1
INTENSITAS PENGEMBANGAN TERNAK DALAM UPAYA PENGEMBANGAN EKONOMI
MESYARAKAT PEDESAAN
Oleh : Bambang Winarso
Abstrak :
Hasil sensus penduduk Tahun 2003 menunjukkan bahwa 13,68 juta penduduk di Indonesia merupakan petani gurem (luas penguasaan lahan < 0.5 ha) dan 80,35 persen berada di pedesaan. (Badan Statistik, 2005). Pada kondisi yang demikian maka lahan tidak bisa lagi dijadikan sebagai andalan sumber mata pencaharian bagi masyarakat di pedesaan. Sementara realita menunjukkan bahwa Indonesia senantiasa dihadapkan pada permasalahan kebutuhan daging yang cenderung defisit yang menjadikan kegiatan impor ternak hidup, daging beku maupun impor daging segar sulit untuk diatasi. Usaha budidaya peternakan merupakan salah satu kegiatan yang dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat terutama bagi masyarakat yang sama sekali tidak menguasai lahan garapan maupun masyarakat petani gurem atau bagi masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap. Mengingat ternak memiliki gambaran yang sangat ideal yang dapat memperlihatkan bagaimana dapat menggerakan berbagai aktivitas perekonomian. Seperti industri yang dapat diciptakan untuk menggerakkan industri makanan jadi, industri kulit, industri pembuatan tepung tulang, industri tepung darah bahkan industri pariwisata dan industri-industri lainnya. Kajian ini merupakan hasil review dari literatur terpilih yang berkaitan dengan topik serta hasil pengamatan empirik dilapangan. Yang bertujuan memotret kinerja peternakan peranannya terhadap upaya membantu meningkatkan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Disamping itu juga ingin mencoba memberikan solusi dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan melalui peran ternak sebagai salah satu alternatip.
I. PENDAHULUAN :
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah menyebabkan
bertambahnya penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, akibat krisi ekonomi
yang terus berkepanjangan, maka pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin mencapai
angka 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen terhadap jumlah populasi penduduk di
Indonesia. Dengan melalui berbagai upaya yang telah dilakukan oleh berbagai fihak
terutama pemerintah, maka secara perlahan angka kemiskinan tersebut dapat. Sehingga
pada tahun 2005 angka kemiskinan dapat ditekan sehingga tinggal 35, 1 juta jiwa, dimana
dari jumlah tersebut sebagian besar 64,67 persen atau sekitar 22,7 juta jiwa berada di
pedesaan. Disisi lain data sensus penduduk Tahun 2003 menunjukkan bahwa 13,68 juta
penduduk di Indonesia merupakan petani gurem (luas penguasaan lahan < 0.5 ha) dan
80,35 persen berada di pedesaan. (Badan Statistik, 2005).
2
Pada kondisi yang demikian maka lahan tidak bisa lagi dijadikan sebagai andalan
sumber mata pencaharian bagi masyarakat di pedesaan. Sementara usaha tani yang telah
mengarah pada sistem mekanisasi seperti saat ini menyebabkan sebagian kegiatan
dilakukan secara efisiensi baik tenaga tenaga kerja maupun biaya produksi lainnya.
Dengan semakin terbatasnya kesempatan berburuh di pedesaan khususnya berburuh tani
seperti buruh cangkul, buruh panen, buruh nyiang dan buruh lainnya lainnya
menyebabkan peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan bagi sebagian
msyarakat terutama masyarakat buruh di pedesaan semakin sempit.
Situasi yang demikian tentu berdampak terhadap semakin tingginya angka
kemiskinan absolud dan semakin tingginya petani non lahan serta semakin terbatasnya
peluang untuk berburuh dibidang pertanian serta semakin rentannya perekonomian
masyarakat golongan tersebut. Hal yang demikian menjadikan kegiatan lain merupakan
solusi untuk mengatasi semakin beratnya beban ekonomi yang harus ditanggung oleh
masyarakat tersebuta. Fenomena tersebut merupakan salah satu hal yang menjadikan
angka kemiskinan tersebut secara absolud tetap besar, dan hal ini tentu perlu mendapat
perhatian secara serius dari semua fihak. Upaya untuk mengatasi kemiskinan telah
ditempuh oleh pemerintah maupun fihak-fihak lain. Pembangunan disegala bidang
terutama bidang pertanian khususnya subsektor peternakan telah diupayakan. Usaha
budidaya peternakan merupakan salah satu kegiatan yang dapat membantu meningkatkan
pendapatan masyarakat terutama bagi masyarakat yang sama sekali tidak menguasai
lahan garapan maupun masyarakat petani gurem atau bagi masyarakat yang tidak
memiliki penghasilan tetap yang dapat dijadikan salah satu kegiatan dan sumber
matapencaharian.
Disisi lain tingginya kebutuhan konsumsi daging segar maupun olahan belum
sepenuhnya tercukupi oleh produksi dalam negeri. Semakin meningkatnya impor ternak
hidup maupun hasil ternak dari beberapa negara serta tetap tingginya pengeluaran serta
pemotongan ternak di sentra-sentra produksi dalam negeri disalah satu sisi merupakan
suatu yang memprihatinkan, namun disisi lain sebenarnya merupakan peluang yang
belum sepenuhnya dapat ditangkap. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah
berupaya dengan berbagai kebijakan program pengembangan ternak terutama untuk
meningkatkan populasi ternak potong. Tidak dipungkiri bahwa upaya tersebut masih
3
menemui banyak kendala. Sementara akhir-akhir ini pemerintah juga sedang gencar
mencanangkan program swasembada daging yang notabene lebih mengedepankan
kebutuhan daging ternak khususnya sapi potong. Kajian ini merupakan hasil review dari
literatur terpilih yang berkaitan dengan topik serta hasil pengamatan empirik dilapangan.
Yang bertujuan memotret kinerja peternakan peranannya terhadap upaya membentu
meningkatkan ekonomi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Disamping itu juga
ingin mencoba memberikan solusi alternatif dalam upaya meningkatkan pendapatan
masyarakat di pedesaan melalui peran ternak sebagai salah satu alternatip. Melalui
analisa diskriptif dan analisa tabulasi silang sederhana penulis mencoba untuk
memberikan suatu ide atau gagasan.
