IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK
PENERAPAN ASURANSI IKLIM
4.1. Pendahuluan
Ketersediaan data curah hujan dalam jangka panjang secara runut waktu
(time series) sangat diperlukan dalam analisis, demikian juga dengan sebarannya
secara spasial. Informasi tentang besaran (jeluk) serta pola curah hujan tidak dapat
diketahui apabila di lokasi yang bersangkutan tidak tersedia penakar hujan yang
merekam kejadian tersebut secara berkesinambungan.
Distribusi stasiun penakar hujan di Indonesia belum merata secara spasial,
demikian juga dengan kualitas dan kontinyuitas datanya. Pemasangan penakar
hujan masih terkait dengan kepentingan instansi yang menggunakan data tersebut
baik untuk kepentingan penelitian ataupun keperluan teknis lainnya seperti irigasi
dan sebagainya. Akibatnya ada wilayah tertentu yang cukup rapat sebaran
stasiunnya, sebaliknya ada wilayah lain yang sangat jarang sebaran stasiunnya.
Akibatnya ada wilayah tertentu yang ada penakar hujannya sehingga bisa
merepresentasikan pola hujan setempat, tetapi sebaliknya untuk wilayah yang
tidak ada penakar hujannya maka pola hujan pada umunya direpresentasikan oleh
stasiun terdekat apabila keadaan topografinya relatif datar. Hasil penelitian
Adiningsih (2000) diacu dalam Boer (2008a) menunjukkan bahwa kerapatan
jaringan stasiun di Indonesia masih sangat rendah terutama untuk pulau-pulau di
luar Pulau Jawa. Pulau Jawa adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan
kerapatan jaringan stasiun meteorologi tertinggi (Sri Harto 1993). Hingga akhir
tahun 1941 terdapat sejumlah 3128 pengukur hujan yang tercatat ada di Pulau
Jawa dengan kerapatan 15 km2 pengukur hujan, namun tidak satupun yang
mengumpulkan basis data secara lengkap baik dalam waktu panjang (Sandy 1982
diacu dalam Damayanti 2001). Pada Pulau Jawa sendiri kerapatannya sudah
cukup tinggi, yaitu 11.6 artinya untuk setiap 100 km2 wilayah di Pulau Jawa
terdapat sekitar 11-12 penakar hujan. Pulau yang paling rendah kerapatan
stasiunnya adalah Papua (Irian Jaya), yaitu 0.05 stasiun per 100 km2. Jawa Barat
(termasuk DKI Jakarta dan Banten) rata-rata kerapatan stasiunnya sebesar 47.12
km2 tiap stasiun (Damayanti 2000). Menurut Damayanti (2001) jumlah stasiun
81
hujan di Jawa Barat yang sudah sesuai dengan ketentuan World Meteorological
Organization (WMO), namun perlu diperhatikan sebaran dan kualitas datanya.
Selain sebaran data secara spasial, masalah lain yang dihadapi adalah
kelengkapan data secara runut waktu. Dalam bidang klimatologi misalnya,
kelengkapan data curah hujan secara runut waktu dalam jangka panjang sangat
diperlukan dalam analisis seperti analisis dampak perubahan iklim dan
sebagainya. Tetapi kebutuhan tersebut tidak selalu tersedia seperti yang
diinginkan. Seringkali data yang tersedia cukup panjang tetapi tidak lengkap
secara runut waktu, atau cukup lengkap tetapi hanya dalam jangka waktu yang
relatif pendek atau tersedia secara runut waktu tetapi tidak lengkap secara spasial.
Kondisi ini akan menghambat dalam analisis data.
Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat besar variasinya baik dari
waktu ke waktu maupun dari satu tempat ke tempat yang lain. Oleh karena itu,
tinggi rendahnya curah hujan sangat besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil.
Penggunaan data curah hujan dalam berbagai analisis membutuhkan syarat apakah
data tersebut bisa digunakan baik ditinjau dari aspek spasial maupun temporal.
Untuk kelengkapan data dari aspek temporal, saat ini telah digunakan dan
dikembangkan berbagai metode prediksi data hingga skala waktu yang kecil
seperti data harian. Untuk aspek spasial, metode yang dikembangkan masih
terbatas. Selama ini permasalahan yang sering dijumpai adalah tidak adanya
stasiun hujan yang berada dalam wilayah yang diteliti sehingga harus
menggunakan data dari stasiun pewakil. Solusi yang digunakan pada umumnya
adalah menggunakan data stasiun terdekat. Artinya data curah hujan dari stasiun
yang paling dekat dengan lokasi penelitianlah yang digunakan untuk analisis.
