KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA GEL DAN BAKSO DARI SURIMI IKAN LAYARAN (Istiophorus sp.)
FREKUENSI PENCUCIAN DUA KALI
DWI OKTAVIANI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
RINGKASAN
DWI OKTAVIANI. C34080058. Karakteristik fisika kimia gel dan bakso dari surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) frekuensi pencucian dua kali. Dibimbing oleh Djoko Poernomo dan Sugeng Heri Suseno. Ikan layaran (Istiophorus sp.) merupakan ikan bernilai ekonomis. Ikan layaran mengandung protein sebesar 23.4 g/100 g (Leung et al. 1972). Ikan dengan kadar protein tinggi baik untuk diolah menjadi produk berbasis gel seperti bakso ikan. Penggunaan surimi dengan frekuensi pencucian dua kali sebagai bahan baku produk berbasis gel memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan daging lumat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisika kimia gel dan bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali, serta membandingkan karakteristik fisika dan kimia bakso ikan hasil penelitian dengan bakso ikan yang ada di pasaran. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu penentuan kesegaran ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ikan, pembuatan surimi dengan proses pencucian dua kali, pembuatan gel ikan, pembuatan bakso dan analisis karakteristik fisika (uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, derajat putih dan Water Holding Capacity) serta kimia (uji proksimat, protein larut garam dan pH) gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.).
Gel memiliki karakteristik sensori yaitu parameter warna, penampakan dan tekstur bernilai 6, rasa dan aroma bernilai 5. Karakteristik fisik yaitu uji lipat dan uji gigit yang bernilai 3 dan 8, derajat putih dan Water Holding Capacity sebesar 66.26% dan 75.20%, nilai kekuatan gel sebesar 2624.90 gram force (gf). Karakteristik kimia yaitu kadar air 72.25%, kadar abu 2.59%, kadar protein 14.74%, kadar lemak 0.59% dan kadar karbohidrat 9.81% serta protein larut garam sebesar 2.79%. Bakso hasil penelitian memiliki karakteristik sensori yaitu parameter warna, penampakan dan aroma bernilai 6, rasa dan tekstur bernilai 5. Karakteristik fisik yaitu uji lipat dan uji gigit yang bernilai 3 dan 6, derajat putih dan Water Holding Capacity sebesar 66.78% dan 67.42%, sedangkan nilai kekuatan gel sebesar 916.25 gram force (gf). Karakteristik kimia bakso hasil penelitian dapat diketahui melalui uji proksimat, kadar air sebesar 66.73%, kadar abu sebesar 1.19%, kadar protein sebesar 11.68%, kadar lemak sebesar 3.17% dan kadar karbohidrat sebesar 17.21%. Selain itu juga dilakukan uji protein larut garam dan pH yang bernilai 2.72% dan 6.57.
Hasil perbandingan karakteristik fisik dan kimia antara bakso hasil penelitian dengan bakso merk X dan merk Y menunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik sensori untuk semua parameter bakso hasil penelitian bernilai lebih tinggi dari bakso merk X namun bernilai rendah daripada bakso merk Y. Karakteristik fisik yaitu secara umum bakso ikan hasil penelitian memiliki nilai karakteristik fisik lebih tinggi dari bakso ikan merk X dan Y (kecuali nilai kekuatan gel). Berdasarkan karakteristik kimianya, secara umum bakso ikan hasil penelitian berada diantara bakso komersial merk X dan merk Y (kecuali komposisi protein dan abu).
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA GEL DAN BAKSO DARI SURIMI IKAN LAYARAN (Istiophorus sp.)
FREKUENSI PENCUCIAN DUA KALI
DWI OKTAVIANI
C34080058
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
Menyetujui :
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Ir. Djoko Poernomo B, Sc) (Dr. Sugeng Heri Suseno S.Pi, M.Si)
NIP. 1958 0419 1983 03 1 001 NIP. 1973 0116 1999 03 1 001
Mengetahui :
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil)
NIP. 1958 0511 1985 03 1 002
Tanggal Lulus : …………………….
Judul Skripsi : Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Frekuensi Pencucian Dua Kali
Nama : Dwi Oktaviani
NIM : C34080058
Program Sarjana : Teknologi Hasil Perairan
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul
“Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso dari Surimi Ikan Layaran
(Istiophorus sp.) Frekuensi Pencucian Dua Kali” adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir Skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Dwi Oktaviani
C34080058
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso dari Surimi Ikan
Layaran (Istiophorus sp.) Frekuensi Pencucian Dua Kali”. Doa dan harapan
semoga Allah selalu meridhoi upaya yang penulis lakukan.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan skripsi ini, terutama kepada :
1 Ir. Djoko Poernomo B, Sc dan Dr. Sugeng Heri Suseno S.Pi, M.Si selaku
dosen pembimbing atas segala bimbingan, pengarahan serta masukan yang
diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2 Dr. Pipih Suptijah MBA selaku dosen penguji atas segala masukan,
pengarahan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.
3 Dr. Ir. Ruddy Suwandi, Ms, Mphil, selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil
Perairan.
4 Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-Biol selaku Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan.
5 Keluarga terutama Bapak, Mama, Kakak Esa, tante Yani, Eni, Ita dan Enung
yang telah memberikan cinta, kasih sayang, semangat, materil dan doanya
kepada penulis.
6 Dosen dan staf Tata Usaha Departemen Teknologi Hasil Perairan.
7 Teman seperjuanganku : Siska, Bayu dan Ikhsan terimakasih atas kerjasama
dan kebersamaan selama ini.
8 Fida, Henry, Icha, Ukon, Desy, Diah dan Ika terimakasih atas kebersamaan,
bantuan dan motivasi selama ini.
9 Teman-teman THP 45 terutama lista, intan, wulan, ningrum, helmy dan hardi,
THP 43, 44, 46 dan 47 yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan telah
banyak memberikan masukan, semangat, informasi kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
10 Ibu Rubiah, ibu Ema, mba Dini dan mas Zaky yang telah membantu selama di
Laboratorium.
11 Teman-teman wisma Edelwise (Euis, Pipit, Gita, Iin, Nia, Hastin, Nisa, Dewi,
Gigis, Syafa) yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
12 Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki
kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
untuk perbaikan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2012
Dwi Oktaviani
C34080058
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 15 Oktober 1990.
Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak Edi Wusnaedi Iskandar dan Ibu Umpiah. Penulis
mengawali jenjang pendidikan di SDN 06 Jakarta pada
Tahun 1997 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di
SMPN 208 Jakarta dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2005, kemudian
penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 64 Jakarta dan menyelesaikan
pendidikannya pada tahun 2008.
Tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai
mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).
Selama menjalani pendidikan akademik di IPB penulis pernah aktif menjadi
Asisten Luar Biasa m.k Teknologi Produk Tradisional Hasil Perairan pada tahun
2012. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi Dewan Perwakilan
Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (DPM FPIK) divisi
Administrasi dan Keuangan pada tahun 2010 sebagai anggota, Himpunan Profesi
Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN) pada tahun 2011 sebagai Sekretaris.
Penulis pun aktif dalam Pekan Karya Tulis Mahasiswa pada tahun 2012.
Penulis telah melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, dengan judul “Karakteristik Fisika Kimia Gel dan Bakso dari
Surimi Ikan Layaran (Istiophorus sp.) Frekuensi Pencucian Dua Kali”
dibimbing oleh Ir. Djoko Poernomo B.Sc dan Dr. Sugeng Heri Suseno S.Pi, M.Si.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xii
DAFTAR TABEL .............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiv
1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 2
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
2.1 Deskripsi Ikan Layaran (Istiophorus sp.) ................................... 3
2.2 Protein Ikan .................................................................................. 4
2.2.1 Protein miofibril .............................................................. 5 2.2.2 Protein sarkoplasma ........................................................ 6
2.2.3 Protein jaringan ikat (Stroma) ......................................... 6
2.3 Surimi .......................................................................................... 7
2.4 Mekanisme Pembentukan Gel ................................................... 8
2.5 Bakso Ikan ................................................................................... 9
2.5.1 Pembuatan bakso ikan ................................................... 11 2.5.2 Bahan utama .................................................................. 12
2.5.3 Bahan pengisi ................................................................ 13 2.5.4 Bahan tambahan ............................................................ 14
3 METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 17
3.1 Waktu dan Tempat ..................................................................... 17
3.2 Bahan dan Alat ........................................................................... 17
3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 18
3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) ................ 18 3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.) ............................ 18 3.3.3 Pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) ............. 19 3.3.4 Pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) .................. 20 3.3.5 Pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.) ............. 21
3.4 Prosedur Analisis ........................................................................ 22
3.4.1 Rendemen daging dan surimi ........................................... 23 3.4.2 Analisis organoleptik (Rahayu 2001) .............................. 23 3.4.3 Analisis fisik .................................................................... 24 1) Uji kekuatan gel (Granada 2011) ................................. 24
x
2) Uji derajat putih (Chaijan et al. 2004) ......................... 24 3) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) ........................... 25 4) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) .................. 25 5) Water Holding Capacity (WHC) (Granada 2011) ....... 25
3.4.4 Analisis kimia .................................................................. 26
1) Kadar air (AOAC 1995) .............................................. 26 2) Kadar abu (AOAC 1995) ............................................. 27 3) Kadar protein (AOAC 1995) ....................................... 27 4) Kadar lemak (AOAC 1995) ......................................... 28 5) Kadar karbohidrat (by difference) ................................ 29 6) Protein larut garam (Eryanto 2006) ............................. 29 7) Nilai pH (Suzuki 1981) ................................................ 29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 30
4.1 Pembuatan Daging Lumat ........................................................ 30
4.2 Pembuatan Surimi ..................................................................... 32
4.3 Rendemen ................................................................................. 32
4.4 Pembuatan Gel Ikan Layaran (Istiophorus sp.) ........................ 33
4.4.1 Karakteristik sensori .. .................................................... 33 1) Warna .......................................................................... 33 2) Penampakan ................................................................ 34 3) Rasa ............................................................................. 34 4) Tekstur ........................................................................ 35 5) Aroma ......................................................................... 35 4.4.2 Karaketristik fisik ........................................................... 36 1) Uji lipat ....................................................................... 36 2) Uji gigit ....................................................................... 36 3) Derajat putih ............................................................... 37 4) Kekuatan gel ............................................................... 37 5) Water Holding Capacity (WHC) ................................ 37 4.4.3 Karakteristik kimia ......................................................... 38 1) Kadar air (AOAC 1995) ............................................. 38 2) Kadar abu (AOAC 1995) ............................................ 39 3) Kadar protein (AOAC 1995) ...................................... 39 4) Kadar lemak (AOAC 1995) ........................................ 39 5) Kadar karbohidrat (by difference) ............................... 39 6) Protein larut garam (Eryanto 2006) ............................ 40
4.5 Pembuatan Bakso Ikan Layaran (Istiophorus sp.). .................... 40
4.5.1 Karakteristik sensori .. .................................................... 40 1) Warna .......................................................................... 41 2) Rasa ............................................................................. 42 3) Aroma ......................................................................... 43 4) Tekstur ........................................................................ 44 5) Penampakan ................................................................ 45
xi
4.5.2 Karaketristik fisik ........................................................... 46 1) Uji lipat ....................................................................... 46 2) Uji gigit ....................................................................... 47 3) Derajat putih ............................................................... 47 4) Kekuatan gel ............................................................... 48 5) Water Holding Capacity (WHC) ................................ 48
4.5.3 Karakteristik kimia ........................................................ 49 1) Kadar air (AOAC 1995) .............................................. 50 2) Kadar abu (AOAC 1995) ............................................. 51 3) Kadar protein (AOAC 1995) ....................................... 51 4) Kadar lemak (AOAC 1995) ......................................... 52 5) Kadar karbohidrat (by difference) ................................ 52
6) Derajat keasaman (pH) (Suzuki 1981) ......................... 53 7) Protein larut garam (Eryanto 2006) ............................. 53
5 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 54
5.1 Simpulan ................................................................................... 54
5.2 Saran ......................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 55
LAMPIRAN .......................................................................................... 61
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Ikan layaran (Istiophorus sp.) ............................................................ 3
2 Mekanisme pembentukan gel ikan ..................................................... 9
3 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) ............ 18
4 Diagram alir penyiapan daging lumat ikan layaran (Istiophorus sp.) 19
5 Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) ......... 20
6 Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) .............. 21
7 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.) ......... 22
8 Rendemen bagian-bagian tubuh ikan layaran (Istiophorus sp.) ........ 30
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.) .............................. 4
2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) .................................. 10
3 Syarat mutu tepung tapioka (SNI 01-3451-1994) ........................... 14
4 Komposisi gizi daging lumat ikan layaran ...................................... 31
5 Nilai rata-rata uji hedonik gel ikan layaran (Istiophorus sp.) ......... 33
6 Hasil uji karakteristik fisik gel ikan layaran (Istiophorus sp.) ........ 36
7 Nilai kandungan gizi dan protein larut garam gel ikan ................... 38
8 Nilai rata-rata hasil uji hedonik bakso ikan ..................................... 41
9 Hasil uji karakteristik fisik bakso ikan ............................................ 46
10 Nilai kandungan gizi, PLG, pH bakso ikan ...................................... 49
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Lembar penilaian uji lipat .............................................................. 61
2 Lembar penilaian uji gigit .............................................................. 62
3 Lembar penilaian uji hedonik ........................................................ 63
4 Lembar penilaian organoleptik ikan segar ..................................... 64
5 Rekapituasi uji organoleptik ikan segar ......................................... 66
6 Rekapituasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit gel dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali .......................... 67
7 Rekapituasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali .......................... 68
8 Rekapitulasi hasil analisis kekuatan gel .......................................... 69
9 Rekapitulasi hasil analisis derajat putih .......................................... 69
10 Rekapitulasi hasil analisis WHC ..................................................... 69
11 Rekapitulasi hasil analisis proksimat .............................................. 70
12 Rekapitulasi hasil analisis PLG ....................................................... 70
13 Rekapitulasi hasil analisis kadar air surimi ..................................... 70
14 Contoh perhitungan rendemen ........................................................ 71
15 Grafik kekuatan gel dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali ........................................................................................... 72
16 Grafik kekuatan gel bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali .......................................................................... 72
17 Grafik kekuatan gel bakso merk X ........................................... 73
18 Grafik kekuatan gel bakso merk Y ........................................... 73
19 Dokumentasi penelitian ................................................................... 74
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan layaran (Istiophorus sp.) merupakan ikan bernilai ekonomis yang
biasa ikut tertangkap oleh nelayan ketika menangkap ikan menggunakan alat
tangkap long line, alat pancing tonda serta kapal-kapal besar yang biasa
menangkap ikan tuna. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan
(2010), volume produksi ikan layaran dari tahun 2004–2008 yaitu 2.075; 2.054;
2.661; 3.878 dan 3.957 ton dengan rata-rata kenaikan sebesar 19,07%. Ikan
layaran mengandung protein sebesar 23.4 g/100 g (Leung et al. 1972). Ikan dengan
kadar protein cukup tinggi, baik untuk diolah menjadi produk berbasis gel seperti
bakso ikan. Menurut Suzuki (1981), mutu suatu produk gel ikan dapat ditentukan
oleh kekenyalan atau elastisitas produk yang dihasilkan.
Salah satu upaya pemanfaatan daging ikan layaran yaitu dengan
mengolahnya menjadi produk bakso ikan. Bakso merupakan produk pangan yang
terbuat dari daging atau ikan yang dihaluskan, dicampur dengan tepung, dibentuk
bulat-bulat sebesar kelereng atau lebih besar dan dimasak dalam air panas hingga
bakso tersebut mengapung (Agustin dan Mewengkang 2008). Bakso ikan yang
berkualitas baik dipengaruhi oleh penampakan, tekstur dan cita rasa, serta nilai
gizinya. Tekstur bakso dipengaruhi oleh kekuatan gel yang dibentuk oleh surimi.
Kekuatan gel surimi dipengaruhi oleh jenis ikan, umur, kematangan gonad,
tingkat kesegaran ikan, pH, kadar air, volume, konsentrasi dan jenis penambahan
antidenaturant (cryoprotectant), serta frekuensi pencucian (Suzuki 1981).
