IMPLEMENTASI ULTIMUM REMEDIUM DALAM TINDAK PIDANA
PENGHINAAN DAN/ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK PASAL 27 UU
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK
(Skripsi)
Oleh
Benny Rachmansyah
1412011066
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
IMPLEMENTASI ULTIMUM REMEDIUM DALAM TINDAK PIDANA
PENGHINAAN DAN/ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK PASAL 27 UU
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Oleh
Benny Rachmansyah
Kehadiran jejaring sosial di dalam masyarakat membawa perubahan dalam
berkomunikasi. Ketika berada didalamnya maka harus punya etika yang baik dan
benar dalam berinteraksi dengan orang lain, karena Negara telah menjamin melalui
undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE adalah
ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum,
termasuk pencemaran nama baik, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia
yang memiliki akibat hukum bagi kepentingan pribadi maupun kepentingan
Negara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi
Ultimum Remedium dalam perkara penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
Pasal 27 Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE? dan apakah faktor yang menjadi
penghambat dalam pengimplementasian tersebut.
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum
normatif - empiris yang menggunakan data sekunder dan data primer yang berasal
dari buku-buku, atau literatur-literatur hukum, peraturan perundang-undangan,
wawancara serta bahan-bahan lainnya. Sedangkan analisis data menggunakan
analisis kualitatif.
Berdasakan hasil penelitian didapatkan bahwa implementasi ultimum remedium
dalam tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama dilakukan apabila
pelapor dan terduga mengambil langkah mediasi atau musyawarah bedasarkan asas
delik aduan murni dan apabila dilakukan pencabutan perkara oleh pelapor maka
otomatis pidana yang dilakukan akan gugur, dan karena ini delik aduan murni maka
sebagai penyidik (Polri dan Kejaksaan) hanya dapat menghentikan suatu perkara
jika pelapor mencabut perkara tersebut. Faktor yang menjadi penghambat salah
satunya adalah faktor hukum, dalam praktik penyelenggaraan penegakan hukum di
lapangan ada kalanya terjadi pertantangan antara kepastian hukum dan keadilan,
hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat
abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang normatif.
Benny Rachmansyah Kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum tentang UU ITE membuat
masyarakat merasa enggan untuk mematuhinya terlebih sekarang media sosial
mudah diakses oleh semua kalangan.
Saran dalam penelitian ini adalah kesadaran masyarakat, pemerintah, aparat
penegak hukum dan produsen media massa elektronik dan non-elektronik untuk
mengklarifikasi, menyaring berita/informasi yang di dapat, agar tidak
mendistribusikan, berita/informasi hoax yang di dapat untuk mencegah kasus
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terulang kembali, dan demi terciptanya
Indonesia bebas hoax.
Kata kunci: Implementasi, ultimum remedium, pencemaran nama baik.
IMPLEMENTASI ULTIMUM REMEDIUM DALAM TINDAK PIDANA
PENGHINAAN DAN/ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK PASAL 27 UU
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK
Oleh
BENNY RACHMANSYAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Judul Skripsi : IMPLEMENTASI ULTIMUM REMEDIUM
DALAM TINDAK PIDANA PENGHINAAN
DAN/ATAU PENCEMARAN NAMA BAIK
PASAL 27 UU NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK
Nama Mahasiswa : Benny Rachmansyah
No. Pokok Mahasiswa : 1412011070
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. Rini Fathonah, S.H., M.H.
NIP 19541112 198603 1 003 NIP 19790711 200812 2 001
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
Eko Raharjo, S.H., M.H.
NIP 19610406 198903 1 003
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua Penguji : Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. .....................
Sekretaris/Anggota : Rini Fathonah, S.H., M.H. .....................
Penguji Utama : Eko Raharjo, S.H., M.H. .....................
2. Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H.
NIP 19600310 198703 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 29 Oktober 2019
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Benny Rachmansyah
NPM : 1412011070
Jurusan : Pidana
Fakultas : Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Implementasi
Ultimum Remedium Dalam Tindak Pidana Penghinaan dan/atau Pencemaran
Nama Baik Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik” adalah benar-benar hasil karya sendiri dan bukan hasil
plagiat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 Peraturan Akademik Universitas
Lampung dengan Surat Keputusan Rektor Nomor 3187/H26/DT/2010.
Bandar Lampung, 29 Oktober 2019
Benny Rachmansyah
NPM 1412011070
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Benny Rachmansyah, dilahirkan di
Seputih Banyak pada tanggal 27 Juni 1996. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan
Bapak Drs. Sukartin dan Ibu Mursiyatun, S.Pd.
Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak-Kanak RA Muslimat NU 03
pada Tahun 2002 dan pada Tahun 2008 penulis masuk di SD Negeri 1 Sido
Binangun Lampung tangah. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Way Seputih Lampung Tengah pada Tahun
2011 dan menyelesaikan Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4
Metro pada Tahun 2014.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada
tahun 2014 melalui jalur SNMPTN. Penulis juga mengikuti kegiatan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Sendang Ayu Kecamatan Padang Ratu,
Kabupaten Lampung Tengah pada periode I Tahun 2017. Selama menjadi
mahasiswa, penulis aktif dan menjabat sebagai ketua umum di unit kegiatan
mahasiswa Taekwondo Universitas Lampung 2015-2016. Kemudian pada Tahun
2019 penulis menyelesaikan skripsi sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Hukum Universitas Lampung.
MOTO
“Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”
(Tan Malaka)
“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang
sendirian”
(Soekarno)
“Keberhasilan bukanlah milik orang yang pintar, melainkan kepunyaan mereka
yang senantiasa berusaha”
(Bacharuddin Jusuf Habibie)
PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, aku
persembahkan skripsi ini kepada:
Kedua orang tuaku, Bapak Drs. Sukartin dan Ibu Mursiyatun, S.Pd., yang selalu
mencintaiku, membimbingku dan mengasihiku dalam segala kekurangan yang ku
miliki. Tak ada di dunia ini yang kucintai melebihi kalian dan Tuhan YME.
Kasihmu membangun keinginanku untuk selalu berjuang dan terus maju. Syukur
ku ucapkan kepada kalian karena telah memberikan dukungan moril atau pun
materil juga terima kasih atas doa yg mengalir kepada ku sehingga aku
mendapatkan gelar sarjana ini. Terima kasih bapak dan ibu kalian adalah
penyemangat, kebahagiaan dan sumber inspirasiku.
SANWACANA
Puji syukur selalu penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan
judul “Implementasi Ultimum Remedium Dalam Tindak Pidana Penghinaan
dan/atau Pencemaran Nama Baik Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik” sebagai salah satu syarat
mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak, Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Bapak Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh
luar biasa serta kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan
skripsi ini.
5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh
luar biasa dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini.
6. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan waktu, masukan dan saran selama penulisan skripsi ini.
7. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan waktu, masukan, kritikan dan saran selama penulisan skripsi ini.
8. Ibu Melly Aida, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan nasehat dan bantuannya serta bimbingannya selama proses
pendidikan Penulis di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
9. Bapak Ketut Suryana, S.H., M.M. selaku KASUBDIT II DIR RESKRIMSUS
Kepolisian Daerah Lampung yang telah bersedia membantu memberikan
bantuan kepada penulis, memberikan arahan, masukan serta saran selama
penulisan skripsi ini.
10. Bapak Ilhamd Wahyudi, S.H., M.H. selaku Asisten Tindak Pidana Umum
Kejaksaan Tinggi Lampung yang memberikan Informasi penelitian dan
membantu dalam proses penelitian untuk penyusunan skripsi ini.
11. Bapak Suprabowo, S.H., M.H. selaku Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi
Tanjungkarang yang telah bersedia membantu memberikan bantuan kepada
penulis, memberikan arahan, masukan serta saran selama penulisan skripsi
ini.
12. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung
Terutama Bu Asmawati, Bude Siti dan Mas Rizal terima kasih atas
bantuannya selama ini.
13. Teristimewa kepada Adik-Adik ku Ilham Ridwansyah dan Dina
Luthfiatunnisa yang senantiasa mendoakan, memberi dukungan, semangat
dan menjadi motivasi keberhasilanku dalam menyelesaikan studi maupun
kedepannya.
14. Teristimewa pula kepada Cinda Marsya Diandara, S.H. yang telah memberi
dukungan dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
15. Sahabat Kosdet Abdul Fatah, S.H., Abram Yossi Ginting, S.H., Achmad
Nazir, S.H., Aditya Pratama, S.H., Ahmad Ridho Syihab S.H., Alvin Viko
Pratama, S.H. Ambar Pujotomo, S.H., Ari Setia Bekti, S.H. Arliwaman, S.H.,
Aryanto Sofyan, S.H., Aulia Imanullah, S.H., Bagas Dewantara, S.H., Bibid
Widayntoro, S.H., Credho Dillaro,S.H., Dendi Firnando, Ahmad Fariz
Zakirfan, S.H., M. Iqbal Hasan S.H., dan serta seluruh elemen sahabat yang
tidak secara langsung membantu penulis namun selalu menyemangati dan
mendoakan yang terbaik untuk penulis.
16. Kawan-kawan seperjuangan angkatan 2014 Dini Destia Amir, S.H., Bulan
Ramadhina, S.H., M. Ricky Adhitama, S.H., M. Agung Prabowo, S.H., Ingga
Palesa, S.H., Astri Juniar Wulan, S.A.N., Fatriany Maulyta, S.A.N., dan
kawan-kawan lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.