II PEMBAHASAN
Beberapa dekade kebelakang Indonesia senantiasa dihadapkan pada permasalahan
kebutuhan daging yang cenderung defisit yang menjadikan kegiatan impor ternak hidup,
daging beku maupun impor daging segar sulit untuk diatasi. Selama periode sembilan
tahun tahun terakhir (1997 – 2005) kecenderungan impor ternak hidup terutama sapi
bakalan meningkat 7,38 % rata-rata/tahun. Dimana besarnya volume rata-rata sekitar
52.810.869 kg pertahun setara dengan 150.000 ekor sapi bakalan dengan berat rata-rata
350 kg/ekor. Sementara impor bibit sapi betina meningkat 16,63 % % rata-rata/tahun
dengan total nilai impor rata-rata 1.792.460 US $, yang banyak didatangkan dari negara
Australia dan New Zaeland (tabel 1).
Kegiatan impor terutama impor sapi bakalan banyak dilakukan oleh beberapa
pengusaha di Propinsi Lampung menunjukkan bahwa selama perionde 5 (lima) tahun
terakhir tahun 2001 -2005 impor sapi bakalan melalui wilayah ini rata-rata 112,86 ribu
ekor pertahun. Tahun 2001 wilayah ini telah mengimpor sapi bakalan dari Australia
sebanyak 91.3 ribu ekor, pada tahun 2002 meningkat menjadi 115.1 ribu ekor, pada tahun
2003 turun sedikit menjadi 101,63 ribu ekor dan pada tahun 2004 meningkat tajam
menjadi 122,26 ribu ekor. Kegiatan impor ternak diwilayah Propinsi Lampung
sebenarnya dilakukan oleh beberapa perusahaan penggemukan ternak.
4
Sementara pada tahun tahun 2005 impor ternak sapi potong bakalan yang
dilakukan olehe beberapa perusahaan peternakan tersebut menunjukkan bahwa
pemasukan sapi jenis Brahman cross sebanyak 133.875 ekor berasal dari Australia.
Masing masing dilakukan oleh PT GGLC sebanyak 19.020 ekor, PT Santosa Agrindo
sebanyak 75.084 ekor, PT Peternakan Desa Indo Jaya sebanyak 5.283 ekor, PT Fortuna
Megah Perkasa sebanyak 2.100 ekor, PT. Agro Giri Perkasa sebanyak 29387 ekor dan PT
Ajisaka sebanyak 0 ekor, PT Atmadhira Karya sebanyak 0 ekor, PT JJA sebanyak 0 ekor
dan PT Tippndo sebanyak 0 ekor dan PT Austasia Stockfeed sebanyak 3.051 ekor (Dinas
Peternakan Propinsi Lampung, 2005).
Hal ini terjadi tidak lain adalah dalam upaya memenuhi permintaan kebutuhan
konsumsi daging sapi dalam negeri yang senantiasa terus mengalami perkembangan
pesat. Dimana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri tersebut disamping
sebagian dipasok dari impor, juga dipasok dari produk dalam negeri sendiri terutama dari
wilayah sentra produksi ternak sapi potong dalam negeri seperti dari Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan sentra-sentra produksi tenak lainnya.
Permasalahannya bahwa kuatnya permintaan daging dalam negeri belum sepenuhnya
bisa diatasi oleh pasokan serta ketersediaan sapi potong di wilayah sentra produsen
tersebut. Justru dengan semakin tingginya arus ternak keluar wilayah serta tingginya
permintaan konsumen setempat, sementara imbangan terhadap pengeluaran ternak serta
pemotongan ternak tersebut masih rendah justru menyebabkan adanya kecenderungan
pengurasan ternak.
Selama kurun waktu duabelas tahun terakhir (1995 – 2006) pengeluaran ternak
dan pemotongan ternak lokal dari daerah produsen seperti Jawa Timur rata-rata per
tahun 65,78 ribu ekor, walaupun angka laju pertumbuhan pemotongan dan pengeluaran
ternak dari wilayah ini menunjukkan kecenderungan terus menurun tajam rata-rata -19,34
% rata-rata/tahun namun secara absolud angka pengurasan tetap saja tinggi. Dengan
semakin tingginya pengurasan ternak maka pertumbuhan populasinya semakin
berkurang, seperti yang dikemukakan Winarso B. et. al.: (2005); bahwa penurunan
populasi ternak di Wilayah Propinsi Jawa Timur salah satunya disebabkan oleh
beralihnya profesi peternak ke profesi lainnya sejalan dengan semakin tingginya alih
5
fungsi lahan pertanian ke bentuk lain. Selain berkurangnya lahan pertanian juga
menyebabkan kehilangan sumber pakan ternak.
Sementara kasus diwilayah Nusa Tenggara Barat besarnya ternak keluar dan
pemotongan lokal adalah 59,76 ribu ekor rata-rata pertahun dengan laju pertumbuhan
yang tetap meningkat sebesar 1,64 persen rata-rata pertahun dengan jumlah sebanyak
56,76 ribu ekor rata-rata pertahun. Tingginya angka pengeluaran ternak dari wilayah
kantong ternak tersebut sebagai konsekwensinya tingginya permintaan dari wilayah
konsumen. Selama periode yang sama (1995 – 2006) jumlah ternak yang masuk ke
wilayah konsumen DKI Jakarta adalah sebanyak 184,41 ribu ekor rata-rata per tahun,
Jawa Barat 301,79 ribu ekor rata-rata per tahun dan Kalimantan Timur sebanyak 34,38
ribu ekor rata-rata per tahun (Tabel lampiran 1).
Besarnya kebutuhan konsumsi daging dalam negeri disalah satu sisi dapat
merupakan sesuatu hal yang menghawatirkan, namun disisi lain hal tersebut justru
merupakan peluang yang sangat besar bagi pengembangan budidaya maupun usaha
pemasaran ternak potong dalam negeri. Sehingga devisa negara yang digunakan untuk
mengimpor bibit ternak potong maupun bentuk hasil ternak lainnya yang seharusnya
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ternak didalam negeri, terutama untuk
membangun industri peternakan bagi masyarakat di pedesaan.
