IV. SISTEM ANALISIS DAN PEMODELAN
Bab ini mengulas bagaimana metode yang diambil dan dikembangkan dalam
penelitian ini dilaksanakan. Seperti telah diuraikan dalam Bab 111, penelitian ini dibagi
ke dalam tiga modul pemodelan. Ke tiga modul pemodelan ini mencakup:
1. modul analisis dinamika sistem
2. modul pemodelan spasial, dan
3. modul pengembangan skenario spasial
yang dapat digunakan sebagai dasar rekomendasi bagi pengelolaan pesisir di Delta
Mahakam yang terpadu.
IV.l Modul Analisis Dinamika Sistem
IV.l.l Tinjauan umum Delta Mahakam
Delta Mahakam yang secara administratif berada di Kabupaten Kutai Kartanegara,
Propinsi Kalimantan Timur, terletak pada posisi geografis 0" 21 ' dan 1" 10' LS dan
1 17" 15' dan 1 17" 40' BT (Gambar 27). Kawasan Delta Mahakam seluas 1.500 km2
yang dicirikan oleh kondisi biogeofisik yang sangat spesifik, ditutupi oleh vegetasi
mangrove dan nipah (Bengen et al. 2003, Voss 1983). Pada awal tahun 1980-an
seluruh kawasan Delta Mahakam merupakan daerah vegetasi yang lebat dan rapat
dengan nipah (Nypa fruticans) sebagai vegetasi dominan dan jenis-jenis tumbuhan
mangrove lainnya, seperti Api-api (Avicennia spp), bakau (Rhizophora spp). Sebagai
ekosistem pesisir dengan luas tutupan nipah (Nypa fruticans) terbesar di dunia,
kawasan Delta Mahakam memiliki produktivitas hayati yang sangat tinggi dan
mendapat pasokan bahan organik potensial sebagai hara dari lahan atas melalui aliran
sungai. Oleh karena itu, kawasan ini memiliki potensi sumberdaya ikan, udang dan
kepiting yang besar. Selain potensi sumberdaya alam hayati (renewable resources),
Delta Mahakam juga memiliki sumberdaya alam nir-hayati (non-renewable resources)
(minyak dan gas bumi) potensial, yang dikelola oleh Pertamina-TotalFinaElf E & P
Indonesia (Total).
Dengan kedua jenis sumberdaya alam potensial tersebut di atas, Delta Mahakam
memiliki nilai yang amat penting bagi pembangunan ekonomi berbasis sumberdaya
alam hayati (perikanan) dan nir-hayati (minyak dan gas bumi) di Propinsi Kalimantan
Timur umumnya dan Kabupaten Kutai Kartanegara khususnya. Kedua sumberdaya
alam dimaksud memiliki ciri pemanfaatan yang berbeda, dan berkaitan satu sama lain
(Bengen et al. 2003).
Administrasi I
KCAMAT 0 7 hggana
- Balikpapan Timur ffita Bangun
Loajanan
Loa kulu
Muara Badak
Muara Jawa
Muara Kaman
Palaran
Samarinda llir k marinda Seberang Samarinda Ulu
Samboja
Sanga-sanga
Sebulu
Tenggarong
Gambar 27 Peta Wilayah Delta Mahakam
Delta Mahakam merupakan suatu wilayah pesisir dengan kondisi geologis dan
ekologis spesifik, yang dicirikan oleh karakteristik geologis delta dan estuarin,
sehingga kawasan ini menjadi kawasan yang ideal bagi perturnbuhan komunitas
mangrove. Sumberdaya mangrove memiliki nilai ekonomi yang bersifat long-term
(tingkat diskonto rendah), sedangkan sumberdaya migas memiliki nilai ekonomi yang
bersifat short term (tingkat diskonto tinggi) (Bengen et al. 2003, Hopley 1999, Voss
1983). Walaupun kontribusi ekonomi secara nyata (tangible) sumberdaya mangrove
kurang signifikan, namun kontribusi intangible dan kontribusi tidak langsungnya
(misalnya sebagai pelindung pantai dan pendukung kehidupan perairan pesisir) tinggi
dan berkesinambungan, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara bijaksana dan
berkesinambungan pula.
a. Sistem ekologis
Kawasan Delta Mahakam yang didominasi oleh ekosistem mangrove seluas kurang
lebih 150.000 hektar, terbentuk dari proses sedimentasi yang cukup lama dari sungai
Mahakam yang memiliki panjang 770 km dengan debit aliran air 1.500 m3/detik dan
konsentrasi muatan padatan tersuspensi mencapai 80 mgll. Debit sungai yang tinggi
tersebut sangat mempengaruhi formasi vegetasi mangrove di Delta Mahakam. Secara
umum vegetasi yang menutupi kawasan Delta Mahakam dapat dibedakan atas
beberapa zona, yaitu (Bengen et al. 2003, Dutrieux 2001, Hopley 1999):
1. Zona PerepatIPedada (Sonneratia alba - Avicennia sp)
Zona ini merupakan zona terluar dengan variasi ketebalan antara 100 - 500
m. Pada bagian terluar ditempati oleh perepat (Sonneratia alba) disusul
dengan api-api (Avicennia sp). Pada tahun 1980 luas zona api-api di seluruh
Delta Mahakam sekitar 8.322 ha, dan pada tahun 1999 hanya tersisa sekitar
1.716 ha. Penurunan luas mangrove ini akibat kegiatan konversi hutan
mangrove menjadi tambak oleh masyarakat.
