INDONESIAN ECONOMIC
REVIEW AND OUTLOOK
Macroeconomic DashboardFakultas Ekonomika dan BisnisUniversitas Gadjah Mada
No 3/Tahun II/September 2013
Kemacetan di Yogyakarta
Harga sembako melambung tinggi
Kata PengantarIndonesian Economic Review and Outlook (IERO) merupakan
buletin kuartalan yang diterbitkan oleh Macroeconomic
Dashboard, Jurusan Ilmu Ekonomi – Fakultas Ekonomika dan
Bisnis, Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) yang bekerja
sama dengan PT Bank Mandiri, Tbk.
IERO kali ini mengangkat tema “Situasi Kritis Ekonomi
Indonesia: Selamat atau Terjerembab?” Instabilitas ekonomi
makro terus meningkat akibat nilai tukar rupiah yang terus
terdepresiasi, inflasi yang terus menanjak, meningkatnya
defisit transaksi berjalan, serta cadangan devisa yang semakin tergerus membuat
Indonesia memasuki “lampu kuning” krisis. Selain itu, perlambatan pertumbuhan
ekonomi Indonesia tidak lepas dari memburuknya ekonomi emerging economies serta
kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. Hal ini sejalan dengan hasil
prediksi GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI).
GAMA LEI adalah acuan yang dihasilkan Macroeconomic Dashboard untuk
memprediksi keadaan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Sejak IERO diluncurkan
pada Desember 2012, GAMA LEI telah membuktikan mampu meramalkan keadaan
ekonomi Indonesia secara akurat dan tepat. Tujuan dihasilkannya GAMA LEI adalah
untuk membantu para pembuat kebijakan publik dan pengambil keputusan bisnis agar
dapat memantau kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, sehingga
mereka dapat mengantisipasi keadaan ekonomi.
Pada edisi ini, IERO juga membahas situasi Indonesia yang berada di bawah bayang-
bayang “sindrom” krisis sebagai topik current issue. Kajian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang kondisi Indonesia sehingga para stakeholder dapat
melakukan penanganan lebih cepat dan tepat agar Indonesia tidak terperosok ke dalam
jurang krisis.
Penerbitan IERO yang senantiasa menyajikan berbagai tema hangat diharapkan dapat
membantu para pembuat kebijakan publik dan pengambil keputusan bisnis serta civitas
academica dalam mendapatkan informasi yang aktual terkait perekonomian Indonesia.
Selamat membaca
Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc
Head of Researcher
Macroeconomic Dashboard
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
1
Indonesian Economic Review and Outlook
I. Perkembangan Ekonomi Terkini
Perekonomian nasional saat ini berada dalam critical point. Faktor
melemahnya nilai tukar rupiah, inflasi yang terus naik bahkan
mencapai puncak tertinggi sejak Asian Financial Crisis 1998/1999,
disertai peningkatan defisit transaksi berjalan dan semakin
tergerusnya cadangan devisa akibat capital outflow serta besarnya
utang luar negeri swasta jangka pendek yang jatuh tempo membuat
instabilitas perekonomian Indonesia meningkat. Memburuknya
indikator-indikator makro ekonomi Indonesia sudah berlangsung
lebih dari satu tahun terakhir ini. Selain itu, tekanan yang dihadapi
ekonomi nasional disebabkan juga oleh semakin memburuknya
ekonomi emerging economies serta kondisi ekonomi global yang
masih penuh ketidakpastian. Hal ini harus diwaspadai karena bisa
berlanjut ke tahapan yang lebih buruk dan menyebabkan Indonesia
masuk ke dalam lubang krisis.
Dimulai dengan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB), perlambatan
pertumbuhan ekonomi nasional sudah terjadi sejak empat kuartal
terakhir. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan (APBN-P) 2013 pemerintah menetapkan pertumbuhan
ekonomi mencapai 6,3%. Namun, di tengah kondisi perekonomian
global yang belum stabil, pencapaian target PDB tersebut tidaklah
mudah. Sulitnya pencapaian target pertumbuhan ekonomi tahun
2013 tercermin dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2013 yang
masih di bawah ekspektasi pemerintah, tercatat sebesar 6,03% (yoy)
dan terus melambat di kuartal II-2013 menjadi 5,81% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2013 yang melambat dari kuartal
sebelumnya selaras dengan hasil prediksi GAMA Leading Economic
Indicator (GAMA LEI). Selama ini GAMA LEI terbukti mampu
memprediksi kondisi ekonomi Indonesia secara akurat, bahkan
pada edisi sebelumnya prediksi GAMA LEI mampu mematahkan
prediksi berbagai lembaga lainnya.
Dari sisi pengeluaran, ekonomi Indonesia yang melambat
disebabkan karena melambatnya pertumbuhan investasi, yang
tercermin dari menurunnya pertumbuhan Pembentukan Modal
Tetap Bruto (PMTB) pada kuartal II-2013, menjadi 4,67% dari 12,47%
pada kuartal II-2012.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
2
Perkembangan Ekonomi Terkini
Selain itu, Konsumsi Pemerintah juga menurun sangat tajam akibat
rendahnya penyerapan anggaran pemerintah hingga sekarang ini.
Pada kuartal II-2013, pertumbuhan Konsumsi Pemerintah hanya
2,13% padahal di kuartal II-2012 mampu tumbuh mencapai 8,64%.
Selain itu, meskipun pada kuartal II-2013 ekspor meningkat 4,78%
(yoy) dibandingkan kuartal II-2012 yang tercatat sebesar 2,63%,
namun pertumbuhan ini masih tergolong rendah karena di bawah
target pertumbuhan ekspor pada APBN-P 2013, yaitu sebesar 6,6%.
Dari sisi lapangan usaha, perlambatan pertumbuhan ekonomi pada
kuartal II-2013, secara year on year, dibandingkan kuartal sebelumnya
terjadi di semua sektor, kecuali sektor Pengangkutan dan
Komunikasi yang tumbuh sebesar 11,46% dan sektor Listrik, Gas,
dan Air Bersih yang naik tipis menjadi 6,60%.
Dalam rangka merespon meningkatnya instabilitas ekonomi makro
karena merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah
mengeluarkan empat paket kebijakan. Kebijakan tersebut meliputi
penetapan pajak barang mewah lebih tinggi untuk mobil completely
build up (CBU) dan barang impor bermerk dari rata-rata 75% menjadi
Gambar 1: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000.
Menurut Pengeluarana, Tahun 2005 – 2013* (yoy, dalam %)
Sejak 10 kuartal terakhir baru sekarang ini laju pertumbuhan PDB berada di bawah 6%
Sumber: BPS dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
3
Indonesian Economic Review and Outlook
125% hingga 150%. Selain itu, paket kebijakan pemerintah tersebut
juga menegaskan pemberian insentif kepada industri padat karya,
termasuk keringanan pajak; pemerintah juga berkoordinasi dengan
bank sentral menjaga gejolak harga dan inflasi; serta mengefektifkan
sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi. Paket
kebijakan ini diharapkan mampu menyelamatkan perekonomian
Indonesia di tengah semakin memburuknya perekonomian
emerging economies, serta ketidakpastian ekonomi global. Namun,
ternyata paket tersebut tidak mampu meredam volatilitas ekonomi
makro, rupiah terus terdepresiasi, dan IHSG terus turun.
Meskipun pertumbuhan ekonomi melambat, pemerintah
mengklaim telah berhasil menekan angka kemiskinan. Namun,
penting untuk dicermati apakah batas garis kemiskinan yang
dijadikan parameter oleh pemerintah sudah mencerminkan
peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sebagaimana dirilis oleh BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia
turun dari 11,66% pada September 2012 menjadi 11,37% pada Maret
2013 atau setara 28,07 juta orang. Menurut BPS, garis batas
kemiskinan meningkat 4,66% dari IDR 259.520 per kapita per bulan
pada September 2012 menjadi IDR 271.626 per kapita per bulan pada
Maret 2013. Dengan tidak bermaksud mendiskreditkan pemerintah,
Gambar 2: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000.
Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005 – 2013* (yoy, dalam %)Target pertumbuhan ekonomi sulit tercapai
Sumber: BPS dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
4
namun tentunya akan sulit bagi masyarakat untuk hidup layak
dengan batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Meski demikian, pemerintah terus berusaha menurunkan angka
kemiskinan. Salah satu usahanya adalah ditingkatkannya anggaran
untuk penanggulangan kemiskinan dari IDR 53,1 triliun di tahun
2007 menjadi sebesar IDR 115,5 triliun pada tahun 2013. Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menargetkan
angka kemiskinan tahun 2013 menjadi sekitar 9,5% - 10,5%. Namun,
keberhasilan pemerintah mencapai target angka kemiskinan
tergantung dari keberhasilan pemerintah menekan inflasi. Jika
pemerintah tidak berhasil menjaga inflasi, maka penduduk yang
hampir miskin bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan.