Penggunaan surimi dalam pembuatan bakso ikan dapat memberikan
keuntungan yaitu pembentukan gel yang lebih baik karena pada surimi sebagian
besar protein larut air yang menghambat pembentukan gel telah terbuang, warna
dan penampakan lebih baik, menghilangkan bau yang tidak dikehendaki, serta
rasa dapat diatur sesuai selera dengan menggunakan bumbu-bumbu dan bahan-
bahan pembentuk rasa (Irianto dan Giyatmi 2009). Surimi merupakan produk
olahan perikanan setengah jadi (intermediate product) berupa hancuran daging
ikan yang mengalami proses pencucian dengan larutan garam dingin,
2
pengepresan, penambahan bahan tambahan (food additive), pengepakan dan
pembekuan (Djazuli et al. 2009).
Penggunaan surimi dengan frekuensi pencucian dua kali sebagai bahan
baku produk berbasis gel memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan
daging lumat. Menurut Shahidi dan Botta (1994), surimi dari ikan Mackerel
dengan frekuensi pencucian dua kali memiliki karakteristik fisik yang lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan daging lumat ikan Mackerel tanpa pencucian.
Sedangkan menurut Kim dan Park (2004), semakin banyak proses pencucian
dalam pembuatan surimi maka akan mengurangi residu protein sarkoplasma
dalam daging lumat yang dapat menghambat pembentukan gel.
Menurut Toyoda et al. (1992), secara umum kekuatan gel akan meningkat
sampai dengan pencucian kedua karena fungsi dari konsentrasi protein miofibril
sudah tercapai pada level tertingginya. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan
protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel, menghilangkan
bau anyir, pigmen, lemak dan senyawa-senyawa organik yang mempunyai berat
molekul rendah. Pada penelitian ini dilakukan kajian mengenai karakteristik
fisika kimia gel dan bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Mengkarakterisasi fisika dan kimia gel dari surimi ikan layaran
frekuensi pencucian dua kali.
2) Mengkarakterisasi fisika dan kimia bakso dari surimi ikan layaran
frekuensi pencucian dua kali.
3) Membandingkan karakteristik fisika dan kimia bakso ikan hasil
penelitian dengan bakso ikan yang ada di pasaran.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Layaran (Istiophorus sp.)
Ikan layaran (Istiophorus sp.) termasuk kedalam sumberdaya ikan pelagis
besar yang termasuk jenis ikan pedang atau setuhuk dan sering muncul
kepermukaan dengan sirip punggung yang dikembangkan. Habitat ikan layaran
adalah di permukaan laut (pelagis dan epipelagis) di atas lapisan termoklin. Ikan
layaran banyak ditemukan di daerah perairan yang dekat dengan pesisir dan
pulau-pulau (Shaw 1972). Ikan pelagis besar tersebar dihampir semua wilayah
pengelolaan perikanan di mana tingkat pemanfaatan berbeda-beda antar perairan
(Mallawa 2006). Penangkapan ikan ini menggunakan alat tangkap tonda dan
long line. Klasifikasi ikan layaran (Istiophorus sp.) (Saanin 1984) adalah sebagai
berikut :
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Scombroidea
Famili : Istiophoridae
Genus : Istiophorus
Spesies : Istiophorus gladius
Istiophorus orientalis
Istiophorus platypterus
Gambar 1 Ikan Layaran (Istiophorus sp.)
4
Daerah penyebaran ikan layaran di Indonesia meliputi : Pelabuhan Ratu,
Selat Bali, Laut Flores, Selat Makasar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu,
dan perairan barat Sumatera (KKP 2006). Ikan layaran memiliki panjang yang
dapat mencapai 300 cm, memiliki badan memanjang berwarna putih perak dengan
punggung berwarna kehitaman. Kepala ikan layaran berbentuk kerucut dengan
paruh panjang dan merupakan ikan perenang cepat. Sirip punggung ikan layaran
memiliki 20 jari-jari keras yang membentuk seperti layar berwarna kebiruan.
Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia ikan layaran (Istiophorus sp.)
Komposisi Satuan Bagian yang dapat dimakan Kalori Kal 129 Air % 72,4 Protein g 23,4 Lemak g 3,2 Total karbohidrat g - Serat g - Abu g 1 Calsium mg 9 Phospor mg 190 Fe mg 0,8 Sodium mg 71 Potasium mg - Retinol mg 5 B-caroten eqivalen mg - Thiamin mg 0,10 Riboflavin mg 0,06 Niasin mg 4,5 Ascorbic acid mg 1 Sumber : Leung et al. (1972)
2.2 Protein Ikan
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar
tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai hormone, pengangkut zat-zat gizi dan
darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein (Almatsier 2006).
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O
dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno 2008). Protein
mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu
5
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Protein merupakan
komponen ikan yang sangat penting ditinjau dari sudut gizi dan terkandung sekitar
15-25% dari berat total daging (Irianto dan Giyatmi 2009). Protein ikan
menyediakan lebih kurang 2/3 dari kebutuhan protein hewani yang diperlukan
oleh manusia. Protein ikan terdiri dari asam-asam amino yang diperlukan oleh
tubuh manusia. Molekul protein terutama terdiri dari asam amino, yang
merupakan senyawa organik yang mengandung satu atau lebih gugus amino dan
satu atau lebih gugus karboksil (Irianto dan Giyatmi 2009).
Protein ikan kurang stabil bila dibandingkan dengan protein daging
mamalia, artinya mudah rusak oleh pengolahan, terkoagulasi dan terdenaturasi,
karena struktur alamiah miosin yang labil (Winarno 1993). Protein ikan mudah
dicerna dan diabsorpsi. Absorpsi protein ikan lebih tinggi dibandingkan daging
sapi, ayam dan lainnya, karena daging ikan mempunyai serat-serat protein lebih
pendek dari pada serat-serat daging sapi atau ayam (Ikayanti 2007). Protein ikan
dapat diklasifikasikan menjadi protein miofibril sebesar 65-75%, sarkoplasma
sebesar 20-30% dan stroma 1-3% (Junianto 2003). Asam amino dalam teknologi
pangan mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan, misalnya D-triptofan
mempunyai rasa manis 35 kali kemanisan sukrosa, sebaliknya L-triptofan
mempunyai rasa yang sangat pahit. Asam glutamat sangat penying peranannya
dalam pengolahan makanan karena dapat menimbulkan rasa yang lezat, gugusan
glutamat akan bergabung dengan senyawa lain menghasilkan rasa enak tersebut
(Winarno 2008).
2.2.1 Protein miofibril
Protein miofibril atau protein larut garam adalah salah satu dari protein
yang terdapat pada daging ikan serta berjumlah paling besar diantara protein
sarkoplasma dan stroma. Protein ini terdiri atas aktin, miosin, serta protein
regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Protein miofibril memiliki peranan
penting dalam pembentukan gel makanan berbasis surimi. Kemampuan protein
miofibril dalam membentuk gel akan berkurang karena perlakuan selama
pengolahan dan penyimpanan (Uju 2006). Protein miofibril bertanggung jawab
terhadap daya ikat air daging ikan, tekstur produk serta sifat fungsional daging
lumat khususnya kemampuan membentuk gel (Irianto dan Giyatmi 2009). Pada
6
umumnya protein yang larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai
pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air (Junianto 2003).
Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan elastisitas gel protein.
Miosin merupakan fraksi miofibril yang paling berlimpah dalam otot ikan dan
memiliki kontribusi sekitar 50-60% dari berat total jumlah protein. Aktin
merupakan fraksi miofibril terbesar kedua setelah miosin, menyusun sekitar 20%
dari kandungan total jumlah protein. Tropomiosin dan troponin berjumlah 10%
dari kandungan total jumlah protein (Shahidi dan Botta 1994). Aktin dan miosin
bergabung membentuk aktomiosin. Protein miofibril akan mengalami denaturasi
dengan kisaran pH kurang dari 6,5 yang berdampak pada kemampuan
pembentukkan gel.
2.2.2 Protein sarkoplasma
Sarkoplasma (miogen) merupakan protein terbesar kedua pada daging ikan
yang mengandung bermacam-macam protein yang larut dalam air. Protein ini
terdiri dari albumin, mioalbumin dan mioprotein. Kandungan sarkoplasma dalam
daging ikan bervariasi, selain tergantung dari jenis ikan dan habitat ikan tersebut.
Pada umumnya, ikan pelagis mempunyai kandungan sarkoplasma lebih besar
daripada ikan demersal (Junianto 2003). Menurut Lee dan Lanier (1992),
sarkoplasma tidak menghasilkan gel walaupun dipanaskan dan jika tidak
dihilangkan akan menghambat pembentukan gel. Protein sarkoplasma sebagian
besar mengandung enzim-enzim, termasuk enzim proteolitik. Protein ini larut
dalam air dan larutan garam yang kekuatan ion rendah (konsentrasi garam 0,5%).
Pemanasan protein sarkoplasma selama 10 menit pada suhu 90 oC akan
menggumpal (mengkoagulasi) protein tersebut (Rahayu et al. 1992).
2.2.3 Protein jaringan ikat (Stroma)
Protein jaringan ikat (stroma) merupakan fraksi protein yang tidak larut,
terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin, terdapat di luar serabut daging.
Stroma tidak larut dalam air, asam, basa serta larutan garam 0,01-0,1 M
(Rahayu et al. 1992). Protein stroma ikan lebih kecil daripada hewan-hewan
mamalia. Daging merah pada ikan umumnya mengandung lebih banyak stroma,
sedikit mengandung sarkoplasma jika dibandingkan dengan daging putih ikan.
7
Daging merah terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit,
sedangkan daging putih terdapat di hampir seluruh bagian tubuh (Junianto 2003).
Protein stroma penting dalam proses pangan karena mempunyai beberapa
pengaruh merugikan terhadap sifat funsional daging. Kolagen mudah
terdenaturasi oleh panas yang akan mempengaruhi sifat fisik. Stroma memiliki
kelarutan yang rendah, mengandung muatan rendah dan proporsi asam-asam
amino esensial yang rendah, sehingga dapat menurunkan kapasitas emulsi daging,
dengan mengganggu kapasitas daya pengikatan air pada daging dan berpengaruh
terhadap nilai nutrisi daging (Nurfianti 2007).
2.3 Surimi
Surimi adalah daging lumat ikan yang mengalami proses pencucian
dengan larutan garam dingin untuk menghilangkan lemak, darah, enzim dan
protein sarkoplasma dengan penambahan cryoprotectants dan dibekukan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi mutu surimi adalah kesegaran bahan baku, namun
komposisi kimia ikan khususnya protein dan lemak juga berperan terhadap
pembentukan gel. Surimi merupakan konsentrat dari protein miofibrilar yang
mempunyai kemampuan pembentukan gel, pengikatan air, pengikat lemak dan
sifat-sifat fungsional yang baik yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk
produk bakso, sosis, otak-otak dan sebagainya yang spesifikasinya menuntut
kemampuan dalam pembentukan gel. Salah satu sifat surimi adalah membentuk
gel yang elastis dan kuat dengan perlakuan panas. Surimi yang bermutu tinggi
harus berasal dari bahan baku yang segar, dimana protein yang terkandung dalam
ikan tidak mengalami denaturasi (Djazuli et al. 2009).
Pada prinsipnya pengolahan surimi menerapkan teknologi yang sederhana
dan mudah dilakukan, sedangkan peralatan yang digunakan tergantung pada
tingkat kecanggihan dan skala produksi. Secara umum, tahapan pengolahan
surimi, meliputi penyiangan, pemisahan daging dan tulang, pembuangan air,
pencampuran dengan krioprotektan, serta pembekuan. Proses pencucian pada
pembuatan surimi dilakukan dengan mencuci daging lumat dengan air dingin
(10-15 oC) yang ditambahkan garam 0,2-0,3% sebanyak 2-3 kali pencucian.
Volume air yang digunakan adalah 4-5 kali berat daging lumat. Penambahan
8
garam dalam proses pencucian daging lumat membantu pelepasan air dari daging
lumat (Irianto dan Giyatmi 2009).
Proses pencucian pada pembuatan surimi dapat memberikan beberapa
keuntungan antara lain :
a. Meningkatkan kemampuan daging lumat membentuk gel dengan membuang
sebagian besar protein larut air yang mengganggu pembentukan gel
b. Memperbaiki warna dan penampakan daging lumat
c. Menghilangkan bau yang tidak dikehendaki
d. Menghasilkan surimi beku yang memiliki rasa hambar sehingga rasa produk
olahan lanjut dapat diatur sesuai selera dengan menggunakan bumbu-bumbu
dan bahan-bahan pembentuk rasa
e. Memperpanjang umur penyimpanan beku dari daging yang telah dicuci
dengan penambahan gula dan poliposfat
Pengaruh pencucian yang tidak menguntungkan, yaitu hilangnya komponen rasa
alami yang ada didaging dan berkurangnya kandungan protein. Penghilangan
protein larut air (sarkoplasma) memberikan pengaruh yang baik terhadap surimi,
yaitu peningkatan kemampuan membentuk gel (Irianto dan Giyatmi 2009).
2.4 Mekanisme Pembentukan Gel
Gelasi protein daging ikan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah
denaturasi protein (tidak menggulungnya rantai protein) dan tahap kedua adalah
terjadinya agregasi protein membentuk struktur tiga dimensi (Niwa 1992).
Menurut Hudson (1992), proses gelasi terbagi menjadi tiga bagian yang diawali
dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat.
Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit
pemanasan pertama, pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Niwa (1992)
menyatakan bahwa ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil
dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Tahap kedua adalah
oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini, pasta surimi akan mengeras,
dimana ikatan intermolekuler sulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari
dua residu sistein (Niwa 1992). Ikatan disulfida akan intensif terjadi pada suhu
pemanasan yang tinggi (di atas 80 0C). Tahap ketiga adalah tahap peningkatan
elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Tingkatan elastisitas ini terjadi
9
karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan
terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).
Pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dan
dipanaskan akan menyebabkan pasta daging tersebut berubah menjadi gel swari.
Gel swari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh
pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul miofibril. Gel swari
terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh
ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel swari terjadi pada
pemanasan dengan suhu 50 0C (Suzuki 1981).
Pemanasan gel bila ditingkatkan hingga di atas suhu 50 0C, maka struktur
tersebut akan hancur, fenomena ini disebut modori. Modori akan terjadi apabila
pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 0C selama 20 menit, pada rentang suhu
tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan
kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk sehingga gel
surimi akan menjadi rapuh dan hilang elastisitasnya. Berkaitan dengan fenomena
tersebut, maka dibuat sebuah metode untuk membuat gel surimi yang kuat dengan
melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada zona rentang suhu dimana
modori dapat terjadi. Gel surimi yang elastis terbentuk ketika pasta daging
dipanaskan dengan melewati suhu modori , dengan cara pemanasan ini terbentuk
jaringan dengan dimensi lebih besar yang disebut gel ashi (Suzuki 1981).
Mekanisme pembentukan gel ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Mekanisme pembentukan gel ikan (Suzuki 1981)
2.5 Bakso Ikan
Bakso ikan merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang
diperoleh dari campuran daging ikan dan pati atau serealia dengan atau tanpa
penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (BSN 1995). Bahan yang
diperlukan untuk pembuatan bakso yaitu: daging ikan, tepung tapioka dan bumbu-
bumbu. Bumbu bakso dapat berupa garam NaCl halus 2,5%, sedangkan bumbu
10
penyedap dibuat dari campuran bawang putih 3%, bawang merah 2-2,5% dan
merica atau lada sebesar 0,5% dari berat daging (Waridi 2004).
Faktor penampakan, tekstur, dan cita rasa, serta nilai gizi merupakan
parameter yang penting dalam menentukan kualitas bakso ikan (Uju et al. 2004).
