JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
86 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
Dwi Dasa Suryantoro
Prodi ahwal asy syakhsiyyah, STAI Nurul Huda Kapongan
Situbondo,[email protected]
Abstrak
Bahwa dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 1/1974 menentukan bahwa harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.
Disini hanya ditekankan harta yang diperoleh selama perkawinan baik karena
usaha suami/istri atau suami-istri bersama-sama otomatis menjadi harta
bersama. Tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama
tetap mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing, Dalam kaitannya dalam
pernikahan, secara tersirat suami/isteri telah sepakat untuk bekerja sama
membina keluarga (rumah tangga) yang didalamnya terdapat perintah
mencari penghasilan untuk menunjang terwujudnya keluarga yang sejahtera.
Disini antara suami/isteri tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak
bekerja menghasilkan kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis kerja
masing-masingnya. Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa, dan atas
dasar itu, penghasilan yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap
sebagai harta bersama.
Keywods : Harta Bersama dalam perkawinan,, Jurnal IMTIYAZ;
PENDAHULUAN
Keluarga merupakan unit terkecil dalam bangunan masyarakat. Ia
merpukan subsistem dari sistem sosial yang didalamnya berlaku norma-norma
etika, moral, agama, dan hukum, disamping juga berinteraksi dengan
subsistem-subsistem dari sistem sosial lain dan dengan ekosistemnya. Oleh
karena itu, perubahan yang terjadi dalam subsistem-subsistem lain dan dengan
ekosistemnya tersebut akan mempengaruhi keluarga. Struktur dan fungsi
keluarga akan mengalami perubahan akibat terjadinya perubahan sosial,
sebagai akibat antara lain oleh kemajuan yang pesat di bidang sain dan
teknologi. Pada era super industri ini terjadi perubahan pada struktur dan
fungsi keluarga, dari keluarga besar menjadi keluarga inti, dan dari fungsi yang
komplek menjadi hanya tinggal fungsi proteksi. Namun demikian, ada fungsi
keluarga yang tidak pernah berubah sepanjang masa, yaitu fungsi peredam
serta penstabil kegoncangan dan instabilitas yang terjadi di masyarakat. Setiap
anggota keluarga yang telah bergelut dan mengalami kegoncangan dalam
mempertahankan hidupnya di luar keluarga, akan mendapatkan ketenangan
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
87
dalam kehidupan rumah tangga.1 Norma-norma yang berlaku dalam keluarga
akan mengalami masyarakat. Demikian pula hukum yang mengatur keluarga
akan mengalami perubahan akibat terjadinya perubahan masyarakat tersebut.
Keluarga, baik substansi, institusi, maupun budayanya terus mengalami
perubahan. Perubahan ini dilakukan dalam rangka menjawab tantangan
kesetaraan gender dan perlindungan hak asasi manusia. 2
Antara keluarga dan perkawinan sangat erat kaitannya, karena keluarga
hanya akan lahir dari suatu perkawinan. Tidak akan ada keluarga, tanpa adanya
perkawinan, dan juga tidak ada perkawinan yang tidak membentuk keluarga.
Hal ini secara jelas tergambar dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 28B ayat 1 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun
1999 tentang hak asasi manusia (lembaran negara republik indonesia [LNRI]
tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
[TLNRI] Nomor 3886, selanjutnya disebut UU HAM), yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah, dan dalam pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan (LNRI Tahuhn 1974 Nomor 1/1974), yang menyatakan
bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai uami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai suatu keluarga, suami isteri mempunyai kewajiban yang
bersama, antara lain bahwa suami istri wajib saling mencintai, hormat-
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain (Pasal 33 UU No. 1/1974). Itulah filosofi perkawinan, yang tidak lain
adalah sebagai ikatan lahir batin di antara suami isteri guna mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang kekal dan abadi dalam suasana yang penuh
kerukunan, cinta dan kasih sayang. Kepada suami isteri sangat dituntut suatu
gerak langkah yang bersifat ketersalingan, antara lain saling hormat-
menghormati, saling bantu-membantu, saling bekerjasama, saling
ketergantungan, dan saling pengertian. 3
Sebagai wujud nyata dari adanya sifat ketersalingan tersebut, UU No.
1/1974 juga mengatur soal harta benda dalam perkawinan. Aturan tersebut
menyatakan bahwa:
Pasal 35:
1. Taufiq, Peradian Keluarga Indonesia, dalam hukum keluarga dan Peradilan
Keluarga di Indonesia, (Jakarta Mahkamah Agung RI 2000), hlm.73 2. Ibid hlm. 74 3 . M. Yahya Harahap, Perlawanan terhadap eksekusi, (Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, 1993),hlm. 192
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
88 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari msing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
Pasal 36:
Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
Pasal 37:
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukunya” masing-
masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya
(penjelasan Pasal 37).
Berangkat dari persoalan diatas maka penulis ingin mengetahui
bagaimana kedudukan harta bersama dalam rumah tangga presppektif
Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
II. Metode
Metode penelitian merupakan suatu tahapan dalam melakukan suatu
kegiatan penelitian sebagaimana nantinya dapat menjalankan fungsi
peneiltian, dimana fungsi penelitian untuk mendapatkan suatu kebenaran. 4
Suatu kebenaran harus bersumber pada ilmu pengetahuan yaitu darimana
sumber-sumber pengetahuan itu diperoleh, apakah sumber pengetahuan
tesebut dapat dipercaya atau tidak. Untuk itu perlu adanya suatu metode dalam
kegiatan penelitian setidaknya dengan menggunakan teknik pendekatan yaitu
Wawancara, Observasi, dan Dokumetasi.