17. Saudara-saudari KKN Desa Sendang Ayu, Teguh Angga Saputra, S.T.P.
Aprina Adha Widiastini, S.Ked., Asih Winarti, S.A.N., Istiqomah Nur Aini,
Wayan Muryana, Siti Nursholekhah. Terima kasih atas 40 hari yang penuh
kenangan. Canda tawa dan kebahagiaan serta drama-drama KKN yang sangat
membekas tak akan terlupakan. Terima kasih.
18. Kawan-kawan UKM Taekwondo Universitas Lampung Eko, Chandra,
Bunga, Titin, Imam, Wahyu, David dan semua anggota UKM Taekwondo
Unila yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
19. Untuk Almamaterku Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi
orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak
yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Penulis mengucapkan
banyak terima kasih.
20. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam
penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan banyak terima kasih.
Semoga Allah memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah dan wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis
khususnya.
Bandar Lampung, 29 Oktober 2019
Penulis
s
Benny Rachmansyah
DAFTAR ISI
Halaman
COVER .......................................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ v
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
MOTO ............................................................................................................. ix
SANWACANA ............................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................................... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ..................................................... 10
E. Sistematika Penulisan ........................................................................ 16
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ultimum Remedium ............................................................................ 18
B. Pengertian Tindak Pidana .................................................................. 22
C. Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik ................................... 26
D. Perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik .......................... 32
E. Konsepsi Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik dalam Sistem
Hukum Indonesia ............................................................................... 34
F. Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE ......... 36
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah........................................................................... 43
B. Sumber dan Jenis Data ....................................................................... 44
C. Karakteristik Narasumber .................................................................. 46
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................... 47
E. Analisis Data ...................................................................................... 48
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana
Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik Pasal 27 UU
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ........................................................................................... 49
B. Faktor penghambat Implementasi Ultimum Remedium dalam Perkara
Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik Pasal 27 UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik .................. 58
V. PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................... 72
B. Saran .................................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ultimum remedium berarti sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang
lain sudah tidak berdaya. Dengan kata lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana
dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir setelah sanksi perdata, maupun sanksi
administratif, agar selain memberikan kepastian hukum juga agar proses hukum
pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun
terhadap pelaku itu sendiri.1
Perkembangan ilmu hukum pidana yang sudah jauh lebih maju, upaya “ultimum
remedium” merupakan senjata terakhir dipergunakan. Senjata terakhir (ultimum
remedium) merupakan upaya-upaya lain sudah ditempuh. Baik gugatan perdata,
sanksi administrasi maupun upaya-upaya lain.2
Mekanisme ini didasarkan selain agar tercapainya hukum menciptakan keadilan,
memudahkan “penagihan” kerugian negara maupun menghemat biaya persidangan
yang cenderung lama-lama, rumit bahkan ketika akan dijatuhi eksekusi seringkali
1 Wirjono P. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung: Refika. 2003) hlm. 14. 2 Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Yogyakarta: Liberty. 2006) hlm.
128.
2
harus bertete-tele, juga dengan prinsip hukum itu sendiri yaitu memberikan kepastian
hukum baik kepada negara maupun kepada pelaku itu sendiri.
Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah
menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual
sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian
yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena
menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar,
demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan
seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan
atau Nama baik sudah cukup dijadikan alasan menuduh seseorang melakukan
penghinaan, penghinaan juga sering terjadi di dalam media sosial, dewasa ini telah
menjadi pendukung adanya interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat,
menggunakan teknologi berbasis web yang mengubah suatu komunikasi ke dalam
dialog interaktif. Beberapa contoh-contoh situs media sosial yang sangat populer saat
ini adalah Facebook, Twitter, Blogger dan Instagram.
Andreas M. Kaplan dan Michael Haenlein membagi jenis media sosial menjadi 6
yaitu sebagai berikut:
a. Collaborative projects dimana ada kerjasama dalam kreasi konten yang
dilaksanakan oleh beberapa pengguna secara simultan, seperti Wikipedia.
Beberapa situs jenis ini membolehkan penggunanya untuk melakukan
penambahan, menghilangkan, atau mengubah konten. Bentuk lain dari
collaborative projects misalnya social bookmarking yang membolehkan koleksi
berbasis kelompok dan peringkat kaitan internet atau konten media;3
3 Kaplan, Andreas M, Michael Haenlein Users of the world, opportunities of Social Media. Bussines
Horizons. (Jakarta: Pustaka Ilmu. 2010) hlm. 53.
3
b. Blogs merupakan bentuk media sosial yang paling awal dan tumbuh sebagai
web pribadi dan umumnya memperlihatkan date-stamped entries dalam bentuk
kronologis. Jenis blog yang sangat terkenal yaitu blog berbasis teks;
c. Content communities memiliki tujuan pokok untuk berbagi konten media
diantara para pengguna, yang didalamnya berupa teks, foto, video, dan
powerpoint presentation. Para pengguna tidak lagi untuk membuat halaman
profil pribadi;
d. Social networking sites dimana para pengguna terhubung dengan menciptakan
informasi profil pribadi dan mengundang teman dan kolega untuk mengakses
profil serta untuk mengirim surat elektronik dan pesan instan. Profil tersebut
meliputi foto, video, berkas audio, blogs dan masih banyak lagi. Contohnya
seperti Facebook, MySpace, dan Google+;
e. Virtual games worlds adalah platform yang menirukan lingkungan ke dalam
bentuk tiga-dimensi sehingga membuat para pengguna muncul dalam bentuk
avatar pribadi dan berinteraksi sesuai aturan-aturan permainan;
f. Virtual sosial worlds dimana para inhabitan dapat memilih perilaku secara
bebas dan untuk hidup dalam bentuk avatar di sebuah dunia virtual yang sama
beserta kehidupan nyata. Misalnya Second Life.4
Media sosial mempunyai fungsi yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat,
adapun fungsi media sosial diantaranya sebagai berikut:
a. Media sosial adalah media yang didesain untuk memperluas interaksi sosial
manusia dengan menggunakan internet dan teknologi web;
b. Media sosial berhasil mentransformasi praktik komunikasi searah media siaran
dari satu institusi media ke banyak audience (one to many) ke dalam praktik
komunikasi dialogis antara banyak audience (many to many);
c. Media sosial mendukung demokratisasi pengetahuan dan juga informasi.
Mentranformasi manusia dari pengguna isi pesan menjadi pembuat pesan itu
sendiri.5
Masyarakat sekarang ini cenderung lebih suka membaca berita atau informasi melalui
media elektronik maupun media sosial dibanding membaca dari buku atau koran,
kemudahan akses bagi masyarakat yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang
4 Ibid hlm. 67. 5 Ludwig Suparmo, Manajemen Krisis, Isu dan Resiko dalam Komunikasi. (Jakarta: Campustaka.
2018), hlm.6.
4
bertujuan untuk menjatuhkan musuh atau lawan politik melalui berita-berita bohong
atau hoax.
Sebagai contoh terdapat beberapa kasus pencemaran nama baik yang diperantarai
media sosial yang mengimplementasikan ultimum remedium:
1. AMU, Sidang itu terkait kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 45 ayat
3 jo pasal 27 UU yang menjerat terdakwa. Nasihan SH dalam
eksepsinya meminta agar kasus uamg membelit kliennya dihentikan. Sebab
menurutnya, pelapor dan terlapor sudah melakukan perdamaian yang dibuktikan
dengar surat pernyataan kedua pihak pada tanggal 17 Maret 2017 dan perkara
telah dicabut. "Kasus ini tidak bisa dilanjutkan karena kedua belah pihak telah
melakukan perdamaian," katanya. Nasihan juga mengungkapkan kalau dakwaan
JPU (jaksa penuntut umum) tidak cermat dan melanggar ketentuan hukum acara
pidana.6
2. Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia
(APRI) Deliserdang7, sidang RH digelar di Pengadilan Negeri (PN) Me-
dan. Dalam sidang itu, ia meminta maaf kepada Wakil Direktur Reskrimsus
Polda Sumut, AKBP Maruli Siahaan usai menjadi saksi atas kasus tersebut. Se-
bab, nama Maruli dicatut dan dipalsukan tanda tangannya oleh terdakwa untuk
6 https://www.bangsaonline.com/berita/32883/sudah-damai-ph-minta-sidang-kasus-pencemaran-nama-
baik-oleh-kader-golkar-gresik-andhy-dihentikan. 7 http://harian.analisadaily.com/kota/news/terdakwa-pencemaran-nama-baik-minta-
maaf/362922/2017/06/15.
5
memeras sejumlah pengusaha tambang. Menurut Maruli, terdakwa telah meraup
uang ratusan juta dari para pengusaha di wilayah Kota Medan dan Deliserdang.
Berdasarkan temuan pihaknya, tersangka sudah berulang kali berhasil melakukan
aksi ini. Di tengah wawancara dengan wartawan, terdakwa RH dengan tiba-tiba
mendatangi Maruli Siahaan. Terdakwa langsung meminta maaf atas
perbuataannya dan mengakui kesalahan. "Saya minta maaf ya pak," ucapnya.
Maruli mengaku sudah memaafkan atas perbuatan terdakwa. "Ya, tidak apa-apa.
Saya sudah maafkan. Kemarin itu saya sudah pernah ke rumahnya, ternyata dia
ini (RH) orang susah. Jangan diulangi lagi ya," jawab Maruli sambil menjabat
tangan RH.
