Corporate Governance; 2000) statements which conclude that
privatization of Indonesian State Owned Enterprise (BUMN) has
proven to build better Good Corporate Governance to trigger
performance improvement. The main tendency after the
privatization is the bigger the amount of government’s capitals is
open for public, the greater focus will be given by BUMN to gain
profit maximization.
On the other hand, this thesis supports conclusions made
by Igor Artemiev and Michael Haney (The Privatization of Russian Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation of a Major Industry; 2002) stating that
privatization destroys existing field work, privatization also tends
to stimulate practice of corruption. The research proves that
privatization policy in developed country brings negative effect to
economic development. Marwan Batubara (Divestasi Indosat: Kebusukan Sebuah Rezim, Catatan Gugatan Actio Popularis; 2004) and Revrisond Baswir (Menggugat Rampokisasi BUMN; 2009) contend that privatization is not a proper way to overcome
problems faced by BUMN. Instead, privatization, moreover done
by IMF, is a shortcut to take over ownership of BUMN to private.
This research employs qualitative design with descriptive
analysis based by using juridical-normative approach. The main
source of the data is from a book by Marwan Batubara (Divestasi Indosat: Kebusukan Sebuah Rezim, Catatan Gugatan Actio Popularis; 2004), while secondary data is from literature on global
privatization policy.
: البحثتجريدأثبت هذا البحث أن فكرة التمليك العام يف اإلسالم تالئم الفكرة ادلقررة يف
. بوصفه فكرة االقتصاد الوطين1945 من دستور 33القانون االقتصادي الذي ميثله الباب وعالوة على ذلك، إن هذا البحث يثبت أن سياسة اخلصخصة اليت مارستها الدول ادلتقدمة
. ال تالئم الدول النامية ومن ضمنها إندونيسيا. وويليام لJuliet D’ Souzaويرفض هذا البحث رأي جوليييت د سوزى
يف Robert Nash وروبنت ناص William L. Megginsonميجينسون Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms:
The Rule of Restructuring and Corporate Governance أن خصخصة الشركات ادلملوكة للدولة أجنزت التطبيق األحسن للشركات احلكومية اجليدة مما ينتهى به
وأبرز الظواهر اليت حدثت بعد اخلصخصة هي كلما كثرت . ادلطاف إىل حتسن العمل. إسهامات احلكومة كانت إدارة الشركات ادلملوكة للدولة تركز أكثر على هدف تصعيد الربح
Igor ما ذهب إليه إجيور أرتيميييف على وبالعكس، يؤكد هذا البحث
Artemiev وميشيل هاينMichael Haney يف The Privatization of
Russian Coal Industry: Policies and Processes in the
Transformation of a Major Industry من أن اخلصخصة تفسد جماالت العمل وأثبت هذا البحث أن . وذلك باإلضافة إىل أهنا تثن الفساد ادلايل بدال من تقليله. ادلوجودة
ورأي . سياسة اخلصخصة اليت مارستها تلك الدول مل تثمر مثرة إجيابية للتنمية االقتصادية Divestasi Indosat: Kebusukan يف Marwan Batubaraماروان باتوبارا
Sebuah Rezim, Catatan Gugatan Actio Popularis) وريفريسوند باسوير Revrisond Baswir يف Menggugat Rampokisasi BUMN أن اخلصخصة
وذلك فضال . ليست طريقة صحيحة حلل التحديات اليت تواجهها الشركات ادلملوكة للدولةعن أن اخلصخصة اليت مارسها صندوق النقد الدويل إمنا هي طريقة عاجلة لتحويل ملك
. الشركات ادلملوكة للدولة إىل صاحب رأس ادلال اخلاصوادلصدر الرئيس . هذا البحث حبث نوعي وصفي يبىن على ادلنهج القانوين ادلعياري
:Divestasi Indosatادلعتمد عليه يف هذا البحث هو كتاب ماروان باتوبارا حتت موضوع
Kebusukan Sebuah Rezim, Catatan Gugatan Actio Popularis) . وأما .ادلصادر الثانوية فهي كتب متعلقة بسياسة اخلصخصة على ادلستوى العودلي
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab – Latin yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
h{ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ r = ر
z = ز
s = ش
sh = ظ
s{ = ص
d { = ض
t{ = ط
z{ = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ى
h =
w = و
y =
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dhammah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fathah dan ya Ai a dan i ...ى
Fathah dan …و
wau
Au a dan w
Contoh :
H{aul : حول H{usain : حطيي
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................... i
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI .......... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................... v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ........................................... vii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. ix
LEMBAR PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI ......................... xi
ABSTRAK .................................................................................. xiii
xv ...................................................................................... تجريد البحث
ABSTRACT ................................................................................. xvii
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................. xix
DAFTAR ISI ................................................................................ xxi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Permasalahan ................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian ........................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ........................................................ 13
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................... 13
F. Metode Penelitian .......................................................... 16
G. Sistematika Penulisan ................................................... 18
BAB II DISKURSUS KEBIJAKAN PRIVATISASI GLOBAL
A. Privatisasi dalam Perspektif Historis dan Ideologis ..... 21
B. Ruang Lingkup dan Metode Privatisasi ........................ 35
C. Pro-Kontra Seputar Privatisasi ...................................... 41
BAB III PRIVATISASI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
ISLAM DAN EKONOMI KONSTITUSI
A. Konsep Kepemilikan dalam Ekonomi Islam ................. 47
B. Konsep Kepemilikan dalam Ekonomi konstitusi .......... 64
C. Titik Temu antara Ekonomi Islam dan Ekonomi
Konstitusi dalam Memandang Privatisasi
BAB IV POTRET PRIVATISASI DI INDONESIA
A. Proses Kebijakan Privatisasi di Indonesia ................... 92
B.
C. Studi Kasus Privatisasi di Indonesia .......................... 101
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................. 125
B. Saran ........................................................................... 126
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 127
GLOSARIUM .............................................................................. 143
INDEKS ....................................................................................... 151
BIODATA PENULIS .................................................................. 164
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang
mempedomani dan mengatur hubungan seorang muslim dengan
Tuhan dan masyarakat. Dalam hal ini, Islam bukan hanya layanan
Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani, tetapi juga
menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir
umat manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun kehidupan
material.1
Islam sebagai agama yang Sha>mil dan kami>l telah
mengatur konsep kepemilikan terhadap harta benda. Hakikat
kepemilikan harta dalam Islam yaitu, pertama secara hakiki Allah
adalah Pemilik dan Pencipta harta benda, kedua harta merupakan
fasilitas bagi kehidupan manusia di dunia, dan ketiga Allah telah
menganugerahkan kepemilikan kepada manusia.2
Konsep kepemilikan dalam Islam tidak sama dengan
konsep kepemilikan dalam paham liberalisme-kapitalisme maupun
sosialisme. Dalam paham liberalisme-kapitalisme kepemilikan
bersifat absolut yang menandakan seseorang bebas sebebas-
bebasnya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap harta
yang dimilikinya.3 Sementara dalam paham sosialisme menurut K.
Bertens adalah sebaliknya, orang seorang tidak diperkenankan
1 Lativa M. Algoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah;
Konsep, Teori dan Praktek (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 49. Lihat
juga Said Agil Husein Al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: Pena Madani), 19.
2 Lihat QS. An-Nu>r: 33, Al-Baqarah: 29, An-Naba>’: 6-16, Al-Baqarah:
3 dan 188. 3 Kebebasan kepemilikan yang mutlak (dengan kata lain adalah
penghapusan batasan-batasan yang mengatur kepemilikan) adalah salah satu
faktor kegagalan sistem kapitalis, prinsip ini telah menghancurkan keseimbangan
ekonomi di tengah masyarakat. Prinsip ini diikuti oleh prinsip kebebasan
berkompetisi dan anti campur tangan negara, yang juga telah melahirkan
perusahaan-perusahaan kapitalis besar yang mampu mempengaruhi kebijakan
politik penguasa. Lihat Anonim, Menyongsong Sistem Ekonomi Anti Krisis
(Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009), 28-30.
2
untuk memiliki kapital atau modal, sebab yang memiliki kapital
dengan sendirinya memiliki juga sarana-sarana produksi. Hal
inilah menurut mereka yang akan menjadi penyebab adanya
penindasan dan eksploitasi terhadap para buruh atau pekerja. Oleh
sebab itu menurut paham ini, kapital dan atau alat produksi harus
dikuasai oleh negara.4
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni> dalam bukunya “An-Niz}a>m Al-
Iqtis}a>di> fi> Al-Isla>m” mengatakan bahwa hak kepemilikan dan
pengelolaan sumber daya alam harus sesuai dengan ketentuan
shara’, dimana kepemilikan umum merupakan fasilitas umum yang
dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, kalau tidak
ada didalam suatu negeri atau suatu komunitas maka akan
menyebabkan sengketa dalam mencarinya. Dalam hal ini
dibutuhkan negara yang adil yang dapat memberikan
kesejahteraan pada rakyatnya.5
Jala>l Al-Ans}a>ri> mengatakan bahwa kepemilikan umum
merupakan berbagai komoditas yang dijadikan Islam sebagai hak
milik seluruh kaum Muslimin, sehingga setiap individu berhak
memanfaatkannya, akan tetapi tidak diperkenankan untuk
menguasai atau memilikinya sebagai hak milik pribadi.6
Umer Chapra juga mengatakan bahwa sumber-sumber daya
adalah amanat, oleh karenanya sumber-sumber daya yang ada
ditangan manusia diberikan oleh Tuhan, maka manusia sebagai
khalifah bukanlah pemilik sebenarnya. Ia hanya sebagai yang
diberi amanat (titipan). Meskipun pengertian amanat ini tidak
berarti “peniadaan kepemilikan privat terhadap kekayaan”, tetapi
memberikan implikasi penting yang menciptakan perbedaan
revolusioner dalam konsep kepemilikan sumber-sumber daya
4 Anwar Abbas, Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam; Suatu Tinjauan
dari Perspektif Tujuan, Falsafah, Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai Instrumental.
(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2009), 33. 5 Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz}a>m Al-Iqtis}a>di> fi> Al-Isla>m
(Beirut: Da>r Al-Ummah, 2004), 219. 6 Jala>l Al-Ans}a>ri>, Mengenal Sistem Islam dari A sampai Z. Penerjemah
Abu Faiz (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2006), 146-147.
3
dalam Islam dan sistem ekonomi lainnya yang harus memegang
prinsip.7
Dalam Islam telah ditetapkan hukum kepemilikan umum
berdasarkan h}adi>th-h}adi>th s}>ah}i>h{. Rasulullah SAW menjelaskan
dalam sebuah hadis bagaimana sifat kebutuhan umum tersebut,
“Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang rumput dan api”.
8 Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa terdapat sumber
daya alam yang terkandung dalam perut bumi. Diantaranya air,
padang rumput, serta api. Masing-masing sumber daya tersebut
memiliki kegunaan yang bermanfaat untuk manusia.
Air, dalam hadis tersebut merupakan milik umum ialah air
yang belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur,
maupun sungai atau danau, bukan air yang dimiliki perorangan
dirumahnya.9 Adapun Al-Kala>’ adalah padang rumput, baik
rumput basah maupun rumput kering (Al-H}ashi>sh) yang tumbuh di
tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya.10
Sedangkan yang dimaksud An-Na>r adalah bahan bakar dan segala
sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu
bakar dan listrik.11
Dalam hadis tersebut juga dijelaskan bahwa salah satu
alasan dari keharusan kepemilikan secara kolektif terhadap obyek-
obyek alam itu adalah karena semua itu diberikan oleh Allah
secara gratis atau cuma-cuma tanpa harus mengeluarkan biaya,
melainkan hanya membutuhkan tenaga untuk memperoleh
kepemilikan tersebut yang kemudian digunakan untuk kepentingan
umum.12
Jadi jika ada perorangan secara individual menguasai dan
memilikinya, hal itu dapat mengakibatkan kesulitan dan kesusahan
bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, air, rumput dan sumber
api hanyalah sebuah misal saja. Banyak objek lain yang memiliki
7 Muhammad Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta:
Gema Insani, 2000), 209. 8رالمسلمون شركاء فى ثالث فى الكالء والماء والنا Hadis ini dishahihkan oleh
Shaikh Al-Ba>ni> dalam Sa}hi>h wa D }a’i>f Sunan Abi > Da>ud, jilid 7, 477. 9 Al-Ma>wardi>, Al-Ah}ka>m As-Sult}a>niyyah wa Al-Wila>yah Ad-Di>niyyah
(Beirut: Da>r Al-Fikr, 1960), 180-184. 10
Ash-Shauka>ni>, Nayl Al-Aut}a>r, jilid 6, 49. 11
„Abd Ar-Rah}ma>n Al-Maliki >, Politik Ekonomi Islam. Terjemah Ibnu
Solah (Bangil: Al-Izzah, 2001), 91. 12
Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, 143.
4
kesamaan karakteristik dengannya. Ia menganjurkan seluruh
barang mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah negara)
menjadi milik kolektif.
Dalam rumusan UUD 1945 terdapat secara eksplisit
ataupun implisit pandangan-pandangan dan nilai-nilai
fundamental, UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik
(political constitution), juga merupakan konstitusi ekononomi
(economic constitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution). UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi negara secara
substansi, tidak hanya terkait dengan pengaturan lembaga-
lembaga kenegaraan dan struktur pemerintahan semata. Namun
lebih dari itu, konstitusi juga memiliki dimensi pengaturan
ekonomi dan kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam pasal 33
UUD 1945.13
Pasal 33 UUD 1945 menentukan, (1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Bahkan sesudah reformasi judul Bab XIV
yang semula hanya, “Kesejahteraan Sosial” disempurnakan
menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”.
Perubahan judul itu menggambarkan adanya penegasan baru
bahwa Bab XIV UUD 1945 adalah bab yang mengatur soal
perekonomian nasional, sehingga tidak dapat disangkal lagi bahwa
UUD 1945 adalah Konstitusi Ekonomi.14
Ekonomi konstitusi kita menjamin kemakmuran bersama,
kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang
seorang, hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk
menjamin kesejahteraan bersama seluruh rakyat. Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dikuasai oleh negara untuk
menjamin keselamatan bangsa dan negara dan untuk
13
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004). 14
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010), 214.
5
memperkukuh ketahanan nasional Indonesia. Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (sebagai pokok-
pokok kehidupan dan kemakmuran rakyat) harus pula dikuasai
oleh negara dan digunakan hanya untuk sebesar-besar kemakmuran
bersama seluruh masyarakat.15
Sejak pertengahan tahun 1970-an, jauh sebelum runtuhnya
Uni Soviet, demokrasi sosial mendapat tantangan yang semakin
hebat dari filosofi pasar bebas, khususnya dari bangkitnya
Thatcherisme atau Reaganisme yang lebih umum disebut sebagai
neoliberalisme. Selama periode sebelumnya, gagasan mengenai
liberalisasi pasar tampaknya merupakan bagian dari masa lalu, dari
suatu era yang telah digantikan oleh yang baru. Setelah
sebelumnya dianggap eksentrik, gagasan-gagasan Friedrich von
Hayek, pendukung sekaligus kritikus sosialisme lainnya tiba-tiba
menjadi sebuah kekuatan yang layak diperhitungkan.16
Era 1980 hingga 1990-an memang adalah zaman keemasan
ideologi liberal, apalagi sesudah keruntuhan Uni Soviet yang
seakan membuktikan gagalnya ideologi-ideologi lain selain
kapitalisme. “Sejarah sudah berakhir,” kata Francis Fukuyama.
“dan pemenangnya adalah kapitalisme dan demokrasi liberal.”17
Privatisasi, menurut Alan N. Miller, memang
merupakan kebijakan paling kontroversial saat ini.18
Kontroversi-kontroversi itu biasanya terkait dengan:
pertama, tingginya harga barang publik yang harus
ditanggung masyarakat; kedua, berkurangnya lapangan
kerja yang tersedia; ketiga, absennya aturan main yang
mengatur privatisasi, sehingga privatisasi lebih ditujukan
untuk meningkatkan keuntungan pasar dari pada pelayanan
sosial; keempat, hilangnya akses masyarakat miskin untuk
15
Sri Edi Swasono, Kembali ke Pasal 33 UUD 1945; Menolak
Neoliberalisme (Jakarta: Penerbit Yayasan Hatta, 2010), 29. 16
Anthony Giddens, The Third Way (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1999), 6. 17
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man (New
York: Pergamon Press, 1993), 33. 18
Allan N. Miller, “Ideological Motivations of Privatization in Great
Britain Versus Developing Countries”, Journal of International Affairs, No. 2,
1997, 391.
6
mengkonsumsi barang publik; kelima, hilangnya kontrol
publik atas aset-aset negara; dan keenam, mengundang
bentuk korupsi baru dalam tata kelola aset-aset negara.
Seiring dengan menguatnya sistem perekonomian
kapitalis di dunia dalam dua dekade terakhir, privatisasi
menjadi pilihan kebijakan yang banyak diterapkan saat ini
baik di negara berkembang maupun negara maju. Privatisasi
atau penjualan aset negara dipandang sebagai agenda
ekonomi wajib guna menghindari ekonomi biaya tinggi
melalui pelepasan perusahaan negara yang menguras
anggaran. Berdasarkan penelitian Bank Dunia tahun 1992,
tercatat bahwa sejak 1980 lebih dari 80 negara telah
merencanakan privatisasi yang melibatkan 6.800 Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) di seluruh dunia.19
Inggris adalah negara pertama yang menerapkan
privatisasi sebagai instrumen kebijakan perekonomiannya.
Pada 1979, PM Inggris Margareth Thatcher melakukan
privatisasi besar-besaran seiring dengan diterapkannya
paham neoliberal dalam perekonomian Inggris. Paham
neoliberal memang bermaksud memangkas peran
pemerintah dalam perekonomian. Hal serupa juga dilakukan
oleh Presiden AS Ronald Reagan dalam periode yang
hampir bersamaan. Dari sinilah lahir istilah “Reaganomics”
dan “Thatcherism” untuk menyebut pola kebijakan
neoliberal kedua negara tersebut. Hingga 1991, penjualan
sekitar 30 BUMN di Inggris seperti British Gas, British
Steel, British Telecom, British Airways, dan Roll Royce,
meraup keuntungan sebesar 34 miliar poundsterling.20
Dalam kurun waktu 1985-1999, sebanyak 8.000
privatisasi di tingkat global telah dilakukan dengan nilai
aset sebesar AS$1,1 triliun. Jika pada awal 1990-an rata-
rata nilai transaksi privatisasi global hanya berjumlah
AS$50 miliar, pada 1995 nilai asetnya meningkat menjadi
AS$87 miliar dari 1.700 transaksi. Nilai itu tidak seberapa
19
Sunita Kikei, John Nellis, dan Mary Shirley, Privatization: The
Lesson of Experience (Washington D.C.: World Bank, 1992). 20
Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia, Teori dan Implementasi
(Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002), 89.
7
dibandingkan dengan nilai penjualan 2.500 aset global
tahun 1998 yang mencapai AS$171 miliar.21
Sesuai dengan doktrin neoliberal, tujuan privatisasi
di negara-negara OECD22
ditekankan pada pelepasan peran
pemerintah dalam perekonomian. Hal ini tercermin dari
privatisasi yang dilakukan oleh 15 anggota Uni Eropa. Pada
periode 1990-1997, keuntungan privatisasi di 15 negara ini
mencapai 55-63 persen dari pendapatan total privatisasi di
negara-negara OECD.23
Salah satu contoh transaksi privatisasi terbesar yang
mengindikasikan drastisnya pengurangan andil pemerintah
dalam pengelolaan BUMN terjadi di Jerman dan Italia.
Tahun 1996, melalui initial public offering Deutsche
Telekom, Jerman melepas saham pemerintah dalam
perusahaan tersebut hingga 74 persen. Privatisasi skala
besar kedua terjadi di tubuh perusahaan minyak dan gas
Italia, ENI, yang mendivestasi saham pemerintah hingga 70
persen.24
Di negara berkembang privatisasi bukanlah
kebijakan yang populer, salah satu sebabnya adalah adanya
perbedaan corak dan motivasi yang melatarbelakangi
privatisasi di negara maju dan berkembang. Bila di negara
maju secara umum privatisasi membuat BUMN menjadi
semakin efisien25
dan barang atau jasa bisa tersedia dengan
harga murah bagi publik, maka privatisasi di negara
21
Nancy Brune, Geoffrey Garrett, dan Bruce Kogut, “The International
Monetary Fund and The Global Spread of Privatization”, IMF Staff Papers Vol.
51 No. 2, 2004, 195-219. http://www.imf.org 22
Organization for Economic Co-Operation and Development
merupakan sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara yang
menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. 23
“National Framework for Globalization,” tersedia di
http://www.itcilo.it . 24
Edouard Balladur, “At the Crossroads”, The Economist Vol. 1, 1997,
54-56. 25
Juliet D‟ Souza, William L Magginson dan Robert Nash,
“Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms: The Rule of
Restructuring and Corporate Governance?”, March 2000, 2. http://faculty-
staff.ou.edu.
8
berkembang hanya merupakan salah satu program dari
agenda liberalisasi ekonomi. Sebagaimana dinyatakan
Petras dan Veltmayer,26
tujuan utama privatisasi BUMN
bukanlah untuk mengambil alih kepemilikan perusahaan,
melainkan menata ulang struktur perekonomian negara
dimaksud guna melapangkan jalan bagi penyelenggaraan
agenda ekonomi neoliberal secara internasional
sebagaimana tertera dalam Washington Consensus.27
Washington Consensus adalah sebutan bagi paket “standar”
reformasi perekonomian negara-negara yang dilanda krisis
yang disusun oleh lembaga-lembaga keuangan internasional
yang bermarkas di Washington, yakni IMF, Bank Dunia,
dan Departemen Keuangan AS.
Berbagai dampak negatif privatisasi menguatkan
argumen bahwa privatisasi tidak sedikit pun memberikan
kontribusi bagi pencapaian tujuan publik sekalipun efisiensi
produksi bisa tercapai. Asumsi Washington Consensus jelas
mengabaikan dimensi keadilan sosial, pemerataan, serta
memarjinalisasi peran negara dalam aktivitas perekonomian
khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Kritik ini akhirnya melahirkan aliran pemikiran Post Washington Consensus yang diusung oleh ekonom-ekonom
seperti Joseph Stiglitz, Kanishka Jayasuriya, Ben Fine, dan
Jeffrey Sachs. Alam aliran pemikiran ini, institusi
pemerintah dan civil service serta faktor non pasar lainnya
dinilai berperan penting dalam memfasilitasi arus informasi
dan mengurangi biaya transaksi dalam privatisasi.28
Di Indonesia, kebijakan privatisasi baru pertama kali
diatur pemerintah tahun 2001 dengan dikeluarkannya
26
James Petras dan Henry Veltmayer, Globalization Unmasked:
Imperalism in the 21 Century (Kanada: Fernwood Publishing, 2001). 27
Yujiro Hayami, “From Washington Consensus to Post Washington
Consensus: Restrispect and Prospect”, dalam Asian Development Review Vol. 20
No. 2, 2003, 55. 28
Ben Fine, “Neither the Washington nor the Post-Washington
Consensus: An Introduction”, dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas, dan Jonathan
Pincus (eds.), Development Policy in the Twenty-First Century: Beyond the Post-
Washington Consensus (London: Routledge, 2001), 2.
9
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 112
Tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik
Negara. Dalam pasal 8 Keppres ini, dinyatakan bahwa salah
satu tujuan privatisasi BUMN adalah untuk meningkatkan
good corporate governance, serta memperluas partisipasi
masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Selain itu,
praktik ini juga bertujuan untuk menstimulasi pertumbuhan
ekonomi melalui penyerapan investasi dari luar negeri.29
Disinilah timbul anomali, Bayliss melihat bahwa
teori-teori privatisasi dipijakkan pada pengalaman negara-
negara industri maju yang masyarakat umumnya
mempunyai kepemilikan saham dalam pasar modal dan
investor-investor swasta lokalnya mempunyai kinerja yang
sehat.
Teori privatisasi diciptakan dengan berpijak pada
pengalaman industri maju, dan dengan demikian, ada asumsi-
asumsi implisit dalam konteks kebijakannya. Misalnya,
diasumsikan bahwa ada investor-investor yang menunggu untuk
mengambil alih dari negara; bahwa ada sektor finansial yang
memadai yang memungkinkan kepemilikan ini diperdagangkan
[...]; bahwa ada sektor publik yang punya kapasitas yang
mengimplementasikan program privatisasi yang transparan.
Demikianlah lingkungan yang diasumsikan begitu wajar dalam
kehidupan ekonomi negara-negara industri maju, sehingga
parameter-parameter tersebut diterima begitu saja. Ketika
kebijakan ini diterjemahkan ke dalam konteks negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah, yang lingkungannya sangat
berlainan, hasil-hasil privatisasi bisa terpengaruh.
Teori privatisasi berasumsi bahwa sektor publik dan swasta
bisa saling menggantikan, dan yang perlu dilakukan hanya negara
minggir dan investasi swasta akan bisa mengalir masuk ke dalam
wilayah-wilayah yang sebelumnya terhalangi oleh sektor publik.
Praktiknya, di negara-negara berkembang tidak demikian yang
terjadi [...] Negara yang lemah cenderung bertimbang balik dengan
29
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relation Studies), Post
Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia (Jakarta: Margin
Kiri, 2007), 68.
10
pasar yang lemah; jadi, bilamana kinerja negara payah, sektor
swasta juga akan rapuh.30
Berbagai kritik menanggapi kebijakan privatisasi tidak
hanya datang dari politisi, akademisi, ataupun aktivis, tapi juga
dari kalangan pelaku ekonomi sendiri. Memang, privatisasi di
Indonesia akhirnya menjadi isu sensitif yang sering dikaitkan
dengan nasionalisme dan harga diri bangsa. Masalahnya, seperti
disinyalir Kate Bayliss di halaman sebelumnya, investor lokal
yang diasumsikan siap mengambil alih peran pemerintah itu sering
tidak terjadi, sehingga peran mereka diisi oleh investor asing.
BUMN-BUMN strategis kita pun akhirnya jatuh ke tangan
asing.31
Menurut Mohamad Ikhsan, ada tiga kubu dalam polemik
tentang privatisasi ini.32
Dua diantaranya tergolong ekstrem dan
ideologis, yakni pro pasar dan anti pasar. Tapi kedua kelompok ini
tidak banyak, yang dominan justru kelompok tengah, yang setuju
privatisasi tapi harus diikuti dengan proses dan persyaratan yang
benar. Bagi Ikhsan, kritik muncul karena privatisasi yang
diharapkan dapat menata kembali struktur perekonomian malah
berakhir dengan penguasaan pasar oleh konglomerasi dan
memunculkan kelompok anti kompetisi. Ini karena dalam
pelaksanaannya, privatisasi mengabaikan proses penahanan
30
Kate Bayliss, “Privatization Theory and Practice: A Critical Analysis
of Policy Evolution in the Development Context”, dalam Jomo K.S. dan Ben
Fine (eds), The New Development Economics: After the Washington Consensus
(New Delhi: Tulika Books & London: Zed Books, 2006), 149-150. 31
Kondisi ini kerap disebut sebagai “Wimbledon Effect,” sebuah istilah
yang dicetuskan oleh para peneliti Jepang untuk menggambarkan fenomena
deregulasi di Inggris yang membuat perusahaan-perusahaan asing berjaya di
negeri itu sementara perusahaan lokalnya sendiri tersisih (sama seperti turnamen
tenis bergengsi Wimbledon di mana Inggris terus menjadi tuan rumahnya,
sekalipun pemenangnya bukan petenis Inggris sendiri). Lihat Mitsuhiro Kagami
dan Masatsugu Tsuji (eds.), Privatization, Deregulation and Institutional
Framework (Tokyo: Institute of Developing Economies dan Japan External
(Trade Organization, 1999). 32
Mohamad Ikhsan, “Pemilikan Pemerintah pada Perbankan, Masih
Adakah Pembenarannya?”, dalam http://partai-pib.or.id.
11
institusi pasar seperti prinsip free entry and exit, ataupun
pengawasan persaingan usaha.33
Pelbagai kritik terhadap privatisasi menurut Ikhsan
disebabkan oleh: (1) prosesnya tidak transparan dan rawan
korupsi. Padahal argumen privatisasi salah satunya adalah justru
untuk menghapuskan korupsi; (2) pola privatisasi dilakukan secara
sporadis, sehingga tujuan privatisasi jauh dari yang diharapkan; (3)
politikus ataupun birokrat menggunakan BUMN untuk mengejar
kepentingan pribadi daripada kepentingan sosial. Kritik serupa
juga dilontarkan oleh Marwan Batubara, ia berpendapat bahwa
pemerintah terlalu agresif dan gegabah dalam membuat rencana
privatisasi,34
dan tidak mau bersusah-susah dalam menambal
defisit APBN.35
Bahkan, proses privatisasi terkesan dilakukan
secara sembrono.
Berdasakan permasalahan tersebut diatas, maka penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam seputar konsep kepemilikan
publik dalam Ekonomi Islam dan Ekonomi Konstitusi Indonesia
yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 sebagai ideologi
perekonomian nasional, dengan menganalisis lebih dalam
kebijakan pemerintah dalam hal privatisasi.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis deskripsikan
diatas, ada beberapa permasalahan yang muncul, diantaranya:
33
Igor Artemiev dan Michael Haney, “The Privatization of Russian
Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation of a Major
Industry”. World Bank Policy Research Working Paper No. 2820, 11 April 2002 34
Marwan Batubara, Divestasi Indosat;Kebusukan Sebuah Rezim,
Catatan Gugatan Actio Popularis ( Jakarta: 2004). 35
Revrisond Baswir, “Menggugat Rampokisasi BUMN”. 2009.
Diakses pada tanggal 22 Juni 2014.
12
a. Bagaimana konsep kepemilikan publik dalam
perspektif ekonomi konstitusi dan ekonomi islam?
b. Bagaimana proses kebijakan privatisasi yang
diterapkan di negara-negara maju dengan penerapannya di
negara-negara berkembang?
c. Apakah kebijakan privatisasi yang dijalankan di
negara-negara maju relevan diterapkan di Indonesia?
d. Bagaimana sejarah awal diberlakukannya kebijakan
privatisasi di Indonesia?
e. Bagaimana pandangan para ekonom seputar
kebijakan privatisasi yang diterapkan di Indonesia?
2. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu luas,
maka penulis akan memfokuskan pembahasan pada seputar
kebijakan pemerintah dalam hal privatisasi yang diterapkan di
Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah perspektif ekonomi Islam dan ekonomi konstitusi
dalam memandang privatisasi? serta bagaimanakah relevansi
penerapannya terhadap pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di
Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa
proses kebijakan privatisasi yang dicanangkan pemerintah apakah
sudah sejalan dengan ideologi perekonomian bangsa, karena
kebijakan privatisasi ini berdampak langsung bagi masyarakat
luas. Penelitian ini juga bertujuan agar dalam mengambil suatu
kebijakannya, pemerintah diharapkan tidak menyalahi aturan atau
amanat yang terkandung didalam UUD 1945.
13
D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan agar dapat
memberikan kontribusi ilmiah dan memperkaya khazanah tentang
ekonomi Islam dalam memandang problem-problem kontemporer,
khususnya mengenai program privatisasi yang kini dijalankan
pemerintah.
Adapun manfaat praktis yang dapat diambil melalui
penelitian ini, adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman
mengenai proses kebijakan pemerintah dalam hal
privatisasi sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu
bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi praktisi dan
akademisi dalam studi lanjutan mengungkap aspek yang
berkaitan dengan kebijakan privatisasi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan
informasi yang komprehensif terkait dengan konsep
kepemilikan publik dalam ekonomi Islam dan ekonomi
konstitusi sehingga para pemangku kebijakan dapat
meninjau ulang keputusan-keputusan yang akan diambilnya
guna menjaga stabilitas perekonomian nasional.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sebagaimana layaknya sebuah penelitian, maka peneliti
mencoba untuk menemukan beberapa penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini. Beberapa literatur kajian baik yang
berupa disertasi, tesis, artikel, jurnal ataupun buku yang
membahas tentang konsep kepemilikan publik dan spesifikasinya
tentang privatisasi, diantaranya adalah:
Penelitian yang dilakukan oleh A. Effendy Choirie dalam
tesisnya yang berjudul “Privatisasi BUMN dalam Sudut Pandang
UUD 1945”.36
Penelitian itu menelusuri keberadaan program
privatisasi dilihat dari segi penafsiran hukum terhadap Pasal 33
UUD 1945 yang sudah diamandemen dengan menggunakan
36
Effendy Choirie, Privatisasi BUMN dalam Sudut Pandang UUD
1945 (Bandung: Tesis Magister Ilmu Hukum Bisnis Universitas Padjajaran,
2002).
14
pendekatan yuridis-normatif. Dalam penelitian ini disimpulkan
bahwa Pasal 33 Ayat 1,2, dan 3 berintikan sosialisme Indonesia.
Sedangkan ayat 4 dan 5 yang merupakan tambahan hasil
amandemen, mewakili neoliberalisme. Menurut kesimpulan
penulis, privatisasi yang diakomodasi dalam UU No. 19 Tahun
2003 tentang BUMN dinilai masih belum selaras dengan gagasan
neososialisme Indonesia.
Nyulistiowati Suryanti37
dalam disertasinya yang berjudul
“Privatisasi BUMN-Persero Dihubungkan dengan Kepemilikan
Golden Share oleh Negara dalam Rangka Menunjang
Pembangunan Ekonomi Indonesia” Dalam disertasi ini ditemukan
bahwa strategi pengelolaan BUMN-Persero menurut hukum
perusahaan dalam rangka meningkatkan peran BUMN sebagai
pendukung pembangunan ekonomi Indonesia belum terlaksana
sebagaimana yang diharapkan, disebabkan adanya berbagai
ketentuan, baik dalam UU BUMN sendiri maupun UU yang
terkait dengan BUMN mengatur ketentuan yang memberikan
multitafsir dalam pengelolaan BUMN. Oleh karena itu peran
BUMN dalam menunjang pembangunan ekonomi Indonesia belum
tercapai secara optimal. Disertasi ini juga menyimpulkan bahwa
fungsi Golden Share pada BUMN-Persero yang di privatisasi
dalam kaitannya dengan asas keadilan untuk mengembangkan
perekonomian Indonesia belum dapat berfungsi memenuhi rasa
keadilan masyarakat sebagaimana tuntutan Pasal 33 ayat (2) dan
(3) UUD 1945 amandemen ke-4 ketika privatisasi pada BUMN-
Persero dilaksanakan, karena belum dimanfaatkan sesuai dengan
tujuannya.
Tesis yang berjudul “Tinjauan Privatisasi dari Sudut
Pandang Hukum Bisnis di Indonesia; Analisis Kasus Privatisasi
Beberapa PT. (Persero)” karya Musri Nizar, Emmy Pangaribuan
Simanjuntak, dan Roedjiono.38
Tesis ini bertujuan untuk
37
Nyulistiowati Suryanti, Privatisasi BUMN-Persero Dihubungkan
dengan Kepemilikan Golden Share oleh Negara dalam Rangka Menunjang
Pembangunan Ekonomi Indonesia (Bandung: Disertasi Universitas Padjadjaran,
2011).
http://pustaka.unpad.ac.id 38
Musri Nizar, Emmy Pangaribuan Simanjuntak dan Roedjiono,
Tinjauan Privatisasi dari Sudut Pandang Hukum Bisnis di Indonesia; Analisis
15
mengetahui tentang peraturan mana saja yang mengatur BUMN
atau PT. (Persero) dan peraturan manakah yang dipakai menjadi
landasan hukum mengenai privatisasi BUMN atau PT. (Persero)
di Indonesia. Tesis ini juga menyimpulkan bahwa penjualan saham
milik negara kepada masyarakat melalui pasar modal untuk PT.
Semen Gresik tahun 1991 dan PT. Timah tahun 1995 tidak
ditetapkan dengan PP, sementara untuk PT. Telkom Indonesia
tahun 1995 ditetapkan dengan PP. Sedangkan penjualan saham
milik Negara selanjutnya pada PT. Telkom Indonesia pada tahun
1996, 1997, 1999, 2001 dan 2002 serta penjualan saham milik
negara pada PT. Semen Gresik tahun 1995 dan 1998 melalui mitra
strategis “Cemex SA. De CV” tidak ditetapkan dengan PP.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Juliet D’ Souza
dan William L. Megginson yang berjudul “The Financial and
Operating Performance of Privatized Firms During the 1990’s”39
Bertujuan untuk mengkomparasikan kinerja keuangan dan
operasional 85 perusahaan dari 28 negara industri yang belum dan
sudah di privatisasi. Studi kasus terhadap beberapa perusahaan
yang di privatisasi ini menyimpulkan bahwa privatisasi
menghasilkan kemajuan yang signifikan terhadap kinerja sebuah
perusahaan, diantaranya meningkatkan laba, produksi, deviden
serta mampu mengoperasionalkan kinerja perusahaan menjadi
lebih profesional.
Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Juliet D’ Souza,
William L Megginson dan Robert Nash yang berjudul
“Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms:
The Rule of Restructuring and Corporate Governance” pada tahun
2000.40
Studi empirik ini mengambil sample 118 perusahaan dari
29 negara, dan menyimpulkan bahwa privatisasi BUMN telah
Kasus Privatisasi Beberapa PT. (Persero) (Yogyakarta: Tesis Program
Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2004). http://pasca.uma.ac.id 39
Juliet D‟ Souza dan William L. Megginson, “The Financial and
Operating Performance of Privatized Firms During the 1990‟s”, Journal of
Finance, Forthcoming, August 1999, 2. http://www.oecd.org. 40
Juliet D‟ Souza, William L Magginson dan Robert Nash,
“Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms: The Rule of
Restructuring and Corporate Governance?”, March 2000, 2. http://faculty-
staff.ou.edu.
16
mampu membangun praktek Good Corporate Governance lebih
baik yang pada akhirnya mampu memicu perbaikan kinerja.
Kecenderungan utama yang terjadi setelah privatisasi adalah
perubahan kepemilikan (ownership), dimana semakin besar saham
pemerintah yang dilepaskan maka manajemen BUMN lebih
leluasa dan akan lebih fokus kepada tujuan profit maximization.
Apabila privatisasi dilakukan dengan cara listing di pasar modal,
maka kewajiban transparansi dan disklosur harus dilakukan,
sehingga Good Corporate Governance semakin kuat dilaksanakan.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Yulizar D.
Sanrego Nz dan Rusdi Batun membahas tentang privatisasi
ditinjau dari perspektif Islam yang berjudul “Pandangan Islam
Terhadap Privatisasi BUMN”.41
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis secara kritis kebijakan pivatisasi BUMN di Indonesia
dengan menggunakan pendekatan Fikih dan Hadis sesuai dengan
konsep kepemilikan dalam Islam. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa kategori BUMN yang tidak dapat di privatisasi adalah
BUMN yang mengelola kebutuhan dasar manusia dan BUMN
yang tidak dapat dikelola oleh individu maupun secara kolektif.
F. Metodologi Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian dalam rangka penulisan tesis ini termasuk
kategori penelitian kualitatif yang menekankan analisis terhadap
dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dengan
menggunakan logika ilmiah.42
Penelitian kualitatif ini akan
menggunakan analisis deskriptif dimana penulis akan menjelaskan
dinamika hubungan antara perspektif ekonomi Islam dan ekonomi
konstitusi terhadap konsep kepemilikan publik, analisis deskriptif
ini akan menggambarkan bagaimana kebijakan privatisasi di
negara-negara maju dan relevansi penerapannya di indonesia
berdasarkan ekonomi konstitusi.