Berdasarkan karakteristiknya, bakso ikan tergolong bahan pangan yang mudah
rusak akibat aktivitas mikroba, karena memiliki pH yang relatif tinggi (>5,2) dan
aktivitas air yang tinggi (aw>0,91) (Chairita et al. 2009). Syarat mutu bakso ikan
berdasarkan SNI 01-3819-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Syarat mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 2 3 4 1
1.1 1.2 1.3
1.4 2 3 4 5 6 7 8
8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 9 10
10.1 10.2 10.3 10.4 10.5
Keadaan: Bau Rasa Warna Tekstur Air Abu Protein Lemak Boraks Bahan tambahan makanan Cemaran logam: Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) Raksa (Mg) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba: Angka lempeng total Bakeri bentuk koli Salmonella Staphylococcus aureus Vibrio cholerae
- - - -
% b/b % b/b % b/b % b/b
- Sesuai SNI
dan revisinya
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
koloni/g APM/g
- koloni/g
-
Normal, khas ikan Gurih Normal, putih tanpa warna asing lainnya Kenyal Maks. 80,0 Maks. 3,0 Min. 9,0 Maks. 1,0 Tidak boleh ada 01-0222-1987 Maks. 2,0 Maks. 20,0 Maks. 100,0 Maks. 40,0 Maks. 0,5 Maks. 1,0 Maks. 1x107
Maks. 4x102
Negatif Maks. 5x10 Negatif
Sumber : BSN (1995)
11
2.5.1 Pembuatan bakso ikan
Pada prinsipnya pembuatan bakso terdiri atas empat tahap yaitu:
(1) penghancuran daging; (2) pembuatan adonan; (3) pencentakan bakso; dan
(4) pemasakan. Proses penggilingan daging harus memperhatikan kenaikan suhu
akibat panas yang timbul saat proses penggilingan, karena suhu yang diperlukan
untuk mempertahankan stabilitas emulsi adalah di bawah 20 oC. Pemasakan
bakso setelah dicetak dilakukan dengan cara perebusan dalam air mendidih atau
dapat juga dikukus (Bakar dan Usmiati 2007).
(1) Penghancuran daging
Penghancuran daging bertujuan untuk memperluas permukaaan daging
sehingga protein yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar kemudian
jaringan lunak akan berubah menjadi mikro partikel (Astuti 2009). Tahap ini
dilakukan penambahan es atau air dingin sebanyak 20% dari berat adonan agar
menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan
(Winarno dan Rahayu 1994).
(2) Pembuatan adonan
Surimi dicampur dengan garam dan bumbu secukupnya. Setelah tercampur
merata, ke dalam surimi tersebut ditambahakan tepung tapioka sedikit demi
sedikit sambil diaduk hingga diperoleh adonan yang homogen. Pada saat
pembentukan adonan bakso ikan ditambahakan es sekitar 15-20% atau 30% dari
berat daging ikan lumat (Wibowo 2006). Penggunaan es saat pengadonan dapat
mempertahankan suhu adonan tetap dingin yaitu sekitar 20 oC. Penambahan es
dapat berpengaruh terhadap tekstur bakso dan penggunaan suhu 20 oC dapat
mempertahankan stabilitas emulsi (Usmiati 2009).
(3) Pencetakan bakso
Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap
direbus atau dikukus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan
dengan menggunakan tangan, dengan cara adonan diambil dengan sendok makan
kemudian diputar-putar dengan menggunakan tangan sehingga terbentuk bola
bakso. Bagi yang sudah mahir untuk membuat bola bakso, cukup dengan
mengambil segenggam adonan lalu diremas-remas kearah ibu jari. Adonan yang
12
keluar dari lubang ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan kemudian bulatan
tersebut diambil dengan sendok (Wibowo 2006).
(4) Pemasakan
Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan air mendidih yang biasanya
dilakukan dengan dua kali perebusan. Lama waktu perebusan bakso ikan yaitu
selama 15 menit sehingga akan menghasilkan bakso ikan yang berkualitas.
Pemasakan bakso dalam dua tahap dimaksudkan agar permukaan bakso yang
dihasilkan tidak keriput dan tidak pecah akibat perubahan suhu yang terlalu cepat
(Desrosier 1988). Apabila bakso yang direbus sudah mengapung di permukaan
air berarti bakso sudah matang dan dapat diangkat. Kematangan bakso juga dapat
dilihat dengan melihat bagian dalam bakso, ketika diiris, bekas irisan bakso yang
sudah matang tampak mengkilap agak transparan, tidak keruh seperti adonan lagi.
Setelah cukup matang, bakso diangkat dan ditiriskan sambil didinginkan pada
suhu ruang (Wibowo 2006).
2.5.2 Bahan utama
Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan bakso ikan adalah daging
ikan dari satu jenis ikan atau campuran dari beberapa jenis ikan. Daging ikan yang
cocok untuk pembuatan bakso adalah daging putihnya saja. Jenis ikan berdaging
merah tidak bagus dijadikan bakso, kecuali jika ikan tersebut juga memiliki
daging putih dan mudah dipisahkan dengan daging merahnya, misalnya tuna,
cakalang, tongkol dan kembung (Wibowo 2006). Komponen daging yang
berperan dalam produk bakso adalah protein, khususnya protein yang bersifat
larut dalam garam, terutama aktin dan miosin. Fungsi protein dalam bakso adalah
sebagai bahan pengikat dan emulsifier (Winarno dan Rahayu 1994).
Bahan utama yang digunakan untuk pembuatan bakso harus menggunakan
ikan segar, tidak cacat fisik dan berkualitas baik. Semakin segar daging ikan yang
digunakan maka semakin menghasilkan rasa enak sebagai flavor bakso yang
dihasilkan. Jenis ikan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tekstur dan
rendemen bakso yang diperoleh (Waridi 2004). Daging ikan yang digunakan
sebagai bahan baku bakso lebih baik berupa surimi, karena menghasilkan tekstur
bakso yang lebih kenyal dan warna yang lebih putih. Kriteria mutu bakso sebagai
produk fish jelly adalah kelenturan dan kekenyalannya (Astuti 2009).
13
2.5.3 Bahan pengisi
Bahan pengisi merupakan sumber pati. Bahan pengisi ditambahkan dalam
produk restrukturisasi untuk menambah bobot produk dengan mensubstitusi
sebagian daging sehingga biaya dapat ditekan. Fungsi lain dari bahan pengisi
adalah membantu meningkatkan volume produk. Menurut Winarno (1997), pati
terdiri atas dua fraksi yang dapat terpisah dengan air panas. Fraksi terlarut disebut
amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Fraksi amilosa
berperan penting dalam stabilitas gel karena sifat hidrasi amilosa dalam pati yang
dapat mengikat molekul air dan kemudian membentuk massa yang elastis.
Pembuatan bakso biasanya menggunakan tepung tapioka dan merupakan granula
dari karbohidrat, berwarna putih, tidak mempunyai rasa manis dan tidak berbau.
Tapioka adalah pati (amilum) yang diperoleh dari umbi kayu segar setelah
melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan dan dikeringkan (BSN 1994).
Tepung tapioka banyak digunakan di berbagai industri karena kandungan patinya
yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dalam air panas dan
membentuk kekentalan yang dikehendaki (Sumaatmaja 1984). Tepung tapioka
juga memiliki larutan yang jernih, daya gel yang baik, rasa yang netral, warna
yang terang dan daya lekatnya yang baik (Astuti 2009). Bahan makanan yang
mengandung pati umumnya mengalami penurunan kadar air. Penurunan kadar air
akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat secara
sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai
untuk interaksi pati dan protein ikan (Manullang et al. 1995).
Produk bakso yang dapat menghasilkan rasa lezat, tekstur bagus dan
bermutu tinggi menggunakan jumlah tepung sekitar 10-15% dari daging ikan
(Wibowo 2006). Semakin banyak tapioka yang ditambahkan, kekenyalan bakso
makin menurun dan kandungan proteinnya makin rendah, karena komposisi
daging makin sedikit dan kandungan karbohidrat makin tinggi (BBPPP 2009).
Syarat mutu tepung tapioka menurut SNI 01-3451-1994 dapat dilihat pada
Tabel 3.
14
Tabel 3 Syarat mutu tepung tapioka (SNI 01-3451-1994)
No Jenis uji Persyaratan Mutu I Mutu II Mutu III 1 Keadaan Sehat, tidak berbau apek atau masam, murni,
tidak kelihatan ampas dan/atau bahan asing 2 Kadar air maksimum (%) 15 15 15 3 Kadar abu maksimum (%) 0,60 0,60 0,60 4 Serat dan benda asing
maksimum (%) 0,60 0,60 0,60
5 Derajat putih minimum (BaSO4=100%) (%)
94,5 92 92
6 Kekentalan (Engler) 3-4 2,5-3 <2,5 7 Derajat asam maksimum
(ml N NaOH/100g) 3 3 3
8 Cemaran logam: - Timbal (Pb) (mg/kg) 1,0 1,0 1,0 - Tembaga (Cu) (mg/kg) 10,0 10,0 10,0 - Seng (Zn) (mg/kg) 40 40 40 - Raksa (Hg) (mg/kg) 0,05 0,05 0,05 - Arsen (As) (mg/kg) 0,5 0,5 0,5 9 Cemaran mikroba: - Angka lempeng total
maksimum (koloni/gram)
10 x 106 10 x 106 10 x 106
- E. coli maksimum (koloni/gram)
10 10 10
- Kapang maksimum (koloni/gram)
10x104 10x104 10x104
Sumber : BSN (1994)
2.5.4 Bahan tambahan
Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan maksud
tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, citarasa, untuk
mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa
(Dewi 2005). Bahan tambahan yang digunakan pada pembuatan bakso ikan terdiri
dari garam, bawang merah, bawang putih, soda kue, gula, lada, telur dan air es
atau es. Dalam pembuatan bakso, sebaiknya tidak menggunakan penyedap
masakan MSG (Monosodium Glutamate) sebagai bumbu penyedap. Sebagai
bumbu penyedap dapat digunakan bumbu campuran bawang merah, bawang putih
dan jahe dengan perbandingan 15:3:1 (Wibowo 2006).
15
Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada pembuatan
bakso. Pemakain garam biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan
tradisi daripada keperluan. Garam mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan,
sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganism (Buckle et al. 1978).
Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet. Garam yang
biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso adalah sekitar 2,5 % (Wibowo 2006).
Bawang putih merupakan produk alami yang biasanya ditambahkan ke
dalam bahan makanan. Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan
untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih termasuk
salah satu familia Licliaceae yang popular di dunia dengan nama ilmiah Allium
sativum. Kandungan bawang putih antara lain air mencapai 60,9-67,8%, protein
3,5-7%, lemak 0,3%, karbohidrat 24,0-27,4% dan serat 0,7%, juga mengandung
mineral penting dan beberapa vitamin dalam jumlah tidak besar (Wibowo 1999).
Bawang merah mengandung cukup banyak vitamin B dan C dan biasanya bawang
merah digunakan sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional. Bawang merah
sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein 1,5%, lemak 0,3% dan
karbohidrat 9,2%. Umbi bawang merah mengandung ikatan asam amino yang
tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air.
Lada biasanya ditambahkan pada bahan makanan sebagai penyedap
makanan. Lada sangat digemari karena memiliki sifat penting, yaitu rasanya yang
pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan
bahan-bahan kimiawi organik yang terdapat pada lada (Dewi 2005). Lada yang
digunakan umumnya sekitar 1% dari berat daging (Wibowo 2006).
Minyak merupakan bahan cair diantaranya disebabkan rendahnya
kandungan asam lemak jenuh dan tingginya kandungan asam lemak yang tidak
jenuh, yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap di antara atom-atom
karbonnya sehingga mempunyai titik lebur yang rendah. Minyak goreng berfungsi
sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori bahan
pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya yaitu suhu pemanasan
minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan
rasa gatal pada tenggorokan (Winarno 2008).
16
Es atau air es merupakan bahan penting lainnya yang digunakan dalam
pembuatan bakso. Bahan ini berfungsi membantu pembentukan adonan dan
membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es berfungsi meningkatkan air
ke dalam adonan kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan.
Es dapat mempertahankan suhu agar tetap rendah sehingga protein daging tidak
terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan
dengan baik. Oleh karena itu, dalam adonan bakso dapat ditambahakan es
sebanyak 5-20% atau bahakan 30% dari berat daging (Wibowo 2006).
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan
Maret 2012 dan bertempat di beberapa laboratorium. Analisis kekuatan gel,
derajat putih, protein larut garam dan Water Holding Capacity bertempat di
Laboratorium Teknologi Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, analisis proksimat bertempat di Laboratorium
Biokimia Hasil Perairan, analisis derajat keasaman (pH) bertempat di
Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, pembuatan gel dan bakso bertempat di
Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan serta uji organoleptik
bertempat di Laboratorium Organoleptik Teknologi Hasil Perairan Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk membuat bakso meliputi ikan layaran
(Istiophorus sp.) yang diperoleh dari TPI Pelabuhan ratu Sukabumi. Ikan dibawa
menggunakan cool box yang diberi es dengan perbandingan es 2 : 1. Bahan lain
yang digunakan adalah tepung tapioka, bawang merah goreng, bawang putih,
garam, merica, minyak goreng, air dan es batu serta bahan-bahan yang digunakan
untuk analisis fisik dan kimia antara lain akuades, HCl 0,2 N, H2SO4,
NaOH 40%, H3BO3 dan sebagainya.
Alat yang digunakan dalam pembuatan surimi, gel dan bakso ikan antara
lain pisau, talenan, baskom plastik, sendok, karet, tabung stainless, timbangan
digital, meat grinder, food processor, alat pengepres surimi, kain belacu, panci
perebusan dan kompor. Alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia antara
lain oven, desikator, kompor, tanur, tabung Kjeldahl, erlenmeyer, soxhlet,
kondensor, labu lemak, waring blender, gelas kimia, termometer, pH meter dan
kertas saring, Chromameter, carverpress dan Texture analyzer (TA-XT21).
18
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu penentuan kesegaran
ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ikan, pembuatan surimi dengan
proses pencucian dua kali, pembuatan gel ikan, pembuatan bakso serta analisis
karakteristik fisik kimia gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.).
3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.)
Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel ikan layaran dari TPI
Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. Ikan layaran ditransportasikan
menuju bogor dengan menggunakan bus, ikan disimpan dalam cool box dan
steyrofoam yang diberikan tambahan es untuk tetap menjaga kesegaran ikan.
Setelah sampai di laboratorium, ikan disimpan dalam freezer, kemudian ikan
diuji organoleptik untuk mengetahui kesegaran ikan oleh 30 panelis semi terlatih.
Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.)
Ikan layaran yang telah diuji organoleptik kemudian dipreparasi.
Ikan layaran dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang menempel,
kemudian di fillet untuk memisahkan daging dengan bagian lain (kepala, isi perut,
Pembelian ikan layaran di TPI
Penyimpanan ikan layaran dalam cool box yang diberi es (2:1)
Pentransportasian
Penyimpanan sementara dalam freezer
Uji organoleptik (mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau dan
tekstur)
19
sirip dan tulang), dilakukan skinless untuk memisahkan daging ikan dengan kulit
serta dilakukan pemisahan antara serat daging dengan daging untuk memudahkan
ketika pelumatan daging ikan dengan meat grinder. Selanjutnya dilakukan
pencampuran seluruh bagian daging ikan yang sudah dilumatkan. Hal ini
dilakukan agar seluruh bagian daging ikan layaran dapat tercampur dengan rata.
Dilakukan uji proksimat pada daging lumat yang dihasilkan. Diagram alir
preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Diagram alir penyiapan daging lumat ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.3.3 Pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.)
Daging ikan layaran yang sudah lumat ditimbang untuk mengetahui berat
awal daging lumat, kemudian dicuci sebanyak dua kali dengan perbandingan
air es dan daging lumat sebesar 3:1. Pada proses pencucian daging lumat dicuci
dengan air es (5-8 oC) dan diaduk selama 10 menit dengan penambahan
garam 0,3% (b/b) pada pencucian kedua. Setelah itu disaring menggunakan
kain blacu dan diperas menggunakan alat pemeras surimi untuk menghilangkan
Ikan layaran
Pencucian
Pelumatan dengan meat grinder
Pemisahan serat daging dengan daging
Pelepasan kulit
Pem-fillet-an
Pencampuran seluruh daging lumat
Daging lumat Analisis : - Rendemen - Proksimat
20
air dengan tingkat pemerasan yang sama, proses pencucian ini dilakukan sebanyak
dua kali sebagai perlakuan. Daging lumat yang sudah menjadi surimi ditimbang
untuk mengetahui berat akhirnya. Dilakukan pengujian kadar air surimi. Diagram
alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.3.4 Pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.)
