7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 1/29
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
JURNAL
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dan Melengkapi
Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
O l e h :
M AYA NOVIRA
0 9 0 2 0 0 0 2 2
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 2/29
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012
TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
M AYA NOVIRA NIM : 0 9 0 2 0 0 0 2 2
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan., SH,M.H. NIP : 195703261986011001
Dosen Editor
Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum.
NIP : 197407252002122002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 3/29
ABSTRAKSI
*) Maya Novira
**) Marlina
***) Rafiqoh Lubis
Sistem Peradilan Pidanan Anak di Indonesia selama ini dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang
mana dalam pelaksanannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang masih menempatkan
Anak sebagai objek demi tercapainya tujuan Pidana. Pelaksanaan Sistem PeradilanPidana Anak selama ini hampir tidak memperhatikan perlindungan terhadap anak
pelaku tindak pidana sehingga lebih merugikan Anak Pelaku. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang tidak mengedepankan perlindungan terhadap
Anak dan juga sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di dalam masyarakatsehingga melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.Adapun rumusan permasalahanyang akan dibahas didalam tulisan ini adalah
apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak pelaku tindak pidana dan
bagaimanakah kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak
pidana di Indonesia dari perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Metode penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian yang
dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisa
terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu
pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-perundang-undangan,
dimana pengumpulan data dilakukan dengan Library research (penelitian
Kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagaisumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku dan internet yang
di nilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah sesuai dengan prinsip
perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana baik menurut instrumenhukum nasional maupun internasional, hal ini dapat diketahui dengan dianutnya
beberapa asas yang harus dikedepankan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidanaanak. Kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan sarana penal dannon penal. Sarana penal dilakukan dengan penerapan sistem peradilan pidana yang
dimulai dengan proses penyidikan, penuntutan, persidangan, pembinaan lembaga.
Sarana non penal dilakukan dengan penerapan upaya Diversi dan Restorative Justice,
namun dalam penerapannya sarana non penal juga dilakukan dalam sarana penal.
*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU
**) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU***) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 4/29
A. PENDAHULUAN
Krisis nilai moral yang diakibatkan dari berkembangnya arus globalisasi dapat
terlihat jelas dengan berkembangnya kejahatan yang diberitakan pada berbagai
media, baik media cetak maupun media elektronik.Hal ini tentu sangatlah
memperihatinkan, terlebih lagi diantara pelaku-pelaku tindak kejahatan tersebut
adalah seorang anak, bahkan anak yang masih di bawah umur.
Tindak pidana yang dilakukan oleh anak, memberikan istilah terhadap anak
pelaku tindak pidana, yaitu “ juvenile delinquency” atau yang lebih dikenal dengan
anak delikuen. Juvenile Delinquency sebenarnya memiliki berbagai istilah, ada yang
menyebutnya dengan kenakalan remaja atau sering juga diistilahkan sebagai
kejahatan anak, namun istilah kejahatan anak sangat tajam (kasar) bila dilabelkan
pada anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menyebutkan bahwa yang dikatakan Anak Nakal adalah anak sebagai pelaku tindak
pidana, atau anak yang melakukan perbuatan yang tidak lazim dilakukan oleh anak.1
Anak yang melakukan tindak pidana (anak nakal/anak delikuen) seharusnya
dilindungi segala haknya dan tetap diberikan pengayoman dan pembekalan
pembinaan oleh keluarga, masyarakat, maupun pemerintah, bukanlah dijauhkan dan
diberi label yang akan memberi dampak yang buruk pada psikis anak tersebut.
Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan yang dilakukan
oleh anak tentunya sangatlah memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan
konsep perlindungan anak, karena pemidanaan terhadap anak benar-benar hanya
sebagai ultimum remidium (pilihan terakhir) hal ini sesuai dengan konsep
perlindungan anak baik yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia maupun instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan
perlindungan anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Peraturan perundang-
undangan yang mengandung unsur pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana
tetap memperhatikan konvensi-konvensi internasional mengenai perlindungan anakdimaksudkan untuk melindungi hak-hak anak, meskipun anak tersebut telah
disangkakan, didakwa, bahkan telah dipidana, namun mereka harus tetap diberikan
1 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 5/29
perlindungan karena masih dikatakan sebagai “Anak” yang harusnya mendapat
perlindungan sebagai tunas bangsa.
Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yang bertujuan menanggulangi
kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di Indonesia sering mengalami
permasalahan, diantaranya dalam hal penahanan terhadap anak, proses peradilan
yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, peradilan, yang pada akhirnya
menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan yang
menimbulkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak. Bukti yang terlihat dalam
pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yang memberikan dampak negatif pada
anak, yaitu dengan berkembangnya kasus kejahatan anak yang penerapannya
mendapat berbagai kontroversi dari pihak-pihak yang berperan dalam perlindungan
anak. Kasus-kasus tersebut diantaranya:
1.
Kasus Raju (8 tahun) yang harus menjalani proses peradilan yang cukup panjang
hingga putusan pengadilan. Permasalahan yang dialami Raju adalah perkelahian
di usia anak, namun akibat perkelahian tersebut Raju harus menjalani proses
peradilan anak yang menuai kontroversi karena pelaksanaan proses peradilan yang
tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.2
2.
Kasus 10 orang anak SD yang ditahan karena tuduhan perjudian koin Rp 500,- di
Bandara Soekarno-Hatta (29 Mei 2009). Kesepuluh anak tersebut menjalani masa
penahanan selama 29 (dua puluh sembilan) hari, dan pada akhirnya juga
menjalani proses persidangan di pengadilan.3
3. Kasus pencurian sandal jepit oleh siswa SMK berusia 15 tahun yang diadili di
Pengadilan Negeri Palu, Selasa 20 Desember 2011 karena didakwa mencuri
sandal jepit milik Brigadir Satu Polisi Ahmad Rusdi Harahap. Siswa kelas 1 SMK
2 D. Andriyanto, “Analisis Kasus Raju (Dimanakah keadilan itu)”, (lihat:
http://greatandre.blogspot.com/2011/06/analisis-kasus-raju-dimanakah-keadilan.html.Diakses tanggal
19 Maret 2013, 20.00.3Hadi Supeno, “Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan”,
(lihat:http://books.google.co.id/books?id=IHn7cUJU0nsC&pg=PA72&lpg=PA72&dq=anak+yang+dituduh+bermain+judi&source=bl&ots=zxc0Vtc3P&sig=NOV24lVThna3M8wUwFojQO_Zjck&hl=id
&sa=X&ei=JWVIUb3bBMmqrAfN9YDIAg&redir_esc=y#v=onepage&q=anak%20yang%20dituduh
%20bermain%20judi&f=false), terakhir dikunjungi 19 Maret 2013, 20.45.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 6/29
ini didakwa dengan pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun
penjara. Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah.4
4.
