22
III. FRAGMENTASI BUATAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini perkembangan dibidang bioteknologi mengalami kemajuan yang
pesat khususnya dalam hal penemuan kandungan sumber daya alam yang sangat
berpotensi bagi kehidupan manusia terutama dalam bidang kesehatan. Beberapa
penelitian yang telah dilakukan sampai saat ini diketahui bahwa sumber daya laut
khususnya spons memiliki kandungan bioaktif yang sangat berpotensi sebagai
bahan baku obat. Perkembangan ini masih terus berlanjut sebagai usaha untuk
mengidentifikasi manfaat spons bagi kehidupan manusia.
Spons laut yang digunakan pada penelitian ini adalah Aaptos aaptos (Aa),
yang telah diketahui memiliki kandungan senyawa alkaloid dan aptamin dengan
aktivitas penghambatan terhadap a-adrenoreceptor (Munro et al., 1999). Selain
itu, senyawa alkaloid lain yang didapatkan dari spons Aa memiliki aktivitas
sebagai antikanker, anti-HIV dan anti-mikroba (Nakamura et al., 1987). Oleh
karena itu spons Aaptos aaptos (Aa) merupakan salah satu jenis spons yang perlu
dipertimbangkan dalam upaya pengembangan budidaya melalui fragmentasi.
Pemanfaatan spons umumnya diambil secara langsung dari alam dan hanya
sebagian kecil yang diperoleh dari hasil budidaya. Cara seperti ini jika dilakukan
secara terus menerus diperkirakan akan mengakibatkan penurunan populasi secara
signifikan bahkan dapat mengakibatkan terjadinya kepunahan.
Metode-metode untuk mencari jalan keluar dari masalah penyediaan bahan
baku telah banyak diujicobakan. Metode yang paling sederhana adalah dengan
membuat bahan kimia sintesis dari compound target. Sebagian besar produk
23
alami tidak dapat dibuat bahan sintetisnya karena tingginya kompleksitas struktur
kimianya. Bahan-bahan bioaktif spons dapat dibuat sintetisnya pada skala
laboratorium, tetapi untuk meningkatkan menjadi skala yang lebih besar menjadi
tidak layak (Munro et al., 1999).
Langkah nyata yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan
metode fragmentasi spons. Spons memiliki kemampuan untuk dapat memperbaiki
diri dengan membangun sel-sel jaringannya yang telah mati (Sipkema et al.,
2004), walaupun pada beberapa kasus tidak berhasil dan hanya pada beberapa sel
primer yang mampu berkembang (Ilan et al., 1996; De Rosa et al., 2003). Kultur
jaringan spons (primmorphs) adalah metode lain yang juga telah diujicoba (Muller
dan Schroder, 2000), tetapi seperti pada kultur sel, masih banyak penelitian yang
perlu dilakukan. Kemungkinan lain yang masih sangat baru di bidang
bioteknologi kelautan yaitu dengan melakukan kloning pada gen yang relevan ke
dalam mikroba yang dapat difermentasikan untuk menghasilkan metabolit
sekunder bioaktif (Salomon et al., 2004). Kultur spons secara in vivo juga sudah
diujicoba oleh beberapa peneliti (Osinga et al., 2001; Mendola, 2003).
Budidaya laut (mariculture) merupakan metode yang paling menjanjikan
untuk memproduksi biomasa spons dari semua metode yang sudah pernah
diujicobakan oleh beberapa peneliti. Metode yang paling banyak digunakan untuk
membudidayakan spons adalah metode gantung. Metode gantung ini sudah
diujicobakan pada spons mandi (bath sponge) sejak lama yang dilakukan oleh
Schmidt dan Buccich di laut Mediterania, dan selanjutnya oleh Moore di Florida
(Duckworth dan Battershill, 2003a). Metode gantung dilakukan dengan cara
mengikat fragmen spons pada tali. Kestabilan posisi spons dibantu oleh
keberadaan sistem pelampung.
24
Duckworth et al., (1999); Dukworth dan Battershill (2003a) melakukan
penelitian terhadap tiga teknik baru untuk budidaya spons di New Zealand sebagai
sumber bahan metabolit bioaktif. Metode pertama, spons dibudidayakan pada
kantung-kantung berlubang. Keuntungan dari metode ini adalah spons tidak
mengalami stress jika dibandingkan dengan metode budidaya lain; spons
diletakkan di dalam kantung berlubang tanpa mengalami kerusakan secara fisik
sebagai hasil dari perlengketan. Sebaliknya, organisme penempel yang tumbuh
pada lubang dapat menghalangi aliran air yang masuk ke spons. Metode kedua,
peneliti mencoba untuk mengikat fragmen spons pada tali. Metode ketiga, spons
digantung dengan membungkusnya pada tali yang tipis. Dua metode terakhir
tidak sesuai untuk budidaya spons, karena spons akan tumbuh dan terlepas jauh
dari tali dan hilang. Spons juga dapat dibudidayakan pada kerangka (frame) yang
berbentuk baki dan ditambatkan di dasar laut (Muller et al., 1999; van Treeck et
al., 2003). Metode terakhir juga digunakan untuk membudidayakan invertebrata
lain yang bersifat sesil seperti bryozoan Bugula neritina (Mendola, 2003). Metode
fragmentasi dengan menggunakan kerangka (frame) ini diujicobakan juga pada
penelitian ini di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Selain dengan metode rak
horisontal seperti yang sudah dilakukan oleh peneliti lain, pada penelitian ini
dilakukan juga dengan penambahan metode yaitu metode kerangka (frame/rak)
yang diberdirikan posisinya sehingga menjadi vertikal dan fragmen spons
diikatkan pada kerangka atau rak tersebut. Posisi fragmen spons berada jauh dari
dasar perairan atau substrat sehingga diharapkan tidak terpengaruh dengan
pengadukan dasar perairan pada saat meningkatnya arus.
Selama ini fragmentasi spons yang dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya tidak mempertimbangkan mengenai luka yang terjadi akibat dari
25
fragmentasi tersebut. Kondisi luka pada spons baik luas maupun jumlah
merupakan faktor penting yang ikut menentukan kelangsungan hidup dan
selanjutnya pertumbuhan spons. Karena kemampuan beberapa organisme
termasuk spons untuk hidup dan tumbuh kembali setelah perlukaan sangat
tergantung dari ukuran dan jumlah luka (Chadwick and Loya, 1990 ; Duckworth,
2003), dimana luka yang besar dan banyak seringkali menyebabkan fatal terhadap
spons. Jaringan yang melakukan regenerasi untuk tumbuh membutuhkan energi
yang besar di luar energi yang diperlukan untuk melakukan pertumbuhan dan
reproduksi yang selanjutnya menurunkan kesegaran spons. Luka yang besar dapat
menyebabkan rusaknya sistem saluran spons, menurunkan efisiensi penyerapan
nutrien, dan dapat menyebabkan kematian pada beberapa spesies spons.
Sebagai pengembangan metode budidaya spons, maka perlu dilakukan
suatu penelitian mengenai sintasan (tingkat kelangsungan hidup), laju
pertumbuhan spesifik dan perkembangan gamet spons yang difragmentasikan
dengan menggunakan metode rak horisontal dan vertikal, spons dengan beberapa
jumlah luka (1-4 luka) pada tubuhnya, serta menguji coba ukuran fragmen 1 cm
sebagai ukuran terkecil pada penelitian ini. Pengukuran terhadap kondisi
lingkungan di lokasi fragmentasi juga dilakukan untuk mengetahui parameter
yang sangat berperan untuk mendukung fragmentasi spons. Beberapa parameter
yang mendukung pertumbuhan spons hasil fragmentasi tersebut adalah suhu air,
kecepatan arus, TSS (Total Suspended Solid), salinitas, pH, TOM (Total Organic
Matter), silikat, ammonia, fosfat, nitrat, COD (Chemical Oxygen Demand), DO
(Disolve Oxygen).
26
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengkaji kelayakan kondisi kualitas air pada dua lokasi fragmentasi yang
berbeda yaitu lokasi yang terlindung dan terbuka, sehingga diketahui
kondisi kualitas air yang optimal mendukung pertumbuhan dan
perkembangan spons Aa
2. Mengkaji metode pemeliharaan fragmen spons yang optimal melalui
penempatan pada rak horisontal vs vertikal untuk mengefisienkan ruang
pemeliharaan
3. Mengkaji pengaruh jumlah luka dan ukuran fragmen spons Aa untuk
memanfaatkan seoptimal mungkin fragmen spons yang tersedia yang
selama ini tidak dimanfaatkan dalam proses fragmentasi buatan di alam
27
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi penelitian
Penelitian fragmentasi buatan di alam dilakukan di Gugusan Pulau Pari,
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dan terletak di barat Pulau Burung (ST1)
(05052’05,5” LS dan 106035’71,2’’ BT), dan di selatan Pulau Pari (ST2)
(05052’22,4” LS dan 106036’76,1’’ BT) perairan gugusan Pulau Pari, Kabupaten
Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 3). Waktu penelitian dimulai pada bulan Mei
2006 sampai bulan April 2007. Rincian waktu penelitian adalah : penelitian
fragmentasi dengan metode transplantasi pada rak horisontal dan vertikal
dilaksanakan pada bulan Mei 2006 sampai Juli 2006. Penelitian dengan perlakuan
luka dilaksanakan pada bulan Agustus 2006 sampai April 2007.