Surimi yang dihasilkan ditimbang dan dilakukan pencampuran dengan
garam 2,5% (b/b) menggunakan food processor hingga adonan homogen dan
dicetak dengan menggunakan tabung stainless. Dilakukan pemanasan dengan
suhu 45-50 oC selama 20 menit dan dilanjutkan dengan suhu 80-90 oC selama
30 menit. Gel ikan yang dihasilkan dilakukan analisis untuk mengetahui
Daging lumat
Pencucian I (air es : ikan = 3:1) 10 menit
Penyaringan
Surimi
Pemerasan
Penimbangan berat awal
Pencucian II (air es : daging lumat = 3:1) + garam 0,3% (b/b) 10 menit
Penyaringan
Pemerasan
Analisis: - Rendemen - Kadar air
21
karakteristik fisik dan kimia yaitu terdiri dari uji sensori, uji lipat, uji gigit,
kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji proksimat dan protein larut garam.
Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 6 Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.3.5 Pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.)
Bahan baku pembuatan bakso ikan menggunakan surimi dengan pencucian
dua kali. Surimi ditimbang kemudian dimasukan ke dalam food processor dan
ditambahkan garam 2,5%, tambahkan bumbu-bumbu yaitu bawang merah goreng
2,5%, bawang putih 4% dan lada 1% kemudian food processor dinyalakan
kembali, tambahkan tepung tapioka 10% lalu diaduk, tahap terakhir pengadonan
yaitu masukan minyak goreng 10% dan air es sedikit demi sedikit kemudian
diaduk. Total pengadukan adonan yaitu selama 5 menit.
Surimi
Penimbangan
Pencampuran dengan garam 2,5% (b/b)
Pengadonan hingga homogen
Pemanasan I suhu 45-50 OC (20 menit) dilanjutkan pemanasan II suhu 80-90 OC (30 menit)
Pencetakan dalam tabung stainless (diameter 3,25 cm; tinggi 3 cm)
Gel ikan Analisis : warna, penampakan, aroma, tekstur, rasa, kekuatan gel,
derajat putih, uji lipat,uji gigit, Water Holding Capacity, proksimat
dan protein larut garam
22
Adonan yang dihasilkan dicetak menyerupai bola kecil menggunakan
tangan. Adonan yang telah dicetak kemudian direbus dengan 2 kali proses
pemanasan, yaitu pemanasan 1 dengan suhu 45-50 oC selama ± 5 menit dan
pemanasan 2 dengan suhu 80-90 oC selama ± 15 menit atau sampai bakso
mengapung. Bakso hasil penelitian, bakso komersial merk X (diperoleh dari
Palabuhan Ratu) dan bakso merk Y (diperoleh dari swalayan) dilakukan
uji sensori, analisis karakteristik fisik dan kimia yaitu terdiri dari uji lipat,
uji gigit, uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji WHC, uji proksimat (uji kadar air,
lemak, abu dan protein), uji protein larut garam (PLG) dan uji pH. Diagram alir
pembuatan bakso ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.4 Prosedur Analisis
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji organoleptik,
analisis fisik dan kimia. Analisis organoleptik dilakukan dengan menggunakan
Ikan layaran
Bakso ikan layaran
Surimi
Pengadonan
Pemanasan I suhu 45-50 oC selama ± 5 menit Pemanasan II suhu 80-90 oC selama ± 15 menit
Pendinginan suhu ruang
Pencetakan bakso
Garam 2,5% Bawang merah goreng 2,5% Bawang putih 4% Lada 1% Tepung tapioka 10% Minyak goreng 10% Air es
Analisis : warna, penampakan, aroma, tekstur, rasa, kekuatan gel,
derajat putih, uji lipat,uji gigit, Water Holding Capacity, proksimat,
pH dan protein larut garam
23
uji scoring (skor mutu). Analisis fisik yang dilakukan terdiri dari uji kekuatan gel,
uji derajat putih, uji lipat, uji gigit dan uji WHC. Analisis kimia yang dilakukan
meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak), PLG dan
pengukuran nilai pH.
3.4.1 Rendemen daging dan surimi
Rendemen daging dihitung dengan membandingkan antara berat daging
dengan berat ikan utuh. Ikan layaran utuh ditimbang sebagai berat awal (a).
Kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut, sirip
dan kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Selanjutnya rendemen daging
dihitung dengan persamaan :
Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan
berat daging lumat. Daging lumat ditimbang sebagai berat awal (a). Kemudian
dagingnya dilumatkan, dicuci dan diperas lalu ditimbang sebagai berat akhir (c).
Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan persamaan :
3.4.2 Analisis organoleptik (Rahayu 2001)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan, panelis diminta
untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan.
Tingkatan disebut skala hedonik dan dalam analisisnya ditransformasikan menjadi
skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya.
Penelitian ini menggunakan sembilan skala hedonik yang menunjukkan
tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan cara menyajikan bakso yang
telah diberi kode (menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk
memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang
dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna,
aroma, tekstur dan penampakan, termasuk uji lipat dan uji gigit. Parameter rasa
Rendemen daging = b x 100 % a
Rendemen surimi = c x 100 % a
24
dinilai pada saat memakan bakso ikan. Parameter warna dan aroma dinilai dengan
melihat dan mencium aroma bakso ikan yang disajikan. Parameter tekstur dinilai
dengan perabaan oleh lidah pada saat bakso dimakan dan parameter kekenyalan
dinilai berdasarkan kemudahan dalam melipat bakso ikan.
3.4.3 Analisis fisik
Analisis fisik yang dilakukan terhadap gel dan bakso ikan adalah
kekuatan gel, derajat putih, uji lipat, uji gigit dan Water Holding Capacity.
(1) Uji kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Granada 2011)
Pengukuran kekuatan gel dilakukan secara objektif dengan menggunakan
Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan bakso ikan dinyatakan dalam
gram force tiap cm2 (gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah
deformasi produk. Sampel diletakkan dibawah probe berbentuk silinder pada
tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan
terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan
sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali dan hasil
pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel
benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel
pada suatu bahan.
(2) Uji derajat putih (Park 1994 dalam Chaijan et al. 2004)
Derajat putih sampel dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu
analisis warna secara objektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh
permukaan sampel yang diukur. Skala warna yang digunakan untuk mengukur
tingkatan dari lightness L* adalah hitam (0) sampai cerah/terang (100), a* adalah
merah (60) sampai hijau (-60) dan b* adalah kuning (60) sampai biru (-60). Bila
ΔL* bernilai positif, contoh lebih putih dibandingkan standar, sedangkan bila
bernilai negatif artinya contoh lebih gelap dibandingkan standar. Bila Δa* positif,
contoh lebih merah dibandingkan dengan standar, sedangkan bila bernilai negatif
artinya contoh lebih hijau dibandingkan standar. Bila Δb* bernilai positif, contoh
lebih kuning dibandingkan standar dan bila Δb* bernilai negatif artinya contoh
25
lebih biru dibandingkan standar. Nilai derajat putih atau whiteness dihitung
dengan rumus:
(3) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981)
Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu gel yang dilakukan
dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 3 mm. Potongan sampel tersebut
diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada
tidaknya keretakan pada produk. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut:
5 : Tidak retak bila dilipat dua kali
4 : Tidak retak bila dilipat satu kali
3 : Sedikit retak bila dilipat satu kali
2 : Retak bila dilipat satu kali
1 : Hancur bila ditekan jari
(4) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981)
Uji gigit ini merupakan taksiran secara obyektif dari seorang panelis
terhadap produk, panelis yang melakukan pengujian sebanyak 30 orang.
Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan
bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5 mm. Tingkat kualitas uji gigit
adalah sebagai berikut :
10 : Amat sangat kuat 5 : Agak lunak
9 : Sangat kuat 4 : Lunak
8 : Kuat 3 : Sangat lunak
7 : Agak kuat 2 : Amat sangat lunak
6 : Normal 1 : Hancur
(5) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Granada 2011)
Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel
sebanyak 0,3 gram diletakkan pada kertas saring kemudian dijepit dengan
carverpress, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama
5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman no 40. Luas area basah
Derajat putih atau whiteness (%) = 100-[(100-L*)2 + a*2 + b*2]1/2
26
yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih
luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air
dalam gel dan bakso yang terlepas) dapat dihitung sebagai berikut :
WHC dihitung dengan menggunakan rumus:
3.4.4 Analisis kimia
Analisis kimia yang dilakukan terhadap gel dan bakso ikan meliputi
analisis proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak) pH dan protein larut garam.
(1) Kadar air (AOAC 1995)
Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan
sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama
30 menit dengan suhu 105 0C, lalu didinginkan di dalam desikator selama
15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan kedalam
cawan kemudian dikeringkan dalam oven 105 0C selama 6 jam. Cawan
didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air dapat dilihat pada rumus sebagai berikut:
Keterangan : B = berat sampel (g)
B1 = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g)
B2 = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g)
Berat air (mg) =
WHC (%) =
Kadar air (%) = x 100%
% air bebas = Berat air x 100 % 300 mg
27
(2) Kadar abu (AOAC 1995)
Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil
pembakaran bahan organik pada suhu 600 oC. Cawan dibersihkan dan dikeringkan
dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 0C, lalu didinginkan dalam desikator
selama 15 menit dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan
diletakkan dalam cawan. Sampel dipanaskan di atas kompor listrik sampai tidak
berasap atau uap air hilang. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu
600 0C selama 8 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit,
setelah dingin cawan ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
(3) Kadar protein (AOAC 1995)
Penentuan kadar protein yaitu dengan mengukur kandungan nitrogen yang
ada di dalam bahan makanan menggunakan metode Kjeldahl. Tiga tahapan yang
dilakukan meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi.
1) Destruksi
Sampel ditimbang seberat 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam tabung
kjeltec, lalu ditambahkan satu butir kjeltab dan 15 ml H2SO4 pekat ditambahkan
secara perlahan ke dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas
dengan suhu 410 0C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna
hijau bening.
2) Destilasi
Tahap ini dimulai dari memindahkan sampel dari tabung kjeltec ke alat
destilasi kemudian mencuci tabung kjeltec dengan akuades lalu air tersebut
dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH pekat sampai
berwarna coklat kehitaman dan dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung
dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4% yang
mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 1 % dengan
perbandingan 2:1.
Kadar abu (%) = x 100%
28
3) Titrasi
Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna
merah muda yang pertama kalinya. Pembacaan volume titran kemudian
dilanjutkan dengan perhitungan kadar protein.
Perhitungan kadar protein dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
(4) Kadar lemak (AOAC 1995)
Contoh diekstrak dengan pelarut heksana, kemudian pelarut yang
digunakan diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh. Lemak tersebut kemudian
ditimbang dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan
metode ekstraksi soxhlet. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dihaluskan
ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam
alat ekstraksi soxhlet, lalu dialiri dengan air pendingin melalui kondensor. Pelarut
heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran
soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai
pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan
ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam
oven dengan suhu 105 0C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam
desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Berat residu dalam labu lemak
dinyatakan sebagai berat lemak. Kadar lemak dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
Kadar N (%) = (ml HCL – ml blanko) x N HCL x 14,007x fp x 100%
mg sampel
Kadar protein (%) = % nitrogen x faktor konversi (6,25)
Kadar lemak (%) = x 100%
Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu
29
(5) Kadar karbohidrat (by difference)
Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan
kadar lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan.
Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Kadar
karbohidrat dapat dihitung dengan mengunakan rumus:
(6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Eryanto 2006)
Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian
dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap
rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit pada suhu 10 oC.
Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat
ditampung dalam Erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 oC. Sebanyak 1 ml dianalisis
kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl.
Perhitungan kadar protein larut garam adalah:
Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel
B = ml titrasi HCl blangko
W = berat sampel (g)
FP = faktor pengenceran
(7) Nilai pH (Suzuki 1981)
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang
dinyalakan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades
dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan
mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer
pH 7 dibiarkan beberapa saat hingga stabil. Sampel sebanyak 5 g ditambahkan
akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan stirrer selama 2 menit.
Elektroda dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca
setelah menunjukkan angka stabil.
Kadar karbohidrat (%) = 100% - (%air + %abu +%protein + %lemak)
Kadar PLG (%) = x 100%
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan Daging Lumat
Ikan layaran yang akan diolah telah dilakukan uji organoleptik terlebih
dahulu untuk melihat tingkat kesegarannya. Uji organoleptik merupakan cara
pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai
mutu ikan hidup dan produk perikanan yang segar utuh. Ikan layaran yang
digunakan memiliki ciri-ciri bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-
abuan dan kornea agak keruh, insang mulai ada diskolorisasi, merah
kecoklatan, sedikit lendir dan tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh,
warna agak putih dan kurang transparan, sayatan daging sedikit kurang
cemerlang, spesifikasi jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang
dan dinding perut daging utuh, bau ikan netral, serta tekstur agak padat, agak
elastik bila ditekan dengan jari dan sulit menyobek daging dari tulang
belakang. Bau netral dan tekstur daging agak padat, agak elastik bila ditekan
dengan jari, sulit menyobek tulang daging dari belakang. Selanjutnya,
dilakukan preparasi, dipisahkan antara daging, tulang dan jeroan serta benda
asing lainnya. Daging dilumatkan dengan grender hingga menjadi daging
lumat. Satu ekor ikan layaran dengan berat 20 kg setelah dipreparasi terdiri
dari insang 2,36%, tulang 9,25%, sirip 5,09%, kepala 5,68%, kulit 8,23%,
jeroan 7,62%, daging samping 14,63% dan daging 44,49%. Rendemen
bagian-bagian tubuh dari ikan layaran disajikan dalam diagram lingkaran pada
Gambar 8.
44.49%
2.36%9.25%5.09%
5.68%8.23%
7.62%14.63%
2.65%DagingInsangTulangSiripKepalaKulitJeroanDaging sampingLain‐lain
Gambar 8 Rendemen bagian-bagian tubuh ikan layaran (Istiophorus sp.)
31
Dilakukan uji proksimat terhadap daging lumat untuk melihat komposisi
kimia daging ikan layaran. Nilai komposisi kimia daging lumat ikan layaran
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia daging lumat ikan layaran
Parameter (%) Daging lumat Kadar air 79,10±0,25 Kadar abu 1,09±0,15 Kadar protein 12,43±0,02 Kadar lemak 0,39±0,02 Kadar karbohidrat 6,98±0,39
Berdasarkan hasil uji proksimat daging lumat ikan layaran yaitu
kadar air sebesar 79,10%, kadar air ini tinggi. Kandungan air semua bahan
makanan berbeda-beda dan menentukan acceptability, kesegaran serta daya
tahan bahan itu. Banyaknya air dalam suatu bahan tidak dapat ditentukan dari
keadaan fisik bahan tersebut (Winarno 2008). Kadar abu sebesar 1,09%, kadar
abu ini rendah. Kadar abu berasal dari kandungan mineral yang terdapat pada
ikan tersebut. Kadar abu daging berhubungan erat dengan kadar air dan kadar
protein pada suatu jaringan bebas lemak. Kadar protein sebesar 12,43%, kadar
ini cukup tinggi, sedangkan kadar lemak sebesar 0,39%, kadar ini sangat
rendah. Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang terbaik
(Almatsier 2006). Kandungan protein erat sekali kaitannya dengan kandungan
lemak dan airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki
protein dalam jumlah besar (Adawyah 2008). Apabila kandungan lemak pada
ikan kurang dari 2% maka ikan tersebut termasuk dalam golongan leng
(golongan ikan tidak berlemak) (Shahidi dan Botta 1994). Kadar karbohidrat
sebesar 6,98%, kadar ini rendah karena bahan makanan seperti ikan sedikit
mengandung karbohidrat (Almatsier 2006). Kadar karbohidrat diperoleh
dengan cara perhitungan kasar atau Carbohydrate by Difference yang berarti
kandungan karbohidrat termasuk serat kasar bukan melalui analisis tetapi
melalui perhitungan (Winarno 2008).
32
4.2 Pembuatan Surimi
Surimi yang digunakan untuk membuat gel dan bakso terbuat dari
daging lumat sebanyak 4 kg. Surimi diproses dengan frekuensi pencucian dua
kali. Proses pencucian kedua dilakukan dengan menambahkan garam
sebanyak 0,3% untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol
aktomiosin (Astawan et al. 1996). Pencucian dilakukan menggunakan air
dengan perbandingan daging lumat dan air 1:3. Air yang digunakan yaitu
air mineral bermerk yang ada dipasaran. Kadar air adalah jumlah molekul air
tidak terikat yang terkandung dalam suatu produk. Total surimi yang
dihasilkan yaitu sebanyak 2,480 kg. Surimi yang dihasilkan kemudian
diuji kadar airnya. Kadar air surimi ikan layaran yaitu sebesar 76,24%. Kadar
air ini lebih rendah daripada kadar air ketika dalam bentuk daging lumat. Hal
ini dikarenakan pada proses pembuatan surimi dilakukan pengepresan untuk
menghilangkan air. Kadar air yang terdapat pada surimi akan mempengaruhi
kekuatan gel yang dihasilkan, pH, sejumlah garam yang ditambahkan, waktu
dan proses pemanasan (Utomo et al. 2004).