Peta populasi ternak nasional diwarnai oleh laju pertumbuhan yang beragam,
pertumbuhan ternak selama 20 tahun terakhir ( 1987 – 2006) secara umum menunjukkan
laju pertumbuhan positip. Namun laju pertumbuhan ternak besar cenderung
menghawatirkan terutama periode 10 tahun terakhir (1997 – 2006). Populasi sapi potong
cenderung menurun – 1,22 persen rata-rata pertahun, kerbau – 3,17 persen rata-rata
pertahun dan kambing juga sudah mulai menurun – 0,04 persen rata-rata pertahun, situasi
yang demikian tentu membutuhkan perhatian sungguh-sungguh dari kita semua. Suatu
hal yang cukup menggembirakan adalah pertumbuhan ternak unggas khususnya ayam ras
baik ayam ras pedaging maupun ayam ras petelur yang laja pertumbuhannnya cukup
significan. (Tabel 2).
6
Sumber : Statistik Ekspor-Impor Indonesia Thn. 1997 – 2006; Badan Pusat Statistik.
a-Peran Ternak Dalam Membangun Ekonomi Masayarakat:
Data sensus penduduk tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah peternak sapi
potong secara nasional adalah sebanyak 4,57 juta , peternak sapi perah sebanyak 1188,75
ribu, kerbau 450,60 ribu, rumah tangga ternak kambing/domba 4,38 juta (Badan Pusat
Statistik, 2003). Dalam upaya mengatasi kekurangan daging, disamping impor, maka
pemerintah telah berupaya dengan berbagai program pengembangan ternak, namun
demikian pelaksanaan program-program pengembangan tersebut belum sepenuhnya
berjalan dengan lancar. Berbagai kendala dan hambatan masih perlu dibenahi.
Pengembangan ternak sapi potong melalui berbagai kegiatan yang selama ini
diupayakan tidak lain dimaksudkan untuk meningkatkan populasi ternak dalam negeri,
juga diharapkan agar kita mampu berswasembada daging. Tujuan lain adalah untuk
menjaga keseimbangan stock ternak nasional/lokal. Namun demikian upaya yang telah
dirintis tersebut belum sepenuhnya berjalan seperti apa yang diharapkan. Dengan adanya
kegiatan pengembangan ternak dibeberapa wilayah potensial, secara umum telah
berdampak positif terhadap pengembangan populasi ternak yang dikembangkan.
Tabel 1 : Perkembangan Impor Sapi dari Beberapa Negara Asal Selama Sepuluh Tahun Terakhir (1997 - 2006). Sapi Bakalan Sapi induk Negara asal No Tahun Kg US $ Kg US $ Sapi bakalan 1 1997 85.888.096 117.116.570 1.453.695 3.119.244 Australia-New Zaeland 2 1998 17.708.432 19.927.998 4.108 568.753 Australia-Korea Selatan
3 1999 25.648.973 24.671.469 31.458 7.315 Australia-Jepang
4 2000 48.138.612 47.347.357 161.623 225.414 Korea Selatan-Belanda-Australia-UEA 5 2001 39.963.781 38.985.579 1.620.726 2.009.046 Singapura-Autralia- United State
6 2002 38.391.927 34.894.335 2.272.061 3.054.295 Korea Selatan-Australia 7 2003 56.699.525 51.009.904 2.029.054 2.843.828 Australia
8 2004 73.186.000 79.370.618 1.822.096 2.382.693 Australia
9 2005 89.672.476 107.731.332 1.615.139 1.921.558 Australia
10 2006 10.151.145 87.241.388 2.172.060 2.545.113 Australia
11 Trend rata-rata / thn 1997– 2005: (%) = 7,38 5,21 16,63 8,51
7
Seperti yang dikemukakan oleh Yusdja et. al. (2003); bahwa banyaknya program
yang telah dilaksanakan tetapi belum memberikan dampak yang meyakinkan pada
penyelamatan ternak potong dalam masyarakat diwilayah produksi. Pemerintah
sebaiknya merubah strategi peningkatan populasi ternak sapi sekalipun dengan teknik
sama seperti Inseminasi Buatan, pemberantasan penyakit kandungan, pemotongan ternak
betina produktif dan lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Yusdja Y. Dan Ilham N.
(2006) bahwa kebijakan implementasi program untuk ternak sapi potong diprioritaskan
atau dikonsentrasikan pada propinsi penghasil ternak sapi. Pembenahan ternak pada
wilayah produksi akan dapat mengurangi impor daging dan ternak diwilayah konsumsi
dan menekan angka pengurasan ternak.
Tabel 2 : Perkembangan Populasi dan Produksi Daging Ternak di Indonesia selama 20 Tahun terakhir (1987 – 2006) Jenis Laju Prtumbuhan/thn (%) Rata-rata populasi/thn (000 ekor) No Ternak 1987 s/d 1997 s/d 1987 s/d 1987 s/d 1997 s/d 1987 s/d
1996 2006 2006 1996 2006 2006 A POPULASI 1 Sapi 2.33 -1.22 0.37 10721 11073 10897 2 Kerbau -0.55 -3.17 -2.39 3217 2470 2843
3 Kambing 3.03 -0.04 1.12 11808 13082 12445
4 Domba 3.41 1.68 2.1 6331 7728 7029 5 Ayam Buras 4.61 1.57 2.42 251248 269994 242621
6 Ayam Ras Ptlr 8.23 6.86 4.2 52872 72552 62712 7 Ayam Ras Pdging 14.19 8.67 5.68 449830 672763 561297
8 Itik 2 2.56 2.02 26741 32431 29586
B PRODUKSI Laju Prtumbuhan/thn (%) Prod. Daging rata-rata/thn (000 ton)
a Daging :
1 Sapi 4.71 2.06 2.4 288.6 357.7 323.1 2 Kerbau 1.56 -2.56 -0.57 45.9 43.1 44.5 3 Kambing -0.66 0.45 -1.14 61.8 53.7 57.5
4 Domba 3.38 6.31 3.86 35.3 50 42.6
5 Babi 4 3.34 1.36 153.5 162.7 158.1 6 Unggas 10.48 11.45 7.03 631.1 1133 882.1
7 TOTAL DAGING = 7.18 5.28 3.78 1218.1 1652.7 1435.4 b Telor :
1 Ayam Buras 6.87 3.86 4.89 96.1 157.8 126.9
2 Ayam Ras Ptelur 8.29 8.42 5.63 344 556.8 450.4
3 Itik 3.25 4.55 2.73 129.3 163.4 146.3
4 TOTAL TELOR = 6.83 6.88 4.91 567.4 878 723.7 c Susu 6.08 4.02 3.54 359.9 492 426
8
Pembangunan peternakan masa mendatang sebaiknya menggunakan pendekatan
industri sapi potong. Dengan kata lain pemerintah harus meninggalkan cara-cara lama
dalam pengembangan peternakan, seperti strategi dan program yang difokuskan pada
usaha sapi potong rakyat. Sudah terbukti selama 20 tahun pembanguan peternakan
dengan strategi membangun usaha rakyat ternyata tidak berhasil. Pertimbangan lain
usaha rakyat bersifat tradisionil, ektensif, jauh dari kerangka pembangunan industri
agribisnis sapi potong.