Selain itu metode pengelompokkan (clustering), poligon thiessen juga sering
digunakan untuk mengatasi masalah keterbatasan data curah hujan secara spasial
ini. Penelitian ini menawarkan suatu pendekatan baru yang bisa digunakan untuk
mengatasi keterbatasan stasiun hujan, yaitu dengan Fuzzy Similarity (FS).
Terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim (Climate Index
Insurance), keberadaan stasiun hujan maupun kualitas datanya sangat menentukan
dalam penghitungan indeks iklim. Indeks iklim ini digunakan sebagai dasar untuk
klaim asuransi. Jadi faktor curah hujan sangat besar peranannya.
82
Permasalahannya adalah tidak semua lokasi penelitian memiliki stasiun
hujan, atau seandainya ada stasiun hujan tetapi datanya tidak memenuhi syarat
sehingga harus menggunakan stasiun terdekat sebagai pewakil. Namun seberapa
luas dan wilayah mana saja yang bisa diwakili masih menjadi pertanyaan dan
perlu analisis lebih lanjut. Penentuan stasiun pewakil ini menjadi sangat penting
ketika dihadapkan pada suatu keadaan dimana data curah hujan tersebut menjadi
input yang menentukan dalam suatu pengambilan keputusan seperti dalam
penetapan indeks iklim.
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut di atas, penelitian ini
mencoba untuk menganalisis hubungan antara stasiun hujan yang digunakan
sebagai pewakil (stasiun referensi) dengan stasiun lainnya untuk mengetahui
sebaran dan cakupan wilayah yang bisa diwakilinya menggunakan metode Fuzzy
Similarity (FS). Metode FS merupakan pendekatan baru dalam bidang aplikasi
klimatologi. Terkait dengan periode data yang tidak selalu sama pada setiap
stasiun, metode FS tetap dapat diterapkan meskipun panjang datanya berbeda-
beda pada setiap stasiun. Pendekatan dengan metode FS ini diharapkan juga bisa
memberikan solusi bagi masalah keterbatasan stasiun hujan. Tujuan dari
penelitian ini adalah : 1) menentukan nilai FS sebagai indikator kemiripan antar
stasiun hujan dan 2) menyusun peta cakupan wilayah indeks untuk aplikasi
Asuransi Indeks Iklim.
4.2. Metodologi
4.2.1. Analisis Kemiripan Data dengan Fuzzy Similarity
Penentuan cakupan wilayah indeks pada prinsipnya adalah menentukan
kemiripan data hujan suatu stasiun dengan data hujan stasiun referensi untuk
aplikasi indeks iklim. Stasiun referensi dipilih berdasarkan lokasi survey dan
wawancara dimana indeks iklim dihitung . Dalam penelitian ini, stasiun referensi
yang dipilih adalah : Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Data yang
digunakan adalah data curah hujan bulanan dari 41 stasiun hujan di Kabupaten
Indramayu dengan periode 1965-2010.
Dalam konteks asuransi indeks iklim, jangkaun wilayah indeks menjadi
sangat penting. Nilai indeks dari suatu stasiun referensi akan bisa diberlakukan
83
untuk suatu stasiun tertentu apabila stasiun tersebut memiliki kemiripan
(similarity) dengan stasiun referensi yang dimaksud. Fungsi kemiripan (similarity
function) pada prinsipnya adalah membandingkan dua stasiun untuk mengetahui
kemiripan datanya. Untuk kemiripan antara dua stasiun (fitur), jarak antara
keduanya dapat didefinisikan sebagai perbandingan mengukur (match measure).
Pada penelitian ini, metode FS mempelajari pola data berdasarkan sinyal
yang terbentuk. Pada prinsipnya setiap sinyal memiliki energi (EN) dan Entropi
(ET). Sinyal dikatakan sama jika energi dan entropinya sama atau mirip. Setiap
sinyal terdiri dari komponen-komponen sinyal sebanyak k. Untuk melakukan uji
kemiripan data curah hujan diperlukan dua tahapan analisis utama, yaitu :
penentuan nilai threshold kemiripan data curah hujan dan analisis Fuzzy Similarity
(Li and Yao 2005).