Dengan demikian tanpa adanya suatu metode penelitian, peneliti tidak
akan pernah mendapatkan sumber-sumber pengetahua dalam penelitiannya
sehingga kebenaran yang dicari sebagaimana fungsi dari penelitian itu sendiri
tidak akan pernah mendapatkan kebenaran.
Bahwa dalam penelitian hukum terdapat dua model jenis pendekatan
yaitu pendekatan penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dimana
penelitian ini mempunyai sifat Deskriptif, yang maksudnya pendekatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan serta hukum yang berkaitan erat
dengan masalah yang akan diteliti yang bersumber pada fakta yang sebenarnya
di dalam masyarakat dan bahan pustaka atau data sekunder.
4 . .Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Perdana Media
Group, 2013) hlm. 20
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
89
Pedekatan yang penulis lakukan ini berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan teori-teori yang berkaitan dengan kedudukan harta bersama
dalam perkawinan perspektif Undang-Undang no.1 Tahun 1974.
PEMBAHASAN
Berbicara mengenai harta bersama berarti berbicara soal harta
perkawinan karena ia merupakan bagian daripadanya. Harta perkawinan
menurut pasal 35 ayat 1 menjelaskan bahwa harta bersama merupakan harta
yang diperoleh sesama perkawinan sedangkan dalam ayat 2 UU No. 1 Tahun
1974 menjelaskan tentang harta bawaan dalam perkawinan.
Menurut Andi Hamzah, terdiri dari empat unsur pertama, harta asal
(warisan) dan pemberian yang diperoleh suami/isteri sebelum katan
perkawinan berlangsung; kedua, harta pendapaan suami/isteri selama ikatan
perkawinan berlangsung; ketiga, hara usaha bersama suami/isteri selama
ikatan perkawinan berlangsung, dan keempat, harta yang diperoleh
suami/isteri sebagai hadiah selama berlangsungnya ikatan perkawinan.
Hampir berbeda dengan itu adalah perincian yang dilakukan oleh Hilman
Hadikusuma yang mengelompokkan harta perkawinan ke dalam empat unsur,
yaitu pertama harta bawaan, yakni harta yang dibawa oleh suami/isteri ke
dalam ikatan perkawinan, baik yang berupa hasil jerih payah masing-masing
ataupun yang berasal dari hadiah atau warisan yang diperoleh sebelum dan
sesudah perkawinan mereka berlangsung; kedua harta pencarian, yakni harta
yang diperoleh sebagai hasil karya suami/isteri selama ikatan perkawinan
berlangsung, ketiga harta peninggalan, dan keempat harta pemberian seperti
hadiah, hibah, dan lain-lain.5
Sepintas, terkesan ada perbedaan mengenai unsur harta perkawinan
antara apa yang dikemukakan Andi Hamzah dengan Hilman Hadikusuma.
Tetapi, pada prinsipnya, tidak ada perbedaan dimaksud, karena unsur yang
pertama dalam pandangan Andi Hamzah sama dengan apa yang dimaksud
oleh Hilman Hadikusuma sebagai harta bawaan. Unsur yang kedua dalam
pandangan Andi Hamzah sama dengan apa yang dimaksud dengan unsur
ketiga oleh Hilman Hadikusuma. Unsur yang ketiga dalam pandangan Andi
Hamzah sama dengan apa yang dimaksud unsur kedua oleh Hilman
Hadikusuma, dan unsur keempat dalam pandangan Andi Hamzah sama
dengan apa yang dimaksud pada unsur keempat oleh Hilman Hadikusuma.
Namun demikian, pada unsur keempat dalam pandangan Andi Hamzah
telah dikhususkan pada hadiah, sehingga untuk hibah dimasukkannya dalam
unsur kedua. Sementara Hilman Hadikusuma memasukkan hadian dalam
5 . Hilman Hadikusua, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung, CV. Mandaraju,
1990) hlm. 123-124
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
90 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
unsur keempat yakni dalam kategori pemberian, yang termasuk didalamnnya
hibah dan hadiah.
Secara ringkas baik menurut pandangan Andi Hamzah maupun Hilman
Hadikusuma, harta perkawinan itu terdiri dari harta bawaan, harta bersama
dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah, hibah atau warisan
selama ikatan perkawinan berlangsung.
Bahwa dalam Pasal 35 ayat 1 UU No. 1/1974 menentukan bahwa harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama. Dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus, maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Hanya inilah ketentuan
mengenai pengertian harta bersama dalam UU No. 1/1974. Bagaimana wujud
dan ruang lingkup dari harta bersama itu, UU No. 1/1974 sendiri tidak
menjabarkannya lebih lanjut. Namun demikian, disini telah terpancang suatu
kaidah hukum bahwa semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan menjadi uris diksi harta bersama.
