1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit degenaratif yang menduduki
peringkat ke-4 berdasarkan prioritas penelitian nasional. Terdapat empat
kelompok besar penyakit yang banyak terjadi di rumah sakit diantaranya DM,
hipertensi, gagal ginjal dan penyakit jantung (Tjokoprawiro, 2003).
DM merupakan kelainan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia
dan ketidaknormalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
disebabkan oleh adanya kekurangan sekresi insulin, kurangnya sensitivitas
insulin, atau keduanya (Craig et al., 2009).
Peningkatan insidensi DM akan meningkatkan insidensi komplikasi akibat
diabetes tersebut. DM tipe 2 mempunyai angka kejadian yang lebih tinggi
yaitu 90% dari seluruh kasus. Jumlah pasien DM tipe 2 akan semakin
meningkat seiring dengan perubahan pola hidup, makanan yang dikomsumsi,
dan kegiatan fisik (Triplitt et al., 2008). Menurut data Riset Kesehatan Dasar
(2013), sebaran penderita DM sebesar 2,1% di Seluruh Indonesia dengan
prevalensi diabetes tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%).
Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent
killer karena penyakit ini seringkali asimtomatik dan terdeteksi setelah terjadi
kerusakan organ. Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang
ditandai dengan menigkatnya tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan/atau
diastolik ≥90mmHg (Susalit et al., 2001).
2
Hipertensi dan DM yang terjadi secara bersamaan dapat meningkatkan
risiko komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Hipertensi pada pasien
DM dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal,
atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila
penderita diabetes juga terkena hipertensi.
Tujuan penatalaksanaan pasien DM tipe 2 adalah menurunkan kadar
glukosa darah menjadi normal atau mendekati normal, sehingga mencegah
terjadinya komplikasi. Menurut Perkeni 2011, penatalaksaan dan pengelolaan
DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi
gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Tatalaksana terapi
hipertensi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah pasien dimana target
tekanan darah untuk pasien DM dengan hipertensi ≤130/80 mmHg. Obat
antihipertensi yang ideal adalah yang dapat mengontrol tekanan darah, tidak
mengganggu terhadap metabolisme baik glukosa maupun lipid (Haffner et
al., 1998).
Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak tepat secara medik,
artinya tidak sesuai dengan indikasi, diberikan dalam dosis yang tidak tepat,
cara dan lama pemberian yang keliru hingga kurang tepatnya pemberian
informasi sehubungan dengan pengobatan yang diberikan. Dampak negatif
yang dapat dialami oleh pasien yaitu berupa peningkatan risiko efek samping
yang tidak diharapkan, dan biaya yang mahal. Selain itu, penggunaan obat
yang tidak rasional oleh populasi yang lebih luas dapat memberikan dampak
3
berupa resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik tertentu dan mutu
pelayanan pengobatan secara umum (Kemenkes, 2011).
Tingginya kasus komplikasi yang terjadi dan pentingnya penanganan pada
pasien DM tipe 2 yang mengalami hipertensi maka perlu dilakukan terapi
farmakologi dan nonfarmakologi secara rasional. Untuk dapat mencapai
pengobatan yang rasional perlu dilakukan identifikasi pola penyakit maupun
pola penggunaan obat di suatu lokasi. Hasil identifikasi ini kemudian akan
dibandingkan dengan standar tertentu dan dilihat ketepatannya.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan obat antidiabetika
dan antihipertensi di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada
pasien DM dengan hipertensi pada tahun 2014, kemudian akan dievaluasi
dalam hal tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis. Penelitian ini
terbatas hanya pada pasien rawat jalan yang melakukan check-up pada tahun
2014. RS. PKU Muhammadiyah Yogyakarta, yang merupakan rumah sakit
swasta tipe B (madya) di Yogyakarta yang mempunyai poli penyakit dalam
dan merupakan salah satu rumah sakit rujukan di kota Yogyakarta.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pola penggunaan obat antidiabetik dan obat antihipertensi
pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan hipertensi di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2014?
2. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat antidiabetik dan obat
antihipertensi yang meliputi ketepatan indikasi, tepat obat, tepat dosis,
tepat pasien pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dengan hipertensi di
4
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-
Desember 2014 berdasarkan standar The Seventh Report of Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC 7), Standards of Medical Care in Diabetes-2015,
Drug Information Handbook dan Standar Perkeni 2011.
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi dan antidiabetik pada
pasien DM tipe 2 dengan hipertensi di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta periode Januari-Desember 2014.
2. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat antihipertensi dan antidiabetik
pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta periode Januari-Desember 2014 yang meliputi ketepatan
indikasi, tepat obat, pasien dan dosis berdasarkan guideline.
D. MANFAAT
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan untuk meningkatkan pengembangan standar penggunaan
obat antidiabetik dan antihipertensi untuk pasien DM tipe 2.
2. Bagi Pemerintah
Dapat menjadi masukan kepada pemerintah dalam membuat kebijakan dan
evaluasi dalam penggunaan obat antidiabetik dan antihipertensi untuk
pasien DM tipe 2.
5
3. Bagi Peneliti
Meningkatkan pengetahuan dan informasi mengenai pola penggunaan obat
pada pasien DM tipe 2.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Diabetes mellitus
Menurut World Health Organization (WHO), DM merupakan
kelainan metabolik yang memiliki karakter hiperglikemia kronik sebagai
akibat dari penurunan sekresi insulin, penurunan aksi insulin, atau
keduanya (Craig et al., 2009). Gangguan metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein yang terjadi pada penderita DM diakibatkan oleh
penurunan aksi insulin pada jaringan target (Craig et al., 2009).
Jenis-jenis DM :
a. Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes tipe 1 atau disebut juga Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), yaitu diabetes yang ditandai dengan kenaikan kadar
gula darah yang diakibatkan oleh defisiensi insulin secara absolut
karena kerusakan sel β pankreas yang disebabkan oleh reaksi
autoimun (Sacks et al., 2011). Pada pulau Langerhans kelenjar
pancreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel-sel
β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan
sel-sel σ memproduksi hormon somastatin, namun demikian serangan
autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β (Rodbard et al.,
2007).