4.3 Rendemen
Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan
berat ikan utuh. Perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan
berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan makanan (Hadiwiiyoto 1993). Rendemen yang dianalisis meliputi
rendemen daging dan rendemen surimi. Rendemen daging lumat yang
dihasilkan yaitu sebesar 8.898 kg dari berat ikan utuh sebesar 20 kg.
Bobot akhir surimi yang dihasilkan yaitu sebesar 2,480 kg dari 4 kg
daging lumat. Nilai rendemen surimi dengan frekuensi pencucian dua kali
yaitu sebesar 62%. Nilai rendemen surimi ikan layaran ini semakin menurun
dengan semakin banyaknya frekuensi pencucian yang dilakukan. Setelah
mengalami poses pencucian maka akan menyebabkan semakin berkurangnya
rendemen karena semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air,
antara lain protein larut air, pigmen, lemak dan darah (Venugopal et al. 1994).
Semakin besar rendemen maka semakin tinggi pula nilai ekonomis bahan
tersebut.
33
4.4 Pembuatan Gel Ikan Layaran (Istiophorus sp.)
Pembuatan gel ikan ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik
dan kimia dari ikan layaran yang terbuat dari surimi dengan frekuensi
pencucian dua kali. Analisis yang dilakukan terhadap gel ikan yaitu analisis
karakteristik fisik yaitu analisis sensori, uji lipat, uji gigit, derajat putih,
kekuatan gel dan WHC (Water Holding Capacity) serta analisis karakteristik
kimia yaitu analisis proksimat (kadar air, lemak, protein, abu dan karbohidrat)
dan PLG (protein larut garam).
4.4.1 Karakteristik sensori
Analisis sensori dalam penelitian ini yaitu uji kesukaan (hedonik) yang
merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Metode uji ini digunakan untuk
mengukur tingkat kesukaan terhadap produk menggunakan lembar penilaian.
Pada uji ini, panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya
mengenai kesukaan atau ketidaksukaan, serta mengemukakan tingkat
kesukaan atau ketidaksukaan (Rahayu 2001). Nilai rata-rata hasil uji hedonik
gel ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Nilai rata-rata uji hedonik gel ikan layaran (Istiophorus sp.)
Parameter Gel ikan (rata-rata) Warna 6 Penampakan 6 Rasa 5 Tekstur 6 Aroma 5
Berdasarkan hasil uji hedonik gel ikan layaran dapat diketahui bahwa
nilai rata-rata untuk parameter warna, penampakan dan tekstur yaitu sebesar 6
yang berarti panelis agak suka, sedangkan parameter rasa dan aroma
sebesar 5, hal ini berarti gel ikan memiliki rasa dan aroma yang netral
menurut pendapat panelis.
4.4.1.1 Warna
Warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada
komoditas pangan dan hasil pertanian lainnya. Peranan itu sangat nyata pada
34
tiga hal yaitu daya tarik, tanda pengenal dan atribut mutu. Diantara sifat-sifat
produk pangan yang paling menarik perhatian pada konsumen dan paling
cepat pula memberi kesan disukai atau tidak adalah sifat warna
(Soekarto 1990). Rata-rata hasil uji hedonik gel ikan untuk parameter warna
yaitu sebesar 6 yang berarti panelis agak suka terhadap warna yang
dihasilkan. Warna yang dihasilkan oleh gel ikan diduga dipengaruhi oleh
surimi yang digunakan diproses dengan frekuensi pencucian dua kali sehingga
bahan-bahan larut air, lemak dan darah akan hilang. Menurut Suzuki (1981),
semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, zat-zat yang terlarut
tersebut semakin banyak dan mengakibatkan warna surimi akan semakin
bersih dan disukai panelis.
4.4.1.2 Penampakan
Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal
penerimaan konsumen karena penilaian awal dari suatu produk adalah
penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan. Meskipun penampakan
tidak menggunakan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak tetapi
penampakan mempengaruhi penerimaan konsumen (Soekarto 1985).
Penampak gel ikan layaran dengan menggunakan surimi frekuensi pencucian
dua kali memiliki nilai rata-rata parameter penampakan sebesar 6, hal ini
berarti bahwa panelis agak suka terhadap penampakan gel ikan. Penampakan
ini diduga dipengaruhi oleh surimi yang digunakan. Frekuensi pencucian pada
pembuatan surimi dapat meningkatkan kemampuan daging untuk membentuk
gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein
sarkoplasma yang menghambat pembentukan gel (Lee 1984).
4.4.1.3 Rasa
Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan suatu produk dapat
diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan
komponen rasa lain (Winarno 2008). Nilai rata-rata rasa gel ikan yaitu sebesar
5, hal ini berarti panelis berpendapat bahwa rasa gel ikan tersebut netral. Rasa
yang dihasilkan dari gel ikan diduga dipengaruhi oleh penambahan garam
35
sebesar 2,5% (b/b) serta dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam
pembuatan surimi. Frekuensi pencucian ketika pembuatan surimi adalah
untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga
memperbaiki flavor (Toyoda et al. 1992).
4.4.1.4 Tekstur
Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau
sentuhan. Tekstur merupakan karakteristik yang sangat penting bagi produk
gel ikan karena sifat elastisitas dan kekenyalannya. Tekstur meliputi keras,
halus, kasar, berminyak, dan lembab (Soekarto 1985). Nilai rata-rata tekstur
gel ikan yaitu sebesar 6, hal ini berarti bahwa panelis agak suka terhadap
tekstur gel ikan yang dihasilkan. Tekstur gel ikan yang dihasilkan diduga
dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi. Pencucian
dapat meningkatkan kekuatan gel. Frekuensi pencucian dua kali dapat
menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan
gel dan melarutkan protein miofibril sehingga membentuk sol aktomiosin
(Astawan et al. 1996).
4.4.1.5 Aroma
Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau
tidak enaknya makanan, bahkan aroma atau bau-bauan lebih kompleks dari
pada rasa dan kepekaan indera pembauan biasanya lebih tinggi dari indera
pencicipan, bahkan industri pangan menganggap sangat penting terhadap
uji bau karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian apakah produk
disukai atau tidak (Soekarto 1985). Nilai rata-rata aroma gel ikan yaitu
sebesar 5, hal ini berarti bahwa aroma gel ikan yang dihasilkan menurut
panelis yaitu netral. Pada proses pembuatan gel ikan hanya ditambahkan
garam, sehingga diduga aroma yang dihasilkan dipengaruhi oleh proses
pencucian surimi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Muhibuddin (2010),
bahwa pada proses pencucian surimi dapat meningkatkan kualitas aroma.
36
4.4.2 Karakteristik fisik
Gel ikan yang telah dihasilkan kemudian dilakukan analisis fisik yaitu
uji lipat (folding test), uji gigit (teeth cutting test), derajat putih, kekuatan gel
dan WHC (Water Holding Capacity). Hasil uji karakteristik fisik gel ikan
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil uji karakteristik fisik gel ikan layaran (Istiophorus sp.)
Parameter Gel ikan Uji lipat 3 Uji gigit 8 Derajat putih (%) 66,26±0,43 Kekuatan gel (gf) 2624,90±72,83 Water Holding Capacity (WHC) (%) 75,20±0,30
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui nilai uji karakteristik fisik gel
ikan layaran. Nilai rata-rata uji lipat gel ikan layaran yaitu 3, nilai rata-rata uji
gigit sebesar 8, derajat putih 66,26%, kekuatan gel sebesar 2624,90 gf dan
nilai WHC sebesar 75,20%.
4.4.2.1 Uji lipat
Uji lipat dilakukan terhadap produk untuk mengetahui kualitas gel
dengan menggunakan panelis melalui uji sensori. Uji lipat cocok untuk
membedakan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah, tetapi tidak bisa
membedakan antara gel yang bermutu baik dan bermutu sangat baik
(Lanier 1992). Rata-rata nilai uji lipat gel ikan yaitu 3, hal ini berarti gel ikan
sedikit retak bila dilipat satu kali. Uji lipat gel ikan ini diduga dipengaruhi
oleh proses pencucian yang dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin
pekatnya protein miofibril. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak),
maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Santoso et al. 1997).
4.4.2.2 Uji gigit
Uji gigit merupakan uji untuk mengukur tingkat elastisitas atau
kelentingan dari gel. Rata-rata nilai uji gigit dari gel ikan yaitu sebesar 8
dengan spesifikasi kuat. Hal ini diduga dipengaruhi oleh proses pencucian
yang dapat meningkatkan kekuatan gel sehingga berpengaruh terhadap nilai
37
uji gigit. Pembentukan gel atau gelasi dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain konsentrasi, pH, adanya komponen lain serta perlakuan panas ketika
pemasakan (Yulianti 2003).
4.4.2.3 Derajat putih
Semakin besar nilai derajat putih yang diperoleh maka warna yang
dihasilkan semakin mendekati standar. Derajat putih gel ikan yang dihasilkan
yaitu sebesar 66,26%. Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian
dalam pembuatan surimi. Semakin banyak frekuensi pencucian maka semakin
banyak pula komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein
sarkoplasma, pigmen, lemak dan darah (Reynolds et al. 2002).
4.4.2.4 Kekuatan gel
Kekuatan gel merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya
tekan yang diberikan. Umumnya dilakukan pada bahan pangan untuk
mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai kekuatan gel ikan yaitu
sebesar 2624,90 gram force (gf). Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi
pencucian dua kali yang memberikan pengaruh terhadap kekuatan gel ikan.
Secara umum kekuatan gel akan meningkat sampai dengan pencucian ke dua
karena fungsi dari konsentrasi protein miofibril sudah tercapai pada level
tertingginya sehingga proses pencucian selanjutnya tidak diperlukan untuk
meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda et al. 1992).
4.4.2.5 Water Holding Capacity (WHC)
Water Holding Capacity merupakan suatu nilai yang menunjukan
kemampuan protein daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal
dari dirinya maupun yang berasal dari luar yang ditambahkan. Gel ikan
memiliki nilai WHC sebesar 75,20%. Hal ini diduga dipengaruhi oleh
kandungan protein karena semakin meningkatnya kandungan protein maka
akan semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC pun
menigkat. WHC sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein dan
penggunaan garam (Kramlich 1971).
38
4.4.3 Karakteristik kimia
Tiap-tiap komoditas dibangun dari senyawa kimia. Zat-zat kimia yang
menyusun komoditas pangan dan hasil pertanian dapat digolongkan pada
komponen makro (penyusun utama) dan komponen mikro (penyusun atau
kandungan zat renik). Komponen makro merupakan zat-zat kimia struktural
yang terdiri dari zat-zat bermolekul besar yang menyusun bentuk sel atau
zat penyusun utama dari produk pangan. Komposisi kimia dari suatu
produk pangan segar maupun olahan yaitu komponen kimia alami serta
jumlahnya yang terkandung didalamnya. Gel ikan yang telah dihasilkan
kemudian dilakukan analisis karakteristik kimia yaitu analisis proksimat dan
protein larut garam (PLG). Nilai komposisi kimia dan protein larut garam
pada gel ikan layaran dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Nilai komposisi kimia dan protein larut garam gel ikan
Parameter (%) Gel ikan Kadar air 72,25±0,20 Kadar abu 2,59±0,01 Kadar protein 14,74±0,00 Kadar lemak 0,59±0,01 Kadar karbohidrat 9,81±0,20 Protein larut garam 2,79±0,03
Berdasarkan analisis proksimat dapat diketahui bahwa gel ikan
memiliki kadar air sebesar 72,25%, kadar abu 2,59%, kadar protein 14,74%,
kadar lemak 0,59% dan kadar karbohidrat sebesar 9,81%. Selain itu juga
dilakukan analisis protein larut garam yang bernilai 2,79%.
4.4.3.1 Analisis proksimat
Analisis proksimat yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis
kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat.
1) Kadar air
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air
dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita.
Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda,
baik itu bahan makanan hewani maupun nabati (Winarno 2008). Kadar air
39
dari gel ikan yaitu sebesar 72,25%. Kadar air ini mengalami penurunan
setelah diolah menjadi gel ikan. Kadar air pada gel ikan diduga dipengaruhi
oleh proses pemasakan dengan menggunakan suhu tinggi sehingga air dalam
bahan menguap.
2) Kadar abu
Abu merupakan zat anorganik yang tidak terbakar. Abu yang
terbentuk berwarna abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan
(Winarno 2008). Kadar abu dari gel ikan yaitu sebesar 2,59%. Pada
pembuatan gel ikan tidak ditambahkan bahan-bahan lain, diduga kadar abu
gel berasal dari kandungan mineral makro atau zat organik pada ikan yang
digunakan (Winarno 2008). Kadar abu yang rendah dipengaruhi oleh
frekuensi pencucian karena menyebabkan bahan-bahan inorganik menghilang.
3) Kadar protein
Protein ikan merupakan komponen terbesar setelah air dan merupakan
bagian yang sama pentingnya untuk tubuh. Kadar protein dari gel ikan sebesar
14,74%. Protein gel ikan tinggi, hal ini diduga dipengaruhi oleh bahan baku
serta menurunnya kadar air yang menyebabkan kadar lainnya meningkat yaitu
protein. Kandungan protein erat sekali kaitannya dengan kandungan lemak
dan airnya (Adawyah 2008). Bahan makanan hewani kaya akan protein
bermutu tinggi (Almatsier 2006).
4) Kadar lemak
Kadar lemak dari gel ikan yaitu sebesar 0,59%, kandungan lemak ini
rendah. Kadar lemak pada gel diduga dipengaruhi oleh kadar lemak
bahan baku yang digunakan mengandung lemak rendah serta faktor pencucian
pada proses pembuatan surimi yang dapat menghilangkan bahan-bahan
larut air, lemak dan darah (Toyoda et al. 1992).
5) Kadar karbohidrat (by difference)
Perhitungan Carbohydrate by Difference adalah penentuan
karbohidrat dalam bahan makanan secara kasar dan hasilnya ini biasanya
dicantumkan dalam daftar komposisi bahan makanan (Winarno 2008).
40
Kadar karbohidrat diperoleh dengan menghitung selisih dari empat komponen
yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar protein. Kadar karbohidrat
gel ikan yaitu sebesar 9,81%, kadar karbohidrat ini termasuk rendah. Bahan
makanan seperti ikan sedikit mengandung karbohidrat (Almatsier 2006).
4.4.3.2 Protein larut garam (PLG)
Protein larut garam ini bertanggung jawab terhadap kualitas surimi
dalam membentuk struktur tiga dimensi gel. Kadar PLG gel ikan yaitu sebesar
2,79%, kandungan PLG gel ikan diduga dipengaruhi oleh surimi yang dengan
frekuensi pencucian dua kali yang digunakan. Semakin banyak frekuensi
pencucian akan menurunkan protein larut garam pada surimi tersebut
(Toyoda et al. 1992).
4.5 Pembuatan Bakso Ikan Layaran (Istiophorus sp.)
Bakso ikan yang dihasilkan terbuat dari surimi dengan frekuensi
pencucian dua kali, kemudian dilakukan analisis karakteristik sensori, fisik
dan kimia terhadap bakso hasil penelitian, bakso merk X dan merk Y.
Selanjutnya, dilakukan pembandingan terhadap bakso hasil penelitian,
bakso komersial merk X dan merk Y.
4.5.1 Karakteristik sensori
Pengujian sensori merupakan cara pengujian menggunakan indera
manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk perikanan yang sudah
mengalami proses pengolahan. Pengujian sensori yang dilakukan bertujuan
untuk menentukan kualitas produk atau bahan makanan yang telah tersedia.