Undang-undang sendiri tidak memerinci dan menjelaskan lebih lanjut
bagaimana wujud dan ruang lingkup harta bersama, maka disini dapat
mengacu pada ketentuan pasal 91 KHI yang pada intinya menentukan bahwa
harta bersama itu dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Benda
berwujud disini dapat meliputi benda tidak bergerak. Benda berwujud disini
dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga,
sedangkan benda tidak terwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
Berdasarkan rincian tersebut, maka harta bersama itu termasuk dalam
kategori benda, yang secara yuridis adalah segalah sesuatu yang dapat menjadi
obyek hak milik.6 Secara kategoris ada beberapa macam benda, yakni benda
berwujud (lichamelijk) dan benda tidak berwujud (onlichamelijk), benda
bergerak dan benda tidak bergerak, benda yang dapat dipakai habis
(verbruikbaar) dan benda yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar)
benda yang sudah ada (tegenwoordigde zaken) dan benda yang masih akan ada
(toekomstige) benda dalam perdagangan (zaken in de handle) dan benda di luar
perdagangan (zaken buiten de handle) serta benda yang dapat dibagi dan tidak
dapat dibagi. Sedangkan dalam pasal 1 angka 4 UUF, benda itu adalah segala
sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun
tidak bergerak.
R. Subekti membagi benda menjadi dua pengertian, yaitu benda dalam
pengertian luas dan dalam pengertian sempit. Benda dalam pengertian luas
adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang dam karena itu benda
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
91
termasuk obyek hukum. Sedangkan benda dalam pengertian sempit berarti
“barang yang terlihat” saja, dan dapat juga berarti “kekayaan yang dimiliki
seseorang”. Jika benda dimasukkan dlam pengertian yang terakhir, maka ia
meliputi juga barang-barang yang tidak dapat dilihat, seperti hak-hak yang
dimiliki oleh seseorang”. Jika benda dimaksudkan dalam pengertian yang
terakhir, maka ia meliputi juga barang-barang yang tidak dapat dilihat, seperti
hak-hak yang dimiliki oleh seseorang. 7
Undang-undang telah mengklasifikasi benda menjadi beberapa
klasifikasi, dan salah satu yang terpenting di antaranya adalah klasifikasi benda
menjadi benda bergerak dan tidak bergerak, karena pembagian tersebut
mempunyai akibat yang sangat penting dalam hukum. Berbicara soal benda,
tidak bisa lepas dari ketentuan Buku II KUHPerdata, karena disanalah sumber
aturan untuk ini berasal. Tetapi, dengan telah dibelakukannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (LNRI Tahun
1960 Nomor 104 – TLNRI Nomor 2043, yang disebut Undang-Undang Pokok
Agraria, selanjutnya disebut UUPA), berpengaruh besar terhadap dayalaku
ketentuan Buku II KUHPerdata tersebut, khususnya dalam bidang pertahanan.
Hal ini disebabkan karena ketentuan UUPA dimaksud mencabut beberapa
aturan di bidang pertahanan yang berlaku sebelumnya, antara lain adalah
ketentuan Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata indonesia
sepanjang yang mengenai bumi, air, serta kekayaan atau yang
terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai
hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-Undang
ini. (cetak tebal dari penulis).
Dengan demikian, pasca diundangnya UUPA, semua ketentuan
mengenai hak-hak kebendaan sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata,
dicabut, kecuali aturan mengenai hipotek. Tetapi, setelah berlangsung selama
lebih dari tiga setengah dasawarsa, tepatnya hampir 35 tahun enam bulan,
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang berkaitan dengan tanah
(LNRI Tahun 1996 Nomor 42 – TLNRI Nomor 3632, yang disebut Undang-
Undang Hak tanggungan, selanjutnya disebut UUHT) aturan mengenai
hipotek terhadap hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah pun dinyatakan dalam pasal 29 UUHT yang menyatakan bahwa dengan
berlakunya Undang-Undang ini, dan ketentuan mengenai Hypotheek
sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata
7 . R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan ke 13, (Jakarta, PT Interasa
1978) hlm. 50
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
92 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak
berlaku lagi. Sedangkan ketentuan mengenai Hypotheek yang tidak berlaku
lagi hanya yang menyangkut pembebanan Hypotheek atas hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.8
Dengan demikian, jangkauan dayalaku ketentuan Buku II KUHPerdata
menjadi semakin sempit, yang dapat diperinci sebagai berikut :
a. Pasal yang masih berlaku penuh karena tidak menjangkau mengenai soal
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai berikut
:
1) Pasal yang dimaksud adalah :pasal tentang benda bergerak, yakni
pasal 509 – 518;
2) pasal tentang penyerahan benda bergerak, yakni pasal 612 dan613;
3) pasal tentang bewoning, dan ini hanya mengenai rumah, yakni pasal
826 dan 827;
4) pasal tentang hukum waris, yakni pasal 830 – 1130. Walaupun ada
beberapa pasal dalam Hukum Waris yang juga mengenai tanah, tanah
tersebut diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris;
5) pasal tentang piutang yang diistimewakan (Previlegie), yakni Pasal
1131 – 1149;
6) 6. pasal tentang gadai, karena gadai hanya mengenai benda bergerak,
yakni Pasal 1150 – 1160;
7) pasal tentang Hipotik, untuk selain tanah, yang dalam hal ini adalah
Pasal 1168 dan 1169,
8) Pasal 1171 ayat 3 dan 4, Pasal 1175 dan 1176 ayat 2, Pasal 1177 dan
1178, Pasal 1180,
9) Pasal 1186 dan 1187, pasal 1189 dan 1190, pasal 1193, Pasal 1197,
pasal 1205, Pasal
10) 1207 sampai dengan 1219 dan Pasal 1224 sampai dengan Pasal 1227.
b. Pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal yang mengatur tentang
bumi, air dan kekayan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal-pasal
tersebut adalah :
1. Pasal tentang benda tak bergerak, yang hanya berhubungan dengan
Hak-hak mengenai tanah;
2. Pasal tentang ara memperoleh hak milik, yang hanya mengenai tanah;
3. Pasal mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak, tak pernah
berlaku;
4. Pasal tentang kerja rodi, yakni Pasal 673;
8
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
93
5. Pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga, yakni
Pasal 625 673;
6. Pasal tentang pengabdian pekarangan (erfdienstbaarheid), Yakni Pasal
674 – 710;
7. Pasal tentang hak Opstal, yakni Pasal 711 -719;
8. Pasal tentang hak Erfpacht, yakni Pasal 720 – 736;
9. Pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh, yakni Pasal 737 –
755.
c. Pasal yang masih berlaku, tetapi tidak secara penuh, dalam arti bahwa
ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, tetapi masih tetap
berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya. Pasal yang dimaksud
adalah:
1. Pasal-pasal tentang benda pada umumnya;
2. Pasal tentang cara membedakan benda, Pasal 503 -505;
3. Pasal tentang benda, sepanjang tida mengenai tanah, terletak di antara
Pasal 529 – 568;
4. Pasal tentang hak milik, sepanjang tidak mengenai tanah, terletak di
antara Pasal 570;
5. Pasal tentang Hak memungut hasil (Vruchtgebruuk), sepanjang tidak
mengenai tanah, yakni Pasal 756;
6. Pasal tentang Hak Pakai sepanjang tidak mengenai tanah, yakni Pasal
818.
Selain pasal-pasal tersebut, juga semua pasal yang merupakan
pelaksanaan atau bertalian dengan pasal yang tak berlaku itu, meskipun tidak
tegas-tegas disebut dan letaknya diluar Buku Ke II, yaitu dalam Buku Ke III,
Buku Ke IV KUH Perdata juga dianggap tidak berlaku lagi; misalnya Pasal
1955 dan 1963, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat untuk dapat
memperoleh hak Eigendom melalui verjaring, yang hakekatnya pasal ini
merupakan pelaksanaan dari pasal 610 yang menentukan bahwa bezitter dapat
memperoleh hak eigendom atas sesuatu benda melalui verjaring. Juga pasal
tentang sewa-menyewa tanah, jual beli tanah dan lain-lain. Karena bertalian
dengan tanah yang sudah diatur khusus dalam UUPA, maka pasal-pasal
tersebut tidak berlaku lagi. Selain itu juga pasal 621, 622, 623 KUHPerdata
mengenai pemberian penegasan tentang hak atas tanah yang menjadi
wewenang dari Pengadilan Negeri.
Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi benda tidak bergerak
karena sifatnya, karena tujuannya, dan karena ditentukan demikian oleh
undang-undang. Yang digolongkan kedalam pengertian benda tidak bergerak
karena sifatnya adalah tanah, rumah, dan segala sesuatu yang melekat diatas
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
94 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
tanah, seperti pohon-pohon,(wortelvast) dan tumbuh-tumbuhan kecil (takvast).
Yang digolongkan kedalam pengertian benda tidak bergerak karena tujuannya,
seperti mesin alat-alat yang dipakai di dalam pabrik, walaupun sebenarnya ia
termasuk kategori benda tidak bergerak, tetapi oleh si yang empunya dalam
pemakainnya dihubungkan atau dikaitkan pada benda pokok, yakni benda tak
bergerak, sehingga ia termasuk pada benda tak bergerak. Ini pun masih harus
dipenuhi beberapa persyaratan, antara lain benda begerak yang dipakai dalam
benda pokok itu harus sedemikian bentuk dan konstruksinya, sehingga
keduanya sesuai dan terikat untuk dipakai tetap, selain syarat tersebut, syarat
lainnya adalah bahwa hanya pemilik benda tiak bergerak yang dijadikan benda
pokok itu yang dapat menjadikannya sebagai benda bergerak karena
tujuannya, sedangkan orang lain, misalnya pihak penyewa, tidakdapat
perlindungan demikian. Selain kedua syarat tersebut, syarat lainnya adalah
bahwa benda tidak begerak dan benda tidak bergerak tersebut dimiliki oleh
orang yang sama, bukan pihak lain. Sedangkan yang digolongkan kedalam
benda tidak bergerak karena ditentukan demikian oleh undang-undang ialah
hak-hak atas benda tidak bergerak, seperti hak memungut hasil atas benda tiak
bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak, dan hak tanggungan.
Walaupun tanah, rumah, dan benda-benda yang berada diatas tanah itu
merupakan salah satu unsur benda tidak bergerak, yang menurut KUHPerdata
bahwa antara tanah dengan benda-benda yang berada diatasnya merupakan
satu-kesatuan yang utuh, tidak terpisahkan antara satu dengan yang lain,
sehingga benda yang berada diatas tanah menjadi satu-kesatuan dengan
tanahnya, dan oleh karena itu tidak mungkin mengadakan transaksi secara
terpisah antara tanah dengan benda yang berada diatasnya itu, tetapi dalam
sistem Hukum Pertanahan Nasional (HPN) Indonesia tidaklah demikian.