6
Destruksi autoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar
pancreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin.
Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme
yang menyertai DM tipe 1. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan
sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans.
Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, tapi
hal ini tidak terjadi pada penderita DM tipe 1, sekresi glukagon akan
tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia, hal ini
memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari
keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami
ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapatkan terapi insulin
(Rodbard et al., 2007).
b. Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 atau disebut juga Non-Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM), yaitu diabetes yang ditandai dengan
kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin dan/atau
fungsi insulin yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin (Sacks
et al., 2011). Sekitar 90%-95% terjadi dari semua kasus diabetes.
Selain resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul
gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik
yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi kerusakan pada sel-
sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM tipe 1.
Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2
7
hanya bersifat relatif, tidak absolut. Obesitas, diet tinggi lemak dan
sedikit serat, serta kurang aktifitas badan dapat menjadi faktor yang
mempengaruhi munculnya DM tipe 2 (Rodbard et al., 2007).
c. Diabetes mellitus gestasional
Diabetes mellitus gestasional adalah diabetes yang terjadi selama
masa kehamilan dan pada umumnya dapat kembali normal setelah
melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang
dikandung,antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan
bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Selain
itu, wanita yang pernah mengalami diabetes gestational akan berisiko
untuk menderita diabetes lagi di masa depan. (Sacks et al., 2011).
Diagnosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dL dan hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah puasa ≥126 mg/dL.
Tabel I Kriteria penegakan diagnosa DM (ADA, 2015)
Glukosa plasma puasa Glukosa plasma 2 jam setelah makan
Normal <100 mg/dL <140 mg/dL
Diabetes ≥126 mg/dL ≥200 mg/dL
2. Penatalaksanaan DM
Pada penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah terapi nonfarmakologis yaitu penatalaksanaan tanpa obat namun
berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam langkah pertama ini
tujuan penatalaksanaan belum tercapai maka dapat dikombinasi dengan
8
langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik
oral, atau kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
a. Terapi nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi pada pasien DM berupa intervensi gaya
hidup. Intervensi gaya hidup yang paling sering dilakukan adalah
menjaga berat badan agar tetap pada body mass index (BMI) normal
dengn diet dan olahraga secara teratur. Hal ini dapat dilakukan
individu yang mengalami impaired glucose tolerance (IGT) agar
tidak berkembang menjadi DM dan individu yang mempunyai faktor
risiko DM atau menjadi terapi tambahan selain terapi farmokologi.
Diet yang direkomendasikan yaitu mengurangi konsumsi lemak dan
meningkatkan konsumsi sayuran dan buah-buahan. Olahraga ringan
secara teratur minimal 30-40 menit per hari akan bermanfaat dalam
mengurangi risiko terkena DM. Peningkatan level HDL dan
penurunan insidensi hipertensi merupakan hasil yang positif dari
terapi nonfarmakologi ini terutama untuk penderita IGT dan IFG
(Alberti et al., 2007).
b. Terapi farmakologi
1) Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam
merespon glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari
51 asam amino tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21
asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin
9
mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolism, efek kerja insulin adalah membantu
transport glukosa dari darah ke dalam sel (Tjay & Rahardja,
2002).
Macam-macam sediaan insulin (Tjay & Rahardja, 2002):
a) Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya
baru sesudah setengah jam (injeksi subkutan), contoh:
Actrapid, Velosulin, Humulin regular.
b) Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini berkerja dengan cara mempersulit daya
larutnya di cairan jaringan dan menghambat reabsorbsinya
dari tempat injeksi ke dalam darah. Metode yang digunakan
adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau
mengubah bentuk fisiknya, contoh: Monotard Human .
c) Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan
dengan mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama
kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2
kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar
glukosa darahnya. Pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan
kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan
10
sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah
insulin.
2) Obat antidiabetik oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral
dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau
kombinasi dari dua jenis obat (Rodbard et al., 2007).
a) Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin
dikelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-
sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi.
Penurunan kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian
senyawa-senyawa sulfonilurea disebabkan oleh perangsangan
sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini
merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat
badan normal dan kurang serta tidak pernah mengalami
ketasidosis sebelumnya (Soegondo, 2004).
b) Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap
kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan produksi
gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat
11
badan tidak meningkat, sehingga layak diberikan pada
penderita yang overweight (Soegondo, 2004).
c) Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang
luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan
jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan
lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam
jaringan lemak dan otot meningkat. Tiazolindindion
diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan
yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan
juga tidak menyebabkan kelelahan sel β pankreas. Contoh :
Pioglitazone, Troglitazon.
d) Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di
lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga
tidak berpengaruh pada kadar insulin. Contoh : Acarbose
(Tjay&Rahardja, 2002).
12
Gambar 1 Skema terapi antidiabetika pada DM tipe 2 (ADA, 2015)
3. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi adalah suatu penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah seseorang. Pengukuran tekanan darah
dilakukan pada dua atau lebih pengukuran pada posisi duduk.
Seseorang dikatakan terkena hipertensi jika rata-rata pada pengukuran
dua kali atau lebih tekanan darah sistolik ≥140mmHg atau tekanan
darah diastolic ≥90mmHg pada dua kali atau lebih kunjungan pada
waktu yang berbeda (Susalit et al., 2001).
13
Tabel II Klasifikasi Hipertensi untuk pasien dewasa (usia >18 tahun)
(Chobanian et al., 2004)
Klasifikasi tekanandarah
Tekanan darah sistolik(mmHg)
Tekanan darah diastolik(mmHg)
NormalPrehipertensi
Hipertensi tingkat 1Hipertensi tingkat 2
<120120-139140-159
≥160
Dan <80Atau 80-89Atau 90-99Atau ≥100
Pasien yang menderita hipertensi, kemungkinan besar juga dapat
mengalami krisis hipertensi. Krisis hipertensi merupakan suatu
kelainan klinis ditandai dengan tekanan darah yang sangat tinggi yaitu
tekanan sistolik >180 mmHg atau tekanan diastolik >120 mmHg yang
kemungkinan dapat menimbulkan atau tanda telah terjadi kerusakan
organ. Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi. Hipertensi emergensi yaitu tekanan darah meningkat ekstrim
disertai kerusakan organ akut yang progresif, sehingga tekanan darah
harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah
kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi urgensi yaitu tingginya
tekanan darah tanpa adanya kerusakan organ yang progresif sehingga
tekanan darah diturunkan dalam waktu beberapa jam hingga hari pada
nilai tekanan darah tingkat I (ADA, 2003).
b. Etiologi
Hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer dan hipertensi
sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer merupakan
hipertensi idiopatik, artinya tidak diketahui secara jelas penyebabnya,
sedangkan hipertensi sekunder biasanya disebabkan oleh adanya
penyakit atau patofisiologis lain.