2. Zona Bakau (Rhizophora spp)
Zona ini umumnya terdapat pada sebagian besar saluran-saluran pada bagian
delta yang lebih rendah dan pulau-pulau seperti pulau Tunu dan Selete serta
beberapa tempat di muara Tambora.
3. Zona Peralihan Vegetasi
Zona peralihan vegetasi pada ekosistem mangrove dengan jenis vegetasi yang
cukup bervariasi antara api-api (Avicennia sp), pedada (Sonneratia
caseolaris), bakau (Rhizophora sp), tancang (Bruguiera pawzjlora), nyirih
(Xylocarpus granatum), dan nipah (Nypa fruticans). Zona ini lebih tebal
dibandingkan dengan zona Sonneratia alba-Avicennia sp.
Zona nipah (Nypa fruticans) merupakan zona yang paling luas menempati
ruang di kawasan Delta Mahakam, yaitu mencapai 50 % dari total kawasan
delta. Pada tahun 1980 luas nipah mencapai areal seluas 58.061 ha dan pada
tahun 1999 luas nipah hanya tinggal sekitar 11.037 ha. Penurunan luas nipah
yang drastis ini disebabkan oleh kegiatan konversi lahan menjadi areal
pertambakan
5. Zona Nibung
Zona ini merupakan zona mangrove air tawar yang ditumbuhi oleh dungun
(Heritiera littoralis), tancanglmata buaya (Bruguiera sexangula), nibung
(Oncosoerma sp.) dan buta-buta (Excoecaria agallocha). Luas zona ini pada
tahun 1980 adalah 18.284 ha dan pada tahun 1999 hanya 1 1.834 ha.
Suatu analisis indeks kepekaan lingkungan yang ditujukan untuk pembangunan
rencana kontingensi (contingency plan) penanggulangan tumpahan minyak. Gambar
(28) menunjukkan bahwa wilayah yang didominasi oleh nipah serta kawasan
mangrove di sisi terluar delta memiliki indeks kepekaan lingkungan yang sangat tinggi
(Teknologi - Inventarisasi - Sumberdaya - Alam - (TISDA) 1998).
b. Kondisi geologis
Delta Mahakam kini (recent) mencerminkan propagasi deltaik dalam episode tunggal
setelah naiknya permukaan air laut sejak masa Holocene (Allen and Chambers 1998).
Delta recent ini dipengaruhi oleh dua parameter lingkungan dan stratigrafis yang
sangat penting, yaitu: regim fluvial yang tidak menggenang, dan variasi amplitudo
permukaan air laut yang sangat tinggi dan sangat cepat. Selain kedua efek tersebut,
sejak pertengahan Miocene, Delta Mahakam terkunci dalam posisi yang sama sebagai
akibat dari potongan Sun& Mahskam terhadap sabuk lipatan pesisir yang terangkat.
Kejadian ini menghalangi rrrigrasi Delta secara lateral di sepanjang garis pantai, di
mping proses unauk mengubah re+ fluvialnya (Allen and Chambers 1998, Voss
1983).
Luas daratan delta Mahakam mencakup kira - kira 1500 km2 dan memiliki jarak
terhadap tepian lempeng Eurasia sekitar 25 km dari daratan delta tersebut. Delta
Mahakam memiliki pelepasan fluvial yang bervariasi secara musiman namun tidak ada
genangan (banjir) yang signifikan. Gelombang naik - turun pada mulut muara, yaitu
pada pantai gambut detrital tanpa pantai berpasir pada Delta tersebut.
Delta Mahakam memiliki pasokan sedimen yang berupa lumpur berpasir dengan
lumpur yang dominan. Pasimya tersusun dengan baik, halus hingga kekasaran yang
sedang, yang dihasilkan oleh campuran erosi dari Anticlinorium Samarinda, Landasan
Cretaceous, dan vulkanik Pliocene. Delta Mahakam memiliki morfologi lobate
dengan aliran sungai yang bercabang serta progradasi yang cepat (Allen and Chambers
1998, Voss 1983). Kana1 - kanal lurus berpasir dengan thalweg dan dataran pasir
lateral yang berkelok serta kanal pasang surut berlumpur yang berkelok - kelok. Delta
yang didominasi oleh arus pasang surut terdiri dari lumpur carbonaceous yang
merupakan kondisi yang baik untuk mangrove dan asosiasinya (Allen and Chambers
1998, Wolanski et al. 1992). Wilayah ini ditutupi oleh nipah dan mangrove di dataran
rendah delta, serta hutan kayu keras di daerah dataran delta yang lebih tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi geologis delta Mahakam secara umum merupakan
wilayah yang dinamis, meskipun kanal - kanal utamanya relatif stabil. Hopley (1 999)
mengindikasikan daerah yang terkena erosi di semenanjung delta yang padat dengan
pepohonan. Kebalikannya, dengan tidak ada nya wilayah dataran lumpur yang baru,
menunjukkan bahwa terjadi progradasi delta (Hopley 1999). Hal ini berlawanan
dengan fakta bahwa tingginya beban sedimen yang terbawa oleh Sungai Mahakam.
Namun demikian, ha1 ini merupakan sesuatu yang umum bagi wilayah dengan
sedimen deltaik tebal yang berat sedimen tersebut menimbulkan depresi isostatis
terhadap landasan kerak di bawahnya. Beban ini kemudian yang membuat garis tepian
air berada pada posisi yang relatif konstan. Kondisi ini merupakan faktor yang penting
dalam pengkonversian wilayah delta menjadi tambak.
c. Kondisi sosial ekonomi
Delta Mahakam mencakup empat wilayah kecamatan yaitu kecamatan Anggana,
Muara Jawa, Muara Badak, dan Samboja (Aspar 2001). Sebagaimana wilayah pesisir
yang bersifat terbuka, penduduk Delta Mahakam terdiri dari penduduk lokal dan
pendatrang, terutma Suku Bugis yang b e d Sulawesi Selatan (Bourgeois et al.