Memang terdapat perbedaan asas antara hukum pertanahan yang dianut
oleh KUHPerdata dengan yang dianut oleh HPN Indonesia. Asas yang dianut
oleh hukum pertanahan dalam KUHPerdata antara asas perlekatan (netrekking
beginsel), sedangkan HPN Indonesia, menganut asa pemisahan horizontal
(horizontale scheiding beginsel), seperti yang diatur UUPA, yang bersumber
pada hukum adat, diamana hukum adat itu menganut asas yang memisahkan
antara kepemilikan tanah dengan benda-benda yang berada diatasnya. Dalam
lalu lintas masyarakat adat, sejak dahulu dikenal transaksi rumah atau tanaman
yang berada diatas sebidang tanah, tanpa ikut mentransaksikan bidang
tanahnya. Oleh karena itu, sehubungan dengan asas pemisahan horizontal ini,
dalam HPN kita sangat mungkin sekali adanya suatu benda, entah itu berupa
bangunan, tanaman, dan lain-lain yang beada diatas sebidang tanah,
pemiliknya berbeda dengan pemilik tanah yang bersangkutan. Hal yang sama
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
95
ditegaskan pula dalam penjelasan umum UUHT yang antara lain menyatakan
:
Hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya
adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun
kenyataannya, sering kali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman,
dan hasil-hasil karya, yang secara tetap merupakan satu-kesatuan dengan
tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Sebagaimana diketahui, Hukum
Pertanahan Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas
pemisahan horizontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya
dengan bangunan, tanaman, dan hasil kaya tersebut, Hukum Pertanahan
Nasional menggunakan juga asas pemisahan horizontal. Dalam rangka
pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu-kesatuan dengan
tanah menurut hukum bukan merupakan bagian tanah yang bersangkutan.
Oleh karena itu, setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak
dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Namun demikian,
penerapan asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu
memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan, dan
kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat
hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, dalam
undang-undang ini dinyatakan bahwa pembebanan Hak Tanggungan atas
tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud
diatas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam
praktek, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu-kesatuan dengan
tanah yang bersangkutan dan keikut-sertaannya dijadikan jaminan, dengan
tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungannya. Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut dijadikan
jaminan itu, tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki oleh pihak
lain.
Suatu benda digolongkan kedalam pengertian benda bergerak karena ia
bersifat sebagai benda bergerak, atau karena undang-undang yang
menentukannya demikian. Yang digolongkan kedalam pengertian benda
bergerak karena sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan, seperti meja,
atau karena ia dapat dipindah sendiri, seperti ternak. Benda yang digolongkan
kedalam pengertian benda bergerak karena undang-undang menentukan
demikian adalah hak-hak atas benda bergerak, seperti hak memungut hasil dari
suatu benda bergerak, dan hak pemakaian atas benda bergerak. Hak jaminan
vidusia, dan saham perusahaan. Khusus mengenai yang terakhir ini ditentukan
dalam pasal 54 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang
Perseroan Terbaas (LNRI Tahun 1995 Nomor 13 – TLNRI Nomor 3587).
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
96 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Pasal ini menyatakan saham merupakan benda bergerak dan memberikan hak
kepemilikan kepada pemegangnya. Penjelasan ayat tersebut menyatakan
“kepemilikan atas sahan sebagai benda bergerak memberikan hak kebendaan
kepada pemegangnya. Hak tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap
orang”.
Selain saham, yang digolongkan sebagai benda bergerak juga adalah hak
cipta, seperti yang ditentukan Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta (LNRI Tahun 2002 Nomor 85 - TLNRI Nomor 4220) yang
menyatakan bahwa hak cipta dianggap sebagai benda bergerak. Yang
dimaksud dengan hak kebendaan adalah hak atas suatu benda yang
memberikan kekuasaan atas bendaitu, dan hak ini dapat dipertahankan
terhadap siapapun juga. Termasuk dalam pengertian hak kebendaan ini adalah
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak tanggungan, hak gadai,
jaminan fidusia, dan hipotik.
UUF menggolongkan benda ada yang termasuk pada benda berwujud
dan adapula benda yang tidak berwujud. Demikian juga harta bersama, ada
yang berupa benda berwujud dan adapula yang berupa benda tidak berwujud.
Harta bersama dalam bentuk benda tidak berwujud dapat berupa hak maupun
kewajiban yang dalam operasionalisasinya dapat pula menjangkau pada hak
atas kekayaan intelektual HAKI.
Suatu asas telah terpancang, yakni semua harta yang diperoleh selama
dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Asas ini telah
dikembangkan secara enumeratif dalam praktek peradilan seperti yang
dikemukakan oleh M. Yahya Harahap, sehingga daya jangkaunya menjadi
demikian luas. Berdasarkan pengembangan tersebut, maka harta perkawinan
yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah :
a. Harta yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan berlangsung
Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi
yurisdiksi harta bersama. Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar dan
dimana letaknya, tidak menjadi persoalan. Ini sudah merupakan yurisprudensi
tetap, yang salah satu antaranya adalah putusan MA No. 803 K/Sip/-1970,
tanggal 5 Mei 1971, yang menegaskan bahwa harta yang dibeli oleh suami atau
isteri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta
bersama suami isteri jika pembeliannya dilakukan selama perkawinan.
Tetapi, jika uang pembelian barang itu berasal dari harta pribadi
suami/isteri, maka barang tersebut tidak masuk dalam yurisdiksi harta
bersama, melainkan menjadi milik pribadi suami/isteri yang bersangkutan. Hal
ini tertuang dalam putusan MA No. 151 K/Sip/1974, tanggal 16 Desember
1975, yang menegaskan bahwa barang-barang yang di tuntut bukanlah barang
gono-gini antara Abdullah dan Fatimah karena barang tersebut dibeli dari
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
97
harta bawaan milik pribadi Fatimah. Demikian juga halnya jika biaya
perwujudan barang tersebut berasal dari harta bawaan, maka barang itu bukan
yurisdiksi harta bersama, melainkan sebagai harta bawaan. Hal ini ditegaskan
dalam putusan MA No. 237 K/AG/1977, tanggal 12 Maret 1977 jo. Putusan
PTA No. 69/Pdt.G/1996/PTA. Mdn., tanggal 14 April 1997, jo. Putusan PA
No. 38/Pdt.G/1996/PA.Bji., tanggal 10 Oktober 1996, yang salah satu inti
pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan bahwa rumah yang dibangun
dari harta bawaan, bukan harta bersama, tetapi harta bawaan.
b. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari
harta bersama Suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak ditentukan
oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan,
meskipun barang itu dibeli atau dibangun pasca terjadinya penceraian.