Perkembangan Moneter
Gambar 3: Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Tahun 2004 – 2013* Pemerintah klaim jumlah penduduk miskin menurun, namun jumlah penduduk miskin masih besar
Sumber: Berita Statistik BPS No. 47/07/Th. XVI, 1 Juli 2013
II. Perkembangan Moneter
A. Jumlah Uang Beredar
Pada bulan Juli 2013, bank sentral mencatat jumlah uang beredar M1
dan M2 mencapai IDR 903, 29 triliun dan IDR 3.529,66 triliun.
Dengan demikian, terdapat peningkatan dalam jumlah uang
beredar M1 di mana pada Juli 2013 MI tumbuh 17% (yoy), naik
dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 10,2%
(yoy). Sementara itu, pertumbuhan M2 juga tercatat meningkat
15,5% (yoy) pada Juli 2013 dibandingkan bulan Juni 2013 yang
tumbuh sebesar 11,9% (yoy).
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
5
Indonesian Economic Review and Outlook
Tingginya pertumbuhan uang beredar di bulan Ramadhan dan
Lebaran, mendorong laju inflasi bulan Agustus 2013. Berdasarkan
data Bank Indonesia (BI) penarikan uang tunai oleh masyarakat pada
periode 10 Juli –2 Agustus 2013 mencapai IDR 97 triliun atau 94,1%
dari estimasi kebutuhan uang tunai selama Lebaran yang mencapai
IDR 103,1 triliun.
BPS mengumumkan inflasi Agustus 2013 mencapai 8,79% (yoy),
setelah mencatat inflasi yang cukup tinggi pada bulan sebelumnya
yang tercatat sebesar 8,61% (yoy). Dengan demikian, maka inflasi
tahun kalender Januari-Agustus 7,94%, telah melampaui asumsi
inflasi APBN-P 2013 yang sebesar 7,2%.
Pemicu inflasi bulan Agustus 2013 terutama karena tekanan dari
beberapa harga komoditas hortikultura dan berlanjutnya tekanan
harga bawang merah dan daging sapi, sehingga menyebabkan inflasi
bergejolak (volatile) masih cukup tinggi yakni mencapai 16,52% (yoy).
Sedangkan pada Agustus 2013, inflasi kelompok harga diatur
pemerintah (administered prices) mencapai 15,4% (yoy), yang
didorong kenaikan tarif angkutan selama periode Lebaran dan
kenaikan tarif listrik. Sementara itu, inflasi inti mencapai 4,48% (yoy).
B. Tingkat Inflasi
Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Gambar 4 : Jumlah Uang Beredar, Tahun 2011 – 2013* (dalam IDR Triliun)Meningkatnya jumlah uang beredar turut mendorong laju inflasi Agustus 2013
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
6
Perkembangan Ekonomi Terkini
Sumber : BPS dan CEIC (2013)
Gambar 6: Tingkat Inflasi Tahun 2009 - 2013* Menurut Kelompok Pengeluaran (mtm, dalam %)
Tekanan inflasi yang semakin meningkat menjadi ancaman bagi perekonomian nasional
Dari data yang dirilis BPS, inflasi Agustus 2013 terjadi karena adanya
kenaikan harga di seluruh kelompok pengeluaran. Angka tertinggi
penyumbang inflasi Agustus 2013 (mtm) adalah kelompok sandang
1,81%, bahan makanan 1,75%, serta kelompok pendidikan, rekreasi,
dan olahraga 1,36%. Tingginya inflasi bulan Agustus 2013 tidak lepas
dari dampak bulan Ramadhan dan Lebaran yang menyebabkan
meningkatnya permintaan sandang dan bahan makanan.
Selain itu, inflasi Agustus 2013 (mtm) juga didorong oleh kelompok
Gambar 5: Tingkat Inflasi, Tahun 2011 – 2013* (YoY, dalam %)
Tingginya inflasi Agustus 2013 terutama berasal dari inflasi harga diatur pemerintah dan harga bergejolak..
Sumber : BPS dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
7
Indonesian Economic Review and Outlook
makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,68%; kelompok;
kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,66%;
kelompok sandang 1,81%; kelompok kesehatan 0,37%; dan
kelompok transport, komunikasi, dan jasa keuangan 0,95%.
Di awal tahun 2013, Bank Indonesia mematok suku bunga acuan (BI
rate) sebesar 5,75%. Kemudian, di bulan Juni 2013, bank sentral
menaikkan 25 basis poin ke level 6% . Kebijakan ini diambil BI
sebagai antisipasi terhadap inflasi dan respon terhadap pelemahan
rupiah seiring dengan arus keluar modal asing mulai akhir Mei 2013.
Kemudian pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 11 Juli
2013, bank sentral kembali menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin
menjadi 6,5%. Kebijakan ini diambil BI sebagai upayanya merespon
semakin tingginya ekspektasi inflasi serta memelihara kestabilan
makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan ditengah
ketidakpastian pasar keuangan global.
Menyikapi pelemahan rupiah yang terus berlangsung serta
dinamika perubahan ekonomi global dan nasional, Bank Indonesia
mengadakan RDG bulanan tambahan pada Kamis, 29 Agustus 2013
yang memutuskan untuk menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin
menjadi 7%.
C. Tingkat Suku Bunga
Gambar 7: Perkembangan BI Rate, Suku Bunga SBI, Deposito, dan Penjaminan,
Tahun 2009 - 2013* (dalam % )
Suku bunga acuan naik menjadi 7%
Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
8
Perkembangan Moneter
Selanjutnya, sehubungan dengan tekanan yang masih dihadapi oleh
rupiah, Bank Indonesia kembali menaikkan BI rate dalam RDG
tanggal 12 September 2013 menjadi 7,25%. Keputusan BI menaikkan
suku bunga acuan diambil untuk membantu menjaga kurs mata uang
rupiah agar tidak jatuh lagi karena suku bunga dalam rupiah jadi
lebih atraktif. Kebijakan ini juga sebagai bagian dari langkah bank
sentral dalam menekan defisit transaksi berjalan. Selain menaikkan
BI rate, bank sentral juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga
Lending Facility (LF) menjadi 7,25% dan suku bunga Deposit Facility
(DF) menjadi 5,5%.
Selain itu, BI juga mengeluarkan kebijakan untuk memperpendek
jangka waktu month-holding-period kepemilikan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dari 6 bulan menjadi 1 bulan. BI juga memutuskan
untuk memperhitungkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI)
sebagai komponen Giro Wajib Minimum (GWM) Sekunder.
Kebijakan lainnya adalah bank sentral memutuskan untuk
memperkuat kerjasama antara bank sentral dengan memperpanjang
Bilateral Swap Arrangement (BSA) antara Bank Indonesia dengan Bank
of Japan . Bank Indonesia telah menandatangani perpanjangan BSA
dengan Bank of Japan sebagai agen Menteri Keuangan Jepang
sebesar USD 12 miliar, berlaku efektif 31 Agustus 2013.
Gambar 8 : Cadangan Devisa Indonesia Tahun 2011- 2013* (dalam USD Milyar)Cadangan devisa semakin tergerus
Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
9
Indonesian Economic Review and Outlook
Cadangan devisa Indonesia merupakan aset eksternal yang dapat
langsung tersedia dan berada di bawah kontrol bank sentral selaku
otorita moneter untuk membiayai ketidakseimbangan neraca
pembayaran, serta melakukan intervensi di pasar dalam rangka
memelihara kestabilan nilai tukar.
Namun, saat ini posisi cadangan devisa semakin tergerus karena
defisit transaksi berjalan yang meningkat padahal surplus transaksi
modal dan finansial belum dapat menutup defisit transaksi berjalan,
sehingga neraca pembayaran defisit. Cadangan devisa tercatat
merosot sebesar USD 20,11 miliar dari USD 112,78 miliar pada
Desember 2012 menjadi USD 92,997 miliar pada Agustus 2013.
Kondisi cadangan devisa ini membuat upaya bank sentral untuk
melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah semakin terbatas.
Padahal kebutuhan akan USD untuk pembayaran utang luar negeri
cukup besar. Berdasarkan data BI, pembayaran utang luar negeri
sepanjang Juni hingga Desember 2013 mencapai USD 28,88 miliar.
Tekanan yang tinggi pada pasar keuangan global di tengah
melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia telah memberikan
tekanan pada kinerja perdagangan dan pasar keuangan nasional.
Rencana pengurangan bertahap stimulus moneter oleh bank sentral
Amerika Serikat (the Fed) terus memberikan tekanan pada pasar
keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan meningkatnya
risiko investasi menyebabkan harga saham menurun serta nilai
tukar di beberapa negara emerging market melemah, termasuk
Indonesia.
Selanjutnya, akibat tekanan pasar keuangan global serta faktor
domestik terutama terkait dengan tingginya defisit transaksi
berjalan dan inflasi, pada bulan Agustus 2013 nilai tukar rupiah
terhadap USD mencapai IDR 10.924 per USD, terdepresiasi sebesar
12,64% dibandingkan bulan Januari 2013 yang tercatat berada pada
level IDR 9.698 per USD. Nilai rupiah terus menurun hingga
menembus level IDR 11.200 per USD pada tanggal 6 September 2013.
