PERANAN SISTEM IMUN
TERHADAP SEL KANKER
NAMA : ANATYARA SAFITRI
NIM : 0904015015
KELAS : 4B
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sadar atau tidak, sebenarnya kita hidup lingkungan yang sangat
berbahaya. Lingkungan di sekeliling kita dipenuhi oleh organisme yang
dapat menyebabkan penyakit. Maka dari itu tubuh kita membutuhkan
perlindungan dari bahaya yang ada di sekitar. Sistem pertahanan pada
tubuh atau sistem imun merupakan sistem yang berperan sangat penting
bagi tubuh dalam menjaga kesehatan kita. Sistem pertahanan tubuh
manusia terdiri atas organ limfatik primer (sumsum tulang merah, kelenjar
timus) dan organ limfatik skunder (limpa, nodus limfa, tonsil). Di dalam
tubuh, sistem tersebut dapat mengenali dan membedakan antara materi
asing yang berasal dari luar tubuh dengan materi dari dalam tubuh.
Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein
tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan
melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.
B. Tujuan
Mengetahui bagaimana peranan sistem kekebalan tubuh terhadap
sel-sel kanker dan mengetahui obat imunosupresan apa saja yang
digunakan sebagai antikanker.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Kekebalan Tubuh
Sistem kekebalan (immune system)
adalah sistem pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari
makromolekul asing atau serangan
organisme, termasuk virus, bakteri,
protozoa dan parasit. Sistem kekebalan
juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain
seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang terabrasi
menjadi tumor.
Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel
tubuh dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang
diembannya guna merespon infeksi patogen - baik yang berkembang biak
di dalam sel tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang
berkembang biak di luar sel tubuh (ekstraselular) - sebelum berkembang
menjadi penyakit.
Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang
menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak
nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik
senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan
berlangsung.[1]
Pada mahluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia,
terdapat terdapa dua sistem pertahanan, yaitu:
1. Innate immunity (imunitas non spesifik)
Imunitas non spesifik merupakan mekanisme pertahanan terdepan
yang meliputi komponen fisik berupa keutuhan kulit dan mukosa;
komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim, komplemen; dan
komponen seluler non spesifik seperti netrofil dan makrofag. Netrofil dan
makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan
memperoduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain ke
daerah infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan
mekanisme inflamasi.
2. Adaptive immunity (imunitas spesifik)
Imunitas spesifik memiliki karakteristik khusus, antara lain
kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu;
kemampuannya membedakan antigen asing dengan antigen sendiri; dan
kemampuannya untuk bereaksi secara cepat dan lebih efisien terhadap
antigen yang sudah dikenal sebelunya. Respons imun spesifik ini terdiri
dari dua sistem imunitas utama, yaitu imunitas seluler dan imunitas
humoral. Imunitas seluler melibatkan sel limfosit T, sedangkan imunitas
humoral melibatkan limfosit B dan sel plasma yang memproduksi antibodi. [3]
B. Penyakit Immunodefisiensi/Kelainan Sistem Imun
Penyakit Immunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang
berlainan, dimana sistem kekebalan tidak berfungsi secara adekuat,
sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih sering berulang, luar biasa berat
dan berlangsung lebih lama dari biasanya. [3]
Jika suatu infeksi terjadi secara berulang dan berat (pada bayi baru
lahir, anak-anak maupun dewasa), serta tidak memberikan respon
terhadap antibiotik, maka kemungkinan masalahnya terletak pada sistem
kekebalan. Gangguan pada sistem kekebalan juga menyebabkan kanker
atau infeksi virus, jamur atau bakteri yang tidak biasa.
Penyakit imunodefisiensi kongenital
1. Penyakit dimana terdapat kadar antibodi yang rendah
Common variable immunodeficiency
Kekurangan antibodi selektif (misalnya kekurangan IgA)
Hipogammaglobulinemia sementara pada bayi
Agammaglobulinemia X-linked
2. Penyakit dimana terjadi gangguan fungsi sel darah putih
Kelainan pada limfosit T
Kandidiasis mukokutaneus kronis
Anomali DiGeorge
Kelainan pada limfosit T dan limfosit B
Ataksia-teleangiektasia
Penyakit imunodefisiensi gabungan yang berat
Sindroma Wiskott-Aldrich
Sindroma limfoproliferatif X-linked
3. Penyakit dimana terjadi kelainan pada fungsi pembunuh dari sel darah putih
Sindroma Chediak-Higashi
Penyakit granulomatosa kronis
Kekurangan leukosit glukosa-6-fosfatas dehidrogenasi
Kekurangan mieloperoksidase
4. Penyakit dimana terdapat kelainan pergerakan sel darah putih
Hiperimmunoglobulinemia E
Kelainan perlekatan leukosit
5. Penyakit dimana terdapat kelainan pada sistem komplemen
Kekurangan komplemen komponen 3 (C3)
Kekurangan komplemen komponen 6 (C6)
Kekurangan komplemen komponen 7 (C7)
Kekurangan kompleman komponen 8 (C8)
AGAMMAGLOBULINEMIA X-LINKED
Agammaglobulinemia X-linked (agammaglobulinemia Bruton)
hanya menyerang anak laki-laki dan merupakan akibat dari penurunan
jumlah atau tidak adanya limfosit B serta sangat rendahnya kadar antibodi
karena terdapat kelainan pada kromosom X.