Misalnya, suami isteri selama perkawinan mempunyai deposito. Kemudian
terjadi penceraian. Deposito tersebut dikuasai oleh suami, dan belum dilakukan
pembagian. Dari deposito tersebut suami membangun rumah. Disini, rumah
tersebut termasuk dalam yurisdiksi harta bersama. Penerapan MA No.
803/K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1970, yang pada intinya antara lain
menyatakan bahwa apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya itu berasal
dari harta bersama, menjadi yurisdiksi harta bersama.
M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penerapan seperti itu harus
dipegang secara teguh guna menghindari manipulasi dan itikad buruk ex
suami/-isteri. Sebab, dengan penerapan demikian, hukum tetap dalam
menjangkau harta bersama sekalipun harta itu telah berubah menjadi barang
lain. Misalnya, harta bersama yang mulanya berupa tanah kebun yang telah
berubah menjadi gedung, maka gedung tersebut tetap menjadi yurisdiksi harta
bersama. Jika hukum tidak mampu menjangkau hal yang demikian, tentu akan
banyak terjadi manipulasi harta bersama pasca terjadinya perceraian oleh ex
suami/isteri, dengan tujuan agar semua harta bersama dapat dikuasai. Tindakan
dan itikad yang seperti itu bertentangan dengan nilai-nilai hukum, keadilan dan
kepatutan. Oleh karena itu untuk mengatasinya perlu ditetapkan suatu
kemutlakan harta bersama yang tetap melekat pada setiap barang dalam jenis
dan bentuk apapun, sepanjang barang itu berasal dari harta bersama, walau itu
diperoleh dan dibeli pasca terjadinya perceraian.
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan
perkawinan
Hal ini sangat relevan dengan kaidah hukum mengenai harta bersama,
yakni semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dengan
sendirinya menjadi harta bersama. Namun dalam banyak kasus, sengketa harta
bersama berjalan tidak semulus dan sesederhana yang dibayangkan banyak
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
98 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
orang. Pada umumnya, dalam setiap sengketa harta bersama, pihak tergugat
menyangka bahwa obyek gugatan bukan sebagai harta bersama, melainkan
milik pribadi tergugat. Jika demikian dari jawaban yang dikemukakan terguga,
maka patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk yurisdiksi
harta bersama atau tidak, sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan
penggugat membuktikan dalil gugatannya bahwa obyek sengketa itu diperoleh
selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak
berasal dari harta pribadi. Penerapan ini tertuang dalam putusan PT Medan,
tanggal 26 November 1975 yang pada intinya antara lain menyatakan bahwa
pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara
diperoleh sebelum perkawinan dengan suaminya dan malah terbukti bahwa
sesuai dengan tanggal izin mendirikan bangunan, rumah tersebut dibangun di
masa perkawinan dengan suaminya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami/isteri,
sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama isteri. Dalam tingkat kasasi,
MA dengan putusan No. 808 K/Sip/1974, tanggal 30 Juli 1974, menguatkan
outusan PT Medan tersebut. MA menentukan bahwa masalah atas nama siapa
harta itu terdaftar, bukanlah faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta
masuk yurisdiksi harta bersama, sepanjang yang bersangkutan dapat
membuktikan bahwa harta tersebut diperoleh selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung, dan biayanya berasal dari harta bersama. Bahkan bukan hanya
harta yang terdaftar atas nama suami/isteri yang menjadi yurisdiksi harta
bersama, melainkan suatu harta yang terdaftar atas nama adik suami/isteri pun,
tetap menjadi yurisdiksi harta bersama, asal dapat dibuktikan bahwa itu
diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Hal ini dapat dilihat
dalam putusan MA No. 103 K/Sip/1972, tanggal 23 Mei 1973, yang antara lain
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa sekalipun toko dan barang yang
ada di dalamnya telah diusahai dan dialihnamakan atas nama adik suami, akan
tetapi terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu masih terikat dalam
perkawinan dengan isterinya, maka harta tersebut harus dinyatakan sebagai
harta bersama, yang dapat diperhitungkan pembagiannya di antara suami isteri.
d. Pembagian harta bersama dan harta bawaan Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta
bersama. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Tapi bukan hanya barang
yang berasal adri harta bersama saja yang menjadi yurisdiksi harta bersama,
melainkan juga penghasilan dari harta pribadi suami atau isteri. Sekalipun hak
dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya,
namun harta pribadi itu tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga.
Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tapi hasil dari barang
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
99
tersebut menjadi yurisdiksi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang
suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Disini harus dibedakan antara harta yang dibeli dari hasil penjualan harta
pribadi dengan harta yang timbul dari harta pribadi an sich. Dalam hal harta
yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, secara milik pribadi yang ditukar
dengan barang lain, mutlak menjadi milik pribadi, tetapi hasil yang timbul dari
harta pribadi itu jatuh menjadi harta bersama.
e. Segala penghasilan pribadi suami/isteri
Patokan ini sesuai dengan putusan MA No. 454/K/Sip/1970, tanggal 11
Maret 1971 yang pada intinya menyatakan bahwa segala penghasilan
suami/isteri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan
masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai
pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami/isteri jadi sepanjang
mengenai penghasilan pribadi suami/isteri tidak terjadi pemisahan, bahkan
dengan sendirinya terjadi penggabungan sebagai harta bersama.
Penggabungan pernghasilan pribadi suami/isteri ini terjadi demi hukum,
sepanjang suami/isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
f. Harta Bersama Dalam Perkawinan Serial dan Poligami Soal ini diatur dalam pasal 65 Ayat (1) huruf b UU no. 1/1974 yang
menyatakan “isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau
berikutnya itu terjadi”. Selanjutnya dalam huruf c Pasal dan ayat yang sama
dinyatakan “semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang
terjadi sejak perkawinannya masing-masing”
Ketentuan tersebut menegaskan beberapa asas, yakni pertama, dalam
perkawinan serial atau poligami terbentuk beberapa paket harta bersama.
Kedua, terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal perkawinan
dilangsungkan. Ketiga, masing-masing harta bersama tersebut terpisah dan
berdiri sendiri.
Asas yang pertama, yaitu dalam perkawinan serial atau poligami
terbentuk beberapa paket harta bersama. Berapa jumlah paket harta bersama
dimaksud, tergantung pada berapa banyak isteri yang dikawini suami.
Misalnya, mula-mula seorang laki-laki, A menikah dengan seorang perempuan
yang bernama X. Berarti antara A dan X terbentuk satu paket harta bersama.
Beberapa tahun kemudian pernikahan A dan X putus karena wafatnya X.
Setelah itu, A menikah lagi dengan Y. Dan pernikahan antara A dan Y ini
terbentuk pula satu paket harta bersama. Setelah berlangsung beberapa waktu
lamanya, pernikahan antara A dan Y ini putus karena perceraian. Lantas A
menikah lagi dengan Z. Disini pun antara A dan Z terbentuk satu paket harta
bersama. Dalam kasus ini berarti A mempunyai tiga paket harta bersama, yaitu
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
100 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
pertama, paket harta bersama dalam pernikahan dengan X, kedua paket harta
bersama dalam pernikahannya dengan Y, dan ketiga paket harta bersama
dalam pernikahannya dengan Z.
Bentuk harta bersama dalam pernikahan serial tersebut sama dengan
pernikahan poligami. Jika seorang suami berpoligami dengan dua isteri, maka
dalam kehidupan rumah tangganya terbentuk dua paket harta bersama, antara
suami dengan masing-masing isterinya. Demikian seterusnya, yang jumlah
paketnya tergantung pada jumlah isteri dalam perkawinan poligami tersebut.
Asas yang kedua, terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal
perkawinan dilangsungkan. Dalam contoh yang dikemukakan pada asas
pertama, harta bersama antara A dengan X terbentuk sejak pernikahan mereka
dilangsungkan dan berakhir pada saat perkawinan itu putus karena kematian
X. Demikian pula halnya harta bersama antara A dengan Y dan dengan Z,
paket ini terbentuk, terhitung sejak pernikahan dilangsungkan dan baru
berakhir dengan putusnya perkawinan mereka.
Asas yang ketiga, yaitu masing-masing harta bersama tersebut terpisah
dan berdiri sendiri. Dalam perkawinan serial atau poligami, masing-masing
paket harta bersama itu terpisah dan berdiri sendiri, tidak terjadi penggabungan
antara satu paket dengan paket lainnya. Harta bersama antara suami dengan
isteri pertama, kedua, dan seterusnya, masing-masing terpisah dan berdiri
sendiri. Dalam contoh yang dikemukakan pada saat pembicaraan asas pertama,
paket harta bersama antara A dengan X, A dengan Y, dan A dengan Z, masing-
masing terpisah antara satu dengan yang lain.
Hal tersebut sejalan dengan muatan Pasal 65 ayat (1) huruf b UU No.
1/1974 dan sudah cukup lama diterapkan dalam praktek peradilan jauh
sebelum lahirnya ketentuan normatif dalam UU No. 1/1974. Putusan MA No.
248 K/Sip/1958, tanggal 10 September 1958 antara lain menegaskan bahwa
bilamana seorang laki-laki kawin dengan lebih dari seorang perempuan,
sedangkan ada pula lebih dari satu gono-gini, maka gono-gini itu dipisahkan.
Sedangkan penerapan asas tersebut pasca diberlakukannya UU No. 1/1974
adalah putusan MA No. 3581 K/Pdt/1989, tanggal 2 Februari 1995, yang dari
putusan tersebut dapat diangkat abstrak hukum yang pada intinya adalah
bahwa barang yang diperoleh dari perkawinan isteri pertama yang telah
wafat,kemudian dibawa ke dalam perkawinan kedua,maka barang tersebut
adalah harta bawaan,bukan harta bersama dengan istri kedua.
Asas tersebut bukan hanya berlaku bagi pria,tetapi juga bagi wanita yang
kawin serial dengan beberapa pria. Misalnya seorang wanita, M, mula mula
menikah dengan N, setelah berlangsung beberapa waktu lamanya perkawinan
itu putus karena wafatnya N, M menikah lagi dengan O. Dalam contoh ini, M
mempunyai dua paket harta bersama, yakni satu paket harta bersama M dengan
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
101
suaminya yang pertama, N, dan kedua paket harta bersama antara M dengan
O.