Tahapan analisis selengkapnya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data curah hujan dibuat beberapa frame sesuai dengan periode data yang
tersedia.
2. Dilakukan transformasi wavelet sehingga diperoleh koefisien setiap sinyal
yaitu d1, d2, d3, ..., dK. Energi dari d1 dinyatakan dengan K
i
d1
2
1 . Sinyal
dikatakan sama jika memiliki energi atau entropi yang sama atau mirip. Setiap
sinyal merupakan kombinasi dari komponen-komponen sinyal (sebanyak k).
3. Kemudian dihitung entropinya dengan persamaan :
iK
i
jkjk
i
j PPET1
,, ln
dimana jkP , adalah probabilitas density dari koefisien wavelet pada setiap
tingkat resolusi j=1,.....dst.
4. Dilakukan estimasi densitas (density estimation) menurut metode Kernel
(Suryadi 1993), dengan persamaan:
K
h
h
dd
m
km
ehK
d1
2
12
.2
1
.
1
dimana : h = 1,15 x simpangan baku dari data stasiun referensi x 5
1
K
84
5. Setelah diperoleh nilai energi (EN) dan entropi (ET), maka selanjutnya
dilakukan analisis fuzzy. Tujuan utamanya adalah membuat batasan EN dan
ET sebagai patokan dalam menilai kemiripan data.
6. Setelah dilakukan analisis fuzzy akan diperoleh nilai EN dan ET masing-
masing untuk nilai terbesar dan terkecil. Untuk setiap nilai EN akan diperoleh
fuzzy membership yang berbeda-beda. Sebagai contoh untuk sinyal energi :
S1 = Sinyal 1 EN1 dengan fuzzy membership (a, b, c, d, e, f)
S2 = Sinyal 2 EN2 dengan fuzzy membership (g, h, i, j, k, l)
dst
ST = Sinyal ke-T ENT
Untuk sinyal Entropi :
S1 = Sinyal 1 ET1 dengan fuzzy membership (m, n, o, p, q, r)
S2 = Sinyal 2 ET2 dengan fuzzy membership (s, t, u, v, w, x)
dst
ST = Sinyal ke-T ETT
Selanjutnya digunakan persamaan :
N
xx
BAS
N
i
iBiA
1
1
,
dimana N = jumlah energi sinyal atau entropinya. Dalam penelitian ini, N = 2,
yaitu berupa energi (EN) dan Entropi (ET).
7. Berdasarkan persamaan tersebut di atas dilakukan penghitungan untuk setiap
sinyal. Sebagai contoh :
xwvutsrqponmlkjihgfedcbaSSS ,,,,,,,,,,1,,,,,,,,,,1, 21
dst dengan cara yang sama dihitung untuk 31 , SSS , 41, SSS , 51 , SSS , ...,
TSSS ,1 . Jika suatu stasiun yang akan diuji menghasilkan nilai S lebih besar
atau sama dengan nilai threshold, maka stasiun tersebut memiliki kemiripan
data dengan stasiun referensi.
85
8. Cara yang sama seperti tahapan analisis tersebut di atas, diberlakukan untuk
setiap stasiun referensi. Nilai FS yang dihasilkan akan memberi gambaran
stasiun refensi tersebut lebih mirip ke stasiun yang mana. Keseluruhan nilai
FS disajikan dalam tabel antara stasiun yang diuji dengan stasiun referensi,
serta dalam bentuk peta cakupan wilayah indeks. Seluruh program tersebut
dijalankan dengan Program Matlab. Secara garis besar, tahapan analisis
disajikan dalam Gambar 29.
Gambar 29. Diagram alir analisis Fuzzy Similarity untuk penetapan wilayah
cakupan indeks iklim
Stasiun hujan referensi
Energi (feature) entropi
Transformasi diskret wavelet
Ref. 1
Ref. 2
Ref. 3
Ref. 4
Fungsi Keanggotaan Gaussian
(Fuzziness)
Present State
Fuzzy Similarity Index
Deteksi
Perbandingan
Polanya mirip
ya
tidak Tidak bisa
digunakan
Bisa
digunakan
86
4.2.2. Penyusunan Peta Cakupan Wilayah Indeks Iklim
Analisis kemiripan data dengan metode FS menghasilkan nilai mulai dari
0 hingga 1. Penyebaran nilai kemiripan antara seluruh stasiun dengan stasiun
referensi selanjutnya di plot dalam peta. Peta administrasi yang digunakan sebagai
peta dasar bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS 2010).