14
1) Hipertensi primer
Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial (primer). Penyebab hipertensi essensial ini masih belum
diketahui, tetapi faktor genetik dan lingkungan diyakini
mempunyai peran penting dalam menyebabkan hipertensi essensial
(Weber et al., 2014). Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan
aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf
simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Faktor
lingkungan seperti konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang
tidak sehat juga dapat mempengaruhi.
Penurunan ekskresi natrium pada keadaan arteri normal
merupakan peristiwa awal dalam hipertensi essensial. Penurunan
ekskresi natrium dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan,
curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah
meningkat (Robbin et al., 2007).
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit komorbid
atau penggunaan obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi.
Penghentian penggunaan obat tersebut atau mengobati kondisi
komorbid yang menyertai merupakan tahap pertama dalam
15
penanganan hipertensi sekunder (Dosh, 2001). Beberapa penyebab
hipertensi sekunder dapat dilihat pada Tabel III.
Tabel III Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Oparil et al., 2006)
Penyakit ObatPenyakit ginjal kronisHiperaldosteronisme primerPenyakit renovaskularSindroma CushingPhaeochromocytomaKoarktasi aortaPenyakit tiroid atau paratiroid
Kortikosteroid, ACTHEstrogen (biasanya pil KB dengan kadar estrogen tinggi)NSAID, COX-inhibitorFenilpropanolamin dan analogSiklisforin dan takromilusEritropoetinSibutraminAntidepressan (terutama venlafaxine)
c. Patofisiologi
Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang dipengaruhi
oleh dua variable hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi
perifer total (Robbin et al., 2007). Curah jantung merupakan faktor
yang menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer
menentukan nilai tekanan darah diastolik (Saseen & Maclaughlin,
2008).
Ginjal memiliki peranan dalam mengendalikan tekanan darah
melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron. Renin yang dihasilkan
oleh sel justaglomerulus ginjal mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin-1, kemudian angiotensin-1 diubah menjadi angiotensin-2
oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin-2 dapat
berikatan dengan reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) atau reseptor
angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Stimulasi reseptor AT1 dapat
meningkatkan tekanan darah melalui efek pressor dan volume darah.
Efek pressor angiotensin-2 meliputi vasokonstriksi, stimulasi
16
pelepasan katekolamin, dan meningkatkan aktivitas saraf simpatik
dan volume darah. Angiotensin-2 juga menstimulasi sintesis
aldosterone dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi natrium
dan air yang akan menyebabkan kenaikan volume darah, kenaikan
resistensi perifer total, dan akhirnya kenaikan tekanan darah (Saseen
& Maclaughlin, 2008).
d. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan tekanan darah, antara lain :
1) Usia (pria di atas 55 tahun, wanita di atas 65 tahun),
2) Profil kolesterol tinggi, LDL tinggi, HDL rendah
3) Merokok
Rokok mengandung nikotin. Nikotin merupakan vasokonstriktor
sehingga dapat menaikkan tekanan darah.
4) Riwayat keluarga menderita penyakit kardiovaskular
5) Aktivitas fisik kurang aktif
6) Garam
Ion natrium pada garam dapat mengakibatkan retensi air sehingga
meningkatkan volume darah dan tahanan vaskuler perifer. Ion
natrium juga dapat meningkatkan efek vasokonstriksi noradrenalin
(Tjay & Raharja, 2002).
7) Stress
Peningkatan TD pada kondisi stress diperantarai dilepaskannya
neurotransmitter adrenalin dan noradrenalin.
17
8) Pil Kontasepsi
Estrogen dalam pil kontrasepsi memiliki sifat meretensi air dan
garam. Dengan adanya retensi tersebut, volume cairan akan
meningkat dan dapat meningkatkan TD.
9) Kehamilan
Kenaikan TD dapat terjadi selama kehamilan. Apabila uterus
meregang karena perkembangan janin, maka aliran darah ke
daerah tersebut akan berkurang sehingga memicu dilepaskannya
zat-zat yang dapat memicu kenaikan TD (Tjay & Raharja, 2002).
10) Diabetes Melitus (DM)
Penderita hipertensi primer memiliki kaitan erat dengan hormon
insulin. Orang yang mengalami obesitas ataupun memiliki DM
tipe II mengalami gangguan terhadap transport glukosa ke
jaringan perifer (biasa disebut resistensi insulin). Akibatnya, level
serum glukosa meningkat seihngga menstimulasi pankreas untuk
mensekresikan insulin dalam jumlah besar. Seperti halnya
hiperinsulinemia, secara teoritis dapat menaikkan tekanan arteri
dengan 4 mekanisme :
a) Insulin menstimulasi reabsorpsi natrium di ginjal,
b) Insulin meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan
konsentrasi katekolamin,
c) Insulin merupakan mitogen yang menstimulasi hipertrofi
pembuluh arteri otot polos,
18
d) insulin mempengaruhi transport ion yang mengarah pada
meningkatnya ion kalsium intraselular (Maholtra et al, 2003).
e. Gejala klinis hipertensi
Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala
penyakit. Ada kesalahpahaman yang sering terjadi pada masyarakat
bahwa penderita hipertensi selalu merasakan gejala penyakit.