Pergerakan rupiah terhadap USD yang terus tertekan disertai
dengan cadangan devisa yang semakin tergerus membuat para
pelaku pasar panik, hal ini tercermin dari pelemahan pergerahan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pergerakan IHSG semakin
melemah, di awal tahun 2013 IHSG berada pada level 4.453,70.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
10
Perkembangan Moneter
Bahkan pada bulan Mei 2013 mampu menanjak hingga level
5.068,63. Namun pada akhir Agustus 2013, IHSG merosot hingga ke
level 4.195,09.
Sehubungan dengan semakin terpuruknya IHSG, Otoritas Jasa
K e u a n g a n ( O J K ) m e n g e l u a r k a n p e r a t u r a n t e n t a n g
dimungkinkannya pembelian kembali saham (buyback) oleh emiten
tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Kebijakan buyback ini
diatur dalam Peraturan OJK No. 02/POJK 04/2013 tentang Pembelian
Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan
Publik dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi secara Signifikan.
Pemberlakuan kebijakan buyback sebagai antisipasi merosotnya
harga berbagai saham big caps di pasar modal. Akibatnya, saham-
saham blue chips yang tadinya menjadi leading movers IHSG terpaksa
harus bergeser menjadi lagging movers IHSG.
Gambar 9 : Nilai Tukar dan Harga Saham, Tahun 2011 - 2013*
Nilai Rupiah terus menurun. Sejak awal tahun hingga Agustus 2013, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 12,64%.
Sumber : Bursa Efek Indonesia, Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
11
Indonesian Economic Review and Outlook
III. Perkembangan Fiskal dan Utang Negara
A. Perkembangan Fiskal
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2013 mencapai 5,8% (yoy),
lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun 2012
sebesar 6,3%. Menurunnya kinerja ekonomi Indonesia berdampak
pada rendahnya penerimaan negara. Realisasi penerimaan negara
per 31 Agustus 2013 sebesar IDR 844,9 triliun, angka ini lebih tinggi
secara nominal dibanding periode yang sama tahun sebelumnya
IDR 798,36 triliun. Namun, pencapaian tersebut jika dibandingkan
dengan target dalam APBN-P 2013 baru mencapai 56,3%, angka ini
lebih kecil dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya
58,7% dari target APBN-P 2012.
Pada saat yang sama, realisasi belanja negara mencapai IDR 945,8
triliun atau setara 54,8% dari pagu APBN P 2013 lebih tinggi
dibandingkan pada periode yang sama tahun 2012 yang hanya
mencapai 53,8% dari total pagu APBN-P 2012 atau sebesar IDR
832,824 triliun. Meskipun demikian, realisasi belanja modal hingga
Agustus 2013 masih rendah, hanya 31,4% dari total alokasi pada pos
tersebut. Realisasi subsidi BBM mencapai 66,6% dari pagu
anggaran. Realisasi pembayaran kewajiban cicilan utang luar negeri
sudah melebihi pagu anggaran yang sudah ditetapkan yaitu IDR 20
triliun dari IDR 15,8 trilliun atau 127,2% dari pagu anggaran APBN-
P 2013.
Dalam pidato kenegaraan yang disampaikan pada 16 Agustus 2013,
Presiden menyampaikan pidato terkait postur RAPBN 2014.
Beberapa asumsi makro pada RAPBN 2014 yang digunakan dinilai
terlalu optimis jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi saat ini.
Tabel 1: APBN-P 2013 dan RAPBN 2014
Instabilitas makroekonomi yang sedang terjadi akan mengancam pencapaian asumsi indikator makro
dalam RAPBN 2014
Sumber: Kementerian Keuangan (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
12
Dengan asumsi tersebut, pemerintah harus bekerja keras untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi 6,4%; menjaga inflasi pada level
4,5% dan nilai tukar pada posisi IDR 9.750 per USD.
Subsidi memiliki porsi yang paling besar dari RAPBN 2014 sebesar
IDR 336,2 triliun, setara dengan 27% total belanja pemerintah pusat.
Jumlah tersebut diperkirakan dapat meningkat seiring potensi
pelemahan rupiah yang akan berdampak naiknya harga BBM. Bukan
hanya itu, pelemahan rupiah juga akan dapat meningkatkan alokasi
anggaran untuk pembayaran bunga utang luar negeri, sehingga
kondisi fiskal akan semakin tertekan. Sementara itu, belanja modal
pada RABPN 2014 mengalami kenaikan 6% dari APBNP 2013,
namun masih lebih kecil dibandingkan kenaikan belanja pegawai
sebesar 16%. Lain halnya dengan bantuan sosial, meski mengalami
penurunan 48% pada RABPN 2014, namun hal ini tetap rawan
ditunggangi oleh kepentingan politik menjelang pemilu 2014.
Penerimaan pajak (tanpa penerimaan dari cukai) tahun 2013 per 31
Agustus meningkat 7,01% secara nominal dibandingkan periode
yang sama tahun 2012. Akan tetapi, realisasi penerimaan pajak per 31
Agustus 2013 tersebut secara persentase (realisasi penerimaan pajak
dibandingkan target penerimaannya) menurun 4,84% dibandingkan
tahun sebelumnya pada periode yang sama. Secara nominal Pajak
Penghasilan (PPh) Non Migas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Tabel 2 : Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat, 2013-2014 (IDR Triliun)
Pelemahan rupiah akan berpotensi menyebabkan pembengkakan anggaran pada pos subsidi
dan pembayaran bunga utang dalam RAPBN 2014
Sumber: Kementerian Keuangan (2013)
Perkembangan Fiskal dan Utang Negara
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
13
Indonesian Economic Review and Outlook
Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), serta pajak lainnya
mengalami peningkatan dibanding periode yang sama sebelumnya.
Penerimaan pajak yang mengalami penurunan terjadi pada
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 69,87% serta
Pajak Penghasilan (PPh) Migas sebesar 3,55%.
Di tahun 2014, pemerintah harus bekerja keras menurunkan defisit
anggaran seperti yang tertera pada RAPBN menjadi 1,49% dari PDB.
Pemerintah menetapkan rencana penerimaan negara naik sebesar
10,69% dari IDR 1.502 triliun menjadi IDR 1662.5 triliun. Rencana
belanja negara juga mengalami kenaikan sebesar 5,24% dari APBN-P
2013 menjadi IDR 1.816,7 triliun sebagaimana tertera dalam RAPBN
2014. Pada RAPBN 2014, belanja pemerintah pusat mengalami
kenaikan 2,8%, sedangkan transfer ke daerah jumlahnya bertambah
10,77%. dari APBN-P 2013.
Tabel 4: Defisit Anggaran dalam APBN-P 2013 dan RAPBN 2014 (IDR Triliun)
Pemerintah menargetkan penurunan defisit anggaran menjadi 1,49% terhadap PDB pada 2014
Sumber: Kementerian Keuangan (2013)
Tabel 3: Penerimaan Pajak dalam Negeri Periode 1 Januari hingga 31 Agustus 2013
(dalam IDR Miliar)Meski penerimaan pajak per 31 Agustus 2013 secara nominal meningkat 7,01% (yoy) dibandingkan periode yang sama
tahun sebelumnya, tetapi realisasi penerimaan negara terhadap target dalam APBN-P mengalami penurunan sebesar 4,84%.
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
14
Perkembangan Fiskal dan Utang Negara
Meskipun demikian, optimisme pemerintah untuk mengurangi
defisit APBN 2014 ini akan mendapat tantangan yang serius karena
rasio realisasi penerimaan pemerintah terhadap target APBN-P 2013
yang menurun ditambah potensi pengeluaran yang membengkak
akibat pelemahan rupiah yang signifikan. Pemerintahan SBY di
tahun-tahun terakhirnya akan menghadapi tekanan fiskal yang
cukup berat dengan instabilitas makroekonomi yang saat ini terjadi.
B. Perkembangan Utang Negara dan Utang Luar Negeri
Total Surat Berharga Negara (SBN) outstanding yang dapat
diperdagangkan per Agustus 2013 mencapai IDR 1.535,47 triliun
meningkat sebesar IDR 33,86 triliun dibandingkan dengan SBN
outstanding per Juli 2013 yang tercatat sebesar IDR 1.501,62 triliun.
Komposisi SBN outstanding periode Agustus 2013 paling besar
adalah obligasi negara dengan bunga tetap, tercatat sebesar IDR
685,9 triliun. Sementara itu, Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
pada Agustus 2013 tercatat sebesar IDR 32,15 triliun menunjukkan
peningkatan sebesar IDR 3,56 triliun dibandingkan bulan
sebelumnya yang sebesar IDR 29 triliun. Sedangkan Obligasi Negara
dengan tingkat bunga mengambang tidak mengalami perubahan
sejak Januari 2013 hingga Agustus 2013 sebesar IDR 122,754 triliun.
Gambar 10 : Komposisi Surat Berharga NegaraOutstanding Januari 2011 - Agustus 2013
Surat Berharga Negara terus meningkat
Sumber: Kementerian Keuangan dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
15
Indonesian Economic Review and Outlook
Total kepemilikan asing atas SBN menunjukkan peningkatan
sebesar IDR 10,81 triliun dari awal tahun 2013 hingga Agustus 2013
dari IDR 273,2 triliun menjadi IDR 284,01 triliun. Sedangkan
kepemilikan asing atas saham menunjukkan peningkatan sebesar
IDR 76,33 triliun dari awal tahun 2013 hingga Juli 2013 menjadi IDR
1693,2 triliun. Namun, total kepemilikan asing atas SBN
menunjukkan penurunan sebesar IDR 18,93 triliun dari Mei 2013.