Parameter yang diuji yaitu meliputi parameter warna, rasa, aroma, tekstur dan
penampakan. Mutu sensori pangan adalah sifat produk atau komoditas yang
hanya dikenali atau dapat diukur dengan proses penginderaan yaitu
penglihatan dengan mata, penciuman dengan hidung, pencicipan dengan
rongga mulut, perabaan dengan ujung jari tangan atau pendengaran dengan
telinga. Mutu organoleptik mempunyai peranan dan makna yang sangat besar
dalam penilaian mutu produk (Soekarto 1990). Nilai rata-rata hasil
uji hedonik bakso ikan hasil penelitian, bakso komersial merk X dan Y dapat
dilihat pada Tabel 8.
41
Tabel 8 Nilai rata-rata hasil uji hedonik bakso ikan
Parameter Bakso hasil penelitian
Bakso komersial merk
X
Bakso komersial merk
Y Warna 6 5 7 Penampakan 6 4 7 Rasa 5 4 7 Tekstur 5 4 7 Aroma 6 4 7
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui nilai rata-rata hasil uji hedonik
terhadap bakso ikan hasil penelitian, bakso ikan komersial merk X dan merk
Y. Bakso ikan hasil penelitian memiliki nilai rata-rata 6 untuk parameter
warna, penampakan dan aroma, sedangkan parameter rasa dan tekstur bernilai
5. Bakso ikan merk X memiliki nilai rata-rata 5 untuk parameter warna,
sedangkan parameter penampakan, rasa, aroma dan tekstur bernilai rata-rata
4. Bakso ikan merk Y memiliki nilai rata-rata uji hedonik 7 untuk semua
parameter.
4.5.1.1 Warna
Warna mempunyai banyak arti dan peranan pada produk pangan,
diantaranya sebagai perinci jenis, tanda-tanda pematangan buah, tanda-tanda
kerusakan, petunjuk tingkat mutu, pedoman proses pengolahan dan masih
banyak lagi peranannya (Soekarto 1990). Berdasarkan hasil uji hedonik dapat
diketahui bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap warna bakso hasil
penelitian yaitu 6 yang berarti panelis agak suka terhadap warna bakso,
sedangkan nilai rata-rata terhadap warna bakso merk X sebesar 5 yang berarti
warna bakso netral menurut panelis dan bakso merk Y sebesar 7 yang berarti
panelis suka terhadap warna bakso.
Kriteria warna bakso ikan yaitu putih merata tanpa warna asing lain
(Wibowo 1995). Bakso hasil penelitian ini berwarna putih tanpa warna asing
lainnya, normal dan tidak menggunakan bahan pewarna alami maupun
sintetik, diduga warna bakso ikan yang dihasilkan dipengaruhi oleh frekuensi
pencucian pada surimi yang digunakan. Warna bakso hasil penelitian
telah sesuai dengan syarat mutu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995. Nilai
42
rata-rata uji hedonik warna bakso hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan
dengan bakso komersial merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y.
Bahan baku yang digunakan pada bakso merk X berupa daging lumat dengan
bahan pengisi tapioka, sedangkan merk Y menggunakan surimi dengan bahan
pengisi tapioka serta menggunakan zat aditif makanan yaitu sekuestran dan
diduga adanya penambahan STPP (Sodium Tripolyphosphate). Hal ini diduga
yang mengakibatkan nilai rata-rata parameter warna bakso merk Y lebih
tinggi dibandingkan bakso hasil penelitian dan bakso merk X. Sekuestran atau
zat pengikat logam merupakan bahan penstabil yang digunakan dalam
berbagai pengolahan bahan makanan, senyawa ini dapat membantu
menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Menurut
Wulandari (2007), warna bakso dipengaruhi oleh bahan pengisi yang
ditambahkan. Semakin banyak frekuensi pencucian maka semakin banyak
komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma,
pigmen, lemak dan darah (Reynolds et al. 2002). Sams (2001), berpendapat
bahwa STPP dapat memelihara warna.
4.5.1.2 Rasa
Rasa lebih banyak melibatkan panca indera lidah. Penginderaan
cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis
dan pahit. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup
cecapan yang terletak pada papila yaitu bagian noda merah jingga pada lidah
(Winarno 2008). Berdasarkan hasil uji hedonik dapat diketahui bahwa
rata-rata penilaian terhadap rasa bakso ikan hasil penelitian yaitu 5 yang
berarti netral, sedangkan nilai rata-rata penilaian panelis terhadap rasa
bakso komersial merk X sebesar 4 yang berarti agak tidak suka dan
bakso komersial merk Y sebesar 7 yang berarti suka.
Kriteria rasa bakso ikan yaitu enak, lezat, rasa ikan dominan sesuai
jenis ikan dan rasa bumbu menonjol tetapi tidak berlebihan, tidak terdapat
rasa asing yang mengganggu dan tidak terlalu asin (Wibowo 1995). Nilai rata-
rata uji hedonik pada parameter rasa, bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi
dari bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini diduga
dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang ditambahkan pada bakso ikan. Bumbu-
43
bumbu yang digunakan pada adonan bakso ikan layaran yaitu garam 2,5%,
bawang merah goreng 2,5%, bawang putih 4% dan lada 1%. Pada adonan
bakso ikan merk X selain menggunakan bumbu-bumbu juga ditambahkan
telur dan MSG (Monosodium Glutamate), sedangkan pada adonan bakso
merk Y ditambahkan gula, penguat rasa (Mononatrium Glutamate) dan
sekuestran fosfat serta diduga adanya penambahan STPP yang dapat
meningkatkan flavor daging. Penambahan penguat rasa dan sekuestran fosfat
pada bakso merk Y diduga mengakibatkan nilai rata-rata parameter rasa bakso
merk Y lebih tinggi dibandingkan bakso hasil penelitian dan bakso merk X.
Sekuestran atau zat pengikat logam merupakan bahan penstabil yang
digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan, senyawa ini dapat
menstabilkan warna, cita rasa dan tekstur (Winarno 2008). Menurut Tarwotjo
(1998), bumbu selain memberi rasa, bau atau aroma pada masakan, bumbu itu
sendiri mempunyai pengaruh sebagai bahan pengawet terhadap makanan.
Garam yang digunakan sebanyak 2-3% memiliki fungsi untuk memperbaiki
cita rasa (Widyaningsih dan Murtini 2006). Gula atau pemanis berfungsi
untuk meningkatkan cita rasa dan aroma makanan, memperbaiki sifat-sifat
fisik, sebagai pengawet serta memperbaiki sifat-sifat kimia (Winarno 2008).
4.5.1.3 Aroma
Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan
tersebut. Aroma atau bau dapat dikenali bila berbentuk uap, umumnya bau
yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan
atau campuran empat bahan utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus
(Winarno 2008). Berdasarkan hasil uji hedonik dapat diketahui bahwa nilai
rata-rata parameter aroma bakso ikan hasil penelitian yaitu 6 yang berarti
agak suka, sedangkan nilai rata-rata penilaian terhadap aroma bakso
komersial merk X sebesar 4 yang berarti agak tidak suka dan bakso komersial
merk Y sebesar 7 yang berarti suka.
Kriteria aroma bakso ikan yaitu bau khas ikan segar rebus dominan
sesuai jenis ikan dan bau bumbu tajam, tidak terdapat bau amis, tengik,
masam, basi atau busuk (Wibowo 1995). Aroma bakso ikan hasil penelitian
yaitu normal dan khas ikan, hal ini sesuai dengan SNI 01-3819-1995 tentang
44
syarat mutu bakso ikan. Nilai rata-rata parameter aroma bakso ikan
hasil penlitian lebih tinggi dari pada bakso merk X, namun lebih rendah dari
bakso merk Y. Aroma bakso ikan dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam
pembuatan surimi dan komposisi bumbu yang digunakan, serta adanya
penambahan gula pada adonan bakso merk Y. Tujuan dari proses pencucian
adalah untuk menghilangkan bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga
memperbaiki warna dan flavor (Toyoda et al. 1992). Menurut Tarwotjo
(1998), bumbu memberi rasa, bau ataun aroma pada masakan. Gula atau
pemanis berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma makanan,
memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet serta memperbaiki sifat-sifat
kimia (Winarno 2008).
4.5.1.4 Tekstur
Tekstur adalah halus atau tidaknya suatu irisan pada saat disentuh
dengan jari atau indera pengecap oleh panelis. Tekstur makanan dapat
dievaluasi dengan uji mekanika atau dengan analisis secara penginderaan
menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis. Berdasarkan hasil uji
hedonik dapat diketahui bahwa rata-rata penilaian terhadap tekstur bakso ikan
hasil penelitian yaitu 5 yang berarti netral, sedangkan nilai rata-rata penilaian
terhadap tekstur bakso komersial merk X sebesar 4 yang berarti agak tidak
suka dan bakso komersial merk Y sebesar 7 yang berarti suka.
Kriteria tekstur bakso ikan yaitu kompak, tidak liat, elastis, tidak ada
serat daging, tanpa duri, dan tulang, tidak lembek, tidak basah dan berair serta
tidak rapuh (Wibowo 1995). Tekstur bakso ikan hasil penelitian yaitu kenyal
dan sesui dengan SNI 01-3819-1995 tentang syarat mutu bakso ikan.
Nilai rata-rata parameter tekstur bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi
dibandingkan bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini
diduga dipengaruhi oleh surimi yang diproses dengan frekuensi pencucian
dua kali, konsentrasi tapioka yang digunakan serta adanya penambahan
sekuestran fosfat pada bakso merk Y. Pembentukan tekstur yang kompak
dapat dipengaruhi oleh proses pencucian. Semakin banyak frekuensi
pencucian menyebabkan tekstur akan semakin baik karena dengan pencucian
dapat meningkatkan kekuatan gel, frekuensi pencucian dua kali dapat
45
menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan
gel dan melarutkan protein miofibril sehingga membentuk sol aktomiosin
(Astawan et al. 1996). Sekuestran fosfat atau zat pengikat logam merupakan
bahan penstabil yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan,
dapat megikat logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat
mengalahkan sifat dan pengaruh jelek logam tersebut dalam bahan dengan
demikian senyawa ini dapat membantu menstabilkan warna, cita rasa dan
tekstur (Winarno 2008). Menurut Handershoot (1970), tepung tapioka
memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dan pati memegang peranan
penting dalam menentukan tekstur makanan.
4.5.1.5 Penampakan
Penampakan merupakan karakteristik utama yang dinilai oleh
konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan baik
atau disukai, maka konsumen melihat karakteristik lainnya. Penampakan
mempengaruhi penerimaan konsumen meskipun tidak menggunakan
tingkat kesukaan konsumen secara mutlak (Soekarto 1985). Berdasarkan
hasil uji hedonik dapat diketahui bahwa nilai rata-rata penampakan bakso
hasil penelitian yaitu 6 yang berarti agak suka, sedangkan nilai rata-rata
terhadap penampakan bakso komersial merk X sebesar 4 yang berarti
agak tidak suka dan bakso komersial merk Y sebesar 7 yang berarti suka.
Kriteria penampakan bakso ikan menurut Wibowo (1995), yaitu
bentuk halus, berukuran seragam, bersih, cemerlang dan tidak kusam.
Penampakan bakso ikan hasil penelitian yaitu memiliki bentuk yang
agak kasar, bersih, tidak kusam serta berukuran seragam karena proses
pencetakan dilakukan oleh seorang karyawan yang sudah ahli dan telah lama
bekerja di pabrik bakso ikan. Nilai rata-rata parameter penampakan bakso
hasil penelitian lebih tinggi dari bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso
merk Y. Hal ini diduga dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam
pembuatan surimi serta penambahan gula pada adonan bakso merk Y.
Menurut Lee (1984), proses pencucian dalam pembuatan surimi dapat
meningkatkan kemampuan daging untuk membentuk gel dengan
meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma
46
yang menghambat pembentukan gel. Gula atau pemanis berfungsi untuk
meningkatkan cita rasa dan aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai
pengawet serta memperbaiki sifat-sifat kimia (Winarno 2008).
4.5.2 Karakteristik fisik
Sifat fisik merupakan sifat-sifat yang dapat diukur dengan alat-alat
tertentu.Pengujian ini dilakukan untuk menentukan kualitas elastisitas produk
atau bahan makanan yang telah tersedia (Soekarto 1990). Pengujian dilakukan
terhadap bakso hasil penelitian, bakso merk X dan bakso merk Y yang berupa
uji karakteristik fisik yaitu uji lipat, uji gigit, derajat putih, kekuataan gel dan
WHC (Water Holding Capacity). Hasil uji karakteristik fisik bakso
hasil penelitian, bakso komersial merk X dan bakso komersial merk Y dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil uji karakteristik fisik bakso ikan
Parameter Bakso hasil penelitian
Bakso komersial merk
X
Bakso komersial merk
Y Uji lipat 3 2 4 Uji gigit 6 5 8 Derajat putih (%) 66,78±0,01 61,17±0,00 73,44±0,03 Kekuatan gel (gf) 916,25±31,61 2219,20±68,02 1171,85±24,11 WHC (%) 67,42±3,28 63,28±1,66 60,96±0,74
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui nilai rata-rata uji lipat bakso hasil
penelitian, bakso merk X dan merk Y berturut-turut yaitu 3, 2 dan 5. Nilai
rata-rata uji gigit berturut-turut yaitu 6,5 dan 7. Nilai derajat putih berturut-
turut 66,78%, 61,17% dan 73,44%. Nilai kekuatan gel berturut-turut yaitu
916,25 gf, 2219,20 gf dan 1171,85 gf. Nilai WHC berturut-turut sebesar
67,42%, 63,28% dan 60,96%.
4.5.2.1 Uji lipat
Uji lipat merupakan salah satu pengujian sensori awal yang bertujuan
untuk menentukan serta memastikan kekuatan gel dan elastisitas surimi oleh
para panelis (Shaviklo 2006). Berdasarakan hasil uji lipat dapat diketahui
bahwa bakso hasil penelitian memiliki nilai rata-rata uji lipat sebesar 3 yang
47
berarti sedikit retak bila dilipat satu kali, sedangkan bakso komersial merk X
sebesar 2 yang berarti retak bila dilipat satu kali dan bakso komersial merk Y
sebesar 4 yang berarti tidak retak bila dilipat satu kali.
Nilai rata-rata uji lipat bakso hasil penelitian lebih tinggi daripada
bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini diduga
dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi dan sekuestran
fosfat atau zat aditif makanan serta penambahan gula pada adonan bakso
merk Y, sedangkan pada adonan bakso hasil penelitian tidak menggunakan
gula dan zat aditif makanan. Sekuestran merupakan bahan penstabil, dapat
mengalahkan sifat dan pengaruh jelek logam dalam bahan, sedangkan gula
dapat memperbaiki sifat-sifat fisik makanan (Winarno 2008). Semakin baik
hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun
semakin baik (Santoso et al. 1997). Uji lipat dapat dikaitkan dengan
kemampuan elastisitas produk.
4.5.2.2 Uji gigit
Uji gigit merupakan salah satu pengujian sensori awal yang bertujuan
untuk mengevaluasi resiliensi dan elastisitas surimi oleh para panelis
(Shaviklo 2006). Berdasarkan hasil uji gigit bakso hasil penelitian memiliki
nilai rata-rata sebesar 6 yang berarti normal, sedangkan bakso komersial
merk X sebesar 5 yang berarti agak lunak dan bakso komersial merk Y
sebesar 8 yang berarti kuat.
Nilai rata-rata uji gigit bakso hasil penelitian lebih tinggi daripada
bakso merk X, namun lebih rendah dari bakso merk Y. Hal ini diduga
dipengaruhi oleh frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi karena
meningkatnya kekuatan gel juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit. Nilai
kekuatan gel yang tinggi berhubungan dengan meningkatknya komponen
protein, rendahnya komponen lemak serta konsentrasi penambahan air
(Huda et al. 2000).
4.5.2.3 Derajat putih
Mutu bakso yang baik juga ditentukan oleh derajat putihnya. Bakso
yang baik diharapkan memiliki warna putih merata dan bebas dari
48
pengotornya. Nilai derajat putih bakso hasil penelitian yaitu sebesar 66,78%,
sedangkan bakso komersial merk X sebesar 61,17% dan bakso komersial
merk Y sebesar 73,44%. Nilai derajat putih tertinggi yaitu pada bakso
merk Y, sedangkan yang terendah yaitu bakso merk X. Hal ini diduga derajat
putih bakso dipengaruhi daging ikan yang digunakan dan frekuensi pencucian
dalam pembuatan surimi. Tujuan dari pencucian adalah untuk menghilangkan
bahan-bahan larut air, lemak dan darah sehingga memperbaiki warna, flavor
serta meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda et al. 1992). Menurut Suzuki
(1981), semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, zat-zat yang
terlarut tersebut semakin banyak dan mengakibatkan warna surimi akan
semakin bersih dan disukai panelis.