Kenyataannya justru sebagian besar penderita hipertensi tidak
merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang
menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri
dada, palpitasi, dan epitaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika
diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit
hipertensi (WHO, 2013).
f. Komplikasi hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak
endotel arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari
hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata,
ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor
resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient
ischemic attack), penyakit arteri coroner (infark miokard, angina),
gagal ginjal, demensia, dan atrial fibrilasi. Peningkatan morbiditas
dan mortalitas akibat gangguan kardiovaskular akan terjadi bila
penderita hipertensi memiliki faktor-faktor risiko (Dosh, 2001).
19
g. Diagnosa
Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer karena pasien
dengan hipertensi essesial biasanya tidak mengalami gejala
(asimtomatik). Penemuan fisik yang utama adalah meningkatnya
tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu
dua kali control ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan
darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan
sesuai dengan tingkatnya (Depkes, 2006).
4. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan
morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan
kerusakan organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan
penyakit ginjal) (Chobanian et al., 2004).
Target nilai tekanan darah yang direkomendasikan dalam JNC VII :
a. Kebanyakan pasien < 140/90 mmHg
b. Pasien dengan diabetes <130/80 mmHg
c. Pasien dengan penyakit ginjal kronis <130/80 mmHg
Beberapa prinsip pengobatan hipertensi, yaitu (Susalit et al., 2001):
a. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan
kausal (penyebab),
b. Pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan dapat memperpanjang umur dan mengurangi
timbulnya risiko,
20
c. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat digunakan obat selain
perubahan gaya hidup,
d. Pengobatan hipertensi primer merupakan pengobatan jangka panjang,
bahkan dapat sampai seumur hidup.
Adapun terapi yang dapat dilakukan pada pasien hipertensi dapat
dibagi menjadi 2, yaitu terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.
a. Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi biasa diterapkan pada pasien prehipertensi
agar tidak terjadi perburukan kondisi. Terapi nonfarmakologi
dilakukan dengan melakukan penurunan berat badan, aktivitas fisik
dan pengaturan pola makan. Terapi nonfarmakologi dapat menunjang
turunnya tekanan darah pasien yang menjalani terapi secara
farmakologi seperti yang ditunjukkan pada Tabel IV.
Tabel IV Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengontrol hipertensi
(Chobanian et al., 2004)
Modifikasi Rekomendasi Penurunantekanan darah
Penurunanberat badan
Menjaga berat badan normal (indeks massa tubuh18,5-24,9 kg/m2)
5-20mmHg/10kg
Diet makanmenurutDASH
Mengkonsumsi makanan berupa buah, sayur danproduk susu rendah lemak dan mengurangi jumlahmakanan yang mengandung lemak jenuh dan total
lemak.
4-18 mmHg
Diet rendahgaram
Mengurangi asupan garam menjadi kurang dari100 mmol/hari (2,4g natrium dan 6g natrium
klorida)
2-8 mmHg
Aktivitasfisik
Rutin melakukan aktivitas fisik aerobic sepertijalan cepat (minimal 30 menit per hari, setiap hari)
4-9 mmHg
Membatasikonsumsialkohol
Membatasi konsumsi menjadi tidak lebih dari 2kali porsi minum per hari untuk laki-laki dan 1 kaliper hari untuk perempuan dan yang memiliki berat
badan kurang
2-4 mmHg
21
Pasien juga disarankan untuk mengentikan kebiasaan merokok
(Weber et al., 2014). Modifikasi pola hidup dapat menurunkan
tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi, dan mengurangi
risiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian et al., 2004).
b. Terapi Farmakologi
Pemilihan obat pada penatalaksanaan hipertensi tergantung pada
tingkat tekanan darah dan keberadaan penyakit penyulit. Obat-obat
yang digunakan memiliki mekanisme dan tempat aksi yang berbeda
dalam menurunkan tekanan darah. Obat antihipertensi dapat diberikan
secara tunggal maupun kombinasi. Obat antihipertensi diuretik, β-
blocker, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI),
penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kanal kalsium
(CCB) merupakan agen primer yang dapat mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Obat antihipertensi seperti α-1 blocker, α-2 agonis
central, dan vasodilator merupakan alternative yang digunakan
penderita setelah mendapatkan obat pilihan pertama (Chobanian et al.,
2004).
`Jenis obat yang sering digunakan dalam terapi antihipertensi :
1) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat
secara langsung angiotensin converting enzyme (ACE) dan
menghalangi konversi angiotensin-1 menjadi angiotensin-2. Aksi
ini akan mengurangi angiotensin-2 yang dapat menimbulkan
22
vasokonstriksi dan sekresi aldosteron. Adanya jalur lain yang
menghasilkan angiotensin-2 mengakibatkan ACEI tidak
menghalangi secara penuh produksi angiotensin-2 sehingga ACEI
tidak menyebabkan efek pada metabolism. Bradikinin
terakumulasi pada sebagian pasien karena penghambatan ACE
mencegah kerusakan dan inaktivasi bradikinin. Bradikinin dapat
mengakibatkan vasodilatasi dengan mengeluarkan nitro oksida,
tetapi bradikinin juga dapat menimbulkan terjadinya batuk.
Contoh obat golongan ACEI adalah kaptopril, enalapril, dan
lisinopril (Saseen, 2009).
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) harus
dihindari pada pasien dengan arteri stenosis ginjal karena berisiko
menimbulkan gagal ginjal akut. Selain itu, ACEI juga
dikontraindikasikan pada pasien angioedema dan wanita hamil
(Barranger et al., 2006; BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Efek
samping ACEI yang paling sering yaitu batuk kering, ruam, dan
pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit
ginjal atau diabetes (Barranger et al., 2006).
2) Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Angiotesin-2 diproduksi dengan melibatkan dua jalur enzim
yaitu RAAS (rennin angiotensin aldosteron system) yang
melibatkan ACE dan jalur alternatif yang menggunakan enzim
kinase (Carter et al., 2003). Angiotensin converting enzyme
23
inhibitor (ACEI) hanya menghambat efek angiotensin yang
menghasilkan RAAS, sedangkan ARB menghambat angiotensin-2
dari semua jalur. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
menghambat secara langsung reseptor agiotensin-2 tipe 1 (AT1)
yang memediasi efek angiotensin-2 yaitu vasokonstriksi,
pelepasan aldosteron, aktivasi saraf simpatik, pelepasan hormon
antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen dari glomerulus. ARB
tidak memblok reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Hal ini
menyebabkan efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2
seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan
pertumbuhan sel tetap utuh dengan penggunaan ARB (Depkes,
2006). Contoh ARB adalah valsartan, kandesartan, irbesartan, dan
losartan (Chobanian et al., 2004).