Kasus penjambretan tas berisi uang senilai Rp 1.000,- oleh DW (15 tahun). DW
harus menjalani masa penahanan selam 3 (tiga bulan) di Kepolisian dan
Kejaksaan, dan menjalani proses persidangan di pengadilan, dengan tuntutan 7
(tujuh) bulan penjara oleh Jaksa.5
Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak yang terjadi selama ini masih
mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yang menitikberatkan pada
pencapaian dari tujuan pidana. Hal tersebut dapat dilihat bahwa sanksi pidana yang
diberikan terhadap Anak Nakal tidak jauh berbeda dengan sanksi yang diatur dalam
KUHP, yang menjadikan penjara sebagai Pidana Pokok namun bukan sebagai upaya
terakhir (ultimum remidium) melainkan sebagai pidana pokok yang utama.6 Pidana
penjara yang ditetapkan sebagai pidana pokok yang diterapkan terhadap Anak Nakal
mencerminkan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 belum
sepenuhnya mengutamakan perlindungan terhadap anak sebagaimana yang telah
diatur dalam instrumen hukum nasional maupun hukum internasional. Peletakan
pidana penjara pada pidana pokok tersebut mengakibatkan begitu mudahnya aparat
penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, dan hakim)
untuk menentukan hukuman terhadap Anak Nakal sama seperti hukuman orang
dewasa tanpa memperhatikan kepentingan anak, keadaan anak baik sosial,
psikologis, pendidikan dan hal lain guna melindungi anak tersebut meskipun ia telah
melakukan tindak pidana, seperti yang dipaparkan pada 4 (empat) contoh kasus di
atas.
Penerapan sistem peradilan pidana anak ini sudah selayaknya menjadi
perhatian bagi kita semua, terutama bagi para penegak hukum agar dapat mencari
solusi demi mengurangi serta menyelesaikan permasalahan yang timbul, misalnya
4Damang, “Menyoal Revisi Peradilan Pidana Anak (Catatan Singkat Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2012), dalam http://www.negarahukum.com/hukum/menyoal-revisi-peradilan-
pidana-anak-catatan-singkat-undang-undang-nomor-11-tahun-2012.html, 13 maret 2013, 21.00.
5 Luh De Suriyani, “Koin Rp 1000 untuk Anak yang Terancam Penjara di Bali”, dalam
http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2012/01/17/koin-rp-1000-untuk-anak-yang-terancam-
penjara-di-bali.html, 19 Maret 2013, 21.15.6Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 7/29
dengan melakukan pembaharuan hukum dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana
anak.
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Negara Republik Indonesia
mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak yang dalam 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkannya akan
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka tulisan ini diberi judul “KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”.
B.
PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1.
Apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak pelaku tindak
pidana?
2.
Bagaimanakah kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku
tindak pidana di Indonesia dari perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?
C.
METODE PENELITIAN
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif,
yakni penellitian yang dilakukan dengan melakukan pendekatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penulisan skripsi, yang mana peraturan
perundang-undangan yang menjadi objek pokok penelitian dalam tulisan ini adalah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
2. Sumber / Bahan Hukum
Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data
sekunder.Adapun data sekunder yang diperoleh dari Bahan Hukum Primer, Bahan
Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 8/29
3.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Penelitian Kepustakaan ( Library Research). Penelitian ini dirumuskan untuk mencari
bahan-bahan atau data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan
cara membaca, menafsirkan buku-buku atau literatur, baik berupa undang-undang,
peraturan pemerintah, keputusan presiden dan peraturan perundang-undangan
lainnya, yang dianggap sebagai pendukung.
4.
Analisis Data
Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian
dianalisis secara kualitatif.Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab
permasalahan yang ada di dalam tulisan ini.
D.
HASIL PENELITIAN
1. Prinsip Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
AnakKaitannya dengan Instrumen Hukum Internasional dan HukumNasional
Perlindungan Anak sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tidak terlepas dari prinsip perlindungan hukum baik yang diatur
dalam instrumen hukum internasional maupun dalam hukum nasional sebelum
adanya undang-undang ini. Perlindungan anak dalam intrumen hukum iinternasional
terlihat dalam Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Convention on the Rights of the Child)
dimana konvensi ini merupakan akar dari perlindungan anak secara umum dalam
hukum internasional, namun Pasal 40 dalam konvensi ini yang khusus mengatur
tentang perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, yang berisi:7
1. Negara-negara Anggota mengakui hak setiap anak yang dinyatakaansebagai terdakwa atau diketahui telah melanggar hukum pidana, untuk
diperlakukan sedemikian rupa, sesuai dengan kemajuan pengertian anak
tentang harkat dan martabatnya, sambil mengusahakan agar anakmempunyai rasa hormat pada hak-hak asasi dan kebebasan pihak lain,
dengan tetap mempertimbangkan usia dan keinginan anak dalam rangka
mengintegrasikannya kembali sesuai dengan peran konstruktifnya di
masyarakat.
7Dikutip dalam Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency Pemahaman dan
Penanggulangannya, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 1997, hal.94-96.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 9/29
2.
Pada akhirnya, berkaitan dengan ketentuan instrumen internasional yang
relevan, negara-negara anggota harus secara khusus menjamin bahwa:
(a) Tidak boleh anak didakwa, dituntut, atau dinyatakan telah melanggarhukum pidana dengan alasan perbuatan atau kelalaiannya itu tidak
dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada saat perbuatan pelanggaran itu dilakukannya.