41
Yulizar D. Sanrego dan Rusdi Batun, “Pandangan Islam Terhadap
Privatisasi BUMN”, Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. 3, No. 2, Desember
2009, 131. http://fis.uii.ac.id. 42
I Made Wiratha, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi (Yogyakarta:
Penerbit Andi, 2006), 134.
17
Dalam metode kualitatif, observasi literatur bertujuan
menghasilkan kerangka teori dan membangun argumentasi,
menyimpulkan contoh (sample summarization), dan
implikasinya.43
Metode kualitatif adalah sebuah penelitian untuk
mengetahui satu obyek permasalahan melalui analisa mikro dan
makro dengan cara meneliti konteks komparasi pemikiran, struktur
pemikiran dan implikasinya, observasi realitas sosial, dan relevansi
antar satu pemikiran dengan pemikiran lain.44
b. Sumber Data
Data penelitian pustaka (library research) dimana data
yang dihimpun berasal dari sumber tertulis (textual source) yang
mencakup sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
diambil dari buku An-Niz}a>m Al-Iqtis}a>di> fi> Al-Isla>m karya Taqyu
Ad-Di>n An-Nabha>ni>. Sementara sumber sekunder didapat dari
buku-buku, jurnal, artikel, dan laporan-laporan penelitian yang
berkaitan dengan kepemilikan publik dan privatisasi.
c. Pengolahan Data
Semua data dikumpulkan dan diklasifikasikan lalu dikaji,
dianalisis dan diinterpretasikan dengan menggunakan pendekatan
yuridis-normatif. Pendekatan yuridis-normatif yaitu pendekatan
yang menggunakan konsep legis positivis yang menyatakan bahwa
hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat
dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang
berwenang. Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai
sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari
kehidupan masyarakat.45
Dalam penelitian ini, penulis mengacu
pada data-data yang berkaitan dengan penafsiran Pasal 33 UUD
1945 dalam hal kaitannya dengan sistem ekonomi yang
43
Walter Wallace, “An Overview of Elements in the Scientific Process”
dalam The Logic of Science in Sosiology: an Introduction. (Chicago: Aldine-
Altherton, 1971), 16-25. 44
Sharlene Nagy Hesse-Biber and Patricia Leavy, Approaches to
Qualitative Research (New York: Oxford University Press, 2004), 1. 45
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 11.
18
mendasarkan pada konstitusi serta konsep kepemilikan publik
dalam pandangan ekonomi Islam.
d. Pengumpulan Data
Pada proses pengumpulan data dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teknik studi pustaka. Studi pustaka (library research) menjadi salah satu rujukan penulis dalam meneliti,
dimana penulis akan mengkaji referensi tertentu yang berkaitan
dengan penelitian ataupun menjadi sumber dalam menjawab
tinjauan teoritis permasalahan yang diteliti.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk menjaga alur pembahasan secara sistematis dan
untuk mempermudah pembahasan, maka tesis ini diklasifikasikan
menjadi lima bab, dengan rincian sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang
permasalahan yang menjadi keresahan atau problematika penulis
dan alasan penulis dalam pembahasan yang akan dikaji, kemudian
memaparkan batasan masalah sehingga dalam penelitian ini
penulis tidak keluar dari pokok pembahasannya. Kemudian penulis
menentukan rumusan masalah yang tersusun dalam kalimat tanya
sebagai penelitian yang akan dikaji oleh penulis agar penelitian ini
terfokus pada permasalahan. Setelah itu penulis memaparkan
kajian-kajian terdahulu guna mendapatkan literatur-literatur
perdebatan akademik mengenai permasalahan yang akan dibahas
kemudian penulis menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian ini
dan memaparkan metodologi yang akan digunakan.
Bab kedua berisi tentang diskursus kebijakan privatisasi
global. Pembahasan ini mendeskripsikan tentang privatisasi
ditinjau dari aspek historis dan ideologisnya, pengertian dan ruang
lingkup privatisasi, metode yang banyak digunakan di negara-
negara yang bersangkutan, serta membahas pula seputar pro-
kontra dikalangan para ekonom tentang kebijakan privatisasi.
Bab ketiga membahas tentang kebijakan privatisasi dalam
perspektif ekonomi Islam dan ekonomi konstitusi, di dalamnya
mencakup tentang konsep kepemilikan dalam Islam, distribusi
kekayaan dalam Islam, beserta mekanisme pengelolaan kekayaan.
19
Dalam bab ini akan dipaparkan juga tentang Pasal 33 UUD 1945
sebagai landasan ekonomi bangsa, serta makna “dikuasai negara”
dalam pasal tersebut.
Bab keempat berisi pembahasan tentang lembaga-lembaga
multilateral semisal IMF dan kaitannya dengan pengambilan
kebijakan di negara-negara berkembang yang sedang mengalami
krisis finansial, lalu akan dibahas pula proses kebijakan privatisasi
di Indonesia. Kedudukan, peran dan tantangan BUMN, serta
membahas pula tentang perkembangan pelaksanaan privatisasi di
Indonesia. Dalam bab inti ini akan dipaparkan juga contoh kasus
privatisasi yang menimbulkan pro-kontra di Indonesia.
Bab kelima penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari
hasil penelitian yang dilakukan.
21
BAB II
DISKURSUS KEBIJAKAN PRIVATISASI GLOBAL
Pada bab II ini penulis membahas tentang potret kebijakan
privatisasi yang dijalankan di berbagai negara serta landasan apa
yang mendasarinya. Sebab, kebijakan privatisasi di suatu negara
sangat erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang dianut oleh
negara tersebut. Pada bab ini pula penulis memaparkan polemik
yang mewarnai kebijakan yang sangat populer di abad ini. Faktor
penyebab polemik ini berangkat dari asumsi yang berkaitan
dengan sistem ekonomi pro pasar dan anti pasar.
A. Privatisasi dalam Perspektif Historis dan Ideologis
Berpindahnya kepemilikan dan kekuasaan publik terhadap
sektor-sektor sumber daya alam tidak bisa dilepas keterkaitannya
dengan ideologi neoliberalisme. Neoliberalisme ialah ideologi
terbaru dari liberalisme ekonomi klasik, konsep ini bertransformasi
dari sejarah panjang ideologi kapitalisme dunia. Neoliberalisme
ialah paham ekonomi politik yang mendorong perdagangan bebas,
ekspansi pasar, privatisasi atau penjualan BUMN, deregulasi atau
penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran
negara dalam layanan sosial (public service) seperti pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya.1
Menurut Awalil2, neoliberalisme secara konsepsi
merupakan penyempurnaan atas pemikiran liberalisme klasik yang
mendorong pada pengembangan kebebasan individu untuk
bersaing secara bebas-sempurna di pasar. Kedua, diakuinya
kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi. Ketiga,
pembentukan harga barang-barang melalui mekanisme pasar yang
sepenuhnya bebas. Muatan neoliberalisme lebih canggih yaitu,
pertama, menciptakan liberalisasi sektor keuangan. Kedua,
membangun liberalisasi perdagangan. Ketiga, mendorong
1 M. Syafi’ie, “Sistemiknya Privatisasi di Indonesia dan Perspektif
Menurut Islam”. Diakses 12 Desember 2013 pusham.uii.ac.id. 2 Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram
Indonesia (Jakarta: E Publishing Company, 2008), 216.
22
pengetatan dan efisiensi anggaran belanja negara. Keempat, menggerakkan sistem privatisasi terhadap BUMN-BUMN.
Konsepsi pemikiran neoliberalisme tercantum cukup tegas dalam
Washington Consensus yang berlangsung pada dekade 1980-an
dan 1990-an. Perlu juga dipahami bahwa Washington Consensus
telah dinilai oleh beberapa ekonom terkemuka sebagai sebuah
kegagalan rekomendasi ekonomi. Stiglitz menilai bahwa terdapat
beberapa kegagalan dalam mengerti struktur ekonomi pada
negara-negara sedang berkembang, dengan memfokuskan pada
tujuan-tujuan yang sempit, serta mengandalkan pada instrumen-
instrumen yang terlalu terbatas.3
Jessop4 menjelaskan bahwa sebagai sebuah proyek
ekonomi baru, neoliberalisme muncul untuk melengkapi konsep
liberalisme yang mengalami kesenjangan dengan perubahan politik
kontemporer yang lebih dinamis. Neoliberalisme mengatur tidak
hanya transaksi ekonomi domestik namun juga transborder; privatisasi perusahaan milik negara dan jasa layanan publik;
perlakuan terhadap pengeluaran di sektor kesejahteraan
masyarakat sebagai cost atau biaya produksi internasional,
daripada permintaan domestik.
Prinsip sentral dari neoliberalisme menekankan kepada
pembentukan institusi yang mampu menjaga dan mengarahkan
agar kepentingan pasar dapat tercapai. Institusi tersebut
melahirkan kesepakatan yang lazim dikenal sebagai Washington Consensus, yang mengutamakan liberalisasi, privatisasi, dan
deregulasi dalam setiap kebijakan negara yang berkaitan dengan
pasar. Lebih dari hanya sekedar mengatur pergerakan kapital dan
juga kepentingan ekonomi pasar, neoliberalisme lebih menjadi
suatu wadah untuk mengorganisasikan masyarakat sipil untuk
lebih siap menerima ekspansi ekonomi pasar.
Ekonomi kapitalis merupakan sebuah sistem ekonomi yang
menempatkan pelaku-pelaku ekonominya adalah masyarakat
3 Joseph Stiglitz, The Post Washington Consensus. Presentation Paper
untuk The Initiative for Policy Dialogue. 2005. Konferensi “From the
Washington Consensus towards a new Global Governance”. Format Revisi.
2005, 2. 4 Bob Jessop, “Liberalism , Neoliberalism, and Urban Governance. A
State-Theoretical Concept”, Jurnal Antipode. Oxford: Blackwell Publishers, 454.
23
(dalam konteks Amerika disebut sebagai ‚private‛ yang
diindonesiakan sebagai ‚swasta‛). Inti dari kesinambungan
aktivitas ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar. Sebuah dalil
yang dimulai sejak jaman Adam Smith menulis ‚The Wealth of
Nations‛ di tahun 1776. Ekonomi sosialis diinspirasikan oleh
pemikiran-pemikiran Karl Marx (1818-1883) yang mengambil
asumsi bahwa kapitalisme hanyalah sebuah fase transisi menuju
komunisme. Ekonomi sosialis justru lahir dari interpretasi Lenin
dan Stalin di Rusia terhadap pemikiran Marx. Eksploitasi individu
oleh individu lain di dalam sistem kapitalisme ‚diselesaikan‛
dengan cara negara mengambil alih seluruh alat produksi dan
seluruh pelaku usaha adalah negara. Sejak dunia terbelah dua, Blok
Barat dan Blok Timur, terjadi pula pemilahan antara negara-
negara yang menganut ekonomi kapitalis dan negara-negara yang
menganut ekonomi sosialis. Pemilahan gampangnya adalah Blok
Barat (AS dan sekutunya) kapitalis, dan Blok Timur (Soviet dan
sekutunya) sosialis.5
Sejak awal tahun 1980-an, isu-isu ekonomi dan situasi
ekonomi global semakin menjadi pusat perhatian dalam hubungan-
hubungan politik dan ekonomi internasional, lebih dari waktu-
waktu yang lalu sejak akhir abad ke-19. Banyak komentator
mencatat adanya suatu pergeseran yang amat mendalam dari dunia
yang didominasi negara menjadi dunia yang didominasi pasar.
Meningkatnya arti penting pasar, yang tercermin dengan
meningkatnya arus barang, modal dan jasa internasional, telah
didorong oleh menurunnya biaya transportasi dan komunikasi,
runtuhnya ekonomi terpusat (dikendalikan oleh negara), serta
meningkatnya pengaruh ideologi ekonomi konvensional
berdasarkan resep-resep kebijakan ekonomi. Kebangkitan pasar ini
benar-benar merupakan kembalinya era meluasnya globalisasi
pasar, produksi dan keuangan pra-Perang Dunia Pertama.6
Ketika sejumlah negara berkembang berusaha
menyesuaikan atau mengintegrasikan dirinya dengan proses
5 Riant Nugroho Dwidjowijoto, “Analisa Privatisasi BUMN di
Indonesia”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 6 No. 3, 2003, 286. 6 Robert Gilpin dan Jean Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global
penerjemah Haris Munandar dan Dudy Priatna (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), 5.
24
globalisasi, yakni dengan membuka perekonomiannya, maka yang
mereka lakukan sebenarnya adalah bergerak meninggalkan
berbagai sistem yang mereka anut sebelumnya menuju sistem
Kapitalisme-Liberal. Dalam sistem ini kepemilikan (private) dan
mekanisme pasar merupakan tiang utama proses pengambilan
keputusan, baik dilakukan pemerintah, dunia usaha, maupun
masyarakat. Itulah sebabnya, proses transisi menuju ke arah sistem
Kapitalisme-Liberal akan terdiri dari: di satu sisi proses
deregulasi, yaitu pengurangan peranan perencanaan pemerintah
dengan berbagai kebijaksanaan intervensinya, dan sebagai
akibatnya peningkatan peranan pasar; dan di sisi lain proses privatisasi, yaitu proses peralihan kepemilikan sumber dari tangan
negara ke tangan private, baik sebagai perusahaan maupun
perorangan.7
Privatisasi pertama-tama bermakna sebuah transformasi
yang lebih sempurna ke arah ekonomi kapitalis. David Clutterbuck
dalam ‚Going Private: Privatization Around the World‛8
menegaskan bahwa gagasan privatisasi berawal dari semakin
pudarnya keyakinan di dalam pemikiran ekonomi sosialis bahwa
pengelolaan ekonomi oleh negara akan menciptakan kesejahteraan.
Pada prakteknya tidak ada satu negara Barat pun yang murni
melakukan ekonomi kapitalis. Salah satu kenyataannya adalah
terdapatnya perusahaan-perusahaan yang dimiliki dan dikelola
negara, termasuk di negara kapitalis paling tua, Inggris, yaitu
British Aerospace, British Telecom, British Airways, dan beberapa
lain. Privatisasi dapat dikatakan gerakan ‚pemurnian‛ terhadap
kapitalisme.
Kemenangan kapitalisme atas sosialisme dicatat oleh
Francis Fukuyama dalam ‚The End of History and the Last Man‛9
sebagai akhir dari peradaban manusia dari pergulatan antara
peradaban kapitalisme dan sosialisme, dan peradaban kapitalisme
yang terbukti lebih baik karena ia menjadi pemenangnya. Seperti
7 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Mau Kemana Pembangunan Ekonomi
Indonesia? Ed. Yanto Bashri (Jakarta: Prenada Media: 2003), 21-22. 8 David Clutterbuck, Susan Kernaghan, dan Deborah Snow, Going
Private: Privatisation Around the World (London: Mercury Books, 1991). 9 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man (New York:
Free Press, 1992).
25
dilukiskan oleh Lesther Thurow dalam ‚The Future of
Capitalism‛10
bahwa hari ini yang terjadi bukanlah persaingan
antara ekonomi kapitalis dengan ekonomi sosialis, melainkan
kapitalis ala Amerika bersaing dengan kapitalis ala Cina,
kapitalisnya Jepang, kapitalisme Eropa, dan seterusnya. Filsuf
modern Amerika, Robert Heilbrowner, dalam Vison of the Future11
dengan tegas mengatakan bahwa it is likely that capitalism will be the prinsipal form of socio economic organization during the twenty first century, at least for the advanced nations, because no blueprint exist for viable successor. Kapitalisme akan menjadi ideologi peradaban abad 21 dan bahkan
ke depan, karena belum ada konsep pengganti yang lebih baik dan
lebih menarik. Heilbrowner mengemukakan bahwa kapitalisme
akan terus bertahan dalam waktu yang lama karena melandaskan
kepada mekanisme pasar yang merupakan hukum paling alami.
Kedua, kapitalisme memberi ruang yang lebih besar kepada
‚perubahan‛ dibanding ideologi lain. Padahal jaman ini ke depan
adalah jaman yang dihela oleh perubahan yang cepat dan dalam
kolosal. The very essence of a capitalist order is change, kata
Heilbrowner.
Seiring dengan menguatnya sistem perekonomian kapitalis
di dunia dalam dua dekade terakhir, privatisasi menjadi pilihan
kebijakan yang banyak diterapkan saat ini baik di negara
berkembang maupun negara maju. Privatisasi atau penjualan aset
negara dipandang sebagai agenda ekonomi wajib guna
menghindari ekonomi biaya tinggi melalui pelepasan perusahaan
negara yang menguras anggaran.12
Maraknya privatisasi di berbagai negara tidak bisa
dilepaskan dari adanya pergeseran pandangan tentang peran yang
harus dijalankan negara dalam pengaturan perekonomian. Jika di
tahun 1950-an dan 1960-an negara menempati peran cukup besar
10
Lesther Thurow, The Future of Capitalism (New York: Free Press,
1995). 11
Robert Heilbrowner, Vison of the Future (Oxford-New York: The
New York Public Library & Oxford University Press, 1995). 12
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di
Indonesia (Serpong: Marjin Kiri, 2007), 5.
26
dalam pengaturan dan pengelolaan sumber-sumber perekonomian,
pada dekade 1980-an terjadi pembalikan kebijakan. Inggris,
misalnya, sebelum dekade 1980-an lebih menekankan peran negara
daripada mekanisme pasar dalam pembangunan ekonomi. Hak
monopoli dipegang negara, terutama dalam sektor transportasi,
komunikasi, dan sumber daya energi. Namun pada dekade
sesudahnya ada kecenderungan liberalisasi perekonomian yang
mempersempit peran pemerintah dalam pengelolaan
perekonomian, bahkan memaksanya mundur, dan kemudian
menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.13
Kecenderungan global itu dipelopori Inggris di bawah
pemerintahan Margareth Thatcher di Inggris dan pemerintahan
Reagen di Amerika Serikat. Cristopher Johnson dalam ‚The Grand
Experiment: Mrs. Thatcher’s Economy and How it Spread‛14
melukiskan betapa gerakan ‚pemurnian‛ kapitalisme oleh
Thatcher menjadi sebuah gerakan global. Gerakan ini semakin
mendapatkan kekuatannya dengan runtuhnya seluruh sistem
politik sosialis yang dimulai dari Polandia, jatuhnya Tembok
Berlin, disusul oleh hancurnya konfederasi Uni Soviet yang disusul
oleh runtuhnya seluruh aliansi Blok Timur. Hanya Korea Utara
dan Kuba yang masih setia dengan sosialismenya, sementara Cina
lebih menggunakan sosialisme sebagai ‚alat‛, karena di dalamnya
adalah kapitalisme -seperti slogan pragmatisme pemimpin Cina
Deng Xiao Ping ‚tidak peduli kucing merah atau kucing putih yang penting bisa menangkap tikus‛. Pada era kedua pemimpin itu
anggaran pemerintah dirampingkan, berbagai subsidi pada
kesejahteraan sosial dipotong atau dihapus. Sebaliknya, berbagai
kemudahan ditawarkan kepada pelaku bisnis. Privatisasi BUMN di
kedua negara itu pun digalakkan sebagai salah satu upaya besar
untuk merombak perekonomian campuran menuju perekonomian
pasar bebas.15
Perubahan kebijakan di dua negara itu mendorong
terjadinya perubahan diplomasi ekonomi internasional, termasuk
13
Rahmat S. Labib, Privatisasi dalam Pandangan Islam (Jakarta:
WADI Press, 2005), 10. 14
Cristopher Johnson, The Grand Experiment: Mrs. Thatcher’s
Economy and How it Spread (Oxford: Westview, 1993). 15
Rahmat S. Labib, Privatisasi dalam Pandangan Islam, 10.
27
terhadap bantuan pembangunan bagi negara-negara sedang
berkembang (NSB). Semenjak itu liberalisasi ekonomi kian
mengglobal dan melanda berbagai negara di dunia. Dalam dekade
tahun 1980-an berbagai negara, mulai negara-negara industri
hingga negara-negara di dunia ketiga di benua Afrika, Asia,
Amerika Latin, dan negara-negara di bagian Timur Eropa
melakukan privatisasi besar-besaran hampir di seluruh aspek
kehidupan ekonomi. Hingga tahun akhir 1980-an, privatisasi aset
publik telah dilakukan di 82 negara.16
Menurut catatan Bank Dunia, sejak tahun 1980 lebih dari
6.800 BUMN telah diprivatisasi di seluruh dunia dan lebih dari
2.000 di antaranya di negara berkembang. Sementara lebih dari
4.000 BUMN telah dijual di 100 negara pada tahun 1996 dengan
nilai penjualan sebesar 160 miliar dollar.17
Dalam kurun waktu 1985-1999, sebanyak 8.000 privatisasi
di tingkat global telah dilakukan dengan nilai aset sebesar AS$1,1
triliun. Jika pada awal 1990-an rata-rata nilai transaksi privatisasi
global hanya berjumlah AS$50 miliar, pada 1995 nilai asetnya
meningkat menjadi AS$87 miliar dari 1.700 transaksi. Nilai itu
tidak seberapa dibandingkan dengan nilai penjualan 2.500 aset
global tahun 1998 yang mencapai AS$171 miliar.18
Namun
demikian, jika ditinjau dari aspek keuntungan (profit) privatisasi,
terdapat perbedaan tajam antara negara berkembang dan negara
maju. Pada 1997 misalnya, privatisasi yang dilakukan oleh negara-
negara Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)
mampu meraup keuntungan hingga AS$70 miliar, tetapi negara-
negara non-OECD hanya AS$30 miliar.19
Volume penjualan perusahaan publik ke swasta itu pun
terus menerus mengalami peningkatan. Jika pada pertengahan
16
Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi
(Jakarta: Salemba Empat, 2002), 64. 17
Hamzah Haz, Mengkaji Ulang Politik Ekonomi Indonesia: Strategi
Mewujudkan Keadilan Sosial (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 2001), 169. 18
Nancy Brune, Geoffrey Garrett, dan Bruce Kogut, “The International
Monetary Fund and The Global Spread of Privatization”, IMF Staff Papers Vol.
51 No. 2, 2004, 89. 19
“Privatization: Recent Trends”, Financial Market Trends Vol. 66,
Maret 1997, 15-16.
28
tahun 1970 sampai akhir dekade 1980-an nilai privatisasi dunia
mencapai 185 miliar dollar, maka pada tahun 1990 pemerintah di
seluruh dunia berhasil menjual perusahaan publiknya senilai 25
miliar dollar. Kemudian pada tahun 1992 mencapai 69 miliar
dollar, dan sekurang-kurang menembus angka 175 miliar dollar
antara tahun 1990-1993. Aset yang diprivatisasi tersebut
diperkirakan melonjak menjadi lebih dari 600 miliar dollar pada
akhir 2000.20
Berkaitan dengan maraknya privatisasi di berbagai negara,
utamanya negara berkembang, peran Bank Dunia dan IMF tak bisa
diremehkan. Sejak dekade 1980-an Bank Dunia dan IMF gencar
mempromosikan kebijakan program penyesuaian struktural
(Structural Adjustment programs) untuk mereformasi ekonomi
negara-negara berkembang dan yang sedang dilanda krisis. Tujuan
dari kebijakan tersebut salah satunya adalah merangsang
pengalihan kegiatan ekonomi dari yang semula dikelola negara
menjadi milik swasta.21
Dalam membantu menyelamatkan perekonomian negara-
negara Amerika Latin dan beberapa negara berkembang lainnya
dari tekanan anggaran dan ancaman hiperinflasi pada tahun 1989
IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat
merumuskan paket kebijakan yang sering disebut Konsensus
Washington (the Washington Consensus). Secara keseluruhan
Konsensus Washington itu meliputi kebijakan finansial dan makro
ekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar yang kompetitif,
subsidi, dan pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan dan
perdagangan, deregulasi, dan pelaksanaan privatisasi.22
Kebijakan-kebijakan tersebut secara implisit mengajak
negara untuk mengurangi campur tangan langsung dalam kegiatan
ekonomi. Dengan kata lain, perekonomian diarahkan kepada
minimalitas peran negara untuk digantikan pasar. Sebaliknya,
negara lebih memfokuskan pada kebijakan moneter, menjamin hak
20
James S. Guseh, “The Public Sector, Privatization, and Development
in Sub-Saharan Africa” dalam African Studies Quarterly, vol. 5, Issue 1. 21
Ahmad Erani Yustika, Pembangunan dan Krisis, Memetakan
Perekonomian Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002), 175-176, 207. 22
Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontent (New York: WW
Norton&Company, 2002), 16.
29
kepemilikan (property right), dan menyiapkan infrastruktur
pendidikan dasar. Kebijakan yang pro-pasar ini seringkali disebut
neoliberalisme.23
Secara umum, ada beberapa alasan yang mendasari
dilakukannya privatisasi.24
Pertama, mengurangi beban keuangan
pemerintah. Kedua, meningkatkan efisiensi perusahaan. Ketiga,
meningkatkan profesionalitas perusahaan. Keempat, mengurangi
campur tangan birokrasi atau pemerintah terhadap pengelolaan
perusahaan. Kelima, mendukung pengembangan pasar modal
dalam negeri. Keenam, sebagai flag-carrier (pembawa bendera)
untuk go international. Alasan lain yang mendasari dilakukannya kebijakan
privatisasi adalah karena pudarnya keyakinan terhadap teori
negara kesejahteraan seperti yang diperkenalkan oleh John
Maynard Keyness (1883-1987), penyelamat malaise ekonomi AS
di tahun 1930-an dan arsitek Bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional. Menyerahkan pengelolaan sebagian kegiatan
ekonomi, apalagi yang strategis, kepada negara adalah sia-sia. P.J.
O’Rourke, pemikir libertarian AS mengatakan ‚giving money and power to government is like giving whiskey and car keys to teenage boys‛. Privatisasi seluruh kegiatan ekonomi adalah
jawaban untuk meningkatkan jaminan kesejahteraan masyarakat,
karena dengan demikian mereka akan menjadi lembaga yang harus
bersaing (versus monopoli)25
. Privatisasi berjalan seiring dengan
bangkitnya kembali filsafat Libertarianisme.
Menurut INTOSAI, berdasarkan hasil survey pada negara-
negara anggotanya menyangkut alasan privatisasi, maka terdapat
lima alasan terbesar yaitu: (i) mengembangkan ekonomi pasar atau
meningkatkan efisiensi bisnis; (ii) mengurangi beban aktifitas
negara; (iii) mengurangi hutang negara atau menutup defisit
anggaran; (iv) mendapatkan dana untuk tujuan lain; (v)
23
Haz, Mengkaji Ulang, 169. 24
Setyanto P. Santosa, “Quo Vadis Privatisasi BUMN?”, tersedia di
http://www.pacific.net.id. 25
Juliet D’ Souza, William L Magginson dan Robert Nash,
“Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms: The Rule of
Restructuring and Corporate Governance?”, March 2000, 2. http://faculty-
staff.ou.edu
30
memperluas pasar modal dalam negeri. Khusus negara berkembang
terdapat beberapa alasan khusus seperti (i) mendapatkan peluang
usaha dengan dunia internasional, yang diharapkan mendorong
masuknya modal asing dan sekaligus alih teknologi; (ii) membuka
kesempatan kerja sebagai konsekuensi masuknya modal asing dan
berkembangnya dunia usaha; (iii) mendapatkan pengetahuan
manajerial dan menggantikan birokrat pengelola BUMN dengan
tenaga profesional.
Gouri mengklasifikasikan alasan privatisasi dalam empat
kelompok yaitu (i) tekanan finansial, seperti defisit anggaran,
neraca pembayaran; (ii) tekanan ekonomi, berupa ketidakefesienan
BUMN; (iii) tekanan non-ekonomis, berupa pemerataan
pendapatan, meningkatkan motivasi manajer; (iv) tekanan
eskternal misalnya tekanan dari lembaga donor seperti IMF, Bank
Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.26
Dalam master plan disebutkan bahwa salah satu tujuan
yang ingin dicapai melalui privatisasi adalah memberikan
kontribusi finansial kepada negara dan badan usaha, mempercepat
penerapan Good Corporate Governance, membuka akses ke pasar
internasional, alih teknologi serta transfer best practice kepada
badan-badan usaha. Oleh karena itu arah dan kebijakan privatisasi
diklasifikasikan berdasarkan tiga jenis struktur industri yaitu
untuk badan usaha yang industrinya sudah dalam kondisi sunset
dilakukan divestasi dan untuk badan usaha yang usahanya
menggunakan natural resource based tetap dipertahankan sebagai
badan usaha.27
B. Pengertian dan Ruang Lingkup Privatisasi
Pengertian privatisasi dalam arti sempit dikemukakan C.
Pas, B. Lowes, dan L. Davies yang mengartikan privatisasi sebagai
denasionalisasi suatu industri, merubahnya dari kepemilikan
26 Oloan P. Siahaan, Efisiensi Teknis BUMN: Analisis Panel Data
Industri Manufaktur di Indonesia Tahun 1980-1991 (Disertasi Program Pasca
Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000). 27
Kirmizi, “Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Badan Usaha Milik
Negara Sebelum dan Sesudah di privatisasi”, Jurnal Ilmu Administrasi Negara
Vol. 9 No. 2, 2009, 104.
31
pemerintah menjadi kepemilikan swasta.28
Juga Dubleavy yang
menyatakan bahwa privatisasi merupakan pemindahan permanen
aktivitas produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan
negara ke perusahaan swasta atau dalam bentuk organisasi non
publik, seperti lembaga swadaya masyarakat.29
Menurut Joseph Stiglitz, mantan Presiden Bank Dunia,
privatisasi adalah lawan dari nasionalisasi. Dalam ‚Economics of
Public Sector‛30
ia menyampaikan bahwa proses konversi
perusahaan swasta (private enterprise) menjadi perusahaan negara
(public enterprise) disebut nasionalisasi, sementara proses
pengkonversian perusahaan negara menjadi perusahaan swasta
disebut sebagai privatisasi.
Savas berpendapat, sebagai proses, privatisasi berarti
mengurangi peran pemerintah dan meningkatkan peran sektor
swasta dalam kegiatan atau pemilikan aset. Namun konsep sektor
publik dan swasta tidak mutually exclusive atau statis. Pertama,
beberapa aspek pemerintahan bertumbuh sementara lainnya tidak
berubah, bahkan berkurang. Misalnya privatisasi penjara
mengakibatkan perlunya dibuat regulasi baru untuk memastikan
dihormatinya hak narapidana. Kedua, pertumbuhan produktifitas
sektor swasta bergantung signifikan pada investasi sektor publik
seperti jalan dan pelabuhan. Ketiga, sektor swasta terbagi dalam
banyak dimensi. Sektor swasta termasuk sektor informal dan
sektor swasta nirlaba, asosiasi profesi, dan sektor ekonomi rumah
tangga.31
Privatisasi didefinisikan sebagai penyerahan kontrol efektif
dari sebuah perseroan kepada manajer dan pemilik swasta dan
biasanya terjadi apabila mayoritas saham perusahaan dialihkan
28
C Pas, B. Lowes, L. Davies, Kamus Lengkap Ekonomi ter. Tumpul
Rumapea & Posmon Haloho (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1998), 519. 29
Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi, 20. 30
Joseph Stiglitz, Economics of Public Sector (New York: W.W.
Northon Company, 1988). 31
Gayle, Dennis J. dan Jonathan N. Goodrich, “Exploring the
Implications of Privatizations and Deregulation” dalam Dennis J. Gayle and
Jonathan N. Goodrich (ed) Privatization and Deregulation in Global Perspective
(New York: Quorum Books, 1990).
32
kepemilikannya kepada swasta. Menurut M. Suhud32
, privatisasi
diartikan sebagai proses transformasi kepemilikan saham
pemerintah pada sebuah perusahaan ke dalam kepemilikan swasta.
Privatisasi di Indonesia dilaksanakan bertujuan untuk
meningkatkan kinerja dan peran serta masyarakat dalam
kepemilikan saham persero. Kunci keberhasilan reformasi BUMN
ini sangat bergantung kepada perubahan paradigma dalam
pengelolaan BUMN dimana pada mulanya masih berskala
domestik dengan profit awareness yang rendah (masih berorientasi
pada public social service) harus dirubah menjadi pengelolaan
secara profesional dengan penekanan kepada profit awareness dan
value creation.33
Dengan demikian privatisasi BUMN mempunyai
arti: (1) Perubahan peranan pemerintah, dari sebagai pemilik dan
pelaksana menjadi regulator dan promotor kebijakan serta
penetapan sasaran baik nasional maupun sektoral. (2) Para manajer
bertanggung jawab kepada pemilik baru. (3) Pemilihan metode dan
waktu privatisasi yang terbaik bagi badan usaha yang mengacu
pada kondisi pasar dan kebijakan regulasi sektoral.34
Privatisasi sebagai upaya meningkatkan kinerja BUMN
dan mengurangi beban pemerintah, sering disandingkan dengan
korporatisasi. Menurut Boston dalam Hamid dan Anto35
,
korporatisasi merupakan proses dimana aktivitas perdagangan atau
komersial suatu Departemen Pemerintah dipisahkan dari kegiatan
nonkomersial dan ditempatkan pada organisasi yang bertujuan
mencari keuntungan atau menjadi bagian fungsi komersial BUMN,
atau secara lebih ringkas, korporatisasi dapat diartikan sebagai
menerapkan pola-pola manajemen unit bisnis-bisnis swasta dalam
badan-badan usaha milik negara tersebut dan menghapuskan pola-
32
Mohammad Suhud, Privatization: A Review on the Power Sector
Restructuring in Indonesia (INFID’s Background Paper on Privatization, 2002),
9. 33
Setyanto P. Santosa, “Quo Vadis Privatisasi BUMN?”, tersedia di
http://www.pacific.net.id. 34
Kirmizi, “Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Badan Usaha Milik
Negara Sebelum dan Sesudah diprivatisasi”, Jurnal Ilmu Administrasi Negara
Vol. 9 No. 2, 2009, 105. 35
Ady Suandi Hamid dan M.B. Hendrie Anto, Ekonomi Indonesia
Memasuki Milenium III (Yogyakarta: UII Press, 2002), 64.
33
pola birokrat atau pemerintahan yang sering mencemari
manajemen BUMN.
Pada dasarnya kegiatan privatisasi mencakup dua hal yaitu
proses divestasi dan non divestasi. Privatisasi yang dilakukan
dalam bentuk divestasi dilakukan dengan pemindahtanganan aset
dan saham perusahaan BUMN dari pemerintah kepada swasta.
Pemindahtanganan ini dapat dilakukan dengan cara go public atau
dengan private placement dengan menempatkan secara langsung
saham-saham perusahaan BUMN kepada investor yang strategis.
Proses privatisasi secara non divestasi adalah proses yang tidak
disertai dengan pemindahtanganan aset maupun saham dari
pemerintah kepada swasta, tetapi lebih bersifat pembenahan
internal organisasi (sering juga disebut dengan privatisasi
manajemen atau korporatisasi). Pemilihan metode privatisasi
harus mempertimbangkan beberapa aspek diantaranya melihat
porsi saham pemerintah pada masing-masing BUMN, nilai saham
pemerintah, nilai ekuitas, laba sebelum pajak, laba ditahan, tingkat
kesehatan BUMN, rencana ekspansi, status go public dan porsi
saham yang bisa dilepas.36
Menurut Pirie37
, privatisasi bukan sebuah formula tetapi
sebuah pendekatan. Pelaksanaannya sangat beragam. Pendekatan
kasus-per-kasus adalah esensi dari privatisasi. Fleksibilitas dari
privatisasi sebagai sebuah pendekatan memungkinkannya
digunakan pada beragam situasi di berbagai sistem ekonomi.38
Cara pandang lain adalah bahwa privatisasi memungkinkan
BUMN dan pihak swasta mempunyai kesempatan dan perilaku
yang sama. Lebih jelasnya Mar’ie Muhammad39
menyatakan
bahwa privatisasi tidak sekedar menjual aset BUMN pada swasta.
Pengertian lainnya adalah (i) memberikan kesempatan swasta
36
Pandu Patriadi, Studi Efektifitas Kebijakan Privatisasi BUMN dalam
Rangka Pembiayaan APBN (Jakarta: 2003), 5. 37
Madsen Pirie, Privatization: Theory, Practice and Choice (England:
Wildwood House Limited, 1988). 38
Privatisasi dilaksanakan mulai dari negara maju seperti Inggris,
Perancis, Jerman, Italia, Swedia, Jepang, Korea Selatan, Singapura sampai
negara berkembang seperti Pakistan, Malaysia, Srilanka, Yamaika, bahkan
negara komunis seperti Kuba, Cina, Hungaria, Rusia dan Vietnam. 39
Mar’ie Muhammad, “Pro dan Kontra Privatisasi”, Tempo 2 Januari
2003.
34
menjadi pemain utama dalam bidang bisnis; (ii) menjadikan
BUMN bertingkah laku sebagai suatu entrepreneur; (iii) BUMN
bisa bertingkah laku sebagai swasta.
Whitshire40
mengklasifikasikan privatisasi kedalam lima
bagian yaitu: (i) Privatisasi pembiayaan atas suatu jasa yang
diproduksi oleh sektor publik. Contohnya jalan tol, Build Operate Transfer (BOT), Build Operate Lease (BOL); (ii) Privatisasi
produksi atas suatu jasa yang dibiayai oleh sektor publik.
Contohnya contracting out . (iii) Denasionalisasi yaitu menjual
sebagian atau seluruh aset perusahaan. Contohnya go public, direct placement; (iv) Liberalisasi yaitu menghilangkan monopoli dan
berbagai lisensi yang menghambat masuknya swasta; (v)
Korporasi yaitu privatisasi manajemen yang berupa pengalihan
manajemen pada pihak swasta berdasar perjanjian kerjasama.
Ramamurti41
membuat rangkuman dengan makna yang
lebih luas bahwa privatisasi umumnya mencakup tiga hal, yaitu (i)
Divestasi pemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan
pada swasta. Hal ini mencakup perubahan kontrol dari negara pada
swasta; (ii) Deregulasi Ekonomi, yang mencakup pelonggaran
ketentuan BUMN khususnya pada BUMN monopoli; (iii)
Liberalisasi, yaitu mencegah kekuatan tertentu dalam ekonomi
yang dapat menghambat kompetisi.
Definisi dan pengertian privatisasi akan sangat beragam
tetapi secara umum tetap dapat dirangkum sebagai berikut (i)
Perubahan bentuk usaha dari perusahaan negara menjadi
perusahaan berbentuk perseroan terbatas; (ii) Pelepasan sebagian
(besar atau kecil) atau seluruh saham dari suatu perusahaan yang
dimiliki negara kepada swasta, baik melalui private placement maupun public offering; (iii) Pelepasan hak atau aset milik negara
atau perusahaan yang saham-sahamnya dimiliki negara pada
swasta, baik pelepasan untuk selamanya (antara lain melalui jual
beli, hibah atau tukar guling) maupun pelepasan untuk sementara
waktu (termasuk dengan cara Build Operate Transfer); (iv)
Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang
40
K Whitshire, Privatization: The British Experience –An Australian
Perspective (Melbourne: Longman Cheshire Pty Limited, 1987). 41
R Ramamurti, “Why are Developing Countries Privatizing”, Journal
of International Business Studies No. 23, 1992.
35
usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah;
(v) Membuat usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain
dengan memanfaatkan aset pemerintah; (vi) Membuka dan
meningkatkan adanya persaingan sehat dalam dunia usaha.42
Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik benang
merahnya, bahwa privatisasi adalah pengalihan kepemilikan aset
yang sebelumnya dikuasai negara menjadi milik swasta.