Penggunaan ARB biasanya dapat ditoleransi dengan baik,
karena tidak menyebabkan batuk dan jarang menyebabkan
angioedema (Weber et al., 2014). ARB harus digunakan secara
hati-hati pada pasien dengan kerusakan hati dan ginjal serta
dikontraindikasikan pada kehamilan. Efek samping ARB meliputi
pusing, kelelahan, diare, rasa sakit, dan infeksi (Barranger et al.,
2006).
3) Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan
mengosongkan simpanan natrium dalam tubuh. Diuretik
24
menurunkan tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan
curah jantung, tetapi setelah 6-8 minggu maka curah jantung
kembali normal sedangkan resistensi vaskular menurun. Natrium
diperkirakan berperan dalam resistensi vaskular dengan
meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivasi saraf. Hal
ini kemungkinan berhubungan dengan peningkatan pertukaran
natrium-kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium
intraselular (Benowitz, 2009).
Empat subkelas diuretik yang digunakan untuk mengobati
hipertensi yaitu tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis
aldosteron. Diuretik terutama golongan tiazid merupakan lini
pertama pada pasien hipertensi. Diuretik penahan kalium memiliki
efek yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek
aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop.
Antagonis aldosteron memiliki efek yang lebih poten dengan mula
kerja yang lambat (Depkes, 2006). Contoh diuretik tiazid yaitu
hidroklorotiazid, klortalidon, dan indapamid. Diuretik loop yaitu
bumetanid, torsemid, dan furosemid. Diuretik penahan kalium
yaitu amilorid dan triamteren. Antagonis aldosteron yaitu
eplerenon dan spironolakton (Chobanian et al., 2004).
Diuretik khususnya diuretik tiazid dikontraindikasikan pada
hipersensitivitas terhadap tiazid atau sulfonilurea, anuria,
kehamilan, hiponatremia, hiperurisemia simptomatik, gout,
25
hipokalemia yang persisten, hiperkalsemia, penyakit Addison,
gangguan hati berat, dan gangguan ginjal berat (kreatinin klirens
<30 ml/ menit) sedangkan golongan diuretik loop yaitu furosemid
dikontraindikasikan pada hipersensitivitas tehadapa diuretik loop
atau sulfonilurea, gout, anuria, dan pasien koma hepatic akibat
sirosis (NFKDOQL, 2004; Lacy et al., 2006; BPOM RI, 2008;
WHO, 2009). Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan
hiperkalemia terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
atau diabetes dan pada pasien yang menggunakan ACEI, ARB,
NSAID, atau suplemen kalium. Antagonis aldosteron dapat
menimbulkan hiperkalemia (Depkes, 2006).
4) Β-blocker (penyekat beta)
Reseptor beta terdiri dari respetor beta-1 dan reseptor beta-2.
Reseptor beta-1 yang terdapat di jantung dan ginjal berfungsi
dalam mengatur denyut jantung, pelepasan rennin, dan
kontraktilitas jantung. Reseptor beta-2 yang terdapat di paru-paru,
hati, pankreas, dan otot polos arteri berfungsi dalam mengatur
bronkodilatasi dan vasodilatasi. Penyekat beta menurunkan
tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan mengurangi
pelepasan rennin dari ginjal (Weber et al., 2014).
Penyekat beta yang berikatan dengan reseptor beta-1 bersifat
kardioselektif karena tidak menghambat reseptor beta-2 dan tidak
menstimulasi bronkokonstriksi. Obat-obat yang termasuk dalam
26
penyekat beta-1 seperti metoprolol, betaksolol, atenolol,
asebutolol, dan bisoprolol lebih aman pada pasien asma, penyakit
paru-paru obstruksi kronis, dan penyakit vaskular. Pada dosis
tinggi, penyekat beta selektif kehilangan kardioselektifitasnya
(Barranger et al., 2006). Beberapa penyekat beta mempunyai
aktivitas simpatomimetik intstrinsik (ISA). Asebutolol, karteolol,
penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja
secara agonis pada beta resptor parsial (Depkes, 2006). Penyekat
beta ISA dapat menstimulasi reseptor beta tetapi dengan aksi yang
lebih lemah dari agonis beta sebenarnya. Jika diberikan pada
pasien dengan denyut jantung lemah, maka penyekat beta ISA
dapat meningkatkan denyut jantung. Hal yang sebaliknya terjadi
pada pasien dalam keadaan istirahat atau melakukan aktivitas
yang dapat menyebabkan takikardi, dimana pada pasien-pasien ini
penyekat beta ISA dapat menurunkan denyut jantung karena
adanya dominasi sifat penyekat beta (Saseen, 2009).
Penyekat beta harus dihindari pada pasien dengan
hipersensitivitas terhadap BB, hipotensi, kehamilan, bradikardi,
blok AV derajat 2 dan 3, edema paru-paru, syok kardiogenik, serta
gagal jantung dekompesasi kecuali pada penggunaan karvedilol,
metoprolol extended release, dan bisoprolol (NFKDOQL, 2004;
Barranger et al., 2006; Lacy et al., 2006). Efek samping paling
27
sering dari penyekat beta adalah kelelahan, mengantuk, pusing,
bronkospasme, mual, dan muntah (Barranger et al., 2006).
5) Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah
dengan menghambat aliran ion kalsium melalui kanal L pada sel
otot polos arteri. Ada dua jenis CCB yaitu dihidropiridin seperti
amlodipin dan nifedipin yang bekerja mendilatasi arteri, serta
nondihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil yang bekerja
mendilatasi arteri dengan efek yang lebih lemah dari dihiropiridin,
tetapi memiliki efek mengurangi denyut jantung dan
kontraktilitas. Generasi pertama CCB seperti verapamil dan
diltiazem dapat mempercepat progresifitas congestive heart
failure pada pasien dengan kelainan fungsi jantung. Penggunaan
CCB generasi pertama harus dihindari kecuali untuk terapi pada
pasien angina, hipertensi, atau aritmia (Barranger et al., 2006;
Weber et al., 2014). Diltiazem dan verapamil harus dihindari pada
pasien dengan blok AV derajat 2 dan 3, gagal jantung kongesif
karena disfungsi sitolik, hipotensi, bradikardi, dan arterial fibrilasi
(NFKDOQL, 2004; Barranger et al., 2006; BPOM RI, 2008;
WHO, 2009). Nifedipin aksi pendek harus dihindari pada pasien
hipertensi atau hipertensi emergensi karena menyebabkan tekanan
darah diastolik tidak teratur dan takikardi (Barranger et al., 2006).
28
Efek samping utama CCB yaitu menyebabkan edema perifer
yang biasa terjadi pada dosis tinggi. Efek samping ini dapat
dikurangi dengan mengkombinasikan CCB bersama ACEI atau
ARB. CCB dihidropiridin menunjukkan efek yang
menguntungkan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan
stroke. CCB nondihidropiridin tidak direkomendasikan pada
pasien gagal jantung, tetapi lebih dipilih pada pasien dengan detak
jantung yang cepat dan untuk mengontrol detak jantung pada
pasien atrial fibrillation yang tidak dapat mentoleransi penyekat
beta. CCB nondihidropiridin juga dapat mengurangi proteinuria.
CCB memiliki efek menurunkan tekanan darah yang besar ketika
dikombinasi dengan ACEI atau ARB (Weber et al., 2014).
6) Penyekat alfa-1
Penyekat alfa-1 bekerja pada pembuluh darah perifer dan
menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus,
menyebabkan vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah
(ALLHAT, 2003) tanpa menyebabkan penurunan curah jantung
dan takikardi (Cross, 2006). Contoh penyekat alfa-1 yaitu
prazosin, doksazosin, dan terazosin (Chobanian et al., 2004).
Penyekat alfa-1 harus dihindari pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular karena dapat meningkatkan risiko kematian
(Barranger et al., 2006). Penyekat alfa melewati hambatan otak-
29
darah dan dapat menyebabkan efek samping pada sistem saraf
pusat seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi (Depkes, 2006).
7) Agonis alfa-2 sentral
Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama
dengan merangsang reseptor alfa-2 adrenergik di otak.
Perangsangan ini menurunkan aliran simpatik dari pusat
vasomotor di otak, curah jantung, dan tahanan perifer (Berringer
et al., 2006). Penghentian penggunaan agonis alfa-2 sentral secara
tiba-tiba dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin.
Metildopa dapat menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik,
tetapi efek ini jarang terjadi.metildopa harus dihentikan segera
apabila terjadi kenaikan serum transaminase atau alkalin fosfatase
liver yang menetap (Oparil et al., 2003).
8) Vasodilator arteri langsung
Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan
oleh relaksasi langsung otot polos arteriola tetapi tidak
menyebabkan vasodilatasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat
juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi kuat yang
mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan baroreseptor
menyebabkan meningkatnya aliran simpatik, sehingga
meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin
(Depkes, 2006). Hidralazin dikontraindikasikan pada pasien
30
dengan penyakit arteri koroner dan mitral valvular rheumatic
heart disease. Minoksidil dikontraindikasikan pada pasien dengan
pheochromocytoma, acute myocardial infraction, dan dissecting
aortic aneurysm. Efek samping dari hidralazin yaitu terjadinya
sindrom seperti lupus (dosis >300mg/hari), dermatitis, demam,
dan neuropati perifer. Minoksidil dapat menyebabkan hirsutism
(Barranger et al., 2006)
Terapi kombinasi dapat diberikan dengan menggunakan dua
antihipertensi dari kelas yang berbeda. Terdapat 6 alasan
dianjurkannya pengobatan kombinasi pada hipertensi, yaitu :
1) Mempunyai efek aditif,
2) Mempunyai efek sinergisme,
3) Mempunyai sifat saling mengisi,
4) Penurunan efek samping masing-masing obat,
5) Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target
tertentu,
6) Adanya fixed dose combination akan meningkatkan kepatuhan
pasien (adherence).
Menurut JNC 7, hipertensi tingkat 2 sudah membutuhkan terapi
kombinasi. Beberapa kombinasi yang dapat diberikan dapat dilihat
pada Gambar 2. Kombinasi obat yang dihubungkan dengan garis tebal
adalah kombinasi yang paling efektif.
31
Gambar 2 Kombinasi antar kelas hipertensi
The seventh report of Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC
7) menyatakan obat antihipertensi pada kebanyakan pasien hipertensi
sebaiknya adalah diuretik tiazid. Rekomendasi ini terutama untuk
pasien yang tanpa indikasi penyulit dengan hipertensi tingkat I, tetapi
tidak menutup kemungkinan digunakan pula obat antihipertensi lain
seperti beta blocker, ACEI, ARB, CCB, atau kombinasi. Pasien
dengan hipertensi tingkat II sebaiknya memulai terapi dengan
kombinasi dua obat antihipertensi dari golongan yang berbeda
(Chobanian et al., 2004). Algoritma terapi hipertensi dapat dilihat
pada Gambar 3.
Diuretik
Beta Blocker
ACEI
Alpha BlockerCCB
ARB
32
Gambar 3 Algoritma terapi pada Hipertensi (Chobanian et al., 2004)
Berdasarkan JNC 7, adanya penyakit penyulit membutuhkan obat-
obat antihipertensi tertentu sebagai lini pertama. Golongan obat yang
direkomendasikan merupakan hasil pertimbangan dari berbagai uji
klinis tentang penggunaan kelas obat tertentu pada hipertensi dengan
penyakit penyulit (Chobanian et al., 2004). Pemilihan terapi
hipertensi dengan penyakit penyulit dapat dilihat dari Tabel V.
33
Tabel V Pemilihan terapi hipertensi dengan penyakit penyulit
(Chobanian et al., 2004).