Penelitian fragmentasi dilakukan dalam beberapa tahap yang meliputi :
1. Survei lokasi penelitian
2. Persiapan alat dan bahan
3. Pemotongan fragmen, penurunan rak dan pengikatan sampel
4. Pengukuran dan pengamatan kelangsungan hidup, laju pertumbuhan
spesifik, dan pengukuran parameter fisika dan kimia air yang mendukung
kehidupan spons.
Lokasi penelitian ditetapkan pada perairan yang terlindung dengan kode
stasiun ST1 yang memiliki permukaan air tenang sehingga mengakibatkan
sedimentasi yang lebih tinggi dan tidak terganggunya proses penempelan fragmen
karena sedikitnya gesekan dengan tali nilon akibat tidak adanya gelombang dan
arus yang besar. Lokasi lainnya ditetapkan di perairan yang terbuka dengan kode
stasiun ST2 yang lebih memungkinkan fragmen spons memperoleh oksigen lebih
banyak karena adanya gelombang dan arus yang lebih besar. Selain itu gelombang
28
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
29
dan arus dapat membawa makanan dan menghambat terjadinya sedimentasi.
Adanya pengaruh gelombang dan arus memungkinkan kandungan oksigen terlarut
yang ada lebih banyak, serta didukung oleh substrat dasar terumbu karang yang
memungkinkan adanya keragaman biota dasar yang dapat bersimbiosis dalam
membantu proses pertumbuhan spons.
Prosedur Penelitian
Kondisi Fisika-Kimia Air di Lokasi Penelitian
Data hasil pengukuran parameter fisika-kimia air di dua lokasi fragmentasi
spons yaitu ST1 dan ST2 dianalisis. Sample air diambil setiap bulan dan
bersamaan dengan saat dilakukan pengukuran pertumbuhan spons selama 6 bulan.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui kelayakan kondisi kualitas air
yang optimal bagi pertumbuhan fragmen spons yang difragmentasikan
berdasarkan baku mutu air laut sesuai dengan (Kep.Men 179/Men.KLH/2004)
(Lampiran 1). Parameter fisika dan kimia air yang diukur secara in situ meliputi
suhu, salinitas, pH serta kecepatan arus. Sedangkan parameter fisika dan kimia
yang diukur di Laboratorium Kimia Oseanografi dan Produktivitas Lingkungan
Departemen ITK-FPIK IPB meliputi TSS (Total Suspended Solid), TOM (Total
Organic Matter), silikat, amonia, fosfat, nitrat, COD (Chemical Oxygen Demand),
dan DO (Disolve Oxygen)).
Parameter dan alat yang digunakan pada pengukuran parameter fisik-kimia
air ini dapat dilihat pada Tabel 1.
30
Tabel 1. Parameter fisik-kimia air yang diukur No. Parameter Satuan Alat/Metode Fisika Perairan 1. Suhu ºC Termometer air raksa 2. Kecepatan arus m/s Floating drouge, kompas bidik dan
stopwatch 3. TSS (Total Suspended
Solid) mg/l Gravimetrik
Kimia Perairan 1. Salin itas 0/00 Refraktometer 2. Derajat keasaman (pH) - pH meter 3. TOM (Total Organic
Matter) mg/l Titrasi permanganat
4. Silikat (SiO3) mg/l Ascorbic acid spectrofotometri 5. Amonia (NH3) mg/l Phenat spectrofotometric 6. Fosfat (PO4) mg/l Ascorbic acid spectrofotometric 7. Nitrat (NO3) mg/l Brucine spectrofotometric 8. COD (Chemical Oxygen
Demand) mgO2/l Refluks terbuka (Heat of dilusion)
9. DO (Disolve Oxygen) mg/l Titrasi Winkler
Pemeliharaan fragmen spons pada rak horisontal dan vertikal
Induk spons diambil langsung dari alam dengan cara melakukan
penyelaman menjelajahi di sekitar lokasi penelitian. Induk yang didapat diambil
sekitar 25% dari total tubuhnya kemudian ditempatkan pada wadah yang
terendam air laut dan selanjutnya diangkat dan dilakukan pemotongan menjadi
fragmen berukuran ± 3 cm x 3 cm. Sebanyak 336 fragmen diperoleh dari hasil
pemotongan tersebut dan kemudian ditempatkan pada masing-masing stasiun
(ST1 dan ST2) secara merata sebanyak 168 fragmen. Masing-masing metode rak
horisontal dan vertikal ditempatkan 84 fragmen. Kegiatan pemotongan dan
penusukan fragmen seluruhnya dilakukan di atas kapal.
Spons yang di fragmentasi di ST1 merupakan fragmen spons yang berasal
dari perairan terbuka (ST2), sedangkan fragmen spons pada ST2 merupakan
fragmen spons yang berasal dari perairan tertutup (ST1). Pemindahan fragmen ini
dilakukan sebagai uji coba terhadap fragmen spons untuk mengetahui ketahanan
serta kemampuan adaptasi spons terhadap kondisi lingkungan.
31
Metode fragmentasi spons yang digunakan pada penelitian ini adalah
yang dikembangkan oleh Duckworth et al., 1999. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan dua metode yaitu rak horizontal dan rak vertikal (Gambar 4 a dan
b). Rak terbuat dari bingkai besi berukuran 1 m x 1 m yang ditancapkan pada
substrat. Fragmen yang telah dipotong dan diuntai diikatkan pada rak dengan
posisi horisontal dan vertikal.
Gambar 4. Bentuk rak fragmentasi (a) Rak Horizontal, (b) Rak Vertikal
Jumlah fragmen yang ditempatkan pada tiap rak sebanyak 84 fragmen dan
pada tiap lokasi penelitian secara keseluruhan terdapat fragmen spons sebanyak
168 fragmen. Fragmen yang akan ditempatkan di rak sebelumnya diuntai pada
sebuah tali polyetilen berdiameter 0,5 mm dengan panjang kurang lebih 1,5 m
dengan cara ditusukkan (Gambar 5a) dan kemudian diikatkan pada tiap-tiap rak
yang sudah ditancapkan di kedalaman 7 m. Dalam satu untaian terdapat 12
potong fragmen yang disusun seperti tampak pada Gambar 5b. Penempatan jaring
pada bagian bawah rak adalah untuk mencegah fragmen bergeser dan berputar,
selain itu penempatan jaring juga bertujuan untuk menghindari ikan yang
mengganggu fragmen yang baru ditempatkan.
32
Sumber : Koleksi Pribadi
Gambar 5. a) Penempatan tali polyetilen pada fragmen, b) Penempatan fragmen pada rak.
Pengukuran pertumbuhan fragmen spons dimulai setelah satu minggu
fragmen diletakkan pada rak dan kondisi luka serta stress pada spons telah hilang.
Pengukuran dan pengambilan data pertumbuhan dilakukan tiap akhir minggu
selama 5 minggu. Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran pertumbuhan
melingkar atau keliling dari tiap fragmen yang difragmentasi. Cara
pengukurannya yaitu, 1) pengukuran panjang lingkar horisontal (plh), yaitu arah
pertumbuhan fragmen yang sejajar dengan tali polyetilen dan 2) pengukuran
panjang lingkar vertikal (plv), yaitu arah pertumbuhan fragmen yang tegak lurus
dengan posisi tali polyetilen. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
meteran plastik elastis dengan tujuan agar pengukuran dapat mengikuti kontur
tubuh dari fragmen spons (Gambar 6).
Gambar 6. Cara pengukuran fragmen spons.
33
Pengaruh jumlah luka dan ukuran fragmen spons
Fragmen spons Aa yang digunakan pada penelitian pengaruh jumlah luka
dan ukuran adalah spons yang sudah difragmentasikan dan dipelihara selama 3
bulan, kemudian difragmentasikan kembali dengan perlakuan luka. Fragmen
spons yang digunakan dalam penelitian ini adalah spons yang telah difragmentasi
pada perlakuan metode rak. Karena hasil penelitian dari metode rak tersebut
menunjukkan bahwa baik tingkat kelangsungan hidup maupun laju pertumbuhan
spesifik spons yang difragmentasi lebih baik pada ST2 dibanding ST1 maka
penelitian pengaruh jumlah luka pada spons dilakukan di ST2. Sebagai kontrol
maka spons yang sudah difragmentasi pada metode rak tidak difragmentasikan
kembali namun dibiarkan dan dihitung tingkat kelangsungan hidupnya serta
diukur pertumbuhannya untuk selanjutnya dibandingkan dengan spons yang
difragmentasi.
Pemotongan spons dilakukan dengan menyisakan minimal satu sisi yang
tidak terpotong dan mengikuti morfologi spons tersebut karena ukuran dan bentuk
dari tiap induk yang diperoleh berbeda. Proses pemotongan dan persiapan
dilakukan diatas kapal dan berlangsung selama 30 menit untuk menghindari stress
pada fragmen spons.