Bayi akan menderita infeksi paru-paru, sinus dan tulang, biasanya
karena bakteri (misalnya Hemophilus dan Streptococcus) dan bisa terjadi
infeksi virus yang tidak biasa di otak. Tetapi infeksi biasanya baru terjadi
setelah usia 6 bulan karena sebelumnya bayi memiliki antibodi
perlindungan di dalam darahnya yang berasal dari ibunya.
Jika tidak mendapatkan vaksinasi polio, anak-anak bisa menderita
polio. Mereka juga bisa menderita artritis. Suntikan atau infus
immunoglobulin diberikan selama hidup penderita agar penderita memiliki
antibodi sehingga bisa membantu mencegah infeksi. Jika terjadi infeksi
bakteri diberikan antibiotik. Anak laki-laki penderita agammaglobulinemia
X-linked banyak yang menderita infeksi sinus dan paru-paru menahun dan
cenderung menderita kanker.
COMMON VARIABLE IMMUNODEFICIENCY
Immunodefisiensi yang berubah-ubah terjadi pada pria dan wanita
pada usia berapapun, tetapi biasanya baru muncul pada usia 10-20 tahun.
Penyakit ini terjadi akibat sangat rendahnya kadar antibodi meskipun
jumlah limfosit Bnya normal. Pada beberapa penderita limfosit T berfungsi
secara normal, sedangkan pada penderita lainnya tidak.
Sering terjadi penyakit autoimun, seperti penyakit Addison, tiroiditis
dan artritis rematoid. Biasanya terjadi diare dan makanan pada saluran
pencernaan tidak diserap dengan baik. Suntikan atau infus
immunoglobulin diberikan selama hidup penderita. Jika terjadi infeksi
diberikan antibiotik.
KEKURANGAN ANTIBODI SELEKTIF
Pada penyakit ini, kadar antibodi total adalah normal, tetapi
terdapat kekurangan antibodi jenis tertentu. Yang paling sering terjadi
adalah kekurangan IgA. Kadang kekurangan IgA sifatnya diturunkan,
tetapi penyakit ini lebih sering terjadi tanpa penyebab yang jelas. Penyakit
ini juga bisa timbul akibat pemakaian fenitoin (obat anti kejang).
Sebagian besar penderita kekurangan IgA tidak mengalami
gangguan atau hanya mengalami gangguan ringan, tetapi penderita
lainnya bisa mengalami infeksi pernafasan menahun dan alergi. Jika
diberikan transfusi darah, plasma atau immunoglobulin yang mengandung
IgA, beberapa penderita menghasilkan antibodi anti-IgA, yang bisa
menyebabkan reaksi alergi yang hebat ketika mereka menerima plasma
atau immunoglobulin berikutnya. Biasanya tidak ada pengobatan untuk
kekurangan IgA. Antibiotik diberikan pada mereka yang mengalami
infeksi berulang.
PENYAKIT IMMUNODEFISIENSI GABUNGAN YANG BERAT
Penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat merupakan
penyakit immunodefisiensi yang paling serius. Terjadi kekurangan limfosit
B dan antibodi, disertai kekurangan atau tidak berfungsinya limfosit T,
sehingga penderita tidak mampu melawan infeksi secara
adekuat.Sebagian besar bayi akan mengalami pneumonia dan thrush
(infeksi jamur di mulut); diare biasanya baru muncul pada usia 3 bulan.
Bisa juga terjadi infeksi yang lebih serius, seperti pneumonia
pneumokistik.
Jika tidak diobati, biasanya anak akan meninggal pada usia 2
tahun. Antibiotik dan immunoglobulin bisa membantu, tetapi tidak
menyembuhkan. Pengobatan terbaik adalah pencangkokan sumsum
tulang atau darah dari tali pusar. [3]
BAB III
PEMBAHASAN
A. Peranan sistem imun seluler terhadap sel kanker
Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan
infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel
plasma dan sel mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi
sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada
umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis.
Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor
tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc,
fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK. Aktivasi sel T melibatkan sel Th
dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel
NK.
a. Sitotoksitas melalui sel T
Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan
interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen
membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang
bersifat lethal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate
(cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi.
Prostaglandin (PG) E 1 dan PGE2 terhadap sitotoksisitas mungkin
diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih
belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan
hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan
Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas T
cell associated enzyme seperti phospholipase diperkirakan merupakan
penyebab rusaknya membran.
Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pul asel
Natural Killer (NK). Sel ini berbentuk large granulocytic lymphocyte (LGL).
Kebanyakan sel ini mengandung reseptor Fc dan banyak yang
mengekspresikan antigen sel T. Lisis sel target dapat terjadi tanpa
paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Sel NK
menunjukkan beberapa spesifisitas yang lebih luas terhadap target tumor
yang biasanya dibunuh lebih cepat dibanding sel normal.
Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toxin
yang terdapat dalam granula LGL, produksi superoksida atau aktivitas
protease serine pada permukaan sel efektor. Sel NK diaktivasi IFN dan II-
2 in vitro. Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan
pemberian IFN, inducer atau imunostimulan seperti Bacille Calmette
Guerin (BCG) dan Corynebacterium (C) parvum. Penghambatan aktivasi
sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2),
phorbol ester, glukokortikoid dan siklofosfamid. Pada banyak kasus, agen
ini langsung mempengaruhi aktivitas NK, sel supresor juga dapat
mempengaruhi sel NK. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi
menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya
distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan
siklofosfamid. Populasi LAK (lymphocyte activated killer) cell dapat
tumbuh di bawah pengaruh IL-2.
b. Sitotoksisitas melalui makrofag
Makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih
cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang
teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif
terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1
sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan
terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan
transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang
resisten terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT.
Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan PG yang dapat
membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi dapat menekan
proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi
dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida.
Sebagai tambahan, makrofag dapat merangsang dan juga menghambat
pertumbuhan sel tumor, yang bergantung dengan bagian yang rentan dari
sel tumor, ratio makrofag dengan sel target dan status fungsional
makrofag. Indometasin dapat menghambat efek perangsangan makrofag
pada pertumbuhan tumor ovarium yang diperkirakan prostaglandin
mungkin berperan sebagai mediatornya.
Macrophage derived factor dapat merangsang pertumbuhan tumor
dan menekan imunitas sel T. Akumulasi makrofag dalam tumor mungkin
menggambarkan interaksi makrofag kompleks dari beberapa faktor dan
juga kinetik produksi monosit oleh sumsum tulang. Jadi status fungsional
makrofag dalam tumor juga berperan.
Makrofag bila diaktifkan oleh limfokin, endotoksin, RNA dan IFN
akan menunjukkan aktivasi berupa adanya perubahan morfologik,
biokimiawi dan fungsi sel. Makrofag yang diaktifkan biasanya menjadi
sitotoksik nonspesifik terhadap sel tumor in vitro. Makrofag dapat pula
berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Di samping itu
makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut
makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri
atau akibat pengobatan. [2]
B. Antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal merupakan termasuk obat imunosupresan.
Antibodi spesifik terhadap antigen CD3 dipermukaan sel limfosit T sudah
digunakan sejak tahun 1980-an pada transpalasi organ, dan terbukti
sangat efektif. Selain digunakan untuk transpalasi organ, antibodi
monoklonal juga dapat di gunakan sebagai antikanker.
Beberapa jenis antibodi monoklonal sudah diakui oleh FDA untuk
digunakan pada tumor jaringan limfoid dan tumor padat. Berbagai
mekanisme kerja antibodi monoklonal meliputi antibody-dependent
cytotoxicity (ADCC), complement-dependent cytotoxicity (CDC) dan
induksi apoptosis secara langsung. Namun mekanisme yang relevan
secara klinik tidak diketahui secara pasti.
Saat ini terdapat berbagai antibodi monoklonal spesifik yang
digunakan sebagai antikanker, yaitu:
a. Transtuzumbab
Antibodi spesifik terhadap reseptor EGF (HER-2/neu receptor) yang
digunakan pada kanker payudara metastatik pada pasien dengan
ekspresi Her-2/neu berlebihan.
b. Rituksimbab
Merupakan antibodi monoklonal (IgG 1) yang mengikat CD20 sel
normal dan sel limfosit B ganas. Obat ini digunakan untuk limfoma
non Hidgkin derajat rendah atau jenis folkuler yang relaps atau
refrakter terhadap pengobatan.
c. Daklizumbab dan Basiliksimbab
Merupakan IgG 1yang spesifik terhadap CD25 (sub unit alfa dari IL-
2) dan berfungsi menghambat ikatan IL-2 pada limfosit yang
teraktivasi, sehingga secara keseluruhan menghasilkan efek
imunosupresi. [4]
Tabel. Berbagai antibodi monoklonal lain yang digunakan sebagai antikanker
Obat Target Indikasi
Alemtuzumbab CD52 LLK sel B dan limfoma
sel T
Gemtuzumbab CD33 LMA
Cetuksimbab EGFR (ErbB-1) Karsinoma kolorektal,
NSCLC, pankreas,
mammae
Bevasizumbab VEGF Karsinoma kolorektal
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Selain melindungi tubuh dari benda asing yang di timbulkan oleh
mikroorganisme, sistem kekebalan tubuh juga dapat berperan sebagai
antikanker seperti antibodi monoklonal.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_kekebalan
2. http://hennykartika.wordpress.com/2009/01/09/peranan-sistem-
imun-seluler-sel-kanker/
3. http://irfansworld.com/2009/06/05/penyakit-
immunodefisiensikelainan-sistem-imun/
4. Anonim. 2007. FARMAKOLOGI DAN TERAPI. Edisi V.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI