KEBUDAYAAN ACEH
A. LOKASI DAN LINGKUNGAN ALAM
Aceh merupakan sebuah Daerah Istimewa di ujung pulau Sumatera, terletak di
barat laut Sumatera dengan kawasan seluas 57.365,57 km persegi atau 12,26% pulau
Sumatera. Aceh memiliki 119 pulau, 73 sungai besar, dan 2 buah danau. Aceh dikelilingi
Selat Malaka di utara, Provinsi Sumut di timur, Samudera Hindia di selatan dan barat.
B. BAHASA DAN TULISAN
Orang Aceh memiliki bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk rumpun
bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri atas beberapa dialek, diantaranya dialek
Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunangan, Matang, Meulaboh, dan
juga dialek Banda.
Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi
atau Jawoe. Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh
banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa
Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah
datangnya Islam di Aceh.
C. BENTUK DESA
Dalam mayarakat Aceh, bentuk teritorial dari yang terkecil sampai yang terbesar
adalah gampong, mukim, daerah Ulee Balang, daerah Sagoe, dan daerah Sultan.
Gampong atau desa terdiri dari beberapa pejabat, yaitu Keusyik atau kepala
gampong, Teungku atau kepala agama dalam desa, dan Ureung tua atau sesepuh desa.
Mukim merupakan gabungan dari gampong-gampong dan merupakan kesatuan hukum
yang bercorak agama. Kepala mukim disebut Imam Mukim. Daerah Ulee balang merupakan
gabungan dari mukim-mukim. Daerah Ulee balang saat ini seperti yang kita kenal sebagai
kecamatan. Daerah Sagoe merupakan gabungan dari mukim-mukim juga, namun dengan
daerah yang lebih luas, dengan kepala Sagoe yang disebut sebagai panglima. Daerah Sultan
melingkupi daerah Ulee balang dan daerah Sagoe. Perbedaan antara keduanya yaitu daerah
Ulee balang lebih bersifat otonomi, sedangkan daerah sagoe berada langsung di bawah
Sultan.
D. MATA PENCAHARIAN
Mata Pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani dengan komoditas utama
berupa padi, cengkeh, lada, kelapa dan lain-lain. Daerah Tanam Alas merupakan lumbung
padi di Daerah Nangroe Aceh Darusalam. Disamping itu, penduduk Alas juga berternak sapi,
kambing, kuda dan kerbau untuk diperjualbelikan atau dipekerjakan disawah. Untuk orang
Aneuk Jamee, mata pencahariannya juga bertani serta mencari ikan dan berdagang dari
kampung ke kampung (Penggaleh) atau berdagang tetap (Baniago). Masyarakat Gayo
bermata pencaharian utama berkebun tanaman kopi, sedangkan masyarakat Tamiang
adalah bercocok padi.
E. SISTEM KEKERABATAN
Dalam sistem kekerabatan, terdapat kombinasi antara budaya minangkabau dan
Aceh, dimana bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip
keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah pada umumnya bersifat matrilokal,
yaitu tinggal di rumah orang tua istri selama beberapa waktu. Selama masih tinggal dalam
rumah mertua, suami belum mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga dan yang
bertanggung jawab adalah ayah pihak wanita.
Pada orang Alas, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal, sedangkan
sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge. Adat menetap sesudah nikah pun
bersifat virilokal, yaitu terpusat dikediaman keluarga pihak laki-laki. Pada masyarakat Gayo,
garis keturunan juga menggunakan prinsip patrilineal dan sistem perkawinan yang berlaku
adalah eksogami belah. Adat menetap sesudah nikah adalah patrilokal dan matrilokal.
Untuk masyarakat Tamiang, juga menggunakan prinsip patrilineal dengan adat menetap
sesudah nikah matrilokal.
F. SISTEM KEMASYARAKATAN
Gampong (kampung atau desa) yang dipimpin oleh seorang geucik atau kecik
adalah bentuk kesatuan hidup terkecil. Di setiap gampong terdapat meunasah yang
dipimpin Imam Meusanah. Kumpulan gampong disebut mukim. Mukim ini dipimpin oleh
para panglima yang berjasa kepada sultan yang disebut uleebalang. Kehidupan sosial dan
keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti
imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Dulu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin oleh dua orang
kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah Kejerun Bambel. Kejerun dibantu
oleh seorang wakil yang disebut Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje
Berempat yang membawahi beberapa kampung atau desa (Kute), sedangkan masing-masing
kute dipimpin oleh seorang Pengulu. Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa
klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.
Masyarakat Gayo hidup dalam kampung yang dikepalai oleh seorang gecik.
Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem
pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari :
reje, petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman
merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik,
wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
G. RELIGI/AGAMA
Aceh disebut juga sebagai “Serambi Mekah” yang berarti pintu gerbang. Hal ini
bukan tanpa alasan, Aceh merupakan tempat yang paling dekat antara Indonesia dengan
tempat dimana agama itu berasal. Aceh merupakan salah satu daerah yang paling awal
menerima agama Islam sehingga kebudayaan Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Islam. Akan tetapi bukan berarti Kebudayaan asli Aceh hilang begitu saja, sebaliknya,
kebudayaan asli Aceh tersebut malah mendapat pengaruh dari kebudayaan Islam dan
menghasilkan corak kebudayaan Islam – Aceh yang khas.
H. PEMBANGUNAN DAN MODERNISASI
Pasca tsunami 26 Desember 2004 yang membawa kehancuran di Aceh, pemerintah
telah berusaha untuk membangun dan mengembalikan keadaan Aceh seperti sedia kala.
Akan tetapi, sampai sekarang hasil yang di capai belumlah maksimal. Kini, pasca perjanjian
damai pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, pembangunan Aceh
kembali digalakkan.
I. PENDUDUK
Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku bangsa. Bentuk fisisk mereka
menunjukkan ciri-ciri orang Nusantara, Tionghoa, Eropa dan India. Leluhur orang Aceh
dikatakan dari Semenanjung Malaka, Cham, Cochin China, dan Kamboja. Kumpulan etnik
tersebar merata di Aceh, orang Gayo di Aceh Tengah dan sebagian Aceh Timur, Bener
Meriah dan Gayo Kues, orang Alas di Aceh Tenggara, orang Tamiang di Aceh Tamiang,
Aneuk Jamee di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, orang Kluet di Aceh Selatan, dan orang
Simeulue. Selain itu Aceh juga mempunyai keturunan Arab. Suku bangsa yang berketurunan
eropa terdapat di Kecamatan Jaya, Aceh Jaya. Mereka beragama Islam dan dipercaya
merupakan keturunan portugis yang telah memeluk agama Islam.
Orang Aceh biasa menyebut dirinya Ureung Aceh, tersebar di berbagai daerah di
Aceh terutama di Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh
timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Paling sedikit ada tujuh suku bangsa yaitu Gayo, Alas,
Tamiang, Aneuk Jamee, Simeulue, Kluet, dan Gumbok Cadek. Namun dalam pergaulan pada
umumnya mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai orang Aceh sehingga Aceh
dapat dipandang sebagai suatu suku bangsa besar yang didukung oleh sub suku dengan
identitas masing-masing.
J. KHASANAH BUDAYA RAKYAT ACEH
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki ragam budaya yang
menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan, dan perayaan kenduri. Aceh juga
merupakan daerah yang paling awal menerima ajaran agama Islam. Oleh karena itu provinsi
ini dikenal dengan sebutan Serambi Mekah, atau maksudnya pintu gerbang yang paling
dekat dengan tempat agama Islam berasal. Meski demikian kebudayaan asli Aceh sendiri
tidak hilang begitu saja, akan tetapi mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan
Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut menghasilkan corak
kebudayaan Aceh-Islam yang khas.
Kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan islam dan terdapat
dalam tiap subsuku yang berbeda. Seni tari yang terkenal antara lain Tari Seudati, Seudati
Inong, dan Seudati Tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab seperti
yang terlihat pada berbagai ukiran masjid, rumah adat, perhiasan, dan lain sebagainya.
Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan islam, seperti
Hiakyat Perang Sabil. Salah satu subsuku Aceh yang corak keseniannya tidak pernah luntur
adalah masyarakat Gayo. Bentuk kesenian Gayo yang terkaenal adalah Tari Saman dan seni
teater yang disebut Didong. Selain itu ada kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni
berpidato berdasarkan adat).
Jamuan atau kenduri juga sering diadakan oleh masyarakat Aceh. Kenduri dipimpin
oleh Teungku atau teungku Meunasah, yaitu orang-orang yang paham ayat-ayat Al Qur’an.
Banyak peristiwa yang diikuti dengan adanya kenduri, seperti meutijeuem, yaitu pada waktu
hamil pertama seorang istri yang hamil 5 bulan. Selain itu juga pada upacara Sunnah Rasul
atau khitan juga ada pelaksanaan kenduri.