2002). J d a h penduduk di kawasan Delta Mahakaan magalami perkembangan yang
sagat cepat, yaitu 3500 orang di tahun 1995, maingkat hingga 104,496 di tahun
(2002). Penelitian ylang dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dm hutan -
IPB pada tahun 2002 menuqjukkan bahwa wilayah ini, kemudian memiliki keragaman
etnis yang tinggi yang membentuk dinamika komunitas tertentu. Kelompok etnis
pertama benrariasi dari golongan etnis Banjar, Jawa, Batak, Nusa Tenggm Timur, dan
keturunan Cina
Pemanfaatan kawasan Delta Mahakam yang tidak terencana konversi lahan mangrove
menjadi tarnbak (Gambar 29 dan 30). Dalam lcurun waktu 20 tahun telah terjadi
konversi mangrove sekitar 80.000 hektar, di antaranya sekitar 67.000 ha menjadi
tambak (Bmgen et al. 2003, Dutrieux 2001). hju konversi lahan mangrove menjadi
tambak menunjukkan kecendenmgan yang terus bertambah hingga saat ini.
Gambar 29 Konversi Kawasan Mangrove Delta Mahakam Menjadi Tambak
I
d
J
&
L
N
- - w
Pemnfartan Lahan
u ~ ~ a t u i pbin ~ o t MWJ
Lbgrpdsd fomsl Nypa and Rhkopbm
LMgmded marsh Nypa and dbpemad Avicemnia
~ e b i c arltun, ~ r e m ~ p t b n
w biosnnia ~ t r s pa ~ k n r s ~ h k o p l l o r a s e a
Fmh.mPbar mangrovr Sonneratta
Miwed fmsh-waterforest ~ a m h k 0 5 10 20 0 yard
I 1 1 1 I I I I Khmetem
I
Gambar 30 Peta Kondisi P e t a n Lahan di Delta Mahakam pada tahun 2002. (Bourgeois et al. 2002)
Perubahan fungsi lahan dari kawasan mangrove menjadi tambak memberikan dampak
yang buruk terhadap proses-proses ekologi dan biofisik, seperti terjadinya erosi (abrasi
pantai), hilangnya jalur hijau pantai (green belt) yang berfungsi sebagai peredam dan
pelindung terhadap gelombang, arus kuat dan badai, menurunnya kualitas perairan,
menurunnya keanekaragaman hayati, hilangnya habitat, tempat pemijahan (spawning
ground), tempat asuh (nursery ground) dan tempat mencari makanan veeding ground)
bagi berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya (Bengen et al. 2003, Dutrieux
200 1).
Konversi mangrove, khususnya nipah (Nypa fruticans) menjadi tambak (Gambar 3 I),
telah memicu konflik pemanfaatan sumberdaya dan lahan antara berbagai stakeholders
yang memanfaatkan kawasan Delta Mahakam, seperti antara perikanan budidaya
tambak dengan perikanan tangkap tradisional, antara perikanan budidaya tambak
dengan industri minyak dan gas bumi. Konflik pemanfaatan lahan antara budidaya
tambak dengan industri minyak dan gas bumi semakin meningkat sejalan dengan
semakin meluasnya konversi mangrove hingga ke daerah yang dimanfaatkan oleh
industri minyak dan gas bumi.
Tambak
Gambar 3 1 Grafik peningkatan luas tambak sejalan dengan waktu dari tahun 1980 hingga 1999 (Dutrieux 2001)
Berdasarkan wawancara yang dilakukan, umumnya konflik pemanfaatan ditimbulkan
oleh rendahnya pengetahuan penduduk yang memiliki usaha tambak mengenai kondisi
biofisik, geofisik, dan ekonomi di wilayah Delta Mahakam pada umumnya.
Pembukaan kawasan dengan tutupan Nypa fructican yang kurang tepat untuk dijadikan
kawasan tambak udang menyebabkan produktivitas tambak rendah. Dari hasil
wawancara, terungkap bahwa produksi udang pada tahun 2003 hanya mencapai 70 kg
per hektar tambak. Produksi tambak ekstensif secara umum, dalam kondisi optimum
dapat menghasilkan menghasilkan hingga 300 kg udang per hektar tambak.
Rendahnya produksi udang, kemudian memicu pembukaan kawasan nipah lebih lanjut.
Meskipun sumur - sumur minyak dan gas bumi dan instalasi konstruksi yang berkaitan
dengan industri migas terpisah secara fisik dengan wilayah pengembangan tambak,
sejumlah pipa yang mengalirkan minyak dan gas bumi terpasang dengan melalui
wilayah tambak, bahkan ada yang membangun tambang di atas pemipaan yang ada
terlebih dahulu (Bengen et al. 2003, Hopley 1999, Hopley 2001). Saat ini peraturan
menentukan bahwa hams ada zona penyangga (buffer zone) selebar 50m di kedua sisi
pemipaan. TOTALFINAELF E&P Indonesie (TFE) telah memenuhi peraturan ini
dengan menanam kembali berbagai spesies mangrove bersama dengan masyarakat di
sepanjang pipa yang ditanam (pada Right of Way). Penanaman kembali mangrove ini
telah mencapai kurang lebih 300 hektar (Das'at 2003). Namun demikian, dipicu oleh
naiknya harga udang di pasar internasional dan krisis ekonomi tahun 1998,
perkembangan tambak ini bahkan telah merambah wilayah pemipaan bawah tanah
(terkubur) (Hopley 1999, Listy 2003). Gambar (32) merupakan peta yang
menunjukkan lokasi infiastruktur yang dibangun oleh TFE.