Fragmen spons yang difragmentasikan diberikan beberapa perlakuan
berupa jumlah luka/sayatan pada tubuhnya yaitu fragmen dengan satu luka, dua
luka, tiga luka, empat luka, dan fragmen tanpa luka (kontrol). Masing-masing
perlakuan tersebut memiliki ukuran panjang dan lebar sebesar ± 3 cm x 3 cm serta
fragmen pada ukuran ± 1 cm x 1 cm (Gambar 7). Tiap fragmen tersebut ditusuk
oleh sebuah jarum dan dilewati seutas tali polyetilen. Setiap perlakuan terdiri dari
40 fragmen dan empat fragmen pada kontrol (tanpa luka). Masing-masing
perlakuan pada tiap fragmen diikatkan pada rangka besi ukuran ± 1 m x 1 m
dengan posisi horizontal di tiap stasiunnya (Gambar 4a). Jarak antar fragmen
pada seutas tali adalah ± 10 cm dan untuk mencegah terjadinya pergeseran
fragmen maka pada setiap sisi fragmen diikatkan dengan cable tie.
34
Fragmentasi
Spons Aa di alam Spons Difragmentasikan kembali
Fragmen 1 luka Fragmen 2 luka Fragmen 3 luka Fragmen 4 luka Fragmen ukuran 1 cm2
Sumber : koleksi Pribadi
Gambar 7. Prosedur fragmentasi spons Aa dengan lukaan
Kerangka besi dengan posisi horizontal
plh plv
35
ijjiij e+ß+t+µ=Y
Analisis data
Tingkat Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup (sintasan) spons dapat diketahui dengan
membandingkan antara jumlah fragmen spons yang hidup pada akhir penelitian
(Nt) dengan jumlah fragmen awal (N0). Rumus yang digunakan untuk mengetahui
tingkat kelangsungan hidup spons adalah sebagai berikut:
................................... (1)
dimana : S = Kelangsungan hidup Nt = Jumlah individu akhir N0 = Jumlah individu awal Laju pertumbuhan spesifik
Pengukuran laju pertumbuhan spesifik spons yang difragmentasi
dilakukan dengan menggunakan rumus :
................................. (2)
dimana : SGR = Laju Pertumbuhan Spesifik (%) = Rata-rata panjang awal (cm) = Rata-rata panjang akhir (cm)
t = waktu (hari)
Analisis statistik
Analisis pengaruh posisi rak (horisontal dan vertikal) pada masing-masing
stasiun terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan spesifik spons dilakukan
dengan menggunakan Analisis varian (ANOVA) klasifikasi dua arah dengan
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) (Gomez dan Gomez, 1995),
yang dioperasikan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2003 dan
software Minitab (two way). Rumus yang digunakan adalah :
............................. (3)
100xt
LLLL=SGR
ontn −
L t
Lo
S=N t
No
x 100
36
dimana : i = 1, 2,..., t dan j = 1, 2,..., r Yij = Pengamatan perlakuan (posisi rak) ke-i dan ulangan
(stasiun) ke-j µ = Rataan umum t i = Pengaruh posisi rak ke-i ßj = Pengaruh stasiun fragmentasi ke-j eij = Pengaruh acak pada posisi rak ke-i dan stasiun ke-j
Penggunaan rancangan RKLT dalam penelitian ini adalah karena adanya
faktor perlakuan metode rak dan lokasi (stasiun penelitian) yang digunakan
sebagai landasan pengelompokan. Pengelompokan ini didasarkan pada adanya
pola keragaman yang berbeda antara ST1 yang tertutup dan ST2 yang terbuka.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji F untuk melihat adakah
pengaruh metode rak dan stasiun terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan
spesifik spons Aaptos aaptos. Analisis lebih lanjut dengan uji T untuk rancangan
kelompok lengkap teracak dilakukan jika hasil uji F berbeda nyata.
Analisis terhadap perlakuan jumlah luka dikelompokkan berdasarkan
perlakuan, kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik. Percobaan terdiri dari
enam jenis yaitu fragmen tanpa luka (kontrol), fragmen satu luka, dua luka, tiga
luka, empat luka dan fragmen pada ukuran 1 cm2. Untuk menganalisis pengaruh
perlakuan luka terhadap respon kelangsungan hidup (sintasan) dan laju
pertumbuhan spesifik spons digunakan analisis ragam (ANOVA) klasifikasi dua
arah dengan Rancangan Acak kelompok (Hanafiah, 2005) yang dioperasikan
dengan bantuan software Minitab (Two way) dan Microsoft Excel 2003.
Penggunaan RAK pada penelitian ini karena hewan uji yang diamati berada dalam
kondisi yang heterogen/adanya sumber keragaman lain (jumlah luka) yang
dijadikan sebagai dasar pengelompokan.
Analisis ragam akan menunjukkan beda nyata atau tidak pada tiap
perlakuan luka bagi sintasannya dan pertumbuhan, kemudian dilakukan uji lebih
lanjut. Uji lanjut yang digunakan adalah uji BNT0,05 pada selang kepercayaan
95% dengan rumus sebagai berikut (Hanafiah, 2005):
BNTa = (ta/2)*(Sd) ............................. (4)
37
Sd = r
22S
............................. (5)
dimana: Xi dan Xj adalah rataan perlakuan ke-i dan ke-j Dij = perbedaan atau selisih rata-rata antar perlakuan ke-i dan ke-j Sd = galat baku beda rata-rata r = banyaknya ulangan yang sama untuk kedua perlakuan s2 = kuadrat tengah galat ta/2 = t tabel pada taraf nyata a dengan n (derajat bebas)
bila D<BNT berarti selisih rata-rata antar perlakuan tidak berbeda nyata, dan bila
D>BNT maka selisih rata-rata antar perlakuan berbeda nyata.
Model observasi dari Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang digunakan
untuk menganalisis perlakuan luka adalah sebagai berikut (Hanafiah, 2005):
............................. (6)
dimana: Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan luka-i, dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum t i = Pengaruh perlakuan luka-i k = Pengaruh kelompok
eij = Galat percobaan pada perlakuan-i ulangan ke-j
Y ij=µ+k+t i+eij
Dij = Xi-Xj
38
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Kualitas Air di Lokasi Penelitian
Kondisi kualitas air yang ideal sangat diperlukan bagi fragmen spons Aa
untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Hasil pengukuran
menunjukkan bahwa suhu air adalah 30 0C, derajat keasaman (pH) berkisar antara
8,05-8,13 yang merupakan pH normal air laut sehingga fragmen dapat tumbuh
dalam dukungan kondisi yang normal. De Voogd (2005) menyatakan bahwa
spons dapat tumbuh pada kisaran suhu 26-31o C. Kandungan total suspended
solid (TSS) berkisar antara 5,3-7,3 g/ml, sehingga lokasi ini masih mendukung
kehidupan jasad autotrof yang ada di dalamnya, begitupun dengan salinitasnya
yang berkisar antara 31-340/00. Hasil pengukuran parameter fisika kimia air yang
mempengaruhi kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan spesifik spons dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 dan Lampiran 2.
Tabel 2. Hasil pengukuran parameter fisika kimia air dan standar deviasi
No Parameter Satuan ST1 ST2 Baku mutu
I Fisika
1 Suhu oC 29,25±0,96 29,25±0,96 28-30
2 Kecepatan Arus m/s 0,033±0,004 0,055±0,005
3 TSS (Total Suspended Solid) g/ml 7,13±0,15 5,18±0,15 20 II Kimia
1 Salinitas 0/00 32,50±0,56 33,25±0,56 33-34
2 Derajat Keasaman (pH) - 7,0-7,1 7,7-7,8 7,0-8,5
3 TOM (Total Organic Matter) mg/l 3,79±0,08 3,55±0,06
4 Silikat (SiO3) mg/l 0,43±0,08 0,33±0,03
5 Amonia (NH3) mg/l 0,45±0,009 0,32±0,02 0,3
6 Fosfat (PO4) mg/l 0,16±0 0,16±0 0,015
7 Nitrat (NO3) mg/l 0,235±0,05 0,255±0,006 0,008
8 COD (Chemycal Oxygen Demand) mgO2/ l 16±0,81 12,25±0,5
9 DO (Disolve Oxygen) mg/l 5,18±0,096 7,34±0,05 >5
39
Secara umum bila dilihat dari hasil pengukuran kondisi fisika kimia air
yang diperoleh, maka perairan di sebelah Barat (ST1) dan Selatan (ST2) Gugusan
Pulau Pari berbeda jika dilihat dari parameter kecepatan arus, TSS, COD, DO,
Amonia, dan Silikat. Berdasarkan baku mutu kualitas air (Kep.Men
179/Men.KLH/2004), kondisi perairan di kedua lokasi penelitian menunjukkan
kualitas air yang baik dan dapat menunjang kehidupan organisme termasuk jasad
autotrof yang hidup di dalamnya karena perairannya yang belum tercemar bahan
dan limbah organik, serta belum menunjukkan adanya indikasi pencemaran. Bagi
fragmen spons sendiri, kondisi perairan di lokasi penelitian mengandung silikat
yang diperlukan bagi pembentukkan spikula, nitrat bagi pertumbuhan dan phospat
bagi multiplikasi mikroba simbiotik serta total organic mater (TOM) yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan serta faktor-faktor lainnya yang
berpengaruh terhadap proses-proses fisiologinya.
Tingginya nilai TSS akan meningkatkan kekeruhan sehingga
menyebabkan berkurangnya intensitas cahaya yang masuk kedalam perairan.
Parameter tersebut sangat berpengaruh pada spons secara fisik seperti tertutupnya
sistem saluran air (ostia dan oskula) dan terganggunya proses fotosintesis bagi
mikrosimbion spons. Proses fotosintesis dari mikrosimbion spons dapat berupa
makanan dan oksigen yang dimanfaatkan untuk proses pertumbuhannya.