3. RA alias B, Setelah ditetapkan tersangka atas kasus ITE dengan mencemarkan
nama baik Ahmad Dhafir, Bakal Calon Bupati Bondowoso8, pemilik akun RA
atau B meminta maaf didampingi keluarga dan admin group. Permintaan maaf
ini disambut baik dengan pencabutan laporan dari pelapor. Pria 25 tahun itu
mendatangi rumah Dinas Ketua DPRD Bondowoso, bersama keluarga dan para
admin pengurus group facebook Suara Rakyat Bondowoso (SRB). Kedatangan
rombongan ini untuk meminta maaf kepada Ahmad Dhafir Bakal Calon Bupati
Bondowoso. Ahmad Dhafir sendiri merupakan objek dalam postingan 30
Desember 2018, disebut seorang koruptor. Banyaknya pembaca postingan
medsos, akhirnya membuat B dilaporkan atas kasus pencemaran nama baik dan
ITE. Tim cyber Satreskrim Polres Bondowoso kemudian menangkap serta
8http://pojokpitu.com/baca.php?idurut=58999&&top=1&&ktg=Jatim&&keyrbk=Hukum&&keyjdl=ak
un#.
6
menetapkan status tersangka. Upaya kekeluargaan ditempuh pihak tersangka
dengan permintaan maaf. Warga Desa Trotosari Kecamatan Tlogosari ini
mengaku khilaf dan tidak ada maksud apapun dalam postingannya. Sementara itu
achmad Dhafir, pelapor berjanji akan segera mencabut laporannya, dengan
harapan tidak lagi memposting kata-kata mencemarkan dan tidak berdasar.
Sementara itu Admin group SRB berjanji akan lebih selektif membagikan
kiriman dari member. Pihaknya juga akan bertanggungjawab jika terjadi hal
serupa dikemudian hari.
Beberapa kasus pencemaran nama baik yang diperantarai media sosial yang tidak
mengimplementasikan ultimum remedium:
1. BH, warga BSD City Tangerang. Ia di dakwa melakukan pelanggaran Pasal 27
UU 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan di
vonis dengan pidana penjara selama enam bulan dengan ketentuan pidana
tersebut tidak perlu dijalankan jika dalam percobaan satu tahun terdakwa tidak
mengulangi perbuatannya. B H yang dijerat Pasal 27 UU 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).9
2. FFH, terdakwa penghinaan warga Yogyakarta divonis 2 bulan penjara dan 6
bulan percobaan dengan denda sebesar 10 juta. Ia dinilai terbukti
mendistribusikan informasi elektronik yang memuat penghinaan dan pencemaran
9https://nasional.kompas.com/read/2013/09/05/2350121/Benny.Handoko.Pemilik.Akun.benhan.Ditaha
n.
7
nama baik. Sidang digelar di PN Yogyakarta. FFH didakwa melanggar Pasal 27
ayat 3 jo. Pasal 45 ayat 1 UU ITE No 11/2008 (31/3/2015).10
3. MFB alias RA, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan yang diketuai
Wahyu Prasetyo Wibowo, menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan
atau 18 bulan penjara kepada MFB alias RA (18), remaja yang menghina
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kapolri Tito Karnavian melalui
postingannya di situs jejaring sosial facebook dan twitter. Farhan juga dijatuhi
pidana denda senilai Rp10 juta subsider 1 bulan kurungan. Dalam amar
putusannya, majelis hakim menilai bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan di
persidangan, Farhan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, karena
melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan,
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan
penghinaan serta pencemaran nama baik Presiden Joko Widodo dan Kapolri
Jenderal Tito Karnavian. Perbuatan itu melanggar Pasal 45 Ayat (3) UU RI
Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo Pasal 27 Ayat (3) UU RI No. 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Memutuskan,
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 1 tahun dan 6 bulan serta denda
Rp10 juta dengan ketentuan denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana
10 https://news.detik.com/berita/2875047/kasus-penghinaan-di-medsos-florence-dihukum-percobaan-
dan-denda-rp-10-juta.
8
selama 1 bulan,11" ujar hakim Wahyu, saat membacakan amar putusannya di PN
Medan, Selasa (16/1/2018).
Tidak melalui proses jalur alternatif terlebih dahulu seperti kekeluargaan,
negosiasi dan mediasi tetapi langsung melakukan peradilan pidana, hal ini tentu
tidak seperti yang di amanatkan ultimum remedium yang menyatakan bahwa
hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisis tentang
implementasi ultimum remedium dalam tindak pidana penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik dan merumuskan faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam
upaya penegakan hukum pidana dalam kasus tersebut. Oleh karena itu dalam skripsi
ini penulis membuat penelitian dengan judul “Implementasi Ultimum Remedium
Dalam Tindak Pidana Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik Pasal 27 UU
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi Ultimum Remedium dalam perkara penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE?
11 https://news.okezone.com/read/2018/01/16/340/1845742/remaja-penghina-presiden-dan-kapolri-
divonis-18-bulan-penjara.
9
2. Apakah faktor penghambat implementasi Ultimum Remedium dalam perkara
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 Nomor 11 Tahun 2008
tentang ITE?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui implementasi Ultimum Remedium dalam perkara
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 Nomor 11 Tahun 2008
tentang ITE.
b. Untuk Mengetahui faktor penghambat implementasi Ultimum Remedium
dalam perkara penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 Nomor
11 Tahun 2008 tentang ITE.
2. Kegunaan Penelitian ini adalah:
a. Kegunaan Teoritis:
1. Hasil penelitian dapat memberikan kegunaan untuk mengembangkan
ilmu hukum khususnya hukum pidana.
2. Dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian lain yang sesuai
dengan bidang penelitian yang diteliti penulis.
b. Manfaat Praktis:
4. Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi masyarakat atau
praktisi hukum dan instansi terkait tentang implementasi Ultimum
remedium dalam tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.
10
5. Dengan dibuatnya ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
para penegak hukum tentang implementasi Ultimum remedium dalam
tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggaran, pendapat, cara, aturan,
keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan
pedoman untuk mencapai tujuan penelitian atau penulisan.12
Berdasarkan pernyataan di atas maka kerangka teoritis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Ultimum Remedium
Ultimum remidium berarti sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang
lain sudah tidak berdaya. Dengan kata lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana
dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir,setelah sanksi perdata, maupun sanksi
administratif, agar selain memberikan kepastian hukum juga agar proses hukum
pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun
terhadap pelaku itu sendiri.
b. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)
Pendapat Peter G Hoefnagels mengartikannya sebagai criminal policy is the rational
organization of the control of crime by society (upaya rasional dari suatu Negara
12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004),
hlm.65.
11
untuk menanggulangi kejahatan). Dalam Kebijakan Kriminal tersebut selanjutnya
diuraikan bahwa Criminal Policy sebagai a science of responses, science of crime
prevention, policy of designating human behavior as a crime (ilmu tentang
tanggapan, ilmu pencegahan kejahatan, kebijakan menunjuk perilaku manusia
sebagai kejahatan) dan rational total of the responses to crime. (tanggapan rasional
total terhadap kejahatan). Selain terdapat persyaratan bahwa menentukan perbuatan
mana yang akan dikriminalisasi yaitu bahwa perbuatan itu tercela, merugikan dan
mendapat pengakuan secara kemasyarakatan bahwa ada kesepakatan untuk
mengkriminalisasi dan mempertimbangkan cost and benefit principle, tetapi juga
harus dipikirkan jangan sampai terjadi over criminalization.
Untuk menghindari over ciminalization maka diingatkan beberapa rambu-rambu
antara lain bahwa:
1) Fungsi Hukum Pidana adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala
masyarakat;
2) Ilmu Hukum Pidana dan perundang-undangan Hukum Pidana harus
memperhatikan hasil-hasil penelitian anthropologis dan sosiologis;
3) Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki Negara untuk
memerangi kejahatan namun pidana bukan merupakan satu-satunya alat,
sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi
dengan tindakan-tindakan sosial lainnya, khususnya dalam kombinasi dengan
tindakan-tindakan preventif.
12
c. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Keberhasilan proses perlindungan dan penegakan hukum tidaklah semata-mata
menyangkut ditegakkannya hukum yang berlaku, akan tetapi menurut Soerjono
Soekanto sangat tergantung pula dari beberapa faktor, antara lain:
1) Hukumnya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah undang-undang dibuat tidak
boleh bertentangan dengan ideologi negara, dan undang-undang dibuat haruslah
menurut ketentuan yang mengatur kewenangan pembuatan undangundang
sebagaimana diatur dalam Konstitusi negara, serta undang-undang dibuat
haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat di mana undang-
undang tersebut diberlakukan.
2) Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam bidang
penegakan hukum. Penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik
sesuai dengan peranannya masing-masing yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam menjalankan tugas tersebut dilakukan dengan
mengutamakan keadilan dan profesionalisme, sehingga menjadi panutan
masyarakat serta dipercaya oleh semua pihak termasuk semua anggota
masyarakat.
3) Masyarakat, yakni masyarakat lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan. Maksudnya warga masyarakat harus mengetahui dan memahami
hukum yang berlaku, serta menaati hukum yang berlaku dengan penuh kesadaran
akan penting dan perlunya hukum bagi kehidupan masyarakat.13
4) Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana atau
fasilitas`tersebut mencakup tenaga manusia yang terdidik dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan
sebagainya. Ketersediaan sarana dan fasilitas yang memadai merupakan suatu
keharusan bagi keberhasilan penegakan hukum.
5) Kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dalam hal ini kebudayaan mencakup
nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga dianut,
dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari.14
13 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta,
2002), hlm. 33. 14 Ibid. hlm 34.