(b) Setiap anak yang didakwa atau dituntut sebagai pelaku pelanggaranhukum pidana harus paling tidak dijamin hak-haknya berikut ini:
(i) anak dianggap tak bersalah sampai ada pembuktian kesalahannyasecara hukum;
(ii)
anak berhak diberitahu dengan jelas dan langsung tuduhan yang
ditujukan terhadapnya, apabila perlu, dilakukan melalui orang tuanyaatau kuasa hukumnya dan kepada mereka diberikan bantuan hukum
dalam rangka persiapan pembelaannya;(iii)
demi kepastian hukum dan mencegah terjadinya penundaan
penanganan, oleh lembaga yang berkompeten, bebas dan tak
memihak atau lembaga yudisial dalam kerangka pemeriksaan yangfair sesuai hukum yang berlaku, anak harus didampingi penasihathukumnya, kecuali adanya alas an-alasan demi kepentingan terbaik
anak, namun dengan tetap memperhatikan usia dan situasi anak,orang tua atau kuasa hukumnya;
(iv)
agar tidak ada paksaan dalam memberikan kesaksian atau pengakuan
bersalah; pengujian terhadap kesaksian yang merugikan anak dan
untuk memperoleh kepastian bahwa peran serta saksi dan pengujian
kesaksiannya betul-betul atas kehendak anak, pengujian itu harus
dilandaskan atas dasar persamaan hak;
(v) bila dipertimbangkan adanya pelanggaran hukum pidana, keputusan
dan setiap tindakan yang dijatuhkan harus di bawah pengawasan
pihak yang lebih berkompeten, bebas dan tak memihak atau badan
yudisial sesuai ketentuan hukum yang berlaku;
(vi) anak yang tidak memahami atau tidak bisa berbicara bahasa yang
digunakan, harus dibantu seorang penerjemah yang bebas.(vii) anak berhak menikmati privacynya di semua tingkatan pemeriksaan.
3.
Negara anggota dalam mendukung Konvensi ini harus menetapkan Hukum, prosedur, pihak-pihak yang diberi wewenang, lembaga khusus untuk
menanngani anak yang didakwa, dituntut, atau dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana, secara khusus:
(a)
penetapan batas usia minimal terendah bagi seorang anak yangdinyatakan belum layak dinyatakan sebagai pelaku pelanggaran hukum
pidana;(b)
apabila diperlukan dan dikehendaki, tindakan terhadap anak yang
dilakukan tanpa melibatkan proses peradilan, persyaratan hak asasi
manusia dan kuasa hukum harus dipenuhi.
4.
Berbagai disposisi seperti perhatian, bimbingan, perintah pengawasan,
konseling, probation, bimbingan untuk membantu perkembangan,
pendidikan, program training vokasional dan alternatif lain ke dalam
lembaga, harus memungkinkan untuk menjamin bahwa anak diperlakukan
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 10/29
dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraan manusia dan
proporsional baik dengan keadaan lingkungan dan perbuatannya.
Prinsip perlindungan hukum dalam intstrumen hukum internasional khusus
terhadap anak pelaku tindak pidana diatur dalam United Nations Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules).Beijing Rules
disetujui pada tanggal 6 September 1985 dan menjadi Resolusi PBB pada tanggal 29
November 1985 dalam Resolusi 40/33. Beijing Rules membahas tentang perlindungan
terhadap anak dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, untuk penggambaran isi
dari Beijing Rules ini akan dibahas secara singkat oleh penulis dalam pembahasan
berikut.
Bagian I :General Principles (Asas Umum) Bagian ini secara umum berisi tentang perlunya Kebijakan Sosial yang
Komprehensif yang bertujuan untuk mendukung tercapainya sebesar mungkin
kesejahteraan anak, yang pada gilirannya akan mengurangi campur tangan sistem
peradilan anak.8 Artinya kebijakan sosial yang diatur dalam bagian ini benar-benar
bertujuan untuk memberikan kesejahteraan terhadap anak, hal tersebut dapat
tercapai apabila dilakukan dengan tidak mendekatkan atau melibatkan anak dengan
sistem peradilan pidana anak terhadap anak pelaku tindak pidana.
Bagian II Penyelidikan dan Penuntutan
Penanganan anak di tingkat penyelidikan dan penuntutan harus dihindari dari
sikap yang mengarah pada penekanan terhadap anak seperti pertanyaan yang bersifat
gertakan bernada keras maupun tindakan kekerasan (kontak fisik), agar tidak
menimbulkan ketakutan dari dalam diri anak. Diversi(pengalihan), suatu mekanisme
yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan
sosial diprioritaskan, karena keterlibatan anak dalam proses peradilan sebetulnya
telah mengalami proses stigmatisasi.9
Bagian III Ajudikasi dan Disposisi
Proses adjudikasi dan disposisi, memberikan syarat penting yang wajib untuk
diperhatikan ialah menjadikan laporan penyelidikan sosial anak, prinsip dan
8 Ibid ., hal.109.9 Ibid.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 11/29
pedoman penyelesaian perkara dan penempatan anak, sebagai bahan
pertimbangan dalam pemberian dan penetapan sanksi. Satu asas penting yang harus
diingat dengan kaitan ini, ialah penempatan anak di dalam lembaga koreksi
(penjara) hendaknya ditempatkan sebagai usaha terakhir, itupun hanya untuk
jangka pendek.Penahan anak semata-mata karena alasan penundaan sidang
dihindarkan. (Rule 19-20).10
Bagian IV dan V Pembinaan Luar dan Dalam Lembaga
Penempatan anak di luar lembaga dan di dalam lembaga harus tetap pada
konteks untuk pembinaan. Pembinaan di luar lembaga tetap harus disiapkan secara
matang dan tersistematis dengan melibatkan peran lembaga-lembaga kesejahteraan
anak dengan petugas yang berkualitas.Prinsip perlindungan anak dalam intrumen hukum nasional juga terlihat di
dalam beberapa undang-undang di Indonesia, diantaranya diatur dalam Undang-
Undang Nomr 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Prinsip perlindungan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 terlihat dalam Pasal 2 undang-undang tersebut yang mengandung
beberapa asas yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak yangmemiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, dan telah sesuai dengan prinsip
perlindungan anak baik dalam intrumen hukum internasional maupun intrumen
hukum nasional. Prinsip-prinsip perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana
yang telah terkandung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ialah sebagai
berikut :
a.