Penyakit penyulit Rekomendasi obatDiuretik BB ACEI ARB CCB ALDO
ANTGagal jantung Pasca infarkmiokard
Risiko penyakitkoroner tinggi
Diabetes Penyakit ginjalkronis
Pencegahan stroke Ket : ACEI : Angiotensin Converting Enzyme, ARB : Angiotensin Receptor Blocker,
CCB : Calcium Channel Blocker, BB : Beta Blocker, ALDO ANT : Aldosterone
antagonist
5. Pemilihan Anti Hipertensi pada Diabetes Mellitus tipe 2
Obat antihipertensi yang ideal dan diharapkan adalah yang dapat
mengontrol tekanan darah, tidak mengganggu terhadap metabolisme baik
glukosa maupun lipid, bahkan lebih menguntungkan dapat berperan
sebagai renoprotektif, serta dapat menguntungkan secara maksimal adalah
respon terhadap kematian akibat kardiovaskular (Haffner et al., 1998).
Berdasarkan hasil penelitian UPKDS, dengan penurunan rata-rata 10
mmHg tekanan sistolik dapat menurunkan risiko komplikasi sebesar 12%
, kematian 15%, Infark miokard 11%, dan komplikasi mikrovaskuler 13%
(Haffner et al., 1998).
Penghambat ACE dan ARB menurunkan tekanan darah melalui
mekanisme tidak terjadinya vasokonstriksi. Penghambat ACE
menghambat pembentukan angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor,
sedangkan ARB bertindak antagonis reseptor AT1. Perbedaannya
34
bradikin yang tetap berlangsung pada penghambat ACE. Antagonis
reseptor AT1 seperti Valsartan, telmisartan, Irbesartan, ataupun Losartan
akan memblokade secara kompleks pada reseptor sistem rennin
angiotensinogen. Efek ini sangat menguntungkan pada sistem
kardiovaskular. Dengan demikian ARB selain bersifat nefroproktektif
juga bersifat kardioprotektif.
Renoprotektif ini dapat tercapai dengan baik pada penderita
diabetes selain kontrol gula darah yang baik dan dengan diet rendah
protein juga pengelolaan hipertensi yang mencapai target tekanan darah
kurang 135/80 mmHg dengan menggunakan ACEI ataupun ARB. ARB
bersifat renoprotektif ini dibuktikan pada banyak penelitian. Losartan
lebih besar pengaruhnya dalam penurunan ekskresi mikroalbuminuria
dibandingkan dengan kalsium antagonis, demikian juga Ibesartan yang
dibandingkan dengan amlodipin.
Pada penelitian meta-analisis dengan populasi penderita diabetes
didapatkan ACEI, Calcium antagonis, dan β-blockers, mempunyai efek
menurunkan ekskresi mikroalbuminuria. Secara berurutan efek tersebut
paling besar terdapat pada ACEI, calcium antagonist, dan yang paling
rendah adalah β-blockers.
Penggunaan ARB dan ACEI pada pengelolaan hipertensi, CHF,
infark miokard, serta nefropati diabetika memberikan efektifitas yang
baik. Walaupun demikian ARB lebih selektif pada proliferasi sel endotel,
35
vasokonstriksi dan remodeling tanpa efek samping seperti batuk dan
edem angioneurotik.
Dengan demikian pada penderita nefropati diabetika ACEI, ARB,
dan β-blockers merupakan pilihan pertama untuk control hipertensi,
sedangkan rekomendasi ADA dalam pengelolaan hipertensi pada
penderita diabetes adalah ACEI dan ARB untuk mikroalbuminuria.
Apabila disertai faktor risiko kardiovaskular dengan ada ataupun tidak
ada hipertensi pilihannya adalah ACEI. Untuk diabetes dengan infark
miokard akut pilihannya adalah β-blockers. ACEI, ARB, β-blockers dan
diuretika dapat dikombinasi satu sama lain yang tidak segolongan,
sedangkan calcium antagonis merupakan pilihan yang sangat tepat
sebagai terapi kombinasi tetapi bukan pengganti ACEI dan β-blockers
(Haffner et al., 1998)
6. Rasionalitas Pengobatan
Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat
yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan
dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat. WHO
memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh
dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Penggunaan obat yang
rasional diperlukan untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan
yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat
dengan harga terjangkau (Kemenkes, 2011).
36
Penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria (MSH, 2012):
a) Tepat diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis
yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka
pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru
tersebut, akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai
dengan indikasi yang seharusnya.
b) Tepat Indikasi
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik,
misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian,
pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi
gejala adanya infeksi bakteri.
c) Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus
yang memiliki efek terapi yang sesuai dengan spektrum penyakit.
d) Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap
efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khusunya untuk
obat yang dengan rentang terapi yang sempit, akan berisiko
timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak
akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan.
37
e) Tepat cara pemberian
Obat antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan
membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan
menurunkan efektivitasnya.
f) Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan
praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi
pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), makin rendah
tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 kali sehari
harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval
setiap 8 jam.
g) Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
Untuk tuberkulosis dan kusta, lama pemberian paling singkat adalah
6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah
10-14 hari. Pemberian obat terlalu singkat dan terlalu lama dari yang
seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
h) Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek
tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis
terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan
alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah
38
di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak
kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan
tulang yang sedang tumbuh.
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam
praktek sehari-hari. Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas; penentuan
dosis, cara, dan lama pemberian yang keliru, serta peresepan obat yang
mahal merupakan sebagian contoh dari ketidakrasionalan peresepan.
Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan
dampak negatif yang diterima pasien lebih besar dibanding manfaatnya.