Kedua paket harta bersama ini masing-masing terpisah dan berdiri
sendiri. O tidak berhak atas paket harta bersama antara M dengan N, demikian
juga N, tidak berhak atas paket harta bersama antara M dengan O, putusan MA
No. 343 K/AG/1995, tangggal 30 Oktober 1996 ini abstrak hukumnya
menyatakan bahwa karena uang yang digunakan untuk membeli tanah dan
rumah adalah milik isteri yang diperolehnya dari pembagian harta bersama
dengan bekas suaminya terdahulu, maka tanah dan rumah tersebut adalah milik
isteri bukan sebagai harta bersama dengan suaminya yang kedua.
g. Konsiderasi Dasariah Lahirnya Harta Bersama
Harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dianalogikan
dengan harta milik suatu badan usaha, harta perkongsian, atau harta
perserikatan, karena didasarkan pada pandangan bahwa pernikahan bukanlah
akad sepihak, dimana pihak wanita hanya dijadikan sebagai obyek akad semata
yang berakibat pada statusnya sebagai unsur yang tidak memiliki harta dalam
rumah tangga, melainkan sebagai akad timbal balik dari kedua belah pihak.
Yang menjadi obyeknya adalah suatu kenikmatan, baik berupa kenikmatan
material maupun immaterial yang dirasakan oleh kedua belah pihak. Dalam
kerangka pikir ini, masing-msing pihak mempunyai hak dan kewajiban secara
timbal balik, yakni saling menerima dan memberi. Dengan demikian, jika ada
sebuah kenimkatan, baik dalam lingkup material maupun immaterial, harus
dapat dinikmati secara bersama. Dari pandangan inilah, khusu ditinjau dari
segi keuntungan materi, akad nikah menyerupai perkongsian dalam bidang
mu’amalad. Maksudnya, suami isteri berkongsi untuk membina sebuah rumah
tangga, baik dalam rangka menciptakan keturunan yang shaleh maupun
membangun perekonomian rumah tangga guna menunjang terwujudnya
keturunan yang shaleh dimaksud. Oleh karena itu, antara suami isteri tidak lagi
mempersoalkan apa bentuk tugas yang harus diselesaikan masing-masing.
Yang ditekankan adalah kerja sama dalam bentuk tolong-menolong, sehingga
ketika salah satu pihak tidak mampu menyelesaikan tugas yang semula
ditentukan baginya, tugas itu sangat mungkin untuk di ambil alih oleh pihak
lain sebatas kemampuannya. Bagi rumah tangga demikian ini, yang penting
ialah adanya kesepakatan, baik secara tegas maupun secara tersirat, bahwa
segala kerugian yang ditimbulkan dalam pengurusan rumah tangga harus
ditanggung bersama. Demikian juga sebaliknya, segala keuntungan yang
diperoleh harus dinikmati bersama atas dasar pemikiran ini, maka harta yang
diperoleh itu dianggap sebagai harta bersama, tanpa mempersoalkan pihak
mana yang paling banyak berperan dalam mendapatkannya. Kerja sama dalam
mencari keuntungan materi yang hanya bermodalkan keahlian, bukan dana,
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 02 , September 2020
102 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
disamping tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak berperan
dalam bekerja, juga tidak mempersoalkan apakah materi kerja masing-masing
sama macamnya atau tidak, dalam khazanah ilmu fikih disebut sebagai syirkah
al’amal atau syirkah al-abdan. Dalam bentuk syirkah seperti ini, yang
dipentingkan adalah danya kesepakatan untuk be kerja sama dalam suatu
bentuk usaha mencari laba, tanpa modal, kecuali tenaga keahlian masing-
masing, dengan ketentuan penghasilannya dibagi antara mereka menurut
kesepakatan.
Dalam kaitannya dalam pernikahan, secara tersirat suami/isteri lewat
akad nikah telah sepakat untuk bekerja sama membina keluarga (rumah
tangga) yang didalamnya terdapat perintahh mencari penghasilan untuk
menunjang terwujudnya keluarga yang sejahtera. Disini antara suami/isteri
tidak mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak bekerja menghasilkan
kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis kerja masing-masingnya.
Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa, dan atas dasar itu, penghasilan
yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap sebagai harta bersama.
PENUTUP
Dengan melihat isi dari pasal 35, 36, 37 maka dapat disimpulkan bahwa
ketentuan mengenai harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang
perkawinan sudah sejalan dengan ketentuan dalam Hukum Islam. Disini hanya
ditekankan harta yang diperoleh selama perkawinan baik karena usaha
suami/istri atau suami-istri bersama-sama otomatis menjadi harta bersama.
Tetapi apabila terjadi perceraian maka pembagian harta bersama tetap
mengikuti ketentuan hukumnya masing-masing,
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, CV.
Mandaraju.
Harahap, M. Yahya, 1993, Perlawanan terhadap eksekusi, Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti.
Marzuki Mahmud Peter, 2013, Penelitian Hukum, Jakarta:kencana prenada
media group.
Subekti, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan ke 13, Jakarta, PT
Interasa.
Soemiyati, 1982. Hukum perkawinan islam dan undang-undang Perkawinan,
Yoyakarta: Liberty.
Taufiq, 2000 Peradian Keluarga Indonesia, dalam hukum keluarga dan
Peradilan Keluarga di Indonesia, jakarta.
Top Related