Total kepemilikan asing atas ekuitas, obligasi pemerintah, dan SBI
secara umum mengalami penurunan akhir-akhir ini. Sejak Mei 2013,
kepemilikan asing atas ekuitas turun sebesar USD 21 miliar menjadi
USD 162 miliar hingga Juli 2013 dan obligasi pemerintah turun
sebesar USD 4,21 miliar menjadi USD 26,8 miliar pada Agustus 2013.
Sejak April 2013, kepemilikan asing atas SBI turun sebesar USD 80,9
juta menjadi USD 88,77 juta pada Agustus 2013. Penurunan terjadi
selain karena penerapan kebijakan 6 months holding period oleh BI
untuk SBI, juga karena pengaruh kebijakan Bank Sentral Amerika
Serikat yang menyebabkan investor asing mengalihkan investasinya
ke Amerika yang menyebabkan pelemahan rupiah dan juga
turunnya kepemilikan asing atas surat berharga di Indonesia.
Capital outflow yang terjadi karena berkurangnya kepemilikan asing
atas surat berharga Indonesia ikut menggerus cadangan devisa
Indonesia. Hal ini terjadi karena investor yang berinvestasi pada
Gambar 11: Kepemilikan Asing Atas Ekuitas, Obligasi, dan SBI Maret 2010 – Agustus 2013
Kepemilikan asing terus menurun.
Sumber: Kementerian Keuangan dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
16
Perkembangan Fiskal dan Utang Negara
dana jangka pendek, hot money, seperti saham, SBI, dan obligasi
melepas surat berharga yang dipegang kemudian meningkatkan
permintaan akan dollar AS, sehingga rupiah mengalami pelemahan.
Akibatnya cadangan devisa berkurang untuk stabilisasi rupiah.
Debt Service Ratio (DSR) adalah indikator yang menunjukkan rasio
pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap
penerimaan hasil ekspor suatu negara. Pada kuartal II-2013, DSR
Indonesia sebesar 41,4%. Rasio terus meningkat dibandingkan
dengan kuartal tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini berbahaya
apabila pelemahan rupiah terus terjadi karena beban utang
Indonesia akan semakin berat.
Secara umum total utang luar negeri Indonesia terus meningkat,
terutama utang luar negeri swasta. Total utang luar negeri Indonesia
pada Juni 2013 sebesar USD 257 miliar hanya turun sebesar USD 0,54
miliar dari bulan sebelumnya, meningkat sebesar USD 6,48 miliar
dari awal tahun 2013, dan meningkat sebesar USD 19,06 miliar dari
bulan Juni tahun 2012.
Nilai utang luar negeri swasta pada Mei 2012 sebesar USD 118,48
miliar telah melebihi utang luar negeri pemerintah sejak bulan Mei
2012. Pada bulan Juni 2013, nilai utang luar negeri swasta mencapai
USD 133,98 miliar, lebih besar sebesar USD 19,97 miliar dari nilai
utang luar negeri pemerintah bulan Juni 2013 yang mencapai USD
114,01 miliar dan lebih besar sebesar USD 9,9 miliar dari nilai utang
luar negeri pemerintah dan bank sentral bulan Juni 2013 yang
mencapai USD 124 miliar.
Nilai utang luar negeri swasta jangka pendek by original maturity
adalah utang yang dihitung mulai dari timbulnya kewajiban utang
sampai dengan jatuh tempo. Pada Juni 2013, nilai utang luar negeri
swasta jangka pendek by original maturity sebesar USD 39,58 miliar,
meningkat sebesar USD 3,32 miliar dari bulan Mei 2013 dan
meningkat sebesar USD 2,49 miliar dari bulan Juni tahun 2012. Nilai
utang luar negeri swasta jangka pendek by remaining maturity adalah
posisi utang yang dihitung dengan menjumlahkan posisi utang
jangka pendek berdasarkan original maturity dan posisi utang jangka
panjang yang akan dibayar dalam jangka waktu maksimal satu tahun
ke depan dari posisi bulan pelaporan. Pada Juni 2013, utang swasta
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
17
Indonesian Economic Review and Outlook
jangka pendek by remaining maturity sebesar USD 40,48 miliar,
meningkat sebesar USD 997 juta dari bulan Mei 2013 dan meningkat
sebesar USD 2,102 miliar dari bulan Juni tahun 2012.
Gambar 12: Debt Service Ratio Indonesia 2004:Q1 – 2013:Q2
Debt Service Ratio terus meningkat
Sumber: Kementerian Keuangan dan CEIC (2013)
Gambar 13: Total Utang Luar Negeri Indonesia
Total utang luar negeri swasta terus meningkat
Sumber: Kementerian Keuangan dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
18
Perkembangan Internasional
IV. Perkembangan Internasional
Melemahnya pertumbuhan ekonomi Internasional dan kawasan
serta rendahnya daya saing internasional Indonesia yang disertai
dengan melemahnya harga komoditas telah menekan ekspor
Indonesia.
Kinerja neraca perdagangan Indonesia memburuk pada bulan Juli
2013. Neraca perdagangan tercatat defisit USD 2,3 miliar setelah
sebelumnya pada bulan Juni 2013 defisit USD 0,9 miliar. Secara
kumulatif dari bulan Januari hingga Juli 2013, defisit neraca
perdagangan Indonesia telah menyentuh USD 5,6 miliar.
Nilai ekspor Indonesia pada bulan Juli 2013 meningkat 2,4% dari
bulan sebelumnya. Nilai ekspor meningkat dari USD 14,8 miliar
pada Juni 2013 menjadi USD 15,1 miliar pada Juli 2013, meskipun jika
dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya pencapaian
ekspor turun 6,1%. Sedangkan dari sisi impor, nilai impor Indonesia
Juli 2013 meningkat 11,4 % dibandingkan Juni 2013 dan meningkat
6,5% dibandingkan Juli 2012. Peningkatan terbesar (mtm) terjadi
pada impor barang modal sebesar 13,2%, kemudian impor barang
mentah sebesar 11%, dan impor barang konsumsi sebesar 10,7%.
Peningkatan nilai impor Indonesia ini memicu defisit neraca
perdagangan yang semakin besar. Secara kumulatif dari bulan
Januari hingga Juli 2013, nilai impor Indonesia menurun 0,86%,
begitu juga dengan nilai ekspor Indonesia yang menurun 6,08%
dibandingkan dengan periode Januari hingga Juli 2012.
Gambar 14 : Neraca Perdagangan Indonesia, Januari 2011 – Juli 2013Defisit neraca perdagangan Indonesia catat rekor terbesar
Sumber: Badan Pusat Statistik dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
19
Indonesian Economic Review and Outlook
Peningkatan nilai impor yang lebih besar dari nilai ekspor pada
bulan Juli 2013 mengakibatkan defisit neraca perdagangan tidak
terelakkan lagi. Defisit neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2013
mencatat rekor tertinggi defisit neraca perdagangan yang pernah
ada. Defisit neraca perdagangan yang cukup besar akan menggerus
cadangan devisa Indonesia sehingga semakin lama cadangan devisa
Indonesia semakin kecil. Hal ini seiring dengan menurunnya nilai
cadangan devisa Indonesia dari USD 108,8 miliar pada bulan Januari
2013 menjadi USD 92,997 miliar pada Agustus 2013.
Kenaikan harga bahan bakar minyak yang diberlakukan beberapa
waktu lalu belum signifikan berpengaruh terhadap nilai impor
migas Indonesia. Nilai impor migas Indonesia tercatat masih
mengalami peningkatan, dari yang sebelumnya USD 3,5 miliar pada
Juni 2013 menjadi USD 4,1 miliar pada Juli 2013. Lebih rinci,
peningkatan impor migas disebabkan oleh naiknya impor minyak
mentah sebesar 30,67% dan hasil minyak sebesar 1,62%, di saat impor
gas turun 5,81%. Secara kumulatif, nilai impor migas dari bulan
Januari hingga Juli 2013 mencapai USD 26,2 miliar, meningkat 8,3%
dari impor migas pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Berbanding terbalik dengan nilai impor migas yang meningkat, nilai
ekspor migas Indonesia tercatat mengalami penurunan. Nilai ekspor
migas Indonesia yang semula USD 2,8 miliar pada Juni 2013,
menurun menjadi USD 2,3 miliar pada Juli 2013. Penurunan ini
Gambar 15: Neraca Perdagangan Migas Indonesia, Januari 2011 – Juli 2013
Defisit neraca perdagangan migas masih terus meningkat
Sumber: Badan Pusat Statistik dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
20
Perkembangan Internasional
dipicu oleh penurunan ekspor minyak mentah sebesar 10,47%, ekspor
hasil minyak sebesar 7,94%, dan ekspor gas sebesar 25,3%. Meskipun
terjadi penurunan ekspor migas, namun harga minyak mentah
Indonesia di pasar dunia tercatat naik USD 99,97 per barel pada Juni
2013 menjadi USD 103,12 per barel pada Juli 2013. Secara kumulatif,
nilai ekspor migas Indonesia pada Januari hingga Juli 2013 sebesar
USD 18,6 miliar, menurun 19,7% dari nilai ekspor migas Indonesia
periode yang sama tahun sebelumnya.