Pengertian privatisasi tersebut sesuai dengan yang termaktub
dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dalam UU
tersebut disebutkan bahwa privatisasi adalah penjualan saham
Persero (Perusahaan Perseroan), baik sebagian maupun seluruhnya,
kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai
perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
serta memperluas saham oleh masyarakat.43
C. Metode Privatisasi
Privatisasi BUMN dapat dilaksanakan dengan memilih
strategi yang paling cocok, sesuai dengan tujuan privatisasi, jenis
BUMN, kondisi BUMN, serta situasi sosial politik dari suatu
negara. Beberapa strategi yang dapat dipilih, antara lain public offering, private sale, new private investment, sale of assets, fragmentation, management/employee buy out, kontrak
manajemen, kontrak atau sewa aset, atau likuidasi.44
1. Public Offering Penawaran dapat dilakukan baik secara parsial maupun
secara penuh. Didalam transaksi ini pemerintah menjual sebagian
atau seluruh saham kepemilikannya atas BUMN yang diasumsikan
akan tetap beroperasi (going concern) dan menjadi perusahaan
publik. Seandainya pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya,
42
Felix O. Soebagjo, Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara
Lainnya: Pandangan dari Sudut Hukum. Makalah pada seminar Privatisasi
BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya tanggal 14-15 Mei 1996 di Jakarta. 43
UU BUMN Pasal 1 ayat 12. 44
Nankani, Helen, Techniques of Privatization of State-owned
Enterprises (The International Bank for Reconstructive and Development / The
World Bank, 1989).
36
maka status BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan
pemerintah dan swasta. Pendekatan semacam ini dilakukan
pemerintah agar masih dapat mengawasi manajemen BUMN
patungan tersebut sebelum kelak diserahkan sepenuhnya kepada
swasta. Biasanya, dalam proses penjualannya melalui proses
tender yang kompetitif, dengan mempertimbangkan proposal yang
diajukan, negosiasi antara pemerintah dengan calon pembeli
swasta.45
Public offering ini cocok untuk memprivatisasi BUMN
yang cukup besar, memiliki potensi keuntungan yang memadai
dalam waktu dekat dapat direalisasi. BUMN harus bisa
memberikan informasi lengkap tentang keuangan, manajemen, dan
informasi lainnya, yang diperlukan masyarakat sebagai calon
investor. Public offering ini akan dapat terealisasi apabila telah
tersedia pasar modal, atau suatu badan formal yang dibentuk
dalam rangka menginformasikan, menarik, dan menjaring publik.
Di samping itu harus cukup tersedia likuiditas di pasar modal
tersebut. Metode public offering telah dipilih dalam rangka
privatisasi beberapa BUMN di Indonesia, antara lain PT. Semen
Gresik, PT. Indosat, PT. Timah, PT. Telkom, PT. Aneka
Tambang, dan Bank BNI.46
2. Private Sale Pada strategi ini, pemerintah menjual semua atau sebagian
saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada satu atau
sekelompok investor tertentu. Calon investor pada umumnya
sudah diidentifikasi terlebih dahulu, sehingga pemerintah dapat
memilih investor mana yang paling cocok untuk dijadikan partner
usahanya. Strategi private sale ini fleksibel, tidak harus melalui
pasar modal. Cocok untuk privatisasi BUMN yang memiliki
kinerja rendah, yang belum layak untuk melakukan public offering.
BUMN ini memerlukan investor yang memerlukan usaha di bidang
industri yang sama, memiliki posisi keuangan yang kuat, dan
memiliki kinerja dan teknologi yang baik. Strategi ini juga cocok
45
Umar Juoro, “Evaluasi Program Privatisasi di Indonesia”, Jurnal
Reformasi Ekonomi Vol. 3 No. 2, 2002, 65. 46
M. Faisal Artjan, “IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN”,
Majalah Usahawan No. 02 Tahun XXIX, Februari 2000.
37
untuk negara-negara yang belum memiliki pasar modal, atau
belum memiliki badan formal yang mampu menjaring investor
publik. Metode private sale telah dipakai oleh Banglasdeh untuk
memprivatisasi lebih dari 30 pabrik tekstil yang dimiliki oleh
pemerintah.47
3. New Private Investment New Private Investment dapat ditempuh oleh pemerintah
apabila pemerintah atau BUMN menghadapi keterbatasan untuk
mengembangkan usaha BUMN tersebut. Dalam hal ini,
pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki atas BUMN, tetapi
mengundang investor untuk menyertakan modal, sehingga modal
BUMN akan bertambah. Penambahan modal tersebut sepenuhnya
masuk ke BUMN, dan tidak ada dana yang diterima oleh
pemerintah langsung. Kebijakan ini akan menyebabkan proporsi
kepemilikan saham pemerintah atas BUMN tersebut jadi
berkurang.48
New Private Investment cocok untuk mengembangkan
BUMN, namun BUMN mengalami kekurangan dana, misalnya
dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi atau menyediakan
infrastruktur dalam rangka peningkatan produksi. Jadi, sasaran
utamanya bukan untuk menjual BUMN. Metode ini telah
diimplementasikan oleh pemerintah Gambia untuk memprivatisasi
Senegambia Hotel, dan pemerintah Zambia untuk memprivatisasi
Zambia Breweries.
4. Sale of Assets Pada strategi ini pemerintah tidak menjual saham yang
dimiliki atas saham BUMN tertentu, tetapi menjual aset BUMN
secara langsung kepada pihak swasta. Alternatif lain, pemerintah
tidak menjual aset BUMN secara langsung, tetapi
menggunakannya sebagai kontribusi pemerintah dalam
47
Nankani, Helen, Techniques of Privatization of State-owned
Enterprises (The International Bank for Reconstructive and Development / The
World Bank, 1989). 48
Syahrir Ika dan Agunan P. Samosir, “Analisis Privatisasi BUMN
dalam Rangka Pembiayaan APBN”, Kajian Ekonomi dan Keuangan Vol. 6 No.
4, 2002.
38
pembentukan perusahaan baru, bekerjasama dengan pihak swasta.
Dalam memilih mitra usaha, tentunya pemerintah akan memilih
pihak-pihak yang telah dikenal sebelumnya.
Kebijakan penjualan aset ini lebih fleksibel dan lebih
mudah dilaksanakan, dibandingkan menjual perusahaan secara
keseluruhan. Kebijakan ini cocok untuk dilaksanakan apabila
menjual perusahaan secara keseluruhan merupakan target yang
sulit dicapai. Pemerintah dapat menjual seluruh aset yang dimiliki
BUMN, write off semua hutang, dan melikuidasi BUMN tersebut.
Metode sale of assets ini dipakai oleh pemerintah Australia
pada waktu memprivatisasi Bellconen Mall, pemerintah Togo
pada waktu Sodeto, serta pemerintah Gabon pada waktu
memprivatisasi Societe de Bois Piza.49
5. Fragmentation Dalam strategi fragmentation, BUMN direorganisasi atau
dipecah-pecah menjadi beberapa perusahaan. Salah satu atau
beberapa anak cabang kemudian dijual kepada pihak swasta.
Kebijakan ini akan menghasilkan beberapa pemilik baru atas satu
BUMN, sehingga diharapkan dapat menciptakan usaha bisnis
yang lebih kompetitif. Strategi ini cocok untuk menjual BUMN
yang besar, dengan harga yang mahal. Karena mahalnya, biasanya
tidak banyak calon investor yang tertarik untuk membeli. Dengan
dipecah-pecah, harganya menjadi lebih murah, dan alternatif untuk
seorang menjadi lebih banyak. Ia dapat memilih bagian mana yang
paling menarik untuk dibeli.
Suatu BUMN yang besar dapat menjadi perusahaan
monopoli. Dengan dipecah-pecah, BUMN bisa menjadi beberapa
perusahaan yang saling bersinergi, dan dapat menimbulkan suatu
persaingan yang sehat. Indonesia telah menerapkan metode
fragmentation pada saat memprivatisasi PT. Krakatau Steel.
Metode ini juga telah dipakai oleh pemerintah Singapura pada saat
memprivatisasi Port of Singapore, dan pemerintah Malaysia pada
saat memprivatisasi Port Kelong.
49
Nankani, Helen, Techniques of Privatization of State-owned
Enterprises (The International Bank for Reconstructive and Development / The
World Bank, 1989).
39
6. Management/Employee Buy Out Pada strategi ini, pemerintah mengalokasikan sejumlah
saham untuk dibeli oleh para manajer dan karyawan BUMN, atau
koperasi karyawan BUMN. Strategi ini cocok untuk transfer
kepemilikan BUMN dari pemerintah kepada para manajer dan
karyawan BUMN. Dengan memiliki saham, para manajer dan
karyawan BUMN diharapkan akan bekerja lebih serius, sehingga
kinerja BUMN akan meningkat. Strategi ini cocok untuk BUMN
yang akan diprivatisasi, namun belum layak untuk melakukan
public offering karena kinerjanya yang kurang baik. Daripada
BUMN dilikuidasi, maka strategi ini merupakan alternatif yang
lebih baik. Strategi management/employee buy out dipilih oleh
pemerintah Iceland untuk memprivatisasi Icelandair. Pemerintah
Inggris juga melakukan metode yang sama untuk memprivatisasi
National Bus Company dan British Ship Builder.50
7. Kontrak Manajemen Dalam strategi kontrak manajemen, pemerintah
mengundang perusahaan swasta untuk ‚mengelola‛ BUMN selama
periode tertentu, dengan memberikan imbalan tertentu
(dituangkan dalam kontrak kerjasama). Perusahaan tersebut harus
bergerak dibidang yang sama, memiliki pengalaman yang cukup,
memiliki teknologi dan sumber daya manusia yang lebih baik.
Strategi kontrak manajemen dimaksudkan untuk (1) meningkatkan
kinerja BUMN, (2) memperoleh keuntungan yang optimal, (3)
transfer manajemen, budaya kerja, skill, dan teknologi. Tidak ada
transfer kepemilikan dalam strategi ini. Privatisasi yang dilakukan
hanya bersifat privatisasi pengelolaan, bukan privatisasi
kepemilikan. Strategi kontrak manajemen dapat dipakai sebagai
strategi antara sebelum privatisasi kepemimpinan dilaksanakan.
Kontrak manajemen merupakan strategi yang baik apabila kondisi
BUMN belum layak untuk dijual. Strategi ini dapat dipakai untuk
meningkatkan kinerja BUMN, baik untuk BUMN yang
50
Nankani, Helen, Techniques of Privatization of State-owned
Enterprises (The International Bank for Reconstructive and Development / The
World Bank, 1989).
40
memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, maupun BUMN
yang akan diprivatisasi kepemilikannya.
8. Kontrak atau Sewa Aset
Kontrak atau sewa aset adalah strategi dimana pemerintah
mengundang perusahaan swasta untuk menyewa aset atau fasilitas
yang dimiliki BUMN selama periode tertentu. Pemerintah atau
BUMN dengan segera akan mendapatkan uang sewa dari
perusahaan penyewa, tanpa melihat apakah perusahaan tersebut
memperoleh keuntungan atau tidak. Perusahaan penyewa
berkewajiban untuk memelihara aset atau fasilitas yang
disewanya. Aset atau fasilitas yang disewa bisa termasuk SDM
yang mengelola fasilitas atau aset tersebut. Strategi ini cocok
untuk meningkatkan return on assets (ROA), sehingga aset BUMN
bisa dimanfaatkan secara optimal.
PT. Tambang Timah (Indonesia) telah menerapkan metode
ini. Demikian pula Port Kelang dan National Park Facilities dari
Malaysia, serta Port of Singapore dari Singapura. BUMN-BUMN
tersebut telah menyewakan aset yang dimiliki dalam rangka
meningkatkan ROA.51
9. Likuidasi
Likuidasi merupakan alternatif terakhir yang dapat
dilakukan pemerintah terhadap BUMN. Alternatif ini dapat dipilih
apabila BUMN tersebut adalah BUMN komersial, bukan BUMN
public utilities atau memberikan public services, tetapi dalam
kenyataannya tidak pernah mendapatkan keuntungan dan selalu
menjadi beban negara.
10. Initial Public Offering (IPO) Initial Public Offering merupakan strategi privatisasi
BUMN dengan cara menjual sebagian saham yang dikuasai
pemerintah kepada investor publik untuk yang pertama kalinya.
Artinya, saham BUMN tersebut belum pernah dijual melalui pasar
51
Nankani, Helen, Techniques of Privatization of State-owned
Enterprises (The International Bank for Reconstructive and Development / The
World Bank, 1989).
41
modal pada waktu sebelumnya. Metode IPO dapat menghasilkan
dana segar dalam jumlah yang besar bagi pemerintah, tanpa harus
kehilangan kendali atas BUMN tersebut. Investor publik pada
umumnya membeli saham untuk tujuan investasi, dengan
persentase kepemilikan yang relatif kecil. Pada umumnya mereka
tidak bermaksud untuk ikut serta dalam kegiatan operasional
perusahaan. Dengan demikian IPO ini cocok untuk dipilih apabila
nilai saham yang akan diprivatisasi jumlahnya cukup besar,
BUMN memiliki kondisi keuangan yang baik, memiliki kinerja
manajemen yang baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan
IPO, serta cukup tersedia likuiditas dana di pasar modal.
D. Pro-Kontra Seputar Privatisasi
Privatisasi BUMN telah menimbulkan pro dan kontra di
kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat setuju
dengan privatisasi sepanjang privatisasi dapat memberikan
manfaat yang lebih baik, sementara sebagian masyarakat menolak
privatisasi karena dianggap tidak nasionalis dan menghabiskan
aset negara. Mereka berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara
yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah,
walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi.
Misalnya kasus penjualan saham PT. Semen Gresik Group kepada
Cemex. Kebijakan ini ditolak oleh Serikat Pekerja Semen Gresik
(SPSG) dengan melakukan mogok kerja.52
Pelaksanaan privatisasi BUMN yang dicanangkan oleh
pemerintah Indonesia ternyata tidak dapat berjalan mulus
sebagaimana yang diharapkan. Realisasi privatisasi BUMN tahun
2001 hanya mampu mencapai 50% dari target, sembilan BUMN
yang seharusnya diprivatisasi pada tahun 2001 terpaksa di carry over ke tahun 2002. Sementara itu untuk tahun 2002 sendiri,
pemerintah mentargetkan privatisasi untuk 15 BUMN.53
Pelaksanaan privatisasi yang terjadi sampai saat ini masih
terkesan ruwet, berlarut-larut, dan tidak transparan. Dikatakan
52
Komisi V DPR, “Tunda Privatisasi BUMN”, Kompas 9 Januari 2002. 53
Purwoko, “Model Privatisasi BUMN yang Mendatangkan Manfaat
bagi Pemerintah dan Masyarakat Indonesia”, Kajian Ekonomi dan Keuangan
Vol. 6 No. 1, 2002, 4.
42
ruwet karena tidak adanya aturan yang jelas tentang tata-cara dan
prosedur privatisasi. Proses privatisasi dari setiap BUMN
dilakukan dengan prosedur dan perlakuan yang berbeda.
Pelaksanaan privatisasi juga terkesan berlarut-larut, keputusan
yang sudah diambil pemerintah tidak bisa dengan segera
dilaksanakan karena berbagai alasan. Keputusan untuk
menentukan pemenang tender privatisasi juga tidak ada aturan
atau formula yang jelas, sehingga terkesan pemerintah kurang
transparan dalam proses privatisasi.54
Kegagalan pelaksanaan privatisasi juga disebabkan adanya
penolakan terhadap privatisasi BUMN. Penolakan terhadap
privatisasi BUMN dapat dilihat dari maraknya demo-demo untuk
menentang privatisasi BUMN, baik yang dilakukan oleh
masyarakat maupun oleh karyawan BUMN. Sebagai contoh,
survey yang digelar di 17 negara Amerika Latin tahun 2001
menunjukkan bahwa 64% responden menolak privatisasi BUMN
di negara mereka.55
Penolakan serupa juga terjadi di Indonesia
misalnya dalam kasus privatisasi PT. Indosat tahun 2003. Dalam
hal ini, kontroversi mencuat seputar: Pertama, ketidakjelasan
alasan ditempuhnya privatisasi mengingat PT. Indosat adalah
BUMN ‘sehat’.56
Kedua, indikasi adanya praktik korupsi.57
Ketiga, nilai strategis layanan satelit Indosat bagi pertahanan
nasional.58
Keempat, indikasi monopoli layanan telekomunikasi
oleh Singapura yang dimaknai sebagai wujud ‘menjual negara’.59
Perdebatan yang sama juga mewarnai kasus privatisasi air seperti:
Pertama, dugaan nepotisme dalam penyelenggaraan tender, dan
54
Komisi V DPR, “Tunda Privatisasi BUMN”, Kompas 9 Januari 2002. 55
David Tannenbaum, “Obsessed: The Latest Chapter in the World
Bank’s Privatization Plans”, Multinational Monitor Vol. 23 No. 9, September
2002. 56
Andi Irawan, “Penolakan Privatisasi PT. Indosat”, Koran Tempo, 3
Januari 2003. 57
“Komisi Gabungan DPR Panggil Menneg BUMN Soal Indosat”,
Kompas 17 Januari 2003. 58
Marusha Lbn Gaol dan Adler Haymans Manurung, “Privatisasi
Bagaikan Dua Bola Panas”, Suara Pembaruan, 29 Januari 2003. 59
Yogi Supardi, “Masalah Penjualan Saham Indosat Kepada Asing”,
Media Indonesia, 26 Februari 2003.
43
kedua, melambungnya harga jual air yang semakin tidak
terjangkau konsumen.60
Kontroversi juga terjadi dalam proses privatisasi yang
dilakukan negara-negara lain, misalnya dalam industri batu bara
Rusia.61 Pertama, privatisasi justru merusak lapangan kerja yang
sudah ada dan tidak membuka kesempatan kerja baru. Kedua,
privatisasi cenderung menstimulasi korupsi alih-alih
menguranginya. Ketiga, privatisasi tidak berdampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak sosial-ekonomi terparah
privatisasi mungkin dialami oleh masyarakat Amerika Latin.
Epidemi kolera tahun 1991 yang melanda kawasan itu - dimulai
dari Peru, menyebar ke Ekuador, Kolombia, Cile, dan ujung barat
Brasil - adalah buntut langsung dari liberalisasi harga yang
merupakan paket program penyesuaian struktural IMF.62
Berbagai dampak negatif privatisasi menguatkan argumen
bahwa privatisasi tidak sedikit pun memberikan kontribusi bagi
pencapaian tujuan publik sekalipun efisiensi produksi bisa
tercapai. Asumsi Washington Consensus jelas mengabaikan
dimensi keadilan sosial, pemerataan, serta memarjinalisasi peran
negara dalam aktivitas perekonomian khususnya bagi negara
berkembang seperti Indonesia.
Asumsi Washington Consensus bahwa pasar merupakan
mekanisme sosial yang paling efisien dalam memaksimalkan
kesejahteraan sosial kemudian mendapat tantangan. Negara-
negara berkembang banyak yang mempertanyakan manfaat rezim
tersebut bagi pembangunan negaranya. Beberapa persoalan yang
disoroti terkait dengan kelemahan Washington Consensus sendiri
ialah (i) redistribusi pendapatan, (ii) isu-isu sosial seperti
ketenagakerjaan, serta (iii) problem lingkungan hidup.63
Selain itu,
60 Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi (Jakarta: INFID, 2000), 36-
37. 61
Igor Artemiev dan Michael Haney, “The Privatization of Russian
Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation of a Major
Industry”, World Bank Policy Research Working Paper No. 2820, 11 April 2002. 62
Kisah tentang kaitan antara epidemi kolera dengan kebijakan IMF ini
diulas oleh Noreena Hertz, The Debt Threat: How Debt Is Destroying the
Developing World (New York: Harper Business, 2004), 142-147. 63
Syamsul Hadi, et. al., Post Washington Consensus dan Politik
Privatisasi di Indonesia (Tangerang: Penerbit Marjin kiri, 2007).
44
dalam kasus penerapan Structural Adjustment Program di berbagai
negara yang tidak memperhatikan struktur ekonomi nasional yang
berbeda-beda, program restrukturisasi ekonomi nasional juga
mengalami distorsi pasar dan menyebabkan kondisi moneter
menjadi fluktuatif.
Post-Washington Consensus berdiri sebagai gagasan para
ekonom yang justru melakukan otokritik terhadap rezim
neoliberalisme ekonomi yang selama itu berjalan. Joseph Stiglitz
pun mengundurkan diri dari jabatannya di Bank Dunia menjelang
akhir 1990-an karena merasa Bank Dunia tidak bekerja secara
semestinya. Masih terjadi dikotomi yang lebar antara negara
dengan pasar.
Publikasi Bank Dunia sebenarnya juga perlahan-lahan
menyisipkan gagasan mengenai reformasi Washington Consensus
ini sendiri. Publikasi yang berjudul East Asian Miracle
menunjukkan bahwa negara dan pasar bukanlah kutub-kutub yang
saling berlawanan, namun sebagai mitra yang produktif. Post-Washington Consensus berusaha mentransformasikan sikap anti-
pasar kedalam kerjasama negara dengan pasar global, untuk itu
Stiglitz merumuskan tiga komponen penting dalam mewujudkan
transformasi tersebut: (i) intelektual yang mumpuni, (ii) kebijakan
pemerintah, dan (iii) perawatan dan pendokumentasian ideologi
negara secara bersinambungan.64
Gore berargumen bahwa Washington Consensus
menciptakan turunan kebijakan pembangunan yang pincang akibat
globalisasi ekonomi yang parsial. Washington Consensus juga
mereduksi peran negara yang hanya sebagai penjamin
pertumbuhan GDP, dan diimplementasikan melalui alur top-down,
dimotori oleh persyaratan donor, serta dipimpin oleh para ahli dari
luar negeri.65
Washington Consensus secara garis besar
memikirkan bahwa sektor publik merupakan beban negara, karena
tidak menghasilkan keuntungan. Logika Washington Consensus
64
Ben Fine, dalam Ben fine , Costas Lapavitsas, dan Jonathan Pincus
(eds), Development Policy in the Twenty First Century Beyond the Post-
Washington Consensus (London: Routledge Taylor and Francis Group, 2003), 3. 65
Charles Gore, “The Rise and Fall of the Washington Consensus as a
Paradigm for Developing Countries”, Journal of World Development Vol. 28
No. 5, 2002, 795.
45
menjadi terlalu sederhana, yang menyamakan fungsi negara
dengan perusahaan. Hal tersebutlah yang akhirnya memicu
resistensi masyarakat sipil, serta ketidakmampuan negara untuk
sigap dalam menjalankan pengawasan dan manajemen terhadap
privatisasi sektor publik.66
66
Dewa Ayu Putu Eva Wishanti, Politik Privatisasi Air di Argentina
(1990-1999) Sebagai Upaya Restrukturisasi Ekonomi Nasional dibawah Rezim
Washington Consensus (Jakarta: Tesis Program Pasca Sarjana Ilmu Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2012), 102.
47
BAB III
PRIVATISASI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM DAN
EKONOMI KONSTITUSI
Pada bab ini penulis akan membandingkan konsep
kepemilikan publik yang terkandung dalam ajaran ekonomi Islam
dengan konsep kepemilikan publik yang tertuang dalam sistem
ekonomi yang dijalankan di Indonesia. Sebenarnya, ada beberapa
nama untuk penyebutan sistem ekonomi yang dianut oleh negara
Indonesia, diantaranya adalah sistem ekonomi Pancasila, sistem
ekonomi kerakyatan dan sistem ekonomi Konstitusi. Penyebutan
yang terakhir inilah yang penulis ambil dalam mengkonsepkan
suatu sistem ekonomi yang menuangkan prinsip-prinsip dasar
kebijakan ekonominya pada konstitusi dalam sebuah negara.
A. Konsep Kepemilikan dalam Ekonomi Islam
Ekonomi Islam, menurut para pembangun dan
pendukungnya, dibangun di atas, atau setidaknya diwarnai, oleh
prinsip-prinsip relijius, berorientasi dunia dan akhirat. Dalam
tataran paradigma seperti ini, para ekonom muslim masih dalam
satu kata, atau setidaknya, tidak ada perbedaan yang berarti.1
Mayoritas para ekonom muslim sepakat mengenai dasar pilar atau
fondasi filosofis sistem ekonomi Islam: Tauh}i>d, Khila>fah, ‘Iba>dah,
dan Taka>ful,2 Khurshid Ahmad menambahkan: Rubu>biyyah dan
Tazkiyyah,3 serta Mas’ul>iyyah (accountability).
4
1 Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam (Jakarta: The International
Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002), 13. Lihat juga Adiwarman
Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro (Jakarta: The
International Institute of Islamic Thought Indonesia, 2002), 195-197. Dan lihat
juga M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islam (Jogjakarta:
Ekonisia, 2003), 89-93. 2 Mohammed Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic
Thought: A Selected Comparative Analysis (Kuala Lumpur: Ikraq, 1995), 2.
Lihat juga M. Nejatullah Siddiqi, Muslim Economic Thingking: A Survey of Contemporary Literature (Leicester: The Islamic Foundation, 1988).
3 Khurshid Ahmad, ‚Economic Development in an Islamic
Framework‛, dalam Khurshid Ahmad (ed.), Studies in Islamic Economics
(Leicester: The Islamic Foundation, 1980), 178-179.
48
Persoalan yang dihadapi umat manusia sekarang adalah
munculnya suatu pandangan yang menempatkan aspek material
yang bebas dari dimensi nilai pada posisi yang dominan.
Pandangan hidup yang berpijak pada ideologi materialisme inilah
yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi pelaku
ekonomi yang hedonistik, sekularistik, dan materialistik. Dampak
yang ditimbulkan dari cara pandang inilah yang kemudian
membawa malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial
masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup,
disparitas pendapatan dan kekayaan antar golongan dalam
masyarakat dan antar negara di dunia, lunturnya sikap
kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit
sosial, timbulnya revolusi sosial yang anarkis dan sebagainya.
Disinilah Islam melontarkan kritik terhadap sistem
ekonomi kapitalis yang bertanggung jawab terhadap perubahan
arah, pola dan struktur perekonomian dunia sekarang ini. Perlu ada
suatu kajian yang intensif dalam memberikan alternatif
pandangan, rumusan dan strategi pembangunan ekonomi yang
humanistik dengan menggali inspirasi nilai-nilai yang terkandung
dalam Al-Qur’an, hadis dan sunnah, serta khasanah pemikiran para
cendekiawan muslim.5
Teks-teks keagamaan (An-Nus}u>s{ Ash-Shar’iyyah) memuat
banyak sekali pesan yang berkaitan dengan bidang kehidupan
perekonomian, baik secara eksplisit (s{ari>h) maupun implisit
(ghairu s{ari>h). Hanya saja secara keseluruhan aksentuasi dari nas{-nas{ tersebut lebih pada ajaran-ajaran atau pesan moral
universalnya, sesuai dengan semangat dasar Al-Qur’an itu sendiri
yaitu semangat moral yang menekankan pada ide-ide keadilan
sosial dan ekonomi.6
Sebagai realisasi universalitas Islam, masalah kepemilikan
diatur secara luas dalam Fikih Mu’amalah dalam bidang Al-Ma>l
4 M. Akhyar Adnan , An Investigation of Accounting Concepts and
Practices in Islamic Banks: The Cases of Bank Islam Malaysia Berhad and Bank Muamalat Indonesia (Thesis University of Wollongong, 1996), 136-137.
5 Muhammad Iswadi, ‚Ekonomi Islam: Kajian, Konsep, dan
Pendekatan‛, Maz{a>hi>b Vol. IV No. 1, Juni 2007. 6 Fazlurrahma>n, Islam , cet. II terj. Ahsin Mohammad (Bandung:
Pustaka, 1994), 36.
49
(harta benda) dan Al-Milk (milik).7 Perihal kepemilikan diatur
agar tidak terjadi pelanggaran hak (milik) seseorang oleh pihak
lain, sebab manusia memiliki kecenderungan materialistis. Islam
mengakui adanya hak milik pribadi maupun milik umum. Islam
juga menghormati hak milik sekaligus memberikan aturan-
aturannya, seperti jika hak milik seseorang telah mencapai jumlah
tertentu harus didistribusikan kepada orang lain. Penghormatan
Islam terhadap adanya hak milik tercermin secara nyata dalam
konsep haq al-adami>, di samping itu perlindungan keselamatan hak
milik pribadi pun diberikan Islam dengan ditentukannya sanksi
pidana terhadap orang yang merampasnya, baik melalui cara
pencurian ataupun perampokan.8
Kepemilikan terhadap harta benda merupakan hal
mendasar bagi setiap individu dalam menjalankan aktifitasnya.
Batas-batas kepemilikan yang berkaitan dengan jumlah,
pemanfaatan maupun kebebasan dalam pemanfaatan sangat
dipengaruhi oleh ajaran mendasar, baik melalui ajaran agama
maupun paham ideologi. Secara umum batasan yang
diperbincangkan adalah kepemilikan umum dan pribadi,
penggunaan pada obyek-obyek usaha maupun batas maksimal dari
kepemilikan.9
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan
segala macamnya adalah Allah SWT, sebab Dialah Pencipta,
Pengatur, dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini.10
Hak
7 M. Yusuf Musa, Al-Fiqh Al-Isla>mi> (Kairo: Da>r Al-Kutu>b Al-
H}adi>thah, 1954), 250. 8 Ahmad Azhar Bashir, Refleksi atas Persoalan Keislaman (Bandung:
Mizan, 1993), 180. 9 Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme : Relevansi
Ajaran Agama Islam dalam Aktivitas Ekonomi (Cakrawala, Maret 2007), 73. 10
Ahmad Muhammad Al-Assa>l dan Fath}i Ah}mad ‘Abd Al-Kari>m,
Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, ter. Imam Saefudin (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), 40. Hal ini berbeda dengan konsep kepemilikan pada
ekonomi kapitalisme dan sosialisme. Konsep kepemilikan pada ekonomi
kapitalisme bersandar pada falsafah individualisme, yang memandang bahwa
individu merupakan proses segala yang ada dan kebahagiaan individu,
kemerdekaan, dan kebebasannya merupakan cita-cita sistem politik dan
ekonomi. Oleh karena itu, ia memandang suci terhadap hak milik individu.
Sebaliknya, konsep kepemilikan pada ekonomi sosialisme bersandar pada
falsafah kolektivisme, yang beranggapan bahwa dasar pokok adalah orang
50
milik dalam Islam selalu dihubungkan dengan keberadaan manusia
sebagai khalifah di bumi yang bertugas untuk memakmurkan bumi
sebagai manifestasi pertanggungjawabannya. Islam mengajarkan
bahwa kepemilikan yang paling asasi dari seluruh harta adalah
Allah11
, manusia menjadi pemilik atas harta hanya sebagai amanat
dari Allah. Pemanfaatan kepemilikan oleh manusia sebatas sebagai
makhluk yang harus sesuai dengan ketetapan-Nya, dan untuk
tujuan yang telah ditetapkan melalui ajaran agama.12
Hak milik merupakan bagian dari pembahasan harta benda
(Al-Ma>l), yang merupakan kajian dari Fikih Mu’amalat.13
Karena
semua harta kekayaan merupakan milik Allah SWT, maka hanya
Dia pula yang berhak dan memiliki otoritas penuh menyerahkan
kekayaan tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapapun
yang telah mendapatkan izin dari Allah SWT memiliki suatu
harta, berarti dia adalah pemilik sah harta tersebut. Sebaliknya,
siapapun yang tidak mendapatkan izin dari-Nya untuk memiliki
suatu harta, dia bukan sebagai pemilik sah harta tersebut,
sekalipun secara fakta harta itu berada di tangannya atau di bawah
banyak. Individu merupakan bagian dari salah satu anggota dari orang banyak.
Ia tak dapat hidup diluar mereka, dan tak dapat merasakan kebebasannya
kecuali dalam lingkungan mereka, ia tak memiliki hak-hak kecuali yang diakui
dan memenuhi syarat terpeliharanya orang banyak. Lihat Ah}mad Muh}ammad
Al-‘Assa>l dan Fath }i Ah}mad ‘Abdul Kari>m, Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 40-41.
11 QS. Al-Ma>’idah: 17. ‚Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi
dan apa yang diantara keduanya, Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu‛.
12 Secara teologis kepemilikan dengan melihat Allah sebagai sentral
dan manusia sebagai makhluk-Nya, dibagi menjadi 2 : a. Kepemilikan absolut
(milkiyyah al-azal) yaitu Allah yang mempunyai kekuasaan penuh atas segala
ciptaan-Nya termasuk manusia. Sedangkan yang b. Kepemilikan relatif atau
titipan (milkiyyah al-istikhla>f wa al-ama>nah) yaitu kepemilikan yang dimiliki
manusia sebagai amanat dari Allah. H}asan Sirriy, Al-Iqtis}ha>d Al-Isla>mi>: Maba>di> wa Khasha>is wa Ahda>f, Markaz Al-Iskandariyah li al-kita>b, 1998, 76. Lihat QS.
Al-Hadi>d: 7. ‚Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya‛.
13 Wahbah Az-Zuhaili> membagi teori-teori fiqh menjadi 5, yaitu : teori
hak (naz}a>riyah al-haq), harta benda (al-amwa>l), kepemilikan (al-milkiyah), teori
perikatan (naz}a>riyah al-‘ `aqd), hukum syariah (al-muayyida>t ash-shar`’iyyah), dan
teori pembatalan (naz}a>riyah al-faskh). Lihat Dr. Wahbah az Zuhaili>, Al Fiqh Al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1984) cet. Ke-4, Jilid 4, 2833.
51
kekuasaannya. Dengan demikian, sebuah kepemilikan atas harta
kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah manakala telah
mendapatkan izin dari Allah SWT untuk memilikinya.14
Kepemilikan (milk) secara bahasa dapat diartikan memiliki
sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya.15
Secara
umum, kepemilikan dipahami sebagai dimensi kepenguasaan orang
terhadap sesuatu (barang atau benda) dan barang tersebut berada
dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum,
sehingga ia berhak mempergunakannya menurut kehendaknya dan
tidak ada orang lain, baik itu perorangan atau lembaga, yang dapat
menghalang-halanginya dalam memanfaatkan barang tersebut.
Namun, dari sudut pandang Islam bukan berarti kepemilikan
tersebut mutlak adanya.16
Kekhasan konsep Islam mengenai
kepemilikan ini terletak pada kenyataan bahwa dalam Islam,
legitimasi kepemilikan itu tergantung pada moral.17
Bahwa kepemilikan atas suatu harta semata-mata karena
adanya izin dari Allah SWT dapat dilihat dengan mudah dalam
kasus hukum waris. Penetapan pembagian hukum waris semata-
mata ditentukan oleh Allah SWT atau hukum shara’. Allah SWT
menerangkan siapa saja yang berhak atas harta warisan itu
sekaligus prosentase yang didapatkannya. Sedangkan orang yang
meninggal (pemilik awal harta tersebut) sama sekali tidak berhak
menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan harta warisnya
dan berapa bagian yang didapatkannya. Ia hanya diberi hak untuk
memberi wasiat kepada selain ahli waris yang jumlahnya tidak
boleh lebih dari sepertiga harta yang ditinggalkan.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili>, kepemilikan adalah
hubungan antara seseorang dengan harta benda yang disahkan oleh
syariah, sehingga orang tersebut menjadi pemilik atas harta benda
14
Rahmat S. Labib, Privatisasi dalam Pandangan Islam (Tangerang:
WADI Press, 2005), 68. 15
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi (Jakarta: Sinar Grafika,
2000), 5. 16
Ikhwan Abidin Basri, ‚Kepemilikan dalam Islam dalam Kategori
Fiqh Ma>liyah‛, 2000. www.republika.co.id 17
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), 63-64.
52
itu, dan berhak menggunakannya selama tidak ada larangan
terhadap penggunaannya.18
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, hak milik adalah
sebuah kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan
sebuah obyek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan
tingkatannya. Kadang kekuatan ini sangat lengkap, sehingga
pemilik benda berhak untuk menjual, memberikan, meminjamkan,
atau menghadiahkan, mewariskan atau menggunakannya untuk
tujuan produktif. Tetapi kadang kekuatan tersebut tidak lengkap,
sehingga hak pemilik menjadi terbatas.19
Sementara ‘Ali> Al-Khafi>f menyebutkan berbagai macam
definisi hak milik, sesuai dengan cara pandang yang berbeda-beda.
Dari segi arti dan sumbernya, maka hak milik adalah keterikatan
terhadap benda yang menghalangi pihak lain untuk memanfaatkan
benda tersebut. Kriteria ini mencakup hak milik terhadap benda
dan hak milik terhadap manfaatnya saja. Dari segi sifat atau
hukum, hak milik adalah hukum syariat yang ditetapkan pada
sebuah benda atau manfaatnya, yang memungkinkan pemiliknya
untuk memanfaatkannya.20
Terdapat jenis-jenis harta yang terkategori sebagai
kepemilikan umum, sehingga setiap orang berhak memanfaatkan
harta tersebut. Juga, terdapat jenis-jenis harta yang termasuk
dalam kepemilikan negara. Dengan demikian, dalam konsep
ekonomi Islam kepemilikan terklarifikasi menjadi tiga jenis, yakni:
(1) kepemilikan individu, (2) kepemilikan umum, dan (3)
kepemilikan negara.21
18
Wahbah Az-Zuhaili>, Al-Fiqh Al-Isla>mi> wa Adillatuhu..., 2892. 19
A. Islahi, Konsep Ekonomi Islam ter. Anshari Thayib (Surabaya:
Bina Ilmu, 1997), 137. 20
‘Ali> Al-Khafi>f, Al-Milkiyah fi> Ash-Shari’>ah Al-Isla>miyah ma’a Al-
Muqa>ranah bi Ash-Sharh Al-Wad`iyyah (Kairo: Da>r Al-Fikr Al-‘Arabi>, 1996),
18-20. 21
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz}a>m Al-Iqtis}a>di> fi> Al-Isla>m
(Beiru>t: Da>r Al-Ummah, 2004), 69; Al-H}amshari, An-Niz}a>m Al-Iqtis}a>di>, 165-
194; Yunus Al-Misri, Us}u>l Al-Iqtis{a>di> Al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r Al-Qala>m,
1999), 41-48; A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Islam, ter. Anshari Thayib
(Surabaya: Bina Ilmu, 1997), 138-145.
53
a. Kepemilikan Individu (Al-Milkiyyah Al-Fard}iyah/Private Property)
Kepemilikan individu (Al-Milkiyyah Al-Fard}iyyah) adalah
hukum shara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility)
tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan
barang tersebut, serta memperoleh kompensasinya baik karena
diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa ataupun
karena dikonsumsi dari barang tersebut.22
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan,
menafkahkan, dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta
yang dimiliki, seperti menjual, menggadaikan, menyewakan,
menghibahkan, mewasiatkan, dan lain-lain juga merupakan bukti
diakuinya kepemilikan individu. Disamping itu juga ditentukan
tindakan-tindakan atau kondisi-kondisi tertentu yang diakui
sebagai sebab kepemilikan. Tindakan menghidupkan tanah mati,
membeli, mendapatkan hadiah, atau memperoleh waris suatu
tanah, misalnya, dapat dikategorikan sebagai salah satu sebab
memiliki tanah tersebut.23
Menurut Muhammad Akram Khan24
, manusia diberi hak
untuk memiliki kekayaan di bawah kemahakuasaan Allah. Oleh
karena manusia bukanlah pemilik yang sesungguhnya, maka cara
memanfaatkannya pun telah pula ditetapkan oleh pemiliknya yang
sesungguhnya, (yakni Allah Yang Maha Kuasa). Sesudah
meninggal dunia, setiap orang harus mempertanggung jawabkan
semua sumber yang telah dianugerahkan dan diserahkan
penggunaannya kepadanya di dalam kehidupan dunia ini sebagai
khalifah Allah.