Ja ringan I nfrastruktur Pipa Sumber: PKSPL 2002
Gambar 32 Peta i n f k a s m pemipaan TFE di wilayah Delta Mahakam
Potmi konflik yang lain adalah tingginya kemmgkinan pencemaran dari industri
migas ke wilayah pertambakan udang, TFE menentukan dan memelihara standat.
lingkungan yang tinggi dan kecil sek& kemungkirm perembesan. Hal ini terutama
karma tit& - tit& produksi di wilayah Delta yang kritis adalah gas, sehingga
m e n d risiko pencemaran (Hopley 1999, Hopley 2001, Listy 2003). Namun
M a n , tingginya kandungan hidmkarbon di wilayah Delta Mahakam, kemungkim
perembesan alami selalu ada. Jejak minyak terlihat pada air di beberapa lokasi
observasi meskipun bila ditelusuri, tetesan minyak tersebut berasal dari perahu
bmotor yang banyak berlalu lalang di wilayah ini.
Secara mum, konversi yang terjadi telah mengmcam keberadaan dan kualitas
sumberdaya dan lingkunp Delta Mahakam. Hal ini dapat menurunkan W i t a s
sumberdaya alam hayati di Delta M&akam.
Gambar 33 Konversi ekoeistem mangrove menjadi tambak
d. Kondisi biofisik
Lokasi Delta Mahakam yang terletak di wilayah ekuator menentukan suhu konstan
yang tinggi (rata - rata suhu t a h m 26 - 28OC) dengan variasi tahunan yang
minimum serta perbedaan suhu diurnal yang terbatas (Hopley 1999,
MREP-Project-Part-A1 1995, Voss 1983). Arus pasang surut merupakan campuran
antara komponen diurnal dan semi - d i d dengan kisaran pasang surut setinggi 2.5m
dan memiliki energi gelombang yang sangat rendah. Pasang surut ini dikombinasikan
dengan aliran yang tinggi dari Sungai Mahakam (1500rn3/detik). Berdasarkan pada
data curah hujan di Kalimantan Timur dari 1988 hingga 1995, curah hujan rata - rata
di wilayah Delta Mahakam mencapai 2,460 mmltahun (MREP - Project - Part-A1
1995).
Delta Mahakam memiliki karakter pasang surut kombinasi diurnal dan semi diurnal.
Tabel 4 menunjukan periode pasang surut yang berlaku umum.
Tabel 4. Simbol periode sistem pasang surut semi - diurnal dan diurnal
Semi Diurnal :
Periode
perl=12.42 M2
Diurnal:
Pasang Surut Juni 2003 8laaiun Kutai
Periode
per5=25.82
per6=24.07
per7=23.93
Gambar 34
Simbol
0 1
P1
K1
Pasang surut pada bulan Juni 2003 di stasiun Kutai
Dari gambar (34) terlihat bahwa pasut mempunyai empat buah komponen penyusun.
Keempat komponen tersebut memiliki kekuatan yang beragam. Yang terkuat adalah
M2 dengan periode 12.4 jam, kemudian P1 dengan periode 24.01 jam, ketiga adalah
S2 dengan periode 21.0 jam dan yang keempat adalah 0 1 dengan periode 25.82 jam.
Jadi prediksi komponen pasut pada bulan Juni 2003 di stasiun Kutai terdiri dari
(M2,Pl,S2 dan 01). Proses demodulasi menyatakan kekuatan pasut (terrnasuk arus
pasut) ke dalam komponennya. Berikut adalah perhitungan demodulasi dari data di
atas (gambar 35):
Demodulad pasut 4 komponen 15, I I
- z res
-15 I I I I
100 200 300 400 500 600 700 800 bme (hours)
Gambar 35 Perhitungan demodulasi pasut empat komponen
Perhitungan yang sama dilakukan untuk melihat prediksi komponen dan kekuatan arus
pasang surut pada bulan Desember 2003 dan hasil perhitungan ini tersaji dalam
gambar (36) dan (37). Dari gambar dapat dilihat bahwa di Bulan Desember 2003,
prediksi komponen pasang surut terdiri dari empat komponen, yaitu: komponen M2
(pada periode 12.42 jam), S2 (pada periode 12.00 jam), komponen P1 (pada periode
24.01 jam) dan komponen 0 1 pada periode 25.82 jam).
Pasang S u ~ t Desamber 2003 atasiun Kutai
I I I I I 100 200 300 400 500 600 700
wakbl (lam)
Garnbar 36 Arus pasang surut dengan 4 komponen pada bulan Desember 2003
Demodulasi pasut 4 komponen 15, r I
Gambar 37 Demodulasi prediksi arus pasut empat komponen pada bulan Desember 2003
Padatan tersuspensi, seperti telah dikemukakan sebelumnya mencapai 80 mgll.
Sedang salinitas yang merupakan ukuran kadar garam di perairan sepanjang pesisir
Kalimantan Timur berkisar dari 15 per mil hingga 43 per mil. Khususnya di wilayah
penelitian, salinitas di wilayah dengan tutupan Nypa fructican yang tinggi diasumsikan
memiliki nilai salinitas yang rendah.
Kadar oksigen terlarut di wilayah penelitian memiliki nilai rata - rata sebesar 4.9 mgll.