Dengan keadaan ekspor dan impor migas yang telah dijabarkan
diatas, maka defisit neraca perdagangan migas Indonesia pada Juli
2013 tidak terelakkan semakin melebar. Defisit neraca perdagangan
migas yang semula USD 0,7 miliar pada Juni 2013, meningkat menjadi
USD 1,9 miliar. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
surplus USD 0,2 miliar, neraca perdagangan migas Indonesia pada Juli
2013 dinilai memburuk.
Peningkatan ekspor pada bulan Juli 2013 ini ditopang oleh
meningkatnya nilai ekspor nonmigas dari USD 11,9 miliar pada bulan
Juni 2013 menjadi USD 12,8 miliar pada Juli 2013. Peningkatan ekspor
nonmigas terbesar antara lain terjadi pada komoditas bijih, kerak, dan
abu logam yang meningkat sebesar USD 0,2 miliar, sedangkan untuk
penurunan terbesar terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati
sebesar USD 0,4 miliar. Cina, Amerika, dan Jepang masih menjadi
negara utama tujuan ekspor nonmigas Indonesia yang nilainya
masing-masing mencapai USD 1,7 miliar, USD 1,5 miliar, dan USD 1,4
miliar pada bulan Juli 2013. Secara kumulatif, nilai ekspor nonmigas
Indonesia pada Januari hingga Juli 2013 mengalami penurunan
sebesar 2,7% dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya.
Di sisi lain, impor nonmigas Indonesia meningkat dari USD 12,1 miliar
menjadi USD 13,3 miliar dari Juni 2013 ke Juli 2013. Barang-barang
impor yang memiliki kontribusi terbesar meningkatnya nilai impor
nonmigas antara lain mesin dan peralatan mekanik yang meningkat
18,3%, plastik dan barang dari plastik yang naik 28,2%, serta golongan
besi dan baja yang meningkat sebesar 14,9%. Ketiga barang tersebut
memiliki peningkatan impor terbesar dengan nilai nominal masing-
masing lebih dari USD 0,1 miliar. Menurut negara asal barang impor,
peningkatan impor nonmigas Indonesia ditopang oleh peningkatan
impor nonmigas dari Cina sebesar 17,56%, Jepang 9,7%, dan
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
21
Indonesian Economic Review and Outlook
Singapura sebesar 15,9%. Secara kumulatif dari Januari hingga Juli
2013, nilai impor nonmigas Indonesia sebesar USD 85,5 miliar,
menurun dari nilai impor nonmigas kumulatif pada periode sama
tahun sebelumnya yaitu USD 88,6 miliar.
Dengan keadaan ekspor dan impor nonmigas yang telah dijabarkan
diatas, maka hal ini menegaskan bahwa terjadi pelebaran defisit
neraca perdagangan nonmigas. Neraca perdagangan nonmigas
yang semula defisit USD 0,2 miliar pada Juni 2013, meningkat
menjadi USD 0,5 miliar pada Juli 2013.
Demikian juga defisit transaksi berjalan terus meningkat pada
kuartal II-2013. Defisit transaksi berjalan meningkat dari USD 5,8
miliar pada kuartal I-2013 menjadi USD 9,8 miliar pada kuartal II-
2013. Dibandingkan dengan kuartal II-2012, kinerja transaksi
berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 dinilai lebih buruk. Pada
kuartal II-2012, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat USD 8,2
miliar lebih rendah dari defisit saat ini.
Memburuknya defisit transaksi berjalan pada periode ini, terutama
disebabkan oleh merosotnya kinerja neraca perdagangan barang
yang memburuk dari kuartal sebelumnya. Neraca perdagangan
barang yang semula surplus USD 1,6 miliar pada kuartal I-2013,
menurun menjadi defisit USD 0,6 miliar pada kuartal II-2013.
Memburuknya kinerja neraca perdagangan nonmigas disaat neraca
perdagangan migas masih defisit, merupakan penyebab
memburuknya kinerja neraca perdagangan barang. Di samping itu,
Gambar 16: Neraca Perdagangan Nonmigas Indonesia, Januari 2011 – Juli 2013Defisit neraca perdagangan non migas juga semakin melebar
Sumber: Badan Pusat Statistik dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
22
Perkembangan Internasional
harga komoditas ekspor Indonesia yang masih mengalami
penurunan turut memperburuk keadaan neraca perdagangan
barang pada periode ini.
Selain disebabkan menurunnya kinerja neraca perdagangan barang,
memburuknya kinerja transaksi berjalan juga disebabkan oleh
melebarnya defisit neraca jasa dan pendapatan. Defisit neraca jasa
meningkat dari USD 2,5 miliar pada kuartal I-2013 menjadi USD 3
miliar pada kuartal II-2013. Melebarnya defisit neraca jasa
merupakan akibat dari naiknya jasa transportasi seiring dengan
kenaikan impor barang. Sedangkan dalam periode yang sama,
defisit neraca pendapatan juga meningkat dari USD 6 miliar menjadi
USD 7,1 miliar pada kuartal II-2013. Peningkatan ini disebabkan
oleh meningkatnya pembayaran pendapatan investasi Indonesia
pada kuartal II-2013.
Transaksi modal dan finansial tercatat kembali mengalami surplus
sebesar USD 8,2 miliar pada kuartal II-2013, setelah pada kuartal
sebelumnya mengalami defisit USD 0,3 miliar. Dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, kinerja transaksi modal dan finansial
pada kuartal II-2013 juga dinilai lebih baik. Pada kuartal II-2012
transaksi modal dan finansial tercatat surplus USD 5 miliar, lebih
rendah dari transaksi modal dan finansial kuartal II-2013.
Membaiknya kinerja transaksi modal dan finansial pada kuartal II-
2013 ditopang oleh peningkatan kinerja investasi lainnya yang
meningkat dari defisit USD 7 miliar pada kuartal I-2013 menjadi
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Gambar 17: Neraca Transaksi Berjalan 2009:Q1-2013:Q2Defisit transaksi berjalan terus meroket.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
23
Indonesian Economic Review and Outlook
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Gambar 18: Neraca Transaksi Modal dan Finansial, 2009:Q1-2013:Q2Transaksi Modal dan Finansial kembali surplus, investasi lainnya menjadi penopang utama membaiknya
kinerja transaksi modal dan finansial disaat kinerja investasi langsung dan investasi portfolio menurun.
surplus USD 2,3 miliar pada kuartal II-2013. Peningkatan kinerja
investasi lainnya disebabkan oleh meningkatnya penarikan uang dan
simpanan swasta di perbankan luar negeri yang mencapai USD 4,6
miliar pada kuartal II-2013 dan tercatat di sisi aset. Sedangkan
transaksi investasi lainnya di sisi kewajiban mencatat besarnya
pembayaran pinjaman luar negeri oleh otoritas moneter, pemerintah,
dan swasta yang masing-masing sebesar USD 0,03 miliar, USD 1,7
miliar, dan USD 7 miliar pada kuartal II-2013.
Berbeda dari investasi lainnya, kinerja investasi langsung dan
investasi portfolio pada kuartal II-2013 cenderung menurun. Kinerja
investasi langsung menurun dari USD 3,9 miliar pada kuartal I-2013
menjadi USD 3,3 miliar pada kuartal II-2013. Sedangkan investasi
portfolio menurun dari USD 2,8 miliar menjadi USD 2,6 miliar pada
kuartal II-2013.
Dari sisi kewajiban investasi portfolio, aliran masuk dana asing pada
surat utang sektor publik mencapai USD 3,1 miliar meningkat dari
kuartal sebelumnya yaitu USD 0,1 miliar. Kenaikan ini ditopang oleh
penerbitan obligasi pemerintah senilai USD 3 miliar pada kuartal II-
2013 di mana sebanyak USD 2,7 miliar dimiliki oleh investor asing.
Sementara itu, investasi asing pada instrumen portfolio pada sektor
swasta menunjukkan penurunan yang tajam dari USD 2,7 miliar pada
kuartal I-2013 menjadi USD 0,1 miliar pada kuartal II-2013.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
24
GAMA Leading Economic Indicator
Neraca pembayaran Indonesia mengalami sedikit perbaikan pada
kuartal II-2013. Terjadi penurunan defisit neraca pembayaran dari
USD 6,6 miliar pada kuartal I-2013 menjadi USD 2,5 miliar pada
kuartal II-2013. Meskipun keadaan transaksi berjalan masih defisit,
tetapi perbaikan kinerja neraca pembayaran ini ditopang oleh
perbaikan kinerja transaksi modal dan finansial, terutama jika dilihat
dari sisi investasi lainnya yang meningkat pesat dari kuartal
sebelumnya.