4.3. Hasil dan Pembahasan
Dalam konteks asuransi indeks iklim, cakupan wilayah pewakil stasiun
hujan diperlukan untuk mengetahui daerah mana saja yang bisa diwakili oleh
suatu stasiun referensi dimana data pada stasiun referensi tersebut digunakan
untuk menghitung indeks curah hujan. Indeks curah hujan ini digunakan sebagai
paramater atau indikator untuk klaim asuransi. Dengan demikian indeks curah
hujan yang dihasilkan dari salah satu stasiun referensi bisa digunakan untuk
wilayah lain sebagai klaim asuransi dengan catatan wilayah tersebut memiliki
kemiripan (similarity) dengan stasiun referensi. Untuk mengetahui tingkat
kemiripan antar stasiun hujan dengan stasiun referensi dalam penelitian digunakan
metode Fuzzy Similarity (FS).
Metode FS pada prinsipnya mempelajari pola (fluktuasi) curah hujan dari
suatu stasiun referensi kemudian membandingkannya dengan stasiun lain yang
diuji. Stasiun referensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Cikedung,
Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Keempat stasiun ini berada pada lokasi survey
dan wawancara. Jumlah seluruh stasiun hujan yang dianalisis datanya adalah 41
stasiun yang mencakup 31 kecamatan di seluruh Kabupaten Indramayu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk stasiun referensi Cikedung,
nilai FS berkisar antara 0.02-0.49 dengan rata-rata 0.21. Wilayah yang bisa
diwakili oleh stasiun Cikedung relatif kecil, hal ini ditunjukkan oleh nilai FS yang
sebagian besar kurang dari 0.5 (Gambar 30). Dari 41 stasiun hujan yang dianalisis,
sekitar 7.7% nya merupakan stasiun yang bisa diwakili oleh Cikedung. Wilayah
yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah stasiun Losarang, Sliyeg dan
Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan 0.45. Untuk
memperoleh gambaran fluktuasi curah hujan maka dilakukan ploting antara curah
stasiun Cikedung sebagai referensi dengan stasiun Losarang (Gambar 31).
87
Wilayah lainnya tidak disarankan menggunakan stasiun referensi Cikedung.
Apabila dilihat dari sebaran wilayahnya (Gambar 32), maka wilayah yang agak
mirip dengan stasiun Cikedung dengan nilai FS sekitar 0.4 sebagian besar berada
di bagian tengah Kabupaten Indramayu.
Gambar 30. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi
stasiun Cikedung
Gambar 31. Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Cikedung dengan
stasiun Losarang
88
Gambar 32. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi
Cikedung
Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS antara 0.12-0.69 dengan rata-rata
0.35. Sebagian besar nilai FS adalah kurang dari 0.4 (Gambar 33). Sekitar 10.3%
dari seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu yang bisa diwakili oleh stasiun
Lelea. Hal ini ditunjukkan oleh nilai FS yang mendekati dan lebih dari 0.5.
Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Lelea antara lain stasiun Bangodua
(0.69), Gabus Wetan (0.60), Jatibarang (0.47) dan Krangkeng (0.46). Gambar 34
memperlihatkan contoh fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea sebagai
referensi dengan stasiun Bangodua. Berdasarkan peta sebaran kemiripan data
stasiun hujan (Gambar 35), maka wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Lelea
sebagian besar berada di sebelah Barat Laut dan Tenggara dari Lelea.
89
Gambar 33. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi
stasiun Lelea
Gambar 34. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea (Referensi) dengan
stasiun Bangodua
90
Gambar 35. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi
Lelea
Untuk stasiun referensi Terisi nilai FS sebagian besar lebih dari 0.5
(Gambar 36). Secara keseluruhan nilai FS berkisar mulai dari 0.04 hingga 0.84,
dengan rata-rata 0.49. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi cukup luas.