Yusdja et al, 2004 juga menyarankan bahwa ada dua cara yang saat ini dapat
segera dilakukan yakni pemerintah memfokuskan program-program pembangunan
peternakan untuk meningkatkan kemampuan usaha ternak skala kecil (bukan usaha
rakyat) yang bersifat komersil hingga skala menengah. Program-program pemerintah
hampir diseluruh Indonesia fokus pada pembangunan usaha rakyat. Untuk itu,
pemerintah di wilayah otonom (Kabupaten) diharapkan melakuan pendataan tentang
keberadaan usaha penggemukan skala kecil dan skala menengah ini.
Langkah selanjutnya adalah membuat kebijakan pembangunan peternakan
komersil di wilayahnya masing-masing. Secara nasional, pemerintah dapat menciptakan
lingkungan yang kondusif seperti penyediaan pelayanan investasi yang cukup,
memberikan porsi perhatian yang tinggi terhadap pembangunan peternakan. Program-
proram yang selama ini diterapkan seperti IB, program bantuan seperti CLS, BLM,
Ketahanan Pangan dan sebagainya sebaiknya difokuskan pada wilayah sentra produksi
sehingga program-program itu mempunyai skala yang besar dan diharapkan dapat
mempengaruhi secara efektif terhadap populasi dan produktivitas di wilayah produksi.
Permasalahannya adalah dalam hal pengadaan bibit dan pakan, untuk
menghasilkan sapi bakalan tampaknya belum banyak menarik minat investor karena ada
cara yang lebih mudah yakni dengan mengimpor sapi bakalan. Sementara pembibitan
yang dilakukan oleh peternakan rakyat mempunyai skala yang sangat kecil sehingga sulit
diharapkan berkembang menjadi perusahaan pembibitan. Selain itu, investasi untuk
pembibitan membutuhkan waktu lama dan biaya yang relatif besar dan resikonya tinggi.
Atas dasar itu, untuk tujuan melestarikan dan mengembangkan potensi yang ada maka
sebaiknya investasi usaha pembibitan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk BUMN
atau pemerintah bekerja sama dengan pihak swasta. Strategi ini diharapkan dapat
9
mendorong investor lain di masa datang untuk mengembangkan pengembangan usaha
pembibitan.
Secara nasional data terakhir tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah perusahaan
yang terjun dalam kegiatan budidaya ternak sapi potong ada sebanyak 65 unit usaha, sapi
perah sebanyak 402 unit, budidaya ternak kerbau sebanyak 15 unit, budidaya ternak
kambing/domba baru 6 unit. Sementara perusahaan yang menekuni bidang pembibitan
terutama ternak sapi potong baru 7 unit, pembibitan ternak sapi perah 15 unit, pembibitan
ternak kambing/domba baru 2 unit. Sedangkan jumlah perusahaan pakan ternak pada
tahun 2005 berjumlah 59 unit dengan kapasitas produksi maksimal sebanyak 11, 27 juta
ton per tahun. Kenyataan menunjukkan bahwa kapasitas produksinya masih jauh dibawah
kapasitas normalnya yaitu baru mencapai 6,22 juta ton (Statistik Peternakan, 2006). Dan
sebagian besar produk pakan ditujukan untuk memenuhi permintaan pakan ternak
unggas. Dengan kondisi yang demikian maka pengembangan ternak ruminansia baik
ruminansia besar maupun ruminansia kecil untuk saat ini tampaknya sebagian besar
masih mengandalkan peternak rakyat.
Dalam upaya meningkatkan kinerja peternakan terutama dalam berupaya
memenuhi kecukupan permintaan daging nasional pemerintah telah banyak berupaya.
Salah satu upaya tersebut adalah adanya program SIPT yang merupakan program
terobosan teknologi Badan Litbang Pertanian dalam rangka upaya meningkatkan
produktivitas padi yang sekaligus dikaitkan dengan pengembangan ternak, mengingat
keduanya merupakan komoditas yang saling membutuhkan (Simbiose Mutualistis) yang
didalamnya terdapat kegiatan SIPT.
Kegiatan Sistim Integrasi Padi Ternak (SIPT) yang merupakan kajian yang
diarahkan pada pemanfaatan limbah secara maksimal antar kedua komoditas utama yaitu
limbah tanaman pangan dan limbah ternak. Sehingga melalui filosofi "Zero Waste"
diharapkan kedua komoditas utama tersebut dapat ditingkatkan pengembangannya baik
produksi, produktivitas maupun kwalitas lingkungan yang lebih seimbang antara
keduanya. Ada tiga komponen teknologi utama dalam kegiatan Sistem Integrasi
Padi-Ternak tersebut yaitu: (a) teknologi budidaya padi, (b) teknologi budidaya ternak
dan (C) teknologi pengolahan jerami dan kompos. (Budi Haryanto et. Al., 2002).