Muslehuddin25
berpandangan bahwa pemilikan kekayaan
oleh swasta atau pribadi dianggap sebagai dorongan untuk
memacu upaya terbaik manusia; pemilikan tersebut dengan hebat
telah menambah kekayaan masyarakat. Tetapi bagi seorang
22
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz}a>m Al-Iqtis{{a>di> fi> Al-Isla>m, 72. 23
Rahmat S. Labib, Privatisasi dalam Pandangan Islam, 70. 24
Muhammad Akram Khan, Economic Teachings of Prophet
Muhammad (Islamabad: International Institute of Islamic Economics, 1989),
267-268. 25
Muhammad Muslehuddin, Insurance and Islamic Law (New Delhi:
Adam Publishers, 2006).
54
sosialis, pemilikan swasta atau pribadi merupakan sebab utama
terjadinya distribusi kekayaan yang irasional dan tidak adil.
Konsep Islam tentang pemilikan swasta atau pribadi memiliki sifat
yang unik. Pada dasarnya pemilikan itu ada di tangan Allah, dan
hanya sebagian saja dari hak pemilikan itu dengan syarat tertentu,
yang diberikan kepada manusia agar dia dapat memenuhi
kehendak Allah, yakni bertindak selaku pemegang amanah bagi
mereka yang membutuhkan.
Adapun kepemilikan yang disyariatkan itu memiliki
beberapa syarat. Sebagaimana mengelola suatu pemilikan juga
disertai ketentuan-ketentuan, dimana pemilikan tersebut tidak bisa
lepas begitu saja dari kepentingan kelompok (community), serta
individu sebagai bagian dari suatu community, bukan hanya
sebagai individu yang terpisah sama sekali. Disamping itu, ia juga
harus dilihat sebagai individu yang hidup dalam sebuah
masyarakat (society) tertentu. Sementara untuk memanfaatkan zat
tertentu yang menjadi hak milik, hanya bisa dilakukan dengan
adanya kekuasaan yang diberikan oleh Ash-Sha>ri’. Sebab, pada
dasarnya pemilikan tersebut adalah milik Allah, lalu Allah
memberikan pemilikan tersebut kepada seseorang, yang
merupakan konsekuensi dari sebab-sebab yang mengikuti aturan
shara’. Oleh karena itu, pemilikan tersebut hakikatnya merupakan
penyerahan hak milik atas barang tertentu dari Ash-Sha>ri’ yang
diberikan kepada seseorang dalam suatu kelompok, dimana
kepemilikan tersebut tidak akan pernah ada, kalau bukan karena
adanya penyerahan kepemilikan dari Allah tersebut.26
Salah satu kewajiban atas hak milik individu adalah
kewajiban memberikan pinjaman harta kepada orang lain yang
membutuhkan, baik secara suka rela ataupun dengan mengambil
keuntungan. Kewajiban finansial yang tidak memberikan
keuntungan terbagi menjadi 4 jenis yaitu: pembayaran zakat,
menjamu tamu, menyantuni sanak kerabat, dan membantu orang
yang membutuhkan bantuan.27
Sementara hak memiliki mencakup hak untuk memperoleh
dan mendapatkan harta, hak untuk memiliki dan menikmati harta,
26
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz}a>m Al-Iqtis{{a>di> fi> Al-Isla>m, 72. 27
A. A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Islam, 140.
55
dan akhirnya hak untuk memisahkannya melalui penjualan,
pemberian hadiah, pertukaran, pewarisan, ataupun melalui cara-
cara lain yang sah. Islam mengakui seluruh hak tersebut dan
memberikannya kepada para pemeluknya sekitar 15 abad yang
lalu.28
Islam membolehkan individu untuk memperoleh harta,
bergerak maupun tidak bergerak, melalui cara-cara yang sah.
Orang dapat memperoleh harta sebanyak yang dia dapat usahakan
melalui pengetahuan, kemampuan, pengalaman, dan usahanya. Dia
dapat memperoleh harta sebanyak yang dapat diusahakannya
dengan pengetahuan, kecakapan, pengalaman, dan usahanya. Al-
Qur’an menyatakan: ‚. . . Bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, . . . ‚.
29 Jadi, tidak ada pembatasan
maupun cegahan dalam mendapatkan harta asal harta itu diperoleh
dengan cara dan alat yang halal, jujur, bermoral, dan legal.
Hak milik individu ini, disamping masalah kegunaannya
yang tentu memiliki nilai finansial sebagaimana yang telah
ditentukan oleh Allah, ia juga merupakan otoritas yang diberikan
kepada seseorang untuk mengelola kekayaan yang menjadi hak
miliknya. Oleh karena itu, wajar jika pembatasan hak milik
tersebut mengikuti ketentuan perintah dan larangan Allah. Adapun
pembatasan kepemilikan dengan menggunakan mekanisme
tertentu itu nampak pada30
: pertama, dengan cara membatasi
kepemilikan dari segi cara-cara memperoleh kepemilikan dan
pengembangan hak milik, bukan dengan merampas harta kekayaan
yang telah menjadi hak milik. Kedua, dengan cara menentukan
mekanisme mengelolanya. Ketiga, dengan cara menyerahkan tanah
kharajiyah sebagai milik negara, bukan sebagai hak milik individu.
Keempat, dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai
milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu. Kelima,
28
Muhammad Sharif Chaudhry, Fundamental of Islamic Economic
System (Penerjemah: Suherman Rosyidi) (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 338. 29
QS. An-Nisa>’ [4]: 32). للرجال نصبب مما اكتسبوا و للنساء نصب مما..اكتسبن
30 Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz}a>m Al-Iqtis{{a>di> fi> Al-Isla>m, 73-
74.
56
dengan cara men-supply orang yang memiliki keterbatasan faktor
produksi, sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ada.
b. Kepemilikan Umum (Al-Milkiyyah Al-‘A>mmah/Public Property)
Kepemilikan umum (Al-Milkiyyah Al-‘A>mmah) adalah
izin syariat kepada suatu komunitas untuk bersama-sama
memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk
kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah
dinyatakan oleh Ash-Sha>ri’ sebagai benda-benda yang dimiliki
komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh
hanya seorang saja.31
Benda-benda yang dikategorikan dalam
kepemilikan umum mencakup fasilitas umum, bahan tambang
yang tidak terbatas, dan sumber daya alam yang sifat
pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu
secara perorangan.
Jala>l Al-Ans}>ari> mengatakan bahwa kepemilikan umum
merupakan berbagai komoditas yang dijadikan Islam sebagai hak
milik seluruh kaum Muslimin, sehingga setiap individu berhak
memanfaatkannya, akan tetapi tidak diperkenankan untuk
menguasai atau memilikinya sebagai hak milik pribadi.32
Para fuqaha sepakat atas keberadaan kepemilikan umum
dalam syariat Islam, kendati mereka berbeda pendapat mengenai
benda-benda yang dapat dikategorikan sebagai kepemilikan
umum.33
Setidaknya, benda-benda yang dapat dikelompokkan
dalam kepemilikan umum ini ada tiga jenis. Pertama, fasilitas dan
sarana umum34
yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan
31
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz}a>m Al-Iqtis{{a>di> fi> Al-Isla>m, 218. 32
Jala>l Al-Ans}>ari>, Mengenal Sistem Islam dari A sampai Z.
Penerjemah Abu Faiz (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2006), 146-147. 33
Husain Sahatah, Al-Khaskhasah fi>> Mi>za>n Al-Isla>m (Kairo: Maktabat
At-Taqwa>, 2001), 37. 34
Dalam bahasa aslinya disebutkan Al-Mara>fiq Al-‘A>mmah li Al-Jama>’ah. Dalam kitab-kitab klasik sering juga disebut Al-Arfa>q yang dapat
diartikan sebagai fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana umum yang dapat
dimanfaatkan oleh warga masyarakat secara umum.
57
jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan
persengketaan.35
Dalam Islam telah ditetapkan hukum kepemilikan umum
berdasarkan hadi>th-hadi>th s}>ahi>h. Rasulullah menjelaskan dalam
sebuah hadis bagaimana sifat kebutuhan umum tersebut, ‚Kaum
Muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang rumput dan api‛.36
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa terdapat sumber daya alam
yang terkandung dalam perut bumi. Diantaranya air, padang
rumput, serta api. Masing-masing sumber daya tersebut memiliki
kegunaan yang bermanfaat untuk manusia.
Air, dalam hadis tersebut merupakan milik umum ialah air
yang belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur,
maupun sungai atau danau, bukan air yang dimiliki perorangan
dirumahnya.37
Adapun Al-Kala>’ adalah padang rumput, baik
rumput basah maupun rumput kering (Al-H}ashi>sh) yang tumbuh di
tanah, gunung atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya.38
Sedangkan yang dimaksud An-Na>r adalah bahan bakar dan segala
sesuatu yang terkait dengannya, termasuk didalamnya adalah kayu
bakar dan listrik.39
Dalam hadis tersebut juga dijelaskan bahwa salah satu
alasan dari keharusan kepemilikan secara kolektif terhadap obyek-
obyek alam itu adalah karena semua itu diberikan oleh Allah
secara gratis atau cuma-cuma tanpa harus mengeluarkan biaya,
melainkan hanya membutuhkan tenaga untuk memperoleh
kepemilikan tersebut yang kemudian digunakan untuk kepentingan
umum.40
Jadi jika ada perorangan secara individual menguasai dan
35
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz{a>m Al-Iqtis{a>di> fi> Al-Isla>m, 213. 36
Hadis ini dishahihkan oleh المسلمون شركاء فى ثالث فى الكالء والماء والنار
Syaikh Al-Ba>ni> dalam Sa}hi>h wa D}a’i>f Sunan Abi> Da>u>d, jilid 7, 477. Ana>s
meriwayatkan hadis dari Ibnu ‘Abba>s tersebut dengan menambahkan: wa thamanuhu haram (dan harganya haram). Ibnu Majah juga meriwayatkan dari
Abu> Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: ‚Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput dan api‛.
37 Al-Ma>wardi>, Al-Ah}ka>m As-Sult}a>niyyah wa Al-Wila>yah Ad-
Di>niyyah (Beirut: Da>r Al-Fikr, 1960), 180-184. 38
Ash-Shauka>ni>, Nayl Al-Aut}a>r, jilid 6, 49. 39
‘Abd Ar-Rahma>n Al-Maliki>, Politik Ekonomi Islam. Terjemah Ibnu
Solah (Bangil: Al-Izzah, 2001), 91. 40
Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, 143.
58
memilikinya, hal itu dapat mengakibatkan kesulitan dan kesusahan
bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, air, rumput dan sumber
api hanyalah sebuah misal saja. Banyak objek lain yang memiliki
kesamaan karakteristik dengannya. Ia menganjurkan seluruh
barang mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah negara)
menjadi milik kolektif.
Mengenai bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu bahan tambang yang terbatas jumlahnya dan bahan
tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Bahan tambang yang
terbatas jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki
secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan
hukum rikaz, yang didalamnya terdapat 1/5 harta (yang harus
dikeluarkan).
Adapun bahan tambang yang tidak terbatas jumlahnya,
maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Ima>m At-
Tirmidhi> meriwayatkan hadis dari Abyadh bin Hama>l bahwa ia
telah meminta kepada Rasulullah untuk mengelola tambang
garamnya, lalu Rasulullah memberikannya. Setelah ia pergi, ada
seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya: ‚Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir‛. Rasulullah kemudian bersabda: ‚Tariklah tambang tersebut darinya‛.
41
41
فا ستقطعه الملح , انه وفد الى رسول هللا: لما روى الترمذي عن ابض بن حمال , اتدري ما قطعت له؟ انما قطعت له الماء العد: قال رجل من المجلس, فلما ان ولى, فقطع له
.....فانتزعه منه: قال
Abu> ‘Ubaid mengatakan: ‚Adapun pemberian Nabi SAW kepada Abyadh bin Hama>l terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh, sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air mengalir, dimana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali. Karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang rumput, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Maka beliau berfikir untuk menjadikan benda tersebut sebagai milik pribadi yang dimiliki sendiri, sementara yang lain tidak bisa memilikinya‛.
59
Apabila garam tersebut termasuk dalam kategori tambang,
maka pencabutan kembali Rasulullah terhadap pemberian beliau
kepada Abyadh tersebut dianggap sebagai illat ketidakbolehan
dimiliki individu, dimana garam tersebut merupakan tambang
yang tidak terbatas jumlahnya, bukan karena garamnya itu sendiri
yang tidak terbatas jumlahnya. Dari hadis diatas nampak jelas,
bahwa illat larangan untuk tidak memberikan tambang garam
tersebut adalah karena tambang tersebut mengalir, yakni tidak
terbatas. Oleh karena itu, sebenarnya pembagian ini – meskipun
dalilnya bisa diberlakukan illat shar’iyyah42, yaitu keberadaannya
sebagai kepentingan umum – esensi faktanya menunjukkan bahwa
benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property).
c. Kepemilikan Negara (Milkiyya>t Ad-Daulah/State Property)
Kepemilikan negara (Al-Milkiyya>t Ad-Daulah) adalah
harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin, sementara
pengelolaannya menjadi wewenang negara, di mana negara berhak
memberikan atau mengkhususkan sesuatu kepada sebagian kaum
muslimin, sesuai dengan pandangannya. Makna pengelolaan oleh
negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk
mengelolanya. Inilah makna kepemilikan oleh negara.43
Negara mempunyai kewajiban untuk bekerja keras bagi
kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan
sosial dan mengurangi kesenjangan yang terjadi dalam distribusi
pendapatan individu. Lebih jauh Imam Ma>wardi> menjelaskan
bahwa tugas negara adalah meneruskan misi Nabi Muhammad
dalam menjaga agama dan mengemban amanat kehidupan dunia.44
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan publik,
42
Illat shar’iyyah adalah illat yang diambil dari dalil shara’, bisa dalam
bentuk s}ara>h}ah, dala>lah, istinba>t}, dan qiya>s. Sedangkan illat ‘aqliyah adalah illat yang diambil bukan dari dalil shara’, misalnya diambil dari pertimbangan
untung dan rugi, atau yang lain. 43
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz{a>m Al-Iqtis{a>di> fi> Al-Isla>m, 218. 44
Abu> Al-H}asan ‘Ali> bin Muh}ammad bin H}abi>b Al-Ma>wardi>, Al
Ah}ka>m As-Sult}a>niyah wa Al-Wila>yah Ad-Di>niyah (Kairo: Da>r Al-Wafa>, 1989),
3.
60
kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah (care taker). Negara berkewajiban memanfaatkannya guna kepentingan
publik, namun demikian tidak diperbolehkan untuk
menggunakannya secara berlebihan. Misalnya zakat harus
dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai
dengan ketentuan syariah.
Kepemilikan negara berupa harta benda yang tidak dapat
dikategorikan sebagai milik umum, namun milik individu, karena
harta tersebut berbentuk benda-benda yang bisa dimiliki secara
individu, semisal tanah, bangunan, dan barang-barang bergerak.
Namun demikian, diantara benda-benda tersebut kadang terkait
dengan hak kaum muslimin secara umum, yang oleh karenanya
barang-barang tersebut tidak termasuk milik individu, sehingga
barang-barang tersebut terkategorikan sebagai milik negara.
Beberapa jenis harta yang dikategorikan Ash-Sha>ri’ sebagai milik negara, dimana pemimpin negara berhak untuk
mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya, adalah harta yang
diperoleh dari sumber-sumber berikut, yakni: (1) ghani>mah, anfa>l45, fay’46
, dan khumu>s;47
(2) khara>j48; (3) jizyah49
; (4) pajak
(d}ari>bah); (5) beberapa jenis benda yang dimasukkan sebagai
kepemilikan negara, seperti padang pasir, gunung, pantai, dan
tanah mati yang tidak ada pemiliknya; (5) harta ushu>r yang
diambil dari harta serta perdagangan ahl adh-dhimmah dan
penduduk da>r al-harb yang melewati perbatasan negara; (6)
khumu>s dari barang-barang temuan dan barang tambang; (7) harta
yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan dari sisa waris yang
sudah dibagikan kepada ahli warisnya; (8) harta yang ditinggalkan
45
Anfa>l adalah harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan
orang kafir. 46
Fay’ adalah harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan. 47
Semua jenis harta itu dikuasai kaum muslimin dari orang kafir,
bedanya jika al-anfa>l dan al-ghani>mah (pengertiannya sama) diperoleh melalui
peperangan di medan perang, sedangkan harta al-fay’ didapatkan dengan tanpa
peperangan, pengerahan kuda, dan pasukan. Zallum, Al-Amwa>l, 41; As-Sayyid
Sa>biq, Fiqh As-Sunnah Vol. 3 (Semarang: Toha Putera), 76; 92. 48
Khara>j adalah hak kaum muslimin atas tanah yang diperoleh dari
orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai. 49
Jizyah adalah hak yang diberikan Allah SWT kepada kaum muslimin
dari orang-orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam.
61
orang-orang murtad; (9) dan harta-harta yang diperoleh secara
tidak sah para penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang
tidak diizinkan shara’, serta harta yang diperoleh dari hasil
tindakan curang lainnya.50
Kepemilikan umum bertujuan untuk merealisasikan
beberapa tujuan umum, diantaranya51
:
1. Untuk memberikan kesempatan kepada seluruh manusia
terhadap sumber kekayaan umum yang mempunyai
manfaat sosial, baik yang tergolong dalam kebutuhan
primer maupun jenis kebutuhan lain dan diperluas bagi
masyarakat secara umum.
2. Jaminan pendapatan negara, dimana negara menjaga hak-
hak warganya dan bertanggungjawab atas berbagai
kewajiban, dengan menjauhkan dari munculnya bahaya dan
kerugian terhadap masyarakat.
3. Urgensi kerjasama antar negara dalam usaha menciptakan
kemakmuran bersama.
4. Intervensi harta untuk menciptakan kemakmuran bersama.
Meskipun negara yang melakukan pengelolaan hak milik
umum serta hak milik negara, namun ada perbedaan antara kedua
bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk hak milik umum
pada dasarnya tidak boleh diberikan oleh negara kepada siapapun,
meskipun negara bisa memberikan kebolehan kepada orang-orang
untuk mengambilnya melalui pengelolaan yang memungkinkan
mereka untuk memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik
negara, sebab negara berhak untuk memberikan harta tersebut
kepada individu tertentu, dimana negara juga berhak mencegah
dari individu apabila negara memiliki pandangan demikian dalam
rangka melayani urusan mereka tanpa memberikan harta tersebut
kepada mereka.52
50
‘Abd Al-Qadi>m Zallum, Al-Amwa>l fi> Daula>t Al-Khila>fah (Beiru>t:
Da>r Al-‘Ilm li > Al-Malyin, 1983), 39. 51
‘Abdulla>h ‘Abdul H}usain At}-T}ari>qi>, Ekonomi Islam, 58-67. 52
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz}a>m Al-Iqtis{{a>di> fi> Al-Isla>m, 223.
62
d. Distribusi Kekayaan dalam Islam
Pembahasan tentang redistribusi pendapatan tidak terlepas
dari pembahasan tentang konsep distribusi. Distribusi
mengandung arti pembagian atau penyaluran sesuatu kepada orang
atau pihak lain.53
Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi
masalah distribusi pendapatan antara berbagai kelas dalam
masyarakat. Teori ekonomi modern tentang distribusi merupakan
suatu teori yang menetapkan harga jasa produksi.54
Kapitalisme tidak percaya kepada distribusi kekayaan yang
jujur dan adil. Oleh karena menganut paham kebebasan ekonomi
penuh dan pemilikan alat-alat produksi oleh swasta, maka
disparitas ekonomi pun muncul di dalam perekonomian kapitalis.
Konsentrasi kekayaan di tangan sedikit orang menjadi gejala
umum di antara mayoritas penduduk yang tercabut dari kebutuhan
hidup mereka yang paling dasar sekalipun. Orang-orang kaya
hidup dalam kemewahan sementara kemiskinan, kebodohan,
penyakit dan pengangguran menganga lebar di mana-mana.
Keseimbangan distribusi sumber-sumber ekonomi yang rusak dan
celah antara si kaya dan si miskin yang tak terjembatani ini, pada
akhirnya akan mengarah pada perjuangan kelas dan kehancuran
sistem itu sendiri.
Di pihak lain, Islam menjamin tercukupinya kebutuhan
dasar seperti makanan, pakaian, dan rumah untuk semua orang,
dan di lain pihak, menjamin distribusi kekayaan dan sumber-
sumber ekonomi yang adil dan merata di antara semua penduduk.
Islam tidak menoleransi adanya disparitas yang lebar antara si
miskin dan si kaya dan berupaya menghapuskan konsentrasi
kekayaan di tangan sedikit orang.55
Untuk menjembatani celah
antara kelompok kaya dan miskin dan menjamin distribusi
kekayaan yang merata, Islam mengambil berbagai langkah seperti
zakat dan sedekah, hukum pewarisan dan wasiat, sedekah sukarela
dan kontribusi wajib dalam bentuk pajak dan retribusi. Untuk
53
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 71.
54 M. A. Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Wakaf, 1995), 113. 55
‚ . . . supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu . . . ‚ (QS. Al-H}ashr [59] : 7).
63
mencegah terjadinya konsentrasi kekayaan di tangan sedikit orang,
aturan ekonomi Islam telah menerapkan berbagai aturan seperti
menghapus bunga, melarang perolehan harta secara haram,
melarang penimbunan harta, dan sebagainya.56
Rasulullah dalam sebuah hadisnya mengingatkan bahwa
kesenjangan ekonomi adalah pangkal kejahatan dan kekacauan
dalam masyarakat, yang akhirnya akan membawa kepada
kehancuran. Kesalahan menjalankan kebijakan sistem ekonomi
termasuk mekanisme distribusi inilah yang menyebabkan
munculnya praktik monopoli dan individualis, sekaligus rusaknya
pengelolaan hak milik pribadi, milik umum dan negara. Pada saat
itulah akan terjadi kerusakan dalam distribusi kekayaan kepada
pibadi. Oleh karena itu keseimbangan di tengah anggota
masyarakat harus dijaga atau kalau belum ada keseimbangan ini
harus diwujudkan.
Banyak pakar ekonomi filsafat dan politik yang telah
beberapa kali membahas masalah ini dalam berbagai kesempatan
dan mencoba untuk menyelesaikannya. Beberapa pemikir
berpendapat bahwa seseorang pribadi seharusnya memiliki
kebebasan sepenuhnya agar bisa menghasilkan kekayaan yang
maksimal dengan menggunakan kemampuan yang ia miliki.
Mereka juga mengingatkan agar tidak membatasi hak pribadi atas
hartanya dengan menganggapnya sebagai hak milik mutlak yang
tidak dapat dicampuri oleh negara sekalipun. Sementara pemikir
lain berpendapat bahwa kebebasan secara individual tetap akan
berbahaya bagi keselamatan masyarakat. Oleh karena itu, hak
individu atas harta yang dimilikinya sebaiknya dihapuskan dan
semua wewenang dipercayakan kepada masyarakat agar dapat
mempertahankan persamaan ekonomi di dalam masyarakat.57
Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah
menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan mekanisme
perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan mengembangkan
kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di
tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-
56
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam; Prinsip Dasar (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 361.
57 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1995), 35.
64
hukumnya. Atas dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut
masalah ekonomi dalam Islam dibangun atas kaidah-kaidah umum
ekonomi Islam yang meliputi tiga kaidah, yakni:
1. Kepemilikan (Al-Milkiyyah)
2. Mekanisme pengelolaan kekayaan (Kaifiyyah At-Tas{arruf fi> Al-Ma>l)
3. Distribusi kekayaan di antara manusia (At-Tauzi>’ Ath-Tharwah baina An-Na>s).
58
e. Mekanisme Pengelolaan Kekayaan dalam Islam
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada
hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanat untuk
disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemilik
sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan harta maupun
penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa
harta hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan
tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ‚pada mulanya‛
masyarakatlah yang berwenang menggunakan harta tersebut
secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian
darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang mengusahakan
perolehannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.59
Sehingga
sebuah kepemilikan atas harta kekayaan oleh manusia baru dapat
dipandang sah apabila telah mendapatkan izin dari Allah SWT
untuk memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan atas
suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara’ yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B. Konsep Kepemilikan dalam Ekonomi Konstitusi
a. Pengertian Ekonomi Konstitusi
Istilah konstitusi ekonomi (economic constitution) relatif
baru dikenal dalam pemikiran tentang hukum konstitusi, hukum
ekonomi, dan ilmu ekonomi pada umumnya. Di lingkungan
58
Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni>, An-Niz}a>m Al-Iqtis{a>di> fi> Al-Isla>m, 57. 59
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan,
2003), 324.
65
negara-negara sosialis-komunis di Eropa Timur, negara pertama
yang menuangkan prinsip-prinsip dasar kebijakan ekonomi dalam
konstitusi adalah Soviet Rusia pada tahun 1918, sedangkan negara
sosialis-demokrat di Eropa Barat adalah Republik Weimar Jerman
pada tahun 1919. Namun, perkataan konstitusi ekonomi (economic constitution) belum dipakai setelah istilah resmi.
Menurut Wolfgang K. dalam European Journal of Law and Economics, yang mempelopori ide konstitusi ekonomi adalah
Franz Bohn yang mengembangkan ide kompetisi dalam bentuk
hukum. Franz Bohn yang, menurut Wolfgang, meletakkan
landasan teoritis mengenai tatanan ekonomi (economic order) yang membukakan wawasan tentang konsep konstitusi ekonomi.
Dikatakan oleh Wolfgang K.60
, ‚Franz Bohn deserves recognition for having cast the idea of competition into legal forms; thus he laid the foundation of our economic order and opened new horizons for the concept of economic constitution‛.
61
Dalam perkembangan awalnya, konsep konstitusi ekonomi
ini meliputi berbagai elemen kebijakan ekonomi yang dituangkan
dalam rumusan Konstitusi Soviet-Rusia pada tahun 1918 dan
Konstitusi Weimar tahun 1919. Pada awal mula lahirnya Republik
Weimar Jerman, prinsip-prinsip dasar kebijakan-kebijakan
ekonomi yang mencakup berbagai elemen itu dimuat begitu saja
dalam konstitusi tanpa dikaitkan dengan konsep tertentu. Baru
sesudah Perang Dunia ke-2, Hugo Shinzeimer menghubungkan
ide-ide ekonomi dalam konstitusi itu dengan konsep
Gemeinwirtschaft, atau perekonomian yang dikendalikan oleh
publik (publicly controlled economy), yang terkait dengan
pengertian perekonomian terkendali dalam Konstitusi Republik
Weimar (the organized economy of the Weimar Reichsverfassung).62
60
Wolfgang K., ‚On the Concept of the ‘Economic Constitution’ and
the Importance of Franz Bohn from the Viewpoint of Legal History‛, European Journal of Law and Economic, volume 3, Number 4, Springer, December 1996,
345-356 (12). 61
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010), 61. 62
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, 62.
66
Pendekatan hukum dan konstitusi di bidang ekonomi ini
dikembangkan oleh para ahli, karena adanya ketidakpastian yang
luas dalam perekonomian. Ketidakpastian terkait dengan
pengertian-pengertian yang terkandung dalam konsep sistem
ekonomi (economic system), tata ekonomi (economic order), dan
konstitusi ekonomi (economic constitution).63
Kebijakan-kebijakan ekonomi dalam konstitusi tersebut,
baik yang dimuat secara eksplisit ataupun implisit, dijabarkan
dalam bentuk kebijakan yang lebih operasional yang biasanya
dituangkan dalam bentuk hukum tertentu, seperti undang-undang
dan peraturan perundang-undangan lainnya. Semua peraturan ini
berfungsi sebagai instrumen yang memacu laju perkembangan
ekonomi ataupun sebaliknya membuat perekonomian menjadi
mandek. Faktor-faktor peraturan ini dalam ilmu ekonomi disebut
sebagai salah satu elemen institusional dalam dinamika kebijakan
ekonomi. Seorang ekonom institusionalis, sangat menekankan
aspek kelembagaan dan peraturan semacam ini dalam
perekonomian.
Dengan demikian, jika kita berbicara mengenai ekonomi
konstitusi berarti berbicara mengenai perekonomian yang
didasarkan atas norma hukum konstitusional yang bersifat mutlak
tidak boleh dilanggar oleh penentu kebijakan ekonomi yang
bersifat operasional. Konstitusi adalah hukum tertinggi di suatu
negara, karena itu semua peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah harus tunduk dan tidak boleh bertentangan
dengannya. Jika bertentangan, maka kebijakan yang dituangkan
dalam bentuk hukum peraturan yang lebih rendah itu dapat
dibatalkan melalui proses judicial review oleh pengadilan ataupun
melalui proses executive review oleh lembaga yang lebih tinggi.
Ekonomi konstitusi adalah perekonomian berdasarkan konstitusi,
sedangkan konstitusi ekonomi adalah konstitusi yang di dalamnya
mengandung norma-norma dasar kebijakan ekonomi. Karena itu,
ekonomi konstitusi tidak dapat dipisahkan dari konstitusi
ekonomi, dan demikian pula sebaliknya.64
63
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, 63. 64
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, 69.
67
b. Pasal 33 UUD 1945 Sebagai Ideologi Ekonomi Bangsa
Pada awalnya, ketika paradigma sekuler masih terbatas
pada sekelompok kecil para akademisi, konflik antara model
agama (gereja) dan ilmu tidak mempunyai dampak yang signifikan
pada ekonomi dan masyarakat. Nilai-nilai agama tetap
mendominasi, dan mampu mengatasi dampak paradigma sekuler
pada mekanisme yang dipakai. Namun seiring dengan
perkembangannya secara gradual, nilai-nilai sekuler cenderung
meluas.65
John Lock merupakan tokoh yang pertama kali
merumuskan liberalisme dalam hak milik, yang merupakan hak
terpenting atas kehidupan dan kebebasan.66
Ide liberalisme
menguat ketika menggunakan uang sebagai alat tukar, hak milik
menjadi sangat luas dan tidak terbatas, jika memiliki sejumlah
uang yang dapat membeli kepemilikan lain sepanjang tidak
merugikan orang lain. Ide kapitalisme pada diri Lock adalah pada
pandangannya terhadap pekerjaan yang harus diukur dengan nilai
tukar komoditas yang ada di masyarakat.
Tokoh lain sebagai pendukung liberalisme adalah Adam
Smith, yang mengikuti tokoh sebelumnya mengenai pentingnya
hak milik pribadi. Ungkapan yang dipergunakan Smith untuk
pentingnya hak milik adalah the sacred rights of private property.
Secara substansi, Smith seperti John Lock menganggap bahwa
kerja merupakan dasar dari hak milik pribadi, tetapi memandang
lebih jauh terhadap kesempurnaan hak milik.67
Kuatnya ide kepemilikan pribadi dengan landasan
liberalisme telah membuat jarak kesenjangan yang jauh antara
orang kaya dan miskin. Sistem ini kurang memperhatikan nasib
65
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi : Sebuah Tinjauan
Islam penerjemah : Ikhwan Abidin Basri (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 17. 66
Menurut Lock, manusia mempunyai 3 hak kodrat yaitu : hak hidup,
kebebasan dan hak milik. Hak milik dapat diperoleh melalui bekerja, sehingga
pekerjaan menjadi legitimasi dari setiap hak milik. Batas hak milik yang dapat
diperoleh dari alam adalah sejumlah yang dapat dikonsumsi oleh manusia
beserta keluarga dan temannya. Syafiq M. Hanafi, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme, 82.
67 Adam Smith, Lectures on Jurisprudence, dikutip dari Syafiq M.
Hanafi, Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme, 83.
68
orang miskin dan orang yang tidak beruntung dalam hidupnya.
Kapitalisme menempatkan manusia pada posisi yang rancu, dan
tidak mampu menempatkan manusia sebagai makhluk individu
dalam bingkai sosial. Penekanan yang berlebihan pada
maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan, serta
pengumbaran kepentingan diri sendiri individual. Dari sinilah
diantaranya kenapa ekonomi kapitalis dinilai gagal.68
Sementara itu di sisi yang lain, hak milik individu menjadi
pusat perhatian Karl Marx dalam mengembangkan idenya dengan
lebih menjadikannya doktrin kebijakan sosio-ekonomi dan
politiknya. Pandangan-pandangannya akhirnya mengarah pada ide
revolusi untuk mewujudkan impiannya, yaitu mewujudkan
kekuasaan sosial untuk pemerataan.69
Marx menyatakan bahwa manusia dan alam mempunyai
hubungan timbal balik yang diwujudkan dalam sebuah pekerjaan.
Dalam perjalanannya hubungan yang harmonis tersebut terganggu
ketika kaum buruh menjual pekerjaannya sebagai komoditas
kepada para kapitalis dengan upah yang minim secara
berkelanjutan. Keadaan tersebut tidak dapat diperbaiki oleh sistem
yang berlaku saat itu, dan para buruh tidak pernah mempunyai hak
milik dari pekerjaannya sendiri. Kondisi tersebut dianggap sebagai
cara berproduksi dan memperoleh kekayaan yang tidak adil dan
mengeksploitasi manusia.
Alasan-alasan itulah yang menjadikan Marx dan Marxisme
menolak hak milik pribadi yang ditegaskan dalam Manifesto
Partai Komunis, dengan ungkapan bahwa teori mendasar Partai
Komunis dapat dirumuskan dengan satu kalimat yaitu
penghapusan hak milik.70
Secara khusus, dalam perekonomian kepemilikan yang
dihapus adalah kepemilikan terhadap kapital (modal) yang
merupakan sarana produksi, karena kapital merupakan social power dan bukan hak milik individual. Kapital merupakan sarana
68
Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), (pengantar). 69
Lebih jauh lihat Muhammad Baqir Sadr, Iqtis{a>duna> (Kairo: Da>r Al-
Kita>b Al-Isla>miyyah), 226. 70
Karl Marx and Frederick Engels, The Communist Manifesto
(Harmonsworth : Penguin Books, 1974), 96.
69
pekerjaan secara kolektif yang memungkinkan seluruh masyarakat
dapat bekerja dengan baik dengan pendapatan yang layak.
Lembaga milik pribadi merupakan penindasan dan eksploitasi
kaum pekerja dengan menghisap tenaga kerja orang lain.
Ideologi adalah sejumlah doktrin, kepercayaan dan simbol-
simbol sekelompok masyarakat atau bangsa yang menjadi
pegangan dan pedoman kerja (atau perjuangan) untuk mencapai
tujuan masyarakat atau bangsa itu. Ideologi bangsa Indonesia
adalah Pancasila yang merupakan jiwa dan pandangan hidup
bangsa Indonesia yang dianggap mampu membawa bangsa
Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur.71
Jika dalam teori ekonomi Barat (Smithian) dan teori
ekonomi Timur (Marxian), hakikat manusia adalah egoistis atau
kolektif, maka dalam Pancasila manusia mencari keseimbangan
antara hidup sebagai pribadi dan hidup sebagai anggota
masyarakat, antara hidup materi dan rohani. Manusia Pancasila
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, selain homo-economicus,
juga homo metafisikus dan homo mysticus.72
Hal ini berarti bahwa
dalam ekonomi Pancasila, manusia tidak dilihat hanya dari satu
segi saja yaitu instink ekonominya, tetapi sebagai manusia bulat,
manusia seutuhnya. Sebagai manusia yang utuh ia berpikir,
bertingkah laku, dan berbuat, tidak berdasar rangsangan ekonomi
saja, tetapi selalu memperhatikan rangsangan-rangsangan (atau
terangsang oleh faktor-faktor) sosial dan moral. Faktor sosial
dalam hubungannya dengan manusia lain dan masyarakat dimana
ia berada, dan faktor-faktor moral dalam hubungannya sebagai
titah Tuhan dengan penciptanya.
Perumusan mengenai dasar bagi ekonomi Indonesia mulai
dikerjakan selama proses persiapan kemerdekaan. Proses itu terjadi
dalam Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Dr K. R.T. Radjiman
Wedyodiningrat. Salah seorang dari 68 anggota BPUPKI ini
adalah Mohammad Hatta. Diberitakan bahwa pada tanggal 30 Mei
71
Mubyarto, Ekonomi Pancasila; Gagasan dan Kemungkinan (Jakarta:
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1987),
102. 72
Sarino Mangunpranoto, “Dasar Filsafat Ekonomi Pancasila”, dalam
Mubyarto dan Boediono (eds), Ekonomi Pancasila (Yogyakarta: BPFE, 1981)
70
1945 Mohammad Hatta menyampaikan pidato selama 1 jam dalam
sidang BPUPKI, namun teks pidato penting tersebut tidak berhasil
ditemukan73
. Sangat mungkin dalam pidatonya itu Mohammad
Hatta telah menyampaikan secara rinci gagasan tentang dasar
perekonomian Indonesia. Teks yang ada adalah ‘Soal
Perekonomian Indonesia Merdeka’ yang diterima oleh BPUPKI
dalam sidang pada tanggal 16 Juli 1945 dalam rangka menyusun
dasar negara. Semangat yang terdapat dalam teks ini jelas
menjiwai rumusan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.74
Pikiran Hatta terasa hidup kembali ketika menyaksikan
Kapitalisme modal telah menggulung ekonomi negara sedang
berkembang, seperti Indonesia. Ekonomi yang dipuji selama tidak
kurang dari satu dekade sebagai model Kapitalisme Dunia hancur
hanya dalam hitungan bulan. Kehancuran ekonomi karena
spekulasi dan pelarian modal Indonesia menggiring krisis ekonomi
bergulir ke dalam krisis bidang-bidang lain.
Pemikiran kedua aliran klasik dan neo-klasik menjadi dasar
dari teori dan ideologi kelompok arus utama (mainstream).
Teknokrat Indonesia kemudian melakukan over-simplifikasi
terhadap pemikiran klasik dan neoklasik tersebut untuk ditetapkan
sebagai basis teori dari politik ekonomi Indonesia. Rangkaian
liberalisasi pasar merupakan refleksi dari paham ideologi tersebut.
Praktek menyederhanakan (over-simplification) teori klasik
ini dilakukan oleh kaum teknokrat, yang menerapkan liberalisme
ekonomi Indonesia pada tingkat yang cukup ekstrim. Kepercayaan
kepada pasar, tanpa melihat institusi lainnya, menyebabkan
banyak dampak negatif dari pembangunan ekonomi di bawah
rancangan teknokrat Indonesia. Hal itu terutama terlihat pada
tingkat kesenjangan ekonomi yang begitu lebar antar lapisan
masyarakat, antar sektor ekonomi, dan antara pusat dengan
daerah.
73
Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), xxviii. 74
Hadi Soesastro dan Aida Budiman, Pemikiran dan Permasalahan
Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Pendahuluan) (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), 15.
71
Ketahanan struktur ekonomi yang pincang dari rancangan
teknokrat ekonomi seperti ini sangat rentan. Sudah banyak yang
menyampaikan kritik terhadap politik ekonomi liberal ini tetapi
semuanya itu diabaikan. Baru pada awal dan pertengahan 1990-an
kritik tersebut didengar oleh Presiden Soeharto ketika itu dengan
cara memanggil menteri-menterinya dan konglomerat besar untuk
memberikan saham kepada koperasi. Tetapi dampak kesenjangan
sudah sangat lebar dan kesadaran presiden sudah sangat terlambat
karena di tangan para konglomerat sudah terakumulasi modal yang
sudah sedemikian besar. Sementara itu, lapisan masyarakat bawah
menikmati hasil pembangunan ekonomi dalam jumlah yang sangat
terbatas, meskipun data formal menyatakan adanya pengurangan
jumlah penduduk miskin.75
Dalam ketahanan ekonomi yang rentan ini, maka krisis
finansial tahun 1997 dengan mudah memporakporandakan
ekonomi nasional. Krisis Indonesia tidak berbeda dengan krisis
Thailand dan Malaysia pada awalnya. Tetapi dampaknya sangat
nyata berbeda karena krisis keuangan di Indonesia terus menular
menjadi krisis sosial dan politik yang memprihatinkan. Rancangan
ekonomi yang liberal dan KKN di lingkaran kekuasaan telah
ditengarai sebagai pemicu krisis dan ketahanan ekonomi yang
rentan tersebut.