Ukuran perubahan kualitas lingkungan perairan dapat diidentifikasi dengan nilai
Chemical Oxygen Demand (COD) di perairan tersebut. Di wilayah penelitian nilai
COD rata - rata mencapai sekitar 1 1.06 mug (MREPProjectPart_Al 1995).
e. Kondisi iklim ekstrim
El Nino di tahun 1997 yang menyebabkan kekeringan di wilayah Indonesia,
memberikan pengaruh kepada kondisi iklim mikro di kawasan Delta Mahakam.
Musim kering yang berkepanjangan, peningkatan beban sedimen akibat kebakaran
hutan di bagian hulu sungai Mahakam menyebabkan peningkatan sedimentasi di
wilayah muara sungai dan delta. Karena debit air Sungai Mahakam yang tinggi,
sedimen tidak sempat mengendap di wilayah delta dan tersapu terus hingga mulut -
mulut delta yang menyebabkan proses akresi di beberapa lokasi semenanjung delta
(PKSPL 2001). Hal ini juga terlihat dalam analisis dinamika sedimen dari citra
multitemporal berikut.
IV.2.2 Analisis citra multi temporal
Serangkaian citra multi temporal dan multiformat didapatkan untuk analisis dinamika
sistem yang terjadi di kawasan Delta Mahakam, yang digunakan sebagai acuan bagi
hasil pemodelan yang dilakukan. Analisis citra yang dilakukan menghasilkan
beberapa informasi yang dapat menjelaskan dinamika perubahan yang ada. Informasi
tersebut mencakup informasi perubahan tutupan vegetasi serta aspek sedimentasi yang
berpengaruh terhadap perubahan struktur geologis wilayah Delta Mahakam.
Perhitungan luas tutupan vegetasi, akresi serta erosi karena dinamika sedimentasi
dilakukan melalui perhitungan elemen gambar (picture element - pixel) yang
dihasilkan oleh analisis.
Dari hasil analisis, dinamika sedimentasi yang diekstrak dari pantulan gelombang
mencerminkan pola pergerakan yang meluas ke arah semenanjung delta dan laut lepas
(gambar 38). Kemungkinan akresi dapat terjadi di wilayah - wilayah dengan laju
sedimentasi yang tinggi. Tingginya tingkat sedimentasi akan berpengaruh pada
struktur geologis delta. Di samping itu, tingginya tingkat sedimentasi akan
berpengaruh kualitas air di perairan muara Delta Mahakam.
Gambar 38 Citra dengan data h i o n menunjukkan beban sedimen tersuspensi yang tinggi pada semenanjung delta
Peningkatan sedimentasi dimulai pada tahun 1997 (gambar 39) akibat kebakaran hutan
pada tahun 1997. Kebakaran di wilayah hulu tersebut menyebabkan meningkatnya
aliran permukaan yang membawa beban sedimen. Kondisi elcstrim dari iklim global
(El Nino) pala tahun 1997, berpengaruh kepada kondisi peningkatan sedimentasi di
wilayah Delta Mahakam. Kondisi iklim yang ekstrim juga telah menyebabkan
kwangnya curah hujan di wilayah tersebut sehingga kondisi salinitas yang d i p e n g d
oleh percampuran air tawar dari hulu, curah hujazl, serta arus pasang surut, juga
meningkat. Meningkatnya kadar salinitas secara umum akan memberikan kemudahan
tambak yang bergantung pada pamkan air dari kawasan muara.
Gambar 39 Citra Landsat TM Delta Mahakam dengan beban sedimen &bat perubahan tutupan lahan karena kebakaran hutan di tahun 1997
Hasil aaalisis menunjukkan bahwa tutupan vegetasi dari tahun 1983 seluas
114.497,920 hektar menurun luasnya hingga hanya 56.654,190 hektar di tahun 2001.
Penunman luas secara drastis seluas 50.843,73 hektar ini dimulai pada tahun 1997
(gambar 40,41, 42) dengan laju yang sangat cepat (luas tutupan vegetasi pada tahun
1997 adalah 109.1 17,080 h e k ) . Dari data peningkatan luas tambak yang ada, dapat
dilihat bahwa konversi lahan untuk tambak di wilayah ini dimulai pada tahun 1997,
sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan tutupan vegetasi adalah konversi lahan
mmgrove dan nipah menjadi tambak.
Gmbar 43, Peta Tutupan Man, menampilkan overlay coverage pembukaan tambak
dari Burgeois (2002) dengan hasil analisis citra multi temporal yang merupakan
pengujian analisis dengan kondisi sebenamya. Overlay tersebut menunjukkan bahwa
andisis citm multi temporal dengan data fusion membedm hasil yang baik. Hal ini
dituqjulckm dengan ketepatan Besaran jumlah sel yang dihasilkan
Gambar: 40 Tutupan mangrove pada tahutl 1983 (Data Fusion)
Gambar 41 Tutupan mangrove pada tahun 1997 (Data Fusion Citra)
Gambar 42 Tutupan mangrove pada tahun 2001 (Data Fusion Citra )
TUTUPAN VEGETASI
Legend GRIDCODE 1 J
d .
r - . A
A N
I - 1 Kilometers 0 3.5 7 14 Vegetasi pada tahun ZOO1 overlay dengan hasil analisis citra multi temporal
Gambar 43 Overlay hasil analisis citra temporal dengan peta pemanfhtan tambak untuk @un 2001
N.3 Pernodelan dinamika sistem
Seperti telah dikemukakan dalam Bab. IlI, Analisis sistem difokuskan pada tiga
sistem, yaitu: konversi lahan mangrove, produksi minyak dan gas bumi, serta produksi
tambak udang. Rentang waktu yang diadopsi model ditetapkan sepanjang 25 tahun
dengan pertimbangan pengelolaan jangka panjang. Aspek biofisik yang dicerminkan
dalam dinamika salinitas yang menentukan produktivitas tambak udang
dipertimbangkan ke dalarn pemodelan dinamika sistem. Sistem tersebut ditampilkan
pada Gambar 44 berikut.