10
Permasalahannya adalah dalam pelaksanaan kegiatan dilapangan masih banyak
kendala dan hambatan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kasus SIPT pun tidak lepas
dari permasalahan yang masih perlu diatasi. Sebagai contoh adalah sebagian peserta
proyek merupakan peternak pemula. Hal ini tentu positif dilihat dari pengembangan
sumberdaya manusia, akan tetapi dengan kehadiran peternak yang relati baru mengenal
ternak tersebut membutuhkan bimbingan teknis secara intens dan terpadu, baik teknis
pertanian maupun peternakan yang selama ini terkesan kurang koordinasi. Secara teknis
pelaksanaan program CLS dapat dikatakan berhasil, dimana limbah jerami dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sementara hasil kotoran ternak (kompos) juga telah
termanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan pupuk organik oleh anggota kelompok.
Disisi lain dilihat dari aspek penerapan teknologi pakan ternak, pemahaman
tentang gizi ternak oleh petani belum sepenuhnya memahami. Hal ini tampak dari pola
pemberian pakan. yang sepenuhnya menggunakan jerami dan kurang diimbangi dengan
pakan hijauan lainnya seperti rumput-rumputan. Sehingga kurang baik bagi pertumbuhan
ternak itu sendiri. Hal ini terlihat dari kwalitas ternak yang kurang baik terutama dilihat
dari kesehatan ternaknya, ternak terlihat kurus baik induk maupun pedetnya. Hal ini
mengindikasikan kurangnya gizi pakan yang diberikan, terutama jenis pakan lainnya
seperti rumput dan mineral lain.
b- Sumbangan terhadap pendapatan
Disamping merupakan asset bergerak maka ternak juga merupakan asset yang
dapat berfungsi sebagai tabungan keluarga yang setiap saat dapat diuangkan makanala
muncul kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak. Peran yang demikian penting
dalam tata ekonomi keluarga, maka sebagian masyarakat peternak cenderung melakukan
penjualan ternak menunggu adanya keterdesakan oleh kebutuhan sehingga kurang
memperhitungkan untung rugi dalam usaha budidaya ternak. Hal ini tampaknya lebih
ditentukan oleh pola pemeliharaan yang ditempuh oleh peternak.
Dilihat dari besarnya sumbangan pendapatan dari hasil budidaya ternak,
sementara fihak berpendapat bahwa usaha ini belum memberikan hasil yang signifikan
untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga peternak. Studi yang dilakukan oleh
Isbandi, (2004) dalam kasus ternak domba menunjukkan bahwa budidaya ternak domba
11
hanya mampu menyumbang 5,0 persen sampai dengan 10,0 persen pendapatan rumah
tangga. Sedangkan Priyanto .D et. Al., (2001) menunjukkan angka sumbangan sebesar
13,14 persen sampai dengan 19,31 persen. Sementara Paat et.al , (1992) mengemukakan
bahwa usaha ini dapat memberikan sumbangan pendapatan sebesar 15,0 persen sampai
dengan 48,0 persen terhadap total pendapatan keluarga.
Disisi lain Yusdja et.al (2006) justru mengemukakan hal yang lebih prospektif
bahwa berdasarkan penelitian dibeberapa lokasi sentra pengembangan ternak
kado(kambing domba) menunjukkan bahwa usaha budidaya ternak ini mampu
memberikan share pendapatan keluarga sebesar antara 11,0 persen sampai dengan 25
persen pendapatan bagi 30,0 persen responden, sementara 47,5 responden mengaku
bahwa usaha tersebut mampu memberikan sumbangan pendapatan keluarga antara 26,0
persen sampai dengan 50,0 persen bahkan 22,5 persen responden mengaku dapat
menutupi lebih dari separoh penghasilan keluarga dari hasil budidaya ternak tersebut
Melihat angka prosentase tersebut menunjukkan bahwa budidaya ternak kado
sebenarnya dapat diharapkan untuk menyumbang kebutuhan ekonomi keluarga
walaupun hanya sebagian. Disamping itu informasi tersebut tentu merupakan sebuah
harapan bagi perbaikan ekonomi keluarga peternak kado, artinya data tersebut setidaknya
memberikan informasi bahwa kegiatan budidaya ternak kado mampu memberikan
pendapatan yang cukup signifikan bagi banyak peternak. Hal yang demikian menjadikan
kegiatan budidaya ternak ini merupakan salah satu solusi jalan keluar untuk mengatasi
kesulitan ekonomi, walau dilihat dari besarnya omset perputaran modal sebenarnya
rendah.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Santosa B. dan
Sudaryanto T., (1989) bahwa kadaan kualitas produksi dan keterbatasan pemilikan asset
telah mendorong sebagian penduduk desa untuk memasuki bidang-bidang pekerjaan yang
sebenarnya kurang produktif. Namun demikian walaupun dilihat dari kemampuan asset
turn over budidaya ternak kado tergolong rendah, pada kenyataan dapat dijadikan
andalan bagi sementara keluarga di pedesaan, terutama mereka yang tidak memiliki
peluang lainnya untuk berusaha.
Salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak dikembangkan oleh masyarakat
adalah ternak kambing/domba. Ternak ini merupakan salah satu jenis ternak ruminansia
12
kecil yang telah banyak berkembang dimasyarakat hampir di setiap wilayah. Kenyataan
menunjukkan bahwa jenis ternak ini belum digarap secara maksimal. Pola budidaya yang
masih didominasi oleh pola-pola tradisional dan skala usaha yang belum memadai.
Disamping itu juga masih rendahnya minat pengusaha untuk ikut mengembangkan ternak
tersebut juga masih sangat terbatas.
Melihat kondisi yang demikian maka perkembangan budidaya ternak kambing
maupun domba yang mengarah pada skala komersial masih jauh dari jangkauan
peternak. Tidak/belum adanya dukungan industri pakan yang dapat diandalkan
merupakan kendala utama bagi kegiatan ini. Selama peternak masih mengandalakan
ketersediaan pakan pada alam dan budidaya yang lebih mengandalkan curahan tenaga
kerja keluarga, serta sulitnya peternak untuk akses ke lembaga permodalan, maka industri
pembibitan atau penggemukan ternak kambing hanya sebatas usaha konvensional dalam
sakala kecil, dan sulit untuk menghidupkan kegiatan industri kado selanjutnya.