Sejalan dengan neraca pembayaran yang masih defisit, jumlah
cadangan devisa pun semakin menurun. Cadangan devisa Indonesia
yang tercatat USD 108,8 miliar pada Januari 2013, menurun menjadi
USD 92,997 miliar pada Agustus 2013. Debt Service Ratio Indonesia
yang menyentuh 41,4% pada kuartal II-2013 mengindikasikan jumlah
kewajiban pembayaran bunga dan cicilan utang yang semakin
mendekati jumlah pendapatan dari ekspor. Hal ini menunjukkan
kemampuan membayar utang Indonesia semakin mengecil.
Dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya,
keadaan neraca pembayaran Indonesia pada periode ini masih lebih
baik. Pada kuartal II-2012, neraca pembayaran Indonesia tercatat
defisit USD 2,8 miliar dengan defisit transaksi berjalan USD 8,2 miliar
dan transaksi modal dan finansial yang surplus USD 5,1 miliar.
Gambar 19: Neraca Pembayaran 2009:Q1 - 2013:Q2
Kinerja neraca pembayaran sedikit mengalami perbaikan
Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
25
Indonesian Economic Review and Outlook
GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI) kali ini masih
menunjukkan kemerosotan pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan.
Gambar 19 menunjukan pergerakan siklus perekonomian Indonesia
yang didekati dengan PDB harga konstan beserta GAMA LEI dari tahun
2000 hingga tahun kuartal II-2013. Pergerakan GAMA LEI mampu
meramalkan pergerakan serta titik balik siklus perekonomian
Indonesia dengan akurat pada beberapa bulan ke depan. Keakuratan
peramalan GAMA LEI telah sukses memprediksi adanya penurunan
kegiatan perekonomian Indonesia tiga kali berturut–turut yaitu pada
kuartal IV-2012 hingga kuartal II-2013. Untuk edisi saat ini GAMA LEI
yang dibentuk oleh Tim Macroeconomic Dashboard FEB UGM akan
memprediksi pergerakan perekonomian Indonesia untuk kuartal III-
2013.
Secara umum, pergerakan indikator-indikator makroekonomi
pembentuk GAMA LEI mengalami penurunan kinerja di kuartal II-
2013. Pergerakan IHSG, ekspor nonmigas, dan cadangan devisa
mengalami kontraksi. Kurangnya kemampuan pemerintah dalam
meredam adanya sinyal buruk pada beberapa indikator makro tersebut
menyebabkan instabilitas perekonomian Indonesia saat ini semakin
meningkat.
Dari sisi konsumsi, adanya kontraksi pada indikator penjualan mobil
domestik dan konsumsi semen menunjukan gejala pelemahan
permintaan masyarakat akan barang yang diproduksi dalam negeri.
Hal ini dapat menjadi sinyalemen bagi pemerintah bahwa komponen
konsumsi masyarakat sebagai penopang perekonomian Indonesia
menurun daya dorongnya.
V. GAMA Leading Economic Indicator
Gambar 19 : GAMA LEI Indonesia Tahun 2000:Q1 – 2013:Q2
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
26
GAMA Leading Economic Indicator
Dari sisi investasi, melemahnya realisasi investasi asing dan
domestik menjadi tanda bahwa Indonesia kurang mampu menarik
penanam modal untuk melakukan aktivitas ekonomi di Indonesia.
Pelemahan kedua indikator tersebut disebabkan karena adanya
koreksi beberapa kali terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia
serta kebijakan pemerintah yang kurang solutif dalam menarik
investasi ke dalam negeri.
Berdasarkan pemaparan di atas serta hasil peramalan dalam model
GAMA LEI, perekonomian Indonesia pada kuartal III-2013
diprediksi masih mengalami perlambatan. Hal ini juga diperkuat
dengan belum adanya titik balik pada model GAMA LEI yang
menunjukan perubahan arah pergerakan ekonomi di waktu yang
akan datang.
Estimasi ini diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan oleh tim
Macroeconomic Dashboard dengan responden dosen dan peneliti di
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Survei ini memprediksi tiga
indikator makro utama Indonesia yaitu: pertumbuhan, inflasi dan
nilai tukar. Secara umum prediksi kondisi makroekonomi Indonesia
masih tidak menggembirakan.
Pertumbuhan PDB riil (yoy) untuk kuartal III-2013 dan kuartal IV-
2013 masing-masing 5,57% ± 0,28% dan 5,47% ± 0,31%. Sementara
itu, prediksi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan
memperhatikan kondisi terkini untuk tahun 2013 dan 2014 masing-
masing sebesar 5,73% ± 0,16% dan 5,71% ± 0,29%.
Terakhir, estimasi untuk nilai tukar rupiah terhadap dollar AS untuk
kuartal III-2013 dan kuartal IV-2013 masing-masing sebesar
IDR/USD 10.928,6 ± IDR/USD 534,5 dan IDR/USD 10.957,10 ±
IDR/USD 957,2. Sedangkan untuk kurs di tahun 2013 dan 2014
masing-masing sebesar IDR/USD 10.714,3 ± IDR/USD 487,9 dan
IDR/USD 10.728,6 ± IDR/USD 1.049,9
Selanjutnya, prediksi inflasi (yoy) untuk kuartal III-2013 dan kuartal
IV-2013 masing-masing 8,46% ± 0,46% dan 8,44% ± 1,04%. Sedangkan
untuk inflasi tahunan 2013 dan 2014 masing-masing sebesar 8,24%
dan 7,43%.
Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
27
Indonesian Economic Review and Outlook
VI. Ekonomi ASEAN: Peningkatan Instabilitas,
Perlambatan Pertumbuhan
Stabilitas ekonomi makro ASEAN secara umum memburuk dilihat
dari meningkatnya inflasi di beberapa negara anggota dan
melemahnya mata uang pada hampir semua negara kawasan.
Demikian juga indeks harga saham gabungan kawasan banyak yang
merosot, sehingga laju pertumbuhan ekonomi kawasan cenderung
menurun.
Tingkat inflasi pada negara-negara ASEAN hingga bulan Agustus
2013 cenderung meningkat terutama untuk negara Indonesia
(8,79%), Vietnam (7,50%) dan Laos (7,43%). Indonesia mengalami
tekanan tinggi pada inflasi terutama diakibatkan dari terganggunya
pasokan sejumlah komoditas pangan seperti bawang merah, cabai,
daging sapi dan daging ayam serta momentum penyesuaian harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berdekatan dengan hari besar
keagamaan serta tahun ajaran baru pendidikan dasar, menengah
dan perguruan tinggi. Sementara inflasi tinggi yang terjadi di
Vietnam terutama didorong oleh dampak penuh dari implementasi
penyesuaian harga BBM yang dilakukan pada bulan Agustus 2013
diiringi dengan peningkatan biaya oleh otoritas terkait pada biaya
kesehatan, biaya pendidikan, biaya air rumah tangga serta biaya
transportasi umum. Kebijakan bank sentral yang lemah diiringi
dengan pelayanan perbankan umum yang masih sangat terbatas
Tabel 5 : Estimasi PDB (YoY, dalam %)
Sumber: Data primer, diolah (2013)
Tabel 6 : Estimasi Inflasi (YoY, dalam %)
Sumber: Data primer, diolah (2013)
Tabel 7 : Estimasi Nilai Tukar rupiah terhadap dolar AS (IDR per USD)
Sumber: Data primer, diolah (2013)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
28
Ekonomi Asean
menyebabkan aktivitas perbankan yang dapat menjadi
penyeimbang terhadap kecenderungan peningkatan harga menjadi
berjalan tidak optimal di Vietnam. Lonjakan tingkat inflasi di
beberapa negara utama di ASEAN ini ditindaklanjuti dengan
berbagai kebijakan moneter oleh bank sentral masing-masing
negara serta kebijakan price pegging oleh otoritas terkait pada
beberapa sektor di Vietnam terutama pada biaya layanan kesehatan.