13
2. Konseptual
Kerangka Konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan
dengan istilah yang akan diteliti atau diinginkan.15 Konseptual adalah susunan
berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.
Berdasarkan definisi diatas maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu,
pejabat, kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.16
b. Ultimum Remedium adalah salah satu yang terdapat di dalam hukum pidana
Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya
terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiliki makna apabila suatu
perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi,
perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu
dilalui.17
c. Tindak Pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang
dikenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang–Undang
Hukum Pidana) dengan perbuatan pidana atau peristiwa pidana. Kata Strafbar feit
inilah yang melahirkan berbagai istilah yang berbeda–beda dari kalangan ahli
15 Soerjono Soeakanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1986), hlm. 132. 16 Van Horn, The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework, (Bandung: Pijar Pustaka.
1975), hlm. 447. 17 Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Yogyakarta: Liberty. 2006),
hlm.128.
14
hukum sesuai dengan sudut pandang yang berbeda pula. Ada yang menerjemahkan
dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan sebagainya. Dari pengertian secara
etimologi ini menunjukan bahwa tindak pidana adalah perbuatan kriminal, yakni
perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dalam pengertian ilmu hukum, tindak
pidana dikenal dengan istilah crime dan criminal.18
d. Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik adalah menganggap rendah derajat orang
lain, meremehkannya atau mengingatkan cela-cela dan kekurangan-kekurangan
baik secara lisan maupun tertulis. Selain itu arti penghinaan yang tercantum di
dalam KUHP BAB XVI dari buku II KUHP tentang penghinaan dijelaskan bahwa
"menghina" yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dan yang
diserang itu biasanya merasa "malu". Kehormatan yang diserang disini hanya
mengenai kehormatan tentang "nama baik", bukan kehormatan dalam lapangan
seksuil.
e. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor
11 tahun 2008 atau UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta
transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki
yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakuikan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Secara umum, materi Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian
besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan
pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi
dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti
18 Andi Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana 1 (Jakarta: Sinar Grafika. 1981), hlm. 132.
15
UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature.
Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di
internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam
melakukan transaksi elektronik.
Beberapa materi yang diatur, antara lain:
1. Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah
(Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
2. Tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 &
Pasal 14 UU ITE); dan
4. Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)
5. Perbuatan yang dilarang (cybercrimes). Beberapa cybercrimes yang diatur
dalam UU ITE, antara lain:
a. Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,
penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan
(Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
b. Akses ilegal (Pasal 30);
c. Intersepsi ilegal (Pasal 31);
d. Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
e. Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
f. Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU
ITE)
16
E. Sistematika Penulisan
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi,
permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan,
kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian-
pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang
bersifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan
antara teori dan praktik.
III. METODE PENULISAN
Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang
digunakan dalam pendekatan masalah serta uraian tentang sumber-sumber data,
pengolahan data dan analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan jawaban atas pembahasan dari pokok masalah yang akan dibahas yaitu
implementasi ultimum remedium dalam tindak pidana penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik pasal 27 uu nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik.
17
V. PENUTUP
Bab ini merupakan hasil dari pokok permasalahan yang diteliti yaitu merupakan
kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang berhubungan dengan permasalahan
yang ada.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ultimum Remedium
1. Pengertian Ultimum Remedium
Istilah ultimum remedium pertama kali diucapkan oleh Menteri Kehakiman
Belanda, Mr. Modderman. Menurut Modderman, ultimum remedium adalah:
bahwa yang dapat dihukum, pertama, adalah pelanggaran-pelanggaran hukum.
Ini merupakan conditio sine qua non. Kedua, adalah bahwa yang dapat dihukum
itu adalah pelanggaran-pelanggaran hukum, yang menurut pengalaman tidaklah
dapat ditiadakan dengan cara-cara yang lain. Hukuman itu hendaklah
merupakan suatu upaya yang terakhir.19 Pendapat ini selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh Remmelink, bahwa pidana sebagai hukum yang bersanksi
tajam pada asasnya hanya akan dijatuhkan, apabila mekanisme penegakan hukum
lainnya yang lebih ringan telah tidak berdaya guna atau sudah sebelumnya
dipandang tidak cocok.20 Dengan demikian, jika pihak penguasa berpendapat
bahwa tujuan-tujuannya dapat dicapai dengan mendayagunakan peraturan-
peraturan di bidang keperdataan, administratif, hukum disipliner atau pengaturan
19 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 17 20 Jan Remmelink, Hukum Pidana. Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.15.
19
kemasyarakatan faktual lainnya, maka hukum pidana baik untuk sebagian
maupun keseluruhan tidak akan difungsikan.21
Sedangkan menurut De Bunt, ultimum remedium mempunyai tiga pengertian,
yaitu: Pertama, hukum pidana hanya diterapkan terhadap perbuatan- perbuatan
yang sangat tidak benar secara etis. Pada tahun 1989, Menteri kehakiman Belanda
pernah menyatakan bahwa hukum pidana pada umumnya harus dilihat sebagai
ultimum remedium. Artinya, bahwa perbuatan beratlah yang harus ditanggulangi
oleh hukum pidana. Dalam hal ini, pengertian ultimum remedium diartikan secara
klasik; hukum pidana secara khusus merupakan instrumen penegakan hukum
yang khusus. Harus dicegah bahwa obat jangan lebih berat daripada kejahatan.
Hukum pidana merupakan alat yang sangat berat karena ciri khas pidana adalah
nestapa yang dengan sengaja dikenakan. Oleh karena itu, hukum pidana harus
dipandang sebagai ultimum remedium.22 Kedua, ultimum remedium menurut De
Bunt adalah dalam arti harfiah, yaitu alat (obat) yang terakhir. Hal ini
dikemukakan oleh Menteri Kehakiman Belanda De Ruiter yang menyatakan
bahwa hukum pidana sebagai alat yang terakhir. Hukum pidana menjadi obat
yang terakhir karena membawa dampak sampingan yang merugikan. Hukum
pidana menyinggung sangat dalam terhadap kehidupan pribadi terpidana
(perampasan kemerdekaan, proses acara dengan alat paksa, dan noda).23
Hukum pidana sebagai obat terakhir juga dikemukakan oleh Sudarto. Menurut
Sudarto, hukum pidana hendaknya baru diterapkan jika sarana (upaya) lain sudah
tidak memadai, maka dikatakan pula bahwa hukum pidana mempunyai fungsi
21 Ibid, hlm. 28. 22 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 69. 23 Ibid, hlm. 70.
20
yang subsidiair (asas subsidiaritas).24
Ketiga, pengertian ultimum remedium yaitu
pejabat administratiflah yang pertama-tama harus bertanggung jawab. Jika pejabat
administratif dipandang sebagai yang pertama- tama bertanggung jawab, dan oleh
karena itu berarti bahwa kekuasaan yustisial ditempatkan sebagai ultimum
remedium. Pejabat administratif harus bereaksi terlebih dahulu. Pejabat yang
memberi ijin harus terlebih dahulu memberi sanksi jika ijin dilanggar.25
Pidana sebagai ultimum remedium, terkait dengan apa yang dikemukakan oleh
Sudarto, bahwa faktor penyebab terjadinya kejahatan sangat kompleks dan berada
di luar jangkauan hukum pidana. Wajarlah hukum pidana mempunyai
keterbatasan kemampuan untuk menanggulanginya. Penggunaan hukum pidana
merupakan penanggulangan sesuatu gejala dan bukan suatu penyelesaian
dengan menghilangkan sebab-sebabnya.26
Keterbatasan kemampuan hukum
pidana disebabkan oleh sifat/hakikat dan fungsi dari hukum pidana itu sendiri.
Sanksi hukum pidana bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab
(sumber) penyakit, tetapi sekadar untuk mengatasi gejala/akibat dari penyakit.
Dengan kata lain, sanksi (hukum) pidana bukanlah “pengobatan kausatif”, tapi
sekedar “pengobatan simptomatik.27
24 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 22. 25 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 71. 26 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, dalam Barda Nawawi Arief,
Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1998), hlm. 44. 27 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 44.
21
Ultimum Remedium sebagai salah satu asas hukum di Indonesia diartikan sebagai
penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam
penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa ultimum
remedium sebagai alat terakhir.28
Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa ultimum
remedium tidak hanya suatu istilah, tetapi juga merupakan suatu
asas hukum. Mengenai asas hukum, antara lain mengatakan bahwa
asas hukum sifatnya abstrak. Karena sifatnya itu, asas hukum pada
umumnya tidak tidak dituangkan dalam bentuk peraturan atau
pasal yang konkrit, seperti:
1. Point d’interet point d’action (siapa yang mempunyai
kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan);
2. Restitutio in integrum (pengembalian kepada keadaan semula);
3. In dubio pro reo (dalam hal keragu-raguan hakim harus
memutuskan sedemikian hingga menguntungkan terdakwa);
4. Res judicata pro veritate habetur (apa yang diputus hakim
harus dianggap benar);
5. Setiap orang dianggap tahu akan undang-undang;
6. Perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.29.
Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di
dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum
pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan
hukum. Perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain
(kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum
administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.30
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa ultimum remedium
merupakan norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum
tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama
ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma
dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi
dengan sanksi perdata. Hanya, apabila sanksi administrasi dan
sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan
meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga
sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum
remedium.31
28 Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Yogyakarta: Liberty. 2006)
hlm. 128. 29 Ibid, hlm. 129. 30 http://lbh.unpar.ac.id/radio-chevy-103-5fm/ultimum-remedium-dalam-pemidanaan. 31 Wirdjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung: Refika Aditama.