4.5.2.4 Kekuatan gel
Kekuatan gel diklasifikasikan berdasarkan pengukuran kekerasan dan
pengukuran daya tahan pecah gel. Nilai kekuatan gel dari bakso ikan hasil
penelitian yaitu sebesar 916,25 gf, bakso merk X sebesar 2219,20 gf dan
bakso merk Y sebesar 1171,85 gf. Nilai kekuatan gel tertinggi yaitu pada
bakso merk X, sedangkan nilai kekuatan gel terendah yaitu pada bakso hasil
penelitian. Hal ini diduga dipengaruhi oleh adanya penambahan STPP
(Sodium Tripolyphosphate) pada bakso komersil merk X dan Y. Menurunnya
kualitas gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Semakin
banyak frekuensi pencucian maka konsentrasi protein larut garam pun akan
menurun, sehingga kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut
menurun (Reynolds et al. 2002). STPP dapat meningkatkan protein miosin
yang merupakan hasil dari resolusi aktomiosin dalam miosin dan aktin
(Cross dan Overby 1988).
4.5.2.5 Water Holding Capacity (WHC)
Water Holding Capacity (WHC) atau daya ikat air merupakan
kemampuan daging untuk mengikat air atau cairan baik yang berasal dari
dirinya maupun yang berasal dari luar (Foegeding et al. 1996). Faktor-faktor
yang mempengaruhi nilai WHC antara lain jenis bahan baku, bahan
tambahan, lama penyimpanan, penanganan dan pengolahan bahan baku
49
(Huda et al. 2000). Nilai WHC bakso hasil penelitian yaitu sebesar 67,42%,
sedangkan bakso merk X sebesar 63,28% dan bakso merk Y sebesar 60,96%.
Nilai WHC tertinggi yaitu bakso hasil penelitian. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh komposisi protein ikan. Semakin tinggi kandungan protein maka akan
semakin banyak air yang terikat dan mengakibatkan nilai WHC meningkat.
WHC sangat dipengaruhi oleh kandungan air, protein, dan penggunaan
garam. Gugus polar pada protein akan berinteraksi dengan ion hidrogen dari
air yang bersifat polar pula (Kramlich 1971).
4.5.3 Karakteristik kimia
Bahan pangan dan hasil pertanian mengandung zat-zat kimia yang
dengan komposisi kimia dan susunan tertentu membangun bentuk produk dan
menjadikan produk tersebut mempunyai sifat-sifat khas. Komposisi kimia
dapat ditinjau dari berbagai aspek yang berkaitan dengan mutu gizi, bergizi
dan bersifat pengolahan, tak bergizi dan bersifat pengolahan, struktural, toxin
(beracun) (Soekarto 1990). Nilai komposisi kimia, protein larut garam dan pH
bakso hasil penelitian, bakso komersial merk X dan bakso komersial merk Y
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Nilai komposisi kimia, protein larut garam, pH bakso ikan
Parameter Bakso hasil penelitian
Bakso komersial merk X
Bakso komersial merk Y
Kadar air (%) 66,73±0,09 59,44±0,16 73,80±0,05 Kadar abu (%) 1,19±0,01 2,27±0,12 2,16±0,00 Kadar protein (%) 11,68±0,17 5,01±0,00 7,88±0,01 Kadar lemak (%) 3,17±0,02 4,02±0,13 0,85±0,02 Kadar karbohidat(%) 17,21±0,05 29,24±0,09 15,31±0,01 Protein larut garam (%) 2,72±0,00 3,89±0,02 0,37±0,00 pH 6,57±0,01 5,63±0,02 6,62±0,01
Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui kandungan gizi dari bakso ikan
layaran hasil penelitian, bakso ikan komersial merk X dan merk Y berturut-
turut yaitu kadar air sebesar 66,73%, 59,44% dan 73,80%, kadar abu sebesar
1,19%, 2,27% dan 2,16%, kadar protein sebesar 11,68%, 5,01% dan 7,88%,
kadar lemak sebesar 3,17%, 4,02% dan 0,86%, serta kadar karbohidrat
50
sebesar 17,21%, 29,24% dan 15,31%. Selain itu, dilakukan uji PLG dan pH.
Nilai PLG bakso hasil penelitian sebesar 2,72%, bakso merk X sebesar 3,89%
dan bakso merk Y sebesar 0,37%. Nilai pH bakso hasil penelitian, bakso
merk X dan bakso merk Y berturut-turut sebesar 6,57, 5,63, dan 6,62.
4.5.3.1 Analisis proksimat
Kadar proksimat merupakan gambaran nilai gizi suatu produk
makanan, dimana semakin baik kadar gizi suatu bahan maka semakin baik
bagi konsumen. Kadar proksimat terdiri atas kadar air, abu, protein, lemak,
serta karbohidrat.
1) Kadar air
Kadar air merupakan komponen utama bahan makanan serta faktor
yang besar pengaruhnya terhadap acceptability, kesegaran dan daya tahan
bahan itu. Sebagian besar perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam
media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri
(Winarno 2008). Kadar air bakso ikan hasil penelitian sebesar 66,73%. Kadar
air bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi dari pada kadar air bakso merk X,
namun lebih rendah dari kadar air bakso merk Y. Kadar air bakso hasil
penelitian lebih rendah dibandingkan kadar air ketika dalam bentuk daging
lumat dan surimi. Hal ini diduga karena proses pemanasan dan adanya
penambahan pati. Proses pemanasan akan mengakibatkan air dalam bahan
akan mengalami penguapan. Semakin tinggi komposisi pati yang digunakan
maka semakin rendah kadar air, hal ini dikarenakan tepung berfungsi sebagai
bahan pengikat yang dapat meningkatkan daya ikat air, dimana tepung akan
mengikat air yang berada dalam matriks daging sehingga kada air bakso
semakin menurun.
Kadar air bakso ikan hasil penelitian sesuai dengan syarat mutu bakso
ikan yaitu tidak melebihi batas maksimum sebesar 80% (BSN 1995).
Bahan makanan yang mengadung pati umumnya mengalami penurunan kadar
air, penurunan kadar air akibat mekanisme interaksi pati dan protein sehingga
air tidak dapat diikat sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya
mengikat air terpakai untuk interaksi pati dan protein (Manullang et al. 1995).
51
2) Kadar abu
Bahan makanan sebagian besar terdiri dari bahan organik dan air.
Dalam proses pembakaran sampai suhu 600 0C bahan organik mudah
terbakar, sedangkan zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik yang tidak
terbakar disebut abu. Abu yang terbentuk berwarna abu-abu, berpartikel halus
dan mudah dilarutkan (Winarno 1997). Kadar abu bakso hasil penelitian yaitu
sebesar 1,19%. Kadar abu bakso hasil penelitian memiliki nilai lebih rendah
dibandingkan bakso merk X dan Y. Rendahnya kadar abu ini diduga
disebabkan oleh proses pencucian yang dilakukan karena pencucian
menyebabkan bahan-bahan inorganik menghilang. Kadar abu berhubungan
erat dengan kadar air dan kadar protein pada suatu jaringan bebas lemak.
Mineral yang tidak larut berasosiasi dengan protein karena mineral terutama
berasosiasi dengan bagian non lemak, daging tak berlemak biasanya memiliki
kandungan mineral atau abu yang tinggi (Granada 2011). Kadar abu bakso
ikan hasil penelitian sesuai dengan syarat mutu bakso ikan menurut
SNI 01-3819-1995 yaitu tidak melebihi batas maksimum 3% (BSN 1995).
3) Kadar protein
Protein merupakan komponen terpenting dalam produk bakso ikan.
Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan
makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah
kadar nitrogennya. Kadar protein bakso hasil penelitian sebesar 11,68%.
Kadar protein bakso ikan hasil penelitian memiliki nilai tertinggi
dibandingkan kadar protein bakso merk X dan Y. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh jenis ikan yang digunakan karena daging ikan layaran yang digunakan
memiliki kadar protein yang tinggi serta adanya penambahan tepung tapioka.
Tingginya kadar potein juga dipengaruhi oleh bahan pengikat yang
ditambahkan pada bakso karena persentase daging surimi yang digunakan
lebih tinggi daripada persentase jumlah tepung. Kadar protein bakso hasil
penelitian sesuai dengan syarat mutu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995
yaitu kadar protein minimal 9% (BSN 1995).
52
4) Kadar lemak
Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan
yang berbeda-beda (Winarno 2008). Kadar lemak bakso ikan hasil penelitian
sebesar 3,17%. Kadar lemak bakso ikan hasil penelitian lebih tinggi dari kadar
lemak bakso merk Y, namun memiliki nilai lebih rendah dari bakso merk X.
Kadar lemak mengalami peningkatan diduga dipengaruhi oleh adanya
penambahan minyak dalam adonan bakso hasil penelitian. Minyak goreng
berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai
kalori bahan pangan (Winarno 2008). Kadar lemak bakso hasil penelitian
tidak sesuai dengan syarat mutu bakso ikan menurut SNI 01-3819-1995 yaitu
maksimal 1% (BSN 1995).
5) Kadar karbohidrat (by difference)
Karbohidrat diperoleh dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari,
terutama bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Penentuan
kadar karbohidrat dalam bahan makanan yaitu secara kasar melalui
perhitungan Carbohydrate by Difference dan hasilnya biasanya dicantumkan
dalam daftar komposisi bahan makanan (Winarno 2008). Kadar karbohidrat
diperoleh dengan menghitung selisih dari empat komponen yaitu kadar air,
kadar abu, kadar lemak dan kadar protein. Kadar karbohidrat bakso hasil
penelitian sebesar 17,21%. Kadar karbohidrat bakso hasil penelitian
lebih tinggi dari bakso merk Y, namun lebih rendah dari bakso merk X.
Diduga kadar karbohidrat dipengaruhi oleh tepung tapioka yang ditambahkan.
Nilai kadar air dan kadar protein pada bakso hasil penelitian mengalami
penurunan, sehingga kadar lemak dan kadar karbohidrat pada bakso akan
meningkat. Pati adalah bentuk simpanan karbohidrat berupa polimer glukosa
yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik (Almatsier 2006). Menurut
Manullang et al. (1995), bahan makanan yang mengandung pati umumnya
mengalami penurunan kadar air. Penurunan kadar air akibat mekanisme
interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna
karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk
interaksi pati dan protein ikan.
53
4.5.3.2 Derajat keasaman (pH)
Perubahan nilai pH ikan tergantung spesiesnya sehingga nilai pH tidak
menjadi kriteria yang pasti untuk mendeteksi kesegaran dan kualitas daging
ikan dan olahannya. Derajat keasaman (pH) adalah salah satu faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan dan kekuatan gel dari surimi
(Park dan Lin 2005). Nilai pH bakso hasil penelitian sebesar 6,57. Nilai ini
lebih rendah dari bakso merk Y dan memiliki nilai lebih tinggi dari bakso
merk X. Menurut Thawornchinsombut dan Park (2004), kekuatan gel tinggi
apabila pH daging berkisar antara 6-7, hal ini dikarenakan protein miosin
mudah larut pada pH tersebut. Nilai pH lebih dari 7 dapat melemahkan gel
karena hidrasi protein. Nilai pH kurang dari 6 menyebabkan ketidak stabilan
protein miofibril dalam daging dan mengindikasikan penurunan kemampuan
pembentukan gel (Park dan Lin 2005).
4.5.3.3 Protein larut garam (PLG)
Protein larut garam yaitu protein miofibril yang terdiri dari aktin,
miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Pengukuran
kadar protein larut garam (myofibril) dilakukan untuk mengetahui kandungan
protein miofibril dalam surimi yang berperan dalam pembentukan gel yang
diakibatkan oleh terjadinya agregasi antara aktin dan miosin pada saat
diekstrak (Suzuki 1981). Nilai PLG bakso hasil penelitian sebesar 2,72%.
Nilai PLG bakso hasil penelitian lebih tinggi dari bakso merk Y, namun
memiliki nilai lebih rendah dari bakso merk X. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh frekuensi pencucian. Pernyataan ini sesuai dengan Toyoda et al. (1992),
yaitu semakin banyak frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi maka
akan menurunkan protein larut garam pada surimi tersebut.
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Simpulan hasil penelitian gel dan bakso dari surimi ikan layaran
(Istiophrus sp.) frekuensi pencucian dua kali yaitu:
1) Gel memiliki karakteristik sensori yaitu parameter warna, penampakan dan
tekstur bernilai 6, parameter rasa dan aroma bernilai 5. Karakteristik fisik
yaitu uji lipat dan uji gigit yang bernilai 3 dan 8, derajat putih, WHC dan
kekuatan gel sebesar 66,26%, 75,20%, 2624,90 gf. Karakteristik kimia yaitu
kadar air, abu, protein, lemak dan protein larut garam sebesar 72,25%, 2,59%,
14,74%, 0,59% dan 2,79%.
2) Bakso memiliki karakteristik sensori yaitu parameter warna, penampakan dan
aroma bernilai 6, parameter rasa dan tekstur bernilai 5. Karakteristik fisik
yaitu uji lipat dan uji gigit yang bernilai 3 dan 6, derajat putih, WHC dan
kekuatan gel sebesar 66,78%, 6,42% dan 916,25 gf. Karakteristik kimia yaitu
kadar air, abu, protein, lemak, protein larut garam dan pH sebesar 66,73%,
1,19%, 11,68%, 3,17%, 2,72% dan 6,57.
3) Bakso hasil penelitian memiliki nilai karakteristik sensori lebih tinggi dari
bakso merk X namun lebih rendah dari bakso merk Y. Nilai karakteristik fisik
secara umum bakso hasil penelitian lebih tinggi dari bakso ikan merk X dan Y
(kecuali nilai kekuatan gel). Nilai karakteristik kimia secara umum bakso
hasil penelitian berada diantara bakso komersial merk X dan merk Y
(kecuali komposisi protein dan abu).
5.2 Saran
Saran dari penelitian ini adalah diperlukan formulasi bumbu untuk
menghasilkan bakso yang disukai konsumen berdasarkan nilai organoleptiknya
serta dapat bernilai gizi baik. Serta perlu dilakukan penelitian mengenai
perbedaan cara penyimpanan bakso terhadap karakteristik fisika dan kimianya.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2008. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Afriwanty MD. 2008. Mempelajari pengaruh penambahan tepung rumput laut (Kappaphycus alvarezii) terhadap karakteristik fisik surimi ikan nila (Oreochromis sp.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Agustin AT dan Mewengkang HW. 2008. Keberadaan Staphylococcus sp. pada bakso ikan beku yang disimpan pada suhu beku dan suhu ruang. Pacific Journal 2 (2) : 91-93.
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official method of analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Virginia USA: Association of Official Analytical Chemists,Inc.
Astawan M, Mita W, Joko S dan Siti S. 1996. Pemanfaatan ikan gurami (Osphronemus gouramy Lac.) dalam pembuatan gel ikan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 7 (1): 1-7.
Astuti EF. 2009. Pengaruh jenis tepung dan cara pemasakan terhadap mutu bakso dari surimi ikan hasil tangkap sampingan (HTS) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bakar A dan Usmiati S. 2007. Teknologi Pengolahan Daging. Bogor; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
[BBPPP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2009. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31 (6): 13-14.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1994. Tepung Tapioka. SNI 01-3451-1994. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Bakso Ikan. SNI 01-3819-1995. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wooton M. 1978. A Course Manual. Dalam : Food Science, Penerjemah; H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Chaijan M, Benjakul S, Visessanguan, Fautsman C. 2004. Characteristics and gel properties of muscle from sardine (Sardinella gibbosa) and mackerel (Rastralliger kanarguta) caught in Thailand. Food Research International 37: 1021-1030.
Chairita, Hardjito L, Santoso J, Santoso. 2009. Karakteristik bakso ikan dari campuran surimi ikan layang (Decapterus sp.) dan ikan kakap merah (Lutjanus sp.) pada penyimpanan suhu dingin. Jurnal Pengolahan Hasil perikanan Indonesia 8 (1):46-58.
56
Cross HR dan Overby AJ. 1988. Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Sci, Publ.B.V.Amsterdam.
Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UI-Press.
Dewi YS. 2005. Karakteristik fisik burger daging lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan penambahan bahan pengikat [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Djazuli N, Wahyuni M, Monintja D, Purbayanto A. 2009. Modifikasi teknologi pengolahan surimi dalam pemanfaatan “by-catch” pukat udang di laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 7 (1): 17-30.
Eryanto I. 2006. Karakteristik surimi fillet ikan nila (Oreochromis niloticus) yang disimpan pada suhu dingin [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Foegeding EA, Lanier TC, Hultin HO. 1996. Characteristics of edible muscle tissues. Dalam Fennema OR (ed.). Food Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc. 15 (3): 879-942.
Granada IP. 2011. Pemanfaatan surimi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dalam pembuatan sosis rasa sapi dengan penambahan isolat protein kedelai [Skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Yokyakarta: Liberty.
Haryati S. 2001. Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp.) terhadap kemampuan pembentukan gel pada produk gel ikan [Skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Huda N, Aminah A, Babji AS. 2000. Effects of cryoprotectants on functional properties of dried lizardfish (Saurida tumbil) surimi. Malaysian Applied Biology 29 (1): 9-16.
Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London: Elsevier Applied Sci.
Ikayanti Y. 2007. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap jumlah koloni bakteri dan kandungan protein pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) [Skripsi]. Malang: Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Malang.
Irianto HE dan Giyatmi S. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.
[KKPa] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2006. Data produksi. www.buku02.pdf [10 Oktober 2011].
[KKPb] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Data produksi. www.buku02.pdf [10 Oktober 2011].
57
Kim JS dan Park JW. 2004. Characterization of Acid-Soluble Collagen from Pacific Whiting Surimi Processing by Products. J Food Science 69: C637-642.
Kramlich WE. 1971. Sausage Product. Dalam: The Science of Meat and Meat Product 2nd Ed. WH Freeman and Co, San Fransisco.
Lanier TC. 1992. Measurements of surimi composition and functional properties. Dalam : Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.
Lee CM. 1984. Surimi process technology. Journal Food Techonology 38 (11): 69-80.
Lee Cm dan Lanier TC. 1992. Surimi process technology. Journal Food Tech 38 (11): 69.
Leung WT, Ritva W, RB, Flora HC. 1972. Food Table For Use In East Asia. Part I & II, Roma.
Mallawa A. 2006. Pengelolaan sumberdaya ikan berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Disajikan pada Lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP II Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006. html: 1-31.
Manullang M, Theresia M, Irianto HE. 1995. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka dan sodium tripolifosfat terhadap mutu dan daya awet kamaboko ikan pari kelapa (Trygon sephen). Buletin Teknologi dan Industri Pangan 6 (2): 21-26.
Muhibuddin F. 2010. Karakteristik fisika kimia surimi dari daging lumat ikan hasil tangkap sampingan (HTS) pukat udang [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Dalam: Lanier TC, Lee CM (eds.). Surimi Technology. New York: Marcell Dekker Inc.
Nurfianti D. 2007. Penggunaan kitosan sebagai pembentuk gel dan pengawet bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) pada penyimpanan suhu chilling [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Park JW dan Lin TMJ. 2005. Surimi: Manufacturing and Evaluation. Dalam Park JW (ed.). Surimi and Surimi Seafood 2 nd edition. New York: CRC Press.
Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of pacific whiting surimi as affected by various freezing and storage conditions. Journal Food Science 67 (6): 2072-2078.
58
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bandung: Bina Cipta.
Sams AR. 2001. Poultry Meat Processing. CRC Press, Boco Raton, London, New York, Washington DC.
Santoso J, Trilaksani W, Nurjanah, Nurhayati T. 1997. Perbaikan Mutu Gel Ikan Mas (Cyprinus carpio) melalui Modifikasi Proses. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Shahidi F dan Botta JR. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic and Professional and Imprint of Chapmant and hall.
Shaviklo GR. 2006. Quality assessment of fish protein isolates using surimi standard methods. Iran: Fisheries Training Programme. The United Nations University.
Shaw. 1792. Istiophorus platypterus. http://www.fishbase.org/ summary/ Istiophorus-platypterus.html. [14 Oktober 2011].
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Indutri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: IPB Press.
Sukmana IY. 2012. Pemanfaatan surimi ikan nila merah (Oreochromis sp.) dalam pembuatan sosis dengan penambahan isolat protein kedelai [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Sumaatmadja D. 1984. Tepung Sorghum (Sorghum vulagari) sebagai Pengganti Tepung Tapioka gandum dalam Pembuatan Mie dan Roti Tawar. Bogor: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan VI BBIHP.
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Amiled Science Publisher, Ltd.
Tarwotjo CS. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Thawornchinsombut S dan Park JW. 2004. Roles of pH in solubility and conformational changes of Pacific whiting muscle proteins. Journal of Food Biochemistry 28 (2): 135-154.
Toyoda KI, Kimura T, Fuijita SF, Noguchi, Lee CM. 1992. The surimi manufacturing process. Dalam: Lanier TC, Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: marcel Dekker, Inc.
Uju, Nitibaskara R, Ibrahim B. 2004. Pengaruh frekuensi pencucian surimi terhadap mutu produk bakso ikan jangilus (Istiophorus sp.). Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 8 (2): 1-10.
. 2006. Pengaruh penyimpanan beku surimi terhadap mutu bakso ikan jangilus(Istiophorus sp.). Buletin Teknologi Hasil Perikanan 9 (2): 46-56.
59
Usmiati S. 2009. Bakso sehat. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31 (6): 13-14.
Utomo AR, Ristiarini S, Reynaldo SR. 2004. Penentuan kombinasi terbaik penambahan maltodekstrin de-12 dan STTP pada pengolahan surimi ikan tongkol (Euthynnus affinis). Teknologi pangan 18: 146-151.
Venugopal V, Doke SN, Nair PM. 1994. Gelation of shark myofibrillar protein by week organic acids. Food Chemistry 50 (2): 185-190.
Waridi. 2004. Pengolahan Bakso Ikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Wibowo S. 1995. Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Penebar Swadaya.
.1999. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Jakarta: PT Penebar Swadaya.
. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Jakarta: Penebar Swadaya.
Widyaningsih TD dan Murtini ES. 2006. Pengolahan Pangan Masa Kini. http://www.e-dukasi.net/trubus Agrisarana. [20 Februari 2012].
Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
dan Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wulandari NW. 2007. Optimasi formulasi sosis berbahan baku surimi ikan patin (Pangasius pangasius) dengan penambahan karagenan (Eucheuma sp.) dan susu skim untuk meningkatkan mutu sosis [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Yulianti T. 2003. Mempelajari pengaruh karakteristik isolate soy protein terhadap mutu sosis [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
61
Lampiran 1 Lembar penilaian uji lipat
Nama panelis :
Tanggal pengujian :
Jenis produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Spesifikasi Nilai Grade Kode
Tidak retak bila dilipat dua kali 5 AA
Tidak retak bila dilipat satu kali 4 A
Sedikit retak bila dilipat satu kali 3 B
Retak bila dilipat satu kali 2 C
Hancur bila ditekan jari 1 D
(SNI 2732.6:2009)
62
Lampira 2 Lembar penilaian uji gigit
Nama panelis :
Tanggal pengujian :
Jenis produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Spesifikasi Tekstur dan Elastisitas Nilai Kode
Amat sangat kuat 10
Sangat kuat 9
Kuat 8
Agak kuat 7
Normal 6
Agak lunak 5
Lunak 4
Sangat lunak 3
Amat sangat lunak 2
Hancur 1
(SNI 2732.6:2009)
63
Lampiran 3 Lembar penilaian uji hedonik
Nama panelis :
Tanggal pengujian :
Jenis produk :
Berikan tanda √ pada nilai yang disukai dari contoh yang disajikan
Spesifikasi Nilai Penampakan Tekstur Warna Rasa Aroma
Kode Kode Kode Kode Kode
Amat sangat
suka
9
Sangat suka 8
Suka 7
Agak suka 6
Netral 5
Agak tidak
suka
4
Tidak suka 3
Sangat tidak
suka
2
Amat sangat
tidak suka
1
(SNI 2346:2011)
64
Lampiran 4 Lembar penilaian organoleptik ikan segar
65
66
Lampiran 5 Rekapitulasi uji organoleptik ikan layaran
Panelis Mata Insang Lendir Daging Bau Tekstur 1 6 5 8 7 7 7 2 5 3 8 5 8 5 3 6 6 6 7 7 7 4 8 3 6 7 5 8 5 8 5 7 7 7 8 6 5 5 8 5 8 9 7 6 3 6 5 5 7 8 6 6 8 7 8 8 9 6 7 3 5 9 8 10 5 7 6 7 8 8 11 6 5 7 7 5 7 12 5 6 5 5 5 5 13 3 1 5 3 5 7 14 6 3 6 7 5 5 15 1 1 5 3 5 7 16 5 5 5 5 5 5 17 6 6 7 5 5 7 18 6 5 8 5 7 8 19 5 5 6 5 7 5 20 6 8 7 8 8 9 21 8 8 7 9 8 8 22 7 6 6 5 7 8 23 6 6 7 5 8 5 24 8 7 8 8 7 9 25 7 6 6 7 8 5 26 7 6 6 5 5 7 27 7 7 6 5 8 7 28 6 6 9 8 7 9 29 6 6 9 8 7 9 30 6 7 6 7 7 7
Rata-rata 5,9333 5,3333 6,5667 6,0667 6,7000 7,1333
67
Lampiran 6 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit gel dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali
Panelis Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Uji lipat
Uji gigit
1 5 5 3 4 4 5 9 2 4 7 6 6 6 5 5 3 7 7 6 7 7 3 8 4 6 7 4 5 5 3 7 5 6 6 6 6 7 4 5 6 6 6 4 4 4 3 8 7 7 7 5 6 7 5 9 8 7 6 7 4 8 4 8 9 7 7 3 5 4 5 7 10 4 4 4 6 4 2 8 11 8 7 7 8 7 2 8 12 7 5 5 6 7 4 8 13 6 7 6 6 6 3 7 14 4 8 6 7 3 2 8 15 3 6 3 3 5 2 6 16 8 6 6 5 8 5 9 17 7 6 7 7 7 5 8 18 6 6 5 6 6 2 4 19 7 6 6 6 6 2 10 20 6 5 5 5 7 5 8 21 4 5 7 5 2 5 10 22 7 5 2 3 2 2 10 23 6 6 5 5 5 4 8 24 6 6 5 6 5 2 6 25 5 5 5 5 6 3 6 26 6 6 6 5 6 3 9 27 7 7 8 8 8 3 9 28 7 7 6 7 6 4 8 29 8 6 6 6 4 2 7 30 6 5 3 4 7 3 5
Rata-rata 6,100 6,067 5,233 5,533 5,633 3,467 7,60
68
Lampiran 7 Rekapitulasi uji sensori, uji lipat dan uji gigit bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali
Panelis Penampakan Warna Rasa Aroma Tekstur Uji lipat
Uji gigit
1 3 6 5 5 4 2 5 2 7 5 4 5 6 5 6 3 6 7 5 5 6 2 7 4 7 7 5 5 5 2 6 5 5 5 5 5 5 3 6 6 7 8 6 4 5 5 5 7 6 7 6 5 4 2 5 8 7 6 8 5 7 3 8 9 3 5 4 5 3 3 10 10 5 6 5 5 4 2 3 11 5 6 4 6 6 2 7 12 7 7 6 6 6 4 6 13 6 6 6 7 7 2 6 14 5 4 4 5 6 2 5 15 5 6 5 5 4 2 4 16 3 3 4 4 3 3 8 17 7 6 4 5 7 4 7 18 6 7 6 8 7 1 5 19 4 5 5 7 4 2 5 20 4 6 6 7 6 4 7 21 8 7 7 7 8 4 8 22 5 7 5 7 6 2 7 23 7 6 8 8 5 3 7 24 6 5 6 6 5 2 6 25 6 7 7 7 6 2 7 26 6 7 6 6 3 2 5 27 5 6 7 7 7 5 8 28 5 5 6 6 5 3 6 29 5 5 7 7 5 2 5 30 7 7 5 5 7 3 7
Rata-rata 5,6 6 5,567 5,833 5,4 2,77 6,23
69
Lampiran 8 Rekapitulasi hasil analisis kekuatan gel
Lampiran 9 Rekapitulasi hasil analisis derajat putih
Lampiran 10 Rekapitulasi hasil analisis Water Holding Capacity (WHC)
Jenis produk Hasil (gf) Rata-rata (gf)
Gel surimi pencucian 2 kali 2676,4
2624,9 2573,4
Bakso surimi pencucian 2 kali
893,9 916,25
938,6
Bakso ikan merk X 2267,3
2219,20 2171,1
Bakso ikan merk Y 1154,8
1171,85 1188,9
Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)
Gel surimi pencucian 2 kali 65,9588
66,2636 66,5684
Bakso surimi pencucian 2 kali
66,7813 66,7769
66,7725
Bakso ikan merk X 61,1733
61,17 61,1670
Bakso ikan merk Y 73,4180
73,44 73,4622
Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)
Gel surimi pencucian 2 kali 75,41
75,20 74,99
Bakso surimi pencucian 2 kali
69,74 67,42
65,10
Bakso ikan merk X 62,11
64,28 64,46
Bakso ikan merk Y 60,43
60,96 61,48
70
Lampiran 11 Rekapitulasi hasil analisis proksimat
Lampiran 12 Rekapitulasi hasil analisis protein larut garam (PLG)
Lampiran 13 Rekapitulasi hasil analisis kadar air surimi
Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%) Surimi ikan layaran 2 kali
pencucian 75,85
76,24 76,63
Jenis produk Air (%)
Abu (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Gel surimi pencucian 2 kali
72,40 2,60 14,74 0,59 9,67 72,11 2,59 14,74 0,60 9,96
Rata-rata 72,255 2,595 14,74 0,595 9,815 Bakso surimi
pencucian 2 kali 66,67 1,19 11,80 3,16 17,18 66,80 1,20 11,56 3,19 17,25
Rata-rata 66,735 1,195 11,68 3,175 17,215
Bakso ikan merk X 59,33 2,36 5,01 4,12 29,18 59,56 2,19 5,01 3,93 29,31
Rata-rata 59,44 2,27 5,01 4,02 29,24
Bakso ikan merk Y 73,83 2,16 7,87 0,83 15,31 73,76 2,16 7,89 0,86 15,33
Rata-rata 73,80 2,16 7,88 0,84 15,31
Jenis produk Hasil (%) Rata-rata (%)
Gel surimi pencucian 2 kali 2,7687
2,7874 2,8062
Bakso surimi pencucian 2 kali
2,7168 2,7193
2,7218
Bakso ikan merk X 3,8757
3,8881 3,9005
Bakso ikan merk Y 0,3659
0,3663 0,3667
71
Lampiran 14 Contoh perhitungan rendemen
Ikan layaran utuh = 20 Kg = 20000 gram
Daging lumat = 8898 gram
Daging lumat untuk surimi = 4000 gram
• Pencucian pertama
Air : Daging (3 : 1) = 4000 gram x 3 = 12000 ml = 12 L
Hasil = 2829 gram
• Pencucian kedua
Air : Daging (3 : 1) = 2829 gram x 3= 8487 ml
Garam = 2829 gram x 0,3% = 8,487 gram
Hasil = 2480 gram
Rendemen surimi dengan frekuensi pencucian dua kali yaitu 2480 gram
72
Lampiran 15 Grafik kekuatan gel dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali
Lampiran 16 Grafik kekuatan gel bakso dari surimi ikan layaran frekuensi pencucian dua kali
73
Lampiran 17 Grafik kekuatan gel bakso merk X
Lampiran 18 Grafik kekuatan gel bakso merk Y
74
Lampiran 19 Dokumentasi penelitian
a) Pembuatan gel ikan
Preparasi ikan Pemisahan daging dan serat Pelumatan daging
Penimbangan surimi Pengepresan Penyaringan
Peencetakan gel ikan Pemanasan gel b) Pembuatan bakso ikan
Penimbangan surimi Persiapan bumbu Pengadonan Pencetakan
75
Pemanasan 1 Pemanasan 2
Proses uji organoleptik Bakso ikan hasil penelitian c) Alat analisis
Alat uji kekuatan gel Alat uji derajat putih
Top Related