Gambar 44 Dinamika sistem di Delta Mabakam
Tabel (5) menunjukkan besaran yang digumkan sebagai nilai dalam setity, variabel
dalam analisis ciinamika sistem ini.
Tabel 5. Satuan dan sumber data bagi nilai yang digunakan dalam analisis dinamika sistem
a. Sistem konversi mangrove
Sistem Konversi Mangrove terdiri dari komponen:
- Stok Mangrove Cover, yaitu luas tutupan vegetasi mangrove yang dipengaruhi
oleh regenerating sebagai inflow clan loss sebagai outflow.
- Parameter Regenerating yang dipengaruhi oleh keberadaan Mangrove Cover
dan Regenerating Time. Regenerating Time merupakan waktu yang
dibutuhkan oleh tutupan mangrove untuk kembali ke kondisi semula.
- Parameter Loss adalah luasan mangrove yang hilang. Loss dipengaruhi oleh
luas tambak, dimana luas tarnbak merupakan komponen dari sistem produksi
tambak (Shrimp Production) dan merupakan komponen sistem produksi migas
(Oil and Gas Production).
- Stok Total Land Area yang merupakan luasan Delta Mahakam sebesar 150.000
hektare yang merupakan konstanta. Total Land Area dipengaruhi oleh aliran
Change in Hectares yangrnerupakan aliran dua arah (biJlow).
Sumber
- Analisis Citra Multi Temporal
- (PKSPL-IPB 2002)
- Analisis citra multitemporal
- (Bourgeois et al. 2002)
- (Dutrieux 2001)
- (PKSPL-IPB 2002)
- Analisis citra multi temporal
- (Bourgeois et al. 2002)
- (Bourgeois et al. 2002)
Variabel
Total Land Area
Mangrove Cover
Tambak Hectares
Oil and Gas Hectares
Shrimp Production
Price
b. Sistem produksi tambak udang
Satuan
Hektare
Hektare
Hektare
Hektare
Kg per hectare
Rupiah per kg
Sistem Shrimp Production, yaitu sistem produksi tambak udang, terdiri dari tiga
komponen stok yang berkaitan satu sama lain yaitu:
- Tambak Hectares, yaitu luasan tambak dalam hektar. Tambak Hectares
memiliki inflow dan outflow berturut - turut sebagai Expansion dan Losing
Hectares. Tambak Hectares luasan memiliki nilai awal maximum yang
bergerak diantara nilai 420 (nilai awal luasan tambak dalam hektar di tahun
1983) dan nilai 150000 (nilai luasan delta Mahakam dalam hektar)
- Expansion adalah perluasan tambak yang dipengaruhi oleh Rate of Expansion
dan Total Land Area. Nilai Rate of Expansion 0,7 didapat dari data
pertarnbahan luasan tambak yang melonjak pada tahun 1996 dari tahun 1980
yang ditelaah.
- Shrimp Production yang terdiri dari harvest dan consumption sebagai inflow
dan outflow. Nilai inisial Shrimp Production merupakan nilai produksi ideal
yang berkisar antara 200 hingga 1000 kg per hektar tambak (2002).
- Harvest, panen, merupakan hasil produksi tambak ideal untuk dua kali masa
panen pertahun.
- Price, yang merupakan komponen harga yang dipengaruhi oleh aliran dua arah
Change in Price, yaitu perubahan harga jual dari udang. Price kemudian
mempengaruhi Profit Aquaculture, yaitu keuntungan yang diperoleh.
- Cost of Dev't merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membuka tambak per
hektar yang berkisar antara Rp. 9,760,000 hingga Rp. 13,960,000,- (2002).
- Profits aquaculture kemudian mempengaruhi profit per hectar yang kemudian
bersama - sama Tambak Hectares mempengaruhi Losing Hectares
c. Sistem produksi minyak dan gas bumi:
- Sistem Produksi Minyak dan Gas Bumi (Oil and Gas Production) tidak
dibahas secara rinci karena yang ditelaah adalah luas konversi akibat
operasi migas tersebut.
- Stok Oil and Gas Hectares yaitu luas wilayah yang digunakan untuk
produksi migas dipengaruhi oleh aliran dua arah dari OG expansion
d. Sistem biofisik:
Sistem biofisik memiliki komponensebagai berikut:
- stok nilai kadar garam (Sal) yang besarnya tergantung dari inflow SalInput
dan outflow Saloutput.
- SalInput tergantung kepada kondisi pasang surut dan arus.
- Saloutput tergantung kepada debit air sungai rata - rata di Delta Mahakam
serta luas penampang rata - rata sungai tersebut. Kadar garam
mempengaruhi peroduktivitas tambak melalui komponen harvest yang
menjadi inflow bagi stok Shrimp Production.
- Aliran keluar dari sistem ini adalah Saloutput
- Variabel Currents merupakan nilai random di antara 0.07 dan 0.34
- Variabel Tidal dirumuskan sebagai nilai bilangan yang di antara -1 hingga
2,9. Secara lebih rinci, dokumentasi dari besaran dan satuan serta
formulasi yang dilakukan bagi analisis dinamika sistem dapat dilihat pada
Lampiran 111.