2003), hlm. 17.
22
Wirjono Prodjodikoro lebih lanjut mengatakan bahwa sifat sanksi
pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium jika
dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi. Sifat
ini sudah menimbulkan kecenderungan untuk menghemat dalam
mengadakan sanksi pidana. Jadi, dari sini kita ketahui bahwa
ultimum remedium merupakan istilah yang menggambarkan suatu
sifat sanksi pidana.32
Sifat pidana sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir)
menghendaki, apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan
menggunakan pidana sebagai sarana. Maka peraturan pidana yang
mengancam pidana terhadap sesuatu perbuatan hendaknya dicabut,
apabila tidak ada manfaatnya. Proses (pencabutan) ini merupakan
persoalan de-kriminalisasi (de-criminalisering).33
B. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang
dikenal dengan istilah strafbar feit dan dalam KUHP (Kitab Undang–Undang
Hukum Pidana) dengan perbuatan pidana atau peristiwa pidana. Kata Strafbar feit
inilah yang melahirkan berbagai istilah yang berbeda–beda dari kalangan ahli
hukum sesuai dengan sudut pandang yang berbeda pula. Ada yang
menerjemahkan dengan perbuatan pidana, tindak pidana dan sebagainya. Dari
pengertian secara etimologi ini menunjukan bahwa tindak pidana adalah
perbuatan kriminal, yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dalam
pengertian ilmu hukum, tindak pidana dikenal dengan istilah crime dan
criminal.34
Kata pidana berarti hukuman kejahatan tentang pembunuhan,
perampokan, korupsi dan lain sebagainya. Pidana juga berarti
hukuman. Dengan demikian, kata mempidana berarti menuntut
berdasarkan hukum pidana, menghukum seseorang karena
melakukan tindak pidana. Dipidana berarti dituntut berdasarkan
32 Ibid, hlm. 50. 33 Sudarto, Op., Cit. hlm 24 34 Andi Zainal Abidin Farid. Hukum Pidana 1. (Jakarta: Gramedia. 1981), hlm. 132.
23
hukum pidana, dihukum berdasarkan hukum pidana, sehingga
terpidana berarti orang yang dkenai hukuman.35
Beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain delict
(delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbutan pidana, perbuatan yang
boleh dihukum, pelanggaran pidana, criminal act dan sebagainya. Tindak pidana
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.36
Kata Delict berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk
menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan straf baar feit atau tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana.37
Menurut R. Tresna bahwa peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman.38
R.Tresna menyatakan bahwa dalam peristiwa pidana itu mempunyai
syarat-syarat, yaitu:
a. Harus ada suatu perbuatan manusia;
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam
ketentuan hukum;
c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu
orangnya harus dapat di pertanggungjawabkan;
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam
undang-undang.39
35 Kamus Besar Bahasa Indonesia. 36 Topo Santoso. Asas-asas Hukum Pidana. (Jakarta: Rajagrafindo. 2016), hlm. 20. 37 Lamintang, P.A.F. Dasar – Dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Gramedia. 1983), hlm. 92. 38 R. Tresna. Hukum Pidana. (Bandung: Sinar Baru. 1995), hlm. 73. 39 Ibid. hlm. 79.
24
Menurut L.J Van Apeldoorn peristiwa pidana memiliki dua segi yaitu
obyektif dan segi subyektif:
a. Delik dari segi obyektif, maka peristiwa pidana adalah tindakan
(perbuatan atau lalai berbuat) yang bertentangan dengan hukum
positif, jadi yang bersifat tanpa hak yang menimbulkan akibat yang
oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Unsur yang perlu
sekali untuk peristiwa pidana (delik dari sudut obyektif) adalah
sifat tanpa hak (onrechmatigheid), yakni sifat melanggar hukum.
Dimana tidak terdapat unsur tanpa hak (onrechmatigheid), tidak
ada peristiwa pidana.
b. Segi subyektif dari peristiwa pidana adalah segi kesalahan
(schuldzijde) yakni bahwa akibat yang tidak
diinginkan undang–undang, yang dilakukan oleh pelaku dapat
diberatkan apanya. Karena itu maka tidak dapat dihukum, mereka
melakukan perbuatan yang tidak dapat diberatkan padanya, karena
otak lemah atau karena terganggu akalnya40
Pompe berpendapat bahwa pengertian strafbar feit dibedakan:
a. Dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Definisi
menurut teori memberikan pengertian strafbar feit adalah suatu
pelanggaran norma hukum yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbar
feit adalah suatu kejadian (fiet) yang oleh peraturan undang–
undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
J.E. Jonkers memberikan definisi strafbar feit menjadi dua
pengertian:
a. Definsi pendek memberikan pengertian strafbar feit adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang–undang.
b. Definisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan
pengertian strafbar feit adalah suatu kelakuan yang melawan
hukum. Berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang
yang dapat dipertanggungjawabkan.41
Vos memberikan definisi yang disingkat bahwa strafbar feit adalah kelakuan atau
tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang–undangan diberikan
pidana.42
40 Bambang Poernomo. Asas–Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1987), hlm. 142. 41 Ibid. hlm. 144. 42 Andi Zainal Abidin Farid, 1981, Hukum Pidana I. (Jakarta: Sinar Grafika. 1981), hlm. 134.
25
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang juga disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa
melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan
pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana, larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan,
yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang
yang menimbulkan kejadian itu.43
Molejatno menjelaskan antara larangan dan ancaman pidana ada
hubungan erat, karena itu antara kejadian dan orang yang
menimbulkan kejadian itu harus ada hubungan yang erat pula,
yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Suatu kejadian
tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkannya bukanlah orang.
Seseorang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian
yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat
itu, maka dipakaikanlah perkataan perbuatan, yaitu pengertian
abstrak yang menunjukan kepada dua keadaan kongkrit yaitu
adanya kejadian yang tertentu dan adanya orang yang
menimbulkan kejadian itu.
Dari pengertian ini, maka menurut Moeljatno, setidaknya terdapat
5 (lima) unsur perbuatan pidana, yaitu :
1). Kelakuan dan akibat;
2). Ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3). Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4). Unsur melawan hukum yang objektif;
5). Unsur melawan hukum yang subjektif;
Pembatasan unsur-unsur perbuatan pidana ini merupakan langkah
limitatif guna memperoleh kejelasan tentang pengertian perbuatan
pidana. Hal ini penting mengingat perbuatan pidana akan berkaitan
secara langsung dengan pertanggungjawaban pidana (criminal
liability).44
Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat
dijatuhi pidana sebab masih harus dilihat apakah orang tersebut
dapat disalahkan atas perbuatan yang telah dilakukannya sehingga
orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
Dengan demikian, orang yang telah melakukan perbuatan pidana
tanpa adanya kesalahan, maka orang tersebut tidak dapat dipidana,
43 Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara. 1985), hlm. 37. 44 Ibid. hlm. 66.
26
sesuai dengan asas hukum yang tidak tertulis, geen straf zonder
schuld, yaitu tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan.
Sementara itu Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, mengatakan bahwa
istilah schuld diartikan pula dengan kesalahan atau pertanggungjawaban.
Simons merumuskannya sebagai berikut : kesalahan adalah adanya keadaan
psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya
hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang
sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan
tadi.45
C. Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik
Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya
adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti
seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik
memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan
nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat
nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang
salah satu diantara kehormatan atau Nama baik sudah cukup dijadikan alasan
menuduh seseorang melakukan penghinaan.
Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan ini yang
hendak dilindungi adalah kewajiban setiap orang untuk
menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama
baiknya dimata orang lain meskipun orang tersebut telah
melakukan kejahatan yang berat. sehingga disini terdapat
45 Ibid. hlm. 48.
27
hubungan antara kehormatan dan nama baik dalam kasus
pencemarannama baik. sehingga harus dilihat dahulu
pengertiannya masing-masing. Kehormatan adalah perasaan
terhormat seseorang dimata masyarakat, dimana setiap orang
memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyarakat
yang terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan
perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan
seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori
menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan
masyarakat pada tempat perbuatan tersebut dilakukan.46
Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda,
tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain,
karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan
nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan
berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar.
Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau
nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang
telah melakukan penghinaan.47
Pasal 310 ayat (1) KUHP: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah”;
Pasal 310 ayat (2) KUHP: “jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran
yang disiarkan, ditunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, maka diancam
dengan pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidanan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
46 Mudzakir, Delik Penghinaan dalam Pemberitaan Pers Mengenai Pejabat Publik. (Jakarta:
Dictum. 2004), hlm 17. 47 R. Sugandhi, SH. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. (Surabaya:
Usaha Nasional. 1980), hlm. 57.
28
Pasal 310 ayat (3) KUHP: “tidak merupakan penemaran atau pencemaran tertulis,
jika perbuatan dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri”
Meninjau rumusan pasal – pasal tersebut diatas maka kita membahasnya dalam
penelitian normatif sebagai berikut:
Pasal 310 ayat (1): Unsur “barang siapa” dapat dikatakan bahwa semua orang
baik sipil maupun militer, pejabat pemerintah maupun swasta dapat dikenakan
pasal tersebut.