Batasan Usia Anak
Usia anak yang berkonflik dengan hukum ialah anak yang berusia 12 (dua
belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. Usia yang dapat dilakukan penahanan
ialah usia 14 (empat belas) tahun atau lebih atau dengan memperhatikan tindak
pidana yang dilakukan. Anak yang usianya belum mencapai 12 (dua belas tahun)
hanya dapat dilakukan pembimbingan dan pembinaan terhadap anak.
10 Ibid., hal.112
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 12/29
Ketentuan batas usia Anak ini telah sesuai dengan Beijing Rules yang
menentukan bahwa dalam menentukan batas usia anak harus memperhatikan
keadaan Anak dan tidak ditentukan terlalu rendah. Konvensi Hak-Hak Anak juga
menyebutkan bahwa setiap negara anggota herus menentukan batas usia minimum
yang belum dapat diterapkan sistem peradilan pidana, dimana dalam undang-undang
ini sudah menetukan tersebut.
b.
Ketentuan Sanksi
Undang-Undang ini telah menentukan sanksi yang jauh berbeda dari ketentuan
KUHP dan Undang-Undang Pengadilan Anak, yang tidak mencerminkan
perlindungan, pemulihan, dan pembinaan terhadap Anak.Undang-undang ini
meletakkan sanksi penjara sebagai pidana pokok yang paling akhir, sedangkan sanksi pidana pokok sebelumnya mengarah kepada perlindungan, pemulihan, dan
pembinaan anak.
Ketentuan sanksi ini telah sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang menyatakan bahwa pidana
penjara dapat diterapkan terhadap anak apabila tidak ada upaya terahkir lagi, dan
dilakukan terpisah dari penjara dewasa. Instrumen hukum internasional juga
mengatur mengenai asas proporsionalitas yang membatasi pemberian sanksi yang
bersifat memberikan tekanan terhadap anak, tetapi membatasi pemberian tanggapanmasyarakat yang menimbulkan perbuatan antisosial pada Anak.
c.
Diversi dan Keadilan Retoratif
Diversi dan Keadilan Restoratif menjadi dasar dari pembaharuan hukum dalam
pelaksanaan sistem peradilan pidana anak, yang dapat dilihat di dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
bertujuan untuk menghindari anak pelaku tindak pidana dari jerat hukuman atau
pemidanaan, kedua konsep tersebut merupakan hal baru bagi masyarakat Indonesia.
Konsep diversi dan restorative justice dalam pelaksanaannya melibatkan pihak
ketiga di dalam penyelesaian masalah antara anak yang melakukan dan anak yang
menjadi korban dalam tindak pidana tersebut, dengan melibatkan masing-masing
keluarga mereka, serta pihak-pihak lain, dengan tujuan proses penyelesaian perkara
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 13/29
diusahakan agar anak pelaku tindak pidana jauh dari proses pemidanaan terhadap
anak pelaku tindak pidana.
Ketentuan baru ini telah sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak dan Beijing
Rules yang menekankan bahwa upaya Diversi harus diprioritaskan dalam
penanganan Anak, hal ini berguna untuk menjauhkan anak dari penyelesaian dengan
sistem peradilan pidana yang cenderung memberikan dampak negatif bagi anak.
d.
Acara Peradilan Pidana Anak
Penanganan perkara Anak dilakukan oleh unit khusus yang menangani Anak,
dan mengupayakan diversi sebelum melanjutkan pemeriksaan perkara Anak, hal ini
sesuai dengan Rule 6 Beijing Rules bahwa setiap aparat penegak hukum diberikan
kewenangan yang luas untuk melakukan diskresi pada perkara anak.Masa penahanan anak yang jauh berbeda dan lebih singkat dibandingkan dengan Undang-
Undang Pengadilan anak menunjukkan bahwa penahanan tidaklah semata-mata
dilakukan untuk menanti keputusan dalam jalannya persidangan. Penahanan terhadap
Anak dilakukan di Lembaga khusus Anak yang bertujuan memberikan pembinaan
terhadap Anak.
2.
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana Di Indonesia Dari Perspektifundang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentangsistem Peradilan Pidana Anak
Lingkup kajian kebijakan penanggulangan kejahatan anak menempatkan posisi
anak dalam 2 (dua) posisi, yakni sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan. Anak
yang berada pada posisi sebagai pelaku kejahatan maka hal itu berarti bahwa ada
permasalahan dalam perilaku anak tersebut, maka untuk mengatasinya dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni melalui Sarana Penal atau dengan Sarana Non
Penal. Penyelesaian dengan Sarana Penal berarti memberlakukan hukum positif dan
tidak menutup kemungkinan akan menciptakan suatu pembaharuan hukum di masa
mendatang sesuai dengan yang dicita-citakan (ius constituendum), namun apabila
diselesaikan dengan Sarana Non Penal maka akan dilakukan pendekatan secara
kriminologi terhadap anak baik terhadap perilaku/pribadi anak maupun lingkungan
sekitarnya.Pendekatan kriminologi terhadap anak pelaku kejahatan juga berfungsi
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 14/29
dalam konteks sarana penal, karena melalui pendekatan kriminologi maka akan
mempengaruhi hukum pidana anak dalam arti ius constitutum dan ius constituendum
Lingkup Kajian mengenai kejahatan anak tersebut dapat digambarkan dengan
skema berikut :
Skema 2
Lingkup Kajian tentang Perilaku Delinkuensi Anak11
a.
Kebijakan Hukum Pidana (Penal) dalam Penanggulangan Kejahatan
yang dilakukan Anak
Kebijakan hukum pidana (penal) merupakan pelaksanaan atau penerapanhukum acara pidana berdasarkan undang-undang oleh alat-alat kelengkapan negara,
yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan balai pemasyarakatan, atau yang lebih
dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana. Menurut A. Mulder,
“Strafrechtpolitiek” ialah garis kebijakan untuk menentukan :12
a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui; b. apa yangdapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.
11 Paulus Hadisuprapto, op.cit ., hal.79.
12 Dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Edisi Pertama, Cetakan ke-1, Kencana Prenada
Media group, Jakarta, 2008, hal.23.