Menurut kepercayaan orang Aceh, perkawinan itu merupakan suatu keharusan
yang ditetapkan oleh agama. Oleh karena itu setiap laki-laki dan wanita yang telah akil balig
diwajibkan mencari dan mendapatkan jodohnya. Mencari dan menetapkan jodoh ada
syarat-syarat tertentu, yaitu yang mencari jodoh adalah orang tua dan memilih jodoh anak
mereka berdasarkan pada keturunan dan fungsi sosial dari keluarga si gadis. Sebaliknya,
orang tua si gadis menerima lamaran juga sesuai dengan ketentuan tersebut.
Orang tua pihak laki-laki mengirimkan penghubung (seulangke) kepada pihak gadis
untuk melamar. Seulangke biasanya membawa tanda ikatan (kongnarit atau ranub kong
baba). Jika diterima maka kedua belah pihak telah terikat pertunangan. Pada waktu itu
sekaligus ditentukan masa pernikahan. Menjelang pernikahan, sang gadis dipingit satu
bulan. Ayah kandung calon pengantin wanita yang memimpin upacara pernikahan atau ijab
kabul. Pihak pengantin pria menyerahkan jeunamee atau mas kawin berupa sekapur sirih,
seperangkat kain, baju adat, dan emas paun. Pengantin pria mengenakan celana panjang
yang disebut cekak musang, kain sarung/pendua, serta kemeja belanga pakai bis benang
emas dan memakai kopiah dan sebilah rencong. Pengantin wanita memakai celana panjang
cekak musang, baju kurung sampai pinggul, dan kain sarung. Perhiasannya berupa kalung
yang disebut kula, pending, gelang tangan dan gelang kaki.
Selain itu ada seni lainnya yang berupa seni tutur yang disebut PMTOH. PMTOH
adalah salah satu karya sastra lisan yang terdapat di Nanggroe Aceh Darussalam.
Masyarakat Aceh juga menyebutnya dengan pohaba, meuhaba, atau hikayat. Penamaan
PMTOH berasal dari seorang tokoh yang mempopulerkan kesenian meuhaba, yaitu Teuku
Adnan. Pada saat mempopulerkan meuhaba, beliau berkeliling dengan menggunakan mobil
PMTOH, mobil lintas Sumatera. Dalam PMTOH termuat narasi, mantra, syair, dan pantun
yang kesemuanya itu perwujudan seni tradisi.
K. SENJATA TRADISIONAL
1) REUNCONG (RENCONG)
Ada empat macam rencong yang menjadi senjata andalan masyarakat Aceh yaitu
Reuncong Meucugek, Reuncong Meupucok, Reuncong Pudoi, dan Reuncong Meukure.
2) SIWAIH
Senjata ini sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang.
Bentuknya hampir sama dengan rencong tetaoi siwaih ukurannya (baik besar maupun
panjang) melebihi rencong. Siwaih sangat langka ditemui, selain harganya mahal, juga
merupakan bagian dari perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang.
3) PEUDEUNG (PEDANG)
Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal berbagai macam pedang yaitu
Peudeung Habsyah (Abbsinia), Peudeung Poertugis (Eropa Barat), dan Peudeung Turki
(Turki).
TARIAN TRADISIONAL
1) SAMAN
Tarian Saman diciptakan dan dikembangkan oleh seorang tokoh agama islam bernama
Syeh Saman. Syair dalam tarian Saman menggunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh.
2) TARI LIKOK PULO ACEH
Tarian ini lahir sekitar tahun 1849, diciptakan oleh seorang Ulama berasal dari Arab.
Tarian ini diadakan sebelum menanam padi atau sesudahnya, yang biasanya
dilangsungkan pada malam hari.
3) LAWEUT
Laweut berasal dari kata selawat, sanjungan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad
SAW. Sebelum sebutan laweut dipakai, pertama kali disebut Akoon (Seudati Inong).
Tarian ini berasal dari Pidie dan telah berkembang di seluruh Aceh.
4) TARI SEUDATI
Sebelum adanya Seudati, sudah ada kesenian seperti itu yang dinamakan retoih, atau
saman, kemudian baru diitetapkan nama syahadati dan disingkat menjadi seudati
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan hidayatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kebudayaan Nangroe Aceh Drussalam”. Makalah ini kami susun untuk memenuhi
salah satu tugas dalam mata kuliah Budaya Nusantara yang diajarkan oleh Bu Fadillah.
Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang membantu kami baik langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dalam waktu yang ditentukan. Tiada balasan yang setimpal yang diberikan oleh
penulis selain ucapan terima kasih dan harapan agar makalah ini dapat dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis tugas akhir ini tidak luput dari kekurangan dan
kelemahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis tugas akhir ini bermanfaat bagi para
pembaca dan pihak yang berkepentingan.
Tangerang, Mei 2008
Penulis
Top Related