Kecepatan arus di ST1 adalah 0,03 m/s, dan ST2 adalah 0,05 m/s. Kondisi
angin yang tenang saat pengamatan menyebabkan nilai kisaran kecepatan arus di
kedua stasiun sangat lambat walaupun secara umum terlihat bahwa pada ST2 arus
lebih cepat dibandingkan dengan ST1 karena perairannya lebih terbuka. Arus
yang lambat dapat menyebabkan pengendapan sedimen pada tubuh spons,
mempengaruhi suplai makanan, oksigen dan menghambat pembuangan zat-zat
sisa dari hasil metabolisme spons keluar tubuhnya. Hadas et.al (2004)
menyatakan bahwa zat sisa yang dikeluarkan oleh spons harus dibuang jauh dari
40
tubuhnya karena zat tersebut tidak lagi berisi cadangan makanan tetapi
mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi spons.
Oksigen terlarut di lokasi ini berkisar antara 5,10-7,35 mg/l dan nilai total
organic matter (TOM)-nya berkisar antara 3,60-3,79 mg/l. Nilai-nilai tersebut
menunjukkan lokasi ini belum tercemar bahan organik. Fospat di lokasi ini
sebesar 0,16 mg/l yang menunjukkan bahwa perairan ini tidak tercemar limbah
organik, begitupun dilihat dari kandungan nitrogen yang teramati yakni nitrat
(NO3) dengan nilai yang berkisar antara 0,24-0,25 mg/l sehingga pertumbuhan
dan multiplikasi mikroba simbiotik dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini juga
mengindikasikan bahwa perairan tersebut banyak mendapatkan pasokan nutrien
yang sangat cukup.
Kadar oksigen terlarut (DO) di kedua stasiun berada diatas baku mutu dan
sangat baik untuk mendukung kehidupan spons. Besarnya nilai DO di ST1 dan
ST2 mengindikas ikan banyaknya bahan organik yang akan terdekomposisi
menjadi bahan anorganik oleh mikroba aerob dan mikroba tersebut merupakan
sumber makanan bagi spons. Total organic matter (TOM), nitrat (NO3 –N), nitrit
(NO2–N), dan fosfat (PO4) yang terukur tidak berbeda di kedua stasiun. Total
organic matter (TOM) akan mempengaruhi peningkatan dan penurunan nutrien di
perairan, TOM membantu dalam penguraian bahan organik menjadi bahan
anorganik (nutrien) yang penting bagi keberadaan plankton sebagai sumber
makanan spons.
Nitrogen merupakan gambaran nitrogen dalam bentuk organik atau
kumpulan dari nitrogen anorganik. Nitrogen yang dihasilkan dapat berperan bagi
pertumbuhan algae yang merupakan mikrosimbion bagi spons yang membantu
dalam pendistribusian makanan melalui proses fotosintesisnya (Davy et al., 2002).
Nitrat (NO3-N) yang terukur tidak jauh berbeda pada kedua stasiun dan
kandungan nitrat tersebut telah melewati baku mutu air laut. Hal ini
41
mengindikasikan bahwa nutrien, nitrat (NO3-N) di kedua stasiun cukup tinggi dan
dikhawatirkan dapat menyebabkan blooming makroalga yang dapat menutupi dan
mempengaruhi pertumbuhan spons. Sedangkan silikat (SiO3) yang tinggi sangat
menguntungkan bagi spons karena dibutuhkan sebagai dasar untuk pembentukan
spikula yang berperan dalam pembentukan rangka spons. Berbeda dengan fosfat
yang sangat sedikit dan kondisinya berada dibawah baku mutu air laut (Kep.Men
179/Men.KLH/2004). Kondisi fosfat yang kurang tidak membahayakan
pertumbuhan spons karena fosfat dapat disimpan oleh organisme sehingga pada
saat kondisi fosfat kurang maka spons akan menggunakan simpanan fosfat yang
ada di dalam tubuhnya. Fosfat berasal dari proses pelapukan batuan yang
bersumber dari daratan dan masuk ke perairan melalui transportasi sungai.
Nilai ammonia yang dihasilkan pada ST1 sedikit diatas dari nilai baku
mutu air laut (Tabel 2). Ammonia yang tinggi akan bersifat toksik atau adanya
pencemaran bahan organik bila tidak terionisasi menjadi ammonium dan
ammonia yang dihasilkan diduga berasal dari proses metabolisme biota-biota
yang hidup diperairan, ataupun dari hasil limbah industri dan rumah tangga.
Pengambilan sample air yang dekat dengan populasi spons juga diduga
merupakan penyebab sedikit tingginya nilai ammonia pada penelitian ini, hal
tersebut dikarenakan buangan spons mengandung ammonia. Data ini sekaligus
mengindikasikan bahwa buangan yang dikeluarkan spons melalui oskulum adalah
benar mengandung ammonia.
Nilai COD di ST1 yaitu 16 mg/L sedangkan di ST2 sebesar 12 mg/L.
Kadar COD merupakan indikasi banyaknya oksigen yang terpakai untuk
mengoksidasi bahan organik secara kimia. Kadar COD yang tinggi tidak
diinginkan bagi kepentingan perikanan dan perairan, dan biasanya perairan yang
tidak tercemar bila memiliki kadar COD <20 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP dalam
Effendi, 2003). Kadar COD pada ST1 diduga disebabkan karena pada saat
42
pengukuran dilakukan banyak sampah yang berada di sekitar perairan. Sampah-
sampah tersebut berasal dari daratan Pulau Jawa dan karena posisi ST1 lebih
tertutup maka pengaruh sampah tersebut langsung memberikan dampak negatif
walaupun kejadian ini tidak berlangsung secara permanen karena kuatnya arus
yang dapat menyebabkan terjadinya pergantian air di lokasi tersebut.
Pemeliharaan fragmen spons pada rak horizontal dan vertikal
Perkembangan fragmen
Perkembangan fragmen spons diamati sesaat sejak pertama kali fragmen
diikatkan pada rak. Saat kegiatan pemotongan dan penusukkan di atas kapal
berlangsung, fragmen mengalami stress. Kondisi stress tersebut ditujukkan oleh
banyaknya ammonia yang dikeluarkan oleh fragmen berupa cairan berwarna
kuning yang dapat meracuni fragmen tersebut dan fragmen lain sehingga air yang
digunakan harus sesering mungkin diganti dengan air yang baru agar fragmen
tidak terendam dalam air yang sudah mengandung amonia tersebut. Selain
amonia, fragmen juga senantiasa mengeluarkan lendir, yang merupakan suatu
upaya untuk mempertahankan dan menyesuaikan diri dari kondisi lingkungan
yang berubah.
Saat penempatan fragmen pada rak yang sudah dipasang di laut, banyak
ikan yang berdatangan mematuk-matuk fragmen khususnya ikan dari famili
Pomacentridae. Ikan-ikan tersebut hanya datang di ST2 dan tidak ditemukan di
ST1. Hal ini disebabkan karena ST2 memang adalah habitat ikan Pomacentridae
sehingga pada saat ada benda asing yang diletakkan maka secara otomatis pada
saat ikan-ikan tersebut akan mematuknya. Kejadian ini juga terjadi pada saat
penelitian yang dilakukan Rani dan Haris (2005). Ikan-ikan tersebut diduga
tertarik pada biota-biota berukuran kecil yang hidup dan tumbuh di dalam rongga
badan fragmen spons. Pematukan ini menyebabkan juga beberapa buah fragmen
43
tercabik-cabik sehingga fragmen bertambah stress. Kondisi ini menyebabkan
fragmen spons yang masih luka menjadi semakin besar luasan lukanya.
Dua hari setelah penanaman, permukaan fragmen tertutupi oleh lapisan
berwarna putih. Diperkirakan pada saat itu fragmen mengeluarkan banyak energi
yang lebih difokuskan pada pemulihan luka hasil pemotongan. Hari ketiga setelah
fragmentasi lapisan yang terpotong pada fragmen tidak mengalami perubahan
berarti dari hari kedua dengan tingkat kematian yang lebih rendah. Pada waktu itu
fragmen diduga memfokuskan energi untuk proses bertahan hidup yaitu
pemulihan dan perlindungan diri dari predator dan penyakit yang menyerang.
Stasiun ST2, sebagian besar fragmen mengalami kematian yang diakibatkan oleh
ikan Pomacentrus sp, warna permukaan tubuh berubah menjadi berwarna putih,
tubuh fragmen tampak seperti meleleh dan mudah sekali hancur, selain itu
fragmen menjadi mudah terlepas dikarenakan arus yang kuat. Hal ini
mengharuskan pergantian fragmen seluruhnya di ST2. Saat penempatan kedua ini
fragmen tidak dipatuk lagi oleh ikan Pomacentrus sp. Setelah melakukan
pemasangan ulang, pengamatan dan pengecekan kembali dilakukan lalu fragmen
didiamkan selama satu minggu untuk beradaptasi dan memulihkan diri
sepenuhnya sebelum dilakukan pengukuran. Perkembangan fragmen spons pada
saat pengukuran dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan perkembangan fragmen
spons selama 4 minggu pada perlakuan metode rak dapat dilihat pada Gambar 8.
Semakin jelasnya oskulum dan terbukanya oskulum dapat digunakan
sebagai indikator bagi fragmen spons, karena dengan adanya oskulum ini
menandakan bahwa fragmen sudah memiliki sistem saluran air dan metabolisme
yang sempurna, fragmen telah beradaptasi dengan lingkungan dan mendekati
wujud sempurna atau normal dengan sel-selnya yang telah stabil dan berfungsi
dengan baik.
44
Tabel 3. Perkembangan fragmen spons Aa
Minggu Deskripsi
1
• Lapisan permukaan fragmen yang terpotong mulai mengalami perubahan
• Permukaan fragmen berubah warna menjadi kekuningan tetapi masih tampak pucat
• Fragmen sudah menempel dengan baik pada substrat namun ada beberapa fragmen yang masih mengeluarkan lendir dan lapisan putih transparan.
2
• Fragmen telah menempel pada jaring dan tali polyetilen • Fragmen mengalami perubahan warna menjadi kuning-
kecoklatan. • Pemulihan dari bagian yang terpotong pada fragmen dimulai
dari batas potongan menuju pusat atau bagian tengah dari bagian yang terpotong.
• Oskulum mulai muncul begitu juga dengan ostia.
3
• Penampakan warna lebih cerah • Pola pemulihan luka makin tampak jelas • Oskulum terlihat dengan jelas, bentuk oskulum berupa lubang
berukuran besar yang terletak pada badan fragmen sedangkan ostia berupa lubang-lubang kecil yang terletak menyebar mengelilingi badan fragmen
4 • Fragmen sudah sempurna dan oskulum yang semakin besar • Koloni baru sudah pulih
Sumber : Koleksi Pribadi
Gambar 8. Perkembangan fragmen spons selama 4 minggu pada perlakuan rak horisontal dan vertikal
45
Perbedaan jumlah oskulum pada tiap fragmen atau jumlah fragmen yang
memiliki oskulum kemungkinan disebabkan karena adanya sedimentasi, stress
dan beberapa faktor lain yang menyebabkan oskulum menutup. Saat penelitian
ini, fragmen tidak selalu mengalami penambahan oskulum melainkan mengalami
pengurangan karena oskulum yang menutup atau menyempit. Penutupan atau
penyempitan oskulum ini disebabkan oleh tertutupnya oskulum oleh substrat, dan
bila oskulum tersumbat maka pertukaran air akan terhambat. Selain itu faktor dari
sentuhan pada fragmen saat mengukur diduga memicu menutupnya oskulum
dikarenakan sifat spons yang sensitif.
Penambahan jumlah oskulum meningkat setelah 1-2 minggu pengamatan
dilakukan dan mengalami penurunan pada minggu ke-3 dan bertambah lagi pada
minggu terakhir pengamatan. Fragmen spons yang dapat bertahan hingga akhir
pengamatan mengalami pemusatan letak begitu juga pada jumlah fragmen yang
memiliki oskulum, yaitu pada bagian rak sebelah kiri di setiap stasiun, hal ini
diduga karena adanya pengaruh arah arus datang dari sebelah kanan rak sehingga
menyebabkan lepasnya fragmen dari tali polyetilen dan terjatuh dari rak.
Lepasnya fragmen dari substrat pada penelitian ini, dianggap sebagai fragmen
mati. Kecepatan regenerasi jaringan yang terluka pada fragmen kemungkinan
dipengaruhi oleh kekerasan jaringan. Fragmen Aaptos aaptos memiliki jaringan
yang relatif lunak dengan bentuk pertumbuhan masif. Selain itu, kekeruhan yang
juga mempengaruhi kecepatan regenerasi jaringan, dimana pada lokasi yang
kekeruhannya rendah saat terjadi turbulensi, sedimen dasar tidak teraduk oleh
arus dan gelombang.
Tingkat Kelangsungan Hidup (Sintasan)
Tingkat kelangsungan hidup (sintasan) fragmen spons Aaptos aaptos ialah
jumlah individu dari fragmen spons Aaptos aaptos yang masih bertahan hidup
sampai akhir pengamatan dilakukan. Tingkat kelangsungan hidup spons yang
difragmentasi dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat kelangsungan hidup fragmen spons Aaptos aaptos setelah 30 hari
pengamatan pada perlakukan rak vertikal di ST1 lebih rendah (36,54%) dibanding
46
dengan fragmen spons yang diletakkan pada rak horisontal di ST1 (52,46%).
Sedangkan pada ST2, tingkat kelangsungan hidup fragmen spons yang diletakkan
pada rak vertikal lebih rendah (73,08%) dibandingkan dengan yang ditempatkan
pada rak horisontal (88,46%). Jika dibandingkan antar kedua stasiun, tingkat
kelangsungan hidup fragmen spons menunjukkan hasil yang lebih baik pada rak
horisontal (H) di ST2 (Tabel 4).
Tabel 4. Tingkat kelangsungan hidup fragmen spons Aa pada kedua metode di kedua stasiun
Lokasi Tingkat Kelangsungan Hidup (%) V H
ST1 36,54 52,46 ST2 73,08 88,46
Tingkat kelangsungan hidup fragmen spons di ST1 lebih rendah diduga
dipengaruhi oleh kandungan Total Suspended Solid (TSS) yang lebih tinggi
dibandingkan di ST2. Tingginya TSS akan mempengaruhi kekeruhan yang
memberikan dampak negatif pada fragmen spons Aaptos aaptos karena penetrasi
cahaya matahari ke dalam perairan berkurang sehingga proses fotosintesis tidak
berjalan dengan optimal. Hal ini menyebabkan terhambat atau terhentinya proses
pertumbuhan serta menurunkan tingkat kelangsungan hidup fragmen spons yang
difragmentasikan (Rani dan Haris, 2005). Akibat dari kekeruhan tersebut juga
berdampak pada laju sedimentasi, sehingga lendir yang disekresi spons ditempeli
oleh sedimen yang dapat menutupi ostia dan menyebabkan air yang segar dari
lingkungan sekitarnya tidak dapat masuk ke dalam tubuh spons. Tubuh spons
yang kekurangan sirkulasi air tersebut memutih dan jaringannya mati sehingga
sangat mudah terlepas dari tali. Kecepatan arus yang rendah di ST1 juga
mengakibatkan air buangan dari tubuh fragmen spons tidak cepat menjauh atau
tercuci sehingga masih memungkinkan untuk masuk lagi melalui ostia ke dalam
tubuh fragmen spons tersebut.
47
Sedangkan kematian spons pada ST2 lebih disebabkan karena predator
berupa ikan Pomacentridae yang menggigit tubuh spons pada saat pertama kali
diletakkan. Kondisi ini menyebabkan bertambahnya luka pada permukaan tubuh
spons sehingga sangat mudah terlepas dari tali. Namun tidak terjadi lagi pada
peletakan spons yang kedua kalinya karena ikan Pomacentridae sudah mengetahui
bahwa spons yang diletakkan tersebut bukanlah makanannya. Selain itu juga
kondisi arus dan gelombang pada stasiun ini lebih besar yang mengakibatkan
spons juga menjadi sangat mudah terlepas dari tali. Namun demikian jika
dibandingkan dengan kondisi perairan yang keruh seperti pada ST1 maka kondisi
ST2 lebih dapat ditolerir oleh fragmen spons sehingga sintasannya lebih tinggi.
Spons yang difragmentasikan dengan metode horizontal memiliki tingkat
kelangsungan hidup yang lebih baik dibanding fragmen spons yang difragmentasi
dengan metode vertikal. Kondisi ini ditunjukkan pada Gambar 9 yang
menunjukkan hasil pengukuran pada tiap metode selama pengamatan.
Gambar 9. Tingkat Kelangsungan Hidup fragmen spons Aa pada kedua metode di
tiap stasiun selama 4 minggu (A: Stasiun 1; B: Stasiun 2)
Stasiun 1
0,0010,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,0090,00
100,00
M0 M1 M2 M3 M4
Pengamatan (minggu)
Ting
kat K
elan
gsun
gan
Hid
up (
%)
rak horizontal rak vertikal
Stasiun 2
0,0010,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,0090,00
100,00
M0 M1 M2 M3 M4
Pengamatan (minggu)
Ting
kat K
elan
gsun
gan
Hid
up (%
)
rak horizontal rak vertikalA B
48
Tingkat kelangsungan hidup spons hasil fragmentasi yang semakin
menurun pada setiap pengamatan diduga disebabkan karena jaringan yang
dimiliki oleh fragmen spons ini menjadi sangat lunak pada saat awal proses
fragmentasi. Kondisi jaringan spons yang lunak tersebut menyebabkan mudahnya
spons terlepas dari tali karena gesekan oleh arus dan gelombang (Pong-Masak,
2003). Jika dibandingkan antar stasiun maka pada ST2 tingkat kelangsungan
hidup lebih baik daripada ST1 karena kondisi kekeruhan air yang menjadikan
fragmen spons tidak berkembang baik sehingga mengalami kematian. Hal ini
juga didukung oleh kondisi kesehatan fragmen spons yang sudah menurun akibat
perlakuan pemotongan dan penusukan serta patukan yang dilakukan oleh ikan dari
famili Pomacentridae.
Faktor lain yang diduga mempengaruhi rendahnya tingkat kelangsungan
hidup fragmen spons adalah adanya kontak fragmen spons dengan amonia hasil
buangan spons pada saat terjadinya stress akibat pemotongan. Kondisi tersebut
mengakibatkan air yang masuk melalui ostia spons adalah air yang sudah
terkontaminasi dan merupakan buangan dari sisa metabolismenya sendiri
sehingga keadaan fragmen makin melemah. Mulai dari proses pemotongan
hingga pengamatan pertama terlihat fragmen spons peka terhadap setiap
perlakuan yang diberikan, ini terlihat dari banyaknya lendir yang dihasilkan,
warnanya yang memucat, menyusutnya oskulum serta keluarnya ammonia. Jika
dilihat dari hasil yang diperoleh maka tingkat kelangsungan hidup spons pada ST2
yang diletakkan pada posisi rak horisontal lebih baik dibandingkan dengan pada
posisi vertikal, walaupun tingkat kelangsungan hidup spons pada ST1 dan ST2
tidak berbeda nyata antar perlakuan rak dengan selang kepercayaan 95%
(Lampiran 3)
49
Pertumbuhan Fragmen
Pertumbuhan fragmen yaitu pertambahan ukuran yang dialami fragmen
selama pengamatan dilakukan. Besarnya tingkat pertumbuhan dapat diketahui
dengan cara melakukan pengukuran keliling fragmen mengikuti morfologinya
dengan dua cara pengukuran, yaitu secara vertikal dan horisontal.
Pemantauan ukuran rata-rata fragmen spons dilakukan setiap minggu
dalam 5 kali pengamatan yang dimulai dari pengamatan pertama (M0) hingga
pengamatan terakhir (M4). Pertambahan ukuran rata-rata fragmen spons pada
setiap pengamatan pada stasiun ST1 dapat dilihat pada Gambar 10.
Pertumbuhan lingkar vertikal (plvv) dan lingkar horisontal (plhv) pada
metode rak vertikal menunjukkan nilai yang positif dengan kecenderungan
semakin meningkat dari minggu ke-1 sampai minggu ke-5. Pertumbuhan fragmen
spons pada pengamatan di ST1, pada awal menunjukkan nilai yang positif sejak
minggu ke-1 dan cenderung mengalami kenaikan hingga minggu terakhir
dilakukan. Sedangkan pertumbuhan fragmen spons pada metode rak horizontal,
pengukuran panjang lingkar vertikal (plvh) dan panjang lingkar horisontal (plhh)
di ST1 menunjukkan nilai negatif sebelum akhirnya menunjukkan nilai positif dan
cenderung meningkat pada minggu selanjutnya. Kondisi ini diduga disebabkan
karena spons menghabiskan
energinya pada awal fragmentasi untuk memperbaiki jaringan yang rusak
sehingga spons mengalami pengerutan jaringan yang ditunjukkan dari negatifnya
hasil pengukuran lingkar spons tersebut.
50
Gambar 10. Perubahan ukuran fragmen spons Aa di ST1 (plhv: panjang lingkar horisontal rak vertikal; plvv: panjang lingkar vertikal rak vertikal; plhh: panjang lingkar horisontal rak horisontal; plhv: panjang lingkar horisontal rak vertikal)
Selain itu pertumbuhan yang negatif diduga disebabkan karena pada masa
ini sebagian besar fragmen spons Aaptos aaptos mengalami kematian jaringan
sehingga volume dan ukurannya berkurang. Jaringan yang mati ini didapatkan
terutama pada bagian fragmen spons Aaptos aaptos yang terpotong. Selain itu
gangguan dari ikan famili Pomacentridae selama penanaman diduga mempunyai
peran dalam mengurangi ukuran dari fragmen yang difragmentasikan, hal ini juga
ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Rani dan Haris (2005).
Pertumbuhan fragmen spons Aaptos aaptos di ST2 menunjukkan nilai
yang positif dan terus meningkat pada tiap pengamatannya, baik yang di pelihara
pada rak vertikal maupun rak horizontal (Gambar 11).
Pertumbuhan fragmen spons pada minggu ke-3 pada metode rak horisontal
cenderung melambat, diduga pada masa ini fragmen cenderung lebih
menggunakan energinya untuk bersimbiose dan memproduksi bahan aktif dalam
tubuhnya serta pertambahan panjang yang sudah beralih ke pertambahan
bobotnya (Amir dan Budyanto, 1996), dan hal ini terjadi disetiap metode rak pada
kedua stasiun pengamatan.
Stasiun 1
8
10
12
14
0 1 2 3 4
waktu (minggu)
Per
tum
buha
n (c
m)
plhv plvv plhh plvh
51
Gambar 11. Perubahan ukuran fragmen spons Aa di ST2 (plhv: panjang lingkar horisontal rak vertikal; plvv: panjang lingkar vertikal rak vertikal; plhh: panjang lingkar horisontal rak horisontal; plhv: panjang lingkar horisontal rak vertikal)
Pertumbuhan rata-rata fragmen spons di kedua lokasi penelitian dan kedua
metode memiliki kecenderungan yang lebih baik pada pertumbuhan vertikal, yaitu
pertumbuhan yang arahnya tegak lurus terhadap tali polyetilen. Diduga hal ini
terjadi akibat pengaruh sinar matahari yang menyebabkan pertumbuhan vertikal
lebih cepat dibandingkan petumbuhan horisontal. Selain itu kemungkinan besar
pertumbuhan vertikal tidak memerlukan energi untuk menyembuhkan luka dalam
yang diakibatkan oleh adanya luka pada bagian dalam jaringan yang dilalui tali
polyetilen untuk merangkai spons seperti halnya pertumbuhan horizontal yang
harus melewati tali polyetilen. Selain itu energi yang dimiliki fragmen lebih
difokuskan pada penyembuhan luka akibat potongan pada sisi spons dan
penusukan tubuh spons yang dilakukan. Laju pertumbuhan spesifik fragmen
spons Aaptos aaptos dan standar deviasinya pada setiap minggu pengamatan pada
metode rak vertikal dan horisontal disajikan pada Tabel 5.
Stasiun 2
8
10
12
14
0 1 2 3 4
waktu (minggu)
Per
tum
buha
n (c
m)
plhv plvv plhh plvh
52
Tabel 5. Laju pertumbuhan spesifik dan standar deviasi fragmen spons Aa tiap minggu pada kedua metode di kedua stasiun.
Perlakuan Pertum-buhan
Waktu pengamatan (minggu) Laju Pertumbuhan spesifik
Rata-rata ±SD (%) t0±SD (cm) t1±SD (cm) t2±SD (cm) t3±SD (cm) t4±SD (cm)
ST1
V plh 10,69±1,72 11,27±1,64 11,53±1,58 11,84±1,57 12,047±1,46 0,55±0,14 plv 8,84±1,53 9,67±1,63 10,07±1,35 10,89±1,42 10,92±1,14 0,99±0,22
H plh 10,10±1,66 10,05±1,58 10,31±1,32 10,59±1,19 10,81±1,21 0,14±0,05 plv 8,72±1,25 8,81±1,19 9,19±1,21 9,77±1,17 9,92±1,21 0,38±0,17
ST2
V plh 10,96±1,53 11,57±1,32 12,00±1,22 12,25±1,30 12,36±1,42 0,60±0,15 plv 9,24±1,32 9,89±1,18 10,17±1,11 11,83±1,40 11,83±1,35 0,93±0,20
H plh 9,69±1,50 10,54±1,53 10,84±1,38 10,92±1,32 10,94±1,32 0,75±0,34 plv 8,98±1,41 9,66±1,27 10,20±1,30 10,56±1,27 10,62±1,24 0,83±0,19
Keterangan : H : horisontal V : vertikal plh : panjang lingkar horisontal plv : panjang lingkar vertikal
53
Laju pertumbuhan spesifik spons secara vertikal lebih baik dari pada
pertumbuhan horisontalnya (Tabel 5). Hal ini disebabkan karena spons memiliki
organisme simbion berupa mikroalga yang melakukan proses fotosintesis dan
memiliki kecenderungan untuk tumbuh sesuai dengan arah datangnya sinar
matahari. Selain itu juga secara genetik spons Aaptos aaptos memiliki morfologi
tubuh dengan petumbuhan vertikal lebih cepat dibandingkan horisontal. Grafik
laju pertumbuhan spesifik disajikan pada Gambar 12 dan data laju pertumbuhan
spesifik disajikan pada Lampiran 4.
Hasil analisis ragam perlakuan rak terhadap laju pertumbuhan spesifik
menunjukkan bahwa pada ST1 perbedaan metode rak yang digunakan
berpengaruh nyata (P>0,05), sedangkan pada ST2 tidak berpengaruh nyata.