Unsur “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh
sesuatu hal” penulisan tersebut mengandung arti bahwa setiap manusia memliki
kebebasan hidup, bersama sebagai fungsi sosial antar setiap individu dengan
individu lain serta saling menghormati dengan hak – hak sebagai warga negara,
bilamana seseorang dilukai baik secara lisan dapat mengadu kepada pihak
berwajib disertakan bukti bahwa seseorang telah diserang kehormatan atau nama
baiknya sah – sah saja orang akan melaporkan kasus tersebut, tetapi untuk dapat
memberikan suatu pernyataan tersebut maka harus disertakan saksi de carge
yakni saksi yang memberatkan terlapor, bila seperti itu terjadi maka harus
memiliki saksi a de carge yakni saksi yang meringankan terlapor.
Penyelidikan tentang kasus seperti ini maka dengan “ancaman pidana penjara
sembilan bulan penjara atau denda empat ribu lima ratus rupiah” maka pihak
penyidik tidak akan menanggapi langsung kasus seperti ini, karena termasuk
dalam (tipiring) tindak pidana ringan, bukti materiil yang akan diberikan penyidik
akan sukar mendapatkannya jika hanya bentuk lisan.
29
Pasal 310 ayat (2): Unsur “jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran
yang disiarkan, ditunjukkan atau ditempelkan dimuka umum” pengertiannya:
apabila pencemaran dilakukan dengan tulisan atau gambar yang dapat memicu
informasi bagi khalayak ramai tentang penghinaan tertuju kepada seseorang.
Dalam penyelidikan kasus tersebut maka dengan “diancam dengan pencemaran
tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidanan
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” penyidik harus dapat
membuktikan dari pelapor dari segi materiil yakni tulisan atau gambar baik
berupa pamflet, sms, bbm, berbagai macam surat yang isinya mengenai tentang
pencemaran tersebut.
Pasal 310 ayat (3): Maksud dari pasal tersebut dapat dianalisa maka pencemaran
tersebut dilakukan apabila untuk membela diri atau keadaan terpaksa demi
kepentingan umum maka ancaman pidana dihapus.
Pasal penghinaan ini masih dipertahankan denan alasan selain menghasilkan
character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak sesuai
dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan
budaya timur. Karena itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk
rechtsdelicten dan bukan wetdelicten. Artinya, pencemaran nama baik sudah
dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam Undang-
Undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu,
pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi
pencemaran itu terdapat fitnah.
30
Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 dan
Pasal 28 UU ITE No. 11 tahun 2008 sebenarnya dibuat untuk melindungi hak-hak
individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan di
publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar yang
bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan perbuatan dan bisa
mempertanggung jawabkannya.
Bentuk Pencemaran Nama Baik, dibagi menjadi sebagai berikut:
a. Penghinaan materiil, Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan
yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara
lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor
menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara
tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk
membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan
umum;
b. Penghinaan formil, dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari
penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan
itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor
menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-
cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan
kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa
kemungkinan tersebut adalah ditutup.48
Pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan (Pasal
310 ayat [1] KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar (Pasal 310
ayat [2] KUHP). Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa
penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
1. Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP), Menurut pasal ini, maka
penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang
telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan
itu tersiar (diketahui oleh orang banyak);
2. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP), dalam
penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan
dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan
“menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut
pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat
atau gambar;
3. Fitnah (Pasal 311 KUHP), Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami
sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP
tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat
48 R. Sugandhi, SH. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. (Surabaya:
Usaha Nasional. 1980), hlm. 337.
31
dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela
kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri;49
4. Memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista
dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan
bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau
membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu
tidak benar;
5. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP), Penghinaan seperti ini
dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang
sifatnya menghina. Pasal 315 KUHP mengatakan bahwa jika
penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu
perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “sundel”, dan
sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan
ringan”. Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan
perbuatan seperti meludahi di mukanya;
6. Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP), Dalam
buku yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam
pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang
kepada pembesar negeri;
b. menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang
seseorang kepada pembesar negeri.
7. Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP), Pasal 318 KUHP, yang
diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan
sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain
secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya:
dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan
di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh
melakukan kejahatan.50
Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat subyektif
yang artinya penilaian terhadap pencemaran nama baik sangat bergantung pada
pihak yang diserang nama baiknya.51 Delik dalam pencemaran nama baik
merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika
ada pengaduan dari saksi korban pencemaran nama baik.
49 R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politeia 1991), hlm. 111. 50 R. Sugandhi, Op., Cit, hlm 338. 51 R. Soesilo. Op., Cit, hlm. 112.
32
D. Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik
Pasal 310 KUHP, menyatakan bahwa, “menghina” adalah “menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa
“malu” “Kehormatan” yang diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang
“nama baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksuil, kehormatan yang
dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan
nafsu birahi kelamin.
Pencemaran nama baik diatur dalam KUHP, Bab XVI tentang
Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP. Melihat
pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP, dapat kita lihat
bahwa KUHP membagi enam macam penghinaan, yakni:
1. Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP)
Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini,
maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh
seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud
agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan
yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh
dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya,
cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang
memalukan.
2. Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
Menurut R. Soesilo sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan
Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan
tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan
“menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut
pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat
atau gambar.
3. Fitnah (Pasal 311 KUHP)
Merujuk pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 KUHP,
sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan
ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan
(tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk
membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.
Dalam hal ini hakim barulah akan mengadakan pemeriksaan
apakah betul-betul penghinaan itu telah dilakukan oleh terdakwa
karena terdorong membela kepentingan umum atau membela diri,
jikalau terdakwa meminta untuk diperiksa (Pasal 312 KUHP).
33
Apabila soal pembelaan itu tidak dapat dianggap oleh hakim,
sedangkan dalam pemeriksaan itu ternyata, bahwa apa yang
dituduhkan oleh terdakwa itu tidak benar, maka terdakwa tidak
disalahkan menista lagi, akan tetapi dikenakan Pasal 311 KUHP
(memfitnah).
Memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista
dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan
bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau
membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu
tidak benar.
4. Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP)
Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa
kata-kata makian yang sifatnya menghina. R Soesilo, dalam
penjelasan Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan,
mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain
selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan
“anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal
315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.
Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan.
Menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan
seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia,
mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia.
Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan
yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan
tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.52
5. Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP)
R. Sugandhi memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam
hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang
kepada pembesar negeri;
b. menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang
seseorang kepada pembesar negeri sehingga kehormatan atau
nama baik orang itu terserang.
6. Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP)
Menurut R. Sugandhi terkait Pasal 318 KUHP, sebagaimana kami
sarikan, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang
dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan
orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana,
misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari
52 Soesilo. Loc. Cit.
34
kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang
itu dituduh melakukan kejahatan.53
7. Berdasarkan Pasal 317 KUHP:
1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau
pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis
maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga
kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena
melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat
dijatuhkan.
8. Berdasarkan Pasal 220 KUHP:
“Barang siapa memberitahukan atau mengadukan bahwa telah
dilakukan suatu perbuatan pidana, padahal mengetahui bahwa itu
tidak dilakukan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan.”
E. Konsepsi Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik dalam Sistem
Hukum Indonesia
Sebagian besar muatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada
dasarnya sama dengan KUHP Belanda (WvS). KUHP Belanda yang diberlakukan
sejak 1 September 1886, merupakan kitab undang-undang yang cenderung meniru
pandangan Code Penal Perancis yang sangat banyak dipengaruhi sistem hukum
romawi.
Menurut KUHP setidaknya dikenal tiga jenis tindak pidana terkait dengan
penghinaan, yaitu pencemaran sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP, fitnah
diatur dalam Pasal 311 KUHP, dan penghinaan ringan dirumuskan dalam Pasal
315 KUHP.
53 R. Sugandhi, Op. Cit.hlm. 339.
35
Pasal 310
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama
baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang
maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang
disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka
umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis,
jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum
atau karena terpaksa untuk membela diri.
Pasal 311
(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa
yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan
tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang
diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat
dijatuhkan.
Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat
pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan
terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau
tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan
atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau
diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan
ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan
dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Penghinaan menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) dapat dikecualikan (tidak dapat
dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk membela
“kepentingan umum” atau terpaksa untuk “membela diri”. Patut atau tidaknya
36
pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka
terletak pada pertimbangan hakim.
Menurut Muladi, yang bisa melaporkan pencemaran nama
baik seperti yang tercantum dalam Pasal 310 dan 311
KUHP adalah pihak yang diserang kehormatannya,
direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi
tercela di depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi
pihak yang dituduh melakukan pecemaran nama baik
apabila menyampaikan suatu onformasi ke publik.
a) Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan untuk
kepentigan umum.
b) Kedua, untuk membela diri.
c) Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran54
F. Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE
Seiring perkembangan dunia penghinaan dan/atau pencemaran nama baik kerap
dilakukan dengan media elektronik dan secara khusus diatur dalam UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 jo. UU Nomor
19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE):
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan;
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian;
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik;
54 Muladi, Barda Nawawi. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni. 2010), hlm 34.
37
(5) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.
Untuk dapat mengetahui perbuatan yang dilarang dalam pasal tersebut, perlsu
dijelaskan mengenai setiap unsur-unsurnya.
1. Setiap orang
Dalam Pasal 1 angka 21 disebutkan bahwa orang yang dimaksudkan
dalam UU ITE melingkupi orang perseorangan baik WNI maupun WNA,
dan badan hukum. Jadi orang perseorangan baik WNI maupun WNA dan
badan hukum yang melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE diancam dengan
pidana jika memenuhi unsur delik.
2. Sengaja
Dalam UU ITE tidak dijelaskan mengenai pengertian sengaja. Dalam KUHP
sebagai lex generali dari peraturan perundang-undangan pidana pun tidak
dijelaskan.55 Dalam teori tentang kesengajaan, terdapat dua aliran:
a. Teori Kehendak
Menurut Moeljato untuk menentukan bahwa suatu perbuatan
dikehendaki oleh terdakwa harus memenuhi:
1. Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk
berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai.
2. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal
dalam batin terdakwa.
55 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta. 1993), hlm.171.
38
b. Teori Pengetahuan
Teori ini lebih praktis dari teori kehendak, karena untuk membuktikan
adanya kesengajaan dengan teori ini terdapat dua alternatif:
1. Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara
motif dan tujuan; atau
2. Pembuktian adanya keinsyafan atau pengertian terhadap apa yang
dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang
menyertainya.
Perbedaan teori kehendak dan teori pengetahuan yaitu pada teori kehendak
mengharuskan memenuhi kesesuaian antara perbuatan, motif dan tujaun yang
hendak dicapai. Sedangkan pada teori pengetahuan mengharuskan terbukti
adanya keinsyafan atau pengertian terhadap perbuatan yang dilakukan, akibat
perbuatan, dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Lawan dari sengaja adalah kealpaan. Kealpaan untuk melakukan penghinaan atau
pencemaran nama baik tidak mungkin terjadi. Namun mungkinkan kealpaan itu
terjadi dalam perbuatan mendistribusikan dan atau mentransmisikan ke dalam
media elektronik? Misalnya apabila A meminta tolong B untuk mengunggah
(upload) sebuah dokumen ke dalam suatu situs yang dapat diakses secara bebas
untuk diunduh (download), dan karena A diminta tolong, maka A langsung
mengunggah dokumen tanpa dibuka dan dibaca terlebih dahulu. Konsekuensi dari
adanya unsur sengaja dalam pasal ini adalah perbuatan yang dilakukan dengan
kealpaan tidak dapat dijerat atau diancamkan sanksi.
39
3. Tanpa Hak
Istilah ini dipakai untuk menyinggung anasir “melawan hukum” yang biasa
disebut “wederrechtelijk”. Hazewinkel-Suringa dengan gigih berpendapat bahwa
perkataan “wederrechtelijk” ditinjau dari penempatannya dalam suatu rumusan
delik menunjukkan bahwa perkataan tersebut haruslah ditafsirkan sebagai
“zonder eigen recht” atau “tanpa adanya suatu hak yang ada pada diri
seseorang”.56 Menurut Memori Penjelasan dari rencana Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Negeri Belanda, istilah “melawan hukum” itu setiap kali
digunakan, apabila dikhawatirkan, bahwa orang yang didalam melakukan sesuatu
perbuatan yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang, padahal
didalam hal itu ia menggunakan haknya, nanti akan terkena juga oleh larangan
dari pasal undang-undang yang bersangkutan. Jika ia menggunakan haknya
makai a tidak “melawan hukum” dan untuk ketegasan bahwa yang diancam
hukuman itu hanya orang yang betul-betul melawan hukum saja, maka di dalam
Pasal yang bersangkutan perlu dimuat ketegasan “melawan hukum” sebagai
unsur perbuatan terlarang itu.57 Misalnya seorang Polisi karena perintah atasan
mengunggah (upload) daftar pencarian orang atau DPO ke website agar diketahui
oleh public, tidak dipidana karena Polisi tersebut tidak melawan hukum.
1. Mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Mengenai
unsur ini sudah cukup jelas mengatur tindakan konkret yang dilakukan.
56 E. Utrecht. Hukum Pidana 1, (Bandung: Pustaka Tinta Mas. 1986), hlm. 269. 57 R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, (Bandung: Pustaka Tinta Mas. 1994), hlm. 71.
40
2. Memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Konsep “penghinan” dan “pencemaran” nama baik dalam Pasal ini masih
belum jelas. Jika kita melihat dalam penjelasan pasal ini hanya dikatakan
cukup jelas. Sehingga perlu ada penafsiran dalam mengartikan konsep
pencemaran nama baik.
Unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE masih ada beberapa proposisi yang belum jelas.
Misalnya adalah apa yang dimaksud dengan proposisi “tanpa hak”, kemudian
adalah apakah yang dimaksud dengan “penghinaan” dan “pencemaran” nama
baik, dalam Penjelasan Pasal hanya dinyatakan cukup jelas. Oleh karena itu
norma dalam Pasal ini dapat dikatakan sebagai norma kabur (vague norm) yang
hanya mengatur perbuatan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan secara
tanpa hak yang dilakukan menggunakan media elektronik, namun tidak
menjelaskan perbuatan yang dimaksud untuk disiarkan dalam media elektronik
yang dilaran itu apa.
Kekhasan Pasal 27 ayat 3 UU ITE dibandingkan dengan Pasal-pasal dalam KUHP
yang mengatur Penemaran Nama Baik, yaitu dalam KUHP tidak diatur mengenai
pencemaran nama baik yang didistribusikan dan/atau ditransmisikan dalam
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektrik, sedangkan dalam Pasal 27 ayat
3 UU ITE hal itu telah diatur. Namun sayangnya apa yang dimaksud penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik sama sekali tidak dijelaskan dalam UU ITE
41
Pasal 27 ayat 1-4 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik mengandung ketentuan Pidana seperti yang terdapat dalam BAB XI
Pasal 45 ayat (1) jo. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Pasal 27 ayat 1-4 UU No 11 Tahun 2008 tentan Informasi dan Transaksi
Elektronik
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Jo. Pasal 45 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
42
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(4) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Soerjono Soekanto melihat dari segi “sifat penelitian”, beliau
membedakannya menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu penelitian eskploratori,
penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatori.40 Sedangkan dilihat
dari segi tujuan penelitian, J. Vredenbregt membedakan penelitian sosial
menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu penelitian eksploratori, penelitian deskriptif,
dan penelitian eksplanatori.41
Fokus kajiannya, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi 3(tiga) tipe,
yaitu: (a)Penelitian hukum normatif; (b)Penelitian hukum normatif-
empiris, yang dapat disebut juga penelitian hukum normatif-terapan; (c)
Penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum
yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam
masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang.42
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum
teoritis/dogmatik karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi
hukum. Adapun penelitian hukum normatif-empiris (terapan) mengkaji
pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang–
undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap peristiwa hukum
tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan yang telah
ditentukan.43
40 Soerjono Soekanto Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia. 1986), hlm.
50. 41 Vredenbregt J. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. (Jakarta: Gramedia. 1981), hlm 70. 42 Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
2004), hlm.52 43 Ibid. hlm.53.
44
Penelitian hukum empiris mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai perilaku
nyata (actual behavior), sebagai gejala sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang
dialami setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat.44
Pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan
hukum normatif - empiris yang menggunakan data sekunder dan data primer yang
berasal dari buku-buku, atau literatur-literatur hukum, peraturan perundang-
undangan, wawancara serta bahan-bahan lainnya. Penggunaan pendekatan secara
normatif-empris ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan
hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode
penelitian hukum normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum
normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu
dalam suatu masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah
metode normatif–empiris mengenai implementasi ultimum remedium dalam
tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pasal 27 undang-
undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
B. Sumber dan Jenis Data
1. Sumber Data
Berdasarkan Sumbernya, data terdiri dari:
a. Data Lapangan
Data lapangan adalah data yang diperoleh secara langsung dari lokasi
penelitian dengan kegiatan wawancara kepada narasumber penelitian.
44 Ibid. hlm.54.
45
b. Data Kepustakaan
Data kepustakaan adalah data yang diperoleh dari serangkaian kegiatan seperti
membaca, menelaah dan mengutip dari literatur serta melakukan pengkajian
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
2. Jenis Data
Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu sebagai berikut:
a. Data Primer,
Data Primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara kepada narasumber untuk
mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang
meliputi perundang–undangan, yurispudensi, dan buku literatur hukum atau
bahan hukum tertulis lainnya, baik terhadap bahan–bahan hukum, bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terdiri
dari:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat, yang meliputi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Buku Ke-2 Bab XVI Tentang Penghinaan.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang bersifat memberikan penjelasan
terhadap bahan–bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa
serta memahami bahan hukum primer, yang berupa literatur–literatur dan
46
makalah–makalah yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam
penulisan skripsi ini.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan penunjang lain yang ada
keterkaitan dengan pokok-pokok rumusan permasalahan, memberikan
kejelasan terhadap apa isi informasi, dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, bukan apa yang ada dalam kajian bahan hukum,
namun dapat dijadikan bahan analisa terhadap penerapan kebijakan hukum
dilapangan, seperti kamus, ensiklopedia, buletin, majalah, artikel-artikel di
internet dan bahan-bahan lainnya yang sifatnya seperti karya ilmiah
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini.
C. Karakteristik Narasumber
Narasumber adalah istilah umum yang merujuk kepada seseorang, baik mewakili
pribadi maupun suatu lembaga, yang memberikan atau mengetahui secara jelas
tentang suatu informasi, atau menjadi sumber informasi untuk kepentingan
pemberitaan di media massa. Biasanya informasi yang didapat dari narasumber
diperoleh melalui wawancara dengan memintakan pendapatnya mengenai suatu
masalah atau isu yang sedang berkembang.45 Narasumber dalam penulisan skripsi
ini adalah pihak-pihak yang mengetahui secara jelas berkaitan dengan
implementasi ultimum remedium dalam tindak pidana penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik Pasal 27 UU Nomor 27 Tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik:
45 Ludwig Suparmo, Manajemen Krisis, Isu dan Resiko dalam Komunikasi. (Jakarta: Campustaka.
2018), hlm. 38.
47
1. Kasubdit 2 Ditreskrimsus Kepolisian Daerah Lampung = 1 Orang
2. Jaksa Kejaksaan Tinggi Bandar Lampung = 1 Orang
3. Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bandar Lampung = 1 Orang
4. Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universias Lampung = 1 Orang
Jumlah = 4 Orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara:
a. Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan studi pustaka, studi dokumen
dan studi catatan dan studi catatan hukum, dimaksudkan untuk memperoleh
data sekunder dengan serangkaian kegiatan penelusuran literatur dan
dokumentasi dengan cara membaca, mengkaji, merangkum data, mengutip
buku–buku, menelaah peraturan perundang–undangan, dokumen dan informasi
lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dengan
melakukan studi kepustakaan.
b. Penelitian Lapangan, dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan
melakukan wawancara dilapangan. Wawancara dilakukan secara langsung,
dalam metode wawancara materi–materi yang akan dipertanyakan telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh penulis sebagai pedoman, metode ini
digunakan agar responden bebas memberikan jawaban–jawaban dalam bentuk
uraian–uraian.
48
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data yang
dimaksud meliputi tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa kembali untuk mengetahui
kelengkapan data, serta apakah data tersebut telah sesuai dengan
permasalahan yang diteliti.
b. Klasifikasi data, yaitu kegiatan penempatan data menurut kelompok
kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-
benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, yaitu kegiatan penempatan dan menyusun data yang
saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu
pada bagian pokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisa Data
Analisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan analisis kualitatif,
kemudian dilakukan pembahasan dengan cara menguraikan data secara bermutu
dalam bentuk kalimat yang teratur, logis dan efektif sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisis guna menjawab permasalahan yang
ada dalam perumusan masalah kemudian ditarik kesimpulan-kesimpulan.
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai implementasi ultimum
remedium dalam tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan
faktor-faktor yang menjadi penghambat implementasi ultimum remedium dalam
tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Implementasi ultimum remedium dalam tindak pidana penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik Pasal 27 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik akan dilakukan apabila pelapor dan terduga
mengambil langkah mediasi atau musyawarah bedasarkan asas delik aduan murni
dan apabila dilakukan pencabutan perkara oleh pelapor maka otomatis pidana yang
dilakukan akan gugur, dan karena ini delik aduan murni maka sebagai penyidik
(Polri dan Kejaksaan) hanya dapat menghentikan suatu perkara jika pelapor
mencabut perkara tersebut.
2. Implementasi ultimum remedium dalam tindak pidana penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik Pasal 27 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
73
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah hal yang tidak mudah karena terdapat
factor-faktor yang menjadi penghambat dalam upaya implementasi ultimum
remedium dalam tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
sebagai berikut:
a. Faktor hukum (Undang-undang)
Dalam praktik penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan ada kalanya
terjadi pertantangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan
oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan
secara normatif.
b. Faktor penegak hukum
Untuk berfungsi suatu hukum, mentalitas atau kepribaian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, maka akan terjadi masalah. Salah satu kunci keberhasilan
dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum,
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras. Perangkat lunak meliputi pendidikan yang diterima oleh polisi,
untuk perangkat keras dalam hal ini adalah meliputi sarana fisik yang berfungsi
sebagai faktor pendukung, serperti halnya perlengkapan, kendaraan maupun
alat-alat komukasi yang proposional.
74
d. Faktor masyarakat (lngkungan di mana hukum berlaku atau diterapkan),
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyakanya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul
adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,
atau kurang, adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap
apatis masyarakat terhadap polisi mengangap bahwa tugas penegakan hukum
semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan
sebagainya
e. Faktor kebudayaan
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat, yaitu mangatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu
garis pokok tentang peri kelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa
yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
75
B. Saran
Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dari hasil penelitian ini
maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Peraturan hukum mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui
media elektronik harus di rekonsruksi kembali atau dikaji ulang, karena peraturan
ini sering di sebut peraturan karet karena peraturan yang sekarang ini berlaku
(Pasal 27 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008) akan menimbulkan dua
persepsi, sebagai contoh ada kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama melawan Buni Yani. Buni Yani resmi ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus dugaan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian
berdasarkan SARA akibat pernyataan/tulisan dalam status yang dia sebar di akun
Facebook. Polisi menilai perbuatan Buni termasuk perbuatan pidana karena telah
menyertakan status yang berpotensi menimbulkan rasa kebencian saat
mengunggah cuplikan video pernyataan Basuki Tjahaja Purnama. Kasus Buni
Yani bergulir dalam rangkaian kronologi yang cukup panjang. Sejak video itu
diunggah, media sosial membuat viral video yang menayangkan Ahok saat
bertugas di Kepulauan Seribu. Video yang diunggah Buni Yani berhasil menyedot
ribuan peserta Aksi Bela Islam turun ke jalan menuntut proses hukum Ahok.
Gerakan masif itu juga didorong oleh sikap keagamaan MUI yang menyebut Ahok
telah menistakan agama. Dengan desakan publik dan ketegangan politik yang
cukup besar, pemerintah pun turun tangan. Polri diinstruksikan melakukan gelar
terbuka khusus untuk kasus Ahok. Ahok pun kemudian ditetapkan sebagai
76
tersangka penista agama. Bagi orang yang pro kepada BY akan mengatakan jika
BY ini seharusnya di beri penghargaan karena dinilai telah mengungkap kesalahan
BTP tapi sebaliknya malah di penjara, oleh pihak yang pro kepada BTP akan
dibantah karena dalam kasus ini BY tidak mempunyai hak untuk mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan video potongan pidato BTP.
2. Kesadaran masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum dan produsen media
massa elektronik dan non-elektronik untuk mengklarifikasi, menyaring
berita/informasi yang di dapat, agar tidak mendistribusikan, menelan mentah
mentah berita/informasi hoax yang di dapat untuk mencegah kasus penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik terulang kembali, dan demi terciptanya Indonesia
bebas hoax.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Hamzah, Andi. 1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Hamzah, Andi. 2008. Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, Yahya M. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Horn, Van. 1975. The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework,
Bandung: Pijar Pustaka.
Kaplan, Andreas M.; Michael Haenlein. 2010 Users of the world, opportunities of
Social Media. Bussines Horizons, Jakarta: Pustaka Ilmu
Lamintang, P.A.F. 1983. Dasar – Dasar Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru.
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Muladi. Nawawi, Barda. 2010. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni.
Moeljatno. 1985. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta:Bina Aksara.
Mudzakir. 2004 Delik Penghinaan dalam Pemberitaan Pers Mengenai Pejabat
Publik, Jakarta: Dictum.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Citra
Aditya Bakti.
Nawawi, Barda. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Pramudya, Kelik. 2006. Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum, Yogyakarta:
Pustaka Yustisia.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:
Refika Aditama.
Poernomo, Bambang. 1987. Asas–Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
R. Sugandhi, SH. 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut
Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
R. Tresna. 1995. Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Baru.
Santoso, Topo. 2016. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rajagrafindo.
Sidharta, Arief. 2005. Meuwissen Tentang Perkembangan Hukum, ilmu Hukum,
Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Jakarta: PT Refika Aditama.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum Jakarta: Universitas
Indonesia.
Soekanto, Soerjono 2002. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Rineka Cipta.
Suparmo, Ludwig. 2018. Manajemen Krisis, Isu dan Resiko dalam Komunikasi.
Jakarta: Campustaka.
Sudarto. 2007 Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
Sudarto. 1998. Hukum Pidana dan Perkembangan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sulistia, Teguh. 2003. Hukum Pidana Baru Pasca Reformasi. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Utrecht. 1986. Hukum Pidana 1. Bandung: Pustaka Tinta Mas.
Vredenbregt J. 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Widijowati, Dijan. 2000. Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta: CV Andi Offser.
Zainal, Andi. 1981. Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.
B. Undang-undang
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Putusan Nomor: 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel.
C. Sumber Lain
https://pakarkomunikasi.com/karakteristik-media-sosial-menurut-para-ahli.
(diakses tanggal 16 Desember 2017).
http://lbh.unpar.ac.id/radio-chevy-103-5fm/ultimum-remedium-dalam-
pemidanaan/ (diakses tanggal 11 Desember 2017).
https://www.suduthukum.com/2016/09/pengertian-pencemaran-nama-baik.html
(diakses tanggal 12 Desember 2017)
https://news.okezone.com/read/2018/01/16/340/1845742/remaja-penghina-
presiden-dan-kapolri-divonis-18-bulan-penjara (diakses pada 09 Juni 2018)
https://news.detik.com/berita/2875047/kasus-penghinaan-di-medsos-florence-
dihukum-percobaan-dan-denda-rp-10-juta (diakses pada 09 Juni 2018)
https://nasional.kompas.com/read/2013/09/05/2350121/Benny.Handoko.Pemilik.
Akun.benhan.Ditahan (diakses pada 09 Juni 2018)
http://pojokpitu.com/baca.php?idurut=58999&&top=1&&ktg=Jatim&&keyrbk=H
ukum&&keyjdl=akun# (diakses pada 09 Juni 2018)
http://harian.analisadaily.com/kota/news/terdakwa-pencemaran-nama-baik-minta-
maaf/362922/2017/06/15 (diakses pada 09 Juni 2018)
https://www.bangsaonline.com/berita/32883/sudah-damai-ph-minta-sidang-kasus-
pencemaran-nama-baik-oleh-kader-golkar-gresik-andhy-dihentikan (diakses
pada 09 Juni 2018).