Ekonomi dan masyarakat merupakan institusi yang
kompleks. Perencanaan ekonomi tidak bisa semata-mata hanya
memperhatikan basis teori ekonomi dan mengecualikan faktor-
faktor non-ekonomi. Politik ekonomi memiliki tujuan normatif
atau cita-cita yang sangat ideal, terutama untuk mencapai
kemakmuran masyarakat dan ekonomi yang berkeadilan. Corak
politik ekonomi sangat ditentukan oleh ideologi, politik negara
dan paham kemasyarakatan.
Sebagai catatan khusus, politik ekonomi yang dilaksanakan
di Indonesia saat ini sangat jauh bertolak belakang dengan falsafah
pemikiran Hatta. Politik ekonomi di Indonesia pada saat ini tidak
mengikuti proses politik yang terbuka dan demokratis, karena
hanya ditentukan oleh segelintir teknokrat ekonom sehingga
75
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi
Pembangunan (Jakarta: Granit, 2004), 176-177.
72
mengikuti paham kelompok kecil ini. Politik negara dan paham
ideologi kemasyarakatan tidak bekerja dan tidak diberi
kesempatan mempengaruhi politik ekonomi yang telah
dilaksanakan.76
Politik ekonomi di Indonesia, dalam kenyataan tidak
ditentukan oleh ideologi dan paham kemasyarakatan, tetapi sangat
dipengaruhi secara langsung oleh segelintir orang, yang disebut
teknokrat. Golongan kecil elite ini diberi kekuasaan sangat besar
oleh presiden untuk menentukan politik ekonomi, yang berbasis
paham liberal. Politik ekonomi yang dilakukan bukan merupakan
refleksi aspirasi masyarakat luas, tetapi hanya warna politik
segelintir orang tadi.
Orde (sistem) ekonomi pada kurun 20 tahun setelah
kemerdekaan masih tidak berbentuk karena banyak kekacauan
dalam perencanaan dan kenyataan ekonomi itu sendiri. Hatta
mengakui bahwa sistem empiris dari apa yang dicita-citakan
belum terwujud dengan baik karena politik ekonomi yang benar
ditinggalkan. Dengan demikian, sistem ekonomi yang ideal masih
terus bisa diformulasikan secara dinamis mengikuti perkembangan
dan dinamika ekonomi nasional maupun global.77
Pasal 33 yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945
disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Sidang Pertama
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai
oleh Soekarno. Pasal 33, yang menetapkan dasar perekonomian
Indonesia, terdapat dalam Bab ‘Kesejahteraan Sosial’. Barangkali
itulah sebabnya mengapa terdapat berbagai kerancuan dalam dasar
perekonomian Indonesia. Penafsiran tentang makna dari pasal ini
belum pernah disepakati secara substansial. Penjelasan resmi dari
pasal ini untuk pertama kalinya diberikan oleh Mohammad Hatta
dalam pidatonya sebagai Wakil Presiden pada Konperensi
Ekonomi di Yogyakarta tanggal 3 Pebruari 1946. Penjelasan ini
76
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi
Pembangunan, 171. 77
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi
Pembangunan, 182.
73
kemudian menjadi bagian integral dari UUD 1945 dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.78
Penjelasan dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 194579
:
(1) Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi.
Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan
itu ialah kooperasi.
(2) Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang
produksi yang penting bagi Negara dan menguasai
hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau
tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang
yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup
orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Sebab itu harus dikuasai oleh Negara80
dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
78
Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), 439. 79
Pidato yang diucapkan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden
dalam Konperensi Ekonomi di Yogyakarta pada tanggal 3 Pebruari 1946.
Diterbitkan kembali dalam kumpulan tulisan yang disunting oleh Sri-Edi
Swasono, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1985), 1-13. 80
Makna ‘dikuasai oleh Negara’ dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada
membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang
pula ‘penghisapan’ orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal. Negara
mempunyai kewajiban pula, supaya penetapan Undang-Undang Dasar 1945,
74
Orientasi Hatta adalah pada pemberdayaan ekonomi rakyat
yang mengorganisir diri dalam koperasi, yang bersifat jauh dari
semangat individualisme dan persaingan bebas. Dengan pola
pengorganisasian ini diharapkan bahwa ekonomi rakyat akan maju
dan mengisi sebagian besar kegiatan ekonomi nasional. Sementara
itu, sektor negara yang menyelenggarakan berbagai kegiatan
ekonomi (di bidang-bidang yang mempengaruhi hajat hidup orang
banyak) juga akan berkembang terus. Dalam gambaran Hatta,
ekonomi nasional untuk sebagian besar akan diisi oleh kegiatan
ekonomi rakyat dan ekonomi sektor negara. Perekonomian yang
boleh diselenggarakan oleh ‘orang-seorang’ hanyalah yang tersisa,
dan dalam rancang-bangun asli menurut Pasal 33, sektor kegiatan
ini direncanakan untuk menjadi semakin kecil dan tidak berarti.
Usaha swasta, mungkin karena dalam konteks waktu itu begitu
didominasi perusahaan-perusahaan Belanda, sebenarnya tidak
diberi tempat.81
Cita-cita koperasi Indonesia sebagaimana yang terpancang
dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah menentang individualisme dan
kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia
menciptakan masyarakat Indonesia yang kolektif, berakar pada
adat-istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi ditumbuhkan pada
tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern.
Semangat kolektivisme Indonesia yang akan dihidupkan kembali
dengan koperasi mengutamakan kerjasama dalam suasana
kekeluargaan antara manusia pribadi, bebas dari penindasan dan
paksaan. Ia menghargai pribadi manusia sebagai makhluk Allah
yang bertanggung jawab atas keselamatan keluarganya dan
masyarakat seluruhnya, tetapi menolak penentangan dan
persaingan dalam bidang yang sama. Pada koperasi, sebagai badan
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, didamaikan dalam
keadaan harmonis kepentingan orang-seorang dengan kepentingan
umum.82
Pasal 27 Ayat 2 terlaksana, yaitu ‘tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’. 81
Hadi Soesastro dan Aida Budiman, Pemikiran dan Permasalahan
Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Pendahuluan) , 16. 82
Mohammad Hatta, Cita-Cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945
(Pidato Hari Koperasi, 12 Juli 1977, dan pernah juga disampaikan sebagai
75
Apa yang digugat dari sistem ekonomi dalam kaitannya
dengan UUD 1945 adalah bahwa pasal-pasal ekonomi bersifat
gotong royong, seperti terlihat pada asas kekeluargaan. Tetapi
sistem yang berjalan bersifat Kapitalisme, bahkan terwujud dalam
bentuknya yang primitif, dengan warna etatisme yang tinggi.
Bahkan sistem ekonomi Indonesia pada dekade 1980-an dan 1990-
an penuh dengan praktek kebijakan antipasar dan bersifat
monopolistik. Itu berarti bahwa pasal-pasal itu sama sekali tidak
tertransmisikan ke dalam realitas sehari-hari. Ada kesenjangan
yang jauh sekali antara butir-butir normatif dengan kenyataan
sehari-hari. Kesenjangan yang besar ini terjadi karena tidak ada
wacana yang cukup kuat di dalam masyarakat untuk membangun
kendaraan institusi dan organisasi yang membawa nilai-nilai
tersebut. sistem norma dibiarkan berada diatas langit, yang
berbeda dengan kenyataan praksis.
Dalam tulisannya yang berjudul ‚Ekonomi Rakyat Dalam
Bahaya‛ yang diterbitkan pada 1933, Wakil Presiden RI pertama
Mohammad Hatta menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia
dieksploitasi oleh kolonialisme sehingga keadilan dan pemerataan
ekonomi perlu ditegakkan. Ini menjadi dasar pemikiran ekonomi
kerakyatan yang pada dasarnya adalah ekonomi sosialis dengan
tujuan utama pemerataan kesejahteraan. Paradigma yang
berkembang pada saat itu barulah sebatas pada bahwa ekonomi
kerakyatan merupakan perlawanan terhadap kapitalisme dan
eksploitasi.83
Besarnya peran negara84
dalam sistem ekonomi kerakyatan
tercermin dalam prinsip-prinsip yang terkandung pada Pasal 33
pidato di depan Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia. Pidato ini
mencerminkan pemikiran Mohammad Hatta yang berkembang sejak periode
1945 – 1959). Dimuat dalam Sri Edi Swasono (penyunting), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), 14-22.
83 Tim Warta Ekonomi, Membongkar Neolib di Indonesia (Jakarta:
Warta Ekonomi dan PT. Dian Rakyat, 2009), 23. 84
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama pemerintah dan regulasi oleh
pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaacf) dilakukan melalui mekanisme
pemilikan saham (share-holding) dan atau melalui keterlibatan langsung dalam
manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara
sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara atau pemerintah,
76
UUD 1945. Hal ini juga dilengkapi oleh pasal-pasal yang lain,
seperti Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, yaitu peran negara dalam
sistem ekonomi rakyat meliputi85
:
1) Mengembangkan koperasi.
2) Mengembangkan BUMN.
3) Memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya digunakan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
4) Memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak.
5) Memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Indonesia mengalami penjajahan selama 3,5 abad. Tidak
dapat dipungkiri bahwa perekonomian Indonesia dibangun
bercorakkan kolonialisme. Oleh karenanya, ekonomi kerakyatan
harus dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi
perekonomian yang bercorak kolonial tersebut. Untuk mencegah
terjadinya hal ini, telah banyak upaya yang dilakukan oleh pihak
kolonial untuk dapat mempertahankan jejak mereka dalam
perekonomian Indonesia.
Dari catatan sejarah, dapat dilihat dengan jelas jejak rekam
subversi perekonomian Indonesia sebagai berikut86
:
Pertama, setelah Indonesia merdeka pada 1945, para
penjajah telah melakukan berbagai cara untuk kembali
menancapkan kukunya di Indonesia, yaitu melalui agresi
militer I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk
digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi
pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara atau
pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar
dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Lihat Kuntana
Magnar, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufik, Tafsir MK Atas Pasal 33 UUD
1945; Studi Atas Putusan MK Mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU
No. 22/2001, dan UU No. 20/2002. Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1,
Februari 2010, 165. 85
Tim Warta Ekonomi, Membongkar Neolib di Indonesia, 24. 86
Tim Warta Ekonomi, Membongkar Neolib di Indonesia, 26-29.
77
adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang berdaulat,
mandiri, dan berkepribadian.
Kedua, dalam forum Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada
1949, bangsa Indonesia dipaksa untuk memenuhi tiga
syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan.
Ketiga syarat itu adalah bersedia menerima warisan utang
dari Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden, bersedia
mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana
Moneter Internasional (IMF), dan bersedia
mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing
di Indonesia.
Ketiga, dilakukannya berbagai macam proyek adu domba
menyusul dibatalkannya keputusan KMB oleh Indonesia
pada 1956. Tindakan-tindakan itu antara lain terungkap
pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958.
Keempat, diselundupkannya sejumlah sarjana dan
mahasiswa ekonomi Indonesia ke AS untuk mempelajari
perekonomian yang bercorak liberal-kapitalisme sejak
1957. Para ekonom ini kemudian dikenal dengan ‚Mafia
Barkeley‛, yang memang dipersiapkan untuk mengambil
alih perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno
pada 1966.
Kelima, dilakukannya sandiwara politik untuk
menggulingkan pemerintahan Soekarno pada 30 September
1965, setelah Soekarno menerbitkan UU No. 16/1965 pada
Agustus 1965 yang pada intinya menolak segala
keterlibatan modal asing di Indonesia.
Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani
empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari
kekuasaannya. Keempat UU itu adalah:
1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-
piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah
Belanda;
2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia menjadi
anggota ADB;
3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia
menjadi anggota IMF dan World Bank;
78
4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA).
Ketujuh, dibangunnya kembali pemerintahan
kontraevolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui
pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para
ekonom Mafia Barkeley, yang sejak jauh-jauh hari
dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha untuk
membelokkan orientasi penyelenggaraan perekonomian
Indonesia dari perekonomian rakyat menuju perekonomian
pasar, yaitu neoliberal. Tindakan pembelokkan ini
didukung sepenuhnya oleh IMF, World Bank, USAID, dan
ADB dengan mengucurkan utang luar negeri.
Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran
sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang
dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi.
Kesembilan, dipaksanya Soeharto untuk menandatangani
pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara rinci
melalui penandatanganan MoU atau nota kesepahaman
dengan IMF pada 1998, sebelum ia dipaksa untuk
menyerahkan kekuasaannya melalui gerakan politik yang
kemudian dikenal dengan nama Gerakan Reformasi. Perlu
diketahui bahwa, dalam sejarah perekonomian Inggris,
gerakan ekonomi serupa dipelopori, antara lain, oleh David
Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus,
dan John Stuart Mill.
Kesepuluh, dilakukannya amandemen pada 2002 terhadap
Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan
konstitusional sistem ekonomi kerakyatan. Melalui
perdebatan yang cukup sengit dalam tim perekonomian
saat itu yang, antara lain, terdiri dari Sri Mulyani, Sri
Adiningsih, Bambang Soedibyo dan Mubyarto, ayat 1, 2,
dan 3 Pasal 33 berhasil dipertahankan. Namun, terdapat
penambahan pasal, yaitu Pasal 33 ayat 4 yang berbunyi
‚Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar pada
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan
79
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional‛. Selain itu,
kalimat penting yang terdapat pada penjelasan Pasal 33
UUD 1945, yang berbunyi ‚Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu adalah koperasi‛ turut menguap bersama
hilangnya penjelasan pasal tersebut.
Dari hasil pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa nilai-nilai
yang terkandung pada ekonomi konstitusi, dalam hal ini Pasal 33
UUD 1945, memuat juga nilai-nilai ajaran ekonomi Islam. Nilai-
nilai yang terkandung didalamnya memuat tentang konsep
kebersamaan atau kekeluargaan, konsep kepemilikan, dan konsep
keadilan.87
Pada konsep kebersamaan atau kekeluargaan misalnya,
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi: ‚Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan‛, ayat 1 dalam
pasal ini menjelaskan bahwa asas kekeluargaan sangat penting
sekalipun dalam pengelolaan ekonomi negara. Karena manusia
adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, maka dalam
urusan perekonomian sekalipun manusia hendaknya saling
bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konsep ini
termuat dalam Al-Qur’an yaitu surat Al-H}ujura>t ayat 10 yang
berbunyi bahwa ‚Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara...‛.
88
Pada konsep kepemilikan, Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:
‚Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat‛. Ayat 2 dan 3 dalam pasal ini menjelaskan bahwa alat-alat
produksi yang vital dan yang menyangkut kepentingan rakyat
harus dimiliki oleh negara dan selanjutnya dikelola untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat demi terciptanya
kesejahteraan rakyat secara makro.
Penguasaan alat-alat produksi yang menyangkut hajat
hidup orang banyak tersebut bertujuan agar kekayaan dalam suatu
87
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam; Menangkap Makna
Maqa>s}i>d Ash-Shari>’ah (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 165. ...انما المؤمنون اخوة 88
80
negara tidak terpusat pada segenlintir orang, melainkan negara
harus mengelolanya dengan baik untuk selanjutnya didistribusikan
kepada rakyatnya dengan cara yang adil. Karena jika penguasaan
alat-alat produksi yang penting tadi diserahkan kepada segelintir
orang, atau dalam hal ini pengusaha swasta, maka suatu
perusahaan akan lebih mengejar profit maximization daripada
menjadi perusahaan yang mengedepankan pelayanan terhadap
kebutuhan rakyat.
Konsep kepemilikan yang dijelaskan diatas sangat sesuai
dengan isi kandungan Al-Qur’an surat Al-H}ashr ayat 7 yang
berbunyi bahwa: ‚.... agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu‛.
89
89
....ك ال كون دولة بن االغناء منكم
81
BAB IV
POTRET PRIVATISASI DI INDONESIA
Pada bab ini penulis membahas tentang lembaga-lembaga
multilateral semisal IMF, Bank Dunia dan Departemen Keuangan
Amerika Serikat dan keterkaitannya dengan negara-negara
berkembang yang mengambil kebijakan privatisasi dalam
memecahkan masalah krisis finansial yang membelitnya, salah
satunya Indonesia. Ketiga lembaga internasional tersebut
disinyalir selalu berada dibalik pengambilan kebijakan di negara-
negara yang menerapkannya.
A. IMF dan Kebijakan Privatisasi di Negara-Negara Maju
dan Berkembang
Krisis global yang melanda dunia pada akhir tahun 2008
ditandai dengan ambruknya harga saham di lantai Wall Street,
yang ditengarai disebabkan oleh kasus subprime mortgage
perumahan di Amerika. Para ekonom mengindikasikan terjadinya
bubble economics, yaitu pasar uang tumbuh dengan suburnya,
tetapi sektor riil kekeringan. Pertumbuhan pasar saham yang
sporadis mengakibatkan masyarakat terlena oleh sesuatu yang
semu, bukan riil. Krisis ini menelan korban raksasa-raksasa
finansial seperti Lehman Brothers, Fanny Mae, Freddie Mac, dan
yang terakhir adalah General Motors. Krisis global membawa
dampak yang besar bagi perekonomian dunia melebihi dampak
dari Great Depression pada 1929. Pengangguran di Amerika
mencapai level tertinggi sepanjang sejarah, kepercayaan publik
mulai tergerus, banyak negara yang mengalami resesi, dan
pertumbuhan dunia menjadi negatif. Dengan kata lain, terjadi
resesi global.1
Neolib merupakan modifikasi baru ataupun perkembangan
dari sistem ekonomi liberalisme dan kapitalisme. Berbekal
perkembangan teori dan kesuksesan aplikasi di negara maju,
World Bank, IMF, dan Departemen Keuangan AS sepakat untuk
1 Tim Warta Ekonomi, Membongkar Neolib di Indonesia
(Jakarta:Warta Ekonomi&PT. Dian Rakyat, 2009), 19-20.
82
menggeneralisasi berbagai teori ini dalam satu paket kebijakan
yang dikenal dengan nama Washington Consensus. Pada awalnya
Washington Consensus merupakan kesepakatan antara politisi
Kongres, badan pemerintah, dan Bank Sentral AS, serta lembaga
keuangan internasional mengenai cara pemulihan ekonomi di
negara-negara berkembang.2
Berbagai kajian dan literatur telah membuktikan bahwa
kebijakan pemerintah itu sangat berperan penting dalam
mendorong pembangunan ekonomi suatu negara. Pengambilan
kebijakan selalu melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam rangka menegakkan keadilan bagi umat manusia, tidak
hanya dilihat dari prosesnya tetapi juga kontribusinya kepada
masyarakat luas. Kebijakan yang zalim akan membawa
kemudlaratan, keputusan ini tidak mesti ditinjau kembali akan
tetapi wajib dibatalkan.3 Kajian karya ‘Abdurrahma>n Al-Ma>liki
4>,
Clement M. Henry dan Rodney Wilson5, Khursh{id Ah}mad
6, M.
Umer Chapra7, Abu> H}asan Bani> S}adr
8, dan Amin Akbar
9
2 Tim Warta Ekonomi, Membongkar Neolib di Indonesia, 15.
3 Abu> Isha>q As-Shairazi>, Al-Muhadhab, jilid II (Kairo: ‘Isa > Al-Ba>bi Al-
H}alabi> wa Shurakah) dalam Ali Zawawi dan Saifullah Ma’sum, Penjelasan Al-Qur’an Tentang Krisis Sosial Ekonomi dan Politik (Jakarta: Gema Insani Press,
1999), 297. 4 ‘Abdurrahma>n Al-Ma>liki>, Politik Ekonomi Islam, penerjemah Ibnu
Solah (Bangil: Al-Izzah, 2001). Lihat Taqiyuddi>n An-Nabha>ni>, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam penerjemah Moh. Maghfur Wachid
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000). 5 Clement M. Henry dan Rodney Wilson, The Politics of Islamic
Finance (Edinburg: Edinburg University Press and Columbia University Press,
2004). Lihat Timur Kuran, Islam and Mammon: The Economic of Predicaments of Islamism (Princeton: Princeton University Press, 2004). Lihat juga Maxime
Rodinson, Islam and Capitalism (London: Allen Lane, 1974). Lihat juga Peter
Gran, Islamic Roots of Capitalism (Austin: University of Texas Press, 1979). 6 Khurs{id Ahmad, Economic Development in an Islamic Framework
(London: The Islamic Foundation, 1979). Lihat Abdullah Abdul Husain Al-
Tari>qi, Al-Iqtis{a>d Al-Isla>mi>:Usu>sun wa Muba’un wa Ahda>f (Beirut: 1983).
Lihat Robert L. Heilbroner, The Making of Economic Society (London: 1987).
Lihat Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economic: Theory and Practice
(Lahore: 1987). 7 M. Umer Chapra, The Islamic Welfare State and Its Role in the
Economy (London: The Islamic Foundation, 1979).
83
merupakan sedikit dari banyak kajian tentang politik ekonomi
Islam yang dapat menunjukkan begitu pentingnya kebijakan yang
ditetapkan pemerintah bagi pertumbuhan dan perkembangan
perekonomian umat.
Praktek politik atau kebijakan10
tidak bisa dipisahkan
dengan ekonomi, kehidupan politik dengan kehidupan ekonomi
saling bertemu, saling menjalin dan saling mempengaruhi. Dalam
setiap tindakan politik ada aspek ekonominya, demikian juga
struktur perekonomian suatu masyarakat dapat mempengaruhi
lembaga-lembaga politik, baik yang sudah ada maupun yang akan
ada di kemudian hari11
.
8 Abu> H}asan Bani> S}adr, Islamic Economic: Ownership and Tauhid
(Oxford: Oxford University Press, 1982). Lihat John L. Esposito (Ed) dan John
D. Donohaue, Islam in Transition (London: 1979). 9 Amin Akbar, ‚Structural Framework of Islam’s Economic System‛,
Muslim World Langue Journal (May-June, 1988). 10
Para pakar berbeda-beda dalam mendefinisikan kebijakan, tidak ada
definisi yang baku. Kebijakan (policy) seringkali disamakan dengan istilah
seperti politik, program, keputusan, undang-undang, aturan, ketentuan-
ketentuan, kesepakatan, konvensi, dan rencana strategis. Kebijakan umumnya
berupa intervensi pemerintah dan publik untuk mencari apa pemecahan masalah
dalam pembangunan. Lihat Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), 30. Kebijakan juga adalah pernyataan cita-cita, tujuan,
prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha
mencapai sasaran. Lihat Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), 115. Menurut Pal, Elis, dan Anderson yang dikutip dalam
buku Toni Djogo, Sunaryo dan Martua Sirait, Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pembangunan Agroforestri (Bogor: Word Agroforestry Centre (ICRAF),
2003), bahwa kebijakan adalah 1. Jalan atau cara bagi lembaga yang berperan
sebagai pemegang kewenangan publik (dalam hal ini pemerintah) untuk
mengatasi permasalahan dan sekelompok permasalahan yang saling
berhubungan (Pal. 1992). 2. Cara atau jalan yang dipilih pemerintah untuk
mendukung suatu aspek dari ekonomi termasuk sasaran yang dicari pemerintah
untuk mencapainya (Elis, 1994). 3. Kegiatan yang dipilih secara sengaja oleh
aktor tertentu atau sekelompok aktor dalam mengatasi suatu masalah.
Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah atau
pejabatnya (Anderson, 1984. 11
Yulia Hafizah, ‚Kebijakan Ekonomi Indonesia Ditinjau dari Konsep
Dasar Ekonomi Islam‛, Jurnal Millah Vol. IV, No. 2 (Januari 2005). Lihat F.
Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Semarang: Putra Bardin, 1989).
84
Seperti halnya negara-negara maju, negara-negara
berkembang juga menerapkan privatisasi sebagai focal point kebijakan perekonomian nasional. Bedanya, proses tersebut
dilakukan untuk memenuhi syarat utama restrukturisasi ekonomi
yang dimandatkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan
Bank Dunia. Karena itulah banyak pengamat menilai privatisasi di
negara berkembang umumnya dilakukan karena desakan
internasional12
. Desakan ini merupakan upaya mengintegrasikan
perekonomian domestik negara tersebut ke dalam sistem pasar
global. Agen-agen internasional seperti Bank Dunia dan IMF
merupakan aktor yang sangat berkepentingan dalam hal ini.
Muncullah kritik yang melihat bahwa privatisasi lebih merupakan
agenda paksaan IMF terhadap negara berkembang atas program
bantuan finansial yang diberikan13
.
Amerika Latin merupakan kawasan pionir bagi privatisasi
di negara berkembang sejak 1970-an. Sejarah privatisasi di
kawasan ini diawali Cile pada tahun 1973. Hingga 1995 tercatat
pemerintah Cile telah memprivatisasi 521 dari 524 BUMN14
.
Langkah tersebut diikuti oleh negara-negara tetangganya seperti
Meksiko, Argentina, dan Venezuela tahun 1990-1993. Nellis,
Menezes, dan Lucas15
menyebutkan bahwa hampir seluruh sektor
publik di kawasan ini –seperti perbankan, pembangkit listrik,
telekomunikasi, jalan, air, hingga layanan transportasi-
diprivatisasi pada era 1990-an. Pada era tersebut, pendapatan yang
diperoleh 18 negara dari transaksi privatisasi mencapai 6 persen
dari total PDB kawasan. Ini menunjukkan korelasi positif dengan
peningkatan investasi swasta di Amerika Latin yang dalam
12
D. G. McFetridge, ‚The Economics of Privatization‛, C. D. Howe
Institute Benefactors Lecture, 22 Oktober 1997, 9. 13
Revrisond Baswir, ‚Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi
Neoliberalisme IMF,‛ dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, Neoliberalisme
(Yogyakarta: Cinderelas, 2003), 206. 14
Sunita Kikeri, Jonh Nellis, dan Mary Shirley, ‚Privatization: Lessons
from Market Economies,‛ The World Bank Research Observer Vol. 9, Juli 1994,
248. 15
John Nellis, Rachel Menezes, dan Sarah Lucas, ‚Privatization in
Latin America: The Rapid Rise, Recent Fall, and Continuing Puzzle of a
Contentious Economic Policy,‛ Centre for Global Development Vol. 3, Januari
2004, 1.
85
rentang waktu 1990-2001 melambung drastis hingga mencapai
AS$360,5 miliar.
Selain negara-negara Amerika Latin, privatisasi skala besar
juga dilakukan di negara berkembang lain seperti Malaysia,
Filipina, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Turki, dan Indonesia.
Privatisasi yang juga mendapat banyak sorotan publik adalah
privatisasi di negara-negara bekas komunis karena dilakukan
secara cepat dan masif. Tahun 1994, privatisasi ini berhasil
mengalihkan 45.300 perusahaan skala kecil dan menengah ke
tangan swasta. World Bank Report 1996 menyebutkan bahwa
akibat privatisasi masif ini, kepemilikan pemerintah pada BUMN
kecil dan menengah di 6 negara Eropa Tengah dan Timur anjlok
drastis. Di Estonia misalnya, persentase saham pemerintah turun
sampai tinggal 4 persen16
. Kondisi serupa juga terjadi di Rusia.
Pada akhir 1993, pemerintah Rusia memprivatisasi lebih dari 85
persen atau sekitar 82.000 BUMN skala kecil dan menengah17
.
Namun demikian, secara umum di negara berkembang
privatisasi bukanlah kebijakan yang populer. Salah satu sebabnya
adalah adanya perbedaan corak dan motivasi yang
melatarbelakangi privatisasi di negara maju dan berkembang. Bila
di negara maju secara umum privatisasi membuat BUMN jadi
semakin efisien18
dan barang atau jasa bisa tersedia dengan harga
murah bagi publik, maka privatisasi di negara berkembang hanya
merupakan salah satu program dari agenda liberalisasi ekonomi.
Sebagaimana dinyatakan Petras dan Veltmetyer19
, tujuan
utama privatisasi BUMN bukanlah untuk mengambil alih
kepemilikan perusahaan, melainkan menata ulang struktur
perekonomian negara dimaksud guna melapangkan jalan bagi
16
Juan J. Buttari, ‚Reassessing Privatization in Eastern Europe‛,
Desember 1997, tersedia di http://www.amigospais-
guaracabuya.org/oagjboo3.php. 17
Christoper Dent, ‚The Business Environment in Russia: An
Overview‛, European Business Review Vol. 94 No. 3, Agustus 1994, 15-21. 18
Juliet D’ Souza, William L Magginson dan Robert Nash,
“Determinants of Performance Improvements in Privatized Firms: The Rule of
Restructuring and Corporate Governance?”, March 2000, 2. http://faculty-
staff.ou.edu 19
James Petras dan Henry Veltmayer, Globalization Unmasked:
Imperialism in the 21 Century (Kanada: Fernwood Publishing, 2001).
86
penyelenggaraan agenda ekonomi neoliberal secara internasional
sebagaimana tertera dalam Washington Consensus20. Washington
Consensus adalah sebutan bagi paket ‚standar‛ reformasi
perekonomian negara-negara yang dilanda krisis yang disusun oleh
lembaga-lembaga keuangan internasional yang bermarkas di
Washington, yaitu IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan
AS. Salah satu contoh implementasi Washington Consensus
terlihat dalam proses privatisasi air oleh Bank Dunia sejak 199221
.
Tinjauan atas sepak terjang IMF di 40 negara juga membuktikan
bahwa pada tahun 2000, perjanjian peminjaman IMF terhadap 12
negara debitur selalu mencantumkan privatisasi air sebagai salah
satu syarat dikucurkannya pinjaman.
Adanya unsur ‘desakan’ dan ‘paksaan’ seperti disebutkan
di ataslah yang membuat proses privatisasi di negara berkembang
banyak menuai kritik dari masyarakat. Proses privatisasi yang
seperti ini juga membuat privatisasi berjalan salah arah dan
melenceng dari tujuan-tujuan yang diharapkan. Keinginan untuk
membuat BUMN menjadi efisien dan bebas korupsi misalnya,
justru bisa berbalik menyuburkan korupsi.22
Di negara-negara yang
berada dalam proses transisi dari pemerintahan otoriter menuju
demokrasi, privatisasi umumnya justru sarat dengan praktik
kolusi, korupsi dan nepotisme untuk kepentingan kelompok
tertentu di tingkat domestik. Ini dimungkinkan karena masih
lemahnya fungsi regulasi pendukung iklim kompetisi dan aturan
main yang jelas tentang privatisasi23
.
Kontroversi selalu mewarnai hampir di setiap kebijakan
privatisasi di negara-negara yang menjalankannya, misalnya pada
20
Yujiro Hayami, ‚From Washington Consensus to Post Washington
Consensus Retrispect dan Prospect‛, dalam Asian Development Review Vol. 20
No. 2, 2003, 55. 21
P. Raja Siregar, ‚World Bank and ADB’s Role in Privatizing Water
in Asia Regional‛, tersedia di
http://www.jubileesouth.org/news/EpZyVyEyylgqGYKXRu.shtml 22
Igor Artemiev dan Michael Haney, ‚The Privatization of Russian
Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation of a Major Industry‛. World Bank Policy Research Working Paper No. 2820, 11 April 2002
23 Chris Gramer, ‚Privatization and The Post Washington Consensus:
Between The Lab and the Real World?‛, CDPR Discussion Paper 0799, 1999.
87
industri batu bara Rusia24
. Pertama, privatisasi justru merusak
lapangan kerja yang sudah ada dan tidak membuka kesempatan
kerja baru. Kedua, privatisasi cenderung menstimulasi korupsi
alih-alih menguranginya. Ketiga, privatisasi tidak berdampak
positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dampak sosial-ekonomi
terparah privatisasi mungkin dialami oleh masyarakat Amerika
Latin. Epidemi kolera tahun 1991 yang melanda kawasan itu –
dimulai dari Peru, menyebar ke Ekuador, Kolombia, Cile, dan
ujung barat Brasil- adalah buntut langsung dari liberalisasi harga
yang merupakan paket program penyesuaian struktural IMF25
.
Perdebatan serupa juga mewarnai kasus privatisasi air seperti:
pertama, dugaan nepotisme dalam penyelenggaraan tender, dan
kedua, melambungnya harga jual air yang semakin tidak
terjangkau konsumen26
.
Sejak tahun 1980-1990-an, terjadi pergeseran paradigma
bantuan pembangunan internasional yang bisa dicermati dalam
tahapan waktu27
, diawali dengan diberlakukannya kebijakan
Industri Substitusi Impor (ISI), kemudian Washington Consensus,
dan terakhir Post Washington Consensus yang merupakan
otokritik pendekatan liberal atas kegagalan Washington
Consensus dalam menjawab problema pembangunan di tingkat
domestik negara berkembang, khususnya Amerika Latin tahun
1980-an dan Asia Timur penghujung tahun 1990-an. Adapun
runtutan pergeseran paradigma pembangunan ini dimulai pada
1950-an atau sejak berakhirnya Perang Dunia II dengan
kemunculan negara-negara merdeka baru.
24
Igor Artemiev dan Micheal Haney, ‚The Privatization of Russian
Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation of a Major
Industry‛, World Bank Policy Research Working Paper No. 2820, 11 April
2002. 25
Kisah tentang kaitan antara epidemi kolera dengan kebijakan IMF
ini diulas oleh Noreena Hertz, The Debt Threat: How Debt is Destroying the Developing World (New York: Harper Business, 2004), 142-147.
26 Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi (Jakarta: INFID, 2000),
36-37. 27
Pergeseran ini diulas oleh Yujiro Hayami, ‚From the Washington
Consensus to the Post Washington Consensus: Retrospect and Prospect‛, Asian Development Review Vol. 20 No. 2, 2003, 40-65.
88
Pada masa-masa tersebut, negara berkembang yang baru
merdeka dari kolonialisasi sibuk mencari format baru bagi proses
pembangunan ekonominya. Pemerintah memainkan peran sentral
dalam menyusun kebijakan dan merencanakan pembangunan, dan
pendekatan berorientasi ISI menjadi kebijakan yang populer saat
itu. kebijakan ISI merupakan kebijakan industri yang
dikembangkan untuk membangkitkan dan mendorong industri
domestik modern berskala besar dengan tujuan mendongkrak
pertumbuhan ekonomi. Karakteristik utama kebijakan ini adalah
kuatnya intervensi pemerintah di bidang ekonomi dengan
memberlakukan sejumlah perlindungan terhadap industri domestik
seperti proteksi, penyaluran kredit dan subsidi sebagai sarana
memperkuat basis industri domestik dari persaingan di tingkat
internasional. Dominasi negara untuk melindungi konstituen
ekonomi di tingkat domestik dari kompetisi pasar global ini juga
dijalankan melalui pengawasan terhadap keluar-masuknya
investasi.
Akan tetapi, beberapa peristiwa internasional seperti oil shock 1970-an, serta jatuhnya nilai jual produk-produk primer dan
pertanian di tingkat global, secara telak memukul perekonomian
kelompok negara ini yang pendapatan utamanya bersandar pada
pengolahan sumber daya alam. Krisis ini menghadirkan krisis
neraca pembayaran di tingkat domestik, yang makin diperparah
oleh besarnya utang luar negeri sebagai konsekuensi kebutuhan
dana segar untuk mendanai pembangunan berorientasi industri.
Untuk mengatasi krisis yang dihadapi oleh kelompok
negara ini, pada awal 1980-an IMF dan Bank Dunia menyarankan
diberlakukannya Structural Adjustment Program (SAP) yang
kental dengan ideologi pasar bebas, perdagangan bebas, dan
pengurangan peran negara di sektor ekonomi. Structural adjustment konon memungkinkan dilakukannya penyesuaian
terhadap situasi neraca pembayaran yang mengalami
ketidakseimbangan, yaitu keadaan dimana jumlah uang yang
keluar dari suatu negara lebih besar dari yang masuk. Dalam hal
ini, sistem internasional harus dapat menawarkan suatu kebijakan
yang dapat mencegah agar negara yang menghadapi krisis tidak
mengubah nilai tukar mata uangnya dengan semena-mena karena
stabilitas sistem moneter internasional bisa guncang akibat
89
tindakan tersebut. Adapun solusi lain yang ditawarkan untuk
mengatasi krisis adalah memberi pinjaman baru melalui IMF dan
atau Bank Dunia. Namun konsekuensinya, aturan dan kontrol
diberlakukan bagi negara-negara peminjam untuk mereformasi
struktur dan kondisi ekonomi domestiknya dalam jangka panjang,
seperti mereduksi peran negara di sektor ekonomi, mereformasi
kebijakan ekonomi makro, menekan pertumbuhan ekonomi
berorientasi ekspor, serta reformasi kebijakan publik.
Banyak yang telah ditulis mengenai akar dan penyebab
krisis Asia. Beberapa analisis menyatakan bahwa krisis terjadi
akibat kesalahan manajemen kebijakan ekonomi makro. Analisis
lain menyatakan bahwa krisis Asia disebabkan oleh kelemahan
institusional sektor perbankan dan keuangan domestik. Nyatanya
memang negara-negara Asia Timur dan Tenggara mengalami
kerentanan finansial, yang dapat digambarkan sebagai ‚suksesnya
serangan spekulan terhadap mata uang domestik‛.28
Post Washington Consensus pun menyatakan dengan tegas
bahwa justru resep IMF-lah yang memperparah krisis. Langkah-
langkah IMF menyulut ‘panik finansial’ yang membuat krisis
menular ke seluruh Asia Timur. Jeffrey Sachs menyatakan: ‚Alih-
alih memadamkan api, IMF malah berteriak ada kebakaran di
dalam gedung pertunjukan‛.29
Post Washington Consensus memandang krisis ini
merupakan hasil interaksi antara kelemahan institusional domestik
dengan kegagalan pasar finansial dunia. Kebijakan penyelamatan
yang mereka ajukan sifatnya bertahap dan terkelola, yang
menekankan pada penyesuaian tarif pembangunan institusional
domestik dengan derajat keterbukaan arus modal lintas batas.
Kekeliruan terbesar IMF menurut Post Washington Consensus
adalah kecenderungannya untuk menerapkan kebijakan ‚one size for all‛ tanpa mempertimbangkan keunikan masalah sosial-politik
28
Guillermo E. Perry dan Daniel Lederman, Financial Vulnerability,
Spillover Effects and Contagion: Lessons from the Asian Crisis for the Latin America (Washington: The World Bank, 1998), 1 dan 5.
29 Dikutip dari Dic Lo, ‚Consensus in Washington Upheavel in East
Asia‛ dalam Ben Fine, Costas Lapavitsas dan Jonathan Pincus (eds.),
Development Policy in the Twenty-First Century: Beyond the Post Washington Consensus (London: Routledge, 2001), 104.
90
masing-masing negara. Mengacu pada kasus Indonesia, Stiglitz
bahkan dengan keras menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan IMF
tidak berperikemanusiaan. Kerusuhan 1998 menurut Stiglitz
sangat bisa diprediksikan: Indonesia telah matang dalam kondisi
sosial seperti itu. IMF seharusnya sudah mengetahui hal tersebut,
karena di seluruh dunia kerusuhan selalu timbul saat IMF
memberlakukan pencabutan subsidi pangan.30
Hal serupa juga dinyatakan oleh Tito Sulistio31
, dia
berpendapat bahwa IMF memang sudah berpengalaman membantu
banyak negara dalam menata kembali perekonomiannya. Tetapi
harus diingat bahwa Indonesia memiliki karakter yang unik dan
tidak bisa disamaratakan dengan negara lain yang telah dibantu
IMF. Problem keuangan di negara ini bukan hanya terutama
berasal dari jebloknya sektor swasta dan relatif stabilnya sektor
publik. Pun bukan Cuma currency problem, tapi besarnya
persoalan ‚non performing loan‛ -85% NPL adalah yang terbesar
di Asia-, persoalan ekonomi negara ini juga diperparah dengan
kencangnya persoalan politik yang ada.