Dampak negatif ketidakrasionalan penggunaan obat dapat meliputi
(MSH, 2012):
a.) Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Contoh
kasus: pemberian oralit pada anak yang mengalami diare akut non
spesifik tidak dilakukan padahal dapat membahayakan keselamatan
jiwa anak yang bersangkutan.
b.) Dampak negatif pengobatan
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat
untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas
merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien. Di sini
termasuk pula peresepan obat yang mahal, padahal alternatif obat
yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dengan harga yang
39
lebih terjangkau telah tersedia. Peresepan antibiotika bukannya
keliru, tetapi pemberiannya diprioritaskan untuk penyakit-penyakit
yang memang memerlukannya. Dengan begitu, pemborosan
anggaran dapat dicegah dan direalokasikan untuk penyakit atau
intervensi lain yang lebih prioritas. Dengan demikian mutu
pelayanan kesehatan dapat dijamin.
c.) Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang
tidak diharapkan
Ketidakrasionalan penggunaan obat adalah meningkatkan risiko
terjadinya efek samping serta efek lain yang tidak diharapkan, baik
untuk pasien maupun masyarakat. Contoh kasus : Kebiasaan
memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan risiko
terjadinya syok anafilaksis. Terjadinya resistensi kuman terhadap
antibiotika merupakan salah satu akibat dari pemakaian antibiotika
yang berlebih (overprescribing), kurang (underprecribing), maupun
pemberian pada kondisi yang bukan merupakan indikasi(misalnya
infeksi yang disebabkan oleh virus).
d.) Dampak terhadap mutu ketersediaan obat
Ketidakrasionalan pemberian obat oleh dokter juga sering memberi
pengaruh buruk bagi pasien maupun masyarakat. Pengaruh buruk ini
dapat berupa ketergantungan terhadap intervensi obat maupun
persepsi yang keliru terhadap pengobatan. Contoh yang banyak
dijumpai dalam praktek sehari-hari : kebiasaan dokter atau petugas
40
kesehatan untuk memberikan injeksi kepada pasien. Jika tujuannya
adalah untuk memuaskan pasien, maka hal ini harus dikaji ulang
secara mendalam karena pemberian obat per injeksi selalu
memberikan risiko yang lebih besar dibandingkan per oral.
Dampak berikutnya adalah tertanamnya keyakinan pada masyarakat
bahwa injeksi adalah bentuk pengobatan yang paling baik, karena
selalu dianjurkan atau ditawarkan oleh dokter atau petugas.
Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional
diperlukan beberapa upaya perbaikan dan intervensi, baik di tingkat
provider yaitu peresep (prescriber) dan penyerah obat (dispenser) dan
pasien/masyarakat (consumer) hingga sistem kebijakan obat nasional
(Kemenkes, 2011).
7. Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah awalnya didirikan berupa
klinik sederhana pada tanggal 15 Februari 1923 di kampung Jagang
Notoprajan Yogyakarta. Awalnya bernama PKO (Penolong
Kesengsaraan Oemoem) dengan maksud menyediakan pelayanan
kesehatan bagi kaum dhuafa’. Didirikan atas inisiatif H.M. Sudjak yang
didukung sepenuhnya oleh K.H. Ahmad Dahlan. Seiring dengan
perkembangan jaman, pada sekitar era tahun 1980-an nama PKO berubah
menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat).
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta ini mempunya visi ‘Menjadi
rumah sakit Islam yang berdasar pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
41
SAW, dan sebagai rujukan terpercaya di Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Jawa Tengah dengan kualitas pelayanan kesehatan yang Islami,
profesional, cepat, nyaman dan bermutu, setara dengan kualitas pelayanan
rumah sakit - rumah sakit terkemuka di Indonesia dan Asia’ yang
didukung dengan misi :
a. Mewujudkan derajad kesehatan yang optimal bagi semua lapisan
masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, pencegahan,
pengobatan, pemulihan kesehatan secara menyeluruh sesuai dengan
peraturan/ketentuan perundang-undangan.
b. Mewujudkan peningkatan mutu bagi tenaga kesehatan melalui sarana
pelatihan dan pendidikan yang diselenggarakan secara profesional dan
sesuai tuntunan ajaran Islam
c. Mewujudkan da’wah Islam, amar ma’ruf nahi munkar di bidang
kesehatan dengan senantiasa menjaga tali silaturrahim, sebagai bagian
dari da’wah Muhammadiyah.
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dikelola berdasarkan manajemen
entrepreneural yang bertumpu pada nilai-nilai yang bersumber dari Al
Qur’an yaitu :
a. Amanah
b. Sidiq
c. Fathonah
d. Tabligh
e. Inovatif
42
f. Silaturrahim
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta ini telah mendapatkan piagam
penghargaan sebagai Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi (RSSIB) Terbaik
Tingkat Provinsi pada tahun 2014.
F. LANDASAN TEORI
Penelitian mengenai penggunaan obat antihipertensi pada pasien Diabetes
Mellitus pernah dilakukan oleh Ansa et al (2011) di Instalasi Rawat Inap
BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado yang mendapatkan hasil pola
penggunaan antihipertensi pada pasien DM tipe 2, terdiri atas terapi tunggal
(60,98%) dan kombinasi (39,02%). Evaluasi penggunaan obat pada pasien
DM juga pernah dilakukan oleh Puspita (2013) pada instalasi rawat inap di
RSU Queen Latifa Yogyakarta, yang hasilnya menunjukkan antidiabetika
yang digunakan antara lain insulin, sulfonilurea, biguanid, dan
tiazolindindion dan hasil evaluasi terapi menunjukkan 68,42% tepat
indikasi, 100% tepat pasien, dan 42,11% kadar gula darah sewaktu akhir
terapi mencapai target yang diinginkan. Evaluasi penggunaan obat
antihipertensi pada pasien hipertensi di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta pernah dilakukan oleh Ilma (2014), yang memberikan hasil
evaluasi penggunaan obat antihipertensi 90,63% pasien termasuk tepat
indikasi, 89,66% pasien termasuk tepat obat, 100% pasien termasuk
tepat pasien, dan 100% pasien termasuk tepat dosis.
43
G. KETERANGAN EMPIRIS
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien Diabetes
Melitus tipe 2 dengan Hipertensi, pola pengobatan, dan rasionalitas
penggunaan obat antidiabetik dan obat antihipertensi yang meliputi ketepatan
indikasi, ketepatan obat, ketepatan pasien dan ketepatan dosis pada pasien
DM tipe 2 dengan hipertensi rawat jalan di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2014.