ANAK
KORBAN
PELAKUANAK BERMASALAH
DALAM PERILAKUNYA
SARANA PENAL SARANA NONPENAL
IUS
CONSTITUTUM
IUS
CONSTITUENDUM
PENDEKATAN
KRIMINOLOGIK
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 15/29
Sistem Peradilan Pidana pada Anak (disingkat dengan SPPA), berkaitan
dengan perumusan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana serta penerapan
dari sistem peradilan pidana anak pelaku tindak pidana
1)
Perumusan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan jenis-
jenis sanksi (pidana), yang terdiri dari:
a.
Hukuman Pokok:
1) hukuman mati;
2) hukuman penjara;
3) hukuman kurungan;
4)
hukuman denda;
b. Hukuman Tambahan:
1) pencabutan beberapa hak yang tertentu;
2) perampasan barang yang tertentu;
3)
pengumuman keputusan hakim.
Pasal 10 KUHP tersebut tidak menyebutkan adanya sanksi tindakan yang
dimasukkan jenis sanksi dalam hukum pidana, namun menurut Satochid Kertanegara
menunjuk contoh sanksi yang bukan merupakan siksaan terdapat dalam pasal 45
KUHP.13
Meskipun sebenarnya Pasal 45 KUHP tersebut termasuk ke dalam hal-hal
yang mengurangi atau pengecualian pidana terhadap anak yang belum dewasa
(belum mencapai umur 16 tahun) yang melakukan tindak pidana, namun apabila
Satochid Kertanegara menyebutkan Pasal 45 KUHP tersebut sebagai sanksi tindakan,
maka sanksi tindakan di dalam KUHP tersebut hanya berlaku jika pelaku belum
berusia 16 tahun, yang terdiri dari :
a)
pengembalian kepada orangtua, wali, atau pemeliharanya;
b) penyerahan tersangka kepada pemerintah.
Perkembangan hukum yang pada akhirnya menghapus ketentuan Pasal 45
KUHP dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan anak, kemudian perkembangan sosial yang juga berpengaruh pada
berkembangnya peraturan perundang-undangan, akhirnya melahirkan Undang-
13M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 54.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 16/29
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang saat ini
masih dalam tahap sosialisasi, namun pada tanggal 30 Juli 2014 akan menggantikan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ketentuan Sanksi
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 dapat dilihat dan dibandingkan pada tabel berikut :
Tabel 1
Perumusan Sanksi menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
UNDANG-UNDANG
NOMOR 3 TAHUN 1997
UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2012
Sanksi Pidana
1. Pidana Pokok
a.
pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c.
pidana denda; atau
d. pidana pengawasan
2. Pidana Tambahan
a.
perampasan barang- barang
tertentu; dan/atau
b.
pembayaran ganti rugi.
Sanksi Pidana
1.
Pidana Pokok
a.
pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
(1)
pembinaan di luar lembaga;
(2) pelayanan masyarakat; atau
(3)
pengawasan
c. pelatihan kerja;
d.
pembinaan dalam lembaga;
e. penjara.
2.
Pidana Tambahan
a. perampasan keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana; atau b. pemenuhan kewajiban adat.
Sanksi Tindakan
1.
mengembalikan kepada orangtua,
wali, orangtua asuh;
2. menyerahkan kepada negara untuk
mengikuti pendidikan, pembinaan,
dan latihan kerja, atau
3. menyerahkan kepada Departemen
Sosial, atau Organisasi SosialKemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.
Sanksi Tindakan
1.
pengembalian kepada orang tua/Wali;
2. penyerahan kepada seseorang;
3.
perawatan di rumah sakit jiwa;
4. perawatan di Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
(LPKS);
5.
kewajiban mengikuti pendidikan formal
dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;6. pencabutan surat izin mengemudi;
dan/atau
7. perbaikan akibat tindak pidana.
Sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan yang diatur dalam KUHP, hanya saja di dalam Undang-Undang
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 17/29
Pengadilan Anak Pidana Mati dan Pidana Penjara (seumur hidup) tidak dapat
diberlakukan terhadap anak (menurut Undang-Undang Pengadilan Anak belum
mencapai usia 18 tahun dan belum kawin), melainkan pidana tersebut diganti dengan
pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun.14
Pemberian sanksi pidana maupun tindakan menurut Undang-Undang
Pengadilan Anak, ditentukan berdasarkan subjek anak yang melakukan, jika anak
yang melakukan itu adalah Anak Nakal yang kategorinya adalah anak yang
melakukan tindak pidana maka dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Namun
apabila yang melakukan adalah Anak Nakal yang kategorinya adalah anak yang
melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, maka terhadapnya hanya dapat
diterapkan sanksi tindakan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 meletakkan pidana penjara sebagai
pidana pokok yang paling akhir sebagai (ultimum remidium), sebagai wujud
pelaksanaan perbaikan, pembinaan, dan mendidik Anak pelaku tindak pidana, serta
memberikan sanksi tindakan yang jauh lebih banyak sebagai hal yang lebih
mendukung tujuan pembinaan dalam undang-undang ini. Pasal 69 ayat (2)
menyebutkan bahwa Pemberian sanksi pidana maupun sanksi tindakan ditentukan
berdasarkan usia anak pelaku, Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat
dikenai tindakan.
Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengatur ketentuan
khusus dalam perumusan sanksi, yakni apabila dalam hukum materiil diancam
pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan
kerja. Artinya, bahwa perumusan sanksi dalam Undang-Undang ini tergantung
kepada hukum materiil yang telah dilanggar oleh Anak, apabila misalnya hukum
materiil yang dilanggar oleh anak itu mengandung sistem sanksi alternatif, maka
sanksi tersebutlah yang diberikan kepada anak, demikian pula pada perumusan
sanksi secara tunggal, hal ini berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuanyang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
14 Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 18/29
2)
Penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak Terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana
Sistem Peradilan Pidana Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 berbeda dengan Sistem Peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahunn 1997, dimana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif melalui
upaya Diversi.
a)
Penyidikan
Penyidikan terhadap perkara Anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 dilakukan oleh Penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dengan syarat yang ditentukan.15
Penyidikan dalam perkara Anak melibatkan peran serta dari Pembimbing
Kemasyarakatan, yakni dengan diwajibkannya Penyidik untuk meminta
pertimbangan saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan, Penyidik juga wajib meminta laporan Hasil Penelitian
Kemasyarakatan terhadap Anak Korban dan Anak Saksi dari Pekerja Sosial
Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosiall sejak tindak pidana diajukan. Masing-
masing hasil laporan tersebut wajib diserahkan oleh Balai Pemasyarakatan kepada
Penyidik dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 jam. Penangkapan terhadap Anak
dilakukan guna penyidikan paling lama 24 jam. Anak yang ditangkap wajib
ditempatkan di ruang khusus unit pelayanan Anak, dan Penyidik harus berkoordinasi
dengan Penuntut Umum guna memenuhi kelengkapan berkas baik secara materiil
maupun formil dalam waktu 1 x 24 jam.
b)
Penahanan
Penahanan di dalam Pasal 32 ayat (2)Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut :
(1)
Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
(2) diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih.
15 Lihat Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 19/29
Penahanan tersebut juga baru dapat dilakukan apabila orangtua/Wali dan/atau
lembaga tidak dapat menjamin bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak
menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau akan mengulangi tindak pidana.
Jika Penahanan Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan Rumah Tanahan Negara,
Cabang Rumah Tahanan Negara, atau di tempat tertentu, maka penahanan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Anak ditempatkan di Lembaga Penempatan
Anak Sementara (LPAS), dalam hal tidak terdapat LPAS penahanan dapat dilakukan
di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Hal ini menandakan bahwa
adanya lembaga khusus yang dibentuk oleh Pemerintah dalam proses peradilan anak
yang belum diatur sebelumnya di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak.
Jangka waktu penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2
Jangka Waktu Penahanan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
PROSESUndang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012
Penahanan Perpanjangan Jumlah Penahanan Perpanjangan Jumlah
Penyidikan 20 hari 10 hari 30 hari 7 hari 8 hari 15 hari
Penuntutan 10 hari 15 hari 25 hari 5 hari 5 hari 10 hari
Pengadilan 15 hari 30 hari 45 hari 10 hari 15 hari 25 hari
Pengadilan
Tinggi15 hari 30 hari 45 hari 10 hari 15 hari 25 hari
Mahkamah
Agung25 hari 30 hari 55 hari 15 hari 20 hari 35 hari
JUMLAH 200 hari JUMLAH 110 hari
Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah berakhir, maka petugas tempat Anak
ditahan harus segera mengeluarkan Anak demi Hukum. Hal ini berbeda dengan
ketentuan jangka waktu penahanan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 20/29
bahwa apabila jangka waktu penahanan yang telah ditentukan berakhir, maka
penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang dengan alasan yang
patut dan tidak dapat dihindarkan, yakni paling lama 15 (lima belas) hari, jika masih
diperlukan perpanjangan penahanan dapat dilakukan perpanjangan lagi untuk waktu
paling lama 15 (lima belas) hari.
c) Penuntutan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menentukan bahwa sebelum proses
penuntutan dilaksanakan, Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi selama
paling lama 7 (tujuh) hari setelah berkas perkara dilimpahkan, dan mengupayakan
proses diversi paling lama 30 (tiga puluh) hari. Proses diversi akan memberikan 2
(dua) kemungkinan, apabila proses diversi berhasil mencapai kata sepakat, maka
Penuntut Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepaatan Diversi
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat surat Penetapan, namun apabila
Diversi gagal maka Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan
melimpahkan perrkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan.
d)
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau Majelis Hakim untuk
menangani perkara Anak dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. Sebelum tahap persidangan dilanjutkan, Hakim
wajib mengupayakan Diversi dengan ketentuan waktu yang sama seperti proses
Diversi pada proses penyidikan dan penuntutan.Pemeriksaan ke tahap persidangan
akan dilanjutkan apabila upaya Diversi dinyatakan gagal.
Waktu sidang Anak didahulukan dari waktu sidang dewasa, dengan ketentuan
tertutup untuk umum kecuali pada saat pembacaan putusan, harus dilakukan dengan
terbuka untuk umum. Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping,
Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatanuntuk mendampingi Anak, sidang akan tetap dilanjutkan apabila orangtua/Wali
dan/atau pembimbing tidak hadir.
Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa
Sidang dimulai dengan pembacaan Dakwaan, setelah pembacaan surat dakwaan,
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 21/29
Hakim memerintahkan Pembimbing Kemasyarakatan membacakan laporan hasil
penelitian kemasyarakatan mengenai Anak yang bersangkutan tanpa kehadiran Anak,
kecuali Hakim berpendapat lain. Pembacaan laporan hasil penelitian ini berbeda
dengan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang menyatakan
bahwa sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing
Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai
anak yang bersangkutan.
e) Pelaksanaan Hukuman
Pelaksanaan hukuman terhadap Anak (pelaku tindak pidana) menurut Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan oleh beberapa lembaga terkait yang
nantinya akan memberikan pelayanan, perawatan, pendidikan, pembinaan anak, dan
pembimbinga klien anak . Lembaga-lembaga terkait tersebut yaitu:
(1) Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)
Lembaga ini merupakan tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan
berlangsung. Jadi selama proses peradilan pidana anak berlangsung, (penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan), maka selama itu Anak akan menjalani
masa penahanan di LPAS sampai dengan proses peradilan pidana yang dijalani Anak
selesai.
(2)
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)Lembaga ini merupakan lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya.
Jadi, lembaga inilah yang akan menangani Anak yang telah dijatuhkan hukuman
pidana yaitu pidana penjara.
Anak yang belum selesai menjalani pidana di LPKA, namun telah mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda,
sedangkan yang telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dipindahkan ke
lembaga pemasyarakatan dewasa.