Tabel 6 menunjukkan komponen sistem, parameter, serta nunus yang digunakan
dalam perhitungan model STELLA.
Tabel 6. Komponen sistem dan perumusannya dalam STELLA0 versi 4.02
Sistem Produksi Tambak hectares LosingHectares) * dt
IV. 4 Pemodelan Spasial
Pemodelan spasial terdiri dari analisis multi kriteria dan pemodelan spasial difusi
salinitas dengan Sistem Informasi Geografis. Berikut adalah proses pemodelan setiap
komponen modul pemodelan.
Current River current River dimension Tidal
IV.4.1 Analisis Multi Kriteria
Random 0.07 hingga 0.34 1500 300 hingga 2450 -1 hingga 29
Analisis multikriteria dilakukan untuk mengkaji keputusan dengan pertimbangan
keruangan dalam pembukaan tambak dari si petambak. Seperti telah dijelaskan dalam
BAB 111. Metode Penelitian, produksi tambak udang tergantung pada aspek ekologis,
biologis, kondisi tanah, aspek sosial ekonomi, serta luas wilayah. Analisis
multikriteria yang dilakukan membagi dua aspek analisis spasial, yaitu analisis kendala
teknis dan analisis faktor. Tabel (7) menunjukkan kriteria yang menentukan keputusan
pembukaan tambak.
Tabel 7. Kriteria keputusan pembukaan tambak
Dalam analisis kendala teknis, digunakan mekanisme analisis spasial BUFFER dalam \
ARC/INFO@ dengan menentukan jarak 500 meter dari badan air, untuk menentukan
wilayah yang memiliki kemungkinan konversi. Setelah coverage dengan
kemungkinan pembukaan lahan terbangun, overlay kembali dilakukan dengan kondisi
vegetasi yang ada pada tahun 1983 dan 200 1.
Bobot
Jarak ke pusat pasar
Vegetasi Nipah
Landuse
Analisis faktor dilakukan setelah coverage dengan kendala teknis terbangun.
Coverage tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan cost weighting terhadap
jarak pusat pasar dan kondisi pemanfaatan lahan pada saat ini.
Bobot
3
2
1
Jenis tanah
1
3
2
1
Jarak dari badan air
3
9
6
3
Vegetasi
2
6
4
2
Analisis faktor dilakukan setelah coverage dengan kendala teknis terbangun.
Coverage tersebut kemudian dihitung dengan menggunakan cost weighting terhadap
jarak pusat pasar dan kondisi pemanfaatan lahan pada saat ini.
IV.4.2 Pemodelan Difusi Spasial Penyebaran Tambak
Ada dua tahap pemodelan difusi spasial penyebaran tambak. Yang pertama
berdasarkan pada perhitungan akumulasi aliran dan yang kedua berdasarkan hasil
perhitungan pemodelan dinamika salinitas.
a. Akumulasi Aliran
Seperti telah dikemukakan dalam metode penelitian, pemodelan difusi spasial
dilakukan berdasar pada kondisi perairan Delta Mahakam yang memiliki kanal -
kanal. Tahap pertama adalah identifikasi dan klasifikasi kanal. Diidentifikasi ada 3
(tiga) buah kanal utama yang merupakan sarana bagi aliran terbuka yang utama.
Gambar 45 menunjukkan titik-titik sampel kedalaman di sepanjang kanal-kana1 Delta.
Akumulasi aliran kemudian dimodelkan secara spasial dengan mengikuti dinamika
bentuk (morphodynamics) dari kanal yang terbentuk akibat proses pembentukan delta
(US Army Corps of Engineers, 2002).
F A I
K-CAMAT
. Anggana
Balikpapan Timur
Muara Kaman
Palaran
., Samarinda Seberanf
I 1 Samarinda Ulu Samboja
Sanga-sanga
m Sebulu
m Tewgamw
A bat point 0 2.5 5 10
7
Gambar 45 Titik - titik sampel batimetri (kedalaman)
Dalam rumus Fick I yang menjadi dasar d i h i spasial memiliki komponen adveksi clan
difbsi seperti tercantum dalam persamaan:
= laju aliran
Dengan menggunakan model hidrodinamika mtuk lingkungan yang umum, pemun8afl
ini dimodifikasi, sehingga persamaan adveksi diganti rata - rata penampang kecepatan
_ U . Dan dalam penerapannya, pemodelan akumulasi aliran difokuskan pada komponen - - adveksi: U(&/&). Persamaan ini kemudian digunakan sebagai routing aliran dalam
- - 1 >
L'-SIG Raster yang dalam modul GRID TM - ARC/INFO@ (Gambar 46). Dalam modul
SIG tersebut algoritrne yang digunakan untuk menghitung akumulasi aliran dan arah
aliran adalah:
Qfij) = 0 -j9(i-y) Vx + ~ ( i - I , 1-1)
Struktur Aliran (Akumulasi dan Arah Aliran)
Komponen pemodelan akumulasi aliran diawali dengan dengan pembuatan grid lattice
dari batimetri di sepanjang kanal.
Pemodelan akumulasi flow kemudian dilakukan dengan memasukkan rule adveksi dari
persamaan di atas ke dalam perintah dalam software GRID TM - ARC/INFO@. Urutan
perintah GRIDTM secara lengkap disajikan dalam Lampiran VI. Beberapa simulasi
aliran berdasar fisiografi kanal tersebut melalui lattice batimetri yang telah dibangun.