Sebenarnya, andil IMF dalam kebijakan perekonomian
Indonesia telah dimulai jauh sebelum krisis finansial 1997-1998.
Beberapa kajian, misalnya, Bonnie Setiawan32
, Vedi R. Hadiz dan
Richard Robison33
, Peter McCawley34
, dan Eric Toussaint35
memaparkan keterlibatan IMF dalam kebijakan ekonomi makro
30
Joseph Stiglitz, Dekade Keserakahan: Era ‘90-an dan Awal Mula
Petaka Ekonomi Dunia terjemah. Aan Suhaeni (Serpong: Marjin Kiri, 2006),
230. 31
Tito Sulistio, Mencari Ekonomi Pro Pasar; Catatan Tentang Pasar
Modal, Privatisasi dan Konglomerasi Lokal (Jakarta: The Investor, 2004), 239. 32
Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi (Jakarta: INFID, 2000). 33
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, ‚Neo Liberal Reforms and
Illiberal Consolidations: the Indonesian Paradox‛, Southeast Asia Research Center Working Papers Series No. 52, September 2003.
34 Peter McCawley, ‚Indonesia Economy in Transition: The
International Context‛, Asian Development Bank Institute, February 2004.
Tersedia di www.adbi.org/files/2004. 02.25.spc002.mccawley.jakarta.pdf. 35
Eric Toussaint, ‚Indonesia: History of a Bankruptcy Orchestrated by
IMF and the World Bank‛, terbit pertama kali dalam bahasa Perancis dalam
Damien Millet dan Eric Toussaint, Les Tsunamis de la dette (Liege-Paris:
CADTM-Syllepse, 2005).
91
Indonesia baik di masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto
(Indonesia sendiri resmi menjadi anggota IMF tanggal 21 Februari
1967). Toussaint misalnya, menjelaskan bagaimana Amerika
Serikat pada masa Orde Lama –dengan menggunakan ‘kendaraan’
IMF- menawarkan bantuan finansial bersyarat kurang lebih
sebesar AS$17 juta. Syarat-syarat yang dimaksud mencakup:
restrukturisasi kebijakan perekonomian, devaluasi nilai rupiah,
penundaan subsidi dan pengetatan anggaran belanja. Bantuan ini
diberikan kepada Indonesia sebagai bagian dari rangkaian strategi
containment policy AS untuk menangkal penyebaran komunisme
di kawasan Asia Tenggara. Pada masa itu, Indonesia merupakan
salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi fokus perhatian
AS, mengingat sikap politik Soekarno yang memiliki tendensi
kedekatan dengan Uni Soviet. Walau sesungguhnya sikap
Soekarno ini lebih merupakan ‘jalan tengah’ untuk mengamankan
posisi Indonesia dari tarik menarik kepentingan antar kedua blok
ini.
Pengaruh IMF semakin bertambah kuat dengan adanya
krisis Asia 1997-1998. Dua bulan setelah krisis melanda Indonesia,
pemerintah Indonesia secara resmi meminta IMF terlibat dalam
proses pemulihan ekonomi. Keputusan ini dilakukan atas dasar
optimisme pemerintah bahwa keterlibatan IMF merupakan faktor
signifikan untuk mengembalikan kepercayaan dunia internasional
terhadap kinerja ekonomi domestik.36
Beberapa pengamat
menguraikan bagaimana krisis yang terjadi di pertengahan 1997
itu tidak saja menghantam basis perekonomian Indonesia tapi juga
tatanan politik dan sosialnya.37
36
Mar’ie Muhammad, ‚IMF dan Pemulihan Ekonomi Indonesia‛ Koran
Tempo, 19 November 2001. 37
Lihat antara lain: K. S. Jomo (ed.), After the Storm: Crisis, Recovery
and Sustaining Development in Four Asian Economies (Singapura: Singapore
University Press, 2004); Joseph Stiglitz, Globalization and Its Discontent (New
York: W. W. Norton, 2002); Michael Ross, ‚Indonesia Puzzling Crisis‛,
Departement of Political Sciences University of California, Los Angeles, 16 Juli
2001; Kurnya Roesad, ‚Dangerous Liaisons? Financial Crisis, IMF and the
Indonesia State‛, CSIS Economic Working Paper Series, Agustus 2005; Prijono
Tjiptoherijanto, ‚Economic Crisis in Asia: The Case of Indonesia‛, Asian Review of Public Administration Vol. VIX No. I, Januari-Juni 1997.
92
Mar’ie Muhammad misalnya, menguraikan bagaimana
sulitnya proses pemulihan perekonomian Indonesia, karena
kompleksitas kondisi di tingkat internal dan eksternalnya seperti:
(1) rapuhnya sektor perbankan yang ditandai oleh besarnya kredit
macet yang mencapai sekitar 70 persen dari total kredit yang
disalurkan, yang lebih disebabkan oleh absennya peran perbankan
dalam mempraktikkan secara konsisten prinsip kehati-hatian dan
adanya indikasi korupsi dalam penyaluran kredit; (2) hilangnya
kepercayaan luar negeri akibat permasalahan utang luar negeri
jangka pendek sektor swasta. Selain itu, krisis juga memukul
sektor industri. Melonjaknya nilai dolar AS terhadap rupiah hingga
mencapai 70 persen turut memberi pengaruh terhadap aktivitas
produksi sektor industri domestik. Peningkatan harga jual produk
yang secara khusus menggunakan komponen produk impor,
langsung berpengaruh terhadap macetnya produksi perusahaan,
merosotnya pendapatan industri dan penurunan kualitas hidup
masyarakat, serta hilangnya lapangan pekerjaan38
sebagai akibat
pengurangan pegawai yang dilakukan secara besar-besaran oleh
kelompok industri.39
B. Proses Kebijakan Privatisasi di Indonesia
Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997
lalu telah membuat perekonomian Indonesia kembali terpuruk.
Krisis ekonomi juga telah menyedot cukup besar anggaran
pemerintah (APBN) dalam kerangka pemulihan ekonomi.
Akibatnya, pendarahan fiskal menjadi tidak terhindarkan lagi.
Salah satu solusi yang diharapkan dapat menutupi lubang defisit
ini adalah penerimaan dana melalui program privatisasi. Kebijakan
privatisasi sendiri merupakan suatu politik reformasi BUMN.
Kebijakan ini melibatkan rangkaian kebijakan ekonomi nasional
dalam rangka meningkatkan efisiensi, debirokratisasi,
38
Igor Artemiev dan Michael Haney, ‚The Privatization of Russian
Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation of a Major Industry‛. World Bank Policy Research Working Paper No. 2820, 11 April 2002
39 Lihat Indonesia dalam Krisis: Tidak Reformasi Tanpa Hak Asasi
Manusia, Laporan ELSAM, 30 April 1998, tersedia di
http://www.elsam.or.id/pdf/paper/1998/reportApril_98.pdf.
93
menghilangkan subsidi, manajemen yang profesional di tingkat
perusahaan, disertai dukungan politis di parlemen (partai politik)
dan publik.40
Untuk meminimalisir dampak krisis, pemerintah
memutuskan mencari utangan baru dari IMF, dan pada bulan
Oktober 1997, pemerintah pun menandatangani Letter of Intent (LoI) untuk menerima pinjaman baru sebesar AS$43 miliar.
Bersamaan dengan kucuran utang ini, pemerintah wajib mematuhi
tuntutan reformasi sektor makro ekonomi yang disyaratkan oleh
IMF. Pinjaman IMF selalu dikaitkan dengan persyaratan yang
disebut kondisionalitas. LoI atau Nota Kesepahaman lebih
merupakan dokumen yang berisi ketentuan yang patut dilakukan
pemerintah agar bisa memperoleh pinjaman tersebut. Biasanya,
ketentuan yang tercantum dalam LoI didahului negosiasi
antarpihak debitor dalam hal ini Menteri Keuangan dan Kepala
Bank Indonesia. Kebijakan struktural jangka pendek yang dituju
oleh IMF meliputi: devaluasi nilai tukar mata uang dan kontrol
mobilitas uang, liberalisasi perdagangan, dan pengetatan anggaran.
Sementara kebijakan jangka panjangnya meliputi: liberalisasi
perdagangan dengan mengurangi tarif dan kuota impor, reformasi
sektor keuangan, reformasi sektor pajak dan peningkatan pajak tak
langsung.41
Sesuai surat yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan
Mar’ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Soedrajad
Djiwandono pada tanggal 30 Oktober 1997, dan diresmikan
dengan penandatanganan oleh Presiden Soeharto dan Direktur
Pelaksana IMF Michel Camdessus di Jakarta tahun 1998,
Indonesia pun resmi menjadi ‘pasien’ IMF. Konsekuensinya,
program perbaikan struktural pun langsung dilaksanakan dengan
cepat tanpa pandang bulu. Bulog misalnya, terhitung sejak 1
Februari tahun 1998, dikurangi kekuasaannya hanya untuk
menangani beras saja, setelah sebelumnya memonopoli impor dan
40
Faisal Baasir, Pembangunan Krisis; Kritik dan Solusi Menuju
Kebangkitan Indonesia (Pustaka Sinar Harapan, 2003), 228. 41
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia (Serpong: Marjin Kiri, 2007), 54-55.
94
distribusi beras, gula, serta gandum. Pada tahun yang sama BPPC
juga dihapuskan karena dipandang sebagai hambatan struktural.42
Ada tiga fase bagaimana krisis ini berpengaruh terhadap
perekonomian Indonesia43
: (1) Contagion Effects. Fase ini dimulai
dengan jatuhnya bath Thailand pada tahun 1997, yang
menghadirkan efek domino terhadap nilai tukar mata uang
beberapa negara di kawasan Asia atas dolar AS termasuk rupiah.
Pada fase ini, fluktuasi nilai tukar rupiah cenderung moderat
karena dipengaruhi beberapa faktor seperti diterapkannya sistem
kontrol nilai tukar mata uang oleh pemerintah. (2) Panic Effect. Fase tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang ditandai dengan
semakin merosotnya nilai rupiah; yang memaksa pemerintah untuk
menerapkan kebijakan intervensi sektor fiskal dan moneter. (3)
Kondisi ini akhirnya memaksa Indonesia mengundang IMF untuk
terlibat dalam penanganan krisis. Secara teoritis ada tiga peranan
utama IMF di Indonesia yaitu: menyediakan likuiditas atau dana
segar bagi kebutuhan kas negara; melaksanakan program
penyesuaian struktural; dan memberi bantuan teknis terkait
pengelolaan kebijakan ekonomi makro.
Pertanyaannya tentu: mengapa Indonesia kolaps? Ini
menarik dicermati karena ketika ahli-ahli ekonomi Bank Dunia
dan IMF melihat pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia begitu
menakjubkan, mereka berkomentar fundamental negara-negara
tersebut kuat. Pun Indonesia termasuk salah satu negara yang
menerima pujian tersebut. Maka ketika Indonesia kolaps, jelas ada
yang salah dengan pujian itu atau ada yang salah dengan
fundamental ekonomi Indonesia.44
Setelah krisis ekonomi berlangsung dua tahun, baru
sekarang dirasakan bahwa kebijakan moneter yang diambil
pemerintah selama ini ternyata keliru dan berdampak negatif
42
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 55-56.
43 Fadli Zon, The IMF Game (Jakarta: Institute for Policy Studies,
2004). 44
F. Harianto Santoso, ‚Kenapa Indonesia Kolaps‛, dalam Salomo
Simanungkalit (ed.), Indonesia Dalam Krisis 1997-2002 (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2002), 3-5.
95
terhadap kegiatan ekonomi. Kebijakan ekonomi Indonesia pada
dasarnya mengacu kepada saran atau minimal merupakan ‚produk
bersama‛ antara Pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter
Internasional (IMF). Garis kebijakan IMF pada intinya
memperketat sektor moneter melalui instrumen suku bunga tinggi
sekaligus memperketat sektor fiskal. Pada awalnya langkah
tersebut dilakukan untuk mempersempit ruang gerak para spekulan
agar dapat dicapai stabilisasi rupiah dan harga. Pinjaman luar
negeri yang dalam GBHN disebut sebagai pelengkap, sekarang
berubah menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan.
Hampir seluruh kegiatan pembangunan, baik untuk biaya rutin
maupun biaya pembangunan, untuk tahun anggaran 1999/2000
dibiayai dari utang luar negeri.45
Landasan hukum bagi pelaksanaan privatisasi adalah Tap
MPR dan Propenas. Hal itu tertuang dalam tanggapan dan
penugasan MPR terhadap Presiden, dalam Poin F, yakni:
Restrukturisasi dan privatisasi BUMN diperkirakan tidak dapat memenuhi target karena calon investor kurang berminat akibat kondisi politik dan keamanan, inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam program restrukturisasi dan privatisasi BUMN serta prosedur privatisasi yang tidak transparan dan adil. Kemudian:
menugaskan kepada Presiden: mengajukan RUU tentang BUMN, melaksanakan dengan sungguh-sungguh dan transparan program restrukturisasi dan privatisasi BUMN sesuai dengan target yang sudah ditetapkan.
46 Sesuai dengan poin tersebut, MPR
menugaskan dua hal penting yakni mengajukan RUU tentang
BUMN dan melaksanakan program restrukturisasi dan privatisasi
BUMN.
Tujuan privatisasi diatur dalam Pasal 74 Ayat (2) yang
menyatakan bahwa privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham
Persero. Kebijakan privatisasi tersebut merupakan salah satu
45
Tjahja Gunawan dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa
Depan Ekonomi Indonesia (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2000),209. 46
Faisal Baasir, Pembangunan Krisis; Kritik dan Solusi Menuju
Kebangkitan Indonesia, 228-229.
96
kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengalihkan sebagian
atau keseluruhan aset yang dimiliki negara kepada pihak swasta.
Sebagian besar program dan kebijakan privatisasi yang dilakukan
tidak terlepas dari politik ekonomi (political economic) dalam
suatu negara. Globalisasi dan pasar bebas menuntut pemerintah
untuk menciptakan daya saing perusahaan (BUMN) untuk dikelola
secara profesional, salah satunya adalah dengan melibatkan pihak
swasta dalam tata perekonomian nasional. Perubahan kepemilikan
akan memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan.47
Privatisasi yang dilakukan oleh pemerintah merupakan
bagian dari langkah-langkah reformasi BUMN, selain profitisasi
dan restrukturisasi. Privatisasi dalam konteks ini mengacu pada
peningkatan penyebaran kepemilikan kepada masyarakat umum
dan swasta asing maupun domestik untuk akses pendanaan, pasar,
teknologi serta akibat dihapuskannya monopoli.
Konsep privatisasi pada dasarnya mengacu pada pergeseran
strategi pengelolaan usaha yang semula dikelola oleh pemerintah
kepada swasta. Selanjutnya, pemerintah hanya membuat aturan
main, mengontrol, mengawasi etika berusaha dan mendapatkan
hasil melalui pajak. Dalam hal ini, negara tidak lagi menjadi
operator industri bahkan tidak lagi mengawasinya tetapi hanya
akan membuat aturan main. Selanjutnya, secara kongkrit
pemerintah harus mulai memisahkan fungsi-fungsi lembaga negara
dan fungsi bidang usaha yang saat ini kadang masih dilakukan oleh
satu institusi pemerintah.48
Langkah-langkah kebijakan privatisasi di Indonesia selaras
dengan sebuah dokumen milik Bank Dunia yang berjudul Legal Guidelines for Privatization Programs. Dalam dokumen ini
terdapat panduan bagaimana pemerintah melakukan kebijakan
privatisasi dengan menghilangkan persoalan hukum. Pertama,
memastikan tujuan-tujuan pemerintah dan komitmen terhadap
privatisasi. Kedua, amandemen undang-undang atau peraturan
yang merintangi privatisasi. Ketiga, menciptakan institusi yang
47
Riant Nugroho dan Randy R. W., Manajemen Privatisasi BUMN
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2008), 12. 48
Faisal Baasir, Pembangunan Krisis; Kritik dan Solusi Menuju
Kebangkitan Indonesia, 232-233.
97
memiliki kewenangan dalam implementasi privatisasi. Keempat, menghindari kekosongan kewenangan kebijakan privatisasi yang
dapat menyebabkan kebijakan privatisasi tidak dapat dijalankan.49
Sekarang ini, BPPN melakukan penjualan beberapa aset
strategis yang dikuasai pemerintah kepada pihak asing meskipun
tidak cukup prasyarat-prasyaratnya. Prasyarat-prasyarat yang ada
juga tidak dipersiapkan terlebih dahulu, sehingga yang terjadi
adalah banyaknya penyimpangan dan kolusi yang merugikan
negara.50
Sebagai sebuah kerja besar berdampak luas, privatisasi di
negara manapun memerlukan persiapan matang. Pemerintah
negara bersangkutan harus mengatur dengan ketat pelaksanaan
privatisasi. Fokus yang harus dikedepankan adalah: (1) sejauh
manakah keuntungan yang akan dihasilkan dari proses privatisasi
tersebut bagi masyarakat lokal, (2) strategi yang dapat
dikembangkan untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan angka
pengangguran sebagai konsekuensi privatisasi, dan (3)
membangun akses masyarakat terhadap sektor yang diprivatisasi,
terutama yang menyangkut kebutuhan masyarakat luas seperti air
dan jaringan komunikasi.51
Kematangan persiapan inilah yang sering absen dalam
pelaksanaan privatisasi di Indonesia, dimana privatisasi gencar
dilaksanakan sebagai bagian dari paket kebijakan Program
Penyesuaian Struktural IMF. Jika dibandingkan dengan negara
lain, Malaysia misalnya, kebijakan (aturan) terkait privatisasi
sudah ada jauh sebelum praktik privatisasi itu sendiri dijalankan.
Kebijakan privatisasi di Malaysia telah diterapkan semenjak tahun
1983. Di masa tersebut, perusahaan-perusahaan seperti Syarikat
Telekoms Malaysia Bhd dan Tenaga Nasional Bhd merupakan dua
49
Hidayatullah Muttaqin, ‚Privatisasi di Indonesia antara Fakta dan
Kebohongan‛, Jurnal Ekonomi Ideologis, Februari 2008. 50
Faisal Baasir, Pembangunan Krisis; Kritik dan Solusi Menuju
Kebangkitan Indonesia, 240. 51
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 67.
98
perusahaan pertama yang diprivatisasi dan masuk dalam daftar
Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE).52
Di Indonesia, kebijakan privatisasi baru pertama kali diatur
pemerintah tahun 2001 dengan dikeluarkannya Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tentang Tim Kebijakan
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara. Dalam pasal 8 Keppres ini,
dinyatakan bahwa salah satu tujuan privatisasi BUMN adalah
untuk meningkatkan good corporate governance, serta memperluas
partisipasi masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Selain
itu, praktik ini juga bertujuan untuk menstimulasi pertumbuhan
ekonomi melalui penyerapan investasi dari luar negeri.53
Sebagian kalangan –bahkan yang kritis terhadap privatisasi
sekalipun- mengakui perlunya menyehatkan BUMN. Jusman SD,
pemimpin PT. Dirgantara Indonesia periode 2000-2002, melihat
bahwa sejak 2002, dapat dikatakan hampir sebagian besar BUMN
Indonesia ‚lumpuh‛ karena persoalan utang. Berdasarkan laporan
keuangan pemerintah tahun 2002, dari 300 BUMN, tercatat 145
diantaranya memiliki utang yang sangat besar.54
Namun Jusman
mempertanyakan haruskah persoalan ini diatasi dengan
menyerahkan pengelolaan BUMN ke pihak asing? ‚Apakah
mungkin ada kota tumbuh dan berkembang di daerah Sumatera
Utara, seperti Siantar, Kisaran, Lubuk Pakam jika tidak ada PT.
Perkebunan Milik Negara; atau berkembangnya seperti kota
Cilacap dan Gresik tanpa Pertamina dan Petrokimia?‛
Menanggapi hal ini, Tanri Abeng selaku Menteri Negara
Pendayagunaan BUMN tahun 2000 menyatakan bahwa resistensi
terhadap keputusan pemerintah untuk memprivatisasi lebih
disebabkan karena kurangnya sosialisasi dari fungsi program yang
52
Marie-Aimee Tourres, The Tragedy That Didn’t Happen (Kuala
Lumpur: Institute of Strategic and International Studies), 25. 53
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 68.
54 Lihat Jusman SD, ‚Menjual BUMN ke Tangan Asing: Perlukah???‛,
12 November 2005, tersedia di
http://online.ipdf.org/index.php?option=content&task=view&id=44.
99
dijalankan pemerintah.55
Menurut Abeng, privatisasi merupakan
upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai perusahaan (value creation), baik dengan cara meningkatkan leverage asset yang
dimiliki, ataupun dengan melibatkan pihak swasta dalam
kepemilikan aset BUMN. Strategi ini menurutnya dapat dilakukan
dengan: (1) Initial Public Offering (IPO); dan (2) Private Placement oleh lembaga keuangan. Namun, jika kondisi ini juga
tidak memungkinkan karena lesunya pasar modal ataupun karena
ketidaksiapan perusahaan, maka alternatif lain yang dapat dipilih
yakni: (3) Strategic Investor, yang dimaksudkan untuk
mendatangkan dana segar (valuta asing).
Selain itu, Abeng menambahkan bahwa privatisasi juga
dilakukan untuk menutupi kekurangan APBN. Ia mencontohkan,
privatisasi Semen Gresik tahap pertama, 3 Juli 1998, kepada
Cemex SA de CV, Meksiko, seharga 287 juta dolar AS atau senilai
Rp. 4 triliun, dapat memberi kontribusi konkret terhadap APBN.
Beragam kritik menanggapi kebijakan privatisasi tidak
hanya datang dari politisi, akademisi, ataupun aktivis, tapi juga
dari kalangan pelaku ekonomi sendiri. Memang, privatisasi di
Indonesia akhirnya menjadi isu sensitif yang sering dikaitkan
dengan nasionalisme dan harga diri bangsa. Masalahnya, seperti
disinyalir Kate Bayliss56
, investor lokal yang diasumsikan siap
mengambil alih peran pemerintah itu seringkali tidak tersedia,
sehingga peran mereka diisi oleh investor asing. BUMN-BUMN
strategis kita pun akhirnya jatuh ke tangan asing.
Kontroversi paling sengit berlangsung seputar privatisasi
Indosat. Bagi beberapa pengamat, Indosat merupakan perusahaan
yang sehat. Ini tercermin dari tingginya harga saham perusahaan
ini di Bursa Efek Jakarta ataupun pasar saham luar negeri.
Pemerintah terpaksa menjual saham perusahaan ini karena
kebutuhan dana segar untuk menutup defisit APBN. Tetapi,
pemerintah dinilai gagal dalam melakukan proses divestasi atau
55
Tanri Abeng, ‚Privatisasi Kurang Sosialisasi‛, tersedia di
http://www.pacific.net.id/pakar/tanri/000614.html. 56
Kate Bayliss, ‚Privatization Theory and Practice: A Critical
Analysis of Policy Evolution in the Development Context‛, dalam Jomo K. S.
Dan Ben Fine (eds), The New Development Economics: After the Washington Consensus (New Delhi: Tulika Books dan London: Zed Books, 2006), 149-150.
100
penjualan saham perusahaan ini. Dua penasehat keuangan
pemerintah, yakni perusahaan keuangan milik negara Danareksa
Sekuritas dan perusahaan asing Credit Suisse First Boston
(CSFB), tidak mampu memenuhi harapan pemerintah. Mereka
hanya mampu menjual 83,5 juta saham. Itu pun dengan harga Rp.
12.000 per saham atau totalnya sekitar Rp. 1 triliun. Selain itu,
disinyalir adanya praktik insider trading yang dilakukan Merril
Lynch Indonesia. Dari sini, sebenarnya sudah terlihat kurangnya
koordinasi. Dalam rencana divestasinya, pemerintah menggunakan
Danareksa dan CSFB sebagai penasehat keuangan sekaligus
underwritter-nya. Tetapi, untuk right issue, Indosat menunjuk
Mandiri Sekuritas dan Merril Lynch sebagai penasehat
keuangannya. Mengapa tidak memakai penasehat keuangan yang
sama untuk kedua langkah itu, sehingga menghindari terjadinya
kemungkinan ‚pertarungan‛ antar penasehat keuangan? Sebagian
pengamat melihat kekisruhan divestasi Indosat terjadi karena
benturan kepentingan antara pihak yang ingin menyukseskan
penjualan saham pemerintah dan yang ingin menggagalkannya.
Terjadi tarik-menarik antara sedikitnya empat pihak dengan
kepentingan yang berbeda-beda, yaitu kementerian BUMN,
manajemen Indosat, Danareksa dan CSFB sebagai penasehat
keuangan pemerintah, dan lembaga keuangan lain yang
mendukung pelaksanaan right issue Indosat.57
Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa carut marut
implementasi privatisasi tidak saja merugikan negara tapi juga
masyarakat. Lemahnya aturan main dan koordinasi justru
menciptakan biaya sosial yang tinggi. Privatisasi yang tujuannya
mengurangi beban anggaran negara dan meningkatkan pelayanan
umum justru menjadi beban bagi negara ataupun masyarakat.
Lemahnya tata kelola privatisasi justru mendistorsi apa yang
menjadi hak konsumen.58
Privatisasi cenderung dijalankan
mengikuti kepentingan pragmatis penguasa dan tidak
57
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 72-73.
58 Igor Artemiev dan Michael Haney, ‚The Privatization of Russian
Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation of a Major Industry‛. World Bank Policy Research Working Paper No. 2820, 11 April 2002
101
mengindahkan partisipasi publik. Rakyat kehilangan apa yang
menjadi hak-haknya sebagai warga negara maupun konsumen.
C. Studi Kasus Privatisasi BUMN di Indonesia
Keberadaan BUMN di Indonesia seiring dengan dinamika
politik di tanah air yaitu dimulai dari pembentukan pemerintahan
presidensial pada November 1957, Presiden Soekarno
mengumumkan penyatuan Irian Barat dan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia yang
diperkuat oleh penerbitan UU No. 19 PRP/1960 tentang
Perusahaan Negara.59
Keberadaan BUMN di Indonesia berkaitan
erat dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 pasal 33, khususnya ayat (2) dan (3) yaitu60
:
Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurut
keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 adalah badan
usaha milik negara yang berbentuk perusahaan (Persero)
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 12 tahun
1998 dan Perusahaan Umum (Perum) sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1998.61
Sedangkan
dalam UU No. 19 Tahun 2003 disebutkan bahwa BUMN adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan.
59
Djokosantoso Muljono, Reinvensi BUMN (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo-Gramedia, 2004). 60
Undang-Undang Republik Indonesia 1945 Pasal 33. 61
KEPMEN BUMN No. KEP-100/MBU/2002 Tentang Penilaian
Tingkat Kesehatan BUMN.
102
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dimana bentuk BUMN
terbagi menjadi 2 yaitu62
:
(1) Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut
PERSERO, menurut UU No. 19 Tahun 2003 dan PP
No. 12 Tahun 1998 adalah BUMN yang dibentuk
berdasarkan UU No. 9 Tahun 1969 yang berbentuk
Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 1 Tahun 1995 yaitu minimal 51% sahamnya
dimiliki oleh negara dan tujuan utamanya mengejar
keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan dan
menyediakan barang dan/jasa bermutu tinggi dan
berdaya saing kuat. Pendirian Persero berbeda dengan
pendirian badan hukum (perusahaan) pada umumnya.
Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada
Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah
dikaji bersama Menteri Teknis dan Menteri Keuangan.
Organ Persero terdiri dari RUPS, Direksi dan
Komisaris.
(2) Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut PERUM
menurut PP No. 13 Tahun 1998 dan UU No. 19 Tahun
2003 adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan UU
No. 9 Tahun 1969 yang mana seluruh modalnya
dimiliki negara berupa kekayaan negara yang
dipisahkan dan tidak terbagi atas saham, bertujuan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan. Sifat usaha Perum lebih kepada pelayanan
publik namun tetap diharapkan menghasilkan laba
untuk kelangsungan usahanya. Pada dasarnya proses
pendirian Perum sama dengan pendirian Persero. Organ
Perum adalah Menteri, Direksi dan Dewan Pengawas.
Berikut ini beberapa contoh kasus BUMN yang mengalami
kebijakan privatisasi, diantaranya:
62
UU Nol 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 1.
103
(1) PT. Indonesia Satellite Corporation (Indosat)
PT. Indonesia Satellite Corporation (Indosat) adalah
perusahaan negara yang asetnya mencakup jaringan satelit,
sambungan langsung internasional, Voice over Internet Protocal (Voip), serta bisnis seluler. Indosat juga merupakan otorita yang
berwenang atas Satelit Palapa, piranti vital dalam pengelolaan
komunikasi dan pertahanan nasional.63
Bisnis ini menghasilkan
keuntungan bagi negara berupa dividen tiap tahunnya, yang
selama periode 1999-2001 jumlahnya cukup signifikan: Rp. 2,695
triliun. Kondisi ini sekaligus memposisikan Indosat sebagai salah
satu dari 11 BUMN Indonesia dengan kategori ‚sehat‛.64
Indosat didirikan tahun 1967 oleh pemerintah Indonesia
dengan kerjasama American Cable and Radio Corporation dalam
bentuk Penanaman Modal Asing. Semenjak tahun 1980, Indosat
resmi menjadi BUMN dengan dibelinya seluruh saham American
Cable and Radio Corporation oleh pemerintah Indonesia dengan
nilai total AS$43,8 juta. Pada 1989, pemerintah Indonesia
mengukuhkan Indosat sebagai salah satu perusahaan negara yang
sifatnya strategis dengan menetapkan UU No. 3 tahun 1989
tentang telekomunikasi yang menyatakan bahwa telekomunikasi
merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak sehingga perlu dikuasai oleh
negara demi terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Hal ini
memperkuat justifikasi bahwa pemerintah berhak memonopoli
sektor industri penyedia layanan telekomunikasi dan menjadikan
Indosat sebagai BUMN.
Untuk menjadikannya penyelenggara jasa telekomunikasi
yang kian lengkap, Indosat membeli 70 persen saham Satelindo
dari PT Bimagraha Telekomindo dengan nilai AS$ 260,4 juta.
Kemudian pada Desember 2002 Indosat membeli 25 persen saham
Satelindo dari Deutsch Telekom Asia senilai AS$ 350 juta,
sehingga total kepemilikan Indosat menjadi sebesar AS$ 1,3
63
Yogi Supardi, ‚Masalah Penjualan Saham Indosat Kepada Asing‛,
Media Indonesia, 26 Februari 2003. 64
Andi Irawan, ‚Penolakan Privatisasi PT. Indosat‛, Koran Tempo, 3
Januari 2003.
104
miliar. Dengan demikian, secara otomatis Indosat menjadi
pemegang saham terbesar di Satelindo beserta anak-anak
perusahaannya, antara lain SLI Indosat, Seluler M3, MGTI,
Lintasarta dan lebih dari 20 anak perusahaan lainnya.
Privatisasi Indosat pertama kali dilakukan Oktober 1994.
Ide ini tercetus seiring dengan kebijakan pemerintah membatasi
fasilitas kredit untuk BUMN, sehingga pengembangan usaha harus
dilakukan dengan upaya-upaya mandiri lainnya, antara lain
privatisasi. Menteri Keuangan waktu itu menjelaskan bahwa
sasaran penjualan saham PT Indosat melalui bursa saham nasional
dan internasional (duallisting) antara lain adalah: meningkatkan
citra Indonesia, memperoleh dana untuk pembangunan nasional,
meningkatkan pasar modal dalam negeri, meningkatkan
kompetensi sektor telekomunikasi, serta merintis dan membuka
jalan ke bursa saham luar negeri. Ketentuan privatisasi pertama ini
adalah Indosat akan menjual 35 persen sahamnya yang terdiri dari
25 persen saham pemerintah (divestasi), dan 10 persen saham baru
yang hasil dananya masuk ke dalam kas perusahaan. Dari
penjualan saham perdana (IPO) di Bursa Efek jakarta, New York
Stock Exchange, dan bursa saham London, Indosat berhasil
menambah private investment perusahaan sebesar AS$ 1 miliar.65
Wacana privatisasi Indosat kian jelas dengan
ditandatanganinya LoI November 1998. Pada LoI tersebut
dinyatakan bahwa pemerintah berencana mengajukan undang-
undang telekomunikasi baru yang rencananya akan diajukan
kepada DPR akhir Desember, yang mencakup semua aspek
regulasi dan kompetisi bidang telekomunikasi: ‚To support the sale of the international telecommunication concern, we intend to introduce into Parliament by end-December a new telecommunications law covering all aspects of regulation and competition‛.
66 LoI November 1998 mengindikasikan bahwa
pemerintah mulai menggalang dukungan DPR agar pada
65
John Ure dan Araya Vivorakij, ‚Privatization of Telecoms in Asia‛,
dalam Daniel J. Ryan (ed.), Privatization and Competition in Telecommunications: International Developments (Westport: Praeger, 1997), 1-
20. 66
Tersedia di www.imf.org/external/np/loi/101998.html.
105
pelaksanaan kebijakan privatisasi Indosat tidak terbentur
persoalan perundangan dan memenuhi syarat-syarat transparansi.
Tahap kedua privatisasi Indosat dilakukan akhir 2002
dengan penjualan saham pemerintah hingga 41,49 persen kepada
Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT) yang dimiliki
Temasek. STT menjadi pemenang divestasi Indosat dengan harga
Rp. 12.950 per saham, lebih tinggi dari pesaingnya, Telekom
Malaysia, yang mengajukan penawaran Rp. 12.650 per saham.
Dengan patokan kurs Rp. 9.000 per AS$1, pemerintah mendapat
dana sebesar AS$608,4 juta atau Rp. 5,62 triliun dari divestasi ini.
Dengan demikian, total dana yang didapat pemerintah melalui dua
kali divestasi Indosat tahun 2002 adalah Rp. 6,72 triliun.
Privatisasi Indosat memicu berbagai kontroversi yang tak
berhenti hingga kini. Bulan April 2007 misalnya, ilmuwan politik
Mochtar Pabottingi menerbitkan buku Risiko Politik Divestasi Indonesia. Pabottingi menyebut privatisasi Indosat sebagai
‚transaksi paling nista‛ dan mendesak pemerintah melakukan
pembelian kembali (buyback) sahamnya di Indosat.67
Kontroversi
ini sesungguhnya sudah berlangsung sejak rencana divestasi
Indosat pertama kali digagas. Menneg BUMN waktu itu,
Laksamana Sukardi, menyebutkan bahwa divestasi ini didasari
oleh beberapa pertimbangan: pertama, penurunan tarif bagi
masyarakat pengguna sambungan telepon; kedua, prediksi bahwa
aset Indosat sudah mubazir mengingat di masa depan komunikasi
nasional via internet akan lebih potensial68
; ketiga, memuluskan
agenda transparansi; keempat, meningkatkan penerimaan negara
dan efektivitasnya dalam jangka panjang69
; kelima, untuk
menutupi defisit APBN pemerintah.70
Protes tergencar dilakukan oleh Serikat Pekerja Indosat
(SPI) sendiri. Pada 20 Desember 2002, Serikat Pekerja Indosat
67
‚KPPU Didesak Usut Monopoli Temasek‛, Rakyat Merdeka, 21
April 2007. 68
Abdul Salam Taba, ‚Privatisasi Indosat, Sudah Tepatkah?‛, Koran
Tempo, 8 Januari 2003. 69
Yura Shahur dan Padja Iswara, ‚Pemerintah Siap Jawab DPR Soal
Penjualan Indosat‛, Koran Tempo, 29 Januari 2003. 70
‚Privatisasi Indosat Dahului IPO Satelindo‛, Kompas, 25 Maret
2002.
106
dengan tegas menolak dan sangat menyayangkan pelaksanaan
privatisasi Indosat yang telah mengakibatkan kerugian negara
triliunan rupiah.71
SPI menilai harga Rp. 12.950 per saham lebih
rendah dibandingkan nilai saham Satelindo yang dibeli oleh PT
Indosat dari DeTe Asia. SPI juga melihat nilai strategis bisnis
telekomunikasi di Indonesia, oleh karena itu akan sangat
berbahaya bagi bangsa dan negara bila dikuasai oleh negara asing
atau oleh salah satu perusahaan induk pertelekomunikasian
tertentu, apalagi perseroan Indonesia Communication Ltd (ICL)
yang dipakai sebagai alat STT dalam transisi akuisisi nanti
ternyata berdomisili di Mauritius, tempat yang terkenal sebagai
‚surga‛ pencucian uang dan penggelapan pajak.
Tanggal 27 Desember 2002 demonstrasi berlanjut
menuntut pengembalian saham yang telah dibeli oleh STT.72
SPI
menilai bahwa privatisasi Indosat adalah suatu pelanggaran
hukum, oleh karenanya mereka melaporkan Menneg BUMN
Laksamana Sukardi beserta deputinya, Mahmudin Yasin dan
direksi Indosat ke polisi. Pelanggaran yang diajukan adalah73
:
Pertama: pelanggaran UUD 1945 Pasal 33 ayat (2), sebab Indosat
merupakan cabang produksi penting yang harus dikuasai oleh
negara. Kedua, pelanggaran TAP X/MPR/2001 dan TAP
VI/MPR/2002, karena proses privatisasi tidak selektif dan tanpa
konsultasi dengan DPR. Ketiga, pelanggaran terhadap UU No.
25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004,
terutama Pasal 12, UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli, UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU
No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Keempat, pemerintah dinilai telah menyebabkan kerugian ekonomi negara
akibat penjualan saham di bawah harga dan hilangnya potensi
pajak serta dividen. Laksamana Sukardi bahkan digugat secara
71
Marwan Batubara adalah pendiri Serikat Pekerja Indosat yang kini
menjadi anggota DPD DKI Jakarta membukukan kemelut divestasi Indosat ini
dalam Divestasi Indosat: Kebusukan Sebuah Rezim (Jakarta: Iluni Jakarta dan
Barisan Penyelamat Aset Bangsa). 72
‚Karyawan Indosat Mogok Massal Mulai 27 Desember‛,
www.tempointeraktif.com, 23 Desember 2002. 73
Pemeriksa No. 88, Januari-Februari 2003, tersedia di:
http://www.bpk.go.id/publikasi/88/Polarisasi%202.pdf.
107
spesifik oleh Indonesian Telecommunication Watch (ITW) atas
tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus
divestasi Indosat.74
Hal utama yang menjadi latar belakang penolakan SPI atas
divestasi Indosat hingga lebih dari 49% adalah75
pertama: Bisnis
yang strategis menyangkut kepentingan negara dan rakyat sesuai
Pasal 33 UUD 1945; kedua: Perolehan keuntungan yang besar dan
rutin memberikan deviden dan pajak besar setiap tahun pada
negara; ketiga: Adanya pelanggaran konstitusi dan berbagai
peraturan, Tap MPR dan UU; keempat: Adanya penipuan lewat
penggunaan ‚Special Purpose Vehicle‛ (SPV) ICL, dalam
perjanjian jual belinya; dan kelima: Harga jual rendah karena
penggorengan harga saham, serta berbagai hal lainnya.