(3)
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)
Lembaga Penyelengggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) adalah lembaga atautempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
bagi Anak.Apabila dilihat dari pengertiannya, maka tidak terlihat bahwa LPKS
berperan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana Anak, namun LPKS tetap
memiliki peran dalam pelaksanaan sistem peradilan pidanan Anak.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 22/29
LPKS berperan dalam sistem peradilan pidana Anak, khusus dalam hal
terhadap anak yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, namun Anak
tersebut masih berusia dibawah 12 (dua belas tahun). Anak dapat menjalani hari-
harinya di dalam LPKS sesuai dengan keputusan Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional yang diajukan ke pengadilan dalam
waktu 3 (tiga) hari untuk penetapan waktu kapan Anak tersebut mulai ditempatkan di
LPKS.
Anak menjalani program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di LPKS
dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. Pelaksanaan program tersebut akan
dievaluasi oleh Balai Pemasyarakatan, apabila menurut hasil evaluasi Anak masih
memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan lanjutan, maka masa dapat
diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. Selama program pendidikan, pembinaan,
dan pembimbingan berlangsung, LPKS wajib memberikan laporan perkembangan
Anak kepada Balai Pemasyarakatan setiap bulan secara berkala.
b. Kebijakan Non-Penal dalam Penanggulangan Kejahatan yang
dilakukan Anak
Kebijakan non-penal dalam penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku
tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tampak dengan
adanya penerapan Diversi dan Keadilan Restoratif yang dimasukkan dalam proses
sistem peradilan pidana anak.
1) Proses Penyelesaian Perkara Anak Pelaku Tindak Pidana Melalui Diversi
dan Keadilan Restoratif
Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 harus selalu diupayakan
pada setiap proses pemeriksaan perkara Anak, atau dengan kata lain proses diversi
merupakan bahagian yang tidak terlepas dari sistem peradilan pidana. Diversi
tersebut dilaksanakan jika perbuatan yang dilakukan diancam dengan pidana penjara
di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan pengulangan tidak pidana (Lihat Pasal 7).
Tujuan dari dilakukannya Proses Diversi dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 ialah:
a)
mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b)
menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 23/29
c)
menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d)
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e)
menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Sehingga dalam pelaksanannya, Proses Diversi wajib memperhatikan:
a) kepentingan korban;
b)
kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c)
penghindaran stigma negarif;
d) penghindaran pembalasan;
e)
keharmonisan masyarakat; dan
f)
kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Penerapan atau pelaksanaan proses Diversi tidak dapat terhadap semua Anak
yang melakukan atau semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, sehingga
dalam Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan: (lihat Pasal 9 ayat (1))
a)
kategori tindak pidana
Ketentuan ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana
semakin tinggi prioritas Diversi.Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan
terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan,
pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun.
b)
umur Anak
Umur anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas
pemberian Diversi dan semakin muda umur anak, semakin tinggi prioritas Diversi.
Hal ini terlihat dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
mengatur bahwa Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
(1)
menyerahkan kembali kepada orangtua/Wali;atau
(2)
mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaa, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LKPS di instansi lain yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
(3)
hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 24/29
(4)
dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dasar dari pelaksanaan Diversi adalah kesepakatan, sehingga Diversi tidak
dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan dari korban dan/atau keluarga Anak
Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya. Walaupun demikian, Diversi dapat
dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan tersebut terhadap:
(1)
tindak pidana yang berupa pelanggaran;
(2)
tindak pidana ringan;
(3) tindak pidana tanpa korban; atau
(4)
nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau tindak pidana
yang nilai kerugiannya tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat
tersebut dapat berbentuk:
(1) pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
(2)
rehabilitasi medis dan psikologi;
(3)
penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
(4)
keikutsertaan dalam pendidikan di lembaga pendidikan atau LPKS paling
lama 3 (tiga) bulan; atau(5)
pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa apabila
upaya diversi berhasil, maka para pihak dapat membuat kesepakatan berupa:
(1) perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
(2)
penyerahan kembali kepada orang tua/Wali
(3)
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3(tiga) bulan; atau
(4)
pelayanan masyarakat.
Hasil kesepakatan Diversi akan dibuat penetapannya dan akan mempengaruhi
pada pemberhentian pemeriksaan perkara baik di tingkat penyidikan maupun di
tingkat penuntutan, namun apabila proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan
maka proses peradilan pidana Anak akan dilanjutkan.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 25/29
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 sayangnya tidak mengatur tatacara
penyelesaian atau penerapan sistem Keadilan Restoratif ( Restorative Justice) secara
rinci seperti penerapan diversi, hal ini mungkin akan dijabarkan pada peraturan
pelaksana daripada undang-undang itu sendiri.
2)
Peranan Lembaga Penegak Hukum Negara Republik Indonesia dalam
Pelaksanaan Proses Diversi dan Keadilan Restoratif
Pelaksanaan proses Diversi dan Keadilan Restoratif tidak terlepas dari
keterlibatan beberapa lembaga penegak hukum negara Republik Indonesia. Hal ini
disebabkan karena meskipun proses Diversi dan Keadilan Restoratif merupakan
kebijakan penanggulangan non-penal, namun memiliki kaitannya yang erat dalam
pelaksanaan sistem peradilan pidana Anak yang merupakan bahagian dari penerapan
kebijakan penal. Salah satu yang terlihat jelas adalah bahwa “setiap proses
pemeriksaan sistem peradilan pidana Anak wajib mengupayakan Diversi”. Artinya
bahwa kebijakan penal dan non-penal menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 dapat dilakukan secara bersamaan, hanya saja lebih mengutamakan upaya non-
penal dengan menerapkan sistem Diversi dengan cara melalui pendekatan Keadilan
Restoratif.
a)
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan memiliki peran yang sama dalam
pelaksanaan proses diversi. Proses Diversi wajib diupayakan dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai/ berkas dilimpahkan ke kejaksaan dan
pengadilan, dan upaya Diversi dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
Apabila Diversi berhasil, maka penyidik, penuntut, dan hakim membuat berita
acara Diversi disertai dengan kesepakatan Diversi dan diberikan kepada ketua
pengadilan untuk dibuat penetapan.
b) Balai Pemasyarakatan
Balai pemasyarakatan (Bapas) adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan
yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,
pengawasan, dan pendampingan. Balai Pemasyarakatan memiliki peran yang
dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dengan melakukan penelitian
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 26/29
kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di
luar proses peradilan pidana, serta membuat laporan atas penelitian kemasyarakatan
untuk kepentingan Diversi, melakukan pembimbingan, dan pengawasan terhadap
Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya
kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan.