Pengunaan metode rak vertikal pada ST1 lebih baik jika dibandingkan dengan rak
horizontal pada selang kepercayaan 95%. (Lampiran 5). Hal ini diduga karena di
ST1 dengan kondisi perairan yang lebih keruh maka penempatan fragmen pada
posisi rak vertikal lebih menguntungkan karena fragmen terletak di kolom
Diolah berdasarkan Lampiran 6
Gambar 12. Laju pertumbuhan spesifik fragmen spons Aa
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
Stasiun 1
Laj
u P
ertu
mb
uh
an S
pes
ifik
(%
)
plhv plvv plhh plvh
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
Stasiun 2
Laj
u P
ertu
mb
uh
an S
pes
ifik
(%
)
plhv plvv plhh plvh
54
perairan sehingga kemungkinan permukaan untuk tertutup oleh substrat lebih
kecil dibandingkan dengan fragmen yang ditempatkan pada rak dengan posisi
horizontal. Selain itu pada rak vertikal, fragmen terkena arus yang langsung
menuju badan fragmen yang secara tidak langsung membawa kandungan-
kandungan senyawa organik atau nutrien dan oksigen yang dibutuhkan dalam
pembentukkan dan pertumbuhan fragmen spons (Pong-Masak, 2003). Hal
lainnya diduga karena letaknya yang tidak terlalu dekat dengan dasar perairan
sehingga tidak banyak partikel-partikel akibat dari terjadinya pengadukan yang
menempel di permukaan tubuh fragmen spons luka sehingga energi yang dimiliki
oleh fragmen spons lebih difokuskan pada pertumbuhan. Berbeda dengan
fragmen yang menggunakan metode rak horizontal, diduga kekuatan yang
dimiliki oleh fragmen lebih difokuskan kepada pembentukan lendir yang
digunakan untuk menghalau partikel-partikel dari lingkungannya serta partikel-
partikel lainnya yang mengendap di permukaan tubuh fragmen spons tersebut
dikarenakan letaknya yang horisontal sehingga kondisinya terlindung dari
pergerakan arus sehingga pengendapan sedimen langsung terjatuh di permukaan
atau di atas fragmen.
Pertambahan ukuran fragmen spons di ST2 relatif lebih baik jika
dibandingkan dengan ST1 yang disebabkan karena kondisi lingkungan perairan di
ST2 yang lebih terbuka dibanding di ST1. Lokasi fragmentasi di ST2 memiliki
tingkat kekeruhan yang relatif lebih rendah dengan tingkat kecerahan yang lebih
tinggi dan kecepatan arus yang lebih besar dibanding dengan di ST1. Keberadaan
arus berguna untuk menghalau dan membersihkan sampah serta sedimen yang
menutupi fragmen dan juga membawa oksigen dan nutrien yang dibutuhkan oleh
spons, sehingga fragmen spons dapat tumbuh lebih baik (Duckworth e al., 1997
dalam de Voogd, 2005).
Hasil analisis ragam perbedaan stasiun pengamatan terhadap laju
pertumbuhan spesifik menunjukkan bahwa secara statistik pertumbuhan di ST1
berbeda nyata (P<0,05) dengan di ST2 pada rak horizontal pada selang
55
kepercayaan 95%, sedangkan pada rak vertikal laju pertumbuhan spesifik ST1 dan
ST2 tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 5). Bila
dibandingkan antar stasiun, maka pertumbuhan fragmen spons pada ST2 lebih
baik dibanding dengan pertumbuhan di ST1.
Secara umum hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi
lingkungan yang relatif berbeda akan menghasilkan respon pertumbuhan yang
juga relatif berbeda, sedangkan pada kondisi lingkungan yang relatif sama akan
menghasilkan respon pertumbuhan yang relatif sama pula (Rani dan Haris, 2005).
Sintasan dan pertumbuhan spons dari spesies yang sama dapat memberikan hasil
yang berbeda jika dilakukan pada kondisi lingkungan dan metode yang berbeda
(de Voogd, 2005).
Pengaruh jumlah luka dan ukuran fragmen spons
Perkembangan fragmen
Spons memiliki kemampuan dalam meregenerasikan bagian tubuhnya
yang hilang seperti melapisi lapisan luarnya yang terluka melalui proses
regenerasi sel sampai menjadi individu baru (Brusca dan Brusca dalam Pong-
Masak, 2002). Perkembangan regenerasi pada fragmen spons yang diberi
perlakuan jumlah luka selama empat minggu pengamatan disajikan pada Tabel 6.
Perubahan warna pada fragmen spons yang difragmentasi dari kuning
(seperti warna spons pada lapisan dalam/mesohyl)) menjadi kuning kecoklatan
(warna lapisan luar spons/pinacoderm), terjadi selama proses perkembangan
fragmen. Kondisi ini membuktikan adanya peran dari mikrosimbion yang telah
kembali bersimbiosis untuk mengatur perubahan warna menjadi sama dengan
induknya. Hadas et al. (2005) menyatakan bahwa warna spons yang beragam
disebabkan oleh adanya pengaruh fotosintesis dari mikrosimbionnya.
56
Tabel 6. Regenerasi fragmen spons Aa
Waktu Deskripsi
Minggu 1
• Fragmen spons sudah mengalami respon yang tertekan akibat luka atau goresan pada lapisan pinacodermnya yang dicirikan oleh adanya lendir (mucus) yang di keluarkan oleh setiap fragmen sebagai respon pertahanan diri dari faktor lingkungannya yang baru (Gambar 13A)
• Pada hari ketiga masih ditemukannya luka dari tiap-tiap fragmen, luka tersebut mengalami pemutihan (bleaching) yang disebabkan oleh hilangnya sebagian mikrosimbion pada jaringan fragmen spons dan diduga semacam jamur berwarna putih yang menempel dan menutupi lapisan yang terluka (Gambar 13B)
Minggu 2 • Fragmen mengalami perubahan warna dari kuning (lapisan
dalam) menjadi kuning kecoklatan (lapisan luar), begitu halnya pada bagian yang mengalami bleaching.
Minggu 3
• Semua fragmen spons telah mengalami pemulihan pada bagian yang terluka, lapisan pinacoderm sudah terbentuk dan menyebar kearah bagian yang terluka guna melapisi permukaannya membentuk lapisan yang sempurna dan terpigmentasi ke warna aslinya, serta terbentuknya oskula dan ostia pada lapisan terluarnya (Pinacoderm) dan merekonstruksi bagian tubuhnya ke bentuk yang agak bulat
Terjadinya regenerasi ditunjukkan oleh hidupnya lapisan pinacoderm yang
menyebar menutupi lapisan luka (Gambar 13). Menurut Hegner (1993)
terbentuknya lapisan tersebut (pinacoderm) disebabkan oleh adanya partikel-
partikel sel dari fragmen spons yang melakukan reorganisasi sel dan bergerak
secara ameboid dengan sel amebocytes dan collarless choanocytes sehingga
terjadinya tumpukan-tumpukan sel yang tersusun untuk melapisi bagian
terluarnya (pinacoderm). Seiring dengan bertambah besarnya tumpukan sel,
beberapa sel amoebocytes mengubah diri menjadi epidermis, sementara
choanocytes bergabung membentuk lubang dan membuat” collars” untuk
membentuk kamar-kamar berflagella setipe, setelah waktu tertentu dengan proses
ini pertumbuhan normal fragmen perlahan-lahan kembali ke bentuk spons awal
yang fungsional.
57
Luka jamur berwarna putih
A B C D
Gambar 13. Perkembangan fragmen spons selama 4 minggu pada perlakuan
jumlah luka
Tingkat Kelangsungan Hidup (Sintasan)
Tingkat kelangsungan hidup merupakan gambaran suatu individu dalam
mempertahankan hidupnya pada selang waktu tertentu, baik secara biologis
maupun fisiologis dari pengaruh faktor-faktor lingkungan di sekitarnya. Fragmen
spons yang dijadikan sebagai objek pada penelitian ini, merupakan hasil dari
translokasi fragmen yang sudah difragmentasikan kemudian difragmentasikan
kembali. Fragmen induk merupakan hasil fragmentasi selama 3 bulan, kemudian
difragmentasikan lagi dengan perlakuan jumlah luka.
Tingkat kelangsungan hidup spons dari perlakuan jumlah luka menunjukkan
bahwa 100% pada fragmen kontrol (tanpa luka), 1 luka sebesar 80% , 2 luka
sebesar 70%, 3 luka sebesar 60%, 4 luka sebesar 70% dan sintasan pada fragmen
ukuran 1 cm2 sebesar 48% (Gambar 14). Hasil penelitian yang dilakukan
sebelumnya di ST2 gugusan Pulau Pari menunjukkan bahwa fragmen spons yang
berasal dari induk di alam memiliki sintasan sebesar 45% di ST1 dan 80% di ST2
(Lampiran 7).
Jamur Jamur
Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
58
Data diolah berdasarkan Lampiran 7
Gambar 14. Tingkat kelangsungan hidup rata-rata spons antar perlakuan luka
Hasil analisis sidik ragam dan uji BNT0,05 (26,28) pada selang
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup
fragmen spons menghasilkan respon yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antar
perlakuan jumlah luka (Lampiran 8). Walaupun pada Gambar 14 menunjukkan
rata-rata sintasan tertinggi terdapat pada fragmen kontrol (tanpa luka) sebesar
100% kemudian diikuti oleh fragmen 1 luka, 4 luka, 2 luka, 3 luka dan terendah
terdapat pada fragmen ukuran 1 cm2. Tingginya tingkat kelangsungan hidup pada
fragmen kontrol (tanpa luka) disebabkan tidak adanya lapisan pinacoderm yang
terluka dan bentuknya sudah sempurna seperti bentuk induk aslinya di alam
sehingga fragmen tersebut dapat mengatasi tekanan dari faktor lingkungannya
seperti serangan jamur, predator dan pengendapan sedimen. Energi yang
tersimpan tidak lagi digunakan untuk merekonstruksikan jaringannya yang rusak
tetapi dapat digunakan untuk bersimbiosis, memproduksi bahan aktif dan
melakukan proses pertumbuhan serta reproduksinya.
Kecilnya ukuran atau luasan luka dapat mengurangi tekanan bagi tiap-tiap
fragmen spons (Pong-Masak dan Rahmansyah, 2002). Rendahnya tingkat
kelangsungan hidup spons pada fragmen ukuran 1 cm2 disebabkan karena
ketidakmampuan fragmen dalam menahan pengendapan sedimen dan serangan
0
20
40
60
80
100
120
kontrol 1 luka 2 luka 3 luka 4 luka ukuran 1cm
Perlakuan
Sint
asan
(%
± s
d)
59
predator. Ketersedian energi awal yang tersimpan tidak seimbang dengan
gangguan dari lingkungannya dan memaksa fragmen untuk memproduksi lendir
yang berlebih sebagai respon pertahanan dirinya. Adanya lendir yang diproduksi
secara berlebih akan bersifat negatif bagi fragmen spons karena tertutupnya jalur
masuk dan keluarnya air (ostia dan oskula) yang terdapat pada lapisan luarnya,
sehingga fragmen spons tidak memiliki jalan masuknya air yang membawa
oksigen dan makanannya serta serat-serat spongin yang tertutupi akan hancur
(Gambar 15).
Gambar 15. Contoh fragmen spons Aa ukuran 1 cm2
Pertumbuhan Fragmen
Hasil penelitian pada fragmen spons Aa selama 26 minggu menunjukkan
bahwa rata-rata laju pertumbuhan spesifik plh pada fragmen kontrol (tanpa luka)
sebesar 3,07 cm lebih tinggi dibandingkan dengan spons dengan perlakuan, yaitu
1 luka sebesar 2,25 cm, 2 luka sebesar 2,13 cm, 3 luka sebesar 1,72 cm, 4 luka
sebesar 1,85 cm dan pada fragmen ukuran 1 cm2 sebesar -1,21 cm. (Gambar 16).
Data pertumbuhan plh dan plv disajikan pada Lampiran 9.
60
Data diolah berdasarkan Lampiran 9
Gambar 16. Ukuran rata-rata awal dan akhir pertumbuhan plh pada fragmen spons Aa antar perlakuan
Rata-rata ukuran awal fragmen (0 minggu) pada tiap perlakuan tidak
seragam (Gambar 16). Kesulitan dalam menyamakan ukuran awal pada tiap
fragmen disebabkan oleh adanya lekukan-lekukan yang tidak beraturan pada
tubuh fragmen. Secara visual terlihat bahwa spons yang berasal dari kedalaman
yang relatif dangkal dimungkinkan memiliki tubuh yang tidak simetris. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ilan dan van Soest (2004) yang menyatakan bahwa pada
perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris
akibat dari lingkungannya yang stabil dibandingkan dengan spons yang hidup
pada perairan yang dangkal.
Seperti halnya pertumbuhan plh maka rata-rata pertumbuhan plv tertinggi
selama 26 minggu terdapat pada fragmen kontrol (tanpa luka) sebesar 2,89 cm
dan terendah terdapat pada fragmen ukuran 1 cm2 yaitu sebesar 1,54 cm,
sedangkan pada fragmen luka 1 sebesar 2,29 cm, luka 2 sebesar 2,56 cm, luka 3
sebesar 2,46 cm, luka 4 sebesar 2,49 cm (Gambar 17).
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
kontrol 1 luka 2 luka 3 luka 4 luka ukuran 1cm
perlakuan
Rat
a-ra
ta p
ertu
mbu
han
plh
(cm
)
0 hari 177 hari
61
Data diolah berdasarkan Lampiran 9
Gambar 17. Ukuran rata-rata awal dan akhir pertumbuhan plv pada fragmen spons Aa antar perlakuan luka
Data diolah berdasarkan Lampiran 9 Gambar 18. Laju pertumbuhan spesifik rata-rata plh pada fragmen spons Aa antar
perlakuan jumlah luka
Laju pertumbuhan spesifik rata-rata plh tertinggi terdapat pada fragmen
kontrol (tanpa luka) sebesar 0,12 cm/minggu dan terendah terdapat pada fragmen
ukuran 1 cm2 sebesar 0,06 cm/minggu (Gambar 17). Sedangkan rata-rata laju
pertumbuhan spesifik pada fragmen 1 luka sebesar 0,09 cm/minggu, 2 luka
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
kontrol 1 luka 2 luka 3 luka 4 luka ukuran 1cm
perlakuan
Rat
a-ra
ta p
ertu
mbu
han
plv
(cm
)
0 hari 177 hari
-1
-0,5
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
kontrol 1 luka 2 luka 3 luka 4 luka ukuran1 cm
Perlakuan
Laj
u Pe
rtum
buha
nSp
esif
ik p
lh (
%)
62
sebesar 0,09 cm/minggu, 3 luka sebesar 0,07 cm/minggu, 4 luka sebesar 0,07
cm/minggu (Gambar 18).
Hasil analisis sidik ragam pada rata-rata laju pertumbuhan spesifik plh
memberikan respon yang tidak berbeda nyata antar perlakuan jumlah luka
(P>0,05) pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 10). Kemudian dari hasil uji
BNT0,05 (0,08) pada selang kepercayaan 95% dapat di simpulkan bahwa rata-rata
laju pertumbuhan spesifik plh pada fragmen kontrol, 1 luka, 2 luka, 3 luka, 4 luka
dan ukuran 1 cm2 masih memberikan respon pertumbuhan yang tidak berbeda
nyata (Lampiran 10). Adanya pengaruh yang tidak nyata baik antar perlakuan
dapat mengindikasikan bahwa pertumbuhan plh masih memberikan respon
tumbuh yang sama hanya saja yang membedakan adalah faktor lingkungannya
(Tabel 2).
Laju pertumbuhan spesifik plv menunjukkan respon pertumbuhan tertinggi
terdapat pada fragmen kontrol (tanpa luka) sebesar 0,11 cm/minggu dengan
kisaran 0,08-0,18 cm/minggu dan terendah terdapat pada fragmen ukuran 1 cm2
sebesar 0,05 cm/minggu dengan kisaran 0,01-0,07 cm/minggu (Gambar 19).
Sedangkan rata-rata laju pertumbuhan spesifik plv pada fragmen luka 1 sebesar
0,09 cm/minggu, luka 2 sebesar 0,10 cm/minggu, luka 3 sebesar 0,10 cm/minggu,
luka 4 sebesar 0,10 cm/minggu (Gambar 19).
Hasil analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa rata-rata laju pertumbuhan spesifik plv memberikan respon yang tidak
berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan (Lampiran 10). Hasil uji BNT0,05 (0,06)
(Lampiran 11) dapat disimpulkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan spesifik plv
antar perlakuan masih memberikan respon yang tidak berbeda nyata baik pada
fragmen kontrol, 1 luka, 2 luka, 3 luka, 4 luka dan ukuran 1 cm2.
63
Data diolah berdasarkan Lampiran 9
Gambar 19. Laju pertumbuhan spesifik rata-rata plv fragmen spons Aa antar perlakuan luka
Secara umum dari keempat perlakuan yang diteliti (fragmen 1 luka, 2 luka,
3 luka, 4 luka dan ukuran 1 cm2) baik pada pertumbuhan plh dan pertumbuhan plv
memiliki rata-rata laju pertumbuhan spesifik yang rendah dibandingkan dengan
fragmen kontrol (tanpa luka). Tingginya rata-rata laju pertumbuhan spesifik plh
dan plv pada fragmen kontrol (tanpa luka) disebabkan oleh tidak adanya jaringan
yang terluka pada lapisan luarnya (pinacoderm) sehingga respon pertumbuhannya
lebih cepat, fragmen kontrol (tanpa luka) hanya memerlukan waktu beberapa hari
saja untuk beradaptasi dan saat itu energi yang tersimpan tidak lagi digunakan
untuk memperbaiki jaringannya tetapi di alokasikan dalam proses pertumbuhan
dan reproduksinya, beda halnya dengan perlakuan lainnya yang membutuhkan
energi yang cukup untuk memperbaiki jaringannya yang rusak.
-2-1,5
-1-0,5
00,5
11,5
22,5
33,5
kontrol 1 luka 2 luka 3 luka 4 luka ukuran1 cm
Perlakuan
Laj
u Pe
rtum
buha
nSp
esif
ik p
lv (%
)
64
KESIMPULAN
Pulau Pari merupakan habitat yang sesuai untuk melakukan kegiatan
fragmentasi buatan spons Aa. Spons dapat meregenerasi jaringan tubuhnya yang
terlihat dari spons dapat melakukan penempelan pada tali setelah fragmen
berumur 1 minggu dan spons dapat pulih kembali seperti induknya setelah
berumur 4 minggu. Stasiun terbuka di selatan Pulau Pari merupakan habitat yang
ideal bagi spons Aa yang difragmentasikan dengan sintasan dan laju pertumbuhan
spesifik spons yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun tertutup di barat
Pulau Pari.
Metode fragmentasi horisontal dapat menjamin kehidupan dan
pertumbuhan spons Aa lebih baik dibandingkan dengan metoda vertikal. Fragmen
spons yang dipotong sampai 4 luka pada tubuhnya tidak mempengaruhi sintasan
dan laju pertumbuhan spesifik spons Aa.
Ukuran yang ideal untuk melakukan fragmentasi terhadap spons Aa adalah
1 cm. Fragmentasi spons ukuran 1 cm dapat dilakukan jika menggunakan kantong
berlubang yang mesh size-nya lebih kecil dari 1 cm.
Top Related