Idealnya seorang peternak kado setidaknya mampu memelihara 500 ekor/KK
dengan pola intensif. Kasus di Propinsi Lampung menunjukkan bahwa dengan adanya
dukungan industri pakan dari GGLC maka seorang peternak mampu memelihara ternak
sapi sampai 80 ekor/KK PU. Hadi et.al., 2002). Adanya dukungan kerjasama dengan
fihak ketiga yang memiliki akses ke pasar, akses ke modal serta akses ke faktor produksi
lainnya, maka tidaklah mustahil apabila seorang peternak kado mampu memelihara 500 –
600 ekor/peternak.
c.- Peluang pengembangan Agro Industri hasil ternak:
Kegiatan pasca panen pada ternak khuausnya ternak ruminansia adalah saat ternak
siap untuk dipotong karena telah mencapai berat badan yang diinginkan. Peternak baik
peternak sapi maupun kambing/domba tidak umum melaksanakan kegiatan pasca panen.
Peternak hanya melakukan pemeliharaan sampai saat ternak dijual kepada pedagang.
Kegiatan pasca panen banyak dilakukan oleh para pedagang merangkap pejagal, dan
merekalah yang melakukan pemotongan untuk diambil daging dan kulitnya. Sebenarnya
sejak dari pola pemeliharaan ternak maka proses agroindustri sudah harus dimulai.
Sementara bagi peternak sapi perah, proses tersebut akan dimulai setelah susu hasil
perahan diterima oleh pengolah selanjutnya.
13
Berdasarkan pendekatan komoditas maka banyak produk turunan yang dapat
dihasilkan dari hasil ternak sapi, kerbau, kambing/domba, seperti daging, tulang, kulit,
darah, bulu dan hasil ikutan lainnya yang bisa diproses menjadi barang jadi atau barang
setengah jadi yang lebih berdaya guna. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa hasil utama
ternak yang utama adalah masih terbatas pada daging dan kulit semata. Sementara untuk
hasil ternak kambing khsusnya daging masih dikonsumsi dalam bentuk segar dalam
upaya memenuhi kebutuhan lauk-pauk. Sementara proses industri pengolahan lanjutan
dari daging Kambing/domba hampir tidak/belum ditemui untuk diolah lebih jauh, hasil
ikutan lainnya masih terbatas pada industri kulit dan susu.
Kurangnya jaminan kontinuitas pasokan bahan baku merupakan hambatan
tersendiri yang belum bisa diatasi saat ini. Berbeda dengan produk daging ayam Broiler,
atau daging sapi yang sudah dapat diproduksi secara masaal dalam jumlah skala besar,
maka kegiatan agroindustri komoditas tersebut sudah lebih mantab dimana daging segar
dari ternak ayam, sapi, kerbau dan babi merupakan bahan baku industri makanan jadi
lainnya seperti industri kornet, industri nugget, industri abon, bakso atau industri
makanan jadi lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh Winarso B. (2006) untuk
Indonesia saat ini penggunaan bahan baku asal kado baru terbatas pada tiga kegiatan
industri yakni industri kulit, industri susu dan pariwisata.
Seperti telah dijelaskan bahwa untuk Indonesia saat ini penggunaan bahan baku
asal kambing/domba baru terbatas pada tiga kegiatan industri yakni industri kulit,
industri susu dan pariwisata. Perkembangan kegiatan industri ketiga komoditi tersebut
juga masih tergolong lamban. Ternak memiliki gambaran yang sangat ideal yang dapat
memperlihatkan bagaimana dapat menggerakan berbagai aktivitas perekonomian. Seperti
industri yang dapat diciptakan untuk menggerakkan industri makanan jadi, industri kulit,
industri pembuatan tepung tulang, industri tepung darah bahkan industri pariwisata dan
industri-industri lainnya. Kegiatan agroindustri perlu dikembangkan agar tercipta
keterkaitan yang erat antara sub sektor peternakan dan sektor industri. Sasaran
pengembangan agroindustri mencakup lima hal pokok yaitu (1) menciptakan nilai
tambah, (2) Menciptakan lapangan kerja. (3) Meningkatkan penerimaan devisa. (4)
Memperbaiki pembagian pendapatan dan (5) menarik pembangunan sektor pertanian
(Simatupang P. Dan Purwoto A, 1990).
14
d. Industri Daging Ternak:
Selama periode tujuh tahun terakhir ( 1997 -2004 ) menunjukkan bahwa daging
sapi, daging ayam, daging babi dan daging kerbau telah banyak dimanfaatkan sebagai
bahan baku industri makanan jadi. Setidaknya selama tahun 2004 produk bakso asal
daging sapi tidak kurang dari 1,46 ribu ton, Sosis asal daging sapi 4,05 ribu ton, dendeng
sapi 0,38 ribu ton. Sementara produk industri daging ayam pada tahun (2003) berupa
sosis tidak kurang dari 5,50 ribu ton, burger sekitar 0,18 ribu ton, sedangkan burger dari
daging kerbau pada tahun 2004 sebesar 0,29 ribu ton. Produk makanan jadi asal daging
kado baru dimulai pada tahun 2003 dan masih terbatas pada kornet sebanyak 19 ton pada
thn 2003 (tabel 3).
Kecilnya peran daging kambing/dombado dalam menyumbang hasil industri
daging ternak disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah (1) terbatasnya pasokan
volume daging kado, sehingga tidak bisa mencukupi untuk dijadikan bahan baku industri
lanjutan. (2) Kontinuitas yang belum bisa diandalkan, mengingat ketersediaan daging
kado dari hasil pemotongan yang terpencar-pencar dan sulit dikoordinir, (3) kuatnya
pasar konsumen akan permintaan daging kado segar, sehingga ketersediaan pasokan
daging segar untuk bahan baku industri lanjutan tidak/belum tersedia pasokannya.
e. Peningkatan populasi ternak:.
Perkembangan kegiatan industri ternak tidak bisa terlepas dari ketersediaan bahan
baku utama baik ternak hidup maupun hasil ternak sebagai faktor produksi yang
dibutuhkan. Ketersediaan ternak hidup sebagai faktor input industri hulu merupakan hal
yang sangat menentukan untuk kegiatan industri selanjutnya. Melihat kenyataan
dilapangan maka hal ini tidak bisa dilepaskan dari pola-pola pemeliharaan yang
dilakukan oleh peternak. Data menunjukkan bahwa dominasi peternak skala kecil masih
sangat mewarnai usaha budidaya peternakan di Indonesia.