Tanda-tanda instabilitas ekonomi di negara ASEAN juga terekam
pada aktivitas di pasar saham maupun nilai tukar mata uang. Pasca
Krisis Keuangan Global 2008-2009, terlihat bahwa hampir semua
negara anggota mengalami pertumbuhan pada harga-harga saham
hingga tahun 2012. Namun, hingga transaksi per-30 Agustus 2013
terdapat 7 dari 10 negara ASEAN mengalami penurunan
pertumbuhan harga saham yang menunjukkan bahwa adanya
kecenderungan keluarnya arus modal para investor dari negara-
negara ASEAN akibat ekonomi Amerika Serikat mengirimkan sinyal
perbaikan ekonomi serta antisipasi kebijakan tapering the Fed
sementara persepsi para pelaku bisnis terhadap ekonomi ASEAN
tidak terlalu baik. Ketersediaan modal yang mengering diiringi
dengan neraca pembayaran yang mengalami defisit di beberapa
negara mendorong terjadinya juga pelemahan pada nilai tukar mata
uang tercatat hingga 30 Agustus 2013, seluruh mata uang negara
Gambar 19: N21 : Tingkat Inflasi Negara Anggota ASEAN Tahun 2000-Agustus 2013
(yoy, dalam %)
Kekanan inflasi meningkat
Sumber: Sumber: Bloomberg (2013)(Catatan: Myanmar pada tahun 2001 mengalami inflasi 53,8% dan pada tahun 2002 mengalami inflasi 54%)
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
29
Indonesian Economic Review and Outlook
Tabel 9 : Indeks Saham Negara ASEAN: 2009-30/8/2013 (yoy, dalam %)
Pasar Saham Menunjukkan Pelemahan: Arus Balik Modal Asing
Sumber: Bloomberg (2013)
Tabel 8: Nilai Tukar Negara ASEAN Terhadap USD, Tahun 2009- 2013* (yoy, dalam %)
Nilai Tukar Mata Uang Negara ASEAN Cenderung Melemah
Sumber: Bloomberg (2013)
Catatan : 2013 = 30 Agustus 2013
Myanmar pada tahun 2012 mengalami penyesuaian nilai mata uang
anggota ASEAN mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika
Serikat (USD). Pelemahan mata uang terutama pada negara-negara
utama ASEAN (ASEAN-5) seperti Indonesia dan Malaysia yang
memiliki pangsa ekonomi yang besar diperkirakan akan
memberikan dampak pada ekonomi ASEAN secara keseluruhan.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota Association of South
East Asian Nation (ASEAN) menunjukkan kecenderungan
perlambatan selama tengah tahun pertama 2013 ini terutama
disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi global,
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
30
sehingga memangkas ekspornya serta melemahnya konsumsi
karena naiknya inflasi. Data pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2013
menunjukkan bahwa dari total 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN,
hanya 2 (dua) negara yang mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi
year-on-year lebih baik daripada capaian pada tahun 2012 yaitu
Filipina (7,5%) dan Singapura (3,7%).
Filipina pada Kuartal II-2013, berhasil menjaga tingkat konsumsi
penduduk dengan memanfaatkan remitansi yang hingga sebesar
USD 1,7 miliar setiap bulannya serta meningkat pertumbuhan
investasi (capital formation) dan pengeluaran pemerintah (public
spending) yang kecepatannya melebihi pertumbuhan konsumsi.
Keadaan ini ditopang juga karena Filipina ini memiliki tingkat
ketergantungan terhadap perdagangan internasional yang lebih
rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Sementara
Singapura berhasil menjaga pertumbuhan ekonominya berkat
kejelian para pelaku usaha Singapura di bidang perdagangan
wholesale maupun retail yang mampu mencari kesempatan
penurunan ekonomi di Cina dengan melayani perdagangan
internasional Amerika Serikat dan Eropa yang ekonominya
Gambar 22: Tingkat Pertumbuhan PDB Negara Anggota ASEAN Berdasarkan Harga Konstan,
Tahun 1998–Q2/2013 (yoy, dalam %)Perekonomian ASEAN cenderung melambat ditengah ketidakpastian ekonomi global dan instabilitas
ekonomi makro kawasan
Sumber: IMF, CEIC (2013)
Ekonomi Asean
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
31
Indonesian Economic Review and Outlook
cenderung membaik. Menurut beberapa lembaga internasional,
perlambatan ekonomi negara ASEAN hanya dapat dicegah menjadi
lebih buruk apabila pemerintah masing-masing negara mampu
untuk menjaga pertumbuhan konsumsi domestik dan tingkat
investasi, mengingat negara utama di Asia juga mengalami
perlambatan ekonomi seperti Cina yang mengalami pertumbuhan
kuartal II hanya sebesar 7,5% dibandingkan kuartal I sebesar 7,7%
dan India yang pada kuartal II tumbuh hanya sebesar 4,4%
dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 4,8%. Dengan situasi
tersebut terlihat bahwa ketidakpastian yang terjadi pada ekonomi
global diiringi dengan instabilitas ekonomi di kawasan ASEAN
terutama pada indikator inflasi, pasar saham dan nilai tukar mata
uang menyebabkan terjadinya kecenderungan penurunan
pertumbuhan ekonomi pada negara-negara anggota ASEAN.
VII. Isu TerkiniIndonesia di Bawah Bayang-Bayang “Sindrom” Krisis
1Oleh Prof. Tri Widodo, Ph.D
Adakah alasan untuk mencurigai kemungkinan babak baru krisis
ekonomi di Indonesia? Terkait dengan pertanyaan tersebut dan
perkembangan terkini ekonomi Indonesia, terdapat tiga isu
perekonomian makro yang sangat relevan untuk dicermati yaitu
pertumbuhan ekonomi (economic growth), pengangguran
(unemployment) dan stabilisasi (stabilization).
Tiga triwulan terakhir ini pertumbuhan ekonomi mengalami
perlambatan. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah
sebagaimana tercantum dalam APBN-P yang 6,3% kemungkinan
besar tidak akan tercapai. Bank Indonesia (2013) dan BPS(2013)
mencatat bahwa kondisi dua triwulan terakhir menunjukkan
pertumbuhan ekonomi hanya 5,8%. Implikasinya jelas, menurut
rujukan Hukum Okun, kemampuan ekonomi menyerap tenaga
kerja juga berkurang. Kelihatannya trickle-down effect pertumbuhan
ekonomi makro yang 5,8% tersebut jelas kurang mampu menyerap
tenaga kerja, karena permasalahan struktural, seperti daya saing
tenaga kerja, infrastruktur dan lain-lain.
Tidak salah jika kita menyatakan “perekonomian mikro tak seindah
warna perekonomian makro”, artinya keberhasilan indikator
pertumbuhan ekonomi makro kerap dijadikan komoditi pencitraan
Pertumbuhan Ekonomi Melambat
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
32
Isu Terkini
pemerintah, padahal kinerja perekomian mikro seperti
penganguran dan kemiskinan masih relatif payah. Data Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran per Februari
2013 adalah 7,17 juta orang (5,92 %) dari jumlah angkatan kerja di
Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang. Tingkat kemiskinan
bulan Maret 2013 mencapai 11,37%, sehingga kemungkinan besar
target kemiskinan tahun 2013 yang sebesar 10,5 % sulit untuk
dicapai. Apalagi, pesimisme tersebut diperparah dengan tingkat
inflasi yang tinggi pada Juli 2013 tercatat 3,29%.
Inflasi tersebut merupakan dampak rentetan panjang kenaikan
bahan bakar minyak bersubsidi, puasa dan lebaran. Masyarakat
miskin sudah terbiasa di-“ninabobo”-kan oleh kebijakan pemerintah
yang populis, sementara, political-opurtunis dan tidak menyelesaikan
masalah mendasar kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang
melambat tersebut selain mempengaruhi penyerapan tenaga kerja
juga akan mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam
memperoleh pendapatan pajak dan nonpajak. Sedangkan belanja
akan melonjak di tahun politik 2014, sehingga target defisit anggaran
hanya 1,49 % dari PDB kelihatannya susah untuk dicapai.
Industri dan investasi baik asing dan domestik lebih bias pada padat
modal (capital intensive) ketimbang padat karya (labor intensive). Daya
saing tenaga kerja, kegamangan peraturan ketenagakerjaan
memperparah pesimime dunia usaha. Hasil interview dengan
asosiasi pengusaha menunjukkan banyak pengusaha yang semula
bergerak di manufaktur padat tenaga kerja seperti tekstil, elektronik
dan lain-lain beralih pada bisnis yang lebih sedikit berinteraksi
dengan buruh, yaitu bisnis properti di mana sebagian besar tenaga
kerja bisa di-outsourcing-kan. Banyak pengusaha, tidak lagi
memproduksi barang tetapi mereka lebih suka untuk menjadi
pedagang/impor. Impor lebih menarik dan menguntungkan dari
pada berproduksi di domestik.
Kondisi ini memperparah defisit perdagangan. Neraca perdagangan
yang semula surplus USD 0,1 miliar pada Maret 2013, menurun
menjadi defisit USD 1,6 miliar pada April 2013. Bahkan, pada bulan
Juli 2013 tercatat defisit USD 2,3 miliar. Penurunan kinerja neraca
perdagangan pada April 2013 terutama disebabkan oleh
meningkatnya nilai impor sebesar 9,6%. Nilai impor yang
meningkat disebabkan oleh peningkatan impor nonmigas dari USD
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
33
Indonesian Economic Review and Outlook
11 miliar menjadi USD 12,7 miliar, sementara impor migas menurun
sebesar USD 0,3 miliar atau 7,7%. Celakanya lagi, impor kita saat ini
tidak hanya di barang-barang modal, bahan baku dan penolong tetapi
juga barang-barang konsumsi. Ekspor turun dari USD 15,02 miliar
menjadi USD 14,7 miliar turut menyumbang defisit neraca
perdagangan pada April 2013. Ini adalah pertanda masalah struktural
daya saing bangsa.
Transaksi modal dan finansial dinilai memburuk pada kuartal I 2013.
Transaksi modal dan finansial tercatat turun tajam menjadi defisit USD
0,3 miliar pada kuartal I 2013 setelah sebelumnya mengalami surplus
USD 12,08 miliar pada kuartal IV 2012. Defisit di transaksi berjalan dan
tansaksi modal dan finansial secara otomatis menyebabkan defisit
neraca pembayaran USD 6,6 miliar pada kuartal II 2013 setelah
sebelumnya surplus USD 3,2 pada kuartal IV 2012. Defisit neraca
pembayaran ini mendekati kondisi krisis tahun 1998 yang defisit
sebesar USD 9,3 milyar.