Ada 9 (sembilan) pemodelan aliran yang dilakukan, yaitu dengan kedalaman yang
tertinggi (-50 meter dari muka laut) hingga yang terendah (-1 meter dari muka laut).
Perhitungan dan proses pengembangan model spasial akumulasi aliran dalam GRIDTM
disajikan dalam Lampiran 111.
b. Pernodelan Difusi Spasial
Dari rangkaian pemodelan yang dilakukan, pemodelan difusi spasial merupakan modul
yang paling ekstensif dilakukan. Pemodelan difusi spasial dilaksanakan berdasarkan
atas model distribusi salinitas yang merupakan persamaan beda hingga yang
bersumber dari hukum Fick I. Model distribusi salinitas merupakan fungsi dari
kecepatan arus pasut, batimetri, serta koefisien gradien salinitas. Persamaan distribusi
salinitas tersebut adalah (persamaan 3.9, persamaan 3.1 1):
Dengan 17, = A cos(ot - 6) (3.10)
Dan
gA g 2 ~ 2 u(x,t)= -cos(kr-ot)-,cos2(kr-a)- c 8c
3g2A2wxsin2(kr-cot) (3.11) 4c4
Dimana
A = amplitude pasut maksimum
w = fiekuensi pasut
S = salinitas
u = arus pasang surut
Kx = koefisien difbsi salinitas
A = amplitudo
n = index waktu
j = index ruang
h = kedalaman rata - rata
x = jarak
0 = fiekuensi pasang surut
g - - gaya gravitasi bumi
Arus pasut u dihitung untuk mendapatkan besaran salinitas dengan batas jarak (x) awal
j = 0 ditentukan pada titik hilir muara yang berbatasan dengan laut. Besaran u yang
ekstrim kemudian digunakan dalam perhitungan S dalam persaman 3.2. S dihitung
dengan pemrograman Qbasic sebagai berikut yang secara lengkap disajikan dalam IV.
Besaran yang digunakan adalah: DT, beda waktu = 10 detik, DX, beda jarak = 100
meter, IM, jumlah dimensi = 4, NM, jumlah iterasi = 1000, Koefisien gradien salinitas
= 0.001, E, Koefisien difusi salinitas = 0.0007
Seperti halnya pemodelan akumulasi aliran pasang surut, digunakan lattice salinitas
sepanjang kanal. Nilai kecepatan arus pasut, gradien salinitas diaplikasikan ke dalam
persamaan (3.9) dan (3.11) yang menjadi routing aliran dalam GRIDTM. Model
simulasi distribusi salinitas dilakukan untuk kondisi pasut ekstrim pada bulan basah
dan bulan kering yang memiliki kondisi salinitas ekstrim pula. Distribusi salinitas
hasil pemodelan kemudian menjadi dasar pertimbangan wilayah yang optimum bagi
pembangunan tambak. Proses dan pemrograman dalam AMLTM ARC/INFO@ yang
mengakomodasi komponen adveksi dan difusi dari penyebaran salinitas berdasarkan
pada persamaan beda hingga (3.9). disajikan dalam Lampiran IV.
IV.4.3 Pengembangan skenario pengelolaan berdasarkan pada hasil pemodelan
Skenario pengelolaan yang diusulkan dikembangkan berdasarkan pada hasil
pemodelan. Analisis multi kriteria kembali digunakan dalam menentukan usulan
wilayah peruntukan pemanfaatan. Ada empat usulan zonasi yang dapat menjadi dasar
pengelolaan sumberdaya alam pesisir di Delta Mahakam. Ke empat zonasi tersebut
adalah:
a. Zona pemanfaatan bagi tambak
b. Zona pernanfaatan bagi eksplorasileksploitasi minyak dan gas bumi
c. Zona konservasi dan rehabilitasi
d. Zona pemanfaatan khusus
Seperti telah dijelaskan di muka, skenario pengelolaan kemudian dikaji berdasarkan
pada kriteria entropy yang mengukur keberagaman suatu komposisi bentang alam dan
kriteria juxtaposition yang mengukur kedekatan dan hubungan struktur lansekap yang
diusulkan. Tabel 8 menunjukkan matriks kriteria dan tujuan analisis pemanfaatan.
Tabel 8. Matriks kriteria dan tujuan
Tujuan Pernanfaatan
Zona pemadaatan tambak
Zona pemadaatan migas
Zona Konservasi dan
Rehabilitasi
Zona pemanfaatan khusus
Kriteria
Salinitas lebih besar dari 15 per mil
Jenis tanah
Kemiringan lahan (slope)
Wilayah dengan mangrove minimum
Infrastruktur pipa minyak dan gas bumi yang ada
Rencana pengembangan eksploitasi
Sempadan (right of ways) infiastruktur pipa migas
Nilai integritas ekosistem yang tinggi
Wilayah dengan tutupan mangrove
Wilayah dengan tutupan nipah
Wilayah dengan tutupan nipah
Wilayah tambak yang telah ditinggalkan
Salinitas lebih besar dari 15 per mil pada kondisi iklim
ekstrim
Gambar (47) menunjukkan tahapan analisis kesesuaian bagi pengembangan skenario
zonasi di kawasan Delta Mahakam.
/Reclassifying / Weighting
biof isik 0-5 Pemanfaatan
Khusus
Daerah bufFer IWdlBY/ CJ Kemiringan tanah yang
Area coverage I - Salinity during Gi--t
Gambar 47 Tahapan analisis kesesuaian pemanfaatan bagi pengembangan skenario zonasi di kawasan Delta Mahakam
Top Related