Seperti diketahui bahwa dalam upaya meningkatkan populasi ternak nasional
salah satu program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah adalah adalah Inseminasi
Buatan. Untuk menangkap gambaran bagaimana realisasi pelaksanaan kegiatan tersebut
dilapangan dalam hal ini ditampilkan salah satu kasus pelaksanaan IB diwilayah Propinsi
15
Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu sentra produksi ternak nasional. Hasil
inventarisasi kelompok menunjukkan bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir kelahiran
ternak hasil Inseminasi Buatan cukup banyak yaitu sebanyak 201 ekor. Dimana dari
jumlah tersebut anak sapi jantan yang pernah dilahirkan sebanyak 116 ekor, sapi betina
85 ekor dan mati sebanyak 31 ekor.
Informasi menunjukkan bahwa setiap induk sapi dilihat dari kemampuan
melahirkan selama periode 5 (lima) tahun tersebut cukup bervariasi. Jumlah induk yang
mampu melahirkan 5 kali sebanyak 5 ekor, induk yang mampu melahirkan 4 kali
sebanyak 24 ekor, sementara induk yang mengalami kemajiran sebanyak 1 ekor. Yang
menjadi permasalahan adalah tingginya angka kematian anak sapi, hasil diskusi dengan
petugas lapangan menunjukkan bahwa tingginya angka kematian tersebut disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya adalah lingkungan yang kurang sehat, baik lingkungan
kandang, lingkungan pakan dan kesehatan. Factor lainnyaadalah karena genetic yang
memang kondisi sapi yang kurang baik, karena kegemukan dan yang terakhir adalah
interaksi antara faktor genetik maupun lingkungan. Secara lengkap informasi
keberhasilan kelompok tani “Pide Lestari” dalam mengembangkan ternak sapi potong
tersebut dilampirkan dalam Tabel lampiran 2.
Pertama: kendala modal usaha, bahwa dalam penguasaan ternak yang semakin
besar maka tidak sedikit modal yang dibutuhkan. Baik modal untuk pengadaan bibit,
untuk biaya pemeliharaan ternak dan kandang serta biaya peralatan. Lahan merupakan
faktor utama dalam mendukung kelancaran usaha, budidaya ternak kado yang mengarah
pada skala menengah dan skala besar tidak lagi mengandalkan pakan dari alam semata,
melainkan harus dimiliki lahan rumput/hijauan pakan ternak sendiri agar kontinuitas dan
kwalitas pakan bisa tetap terjaga.
Kedua: Kendala ketersediaan tenaga kerja, budidaya ternak ruminansia
membutuhkan ketersediaan tenaga kerja yang cukup, mengingat bahwa pengadaan pakan
hijauan ternak merupakan kegiatan yang paling banyak membutuhkan porsi waktu
curahan tenaga kerja. Sementara ketersediaan tenaga kerja keluarga disamping masih
merupakan andalan umumnya telah dialokasikan pada banyak kegiatan produktif lainnya.
Rendahnya penguasaan ternak bagi sebagian responden disebabkan oleh pola
pemeliharaan yang masih tradisional yang cenderung mengandalkan ketersediaan tenaga
16
keluarga. Sistem tradisional menjadikan curahan jam kerja tenaga keluarga cukup tinggi.
Tingginya curahan kerja keluarga menyebabkan kegiatan beternak kambing cenderung
dijadikan kegiatan sambilan, terutama bagi responden yang meiliki aktivitas ekonomi lain
diluar usaha peternakan. Mahalnya upah tenaga kerja harian di pedesaan yang
menyebabkan peternak tidak mampu menyewa tenaga buruh harian.
Ketiga : Unsur manajemen terutama dalam hal perencanaan dan kontrol dalam
segala hal yang berkaitan dengan masalah ternak terutama pengawasan terhadap
kesehatan ternak, pemberian pakan yang senantiasa memenuhi dosis, tepat komposisi
dan tepat waktu serta usaha yang bersifat profit oriented merupakan hal yang
tidak/belum diperhitungkan .
Tabel 3 : Perkembangan Kegiatan Industri Daging Ternak di Indonesia Selama Delapan Tahun Terakhir ( 1997 - 2004) ( ton ) T A H U N No Jenis Produk 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
1 Daging Sapi
a. Dendeng 11 39 15 16 28 19 1 Ta
b. Kornet 1653 16 70 71 72 1072 355 383
c. Bakso 1910 2224 1384 14131 1235 1602 989 1462
d.Sosis 291 608 1150 1703 2423 4383 4709 4050
e. Abon 307 308 310 143 82 159 115 60
f. Burger ta 56 152 72 95 165 83 ta
2 Daging Ayam
a. Sosis 90 6 31 27 11 5843 5505 ta
b. Bakso 93 10 23 9 0 0 20 11
c. Burger ta 82 30 85 113 196 184 ta
3 Daging Babi
a. Sosis ta 238 297 290 ta ta ta ta
b. Dendeng ta ta ta ta ta 6 3 6
4 Daging Kerbau
a. Burger ta Ta 50 55 169 292 292 292
5 Daging Kado
a. Kornet ta ta ta ta ta ta 19 ta
Sumber : Badan Pusat Statistik, Statistik Industri Besar dan Sedang, Thn 1997 - 2004
17
III. KESIMPULAN
Kegiatan impor ternak hidup maupun hasil ternak yang terus meningkat,
sementara aktivitas pengeluaran dan pemotongan ternak pada daerah-daerah sentra
produksi ternak juga terus meningkat, sementara upaya peningkatan populasi ternak
terutama melalui kegiatan Inseminasi Buatan maíz banyak menemui kendala, hal ini
menyebabkan laja pertumbuhan populasi ternak menjadi lamban. Sebenarnya kondisi-
kondisi seperti diatas dapat di pandang sebagai statu tantangan terutama untuk
meningkatkan peran ternak dalam meningkatkan ekonomi masyarakat, khususnya
masyarakat di pedesaan. Banyak hal yang maíz bisa dilakukan, upaya intensitas kinerja
budidaya disamping memperbanyak peternak-peternak baru melalui program-program
pengembangan, juga meningkatkan kinerja peternak-peternak yang sudah memiliki
pengalaman panjang. Meningkatkan kinerja dapat melalui bantuan peningkatan modal
usaha, meningkatkan pengetahuan budidaya maupun meningkatkan pengetahuan
manajemen budidaya. Banyak celah masih bisa dikembangkan dalam meningkatkan
kinerja peternakan sehingga dapat diandalkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
khususnya masyarakat di pedesaan.