Sekitar 53.8% dari seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu memiliki kemiripan
pola data dengan stasiun Terisi. Stasiun tersebut antara lain : Bongas (0.62),
Widasari (0.70), Balongan (0.57), Sukra (0.69), Kroya (0.69), Cantigi (0.77),
Arahan (0.70), Gantar (0.70), Sukagumiwang (0.64), Kedokan Bunder (0.74),
Patrol (0.84), Pasekan (0.63), Tukdana (0.82), Bugel (0.68), Cigugur (0.49),
Wanguk (0.72), Leuweungsemut (0.81), Karangasem (0.83), Cipancuh (0.73),
Tamiang (0.54) dan Bantarhuni (0.51). Fluktuasi curah hujan antara stasiun Terisi
sebagai referensi dengan stasiun Patrol disajikan dalam Gambar 37. Berdasarkan
peta sebarannya (Gambar 38), wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi
cukup luas. Sebagian besar berada di sekitar stasiun Terisi mulai dari Haurgeulis,
Gantar, Kroya, Cikedung hingga Jatibarang. Sebagian lagi sepanjang pantai utara
Jawa mulai dari Sukra, Patrol sampai dengan Balongan.
91
Gambar 36. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi
stasiun Terisi
Gambar 37. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea (Referensi) dengan
stasiun Bangodua
92
Gambar 38. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi
Terisi
Untuk stasiun referensi Kandanghaur, analisis FS secara umum
memperlihatkan hasil relatif rendah dibandingkan 3 stasiun referensi lainnya.
Hanya satu stasiun yang memiliki nilai FS agak tinggi walaupun masih kurang
dari 0.5, yaitu stasiun Kertasemaya dengan nilai FS 0.41 (Gambar 39), sedangkan
stasiun lainnya kurang dari 0.35. Secara keseluruhan, nilai FS antara 0.002 hingga
0.41, dengan rata-rata 0.11. Gambar 40 memperlihatkan fluktuasi curah hujan
antara stasiun Kandanghaur sebagai referensi dengan stasiun Kertasemaya. Dari
peta penyebarannya (Gambar 41) juga terlihat bahwa sangat dominan dengan nilai
FS kurang dari 0.4. Keseluruhan hasil analisis dirangkum dalam Tabel 6.
93
Gambar 39. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi
stasiun Kandanghaur
Gambar 40. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Kandanghaur (Referensi)
dengan stasiun Kertasemaya
94
Gambar 41. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi
Kandanghaur
Tabel 6 menyajikan berbagai nilai FS untuk setiap stasiun hujan di
Kabupaten Indramayu pada stasiun referensi Cikedung, Lelea, Terisi dan
Kandanghaur. Untuk stasiun referensi Cikedung nilai FS tertinggi adalah 0.49
yaitu dengan stasiun Losarang. Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS tertinggi
sebesar 0.69 yaitu dengan stasiun Bangodua. Nilai FS sebesar 0.84 merupakan
nilai tertinggi untuk stasiun referensi Terisi terhadap stasiun hujan Patrol. Untuk
stasiun referensi Kandanghaur, nilai FS tertinggi adalah 0.41 untuk stasiun
Kertasemaya.
Jarak maksimum atau radius cakupan wilayah yang dapat diterima antara
stasiun cuaca referensi dengan area yang diasuransikan adalah 20-25 km (IFC
2009, Martirez 2009). Topografi wilayah serta karakteristik dan pola hujan
menjadi faktor yang penting dalam menentukan radius cakupan wilayah indeks
iklim.
Perbandingan antara stasiun hujan dilakukan untuk mengetahui pola
kemiripan data curah hujan dengan stasiun referensi. Keseluruhan hasil nilai FS
yang disajikan dalam Tabel 6 berkisar antara 0.002 hingga 0.838. Berdasarkan
kisaran nilai FS ini selanjutnya dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu : 1) kelompok 1
95
untuk nilai FS 0-0.2, 2) kelompok 2 untuk FS 0.2-0.4, 3) kelompok 3 untuk nilai
FS 0.4-0.6, 4) kelompok 4 untuk nilai FS 0.6-0.8, dan 5) kelompok 5 untuk FS
0.8-1. Perbandingan fluktuasi curah hujan dilakukan dengan mengambil contoh
untuk nilai FS terendah dan tertinggi pada setiap kelompok (Gambar 42).