Alasan-alasan dibalik pertentangan yang terjadi seputar
divestasi Indosat adalah:
a) Pelanggaran Hukum Seputar Divestasi Indosat76
Saat itu, pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh
Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara BUMN mengatakan
bahwa privatisasi dalam tubuh Indosat sudah dijalankan sesuai
TAP MPR dan UU Propenas. Selanjutnya dikatakan bahwa
divestasi Indosat telah dilakukan dengan benar karena
dilaksanakan berdasarkan UU, yakni UU APBN 2002. Tanggapan
dari Serikat Pekerja Indosat mengatakan bahwa ini tidak benar,
karena jika mengacu kepada Pasal 33 UUD 1945, maka tanpa
membahas UU APBN dan TAP MPR dan UU lain yang disebutkan
di atas, jelas terlihat terjadinya pelanggaran. Pasal 33 UUD 1945
menyebutkan bahwa ‚cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara‛.
Bisnis Indosat, sektor telekomunikasi, termasuk cabang
produksi atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak,
74
‚Laks Dituduh Korupsi Kasus Divestasi Indosat‛, Pikiran Rakyat, 7
Januari 2003. 75
Marwan Batubara, Divestasi Indosat; Kebusukan Sebuah Rezim,
Catatan Gugatan Actio Popularis (Jakarta: Ikatan Alumni Universitas Indonesia
Jakarta, 2004), 3. 76
Marwan Batubara, Divestasi Indosat; Kebusukan Sebuah Rezim,
Catatan Gugatan Actio Popularis, 7-9.
108
sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf (c) UU No 1 Tahun 1967
tentang PM sebagaimana diubah dengan UU No 11 Tahun 1970.
Berdasarkan pasal ini, salah satu bidang usaha yang menguasai
hajat hidup orang banyak adalah telekomunikasi, karena itu harus
dikuasai oleh negara dan tertutup bagi PMA secara penuh. Juga
sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU No 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi menegaskan bahwa sektor telekomunikasi
dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh
pemerintah.
Bisnis Indosat jelas merupakan usaha yang menguasai hajat
hidup orang banyak, juga merupakan usaha yang penting dan
strategis yang harus dikuasai oleh negara dan pembinaannya harus
dilakukan pemerintah. Padahal dengan dikuasai asing seperti saat
ini, maka sarana transmisi untuk internasional tergantung
Singapura dan sewaktu-waktu bisa ditutup oleh Singapura jika
terjadi konflik keamanan.
Sarana yang dimiliki Indosat bukan saja sarana trasmisi
untuk penyiaran TV, tetapi lebih jauh, lebih luas dan beragam dari
itu. Indosat juga bukan hanya SLI dan akan digantikan VOIP,
dengan demikian pantas jika sektor ini diatur dalam konstitusi
mengingat posisinya begitu penting dan strategis.
b) ‚KKN di BUMN-BUMN‛ Sebagai Alasan77
Saat itu pemerintah mengatakan bahwa KKN yang terjadi
dalam tubuh BUMN sudah melebar kemana-mana, salah satu
solusinya adalah dengan jalan privatisasi. Serikat Pekerja Indosat
mengatakan bahwa mereka setuju dengan solusi sebagian BUMN
diprivatisasi, tetapi untuk BUMN yang sifatnya strategis bagi
kepentingan publik, maka meskipun diprivatisasi, kontrol
pemerintah atas BUMN tersebut harus tetap dipertahankan.
Privatisasi bukan berarti menghilangkan hak kontrol, dan hak
kontrol secara bisnis umumnya hanya berlaku jika kepemilikan
>51% (atau lebih kecil jika pemilik saham lainnya adalah publik).
Posisi SPI ini sesuai dengan konstitusi, pasal 33 UUD 1945.
Lebih lanjut SPI melihat bahwa pencegahan KKN dengan
privatisasi dan menyerahkan kepada swasta bukanlah solusi yang
77
Marwan Batubara, Divestasi Indosat; Kebusukan Sebuah Rezim,
Catatan Gugatan Actio Popularis, 5.
109
tepat, mengingat bahwa yang selama ini menjadi pengurus atau
komisaris di seluruh BUMN adalah pejabat pemerintah. Yang
sering melakukan intervensi kepada manajemen BUMN adalah
pejabat pemerintah. Kalau halnya demikian, maka pejabat
pemerintah tersebut perlu membenahi diri, atau menyerahkan
tugas-tugas kepengurusan tersebut kepada swasta, kalau diyakini
solusinya adalah swastanisasi, bukan BUMN-nya yang dijual.
c) Masalah Pajak dan Pendapatan Negara78
Pemerintah beralasan bahwa dengan privatisasi maka
penerimaan negara bertambah, dan negara cukup memperoleh
pendapatan dari pajak saja. Tanggapan SPI atas hal tersebut
adalah:
Khusus untuk Indosat yang telah go public sejak 1994 dan
dijalankan secara profesional dan bebas KKN, divestasi justru
akan mengurangi penerimaan negara, mengingat:
- Penerimaan deviden menurun, karena akibat
divestasi maka saham pemerintah pun menurun
(minoritas).
- Dalam hal pajak, penerimaan pemerintah
berpotensi menjadi berkurang karena PMA
secara umum berusaha mengurangi atau
menggelapkan pajak. Berdasarkan pengakuan
Dirjen Pajak tahun 2002 yang lalu, 70% PMA
menggelapkan pajak. Jika hak kontrol masih di
tangan pemerintah maka upaya penggelapan itu
tidak akan terjadi;
- Pajak atas deviden akan menurun mengingat
pembeli Indosat adalah perusahaan yang
didirikin di Mauritius, dimana pajak atas
deviden hanya 5% (turun dari 15% menjadi
hanya 5%).
d) Pemberian Hak Monopoli Negara Asing di Indonesia79
Menteri Negara BUMN saat itu dan para pendukung
divestasi Indosat berargumen bahwa salah satu tujuan privatisasi
78
Marwan Batubara, Divestasi Indosat; Kebusukan Sebuah Rezim,
Catatan Gugatan Actio Popularis, 11-12 . 79
Marwan Batubara, Divestasi Indosat; Kebusukan Sebuah Rezim,
Catatan Gugatan Actio Popularis, 34-35 .
110
Indosat adalah untuk menciptakan fair competition di bidang
telekomunikasi, agar terbina perkembangan bisnis telekomunikasi
yang terlepas dari jerat monopoli negara dan pemerintah demi
terwujudnya pasar yang efektif dan efisien. Akan tetapi, pernyataan
tersebut tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, mengingat:
- STT bersama SingTel adalah anak perusahaan
yang bernaung di bawah perusahaan milih
Pemerintah Singapura, yakni Temasek Holding
(Pte) Ltd;
- Dengan penetapan STT/ICL sebagai pemenang
tender divestasi Indosat, menjadikan perusahaan
tersebut menguasai dan mengontrol bisnis
selular Satelindo dan IM3;
- SingTel sebagai anak Temasek yang lain telah
menguasai 35% saham penyelenggara selular
Telkomsel. Dengan demikian, mayoritas industri
selular di Indonesia dikuasai oleh Temasek
Holding.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pemerintah( Meneg
BUMN) telah berupaya melepaskan bisnis telekomunikasi dari
monopoli (penguasaan dan pembinaan) negara dan pemerintah
Indonesia dan dengan gembira menyerahkan kepada monopoli
negara dan pemerintah Singapura. Hal ini juga jelas melanggar
larangan monopoli seperti yang digariskan Ps 28 ayat (2) UU No 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
(2) Privatisasi Air di Indonesia
Menurut laporan Peter H. Gleick dari World Water
Institute, pada tahun 1998 lebih dari 600 juta orang di Asia-Pasifik
tidak mempunyai akses terhadap air bersih. Di Afrika, jumlah
penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih sekitar
400 juta jiwa, dan di Amerika Latin 100 juta jiwa.80
Laporan lain
dari PBB menyatakan bahwa 1,3 miliar orang di dunia tidak
mempunyai akses terhadap air bersih dan 2,5 miliar orang di dunia
80
Peter Gleick, ‚Renewable Fresh Water: Population Action
International Water Withdrawal and Drinking Water‛, National Geographic,
Oktober 1998, 71.
111
tidak mempunyai sistem sanitasi yang memadai. Ada 31 negara di
dunia ini yang mengalmai defisit air. Kebutuhan akan air bersih
diperkirakan meningkat dua kali lipat pada 20 tahun mendatang,
akibat naiknya tingkat pencemaran air dan keringnya sumber-
sumber mata air.81
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa saat
ini dunia sedang mengalami krisis air bersih.
PBB pun menugaskan 23 institusi yang dipimpin oleh
UNESCO dan sekretariat konvensi internasional untuk
mempersiapkan laporan menyikapi keadaan yang memburuk ini.
Hasilnya adalah World Water Development Report – Water for People, Water for Life yang diluncurkan pada World Water Forum
di Kyoto, Jepang, 16-23 Maret 2003. Tahun 2003 bahkan
dicanangkan sebagai ‚International Year of Fresh Water‛. PBB
mengharapkan terciptanya water peace dan bukan water wars, dan
solusi yang diungkapkan oleh Direktur Jenderal UNESCO
Koichiro Matsuura mengacu pada pengelolaan sumber daya air
oleh pihak swasta. Argumen utamanya adalah negara dinilai gagal
dalam efisiensi pengelolaan air.82
Solusi manajemen air dengan melibatkan pihak swasta tak
lepas dari ideologi neoliberalisme dalam konteks globalisasi
ekonomi 1990-an. Berkurangnya peran negara akibat kemajuan
teknologi dan menguatnya gerakan masyarakat sipil lintas batas
negara menjadikan beberapa organisasi internasional seperti
intergovernmental organization dan multinational company tampil
sebagai unit pengatur dalam hubungan internasional.83
Oleh
karena itu, dalam penyelenggaraan manajemen air bersih,
perusahaan multinasional muncul sebagai aktor utama dengan
mengambil alih sektor air yang selama ini dikuasai negara. Agenda
81
WHO dan UNICEF, Global Water Supply and Sanitation
Assessment 2000 Report (Jenewa: WHO dan UNICEF, 2000). 82
Jessica Budds dan Gordon McGranaham, ‚Are the Debates on Water
Privatization Missing the Point? Experiences from Africa, Asia, and Latin
America‛, dalam Environment & Urbanization Vol. 15 No. 2 Oktober 2003, 3. 83
Lihat Michael Hanagan, ‚ States and the Capital: Globalization Past
and Present‛, dalam Don Kalb, Marco van der Land (ed.), The Ends of Globalization: Bringing Society Back In (Maryland: Rowman & Littlefield,
2000), 67.
112
privatisasi menjadi pembuka jalan bagi kepentingan perusahaan
multinasional untuk melebarkan aktivitasnya.84
Air adalah bisnis yang menggiurkan dengan keuntungan
tahunan sebanyak AS$40 miliar. Dari laporan majalah Fortune
Februari 2000 dapat dilihat bahwa semakin langka air, makin
besarlah keuntungan perusahaan pengelolanya. Menurut laporan
World Water Council, pada tahun 1990 sekitar 51 juta orang di
dunia mendapatkan air bersihnya dengan membayar pada
perusahaan multinasional. Lima besar perusahaan air
multinasional adalah:85
1. RWE Thomas Water (Inggris) dengan pendapatan
AS$55,5 miliar pada tahun 2001. Beroperasi di
Indonesia.
2. Vivendi Environment (Perancis) dengan pendapatan
AS$51,7 miliar pada tahun 2001.
3. Suez-Lyonnaise de Eaux (Perancis) dengan pendapatan
AS$37,2 miliar pada tahun 2001. Perusahaan ini
beroperasi di Indonesia.
4. Boygues-SAUR (Perancis) dengan pendapatan AS$17,9
miliar pada tahun 2001.
5. Bechtel Corporation (AS) dengan pendapatan AS$15,1
miliar pada tahun 2001. Beroperasi di Bolivia dan
negara-negara Amerika Latin lainnya.
Privatisasi air dalam pandangan Peter Gleick didefinisikan
sebagai percepatan transfer proses produksi, distribusi, manajemen
maupun jasa pelayanan air dari entitas publik kepada swasta.86
Menurut Gleick, dalam praktiknya privatisasi air yang diorganisir
oleh swasta memiliki beberapa prinsip dan standar yang harus
diperhatikan. Ada tiga pandangan yang berbeda dalam privatisasi
air ini: memperlakukan air sebagai public goods, memperlakukan
84
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 115.
85 Raja P. Siregar, Politik Air di Indonesia (Jakarta: WALHI dan
Koalisi Anti Utang), 86. 86
Peter Gleick, ‚Renewable Fresh Water: Population Action
International Water Withdrawal and Drinking Water‛, National Geographic,
Oktober 1998.
113
air sebagai economic goods, dan pandangan alternatif yang
berusaha menggabungkan kedua pandangan tadi. Tiga pandangan
tersebut dikemukakan oleh Gleick sebagai berikut:
1. Tetap mengelola air sebagai public goods.
Alasannya:
- memenuhi kebutuhan dasar manusia akan air.
Setiap penduduk dalam wilayah pelayanan
harus dijamin pasokan airnya dalam setiap
proses privatisasi yang terjadi.
- Memenuhi kebutuhan ekosistem alami akan air.
Ekosistem alami harus dijamin mendapatkan
perlindungan dalam setiap proses privatisasi.
- Penyediaan air dapat dilakukan dengan
melakukan subsidi ketika diperlukan, terutama
dengan alasan kemiskinan. Subsidi tidak
dilakukan secara tidak terkontrol. Subsidi hanya
diberikan bagi kelompok masyarakat sangat
miskin yang tidak mampu membayar akses air
bersih.
2. Menggunakan rasionalitas ekonomi dalam
manajemen air atau melihat air sebagai economic goods. Alasannya:
- Pengelolaan air dan penyediaannya tidaklah
gratis. Harga air harus dirancang untuk
meningkatkan penggunaan air yang efektif dan
efisien.
- Kenaikan harga air harus dihubungkan dengan
peningkatan pelayanan yang telah disepakati
bersama. Dengan demikian pengelola air akan
memiliki insentif untuk meningkatkan kinerja
sekaligus meningkatkan nilai air dan penyediaan
air.
- Subsidi harus memenuhi dimensi sosial-
ekonomi. Subsidi kepada pengguna air akan
lebih baik dibandingkan subsidi yang
mengurangi harga air, yang bisa berakibat pada
inefisiensi penggunaan air.
114
3. Menjaga pengawasan dan pengaturan kuat dari
pemerintah.
- Pemerintah harus menjaga kepemilikan publik
dan kontrol publik atas sumber air. Dimensi air
sebagai social goods tidak dapat dilindungi
apabila kepemilikan atas sumber daya air
sepenuhnya dikuasai oleh swasta.
- Lembaga-lembaga publik dan pengelola air
harus mengawasi kualitas air. Pemerintah dan
lembaga publik independen harus bekerjasama
dalam mengawasi kualitas air. Pemerintah dan
lembaga publik independen harus bekerjasama
secara terpadu dengan pengelola air dalam
mengawasi kualitas air, karena seringkali badan
yang dimiliki pemerintah dalam hal pengawasan
air kurang berfungsi dengan baik.
- Prosedur penyelesaian perselisihan harus
ditentukan sebelum privatisasi. Penting untuk
membangun prosedur yang didasarkan pada
institusi dan praktik-praktik lokal yang bebas
korupsi.
- Keterlibatan Badan Teknis Independen dan
evaluasi kontrak.
- Negosiasi privatisasi harus terbuka, transparan,
dan melibatkan setiap pihak yang
berkepentingan. Partisipasi yang luas penting
untuk memastikan bahwa keanekaragaman
sudut pandang terwakili dalam privatisasi ini.
Pandangan pertama menempatkan air sebagai barang
publik yang harus dijaga dari penguasaan pihak swasta. Kalangan
ini menilai dampak sosial yang akan ditimbulkan oleh privatisasi
ini akan besar. Sedangkan pandangan kedua menilai adanya
privatisasi air akan membuat air lebih terakses dibandingkan jika
diserahkan ke negara yang tidak kompeten dalam mengelola air.
Selain itu, ikut sertanya negara dalam pengelolaan air dilihat
sebagai ekonomi biaya tinggi.
115
Pandangan yang cenderung konvergen ditampilkan oleh
pandangan ketiga yang menilai bahwa negara harus menjadi
regulator air, dan keterlibatan pihak non-negara diwakili oleh
lembaga publik independen yang dinilai kompeten dalam
mengelola air. Hal ini yang juga memperlihatkan aspek lain
globalisasi yang bisa menjadi penanding kekuatan korporasi
multinasional, yakni kekuatan masyarakat sipil. Masyarakat sipil
yang dibangun dari jaringan global mempunyai kekuatan untuk
turut menentukan kebijakan. Pandangan ketiga ini merefleksikan
pemikiran Post Washington Consensus yang meletakkan negara
sebagai regulator pembangunan.
Banyak negara di dunia mengalami permasalahan air. Yang
paling parah di antaranya adalah Kuwait, Uni Emirat Arab,
Bahama, dan Qatar. Indonesia menduduki peringkat 58 dari 180
negara dalam hal penyediaan air,87
yang berarti tidak
menguatirkan. Namun, dilihat dari kualitas air, posisi Indonesia
dapat dikatakan memprihatinkan, karena menduduki peringkat 110
dari 122 negara. Permasalahan air di Indonesia secara garis besar
bisa diuraikan sebagai berikut:88
1. Kelangkaan lokal untuk berbagai macam sektor karena
naiknya jumlah penduduk dan meningkatnya
permintaan air bersih, terutama di daerah perkotaan.
Meskipun total penyediaan air bersih di Indonesia
cukup tinggi (sekitar 13.000 m3) namun tidak
semuanya mencukupi untuk semua daerah. Jawa
misalnya, yang hanya memiliki 4,5 persen dari potensi
air bersih nasional, namun ditujukan untuk 65 persen
penduduk Indonesia. Ini akan menghasilkan krisis air
selama musim kemarau. Padahal permintaan air bersih
terutama di Jawa meningkat setiap tahun. Menurut
perkiraan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah,
87
WHO dan UNICEF, Global Water Supply and Sanitation
Assessment 2000 Report, 4. 88
Nadia Hadad, ‚Water Privatization in Indonesia‛, tersedia di
www.infid.be/water_c.
116
kebutuhan air bersih sepanjang tahun 1990 hingga 2020
akan meningkat sekitar 220 persen.
2. Terbatasnya akses air bersih dari badan manajemen dan
infrastruktur air bersih di perkotaan untuk menanggapi
cepatnya permintaan. Dokumen Water Resources
Sector Adjustment Loan (WATSAL) menyebutkan
bahwa hanya 40 persen penduduk kota yang
mendapatkan akses air ledeng.
3. Perencanaan yang tidak memberi perhatian pada
kelangsungan lingkungan hidup serta kebudayaan yang
rusak akibat degradasi lingkungan. Industrialisasi dan
urbanisasi juga ikut menyebabkan kerusakan
lingkungan.
Tabel 5.2 memperlihatkan kesenjangan antara tingkat
permintaan dan aliran yang tersedia. Hal ini sangat
jelas di Pulau Jawa (permintaan: 1074, aliran hanya
736). Air minum di pulau ini hanya 4,5 persen dari
potensi Indonesia tapi air minum ini ditujukan untuk
mencukupi 65 persen penduduk Indonesia.89
Kondisi ini
telah mencapai titik kritis di mana setiap tahunnya
Pulau Jawa mengalami defisit air sebanyak 13 juta
m3.90
Banyak penyebab mengapa persediaan air bersih di
Indonesia menurun, antara lainnya adalah kerusakan sungai,
pencemaran air tanah, dan pencemaran sungai. Aktivitas pabrik
juga turut mendorong keruhnya air sungai akibat limbah produksi.
Di kota besar dan padat seperti Jakarta, banyak air telah tercemar
polutan atau bakteri tanah.
Ironisnya, di tengah kegentingan ini pemerintah dan
parlemen justru memprivatisasi sumber-sumber air di Indonesia.
RUU Sumber Daya Air yang dibahas di DPR pada hakikatnya
89
Public Citizen, ‚Fiascos: Jakarta, Indonesia‛, tersedia di
http://www.citizen.org/cmep/Water/cmep_Water/fiascos/articles.cfm?ID=9213. 90
Nadia Hadad, ‚Water Privatization in Indonesia‛, tersedia di
www.infid.be/water_c.
117
melihat air semata-mata sebagai barang ekonomi.91
Konsep yang
dipakainya adalah ‚water utilisation rights‛ yang memungkinkan
komersialisasi air. ‚Water utilisation rights‛ adalah realisasi dari
konsep ‚tradable water rights‛ yang diperkenalkan oleh Bank
Dunia.92
Walaupun pada kenyataannya privatisasi air di Indonesia
telah dimulai sejak 1992, namun privatisasi yang banyak mendapat
sorotan publik adalah privatisasi pasca krisis ekonomi. Berbagai
kelompok masyarakat menganggap dampak privatisasi ini sangat
berbahaya, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses air
bersih, serta dampaknya pada lingkungan hidup. Air menjadi
industri global yang dilegitimasi oleh badan-badan Washington
Consensus.
Penguasaan air oleh swasta asing inilah yang sering disebut
Stiglitz sebagai ‚pasar yang tidak sempurna‛, di mana harga tidak
mencerminkan kondisi realistiknya. Harga air Rp. 5.900 per meter
kubik (atau sekitar AS$0,6) jelas tidak rasional bagi penduduk
Indonesia yang separuhnya hidup dengan kurang dari AS$2 sehari.
Sebanyak 16,7 persen penduduk pendapatannya sekitar AS$1,55,
sedangkan 7,4 persen hidup dengan AS$1.93
Studi David Macarov membuktikan bahwa privatisasi
sektor-sektor sosial telah memarjinalkan rakyat miskin.94
Namun,
Macarov meyakini tren privatisasi akan terus berlanjut, dan salah
satu cara untuk menekan masifnya pemiskinan di negara
berkembang adalah penguatan masyarakat sipil. Masyarakat sipil
yang terorganisir dapat mengawasi jalannya privatisasi sehingga
kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat dapat dihalangi.
Hal inilah yang dilakukan Brasil dalam privatisasi air, di mana
gerakan masyarakat sipil sangat efektif dalam mengontrol harga
air.
91
‚Komentar Anggota Dewan Mengenai RUU SDA‛, Majalah Air,
September 2003, 41. 92
Raja P. Siregar, Politik Air di Indonesia, 71. 93
Berdasar laporan Bank Dunia tahun 2006, Making the New
Indonesia Work for the Poor. 94
David Macarov, What Market Does to People: Privatization,
Globalization, and Poverty (Selangor: Strategic Information Research
Development, 2003), 168-170.
118
Namun bagi Ben fine, penguatan masyarakat sipil saja –
suatu aksi yang berangkat dari berkembangnya pemikiran tentang
capital social- tidaklah cukup untuk mengatasi ketimpangan dalam
masyarakat. Bagi Fine, social capital harus dilihat sebagai ikatan
atau kohesi di level domestik antara pemerintah dan konstituen
atau rakyatnya.95
Masyarakat tanpa social capital akan sakit dan
tidak berkembang karena deprivasi yang ditimbulkannya.
Disinilah pemahaman Fine tentang social capital berseberangan
dengan pemahaman Bank Dunia. Bank Dunia tidak
memperhitungkan peran negara ala developmental state yang
menurut Fine justru merupakan elemen sentral dalam kajian social capital. Bank Dunia sebagai institusi yang memiliki kapasitas
untuk mengupayakan social capital dalam masyarakat justru
cenderung mengesampingkan esensi dari social capital itu sendiri
dan akibatnya justru memperlemahnya. Bagi Fine, peran negara
diperlukan dalam pembangunan, karena dengan inilah social capital dalam masyarakat akan tetap terjaga, terutama untuk
menjamin kelangsungan hidup rakyat miskin. Oleh karena itu,
dalam kasus privatisasi air, negara perlu melakukan proteksi dan
pendampingan terhadap praktik privatisasi air melalui mekanisme
pengawasan.
Oleh karena itu, masyarakat sipil lah (bukan swasta asing)
yang sebenarnya perlu dilibatkan dalam proses privatisasi, agar
tujuan-tujuan efesiensi dan pemangkasan korupsi bisa sejalan
dengan penyediaan air bersih yang terjangkau oleh rakyat. Di
Brasil, ketika pemerintah bermaksud memprivatisasi sektor air di
kota Recife tahun 2000, penduduk Recife melakukan penolakan.
Penolakan itu kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Dewan
Air dan Sanitasi Kotapraja Recife. Dewan tersebut dikontrol oleh
unsur masyarakat sipil (sebesar 75 persen) dan pemerintah (25
persen). Hasilnya, setelah Dewan dijalankan, kualitas pelayanan
95
Ben Fine, ‚The Social Capital of the World Bank‛ dalam Ben Fine,
Costas Lapavitsas, dan Jonathan Pincus (eds.), Development Policy in the Twenty-First Century: Beyond the Post Washington Consensus (London:
Routledge, 2001).
119
air meningkat. Cara serupa juga dilakukan di kota Porto Allegre
dan terbukti berhasi menurunkan tarif air masyarakat.96
(3) Privatisasi Pendidikan di Indonesia
Pendidikan adalah salah satu aspek penting dalam
pembangunan suatu bangsa. Berbagai indikator di tingkat
internasional menempatkan pendidikan sebagai salah satu kunci
utama keberhasilan pembangunan. Dalam Deklarasi Millenium
Development Goals (MDGs) PBB, pendidikan diposisikan di poin
kedua tujuan pembangunan, dengan komitmen ‚achieving universal primary education‛.
97
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 26
menyebutkan bahwa ‚Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsary‛. Kemudian,
dalam Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya pasal 13 juga disebutkan bahwa ‚primary education shall compulsary and available free to all, higher education shall be made equally accessible to all, on the basis of capacity‛.
98
Namun kendati pendidikan ditempatkan sebagai hak asasi
manusia yang harus dipenuhi oleh negara, hak rakyat atas
pendidikan masih diabaikan oleh beberapa negara. Laporan
Millenium Development Goals PBB tahun 2006 menyebutkan
bahwa rata-rata negara berkembang mempunyai persentase anak
yang bersekolah dasar sebesar 86 persen. Angka ini naik dari rata-
rata dekade ’90-an yang hanya 79 persen. Namun jika
dibandingkan dengan rata-rata negara maju yang persentase anak
bersekolah dasarnya hampir mencapai 100 persen, pencapaian ini
cukup tertinggal.99
96
‚Reclaiming Public Water: Participatory Alternatives to
Privatization‛, dalam Alternative Regionalism: Debate Papers, Transnational
Institute Corporate Europe Observatory, Oktober 2004, 9. 97
Tersedia di www.un.org/milleniumgoals. 98
Tersedia di www.usembassyjakarta.org/ptp/hakasasi.html/. 99
‚Menyidik Rendahnya Kualitas SDM‛, Suara Merdeka, 25
November 2005.
120
Jika dicermati, pendidikan yang dimaksud dalam MDGs
adalah ‚pendidikan dasar‛. Sedangkan pendidikan lanjutan
lainnya, seperti pendidikan tersier dan pendidikan tinggi luput dari
pembahasan MDGs. Secara politik, hal ini berarti kurangnya
dukungan finansial negara terhadap post-secondary education
(PSE). Hal ini sama dengan kebijakan neoliberal Amerika Serikat
yang memangkas dana pendidikan PSE.
‚Amerikanisasi‛ pendidikan ini mencemaskan banyak
kalangan di negara-negara maju sendiri karena ketimpangan yang
timbul akibat sistem pendidikan dua lapisnya (two tier educational system).
100 Orang yang sudah kaya bisa memperoleh pendidikan
bagus, sebaliknya yang miskin memperoleh sekolah jelek atau
tidak bersekolah sama sekali. Di Kanada misalnya, isu ini menjadi
perdebatan hangat di parlemen. Anggota Dewan Libby Davies dari
Vancouver Timur menyatakan dalam rapat dengar dengan Menteri
Luar Negeri:
Bapak Menteri, uang sekolah yang melambung tinggi serta
deregulasi menyebabkan timbulnya sistem pendidikan dua lapis di
Kanada. Amerikanisasi dan privatisasi PSE adalah hasil langsung
dari pemangkasan pendanaan federal.
Kapan pemerintah akan bertindak menghentikan pendarahan PSE
ini? Kapan pemerintah akan menegaskan bahwa sistem dua lapis
ini tidak bisa diterima di Ontario atau di bagian Kanada
manapun?101
Subsidi pendidikan di Kanada memang turun dari 69
persen menjadi 55 persen pada tahun 2003. Tren penurunan subsidi
ini tampaknya diabaikan dalam program Education for All yang
didanai Bank Dunia. Bahkan pada Juli 2004, WTO merumuskan
‚Paket Juli‛ yang salah satunya berisi liberalisasi sektor jasa
100
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 149.
101 House of Common, 36 Parliament, I Session, perdebatan tanggal 8
Mei 1998, tersedia di
http://www2.parl.gc.ca/HousePublications/Publications.aspx?pub=hansard&me
e=102&&parl=36&ses=I&language=E.
121
termasuk pendidikan tinggi. Dengan inilah, privatisasi pendidikan
tinggi pun berlangsung di berbagai negara.102
Privatisasi pendidikan mewarnai diskursus privatisasi di
Indonesia pada tahun 2003 seiring dengan keputusan pemerintah
untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas
dan mengubah status emapt Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Menyusul
kebijakan tersebut, wacana privatisasi kian mengemuka ketika
pada tahun 2005 pemerintah mengajukan RUU Badan Hukum
Pendidikan (BHP). Kedua upaya tersebut mengundang kritik pedas
dari masyarakat yang memprotes sikap ‚cuci tangan‛ pemerintah
dalam bidang pendidikan. Pemerintah dianggap lalai dalam
menjamin tersedianya akses pendidikan yang terjangkau bagi
seluruh lapisan masyarakat.103
Payung hukum yang selama ini menjadi dasar legalitas
privatisasi pendidikan adalah UU Sisdiknas No. 20/2003. Pasal 46
UU Sisdiknas ini secara gamblang menyebutkan bahwa pendidikan
bukan lagi semata-mata tanggung jawab pemerintah pusat,
melainkan juga pemerintah daerah dan masyarakat.
1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat;
2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur
dalam pasal 31 UUD RI 1945;
3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Sedangkan pasal 47 ayat 2 menyatakan:
102
‚Dirjen Dikti: RUU BHP Belum Final‛, Kompas 13 Juni 2005. 103
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relations Studies
Universitas Indonesia), Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia, 145.
122
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
mengerahkan sumberdaya yang ada sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku
Dengan rumusan pasal-pasal yang demikian itulah dapat
dikatakan bahwa penerapan UU Sisdiknas telah melegalkan
pelepasasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan
dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan
tahun secara gratis dan bermutu. Masyarakat, seperti yang tertera
pada Pasal 9 UU Sisdiknas, ‚berkewajiban memberikan dukungan
sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan‛. Hal ini berarti
pemerintah tidak lagi memiliki kewajiban sebagai penanggung
jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat.
Sementara itu, Pasal 12 Ayat 2 (b) juga membebankan
kewajiban bagi peserta didik untuk ikut menanggung biaya
penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari
kewajibannya sesuai undang-undang yang ada. Lebih lanjut,
kewajban masyarakat untuk turut menanggung biaya pendidikan
juga tertera dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Wajib Belajar, dimana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat
dalam pembiayaan sekolah dasar. Pasal 13 Ayat (3) berbunyi:
‚Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan
penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
maupun masyarakat.
Pasal-pasal UU Sisdiknas di atas yang terkait dengan
upaya privatisasi pendidikan sebenarnya juga kontradiktif ketika
disandingkan dengan pasal-pasal lain dalam UU tersebut, misalnya
Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18). Didalamnya
tertera bahwa ‚Wajib belajar adalah program pendidikan minimal
yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung
jawab Pemerintah dan pemerintah daerah‛. Terlebih jika mengacu
pada amanat sumber hukum nasional tertinggi seputar kewajiban
pemerintah dalam sektor, yakni UUD 1945 Pasal 31 Ayat (2), UU
Sisdiknas No.20/2003 tersebut dapat dianggap inkonstitusional.
Secara tegas dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa:
(1) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya.
123
Di ayat (4), hal tersebut kembali dipertegas:
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran
pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Lebih lanjut, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pasal
3 Ayat (3), penjelas dari UU Sisdiknas, menyatakan dengan jelas
bahwa setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan
layanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya.
Jika kita melihat dan memperbandingkan UU Sisdiknas dengan
dasar hukum di atas, dapat disebutkan bahwa penerapan UU
Sisdiknas kontradiktif dan menyimpang dari sumber-sumber
hukum nasional lain. Secara de jure, UU Sisdiknas yang kini
berlaku bertentangan dengan amanat UUD 1945 untuk
menyelenggarakan pendidikan dasar secara gratis.
Didalam UU Sisdiknas ini juga tercantum satu pasal yang
nantinya akan membuka keran privatisasi pendidikan yang lebih
luas lagi, yaitu pasal 53 ayat (1), yang berkenaan dengan status
badan hukum penyelenggara pendidikan. Pasal khusus ini yang
kemudian memicu munculnya ‚amanah‛ baru bagi pemerintah
untuk merumuskan konsep Badan Hukum Pendidikan, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan perumusan RUU BHP.
Syariat dalam ajaran Islam menegaskan bahwa pemerintah
memiliki peranan yang sangat besar dalam menjalankan roda
pemerintahan, termasuk salah satunya dalam hal perekonomian,
maka pemerintah tidak boleh berlepas tangan terhadap
kewajibannya dalam urusan yang menyangkut hak-hak rakyatnya.
Syariat juga menegaskan bahwa pemerintah harus dapat menjadi
pengatur dan pelayan urusan masyarakat (ri’a>yah as-su’u>n al-ummah) sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW ‚Seorang Imam (pemimpin negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya‛. (HR. Bukha>ri> dan Muslim)
124
Untuk dapat mengatur dan melayani urusan masyarakat,
pemerintah harus memiliki sarana dan alat produksi. Salah satunya
dengan mendirikan badan-badan yang bertugas mengeksplorasi
sumber-sumber daya alam seperti barang tambang, memproduksi
industri-industri vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
dan memiliki lembaga kredibel yang mengurusi pendistribuan
barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.
Privatisasi yang dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang
dikategorikan harta milik umum dan sektor industri vital atau
strategis tidak diperbolehkan menurut ajaran Islam. Nabi
Muhammad SAW bersabda: ‚Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal; yaitu air, padang rumput dan api‛. Seperti yang dikatakan
oleh Taqyu Ad-Di>n An-Nabha>ni> dalam pemaparan sebelumnya
bahwa harta milik umum mencakup fasilitas umum, barang
tambang yang jumlahnya sangat besar, dan sumber daya alam yang
sifat pembentukannya menyebabkan tidak mungkin dikuasai oleh
individu. Sedangkan yang dikategorikan industri strategis adalah
industri yang menghasilkan produk atau mesin yang dibutuhkan
oleh kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sektor
perekonomian, seperti industri manufaktur, pertanian, transportasi,
dan telekomunikasi.
125
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsep kepemilikan negara yang terdapat pada sistem
ekonomi konstitusi Indonesia yang direpresentasikan oleh Pasal 33
UUD 1945 memastikan bahwa pemanfaatan bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi
pada tataran implementasinya, banyak kebijakan-kebijakan terkait
ekonomi yang diambil pemerintah tidak sesuai dengan apa yang
sudah dicanangkan oleh para founding fathers kita. Itu berarti
bahwa pasal-pasal tersebut sama sekali tidak tertransmisikan ke
dalam realitas sehari-hari, ada kesenjangan yang jauh sekali antara
butir-butir normatif dengan kenyataan sehari-hari di lapangan.
Konsep kepemilikan negara yang terdapat pada sistem
ekonomi konstitusi Indonesia pun ternyata sesuai dengan konsep
kepemilikan negara pada sistem ekonomi Islam. Sisi
kompatibilitasnya terletak pada mekanisme pengelolaan sumber
daya alam pada suatu negara, dibuktikan oleh salah satu hadis
yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abba>s yang berbunyi المسلمون شركاء
dimana hadis tersebut menjelaskan فى ثالث فى الكالء والماء والنار
bahwa pengelolaan sumber daya air, api dan rumput adalah milik
bersama dan tidak dapat dimiliki oleh individu, maka pengelolaan
dalam pengambilan manfaatnya diserahkan kepada negara untuk
selanjutnya digunakan bagi kesejahteraan masyarakatnya.
Kebijakan privatisasi yang dijalankan di Indonesia ternyata
bukan hanya didorong oleh faktor-faktor internal seperti salah
satunya untuk menambal defisit APBN, tetapi juga didorong oleh
faktor eksternal. Ideologi neoliberal yang melatarbelakangi
kebijakan privatisasi tersebut bertujuan untuk meminimalitas
intervensi negara dalam urusan perekonomian suatu bangsa,
ideologi ini juga berkeyakinan bahwa keseimbangan harga hanya
bisa diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, atau meminjam
istilah Adam Smith, The Invisible Hand.
126
Selain itu, peranan lembaga-lembaga keuangan dan
perdagangan multilateral, yakni International of Monetary Fund, World Bank dan World Trade Organization sangat besar dalam
andil menyebarkan kebijakan tersebut. Hal ini terbukti dalam
persyaratan-persyaratan yang dibuat antara lembaga-lembaga
internasional tersebut dengan negara yang mendapatkan
bantuannya untuk menjalankan kebijakan program penyesuaian
struktural (structural adjustment program) , dimana salah satu
tujuannya adalah untuk merangsang pengalihan kegiatan ekonomi
yang semula dikelola oleh negara menjadi milik swasta atau yang
lebih dikenal dengan istilah privatisasi.
B. Saran
Ada beberapa saran yang perlu disampaikan dan patut
dipertimbangkan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan
kebijakan privatisasi:
1. Kepada para ulama, fuqaha>’, dan cendekiawan muslim
harus melakukan kajian lebih mendalam, komprehensif,
dan rinci mengenai konsep-konsep ekonomi Islam.
Hanya dengan cara tersebut semua kebijakan ekonomi
yang dijalankan oleh pemerintah dapat diketahui
kedudukannya dengan benar dalam perspektif ekonomi
Islam. Berbekal dengan pemahaman yang komprehensif
pula, mereka tidak hanya menjadi ‘stempel’ yang
melegitimasi kebijakan pemerintah yang setelah dikaji
lebih mendalam kebijakan tersebut bertentangan
dengan prinsip ekonomi Islam.
2. Kepada para peneliti, disarankan untuk mengkaji lebih
mendalam dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
kebijakan privatisasi, terutama jika BUMN yang
mengelola kepemilikan umum kemudian di privatisasi.
Bukan hanya skala mikro perusahaan, namun lebih
bersifat makro.
3. Kepada pemerintah disarankan agar lebih berhati-hati
dalam mengelola harta kekayaan yang berada dalam
127
kekuasaannya. Sebab tidak semua harta yang saat ini
dikelola, secara shar’i benar-benar menjadi milik negara
yang penggunaannya diserahkan kepada pemerintah.
Namun, ada diantara harta kekayaan tersebut yang
menjadi milik umat keseluruhan. Dalam hal ini negara
hanya menjadi pengelola, oleh karenanya pemerintah
sama sekali tidak boleh menjualnya kepada swasta,
apalagi kepada swasta asing. Karena dengan
menjualnya, fungsi dari BUMN dalam memenuhi
kebutuhan rakyatnya bisa hilang oleh profit maximazation yang menjadi target utama dari
perusahaan swasta.
4. Kepada masyarakat luas disarankan agar lebih kritis
terhadap setiap kebijakan yang dijalankan oleh
pemerintah, sebab setiap kebijakan terutama dalam hal
ekonomi akan berpengaruh pada kesejahteraan rakyat
secara makro.
127
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abbas, Anwar. Bung Hatta dan Ekonomi Islam; Menangkap Makna Maqa>s}i>d Ash-Shari>’ah. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010.