Balai Pemasyarakatan juga berfungsi untuk mengawasi jalannya proses
penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan yang
dilakukan oleh Lembaga-Lembaga terkait yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012, yaitu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial (LPKS). Berkaitan dengan Diversi dan Keadilan Restoratif, maka Lembaga
yang diawasi oleh Balai Pemasyarakatan adalah LPKS, sebab dalam pelaksanaan
proses dan kesepakatan Diversi anak dapat diikutsertakan dalam pendidikan atau
pelatihan di Lembaga Pendidikan atau LPKS dalam jangka waktu yang ditentukan.
Artinya, anak yang dalam masa Diversi ataupun dalam kesepakatan Diversi
ditempatkan di Lembaga Pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan
Sosial (LPKS) dengan pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas).
E.
PENUTUP
1.
KesimpulanSetelah melakukan analisis terhadap permasalahan yang berkenaan dengan
kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana dari
perspektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Prinsip perlindungan hukum terhadap Anak pelaku tindak pidana dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak mengacu kepada Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The
Rights of The Child), dan juga apabila diperhatikan telah mencakup sebagian
besar prinsip perlindungan anak pelaku tindak pidana baik dalam instrumen
hukum nasional maupun instrumen hukum internasional. Prinsip perlindungan
Anak dalam undang-undang ini dapat dilihat dari dianutnya beberapa asas yang
harus diterapkan dalam pelaksanaan Sistem Peradilam Pidana Anak.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 27/29
b.
Kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di
Indonesia dalam perspektif Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat dilakukan dengan sarana Penal
atau Non-Penal.
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Penal dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan menerapkan upaya hukum pidana, yaitu
melalui proses penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan, serta
pembinaan di Lembaga. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana
penal di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 hanya dapat diterapkan
terhadap Anak Pelaku yang telah berusia 12 (dua belas) tahun namun belum
mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, akan tetapi Anak yang dapat dilakukan
penahanan karena perbuatannya ialah anak yang berusia 14 (empat belas) tahun
dan perbuatannya itu merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana penjara
7 tahun atau lebih.
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Non-Penal dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan menerapkan sistem Diversi dan
dengan Keadilan Restoratif. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara
Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, namun
dalam pelaksanaannya tetap melibatkan aparat penegak hukum. Sedangkan
Keadilan Restoratif merupakan cara penyelesaian yang digunakan dalam proses
diversi, yaitu dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.
Meskipun ada sarana Penal dan Non-Penal, dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 ini sarana Non-Penal lebih diutamakan, tetapi dalam penerapannya
kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana Non-Penal juga dilakukandalam penerapan sarana Penal. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam setiap proses
peradilan pidana berlangsung, yakni dalam penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di pengadilan, harus mengupayakan Diversi sebelum melanjutkan
pemeriksaan perkaranya.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 28/29
2. Saran
Berdasarkan pembahasan dan pemaparan yang menjawab permasalahan dalam
tulisan ini, maka ada beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis, yaitu:
a.
Asas-asas yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak telah memenuhi prinsip perlindungan Anak pelaku
tindak pidana haruslah benar-benar diterapkan dalam pelaksanaannya, karena
apabila tidak diterapkan hal ini berarti bahwa tidak ada gunanya dilakukan
pembaharuan hukum dalam peradilan anak, sebab asas perlindungan terhadap
anak yang demikian banyak itu hanya dijadikan sebagai bingkai indah belaka
tanpa aplikasi yang sesuai. Maka dari itu sebaiknya dalam demi terlaksananya
asas-asas tersebut sebaiknya dibuat peraturan mengenai pengawasan terhadap
pelaksanaan asas-asas tersebut dan memberikan ketentuan sanksi pidana yang
benar-benar ditegakkan apabila undang-undang ini tidak dilaksanakan
berdasarkan asas-asas tersebut.
b. Kebijakan penanggulangan baik melalui sarana penal maupun non-penal
merupakan upaya yang sama baiknya dalam menanggulangi kejahatan terhadap
Anak, namun dalam pelaksanaannya guna menentukan apakah akan diterapkan
sarana penal atau non-penal, sebaiknya aparat penegak hukum serta lembaga yang
terkait tetap melakukan hubungan yang integral dan professional satu sama
lainnya dengan mempertimbangkan keadaan anak dan perbuatan pidana yang
telah dilakukan oleh anak.
Pelaksanaan kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap Anak haruslah
dilakukan oleh aparat yang professional dengan pengetahuan yang benar-benar
dikuasai dalam hal perkara Anak, sehingga tidak terjadi keburukan yang akhirnya
menimbulkan kerugian pada Anak.
Lembaga-lembaga sebagaimana yang telah disebutkan dalam undang-undang ini
harus benar-benar segera dibuat oleh pemerintah dan dijalankan sesuai dengan
fungsinya sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang ini.
7/21/2019 Jurnal Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-kebijakan-penanggulangan-kejahatan-terhadap-anak-pelaku-tindak-pidana 29/29
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Edisi Pertama, CetakanKe-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hadisuprapto, Paulus, 1997, Juvenille Delinquency Pemahaman dan
Penanggulangannya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sholehuddin, Muhammad, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: PT. JasagrafindoPersada.
B.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
C.
Internet
http://books.google.co.id/books?id=IHn7cUJU0nsC&pg=PA72&lpg=PA72&dq=ana
k+yang+dituduh+bermain+judi&source=bl&ots=zxc0Vtc3P&sig=NOV24l
VThna3M8wUwFojQO_Zjck&hl=id&sa=X&ei=JWVIUb3bBMmqrAfN9YDIAg&redir_esc=y#v=onepage&q=anak%20yang%20dituduh%20bermain
%20judi&f=false)
http://greatandre.blogspot.com/2011/06/analisis-kasus-raju-dimanakah-
keadilan.html.
http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2012/01/17/koin-rp-1000-untuk-anak-
yang-terancam-penjara-di-bali.html.
http://www.negarahukum.com/hukum/menyoal-revisi-peradilan-pidana-anak-
catatan-singkat-undang-undang-nomor-11-tahun-2012.html.
Top Related