18
V. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik; Statistik Industri Besar dan Menengah; 2001 s/d 2005 Badan Pusat Statistik, -Statistik Ekspor-Impor Indonesia Thn. 1997 – 2006
Direktorat Jenderal Bina Propuksi Peternakan, Statistik Peternakan , 2006 Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur; (2005) ; Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat, Laporan Tahunan 2005.
Dinas Peternakan Propinsi Lampung, Laporan Tahunan 2005.
Isbandi dan D. Priyanto, (2004); Sumbangan Sub Sektor Usaha Ternak Domba Dalam Mendukung Ekonomi Rumah Tangga Di Desa Pasiripis dan Tegalsari, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Paat PC., B. Sudaryanto, M.Sarjubang dan B. Setiadi ; (1992); Effek Skala Usaha
Pembibitan Kambing PE Terhadap Efisiensi dan Adopsi Teknologi; Prosiding Saresehan Usaha Ternak Kambing dan Domba Menjelang Era PJPT II, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Priyanto D., B. Setiadi, M. Martawidjaja dan D. Yulistiani, (2001); Peranan Usaha
Ternak Kambing Local Sebagai Penunjang Perekonomian Petani Di Pedesaan; Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
PU. Hadi, Ilham N., Thahar A., Winarso B., Vincent D. and Quirke D.; 2002; Improving
Indonesia’s Beef Industry; ACIAR Monograph No. 95, vi t 128p. Santoso B. Dan Sudaryanto T., (1989); Pengaruh Lingkungan Produksi dan
Karakteristik Demografi Terhadap Pola Curahan Kerja Rumah Tangga Pedesaan di Kalimantan selatan. dalam Perkembangan Strutur Produksi, Ketenagakerjaan dan Pendapatan Rumahtangga Pedesaan, Prosiding Patanas; Pusat Penelitian Agro Ekonomi.
Simatupang P. Dan Purwoto A. (1990); Pengembangan Agro Industri Sebagai Penggerak
Pembangunan Desa; Agro Industri Faktor Penunjang Pembangunan Pertanian Di Indonesia; Pusat Penelitian Agro Ekonomi; Badan Litbang Pertanian.
Statistik Peternakan. 2005. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta. Winarso B. (2006), Peran Kambing Domba Dalam Membangun Ekonomi Rumah Tngga
Pedesaan, bahan Seminar BPPT Jawa Tengah (blm Terpublikasi)
19
Yusdja. Y. 2004. Prospek Usaha Peternakan Kambing Menuju 2020. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong. Puslitbangnak. Bogor. Yusdja Y., R. Sayuti, B. Winarso dan I.Sodikin; (2006); Kebijakan Peningkatan Manfaat
dan Nilai Tambah Sumberdaya Ternak; Pusat Analisis Social Ekonomi dan Kebijakan Pertanian; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Yusdja Y., Sayuti R., Sejati WK., Setiajie I., Sodikin I. dan Winarso B.; (2005);
Pengembangan Model Kelembagaan Agribisnis Unggas Tradisional (Ayam Buras, Itik dan Puyuh); Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosual Ekonomi Pertanian ; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
20
Tabel lampiran 1 : Keragaan Keluar Masuknya Ternak Sapi Potong Pada Wilayah Konsumen dan Produsen Selama 12 Tahun Terakhir (1995 - 2006)
Jawa Timur NTB
Ternak Masuk No Tahun Keluar Potong Total Keluar Potong Total DKI Jawa Klmntan Jakarta Barat Timur 1 1995 283.718 435.679 719.397 41.921 26.451 68.372 334.713 340.033 34.202 2 1996 314.134 450.466 764.600 29.164 30.587 59.751 313.435 361.179 31.877 3 1997 972 440.040 1412.040 22.036 32.366 54.402 209.520 345.130 28.310 4 1998 980 456.145 1436.145 19.600 34.289 53.889 182.937 263.517 31.537 5 1999 3.060 373.197 376.257 16.989 42.784 59.773 118.088 283.316 26.111 6 2000 154.424 431.108 585.532 15.675 40.723 56.398 584.000 313.286 31.538 7 2001 154.577 399.542 554.119 14.551 34.321 48.872 82.977 232.347 40.191 8 2002 122.555 366.498 489.053 15.279 33.034 48.313 76.463 237.509 36.428 9 2003 8.712 367.500 376.212 11.050 29.453 40.503 92.577 287.428 39.302 10 2004 9.497 370.893 380.390 18.251 35.823 54.074 81.532 308.519 34.042 11 2005 12.094 372.263 384.357 76.158 33.776 109.934 69.385 329.609 39.161 12 2006 13.502 402.145 415.647 27.466 35.465 62.931 67.300 319.704 39.944
Sumber : Statistik Peternakan; Dit. Jen. Peternakan Tahun 1995 s/d 2006
21
Tabel lamp.2 : Perkembangan Ternak Sapi Potong Hasil Inseminasi Buatan Pada
Kelompok Tani Ternak “Pide Lestari” Sintung, Pringgarata, Lombok Tengah Sealama 2001 – 2007.
Jumlah anak sapi
No. Beranak
(kali) Jumlah induk ternak
Jantan Betina Total
Mati
Sisa
1 2 3 4 5 6
5 kali 4kali 3 kali 2 kali 1 kali
0
5 24 24 4 - 1
19 48 45 4 - -
6 48 27 4 - -
25 96 72 8 - -
4 8 17 2 - -
21 88 55 6 - -
7 - 58 116 85 201 31 170 Sumber : KCD Pringgarata, 2007
Top Related