--------. Dasar-dasar Sistem Ekonomi Islam; Suatu Tinjauan dari Perspektif Tujuan, Falsafah, Nilai-nilai dasar dan Nilai-nilai Instrumental. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah, 2009.
Ahmad, Khurshid. Economic Development in an Islamic
Framework, dalam Khurshid Ahmad (ed.), Studies in Islamic Economics. Leicester: The Islamic Foundation,
1980.
Algoud, Lativa M. dan Mervyn K.Lewis. Perbankan Syariah; Konsep, Teori dan Praktek. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2004.
Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001.
Al-Ans{a>ri>, Jala>l. Mengenal Sistem Islam dari A sampai Z.
Penerjemah Abu Faiz. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah,
2006.
Anto, M.B. Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam. Jogjakarta:
Ekonisia, 2003.
Al-‘Assa>l, Ah}mad Muh}ammad dan Fath}i> Ah}mad ‘Abd Al-Kari>m.
Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, ter. Imam
Saefudin. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2004.
--------. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010.
Baasir, Faisal. Pembangunan Krisis; Kritik dan Solusi Menuju Kebangkitan Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Al-Ba>ni. S{ahi>h wa D{a’i>f Sunan Abi > Dau>d. Jilid 7.
128
Bastian, Indra. Privatisasi di Indonesia, Teori dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002.
Bashir, Ahmad Azhar. Refleksi atas Persoalan Keislaman. Bandung: Mizan, 1993.
Batubara, Marwan. Divestasi Indosat;Kebusukan Sebuah Rezim, Catatan Gugatan Actio Popularis. Jakarta: Ikatan Alumni
Univeristas Indonesia, 2004.
Bayliss, Kate .‚Privatization Theory and Practice: A Critical
Analysis of Policy Evolution in the Development Context,‛
dalam Jomo K.S. dan Ben Fine (eds), The New Development Economics: After the Washington Consensus
(New Delhi: Tulika Books dan London: Zed Books, 2006.
Chapra, M Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema
Insani, 2000.
--------. Masa Depan Ilmu Ekonomi : sebuah tinjauan Islam. Penerjemah : Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Gema Insani
Press, 2001.
--------. The Islamic Welfare State and Its Role in the Economy.
London: The Islamic Foundation, 1979.
Chaudhry, Muhammad Sharif. Fundamental of Islamic Economic System Penerjemah: Suherman Rosyidi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012.
Choirie, Effendy. Privatisasi BUMN dalam Sudut Pandang UUD 1945. Tesis Magister Ilmu Hukum Bisnis Universitas
Padjajaran, 2002.
Clutterbuck, David, Susan Kernaghan, dan Deborah Snow. Going
Private: Privatisation Around the World. London: Mercury
Books, 1991.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Djogo, Tono, Sunaryo, dan Martua Sirait. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pembangunan Agroforestri. Bogor: Word
Agroforestry Centre (ICRAF), 2003.
Esposito, John L. dan John D. Donohaue. Islam in Transition.
London: 1979.
Fazlurrahman. Islam. cet. II terj. Ahsin Mohammad. Bandung:
Pustaka, 1994.
129
Fine, Ben. dalam Ben fine , Costas Lapavitsas, dan Jonathan
Pincus (eds). Development Policy in the Twenty First
Century Beyond the Post-Washington Consensus. London:
Routledge Taylor and Francis Group, 2003.
Fine, James. Development Policy in the Twenty-First Century: Beyond the Post-Washington Consensus. London:
Routledge, 2001.
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man. New
York: Pergamon Press, 1993.
Gayle, Dennis J. dan Jonathan N. Goodrich. Exploring the
Implications of Privatizations and Deregulation dalam
Dennis J. Gayle and Jonathan N. Goodrich (ed)
Privatization and Deregulation in Global Perspective. New
York: Quorum Books, 1990.
Giddens, Antony. Studies and Social and Political Theory. London: Hutchinson & Co Publisher Ltd, 1997.
--------. The Third Way. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Gilpin, Robert dan Jean Millis Gilpin. Tantangan Kapitalisme
Global penerjemah Haris Munandar dan Dudy Priatna.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Gran, Peter. Islamic Roots of Capitalism. Austin: University of
Texas Press, 1979.
Gunawan, Tjahja. Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2000. Hadi, Syamsul. et. al. Post Washington Consensus dan Politik
Privatisasi di Indonesia. Tangerang: Penerbit Marjin kiri,
2007.
Al-Hams{ari, An-Niz{a>m Al-Iqtis}a>di>, 165-194;
Hamid, Ady Suandi dan B.M. Hendrie Anto. Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta: UII Press, 2002.
Hanafi, Syafiq M. Sistem Ekonomi Islam & Kapitalisme : Relevansi Ajaran Agama Islam dalam aktivitas ekonomi. Cakrawala, Maret 2007.
Haneef, Mohammed Aslam. Contemporary Islamic Economic Thought: A Selected Comparative Analysis. Kuala
Lumpur: Ikraq, 1995.
130
Heilbrowner, Robert. Vison of the Future. Oxford-New York: The
New York Public Library & Oxford University Press, 1995.
--------. The Making of Economic Society. London: 1987.
Henry, Celement M. Dan Rodney Wilson. The Politics of Islamic
Finance. Edinburg University Press and Columbia
University Press, 2004.
Hertz, Noreena. The Debt Threat: How Debt Is Destroying the
Developing World. New York: Harper Business, 2004.
Hesse-Biber, Sharlene Nagy and Patricia Leavy, Approaches to Qualitative Research. New York: Oxford University Press,
2004.
Isjwara F. Pengantar Ilmu Politik. Semarang: Putra Bardin, 1989.
Islahi, A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, ter. Anshari Thayib.
Surabaya: Bina Ilmu, 1997.
Johnson, Cristopher. The Grand Experiment: Mrs. Thatcher’s
Economy and How it Spread. Oxford: Westview, 1991.
Jomo, K. S. (ed.). After the Storm: Crisis, Recovery and Sustaining Development in Four Asian Economies. Singapura: Singapore University Press, 2004.
Kagami, Mitsuhiro dan Masatsugu Tsuji. (eds.). Privatization, Deregulation and Institutional Framework. Tokyo:
Institute of Developing Economies dan Japan External
(Trade Organization), 1999.
Kalb, Don, Marco van der Land (ed.). The Ends of Globalization: Bringing Society Back In. Maryland: Rowman &
Littlefield, 2000.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta: The International Institute of Islamic
Thought Indonesia, 2002.
--------. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: The International Institute
of Islamic Thought Indonesia, 2002.
Al-Khafi>f, ‘Ali>. Al-Milkiyyah fi> Ash-Shari>ah Al-Isla>miyah ma’a Al-muqa>ranah bi> Ash-Sharai` Al-wadhiyyah. Kairo: Da>r Al-
Fikr Al-‘Arabi>, 1996.
Khan, Muhammad Akram. Economic Teachings of Prophet Muhammad. Islamabad: International Institute of Islamic
Economics, 1989.
131
Kikei, Sunita, John Nellis, dan Mary Shirley. Privatization: The Lesson of Experience. Washington D.C.: World Bank,
1992.
Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. Mau Kemana Pembangunan Ekonomi
Indonesia? Ed. Yanto Bashri. Jakarta: Prenada Media:
2003.
Kuran, Timur. Islam and Mammon: The Economic of Predicaments
of Islamism. Princeton: Princeton University Press, 2004.
Labib, Rahmat S. Privatisasi dalam Pandangan Islam. Jakarta:
WADI Press, 2005.
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi. Jakarta: Sinar Grafika,
2000.
Macarov, David. What Market Does to People: Privatization, Globalization, and Poverty. Selangor: Strategic
Information Research Development, 2003.
Al-Maliki>, ‘Abd Ar-Rah}ma>n. Politik Ekonomi Islam. Terjemah
Ibnu Sholah. Bangil: Al-Izzah, 2001.
Mangunpranoto, Sarino. Dasar Filsafat Ekonomi Pancasila, dalam
Mubyarto dan Boediono (eds), Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: BPFE, 1981.
Mannan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
Marx, Karl and Frederick Engels. The Communist Manifesto.
Harmonsworth : Penguin Books, 1974.
Al-Ma>wardi>. Al-Ah}ka>m As-Sult}a>niyyah wa Al-Wila>yah Ad-Di>niyyah. Beiru>t: Da>r Al-Fikr, 1960.
Millet, Damien dan Eric Toussaint. Les Tsunamis de la dette. Liege-Paris: CADTM-Syllepse, 2005.
Al-Misri>, Yunus. Us}u>l Al-Iqtisa>di> Al-Isla>mi>. Damaskus: Da>r Al-
Qala>m, 1999.
Mubyarto. Ekonomi Pancasila; Gagasan dan Kemungkinan.
Jakarta: Lembaga Penelitiann Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial, 1987.
Muljono, Djokosantoso. Reinvensi BUMN. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo-Gramedia, 2004.
Al-Munawwar, Said Agil Husein. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Pena Madani.
132
Musa, M. Yusuf. Al-Fiqh Al-Isla>mi>. Kairo: Da>r Al-Kutu>b Al-
Hadi>thah, 1954.
Muslehuddin, Muhammad. Insurance and Islamic Law. New Delhi:
Adam Publishers, 2006.
An-Nabha>ni>, Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam. Penerjemah
Redaksi Al-Azhar Press. Bogor: Al-Azhar Press, 2009.
An-Nabha>ni>, Taqyu Ad-Di>n. An-Niz}a>m Al-Iqtis}a>di> fi> Al-Isla>m.
Beiru>t: Da>r Al-Ummah, 2004.
Nugroho, Riant dan Randy R. W. Manajemen Privatisasi BUMN. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2008.
Pas, C, B. Lowes, L. Davies. Kamus Lengkap Ekonomi ter. Tumpul
Rumapea & Posmon Haloho. Jakarta: Penerbit Erlangga,
1998.
Patriadi, Pandu. Studi Efektifitas Kebijakan Privatisasi BUMN
dalam Rangka Pembiayaan APBN. Jakarta: 2003.
Perry, Guillermo E. dan Daniel Lederman, Financial Vulnerability, Spillover Effects and Contagion: Lessons from the Asian Crisis for the Latin America. Washington: The World
Bank, 1998.
Petras, James dan Henry Veltmayer. Globalization Unmasekd: Imperalism in the 21 Century. Kanada: Fernwood
Publishing, 2001.
Pirie, Madsen. Privatization: Theory, Practice and Choice.
England: Wildwood House Limited, 1988.
Rachbini, Didik J. Ekonomi Politik; Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Jakarta: Granit, 2004.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Wakaf, 1995.
Rahmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1989.
Al-Shauka>ni. Nayl Al-Awtha>r. Jilid 6.
Ridwan, M Deden. Metodologi Penelitian Agama, dalam tulisan
U. Maman, KH. Ms., Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan antar Disiplin Ilmu. Bandung: Nuansa, 2001.
Rizky, Awalil dan Nasyith Majidi. Neoliberalisme Mencengkram
Indonesia. Jakarta: E Publishing Company, 2008.
133
Rodinson, Maxime. Islam and Capitalism. London: Allen Lane,
1974.
Ross, Michael. Indonesia Puzzling Crisis. Los Angeles:
Departement of Political Sciences University of California,
2001.
Ryan, Daniel J. (ed.). Privatization and Competition in Telecommunications: International Developments. Westport: Praeger, 1997.
Sa>biq, As-Sayyid. Fiqh As-Sunnah Vol. 3. Semarang: Toha Putera.
Sadr, Abu> H}asan Bani. Islamic Economic: Ownership and Tauhid.
Oxford: Oxford University Press, 1982.
Sadr, Muh}ammad Baqir. Iqtis}a>duna>. Kairo: Da>r Al-Kita>b Al-
Isla>miyah.
Sahatah, H}usain. Al-Khaskhasah fi> Mi>za>n Al-Isla>m. Kairo:
Maktabat At-Taqwa>, 2001.
Salim, Agus. (Pey). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Sekretariat Negara RI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia, 1995.
Setiawan, Bonnie. Menggugat Globalisasi. Jakarta: INFID, 2000.
Ash-Shairazi>, Abu> Isha>q. Al-Muhadhab. Jilid II (Kairo: ‘Isa > Al-
Ba>bi Al-Halabi> wa Shurakah) dalam Ali Zawawi dan
Saifullah Ma’sum, Penjelasan Al-Qur’an Tentang Krisis Sosial Ekonomi dan Politik. Jakarta: Gema Insani Press,
1999.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan,
2003.
Siahaan, Oloan P. Efisiensi Teknis BUMN: Analisis Panel Data Industri Manufaktur di Indonesia Tahun 1980-1991.
Disertasi Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2000.
Siddiqi, M. Nejatullah Muslim Economic Thingking: A Survey of Contemporary Literature. Leicester: The Islamic
Foundation, 1988.
134
Simanungkalit, Salomo. (ed.). Indonesia Dalam Krisis 1997-2002. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2002.
Siregar, Raja P. Politik Air di Indonesia. Jakarta: WALHI dan
Koalisi Anti Utang.
Sirriy, Hasan. Al Iqtishad al Islamiy : mabadi wa khashais wa ahdaf. Iskandariyah: Markaz al Iskandariyah li al kitab,
1998.
Smith, Adam. Lectures on Jurisprudence.
--------. The Wealth of Nations. Soemitro, Ronny Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan
Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Soesastro, Hadi dan Aida Budiman, Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Pendahuluan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005.
Stiglitz, Joseph. Dekade Keserakahan: Era ‘90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. terjemah. Aan Suhaeni. Serpong:
Marjin Kiri, 2006.
--------. Economics of Public Sector. New York: W.W. Northon
Company, 1988.
--------. Globalization and Its Discontent. New York: W.W.
Norton&Company, 2002.
--------. The Post Washington Consensus. Presentation Paper untuk
The Initiative for Policy Dialogue. 2005. Konferensi ‚From
the Washington Consensus towards a new Global
Governance‛. Format Revisi. 2005.
Sulistio, Tito. Mencari Ekonomi Pro Pasar; Catatan Tentang Pasar Modal, Privatisasi dan Konglomerasi Lokal. Jakarta: The
Investor, 2004.
Swasono, Sri Edi. Kembali ke Pasal 33 UUD 1945; Menolak Neoliberalisme. Jakarta: Penerbit Yayasan Hatta, 2010.
--------. Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
At-Tari>qi>, ‘Abdulla>h ‘Abdul H}usain. Al-Iqtis{a>d Al-Isla>mi>: Usu>sun wa Muba’un wa Ahda>f. Beiru>t, 1983.
Tim Penulis CIReS (Centre for International Relation Studies).
Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. Jakarta: Margin Kiri, 2007.
135
Tim Warta Ekonomi, Membongkar Neolib di Indonesia. Jakarta:
Warta Ekonomi dan PT. Dian Rakyat, 2009.
Tim Pustaka Thariqul Izzah. Menyongsong Sistem Ekonomi Anti Krisis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2009.
Thurow, Lesther. The Future of Capitalism. New York: Free Press,
1995.
Tourres, Marie-Aimee. The Tragedy That Didn’t Happen. Kuala
Lumpur: Institute of Strategic and International Studies.
Wallace, Walter . ‚An Overview of Elements in the Scientific
Process‛ dalam The Logic of Science in Sosiology: an Introduction. Chicago: Aldine-Altherton, 1971.
WHO dan UNICEF. Global Water Supply and Sanitation Assessment 2000 Report. Jenewa: WHO dan UNICEF,
2000.
Wibowo, I, dan Francis Wahono. Neoliberalisme. Yogyakarta:
Cinderelas, 2003.
Wiratha, I Made. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006.
Whitshire, K. Privatization: The British Experience –An Australian
Perspective. Melbourne: Longman Cheshire Pty Limited,
1987.
Yustika, Ahmad Erani. Pembangunan dan Krisis, Memetakan
Perekonomian Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2002.
Zallum, ‘Abd Al-Qadi>m. Al-Amwa>l fi Daula>t Al-Khila>fah. Beiru>t:
Da>r Al-‘Ilm li > Al-Malyin, 1983.
Zon, Fadli. The IMF Game. Jakarta: Institute for Policy Studies,
2004.
Az Zuhaili>, Wahbah. Al-Fiqh Al-Isla>mi> wa Adillatuhu. Da>r Al-
Fikr: Damaskus, 1984, cet. Ke-4, Jilid 4.
JURNAL, ARTIKEL DAN HASIL PENELITIAN
Abeng, Tanri. ‚Privatisasi Kurang Sosialisasi‛, tersedia di
http://www.pacific.net.id/pakar/tanri/000614.html.
Adnan, M. Akhyar. An Investigation of Accounting Concepts and Practices in Islamic Banks: The Cases of Bank Islam Malaysia Berhad and Bank Muamalat Indonesia. Australia:
Thesis University of Wollongong, 1996.
136
Akbar, Amin. ‚Structural Framework of Islam’s Economic
System‛. Muslim World Langue Journal. May-June 1988.
Alternative Regionalism: Debate Papers. Transnational Institute
Corporate Europe Observatory. Oktober 2004. Artemiev, Igor dan Michael Haney. “The Privatization of Ruassian
Coal Industry: Policies and Processes in the Transformation
of a Major Industry”. World Bank Policy Research Working
Paper No. 2820, 11 April 2002.
Artjan, M. Faisal. “IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN”.
Majalah Usahawan No. 02 Tahun XXIX, Februari 2000.
Balladur, Edouard . ‚At the Crossroads‛. The Economist. Vol. 1,
Maret 1997.
Basri, Ikhwan Abidin. Kepemilikan dalam Islam dalam Kategori Fiqh Maliyah, 2000. www.republika.co.id
Baswir, Revrisond. Menggugat Rampokisasi BUMN. 2009.
Brune, Nancy, Geoffrey Garrett, dan Bruce Kogut. ‚The
Internasional Monetary Fund and The Global Spread of
Privatization‛. IMF Staff Papers. Vol. 51 No. 2, 2004.
http://www.imf.org/external/pubs/ft/staffp/2004/02/pdf/bru
ne.pdf
Budds, Jessica dan Gordon McGranaham. ‚Are the Debates on
Water Privatization Missing the Point? Experiences from
Africa, Asia, and Latin America‛. dalam Environment & Urbanization Vol. 15 No. 2 Oktober 2003.
Buttari, Juan J. ‚Reassessing Privatization in Russia: An
Overview‛. European Business Review. Vol. 94 No. 3
August 1994.
Citizen, Public. ‚Fiascos: Jakarta, Indonesia‛. tersedia di
http://www.citizen.org/cmep/Water/cmep_Water/fiascos/ar
ticles.cfm?ID=9213.
Dent, Christoper. ‚The Business Environment in Russia: An
Overview‛ European Business Review. Vol. 94 No. 3 Agust 1994.
‚Dirjen Dikti: RUU BHP Belum Final‛, Kompas 13 Juni 2005.
Dwidjowijoto, Riant Nugroho. “Analisa Privatisasi BUMN di
Indonesia”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 6 No.
3, 2003.
137
Gaol, Marusha Lbn dan Adler Haymans Manurung. “Privatisasi
Bagaikan Dua Bola Panas”. Suara Pembaruan, 29 Januari
2003.
Gleick, Peter. ‚Renewable Fresh Water: Population Action
International Water Withdrawal and Drinking Water‛.
National Geographic. Oktober 1998, 71.
Gore, Charles. “The Rise and Fall of the Washington Consensus as
a Paradigm for Developing Countries”. Journal of World
Development Vol. 28 No. 5. 2002.
Gramer, Chris. ‚Privatization and The Post Washington
Consensus: Between The Lab and the Real World?‛, CDPR Discussion Paper 0799, 1999.
Guseh, James S. “The Public Sector, Privatization, and
Development in Sub-Saharan Africa” dalam African Studies
Quarterly, vol. 5, Issue 1.
Hadad, Nadia. ‚Water Privatization in Indonesia‛. tersedia di
www.infid.be/water_c.
Hadiz, Vedi R. dan Richard Robison, ‚Neo Liberal Reforms and
Illiberal Consolidations: the Indonesian Paradox‛,
Southeast Asia Research Center Working Papers Series. No. 52, September 2003.
Hafizah, Yulia. “Kebijakan Ekonomi Indonesia Ditinjau dari
Konsep Dasar Ekonomi Islam”. Jurnal Millah Vol. IV No.
2 Januari 2005.
Hayami, Yujiro. ‚From Washington Consensus to Post
Washington Consensus: Restrispect and Prospect‛. dalam
Asian Development Review. Vol. 20 No. 2, 2003.
House of Common, 36 Parliament, I Session, perdebatan tanggal 8
Mei 1998, tersedia di
http://www2.parl.gc.ca/HousePublications/Publications.asp
x?pub=hansard&mee=102&&parl=36&ses=I&language=E. Ika, Syahrir dan Agunan P. Samosir. “Analisis Privatisasi BUMN
dalam Rangka Pembiayaan APBN”. Kajian Ekonomi dan
Keuangan Vol. 6 No. 4. 2002.
Ikhsan, Mohamad. ‚Pemilikan Pemerintah pada Perbankan, Masih
Adakah Pembenarannya?‛. dalam http://partai-
pib.or.id/wmview.php?ArtID=323.
Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 6 No. 3, 2003.
138
Indonesia dalam Krisis: Tidak Reformasi Tanpa Hak Asasi Manusia, Laporan ELSAM, 30 April 1998, tersedia di
http://www.elsam.or.id/pdf/paper/1998/reportApril_98.pdf.
Irawan, Andi. “Penolakan Privatisasi PT. Indosat”. Koran Tempo, 3
Januari 2003.
Iswadi, Muhammad. ‚Ekonomi Islam: Kajian, Konsep, dan
Pendekatan‛, Mazahib Vol. IV No. 1, Juni 2007.
Jessop, Bob. “Liberalism , Neoliberalism, and Urban Governance.
A State-Theoretical Concept”. Jurnal Antipode. Oxford:
Blackwell Publishers.
Juoro, Umar. “Evaluasi Program Privatisasi di Indonesia”. Jurnal
Reformasi Ekonomi Vol. 3 No. 2. 2002.
‚Karyawan Indosat Mogok Massal Mulai 27 Desember‛,
www.tempointeraktif.com, 23 Desember 2002.
Kikeri, Sunita, John Nellis dan Mary Shirley. “Privatization:
Lessons from Market Economies”. The World Bank
Research Observer. Vol. 9 July 1994.
Kirmizi, “Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Badan Usaha
Milik Negara Sebelum dan Sesudah diprivatisasi”. Jurnal
Ilmu Administrasi Negara Vol. 9 No. 2, 2009.
‚Komentar Anggota Dewan Mengenai RUU SDA‛, Majalah Air, September 2003.
Komisi V DPR. “Tunda Privatisasi BUMN”. Kompas 9 Januari
2002.
‚Laks Dituduh Korupsi Kasus Divestasi Indosat‛, Pikiran Rakyat, 7 Januari 2003.
“Privatization: Recent Trends,” Financial Market Trends Vol. 66,
Maret 1997.
‚KPPU Didesak Usut Monopoli Temasek‛, Rakyat Merdeka, 21
April 2007.
Magnar, Kuntana, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufik, ‚Tafsir
MK Atas Pasal 33 UUD 1945; Studi Atas Putusan MK
Mengenai Judicial Review UU No. 7/2004, UU No.
22/2001, dan UU No. 20/2002‛. Jurnal Konstitusi, Volume
7, Nomor 1, Februari 2010, 165.
Majalah Usahawan No. 02 Tahun XXIX, Februari 2000.
McCawley, Peter. ‚Indonesia Economy in Transition: The
International Context‛, Asian Development Bank Institute,
139
February 2004. Tersedia di www.adbi.org/files/2004.
02.25.spc002.mccawley.jakarta.pdf.
McFetridge, D. G. ‚The Economics of Privatization‛. C. D. Howe Institute Benefactors Lecture. 22 oktober 1997.
‚Menyidik Rendahnya Kualitas SDM‛, Suara Merdeka, 25
November 2005.
Miller, Allan N. ‚Ideological Motivations of Privatization in Great
Britain Versus Developing Countries‛. Journal of International Affairs. No. 2, 1997.
Muhammad, Mar’ie. ‚IMF dan Pemulihan Ekonomi Indonesia‛
Koran Tempo, 19 November 2001.
Muttaqin, Hidayatullah. ‚Privatisasi di Indonesia antara Fakta dan
Kebohongan‛. Jurnal Ekonomi Ideologis, 18 Februari 2008.
National Framework for Globalization tersedia di
http://www.itcilo.it/english/actrav/telearn
/global/ilo/frame/national.htm.
Nellis, John, Rachel Menezes dan Sarah Lucas. ‚Privatization in
Latin America: The Rapid Rise, Recent Fall, and
Continuing Puzzle of Contentious Economic Policy‛.
Centre for Global Development. Vol. 3 January 2004.
Nizar, Musri, Emmy Pangaribuan Simanjuntak dan Roedjiono.
Tinjauan Privatisasi dari Sudut Pandang Hukum Bisnis di Indonesia; Analisis Kasus Privatisasi Beberapa PT. (Persero). Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana
Universitas Gajah Mada, 2004.
http://pasca.uma.ac.id/adminpasca/upload/Elib/MHB/PRIV
ATISASI%20Hukum%20Bisnis.pdf
‚Privatisasi Indosat Dahului IPO Satelindo‛. Kompas, 25 Maret
2002. Privatization: Recent Trends,‛ Financial Market Trends Vol. 66,
Maret 1997.
Purwoko. “Model Privatisasi BUMN yang Mendatangkan Manfaat
bagi Pemerintah dan Masyarakat Indonesia”. Kajian
Ekonomi dan Keuangan Vol. 6 No. 1. 2002.
Ramamurti, R. “Why are Developing Countries Privatizing”.
Journal of International Business Studies No. 23. 1992.
140
Roesad, Kurnya. ‚Dangerous Liaisons? Financial Crisis, IMF and
the Indonesia State‛, CSIS Economic Working Paper Series, August 2005.
Santosa, Setyanto P. “Quo Vadis Privatisasi BUMN?”. tersedia di
http://www.pacific.net.id/ pakar/tulisan_02.html.
Sanrego, Yulizar D, dan Rusdi Batun. ‚Pandangan Islam Terhadap
Privatisasi BUMN‛. Jurnal Ekonomi Islam La Riba. Vol. 3,
No. 2, Desember 2009. http://fis.uii.ac.id/images/la-riba-
vol3-no2-2009-02-sanrego.pdf
Siahaan, Oloan P. Efisiensi Teknis BUMN: Analisis Panel Data
Industri Manufaktur di Indonesia Tahun 1980-1991.
Disertasi Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2000.
SD, Jusman. ‚Menjual BUMN ke Tangan Asing: Perlukah???‛. 12
November 2005, tersedia di
http://online.ipdf.org/index.php?option=content&task=vie
w&id=44.
Shahur, Yura dan Padja Iswara, ‚Pemerintah Siap Jawab DPR Soal
Penjualan Indosat‛, Koran Tempo, 29 Januari 2003.
Siregar, P. Raja. ‚World Bank and ADB’s Role in Privatizing
Water in Asia Regional‛, tersedia di
http://www.jubileesouth.org/news/EpZyVyEyylgqGYKXR
u.shtml
Soebagjo, Felix O. Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara
Lainnya: Pandangan dari Sudut Hukum. Makalah pada
seminar Privatisasi BUMN dan Kekayaan Negara Lainnya
tanggal 14-15 Mei 1996 di Jakarta.
Souza, Juliet D’ dan William L. Megginson. ‚The Financial and
Operating Performance of Privatized Firms During the
1990’s‛. Journal of Finance, Forthcoming. August 1999.
http://www.oecd.org/daf/ca/corporategovernanceofstate-
ownedenterprises/1929641.pdf
Souza, Juliet D’, William L Magginson dan Robert Nash.
‚Determinants of Performance Improvements in Privatized
Firms: The Rule of Restructuring and Corporate
Governance‛. March 2000. http://faculty-
staff.ou.edu/M/William.L.Megginson-1/prvsources.pdf
141
Stiglitz, Joseph. The Post Washington Consensus. Presentation
Paper untuk The Initiative for Policy Dialogue. 2005.
Konferensi “From the Washington Consensus towards a
new Global Governance”. Format Revisi. 2005.
Suhud, Mohammad. Privatization: A Review on the Power Sector
Restructuring in Indonesia (INFID’s Background Paper on
Privatization, 2002.
Supardi, Yogi. ‚Masalah Penjualan Saham Indosat Kepada Asing‛.
Media Indonesia, 26 Februari 2003.
Suryanti, Nyulistiowati. Privatisasi BUMN-Persero Dihubungkan dengan Kepemilikan Golden Share oleh Negara dalam Rangka Menunjang Pembangunan Ekonomi Indonesia. Bandung: Disertasi Universitas Padjadjaran, 2011.
http://pustaka.unpad.ac.id/archives/97701/
Supardi, Yogi. “Masalah Penjualan Saham Indosat Kepada Asing”.
Media Indonesia, 26 Februari 2003.
Syafi’ie, M. “Sistemiknya Privatisasi di Indonesia dan Perspektif
Menurut Islam”. Diakses 12 Desember 2013
pusham.uii.ac.id/files.php?type=art&lang=id&id=168. Taba, Abdul Salam. ‚Privatisasi Indosat, Sudah Tepatkah?‛,
Koran Tempo, 8 Januari 2003. Tannenbaum, David. “Obsessed: The Latest Chapter in the World
Bank’s Privatization Plans”. Multinational Monitor Vol. 23
No. 9, September 2002.
Tjiptoherijanto, Prijono. ‚Economic Crisis in Asia: The Case of
Indonesia‛. Asian Review of Public Administration Vol.
VIX No. I, Januari-Juni 1997.
UU BUMN Pasal 1 ayat 12.
WHO dan UNICEF. Global Water Supply and Sanitation Assessment 2000 Report.
Wishanti, Dewa Ayu Putu Eva. Politik Privatisasi Air di Argentina
(1990-1999) Sebagai Upaya Restrukturisasi Ekonomi
Nasional dibawah Rezim Washington Consensus. Tesis
Program Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2012.
Wolfgang K. ‚On the Concept of the ‘Economic Constitution’ and
the Importance of Franz Bohn from the Viewpoint of Legal
142
History‛ European Journal of Law and Economic, volume
3, Number 4, Springer, December 1996.
143
GLOSARIUM
Bubble Economics:
Perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat
berbeda dengan nilai intrinsiknya, atau bisa diistilahkan dengan
memperdagangkan produk atau aset dengan harga yang lebih
tinggi daripada nilai fundamentalnya.
Defisit:
Kekurangan dalam kas keuangan, defisit biasanya terjadi ketika
suatu organisasi (biasanya pemerintah) memiliki pengeluaran lebih
banyak daripada penghasilan.
Deregulasi:
Kebijakan pemerintah untuk kegiatan bisnis tertentu yang
memungkinkan perusahaan untuk beroperasi secara lebih bebas
sehingga meningkatkan persaingan.
Devaluasi:
Menurunnya nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar
negeri. Jika hal tersebut terjadi, biasanya pemerintah melakukan
intervensi agar nilai mata uang dalam negeri tetap stabil.
Distorsi:
Disebut juga dengan ketidaksempurnaan pasar, adalah yang
membuat kondisi ekonomi tidak efisien sehingga mengganggu
agen ekonomi dalam memaksimalkan kesejahteraan sosial dalam
rangka memaksimalkan kesejahteraan mereka sendiri.
Distribusi:
Salah satu aspek dari pemasaran. Distribusi juga dapat diartikan
sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan
mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada
konsumen, sehingga penggunaannya sesuai dengan yang
diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat, dan saat dibutuhkan).
144
Divestasi:
Pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau
barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki oleh
perusahaan. Divestasi adalah kebalikan dari investasi pada aset
yang baru.
Dividen:
Pembagian laba kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya
saham yang dimiliki. Pembagian ini akan mengurangi laba ditahan
dan kas yang tersedia bagi perusahaan, tapi distribusi keuntungan
kepada para pemilik memang adalah tujuan utama suatu bisnis.
Ekonomi Kerakyatan:
Sistem ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, kedaulatan rakyat,
dan menunjukkan keberpihakan yang sungguh-sungguh pada
ekonomi rakyat. Sistem ekonomi ini menitikberatkan pada
pengembangan usaha kecil dan menengah sebagai penggerak
ekonomi rakyat, rakyat dituntut untuk kreatif dan berinovasi
dalam membuat usaha mereka berkembang dan dapat dikenal oleh
masyarakat luas.
Ekonomi Konstitusi:
Suatu sistem aktivitas pengelolaan ekonomi negara yang berbasis
kepada konstitusi negara, yaitu nilai-nilai dasar Pancasila sebagai
norma dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 sebagai pedoman pelaksanaannya.
Ekonomi Pancasila:
Sistem perekonomian yang didasarkan pada lima sila dalam
Pancasila. Pada esensinya, Ekonomi Pancasila adalah suatu konsep
kebijakan ekonomi, setelah mengalami pergerakan seperti bandul
jam dari kiri ke kanan, hingga mencapai titik keseimbangan. Ke
kanan artinya bebas mengikuti aturan pasar, sedangkan ke kiri
artinya mengalami intervensi negara dalam bentuk perencanaan
terpusat.
Globalisasi:
145
Proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran
pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan
lainnya. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi,
termasuk kemunculan telegraf dan internet, merupakan faktor
utama dalam globalisasi yang semakin mendorong adanya saling
ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya.
Go Public:
Kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh
emiten (perusahaan) untuk menjual saham atau efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh Undang-
Undang Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaannya.
Golden Share:
Saham ini memberikan organisasi pemerintah atau pemegang
saham lainnya hak suara yang menentukan, sehingga untuk
memveto saham lainnya dalam pertemuan pemegang saham.
Biasanya ini akan dilaksanakan melalui klausul dalam perusahaan
anggaran dasar, dan akan dirancang untuk mencegah stakebuilding
atas tingkat kepemilikan persentase tertentu, atau untuk
memberikan pemerintah atau pemegang saham lainnya hak veto
atas setiap aksi korporasi besar, seperti penjualan aset utama,
penjualan anak perusahaan, atau penjualan perusahaan secara
keseluruhan.
Good Corporate Governance:
Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang
saham, pengurus perusahaan, pihak kreditur, pemerintah,
karyawan, serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya
yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau
dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan.
Hiperinflasi:
Kondisi dimana ketika harga-harga naik begitu cepat dan nilai
uang menurun drastis. Secara formal, hiperinflasi terjadi jika
tingkat inflasi lebih dari 50% dalam satu bulan. Hiperinflasi
biasanya muncul ketika adanya peningkatan persediaan uang yang
146
tidak diketahui atau perubahan sistem mata uang secara drastis.
Hiperinflasi biasanya dikaitkan dengan perang, depresi ekonomi,
dan memanasnya kondisi politik atau sosial suatu negara.
Homo-Economicus:
Merupakan sifat perilaku manusia yang selalu ingin
mengoptimalkan tujuan pribadinya, jika seorang manusia tidak
memiliki nilai moral dan agama, pasti akan rakus dan tamak dalam
memuaskan keinginan pribadinya.
Homo-Metafisikus:
Pandangan yang berpendapat bahwa manusia adalah satu-satunya
makhluk yang mampu menembus penampakan untuk mencapai
realitas mutlak.
Investasi:
Suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan
dengan keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan
akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan
keuntungan di masa depan. Terkadang, investasi juga disebut
sebagai penanaman modal.
IPO:
Initial Public Offering adalah penjualan pertama saham umum
sebuah perusahaan kepada investor umum.
Kapitalisme:
Sistem ekonomi dimana perdagangan, industri dan alat-alat
produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan
membuat keuntungan dalam ekonomi pasar. Pemilik modal bisa
melakukan usahanya untuk meraih keuntungan yang sebesar-
besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat
melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi
intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk
kepentingan-kepentingan pribadi.
Komunisme:
147
Paham yang menolak kepemilikan barang pribadi dan beranggapan
bahwa semua barang produksi harus menjadi milik bersama. Ini
bertujuan agar tidak ada hirarki buruh-pemilik modal karena
sistem kapitalis cenderung mengeksploitasi manusia.
Liberalisasi:
Ideologi, pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan
pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang
utama.
Libertarianisme:
Klasifikasi filosofi politik yang menjunjung tinggi kebebasan
sebagai fokus utama mereka dan sebagai tujuan. Mereka berusaha
untuk memaksimalkan peran otonomi dan kebebasan memilih,
menekankan kebebasan politik, asosiasi sukarela dan keutamaan
penilaian individu.
Mafia Barkeley:
Julukan yang diberikan kepada sekelompok menteri bidang
ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi
Indonesia pada masa awal pemerintahan Presiden Soeharto.
Mereka disebut mafia karena pemikirannya dianggap sebagai
bagian dari rencana CIA untuk membuat Indonesia sebagai boneka
Amerika.
Neoliberalisme:
Paham yang mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang
mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam
ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar
bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-
hak milik pribadi.
OECD:
Organization for Economic Co-operation and Development adalah
sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara yang
menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas.
Post Washington Consensus:
148
Otokritik pendekatan liberal atas kegagalan Washington Consensus dalam menjawab problem pembangunan di tingkat
domestik negara berkembang, khususnya Amerika Latin tahun
1980-an dan Asia Timur penghujung tahun 1990-an. Konsensus
baru ini meyakini perlunya keterlibatan negara untuk
mengembangkan sistem pasar dan pentingnya faktor non ekonomi
dalam menjalankan tatanan sosial.
Private Placement: Pembelian sebagian suatu aset atau saham oleh suatu pihak atas
dasar kesepakatan harga yang telah disepakati bersama di luar
mekanisme pasar.
Privatisasi:
Penjualan sebagian atau semua saham sebuah perusahaan milik
pemerintah kepada publik, baik melalui penjualan langsung ke
perusahaan swasta nasional dan asing maupun melalui bursa efek.
Reaganisme:
Mengacu pada kebijakan ekonomi yang dipromosikan oleh
Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan selama tahun 1980, dan
sampai sekarang masih banyak dipraktikkan. Kebijakan-kebijakan
ini umumnya berkaitan dengan sisi penawaran ekonomi, disebut
sebagai ekonomi tricle-down oleh lawan politiknya dan ekonomi
pasar bebas oleh pendukung politiknya.
Resesi:
Kondisi ketika Produk Domestik Bruto (PDB) menurun atau
ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua
kuartal atau lebih dalam satu tahun.
Restrukturisasi:
Melibatkan pengurangan perusahaan di bidang tenaga kerja, unit
kerja atau divisi, ataupun pengurangan tingkat jabatan dalam
struktur organisasi perusahaan. Pengurangan skala perusahaan ini
diperlukan untuk memperbaiki efisiensi dan efektivitas.
Sosialisme:
149
Paham atau gerakan yang menghendaki terwujudnya suatu
masyarakat yang disusun secara kolektif agar menjadi suatu
masyarakat yang bahagia. Dengan begitu, sosialisme
menitikberatkan perjuangannya pada masyarakat.
Structural Adjustment Programs:
Pinjaman yang diberikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF)
dan Bank Dunia pada negara-negara yang sedang mengalami krisis
ekonomi. Program ini dibuat dengan tujuan mengurangi
ketidakseimbangan fiskal jangka pendek dan menengah negara
tersebut atau penyesuaian ekonomi untuk pertumbuhan jangka
panjang.
Thatcherisme:
Keyakinan politik, kebijakan sosial ekonomi, dan gaya politik
konservatif Inggris. Istilah ini pertama kali tercetus dari seorang
Margareth Thatcher, Perdana Menteri Inggris antara Mei 1979
sampai November 1990.
Washington Consensus:
Sebutan bagi paket “standar” reformasi perekonomian negara-
negara yang dilanda krisis yang disusun oleh lembaga-lembaga
keuangan internasional yang bermarkas di Washington, yakni
IMF, Bank Dunia, dan Departemen Keuangan AS.
150
Top Related