Tabel 6. Hasil analisis FS untuk seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu
No Stasiun Hujan
REFERENSI
CIKEDUNG LELEA TERISI KD.HAUR
1 Indramayu 0.10 0.12 0.18 0.28
2 Sindang 0.20 0.14 0.05 0.32
3 Loh Bener 0.40 0.40 0.20 0.24
4 Karang Ampel 0.32 0.35 0.24 0.20
5 Krangkeng 0.44 0.46 0.41 0.13
6 Junti Nyuat 0.44 0.30 0.25 0.17
7 Jati Barang 0.45 0.47 0.34 0.15
8 Sliyeg 0.46 0.53 0.42 0.11
9 Kerta Semaya 0.08 0.12 0.04 0.41
10 Bango Dua 0.31 0.69 0.42 0.09
11 Losarang 0.49 0.47 0.39 0.17
12 Cikedung 0.38 0.23 0.20
13 Lelea 0.27 0.33 0.05
14 Kandang Haur 0.02 - -
15 Gabus Wetan 0.34 0.60 0.38 0.06
16 Anjatan 0.35 0.17 0.12 0.35
17 Haur Geulis 0.33 0.40 0.12 0.21
18 Bongas 0.30 0.42 0.62 0.07
19 Widasari 0.24 0.44 0.70 0.09
20 Balongan 0.09 0.30 0.57 0.05
21 Sukra 0.17 0.35 0.69 0.00
22 Kroya 0.07 0.36 0.69 0.05
23 Cantigi 0.09 0.32 0.77 0.05
24 Arahan 0.09 0.33 0.70 0.02
25 Gantar 0.10 0.40 0.70 0.01
26 Terisi 0.09 0.32 0.04
27 Sukagumiwang 0.10 0.27 0.64 -
28 Kedokan Bunder 0.04 0.27 0.74 0.06
29 Patrol 0.15 0.36 0.84 0.12
30 Pasekan 0.09 0.31 0.63 0.04
31 Tukdana 0.15 0.31 0.82 0.12
32 Bugel 0.04 0.29 0.68 0.06
33 Cigugur 0.11 0.30 0.49 0.08
34 Wanguk 0.18 0.26 0.72 0.06
35 Tulangkacang - 0.24 0.33 0.15
36 Lueweungsemut 0.10 0.34 0.81 0.06
37 Karangasem 0.09 0.33 0.83 0.06
38 Cipancuh 0.03 0.32 0.73 0.02
39 Tamiang 0.32 0.33 0.54 0.01
40 Bantarhuni 0.22 0.42 0.51 0.01
41 Bugis 0.18 0.31 0.44 0.08
96
Gambar 42. Perbandingan pola curah hujan antara stasiun referensi dengan stasiun
hujan pewakil pada setiap kelompok.
97
4.4. Simpulan
Dalam konteks asuransi indeks iklim, peran stasiun hujan sangat penting
sebagai sumber data untuk penentuan indeks hujan. Cakupan wilayah yang bisa
diwakili oleh suatu indeks yang ditetapkan berdasarkan metode Fuzzy Similiry
(FS) menghasilkan sebaran yang beragam.
Pada stasiun referensi Cikedung, nilai FS berkisar antara 0.02-0.49 dengan
rata-rata 0.21. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah sekitar
7.7% dari total 41 stasiun hujan di Kabupaten Indramayu, yaitu Losarang, Sliyeg
dan Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan 0.45.
Pada stasiun referensi Lelea, nilai FS antara 0.12-0.69 dengan rata-rata
0.35. Wilayah yang bisa diwakili sekitar 10.3%, yaitu Bangodua, Gabus Wetan,
Jatibarang dan Krangkeng.
Pada stasiun referensi Terisi, nilai FS sebagian besar lebih dari 0.5. Nilai
FS berkisar 0.04 hingga 0.84, dengan rata-rata 0.49. Wilayah yang bisa diwakili
oleh stasiun Terisi 53.8%, yaitu Bongas, Widasari, Balongan, Sukra, Kroya,
Cantigi, Arahan, Gantar, Sukagumiwang, Kedokan Bunder, Patrol, Pasekan,
Tukdana, Bugel, Cigugur, Wanguk, Leuweungsemut, Karangasem, Cipancuh,
Tamiang dan Bantarhuni.
Pada stasiun referensi Kandanghaur nilai FS antara 0.002 hingga 0.41,
dengan rata-rata 0.11. Wilayah yang bisa diwakili sangat kecil dibandingkan
stasiun referensi lainnya, yaitu Kertasemaya.
Top Related