Tingkat inflasi pada Juli 2013 tercatat 3,29%, ini dapat dikatakan tidak
buruk meskipun melenceng jauh lebih tinggi dari target yang
ditetapkan pemerintah. Jika dibandingkan dengan tahun krisis
sebelumnya, inflasi Indonesia tahun 2013 yang sebesar 8,79 jauh lebih
baik dibandingkan dengan tahun 1998 yang mencapai 54,54% dan
tahun 2008 sebesar 11,06%. Kondisi cadangan devisa Indonesia pada
tahun 2013 ini menjadi yang terbaik dibandingkan dengan masa krisis
sebelumnya. Pada tahun 1998 Indonesia hanya memiliki cadangan
devisa sebesar USD14,44 milyar dan pada tahun 2008 sebesar USD
57,108 milyar.
Cadangan devisa Indonesia kembali meningkat menjadi USD 107,27
miliar pada April 2013 dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya
tercatat sebesar USD 104,80 miliar. Namun, cadangan tersebut tidak
dibangun dari surplus perdagangan seperti yang terjadi di Cina.
Cadangan devisa tersebut dari sumber yang rapuh hot money yang bisa
hengkang dalam jangka pendek, seperti penerbitan surat utang
internasional (global bond) milik pemerintah pada bulan April 2013.
Total penerbitan tersebut adalah sebesar USD 3 miliar yang terbagi atas
USD 1,5 miliar untuk tenor 10 tahun dengan kupon 3,34%, dan USD 1,5
miliar untuk tenor 30 tahun dengan kupon 4,63%. Sehingga, jika pasar
Amerika dan Eropa yang saat ini dalam krisis - lebih menarik maka
siap-siap saja Indonesia kehilangan devisa tersebut.
Ketidakstabilan Meningkat
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
34
Economic Outlook
Untuk rasio utang pemerintah, tahun 2013 menjadi tahun terburuk
dibandingkan dengan tahun-tahun krisis 1998 dan 2008. Angka ini
dapat dikatakan terlalu tinggi dari batas normal 20 persen. Tahun
1998 dan tahun 2008 DSR Indonesia masih dalam batas wajar yaitu
sebesar 12,84 persen dan 15,3 persen. Di tahun 2013 ini, angka
tersebut melebihi batas mencapai 41,4%. Kondisi nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika pun mengalami kemerosotan tajam pada
periode berjalan 2013. Pada tahun 1998 mata uang rupiah anjlok
hingga IDR 17.000,00/USD. Hal ini bisa dipahami, karena kurs masih
mencari tingkat ekulibrium pasar setelah sekian lama terkungkung
dalam rejim sistem kurs mengambang terkendali. Fluktuasi kurs
2008 dan 2013 menunjukkan mekanisme pasar, sehingga anjloknya
rupiah di 2008 dan 2013 yang masing-masing IDR 11.711,00/USD
dan IDR 11.200,00/USD memang benar-benar kekuatan riil pasar.
Tidak ada alasan untuk tidak mengatakan, Indonesia di tengah
bayang-bayang “sindrom” krisis. Indikator melemahnya
pertumbuhan dan meningkatnya ketidakstabilan menunjukkan hal
ini. Logika sederhana seperti “si miskin” harus mencuri karena
sudah terdesak kebutuhan hidup, jika pengambil keputusan sudah
memilih kebijakan-kebijakan kritis berarti memang kondisi kritis.
Seperti, Bank Indonesia telah membuat kesepakatan perpanjangan
Bilateral Swap Agreement dengan Bank of Japan. Celakanya, dari sisi
pemerintah dan politisi senayan tidak akan melakukan apa-apa “do
nothing” di tahun politik ini. Mereka mencari aman, membangun
citra dengan “omong kosong”, dan tidak akan memikirkan apalagi
mencari terobosan-terobosan pemecahan masalah. Jika krisis benar-
benar terjadi maka untuk bangkit kembali akan lebih berat karena
latar belakang krisis kali ini lebih fundamental dibanding krisis-
krisis sebelumnya: akumulasi mis-manajemen yang menyebabkan
masalah ketidakunggulan bangsa. Terlebih, kebijakan domestik
akan relatif kurang efektif ketika pasar domestik sudah terbuka.
Tahun 2015 Masyakat Ekonomi ASEAN yang membuka pasar
domestik kita untuk berkompetisi secara bebas. Siapkah Indonesia?
Tanpa penanganan yang cepat dan tepat Indonesia bisa terperosok
dalam jurang krisis.
Penutup
VIII. Economic Outlook
Berbagai indikator ekonomi seperti inflasi yang meningkat, nilai
mata uang yang terdepresiasi signifikan, IHSG yang merosot, defisit
transaksi berjalan yang meningkat, cadangan devisa yang merosot,
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
35
Indonesian Economic Review and Outlook
serta laju pertumbuhan ekonomi yang menurun telah menimbulkan
kekhawatiran akan masa depan ekonomi Indonesia. Apalagi
ekonomi dunia diperkirakan akan melemah pertumbuhannya,
bahkan ekonomi Cina dan India yang selama ini tumbuh pesat
mengalami pelemahan yang signifikan. Merosotnya pertumbuhan
ekonomi global dan kawasan yang disertai dengan volatilitas
ekonomi makro yang meningkat di emerging economies seperti India
dan Thailand telah membuat volatilitas pasar keuangan Indonesia
meningkat. Apalagi kekhawatiran bahwa bank sentral Amerika
Serikat akan mengurangi ekspansi moneternya telah membuat
capital outflow dari emerging economies meningkat, termasuk
Indonesia. Kondisi pasar keuangan Indonesia mengkhawatirkan
karena cadangan devisa yang dibangun dari hot money sudah
semakin terkikis, sementara itu Debt Service Ratio jauh di atas 20 %
yang dianggap aman. Demikian juga utang luar negeri swasta yang
semakin besar jumlahnya ternyata sebagian besar adalah jangka
pendek, sehingga meningkatkan permintaan dolar karena banyak
yang jatuh tempo. Padahal defisit transaksi berjalan terus meningkat,
padahal FDI mulai menurun, membuat neraca pembayaran defisit.
Sehingga nilai tukar rupiah terus menurun, demikian juga IHSG juga
terus merosot, yang menimbulkan kepanikkan di pasar. Padahal
kemerosotan nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan berlanjut
karena utang swasta yang jatuh tempo cukup besar dalam setahun
ini, serta capital outflow yang diperkirakan masih akan berlanjut
karena kebijakan tapering bank sentral AS. Dengan demikian
volatilitas pasar modal diperkirakan masih akan berlanjut dan
inflasi masih akan meningkat sehingga daya beli masyarakat
merosot. Padahal investasi akan melemah seiring dengan
menghangatnya suhu politik mendekati Pemilu. Sehingga Gama
Leading Economic Indicator meramalkan tren pemburukkan ekonomi
Indonesia masih akan berlanjut. Ekonomi Indonesia dalam situasi
kritis pada saat ini. Instabilitas ekonomi makro jika terus
berlangsung bahkan meningkat, bisa menyeret ekonomi Indonesia
masuk krisis lagi. Namun demikian jika otoritas ekonomi bisa segera
menstabilkan ekonomi makro sehingga laju pertumbuhan ekonomi
bisa meningkat lagi maka Indonesia bisa selamat. Oleh karena itu
diharapkan otoritas ekonomi bisa mengambil kebijakan yang tepat
dengan cepat untuk mengatasi instabilitas ekonomi makro yang
terjadi.
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
36
halaman ini sengaja dikosongkan
Macroeconomic Dashboard Universitas Gadjah Mada
37
Indonesian Economic Review and Outlook
halaman ini sengaja dikosongkan
INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOKMACROECONOMIC DASHBOARD TEAM
MACROECONOMIC DASHBOARDFAKULTAS EKONOMIKA dan BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADAth
Pertamina Tower Building 4 fl. Room 4.1Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Phone : +62 274 548 517 ext 373Email : [email protected]
Website : www.macroeconomicdashboard.com
Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc.
Head of Researcher
+62 274 548 517 ext 373
Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc. Sc.
Senior Researcher
+62 274 548 517 ext 373
Azka Khairina, S.E.
Junior Researcher
+62 274 548 517 ext 373
Ganendra Widigdya
Research Assistant
+62 274 548 517 ext 373
Fandi Gunawan, S.E.
Web Developer and Layout
+62 274 548 517 ext 373
Prof. Dr. Tri Widodo, M.Ec.Dev.
Senior Researcher
+62 274 548 517 ext 373
Rosa Kristiadi, M.Comm
Researcher
rosa.kristiadimacroeconomicdashboard.com
+62 274 548 517 ext 373
Galih Adhidharma, S.E.
Junior Researcher
+62 274 548 517 ext 373
Reinardus Adhiputra Suryandaru
Research Assistant
+62 274 548 517 ext 373
Ade Febriady
Research Assistant
+62 274 548 517 ext 373
Top Related